PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA
USMAN MADUBUN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Kaitannya dengan Unsur Hara dan Cahaya adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada pihak mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2008 Usman Madubun NIM C151050061
ABSTRACT USMAN MADUBUN. Phytoplankton Primary Productivity and it’s relation with Nutrient and Light in Muara Jaya Waters, Jakarta Bay. Under direction of ARIO DAMAR and RICHARDUS F. KASWADJI. The research was conducted in Muara Jaya waters, Jakarta Bay, from JulyAugust 2007. The research was aimed to study the phytoplankton primary productivity in relation to nutrient and light distribution. Survey of post facto approach was implemented in three stations arranged from estuary towards the sea. Parameters studied were primary productivity, nutrients, light intensity, chlorophyll a, and the abundance and composition of phytoplankton. Results showed that primary productivity ranged from 39,57-96,89 (67,36±25), 21,31107,01 (63,38±29), and 18,07-108,12 (62,61±30) mgCm-3h-1 for station 1, 2, and 3, respectively. There was a significant difference among incubation depths, but not among stations. Nutrients had varied role to variability of primary productivity, and there was no significant difference among incubation depths and stations, except for silicate. Light intensity had significant influence on primary productivity, implied significant differences among stations and incubation depths. Nutrient concentrations and primary productivity in estuary were higher compared to those in other stations, while light intensity showed the opposite figure. This indicates the role of incoming loads from the river. Chlorophyll a concentration in estuary station was higher than in other stations, showing significant role of nutrients and light intensity. Phytoplankton composition were predominated by Bacillariophyceae (29 species), Cyanophyceae (1 species), and Dinophyceae (8 species). Keywords: primary productivity, nutrients, light intensity, chlorophyll a, phytoplankton.
RINGKASAN USMAN MADUBUN. Produktivitas Primer Fitoplankton dan kaitannya dengan Unsur Hara dan Cahaya di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta. Dibawah bimbingan ARIO DAMAR and RICHARDUS F. KASWADJI. Penelitian ini telah dilakukan di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta dari bulan Juli – Agustus 2007. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji produktivitas primer fitoplankton sehubungan dengan distribusi unsur hara dan cahaya. Survey post facto dilakukan di tiga stasiun yang ditetapkan dari muara ke arah laut. Parameter yang diukur adalah produktivitas primer, unsur hara, cahaya, klorofil-a, kelimpahan dan komposisi fitoplankton. Hasil penelitin memperlihatkan bahwa kisaran nilai produktivitas primer berturut-turut untuk stasiun 1, 2, dan 3 adalah 39,57-96,89 (67,36±25), 21,31-107,01 (63,38±29), dan 18,07-108,12 (62,61±30) mgCm-3jam-1, terdapat perbedaan nyata antar kedalaman tetapi tidak antar stasiun. Unsur hara memperlihatkan peranan yang bervariasi terhadap keragaman nilai produktivitas primer, dan tidak terdapat perbedaan nyata antara kedalaman inkubasi maupun stasiun, kecuali untuk silikat. Intensitas cahaya berperan nyata pada produktivitas primer, dan menunjukkan perbedaan nyata antar stasiun dan kedalaman inkubasi. Konsentrasi nutrien dan produktivitas lebih tinggi di stasiun muara dibandingkan dengan stasiun lainnya, sedangkan cahaya sebaliknya. Hal ini menggambarkan peranan beban masukan dari sungai. Tingkat klorofil-a lebih tinggi pada stasiun di muara, menggambarkan pentingnya peranan unsur hara dan cahaya. Komposisi jenis fitoplankton terdiri dari kelas Bacillariophyceae (29 jenis), Cyanophyceae (1 jenis), dan Dinophyceae (8 jenis). Kata kunci: Produktivitas primer, unsur hara, cahaya, klorofil-a, fitoplankton.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA
USMAN MADUBUN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBARAN PENGESAHAN
Judul : Produktivitas Primer Fitoplankton dan Kaitannya dengan Unsur Hara dan Cahaya di Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta Nama : Usman Madubun NRP : C151050061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. rer.nat. Ir. Ario Damar, M.Si. Ketua
Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. Angggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Sc.
Tanggal Ujian: 11 Juli 2008
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Niken Tunjung Murti Pratiwi, M.S.
PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan kasih sayang-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah fitoplankton dengan judul Produktivitas primer fitoplankton dan kaitananya dengan unsur hara dan cahaya yang dilaksanakan di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta dari bulan Juli hingga Agustus 2007. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Dr. Ario Damar dan Dr. Richardus F. Kaswadji selaku komisi pembimbing, Dr. Niken TM Pratiwi selaku penguji luar komisi serta Dr. Kardiyo Praptokardiyo yang telah banyak memberikan arahan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan juga kepada Bapak Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual dan Bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional atas kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan studi. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada bapak Deden atas bantuannya selama pengambilan contoh di lapangan serta Ibu Anna beserta staf di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, MSP-IPB atas bantuan analisis contoh air. Demikian pula terima kasih atas bantuan dari teman-teman seangkatan di PS Ilmu Perairan, dan teman-teman seperjuangan dari Tual, Is, Dani, Cecu, Beni, dan Yula. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sama penulis sampaikan pula kepada (alm & almh) Ayah dan Ibu, Drs. Jusuf Madubun, M.Si. sekeluarga, Ir. Idrus Madubun sekeluarga, dan Khadijah Madubun, S.Sos., serta semua keluarga atas bantuan materil dan dukungan moral selama ini. Terakhir, terima kasih dan penghargaan yang sangat mendalam penulis sampaikan kepada istri tercinta Ratna Alwiyah Rahajaan, S.T. atas pengorbanan, kesabaran, dorongan, doa, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2008 Usman Madubun
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tual, Kabupaten Maluku Tenggara pada tanggal 25 Agustus 1970 dari pasangan ayah (alm) Mihidin Madubun dan ibu (almh) Aminah Madubun. Penulis merupakan putra ke delapan dari 12 bersaudara. Tahun 1990 penulis lulus SMA Negeri 1 Tual dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Pada tahun 2000 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Akademi Perikanan Larvul Ngabal Tual (sekarang Politeknik Perikanan Negeri Tual). Atas sponsor biaya dari BPPS Dikti, pada tahun 2005 penulis berkesempatan melajutkan studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dan memilih Program Studi Ilmu Perairan.
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xiv
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 1.3 Tujuan dan Manfaat ................................................................. 1.4 Hipotesis.....................................................................................
1 1 2 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1 Fitoplankton ............................................................................. 2.2 Produktivitas Primer ................................................................ 2.3 Cahaya ...................................................................................... 2.4 Unsur Hara ............................................................................... 2.5 Suhu .......................................................................................... 2.6 Kekeruhan ................................................................................. 2.7 Salinitas ....................................................................................
5 5 8 10 12 15 16 16
III. METODE ............................................................................................. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 3.2 Metode dan Desain Penelitian .................................................. 3.3 Teknik/Metode Analisis Data ..................................................
18 18 18 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 4.1 Parameter Penunjang ................................................................ 4.2 Unsur Hara ................................................................................. 4.3 Intensitas Cahaya Matahari ...................................................... 4.4 Fitoplankton ............................................................................. 4.5 Klorofil-a ................................................................................... 4.6 Produktivitas Primer Fitoplankton ........................................... 4.5 Hubungan Cahaya dengan Produktivitas Primer ....................... 4.7 Hubungan Unsur Hara dengan Produktivitas Primer .................
25 25 30 37 41 47 50 52 56
V. SIMPULAN .........................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
63
LAMPIRAN ................................................................................................
68
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1 Parameter utama dan penunjang yang diamati........................................
20
2 Kedalaman Secchi (Sechhi depth (Sd)) yang terukur pada ketiga stasiun selama penelitian .........................................................................
27
-1
3 Hasil perhitungan nilai koefisien peredupan (k’m ) menurut stasiun dan waktu pengamatan (Perhitungan mengacu kepada Tillman et al. 2000) ................................................................................
39
2
4 Hasil analisis regresi linier sederhana, koefisien determinasi (R ) dan koefisien korelasi Pearson (r) antara NPP (Y) dengan masingmasing unsur hara (x) di setiap stasiun dan kedalaman inkubasi............
57
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta Lokasi Penelitian ............................................................................
19
2 Rataan nilai salinitas terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah kedalaman Inkubasi) ..................................
25
3 Rataan nilai suhu terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi). .......................................
26
4 Rataan nilai kekeruhan terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi) ................................
28
5 Rataan TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan terlarut terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi) .............................................................................
29
6 Rataan ammonium-nitrogen (NH4-N) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi) .............
30
7 Rataan nitrit-nitrogen (NO2-N) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah kedalaman Inkubasi) ..................................
31
8 Rataan nitrat-nitrogen (NO3-N) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi) .................................
33
9 Rataan ortofosfat (PO4) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi) .................................
34
10 Rataan silikat (SiO2) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi) .................................
35
11 Distribusi intensitas cahaya matahari (Klux) di atas permukaan air (udara) dan tepat di permukaan perairan... ........................................
38
12 Hasil perhitungan intensitas (Klux) dan persentase (%) cahaya matahari pada kedalaman inkubasi serta pada dasar perairan (Bar menunjukkan standar deviasi) .........................................................
40
13 Jumlah genera fitoplankton menurut stasiun dan kedalaman inkubasi.. .................................................................................................
42
xiii 14 Rataan kelimpahan fitoplankton (sel l-1) menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi) . ...............................
45
-3
15 Rataan nilai konsentrasi klorofil-a (mg m ) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan SD dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi) ..........................
48
16 Nilai produktivitas primer bersih pada kedalaman inkubasi di ketiga stasiun penelitian (Bar menunjukkan standar deviasi). ................
51
17 Pola hubungan antara produktivitas primer dengan intensitas cahaya matahari pada ketiga stasiun .......................................................
53
18 Pola hubungan antara produktivitas primer dengan kedalaman perairan di ketiga stasiun yang diteliti ....................................................
55
19 Plot data antara produktivitas primer dengan konsentrasi unsur hara di stasiun 1 ......................................................................................
58
20 Plot data antara produktivitas primer dengan konsentrasi unsur hara di stasiun 2 ......................................................................................
59
21 Plot data antara produktivitas primer dengan konsentrasi unsur hara di stasiun 3 ......................................................................................
60
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Berbagai nilai parameter penunjang dan utama yang diukur selama penelitian ....................................................................................
69
2 Intensitas cahaya matahari (lux) di permukaan (udara), tercatat setiap 10 menit ........................................................................................
71
3 Intensitas cahaya matahari (lux) di permukaan perairan, tercatat setiap 10 menit ........................................................................................
72
4 Intensitas cahaya matahari (Klux) pada berbagai kedalaman dan waktu inkubasi selama tiga kali pengamatan di lokasi penelitian...........
73
5 Kelimpahan fitoplankton (sel l-1) pada periode I (12 Juli 2007) di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta .......................................................
75
6 Kelimpahan fitoplankton (sel l-1) pada periode II (29 Juli 2007) di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta ...................................................
77
7 Kelimpahan fitoplankton (sel l-1) pada periode III (12 Agustus 2007) di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta .........................................
79
8 Nilai produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air stasiun 1 selama waktu inkubasi ...........................................................
81
9 Nilai produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air stasiun 2 selama waktu inkubasi ...........................................................
82
10 Nilai produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air stasiun 3 selama waktu inkubasi ...........................................................
84
11 Hasil analisis ANOVA antar stasiun untuk masing-masing kedalaman ...............................................................................................
87
12 Hasil analisis ANOVA antar kedalaman di masing-masing stasiun ......................................................................................................
92
I PENDAHULUAN
1. Latar belakang Peningkatan beban masukan limbah organik akan terkait dengan pengayaan nutrien di perairan pantai. Pengayaan nutrien yang berlebihan atau eutrofikasi dapat berpengaruh negatif terhadap ekosistem perairan. Pengaruh negatif tersebut di antaranya adalah menstimulasi produktivitas primer yang mendorong ke arah akumulasi biomassa fitoplankton, terjadinya ledakan alga termasuk yang beracun, deplesi oksigen terlarut saat proses pembusukan biomassa alga yang telah mati tersebut serta kematian ikan dan kerang-kerangan (Cloern 1996). Masukan limbah organik juga berdampak terhadap ketersediaan cahaya di perairan. Limbah organik baik terlarut maupun tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan perairan. Semakin tinggi kekeruhan maka penetrasi cahaya ke perairan yang lebih dalam menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan berkurangnya zona eufotik, sehingga menurunkan lapisan produktif di perairan terkait dengan proses fotosintesis. Untuk memahami dampak pengayaan nutrien secara lengkap terhadap ekosistem perairan pantai, maka pemahaman tentang ekologi fitoplankton merupakan salah satu kunci utama.
Hecky dan Kilham (1988) menyatakan
bahwa eutrofikasi adalah suatu proses ekologi, jadi harus dipelajari dari suatu perspektif ekosistem yang mempertimbangkan semua proses-proses interaksi fisika, kimia, trofik, dan sejarah hidup dari fluktuasi populasi fitoplankton. Menurut Nontji (1984) untuk memahami ekologi fitoplankton diperlukan pengetahuan tentang bagaimana kondisi biomassa, produktivitas, dan struktur komunitas fitoplankton serta kaitannya dengan kondisi lingkungan. Keberadaan dan aktivitas fitoplankton berhubungan dengan lingkungan perairan sekitarnya, sehingga akan memperlihatkan reaksi jika terjadi perubahan kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang paling besar pengaruhnya terhadap fitoplankton di antaranya adalah cahaya dan unsur hara. Kedua faktor tersebut terdistribusi secara tidak merata di perairan. Hal ini terjadi karena adanya masukan berbagai zat buangan dari darat dan sifat hidromorfologi perairan.
2 Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta menerima beban limbah yang masuk melalui sungai, di antaranya melalui sungai Citarum dan Bekasi. Beban limbah tersebut berasal dari limbah permukiman, pertanian, perkotaan, dan industri yang berada di catchment area.
Limbah tersebut kemudian berdampak terhadap
pengayaan nutrien di perairan ini. Damar (2003) mencatat bahwa beban fosfat, DIN (Dissolved Inorganik Nitrogen) dan silikat yang masuk perairan Teluk Jakarta melalui sungai berturut-turut adalah 6.741 ton th-1, 21.260 ton th-1 dan 52.417 ton th-1 yang kemudian secara nyata meningkatkan konsentrasi nutrien di perairan ini. Kondisi bio-fisika-kimia perairan ini dipengaruhi pula oleh kondisi musim, terutama musim hujan dan musim kemarau. Karenanya, setiap musim akan dicirikan oleh sifat-sifat bio-fisika-kimia perairan yang berbeda-beda dan berdampak pada keberadaan, penyebaran, dan aktivitas fitoplankton baik horizontal maupun vertikal. Meskipun penelitian serupa telah banyak dilakukan untuk perairan Teluk Jakarta, namun informasi tentang perairan di sekitar muara-muara sungai pada pantai Bekasi, wilayah perairan Teluk Jakarta sebalah Timur ini masih sedikit. Penelitian dengan tema yang sejenis baru dilakukan oleh Kaswadji et al. (1993) namun hanya terbatas pada musim peralihan Barat - Timur. Penelitian lain oleh Zudiana (1997) dan Abdunnur (1997) yang keduanya dilakukan pada perairan muara Jaya pantai Bekasi, lebih banyak mengungkapkan parameter fisik-kimia, namun tidak dalam konteks respon fitoplankton. Dengan demikian penelitian untuk mengkaji kaitan antara faktor lingkungan dengan respon fitoplankton pada musim Timur masih perlu dilakukan, baik dalam kerangka mengungkapkan informasi ekologinya maupun sebagai kegiatan monitoring, sehubungan dengan adanya proses eutrofikasi di perairan ini.
2. Perumusan masalah Kondisi biologi, fisika, dan kimia merupakan karakteristik yang dinamis dari suatu ekosistem perairan. Terdapat perbedaan dalam pola penyebaran spasial parameter-parameter tersebut. Variabilitas spasial ini berhubungan dengan adanya pola perubahan musim. Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta menerima air tawar melalui sungai yang ada yang debit airnya dipengaruhi kondisi musim.
3 Pada musim Barat atau musim hujan, curah hujan tinggi, sehingga limpasan air tawar yang masuk ke perairan pantai juga besar. Pada musim Timur atau musim kemarau curah hujan rendah, sehingga aliran air tawar yang masuk juga kecil. Besar kecilnya debit sungai mempengaruhi beban limbah organik yang masuk ke perairan pantai. Akibat perubahan musim tersebut, pola penyebaran serta ketersediaan intensitas cahaya dan unsur hara sebagai dua faktor utama yang sangat mempengaruhi fitoplankton juga berubah, baik secara spasial maupun temporal. Di perairan Teluk Jakarta, Damar (2003), Syam (2002), dan Nontji (1984) menunjukkan bahwa, dengan meningkatnya salinitas atau semakin jauh dari garis pantai, nutrien, biomassa, dan produksi fitopankton menunjukkan penurunan, sedangkan intensitas cahaya meningkat. Dikatakan pula bahwa, konsentrasi nutrien, biomassa, dan produktivitas fitoplankton lebih tinggi selama musim hujan dibanding musim kemarau. Di perairan Bekasi, Kaswadji et al. (1993) menunjukkan bahwa konsentrasi nutrien tertinggi terdapat di lokasi pertemuan antara air tawar dan laut, yang berjarak sekitar 500 m dari pantai pada musim peralihan Barat – Timur. Selanjutnya, kelimpahan, dan produktivitas primer fitoplankton lebih tinggi di lokasi sungai daripada lokasi yang jauh dari pantai, tetapi tidak untuk kandungan klorofil-a. Zudiana (1997) dan Abdunnur (1997) mencatat bahwa di sedimen muara Jaya Bekasi, kandungan bahan organik (C-organik) serta konsentrasi unsur hara N dan P, menunjukkan nilai yang lebih tinggi baik di sedimen maupun perairannya daripada yang ditemui di perairan yang jauh dari muara sungai. Lebih lanjut dikatakan bahwa, faktor yang menyebabkan tingginya nilai tersebut adalah masukan limbah dari daratan yang terbawa melalui aliran sungai. Sehubungan dengan pengaruh musim Timur terhadap cahaya dan nutrien yang mengatur dinamika fitoplankton di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta, maka muncul berbagai pertanyaan berikut: 1) Apakah terdapat perbedaan variabilitas spasial yang nyata dalam penyebaran faktor fisika dan kimia terutama cahaya matahari dan unsur hara di perairan ini.
4 2) Bagaimana gambaran karakter fitoplankton terutama tentang produktivitas primernya disamping kelimpahan, biomassa, dominansi maupun komposisi jenis. 3) Adakah hubungan nyata antara respon karakter fitoplankton tersebut dengan karakteristik perairan. 4) Jika terdapat hubungan nyata, faktor mana yang lebih dominan mempengaruhi dinamika respon fitoplankton tersebut. Secara singkat, yang menjadi rumusan masalah pokok adalah, bagaimana hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan cahaya dan unsur hara dalam skala spasial di perairan ini pada musim Timur. 3. Tujuan dan Manfaat Secara umum tujuan penelitian yang dilakukan di perairan Bekasi pada musim Timur ini, adalah mengkaji hubungan antara respon fitoplankton dengan penyebaran unsur hara dan cahaya. Secara lebih terperinci penelitian ini bertujuan untuk mempelajari : 1. Distribusi konsentrasi unsur hara dan intensitas cahaya secara spasial. 2. Nilai produktivitas primer dan biomassa fitoplankton. 3. Faktor lingkungan (cahaya atau unsur hara) yang secara nyata mempengaruhi produktivitas primer fitoplankton. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang respon fitoplankton sehubungan dengan konsentrasi unsur hara dan intesitas cahaya di perairan ini selama musim Timur. Informasi selama musim Timur ini bersamasama dengan musim lainnya dapat dipakai sebagai salah satu dasar untuk menentukan produktivitas perairan Muara Jaya Teluk Jakarta serta untuk kepentingan pengelolaan perairan ini selanjutnya.
4. Hipotesis Semakin jauh dari pantai atau muara sungai, besarnya produktivitas primer fitoplankton serta unsur hara semakin kecil, sebaliknya intensitas cahaya meningkat.
II TINJAUAN PUSTAKA
1. Fitoplankton Plankton merupakan organisme yang berukuran sangat renik yang hidup melayang-layang dalam air dan memiliki kemampuan gerak yang sangat lemah sehingga perpindahannya sangat dipengaruhi oleh pergerakan massa air. Plankton yang berukuran mikroskopis meliputi tumbuhan dan hewan. Golongan dari tumbuhan disebut fitoplankton dan dari hewan disebut zooplankton (Odum 1971; Sverdrup et al. 1972; Nybakken 1992; Parsons et al. 1984). Pengelompokan plankton biasanya didasarkan pada ukuran (net dan non-net plankton), habitat (haliplankton dan limnoplankton) dan daur hidup (holoplankton dan meroplankton). Berdasarkan ukurannya, Levinton (1982) dan Nybakken (1992) mengelompokkan plankton atas ultraplankton (< 2 μm), nanoplankton (2-20 μm), mikroplankton (20-200 μm), makroplankton (0,22 mm), dan megaplankton (>2 mm). Kilham dan Hecky (1988) menyatakan bahwa fitoplankton lautan didominasi oleh sejumlah jenis Chrysophyta yaitu diatom, cocolithophore, dan silicoflagelata, serta Pyrrhophyta (dinoflagellata). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa, beberapa kelompok lain dari fitoplankton ada yang kadang-kadang melimpah, tetapi mereka diwakili oleh jenis yang sangat sedikit. Ini meliputi Cyanophyta (cyanobacteria; sebagai contoh jenis-jenis dengan ukuran sel yang sangat kecil dari Synechococcus atau berkas-berkas besar dari filamen Oscillatoria [Trichodesmium]).
Anggota lain dari fitoplankton lautan adalah
Halosphaera (divisi Chlorophyta, class Prasinophyceae) yang memiliki sel-sel hijau berbentuk bola. Berdasarkan Levinton (1982), komponen-komponen fitoplankton terutama terdiri dari Diatom (kelas Bacillariophyceae), Dinoflagellata, Cocolithophore dan alga coklat-emas lainnya (kelas Haptophyceae), Blue green alga (kelas Cyanophyceae disebut juga Cyanobacteria), Green alga (kelas Chlorophyceae), dan Flagellata Cryptomonas (kelas Cryptophyceae). Masing-masing komponen tersebut memiliki ukuran tubuh serta bentuk-bentuk sel yang berbeda dan
6 menyumbangkan komposisi yang bervariasi pula terhadap struktur komunitas fitoplankton, serta kehadirannya dapat mencirikan kondisi lingkungan tertentu. Sebaran fitoplankton di laut dipengaruhi oleh banyak faktor baik fisika, kimia, maupun biologi. Penelitian dan tulisan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi sebaran fitoplankton di laut telah banyak dilakukan oleh para ahli. Parsons et al. (1984) menjelaskan bahwa distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti cahaya, suhu, salinitas, nutrien, dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan jenis plankton di suatu lingkungan perairan. Cebrian dan Valiela (1999) menunjukkan pada ekosistem pantai tertutup dan terbuka di daerah temperate bagian utara, terdapat dua pola puncak biomassa fitoplankton, yaitu pada akhir musim dingin dan gugur di perairan ekosistem pantai tertutup, sedangkan pada perairan ekosistem pantai terbuka umumnya mencapai puncak dalam musim semi dan akhir musim panas. Interaksi antara kedalaman terbatas atau pencampuran pasang surut dengan variasi musiman cahaya di ekosistem pantai tertutup cenderung bertanggunjawab terhadap perbedaan tersebut. Selain itu ditunjang pula oleh tingginya konsentrasi nutrien di kolom air. Penelitian yang dilakukan oleh Chang dan Gall (1998) di daerah Subtropical Convergence (STC) pada tiga lokasi mendapatkan bahwa, komposisi jenis dan standing stok/biomassa fitoplankton berbeda secara regional dan musiman (musim semi dan musim dingin). Pada kedua musim tersebut, diatom berukuran besar mendominasi pada lokasi frontal dari STC baik musim dingin maupun semi, dan terutama pada musim semi menyebabkan pengurangan dissolved reactive silicate (DRSi) dan NO3-. Hal yang sama ditemukan pula pada lokasi kedua, yaitu di pertengahan daerah subtropik antara pantai Timur dan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan jenis berukuran besar di kedua lokasi tersebut dibatasi oleh kedua unsur tersebut. Pada lokasi di sub antartik atau daerah dengan nutrien tinggi rendah klorofil (Hight Nutrients Chlorophyll Low) jenis berukuran kecil lebih mendominasi, ini memberikan indikasi bahwa biomassa dan kelompok fitoplankton kelihatannya dibatasi oleh konsentrasi Fe (iron).
7 Laju pertumbuhan fitoplankton di perairan estuari maupun perairan pantai menunjukan respon yang berbeda-beda terhadap kondisi bio-fisika-kimia. Kondisi biogeokimia dimaksud antara lain berupa; flushing (Ferreira et al. 2005), toleransi salinitas (Ferreira et al. 2005; Caraco et al. 1987), cahaya, unsur hara, (Ferreira et al. 2005; Smith 1984; Hecky & Kilham 1988; Howarth 1988; CulvinAralar et al. 2004) maupun pemangsaan (Ferreira et al. 2005; Levinton 1982). Dengan begitu penyebaran fitoplankton di peraiaran estuari dan pantai, akan mengikuti distribusi dari kondisi bio-fisika-kimia tersebut. Zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak ialah nitrogen dan fosfor. Disamping itu, silikat juga merupakan salah satu hara yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan organisme laut (Nybakken 1988). Kelimpahan komunitas fitoplankton di laut sangat berhubungan dengan kandungan nutrien seperti fosfat, nitrat, silikat, dan hara lainnya. Kandungan nutrien dapat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton dan sebaliknya fitoplankton yang padat dapat menurunkan kandungan nutrien dalam air. Perubahan komposisi fitoplankton selanjutnya dapat mempengaruhi komposisi zooplankton dan komunitas plankton secara keseluruhan dalam suatu ekosistem (Prescott 1963). Komunitas fitoplankton akan mengalami suatu suksesi dominasi jenis secara terus menerus. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi dominasi dan suksesi jenis meliputi cahaya, konsentrasi dan rasio unsur hara, dan bentukbentuk kimia unsur hara (Goldman & Carpenter 1974). Peningkatan unsur hara yang terus menerus dapat mempengaruhi pertumbuhan dan struktur komunitas fitoplankton, bahkan pada estuari yang kaya nutrien. Karena jenis fitoplankton memperlihatkan perbedaan kebutuhan untuk berbagai nutrien, perubahan pada struktur komunitas terjadi karena perubahan fluks dan konsentrasi relatif unsur hara (Sanders at al. 1987). Kebutuhan fitoplankton akan unsur hara dapat dibedakan atas unsur hara makro, mikro yaitu sejumlah unsur kelumit berupa trace elemen, dan nutrien organik. Unsur hara makro meliputi karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potasium, dan kalsium. Unsur mikro atau trace elemen meliputi Fe, Cu, dan vanadium, sedangkan nutrien organik berupa vitamin (Valiela 1982).
