PRASASTI RONGKAB 823 Ś: KAJIAN EPIGRAFI Terrylia Feisrami1, Andriyati Rahayu, M. Hum.2 1. Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 14624 Indonesia 2. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 14624 Indonesia E-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Prasasti Rongkab merupakan sebuah prasasti berangka tahun 823 Śaka dan dikeluarkan pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung yang berkuasa pada tahun 820 hingga 832 Śaka. Pembacaan terhadap Prasasti Rongkab yang terdahulu dilakukan oleh Boechari dan A. M. Barrett Jones memiliki beberapa perbedaan hasil bacaan. Kedua peneliti tersebut juga belum melakukan kritik teks terhadap Prasasti Rongkab itu sendiri. Penelitian ini diadakan dengan tujuan membaca kembali Prasasti Rongkab dengan kaidah penelitian arkeologi yang benar, yaitu meliputi tahap pengumpulan data, pengolahan data, serta penafsiran data. Penelitian ini menghasilkan alih aksara, catatan alih aksara, alih bahasa, catatan alih bahasa, serta interpretasi mengenai Prasasti Rongkab. Penelitian ini secara umum bertujuan merekonstruksi sejarah pada masa Balitung dan bertujuan khusus melengkapi kajian terhadap isi Prasasti Rongkab secara benar sehingga tidak menimbulkan adanya kesimpangsiuran sejarah. Prasasti Rongkab berisi mengenai peringatan diberikannya anugerah berupa pembebasan pajak akan kepemilikan kaṭik kepada para tetua Desa Rongkab oleh Sang Pamagat Umanggit yang bernama Pu Parwata. Alasan pemberian anugerah tersebut adalah karena kerusakan Desa Rongkab yang tidak disebutkan kejadiannya secara jelas di dalam prasasti. Kerusakan Desa Rongkab dapat diduga akibat bencana alam karena di daerah ditemukan prasasti, yaitu Kabupaten Pati, Jawa Tengah terdapat Sungai Juwana yang sering meluap. Prasasti Rongkab juga merupakan salah satu contoh prasasti yang berasal dari masa awal pemerintahan Balitung dan masih meneruskan tradisi penulisan prasasti dari zaman sebelumnya yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh pejabat daerah setempat.
Rongkab Inscription 823 Ś: an Epigraphic Study Abstract Rongkab inscription dated back to 823 Śaka and it was written under the rule of Rakai Watukura Dyah Balitung who reigned from 820 until 832 Śaka. The previous readings of the inscription, done by Boechari and A. M. Barrett Jones, had different result compared to each other. The two scholars had not done the critique for the text either. Thus this study aimed to re-read the Rongkab inscription with the correct archaeological method which involved collecting the data, analyzing the data, and interpreting the data. This study resulted in transliteration, notes for transliteration, translation, notes for translation, and the interpretation towards the inscription itself. This study generally aimed to reconstruct the history at the time of Balitung and specifically aimed to complete the study of the content of Rongkab inscription correctly. The Rongkab inscription commemorated the gift given by Sang Pamagat Umanggit named Pu Parwata to the elders of the Rongkab village so they could have one kaṭik free of tax. The gift was given due to the destruction of the village which unfortunately was not mentioned clearly in the inscription. The destruction of the village might be caused by natural disaster because in the Pati region, where the inscription was found, there is a river called Juwana that often floods the area nearby. The Rongkab inscription was an example of inscriptions coming from the early period of Balitung’s reign which still continued the tradition of inscription writing from the previous period which allowed the local government to release an inscription. Keywords: inscription, Balitung, kaṭik, Rongkab, social aspect
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
Pendahuluan Tradisi menulis sangatlah penting bagi suatu peradaban karena memiliki arti bahwa masyarakat tersebut sudah memiliki kesadaran bahwa ada keperluan untuk mencatat suatu kejadian. Tradisi menulis mampu memberikan informasi lebih dari sekadar apa yang ditulis. Menurut de Casparis (1975: 1), dari tulisan kita dapat mengetahui aspek ekonomi, politik, dan sejarah kebudayaan dari wilayah tempat tulisan tersebut. De Casparis (1975: 1-2) juga menyebutkan bahwa persebaran aksara tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan ekspansi politik, namun dengan adanya wilayah yang meluas, hal tersebut memberikan jalan yang mudah bagi mobilitas aksara dalam rangka komunikasi dengan daerah yang telah dikuasai. Ketiga aspek yaitu teknologi, politik, dan seni yang dapat ditafsirkan dari prasasti merupakan sebagian aspek penyusun kebudayaan manusia yang secara umum sesuai dengan tujuan arkeologi dalam rangka merekonstruksi sejarah kebudayaan masa lampau (Damais, 1995: 8). Salah satu tinggalan arkeologis yang dapat menjadi sumber tertulis utama untuk mengetahui sejarah serta kebudayaan masa lalu adalah prasasti yang dikaji melalui kajian epigrafi (Hardiati (ed.), 2008: 32). Istilah prasasti berarti tulisan dari masa lalu yang berada di atas batu atau logam, dapat hanya berupa nama seseorang atau pertanggalan saja, namun juga dapat berupa sebuah naskah yang panjang. Namun, dalam perkembangannya sepotong kecil lempeng emas bertulisan Oṁ saja sudah dapat diartikan sebagai prasasti (Boechari, 1977: 2). Prasasti yang ditulis pada masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha bersifat sangat penting karena isinya merupakan suatu maklumat yang dikeluarkan oleh raja atau pejabat lainnya secara resmi, sebagian besar merupakan ketetapan mengenai perubahan status suatu daerah menjadi desa sīma, sebagian lainnya berkaitan dengan putusan pengadilan yang disebut jayapattra, dan urusan mengenai hutangpiutang atau disebut śuddhapattra (Soesanti, 1997: 171-172). Menurut Bakker (1972: 10), prasasti adalah pujian bagi raja yang telah memberikan anugerah kepada rakyatnya berupa hak khusus yang berlangsung hingga akhir zaman, lalu hak khusus ini perlu diabadikan pada benda yang tahan lama seperti batu atau logam agar hak itu sah secara hukum dan diumumkan kepada masyarakat banyak melalui upacara tertentu. Prasasti sebagai sumber tertulis utama bagi penyusunan sejarah kuno Nusantara memiliki jumlah yang banyak. Boechari dalam karyanya menyebutkan jumlah prasasti di Indonesia berdasarkan hitungan para ahli. Brandes menyebutkan ada 125 prasasti, sedangkan Damais (1977: 3) menyebutkan ada 290 prasasti. Griffiths (korespondensi pribadi, 11 Juli 2013) mengatakan dari
pendataan prasasti yang masih dilakukan dari hasil kerja sama antara Pusat Arkeologi Nasional dan EFEO, telah terhitung sekitar 3500 prasasti di Indonesia, meliputi prasasti panjang maupun prasasti pendek yang berisi mantra saja. Namun dari sekian banyak jumlah prasasti tersebut, hanya sedikit yang sudah diterbitkan dalam bentuk alih aksara lengkap dengan alih bahasanya, serta pembahasan dari prasasti tersebut. Maka tidak heran bahwa masa sejarah kuno Nusantara masih banyak memiliki mata rantai yang hilang akibat tidak adanya penelitian yang mendalam pada prasasti sesuai kaidah ilmu epigrafi. Agar suatu prasasti dapat menceritakan sejarah secara utuh, harus dilakukan kajian yang menyeluruh kepadanya karena prasasti dibuat pada zaman dahulu bukan dengan tujuan menjadi sumber sejarah (Bakker, 1972: 30). Salah satu prasasti yang belum dikaji secara lebih mendalam dan menjadi sumber data utama dalam penelitian ini yaitu Prasasti Rongkab yang berangka tahun 823 Śaka (901 Masehi). Walau dalam prasasti tidak disebutkan nama raja, namun berdasarkan angka tahunnya, dapat diketahui bahwa prasasti ini ditulis pada masa kekuasaan Raja Rakai Watukura Dyah Balitung (820 – 832 Ś). Sebuah prasasti dapat dilakukan penelitian berkali-kali terhadapnya, karena alih aksara yang salah dapat menyebabkan alih bahasa yang salah dan pada akhirnya menyebabkan interpretasi serta penulisan sejarah yang salah. Sehubungan dengan itu, maka telah dilakukan pembacaan ulang terhadap Prasasti Rongkab dengan mengikuti kaidah penelitian epigrafi yang benar sebagai salah satu upaya dalam penulisan sejarah yang benar. Alih aksara Prasasti Rongkab telah dilakukan oleh Boechari dan Barrett Jones. Selain alih aksara, Barrett Jones telah melakukan alih bahasa terhadap Prasasti Rongkab. Alih bahasa yang telah dilakukan adalah menerjemahkan dari bahasa asli prasasti yaitu Jawa Kuno ke bahasa Inggris, tetapi beberapa bagian seperti bagian sambandha (alasan dikeluarkannya prasasti) belum dialihbahasakan secara sempurna karena adanya keterbatasan padanan kata. Selain itu, juga belum dilakukan kritik teks terhadap Prasasti Rongkab itu sendiri. Adanya perbedaan pembacaan seperti contoh pada aspek-aspek biografi dan peristiwa seperti ini tentu menyebabkan adanya kesimpangsiuran pada interpretasi terhadap isi prasasti, maka diperlukan adanya penelitian epigrafi secara menyeluruh terhadap Prasasti Rongkab.
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Penelitian ini akan mengkaji masalah:
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
Bagaimana isi Prasasti Rongkab yang benar secara keseluruhan baik dari isi maupun terjemahannya? Bagaimana pula sumbangan isi Prasasti Rongkab terhadap masalah pajak di masa pemerintahan Balitung? Penelitian ini diadakan dengan tujuan membaca kembali Prasasti Rongkab dengan kaidah penelitian arkeologi yang benar, yaitu meliputi tahap pengumpulan data, pengolahan data, serta penafsiran data yang nantinya penelitian ini akan menghasilkan alih aksara, catatan alih aksara, alih bahasa, catatan alih bahasa, serta interpretasi mengenai Prasasti Rongkab. Penelitian ini secara umum bertujuan merekonstruksi sejarah pada masa Balitung. Tujuan dari penelitian ini secara khusus adalah untuk melengkapi kajian terhadap isi Prasasti Rongkab secara benar sehingga tidak menimbulkan adanya kesimpangsiuran sejarah.
Metode Penelitian Secara umum arkeologi memiliki tiga tahap penelitian yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data (Deetz, 1967: 8). Tahap-tahap tersebut dilakukan untuk dapat mengetahui bagaimana manusia menjalani kehidupannya di masa lalu melalui tinggalan-tinggalannya yang seringkali ditemukan bersifat tidak sempurna. Pada keadaan khusus, pengumpulan data arkeologi melibatkan kegiatan ekskavasi, namun kegiatan tersebut tidak dilakukan dalam penelitian kali ini karena data yang digunakan yaitu prasasti, berada di atas permukaan tanah. Pengolahan data yaitu mengintegrasikan data yang telah didapat pada tahap sebelumnya dalam dimensi ruang dan waktu. Dari hasil integrasi tersebut didapat pola-pola yang harus dapat dijelaskan atau ditafsirkan oleh arkeolog dalam tahap penafsiran data demi menjawab pertanyaan penelitian (Sharer dan Ashmore, 2003: 159-160). Tahap pengumpulan data yang dilakukan yaitu menghimpun data, baik primer maupun sekunder, dalam bentuk studi pustaka maupun studi lapangan. Studi pustaka adalah pencarian data inventaris dari prasasti melalui tulisan-tulisan, baik yang dimuat dalam majalah atau pun buku. Tulisan yang memuat Prasasti Rongkab secara khusus adalah tulisan Stutterheim dalam Oudheidkundig Verslag tahun 1940, Damais dalam bukunya Etudes d’ Epigraphie Indonésienne bagian III dan IV tahun 1955 serta Répertoire Onomastique de l’Epigraphie Javanaise (jusqu’a Pu Siṇḍok Śri Iṡanawikrama Dharmmotuṅgadewa) tahun 1970, Nakada dalam bukunya An Inventory of the Dated Inscriptions in Java tahun 1982, Barrett Jones dalam bukunya Early Tenth Century Java from the Inscriptions tahun 1984, serta Boechari dalam bukunya Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I tahun 1985/1986.
