BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang bersifat kronis yang ditularkan melalui tanah dan menyerang sekitar 2 milyar penduduk di dunia (Artis, 2006). Infeksi STH ini banyak terjadi di negara - negara berkembang terutama di wilayah pedesaan (Hotez et al., 2007). Empat jenis spesies STH yang paling sering menginfeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides),
cacing
cambuk
(Trichuris
trichiura)
dan
cacing
tambang/hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Data World Health Organization (WHO) (2005) menunjukkan perkiraan jumlah penduduk di dunia yang terinfeksi A. lumbricoides berkisar antara 807 juta – 1,2 milyar jiwa, T. trichiura berkisar antara 604 - 795 juta jiwa dan hookworm berkisar antara 576 - 740 juta jiwa. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan prevalensi infeksi STH masih lebih dari 20%. Hasil survei tahun 2008 pada 8 Provinsi terpilih di Indonesia didapatkan kisaran prevalensi STH yang cukup tinggi yaitu antara 2,7% - 60,7%. Prevalensi kecacingan terendah di Propinsi Sulawesi Utara dan tertinggi di Propinsi Banten dengan jenis cacing yang paling banyak adalah T. trichiura (Depkes RI, 2009). Infeksi STH memang tidak menimbulkan ancaman kematian seperti penyakit infeksi menular lainnya. Infeksi STH yang kronik dapat menyebabkan
2
kondisi malnutrisi dan anemia defisiensi besi sehingga berdampak buruk bagi pertumbuhan fisik dan mental anak-anak (Hotez et al., 2004; Brooker et al., 2006). Infeksi STH yang tidak teratasi dengan tuntas akan berpengaruh terhadap masa depan anak-anak. Upaya pemberantasan dengan pengobatan sudah banyak dilakukan baik secara individual maupun secara masal, namun prevalensi kecacingan masih cukup tinggi di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya prevalensi STH di Indonesia yang masih berkisar antara 24,1 – 46,8% dari tahun 2002 – 2008 (Depkes RI, 2009). Kejadian reinfeksi kecacingan ini tentu saja berkaitan erat dengan masih adanya paparan dari sumber infeksi di lingkungan masyarakat. Kemiskinan, pendidikan dan sosial – ekonomi yang rendah serta sanitasi lingkungan yang buruk sangat berkaitan erat dengan tingginya prevalensi kecacingan di suatu daerah (Hotez et al., 2007). Higienisitas dan perilaku perorangan serta ketersediaan air dan jamban juga menjadi faktor penting dalam penularan STH. Reinfeksi dilaporkan dapat terjadi paling cepat 2 bulan setelah pengobatan massal terutama di daerah pedesaan (Norhayati et al., 1997; Luoba et al., 2005). Transmisi infeksi STH dapat terjadi jika seseorang kontak dengan tanah yang terkontaminasi (hookworm) atau mengkonsumsi makanan/minuman yang tercemar oleh telur cacing infektif (A. lumbricoides dan T. trichiura) (Vandemark et al., 2010). Faktor penting lainnya dalam transmisi STH menurut Hoa et al. (2010) adalah penularan secara tidak langsung melalui tangan atau kuku yang
3
tercemar telur STH terutama pada anak-anak yang masih sering bermain dan kontak dengan tanah. Pencemaran tanah oleh tinja terinfeksi merupakan kunci penting terjadinya transmisi STH. Tingkat pencemaran tanah di beberapa negara berkembang seperti Thailand dan Argentina dilaporkan berkisar antara 20 - 64% (Pezzani et al., 1996; Uga et al., 1997). Telur STH yang ada di dalam tinja akan menjadi telur infektif di lingkungan tanah yang cocok. Daerah dengan iklim yang hangat dan lembab menjadi lingkungan yang baik untuk embrionisasi telur STH (Jia et al., 2012). Kementerian Kesehatan RI sudah melakukan kebijakan operasional berupa kerjasama lintas program untuk memutuskan rantai penularan infeksi kecacingan sehingga target prevalensi infeksi STH < 20% dapat tercapai pada tahun 2015. Program pengobatan saja tidaklah cukup untuk memutus rantai