8
2. Produktivitas Primer Selain berperan dalam perikanan, produktivitas primer juga penting dalam kaitan dengan lingkungan. Produktivitas perairan dapat digunakan untuk menduga produksi ikan atau potensi sumberdaya perikanan dengan mengetahui faktor efisiensi ekologi dalam rantai makanan (Kaswadji et al. 1993). Pada pendekatan tropo dinamik dalam ekosistem, diusahakan untuk diukur produksi pada setiap tingkat. Produksi adalah penyatuan materi organik baru ke dalam jaringan hidup, yang berarti pertambahan biomassa. Untuk tumbuhan dilakukan melalui proses fotosintesis, disebut juga produktivitas primer (Miller 2004; Siege 2004; Valiela 1995; Lederman 1988). Secara umum dianggap bahwa produktivitas primer di laut adalah fotosintesis dari senyawa-senyawa karbon organik oleh fitoplankton, walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetis (Lederman 1988; Nybakken 1988). Unsurunsur lingkungan yang penting untuk reaksi fotokimia ini adalah energi matahari, CO2, air, dan nutrien, sedangkan laju fotosintesis di laut biasanya dikontrol oleh ketersediaan cahaya matahari dan nutrien. Kirk (1994) mengemukakan bahwa proses fotosintesis dapat dibagi atas dua bagian, reaksi terang dan reaksi gelap. Secara ringkas dijelaskan bahwa, pada reaksi terang akan dibebaskan oksigen yang bersumber dari air serta dihasilkan energi bebas yang bersumber dari serangkaian perubahan ADP (Adenosine diphosphate) dan fosfat inorganik menjadi ATP (Adenosine triphosphate). Sedangkan pada reaksi gelap, akan dihasilkan karbohidrat yang direduksi dari karbondioksida dan menghasilkan sejumlah energi bebas, yang sumbernya berasal dari degradasi (decay) ATP yang telah dibentuk selama reaksi terang. Energi yang terikat oleh fotosintesis tersedia untuk sintesis biomassa baru, namun pada saat yang sama beberapa dari energi itu digunakan untuk pengaturan (maintanance) biomassa yang ada. Proses pengaturan ini disebut respirasi dan secara efektif berlawanan dengan proses fotosintesis, respirasi pada akhirnya merubah energi kimia yang terikat menjadi energi radiasi yang dibaurkan sebagai panas. Produksi primer kotor adalah fotosintesis total yang dihasilkan, sedangkan produksi primer bersih adalah produksi primer kotor dikurangi respirasi. Produksi
9 primer bersih adalah yang tersedia untuk herbivora (Miller 2004; Siege 2004; Valiela 1995; Lederman 1988). Jadi besarnya energi dari biomassa tumbuhan adalah hasil dari keseimbangan antara fotosintesis dan respirasi, dan laju fotosintesis yang teramati adalah hasil bersih dari dua proses tersebut, sementara respirasi biasanya dianggap : (1) terkait dengan biomassa dan konstant sepanjang waktu percobaan, dan (2) sebanding dengan kehilangan energi yang terikat yang akan berlangsung pada reaksi gelap pada suhu yang sama (Kirk 1994). Faktor-faktor yang membatasi produktivitas primer fitoplankton di perairan di antaranya adalah intensitas cahaya matahari, suhu, unsur hara, dan biomassa fitoplankton (Siege 2004; Valiela 1995; Parsons et al. 1984). Penyebaran produktivitas primer fitoplankton bervariasi secara luas. Variasi tersebut berkaitan dengan lintang geografis dan musim. Di daerah temperate pada musim dingin, cahaya seringkali membatasi nilai produktivitas primer (Holm-Hansen et al. 2004; Diaz at el. 2002; Malone et al. 1988; Gibss & Vant 1997), sedangkan di daerah tropis ketersediaan nutrien sering menjadi faktor pembatas produktivitas primer fitoplankton (Miller 2004; Burnes & Hughes 1999; Valilela 1995). Selain musim fraksi ukuran dari fitoplankton juga memperlihatkan laju produktivitas primer dan biomassa fitoplankton yang berbeda (Vant & Safi, 1996). Pada daerah di sekitar Kutub Utara produktivitas dan biomassa fitoplankton juga dipengaruhi oleh konsentrasi Fe, sementara konsentrasi Fe dipengaruhi oleh pencampuran massa air yang berbeda (Holm-Hansen et al. 2004).
Menurut
Raymont (1980) ada suatu hubungan yang positif antara
kelimpahan fitoplankton dengan produktivitas primer, yaitu jika kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi, maka perairan tersebut cederung mempunyai produktivitas primer yang tinggi pula. Hubungan produksi fotosintesis dengan laju suplai energi cahaya (diukur sebagai irradiance atau intensitas, dalam watt per unit area) berlangsung dalam bentuk yang umumnya membentuk kurva linier maksimum. Umumnya akan terbagai dalam tiga fase yang berbeda yaitu; a). Peningkatan dibatasi cahaya, b). Cahaya jenuh dan c). Penurunan karena dihambat cahaya. Secara umum dapat dijelaskan bahwa dengan peningkatan cahaya dari nol, fotosintesis awalnya akan meningkat secara perlahan, kemudian seiring dengan bertambahnya intensitas
10 cahaya nilai fotosintesis akan meningkat dengan cepat (secara proporsional) hingga mencapai jenuh atau mencapai titik plateu. Pada titik ini peningkatan cahaya tidak diikuti oleh peningkatan fotosintesis (nilai fotosintesis cenderung tetap)
dengan
kata
lain
intensitas
cahaya
menghambat
fotosintesis
(photoinhibiton). Di atas intensitas cahaya jenuh, peningkatan intensitas cahaya akan mengakibatkan penurunan dalam nilai fotosintesis (Barnes & Huges 1999; Kirk 1994; Valiela 1995; Miller 2004; Levinton 1982; Sigee 2004). Distribusi fotosintesis dengan kedalaman perairan juga memperlihatkan fenomena yang umum. Pada permukaan perairan niliainya cenderung rendah, kemudian meningkat secara perlahan dengan bertambahnya kedalaman sampai mencapai maksimum, kemudian menurun lagi hingga mencapai nilai nol. Hal ini terjadi, berkaitan dengan penyebaran intensitas cahaya matahari di perairan secara vertikal. Ada dua teknik standar untuk mengukur fotosintesis yaitu metode penyerapan 14C dan metode perubahan oksigen. Kedua metode mengukur secara langsung perubahan terus menerus dari substrat atau hasil fotosintesis dan masingmasing memiliki kekurangan dan kelebihan.
3. Cahaya Menurut Kirk (1994), intensitas dan distribusi spektrum radiasi matahari yang diterima oleh bumi adalah fungsi dari karakteristik emisi dan jarak dari matahari. Flux radiasi matahari yang menimpa permukaan bumi adalah sekitar 1,775 x 1014W, dan total energi radiasi yang diterima bumi dari matahari setiap tahun adalah sekitar 5,53 x 1024 J. Selanjutnya dikatakan pula, meskipun kondisi langit jernih, intenitas seberkas cahaya matahari secara nyata berkurang selama melewati seluruh atmosfir. Pengurangan intensitas ini, sebagian karena scatering oleh molekul-molekul udara dan partikel-partikel debu dan sebagain karena penyerapan oleh uap air, oksigen, ozon, dan karbon dioksida di atmosfer. Pada saat posisi matahari tegak lurus di atas kepala, total radiasi matahari pada suatu permukaan laut horizontal berkurang sekitar 14% karena penguapan, dan sekitar 40% karena kelembaban serta debu di atmosfer, dibandingkan terhadap nilai di
11 atas atmosfer. Ketinggian cahaya matahari di atmosfer juga berpengaruh terhadap radiasi cahaya matahari yang mencapai bumi. Menurut Levinton (1982), energi dari sumber cahaya matahari dapat disimbolkan dalam bentuk-bentuk unit energi, seperti Langley per menit (gcalm-2min-1). Sudut datang sinar matahari yang berbeda-beda dalam sehari, lintang, dan faktor-faktor lainnya berperan terhadap distribusi spektrum cahaya yang menimpa permukaan laut dan sejumlah tertentu akan dibaurkan balik. Distribusi spektrum cahaya yang menimpa permukaan laut tersebut, meliputi suatu bagian besar dari spektrum infra merah hingga ultraviolet, tetapi hanya bagian spektrum cahaya tampak yang berpenetrasi ke bagian yang lebih dalam. Cahaya berkurang dalam kolom air melalui penyerapan dan pembauran. Pembauran dapat dilakukan oleh molekul-molekul air, materi organik terlarut, materi inorganik dan organik pertikulat, dan plankton hidup itu sendiri. Cahaya matahari yang menembus permukaan laut akan mengalami dua perubahan penting. Pertama, energinya akan semakin berkurang secara eksponensial dan kedua, lebar spektrumnya semakin menyempit. Di perairan samudra, gelombang cahaya biru (475 nm) yang paling dalam dapat menembus laut, sedangkan di perairan pantai bergeser ke gelombang yang lebih panjang (hijau sampai kuning). Secara esensial semua serapan cahaya yang berlangsung di perairan alami disebabkan karena empat komponen dalam ekosistem perairan tersebut: air itu sendiri, pigmen-pigmen kuning (substansi humic) yang terlarut, biota fotosintesis, dan materi-materi partikulat yang mati (Kirk 1994). Menurut Levinton (1982), intensitas cahaya umumnya sangat tinggi dekat permukaan sehingga fotosintesis dapat terhambat melalui pemutihan (bleaching) pigmen fotosintesis seperti klorofil-a, atau produksi pigmen penangkap sinar matahari lainnya. Fotosintesis fitoplankton menggunakan klorofil-a, b, c, dan berbagai variasi accessory pigmen seperti fucoxantin dan peridinin, untuk menggunakan secara maksimal semua radiasi cahaya dalam spektrum cahaya tampak. Dalam penggunaan panjang gelombang 400-700 nm, cahaya yang diserap oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi atas (a) cahaya dengan panjang gelombang lebih besar dari 600 nm, diserap terutama oleh klorofil, dan (b) panjang gelombang cahaya kurang dari 600 nm, diserap terutama oleh accessory pigmen.
12 Kelompok-kelompok fitoplankton akan berespon secara berbeda terhadap jumlah intensitas cahaya matahari yang tiba. Respon ini kemudian menghasilkan fitoplankton yang senang cahaya sun type dan yang kurang senang dengan cahaya shade type. Tipe sun akan memiliki nilai fotosintesis yang tinggi pada intensitas cahaya yang juga tinggi. Yang tergolong tipe shade, akan beradaptasi dengan baik pada intensitas cahaya rendah, dan menghasilkan nilai fotosintesis yang tinggi pada intensitas cahaya rendah (Parsons et al. 1984).
4. Unsur hara Unsur hara merupakan faktor penting dalam proses produksi fitoplankton. Unsur hara ini ada yang dibutuhkan dalam jumlah banyak, ada pula yang sedikit. Parsons et al. (1984) membagi nutrien yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk fitoplankton menjadi dua bagian yaitu : (1) nutrien makro, dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, dan (2) nutrien mikro, dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Elemen-elemen yang termasuk nutrien makro antara lain C, H, N, P, Mg, dan Ca, sedangkan yang dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil termasuk nutrien mikro antara lain Fe, Mn, Cu, Si, Zn, Na, Mo, Cl, V, dan Co Menurut Hecky dan Kilham (1988) tiga unsur nutrien utama yang dibutuhkan fitoplankton adalah
P (fosfat), N (nitrogen), dan Si (silikat).
Kebutuhan akan nutrien sangat berbeda antara fitoplankton yang hidup di perairan tawar maupun perairan laut.
Howarth (1988) menyatakan bahwa umumnya
komposisi unsur-unsur C:N:P pada fitoplankton laut mengikuti raio Redfield yaitu 106:16:1, atau sedikit di bawah ratio tersebut. Tumbuhan memanfaatkan nitrogen dalam bentuk senyawa anorganik. seperti NO3-N dan NH3-N. Nitrogen diserap oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3-N) dan ammonia (NH3-N). Fitoplankton lebih menyukai menyerap ammonia daripada nitrat karena lebih banyak dijumpai baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik (Welch 1980). Selain itu, ammonia dapat secara langsung digunakan untuk sintesis asam amino tanpa merubah fase oksidasi (Levinton 1982). Menurut Effendi (2000), senyawa nitrogen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen bebas dalam air. Pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen
13 berubah menjadi amonia dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat. Fosfor tersedia di laut dalam bentuk fosfat (PO43-) terikat dalam berbagai molekul biologi seperti asam-asam amino, ADP, dan ATP (Miller 2004). Menurut Goldman dan Horne (1983) fitoplankton hanya dapat menggunakan fosfor dalam bentuk fosfat (PO4) untuk pertumbuhan. Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa fosfor di air laut berada dalam tiga bentuk utama yaitu fosfor anorganik terlarut, fosfor organik terlarut, dan fosfor partikulat. Fosfor merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Konsentrasi fosfor di perairan umumnya berkisar dari 0.001 sampai 0.005 ppm (Boyd 1981). Silikon merupakan unsur kedua setelah oksigen yang cukup melimpah di alam (25,75%), yang terutama bersumber dari batuan granit. Batuan ini menyebar di sekitar teluk dan mencapai pula sungai. Secara alami, pencucian silikon batuan akan menjadi sumber penting silikon di laut, yang dibawah oleh aliran sungai ke dalam teluk, dan menyebabkan konsentrasi silikat meningkat di perairan pantai dan estuari (Yang et al. 2005). Ditambahakan bahwa, hanya diatom dan beberapa flagellata dari Chrysophyceae yang membutuhkan sejumlah besar silikon. Silikat diserap oleh fitoplankton dalam bentuk SiO2.nH2O. Kebanyakan dari senyawa ini digunakan untuk membangun dinding sel fitoplankton dan sisanya untuk mengatur biosintesis dalam fitoplankton. Asam silika adalah suatu unsur air laut penting untuk dinding sel diatom. Berkurangnya silika menghasilkan terhambatnya pembelahan sel dan dapat menekan aktivitas metabolisme sel. Di perairan alami, pengurangan silika dapat membatasi populasi fitoplankton dan dapat pula menyebabkan suksesi fitoplankton dari diatom ke fitoplankton yang tidak membutuhkan silika (Levinton 1982). Respon komunitas fitoplankton terhadap peningkatan konsentrasi unsur hara di ekosistem perairan pantai memiliki hubungan penting dalam ekologi laut dan memiliki implikasi yang luas dalam bentuk kualitas air maupun perikanan. Siklus tahunan produktivitas fitoplankton diatur oleh PAR (Photosynthetically Available Radiation), suhu, dan regenerasi nitrogen.
Variasi antar tahunan dan variasi
musiman dalam biomassa fitoplankton terjadi karena berkaitan dengan responnya
14 terhadap variasi dalam masukan air tawar dan dengan variasi masukan nitrat (Malone et al.1988). Umumnya unsur hara yang paling membatasi pertumbuhan fitoplankton di air tawar adalah fosfor dan di laut adalah nitrogen.
Pada zona eufotik dari
kebanyakan perairan, penyerapan fitoplankton mengurangi unsur-unsur tersebut ke konsentrasi yang sangat rendah. Rasio atom dari ketersediaan N:P dalam sistem air tawar secara umum lebih besar dari 15:1, rasio yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton. Di perairan laut, rasio ketersediaan N:P cenderung sama atau lebih rendah dari rasio Redfield 16:1. Rasio N:P yang lebih tinggi di perairan tawar mengindikasikan bahwa P merupakan unsur pembatas di perairan tawar. Di sisi lain, pada perairan pantai N biasanya merupakan nutrien pembatas. Hasil ini sesuai dengan rasio N:P yang relatif rendah yang dijumpai pada sistem perairan laut (Caraco et al. 1987). Bukti yang mendukung nitrogen sebagai nutrien pembatas di perairan laut dikemukkan pula oleh Gibbs dan Vant (1997) bahwa di perairan laut terdapat kekurangan NH4 dan NO3, sedangkan PO4 terdapat dalam jumlah yang melimpah dan tidak pernah berkurang sepanjang periode studi tersebut. Hasil ini didukung pula oleh percobaan pengayaan nutriennya, yang menunjukkan bahwa penambahan NH4 meningkatkan laju pertumbuhan fitoplankton hingga 15 kali lipat, sedangkan penambahan PO4 memperlihatkan perbedaan yang kecil dengan kontrol. Smith (2006) menyatakan bahwa di kebanyakan perairan pantai yang memiliki sensitifitas terhadap nutrien, eutrofikasi dapat menyebabkan peningkatan laju produktivitas primer, perubahan biomassa alga dan tumbuhan makro, pergantian dalam komposisi jenis alga dan tumbuhan makro, pengurangan populasi ikan dan kerang-kerangan, pengurangan kecerahan, kehilangan keanekaragaman habitat perairan yang cocok, dan penurunan oksigen di peraian dasar. Selanjutnya dikatakan bahwa, rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan estuari sangat tergantung pada konsentrasi rata-rata dari total nitrogen dan fosfor pada kolom air tersebut. Lebih jauh, rasio TN:TP di kolom air dapat dijadikan indikator terhadap unsur hara yang potensial membatasi pertumbuhan fitoplankton.
15
5. Suhu Suhu air adalah salah
satu sifat fisika perairan yang secara langsung
dipengaruhi oleh adanya radiasi atau perambatan cahaya ke dalam perairan. Suhu air merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme perairan. Di perairan suhu air dapat mempengaruhi produktivitas primer baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh suhu air secara langsung yaitu dengan meningkatnya suhu yang masih pada kisaran toleransi organisme nabati, akan meningkatkan laju metabolisme dan aktivitas fitoplankton yang ada di dalamnya. Suhu air juga mempunyai pengaruh kuat terhadap perkembangan maupun penurunan populasi fitoplankton. Setiap jenis fitoplankton mempunyai suhu optimal untuk pertumbuhannya, tetapi dengan berbagai jenis yang bercampur di dalam perairan alami dengan suhu dari 0 sampai 30 °C terjadi kenaikan laju pertumbuhan pada seluruh komunitas yang sesuai dengan kenaikan suhu (Welch 1980). Reaksi biokimia dalam sel fitoplankton umumnya dipengaruhi suhu. Peningkatan suhu terjadi secara eksponensial sampai pada batas maksimum. Peningkatan ini biasanya bervariasi untuk masing-masing reaksi, yaitu antara 25 sampai 40 °C. Kisaran suhu tersebut mempengaruhi laju fotosintesis maksimal untuk komunitas fitoplankton (Harper 1992). Suhu dan salinitas mempengaruhi densitas air. Semakin dalam perairan, suhunya semakin rendah dan salinitas semakin meningkat, hingga rapat air juga meningkat yang selanjutnya membentuk stratifikasi yang kuat, dengan lapisan pegat (discontinuity) yang tajam yang akan sukar ditembus oleh fitoplankton (Raymont 1980). Suhu di lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air permukaan di wilayah tropis panas sepanjang tahun, yaitu 20-30°C. Di bawah air permukaan suhu mulai menurun dan mengalami penurunan yang sangat cepat pada kisaran kedalaman yang lebih dari 50-300 m (Nybakken 1988).
16
6. Kekeruhan Kekeruhan (turbiditas) adalah gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air tersebut (APHA 1989). Padatan terlarut dan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kekeruhan sangat berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Kekeruhan di perairan disebabkan oleh bahan organik tersuspensi, seperti liat, lempung, partikel karbonat, partikel organik halus, plankton, dan organisme renik lainnya. Bahan tersuspensi menyebabkan cahaya menjadi lebih tersebar dan diserap daripada ditransmisi. Ukuran dan karakteristik refraksi bahan partikel, secara optik penting untuk menunjang hubungan langsung dengan gravitasi spesifik dan konsentrasi suspensi. Pengukuran parameter ini sangat berguna untuk mengevaluasi stratifikasi secara mikro dari organisme-organisme antar lapisan perairan (Stewart et al. 1965, diacu dalam Wetzel dan Linkens 1979). Perairan yang mempunyai kekeruhan yang tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air, sehingga membatasi proses fotosintesis. Produktivitas perairan dapat berkurang apabila dalam perairan terjadi kekeruhan tinggi yang disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi.
7. Salinitas Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh pada fitoplankton. Variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah estuari khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batas-batas salinitas yang kecil atau stenohaline (Kaswadji et al. 1993). Nontji (1984) menyatakan bahwa meskipun salinitas mempengaruhi produktivitas individu fitoplankton namun umumnya peranannya tidak begitu besar, sedang Chua (1970), diacu dalam Nontji (1984) mengatakan di perairan pantai peranan salinitas mungkin lebih menentukan terjadinya suksesi jenis dari pada produktivitas secara keseluruhan. Karena salinitas bersama-sama dengan
17 suhu menentukan densitas air, maka salinitas ikut pula mempengaruhi pengambangan atau penenggelaman fitoplankton. Salinitas yang sesuai bagi fitoplankton adalah seperti yang dikemukakan oleh Sachlan (1982), yaitu di atas 20 promil biasanya ditemukan plankton laut. Salinitas seperti itu memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri di samping aktif melaksanakan proses fotosintesis.
III METODE 1. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini berlokasi di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta yang berada di wilayah administratif Kabupaten Bekasi (Gambar 1). Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Waktu pengukuran dan pengambilan contoh selama musim Timur dari bulan Juli sampai Agustus 2007. Pengukuran kualitas air dan pengambilan contoh air laut dilakukan tiga kali, yaitu tanggal 12 Juli, 29 Juli, dan 12 Agustus 2007.
2. Metode dan Desain Penelitian Penentuan titik pengambilan contoh Pada lokasi penelitian, dipilih tiga titik sebagai stasiun tempat dilakukan pengambilan contoh, yang ditentukan dari muara sungai ke arah laut. Stasiun 1 terletak tepat di muara sungai dengan posisi geografis pada 06o01’37,3’’ LS dan 106o59’32,2’’ BT, kedalaman rata-rata 1,3 m. Stasiun 2 dengan posisi geografis pada 06o01’44,4’’ LS dan 106o58’41.6’’ BT, berjarak 2.142 km dari stasiun 1, kedalaman rata-rata 5 m. Serta stasiun 3 dengan jarak 2.022 km dari stasiun 2, terletak pada posisi geografis 06o01’29,0’’ LS dan 106o57’36,1’’ BT, kedalaman 10 m. Pembagian stasiun sedemikian dimaksudkan agar dapat diperoleh gambaran tentang seberapa jauh pengaruh masukan dari daratan berperan di wilayah perairan ini. Dengan demikian, ketiga stasiun ini diharapkan akan mewakili pengaruh dari daratan, lepas pantai, dan kondisi peralihan dari keduanya. Pada masing-masing stasiun, ditetapkan titik pengambilan contoh air laut secara vertikal, yaitu 0,2 dan 1 meter pada stasiun 1 dan masing-masing 0,2, 1, 2, 3, dan 4 meter untuk kedua stasiun sisanya. Titik-titik pengambilan contoh secara vertikal masih berada dalam kisaran kedalaman eufotik. Pembagian atas beberapa kedalaman tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa nilai intensitas cahaya akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman serta adanya fluktuasi konsentrasi unsur hara secara vertikal.
19 106040’ E
106050’ E
107o00’ E
St.2
St.1
St.3
6000’ S
Sumber : Damar 2003
Sumber : http://www.googlemaps.com (Tgl 28 April 2007)
Stasiun pengambilan sampel
Gambar 1 Peta lokasi penelitian.
20
Teknik pengukuran dan pengambilan contoh air laut Pengukuran produktivitas primer dan kualitas air serta pengambilan contoh air dilakukan setiap dua minggu dengan ulangan sebanyak tiga kali.
Waktu
pengukuran dan pengambilan contoh air disesuaikan dengan waktu pengukuran produktivitas primer fitoplankton. Lama waktu inkubasi produktivitas primer adalah lima jam, dimulai dari jam 09:00–14:00 WIB. Contoh air diambil dengan menggunakan botol Van Dorn kapasitas 5 liter dari setiap kedalaman inkubasi. Contoh air didistribusikan pada wadah yang telah disediakan yaitu masing-masing untuk analisis unsur hara (0,25 l), klorofil-a (1 l), kekeruhan (0,1 l), dan produktivitas primer (1 l), serta fitoplankton (25 l). Khusus untuk analisis fitoplankton, contoh air diambil sebanyak lima kali dari masingmasing kedalaman inkubasi. Selain produktivitas primer, semua contoh air yang lain diawetkan dan disimpan dalam cool box hingga dianalisis di laboratorium. Metode yang digunakan untuk mengukur masing-masing parameter dimaksud disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Parameter utama dan penunjang yang diamati No
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9
A. Utama Intensitas Cahaya Ortofosfat Nitrat-Nitrogen Nitrit-Nitrogen Amonia-Nitrogen Silikat Klorofil-a Produktivitas Primer Fitoplankton
1 2 3 4
B. Penunjang Salinitas Kecerahan Kekeruhan Suhu
Satuan Lux μM μM μM μM μM mg m3 mgCm-3jam-1 Sel l-1 promil m NTU o C
Metode dan Alat Uji
Tempat
Luxmeter Asam molibdate, spektrofotometer Brusin sulfat, spektrofotometer Sulfanilamid, spektrofotometer Phenate, spektrofotometer Molibdosilicate, spektrofotometer Aseton 90%, spektrofotometer Teknik Oksigen, titrasi Pencacahan, mikroskop
in-situ Lab Lab Lab Lab Lab Lab In-situ Lab
Hand Refraktometer Visual, secchi disk Nefalometrik, turbiditymeter Pemuaian raksa, termometer
in-situ in-situ Lab in-situ
21
Unsur hara Contoh air dimasukkan ke dalam botol polyetilene 250 ml, kemudian
disimpan dalam pendingin sebelum dianalisis. Analisis unsur hara dimulai dengan menyaring 250 ml air tersebut melalui saringan nucleopore diameter 47 mm dan ukuran porositas 0,2 μm yang dibantu dengan memasang pompa vakum yang melewati suatu saringan gelas microfibre, guna mempercepat proses penyaringan.
Klorofil-a Air laut diambil sebanyak 1 l, dimasukkan ke dalam botol polyetilene
berwarna hitam dan disimpan dalam pendingan hingga dianalisis di laboratorium. Contoh air lalu disaring melalui gelas microfibre filter (Whatman GF/C, diameter 47 mm porositas 1,2 μm) dengan bantuan vakum pump. Hasil penyaringan diekstrak dalam 10 ml etanol 90% kemudian disentrifuge, supernatan hasil sentrifuge diukur absorbannya dengan spektrofotometer. Persamaan untuk menghitung kandungan klorofil-a merujuk pada APHA (1998) yaitu: Klorofil –a (mg/m3) =
26,7 x (664 b − 665 a ) x V 1 V2 x L
Keterangan : 664b 665a V1 V2 L 26,7
= Abs pada λ 664 nm – abs. pada λ 750 nm, sebelum pengasaman = Abs pada λ 665 nm – abs. pada λ 750 nm, sesudah pengasaman = Volume yang diekstrak (L) = Volume sampel (m3) = Panjang lintasan cahaya pada cairan dalam cuvet (cm) = Koreksi absorban
Cahaya Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan Luxmeter tipe Lutron LX-
101 (Digital Luxmeter Takemura Elektric Work. Ltd). Pengukuran intensitas cahaya dilakukan di atas permukaan perairan dengan interval waktu setiap 10 menit. Pengukuran dimulai dari jam 06:00 sampai 18:00 WIB. Dengan demikian akan diperoleh pola distribusi cahaya dalam sehari. Untuk mengetahui nilai intensitas cahaya di masing-masing kedalaman inkubasi digunakan hukum Lambert-Beer dalam Valiela (1995), yaitu :
22 Iz = Ioe-kz Keterangan : Iz Io k z
= = = =
Intensitas cahaya pada kedalaman z Intensitas cahaya pada permukaan perairan Koefisien peredupan cahaya Kedalaman
Koefisien peredupan cahaya dalam kolom air dihitung dari pembacaan kedalaman keping Secchi (Sd (m)), dengan menggunakan hubungan empiris k = 0,191 + 1,242/Sd (r2 = 0,853) (Tillman et al. 2000).
Produktivitas primer Produktivitas
primer
diukur
dengan
metode
botol
terang-gelap.
Produktivitas primer yang diukur dalam penelitian ini adalah produktivitas primer bersih. Prinsip kerjanya adalah mengukur perubahan kandungan oksigen dalam botol terang pada waktu awal dan akhir inkubasi, yang berisi air contoh setelah diinkubasi pada kedalaman perairan yang telah ditentukan. Konsentrasi oksigen terlarut diukur dengan cara titrasi Winkler. Produktivitas primer bersih dengan nilai oksigen terlarut dari metode ini kemudian dikonversi ke dalam satuan mgC/m3/jam. Prosedur serta rumus untuk perhitungan produktivitas primer selengkapnya merujuk pada Umaly dan Cuvin (1988) sebagai berikut:
NPP=
(O 2 BT) − (O 2 BA)(1000) x 0,375 (PQ) (t)
Keterangan : NPP O2BT O2BA 1000 PQ t 0,375
= = = = = = =
Fotosintesis bersih (mgC/m3/jam) Oksigen terlarut Botol terang akhir inkubasi (mg/l) Oksigen terlarut Botol terang awal inkubasi (mg/l) Konversi liter menjadi m3 Photosynthetic Quotient = 1,2. Lama inkubasi (jam) Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32)
Fitoplankton 25 liter air laut diambil dengan botol Van Dorn kapasitas 5 liter dari setiap
kedalaman inkubasi dan disaring pada plankton net ukuran mata 20 μm.