Studi lapangan dilakukan dengan mengkaji langsung prasastinya di Museum Nasional yaitu mencakup kegiatan pendeskripsian terhadap Prasasti Rongkab secara fisik. Pendeskripsian prasasti pertama-tama adalah pengukuran dimensi prasasti dengan menggunakan penggaris untuk panjang dan lebar lempeng, serta menggunakan kaliper untuk mengukur ketebalan lempeng. Kemudian dilakukan pengambilan foto berskala menggunakan kamera digital dari sisi recto dan verso masing-masing lempeng tembaga. Pendeskripsian keadaan prasasti secara umum juga dilakukan terhadap unsur fisik prasasti, meliputi bahan, jumlah lempeng, aksara dan bahasa pada prasasti, kondisi umum prasasti, warna, dan bentuk prasasti. Selain unsur fisik, unsur isi prasasti juga dideskripsikan. Pada tahap pengolahan data, pertama dilakukan alih aksara dan alih bahasa terhadap prasasti. Alih aksara secara umum adalah mengubah jenis aksara yang kurang dikenal menjadi aksara yang lebih dikenal, contohnya adalah mengubah aksara Pallawa yang umum terdapat dalam prasasti namun tidak umum dikenal di masyarakat Indonesia sekarang menjadi aksara Latin, sehingga orang awam pun dapat membacanya. Alih aksara prasasti memiliki unsurunsur yang harus diperhatikan yaitu ejaan, pemberian tanda baca, dan pemenggalan kata (Soesanti, 1997: 135-138). Alih aksara Prasasti Rongkab dilakukan dengan membaca langsung pada artefaknya di Museum Nasional. Alih aksara dan alih bahasa harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan kesalahan yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Analisis suatu teks, dalam hal ini prasasti, melibatkan uji kelayakan dan keaslian teks sebagai sumber sejarah. Analisis teks atau yang kerapkali disebut sebagai kritik teks, dilakukan kepada Prasasti Rongkab, baik secara ekstern maupun intern setelah prasasti tersebut dialihakasara dan dialihbahasakan. Kritik ekstern meliputi keotentikan dari suatu prasasti, apakah prasasti yang kita teliti adalah prasasti yang asli, bukan merupakan prasasti tiruan yang dibuat dari zaman sesudahnya (tinulad). Salah satu cara dalam membuktikan keotentikan prasasti adalah dengan menyelidiki aksara yang digunakan dalam prasasti melalui kajian paleografi (Gottschalk, 1969: 83), serta membandingkan dengan prasasti-prasasti lain untuk mendapatkan perkiraan pertanggalan. Menentukan kapan prasasti dibuat atau unsur kronologi sangat penting untuk memastikan bahwa tidak terjadi anakronisme sejarah dalam prasasti (Soesanti, 1997: 179). Unsur lainnya yang perlu diperhatikan dalam autentisitas prasasti adalah penyelidikan bentuk, bahan, ukuran, dan gaya bahasa dalam prasasti karena setiap prasasti yang dikeluarkan oleh raja atau dinasti tertentu memiliki gayanya sendiri yang khas.
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
Kritik intern meliputi penyelidikan terhadap kredibilitas dari isi prasasti. Peristiwa, fakta-fakta, maupun pernyataan dalam isi prasasti harus diuji. Pada dasarnya kritik intern adalah pengujian terhadap bahasa yang dipakai, yang dapat dibedakan lagi dalam pengujian terhadap kata, kalimat, dan wacana dari prasasti (Soesanti, 1997: 179). Penulisan kata, kalimat, dan wacana harus sesuai dengan zamannya untuk menghindari anakronisme. Biasanya dalam prasasti sīma, struktur isinya pun dapat digunakan dalam kritik intern karena susunan isi prasasti sīma cenderung tidak berubah di zamannya. Kritik teks prasasti juga diwujudkan dalam bentuk catatan alih aksara yang biasanya membahas penulisan aksara dan kalimat yang ada dalam prasasti, sekaligus merupakan dialog antara peneliti dengan citralekha prasasti dan peneliti-peneliti sebelumnya. Selain catatan alih aksara, terdapat pula catatan alih bahasa untuk memperjelas makna suatu kata jika kata tersebut tidak terdapat padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia, serta perbandingan dengan hasil alih bahasa yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya untuk memperoleh hasil alih bahasa yang lebih baik. Proses penerjemahan memiliki dua metode yaitu metode bebas dan metode harfiah. Metode bebas adalah menerjemahkan isi prasasti dengan mengikuti bahasa aslinya untuk menjaga kemurnian teks, sedangkan metode harfiah adalah menerjemahkan benar-benar kata per kata dari apa yang tertulis di prasasti (Soesanti, 1997: 180). Penelitian ini menggunakan metode bebas untuk dapat menyampaikan maksud dari prasasti dengan sebaikbaiknya. Dalam tahap penafsiran data, isi prasasti, asumsiasumsi awal terhadap beberapa aspek seperti biografi, geografi, peristiwa, dan kronologi dimunculkan. Data yang ada dalam isi prasasti ditempatkan pada konteksnya, yaitu prasasti-prasasti lain yang sezaman, kemungkinan tempat ditemukan, serta peristiwaperistiwa yang terjadi pada masa tersebut. Unsur biografi mencakup nama orang-orang yang tercantum dalam prasasti, dapat itu raja, pejabat penting, atau pun rakyat biasa, secara umum yaitu pelaku yang ada dalam prasasti. Gelar yang disandang oleh seorang pelaku juga memegang kedudukan penting dalam menentukan posisi orang tersebut dalam susunan birokrasi kerajaan pada masa prasasti itu dibuat. Unsur geografi mencakup nama wilayah yang ada dalam prasasti. Biasanya wilayah yang disebutkan dapat berupa nama ibukota kerajaan maupun nama desa, atau nama tempat suatu peristiwa berlangsung. Hal lainnya yaitu unsur peristiwa untuk mengetahui kejadian penting apa yang terjadi pada masa itu yang menyebabkan Prasasti Rongkab ditulis. Unsur terakhir
yaitu kronologi, menentukan posisi Prasasti Rongkab dalam bingkai sejarah yang lebih besar. Keempat aspek tersebut didapat dari tafsiran isi Prasasti Rongkab yang dibandingkan dengan prasasti-prasasti sezaman. Kesemua aspek tersebut perlu diteliti demi mengetahui latar belakang sejarah yang ada dalam Prasasti Rongkab karena tahap penafsiran data sejatinya adalah mencari benang merah antara apa yang tertulis di prasasti dengan keadaan masyarakat masa itu yang sebenarnya karena kemungkinan apa yang tertulis di prasasti hanyalah konotasi (Suhadi, 2003: 131). Kemudian penafsiran dapat dilanjutkan dengan menempatkan Prasasti Rongkab dalam sebuah kronologi sejarah. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan sudut pandang historiografi, yaitu menyusun fakta-fakta yang ada dalam prasasti (Magetsari, 2012). Setelah dilakukan tinjauan terhadap banyak prasasti, maka penelitian pada satu prasasti harus diberi data bandingan lain yang mendukung kesimpulan yang akan dibuat pada akhir penelitian. Demi mencapai hal tersebut, kegiatan yang harus dilakukan adalah pengecekan silang prasasti dengan artefak arkeologis dan naskah tradisional yang sezaman (Soesanti, 1997: 180). Contoh naskah tradisional adalah Nāgarakṛtāgama, Pararaton, dan kidung Harsawijaya yang harus dikaji pula sebelum digunakan sebagai data pembanding. Pada akhirnya, kajian mengenai sumber tertulis, yaitu prasasti dan naskah, harus disertai dengan semangat kelokalan, karena yang ditulis adalah sejarah Indonesia.
Deskripsi Prasasti Rongkab Prasasti Rongkab pernah dipublikasikan dalam Oudheidkundig Verslag (OV) tahun 1940 oleh W. F. Stutterheim. Dalam OV disebutkan bahwa prasasti ini tadinya merupakan koleksi E. W. van Orsoy de Flines sebelum disumbangkan dan menjadi koleksi Museum Nasional (Stutterheim, 1941: 30). Prasasti Rongkab juga pernah disebutkan dalam Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I karangan Boechari dan A.S. Wibowo pada tahun 1985. Publikasi ini menyebutkan deskripsi umum prasasti berupa data fisik dan tempat ditemukan prasasti serta alih aksara dari prasasti. Alih aksara yang telah dilakukan oleh Boechari sangat membantu dalam pengumpulan data awal mengenai Prasasti Rongkab, terutama sebagai data pembanding alih aksara prasasti yang telah dilakukan sebelumnya oleh Barrett Jones (1984: 161-165) dalam Early Tenth Century Java from the Inscriptions. Dalam karyanya, Damais (1970: 40 dan 948) menyebutkan angka tahun dari Prasasti Rongkab saja, namun pada bagian lainnya beliau menyebutkan namanama orang yang tercantum dalam Prasasti Rongkab. Kozo Nakada (1982: 92-93) dalam An Inventory of the Dated Inscriptions in Java hanya menyebutkan
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
deskripsi umum prasasti. Mengenai pertanggalan Prasasti Rongkab pernah dibahas dalam Etudes d’ Epigraphie Indonésienne (EEI) III dan IV, terdapat deskripsi umum prasasti berupa bentuk, bahasa, nama pejabat yang mengeluarkan prasasti, referensi, alih aksara dari sebagian kecil isi Prasasti Rongkab yang menyebutkan pertanggalan, serta pembahasan mengenai pertanggalan dari Prasasti Rongkab (Damais, 1990: 108-109 dan 339-342). Selain itu, Eade dan Gislén (2000: 26-27) mendasarkan penelitian mereka dari hasil penelitian Damais dalam EEI, mengenai pertanggalan Prasasti Rongkab yang kemudian disinkronkan dengan pertanggalan Masehi dengan menggunakan software khusus pertanggalan yang pernah digunakan pula terhadap prasasti di India. Prasasti Rongkab ditemukan di Jawa Tengah, namun lokasi tepatnya maupun waktu penemuannya tidak diketahui, sehingga Prasasti Rongkab digolongkan sebagai prasasti tidak in situ yaitu artefak yang saat ditemukan sudah tidak berada di tempat aslinya. Boechari (1985/1986: 170) menyebutkan Prasasti Rongkab ditemukan di daerah Pati, Jawa Tengah, namun Barrett Jones (1984: 161) menduga Prasasti Rongkab ditemukan di daerah yang sama dengan Prasasti Bulai A, yaitu di daerah Demak, Jawa Tengah. Perbedaan tempat penemuan ini sudah sulit untuk ditelusuri mana yang benar, namun satu hal yang pasti adalah Prasasti Rongkab ditemukan di Provinsi Jawa Tengah. Barrett Jones juga menyebutkan bahwa sebelum menjadi koleksi Museum Nasional, Prasasti Rongkab merupakan koleksi dari Van Orsoy de Flines dengan nomor inventaris 246, bersamaan dengan Prasasti Bulai A yang juga dinomori 246. Keduanya kini disimpan di Museum Nasional, Prasasti Rongkab diberi nomor E 83 a, sedangkan Prasasti Bulai A diberi nomor E 83 b (Barrett Jones, 1984: 161). Akan tetapi, kini Prasasti Rongkab dikenal dengan nomor inventaris E 83 saja, sedangkan Prasasti Bulai A bernomor inventaris E 82.