penularan infeksi STH. Kunci pemberantasan kecacingan adalah memperbaiki higienisitas dan sanitasi lingkungan. Strategi pengendalian infeksi STH yang dianjurkan WHO 2010 adalah pemberian pengobatan preventif pada populasi yang berisiko tinggi terutama pada siswa Sekolah Dasar. Hasil jangka pendek dari strategi tersebut tenyata gagal dalam mencegah kejadian reinfeksi setelah pemberian pengobatan (deworming) yang efektif (Ziegelbauer et al., 2012 ; Bethony et al., 2006 ). Pengobatan antihelmintik dapat dikatakan efektif memberantas kecacingan jika menyebabkan penurunan > 90% jumlah telur maupun cacing dewasanya (Vercruysse et al., 2008). Oleh karena itu melakukan evaluasi pengobatan dan mengindentikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian reinfeksi di
4
suatu daerah penting dilakukan dalam menunjang strategi pengendalian infeksi STH. Data dari survei Puskesmas Kokap I diketahui bahwa Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu wilayah di propinsi DIY yang masih banyak ditemukan kasus infeksi STH. Sebagian besar wilayah di Kecamatan Kokap merupakan dataran tinggi. Kondisi geografis yang lembab dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai mendukung terjadinya transmisi STH. Rumah penduduk masih banyak yang berlantaikan tanah dan ada beberapa wilayah dengan keterbatasan sarana air serta jamban. Dari data pada tahun 2008 didapatkan rumah yang sudah memenuhi syarat kesehatan sebesar 60% (Puskesmas Kokap I, 2008). Beberapa tahun terakhir ini Puskesmas Kokap I melaksanakan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT-AS) di beberapa sekolah terpilih setiap tahunnya. Untuk menunjang keberhasilan program tersebut, skrining kecacingan tentu saja sangat diperlukan. Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 didapatkan prevalensi sebesar 9,8 % untuk seluruh Kecamatan Kokap dimana 7,8 % nya berada di cakupan wilayah Puskesmas Kokap I. Berdasarkan profil Puskesmas Kokap I (2009), skrining kecacingan tahun 2009 pada siswa kelas satu di 25 SD di wilayah kerja Puskesmas Kokap I menunjukkan prevalensi kecacingan sebesar 21,36 %. Pada tahun 2011 prevalensi kecacingan rata-rata di 4 SD/MI terpilih yang akan diberikan PMT sebesar 16,75 % dengan prevalensi tertinggi sebesar 30,19 % di MI Ma’arif Sangon (Puskesmas Kokap I, 2011).
5
Pada bulan September 2012, Puskesmas Kokap I masih melanjutkan program PMT yang juga diikuti dengan pemeriksaan kecacingan. Empat sekolah yang dipilih adalah SDN Hargomulyo, SDN Kalirejo, SDN Sangon dan SDN Gunung Agung. Hasil pemeriksaan kecacingan secara kualitatif didapatkan hasil prevalensi kecacingan di SDN Hargomulyo sebesar 10 %, SDN Kalirejo sebesar 5,9 %, SDN Sangon sebesar 6,5 % dan SDN Gunung Agung sebesar 29,3 %. Beberapa siswa ditemukan terinfeksi lebih dari satu spesies. Puskesmas kemudian melakukan program pemberian pengobatan bagi siswa yang menderita kecacingan. Siswa yang terinfeksi cacing A. lumbricoides dan hookworm diberikan pengobatan pirantel pamoat, sedangkan yang terinfeksi cacing T. trichiura diberikan pengobatan albendazol. Peneliti memilih wilayah SDN Gunung Agung untuk dilakukan penelitian lebih lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan skrining dari Puskesmas Kokap I. Pada penelitian ini akan dilihat keberhasilan pengobatan yang dilakukan, prevalensi infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan dan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan prevalensi infeksi STH paska pengobatan. Evaluasi pengobatan dan prevalensi infeksi STH paska pengobatan belum pernah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kokap I, sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam kebijakan program pengobatan STH selanjutnya.