23 Untuk memperoleh 25 liter contoh air tersebut, pengambilan air laut diulang sebanyak 5 kali dari setiap kedalaman inkubasi. Air yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol contoh 100 ml kemudian diawetkan dengan larutan Lugol 1%, 1 ml lugol tiap
100 ml contoh air. Identifikasi jenis fitoplankton
dilakukan dengan menggunakan literatur di antaranya dari Allen and Cupp (1998), Tomas (1997), Yamaji (1979), Smith (1977), dan Davis (1955). Kelimpahan sel fitoplankton dihitung dengan metode strip berdasarkan APHA (1998) sebagai berikut : N = n x (1/Vd) x (Vt/Vcg) x (Oi/Op) Keterangan : N n Vd Vt Vcg Oi Op
= = = = = = =
Kelimpahan fitoplankton (sel/l) Jumlah sel yang tercacah (sel) Volume air contoh yang disaring (l) Volume air contoh yang tersaring (ml) Volume air di bawah cover glass (Sedwick Rafter Cell) (ml) Luas gelas penutup preparat (Sedwick Rafter Cell) (mm2) Luas strip yang teramati (mm2)
3. Teknik/Model Analisis Data Analisis ragam (ANOVA)
Analisis statistika ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nyata penyebaran parameter-parameter yang diukur antar stasiun dan kedalaman. Apabila terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut untuk mengetahui lokasi yang saling berbeda nyata. Analisis korelasi dan regresi
Analisis ini digunakan untuk mengukur derajat hubungan serta besarnya peranan antara variabel bebas (cahaya dan unsur hara) dengan variabel tak bebas (produktivitas primer).
Produktivitas Primer dengan Cahaya
Pola hubungan produktivitas primer dengan cahaya dianalisis dengan menggunakan model Von Platt (Platt et al. 1980) dengan rumus sebagai berikut :
24 Y = a (1-e-bX) e-cX Keterangan :
Y = Produktivitas primer X = Cahaya a,b,c = Konstanta
Produktivitas Primer dengan Unsur Hara
Untuk
mengetahui
peranan
masing-masing
unsur
hara
terhadap
produktivitas primer di setiap stasiun, dilakukan analisis regresi linier sederhana (Steel and Torrie 1989) sebagai berikut Y = a + bX Keterangan : Y = Produktivitas primer, X = Peubah bebas masing-masing nutrien (NH4-N, NO2-N, NO3-N, dan PO4) a = Koefisien Regresi b = Interseps
Nilai koefisien korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui keeratan dan arah hubungan antara variabel bebas dan tak bebas, yang nilainya berkisar antara 0 dan ± 1 (-1≤ r ≤1). Arah hubungan dapat berpola searah (positif), berkebalikan (negatif) atau tidak ada pola arah hubungan (r = 0). Besarnya peranan peubah X terhadap Y ditentukan melalui nilai koefisien penentu (R2) hasil regresi. Dengan kata lain koefisien penentu menyatakan persentase penyimpangan (keragaman) peubah tak bebas Y yang dapat diterangkan oleh peubah bebas X dalam model regresi tersebut. Analisis data dilakukan secara komputasi dengan menggunakan program aplikasi statistika diantaranya SPSS versi 13, KaleidaGraph versi 3,06, dan Mixrosoft Exel 2003.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Parameter Penunjang Salinitas
Variasi salinitas yang terjadi pada stasiun 1-3 disajikan pada Gambar 2, dan Lampiran 1. Pengukuran salinitas yang dilakukan pada tiap stasiun menunjukkan adanya fluktuasi. Kisaran nilai salinitas yang teramati berkisar antara 20–34 promil. Salinitas antar kedalaman inkubasi di masing-masing stasiun dan salinitas antar stasiun pada masing-masing kedalaman inkubasi tidak menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA, p>0,05). Salinitas rata-rata terendah terukur pada stasiun 1 yang terletak tepat di muara sungai, sedangkan nilai tertinggi tercatat pada stasiun 3 yang terletak paling jauh dari muara sungai. Hal ini mengindikasikan terjadinya pengenceran air laut bersalinitas tinggi di muara sungai oleh masukan air tawar dari daratan sehingga menurunkan salinitas di stasiun 1 tersebut. Sesuai dengan pendapat Sachlan (1982), nilai salinitas yang terukur ini berada dalam kisaran yang mendukung perkembangan fitoplankton perairan laut.
36
Salinitas (promil)
34 32 30
KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
28 26 24 22 20 1
2
3
Stasiun
Gambar 2 Rataan nilai salinitas terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah kedalaman Inkubasi).
26 Pola penyebaran salinitas yang demikian juga sama seperti yang dilaporkan oleh Damar (2003), Zudiana (1997), Kaswadji et al. (1993), dan Nontji (1984), dengan perbedaan yang hanya terletak pada besarnya kisaran nilai yang diperoleh. Pola demikian mencerminkan adanya masukan air tawar dari daratan – terutama melalui sungai - (Damar 2003).
Suhu
Suhu perairan selama penelitian ditampilkan dalam Gambar 3 dan Lampiran 1. Fluktuasi suhu yang teramati selama penelitian tidak menunjukkan variasi yang besar, baik antar stasiun maupun antar kedalaman inkubasi. Berdasarkan analisis ragam antar stasiun di setiap kedalaman serta antar kedalaman pada masing-masing stasiun, tidak memperlihatkan adanya perbedaan nyata (ANOVA, p>0,05). Hal ini dimungkinkan karena kondisi cuaca selama pengamatan relatif sama. Nontji (1984) mendapatkan adanya korelasi yang nyata antara suhu air dengan kecepatan angin dan kelembaban di perairan ini. Namun demikian dari Gambar 3, terlihat bahwa semakin dalam perairan dan semakin ke arah laut suhu cenderung mengalami sedikit penurunan. KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
Suhu (oC)
30
29
28
27 1
2
3
Stasiun
Gambar 3 Rataan nilai suhu terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi). Kisaran suhu pada ketiga stasiun dan kedalaman yang terukur selama penelitian berkisar 27,2–29,0 oC.
Kisaran tersebut tidak jauh berbeda bila
27 dibandingkan dengan hasil pengamatan peneliti lain di perairan ini dan wilayah Teluk Jakarta lainnya, yang berkisar 27,5–31 oC (Damar 2003, Zudiana 1997, Syam 2002, Kaswadji et al. 1993; Nontji 1984).
Kedalaman Secchi, Kekeruhan, dan Padatan Tersuspensi Total
Kedalaman pembacaan cakram Secchi pada stasiun 1-3 selama penelitian ini memberikan hasil seperti tercantum dalam Tabel 2 . Kisaran nilai yang terukur berkisar dari 0,49–3,72 m. Kedalaman Secchi yang relatif tinggi ditemui pada stasiun yang letaknya cenderung jauh dari muara sungai. Nilai ini hampir sama dengan yang diperoleh Zudiana (1997) yang berkisar dari 0,1 m di mulut muara sampai 5 m pada stasiun terjauh dari muara. Tabel 2 Kedalaman Secchi (Secchi depth (Sd)) yang terukur pada ketiga stasiun selama penelitian Stasiun 1
2
3
Pengamatan ke1 2 3 1 2 3 1 2 3
Sd (m) 0,50 0,49 0,62 2,50 2,70 2,50 3,00 3,72 2,80
Kekeruhan yang terukur selama penelitian disajikan pada Gambar 4 dan Lampiran 1. Nilainya berkisar antara 1,58–90,50 NTU. Nilai ini dapat dibandingkan pula dengan hasil Zudiana (1997) yakni 4–95 NTU. Semakin jauh dari muara sungai, kekeruhan cenderung menunjukkan penurunan. Kekeruhan di stasiun 1 pada kedalaman 0,2 dan 1 m, berbeda nyata (ANOVA, p<0,05) dari kedalaman yang sama pada kedua stasiun berikutnya. Kekeruhan di stasiun 2 pada kedalaman 4 m juga berbeda nyata dari kedalaman yang sama di stasiun 3, sedangkan pada kedalaman yang lain tidak memperlihatkan perbedaan nyata. Kekeruhan pada stasiun 1 dan 2 meningkat dengan bertambahnya kedalaman, tetapi di stasiun 3 menurun dengan bertambahnya kedalaman. Di stasiun 1 dan 3
28 kekeruhan antar kedalaman tidak berbeda nyata (ANOVA, p<0,05), sedangkan pada stasiun 2 kekeruhan pada kedalaman 4 m berbeda nyata (ANOVA, p<0,05) dengan kedalaman lainnya. Kekeruhan menunjukkan hubungan terbalik dengan kedalaman Secchi (Tabel 2 dan Gambar 4). Hal ini berarti bahwa, semakin tinggi kekeruhan maka kedalaman Secchi akan berkurang. Dengan kata lain secara horizontal, semakin jauh dari muara sungai kedalaman Secchi meningkat sedangkan kekeruhan menurun. 70
KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
Nilai kekeruhan (NTU)
60 50 40 30 20 10 0 1
2 Stasiun
3
Gambar 4 Rataan nilai kekeruhan terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi). Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid disingkat TSS) menunjukkan nilai yang bervariasi, baik antar stasiun maupun kedalaman inkubasi (Gambar 4). Penurunan TSS antar stasiun terjadi seiring dengan semakin jauh letak stasiun dari muara sungai. TSS pada kedalaman 0,2 m di stasiun 1 berbeda nyata (ANOVA, p<0,05) dengan yang di stasiun 2, namun tidak berbeda nyata dengan stasiun 3 (ANOVA, p>0,05). Pada kedalaman 1 meter, TSS di stasiun 1 berbeda nyata dengan yang di stasiun 2 dan 3 (ANOVA, p<0,05), serta pada kedalaman 4 m TSS di stasiun 2 berbeda nyata dengan yang di stasiun 3 (ANOVA, p<0,05). Meskipun terdapat sedikit variasi, namun nilai TSS cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Hasil analisis sidik ragam TSS antar kedalaman di stasiun 1 menunjukkan bahwa kedalaman 0,2 berbeda nyata (ANOVA, p<0,05) dengan kedalaman 1 m, sedangkan di stasiun 2 dan 3
29 tidak terdapat perbedaan nyata (ANOVA, p>0,05). TSS maksimum yang diperoleh ini sedikit lebih kecil dari hasil yang diperoleh Zudiana (1997) yakni 144-323 mg/l.
KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
Konsentrasi TSS (mg/l)
250 200 150 100 50 0 1
2 Stasiun
3
Gambar 5 Rataan TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan terlarut terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi). Pola variasi horizontal ketiga variabel ini menunjukkan adanya pengaruh masukan material terlarut dan tersuspensi dari daratan disamping proses pencampuran vertikal massa air. Masukan partikel terlarut, tersuspensi maupun bahan-bahan organik dan anorganik lainnya dari darat melalui aliran sungai akan meningkatkan nilai kekeruhan dan TSS sehingga menurunkan kedalaman Secchi di stasiun yang lebih dekat dengan muara sungai. Semakin ke arah darat, kedalaman perairan semakin berkurang, konsekuensinya pengaruh gerakan arus dan pasang surut akan sampai pada dasar perairan yang menyebabkan pengadukan dasar laut. Pengadukan dasar perairan ini akan melepaskan partikel-partikel dari dasar ke kolom air di atasnya sehingga meningkatkan TSS dan kekeruhan yang berakibat pada penurunan kecerahan. Hal ini pula yang menjelaskan pada kedalaman terdalam di stasiun 1 dan 2 memiliki nilai TSS dan kekeruhan lebih tinggi dari kedalaman-kedalaman di atasnya.
30
2. Unsur Hara
Ammonium-N (NH4-N), Nitrit-N (NO3-N), dan Nitrat-N (NO3-N)
Kisaran konsentrasi ammonium hasil pengukuran selama periode pengamatan pada stasiun 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 0,241-4,753 μM, 0,3064,951 μM, dan 0,192-3,444 μM (Lampiran 1). Hasil ini hampir sama dengan yang diperoleh Zudiana (1997) dan Kaswadji et al. (1993) yakni berturut-turut 0,3354,170 μM dan 1.00-2,30 μM, namun lebih tinggi dari nilai yang diperoleh Kononen et al. (1996) di laut Baltik yaitu berkisar antara 0,14–0,39 μM. Pola distribusi vertikal ammonium untuk ketiga stasiun cenderung sama serta tidak berbeda nyata (ANOVA, p>0,05) (Gambar 6). Konsentrasi ammonium memperlihatkan nilai maksimum pada permukaan perairan kemudian menurun sampai mencapai nilai terendah di lapisan kedalaman 2 m dan meningkat lagi secara perlahan seiring dengan penambahan kedalaman perairan. Sebaran konsentrasi ammonium antar stasiun pada masing-masing kedalaman inkubasi juga memperlihatkan sedikit variasi. Konsentrasi ammonium memperlihatkan nilai yang menurun ke arah laut namun tidak berbeda nyata (ANOVA, p>0,05).
KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
6
Konsentrasi (μM)
5 4 3 .
2 1 0 1
2
3
Stasiun
Gambar 6 Rataan ammonium-nitrogen (NH4-N) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi).
31 Diduga sumber utama unsur ini berasal dari daratan terutama dari limbah rumahtangga dan pertanian yang masuk melalui aliran sungai disamping sumbersumber non-point source lainnya (Damar 2003). Lokasi yang dekat dengan muara sungai cenderung menerima ammonium dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun yang letaknya agak jauh dari muara sungai, sehingga memperlihatkan perbedaan konsentrasi ke arah laut (jauh dari muara). Meskipun terdapat variasi konsentrasi antar kedalaman dan lokasi, akan tetapi secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata. Kisaran hasil pengukuran nitrit selama periode pengamatan adalah 0,0431,652 μM di stasiun 1, 0,130-1,522 μM di stasiun 2, dan 0,130-0,891 μM di stasiun 3 (Lampiran 1). Nilai ini hampir sama dengan hasil Zudiana (1997) yaitu 0,043-1,739 μM. Di antara ketiga bentuk nitrogen yang diukur, konsentrasi nitrit selalu ditemukan lebih rendah dari kedua bentuk nitrogen lainnya. Hal ini karena nitrit merupakan bentuk nitrogen yang tidak stabil, sehingga senyawa ini mudah mengalami perubahan menjadi ammonium atau nitrat.
1,8
KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
1,6
Konsentrasi (μM)
1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 1
2
3
Stasiun
Gambar 7 Rataan nitrit-nitrogen (NO2-N) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah kedalaman Inkubasi). Sebaran nitrit antar stasiun untuk semua kedalaman memperlihatkan penurunan ke arah laut, kecuali pada kedalaman 0,2 m di satasiun 1
32 konsentrasinya lebih kecil dari stasiun 2 serta pada kedalaman 3 m di stasiun 2 yang juga lebih kecil dari stasiun 3 (Gambar 7). Di stasiun 1 pada kedalaman 1 m, kadar nitrit dua kali lebih besar dari permukaan. Pada stasiun 2 dan 3, sebaran menegak cenderung memperlihatkan variasi nilai yang tidak besar, kecuali pada kedalaman 2 m di stasiun 2 yang konsentrasinya hampir dua kali lebih besar dari kedalaman yang lain, dan merupakan nilai maksimum di stasiun ini. Hasil analisis ragam menunjukkan tiadanya perbedaan nyata antar stasiun maupun kedalaman (ANOVA, p>0,05). Konsentrasi nitrat di stasiun 1 berkisar antara 1,016-19,274 μM, stasiun 2 sebesar 0,742-7,916 μM, dan di stasiun 3 berkisar 0,081-9,219 μM (Lampiran 1), kisaran nilai maksimum yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil yang diperoleh Zudiana (1997) yang berkisar 1,274-6,871 μM, masih berada dalam kisaran yang diperoleh Liu & Dagg (2003) di plume Sungai Missisipi yaitu antara 0,075-37,01 μM, namun lebih besar dari konsentrasi yang diperoleh Kononen et al. (1996) di laut Baltik sebesar 0,03-0,04 μM. Konsentrasi nitrat cenderung memperlihatkan nilai yang lebih besar pada kedalaman perairan yang lebih dalam (Gambar 8). Sampai dengan kedalaman 1 m, stasiun yang berada dekat muara memiliki konsentrasi yang lebih tinggi berturut-turut sampai stasiun yang terjauh, sedangkan dari kedalaman 2 sampai 4 m konsentrasi nitrat meningkat ke arah laut. Di masing-masing stasiun, variasi perbedaan penyebaran antar kedalaman tidak besar. Secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata (ANOVA, p>0,05) penyebaran nitrat antar stasiun pada setiap kedalaman maupun antar kedalaman di masing-masing stasiun. Menurut Millero dan Sohn (1992) bila konsentrasi nitrat di perairan di bawah 0,7 μM maka pembelahan sel fitoplankton akan berhenti. Untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat 0,9-3,5 mg/L atau setara dengan 14,515-56,453 μM (Mackenthum 1969).
Jika konsentrasi
nitrat menurun sampai sekitar 6 μM menunjukkan telah terjadi penyerapan nitrat dengan cepat oleh fitoplankton (Goes et al. 2004).
33
20 18
KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
Konsentrasi (μM)
16 14 12 10 8 6 4 2 0 1
2 Stasiun
3
Gambar 8 Rataan nitrat-nitrogen (NO3-N) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi).
Ortofosfat (PO4-P)
Berdasarkan hasil pengukuran selama pengamatan, konsentrasi ortofosfat berkisar 0,021-1,295 μM, 0,053-1,191 μM, dan 0,032-1,243 μM berturut-turut pada stasiun 1, 2, dan 3 (Lampiran 1). Nilai-nilai tersebut berada dalam kisaran yang diperoleh Kaswadji et al, (1993) yaitu 0,045-0,265 μM, dan Zudiana (1997) berkisar 0,084-0,526 μM di lokasi yang sama, serta Liu & Dagg (2003) di plume Sungai Missisipi berkisar 0,07-0,62 μM, namun lebih besar dari hasil yang dicatat Diaz et al. (2001) di perairan pantai Mediterania oligotrof yaitu kurang dari 0,04
μM.
Sebaran ortofosfat baik secara horizontal
maupun vertikal
memperlihatkan pola yang bervariasi (Gambar 9). Tidak ada perbedaan nyata penyebaran fosfat antar stasiun dari masing-masing kedalaman mulai permukaan sampai 4 m, demikian pula antar kedalaman dalam stasiun yang sama tidak memperlihatkan perbedaan nyata (ANOVA, p>0,05). Fosfat memainkan peranan penting sebagai penyedia sumber energi dalam proses fotosintesis. Millero dan Sohn (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan semua
jenis
fitoplankton
tergantung
pada
konsentrasi
ortofosfat,
bila
konsentrasinya di bawah 0,3 μM maka perkembangan sel menjadi terhambat.
34 Untuk
pertumbuhan
optimum
fitoplankton,
konsentrasi
ortofosfat
yang
dibutuhkan berkisar 0,27-5,51 mg/L atau setara dengan 2,843-58,017 μM (Bruno et al. dalam Widjaja et al. 1994).
KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
1,2
Konsentrasi (μM)
1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 1
2
3
Stasiun
Gambar 9 Rataan ortofosfat (PO4) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi). Silikat (SiO2)
Kisaran konsentrasi silikat yang diperoleh selama pengamatan masingmasing di stasiun 1 adalah 3,196-10,019 μM, di stasiun 2 sebesar 0,017-3,745 μM, dan di stasiun 3 berkisar 0,033-2,913 μM (Gambar 10 dan Lampiran 1), sedikit lebih kecil dari hasil penelitian Kaswadji et al. (1993) berkisar 5,40-11,80 μM, dan Liu & Dagg (2003) di plume Sungai Missisipi berkisar 0,71-24,75 μM, namun lebih besar dari hasil yang dicatat Diaz et al. (2001) di zona perairan pantai Mediterania oligotrof sebesar 1-2 μM.
Konsentrasi silikat sampai dengan
kedalaman 1 m memperlihatkan perbedaan nyata (ANOVA, p<0,05) antar stasiun 1 dengan stasiun 2 dan 3, sedangkan antar stasiun 2 dan 3 untuk semua kedalaman inkubasi tidak berbeda nyata (ANOVA, p>0,05). Pola demikian mengindikasikan adanya masukan silikat dari daratan yang terbawa melalui aliran sungai. Penyebaran secara vertikal atau antar kedalaman di masing-masing stasiun tidak menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA, p>0,05).
35
10
KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
Konsentrasi (μM)
8
6
4
2
0 1
2 Stasiun
3
Gambar 10 Rataan silikat (SiO2) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi). Tingginya kandungan unsur hara di suatu perairan pantai antara lain disebabkan oleh masukan dari daratan melalui sungai atau sumber-sumber lain yang berada di sepanjang perairan pantai, di samping pula oleh adanya pengayaan dari lapisan lebih dalam karena penaikan massa air (upwelling) maupun pengadukan dasar laut (turbulensi atau mixing).
Dikemukakan oleh
Valiela (1995) bahwa masukan sungai dan air tawar lainnya sering merupakan sumber utama nutrien untuk beberapa perairan pantai. Ditambahkan oleh Alongi (1997) bahwa ketersediaan nutrien di estuari dan perairan pantai ditentukan di antaranya oleh proses fisika seperti laju flushing dan pencampuran atau pengenceran air, reaksi kesetimbangan geokimia, dan proses biologi karena aktivitas fitoplankton dan bakteri. Liu et al. (2003) memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan bahwa transport air sungai adalah cara utama unsur hara terlarut dari darat ke laut. Konsentrasi semua unsur hara pada penelitian ini umumnya tinggi di muara sungai (Stasiun 1), menggambarkan adanya peranan air tawar yang mengalirkan unsur hara dari sumber-sumber di daratan.
Sumber tersebut di
samping berasal dari limbah rumahtangga, pertanian, dan industri, limbah yang berasal dari kegiatan budidaya udang di wilayah ini juga memiliki peranan
36 penting terhadap beban masukan tersebut. Sesampai di perairan pantai, semua konsentrasi unsur hara memperlihatkan penurunan ke arah laut (Gambar 6-10), hal ini terjadi sebagai akibat dari pengenceran air sungai oleh air laut. Fenomena ini merupakan hal yang umumnya terjadi pada perairan pantai atau teluk yang memperoleh masukan air sungai, seperti yang teramati juga di Teluk Meksiko Utara (Liu & Dagg 2003), di Teluk Chesapeake (Malone et al. 1988), dan di Teluk Jiaozhou China (Yang et al. 2005). Distribusi konsentrasi semua unsur hara secara vertikal pada masingmasing stasiun yang teramati dalam penelitian ini memperlihatkan variasi yang kecil. Dengan kata lain, rata-rata konsentrasi semua unsur hara menyebar hampir seragam dari permukaan ke arah dasar laut di setiap stasiun.
Hal ini
menggambarkan tidak terdapatnya stratifikasi unsur hara pada lapisan yang lebih dalam secara permanen. Keadaan ini terjadi akibat adanya pencampuran massa air secara vertikal sehingga mengaduk dan menyebarkan unsur hara antar lapisan dalam kolom air, di samping juga berkaitan dengan proses penyerapan unsur hara akibat aktivitas fotosintesis fitoplankton. Hasil penelitian oleh Seuront et al. (2002) di perairan pantai yang teraduk oleh pasang surut menyimpulkan bahwa sebaran dan pengelompokan unsur hara dalam skala kecil dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara kondisi-kondisi hidrodinamika, proses biologi yang terkait dengan populasi fitoplankton, dan efisiensi produksi populasi bakteri. Valiela (1995) menyatakan, meskipun di perairan pantai yang biasanya kaya nutrien, unsur hara dapat berkurang di zona eufotik karena penggunaan oleh fitoplankton akan mengurangi bagian terbesar dari ketersediaan nutrien. Rasio molar DIN (penjumlahan semua spesies nitrogen) terhadap PO4 bervariasi namun pada umumnya berada di atas rasio fisiologis Redfield 16:1 (Howarth 1988) (Lampiran 1). Kisaran nilainya berturut-turut di stasiun 1 berkisar dari 17-68:1 (35±19), di stasiun 2 dari 8-45:1 (23±11), dan di stasiun 3 dari 5-25:1 (17±7). Nilai demikian menunjukkan bahwa beban masukan unsur hara lebih didominasi oleh nitrogen daripada fosfor (dengan asumsi laju penyerapan fitoplankton dan regenerasi nitrogen dan fosfat adalah sama) (Howarth 1988). Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa perairan laut dibatasi oleh nitrogen sedangkan perairan tawar menjadikan fosfor sebagai pembatas (Howarth, 1988; Hecky &
37 Kilham 1988; Smith 1984). Rasio ini sering digunakan untuk mengetahui unsur hara mana yang berpotensi membatasi pertumbuhan dan produktivitas fitoplankton (Damar 2003). Menurut Howarth (1988) untuk berbagai ekosistem perairan, ada tiga faktor kontrol utama terhadap apakah nitrogen atau fosfor yang menjadi pembatas yang meliputi : a). Rasio N:P dalam input nutrien eksternal. b). Apakah N atau P yang lebih dulu hilang dari zona eufotik karena proses-proses biogeokimia seperti denitrifikasi, sedimentasi, dan adsorpsi, serta c). Tingkat dari berbagai kekurangan ketersediaan nitrogen dipenuhi melalui fiksasi nitrogen. Sebagai hasil dari ketiga proses tersebut, ekosistem estuari dan perairan pantai lebih dibatasi nitrogen dari pada di danau. Tetapi ada pula kejadian bahwa beberapa estuari dibatasi oleh fosfor atau bergantian secara musiman antara pembatasan fosfor dan pembatasan nitrogen.
3. Intensitas Cahaya Matahari
Intensitas cahaya matahari di udara bervariasi dari waktu ke waktu. Variasi nilai-nilai ini terjadi akibat adanya berbagai zat di udara yang menyerap maupun membaurkan seberkas cahaya yang melewatinya, letak lintang, posisi matahari di atas cakrawala, dan penutupan awan (Valiela 1995). Selain itu, perbedaan intensitas dalam sehari juga dipengaruhi atau mengikuti siklus pencahayaan harian. meningkat
Pada pagi hingga tengah hari, intensitas akan bergerak
sampai mencapai maksimum kemudian menurun lagi sampai
terbenamnya matahari (Barnes & Huges 1982). Dalam siklus harian tersebut, nilai pencahayaan maksimum diperoleh pada tengah hari sedangkan minimum dijumpai pada pagi hari saat matahari baru terbit dan menjelang malam ketika matahari akan tenggelam. Dalam penelitian ini waktu ketika intensitas mencapai maksimum cenderung sama (Lampiran 2, Gambar 11). Pada pengamatan I intensitas maksimum terjadi pada pukul 12,00 dengan nilai 65,60 Klux, pengamatan II pukul 12,10 WIB nilainya 73,00 Klux, dan pengamatan III pada pukul 12,00 WIB sebesar 64,00 Klux, dengan nilai rata-rata terbesar antar waktu pengamatan
38 sebesar 65,97 Klux terekam pada pukul 12,00 WIB. Besarnya intensitas minimum yang tercatat adalah 0,025 Klux (pengamatan I jam 18,00 WIB), 0,039 Klux (pengamatan II jam 06,00 WIB), dan 0,038 Klux (pengamatan III jam 18,00 WIB), sedangkan nilai rata-rata terkecil untuk ketiga waktu pengamatan tercatat sebesar 0,035 Klux pada jam 18,00 WIB. Intensitas cahaya yang mencapai permukaan laut, juga menunjukkan pola yang sama dengan intensitas yang tiba di atas permukaan laut (Gambar 11). Perbedaannya hanya terletak pada besarnya nilai intensitas cahaya matahari yang telah berkurang sekitar 10% (Lampiran 3) atau dengan kata lain, hanya 90% dari seberkas cahaya yang tiba di atas permukaan laut akan sampai tepat di permukaan laut (Kirk 1994; Iwasaka et al. 2000). Intensitas yang tiba di permukaan laut ini akan berpenetrasi ke kedalaman yang lebih dalam. Penetrasi cahaya ini penting guna menyediakan cahaya di berbagai kedalaman, sehingga mendukung prosesproses fisika maupun kimia yang berlangsung di kolom air maupun organisme yang menghuni kolom air dimaksud.