Lempengan Prasasti Rongkab dipahat di kedua sisinya yaitu depan (recto) dan belakang (verso). Jumlah baris di sisi recto adalah 10 baris, sedangkan sisi verso-nya dipahatkan tulisan sebanyak 13 baris. Kondisi Prasasti Rongkab cukup bagus dengan tulisan yang dapat dibaca dengan cukup jelas. Secara umum prasasti berwarna coklat tembaga kehitaman dengan bercak warna kehijauan yang diduga akibat dari patinasi. Kedua permukaan lempeng, baik recto maupun verso memiliki banyak “pori-pori”. “Poripori” ini berbentuk menyerupai lubang-lubang kecil walau tidak sampai menembus ke sisi lempeng di baliknya. Ukuran panjang huruf berkisar antara 0,2 cm hingga 0,5 cm. Lebar huruf berkisar 0,2 cm hingga 0,6 cm dan ketebalan dipahatkannya huruf sekitar 0,05 cm. Jarak antar huruf cukup bervariasi yaitu 0,1 cm hingga 0,5 cm, sedangkan jarak antar baris berkisar antara 0,2 cm hingga 0,7 cm. Rupanya sang pemahat prasasti kurang terampil dalam memperkirakan perbandingan jumlah huruf yang akan dituliskan dan bidang tulisnya. Hal tersebut dapat dilihat dari sisi recto yang memiliki ukuran huruf, jarak antar huruf, dan jarak antar baris yang relatif lebih besar daripada sisi verso. Penulisan huruf di sisi verso cenderung sangat berdekatan, sedangkan penulisan huruf di sisi recto berkesan agak longgar. Selain itu, baris tulisan dipahatkan agak tidak lurus dari kiri ke kanan, sehingga baris-baris tidak bersifat sejajar antara satu sama lain. Di bagian tengah atas dari recto terdapat tulisan nomor inventaris prasasti yaitu E. 83 a berwarna putih dan dituliskan terbalik, sehingga kita harus memutar prasasti sebanyak 180˚ untuk membacanya secara baik. Di pinggiran sisi bawah dari recto terdapat kerusakan kecil berupa patahan sehingga menyebabkan sisi bawah prasasti berupa garis bergelombang di bagian tersebut.
Prasasti Rongkab yang dipahatkan pada logam campuran (alloy) tembaga berbentuk lempengan persegi panjang, serta memiliki sisi panjang dan lebar yang agak melengkung. Lempengan Prasasti Rongkab cukup tebal sehingga huruf yang dipahatkan masih terlihat jelas. Prasasti Rongkab berjumlah satu lempeng yang berukuran panjang 35,2 cm, lebar 14,7 cm, serta tebal 0,148 cm. Aksara yang digunakan oleh Prasasti Rongkab adalah aksara Jawa Kuno yang biasa dipakai di prasasti masa Balitung lainnya. Aksara masa Balitung ini kerapkali disebut oleh de Casparis (1975: 33) sebagai aksara standar, dan bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Jawa Kuno. Aksara dibubuhkan di prasasti dengan cara dipahat.
Gambar 1. Prasasti Rongkab (recto)
Pada sisi verso Prasasti Rongkab, kerusakan berupa patahan kecil di bagian pinggir kanan bawah.
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
membedakan bunyi, karena pada dasarnya aksara Jawa Kuno merupakan aksara silabis sehingga huruf-huruf konsonan yang ada secara otomatis telah berpasangan dengan huruf vokal a. Untuk vokalisasi selain huruf a maka digunakan tanda i, u, e, ĕ, o, ai, au, ā, ī, dan ū.
Gambar 2. Prasasti Rongkab (verso)
Di bagian pojok kiri bawah dari verso dituliskan nomor inventaris dari prasasti yaitu 78 yang berwarna hitam dan E. 83. a yang berwarna putih. Ukuran huruf yang dipahatkan relatif sama pada setiap barisnya, namun jarak antara tiap baris sangat kecil sehingga berkesan sangat berdempetan, berbeda dengan baris-baris di sisi recto yang jarak di antaranya agak “longgar”. Aksara Jawa Kuno yang digunakan oleh Prasasti Rongkab termasuk aksara silabis, yaitu aksara yang setiap tandanya melambangkan satu konsonan dan satu vokal (Kushartanti, dkk. 2009: 71). Aksara Jawa Kuno yang digunakan di Prasasti Rongkab disebut aksara standar (de Casparis, 1975: 71). Aksara standar pada Prasasti Rongkab memiliki ciri di antaranya adalah bentuk tiap hurufnya yang cenderung membulat dan ditulis condong ke kanan, serta adanya kuncir pada sebagian besar huruf. Kuncir ini merupakan elemen dekorasi dari huruf dan sangat umum digunakan pada prasasti zaman Rakai Kayuwangi dan Balitung. Bahasa yang digunakan pada Prasasti Rongkab adalah bahasa Jawa Kuno. Sama seperti hampir semua prasasti Jawa Kuno lainnya, bentuk teksnya berupa prosa. Prasasti pada umumnya ditulis dengan kalimat yang singkat dan padat. Prasasti Rongkab tidak memakai penulisan hukum sandhi yang berlaku di Bahasa Jawa Kuno. Hukum sandhi biasanya terjadi akibat pertemuan dua huruf vokal, seperti contoh kata wineh yang ditulis winaih dan kata rare yang ditulis rarai. Namun untuk vokal rangkap ua, telah berubah menjadi wa sesuai dengan hukum sandhi. Hal itu merupakan salah satu ciri prasasti tua yang lazim ditemukan pula di prasasti zaman Balitung lainnya. Selain itu, ada kecenderungan dari citralekha untuk menuliskan aksara ganda pada beberapa kata yang seharusnya tidak beraksara ganda, contohnya kata pamĕgat yang dituliskan pamaggat dan tangkilan yang dituliskan tangkillan. Pada Prasasti Rongkab hanya terdapat tiga huruf vokal yang berdiri sendiri yaitu huruf °a, °i, dan °u. Vokalisasi dalam Prasasti Rongkab digunakan untuk
Pada Prasasti Rongkab, konsonan dapat dituliskan secara pasangan. Dengan cara ini, huruf yang ditulis terlebih dahulu (terletak di atas huruf yang satunya) bunyinya menjadi mati dan dilanjutkan dengan huruf yang dituliskan di bawahnya. Salah satu cara penulisan konsonan pada aksara Jawa Kuno adalah dengan menggunakan tanda virama atau paten. Virama digunakan untuk mematikan bunyi salah satu konsonan. Dalam Prasasti Rongkab, virama dipahatkan dengan bentuk garis melengkung dari sisi atas huruf hingga ke sisi kanan bawah huruf. Tanda anusvāra digunakan untuk menyatakan bunyi sengau dalam bahasa Jawa Kuno. Pada Prasasti Rongkab, anusvāra diwujudkan dengan bulatan kecil namun juga ada yang berupa titik saja. Anusvāra tidak ditulis persis di atas huruf yang bersangkutan seperti di prasasti kebanyakan, namun ditulis agak ke kanan atas dari huruf sehingga berada di pertengahan antara huruf yang diberi anusvāra dan huruf sesudahnya. Visarga digunakan untuk mewujudkan bunyi ḥ. Hampir semua h mati pada Prasasti Rongkab adalah akibat digunakannya tanda visarga yang berbentuk dua bulatan kecil yang berada di samping kanan huruf. Cara untuk menuliskan konsonan r mati sebelum huruf tertentu dengan menuliskan tanda layar di atas huruf. Tanda layar pada Prasasti Rongkab berbentuk seperti garis yang melengkung dari arah kiri ke kanan dan kurvanya terbuka ke atas.
Alih Aksara Sisi Recto 1. // swasti śakawarṣatita1 823 katikamasa2, tithi daśami3 suklapakṣa4 wā, wa °a wara5 śatabhiśanakṣatra6 bāru1
Seharusnya berbunyi śakawarṣātīta yaitu tahun (warṣa) yang telah berlalu (atīta) (Zoetmulder, 2006: 79 dan 1394). 2 Seharusnya berbunyi kārttika, yaitu bulan ke-8 dalam kalender Śaka (de Casparis, 1978: 48) dan berbunyi māsa yang berarti bulan (Zoetmulder, 2006: 658). 3 Seharusnya berbunyi daśamī yaitu hari kesepuluh (de Casparis, 1978: 50). 4 Seharusnya berbunyi śuklapakṣa yang berarti paro terang (Damais, 1990: 13). 5 Seharusnya berbunyi wāra yang berarti hari dalam minggu (Zoetmulder, 2006: 1389). 6 Seharusnya berbunyi śatabhiṣaj (de Casparis, 1978: 52). Barrett Jones membaca unsur sesudahnya sebagai naksatra, sedangkan Boechari membacanya sebagai nakṣatra.
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
2. 3. 4. 5. 6.
nadaiwatā7 hasayūga8, tatkālanikanaŋ rāma i roŋkab· winaiḥ mamuputta kaṭik· praṇa ga9 de saŋ pamaggat· °umaṅgit· pu parwwatta10, saŋkā ri nāśani wanwanya maṅaśa-11 °akkan· °ikanaŋ rāma pasak· pasak· °i saŋ pamaggat· pirak· kā 1012 juru-13 ni kanayakān· saŋ tamwalaŋ °anak· wanwa °i kukap· watak· pagar· wsi, °ataṇḍa pu pawī, juruniŋ14 lapuran·15 pu dhānada16 kapwa °anak· wanwa °i turai, watak· tu-
7 Seharusnya berbunyi baruṇa atau waruṇa dan berbunyi dewatā (de Casparis, 1978: 51). Barrett Jones dan Boechari membacanya sebagai dewatā, namun terlihat jelas bahwa di atas vokalisasi e terdapat garis melengkung yang mengindikasikan vokalisasi yang sebenarnya yaitu ai. 8 Boechari membacanya sebagai hāsayuga, padahal terlihat jelas tidak ada garis vertikal penanda vokalisasi ā pada huruf ha. Barrett Jones membacanya sebagai hasayūga. Dilihat dari konteksnya, kata yang dimaksud merupakan unsur pertanggalan yoga, namun tidak ada yoga yang bernama hasa, mungkin yang dimaksud adalah harṣaṇayoga. Mengenai ejaan ū/o dalam bahasa Jawa Kuno memang terdapat variasi pemakaian antar keduanya, seperti contohnya pada kasus pengejaan nama pu manukū yang sering juga dijumpai dengan ejaan pu manuko (Griffiths, 2011: 143 dan Damais, 1968: 450). 9 Boechari membacanya sebagai 1, namun Barrett Jones membacanya sebagai ga. Memang kedua karakter tersebut terlihat mirip, namun dengan adanya kuncir menandakan karakter tersebut adalah huruf sehingga harus dibaca sebagai ga. Akan tetapi dengan melihat konteksnya yang menyebut jumlah kaṭik yang dibebaspajakkan atau dilunasi, tentulah harus berupa angka satu, karena ga tidak memiliki arti apa-apa jika dimasukkan ke dalam konteks kalimat. Maka di sini sang citralekha keliru. 10 Barrett Jones membacanya sebagai parwatta, padahal jelas terdapat pasangan w di bawah huruf w. 11 Bentuk huruf ṅa di sini agak berbeda dengan huruf ṅa di baris lainnya. Seharusnya berbunyi manasĕakan yang berarti ‘memberi’ (Zoetmulder, 2006: 68). 12 Baik Barrett Jones maupun Boechari sama-sama membacanya sebagai 1. (angka satu serta tanda baca). Namun jika dilihat dari pola penulisan pemberian pasak pasak yang ada di bagian selanjutnya dari baris tersebut, tidak ada penyebutan angka yang diikuti oleh tanda baca, sehingga mendukung pendapat bahwa bulatan setelah angka 1 bukanlah tanda baca, melainkan angka 0. 13 Samar terlihat bulatan kecil di atas huruf ru, diperkirakan merupakan anusvāra namun mungkin bulatan tersebut ada akibat kerusakan yang terjadi pada lempeng karena kata juruŋ tidak ada. Melihat dari konteksnya, jelas kata yang dimaksud adalah juru yang berarti kepala atau pemimpin (Zoetmulder, 2006: 431).