6
I.2. Rumusan masalah Berdasarkan latarbelakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah pengobatan antihelmintik yang diberikan efektif dalam memberantas infeksi STH dilihat dari angka Cure Rate (CR) dan Egg Reduction Rate (ERR) 2 minggu setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung? 2. Apakah ada perbedaan yang bermakna antara prevalensi infeksi STH sebelum pengobatan dan 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung? 3. Apakah ada hubungan antara jumlah spesies STH yang menginfeksi sebelumnya (tunggal/multipel) dengan prevalensi infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung? 4. Apakah ada hubungan antara higiene perorangan (kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan BAB, kebiasaan bermain, kebiasaan menggigit jari, kebiasaan memakai alas kaki, kebersihan kuku) dengan prevalensi infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung? 5. Apakah ada hubungan antara sanitasi lingkungan rumah (sumber air bersih, ketersediaan jamban, lantai rumah) dengan prevalensi infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung?
7
I.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui angka keberhasilan pengobatan STH dan prevalensi infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung, Kecamatan Kokap, Kulonprogo serta faktor – faktor yang mempengaruhinya. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui efektivitas pengobatan
antihelmintik
yang
diberikan pada siswa SDN Gunung Agung yang terinfeksi STH dilihat dari angka CR dan ERR 2 minggu setelah pengobatan. b. Mengetahui adanya perbedaan prevalensi infeksi STH sebelum pengobatan dan 3 bulan setelah pengobatan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung. c. Mengetahui hubungan antara jumlah spesies STH yang menginfeksi
sebelumnya
(tunggal/multipel)
dengan
prevalensi infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung. d. Mengetahui hubungan antara higiene perorangan (kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan BAB, kebiasaan bermain, kebiasaan menggigit jari, kebiasaan memakai alas kaki,
8
kebersihan kuku) dengan prevalensi infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung. e. Mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan rumah (sumber air bersih, ketersediaan jamban dan jenis lantai rumah) dengan prevalensi infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung. I.4. Keaslian Penelitian Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Al-Mekhlafi et al. (2008) yang bertujuan mengetahui pola dan faktor – faktor yang terkait dengan kejadian reinfeksi pada anak sekolah suku Orang Asli (aborigine) di daerah pedesaan Penisular Malaysia. Variabel yang diteliti adalah usia dan jenis kelamin siswa, status sosial ekonomi orangtua, ketersediaan jamban dan air bersih, keberadaaan binatang peliharaan serta status gizi. Penelitian dilakukan dengan desain longitudinal study yang berbasis repeated cross sectional study. Reinfection rate diukur setelah 3 dan 6 bulan pasca pengobatan. Nkengazong et al. (2010) melakukan penelitian tentang STH dan pengaruh pemberian albendazol pada siswa di dua desa di wilayah Kamerun. Peneliti menghitung prevalensi, infection rate dan egg reduction rate sesudah pengobatan 3 bulan sebelumnya. Zhang et al. (2012) juga melakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian reinfeksi STH setelah dilakukan deworming di Propinsi China. Faktor yang dilihat adalah sosial ekonomi keluarga dan budaya etnik masing-masing wilayah yang diteliti. Hasil dari penelitian yang dilakukan
9
oleh Albonico et al. (2003) dan Al-Mekhlafi et al. (2008) bahwa setelah 6 bulan pengobatan kondisi reinfeksi STH mendekati level seperti sebelum diberi pengobatan (pre-treatment). Dalam penelitian ini juga dilihat angka CR, ERR dan RR (Reinfection Rate). Pada penelitian ini terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan dengan beberapa penelitian di atas. Variabel bebas yang diteliti pada penelitian ini adalah jumlah infeksi STH sebelumnya, higiene perorangan, serta sanitasi lingkungan sekitar rumah. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan dilakukan satu kali pemeriksaan ulang yaitu 3 bulan setelah dilakukan pengobatan karena adanya keterbatasan waktu penelitian dan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya kejadian reinfeksi sudah terjadi dalam waktu 3 bulan paska pengobatan. Dalam penelitian ini juga akan dihitung cure rate dan egg reduction rate 2 minggu setelah pengobatan dan angka infeksi (reinfeksi, infeksi baru dan gagal pengobatan) 3 bulan paska pengobatan untuk evaluasi pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. I.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dengan infeksi STH terutama higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang berperan dalam terjadinya reinfeksi dan infeksi baru STH.
10
2. Manfaat Instansi Terkait Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam mengambil kebijakan khususnya dalam pengendalian infeksi STH sehingga kejadian reinfeksi maupun infeksi baru dapat ditekan. 3. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terutama di bidang helmintologi dan epidemiologi.