BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths (STH) cara
yaitu cacing yang menginfeksi manusia dengan penularannya
2009).
Penyakit
disebut
melalui yang
dengan
kosmopolit,
tanah
disebabkan
askariasis.
atau
(Brooker
dapat
oleh
dan
parasit
Askariasis
ditemukan
di
Bundy, ini
bersifat
seluruh
dunia,
terutama ada di China, India, dan negara-negara di Asia Tenggara.
Tercatat
telah
terjadi
kasus
mortalitas
sebanyak 20.000 orang dan kasus morbiditas (malnutrisi dan komplikasi pulmo) sebanyak 1.000.000 orang di dunia (Chatterjee, 2009). Infeksi ini menular dengan cara tertelannya telur berembrio
secara
tersebut
biasanya
tidak
sengaja.
ditemukan
pada
Telur
berembrio
makanan
setengah
matang atau makanan mentah yang terkontaminasi (Brooker dan
Bundy,
2009).
Telur
menetas
di
jejunum
menjadi
larva yang kemudian bermigrasi ke hepar, jantung dan paru-paru.
Larva
berlanjut
bermigrasi
ke
usus
halus
untuk menjadi dewasa (John dan Petri, 2006). 1
2
Manifestasi klinis yang timbul dari infeksi ini salah
satunya
adalah
Löffler’s
syndrome
yang
bisa
menjadi fatal. Pada syndrome tersebut ditemukan pasien dengan demam, batuk, produksi sputum, asma, ruam kulit, eosinofilia,
dan
infiltrasi
paru-paru
pada
tampakan
radiologi. Pada fase cacing dewasa di usus halus akan mengakibatkan obstruksi usus, volvulus, dan intususepsi usus halus yang dapat berakibat malnutrisi pada anak (Brooker dan Bundy, Hingga cacing
saat
pada
2009). ini,
terapi
saluran
untuk
pencernaan
mengeradikasi
manusia
adalah
Albendazole dan Mebendazole. Alternatif obat lain yaitu pyrantel pamoate. Namun, obat-obat yang sementara ini digunakan
sebagai
terapi
lini
pertama
tersebut
mempunyai beberapa efek samping, diantaranya muntah, diare, mual, dan nyeri perut. (John dan Petri, 2006). Masyarakat mengenal
dan
Indonesia
sudah
memanfaatkan
sejak
tanaman
zaman
dahulu
berkhasiat
obat
sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan
yang
dihadapi
(Syukur
dan
Hernani,
2002).
Sampai saat ini di pedesaan masih banyak yang melakukan pengobatan pengetahuan
dengan
obat
turun-temurun
tradisional untuk
yang
mengobati
merupakan anak
yang
kurang nafsu makan karena kecacingan (Kuntari, 2008).
3
Menurut masyarakat
survei di
nasional
pada
Indonesia
tahun
2000,
menggunakan
15,6%
obat-obat
tradisional sebagai pengobatan sendiri dan persentase ini meningkat menjadi 31,7% pada tahun 2001. Beberapa hal
yang
menjadi
tradisional
alasan
karena
masyarakat
harga
obat
menggunakan
obat
albendazole
dan
mebendazole relatif mahal dan sulit didapat di daerahdaerah bahan
tertentu untuk
dan
juga
membuat
obat
mudah
didapatkannya
tradisional
di
bahan-
Indonesia
(Dewoto, 2007). Tanaman pepaya (Carica papaya) memiliki berbagai manfaat sebagai tanaman obat yang sudah dibuktikan pada penelitian-penelitian
sebelumnya
(Depkes
RI,
1985).
Seluruh bagian dari tanaman pepaya kecuali pada buah yang
matang,
diduga
mempunyai
getah
yang
mengandung
cysteine proteinases (CPs), salah satunya adalah papain (Levecke et al., 2014). Getah dari pepaya ini terbukti sebagai perlindungan perkembangan buah pepaya menjadi matang dari serangan insektisida herbivora (Konno et al., 2004). Papain memecah
merupakan
protein
enzim
penyusun
proteolitik nematoda
yang
menjadi
bisa lebih
sederhana (Stepek et al., 2007). Alasan penggunaan buah pepaya muda sebagai bahan baku infus karena mengandung
4
banyak getah yang diduga juga mengandung papain, juga buah
pepaya
(Warisno,
muda
sangat
2003).
Namun
mudah
didapat
hingga
saat
di
ini
Indonesia belum
ada
penelitian untuk membuktikan daya antihelmintik infus buah pepaya (Carica papaya) muda pada Ascaridia galli in vitro. Uji
aktivitas
menggunakan
hewan
antihelmintik
percobaan
A.
in
galli,
vitro
yang
ini
terdapat
pada usus ayam. Penggunaan cacing A. galli dikarenakan sifatnya yang mirip dengan cacing A. lumbricoides.
