PREVALENSI KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA SISWA SDN I KROMENGAN KABUPATEN MALANG Ayuria Andini, Endang Suarsini, Sofia Ery Rahayu Universitas Negeri Malang Email:
[email protected] ABSTRAK: Desa Kromengan memiliki beberapa sungai yang digunakan sebagai sarana MCK, beberapa masyarakat memiliki kebiasaan defekasi di tanah. Siswa SDN I Kromengan memiliki kesenangan bermain tanah dan menyebabkan kuku jari tangan kotor dan belum adanya sarana mencuci tangan membuat siswa cenderung tidak mencuci tangan sebelum makan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif yang bertujuan untuk mengetahui jenis telur STH dan prevalensi kecacingan STH pada siswa SDN I Kromengan. Sampel dalam penelitian ini yaitu telur STH yang ditemukan di kuku jari tangan 48 siswa kelas I-VI SDN I Kromengan. Larutan rendaman kuku kemudian disentrifugasi dan diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x10. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi kecacingan STH pada siswa SDN I Kromengan adalah sebesar 48% yaitu kategori sedang dengan rincian Ascaris lumbricoides sebesar 37,5% (kategori sedang) dan Trichuris trichiura 17% (kategori rendah).
Kata kunci: Soil Transmitted Helminths, kecacingan, prevalensi Desa Kromengan terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur yang berjarak ±30 km dari pusat kota. Desa Kromengan memiliki beberapa sungai yang masih aktif digunakan sebagian penduduknya sebagai sarana mandi, cuci, kakus (MCK). Salah satu sumber air di Desa Kromengan telah digunakan sebagai sumber air utama masyarakat yang dialirkan melalui pipa sederhana namun penggunaan sumber air ini belum optimal dan sering mengalami kemacetan sehingga penduduk akan beralih menggunakan air sungai guna memenuhi kebutuhan air sehari-hari apabila terjadi kemacetan sumber air. Selain itu, terdapat kebiasaan beberapa masyarakat yang buang air besar di tanah (kebun). Hal tersebut dapat memperbesar kemungkinan penularan STH di Desa Kromengan. SDN I Kromengan adalah sekolah dasar yang berdiri di Desa Kromengan dan menerima sebagian besar murid yang berdomisili di Desa Kromengan. Para siswa SDN I Kromengan memiliki kebiasaan membeli jajanan dari penjual makanan kecil yang menjajakan dagangannya di depan sekolah yang berada tepat di hadapan jalan raya. Sebagian besar makanan yang dijualbelikan tidak memiliki 1
penutup dan kemungkinan besar tercemar oleh debu yang dapat saja mengandung telur STH. Siswa SDN I Kromengan sebagaimana siswa SD pada umumnya memiliki kesenangan bermain tanah dan menyebabkan kuku jari tangan kotor, belum adanya sarana mencuci tangan membuat siswa cenderung tidak mencuci tangan sebelum makan sehingga dapat menyebabkan tertelannya telur STH. Telur infektif yang tersimpan di dalam kuku jari tangan berpotensi untuk tertelan dan menyebabkan seseorang terinfeksi cacingan. Cacingan atau kecacingan adalah salah satu jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh hewan parasit yaitu cacing. Berdasarkan hasil survei Departemen Kesehatan (2010) cacing parasit yang banyak menyerang anak-anak Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, dan Trichuris trichiura. Keempatnya merupakan nematoda usus yang cara penularannya melalui tanah sehingga disebut dengan Soil Transmitted Helminths (STH) (Kurniawan, 2010). Infeksi cacingan yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit kecacingan di Indonesia secara nasional dimulai tahun 1975. Menurut Kementrian Kesehatan 2000 pada Pelita V tahun (1989–1994) dan Pelita VI tahun (1994–1999), Program Pemberantasan Penyakit Cacing lebih ditingkatkan prioritasnya pada anak-anak karena faktor peningkatan perkembangan dan kualitas hidup mereka. Anak-anak merupakan penderita infeksi cacing tertinggi karena kebiasaan bermain tanah dan tidak menggunakan alas kaki ketika bermain. Penularan STH dapat terjadi pada saat anak-anak bermain tanah sehingga cacing dapat melakukan penetrasi melalui kulit maupun telur cacing yang tertinggal dalam kuku jari tangan dan akhirnya tertelan akibat kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan. Kecenderungan peningkatan prevalensi kecacingan terjadi dalam dekade terakhir. Penelitian Manggara (2005) mempresentasikan 24,3% murid SD di daerah kumuh Jakarta terinfeksi askariasis sebesar 87,6%. Rahayu (2006) menyatakan bahwa prevalensi Ascaris lumbricoides pada kuku jari tangan siswa SD di Kota Malang adalah sebesar 65,22% dan prevalensi Trichuris trichiura 2