Udara Laut
70 60
ICM (Klux)
50 40 30 20 10 18:00
17:00
16:00
15:00
14:00
13:00
12:00
11:00
10:00
9:00
8:00
7:00
6:00
0
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 11 Distribusi intensitas cahaya matahari (Klux) di atas permukaan air (udara) dan tepat di permukaan perairan. Besarnya penetrasi cahaya yang kemudian mempengaruhi ketersediaan cahaya, bergantung pada tingkat kecerahan dari perairan. Semakin cerah perairan maka ketersediaan cahaya pada kedalaman yang lebih dalam semakin besar, sebaliknya semakin keruh perairan maka penetrasi cahaya akan terhambat dan hanya sebagian kecil cahaya yang tersedia di kedalaman yang lebih dalam
39 (Parsons et al. 1984; Kirk 1994). Besarnya bagian cahaya yang berkurang dengan bertambahnya kedalaman dapat didekati, dengan lebih dulu menghitung koefisien peredupan. Nilai koefisien ini mencerminkan integrasi kehilangan cahaya oleh faktor-faktor seperti, molekul air, substansi-substansi humus (pigmen-pigmen kuning) yang terlarut, biota fotosintesis, dan material pertikulat yang mati dalam perairan tersebut (Kirk 1994). Koefisien peredupan selama penelitian ini berbanding lurus dengan tingkat kekeruhan tetapi berbanding terbalik dengan kedalaman Secchi. Nilainya berturutturut menunjukkan bahwa stasiun yang dekat dengan muara sungai memiliki nilai koefisien peredupan yang terbesar dibandingkan dengan stasiun yang semakin jauh ke tengah laut (Tabel 3). Pola ini mendukung hasil yang dijumpai oleh Damar (2003) pada perairan Teluk Jakarta lainnya terutama di muara sungai Angke, Priok, dan Marunda. Ditambahkan pula bahwa, aliran air sungai yang membawa serta partikel organik dan inorganik terlarut dan tersuspensi serta pencampuran vertikal massa air memegang peranan penting dalam meningkatkan nilai koefisien peredupan di stasiun dekat muara.
Tabel 3 Hasil perhitungan nilai koefisien peredupan (k’m-1) menurut stasiun dan waktu pengamatan (Perhitungan mengacu kepada Tillman et al. 2000) Stasiun 1
2
3
Pengamatan ke1 2 3 1 2 3 1 2 3
k' 2,68 2,73 2,19 0,69 0,65 0,69 0,61 0,52 0,63
Berdasarkan nilai koefisien peredupan di tiap-tiap stasiun tersebut maka besarnya bagian cahaya pada kedalaman inkubasi dapat dihitung.
Meskipun
besarnya intensitas cahaya di permukaan perairan (0 m) adalah sama karena menggunakan data yang sama (Lampiran 2), namun berbedanya koefisien peredupan menyebabkan intensitas yang ada pada kedalaman berikutnya turut
40 bervariasi (Lampiran 4). Variasi intensitas tersebut memperlihatkan penurunan secara eksponensial dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 12).
Intensitas cahaya matahari (Klux)
Intensitas cahaya matahari (Klux) 0
10
20
30
40
0
50
1
8.2 % 3.1 %
30
40
50 87.3 %
50.8 %
2
3 4 5
20
1
60.3 %
Stasiun 1
6 7
25.9 %
3
Kedalaman (m)
Kedalaman (m)
2
10
0
0
13.2 %
4
6.7 %
5
3.2 %
Stasiun 2
6 7 8
8 9
9
10
10
Intensitas cahaya matahari (Klux) 0
10
20
30
40
50
0 88.9 %
1 55.7 %
2
31.1
3 4
17.4 % 9.8 %
5 6
Stasiun 3
7 8
1.0%
9 10
0.3%
Gambar 12 Hasil perhitungan intensitas (Klux) dan persentase (%) cahaya matahari pada kedalaman inkubasi serta pada dasar perairan (Bar menunjukkan standar deviasi). Secara horizontal ketersediaan cahaya di stasiun 1 pada kedua kedalaman inkubasi lebih kecil dan berbeda nyata (ANOVA, p<0,05) dari kedalaman yang sama pada stasiun 2 dan 3. Perbedaan penyebaran antar stasiun ini bersesuaian dengan penyebaran TSS dan kekeruhan, dua faktor yang turut berperan mempengaruhi sifat optik perairan. Secara vertikal di ketiga stasiun semakin ke dasar perairan ketersediaan cahaya berkurang dan berbeda nyata antar masing-
41 masing kedalaman tersebut (ANOVA, p<0,05). Intensitas cahaya pada kedalaman 1 m di stasiun 1 sangat jauh berkurang dibandingkan dengan kedalaman 0,2 m pada stasiun yang sama maupun kedalaman yang sama pada stasiun 2 dan 3, dan hampir setara dengan intensitas di kedalaman 4 m pada stasiun 2 dan 3. Di dasar perairan pada stasiun 1 dan 2, nilai intensitas cahaya relatif sama namun lebih besar dari yang di stasiun 3. Hal ini menggambarkan bahwa pada kolom air dari permukaan sampai ke dasar, terjadi penurunan instensitas cahaya yang sangat besar akibat adanya partikel-pertikel tersuspensi yang berasal dari sungai maupun resuspensi sedimen dasar. Menurut Cloern (1996), kondisi seperti ini umum terjadi pada ekosistem perairan pantai dangkal, estuari, dan teluk yang mendapat pengaruh masukan air sungai serta pengaruh mixing oleh arus pasang surut dan tekanan angin. Berdasarkan pola penyebaran intensitas cahaya demikian maka dapat dinyatakan setidaknya tiga hal. Pertama, di stasiun 3 pada kedalaman sekitar 8 m intensitas cahaya yang tersedia adalah sekitar 1% dari intensitas cahaya permukaan. Nilai intensitas ini sering dipakai sebagai petunjuk batas bawah lapisan eufotik (Kirk 1994; Valiela 1995) dan sering pula dianggap sebagai kedalaman kompensasi (Valiela 1995). Kedua, kecuali pada stasiun 3, kolom air sampai ke dasar merupakan lapisan yang berpotensi produktif karena adanya cahaya. Ketiga, kedalaman inkubasi untuk pengukuran produktivitas primer dengan demikian masih berada dalam zona eufotik di ketiga stasiun ini.
4. Fitoplankton
Jumlah Genera
Ada tiga kelas fitoplankton yang berhasil diidentifikasi pada stasiun penelitian selama pengamatan. Bacillariophyceae merupakan kelas dengan jumlah genera yang mendominasi semua stasiun maupun kedalaman inkubasi. Kelas berikutnya yang ditemukan adalah Cyanophyceae yang hanya disusun oleh satu genera fitoplankton. Kelas terakhir adalah Dinophyceae yang memiliki jumlah genera sedikit bervariasi baik antar stasiun maupun kedalaman. Secara
42 keseluruhan, terdapat 38 genera fitoplankton yang terdiri dari 29 genera dari kelas Bacillariophyceae, 1 genera dari kelas Cyanophyceae dan 8 genera dari kelas Dinophyceae (Lampiran 5, 6, dan 7). Distribusi masing-masing genera menurut stasiun dan kedalaman inkubasi disajikan pada Gambar 13. Pola distribusi kelas maupun jumlah genera secara vertikal dan horizontal hampir sama pada semua stasiun. Pada stasiun 1, total genera lebih tinggi ditemukan pada kedalaman 1 m yang didominasi oleh genera dari kelas Bacillariophyceae. Stasiun 2, kelas Bacillariophyceae memiliki jumlah genera relatif lebih besar pada kedalaman 2 m, namun total jumlah genera lebih tinggi pada kedalaman 1 m, dan di stasiun 3 total jumlah genera lebih tinggi pada kedalaman 2 m. Secara horizontal atau antar stasiun, stasiun 2 memiliki jumlah genera yang lebih banyak, relatif terhadap kedua stasiun lainnya. Umumnya kelas Cyanophyceae tidak ditemukan pada kedalaman 0,2 m untuk ketiga stasiun yang diteliti dan tidak ditemukan pula pada stasiun 1.
Dinophyceae Cyanophyceae Bacillariophyceae
32 30
Jumlah genera
28 26 24 22 20
Stasiun 2
Stasiun 1
Stasiun 3
18 16 0,2
1
0,2
1
2
K e d a l a m a n
3
4
0,2
1
2
3
4
i n k u b a s i (m)
Gambar 13 Jumlah genera fitoplankton menurut stasiun dan kedalaman inkubasi. Genera yang paling sering ditemukan selama pengamatan cukup bervariasi (Lampiran 5, 6, dan 7). Genera dari kelas Bacillariophyceae yang paling sering ditemukan di antaranya, Chaetoceros sp., Lauderia sp., Skeletonema sp., Thalassiosira sp., Nitzschia sp., Rhizosolenia sp., dan Thalassiothix sp. Di kelas Dinophyceae genera yang sering ditemukan di antaranya adalah Peridinium sp.,
43 dan Ceratium sp., sedangkan kelas Cyanophyceae hanya ada Tricodesmium sp. yang juga ditemukan setiap kali pengamatan. Dominasi kelas Bacillariophyceae dalam komposisi jenis fitoplankton di lokasi ini diduga berkaitan dengan ketersediaan unsur hara. Levinton (1982) mengatakan air laut yang mendapat masukan unsur hara yang tinggi juga mempengaruhi komposisi taksonomik. Diatom, sebagai contoh, mendominasi stasiun-stasiun dekat pantai yang kaya nutrien sementara kelimpahan relatif cocolitofor dan dinoflagelata meningkat di perairan lepas pantai yang miskin nutrien. Menurut Valiela (1995) peningkatan sumberdaya termasuk nutrien akan menyokong spesies dengan laju pertumbuhan cepat dan ini dapat menjadi cukup dominan untuk mengurangi keragaman, dominasi ini akan meningkat sampai ke tingkat yang diizinkan oleh ketersediaan sumberdaya, gangguan-gangguan lingkungan atau oleh konsumer. Eppley (1977) dalam Levinton (1982) mengemukkan bahwa diatom secara cepat menyerap unsur hara dan memiliki laju penggandaan sel yang optimal berkisar dari 0,5-6 kali penggandaan sehari. Hasil eksperimen oleh Sanders et al. (1987) menunjukkan bahwa peningkatan nitrogen (baik nitrat maupun ammonium) di musim semi dan panas meningkatkan dominasi diatom karena meningkatkan laju pertumbuhannya lebih dari kelompok lainnya. Hasil ini mirip dengan yang ditunjukkan oleh hasil eksperimen Kaswadji et al. (1993), Damar (2003), dan Nurruhwati (2003) terhadap populasi fitoplankton campuran di Teluk Jakarta yang menunjukkan dominasi diatom dalam semua medium kultur. Di lokasi penelitian konsentrasi nitrogen lebih tinggi dari fosfat kondisi ini akan menguntungkan kelompok diatom lebih dari kelompok lain, sehingga akan menjadikan diatom mendominasi perairan ini. Di semua stasiun dan waktu pengamatan kelas Cyanophyceae tidak ditemukan pada kedalaman permukaan (0,2 m) dan juga menjadi kelas yang paling sedikit jumlah jenisnya. Hal ini berkaitan dengan tingkat intensitas cahaya matahari yang tinggi di kedalaman permukaan dan konsentrasi serta rasio nutrien yang tidak menguntungkan kehadirannya. Dikemukakan oleh Raven dan Richardson (1986) dalam Valiela (1995) bahwa alga hijau biru (Cyanophyceae) dan dinoflagellata telah mengalami penghambatan laju pertumbuhan pada
44 instensitas cahaya rendah, serta diatom memperlihatkan toleransi yang agak luas terhadap intensitas cahaya tinggi sebelum dihambat pada kisaran intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi lagi. Menurut Kirk (1994) Tricodesmium sp. lebih melimpah pada perairan yang miskin unsur hara. Rasio N:P yang rendah di perairan akan mendukung ledakan Cyanophyceae pengikat nitrogen (Howarth 1988; Paerl 1996; Paerl & Millie 1996), Ridyn et al. (2002) menunjukkan bahwa pada rasio molar 16:1 jenis fitoplankton yang bukan Cyanophyceae meningkat karena diduga jenis-jenis dimaksud menekan perkembangan Cyanophyceae pengikat nitrogen. Tidak semua perairan yang memiliki rasio N:P rendah dapat terjadi ledakan Cyanophyceae (Howarth 1988; Piehler et al. 2002). Hal ini karena adanya kekurangan unsur trace seperti besi dan molibdenum (Howarth 1988), sedangkan Piehler et al. (2002) menduga bahwa rasio N:P yang terlalu ekstrim (baik tinggi maupun rendah) tidak cukup memberi kesempatan meningkatnya kelimpahan dan terjadinya reproduksi Cyanophyceae. Pada lokasi penelitian ini, rasio N:P lebih besar dari 16, hal ini diduga menjadi sebab tidak berkembangnya jenis-jenis fitoplankton dari kelas Cyanophyceae. Dominasi Bacillariophyceae pada semua stasiun dan kedalaman inkubasi dalam penelitian ini sama pula dengan yang diperoleh para peneliti lain baik di lokasi yang sama (Damar 2003; Syam 2002; Kaswadji 1993; Nontji 1984) maupun di lokasi lain seperti di Teluk Banten, perairan pantai Kabupaten Luwu, serta Teluk Lampung (Alianto 2006; Andriani 2004; Yuliana 2002).
Kelimpahan fitoplankton
Kisaran kelimpahan populasi fitoplankton yang berhasil dicacah selama tiga kali pengamatan untuk semua stasiun dan kedalaman, berkisar antara 200 dan 1.704.000 (sel/l) (Lampiran 5, 6, dan 7). Kelimpahan fitoplankton lebih tinggi pada stasiun 1 daripada stasiun 2 dan 3 untuk kedalaman 0,2 dan 1 m, sedangkan di kedua stasiun sisanya pada masing-masing kedalaman, terlihat bahwa semakin ke arah laut kelimpahan fitoplankton semakin meningkat (Gambar 14). Distribusi vertikal memperlihatkan peningkatan dari permukaan dan mencapai maksimum di bawah permukaan kemudian cenderung menurun, terutama diperlihatkan di
45 stasiun 2 dan 3. Di stasiun 1 kelimpahan fitoplankton di kedua kedalaman hampir sama, hal ini menggambarkan pencampuran vertikal sangat efektif, karena ditunjang oleh kedalaman perairan yang dangkal (kedalaman rata-rata 1,3 m). Kedalaman inkubasi dimana kelimpahan fitoplankton maksimum berbeda-beda. Pada stasiun 1 maksimum di kedalaman 1 m, sedangkan kelimpahan populasi fitoplankton tertinggi pada stasiun 2 dan 3 ditemui pada kedalaman 2 m.
rataan kelimpahan fitoplankton (sel l-1)
2.500.000
KI 0.2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
0
1
2 Stasiun
3
Gambar 14 Rataan kelimpahan fitoplankton (sel l-1) menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan Standard Deviasi dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi). Masing-masing
kelas
fitoplankton
memberikan
bervariasi pada kelimpahan total fitoplankton.
sumbangan
yang
Sampai dengan kedalaman
inkubasi 4 m pada ketiga stasiun yang diteliti, lebih dari 98% kelimpahan populasi fitoplankton disusun oleh Bacillariophyceae, sisanya disumbangkan oleh Cyanophyceae (1.5%) dan Dinophyceae (0.5%). Persentase sumbangan masingmasing kelas terhadap populasi fitoplankton di setiap stasiun dapat dirinci sebagai berikut. Bacillariophyceae menyusun lebih dari 99% di stasiun 1, lebih dari 98% di stasiun 2 dan 3, Cyanophyceae menyumbangkan lebih dari 1% untuk stasiun 2 dan 3, serta Dinophyceae menyumbangkan kurang dari 0,5 % pada semua stasiun. Jika dibandingkan dengan sebaran unsur hara antar stasiun, maka penyebaran fitoplankton menunjukkan pola yang relatif berbeda. Dalam pola
46 penyebaran unsur hara, rataan konsentrasi tertinggi hampir selalu di jumpai di stasiun 1, meskipun terdapat pengecualian untuk beberapa unsur hara pada kedalaman tertentu, sedangkan rataan kelimpahan fitoplankton justru terendah di stasiun ini dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Kelimpahan fitoplankton yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor hidrodinamika yang menentukan pola distribusi dan pengelompokan organisme di suatu lingkungan perairan. Banyak
pendapat
yang
menghubungkan
antara
faktor
fisika
(hidrodinamika) dengan penyebaran organisme perairan. Dinyatakan oleh Kononen at al. (1996) bahwa faktor hidrodinamika adalah penting dalam membangun pengelompokkan dan penyebaran fitoplankton. Hal ini terjadi karena adanya hubungan antara difusi horizontal massa air dengan laju pertumbuhan fitoplankton. Ditambahkan bahwa studi pengelompokan dan penyebaran plankton telah memperlihatkan bahwa pengaturan komunitas pelagis oleh faktor-faktor fisika berlangsung dalam dua tingkat: pada tingkat kelompok fungsional organisme dan pada tingkat komposisi jenis. Levinton (1982) menambahkan bahwa penyebaran dan pengelompokan horizontal berkaitan dengan variasi spasial parameter kimia, fisika, dan biologi (salinitas, turbulensi, dan pemangsaan) yang lebih sering terjadi pada fitoplankton perairan dekat pantai, estuari, dan perairan teluk. Menurut Cloern (1996) di ekosistem perairan pantai dangkal yang dipengaruhi pula oleh sungai, transport horizontal akan mengikuti sirkulasi air yang digerakkan oleh arus pasang surut, hembusan angin di permukaan air, dan perbedaan horizontal densitas air. Selanjutnya transport tersebut memindahkan biomassa fitoplankton secara memanjang sepanjang kontinum sungai-laut dan secara lateral antara bagian yang dangkal dan yang dalam, yang habitatnya sangat berbeda untuk pertumbuhan fitoplankton. Di stasiun 1 yang dangkal dan tepat berada di muara akan menerima pengaruh aliran air sungai dan arus yang ditimbulkan oleh pasang surut lebih besar dari stasiun lainnya. Kedua faktor hidrodinamika ini akan bekerja secara bergantian ataupun secara bersama-sama. Ketika surut aliran air sungai akan memasuki muara dan mendorong massa air ke arah laut, sebaliknya ketika pasang air laut akan mendorong masuk ke muara. Perpindahan massa air ini akan
47 memindahkan pula fitoplankton masuk dan keluar dari muara sesuai kondisi pasang surut.
Pengambilan contoh air untuk analisis fitoplankton dilakukan
ketika air sedang bergerak pasang, sehingga fitoplankton masih lebih banyak terkonsentrasi pada lokasi di luar muara, dan baru sedikit yang memasuki muara karena terbawah arus pasang.
Dengan demikian akan dijumpai kelimpahan
fitoplankton yang lebih rendah pada stasiun muara daripada kedua stasiun lainnya.
5. Klorofil-a
Sebaran nilai klorofil-a yang terukur selama penelitian bervariasi menurut kedalaman dan stasiun (Gambar 15 dan lampiran 1). Di stasiun 1 konsentrasi klorofil-a berkisar antara 8,144 sampai 44,113 mgm-3, di stasiun 2 antara 3,801 sampai 18,196 mgm-3, dan di stasiun 3 berkisar antara 6,682-29,174 mgm-3. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi bila bandingkan dengan hasil penelitian Kaswadji et al, (1993) di lokasi yang sama yaitu berkisar antara 7,5017,14 mgm-3. Sebagai pembanding dicantumkan pula beberapa hasil dari lokasi lain. Di perairan pantai Mediterania oligotrof Diaz et al. (2001) mencatat hasil sebesar 0,37-3,14 mgm-3, Tang et al. (2004) di Laut Cina Selatan mendapatkan kisaran 0,5-2 mgm-3, Liu & Dagg (2003) di Sungai Missisipi berkisar 3,57-10,04 mgm-3, dan di estuari Colne berkisar antara 0,5-37,5 mgm-3 (Kocum et al. 2002). Sebaran menegak di setiap stasiun memperlihatkan sedikit variasi. Pada stasiun 1, nilai klorofil-a tertinggi tercatat pada kedalaman 1 m, sedikit lebih tinggi dari kedalaman 0,2 m. Di stasiun 2, nilai tertinggi terdapat pada kedalaman 4 m, sedangkan pada stasiun 3 tercatat klorofil-a maksimum di kedalaman 2 m, relatif lebih tinggi dari keempat kedalaman lainnya. Pola distribusi ini sesuai dengan distribusi vertikal kelimpahan sel fitoplankton, kecuali di stasiun 2 pada kedalaman 4 m. Analisis ragam menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antar kedalaman di tiap stasiun (ANOVA, p>0,05). Jika dibandingkan antar stasiun, maka diperoleh konsentrasi klorofil-a di stasiun 1 untuk kedua kedalaman lebih tinggi hampir tiga kali lipat dan berbeda nyata (ANOVA, p<0,05) dari stasiun 2
48 dan 3, sedangkan konsentrasi pada stasiun 2 dan 3 relatif sama pada semua kedalaman dan tidak berbeda nyata (ANOVA, p>0,05). 50
KI 0,2 m KI 1 m KI 2 m KI 3 m KI 4 m
Konsentrasi (mgm-3)
40 30 20 10 0 1
2
3
Stasiun
Gambar 15 Rataan nilai konsentrasi klorofil-a (mg m-3) terdistribusi menurut stasiun dan kedalaman inkubasi (Bar menunjukkan SD dari tiga pengamatan, KI adalah Kedalaman Inkubasi). Pada kedalaman terdalam di stasiun 1 dan 2 konsentrasi klorofil memperlihatkan nilai relatif lebih tinggi dari kedalaman di atasnya. berkaitan dengan ketersediaan intensitas cahaya.
Hal ini
Ketersediaan cahaya pada
kedalaman terdalam di kedua stasiun tersebut jauh berkurang dari cahaya permukaan, padahal intensitas cahaya sangat diperlukan dalam proses fotosintesis. Untuk mempertahankan laju fotosintesis yang cukup dalam kondisi kekurangan cahaya, maka fitoplankton akan mengatur jumlah pigmen dan antena penyerap cahaya agar dapat memperoleh cukup cahaya. Salah satu yang dilakukan adalah dengan memperbanyak jumlah pigmen terutama klorofil-a, yang merupakan pigmen yang terdapat hampir pada semua fitoplankton lautan. Pengaturan fisiologi terhadap kondisi cahaya di lingkungan perairan melibatkan beberapa perubahan morfologi dan biokimia berikut seperti perubahan dalam kandungan pigment fotosinetesis total, perubahan dalam proporsi pigmen, perubahan dalam morfologi kloroplast, perubahan dalam pengaturan kloroplast serta perubahan dalam ketersediaan enzim-enzim reaksi gelap (Levinton 1982; Kirk 1994). Selanjutnya adaptasi terhadap cahaya dapat dibedakan atas adaptasi tipe Chlorella yang dicirikan oleh penambahan jumlah kandungan klorofil ketika
49 beradaptasi terhadap cahaya rendah, dan adaptasi tipe Cyclotella yang tidak memperlihatkan perubahan kandungan klorofil baik pada cahaya tinggi maupun rendah, beberapa jenis fitoplankton yang sering memperlihatkan perubahan distribusi kedalaman memiliki adapatasi tipe Chlorella (Levinton 1982). Di stasiun 1 pada kedua kedalaman inkubasi, kandungan klorofil-a lebih tinggi hampir tiga kali lipat dan berbeda nyata dengan kedalaman yang sama pada kedua stasiun yang lain. Sementara itu kelimpahan sel fitoplankton pada stasiun 1 hanya memperlihatkan nilai yang sedikit lebih besar dari kedalaman yang sama pada kedua stasiun lainnya. Perbedaan ini disamping karena pengaruh ketersediaan cahaya sebagaimana yang telah dijelaskan di depan, diduga berkaitan pula dengan ukuran fitoplankton. Pada stasiun 1, genera fitoplankton seperti Chaetoceros sp., Skeletonema sp., Thalassiosira sp., Rhizosolenia sp., dan Coscinodiscus sp. memperlihatkan ukuran panjang dan diameter sel yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan yang ditemukan pada stasiun 3. Ukuran sel akan mempengaruhi jumlah klorofil-a yang dikandung masing-masing sel fitoplankton, sehingga diduga hal ini menyebabkan tingginya kandungan klorofil di stasiun 1 dibandingkan dengan kedua stasiun sisanya, meskipun kelimpahan sel fitoplankton hampir sama. Fitoplankton dengan ukuran sel yang besar lebih sering ditemukan pada perairan yang kaya nutrien. Di stasiun muara, kandungan unsur hara relatif lebih tinggi dari kedua stasiun lain, diduga relatif melimpahnya unsur hara disini menyebakan fitoplankton yang tumbuh juga berukuran lebih besar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Wehlr (1991) in Wang et al. (1997), bahwa pola distribusi ukuran fitoplankton juga sangat berhubungn dengan kondisi trofik. Picoplankton lebih sering ditemukkan di ekosistem oligotrof sementara sel fitoplankton besar mendominasi di perairan eutrof. Bila dilihat dari nilai konsetrasi klorofil-a yang diperoleh (Lampiran 1) dapat disimpulkan bahwa pada perairan ini, telah terjadi pertumbuhan fitoplankton secara optimal. Hal ini karena menurut Goes et al. (2004) bila konsentrasi klorofil-a melebihi 1 mg m-3 menunjukkan sebagai indikator musim pertumbuhan fitoplankton.
50
6. Produktivitas Primer Fitoplankton
Nilai produktivitas primer yang diperoleh selama pengamatan berkisar 39,57–96,89 mgCm-3j-1 di stasiun 1, di stasiun 2 antara 21,31-107,01 mgCm-3j-1, dan di stasiun 3 antara 318,07–108,12 mgCm-3j-1. Rataan (±SD) nilai produktivitas primer antar stasiun selama pengamatan berturut-turut untuk stasiun 1, 2, dan 3 adalah 67,36±25, 63,38±29, dan 62,61±30 mgCm-3j-1 (Lampiran 1). Nilai yang tercatat di sini jauh lebih besar dari yang diperoleh Alianto (2006) di perairan Teluk Banten yang berkisar 13,56-29,59 mgCm-3 5j-1. Perbedaan ini juga diikuti oleh berbedanya faktor-faktor yang terkait dengan produktivitas primer yakni, unsur hara, klorofil-a, dan kelimpahan fitoplankton, yang ditemukan lebih tinggi dari Teluk Banten.
Nilai produktivitas ini pun lebih tinggi dari yang
diperoleh Kocum et al. (2002) di Estuari Colne yang berkisar 0,64 x 10-3 sampai 17 μgCl-1h-1 (1 μgCl-1h-1 = 1 mgCm-3 j-1). Profil menegak produktivitas primer fitoplankton menunjukkan bahwa sebaran nilai umumnya meningkat dari permukaan hingga maksimum pada kedalaman inkubasi 2 meter. Selanjutnya dengan bertambahnya kedalaman inkubasi nilainya kembali menurun, kecuali di stasiun 1 yang maksimum di kedalaman permukaan (Gambar 16). Penyebaran antar kedalaman di masingmasing stasiun menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA, p<0,05), yaitu setiap kedalaman inkubasi saling berbeda nyata, kecuali produktivitas primer antara kedalaman 0,2 dan 4 m di stasiun 2 sama akan tetapi berbeda nyata dengan kedalaman lainnya. Secara horizontal atau antar stasiun, produktivitas primer pada kedalaman 0,2 m di stasiun 1, menunjukkan nilai yang lebih besar dan berbeda nyata (ANOVA, p<0,05) dari dua stasiun lainnya sedangkan kedua stasiun terakhir tidak berbeda nyata (ANOVA, p>0,05). Pada kedalaman 1 m, produktivitas primer di stasiun 1 lebih kecil dan berbeda nyata (ANOVA, p<0,05) dengan stasiun 2 dan 3 sedangkan kedua stasiun terakhir tidak berbeda nyata (ANOVA, p>0,05). Dari kedalaman 0,2 sampai 4 m, produktivitas primer fitoplankton di stasiun 2 dan 3 tidak berbeda nyata (ANOVA, p>0,05).
