Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat
[email protected] │+6281218560749 www.spd-indonesia.com
Problematika Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan Pemilu Indonesia1 Pembahasan Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu 2019 segera akan mendapatkan momentum pentingnya dalam waktu yang dekat ini. Pada saatnya nanti, intensitas diskusi dan wacana terkait substansi pembahasan RUU Penyelenggaran Pemilu, akan mengisi ranah politik Indonesia, baik di DPR maupun di luar DPR. Dari sejumlah isu krusial yang saat ini menjadi daftar materi pembahasan, perlu untuk dikupas satu-persatu secara lebih mendalam. Salah satu isu utama yang perlu diagendakan pendalamannya secara memadai adalah ”Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan”. Isu ini merupakan salah satu bagian dari perangkat sistem pemilu penting, namun melekat di dalamnya beberapa dimensi krusial, antara lain: 1. Keadilan atas jaminan keterwakilan penduduk terhadap wakilnya 2. Jaminan bagi ada tidaknya peluang yang sama bagi setiap partai untuk mendapatkan kursi 3. Mendeteksi absen tidaknya pola yang secara sistematis untuk menguntungkan partai politik tertentu 4. Sinyal dan ukuran, seberapa tinggi threshold (matematis/terselubung) yang harus dilampaui oleh setiap partai untuk mendapatkan kursi perwakilan 5. Jaminan bagi terjaganya kesamaan tujuan dan kepentingan sebuah komunitas dalam konteks perwakilan. 6. Memperhatikan kesesuaian daerah pemilihan dengan struktur partai 7. Daerah pemilihan senantiasa membutuhkan penyesuaian dengan porses pertumbuhan penduduk, sehingga membutuhkan review dan penataan secara berkala. Hingga saat ini, proposal perubahan alokasi kursi dan pembentukan peta daerah pemilihan dari beberapa partai politik meliputi penurunan besaran alokasi kursi setiap daerah pemilihan antara; 3-6, 3-8, dan 3-10 kursi. Beberapa argumen yang mengemuka pada isu penurunan besaran magnitude daerah pemilihan, didasarkan pada keinginan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan sekaligus menciptakan stabilitas pemerintahan, memperkuat basis legitimasi wakil dan mendekatkannya dengan pemilih. Pada sisi lain, muncul pertanyaan, apakah sistem kepartaian yang ada dianggap sudah sangat meluas atau ekstrim. Pertanyaan berikutnya, jika alokasi kursi daerah pemilihan diturunkan, sejauhmana struktur wilayah administrasi pemerintahan dan struktur partai yang mengikutinya, berubah akibat perubahan peta daerah pemilihan. Hal ini beranjak dari pembentukan daerah pemilihan di Indonesia, yang 1
Disampaikan pada diskusi media Sindikasi Pemilu dan Demokrasi - SPD “Problematika Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan”, Jakarta, 9 Oktober 2016.
1|Page
secara tradisi berbasis pada wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan). Meski banyak pihak memahami betapa penting pengaruh daerah pemilihan dengan konsep keterwakilan, namun studi ataupun kajian tentang isu ini sangatlah langka, jika tidak boleh dikatakan terabaikan. Untuk itu, pengalaman lebih dari dua ratus tahun di Amerika Serikat dan sebagian Eropa Barat dalam kurun waktu hampir satu abad, layak untuk dijadikan salah satu rujukan.2 Pada sebagian besar Negara-negara di dunia, konsep keterwakilan selalu dikaitkan dengan wilayah teritorial. Sedangkan faktor-faktor non teritorial yang turut diperhatikan, antara lain: basis pemilih parpol, kelas sosial ataupun basis pendapatan, kepercayaan dan etnik, maupun kelompok-kelompok asosiasi.3 Setidaknya ditemukan tiga dimensi penting yang mendasari basis penentuan daerah pemilihan: Pertama, homogenitas. Didefinisikan sebagai seberapa tinggi tingkat kesamaan pandangan kelompok masyarakat atau konstituen. Baik pandangan politik atau ideologi, tata cara dan praktek kehidupan sehari-hari yang berpengaruh terhadap respon bersama atas suatu isu. Kedua, stabilitas. Tingkat kemapanan keanggotaan konstituen, dimana pilihannya terhadap partai atau kandidat tidak sering berubah dari satu perode pemilu ke periode pemilu yang lain. Model konstituensi di Amerika Serikat memiliki tingkat stabilitas yang lebih permanen, sedangkan model sistem