7. 8. 9.
rai, juruniŋ17 wadwā18 rarai pu gaṇḍaura °anak· wanwa19 °i sḍĕḥ watak· taŋkillan·20 juruniŋ kalula pu °arka21 °anak· wanwa waryyaŋ watak· rampakan·, juruniŋ22 maŋra-23 kat· sa24 ra papaḥ25 °anak· wanwa °i tĕ°ṛnĕḥ watak· taŋkil·26, °amasaṅakan·
14
Anusvāra terletak hampir persis di atas huruf la, sehingga agak mengecoh seakan-akan yang tertulis adalah laŋ namun jelas morfem yang dimaksud adalah niŋ. Boechari pun membacanya sebagai niŋ lapuran, sedangkan Barrett Jones membacanya sebagai ni laŋpuran. 15 Ada bulatan kecil di kanan atas dari huruf ra namun peletakan anusvāra di sini dirasa kurang masuk akal karena adanya huruf na yang diberi tanda virāma setelah huruf tersebut. Kemungkinan besar bulatan kecil tersebut terjadi akibat kerusakan yang terjadi pada lempeng karena berbeda dengan penulisan anusvāra lainnya pada Prasasti Rongkab, bulatan kecil ini ditulis sangat dekat dengan huruf. Boechari membacanya sebagai lapuran, sedangkan Barrett Jones membacanya laŋpuran, padahal jelas tidak ada anusvara setelah huruf la. 16 Seharusnya dhanada seperti nama yang sering ditemui dalam prasasti lain. 17 Boechari membacanya sebagai ni, namun jelas terlihat anusvāra di sebelah kanan atas huruf ni. 18 Rupanya Barrett Jones luput melihat vokalisasi ā, sehingga beliau membacanya sebagai wadwa. 19 Barrett Jones membacanya sebagai wanua, padahal jelas hanya satu suku kata nwa yang terbentuk dari n dengan pasangan wa. 20 Boechari membacanya sebagai tankillan, padahal tidak ada huruf na ber-virāma sesudah huruf ta, melainkan ada sebuah anusvāra. Barrett Jones membacanya sebagai taŋkillan. 21 Tanda layar berada di kanan atas dari huruf ka, mungkin merupakan kasus yang sama dengan penulisan anusvāra di Prasasti Rongkab karena penulisan kata berupa “r ˚a” jarang ditemui. 22 Vokalisasi i untuk huruf na di sini berupa bulatan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan huruf bervokalisasi i lainnya, mungkin akibat sangat dekatnya jarak baris ke-7 dan ke-8. Boechari membacanya sebagai ni, sedangkan Barrett Jones membacanya sebagai niŋ. 23 Boechari membacanya sebagai maraŋkat meskipun a terletak di antara huruf ma dan ra, bukan terletak setelah ra. Dalam Kamus Jawa Kuna – Indonesia, terdapat kata rakat dengan diberi awalan maN- menjadi maŋrakat yang berarti ‘bujang, pembantu, pelayan’ (Zoetmulder, 2006: 188). 24 Boechari membacanya sebagai saŋ ra papah walaupun jelas tidak ada anusvāra setelah huruf sa namun mungkin yang dimaksud adalah benar saŋ rapapah karena didahului oleh nama jabatan yang biasanya diikuti oleh nama orang yang memegang
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
10.
pu maṇḍu°a nwa27 °i28 rahawu watak· sirikan· °inaŋsyan· pasak· pasak· pirak·
2. 3.
Sisi Verso 4. 1.
dhā29 530 kinābaihan·nira31 wahutta °i rikanaŋ32 kāla mukur33 saŋ bataŋṅan· piŋhai ka-
jabatan tersebut. Saŋ merupakan nama sebutan yang umum selain pu dan si. 25 Jarak antara baris ke-9 dan ke-10 yang berdekatan menyebabkan adanya keambiguan dalam penulisan tanda. Tanda dua buah bulatan kecil yang terdapat di baris ke-9 setelah ra papa dapat diduga merupakan visarga sehingga kata yang dimaksud menjadi ra papaḥ, sedangkan kata yang tepat di baris bawahnya menjadi °i, namun di sisi lain kedua bulatan kecil tersebut dapat dilihat sebagai satu bulatan tanda baca koma atau titik bagi baris ke-9 dan sebagai anusvāra untuk baris ke-10 sehingga kata yang dimaksud masing-masing berbunyi rapapa dan °iŋ. Namun jika melihat pola pada bagian sebelumnya, diduga yang dimaksud adalah benar ra papaḥ dan °i. 26 Jika melihat bagian lain dari prasasti yang sebelumnya menyebut nama wilayah yang hampir mirip, barangkali sang citralekha lupa untuk memahat suku kata berikutnya yaitu lan, karena di bagian lain prasasti kita temui watak taŋkillan. 27 Kata-kata ini seharusnya berbunyi °anak· wanwa jika melihat di bagian Prasasti Rongkab lainnya pola penulisan nama seseorang yang diikuti dengan nama tempat tinggalnya. Hal ini menunjukkan citralekha yang kurang cakap, sehingga lupa memahat huruf nak· wa, sama halnya seperti ia melupakan untuk memahat lan. 28 Lihat catatan kaki nomor 31. 29 Huruf terlihat agak kurang jelas namun jika melihat dari konteksnya, dapat diduga merupakan huruf dhā, yaitu kependekan dari kata dhārana, salah satu jenis satuan perak (Zoetmulder, 2006: 196). 30 Barrett Jones membacanya sebagai angka 4, sedangkan Boechari membacanya sebagai angka 5. 31 Setelah huruf na pertama terdapat tanda yang bentuknya mirip sekali dengan virāma di akhir kata ini, namun virāma di tengah kata jarang ditemukan. Kemungkinan lainnya citralekha bermaksud menulis kinābaihan, tetapi bentuk tersebut pun salah karena jika melihat konteksnya, kata seharusnya adalah kinabaihan (huruf na bervokalisasi a, bukan ā ) (Zoetmulder, 2006: 434). Selain itu huruf ba di sini juga agak berbeda dengan huruf ba di bagian prasasti lainnya. Baik Boechari maupun Barrett Jones membacanya sebagai kinābaihan. 32 Barrett Jones membacanya sebagai °irikaŋ, mungkin terlupa menambahkan huruf na. 33 Barrett Jones dan Boechari membacanya sebagai muŋkur, namun tidak terlihat adanya anusvāra di atas huruf mu.
5. 6.
7.
ḍu sapataŋṅaḥhan·34, kapwa ˚inaŋsyan· pasak· pasak· pirak· dhāra35 1036 °i sowaŋ 37 sowaŋ rāma māgman· °irikana[ŋ]38 kāla kala[ŋ] si maṅgal· mu°a[ŋ] si kya gusti si diśa winĕkas· si haṅū parujar· si liṇḍu°an· mu°a[ŋ] si bicit· rāma maratā si tĕwak· si julu hulu wras· si wisuwa nāhan· kwai[ḥ] nikanaŋ rāma māgman· sinrahan· prasaṣṭi39 de saŋ pamaggat· °umaṅgit· pu parbata40 ˚anuŋ ḍumatĕṅakan· samwaḥnikanaŋ41 rāma °i roŋkab· sa[ŋ] talla42 gusti °i suli43, sīma wadihati sakṣī44 saŋ pamaggat· wadihati pu ḍapit· °anak· wanwa °i paŋḍamu°an·45 watak· wadihati °inasĕ-
34
Bentuk huruf ṅa di sini agak berbeda (agak lebih melengkung ke dalam) dengan huruf ṅa lainnya di prasasti ini. Barrett Jones membacanya sebagai saŋ pataŋṅahhan, sedangkan Boechari membacanya sa(ŋ) patiṅaḥhan. Keberadaan anusvāra di sini memang harus diperdebatkan namun mungkin memang benar berbunyi saŋ karena kata tersebut didahului kata lain yang berupa jabatan. 35 Huruf ra dan angka 1 ditulis hampir tersambung. Dhāra mungkin juga mengacu pada satuan perak yaitu dhāraṇa, namun di bagian lain prasasti, kata tersebut disingkat hanya menjadi dhā. 36 Lihat catatan kaki nomor 18. 37 Terdapat jarak spasi sebesar kira-kira satu huruf sebelum huruf so, namun jelas tidak terlihat bekas pahatan apapun, sehingga kekosongan ini merupakan sesuatu hal yang mengherankan. 38 Kembali Barrett Jones menuliskan °irikaŋ. 39 Seharusnya berbunyi praśasti (Zoetmulder, 2006: 850). 40 Baik Barrett Jones maupun Boechari menyetujui bahwa awal baris ini dibaca pu parbata namun jika melihat nama pemegang jabatan saŋ pamaggat umaṅgit yang telah disebut sebelumnya di sisi recto prasasti ini, seharusnya dibaca pu parwata. Namun dalam kenyataannya memang wa dan ba dapat dipergunakan secara bergantian tanpa mengubah arti. 41 Visarga sudah hampir tidak kelihatan akibat kerusakan lempeng. 42 Boechari membacanya sebagai sa(ŋ) talu padahal terlihat jelas bahwa huruf di bawah huruf la adalah pasangan la, bukan vokalisasi u. 43 Barrett Jones membacanya sebagai suliŋ. Keberadaan anusvāra agak meragukan pada kata ini. 44 Seharusnya berbunyi sākṣi yang berarti saksi mata (Zoetmulder, 2006: 985). Barrett Jones membacanya sebagai sakṣī, sedangkan Boechari membaca sebagai sakṣi. 45 Barrett Jones membacanya sebagai paḍamuan. anusvāra di sini memang tidak terlihat jelas, namun Boechari juga membacanya sebagai paŋḍamuan.
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
8.
9.
10.
11.
12.
46
°an·46 pasak· pasak· pirak· dhāra 447 tuhān· miraḥ miraḥ pa48 rayuŋ sanak·49 ˚i miraḥ miraḥ watak· wadi50 ma[ŋ]-51 rakappi saŋ halaran·52 pu dhānada53 °anak· wanwa °i paṇḍamu°an· watak· wadihati kapwa °ina[ŋ]sĕ°an·54 pasak· pasak· pirak· dhā 2 °i sowaŋ sowa[ŋ] wahutta hya[ŋ] tumut·55 magunadosa56 sa[ŋ] siṅgaḥ wwaḥ pu rahula, °anak· wanwa °i miraḥ miraḥ watak· wadihati mu°aŋ saŋ habūn °anak· wanwa °i turayun· watak sigaran· kapwa °inasĕ°an·57 pasak· pasak· pirak· mā 7 °i58 sowa[ŋ] sowaŋ karamān· saŋ hadyan· wahu-
Jelas tidak ada anusvāra, namun Barrett Jones membacanya sebagai °inaŋsĕan, sedangkan Boechari membacanya sebagai °inasean, sepertinya beliau lupa menambahkan tanda pĕpĕt pada ketikan akhir naskah. 47 Barrett Jones membacanya sebagai angka 3 dan tanda baca, sedangkan jelas terlihat angka 4 dan tidak ada tanda baca apa pun setelahnya. Boechari pun membacanya sebagai angka 4. 48 Boechari membacanya sebagai pu dan memang samar terlihat adanya vokalisasi u. Dilihat dari konteksnya, memang seharusnya tertulis pu karena setelah kata tersebut diikuti oleh nama seseorang yaitu rayuŋ yang juga ditemui dalam Prasasti Poh 827 Śaka (Damais, 1970: 238). 49 Seharusnya berbunyi anak· wanwa °i miraḥ miraḥ seperti yang terdapat di baris ke-11 sisi verso. Walaupun demikian, Boechari membacanya sebagai °anak· °i miraḥ miraḥ padahal tidak terlihat adanya bentukan seperti angka 3 terbalik yang menjadi ciri khas huruf °a. Jelas di sini citralekha keliru. 50 Mungkin yang dimaksud adalah wadihati yaitu nama watak yang sering muncul di prasasti masa Balitung lainnya dan juga muncul di bagian lain dari Prasasti Rongkab. 51 Boechari membacanya sebagai maŋ padahal tidak terlihat adanya anusvāra. 52 Barrett Jones membacanya sebagai maŋraŋkappi, sedangkan Boechari membacanya maŋrakappi. 53 Lihat catatan kaki nomor 22. 54 Boechari membacanya sebagai °inaŋsean·, kemungkinan beliau lupa menambahkan tanda pĕpĕt pada ketikan naskah akhir. 55 Antara huruf tu dan huruf mu terdapat jarak spasi yang cukup besar. 56 Barrett Jones membacanya sebagai maṅunadosa, sedangkan Boechari membaca mangunadosa. 57 Kembali Boechari sepertinya lupa menambahkan tanda pĕpĕt pada naskah akhir, sehingga bacaannya hanya °inasean·. 58 Barrett Jones nampaknya tidak dapat membaca bagian ini dengan jelas, terlihat dari alih aksaranya yaitu ma – na, yang tidak memiliki arti apa-apa.