adalah sebesar 11,59%. Demikian juga Mardiana yang melakukan penelitian terhadap anak SD di Jakarta didapatkan prevalensi askariasis sebesar 70-80% dan penderita trikuriasis 25,3-68,4% (Djarismawati, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kecacingan pada anak Sekolah Dasar di dua kelurahan di Kota Palu adalah 31,6% dan jenis cacing yang paling dominan menginfeksi adalah Ascaris lumbricoides (Chadijah et al, 2014). Prevalensi Nematoda usus golongan STH pada peternak di Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan adalah sebesar 90,00 %, dengan rincian Ascaris lumbricoides sebanyak 80,00 %, Trichuris trichiura 6,67 % dan cacing tambang 3,33% (Resnhaleksmana, 2014). Latar belakang tersebut mendasari penulis untuk melakukan penelitian Prevalensi Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Siswa SDN I Kromengan Kabupaten Malang. METODE Pengambilan kuku jari tangan dilakukan di SDN I Kromengan menggunakan gunting kuku secara manual oleh peneliti. Kuku yang diperoleh kemudian ditempatkan pada botol plakon berisi NaOH 15% sebanyak 5 ml kemudian jari tangan dan telapak tangan sampel disapu menggunakan kain kasa yang telah dibasahi menggunakan aquades steril. Kain kasa yang diperoleh kemudian diperas dan air perasannya disertakan dalam botol plakon berisi ku Larutan rendaman kuku kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge dan diputar dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. Cairan supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan sedimen yang berisi spesimen diambil dengan pipet, kemudian meletakkannya pada kaca benda dan ditutup dengan kaca penutup. Mengamati preparat menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x10. Pengamatan dilakukan sampai sedimen yang diperoleh habis (Hadijaja, 1990). Identifikasi telur STH merujuk pada Atlas of Medical Helminthology and Protozoology (Chiodini, et al, 2003). Mengidentifikasi telur cacing parasit yang ditemukan berdasar pada ciri khas dindingnya (normal, dekortifikasi, berembrio, tidak dibuahi). Menghitung semua jenis telur cacing parasit yang ditemukan pada semua stadium (normal, berembrio, tidak dibuahi,dan dekortifikasi). Bila
3
pemeriksaan dan identifikasi telur belum selesai dilakukan pada hari pertama, maka sedimen diawetkan dengan larutan fiksatif formalin 5% (Hadijaja, 1990). HASIL 1. Jenis Telur STH yang ditemukan di Kuku Jari Tangan Siswa SDN I Kromengan Berdasarkan pengamatan mikroskopis terhadap 48 sampel kuku tangan siswa SDN I Kromengan diketahui bahwa telur yang ditemukan yaitu telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura.Keadaan telur yang ditemukan ditabulasikan ke dalam Tabel 1.1.
No. (1)
Kode Spesies (2)
1
Sp. 1
2
Foto (Perbesaran 40x10)
Gambar Telur
Ciri Telur
(3)
(4)
(5) Telur normal a. Telur berbentuk tempayan b. Terdapat operkulum berwarna jernih di kedua kutub c. Bagian luar telur jernih d. Bagian dalam telur (protoplasma) berwarna coklat Telur dekortifikasi a. Telur berbentuk oval b.Tepi telur rata dan tidak terdapat lapisan albuminoid c. Terdapat lapisan hialin jernih yang tipis d. Bagian dalam telur berwarna coklat
Sp. 2
4
Lanjutan Tabel 1.1 (1)
3.
4.
5.
6.
(2)
(3)
(4)
(5)
Telur dekortifikasi a. Telur berbentuk oval b. Tepi telur rata dan tidak memiliki lapisan albuminoid c. Tepi telur jernih d. Bagian dalam (protoplasma) telur berwarna coklat
Sp. 3
Telur dekortifikasi a. Telur berbentuk oval b. Tepi telur rata dan tidak memiliki lapisan albuminoid a. Bagian dalam (protoplasma) telur berwarna coklat
Sp. 4
Telur dekortifikasi a. Telur berbentuk oval b. Tepi telur rata dan tidak terdapat lapisan albuminoid c. Bagian dalam (protoplasma) telur berwarna coklat
Sp. 5
Telur normal a. Telur berbentuk oval b. Terdapat lapisan albuminoid pada bagian paling tepi c. Terdapat lapisan hialin tipis di bawah lapisan albuminoid d. Bagian dalam telur (protoplasma) berwarna coklat.