51
-3
20
40
60
80 100 120
0
0
0
1
1
2
Kedalaman (m)
Kedalaman (m)
0
-1
NPP (mgCm jam )
NPP (mgCm-3 jam-1)
Stasiun 1
20
40
60
80 100 120
2
3
3
4
4
NPP (mgCm-3 jam-1) 0
20
40
60
80 100 120
0
Kedalaman (m)
1
2
Stasiun 3
3
4
Gambar 16 Nilai produktivitas primer bersih pada kedalaman inkubasi di ketiga stasiun penelitian (Bar menunjukkan standar deviasi). Distribusi vertikal dan horizontal produktivitas primer ini mirip dengan penyebaran vertikal klorofil maupun fitoplankton serta konsentrasi nutrien. Pada stasiun 2 produktivitas maksimum di kedalaman 2 m bersamaan dengan konsentrasi ammonium dan nitrat minimum, sedangkan kelimpahan fitoplankton, klorofil-a, nitrit, dan silikat mencapai maksimum, serta ortofosfat yang masih relatif tinggi dibandingkan dengan kedalaman lain. Di stasiun 3, nilai maksimum produktivitas primer diikuti oleh nilai minimum ammonium, ortofosfat, dan silikat, dan bersamaan dengan maksimum pada nitrat, kelimpahan sel fitoplankton, dan klorofil-a. Hal ini menggambarkan adanya hubungan fungsional
52 saling mempengaruhi di antara parameter-parameter tersebut. Dengan kata lain produktivitas primer mempengaruhi konsentrasi unsur hara melalui penyerapan fitoplankton, sehingga menyebabkan berfluktuasinya konsentrasi nutrien di perairan (Howarth 1988; Levinton 1982; Yin et al. 2001; Cloern 1996). Produktivitas primer yang lebih tinggi pada kedalaman 0,2 m di stasiun 1 dibandingkan dengan kedalaman yang sama untuk kedua stasiun lain, berhubungan dengan kandungan klorofil-a serta intensitas cahaya matahari yang tersedia. Di stasiun 1 pada kedalaman inkubasi 0,2 m, kandugan klorofil-a hampir mencapai tiga kali lebih besar dari kedalaman yang sama pada kedua stasiun yang lain. Intensitas cahaya yang tersedia lebih rendah dari kedua stasiun yang lain, tetapi intensitas yang tersedia tersebut ternyata mampu meningkatkan nilai produktivitas primer. Intensitas cahaya tinggi dapat menyebabkan fotoinhibisi yang mengurangi produktivitas primer (Kirk 1994; Valiela 1995). Ditambahkan oleh Valiela (1995), hubungan fotosintesis dengan cahaya dapat dipengaruhi oleh suplai nutrien. Kondisi dimana unsur hara tinggi akan meningkatkan hasil fotosinetesis pada suatu intensitas tertentu, karena pigmenpigmen fotosintesis yang mengandung nitrogen meningkat ketika suplai nitrogen bertambah.
Pigmen-pigmen tersebut tersedia baik sebagai cadangan protein
maupun sebagai penyerap cahaya untuk fotosintesis. Sebaliknya pada kedalaman 1 m, meskipun konsentrasi klorofil-a lebih besar dari kedalaman 0,2 m, akan tetapi rendahnya intensitas cahaya yang ada menyebabkan produktivitas primer tidak dapat mencapai nilai yang tinggi. Kandungan klorofil-a yang tinggi di kedalaman ini, merupakan salah satu bentuk adaptasi fitoplankton terhadap ketersediaan cahaya yang rendah.
Kandungan
yang tinggi diperlukan guna meningkatkan efisiensi penangkapan foton agar cukup memadai sehingga dapat menggerakan proses fotosintesis (Kirk 1994).
7. Hubungan Cahaya dengan Produktivitas Primer
Pola hubungan intensitas cahaya dengan produktivitas primer pada setiap kedalaman dianalisis dengan menggunkan perangkat lunak kgraph. Nilai intensitas cahaya pada kedalaman tertentu hanya sekitar 45% sampai 50% yang merupakan PAR (photosynhtetically available radiation) yaitu intensitas cahaya
53 yang dapat digunakan untuk kepentingan fotosintesis fitoplankton (Kirk 1994; Svedrup 1972). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer di perairan ini. Hubungan yang erat tersebut tercermin dari nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh pada ketiga stasiun penelitian di atas 0,7 (Gambar 17). Dengan kata lain, dengan model regresi ini berturut-turut kurang lebih 83%, 80%, dan 70% keragaman nilai produktivitas primer di stasiun 1, 2, dan 3 dapat diterangkan oleh ketersediaan intensitas cahaya, sisanya disebabkan oleh faktor-faktor lain.
Stasiun 2
120
120
100
100 NPP (mgCm -3jam -1)
NPP (mgCm -3h-1)
Stasiun1
80 60 (-0.0508x)
y = 270.9969(1-e
40
)e
(-0.0289x)
2
R = 0.83
80 60 40
y = 793.77(1-e- 0.023*x e-0.060x
20
20
R2 = 0.80 0
0 0
10
20
30
40
50
0
10
Intensitas cahaya matahari (Klux)
20
30
40
50
Intensitas cahaya matahari (Klux)
Stasiun 3 120
-2
-1
NPP (mgCm jam )
100 80 60 40 0.0140x
y = 1019.72(1-e
20
)e
0.0544x
2
R = 0.70 0 0
10 20 30 40 Intensitas cahaya matahari (Klux)
50
Gambar 17 Pola hubungan antara produktivitas primer dengan intensitas cahaya matahari pada ketiga stasiun. Kisaran intensitas cahaya optimum bagi produktivitas primer fitoplankton dapat juga ditentukan secara kasar berdasarkan Gambar 17. Cahaya optimum
54 berkisar antara 10 dan 20 Klux di ketiga stasiun yang diteliti. Hal ini berarti bahwa nilai produtivitas primer fitoplankton tertinggi selama penelitian ini, akan ditemukan pada tingkat-tingkat intensitas cahaya tersebut di atas. Pada stasiun 1, jika dibandingkan antara nilai maksimum produktivitas primer hasil pengukuran inkubasi dengan pendekatan melalui regresi non linier ini, terlihat ada perbedaan. Nilai maksimum hasil inkubasi terjadi pada intensitas cahaya 30 Klux, sedangkan berdasarkan hasil regresi pada intensitas antara 15 dan 20 Klux. Intensitas cahaya menurun secara eksponensial atau non linier dengan kedalaman, yang juga akan mempengaruhi produktivitas sehingga membentuk penurunan yang kuadratik. Ketika pengukuran hanya dilakukan pada dua titik maka bentuk kuadratik tidak akan ditemui, sebaliknya adalah bentuk linier (garis lurus).
Pengukuran pada stasiun 1 hanya mengambil 2 titik ektstrim yakni
permukaan dan dasar, dengan demikian hanya akan diperoleh bentuknya yang linier. Jika dilakukan pengukuran lebih dari 2 titik, maka kemungkinan bentuk kuadratik akan diperoleh.
Dengan kata lain, jika dilakukan pengukuran
produktivitas primer lebih dari dua titik, maka kemungkinan produktivitas primer tertinggi akan ditemui pada kedalaman di bawah permukaan namun belum mencapai dasar perairan, dengan intensitas cahayanya berada di antara 10 dan 20 Klux, seperti yang diperoleh dari hasil regresi. Berdasarkan persamaan hubungan cahaya dengan produktivitas primer, maka dapat dihitung nilai produktivitas primer untuk setiap lapisan kolom air pada masing-masing stasiun dengan memperhatikan ketersediaan cahaya di setiap kolom air tersebut. Pola hubungan intensitas cahaya dengan produktivitas primer pada setiap lapisan kolom air (setiap penambahan kedalaman 0,1 cm) menunjukkan pola hubungan yang kuadratik (Gambar 18). Setiap peningkatan intensitas cahaya akan diikuti oleh peningkatan produktivitas primer sampai pada titik optimum. Di atas titik optimum, cahaya yang tersedia merupakan cahaya penghambat (fotoinhibisi), sedangkan di bawah titik optimum merupakan cahaya pembatas (Kirk 1994). Nilai maksimum produktivitas primer berdasarkan pendekatan di atas, terletak pada kedalaman dan intensitas cahaya yang sedikit bervariasi untuk ketiga stasiun yang diteliti (Lampiran 8, 9, dan 10). Di stasiun 1, produktivitas
55 maksimum yakni 96,99 mgCm-3j-1 tercatat pada kedalaman 0,3 m dengan intensitas sebesar 19,746 Klux. Produktivitas primer maksimum di stasiun 2 terdapat pada kedalaman 1,8 m yaitu sebesar 93,27 mgCm-3j-1 diperoleh pada intensitas cahaya 14,132 Klux. Pada kedalaman 1,6 dan 2,2 m di stasiun 3, dengan intensitas cahaya sebesar 16,215 dan 16,411 Klux diperoleh produktivitas maksimum sebesar 85,72 mgCm-3j-1.
3
20
40
60
80
0
100
0
0
1
1
2
2
3
3
4
Kedalaman (m)
Kedalaman (m)
0
-1
NPP (mgCm- jam )
NPP (mgCm-3jam-1)
Stasiun 1
5 6
20
40
60
80
100
4 5 6
7
7
8
8
9
9
10
10
Stasiun 2
NPP (mgCm-3jam-1)
0
20
40
60
80
100
0 1
Kedalaman (m)
2 3 4 5 6
Stasiun 3
7 8 9 10
Gambar 18 Pola hubungan antara produktivitas primer dengan kedalaman perairan di ketiga stasiun yang diteliti.
56
8. Hubungan Unsur Hara dengan Produktivitas Primer
Fitoplankton dalam pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan berbagai unsur hara. Produser-produser di kolom perairan tersebut memperoleh unsur hara melalui penyerapan aktif dari perairan di sekitarnya. Jadi fitoplankton yang aktif akan dikelilingi oleh lapisan air dengan unsur hara yang telah berkurang. Lebih lanjut penyerapan dibatasi oleh laju pemasukan unsur hara baru dari sumber-sumber eksternal yang dapat berdifusi ke dalam lapisan di sekeliling alga yang telah berkurang unsur haranya (Valiela 1995). Koefisien korelasi Pearson digunakan untuk menyelidiki kekuatan hubungan antara ammonium, nitrit, nitrat, dan fosfat dengan produktivitas primer bersih fitoplankton di masing-masing stasiun dan kedalaman inkubasi. Selain itu, koefisien ini dapat pula menjelaskan pola hubungan yang terbangun di antara masing-masing parameter tersebut. Hasil analisis korelasi serta regresi dicantumkan pada Tabel 4 dan Gambar 19, 20, dan 21 berikut. Di stasiun 1, hubungan antara unsur hara dengan produktivitas primer fitoplankton berada pada level tinggi sampai sangat tinggi kecuali untuk ammonium di kedalaman 1 m tingkat hubungannya sangat rendah (r = 0.06) (Tabel 4). Pola hubungan yang terbangun adalah positif yang berarti bahwa setiap peningkatan konsentrasi unsur hara akan meningkatkan produktivitas primer. Dengan menggunakan model regresi liner sederhana ini, keragaman nilai produktivitas primer di stasiun ini yang dapat diterangkan oleh ke empat jenis unsur hara adalah berkisar dari 0,4% (ammonium di kedalaman 1 m) sampai 91% (nitrat di kedalaman 1 m), sedangkan sisanya disebabkan oleh faktor lain. Di stasiun 2, nilai-nilai koefisien korelasi berkisar dari 0,01 (ammonium di kedalaman 1 m) sampai 0,99 (nitrit di kedalaman 1 m) yang berarti hubungan berada pada tingkat sangat rendah sampai sangat kuat. Pola hubungan yang terbangun lebih bervariasi. Pola hubungan yang positif atau searah yang berarti peningkatan unsur hara akan meningkatkan produktivitas primer terjadi pada ammonium di semua kedalaman kecuali kedalaman 2 m serta fosfat hanya di kedalaman 3 m. Selain itu, semua unsur hara yang lain menunjukkan hubungan negatif atau berkebalikan arah yang berarti bahwa penurunan konsentrasi unsur
57 hara menyebabkan penurunan nilai produktivitas primer.
Besarnya peranan
masing-masing nutrien terhadap keragaman nilai produktivitas primer dengan model regresi yang digunakan ini berkisar dari 0,01% (ammonium di kedalaman 1 m) hingga 98% (nitrit di kedalaman 1 m), sedangkan sisanya disumbangkan oleh faktor lain. Tabel 4 Hasil analisis regresi linier sederhana, koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi Pearson (r) antara NPP (Y) dengan masing-masing unsur hara (x) di setiap stasiun dan kedalaman inkubasi Kedalaman
Ammonium
0,2
Y = 2,55x+81,91 R2 = 0,47 r = 0,69 Y=0,27x+45,1 R2 = 0,004 r = 0,06
1
0,2 1 2 3 4
0,2 1 2 3 4
Y=0,33x+37,41 R2 = 0,07 r = 0,27 Y=0,06x+69,16 R2 = 0,0001 r = 0,01 Y=-5,02x+108,87 R2 = 0,79 r = -0,89 Y=3,12x+76,77 R2 = 0,48 r = 0,69 Y=3,09x+20,79 R2 = 0,58 r = 0,76 Y=1,38x+34,53 R2 = 0,54 r = 0,73 Y=2,83x+62,60 R2 = 0,25 r = 0,49 Y=-8,36x+109,14 R2 = 0,64 r = -0,79 Y=2,85x+79,26 R2 = 0,21 r = 0,46 Y=2,33x+21,14 R2 = 0,08 r = 0,28
Nitrit Stasiun 1 Y = 12,97x+83,73 R2 = 0,76 r = 0,87 Y=7,16x+39,1 R2 = 0,47 r = 0,69 Stasiun 2 Y=-6,99x+42,01 R2 = 0,79 r = -0,89 Y=-3928x+82,68 R2 = 0,98 r = -0,99 Y=-7,36x+106,11 R2 = 0,75 r = -087 Y=-18,69x+90,17 R2 = 0,43 r =-0,65 Y=-11,2x+32,77 R2 = 0,23 r = -0,47 Stasiun 3 Y=-9,41x+40,35 R2 = 0,09 r = -0,31 Y=-22,98x+76,01 R2 = 0,81 r = -0,89 Y=-6,24x+100,8 R2 = 0,04 r = -0,20 Y=-1,99x+84,39 R2 = 0,01 r = -0,11 Y=-21,78x+30,38 R2 = 0,46 r = -0,68
Nitrat
Fosfat
Y = 1,17x+83,59 R2 = 0,71 r = 0,84 Y = 0,78x+39,47 R2 = 0,91 r = 0,95
Y = 36,99x+79,76 R2 = 0,79 r = 0,89 Y = 11,27x+39,71 R2 = 0,89 r = 0,94
Y=-1,03x+41,53 R2 = 0,93 r = -0,97 Y=-1,47x+74,23 R2 = 0,51 r = -0,71 Y=-1,99x+105,99 R2 = 0,70 r = -0,84 Y=-0,58x+84,78 R2 = 0,041 r =-0,20 Y=-1,81x+34,10 R2 = 0,37 r = -0,61
Y=-5,19x+40,93 R2 = 0,87 r = -0,93 Y=-10,05x+7303 R2 = 0,17 r = -0,41 Y=-8,65x+104,94 R2 = 0,82 r = -0,91 Y=61,77x+70,86 R2 = 0,49 r =0,71 Y=-11,21x+30,95 R2 = 0,17 r = -0,41
Y=-0,41x+38,19 R2 = 0,12 r = -0,35 Y=-3,37x+76,45 R2 = 0,79 r = -0,89 Y=-6,62x+101,7 R2 = 0,09 r = -0,30 Y=0,95x+79,89 R2 = 0,16 r = 0,40 Y=-0,47x+26,32 R2 = 0,05 r = -0,22
Y=-6,72x+40,12 R2 = 0,68 r = -0,82 Y=10,84x+63,74 R2 = 0,24 r = 0,49 Y=-24,89x+106,24 R2 = 0,9 r = -0,63 Y=21,17x+73,70 R2 = 0,85 r = 0,92 Y=-6,70x+27,82 R2 = 0,29 r = -0,54
58
St. 1 (Kedalaman 0,2 m)
St. 1 (Kedalaman 1 m)
100
100
80
80
y = 0.2727x + 45.1 R 2 = 0.0039
60
60
y = 2.5542x + 81.91 R 2 = 0.4737
40
40 20
20
0
0 0
1
2
3
4
0
5
Konsent rasi A mmonium ( μ M )
St. 1 (Kedalaman 0,2 m) 100
80
80 y = 12.967x + 83.73 R 2 = 0.7582
40 20
2
3
4
St. 1 (Kedalaman 1m)
100
60
1
Konsent rasi A mmonium ( μ M )
y = 7.1614x + 39.077 R 2 = 0.4709
60 40 20
0
0 0.0
0.5
1.0
1.5
0.0
Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
St. 1 (Kedalaman 0,2 m)
1.0
1.5
2.0
St. 1 (Kedalaman 1m)
100
100
80
80
60
60
y = 1.1736x + 83.59 R 2 = 0.7129
40
0.5
Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
y = 0.7776x + 39.47 R2 = 0.9101
40
20
20
0
0
0
2 4
6
0
8 10 12
100
100
80
80 y = 36.999x + 79.76 R 2 = 0.788
40
10
15
20
St. 1 (Kedalaman 1m)
St. 1 (Kedalaman 0,2 m)
60
5
Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
y = 11.272x + 39.707 R 2 = 0.8865
60 40 20
20
0
0 0.0
0.2
0.4
0.6
Konsent rasi Fosf at ( μ M )
0.0
0.5
1.0
1.5
Konsent rasi Fosf at ( μ M )
Gambar 19. Plot data antara produktivitas primer dengan konsentrasi unsur hara di stasiun 1.
59
St. 2 (Kedalaman 0,2 m) 100
St. 2 (Kedalaman 1 m) 100
y = 0.3293x + 37.409 R 2 = 0.0706
80 60
80
40
20
20
0
0 0
1
2
3
4
y = 0.0606x + 69.162 R 2 = 0.0001
St. 2 (Kedalaman 4 m)
1
2
3
60
60
20
0
0 1
2
3
4
St. 2 (Kedalaman 4 m)
40
y = -18.689x + 90.172 R 2 = 0.4287
y = -11.112x + 32.771 R 2 = 0.23
60
60 20 0
Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
St. 2 (Kedalaman 0,2 m)
St. 2 (Kedalaman 1 m) 100
y = -1.0255x + 41.531 R 2 = 0.9327
80 60
80 60 40
20
20
20
20
0
0
Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
St. 2 (Kedalaman 2 m)
0
St. 2 (Kedalaman 3 m)
St. 2 (Kedalaman 4 m) 100
100
80
80
60
60
40
y = -1.991x + 105.99 R 2 = 0.702
40
20
20
0
0
y = -0.5763x + 84.781 R 2 = 0.0407
St. 2 (Kedalaman 0,2 m) 100
y = -1.8099x + 34.104 R 2 = 0.3725
60
40
40
20
20 0
0 1 2 3 4 5 6 Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
0 1 2 3 4 5 6 7 Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
St. 2 (Kedalaman 2 m)
St. 2 (Kedalaman 3 m)
0.0 0.5 1.0 1.5 Ko nsentrasi Fo sfat (μ M ) St. 2 (Kedalaman 4 m)
120
100
100
100
100
80
80
80
80
60
60
60 40 20
y = -8.6518x + 104.94 R2 = 0.8214
60 y = -10.051x + 73.025 R2 = 0.1694
0 Konsentrasi Fosfat ( μ M )
0.5
1.0
1.5
Konsentrasi Fosfat ( μ M )
40
0
0 0.0
y = -11.207x + 30.951 R 2 = 0.1705
20
20
0 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
y = 61.774x + 70.858 R 2 = 0.4962
40
40 20
y = -5.1876x + 40.929 R 2 = 0.8652
80
0
0 1 2 3 4 5 6 Ko nsentrasi Nitrat (μ M ) St. 2 (Kedalaman 1 m)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
100
60
y = -1.4738x + 74.232 R 2 = 0.5057
0 0 1 2 3 4 5 6 7
120 80
y = -7.3581x + 106.11 R 2 = 0.7509
40
40
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
4
St. 2 (Kedalaman 2 m)
40
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
3
80 y = -39.284x + 82.677 R 2 = 0.9757
100
80
2
100
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
1
Konsentrasi Ammonium ( μ M )
120
60
100
0
3
0
St. 2 (Kedalaman 3 m)
60
2
St. 2 (Kedalaman 1m)
20
Konsentrasi Ammonium ( μ M )
80
1
Konsentrasi Ammonium ( μ M )
40
5
100
0 0
80
y = -6.9861x + 42.009 R 2 = 0.7936
y = 3.1203x + 76.765 R 2 = 0.4764
40 20
100
80
20
0
40
St. 2 (Kedalaman 0,2 m)
40
40
y = -5.0148x + 108.87 R 2 = 0.795
4
100 y = 3.0895x + 20.793 R 2 = 0.5786
60
60
Konsentrasi Ammonium ( μ M )
Konsentrasi Ammonium ( μ M )
80
80
0 0
100
100
100
20
5
St. 2 (Kedalaman 3 m)
120 80
60
40
St. 2 (Kedalaman 2 m)
0.0
0.1
0.2
0.3
Ko nsentrasi Fo sfat (μ M )
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Konsentrasi Fosfat ( μ M )
Gambar 20. Plot data antara produktivitas primer dengan konsentrasi unsur hara di stasiun 2.
60
St.3 (Kedalaman 0,2 m)
100 y = 1.3797x +34.526 R2 = 0.5369
80
St. 3 (Kedalaman 1 m)
St. 3 (Kedalaman 2 m) 120
100
80
100
80
80
60
60
40
40
20
20
20
0
0
0
0
1
2
3
4
y = 2.8327x + 62.603 R 2 = 0.2487
0
Konsent rasi Ammonium ( μ M )
1
2
3
40
80
y = -9.4062x + 40.35 R 2 = 0.0953
60
100
0
0
St. 3 (Kedalaman 3 m) 100
80
80
60
60
20
0.3
0.4
St.3 (Kedalaman 0,2 m)
y = -0.4095x + 38.193 R 2 = 0.1204
80 60
20
0 0.2
0.4
0
Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
80
80
60
60
20
0 2 4 6 8 10 Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
3
4
y = -0.4723x + 26.324 R 2 = 0.0472
80
40 20
St. 3 (Kedalaman 3 m)
St. 3 (Kedalaman 4 m) 100
80
100
80
80
60
60
y = 10.842x + 63.738 R 2 = 0.2428
60 40
y = -24.894x + 106.24 R 2 = 0.392
40
20
20
20
0
0
0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 Ko nsentrasi Fo sfat (μ M )
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 Ko nsentrasi Fo sfat (μ M )
5
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
100
40
4
Ko nsentrasi Fo sfat (μ M )
120 80
3
0 0 2 4 6 8 Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
100
60
2
y = -6.7194x + 40.122 R 2 = 0.678
60
20
St. 3 (Kedalaman 2 m)
1
St.3 (Kedalaman 0,2 m)
40
0 2 4 6 8 Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
St. 3 (Kedalaman 1 m)
0
Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
100
0
0
0
2
St. 3 (Kedalaman 4 m)
100
y = 0.9463x + 79.889 R 2 = 0.1612
1
Ko nsentrasi Nitrat (μ M )
St. 3 (Kedalaman 3 m)
40
y = -3.3665x + 76.448 R 2 = 0.7907
0
0.6
100
20
60 40
100
y = -0.616x + 101.7 R 2 = 0.0921
80
20
St. 3 (Kedalaman 2 m)
40
St. 3 (Kedalaman 1 m)
20
0.0
0.4 0.6 0.8
100
120
60
0.0 0.2
Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
40
Konsent rasi Nit rit ( μ M )
80
20
40
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
y = -6.2365x + 100.8 R 2 = 0.0403
40
0.4 0.6 0.8
100 y = -21.776x + 30.376 R 2 = 0.4599
4
0 0.0 0.2
Ko nsentrasi Nitrit (μ M )
0
0
60 y = -22.977x + 76.01 R 2 = 0.8048
St. 3 (Kedalaman 4 m)
100
40
0.2
Konsent rasi Nit rit ( μ M )
Konsent rasi Ammonium ( μ M )
y = -1.9879x + 84.395 R 2 = 0.0112
0.1
3
80
60
0
2
St. 3 (Kedalaman 2 m)
80
20
1
Konsent rasi Ammonium ( μ M )
120
20
0.0
0
3
St. 3 (Kedalaman 1 m)
20 3
2
100
40
2
1
Konsent rasi Ammonium ( μ M )
40
1
0 0
40
0
y = 2.8511x + 79.264 R 2 = 0.2107
40 20
St.3 (Kedalaman 0,2 m)
y = 2.3299x +21.144 R2 = 0.0802
60
y = -8.3549x + 109.14 R 2 = 0.6387
4
100
80
60
60
Konsent rasi Ammonium ( μ M )
St. 3 (Kedalaman 4 m)
100
St. 3 (Kedalaman 3 m)
100
y = 27.173x + 73.701 R 2 = 0.8533
y = -6.7023x + 27.815 R 2 = 0.2859
40 20 0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 Ko nsentrasi Fo sfat (μ M )
0.0
0.5
1.0
1.5
Ko nsentrasi Fo sfat (μ M )
Gambar 21. Plot data antara produktivitas primer dengan konsentrasi unsur hara di stasiun 3.
61 Pada stasiun 3, hubungan yang terbentuk berkisar dari sangat rendah (nitrit di kedalaman 3 m, r = -0,11) sampai sangat kuat (fosfat kedalaman 3 m, r = 0,92). Dari hasil regresi linier dapat diterangkan bahwa peningkatan konsentrasi ammonium (semua kedalaman kecuali 2 m), nitrat (hanya di kedalaman 3 m), dan fosfat (kedalaman 1 dan 3 m) akan meningkatkan produktivitas primer, sedangkan penurunan nutrien pada kedalaman yang lain akan menurunkan pula produktivitas primer. Berdasarkan koefisien determinasi maka kira-kira sebesar 1% hingga 85% besarnya variabilitas dalam nilai produktivitas primer dapat diterangkan oleh masing-masing unsur hara tersebut dalam model regresi ini, sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor lain. Secara keseluruhan besarnya peranan ke empat unsur hara terhadap keragaman nilai produktivtas primer lebih tinggi di stasiun dekat pantai dari pada yang jauh ke arah laut. Di stasiun 1, persentase koefisien penentu (R2) bernilai di atas 50% sebanyak lebih dari 80% dari 8 pasangan data regresi. Di stasiun 2 dengan 20 jumlah pasangan data lebih dari setengahnya (60%) memiliki nilai R2 di atas 50% sedangkan di stasiun tiga persentase nilai R2 di bawah 50% lebih banyak dari yang di atas 50% dari 20 pasangan data. Hal ini menujukkan bahwa semakin ke arah laut peranan faktor lain terhadap keragaman nilai produktivitas primer semakin lebih tinggi, selain dapat juga karena jumlah faktor yang berperan semakin bertambah.