13.
59 tta hya[ŋ] makabaiḥhan·60 pirak· dhā kinabaiḥhannira likhitta patra pu rawi◌◌◌
1
Alih Bahasa Sisi Recto 1. // Selamat! Tahun Śaka 823 telah berlalu, bulan Kārttika61, tanggal kesepuluh paro terang, hari Was Wagai Minggu62, nakṣatra-nya śatabhiṣaj 63 , 2. dewatā-nya Waruna64, yoga-nya hasa65. Ketika itu pejabat66 Desa Rongkab diberi [kemudahan] untuk melunasi67 kaṭik68 59
Baris ke-13 ditulis menjorok ke kanan, mungkin disebabkan citralekha yang tidak begitu ahli dalam memperhitungkan penulisan jarak antar baris. 60 Boechari membacanya sebagai makabaiḥkan·. Memang huruf ha agak mirip dengan huruf ka, namun kata yang dimaksud kemungkinan besar adalah makabaiḥhan yang berarti semua bersama-sama (Zoetmulder, 2006: 434). 61 Bulan Kārttika adalah bulan ke-8 dalam kalender Śaka. Semua nama bulan tersebut adalah sebagai berikut: Caitra, Waiśākha, Jyeṣṭha, Āṣāḍha, Śrāwaṇa, Bhadrawāda, Asuji, Kārttika, Mārgaśira, Poṣya, Māgha, dan Phālguna (de Casparis, 1978: 48). 62 wā, wa ˚a merupakan singkatan dari was, wagai ,°āditya yaitu merupakan nama hari dari sistem siklus enam hari (ṣaḍwāra), siklus lima hari (pañcawāra), serta siklus tujuh hari (saptawāra) (de Casparis, 1978: 3). 63 Nakṣatra adalah perhitungan waktu berdasarkan benda-benda langit dan bersiklus 27,322 hari. Ada 27 nakṣatra yang dikenal dan śatabhiṣaj adalah nakṣatra yang ke-24 (de Casparis, 1978: 21 dan 52). 64 Setiap nakṣatra memiliki hubungan dengan suatu dewatā tertentu dan dalam kasus ini pasangan nakṣatra śatabhiṣaj adalah waruṇa (Renou dan Filliozat, 2001: 730). 65 De Casparis (1978: 22) mendefinisikan yoga sebagai waktu saat pergerakan gabungan antara matahari dan bulan mencapai nilai 13˚20’. Terdapat 27 nama yoga, yaitu viṣkambha, prīti, āyuṣmant, saubhāgya, śobhana, atigaṇḍa, sukarman, dhṛti, śūla, gaṇḍa, vṛddhi, dhruva, vyāghāta, harṣaṇa, vajra, siddhi, vyatīpāta, varīyas, parigha, śiva, siddha, sādhya, śubha, śukla, brahman, indra, dan vaidhṛti (Renou dan Filliozat, 2001: 734). Nama hasayoga tidak ada dalam daftar nama yoga, namun mungkin yang dimaksud oleh citralekha adalah harṣaṇayoga. 66 Rāma adalah sebutan pagi pejabat/penguasa desa; golongan orang yang dianggap pejabat atau senior di suatu komunitas religi maupun sosial (Zoetmulder, 2006: 913). 67 Mamuputta berasal dari kata dasar puput yang berarti ‘akhir, hasil, tujuan’ dan diberi imbuhan maN- dan akhiran irrealis sehingga dapat berarti supaya ‘mengakhiri, menyelesaikan, dan melengkapi’
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
3. sebanyak 1 orang oleh Sang Pamĕgat69 Umanggit bernama Pu Parwata, oleh karena kerusakan desanya. 4. Pejabat desa itu mempersembahkan hadiah kepada Sang Pamĕgat berupa perak sebanyak 10 kāṭi70. 5. Juru71 Kanāyakān72 bernama Sang Tamwalang, penduduk Desa Kukap, wilayah Pagar Wsi; 6. pemilik panji ataṇḍa Pu Pawi, serta tuhan niŋ Lampuran73 bernama Pu Dhanada, kedua-duanya penduduk Desa Turai, wilayah Turai; 7. wadwā rarai74 bernama Pu Gandaura, penduduk Desa Sḍĕḥ wilayah Tangkilan;
(Zoetmulder, 2006: 882). Dalam konteks ini, mungkin dapat diartikan ‘untuk melunasi’ dengan maksud di sini adalah para pejabat desa Rongkab tidak usah kerja bakti yang besarannya berupa 1 kaṭik kepada Sang Pamgat Umanggit karena desanya rusak. 68 Kaṭik dalam kamus berarti ‘pembantu, pengurus kuda’ (Zoetmulder, 2006: 472) namun dalam prasasti seringkali digunakan dalam konteks pertanian seperti dalam Prasasti Luītan (Nastiti, dkk, 1982: 29), mungkin artinya lebih condong kepada orang yang mengerjakan sawah, bukan satuan dari sawahnya. 69 Sang Pamagĕt atau samgĕt adalah nama salah satu jabatan tinggi yang terdapat di istana, biasanya dikombinasikan dengan kata lain seperti samgĕt wadihati dan samgĕt makudur. 70 Kati adalah istilah lokal Nusantara untuk salah satu jenis satuan massa. Menurut Wisseman Christie (2004: 91), kati digunakan untuk mengukur segala jenis benda dan pada masa Jawa awal memiliki massa setara dengan 750-768 gram. 71 Dapat diartikan sebagai kepala atau orang yang mengepalai pegawai seprofesi; pejabat yang bertugas di tingkat desa, memiliki arti yang sama dengan tuhān (Soesanti, 1981:138). 72 De Casparis (1956: 228) berpendapat bahwa nāyaka adalah petugas-petugas bawahan yang bertugas mengurusi hal-hal administrasi rakyat. 73 Berdasarkan alih aksara semata memang terbaca lapuran. Belum diketahui secara pasti fungsi dari jabatan tersebut, namun yang pasti lapuran bukanlah nama geografis. Mungkin yang dimaksud oleh sang citralekha adalah kata lampuran seperti yang dipahatkan pada prasasti Paṅgumulan A dan B lempeng kedua baris ke-5 “…tuhān iŋ lampuran…” (Nastiti, dkk, 1982: 14). Selain lampuran, kata tersebut juga dapat dibaca sebagai laŋpuran. Arti katanya yang pasti masih belum diketahui, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa jabatan tersebut bertugas sebagai tempat menerima protes (komplain) dari masyarakat. Pendapat lainnya menghubungkan dengan istilah paŋlapuan yang kerapkali ditemukan di dalam prasasti Bali Kuno, sehingga mungkin juruniŋ lampuran berarti pejabat yang mengurusi pengadilan di tingkat watak (Soesanti, 1981: 119).
8. kalula75 bernama Pu Arka, penduduk Desa Waryang wilayah Rampakan; 9. mangrakat76 bernama Sang Ra Papah, penduduk Desa Tĕrĕnĕḥ wilayah Tangkilan, °amasaṅakan77 10. bernama Pu Mandua, penduduk Desa Rahawu wilayah Sirikan, diberi hadiah berupa perak Sisi Verso 1. sebanyak 8 dhāraṇa semuanya. Wahuta78 saat mengukur79 yakni Sang Batangan, 2. [yang menjabat] pinghe80 [dari] Kaḍu81 yakni Sang Patangahan, keduanya diberi hadiah perak sebanyak 10 dhāraṇa82 masing-masing. 74
Secara harfiah, wadwā berarti pasukan, sedangkan rare berarti anak kecil, namun dalam bahasa Jawa Baru dapat disamakan dengan makna orang kecil atau rakyat jelata (Zoetmulder, 2006: 925 dan 1365). De Casparis seperti yang dikutip Soesanti (1981: 119-120) berpendapat bahwa juruniŋ wadwā rarai diartikan sebagai pejabat yang mengepalai pasukan orang-orang kecil, karena adanya istilah wong cilik untuk menyebut rakyat jelata. 75 Secara harfiah kalula berarti pengiring, pembantu, atau abdi (Zoetmulder, 2006: 446). De Casparis seperti yang dikutip oleh Soesanti (1981: 120) menganggap asal kata kalula yaitu kulāla sehingga juruniŋ kalula berarti pejabat yang mengepalai para perajin tembikar, namun Goris berpendapat lain, yaitu kalula berasal dari kata kula yang berarti pelayan yang lahir di dalam rumah budak, sehingga mungkin dapat diartikan sebagai pejabat yang mengepalai para budak atau pelayan. 76 De Casparis (1956: 240) memberikan dua pendapat akan tugas seorang juruniŋ maŋrakat yaitu pejabat yang mengepalai perajin topeng atau pejabat yang mengepalai para seniman (penari) topeng. 77 Dapat diartikan sebagai ‘beserta’. 78 Merupakan salah satu pejabat tingkat watak. Biasanya kata wahuta dikombinasikan dengan kata lain seperti wahuta hyaŋ kudur yaitu salah satu nama pejabat keagamaan yang mungkin merupakan asisten dari makudur dan bertugas mengucap sapatha dalam suatu upacara penetapan sīma (De Casparis, 1956: 237). 79 Kāla mu(ŋ)kur dapat diduga merupakan salah satu turunan dari kata dasar ukur. 80 Merupakan salah satu nama pejabat yang belum diketahui jelas tugasnya, sering dikombinasikan dengan kata lain seperti “…piŋhe wahuta…”. Boechari seperti yang dikutip oleh Soesanti (1981: 122) berpendapat bahwa kata piŋhe sering dipakai sebagai pengganti kata patih. 81 Kaḍu mungkin dapat diartikan sebagai nama tempat yang dapat disamakan dengan daerah Kedu sekarang. 82 Dharaṇa adalah istilah untuk satuan massa yang diambil dari bahasa Sanskerta, namun di Jawa satuan
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
3. Pejabat desa yang masih menjabat saat itu83 bernama si Manggal dan si Kya; gusti84 si Diśa; winekas85 4. si Haṅū; juru bicara si Liṇḍuan dan si Bicit; pejabat desa yang telah pensiun si Tĕwak dan si Julu; pejabat yang mengatur perberasan 5. si Wisuwa. Demikianlah keseluruhan pejabat desa yang diserahi prasasti oleh Sang Pamĕgat Umanggit 6. yang bernama Pu Parwata. Yang datang menghormat kepada pejabat desa Rongkab [yaitu] Sang Talla, gusti dari Suli, sīma86 Wadihati. 7. Yang menjadi saksi yaitu Sang Pamĕgat Wadihati bernama Pu Ḍapit, penduduk Desa Pangdamuan wilayah Wadihati. [Ia] diberi 8. hadiah perak sebesar 4 dhāraṇa. Tuhān Mirah mirah yang bernama Pu Rayung, penduduk Desa Mirah Mirah wilayah Wadihati, 9. merangkap pejabat di Halaran87 [bernama] Pu Dhanada, penduduk Desa Pangdamuan wilayah Wadihati, semuanya diberi 10. hadiah perak sebesar 2 dhāraṇa masing-masing. Wahuta hyang88 yang turut mempertimbangkan
ini memiliki besaran yang berbeda dengan yang biasa digunakan di India. Dharaṇa biasanya digunakan untuk mengukur massa logam perak dan setara dengan massa tahil dan suwarṇa yaitu sebesar 38 gram, namun pada abad ke-9 dan 10 nilainya berkurang menjadi seperlima dari nilai suwarṇa (Wisseman Christie, 2004: 92). 83 Kalaŋ sebagai suatu kata tersendiri seringkali diartikan sebagai ‘tukang kayu’ secara luas (Zoetmulder, 2006: 442). 84 Salah satu pejabat yang berkuasa di tingkat wanua dan rupanya memiliki peran yang cukup penting karena terhitung cukup sering muncul di prasasti, namun sayangnya tugas seorang gusti dalam pemerintahan desa belum diketahui secara pasti (Soesanti, 1981: 125). 85 Pejabat yang tugasnya membawa pesan atau perintah dari desanya (Soesanti, 1981: 125). 86 Daerah perdikan. Sīma tidak mengacu kepada bebasnya pajak akan suatu wilayah yang awalnya harus dibayarkan oleh penduduk desa tersebut, namun mengacu kepada wilayah yang dialihkan pajaknya kepada pembangunan atau pemeliharaan bangunan suci yang terdapat di dalam atau di dekat wilayah tersebut (Barrett Jones, 1984: 60). 87 Arti sebenarnya dari maŋrakappi saŋ halaran belum diketahui, namun diduga bahwa istilah tersebut merupakan salah satu nama jabatan seperti yang ditemukan pada Prasasti Ratawun 803 Ś “…maŋrakappi halaran si larakā…”. Namun dapat juga berarti ‘merangkap pejabat di Halaran’. 88 Mungkin yang dimaksud adalah wahuta hyaŋ kudur, pejabat yang sering ditemui dalam prasasti masa Balitung lainnya, namun oleh karena Prasasti Rongkab
baik dan buruk bernama Sang Singgahwuah, [dan] Pu Rahula 11. penduduk Desa Mirah Mirah wilayah Wadihati dan juga Sang Habūn, penduduk Desa Turayun wilayah 12. Sigaran. Semuanya diberi hadiah perak sebanyak 7 māṣa89 masing-masing. Para pejabat desa90 Sang Hadyan, wahuta 13. Hyang semuanya diberi perak sebesar 1 dhāraṇa masing-masing. Penulis prasasti adalah Pu Rawi.