Sp. 6
5
Lanjutan Tabel 1.1
(1)
7.
8.
(2)
(3)
(4)
(5) Telur dekortifikasi a. Telur berbentuk oval b. Tepi telur rata tanpa albuminoid c. Bagian dalam telur (protoplasma) berwarna coklat
Sp. 7
Telur berembrio a. Telur berbentuk oval b. Tepi telur beralur (lapisan albuminoid) c. Bagian dalam telur (protoplasma) berwarna coklat d. Terdapat larva di bagian dalam telur
Sp. 8
2. Prevalensi Kecacingan STH pada Siswa SDN I Kromengan Angka prevalensi siswa per kelas SDN I Kromengan yang positif mengandung telur STH pada kuku jari tangannya ditabulasikan ke dalam Tabel 1.2.
6
Tabel 1.2 Prevalensi Siswa yang Positif Terinfeksi Telur STH Jumlah
Positif
Siswa
Terinfeksi STH
I
8
6
75%
II
8
5
61,25%
III
8
5
61,25%
IV
8
3
37,25%
V
8
2
25%
VI
8
2
25%
23
48%
Kelas
Jumlah 48
Prevalensi
Prevalensi siswa per kelas yang positif mengandung telur cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura di antara siswa yang positif mengandung telur STH pada kuku jari tangannya ditampilkan dalam Tabel 1.3 berikut. Tabel 1.3 Prevalensi Kecacingan A. lumbricoides dan T. trichiura pada Siswa SDN I Kromengan Positif Terinfeksi Kelas
Jumlah Siswa
I
8
5
2
II
8
4
1
III
8
4
2
IV
8
2
1
V
8
2
1
VI
8
1
1
Jumlah 48
18
8
Prevalensi
37,5%
17%
Ascaris lumbricoides Trichuris trichiura
Tabel data 4.4 menunjukkan prevalensi telur STH yang paling dominan adalah telur Ascaris lumbricoides dengan prevalensi 37,5% yang termasuk ke 7
dalam kategori sedang dan disusul dengan telur Trichuris trichiura sebesar 17% yang termasuk dalam kategori rendah. PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan terhadap Hen Day Production (HDP) Berdasarkan pengamatan mikroskopis yang telah dilakukan pada 48 sampel kuku jari tangan siswa SDN I Kromengan ditemukan 2 jenis telur cacing STH yaitu telur Ascaris lumbricoides dan telur Trichuris trichiura. Telur Ascaris lumbricoides ditemukan sebanyak 69 buah dalam keadaan normal, 1 telur dalam keadaan berembrio dan 1 telur dekortifikasi serta 26 telur Trichuris trichiura dalam keadaan normal. Telur Ascaris lumbricoides ditemukan paling banyak dalam penelitian ini karena didukung oleh faktor internal yaitu morfologi telur yang memiliki 3 lapisan. Bagian terluar telur adalah lapisan albuminoid yang berbenjol-benjol kasar yang berfungsi sebagai pelindung. Struktur albuminoid yang kasar akan melindungi telur dari keadaan lingkungan sehingga kondisi telur dapat bertahan dan tidak mudah rusak.Telur Ascaris lumbricoides mempunyai kulit hialin yang tebal sedangkan pada lapisan ketiga terdapat vitelin yang tipis dan berfungsi untuk melindungi isi telur (Brown, 1983). Lapisan albuminoid juga memiliki sifat lengket sehingga mudah melekat pada kulit tubuh saat kulit bersinggunangan dengan tanah yang menjadi media perantara penularan telur. Kontaminasi oleh Ascaris lumbricoides biasanya akan diikuti oleh kontaminasi Trichuris trichiura. Hal ini disebabkan Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura memiliki pola perkembangan yang hampir sama, yaitu memiliki kemiripan waktu perkembangan di tanah (Samad, 2009). Telur Ascaris lumbricoides memerlukan waktu pematangan di tanah selama 18 hari untuk menjadi infektif dan telur Trichuris trichiura yang keluar melalui tinja menjadi infektif dalam waktu 10-14 hari (Beaver et al, 1984). Telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura membutuhkan kisaran suhu yang hampir sama untuk dapat menjadi infektif. Ascaris lumbricoides akan berkembang dengan baik pada kisaran suhu 25-30oC sedangkan Trichuris trichiura membutuhkan suhu optimum sebesar 30oC untuk menjadi infektif. Desa Kromengan memiliki suhu sekitar 23-25oC sehingga sesuai dengan kisaran suhu 8