I.2 Rumusan Masalah 1. Apakah
infus
buah
pepaya
(Carica
papaya)
muda
memiliki efek antihelmintik terhadap cacing dewasa A. galli in vitro? 2. Berapakah
konsentrasi
yang
dibutuhkan
infus
buah
pepaya (Carica papaya) muda dalam membunuh 50% dan 90% cacing dewasa A. galli (LC50 dan LC90) in vitro? 3. Apakah pepaya
terdapat (Carica
perbedaan papaya)
LT90 antara
muda
dan
infus
albendazole
buah 7,5
mg/ml dalam membunuh cacing dewasa A.galli in vitro?
5
I.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antihelmintik infus buah pepaya (Carica papaya) muda terhadap
cacing
konsentrasi
infus
dewasa
A.
galli
buah
pepaya
in
(Carica
vitro
dan
papaya)
muda
dalam membunuh cacing dewasa A. galli in vitro 50% dan 90%.
Selain
membandingkan
itu,
penelitian
LT90 antara
ini
infus
ditujukan
buah
pepaya
untuk (Carica
papaya) muda dan albendazole 7,5 mg/ml dalam membunuh cacing dewasa A. galli in vitro.
I.4 Manfaat Penelitian Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya efek antihelmintik infus buah pepaya (Carica papaya) muda pada berbagai konsentrasi terhadap kematian cacing dewasa A. galli. juga
memberikan
maanfaat
Pada penelitian ini
aplikatif
sebagai
dasar
penelitian in vivo pengaruh infus buah pepaya (Carica papaya) muda pada hewan uji. Manfaat aplikatif lainnya adalah
untuk
pengembangan
ilmu
pengetahuan
dalam
pembuatan preparat obat antihelmintik dari infus buah pepaya (Carica papaya) muda.
6
I.5 Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian
serupa
pernah
dilakukan
sebelumnya. Penelitian tersebut antara lain karya tulis ilmiah tentang uji efektifitas daya antihelmintik dari infus akar, infus biji, dan infus daun Carica papaya terhadap cacing dewasa Ascaridia galli (Putri, 2007). Penelitian ini menguji efek antihelmintik dari infus akar,
biji,
kensentrasi dengan
dan
daun
5%,10%,
piperazin
pepaya
15%,
sitrat
yg
dan
masing-masing
20%
dengan
dan
pada
dibandingkan
konsentrasinya
0,2%,
0,3%, 0,4%, dan 0,5%. Penelitian antihelmintik piperazin infus
ini
ketiga
sitrat.
daun
memberikan infus
Namun
pepaya
hasil
tersebut
dari
ketiga
memiliki
bahwa
masih infus
hasil
efek
dibawah tersebut
terbaikyang
ditunjukkan dengan LC100 terendah yaitu 18,384% dengan LT100
18,866
jam.
Pada
penelitian
ini
belum
mencoba
membandingkan dengan daging dari buah pepaya untuk efek antihelmintik cacing dewasa A. galli. Penelitian
serupa
lainnya
adalah
tentang
uji
efektifitas daya antihelmintik dari perasan dan infus rimpang temu ireng terhadap Ascaridia galli (Tamara, 2008).
Pada
kelompok.
penelitian
Kelompok
ini
pertama
diuji
diberi
dalam
perlakuan
beberapa rimpang
7
temu ireng konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Kelompok
kedua
diberi
perlakuan
infusa
rimpang
temu
ireng konsentrasi 30%, 45%, 60%, 75% dan 90%.Kelompok ketiga
diberi
konsentrasi
perlakuan
0,2%
larutan
0,3%,0,4%,
piperazin
0,5%
dan
sitrat
0,6%
sebagai
kontrol positif. Penelitian ini menunjukkan bahwa efektifitas daya antihelmintik
perasan
dan
infusa
rimpang
temu
ireng
masih di bawah piperazin citrat dan daya antihelmintik infusa
rimpang
rimpang. buah
Pada
pepaya
temu
ireng
penelitian untuk
lebih
ini
menguji
baik
belum efek
dari
perasan
mencobakan
infus
antihelmintik
pada
cacing dewasa A. galli. Penelitian antihelmintik kematian
serupa
infus
cacing
Penelitian konsentrasi
lainnya
biji
Ascaridia
ini
menguji
20%,
40%,
adalah
kedelai suum
infusa 60%,
tentang
terhadap
(Rahmalia, biji
80%,
waktu 2010).
kedelai dan
efek
100%
pada dan
dibandingkan dengan pirantel pamoat 5mg/ml dalam efek antihelmintiknya. Hasilnya didapatkan bahwa efektifitas infus biji kedelai
masih
rendah
dibandingkan
dengan
pirantel
pamoat dalam efek antihelmintik terhadap cacing Ascaris suum. Dalam penelitian ini belum dicobakan daging buah
8
pepaya dan subyek yang digunakan A. suum, bukan A. galli.