Analisis Data Pada tahap analisis, Prasasti Rongkab akan diuji baik dari sisi ekstern maupun internnya. Secara spesifik, tahap ini dapat disebut kritik teks yaitu tahap unsur fisik dan unsur isi dari Prasasti Rongkab diuji kesesuainnya dengan prasasti yang sezaman. Prasasti Rongkab terbuat dari bahan logam, tepatnya logam campuran tembaga dan berbentuk lempengan persegi panjang. Prasasti berbahan logam sangat umum dijumpai pada masa Balitung, lebih dari setengah (80%) prasasti yang diyakini berasal dari masa tersebut dibuat dari bahan logam. Logam yang digunakan sebagian besar berupa tembaga, namun ada juga yang terbuat dari perunggu. Bentuk prasasti yang terbuat dari logam hampir semuanya adalah lempengan dan sebagian besar berbentuk persegi panjang. Jumlah lempengan tiap prasasti berbeda-beda terkait dengan isinya. Ukuran Prasasti Rongkab adalah 35,2 x 14,7 cm dan jika dibandingkan dengan prasasti zaman Balitung lainnya, memiliki ukuran yang cukup lazim. Jika dibandingkan dengan prasasti masa sesudahnya seperti prasasti masa Majapahit, prasasti masa Balitung memang memiliki kecenderungan ukuran yang agak besar, sekaligus jumlah lempeng yang dipakai cukup sedikit, yaitu berkisar satu hingga dua lempeng. Isi dari prasasti juga ikut menentukan jumlah banyaknya lempeng yang dipakai, umumnya prasasti sīma lebih panjang isinya dibanding isi prasasti jenis lain, namun ada pula prasasti sīma yang dituliskan dalam satu lempeng saja. Isi Prasasti Rongkab yang bukan merupakan pemberian anugerah sīma menyebabkan isi bukan merupakan prasasti sīma, hal ini tentu membingungkan. 89 Māṣa adalah satuan massa yang diadopsi dari istilah India namun memiliki penggunaan yang berbeda di Jawa. Māṣa memiliki massa setara 2,4 gram biasanya dipergunakan untuk mengukur baik emas maupun perak dan sering direpresentasikan dalam bentukan koin (Wisseman Christie, 2004: 92-93). 90 Karamān merupakan kata turunan dari rāma setelah diberi imbuhan ka-an yang kira-kira memiliki arti ‘para pejabat desa’.
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
prasasti yang relatif pendek sehingga lempeng yang dipakai pun hanya satu. Prasasti Rongkab dipahatkan pada satu lempeng tembaga saja. Sisi rectonya berisi 10 baris tulisan, sedangkan sisi verso memiliki 13 baris sehingga jika dijumlahkan akan menjadi 23 baris. Oleh karena Prasasti Rongkab terbuat dari logam, maka perbandingan hanya dilakukan dengan prasasti logam masa Balitung lainnya. Sebagian besar prasasti Balitung memiliki jumlah baris yang cukup banyak yaitu lebih dari 20 baris, seperti Prasasti Ayam Tĕas II yang memiliki 20 baris, prasasti Watukura I yang memiliki 21 baris, prasasti Kubukubu yang memiliki 45 baris, dan prasasti Mantyāsih III yang memiliki 29 baris. Prasasti masa Balitung lainnya yang memiliki baris kurang dari 20 adalah prasasti Ayam Tĕas I memiliki 15 baris, prasasti Poh (Randusari) memiliki 3 baris, prasasti Palĕpangan yang memiliki 15 baris, dan prasasti Tulangan yang memiliki 7 baris. Aksara yang dipahatkan pada Prasasti Rongkab memiliki ciri yang membulat. Hal ini sesuai dengan ciri yang diberikan oleh de Casparis (1975: 33) mengenai tulisan masa Balitung yang berbentuk bulat, condong ke kanan, dan tidak berhias. Ciri khas lainnya dari aksara masa ini adalah penggunaan kuncir yang juga terlihat pada Prasasti Rongkab dan dipahatkan secara cukup konsisten. Kaidah pemberian kuncir adalah sebagai berikut: 1. Huruf yang tidak memiliki kuncir: °i, bha, da, ja, kha, ṣa, tha, dan °u. 2. Huruf yang berkuncir satu: ca, na, ṇa, ṅa, ka, ma, ta, la, śa, ra, dan wa. 3. Huruf yang berkuncir dua dan lebih: ˚a, ḍa, ha, pa, sa, ya. Berbeda dengan yang diungkapkan de Casparis (1975: 33-34), huruf yang berkuncir di Prasasti Rongkab tidak kehilangan kuncirnya jika diberi vokalisasi i dan tanda virama. Penulisan huruf terkadang tidak konsisten, khususnya dalam penulisan huruf ṅa dan ḍa. Penulisan tanda anusvara juga memiliki variasi, ada yang berupa bulat kecil, namun ada juga yang hanya berupa titik. Posisi tanda juga diletakkan di sisi kanan atas dari huruf yang bersangkutan. Vokalisasi ā dan tanda virama terkadang juga memiliki bentuk yang sangat mirip, contohnya pada baris pertama sisi verso. Akan tetapi di beberapa bagian lainnya, kedua tanda tersebut cukup mudah dibedakan yaitu tanda virama memiliki ekor yang lebih panjang dan lurus dibanding vokalisasi ā yang memiliki ekor lebih pendek dan bergelombang. Prasasti Rongkab hanya memiliki tujuh dari sembilan unsur pertanggalan yang disebutkan de Casparis (1978: 56) seharusnya dimiliki oleh prasasti dari tahun 900-
1000, yaitu tahun, bulan, pakṣa, tithi, pekan, nakṣatra, dewatā, dan yoga, walau unsur yang terakhir agak diragukan keberadaannya akibat adanya kesalahan tulisan. Ketidaklengkapan unsur tersebut mungkin disebabkan oleh Prasasti Rongkab yang berasal dari paruh pertama abad ke-10 sehingga perhitungan kalender belum banyak berkembang dari masa sebelumnya. Unsur pertanggalan yang terdapat pada Prasasti Rongkab dipahatkan pada baris pertama dan kedua dari sisi recto, yaitu sebagai berikut: “ swasti śaka warṣatita 823 katika masa, tithi daśami, suklapakṣa wā, wa ˚a wara śatabhiśa nakṣatra bāruna daiwatā hasayūga” Unsur pertanggalan tersebut diterjemahkan menjadi “Selamat telah berlalu tahun Śaka 823, bulan Kārttika hari ke-10 paro terang, hari Was Wagai Minggu, nakṣatra-nya śatabhiśaj, devatā-nya bāruna, yoga-nya hasa”. Hal yang menarik adalah kesalahan citralekha dalam menulis yoga, karena kata yūga sendiri tidak diketahui artinya dan nama yoga hasa pun tidak ada. Terdapat 27 nama yoga, yaitu viṣkambha, prīti, āyuṣmant, saubhāgya, śobhana, atigaṇḍa, sukarman, dhṛti, śūla, gaṇḍa, vṛddhi, dhruva, vyāghāta, harṣaṇa, vajra, siddhi, vyatīpāta, varīyas, parigha, śiva, siddha, sādhya, śubha, śukla, brahman, indra, dan vaidhṛti (Renou dan Filliozat, 2001: 734). Mungkin yang dimaksud oleh kata hasayūga dalam Prasasti Rongkab adalah harṣaṇayoga. Walaupun dalam Prasasti Rongkab tidak disebutkan nama raja yang memerintahkan keluarnya prasasti tersebut, dapat dipastikan bahwa Prasasti Rongkab dikeluarkan pada masa pemerintahan Balitung. Hal tersebut dapat diketahui dari penyebutan angka tahun 823 Ś yang masih termasuk masa kekuasaan Balitung (820-832 Ś). Kalimat yang dipergunakan dalam Prasasti Rongkab cenderung bersifat singkat dan padat, hal yang lazim terjadi pada prasasti masa Balitung yang meneruskan gaya menulis singkat tersebut dari prasasti masa kepemimpinan sebelumnya yaitu Rakai Kayuwangi. Kalimat pada Prasasti Rongkab harus dilengkapi dengan beberapa kata tambahan agar prasasti dapat lebih mudah dimengerti. Contohnya yaitu pada sisi recto baris ke-7 hingga ke-9: 7. “…juruniŋ wadwā rarai pu gaṇḍaura °anak· wanwa °i sḍĕḥ watak· taŋkillan· 8. juruniŋ kalula pu °arka °anak· wanwa waryyaŋ watak· rampakan·, juruniŋ maŋra9. kat· saŋ ra papaḥ °anak· wanwa °i tĕ°ṛnĕḥ watak· taŋkil·,…”
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
Agar lebih jelas, maka kalimat tersebut harus ditambahkan kata-katanya sehingga menjadi: “…juruniŋ wadwā rarai [maṅaran] pu gaṇḍaura °anak· wanwa °i sḍĕḥ watak· taŋkillan· juruniŋ kalula [maṅaran] pu °arka °anak· wanwa [°i] waryyaŋ watak· rampakan·, juruniŋ maŋrakat· [maṅaran] saŋ ra papaḥ °anak· wanwa °i tĕ°ṛnĕḥ watak· taŋkil·,…” Biasanya pada prasasti masa Balitung, kata maṅaran dihilangkan dan langsung menggunakan kata sandang seperti pu, si, atau sang untuk menunjukkan nama orang. Keunikan bahasa lainnya yang terdapat pada Prasasti Rongkab adalah penggandaan konsonan seperti contohnya pada kata pamaggat, taŋkillan, maŋrakappi, dan makabaiḥhan. Walau berkesan tidak mematuhi aturan bahasa Jawa Kuno yang benar, namun penggandaan konsonan seperti contoh tersebut juga ditemui pada prasasti Balitung lainnya seperti Prasasti Kayu Ara Hiwang 823 Ś dan Prasasti Poh 827 Ś. Hal tersebut diduga memang merupakan suatu ciri khas bagi prasasti-prasasti yang berasal dari masa yang lebih awal, mungkin merupakan kasus linguistik di mana bahasa yang tidak memiliki sistem tulisan (bahasa Jawa Kuno) mengadopsi sistem tulisan yang dimiliki oleh bahasa asing yaitu bahasa Sanskerta. Bahasa dengan rumpun yang berbeda memiliki keseluruhan sistem yang berbeda, maka mungkin beberapa adaptasi terpaksa dilakukan dan menghasilkan varian yang baru. De Casparis (1950: 80-81) pernah membahas kasus yang sama di Prasasti Tri Tepusan 764 Ś. Beliau mengatakan bahwa jika diikuti oleh sufiks, akan terjadi penggandaan konsonan di akhir suatu morfem akar. Gejala ini bersifat arkais sehingga mengherankan untuk menemukan hal tersebut di Prasasti Rongkab. Untuk penyebab dari penggandaan konsonan itu sendiri, de Casparis menyarankan untuk menelusurinya dari pengucapan aksen. Kemungkinan lainnya yaitu karena penerapan sandhi Sanskerta yang digeneralisasikan yang lalu diwujudkan dalam penggandaan huruf. Pendapat kedua merupakan kemungkinan yang paling kuat, mengingat sandhi Sanskerta dan Jawa Kuno ada yang berbeda. Mengenai sifatnya yang arkais, kemungkinan disebabkan oleh Prasasti Rongkab yang ditulis oleh seorang citralekha desa yang tidak memiliki keahlian sebaik citralekha istana, sehingga ia kurang mengetahui adanya perkembangan dalam hal penulisan prasasti. Selain pemakaian bahasa yang unik, dalam Prasasti Rongkab sang citralekha banyak melakukan kesalahan dalam ejaan kata sehingga untuk satu kata yang sama terdapat beberapa variasi ejaan. Inkonsistensi terlihat seperti contohnya pada penulisan kata inaŋsyan