V SIMPULAN
Unsur hara tersedia dalam konsentrasi yang seragam di kolom air baik secara vertikal maupun horizontal. Intensitas cahaya lebih tinggi pada stasiun dekat muara, dan lebih tersedia pada lapisan permukaan dibandingkan dengan di dasar perairan. Faktor hidrodinamika seperti masukan sungai, pencampuran vertikal karena gaya pasang surut dan gelombang berperan penting dalam mengatur penyebaran unsur hara dan cahaya. Intensitas cahaya matahari berpengaruh nyata terhadap keragaman nilai produktivitas primer fitoplankton di ketiga stasiun, sedangkan unsur hara memberikan pengaruh yang bervariasi di masing-masing stasiun dan kedalaman inkubasi. Intensitas cahaya matahari dan konsentrasi unsur hara masih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan fitoplankton
DAFTAR PUSTAKA Abdunnur. 1997. Komunitas meiobentos dan kualitas sedimen dalam mintakat redoks potensial di perairan pesisir Muara Jaya, Bekasi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. xvii + 135 hal. Andriani. 2004. Analisis hubungan parameter fisika kimia dan klorofil-a dengan produktivitas primer fitoplankton di perairan pantai Kabupaten Luwu [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. xii + 71 hal. Alianto, 2006. Produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan Teluk Banten [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. xi + 81 hal. Alongi DM. 1998. Coastal Ecosystem Processes. Boca Raton, Florida. CRC Press. xvii + 419 hal. American Public Health Association (APHA), 1998. Standard Methods for the Examinition of Water and Wastewater. Ed ke-20. Washington: Amer.Publ. Health Association Inc. xxxvii + 1112 hal. Barnes RSK, Hughes RN. 1999. An Introduction to Marine Ecology. Ed ke-3. Hongkong: Blackwell Science. x + 286 hal. Boyd CE. 1979. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V. xii + 231 hal. Boyd CE. 1981. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V. xi + 318 hal. Caraco N, Tamse A, Boutros O, Valiela I. 1987. Nutrien limitation of phytoplankton growth in brackish coastal ponds. Can J Fish Aquat Sci 44:473476. Cebrián J, Valiela I. 1999. Sesonal patterns in phytoplankton biomass in coastal ecosystems. Journal of Plankton Research 21: 429-444. Chang FH, Gall M. 1998. Phytoplankton assemblages and photosynthetic pigments during winter and spring in the subtropical convergence region near New Zealand. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research 32:515-530. Cloern JE. 1996. Phytoplankton bloom dynamics in coastal ecosystems: a review with some general lessons from sustained investigation of San Francisco Bay, California. Reviews of Geophysics 34: 127-168. Cole GA. 1988. Texbook of Limnology. Ed ke-3. Illionis: Waveland Press, Inc. xi + 401 hal. Cuvin-Aralar M, Focken U, Becker K, Aralar EV. 2004. Effects of low nitrogenphosphorus ratios in the phytoplankton community in Laguna de Bay, a shallow eutrophic lake in the Philippines. Aquatic Ecology 38:387-401. Damar A. 2003. Effects of enrichment on nutrient dynamics, phytoplankton dynamics and productivity in Indonesian waters: a comparison between Jakarta
64 Bay, Lampung Bay and Semangka Bay [disertasi]. Kiel. Christian Albrechts University. xi + 236 hal. Diaz F, Raimbault P, Boudjellal B, Garcia N, Moutin T. 2001. Early spring phosphorus limitation of primary productivity in a NW Mediterranean coastal zone (Gulf of Lions). Mar Ecol Prog Ser 211:51-62. Effendi H. 2000. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta. ix + 258 hal. Ferreira JG, Wolff WJ, Simas TC, Bricker SB. 2005. Does biodiversity of estuarine phytoplankto depend on hydrology? Ecological Modelling 187:513523. Gibbs MM, Vant WN. 1997. Seasonal changes in factors controlling phytoplankton growth in Beatrix Bay, New Zealand. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research 31:237-248. Goes JI, Sasaoka K, Gomes HDR, Sei-Ichi S, Toshiro S. 2004. A comparison of the seasonality and interannual variability of phytoplankton biomass and productionin the Western and Eastern Gyres of the Subartic Pacific using multi sensor satellite data. Jour of Oceanography 60: 75-91. Goldman CR, Home AJ. 1983. Limnology. Tokyo: McGraw - Hill International Book Company. xvi + 464 hal. Goldman JC, Carpenter EJ. 1974. A kinetic approach to the of temperature in algal growth. Limnol Oceanogr 19:756-766. Grasshoff K, Erhardt M, Kremling. 1983. Methods of Seawater Analysis. Weinheim Chemie. xvi + 290 hal. Harper D. 1992. Eutrophication of Freshwater, Principle, Problems, and Restoration. Ed ke-1. London: Chapman & Hall. xiv + 373 hal Hecky RE, Kilham P. 1988. Nutrient limitation of phytoplankton in freshwater and marine environments: A review of recent evidence on the effects of enrichment. Limnol Oceanogr 33:796-822. Holm-Hansen OM et al. 2004. Factors influencing the distribution, biomass, and productivity of phytoplankton in the Scotia Sea and Adjoining Waters. DeepSea Research II 51:1333-1350. Howarth RW. 1988. Nutrient limitation of net primary production in marine ecosystems. Ann Rev Ecol 19:89-110. Kaswadji RF, Widjaja F, Wardiatno Y. 1993. Produktifitas primer dan laju pertumbuhan fitoplankton di perairan Pantai Bekasi. Jurnal IImu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 1(2) : 1-15. Kilham P, Hecky RE. 1988. Comparative ecology of marine and freshwater phytoplankton. Limnol Oceanogr 33:776-795. Kirk JTO. 1994. Light and Photosynthesis in Aquatic Ecosystems. Ed ke-2. Melbourne: Cambridge University Press. xvi + 509 hal.
65 Kocum E, Underwood GJC, Nedwell DB . 2002. Simultaneous measurement of phytoplanktonic primary production, nutrient and light availability along a turbid, eutrophic UK east coast estuary (the Colne Estuary). Mar Ecol Prog Ser 231: 1–12. Kononen K, Kuparinen J, Laanemets J, Pavelson J, Nommann S. 1996. Initiation of cyanobacterial blooms in a frontal region at the entrance to the Gulf of Finland, Baltic Sea. Limnol Oceanogr 41(l): 98-112 Legendre L, Legendre P. 1983. Numerical Ecology. New York: Elsevier Scientific Publ., Co. xvi + 419 hal. Levinton JS. 1982. Marine Ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc. xv + 526 hal. Lederman TC, 1988. Primary Production. Di dalam: Macdonald AG, Priede IG, editor. Experimental Biology at Sea. London: Academic Press. hal 279-310. Liu H, Dagg M. 2003. Interactions between nutrients, phytoplankton growth, and micro- and mesozooplankton grazing in the plume of the Mississippi River. Mar Ecol Prog Ser 258: 31–42. Liu SM, Zhang J, Chen HT, Wu Y, Xiong H, Zhang ZF. 2003. Nutrients in the Changjiang and its tributaries. Biogeochemistry 62: 1–18, 2003. Mackenthum KM. 1969. The Practice of water pollution Biology. United States Departement in Interior, Federal Water Pollution Control Administration, Devision of Technical Support. xi + 278 hal. Malone T, Crocker LH, Pike SE, Wendler BW. 1988. Influences of river flow on the dynamics of phytoplankton production in a partially stratified estuary. Mar Ecol Prog Ser 48:235-249. Miller CB. 2004. Biological Oceanography. United Kingdom: Blackwell Publishing. ix + 402 hal. Millero FJ, Sohn ML. 1991. Chemical Oceanography. CRC Press, Boca Raton Ann Arbor London. xi + 496 hal. Nurruhwati I. 2003. Pengaruh penambahan nutrien dan pemangsaan terhadap laju pertumbuhan fitoplankton dari perairan Teluk Jakarta [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. xiv + 79 hal. Nontji A. 1984. Biomassa dan produktivitas fitoplankton di perairan teluk jakarta serta kaitannya dengan faktor-faktor lingkungan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. xviii + 241 hal. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M dkk, penerjemah; Jakarta: P.T. Gramedia. Terjemahan dari: Marine Biology, an Introduction to Ecology. xvii + 362 hal. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Ed ke-3. Philadelphia and London: W.B. Sounders Company. xiv + 574 hal. Paerl HW. 1996. A comparison of cyanobacterial bloom dynamics in freshwater, estuarinand marine environments. Phycologia 35: 25-35.
66 Paerl HW, Millie D. 1996. Physiological Ecology of toxic aquatic cyanobacteria. Phycologia 35: 160-167. Parsons TR, Takahashi M, Hargrave B. 1984. Biological Oceanographyc Processes. Ed ke-3. New York-Toronto: Pergamon Press. 289 hal. Piehler MF, Dyble J, Moisander PH, Pinckney JL, Paerl HW. 2002. Effects of modified nutrient concentrations and ratios on the structure and function of the native phytoplankton community in the Neuse River Estuary, North Carolina, USA. Aquatic Ecology 36: 371-385. Platt T, Gallegos JR, Harrison WG. 1980. Photoinhibition of photosynthesis in natural assemblages of marine phytoplankton. J Mar Res 38: 687-701. Presscott, GW. 1970. How to Know the Freshwater Algae. W.Mc. Brown Co Publ. Iowa. vii + 347 hal. Raymont, JEG. 1980. Plankton and Productivity in the Oceans. Pergamon Press, Oxford. viii + 660 hal. Rohmimotarto K, Juwana S, 1999. Biologi Laut, llmu Pengetahun Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. xii + 540 hal. Sanders JG, Cibik SJ, D’Elia CF, Boyton WR. 1987. Nutrient enrichment studies in a coastal plain estuary: change in phytoplankton species composition. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 44: 83-90. Sachlan M. 1972. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta. 57 hal. Seuront L, Gentilhomme V, Lagadeuc Y. 2002. Small-scale nutrient patches in tidally mixed coastal waters. Mar Ecol Prog Ser Vol. 232: 29–44. Sigee DC. 2005. Freshwater Microbiology. Biodiversity and Dynamic Interactions of Microorganisms in the Aquatic Environment. John Whey & Sons, Ltd. xix + 524 hal. Smith SV. 1984. Phosphorus versus nitrogen limitation in the marine environment. Limnol Oceanogr 29:1149-1160. Smith VH. 2006. Response of estuarine dan coastal marine phytoplankton to nitrogen and phosphorous enrichment. Limnol Oceanogr 51: 377-384. Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics, a Biometrical Approach. Ed ke-2. Mc.Graw Hill Kigakusha Ltd. Tokyo. xiii + 748 hal. Sverdrup HU, Johnson MW, Fleming RH. 1972. The Oceans Physics. Chemistry and General Biologi. Modern Asia Edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey. 1.058 hal. Sunarto. 2001. Pola hubungan intensitas cahaya dan nutrien dengan produktivitas primer fitoplankton di Teluk Hurun Lampung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. ix + 78 hal.
67 Syam AR. 2002. Produktivitas primer fitoplankton dan perbandingan beberapa karakteristik biofisikakimia perairan Teluk Jakarta dan Teluk Lampung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. xix + 128 hal. Tang D, Kawamura H, Dien TV, Lee MA. 2004. Offshore phytoplankton biomass increase and its oceanographic causes in the South China Sea. Mar Ecol Prog Ser Vol. 268: 31–41. Tillman U, Hesse J, Colijn F. 2000. Planktonic primary production in German Wadden Sea. J Plankton Res 22(7):1253-1276. Umaly RC, Cuvin LA. 1988. Limnology : Laboratory and Field Guide PhysicoChemical Factor, Biology Factor. National Book Store Publ., Manila. vi + 322 hal. Valiela I. 1995. Marine Ecological Processes. Ed ke-2. Springer. xiv + 686 hal. Vant WN, Safi KA. 1996. Size-fractionated phytoplankton biomass and photosiynthesis in Manukau Harbour, New Zealand. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research 30: 115-125. Wang H, Huang B Hong H. 1997. Size-fractionated productivity and nutrient dynamics of phytoplankton in subtropical coastal environments Hydrobiologia 352: 97–106. Welch EB. 1980. Ecological Effects of Wastewater. Cambridge Press, London. xvi + 357 p. Wetzel RG, Likens GE. 1979. Limnological Analysis. W.B. Saunders Company, Philadelphia. xvi + 357 hal. Widjaja F, Suwingnyo S, Yulianda F, dan Effendi H. 1994. Komposisi jenis, kelimpahan dan penyebaran plankton laut di Teluk Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 28 hal. Zudiana. 1997. Kualitas perairan pesisir Muara Jaya, Bekasi berdasarkan karakteristik fisika-kimia dan struktur komunitas makrozoobentos [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. xvi + 96 hal. Yamaji CS. 1979. Ilustrations of the marine plankton of Japan. Hoikusha Publ. Co. Ltd. Japan. xxxxv + 537 hal. Yang D, Chen Y ,Gao Z, Zhang J Wang F. 2005. Silicon limitation on primary production and its destiny in Jiaozhou Bay China. Chinese Journal of Oceanology and Limnology 23 (1): 72-90. Yuliana. 2002. Hubungan antara kandungan nutrien dan intensitas cahaya dengan produktivitas primer fitoplankton di perairan Teluk Lampung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. xv + 83 hal.
68
LAMPIRAN
69
Lampiran 1 Berbagai nilai parameter penunjang dan utama yang diukur selama penelitian Stasiun
Kedalaman (m)
Pengamatan ke
Suhu ( C)
Salinitas (promil)
TSS (mg/l)
Kekeruhan (NTU)
NH4-N (μM)
NO2-N (μM)
NO3-N (μM)
1
0,2
1 2 3 sub rataan 1 2 3 sub rataan Rataan lokasi 1 1 2 3 sub rataan 1 2 3 sub rataan 1 2 3 sub rataan 1 2 3 sub rataan 1 2 3 sub rataan
28,0 29,0 29,0 28,7 28,0 29,0 29,0 28,7 28,7 28,0 28,5 29,0 28,5 27,7 27,8 29,0 28,2 27,7 27,7 29,0 28,1 27,7 27,7 29,0 28,1 27,5 27,5 29,0 28,0
20 26 28 25 20 25 26 24 24 20 30 34 28 20 33 33 29 20 30 33 28 20 30 33 28 20 30 33 28
134 144 106 128 216 248 204 223 175 30 8 20 19 30 18 188 79 158 18 22 66 14 18 41 24 138 44 45 76
64,00 15,00 29,00 36,00 90,50 12,50 54,00 52,33 44,17 4,50 3,40 3,60 3,83 2,45 2,40 14,00 6,28 2,05 1,80 12,00 5,28 2,05 2,35 14,50 6,30 18,00 17,00 24,00 19,67
3,198 4,753 0,368 2,773 2,835 3,743 0,241 2,273 2,523 2,398 4,951 0,423 2,591 3,278 2,783 0,628 2,230 2,294 2,077 0,306 1,559 3,160 2,650 0,439 2,083 2,062 4,167 0,319 2,183
1,043 0,130 0,043 0,406 1,652 1,000 0,130 0,928 0,667 0,935 0,435 0,239 0,536 0,543 0,130 0,348 0,341 1,522 0,239 0,304 0,688 0,587 0,130 0,391 0,370 0,848 0,370 0,196 0,471
11,453 1,339 1,016 4,603 19,274 3,355 1,484 8,037 6,320 6,240 1,839 1,484 3,188 7,916 1,339 0,790 3,348 5,449 0,742 1,258 2,483 5,262 1,097 1,532 2,630 6,659 2,387 1,839 3,628
Rataan lokasi 2
28,2
28
53
8,27
2,129
0,481
3,055
1
2
0,2
1
2
3
4
o
70
Lanjutan lampiran 1…. Stasiun
Kedalaman (m)
Pengamatan ke-
Suhu ( C)
Salinitas (Promil)
TSS (mg/l)
Kekeruhan (NTU)
NH4-N (μΜ)
NO2-N (μΜ)
NO3-N (μM)
3
0,2
1 2 3 sub rataan 1 2 3 sub rataan 1 2 3 sub rataan 1 2 3 sub rataan 1 2 3 sub rataan
28,0 28,0 28,5 28,2 27,5 28,0 28,5 28,0 27,5 28,0 28,0 27,8 27,4 28,0 28,0 27,8 27,2 28,0 28,0 27,7
30 32 34 32 30 31 34 32 30 31 33 31 30 31 33 31 30 31 33 31
194 22 19 78 14 32 33 26 20 22 38 27 112 12 23 49 14 22 9 15
1,50 3,60 2,80 2,63 1,05 3,00 3,60 2,55 1,00 1,80 2,60 1,80 1,00 1,20 2,80 1,67 0,95 1,20 2,60 1,58
2,038 3,252 1,149 2,146 2,163 3,444 0,833 2,147 1,952 1,331 0,391 1,225 2,810 1,579 0,192 1,527 1,969 1,940 0,257 1,389
0,370 0,304 0,239 0,304 0,652 0,130 0,174 0,319 0,609 0,130 0,174 0,304 0,891 0,130 0,152 0,391 0,565 0,130 0,130 0,275
3,447 1,645 0,081 1,724 4,564 1,065 1,290 2,306 9,219 2,306 2,113 4,546 7,450 3,823 0,548 3,940 7,823 4,129 0,403 4,118
Rataan lokasi 3
27,9
32
39
2,05
1,687
0,319
3,327
1
2
3
4
0
71
Lampiran 2
Intensitas cahaya matahari (lux) di permukaan (udara), tercatat setiap 10 menit Pengamatan ke-
Waktu (jam)
1
2
3
6:00 6:10 6:20 6:30 6:40 6:50 7:00 7:10 7:20 7:30 7:40 7:50 8:00 8:10 8:20 8:30 8:40 8:50 9:00 9:10 9:20 9:30 9:40 9:50 10:00 10:10 10:20 10:30 10:40 10:50 11:00 11:10 11:20 11:30 11:40 11:50 12:00 12:10 12:20 12:30 12:40 12:50 13:00 13:10 13:20 13:30 13:40 13:50
67 590 2.760 1.776 3.640 10.010 10.960 15.770 17.200 20.100 29.500 30.200 30.900 31.500 32.200 33.100 34.900 37.500 40.400 50.200 50.600 46.300 46.400 48.000 48.000 50.100 42.000 47.600 55.500 62.000 63.000 60.000 62.000 63.200 60.500 56.600 65.600 61.500 59.600 59.100 52.000 50.300 53.800 56.700 54.400 50.300 48.500 48.600
39 62 333 998 1.530 3.320 3.700 7.320 8.980 11.490 12.500 15.280 15.940 17.600 19.550 27.100 24.900 32.500 34.500 38.400 39.500 39.400 54.300 51.100 56.200 59.200 64.800 78.600 69.500 69.000 72.100 65.200 64.300 60.200 64.100 67.500 68.300 73.000 70.200 69.100 64.500 70.200 69.200 53.400 52.400 50.200 51.300 49.300
80 180 635 1.715 2.790 3.300 4.380 5.250 5.960 8.600 9.500 10.340 12.100 24.200 28.100 27.800 30.400 33.800 39.600 40.200 42.900 51.400 50.200 49.000 56.000 59.200 60.000 58.000 59.300 61.000 60.100 59.200 59.300 57.000 58.300 60.400 64.000 59.600 61.200 59.800 58.600 62.000 59.600 57.600 53.200 51.200 48.600 47.100
Rataan 62 277 1.243 1.496 2.653 5.543 6.347 9.447 10.713 13.397 17.167 18.607 19.647 24.433 26.617 29.333 30.067 34.600 38.167 42.933 44.333 45.700 50.300 49.367 53.400 56.167 55.600 61.400 61.433 64.000 65.067 61.467 61.867 60.133 60.967 61.500 65.967 64.700 63.667 62.667 58.367 60.833 60.867 55.900 53.333 50.567 49.467 48.333
Pengamatan ke-
Waktu (jam)
1
2
3
14:00 14:10 14:20 14:30 14:40 14:50 15:00 15:10 15:20 15:30 15:40 15:50 16:00 16:10 16:20 16:30 16:40 16:50 17:00 17:10 17:20 17:30 17:40 17:50 18:00 Total
49.100 48.400 46.300 40.700 44.000 43.300 41.600 40.300 31.400 27.400 23.900 22.700 26.800 15.800 14.200 11.600 8.620 3.500 1.820 3.450 1.240 827 175 80 25 1.955.473
45.000 50.500 47.300 38.000 33.200 32.500 22.200 31.100 28.300 26.400 23.500 24.100 18.600 24.400 20.400 12.200 10.300 8.870 8.570 6.020 3.030 1.010 213 153 41 1.992.142
46.500 48.500 47.300 50.000 48.000 46.000 43.500 36.000 30.000 28.500 26.200 24.500 20.400 17.300 15.800 14.800 7.130 7.060 6.920 4.310 3.450 700 200 142 38 1.872.730
Rataan 46.867 49.133 46.967 42.900 41.733 40.600 35.767 35.800 29.900 27.433 24.533 23.767 21.933 19.167 16.800 12.867 8.683 6.477 5.770 4.593 2.573 846 196 125 35 1.940.115
72
Lampiran 3 Waktu (jam) 6:00 6:10 6:20 6:30 6:40 6:50 7:00 7:10 7:20 7:30 7:40 7:50 8:00 8:10 8:20 8:30 8:40 8:50 9:00 9:10 9:20 9:30 9:40 9:50 10:00 10:10 10:20 10:30 10:40 10:50 11:00 11:10 11:20 11:30 11:40 11:50 12:00 12:10 12:20 12:30 12:40 12:50 13:00 13:10 13:20 13:30 13:40 13:50
Intensitas cahaya matahari (lux) di permukaan perairan, tercatat setiap 10 menit Pengamatan ke1
2
3
60 531 2.484 1.598 3.276 9.009 9.864 14.193 15.480 18.090 26.550 27.180 27.810 28.350 28.980 29.790 31.410 33.750 36.360 45.180 45.540 41.670 41.760 43.200 43.200 45.090 37.800 42.840 49.950 55.800 56.700 54.000 55.800 56.880 54.450 50.940 59.040 55.350 53.640 53.190 46.800 45.270 48.420 51.030 48.960 45.270 43.650 43.740
35 56 300 898 1.377 2.988 3.330 6.588 8.082 10.341 11.250 13.752 14.346 15.840 17.595 24.390 22.410 29.250 31.050 34.560 35.550 35.460 48.870 45.990 50.580 53.280 58.320 70.740 62.550 62.100 64.890 58.680 57.870 54.180 57.690 60.750 61.470 65.700 63.180 62.190 58.050 63.180 62.280 48.060 47.160 45.180 46.170 44.370
72 162 572 1.544 2.511 2.970 3.942 4.725 5.364 7.740 8.550 9.306 10.890 21.780 25.290 25.020 27.360 30.420 35.640 36.180 38.610 46.260 45.180 44.100 50.400 53.280 54.000 52.200 53.370 54.900 54.090 53.280 53.370 51.300 52.470 54.360 57.600 53.640 55.080 53.820 52.740 55.800 53.640 51.840 47.880 46.080 43.740 42.390
Rataan 56 250 1.118 1.347 2.388 4.989 5.712 8.502 9.642 12.057 15.450 16.746 17.682 21.990 23.955 26.400 27.060 31.140 34.350 38.640 39.900 41.130 45.270 44.430 48.060 50.550 50.040 55.260 55.290 57.600 58.560 55.320 55.680 54.120 54.870 55.350 59.370 58.230 57.300 56.400 52.530 54.750 54.780 50.310 48.000 45.510 44.520 43.500
Pengamatan ke-
Waktu (jam)
1
2
3
14:00 14:10 14:20 14:30 14:40 14:50 15:00 15:10 15:20 15:30 15:40 15:50 16:00 16:10 16:20 16:30 16:40 16:50 17:00 17:10 17:20 17:30 17:40 17:50 18:00 Total
44.190 43.560 41.670 36.630 39.600 38.970 37.440 36.270 28.260 24.660 21.510 20.430 24.120 14.220 12.780 10.440 7.758 3.150 1.638 3.105 1.116 744 158 72 23 1.759.926
40.500 45.450 42.570 34.200 29.880 29.250 19.980 27.990 25.470 23.760 21.150 21.690 16.740 21.960 18.360 10.980 9.270 7.983 7.713 5.418 2.727 909 192 138 37 1.739.041
41.850 43.650 42.570 45.000 43.200 41.400 39.150 32.400 27.000 25.650 23.580 22.050 18.360 15.570 14.220 13.320 6.417 6.354 6.228 3.879 3.105 630 180 128 34 1.685.457
Rataan 42.180 44.220 42.270 38.610 37.560 36.540 32.190 32.220 26.910 24.690 22.080 21.390 19.740 17.250 15.120 11.580 7.815 5.829 5.193 4.134 2.316 761 176 113 31 1.746.104
73 Lampiran 4 Intensitas cahaya matahari (Klux) pada berbagai kedalaman dan waktu inkubasi selama tiga kali pengamatan di lokasi penelitian Stasiun
Kedalaman (m)
Pengamatan ke-
1
0,2
1 2 3 Sub rataan 1 2 3 Sub rataan Rataan lokasi 1 1 2 3 Sub rataan 1 2 3 Sub rataan 1 2 3 Sub rataan 1 2 3 Sub rataan 1 2 3 Sub rataan Rataan lokasi 2