proporsional biasanya cenderung berubah. Ketiga, voluntary. Permisif tidaknya pemilih atau basis konstituen terhadap masuk dan keluarnya partai-partai baru. Dengan kata lain, dari sisi pemilih, apakah pemilih memiliki keleluasaan untuk diwakili oleh partai-partai baru atau oleh partai-partai lama. Sedangkan dari sisi partai, apakah peluang keluar masuknya partai-partai baru atau kandidat besar atau kecil.4 Di tengah perdebatan yang saat ini mengemuka jelang pembahasan perubahan undang-undang pemilu, kajian ini dimaksudkan untuk membedah setidaknya pada tiga hal. Pertama, bagaimana konsep-konsep dasar penataan daerah pemilihan harus dipahami. Kedua, bagimana potret permasalahan yang terjadi di Indonesia terkait alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan. Dan ketiga, catatan dan rekomendasi apa saja yang hendaknya diangkat dalam pembahasan rancangan undang-undang di DPR. Kerangka Konsep Beberapa prinsip penting yang hendaknya dipegang dan dipakai oleh para pembuat undangundang dalam proposal pembentukan dan pengurangan alokasi kursi daerah pemilihan, antara lain:5 1. Daerah pemilihan merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous district) 2. Kesetaraan populasi (equal population) 3. Menjaga kesamaan kepentingan dari komunitas (preserving communities of interest) 2
Andrew Rehfeld, The Concept of Constituency: “Political Representation, Democratic Legitimacy, and Institutional Design”, Cambridge University Press, 2005, hlm. 29-31 3 Ibid, hlm. 37-38 4 Op.cit, Andrew Rehfeld, hlm. 39-44 5 Op.cit Thomas Brunell, hlm. 50
2|Page
4. Menjaga keutuhan wilayah politik/administrasi (preserving political subdivision), dan 5. Kekompakan daerah pemilihan (compactness) Sebenarnya ada satu lagi prinsip, yaitu perlindungan terhadap petahana (protecting of incumbent). Prinsip ini penting untuk dipahami, mengingat dalam prinsip tersebut terdapat insentif bagi petahana untuk dapat terpilih lagi atau tidak, mengingat selama ini sang petahana sudah menjalankan tugasnya sebagai legislator partai.6 Beberapa prinsip di atas, selain memiliki tingkat prioritas yang lebih tinggi dibanding yang lain, juga seringkali saling bertentangan. Oleh karena itu, pilihan-pilihan yang hendak diprioritaskan, akan memberi dampak pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Diantara prinsip-prinsip di atas, yang paling ketat adalah daerah pemilihan hendaknya merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous district).7 Jika dilihat prakteknya, maka gabungan antara Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur sebagai daerah pemilihan untuk DPR, menjadi contoh kongkrit pelanggaran atas prinsip ini. Pertentangan antara satu prinsip dengan prinsip yang lain biasanya muncul dalam pembentukan daerah pemilihan. Misalnya, prinsip kesetaraan populasi. Jika ketentuan ini yang hendak disasar - dalam rangka menciptakan kesetaraan populasi antar daerah pemilihan biasanya akan bertumbukan dengan prinsip menjaga keutuhan wilayah administrasi. Oleh karena itu, ketentuan wilayah administrasi biasanya ditanggalkan, atau jika tidak maka ketidaksetaraan atau deviasi yang terjadi. Bisa saja, karena alasan keutuhan wilayah administrasi maka deviasi -akibat ketidaksetaraan populasi- diberikan toleransi. Namun, toleransi terhadap deviasi karena alasan menjaga keutuhan suatu wilayah, biasanya akan mengundang munculnya berbagai praktek gerrymandering.8 Konsekuensi-konsekuensi ini haruslah sepenuhnya dipahami oleh pembuat undang-undang. Penataan Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan di Indonesia Dari pelaksanaan empat kali pemilu demokratis paska reformasi 1999, isu ini kurang mendapatkan perhatian dan pendalaman, baik oleh pembuat undang-undang maupun peyelenggara pemilu (KPU). Namun perubahan penataan dan alokasi kursi daerah pemilihan,
6