terdapat beberapa variasi yaitu °inasĕ°an dan °inaŋsĕ°an. Inkonsistensi lainnya terlihat pada penggunaan singkatan kata satuan dhārana yang contohnya di sisi verso baris pertama ditulis dhā, sedangkan di baris kedua ditulis dhāra. Citralekha juga acapkali lupa untuk menuliskan suku kata terakhir dari suatu nama tempat, contohnya pada sisi recto baris ketujuh terdapat watak taŋkillan namun di baris kesembilan terdapat watak taŋkil, lalu pada sisi verso baris ketujuh terdapat watak wadihati namun di baris kedelapan hanya tertulis watak wadi. Pada Prasasti Rongkab, oleh karena isinya yang bukan merupakan penetapan suatu sīma, struktur Prasasti Rongkab hanya terdiri dari: 1. Manggala 2. Unsur penanggalan 3. Yang mendapatkan anugerah 4. Yang memberikan anugerah 5. Sambandha atau peristiwa latar belakang pemberian anugerah 6. Pemberian pasĕk-pasĕk kepada pejabat tidak berurutan secara hierarkis 7. Penyebutan citralekha Tidak lengkapnya suatu struktur prasasti merupakan suatu hal yang lumrah terjadi pada prasasti masa Balitung, mengingat pada masa itu bukan hanya raja saja yang dapat mengeluarkan prasasti namun pejabatpejabat di tingkat watak pun dapat melakukannya sehingga jelas tidak ada peraturan yang mengikat bagaimana suatu prasasti harus ditulis. Lalu perbedaan jenis isi prasasti juga menyebabkan adanya perbedaan struktur prasasti. Unsur lainnya seperti bahasa yang statis dan bidang penulisan, dalam hal ini logam, yang dipakai cenderung tidak banyak menyebabkan hanya beberapa unsur yang dituliskan ke dalam prasasti. Mungkin pula bagi masyarakat zaman tersebut, kesemua unsur dirasa tidak perlu dicatat karena dianggap lumrah dan semua orang mengetahuinya. Namun hal tersebut menjadi bersifat merugikan bagi peneliti masa kini yang ingin mengetahui bagaimana detail kehidupan pada masa itu. Melihat dari kritik teks yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Prasasti Rongkab adalah prasasti asli yang ditulis pada masa pemerintahan Balitung oleh seorang citralekha desa. Kesimpulan tersebut didapat dari perbandingan dengan prasasti sezaman yaitu prasasti dari masa Balitung. Unsur-unsur fisik dan isi Prasasti Rongkab merupakan hal yang cukup lazim ditemui di prasasti Balitung lainnya, khususnya prasasti yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Waktu ditulisnya prasasti di masa awal pemerintahan Balitung, yaitu 823 Ś dan penulis prasasti yang bukan citralekha istana menyebabkan Prasasti Rongkab agak berbeda dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Balitung sendiri, namun bukan berarti Prasasti
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
Rongkab adalah prasasti tiruan karena banyak unsur dari prasasti Rongkab lazim ditemukan di prasasti masa Balitung lainnya.
Interpretasi Data Pada tahap interpretasi data, unsur-unsur seperti kronologi, biografi, geografi, dan peristiwa dikaji secara lebih rinci. Hal ini dilakukan untuk mengupas fakta sejarah yang ada di dalam Prasasti Rongkab. Pertanggalan yang terdapat pada Prasasti Rongkab dapat digolongkan sebagai kronologi absolut karena tercantum dalam prasasti yang dimaksud, sedangkan kronologi relatif dapat disimpulkan dari unsur-unsur lain dalam prasasti misalnya bahan, aksara, pemakaian bahasa, nama tempat, nama tokoh, serta nama jabatan. Ada delapan unsur pertanggalan yang dituliskan dalam Prasasti Rongkab yaitu unsur tahun (warṣa), bulan (māsa), tanggal (tithi), paruh bulan (pakṣa), hari dalam siklus enam hari (ṣaḍwāra), siklus lima hari (pañcawāra), serta siklus tujuh hari (saptawāra), nakṣatra, dewatā, serta yoga. Eade dan Gislén telah membahas konversi unsur pertanggalan Prasasti Rongkab ke dalam kalender Masehi dengan berbagai penyesuaian (2000: 26-30). Kedua ahli tersebut bertujuan untuk menguji kembali konversi pertanggalan yang telah dilakukan Damais (1990) dengan mengandalkan program komputer bernama HIC (anu.edu/asianstudies/cvs/ceadevc.html) yang jelas lebih presisi dalam perhitungannya. Program tersebut bekerja berdasarkan sistem pertanggalan India yang sering disebut pañcānga yang identik dengan lima unsur yaitu tithi, vāra, nakṣatra, yoga, dan karaṇa. Walaupun demikian, de Casparis (1978: 18 dan 23) telah menegaskan bahwa tidak ada bukti bahwa sistem tersebut dipakai di Indonesia karena pada kenyataannya yang dipergunakan dalam pertanggalan prasasti adalah kombinasi ketiga vāra dan wuku. Beberapa penyesuaian yang dilakukan oleh Eade dan Gislén (2000: 1-9) adalah: 1. Terkadang tidak menghiraukan besaran tithi karena fungsi unsur tersebut telah digantikan oleh adanya unsur karaṇa yang lebih rinci. 2. Menyesuaikan sistem pekan di Indonesia yang hanya menggunakan siklus 5, 6, dan 7 hari yang kesemuanya membentuk siklus yang lebih besar lagi yang terdiri dari 210 hari dan dibagi menjadi 30 wuku. 3. Menjabarkan jangkauan derajat posisi benda langit dan waktu dari tiap-tiap unsur nakṣatra, yoga, dan karaṇa. Jika dikonversi ke dalam sistem kalender Masehi menggunakan program tersebut didapat hasil bahwa Prasasti Rongkab ditulis pada hari Minggu, tanggal 25
Oktober tahun 901 Masehi. Berdasarkan kritik ekstern dengan memperbandingkan unsur lain seperti bentuk, bahan, ukuran, serta aksara, disimpulkan bahwa Prasasti Rongkab ditulis pada masanya yaitu angka tahun yang tercantum dalam prasasti tersebut. Dalam Prasasti Rongkab, tokoh yang pertama kali disebut yaitu pejabat Desa Rongkab (rāma i roŋkab). Rāma dapat diartikan secara umum sebagai ‘ayah’, arti lainnya yaitu ‘tertua, senior (dalam komunitas religi, desa, atau tentara’ (Zoetmulder, 2006: 913). Boechari berpendapat (2012: 323) bahwa rāma adalah pemimpin yang memerintah dalam kesatuan wilayah yang terkecil yaitu wanua atau desa. Rāma merupakan sekumpulan orang yang dipilih untuk menjabat selama periode tertentu, sehingga istilah rāma pun dapat dibagi lagi menjadi rāma magĕman dan rāma maratā. Rāma magĕman adalah istilah untuk rāma yang masih menjabat pada periode tersebut, sedangkan rāma maratā merujuk kepada mereka yang sudah tidak menjabat menjadi pemimpin desa namun masih diikutsertakan dalam rapat pemerintahan desa. Setelah nama pejabat yang mengeluarkan prasasti, disebutkan nama pejabat yang berkaitan dengan sambandha Prasasti Rongkab yaitu Sang Pamĕgat Umanggit Pu Parwata. Sang pamĕgat adalah salah satu jabatan pada tingkat pemerintahan di atas wanua yaitu watak. Selain urusan pemerintahan, sang pamĕgat juga bertanggung jawab mengenai urusan keagamaan dan pengadilan (Boechari, 2012: 33). Baik jabatan sang pamĕgat maupun rakai, setelahnya diikuti oleh nama wilayah watak yang dipimpinnya lalu baru diikuti oleh nama asli tokoh pemegang jabatan tersebut. Nama Umanggit adalah nama watak yang dipimpinnya, sedangkan nama Pu Parwata adalah nama asli tokoh yang mendapat jabatan Sang Pamĕgat Umanggit tersebut. Tokoh tersebut dalam Prasasti Rongkab memiliki variasi ejaan nama seperti Pu Parwwata dan Pu Parbata, keduanya mengacu kepada orang yang sama karena pada bahasa Jawa Kuno seringkali huruf w dan b dipakai bergantian satu sama lain tanpa mengubah arti. Variasi nama lainnya seperti Pu Parwwata dan Pu Parbwata muncul pula di Prasasti Kayu Ara Hiwang 823 Ś dan Prasasti Panggumulan A 824 Ś. Akan tetapi tokoh tersebut memegang jabatan yang sama sekali berbeda dengan Sang Pamĕgat Umanggit, sehingga dapat diduga pula bahwa mereka dua orang yang berbeda. Pejabat setingkat watak lainnya yang disebut dalam Prasasti Rongkab adalah Sang Pamĕgat Wadihati bernama Pu Ḍapit. Tokoh ini sangat sering muncul dalam prasasti masa Balitung lainnya seperti Prasasti Ayam Tĕas I 822 Ś, Prasasti Ayam Tĕas II 822 Ś, Prasasti Panggumulan A 824 Ś, Prasasti Tĕlang I 825 Ś, Prasasti Tĕlang II 825 Ś, Prasasti Poh 827 Ś, serta Prasasti Mantyāsih I 829 Ś. Beberapa variasi namanya
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