1
2
0,2
1
2
3
4
09:00 ICM % 21,274 58,5 17,986 57,9 22,999 64,5 20,753 60,3 2,493 6,9 2,025 6,5 3,989 11,2 2,836 8,2 11,794 34,3 31,673 87,1 27,265 87,8 31,046 87,1 29,995 87,3 18,237 50,2 16,210 52,2 17,876 50,2 17,441 50,8 9,147 25,2 8,462 27,3 8,966 25,2 8,859 25,9 4,588 12,6 4,418 14,2 4,497 12,6 4,501 13,2 2,301 6,3 2,306 7,4 2,256 6,3 2,288 6,7 12,617 36,8
10:00 ICM % 25,276 58,5 29,299 57,9 32,524 64,5 29,033 60,3 2,962 6,9 3,299 6,5 5,641 11,2 3,967 8,2 16,500 34,3 37,631 87,1 44,414 87,8 43,903 87,1 41,983 87,3 21,668 50,2 26,405 52,2 25,279 50,2 24,451 50,8 10,868 25,2 13,785 27,3 12,680 25,2 12,444 25,9 5,451 12,6 7,196 14,2 6,360 12,6 6,336 13,2 2,734 6,3 3,757 7,4 3,190 6,3 3,227 6,7 17,688 36,8
11:00 ICM % 33,174 58,5 37,588 57,9 34,906 64,5 35,223 60,3 3,888 6,9 4,232 6,5 6,054 11,2 4,724 8,2 19,974 34,3 49,391 87,1 56,980 87,8 47,118 87,1 51,163 87,3 28,439 50,2 33,876 52,2 27,130 50,2 29,815 50,8 14,265 25,2 17,685 27,3 13,608 25,2 15,186 25,9 7,155 12,6 9,232 14,2 6,825 12,6 7,737 13,2 3,589 6,3 4,820 7,4 3,423 6,3 3,944 6,7 21,569 36,8
12:00 ICM % 34,543 58,5 35,607 57,9 37,171 64,5 35,774 60,3 4,048 6,9 4,009 6,5 6,446 11,2 4,83 8,2 20,30 34,3 51,430 87,1 53,977 87,8 50,175 87,1 51,860 87,3 29,613 50,2 32,090 52,2 28,891 50,2 30,198 50,8 14,853 25,2 16,753 27,3 14,491 25,2 15,366 25,9 7,450 12,6 8,746 14,2 7,268 12,6 7,821 13,2 3,737 6,3 4,566 7,4 3,646 6,3 3,983 6,7 21,846 36,8
13:00 ICM % 28,330 58,5 36,076 57,9 34,615 64,5 33,007 60,3 3,320 6,9 4,062 6,5 6,003 11,2 4,462 8,2 18,734 34,3 42,179 87,1 54,688 87,8 46,726 87,1 47,864 87,3 24,286 50,2 32,513 52,2 26,905 50,2 27,901 50,8 12,181 25,2 16,973 27,3 13,495 25,2 14,216 25,9 6,110 12,6 8,861 14,2 6,769 12,6 7,246 13,2 3,065 6,3 4,626 7,4 3,395 6,3 3,695 6,7 20,185 36,8
14:00 ICM % 26,750 58,5 28,256 57,9 31,247 64,5 28,751 60,3 3,135 6,9 3,2 6,5 5,4 11,2 3,912 8,2 16,331 34,3 39,827 87,1 35,563 87,8 42,179 87,1 39,189 87,3 22,932 50,2 21,143 52,2 24,286 50,2 22,787 50,8 11,502 25,2 11,038 27,3 12,181 25,2 11,574 25,9 5,769 12,6 5,762 14,2 6,110 12,6 5,880 13,2 2,894 6,3 3,008 7,4 3,065 6,3 2,989 6,7 16,484 36,8
Total 169,347 184,814 193,462 182,541 19,845 20,8 33,6 24,735 103,638 252,131 272,886 261,147 262,054 145,176 162,236 150,367 152,593 72,817 84,695 75,421 77,644 36,523 44,215 37,829 39,522 18,319 23,082 18,974 20,125 110,388
Rataan 28,224 30,003 32,244 30,157 3,307 3,4 5,6 4,092 17,125 42,022 45,481 43,524 43,676 24,196 27,039 25,061 25,432 12,136 14,116 12,570 12,941 6,087 7,369 6,305 6,587 3,053 3,847 3,162 3,354 18,398
% 58,5 57,9 64,5 60,3 6,9 6,5 11,2 8,2 34,3 87,1 87,8 87,1 87,3 50,2 52,2 50,2 50,8 25,2 27,3 25,2 25,9 12,6 14,2 12,6 13,2 6,3 7,4 6,3 6,7 36,8
74 Lanjutan lampiran 4…. Stasiun
Kedalaman (m)
Pengamatan ke-
3
0,2
1 2 3 Sub rataan 1 2 3 Sub rataan 1 2 3 Sub rataan 1 2 3 Sub rataan 1 2 3 Sub rataan
1
2
3
4
Rataan lokasi 3
09:00 ICM %
10:00 ICM %
11:00 ICM %
12:00 ICM %
13:00 ICM %
14:00 ICM %
Total
32,184 31,050 31,421 31,552 19,756 18,460 18,982 19,066 10,735 10,975 10,109 10,606 5,833 6,525 5,384 5,914 3,169 3,879 2,868 3,305 14,089
38,238 50,580 44,433 44,417 23,473 30,071 26,843 26,795 12,754 17,878 14,296 14,976 6,930 10,629 7,614 8,391 3,765 6,319 4,055 4,713 19,859
50,188 64,890 47,687 54,255 30,808 38,578 28,808 32,731 16,740 22,936 15,343 18,339 9,095 13,636 8,171 10,301 4,942 8,107 4,352 5,800 24,285
52,259 61,470 50,781 54,837 32,079 36,545 30,677 33,101 17,430 21,727 16,338 18,499 9,471 12,917 8,702 10,363 5,146 7,679 4,634 5,820 24,524
42,859 62,280 47,290 50,810 26,309 37,027 28,568 30,635 14,295 22,013 15,215 17,174 7,767 13,087 8,103 9,653 4,220 7,781 4,316 5,439 22,742
40,469 40,500 42,688 41,219 24,842 24,078 25,788 24,903 13,498 14,315 13,735 13,849 7,334 8,511 7,315 7,720 3,985 5,060 3,896 4,314 18,401
256,197 310,770 264,299 277,089 157,267 184,759 159,666 167,231 85,451 109,843 85,037 93,444 46,430 65,304 45,290 52,341 25,228 38,825 24,121 29,391 123,899
88,5 100 88,2 92,2 54,3 59,5 53,3 55,7 29,5 35,3 28,4 31,1 16,0 21,0 15,1 17,4 8,7 12,5 8,0 9,8 41,2
88,5 100 88,2 92,2 54,3 59,5 53,3 55,7 29,5 35,3 28,4 31,1 16,0 21,0 15,1 17,4 8,7 12,5 8,0 9,8 41,2
88,5 100 88,2 92,2 54,3 59,5 53,3 55,7 29,5 35,3 28,4 31,1 16,0 21,0 15,1 17,4 8,7 12,5 8,0 9,8 41,2
88,5 100 88,2 92,2 54,3 59,5 53,3 55,7 29,5 35,3 28,4 31,1 16,0 21,0 15,1 17,4 8,7 12,5 8,0 9,8 41,2
88,5 100 88,2 92,2 54,3 59,5 53,3 55,7 29,5 35,3 28,4 31,1 16,0 21,0 15,1 17,4 8,7 12,5 8,0 9,8 41,2
88,5 100 88,2 92,2 54,3 59,5 53,3 55,7 29,5 35,3 28,4 31,1 16,0 21,0 15,1 17,4 8,7 12,5 8,0 9,8 41,2
Rataan 42,700 51,795 44,050 46,181 26,211 30,793 26,611 27,872 14,242 18,307 14,173 15,574 7,738 10,884 7,548 8,724 4,205 6,471 4,020 4,899 20,650
% 88,5 100,0 88,2 92,2 54,3 59,5 53,3 55,7 29,5 35,3 28,4 31,1 16,0 21,0 15,1 17,4 8,7 12,5 8,0 9,8 41,2
75
Lampiran 5 Kelimpahan fitoplankton (sel l-1) pada periode I (12 Juli 2007) di Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta. No
Kedalaman (m)
0,2
Stasiun 1 1
0,2
1
Stasiun 2 2
3
4
0,2
1
35.400 3.200 20.600 14.800 26.000 20.400 18.000 9.600 14.800 800 400 1.400 600 400 3.200 1.000 1.400 400 172.400
51.400 5.600 10.600 25.600 8.400 35.400 9.400 2.400 21.800 200 4.400 800 200 1.200 600 1.400 1.000 200 200 400 181.200
117.000 5.600 21.600 56.800 44.000 78.200 27.400 9.000 26.800 400 9.000 2.400 400 600 400 3.800 1.400 2.200 200 1.200 408.400
30.200 2.800 1.000 9.800 3.800 40.800 2.800 2.800 12.400 1.000 1.600 200 400 1.200 200 400 200 400 400 200 112.600
37.800 1.800 4.400 2.800 13.000 39.200 6.200 2.200 19.000 400 4.800 1.000 800 600 1.200 800 400 200 1.200 800 200 138.800
234.600 65.400 8.400 26.600 5.000 9.200 3.400 26.600 200 200 4.200 400 1.200 3.400 400 600 200 200 200 4.000 16.200
26.400 4.200 6.200 20.600 34.000 80.400 9.600 4.600 6.200 800 400 200 400 400 3.400 400 1.200 800 200 1.000 201.400
Stasiun 3 2
3
4
34.200 2.400 9.800 19.200 14.200 61.400 6.400 5.600 13.400 5.000 200 1.400 4.400 800 1.400 400 400 1.400 182.000
21.600 2.600 8.200 20.400 27.400 89.200 10.000 3.400 15.200 200 4.800 1.000 800 1.000 200 400 200 200 200 207.000
Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
BACILLARIOPHYCEAE Chaetoceros sp Bacteriastrum sp Leptocylindrus sp Lauderia sp Skeletonema sp Thalassiosira sp Hemiaulus sp Nitzschia sp Rhizosolenia sp Surirella sp Naviculla sp Eucampia sp Coscinodiscus sp Cyclotella sp Thalassionema sp Thalassiothrix sp Biddulphia sp Ditylum sp Amphora sp Amphiprora sp Pleurosigma sp Guinardia sp Climacosphenia sp Streptotheca sp Stephanophyxis sp Bacillaria sp Fragilaria sp Diploneis sp Asterolampra sp Sub Total
15.000 78.000 800 82.200 6.500 2.100 104.400 10.600 152.800 2.400 6.000 1.200 1.500 600 6.000 2.400 72.000 27.600 300 24.000 . 596.400
106.000 6.400 600 484.000 1.800 84.000 28.400 136.000 34.000 3.600 4.800 24.000 9.700 600 63.600 19.200 18.000 1.024.700
410.600
32.200 5.200 8.800 16.000 18.600 41.200 10.200 6.400 15.600 6.400 2.800 1.000 1.000 400 200 166.000
76 Lanjutan lampiran 5…… Kedalaman (m)
No
0,2
Stasiun 1 1
0,2
1
Stasiun 2 2
3
4
0,2
1
Stasiun 3 2
3
4
Kelas 1
CYANOPHYCEAE Trichodesmium sp Sub Total
1 2 3 4 5 6 7 8
DINOPHYCEAE Peridinium sp Ceratium sp Dinophysis sp Prorocentrum sp Noctiluca sp Phalacroma sp Pirocyctis sp Dictyocha sp Sub Total
Total Kelimpahan
-
-
-
-
-
12.000 12.000
-
-
12.000 12.000
-
-
12.000 12.000
2.000 2.000 598.400
2.000
400 400 172.800
200 200 400 200 1.000 182.200
400 200 200 800 409.200
124.600
138.800
400 200 400 1.000 411.600
1.000 200 1.200 214.600
400 200 400 1.000 167.000
200 200 182.200
400 200 600 219.600
2.000 1.026.700
77 Lampiran 6 Kelimpahan fitoplankton (sel l-1) pada pengamatan II (29 Juli 2007) di Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta. Stasiun 1
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Kedalaman (m) Kelas BACILLARIOPHYCEAE Chaetoceros sp Bacteriastrum sp Leptocylindrus sp Lauderia sp Skeletonema sp Thalassiosira sp Hemiaulus sp Nitzschia sp Rhizosolenia sp Surirella sp Naviculla sp Eucampia sp Coscinodiscus sp Cyclotella sp Thalassionema sp Thalassiothrix sp Biddulphia sp Ditylum sp Amphora sp Amphiprora sp Pleurosigma sp Guinardia sp Climacosphenia sp Streptotheca sp Stephanophyxis sp Bacillaria sp Fragilaria sp Diploneis sp Asterolampra sp Sub Total
Stasiun 2
Stasiun 3
0,2
1
0,2
1
2
3
4
0,2
1
2
3
4
104.000 1.200 97.000 6.000 500 88.600 12.000 30.200 2.400 9.600 3.600 1.200 3.800 1.200 30.000 9.600 1.200 89.000 16.000 5.000 512.100
104.000 1.200 150.000 2.400 2.400 34.000 16.800 76.000 2.400 2.400 6.000 5.400 5.000 1.200 9.600 4.800 3.600 8.400 8.000 443.600
457.400 9.400 1.800 1.400 3.600 1.600 8.200 3.000 400 400 1.000 600 600 200 1.600 200 400 491.800
579.400 4.000 400 2.400 2.200 800 6.000 1.800 11.800 200 8.400 400 600 800 400 400 1.000 1.800 622.800
700.800 6.400 8.000 4.200 1.400 7.200 2.200 17.800 5.800 1.000 200 400 1.200 200 800 600 1.400 1.200 400 4.400 765.600
837.000 21.000 9.400 1.200 1.800 14.800 1.800 19.000 200 5.600 600 1.000 800 600 800 2.600 4.200 922.400
715.800 3.400 4.000 4.600 3.000 11.800 1.800 16.200 400 10.200 800 400 600 400 200 200 200 1.000 775.000
459.400 8.000 600 3.800 5.000 1.400 5.400 2.800 200 400 400 200 600 200 200 1.200 489.800
706.600 7.000 400 4.800 11.800 400 5.600 1.200 4.200 200 200 200 1.000 200 600 200 1.000 745.600
1.047.400 8.600 3.400 3.600 200 5.000 7.000 200 800 3.800 400 200 6.000 200 600 400 3.200 1.600 1.092.600
1.056.000 23.200 5.800 1.600 1.200 12.000 400 1.600 1.000 200 200 400 400 400 800 4.200 1.109.400
1.205.600 16.000 11.600 12.400 2.800 24.800 600 6.600 400 2.600 600 400 200 200 200 200 800 3.000 400 1.289.400
78 Lanjutan lampiran 6…… Stasiun 1
No
1
1 2 3 4 5 6 7 8
Kedalaman (m) Kelas CYANOPHYCEAE Trichodesmium sp Sub Total DINOPHYCEAE Peridinium sp Ceratium sp Dinophysis sp Prorocentrum sp Noctiluca sp Phalacroma sp Pirocyctis sp Dictyocha sp Sub Total Total Kelimpahan
Stasiun 2
Stasiun 3
0,2
1
0,2
1
2
3
4
0,2
1
2
3
4
-
-
-
-
14.000 14.000
-
-
-
-
3.600 3.600
24.000 24.000
10.000 10.000
2.300 3.400 5.700 517.800
2.300 2.300 445.900
200 200 400 492.200
200 600 400 200 200 1.600 624.400
800 400 1.200 780.800
1.200 200 400 200 2.000 924.400
1.200 200 200 1.600 776.600
1.200 200 200 1.600 491.400
800 200 1.000 746.600
1.000 200 200 1.400 1.097.600
1.600 200 200 2.000 1.135.400
1.400 400 1.800 1.301.200
79 Lampiran 7 Kelimpahan fitoplankton (sel l-1) pada pengamatan III (12 Agustus 2007) di Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta. Stasiun 1 No
Kedalaman (m) Kelas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
BACILLARIOPHYCEAE Chaetoceros sp Bacteriastrum sp Leptocylindrus sp Lauderia sp Skeletonema sp Thalassiosira sp Hemiaulus sp Nitzschia sp Rhizosolenia sp Surirella sp Naviculla sp Eucampia sp Coscinodiscus sp Cyclotella sp Thalassionema sp Thalassiothrix sp Biddulphia sp Ditylum sp Amphora sp Amphiprora sp Pleurosigma sp Guinardia sp Climacosphenia sp Streptotheca sp Stephanophyxis sp Bacillaria sp Fragilaria sp Diploneis sp Asterolampra sp Sub Total
Stasiun 2
Stasiun 3
0,2
1
0,2
1
2
3
4
0,2
1
2
3
4
50.600 68.400 600 1.800 164.000 3.600 1.800 34.200 3.600 17.000 3.600 18.500 5.400 900 7.000 82.800 9.000 19.500 492.300
188.000 3.400 300 210.000 50.400 264.000 3.600 1.800 96.400 12.400 45.000 7.200 7.400 13.000 -
78.600 3.300 2.400 6.000 11.400 39.300 6.300 57.000 27.800 900 1.200 900 900 2.700 2.700 300 1.200 300 900 244.100
186.600 4.500 2.400 15.300 20.400 587.400 13.500 87.000 31.200 300 3.000 3.300 2.100 600 3.900 1.800 300 300 300 300 964.500
146.700 1.800 2.400 29.100 16.500 760.800 9.000 91.800 44.700 300 600 3.900 2.400 1.500 900 600 300 300 600 300 300 1.114.800
96.300 3.000 11.700 15.900 783.600 6.300 127.500 41.400 300 6.000 10.200 2.100 1.800 900 600 300 900 1.200 1.110.000
63.600 1.500 3.000 19.800 130.500 1.800 28.500 39.000 900 4.800 1.200 600 300 600 300 600 1.800 298.800
117.600 2.700 600 13.800 20.100 237.000 6.000 100.800 28.800 900 3.900 1.200 1.200 900 600 536.100
36.600 2.700 3.600 25.800 17.400 1.266.000 3.600 102.000 48.900 1.800 8.400 2.400 1.500 1.800 300 2.700 1.500 1.527.000
75.000 2.100 3.900 18.600 15.900 1.704.000 7.800 111.000 48.600 600 7.800 1.500 3.000 1.500 1.800 300 300 300 2.400 2.006.400
31.800 1.800 3.900 20.100 12.300 798.000 11.400 87.000 65.100 1.200 4.500 1.800 1.800 1.500 600 2.700 2.400 300 300 600 1.049.100
14.400 1.200 2.100 17.700 6.000 951.000 5.700 164.200 43.800 1.500 7.800 2.100 1.200 300 1.500 2.100 900 300 300 1.224.100
902.900
80
Lanjutan lampiran 7….. Stasiun 1
No
1
1 2 3 4 5 6 7 8
Kedalaman (m) Kelas CYANOPHYCEAE Trichodesmium sp Sub Total DINOPHYCEAE Peridinium sp Ceratium sp Dinophysis sp Prorocentrum sp Noctiluca sp Phalacroma sp Pirocyctis sp Dictyocha sp Sub Total Total Kelimpahan
Stasiun 2
Stasiun 3
0,2
1
0,2
1
2
3
4
0,2
1
2
3
4
-
-
-
18.000 18.000
38.400 38.400
29.100 29.100
7.800 7.800
-
9.000 9.000
50.700 50.700
72.000 72.000
-
1.900 1.900 494.200
5.000 4.000 800 9.800 912.700
4.800 600 5.400 249.500
2.100 2.100 984.600
2.400 2.400 1.155.600
2.700 2.700 1.141.800
300 300 306.900
3.300 3.300 539.400
15.300 300 300 15.900 1.551.900
8.400 300 300 9.000 2.066.100
900 600 1.500 1.122.600
900 300 1.200 1.225.300
81 Lampiran 8 Nilai produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air stasiun 1 selama waktu inkubasi Kedalaman (m)
ICM
09:00 % NPP
ICM
10:00 % NPP
ICM
11:0 %
NPP
ICM
12:00 % NPP
ICM
13:00 % NPP
ICM
14:00 % NPP
Rataan NPP
0
34,350
100
82,88
48,060
100
61,69
58,560
100
47,34
59,370
100
46,34
54,780
100
52,20
42,180
100
70,69
60,19
0,1
26,672
78
93,03
37,317
78
78,33
45,470
78
65,59
46,099
78
64,63
42,535
78
70,13
32,751
78
85,25
76,16
0,2
20,710
60
96,93
28,975
60
90,38
35,306
60
81,43
35,794
60
80,69
33,027
60
84,85
25,430
60
94,25
88,09
0,3
16,080
47
95,04
22,499
47
96,34
27,414
47
92,23
27,793
47
91,80
25,644
47
94,05
19,746
47
96,99
94,41
0,4
12,486
36
88,73
17,469
36
96,23
21,286
36
96,81
21,580
36
96,72
19,912
36
96,99
15,332
36
94,14
94,94
0,5
9,695
28
79,64
13,564
28
91,18
16,528
28
95,49
16,757
28
95,70
15,461
28
94,31
11,905
28
87,18
90,58
0,6
7,528
22
69,28
10,532
22
82,82
12,833
22
89,58
13,011
22
89,99
12,005
22
87,46
9,244
22
77,74
82,81
0,7
5,845
17
58,80
8,178
17
72,73
9,965
17
80,71
10,103
17
81,24
9,322
17
78,08
7,177
17
67,29
73,14
0,8
4,539
13
48,94
6,350
13
62,19
7,737
13
70,43
7,844
13
71,00
7,238
13
67,64
5,573
13
56,88
62,85
0,9
3,524
10
40,12
4,931
10
52,07
6,008
10
59,92
6,091
10
60,48
5,620
10
57,21
4,327
10
47,19
52,83
1
2,736
8
32,49
3,828
8
42,88
4,665
8
49,97
4,729
8
50,48
4,364
8
47,50
3,360
8
38,59
43,65
1,1
2,125
6
26,07
2,973
6
34,86
3,622
6
41,02
3,672
6
41,47
3,388
6
38,85
2,609
6
31,2
35,58
1,2
1,650
5
20,77
2,308
5
28,05
2,812
5
33,26
2,851
5
33,65
2,631
5
31,42
2,026
5
24,99
28,69
1,3
1,281
4
16,45
1,792
4
22,39
2,184
4
26,72
2,214
4
27,04
2,043
4
25,18
1,573
4
19,89
22,94
82 Lampiran 9 Nilai produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air stasiun 2 selama waktu inkubasi 09:00 10:00 11:0 12:00 13:00 Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2 2,1 2,2 2,3 2,4 2,5 2,6 2,7 2,8 2,9 3 3,1 3,2
34,350 32,092 29,982 28,011 26,170 24,449 22,842 21,340 19,937 18,627 17,402 16,258 15,189 14,191 13,258 12,386 11,572 10,811 10,101 9,437 8,816 8,237 7,695 7,189 6,717 6,275 5,863 5,477 5,117 4,781 4,466 4,173 3,899
100 93,4 87,3 81,5 76,2 71,2 66,5 62,1 58,0 54,2 50,7 47,3 44,2 41,3 38,6 36,1 33,7 31,5 29,4 27,5 25,7 24,0 22,4 20,9 19,6 18,3 17,1 15,9 14,9 13,9 13,0 12,1 11,3
55,16 60,29 65,24 69,93 74,29 78,27 81,83 84,92 87,53 89,65 91,27 92,40 93,06 93,26 93,04 92,42 91,45 90,14 88,54 86,68 84,61 82,34 79,93 77,39 74,76 72,06 69,31 66,54 63,77 61,01 58,28 55,59 52,96
48,060 44,901 41,949 39,191 36,615 34,208 31,959 29,858 27,895 26,061 24,348 22,747 21,252 19,855 18,550 17,330 16,191 15,127 14,132 13,203 12,335 11,524 10,767 10,059 9,398 8,780 8,203 7,663 7,160 6,689 6,249 5,838 5,455
100 93,4 87,3 81,5 76,2 71,2 66,5 62,1 58,0 54,2 50,7 47,3 44,2 41,3 38,6 36,1 33,7 31,5 29,4 27,5 25,7 24,0 22,4 20,9 19,6 18,3 17,1 15,9 14,9 13,9 13,0 12,1 11,3
29,88 34,72 39,78 44,98 50,24 55,48 60,61 65,54 70,21 74,55 78,51 82,03 85,10 87,68 89,77 91,36 92,46 93,09 93,27 93,02 92,38 91,38 90,06 88,44 86,57 84,48 82,21 79,79 77,24 74,60 71,90 69,15 66,38
58,560 54,710 51,114 47,753 44,614 41,681 38,941 36,381 33,990 31,755 29,667 27,717 25,895 24,193 22,602 21,116 19,728 18,431 17,220 16,088 15,030 14,042 13,119 12,256 11,451 10,698 9,995 9,338 8,724 8,150 7,614 7,114 6,646
100 93,4 87,3 81,5 76,2 71,2 66,5 62,1 58,0 54,2 50,7 47,3 44,2 41,3 38,6 36,1 33,7 31,5 29,4 27,5 25,7 24,0 22,4 20,9 19,6 18,3 17,1 15,9 14,9 13,9 13,0 12,1 11,3
17,70 21,53 25,75 30,33 35,18 40,26 45,47 50,73 55,96 61,08 65,99 70,63 74,94 78,85 82,34 85,36 87,89 89,93 91,48 92,53 93,12 93,26 92,97 92,30 91,26 89,91 88,27 86,37 84,27 81,98 79,54 76,99 74,34
59,370 55,467 51,821 48,414 45,231 42,258 39,480 36,884 34,460 32,194 30,078 28,101 26,253 24,527 22,915 21,409 20,001 18,686 17,458 16,310 15,238 14,236 13,300 12,426 11,609 10,846 10,133 9,467 8,844 8,263 7,720 7,212 6,738
100 93 87 82 76 71 66 62 58 54 51 47 44 41 39 36 34 31 29 27 26 24 22 21 20 18 17 16 15 14 13 12 11
16,97 20,72 24,87 29,38 34,18 39,22 44,41 49,67 54,91 60,06 65,02 69,72 74,10 78,10 81,67 84,78 87,42 89,56 91,20 92,36 93,04 93,26 93,06 92,46 91,50 90,21 88,62 86,77 84,71 82,45 80,05 77,51 74,88
54,780 51,179 47,814 44,671 41,734 38,991 36,428 34,033 31,796 29,705 27,752 25,928 24,224 22,631 21,143 19,753 18,455 17,242 16,108 15,049 14,060 13,136 12,272 11,465 10,712 10,007 9,350 8,735 8,161 7,624 7,123 6,655 6,217
100 93 87 82 76 71 66 62 58 54 51 47 44 41 39 36 34 31 29 27 26 24 22 21 20 18 17 16 15 14 13 12 11
NPP
ICM
21,45 25,67 30,24 35,09 40,16 45,37 50,64 55,87 60,98 65,90 70,55 74,86 78,78 82,28 85,30 87,85 89,90 91,45 92,52 93,11 93,26 92,98 92,31 91,29 89,94 88,30 86,41 84,31 82,02 79,59 77,04 74,39 71,68
42,180 39,407 36,817 34,396 32,135 30,022 28,049 26,205 24,482 22,873 21,369 19,964 18,652 17,426 16,280 15,210 14,210 13,276 12,403 11,588 10,826 10,114 9,449 8,828 8,248 7,706 7,199 6,726 6,284 5,871 5,485 5,124 4,787
14:00 % NPP 100 93 87 82 76 71 66 62 58 54 51 47 44 41 39 36 34 31 29 27 26 24 22 21 20 18 17 16 15 14 13 12 11
39,36 44,55 49,81 55,06 60,19 65,15 69,84 74,21 78,20 81,76 84,86 87,48 89,61 91,24 92,38 93,05 93,26 93,05 92,44 91,47 90,17 88,57 86,72 84,65 82,39 79,98 77,44 74,81 72,11 69,36 66,60 63,83 61,07
Rataan NPP 30,09 34,58 39,28 44,13 49,04 53,96 58,80 63,49 67,97 72,17 76,03 79,52 82,60 85,23 87,42 89,14 90,40 91,20 91,57 91,53 91,10 90,30 89,18 87,75 86,07 84,15 82,04 79,77 77,35 74,83 72,23 69,58 66,89
83
Lanjutan lampiran 9… 09:00 Kedalaman (m) ICM % NPP 3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 3,8 3,9 4 4,1 4,2 4,3 4,4 4,5 4,6 4,7 4,8 4,9 5
3,642 3,403 3,179 2,970 2,775 2,592 2,422 2,263 2,114 1,975 1,845 1,724 1,611 1,505 1,406 1,313 1,227 1,146
10,6 9,9 9,3 8,6 8,1 7,5 7,1 6,6 6,2 5,7 5,4 5,0 4,7 4,4 4,1 3,8 3,6 3,3
50,38 47,87 45,44 43,09 40,81 38,63 36,53 34,51 32,58 30,74 28,99 27,32 25,73 24,22 22,78 21,43 20,14 18,92
ICM 5,096 4,761 4,448 4,156 3,882 3,627 3,389 3,166 2,958 2,763 2,582 2,412 2,253 2,105 1,967 1,838 1,717 1,604
10:00 % NPP 10,6 9,9 9,3 8,6 8,1 7,5 7,1 6,6 6,2 5,7 5,4 5,0 4,7 4,4 4,1 3,8 3,6 3,3
63,61 60,85 58,12 55,44 52,81 50,23 47,73 45,30 42,95 40,68 38,50 36,41 34,40 32,47 30,64 28,89 27,22 25,63
ICM
11:0 %
NPP
ICM
6,209 5,801 5,420 5,063 4,731 4,420 4,129 3,858 3,604 3,367 3,146 2,939 2,746 2,565 2,397 2,239 2,092 1,954
10,6 9,9 9,3 8,6 8,1 7,5 7,1 6,6 6,2 5,7 5,4 5,0 4,7 4,4 4,1 3,8 3,6 3,3
71,63 68,88 66,11 63,34 60,59 57,86 55,18 52,55 49,99 47,49 45,07 42,73 40,47 38,30 36,21 34,21 32,29 30,47
6,295 5,881 5,495 5,134 4,796 4,481 4,186 3,911 3,654 3,414 3,189 2,980 2,784 2,601 2,430 2,270 2,121 1,981
12:00 % NPP 11 10 9 9 8 8 7 7 6 6 5 5 5 4 4 4 4 3
72,18 69,44 66,67 63,90 61,14 58,41 55,72 53,08 50,50 47,99 45,55 43,20 40,92 38,73 36,62 34,60 32,67 30,83
ICM 5,809 5,427 5,070 4,737 4,425 4,134 3,863 3,609 3,371 3,150 2,943 2,749 2,569 2,400 2,242 2,095 1,957 1,828
13:00 % 11 10 9 9 8 8 7 7 6 6 5 5 5 4 4 4 4 3
NPP
ICM
68,93 66,16 63,39 60,64 57,91 55,23 52,60 50,04 47,54 45,11 42,77 40,51 38,34 36,25 34,24 32,33 30,50 28,75
4,472 4,178 3,904 3,647 3,407 3,183 2,974 2,779 2,596 2,425 2,266 2,117 1,978 1,848 1,726 1,613 1,507 1,408
14:00 % NPP 11 10 9 9 8 8 7 7 6 6 5 5 5 4 4 4 4 3