Ibid, hlm. 68-70 Ibid, hlm. 58-59 8 Praktik ini dikaitkan dengan pembuatan peta atau garis daerah pemilihan yang tidak seimbang dan bertujuan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini partai tertentu. Lebih lanjut lihat Michael D. McDonald dan Richard L. Engstrom “Detecting Gerrymandering”, dalam Political Gerrymandering and The Court, Bernard Grofman (ed), Agathon Press, New York, 1990, hlm. 178. Sedangkan istilahnya diambil dari nama Elbrigde Gerry, Gubernur Negara Bagian Massachusetts 1810-1812. Lebih lanjut lihat Gary W. Cox dan Jonathan N. Katz dalam Elbridge Gerry Salamander “The Electoral Consequences of the Reapportionment Revolution”, Cambridge University Press, 2004, hlm. 3-4. Istilah ini juga muncul di Irlandia era perdana Menteri James Tully (Fine Gael), maka disebut sebagai Tullymandering. Hanya saja berbeda dengan Elbridge Gerry yang diuntungkan, justru James Tully malah dirugikan, meski maunya diuntungkan. Lihat Op.cit, Gianfranco Baldini dan Adriano Pappalardo, hlm. 184-185 7
3|Page
setidaknya mulai mendapatkan porsi serius oleh penyelenggara pemilu (KPU) pada Pemilu 2014. Hal ini dapat terlihat dari diadopsinya beberapa prinsip penting pendaerah pemilihanan yang masuk dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 5 Tahun 2013.9 Selain itu, secara sistematis KPU melakukan rangkaian kegiatan dalam pembahasan dan penataan daerah pemilihan, meski batasan kewenangannya hanya untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. KPU setidaknya membagi prinsip-prinsip dalam dua hal, ada prinsip wajib dan prinsip yang diperhatikan. a. Prinsip yang wajib dipenuhi: 1) Prinsip kesinambungan/integralitas wilayah (kesatuan wilayah yang utuh) 2) Alokasi kursi per daerah pemilihan antara 3 – 12 kursi (diupayakan 6 – 12 yang akan ditegaskan melalui Juknis) 3) Prinsip Coterminus (daerah pemilihan sebangun. Daerah pemilihan DPR RI sebangun dengan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) b. Prinsip yang perlu diperhatikan: 1) Kondisi geografis dan transportasi 2) Kondisi sosial budaya Meski upaya penataan secara sistematis telah dilakukan, namun berbagai permasalahan juga tetap terjadi. Problematika Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan di Indonesia Pada sisi alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan, masalah yang paling banyak muncul antara lain: 1. Malapportionment10 atau kesalahan alokasi kursi yang tidak menghormati jumlah populasi secara adil (beberapa provinsi mendapatkan kursi perwakilan melebihi jumlah penduduknya). a. Hutang yang belum terbayar untuk Provinsi Papua, Maluku, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat, akibat kesalahan alokasi Pemilu 2004. b. Kelebihan alokasi kursi untuk Sulawesi Selatan dan Nangroe Aceh Darussalam, pada Pemilu 2009. c. Sedangkan Riau dan Kepulauan Riau mendapatkan kursi keterwakilan kurang dari jumlah penduduk yang seharusnya, berlangsung sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2014. d. Kesalahan alokasi kursi Daerah Pemilihan DPR RI Banten III. Harusnya mendapatkan alokasi 12 kursi. Namun, karena batasan maksimal undang-undang hanya 10 kursi. 9
Buku Laporan Alokasi Kursi & Daerah Pemilihan, KPU RI 2014 Berasal dari istilah apportionment atau pembagian atau alokasi kursi perwakilan (DPR) berdasarkan jumlah populasi secara adil. Oleh karena itu malapportionment diartikan kesalahan alokasi atau pembagian yang tidak menghormati jumlah pupulasi (penduduk) yang seharusnya. Bisa diukur dari ratio jumlah penduduk dibanding dengan jumlah kursi perwakilan yang diterima apakah seimbang atau tidak. Lebih lanjut Op. cit lihat Michel Balinsky dan Peyton Young, hlm. 1-4 10
4|Page
Kelebihan 2 kursi diberikan ke Daerah Pemilihan I dan II masing-masing menjadi 6 kursi, meskipun berdasarkan jumlah penduduk harusnya hanya berhak mendapatkan masing-masing 5 kursi. 2. Gerrymandering. Pembentukan daerah pemilihan yang secara sistematis dan berpola menguntungkan pihak atau partai tertentu. Hal ini berdampak pada tidak terjaganya prinsip integralitas suatu wilayah, absennya kekompakan daerah pemilihan, atau peta daerah pemilihan dalam satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipenuhi. a. Daerah pemilihan Jabar III DPR RI (gabungan Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur) b. Daerah pemilihan IX dan daerah pemilihan X DPRD Provinsi DKI Jakarta c. Daerah pemilihan IV DPRD Kabupaten Yahukimo yang melintasi 3 daerah pemilihan berbeda. d. Pembentukan daerah pemilihan yang tak homogen. Atau kombinasi secara acak gabungan wilayah administrasi pemerintahan, menjadi satu daerah pemilihan. Contoh: kota dengan kota (Depok & Bekasi), Kota dengan Kabupaten (Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo) dan kabupaten dengan kabupaten (Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Gresik) 3. Pelanggaran ketentuan batas minimal dan maksimal 3-12 kursi daerah pemilihan. Kasus terjadi di DPRD Kabupaten Taliabu, di mana satu dapil sama dengan 20 kursi. 