yang dibutuhkan Ascaris lumbricoides untuk menjadi infektif tetapi terlalu rendah untuk proses pematangan telur Trichuris trichiura. Tidak ditemukannya telur Ancylostoma duodenale dan Necator americanus karena telur tumbuh dan berkembang di tanah berpasir yang lembab dalam waktu cepat, yaitu telur berkembang menjadi embrio dalam waktu 24-48 jam pada suhu 23 sampai 30°C. Daur hidup cacing tambang setelah keluar dari feses yaitu 1-1,5 hari dalam tanah, telur menetas menjadi larva rabditiform, dalam 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit(Choidini et al, 2001). Waktu perkembangan tersebut terlalu cepat dibandingkan dengan telur spesies STH lain sehingga sulit menemukan telur Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Berdasarkan angka prevalensi telur STH per kelas diketahui bahwa kelas I memiliki angka prevalensi tertinggi yaitu 75% dan secara berturut-turut diikuti jenjang kelas selanjutnya yaitu kelas II dengan angka prevalensi 61,25%, kelas III 61,25%, kelas IV 37,25%, kelas V 25% dan kelas VI 25%. Hasil tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Eryani et al, 2014 yang menunjukkan bahwa angka prevalensi STH tertinggi terjadi pada kelas I yaitu sebesar 11,34%. Tingginya angka prevalensi pada siswa kelas I disebabkan oleh aktivitas bermain tanah yang tinggi (Eryani et al, 2014). Semakin tinggi jenjang kelas, angka prevalensi menjadi semakin kecil. Hal ini disebabkan aktivitas bermain tanah siswa kelas IV, V dan VI sudah semakin berkurang. Hal ini disebabkan kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah sehingga anak-anak lebih mudah terinfeksi oleh telur cacing Ascaris lumbricoides (Brown dan Harold, 1983).Kesadaran siswa kelas I, II dan III akan kebersihan diri yang rendah dan mengabaikan masalah kebersihan seperti mencuci tangan sebelum makan, setelah bermain maupun berolahraga. Hasil tersebut didukung oleh kegiatan siswa yang diamati oleh peneliti saat proses pengambilan kuku jari tangan, siswa kelas IV, V dan VI cenderung menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas sedangkan siswa kelas I, II dan III menghabiskan waktu istirahat untuk membeli jajanan di depan sekolah dan bermain di halaman sekolah sehingga memperbesar kemungkinan siswa kelas I, II dan III tertular telur STH. Berdasarkan data yang telah diperoleh diketahui bahwa telur Ascaris lumbricoides memiliki prevalensi tertinggi yaitu sebesar 37,5% dan termasuk 9
dalam kriteria sedang (WHO, 2002; Kementerian RI, 2012). Tingginya angka prevalensi Ascaris lumbricoides senada dengan penelitian Rahayu (2006) di Kota Malang yang menyebutkan bahwa Ascaris lumbricoides merupakan jenis STH yang paling tinggi ditemukan pada kuku siswa yaitu sebesar 65,22%. Prevalensi tinggi telur Ascaris lumbricoides juga dinyatakan dalam penelitian oleh Gusrianti (2001) yang menunjukkan angka prevalensi telur Ascaris lumbricoides sebesar 24%. Wintoko (2014) menyatakan bahwa prevalensi Ascaris lumbricoides pada kuku jari tangan siswa salah satu SD di Bandar Lampung adalah sebesar 88,2%. Angka prevalensi Trichuris trichiura lebih rendah dibandingkan dengan Ascaris lumbricoides yakni sebesar 17% dan termasuk ke dalam kriteria rendah (WHO, 2002; Kementerian RI, 2012). Hal ini senada dengan penelitian Rahayu (2006) yang menyebutkan prevalensi telur Trichuris trichiura adalah sebesar 11,59%. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor internal berupa struktur morfologi telur Ascaris lumbricoides yang lebih kompleks dibandingkan dengan struktur morfologi telur Trichuris trichiura. Lapisan terluar telur Ascaris lumbricoides memiliki bentuk beralur dan berbenjol-benjol yang berfungsi untuk melawan rintangan ketika berada di lingkungan sedangkan telur Trichuris trichiura tidak memiliki struktur albuminoid sehingga adaptasinya terhadap lingkungan lebih rendah. Faktor lain yang memengaruhi angka prevalensi Ascaris lumbricoides yang lebih tinggi yaitu daya tahan telur Ascaris lumbricoides terhadap suhu panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur Trichuris trichiura. Telur Trichuris trichiura akan mati pada suhu 40-80ᵒC sedangkan telur Ascaris lumbricoides tidak (Jeffery and Leach, 1983). Keadaan ini juga didukung oleh jumlah telur yang dihasilkan oleh Trichuris trichiura lebih sedikit dibandingkan jumlah telur yang dihasilkan oleh Ascaris lumbricoides. Ascaris lumbricoides dapat menghasilkan telur sebanyak 200.000 telur perhari sedangkan Trichuris trichiura hanya menghasilkan 5000 telur perhari. Infeksi pada kuku jari tangan siswa SDN I Kromengan tersebut juga disebabkan faktor kebersihan diri siswa yang terbiasa membeli jajanan yang dijajakan di depan sekolah. Jajanan yang dijual belikan sebagian besar tidak berpenutup sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi debu yang 10