58,34 55,65 53,01 50,43 47,92 45,49 43,13 40,86 38,67 36,57 34,55 32,62 30,78 29,02 27,35 25,76 24,24 22,81
Rataan NPP 64,18 61,48 58,79 56,14 53,53 50,98 48,48 46,06 43,71 41,43 39,24 37,13 35,10 33,16 31,31 29,53 27,84 26,24
84 Lampiran 10 Nilai produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air stasiun 3 selama waktu inkubasi 09:00 10:00 11:0 12:00 Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2 2,1 2,2 2,3 2,4 2,5 2,6 2,7 2,8 2,9 3 3,1 3,2
34,350 32,382 30,527 28,778 27,129 25,575 24,109 22,728 21,426 20,198 19,041 17,950 16,922 15,952 15,038 14,177 13,365 12,599 11,877 11,197 10,555 9,950 9,380 8,843 8,336 7,859 7,408 6,984 6,584 6,207 5,851 5,516 5,200
100 94,3 88,9 83,8 79,0 74,5 70,2 66,2 62,4 58,8 55,4 52,3 49,3 46,4 43,8 41,3 38,9 36,7 34,6 32,6 30,7 29,0 27,3 25,7 24,3 22,9 21,6 20,3 19,2 18,1 17,0 16,1 15,1
60,08 63,85 67,39 70,67 73,66 76,34 78,70 80,71 82,38 83,71 84,69 85,34 85,67 85,70 85,43 84,89 84,10 83,09 81,87 80,46 78,89 77,17 75,34 73,40 71,37 69,28 67,14 64,96 62,76 60,55 58,34 56,14 53,95
48,060 45,306 42,711 40,264 37,957 35,782 33,732 31,799 29,978 28,260 26,641 25,115 23,676 22,319 21,041 19,835 18,699 17,627 16,617 15,665 14,768 13,922 13,124 12,372 11,663 10,995 10,365 9,771 9,211 8,684 8,186 7,717 7,275
100 94,3 88,9 83,8 79,0 74,5 70,2 66,2 62,4 58,8 55,4 52,3 49,3 46,4 43,8 41,3 38,9 36,7 34,6 32,6 30,7 29,0 27,3 25,7 24,3 22,9 21,6 20,3 19,2 18,1 17,0 16,1 15,1
36,56 40,73 44,95 49,16 53,32 57,37 61,26 64,96 68,43 71,62 74,52 77,10 79,35 81,26 82,83 84,05 84,93 85,48 85,71 85,64 85,29 84,68 83,82 82,73 81,45 79,99 78,37 76,62 74,75 72,78 70,74 68,63 66,47
58,560 55,205 52,042 49,060 46,250 43,600 41,102 38,747 36,527 34,434 32,461 30,602 28,848 27,196 25,637 24,169 22,784 21,478 20,248 19,088 17,994 16,963 15,991 15,075 14,212 13,397 12,630 11,906 11,224 10,581 9,975 9,403 8,864
100 94,3 88,9 83,8 79,0 74,5 70,2 66,2 62,4 58,8 55,4 52,3 49,3 46,4 43,8 41,3 38,9 36,7 34,6 32,6 30,7 29,0 27,3 25,7 24,3 22,9 21,6 20,3 19,2 18,1 17,0 16,1 15,1
23,59 27,24 31,10 35,12 39,26 43,47 47,69 51,87 55,97 59,92 63,69 67,24 70,54 73,54 76,24 78,61 80,64 82,32 83,66 84,66 85,32 85,66 85,70 85,45 84,92 84,14 83,14 81,92 80,52 78,96 77,25 75,41 73,48
59,370 55,969 52,762 49,739 46,889 44,203 41,670 39,283 37,032 34,911 32,910 31,025 29,247 27,572 25,992 24,503 23,099 21,776 20,528 19,352 18,243 17,198 16,213 15,284 14,408 13,583 12,804 12,071 11,379 10,727 10,113 9,533 8,987
100 94,3 88,9 83,8 79,0 74,5 70,2 66,2 62,4 58,8 55,4 52,3 49,3 46,4 43,8 41,3 38,9 36,7 34,6 32,6 30,7 29,0 27,3 25,7 24,3 22,9 21,6 20,3 19,2 18,1 17,0 16,1 15,1
22,78 26,37 30,19 34,18 38,29 42,49 46,71 50,91 55,02 59,02 62,83 66,44 69,80 72,87 75,64 78,09 80,19 81,96 83,38 84,46 85,20 85,61 85,72 85,53 85,06 84,34 83,39 82,22 80,86 79,33 77,66 75,85 73,94
54,780 51,641 48,683 45,894 43,264 40,785 38,449 36,246 34,169 32,212 30,366 28,626 26,986 25,440 23,983 22,608 21,313 20,092 18,941 17,856 16,833 15,868 14,959 14,102 13,294 12,532 11,814 11,138 10,499 9,898 9,331 8,796 8,292
13:00 %
NPP
ICM
14:00 %
NPP
Rataan NPP
100 94,3 88,9 83,8 79,0 74,5 70,2 66,2 62,4 58,8 55,4 52,3 49,3 46,4 43,8 41,3 38,9 36,7 34,6 32,6 30,7 29,0 27,3 25,7 24,3 22,9 21,6 20,3 19,2 18,1 17,0 16,1 15,1
27,74 31,62 35,66 39,81 44,02 48,24 52,42 56,49 60,43 64,17 67,69 70,95 73,91 76,57 78,89 80,88 82,52 83,81 84,76 85,38 85,69 85,68 85,39 84,83 84,02 82,99 81,75 80,32 78,74 77,01 75,17 73,22 71,19
42,180 39,763 37,485 35,338 33,313 31,404 29,605 27,909 26,310 24,803 23,382 22,042 20,779 19,589 18,466 17,408 16,411 15,471 14,584 13,749 12,961 12,218 11,518 10,858 10,236 9,650 9,097 8,576 8,084 7,621 7,185 6,773 6,385
100 94,3 88,9 83,8 79,0 74,5 70,2 66,2 62,4 58,8 55,4 52,3 49,3 46,4 43,8 41,3 38,9 36,7 34,6 32,6 30,7 29,0 27,3 25,7 24,3 22,9 21,6 20,3 19,2 18,1 17,0 16,1 15,1
45,84 50,05 54,18 58,21 62,06 65,72 69,13 72,26 75,09 77,61 79,79 81,62 83,11 84,26 85,07 85,55 85,72 85,59 85,18 84,51 83,60 82,48 81,16 79,66 78,01 76,23 74,34 72,35 70,29 68,17 66,01 63,82 61,61
36,10 39,98 43,91 47,86 51,77 55,60 59,32 62,87 66,22 69,34 72,20 74,78 77,06 79,03 80,68 82,01 83,02 83,71 84,09 84,19 84,00 83,55 82,85 81,93 80,81 79,50 78,02 76,40 74,65 72,80 70,86 68,84 66,77
85 Lanjutan lampiran 10…. 09:00 Kedalaman (m) ICM % NPP 3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 3,8 3,9 4 4,1 4,2 4,3 4,4 4,5 4,6 4,7 4,8 4,9 5 5,1 5,2 5,3 5,4 5,5 5,6 5,7 5,8 5,9 6 6,1 6,2 6,3 6,4 6,5 6,6
4,902 4,621 4,356 4,107 3,871 3,650 3,440 3,243 3,058 2,882 2,717 2,562 2,415 2,276 2,146 2,023 1,907 1,798 1,695 1,598 1,506 1,420 1,339 1,262 1,190 1,121 1,057 0,997 0,940 0,886 0,835 0,787 0,742 0,699
14,3 13,5 12,7 12,0 11,3 10,6 10,0 9,4 8,9 8,4 7,9 7,5 7,0 6,6 6,2 5,9 5,6 5,2 4,9 4,7 4,4 4,1 3,9 3,7 3,5 3,3 3,1 2,9 2,7 2,6 2,4 2,3 2,2 2,0
51,80 49,68 47,60 45,57 43,58 41,65 39,77 37,94 36,18 34,48 32,83 31,25 29,72 28,26 26,86 25,51 24,22 22,98 21,81 20,68 19,60 18,58 17,60 16,67 15,79 14,94 14,14 13,38 12,66 11,97 11,32 10,71 10,12 9,57
ICM
10:00 %
NPP
ICM
11:0 %
NPP
ICM
12:00 %
NPP
ICM
13:00 %
NPP
ICM
14:00 %
NPP
Rataan NPP
6,858 6,465 6,095 5,746 5,417 5,106 4,814 4,538 4,278 4,033 3,802 3,584 3,379 3,185 3,003 2,830 2,668 2,515 2,371 2,235 2,107 1,987 1,873 1,766 1,664 1,569 1,479 1,394 1,314 1,239 1,168 1,101 1,038 0,979
14,3 13,5 12,7 12,0 11,3 10,6 10,0 9,4 8,9 8,4 7,9 7,5 7,0 6,6 6,2 5,9 5,6 5,2 4,9 4,7 4,4 4,1 3,9 3,7 3,5 3,3 3,1 2,9 2,7 2,6 2,4 2,3 2,2 2,0
64,28 62,08 59,87 57,66 55,46 53,29 51,15 49,04 46,97 44,95 42,98 41,06 39,20 37,40 35,65 33,96 32,34 30,77 29,27 27,82 26,43 25,11 23,83 22,62 21,45 20,34 19,28 18,27 17,31 16,39 15,52 14,69 13,91 13,16
8,357 7,878 7,426 7,001 6,600 6,222 5,865 5,529 5,212 4,914 4,632 4,367 4,117 3,881 3,658 3,449 3,251 3,065 2,889 2,724 2,568 2,421 2,282 2,151 2,028 1,912 1,802 1,699 1,602 1,510 1,423 1,342 1,265 1,192
14,3 13,5 12,7 12,0 11,3 10,6 10,0 9,4 8,9 8,4 7,9 7,5 7,0 6,6 6,2 5,9 5,6 5,2 4,9 4,7 4,4 4,1 3,9 3,7 3,5 3,3 3,1 2,9 2,7 2,6 2,4 2,3 2,2 2,0
71,46 69,37 67,23 65,05 62,85 60,64 58,43 56,23 54,04 51,89 49,77 47,69 45,65 43,66 41,73 39,84 38,02 36,25 34,55 32,90 31,31 29,79 28,32 26,91 25,56 24,27 23,03 21,85 20,72 19,65 18,62 17,64 16,71 15,82
8,472 7,987 7,529 7,098 6,691 6,308 5,946 5,606 5,285 4,982 4,696 4,427 4,174 3,935 3,709 3,497 3,296 3,107 2,929 2,762 2,603 2,454 2,314 2,181 2,056 1,938 1,827 1,723 1,624 1,531 1,443 1,360 1,282 1,209
14,3 13,5 12,7 12,0 11,3 10,6 10,0 9,4 8,9 8,4 7,9 7,5 7,0 6,6 6,2 5,9 5,6 5,2 4,9 4,7 4,4 4,1 3,9 3,7 3,5 3,3 3,1 2,9 2,7 2,6 2,4 2,3 2,2 2,0
71,94 69,86 67,73 65,56 63,36 61,15 58,94 56,74 54,55 52,39 50,26 48,17 46,12 44,12 42,17 40,28 38,44 36,66 34,94 33,28 31,68 30,14 28,66 27,23 25,87 24,57 23,32 22,12 20,98 19,89 18,86 17,87 16,92 16,03
7,817 7,369 6,947 6,549 6,174 5,820 5,487 5,172 4,876 4,597 4,333 4,085 3,851 3,630 3,422 3,226 3,041 2,867 2,703 2,548 2,402 2,264 2,135 2,012 1,897 1,788 1,686 1,589 1,498 1,412 1,332 1,255 1,183 1,116
14,3 13,5 12,7 12,0 11,3 10,6 10,0 9,4 8,9 8,4 7,9 7,5 7,0 6,6 6,2 5,9 5,6 5,2 4,9 4,7 4,4 4,1 3,9 3,7 3,5 3,3 3,1 2,9 2,7 2,6 2,4 2,3 2,2 2,0
69,09 66,95 64,76 62,56 60,35 58,14 55,94 53,76 51,61 49,49 47,42 45,39 43,41 41,48 39,60 37,78 36,03 34,33 32,69 31,11 29,59 28,13 26,73 25,39 24,11 22,88 21,70 20,58 19,51 18,49 17,52 16,59 15,71 14,87
6,019 5,674 5,349 5,043 4,754 4,481 4,225 3,983 3,754 3,539 3,337 3,145 2,965 2,795 2,635 2,484 2,342 2,208 2,081 1,962 1,850 1,744 1,644 1,550 1,461 1,377 1,298 1,224 1,154 1,088 1,025 0,967 0,911 0,859
14,3 13,5 12,7 12,0 11,3 10,6 10,0 9,4 8,9 8,4 7,9 7,5 7,0 6,6 6,2 5,9 5,6 5,2 4,9 4,7 4,4 4,1 3,9 3,7 3,5 3,3 3,1 2,9 2,7 2,6 2,4 2,3 2,2 2,0
59,40 57,19 55,00 52,83 50,70 48,60 46,54 44,53 42,57 40,66 38,81 37,02 35,29 33,61 32,00 30,45 28,96 27,52 26,15 24,83 23,57 22,37 21,21 20,11 19,07 18,07 17,11 16,21 15,34 14,52 13,74 13,00 12,30 11,63
64,66 62,52 60,37 58,20 56,05 53,91 51,79 49,71 47,65 45,64 43,68 41,76 39,90 38,09 36,33 34,64 33,00 31,42 29,90 28,44 27,03 25,68 24,39 23,16 21,97 20,84 19,77 18,74 17,76 16,82 15,93 15,08 14,28 13,51
86 Lanjutan lampiran 10…. 09:00 Kedalaman (m) ICM % NPP 6,7 6,8 6,9 7 7,1 7,2 7,3 7,4 7,5 7,6 7,7 7,8 7,9 8 8,1 8,2 8,3 8,4 8,5 8,6 8,7 8,8 8,9 9 9,1 9,2 9,3 9,4 9,5 9,6 9,7 9,8 9,9 10
0,659 0,622 0,586 0,552 0,521 0,491 0,463 0,436 0,411 0,388 0,366 0,345 0,325 0,306 0,289 0,272 0,257 0,242 0,228 0,215 0,203 0,191 0,180 0,170 0,160 0,151 0,142 0,134 0,126 0,119 0,112 0,106 0,100 0,094
1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 1,3 1,2 1,1 1,1 1,0 0,9 0,9 0,8 0,8 0,7 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3
9,04 8,54 8,07 7,62 7,20 6,80 6,42 6,06 5,73 5,41 5,10 4,82 4,55 4,29 4,05 3,82 3,61 3,40 3,21 3,03 2,86 2,70 2,54 2,40 2,26 2,13 2,01 1,90 1,79 1,69 1,59 1,50 1,42 1,34
ICM
10:00 %
NPP
ICM
11:0 %
NPP
ICM
12:00 %
NPP
ICM
13:00 %
NPP
ICM
0,923 0,870 0,820 0,773 0,729 0,687 0,648 0,610 0,575 0,543 0,511 0,482 0,455 0,428 0,404 0,381 0,359 0,338 0,319 0,301 0,283 0,267 0,252 0,238 0,224 0,211 0,199 0,188 0,177 0,167 0,157 0,148 0,140 0,132
1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 1,3 1,2 1,1 1,1 1,0 0,9 0,9 0,8 0,8 0,7 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3
12,45 11,77 11,13 10,52 9,95 9,40 8,88 8,39 7,93 7,49 7,08 6,68 6,31 5,96 5,63 5,31 5,01 4,73 4,47 4,21 3,98 3,75 3,54 3,34 3,15 2,97 2,81 2,65 2,50 2,36 2,22 2,10 1,98 1,86
1,124 1,060 0,999 0,942 0,888 0,837 0,789 0,744 0,701 0,661 0,623 0,587 0,554 0,522 0,492 0,464 0,437 0,412 0,389 0,366 0,345 0,326 0,307 0,289 0,273 0,257 0,242 0,229 0,215 0,203 0,191 0,181 0,170 0,160
1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 1,3 1,2 1,1 1,1 1,0 0,9 0,9 0,8 0,8 0,7 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3
14,98 14,18 13,41 12,69 12,00 11,35 10,73 10,14 9,59 9,06 8,56 8,09 7,64 7,22 6,82 6,44 6,08 5,74 5,42 5,11 4,83 4,56 4,30 4,06 3,83 3,61 3,41 3,22 3,04 2,86 2,70 2,55 2,40 2,27
1,140 1,074 1,013 0,955 0,900 0,849 0,800 0,754 0,711 0,670 0,632 0,596 0,561 0,529 0,499 0,470 0,443 0,418 0,394 0,371 0,350 0,330 0,311 0,293 0,277 0,261 0,246 0,232 0,218 0,206 0,194 0,183 0,173 0,163
1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 1,3 1,2 1,1 1,1 1,0 0,9 0,9 0,8 0,8 0,7 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3
15,17 14,36 13,59 12,86 12,16 11,50 10,87 10,28 9,72 9,18 8,68 8,20 7,74 7,31 6,91 6,52 6,16 5,82 5,49 5,18 4,89 4,62 4,36 4,11 3,88 3,66 3,46 3,26 3,08 2,90 2,74 2,58 2,44 2,30
1,052 0,991 0,935 0,881 0,831 0,783 0,738 0,696 0,656 0,618 0,583 0,550 0,518 0,488 0,460 0,434 0,409 0,386 0,364 0,343 0,323 0,305 0,287 0,271 0,255 0,241 0,227 0,214 0,202 0,190 0,179 0,169 0,159 0,150
1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 1,3 1,2 1,1 1,1 1,0 0,9 0,9 0,8 0,8 0,7 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3
14,07 13,32 12,60 11,92 11,27 10,65 10,07 9,52 8,99 8,50 8,03 7,58 7,16 6,77 6,39 6,03 5,70 5,38 5,08 4,79 4,52 4,27 4,03 3,80 3,59 3,38 3,19 3,01 2,84 2,68 2,53 2,39 2,25 2,12
0,810 0,763 0,720 0,678 0,640 0,603 0,568 0,536 0,505 0,476 0,449 0,423 0,399 0,376 0,354 0,334 0,315 0,297 0,280 0,264 0,249 0,235 0,221 0,208 0,197 0,185 0,175 0,165 0,155 0,146 0,138 0,130 0,123 0,116
14:00 % NPP 1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 1,3 1,2 1,1 1,1 1,0 0,9 0,9 0,8 0,8 0,7 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3
11,00 10,40 9,83 9,29 8,78 8,29 7,84 7,40 6,99 6,60 6,23 5,89 5,56 5,25 4,95 4,67 4,41 4,16 3,93 3,71 3,50 3,30 3,11 2,94 2,77 2,61 2,47 2,33 2,19 2,07 1,95 1,84 1,74 1,64
Rataan NPP 12,78 12,09 11,44 10,82 10,23 9,67 9,14 8,63 8,16 7,71 7,28 6,88 6,49 6,13 5,79 5,47 5,16 4,87 4,60 4,34 4,10 3,87 3,65 3,44 3,25 3,06 2,89 2,73 2,57 2,43 2,29 2,16 2,04 1,92
87 Lampiran 11 Hasil analisis ANOVA antar stasiun untuk masing-masing kedalaman Kedalaman 0,2 meter Variables Suhu
Salinitas
TSS-T
Kekeruhan_T
Amoniak
Nitrit_T
Nitrat
Fosfat
Silikat_T
Klorofil-a
NPP
ICM
Sum of Squares
Source Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total
,667 1,333 2,000 80,889 146,667 227,556 1,154 ,821 1,975 2,032 ,284 2,316 ,623 22,421 23,044 ,250 1,183 1,433 12,428 90,155 102,584 ,105 ,706 ,811 ,511 ,134 ,645 845,539 472,239 1317,779 5226,391 159,821 5386,212 388,439 22,321 410,760
Duncan Klorofil-a Stasiun 3 2 1 Sig.
Subset for alpha = ,05 1 2 8,92700 9,73900 29,88233 ,914 1,000
2 3 1 Sig.
Subset for alpha = ,05 1 2 1,2271 1,6363 1,6363 2,1036 ,224 ,173
Mean Square
F
Sig.
2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8
,333 ,222
1,500
,296
40,444 24,444
1,655
,268
,577 ,137
4,216
,072
1,016 ,047
21,464
,002
,312 3,737
,083
,921
,125 ,197
,633
,563
6,214 15,026
,414
,679
,053 ,118
,446
,660
,256 ,022
11,483
,009
422,770 78,707
5,371
,046
2613,196 26,637
98,105
,000
194,219 3,720
52,206
,000
Duncan Kekeruhan_T Stasiun 3 2 1 Sig.
Duncan TSS_T Stasiun
df
Subset for alpha = ,05 1 2 ,3932 ,5803 1,4816 ,333 1,000
Duncan ICM Stasiun 3 2 1 Sig.
Subset for alpha = ,05 1 2 37,4867 38,2633 88,9900 ,860 1,000
Duncan Silikat_T Stasiun 2 3 1 Sig.
Subset for alpha = ,05 1 2 ,1878 ,3524 ,7553 ,225 1,000
Duncan NPP
Stasiun 1 2 3 Sig.
Subset for alpha = ,05 1 2 30,15700 43,67567 44,47633 1,000 ,629
88
Lanjutan lampiran 11 ........... Kedalaman 1 meter Variables Suhu
Salinitas
TSS (mg/l)
Kekeruhan
Amoniak
nitrit
Nitrat
Fosfat
Silikat
Klorofil-a
NPP
ICM
Duncan TSS (mg/l)
Stasiun 3 2 1 Sig.
Stasiun 1
Subset for alpha = ,05 1 2 26,33 78,67 222,67 ,301 1,000
Subset for alpha = ,05 1 2 4,09233
Source
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total
,056 2,880 2,936 98,000 142,000 240,000 62021,556 19266,000 81287,556 4612,921 3139,043 7751,964 ,025 13,985 14,010 ,716 1,419 2,135 55,924 230,250 286,174 ,040 1,340 1,379 37,770 23,898 61,669 895,209 276,789 1171,998 1083,538 371,994 1455,531 1026,790 20,505 1047,295
2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8
,028 ,480
,058
,944
49,000 23,667
2,070
,207
31010,778 3211,000
9,658
,013
2306,460 523,174
4,409
,066
,012 2,331
,005
,995
,358 ,237
1,513
,294
27,962 38,375
,729
,521
,020 ,223
,089
,916
18,885 3,983
4,741
,058
447,605 46,132
9,703
,013
541,769 61,999
8,738
,017
513,395 3,418
150,225
,000
Duncan Kekeruhan
Stasiun 3 2 1 Sig.
Subset for alpha = ,05 1 2 2,5500 6,2833 52,3333 ,848 1,000
Duncan Silikat
Stasiun 3 2 1 Sig.
Subset for alpha = ,05 1 2 1,08733 1,22033 5,49800 ,938 1,000
89
2 3 Sig.
1,000
25,43200 27,87167 ,157
Duncan Klorofil-a Duncan ICM
Stasiun 1 3 2 Sig.
Subset for alpha = ,05 1 2 45,7200 68,6867 69,2933 1,000 ,928
Duncan NPP
Stasiun 3 2 1 Sig.
Subset for alpha = ,05 1 2 9,5870 9,5983 30,7493 ,998 1,000
90 Lanjutan lampiran 11......... Kedalaman 2 meter
Variables Suhu
Salinitas
TSS (mg/l)
Kekeruhan
Amoniak
nitrit
Nitrat
Fosfat
Silikat
Klorofil-a
NPP
ICM
SS Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
,135 1,293 1,428 20,167 97,333 117,500 2320,667 12898,667 15219,333 18,200 68,982 87,182 ,168 3,614 3,782 ,221 1,185 1,406 6,384 46,103 52,487 ,036 ,911 ,947 3,025 5,068 8,092 ,113 152,225 152,338 6,891 210,175 217,065 10,402 13,373 23,774
1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5
,135 ,323
,418
,553
20,167 24,333
,829
,414
2320,667 3224,667
,720
,444
18,200 17,245
1,055
,362
,168 ,903
,186
,689
,221 ,296
,747
,436
6,384 11,526
,554
,498
,036 ,228
,159
,711
3,025 1,267
2,387
,197
,113 38,056
,003
,959
6,891 52,544
,131
,736
10,402 3,343
3,111
,153
91 Lanjutan lampiran 11.......... Kedalaman 3 meter Variables Suhu
Salinitas
TSS (mg/l)
Kekeruhan
Amoniak
nitrit
Nitrat
Fosfat
Silikat
Klorofil-a
NPP
ICM
SS Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
,167 1,367 1,533 20,167 97,333 117,500 912,667 6438,667 7351,333 32,434 102,920 135,354 ,464 7,615 8,079 ,001 ,480 ,481 2,574 34,323 36,897 ,040 ,164 ,204 ,246 6,156 6,402 194,507 201,331 395,838 ,191 217,903 218,094 6,846 7,962 14,808
1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5
,167 ,342
,488
,523
20,167 24,333
,829
,414
912,667 1609,667
,567
,493
32,434 25,730
1,261
,324
,464 1,904
,244
,648
,001 ,120
,006
,943
2,574 8,581
,300
,613
,040 ,041
,985
,377
,246 1,539
,160
,710
194,507 50,333
3,864
,121
,191 54,476
,004
,956
6,846 1,990
3,439
,137
92 Lanjutan lampiran 11........... Kedalaman 4 meter Variables Suhu
Salinitas
Amoniak
nitrit
Nitrat
Fosfat
Silikat
Klorofil-a
NPP
ICM
TSS_T
Kekeruhan_T
Source Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total Stasiun Galat Total
Sum of Squares ,107 1.927 2,033 20,167 97,333 117,500 ,946 9,347 10,292 ,058 ,354 ,412 ,360 41,456 41,816 ,065 ,993 1,058 ,078 1,984 2,061 11,270 28,033 39,302 14,947 252,390 267,337 3,579 4,096 7,675 ,663 ,236 ,899 1,813 ,113 1,926
df 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5 1 4 5
Mean Square ,107 ,482
F ,221
Sig. ,662
20,167 24,333
,829
,414
,946 2,337
,405
,559
,058 ,089
,653
,464
,360 10,364
,035
,861
,065 ,248
,261
,636
,078 ,496
,156
,713
11,270 7,008
1,608
,274
14,947 63,098
,237
,652
3,579 1,024
3,495
,135
,663 ,059
11,207
,029
1,813 ,028
63,964
,001
93 Lampiran 12 Hasil analisis ANOVA antar Kedalaman di masing-masing stasiun Stasiun 1 Varibales Suhu
Salinitas
Source Kedalaman
Amoniak
nitrit
,167
1
,167
4
,333
Total
1,500
5
Kedalaman
1,500
1
1,500
55,333
4
13,833
56,833
5
13442,667
1
13442,667
Galat
1810,667
4
452,667
Total
15253,333
5
Kedalaman
Kedalaman
400,167
1
400,167
Galat
4320,167
4
1080,042
Total
4720,333
5
Kedalaman
,375
1
,375
Galat
16,491
4
4,123
Total
16,866
5
,409
1
,409
1,780
4
,445
Kedalaman Galat Total
Nitrat
Fosfat
Silikat
Klorofil-a
2,189
5
17,699
1
17,699
Galat
261,576
4
65,394
Total
Kedalaman
279,275
5
Kedalaman
,121
1
,121
Galat
,965
4
,241
Total
1,085
5
Kedalaman
,744
1
,744
Galat
43,086
4
10,772
Total
43,830
5
1,128
1
1,128
929,940
4
232,485
Kedalaman Galat Total
NPP
ICM
Mean Square
1,333
Total
Kekeruhan
df
Galat
Galat
TSS (mg/l)
Sum of Squares
931,068
5
2808,439
1
2808,439
Galat
263,064
4
65,766
Total
3071,504
5
Kedalaman
Kedalaman
1019,050
1
1019,050
Galat
11,492
4
2,873
Total
1030,542
5
F
Sig.
,500
,519
,108
,758
29,697
,006
,371
,576
,091
,778
,919
,392
,271
,630
,500
,518
,069
,806
,005
,948
42,703
,003
354,705
,000
94 Lanjutan lampiran 12 ......... Stasiun 2 Variable
Source
Suhu
Salinitas
TSS (mg/l)
Kekeruhan
Amoniak
nitrit
Nitrat
Fosfat
Silikat
Klorofil-a
NPP
ICM
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
,077 4,800 4,877 2,267 494,667 496,933 9889,733 37202,667 47092,400 498,948 287,282 786,229 1,659 28,266 29,925 ,235 1,721 1,956 2,820 83,224 86,043 ,180 1,738 1,918 4,167 8,222 12,389 35,324 208,343 243,667 11290,291 434,005 11724,296 3252,125 1,742 326,868
4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14
,019 ,480
,040
,996
,567 49,467
,011
1,000
2472,433 3720,267
,665
,631
124,737 28,728
4,342
,027
,415 2,827
,147
,960
,059 ,172
,342
,844
,705 8,322
,085
,985
,045 ,174
,258
,898
1,042 ,822
1,267
,345
8,831 20,834
,424
,788
2822,573 43,400
65,036
,000
813,031 1,374
591,619
,000
Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total
Duncan NPP Kedalaman (m) 4 0,2 1 3 2 Sig.
1 27,5367 38,2633
Duncan Kekeruhan
Subset for alpha = ,05 2 3
Kedalaman (m) 4 0.2 2 1 3 4 Sig.
69,2933 83,2633 ,074
1,000
1,000
101,0467 1,000
Duncan ICM Kedalaman (m) 4 3 2 1 0,2 Sig.
1 3,35400
2
Subset for alpha = .05 3 4
5
6,58700 12,94067 25,43200 1,000
1,000
1,000
1,000
43,67567 1,000
Subset for alpha = ,05 1 2 3,8333 5,2833 6,2833 6,3000 19,6667 ,610 1,000
95 Lanjutan lampiran 12.......... Stasiun 3 Variables Suhu
Salinitas
TSS (mg/l)
Kekeruhan
Amoniak
nitrit
Nitrat
Fosfat
Silikat
Klorofil-a
NPP
ICM
Source Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total Kedalaman Galat Total
Sum of Squares ,823 2,667 3,489 1,067 30,667 31,733 7606,933 26596,000 34202,933 2,802 10,917 13,718 2,252 12,226 14,478 ,023 ,818 ,840 18,296 97,487 115,783 ,085 1,411 1,496 4,618 8,717 13,335 231,867 303,778 535,645 11664,800 515,213 12180,013 3106,141 43,023 3149,163
df 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14
Mean Square ,206 ,267
F ,771
Sig. ,568
,267 3,067
,087
,985
1901,733 2659,600
,715
,600
,700 1,092
,642
,645
,563 1,223
,460
,763
,006 ,082
,069
,990
4,574 9,749
,469
,758
,021 ,141
,150
,959
1,154 ,872
1,324
,326
57,967 30,378
1,908
,186
2916,200 51,521
56,602
,000
776,535 4,302
180,494
,000
Duncan NPP Kedalaman (m) 4 0,2 1 3 2 Sig.
Subset for alpha = ,05 2 3 4
1 24,3800
5
37,4867 68,6867 83,6200 1,000
1,000
1,000
1,000
98,9033 1,000
Duncan ICM Kedalaman (m) 4 3 2 1 0.2 Sig.
1 4.89867
2
Subset for alpha = .05 3 4
5
8.72333 15.57400 27.87167 1.000
1.000
1.000
1.000
44.47633 1.000