4. Tidak terjaganya prinsip proporsionalitas atau kesetaraan alokasi kursi antar daerah pemilihan dalam satu wilayah administrasi pemerintahan. Hal ini berakibat pada peluang yang tidak sama bagi setiap partai atau kandidat dalam berkompetisi. a. DPRD Kabupaten Maluku Tenggara (alokasi 4, 10, dan 11 kursi). Dengan demikian muncul ambang batas terselubung antara 12,5% untuk daerah pemilihan berkursi empat, 5% untuk daerah pemilihan berkursi 10, dan 4,54% untuk daerah pemilihan berkursi 11. b. DPRD Kota Tomohon (alokasi 5, 6, dan 9 kursi) atau Ambang Batas Terselubung 10 persen, 8,33 persen dan 5,55 persen. c. DPRD Kota Pasuruan (alokasi 4, 7, dan 11 kursi) atau Ambang Batas Terselubung 12,5 persen, 7,14 persen dan 4,54 persen. Kesimpulan dan Rekomendasi 1.
2.
Pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) hendaknya memberikan perhatian yang memadai terhadap isu Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Porsi Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu hendaknya ditujukan dalam rangka perbaikan atas berbagai masalah Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan, baik DPR, DPRD Provinsi, maupun DPRD Kabupaten/Kota. d. Menjaga prinsip kesetaraan populasi antar daerah pemilihan e. Menghilangkan Gerrymandering yang terjadi di sejumlah daerah pemilihan, baik untuk tingkat DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
5|Page
f. Menjaga tingkat proporsionalitas jumlah kursi antar daerah pemilihan. Termasuk di dalamnya kesenjangan jumlah kursi antar daerah pemilihan yang berada dalam satu provinsi ataupun dalam satu kabupaten/kota. g. Menjaga dan melindungi kesamaan kepentingan dari sebuah komunitas. h. Mempertimbangkan prinsip perlindungan terhadap petahana. 3. Prinsip-prinsip utama Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan, sebagaimana di atur dalam Peraturan KPU No. 5 Tahun 2013 hendaknya diadopsi dalam undangundang, sehingga memiliki status lebih mengikat. 4. Penggunaan basis data kependudukan yang jelas untuk Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan, baik DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Misalnya: Data Sensus BPS. 5. Agar prinsip-prinsip utama alokasi kursi (proporsionalitas, adil, derajat keterwakilan tinggi) dapat terjaga, maka alokasi kursi dapat ditetapkan berdasarkan tingkat partisipasi pada hari pemungutan suara. 6. Penghitungan perolehan suara dan kursi partai politik, dapat dilakukan dihitung secara nasional atau provinsi untuk kemudian dialokasikan ke daerah pemilihan. 7. Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan hendaknya memperhatikan struktur partai politik dan wilayah administrasi pemerintahan. 8. Penataan Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan, hendaknya didasarkan pada prinsip Satu Suara, Satu Orang, dan Satu Nilai (Opovov), agar berkesesuaian dengan prinsip Opovov yang dianut dalam Pilpres. Dengan demikian, potensi konflik kelembagaan akibat benturan dua prinsip yang berbeda tersebut dapat dihindari. 9. Khusus untuk Provinsi Papua, Maluku, Sulawesi Utara dan NTB, agar dikembalikan kursi keterwakilannya yang pernah hilang. 10. Penataan dan Pembentukan Peta Daerah Pemilihan hendaknya menggunakan dasar dan alat ukur yang jelas. Misalnya ukuran tentang proporsionalitas, adil, derajat keterwakilan yang tinggai.
6|Page
Lampiran Contoh Daerah Pemilihan Malapportionment (Kesalahan Alokasi Kursi)
Contoh Gerrymandering
7|Page
8|Page
9|Page
Contoh Daerah Pemilihan melebihi ketentuan maksimal 12 kursi.
10 | P a g e
Contoh Daerah Pemilihan yang tidak proporsional.
11 | P a g e
12 | P a g e