mengandung telur STH. Perilaku tidak mencuci tangan sebelum makan juga dapat memperbesar kemungkinan terinfeksinya siswa SDN I Kromengan oleh telur STH akibat telur yang menempel pada kuku jari tangan ikut tertelan. Hal ini juga didukung oleh faktor eksternal yaitu belum adanya sarana mencuci tangan di SDN I Kromengan. Faktor lingkungan Desa Kromengan yang memiliki area tanah terbuka yang masih luas dapat mendukung keberadaan telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura (Sutanto et al, 2008). Desa Kromengan memiliki beberapa sungai yang masih aktif digunakan sebagai MCK, beberapa masyarakat juga masih melakukan defekasi di tanah (kebun). Gaya hidup tersebut dapat memperbesar kejadian telur STH menular dan menginfeksi masyarakat. Prevalensi Ascariasis di daerah pedesaan juga lebih tinggi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi dan larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah sehingga memiliki kebiasaan buang air besar (defekasi) di tanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan Harold, 1983). PENUTUP Kesimpulan Jenis telur STH yang ditemukan pada kuku jari tangan siswa SDN I Kromengan adalah telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Prevalensi kecacingan STH pada siswa SDN I Kromengan adalah 48% termasuk kategori sedang dengan rincian prevalensi Ascaris lumbricoides sebesar 37% dengan kategori sedang dan Trichuris trichiurasebesar 17% dengan kategori rendah serta urutan prevalensi tertinggi hingga terendah yaitu kelas I: 75%, kelas II: 61,25%, kelas III: 61,25%, kelas IV: 37,25%, kelas V: 25%, dan kelas VI: 25%. Saran 1. Peneliti perlu memberikan media edukasi berupa poster kepada SDN I Kromengan guna memahamkan siswa mengenai bahaya, penularan dan pencegahan infeksi cacing STH
11
2. Pihak sekolah perlu memberikan pembinaan kebersihan diri dan difokuskan kepada siswa kelas I, II, dan III. 3. Pihak sekolah perlu mengadakan sarana mencuci tangan dan toilet yang terjaga sanitasinya guna mengurangi kemungkinan penularan cacing STH. DAFTAR RUJUKAN Beaver, P.C., Jung, R.C., Cupp, E.W. (Eds) 1984. Helminths and Helmintic Infections.in: Clininal Parasitology 9th edition. Philadelphi: Lea & Febiger Brown and Harold. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta: Gramedia. Chadijah,S., Sumolang, P., Veridiana, N. 2014. Hubungan Pengetahuan, Perilaku, dan Sanitasi Lingkungan dengan Angka Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar di Kota Palu. Media Litbangkes. 24(1):50-56. Chiodini, P.L., Manser, D.W., Moody, A.H., 2001. Atlas of Medical Helminthology and Protozoology. Toronto: Elsevier Science Publishing. Djarismawati, M. 2008. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 7(2):769–74. Eryani, D., Fitriangga, A., Kahtan, M.I. 2014. Hubungan Personal Hygiene dengan Kontaminasi Telur Soil Transmitted Helminths pada Kuku dan Tangan Siswa SDN 07 Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak. Universitas Tanjungpura: Fakultas Kedokteran. Hadijaja, P. 1990. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FK UI. Jeffrey H.C., Leach, R.M. 1983. Atlas Helmintologi dan Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Pengendalian Kecacingan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rahayu, S. E. 2006. Keberadaan Telur Cacing Parasit pada Siswa SD di sekitar Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadu Kota Malang dan Perumahan di IPAL Terpadu. Jurnal Penelitian Hayati.11:105-112. Samad, H. 2009. Hubungan Infeksi dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing yang ditularkan melalui Tanah dan Perilaku Anak Sekolah Dasar di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan, Tembung. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Sumatera Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat.
12
Sutanto, I., Suhariah, I., Pudji, K., Saleha, S. 2008. Parasitologi Kedokteran, Edisi IV. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.
13