seperti Pu Ḍaŋpit muncul di Prasasti Kayu Ara Hiwang 823 Ś, Pu Dhapit muncul di Prasasti Sangsang 829 Ś, serta Pu Ḍampit muncul dalam Prasasti Turu Mangambil 830 Ś dan Prasasti Kaladi 831 Ś. Dalam Prasasti Kasugihan 829 Ś, nama Pu Ḍapit juga muncul namun dengan nama jabatan yang bersinonim dengan kata wadihati yaitu sang pamagat ayam tĕas. Kemudian ada nama-nama pejabat lainnya yang bertugas di tingkat watak dan paling sering disebutkan nama jabatannya di prasasti Balitung lainnya yaitu juru ni kanāyakān bernama Sang Tamwalang, Pu Pawi, juru iŋ lampuran bernama Pu Dhanada, juruniŋ vadvā rarai bernama Pu Gandaura, juruniŋ kalula bernama Pu Arka, serta juru niŋ mangrakat bernama Sang Ra Papah. Kemungkinan kelima jenis jabatan ini adalah jabatan yang berposisi cukup tinggi dalam pemerintahan suatu watak, karena kemudian terdapat pula jabatan tingkat watak lainnya namun tidak memiliki frekuensi penyebutan sebanyak kelima jabatan sebelumnya yaitu seperti °amasaṅakan bernama Pu Mandua, wahuta kāla muŋkur bernama Sang Batangan, pinghe Kaḍu bernama Sang Patangahan, juru bicara (parujar) bernama si Liṇḍuan dan si Bicit, wahuta hyang bernama Sang Singgahwuah dan Pu Rahula juga Sang Habūn, serta citralekha bernama Pu Rawi (Soesanti, 1981: 113-115 dan 123-124). Pejabat yang tingkat pemerintahannya di wanua selain adalah rāma i roŋkab yang disebutkan di awal adalah rāma magĕman pada waktu itu yang bertugas sebagai kalaŋ bernama si Manggal dan si Kya, gusti bernama si Diśa, winekas bernama si Haṅū, rāma maratā bernama si Tĕwak dan si Julu, hulu wras bernama si Wisuwa, rāma i roŋkab bernama Sang Talla, tuhān di Mirah mirah yang bernama Pu Rayung, mangrakappi sang halaran bernama Pu Dhanada, serta karamān Sang Hadyan. Hierarki wilayah administrasi pada masa Balitung dimulai dengan satuan yang terkecil yaitu wanua yang dapat disamakan dengan desa di masa modern. Penduduk wanua disebut dengan anak wanua dan mereka dipimpin oleh sekelompok dewan desa yang disebut dengan rāma. Wanua merupakan bagian dari wilayah administrasi yang lebih besar lagi yaitu watak atau watĕk yang terdiri dari beberapa wanua. Kumpulan watak nantinya akan membentuk kerajaan. Watak dipimpin oleh seseorang yang berjabatan rakai, rake, rakarayān i atau rakryān i. Kerajaan yang terdiri dari beberapa watak, dipimpin oleh seseorang yang bergelar Sri Mahārāja (Sedyawati, 1994: 265-267). Wanua yang disebutkan pertama kali dalam Prasasti Rongkab adalah wanua Rongkab itu sendiri, namun nama Rongkab sayangnya tidak pernah ditemukan di prasasti lainnya yang sezaman. Nama wanua lainnya
yang tercantum dalam Prasasti Rongkab yaitu wanua Kukap, Turai, Sḍĕh, Waryang, Tĕrĕnĕḥ, Rahawu, Suli, Pangdamuan, Mirah mirah, serta Turayun. Nama Kukap di prasasti lain dalam konteks lokasi hanya ditemukan di Prasasti Hĕriṅ 726 Ś yang berselisih waktu cukup jauh yaitu sekitar 97 tahun namun dapat diyakini keduanya mengacu kepada satu tempat yang sama seperti contohnya di masa kini pun masih ada desa yang memakai nama-nama desa yang dapat kita temukan di prasasti seperti Pamwatan yang sekarang berubah menjadi Pamotan di daerah Lamongan dan Turyyan yang sekarang berubah menjadi Turen di daerah Malang. Wanua Turai yang memiliki nama watak yang sama yaitu Turai hanya muncul di Prasasti Poh Dulur 812 Ś sebagai nama watak yang lagi-lagi berasal dari masa sebelum masa pemerintahan Balitung. Nama wanua Sḍĕh, Waryang, Rahawu, serta Suli hanya muncul di Prasasti Rongkab. Nama Tereneh muncul di Prasasti Lintakan 841 Ś yang berusia lebih muda dari Prasasti Rongkab namun dapat dipastikan masih merupakan wanua yang sama karena berada dalam watak Tangkil. Kata Turayun sebagai nama tempat muncul dalam Prasasti Mantyāsih I 829 Ś dan Mantyāsih III 829 Ś, namun berada dalam konteks yang agak berbeda karena tidak menyebutkan watak yang menaungi wanua Turayun. Baik wanua Pangdamuan maupun Mirah mirah merupakan nama wanua yang sering muncul dalam prasasti masa Balitung. Nama Paṇḍamuan muncul di Prasasti Panggumulan A 824 Ś, Prasasti Mantyāsih I 829 Ś, Prasasti Mantyāsih III 829 Ś, Prasasti Kasugihan 829 Ś, serta Prasasti Turu Mangambil 830 Ś. Variasi ejaan penulisan wanua ini yaitu Paṇḍamwan seperti yang ditemui di Prasasti Kaduluran 807 Ś, bahwa nama wanua ini sudah ada sebelum masa Balitung menandakan bahwa wanua Paṇḍamuan merupakan wanua yang sudah lama berdiri dan memiliki peranan yang cukup penting karena lokasinya yang berada di wilayah watak Wadihati atau Ayam Tĕas. Di prasasti lainnya seperti Kayu Ara Hiwang 823 Ś, Paṇḍamuan dieja Paḍamuan, sedangkan di Prasasti Panggumulan A 824 Ś dieja Paŋramuan, Prasasti Poh 827 Ś mengejanya sebagai Paŋramwan, lalu Prasasti Mantyāsih III 829 Ś mengejanya sebagai Paramuan. Kata Mirah mirah, juga sering dieja Miramirah, selain dicantumkan sebagai nama sebuah wanua, juga sering didahului oleh kata tuhān yang mengubah arti komposisi kata tersebut menjadi sebuah nama jabatan. Prasasti-prasasti berikut memuat nama Mirah mirah atau Miramirah sebagai nama suatu wanua di dalam wilayah watak Wadihati atau Ayam Tĕas: Prasasti Poh 827 Ś, Prasasti Mantyāsih I 829 Ś, Prasasti Mantyāsih III 829 Ś, Prasasti Kasugihan 829 Ś, serta Prasasti Turu Mangambil 830 Ś (Damais, 1970).
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
Selain nama-nama wanua sebagai nama tempat yang disebutkan dalam Prasasti Rongkab juga terdapat nama-nama watak, seperti Pagar Wsi, Turai, Tangkilan, Rampakan, Sirikan, Wadihati, serta Sigaran. Beberapa nama watak seperti Turai dan Rampakan hanya disebut di dalam Prasasti Rongkab. Nama Pagar Wsi muncul di prasasti lain yaitu Prasasti Kayu Ara Hiwang 823 Ś, Prasasti Panggumulan A 824 Ś, Prasasti Kasugihan 829 Ś, serta Prasasti Wuru Tunggal 833 Ś. Selain sebagai nama watak, Pagar Wsi juga seringkali disebutkan sebagai nama jabatan, yaitu dipadukan dengan kata rakai seperti yang tercantum di Prasasti Ayam Tĕas I dan II 822 Ś, Prasasti Panggumulan A 824 Ś, Prasasti Kubu-kubu 827 Ś, serta Prasasti Sangsang 829 Ś (Damais, 1970). Rupanya baik nama watak Tangkil dan Tangkilan merupakan nama yang sering dijumpai dalam prasasti Jawa Kuno di abad ke-9 hingga 10 Masehi. Prasasti yang pertama kali mencantumkan nama Tangkil adalah Prasasti Kuṭi 762 Ś (840 M) dan yang terakhir menyebutkan adalah Prasasti Lintakan 841 Ś (919 M) (Damais, 1970: 459-461). Nama Tangkil pada prasasti masa Balitung tercantum dalam Prasasti Panggumulan A 824 Ś, sedangkan Tangkilan dapat ditemukan dalam Prasasti Poh 827 Ś. Sirikan termasuk istilah jabatan tinggi di tingkat kerajaan, biasanya didahului oleh kata Rakai dan memiliki daerah lungguhnya sendiri. Pada masa pemerintahan Balitung, prasasti yang memuat kata Sirikan sebagai nama wilayah watak dan bukan jabatan adalah Prasasti Panggumulan A 824 Ś, Prasasti Poh 827 Ś, dan Prasasti Kasugihan 829 Ś. Seperti Sirikan, Wadihati adalah nama salah satu jabatan berstatus tinggi yang memiliki daerah lungguhnya sendiri. Prasasti yang memuat nama Wadihati sebagai nama tempat yaitu Prasasti Kayu Ara Hiwang 823 Ś, Prasasti Panggumulan A 824 Ś, Prasasti Poh 827 Ś, Prasasti Kubu-kubu 827 Ś, Prasasti Mantyāsih I 829 Ś, Prasasti Mantyāsih III 829 Ś, serta Prasasti Turu Mangambil 830 Ś. Watak Sigaran muncul di prasasti masa sebelum Balitung yaitu Prasasti Kaduluran 807 Ś namun dengan wanua yang berbeda yaitu Wirun (Damais, 1970). Prasasti Rongkab dipahat untuk memperingati peristiwa pemberian anugerah oleh Sang Pamagat Umanggit Pu Parwata kepada pejabat desa di Rongkab yang diizinkan untuk melunasi kaṭik yang dimilikinya. Alasan pemberiannya yaitu karena kerusakan Desa Rongkab yang sayangnya tidak disebutkan detil bagaimana dan mengapa hal itu terjadi. Kemudian isi selanjutnya dari prasasti adalah pemberian pasak pasak kepada tamu dan saksi yang hadir pada peristiwa tersebut. Kaṭik diartikan sebagai pelayan dalam Kamus Jawa Kuna – Indonesia (Zoetmulder, 2006: 472), namun
seringkali penempatan kata kaṭik pada prasasti masa Balitung berada pada konteks pertanian seperti dalam Prasasti Luītan 823 Ś baris 4-5: “…tŋaḥ iŋ satampaḥ muaŋ tan wnaŋnya makaṭik 6 inaṭaan sambaḥ nikanaŋ rāma magawaha lamwit 1 tampaḥ 7 muaŋ makaṭika 4 apan samaṅkana kirakiranyan sampun inukur…” Terjemahan: “…setiap satu tampaḥ-nya, dan tidak sanggup mempunyai enam budak. Maka dikabulkan permohonan dari kepala desa itu untuk mengerjakan sawah seluas 1 lamwit 7 tampaḥ dan dapat mempunyai empat budak. Karena memang demikianlah perkiraannya setelah diukur kembali.” (Nastiti, dkk. 1982: 12). Selain memiliki arti sebagai pelayan, kaṭik digunakan sebagai istilah satuan dalam menghitung sawah, namun kaṭik bukan ukuran yang dapat mewakili panjang atau lebar, melainkan besaran sawah yang kira-kira dapat dikerjakan secara optimal oleh satuan tenaga kerja manusia. Maka penyebutan kaṭik pada Prasasti Rongkab menjadi menarik akibat adanya fakta bahwa tidak semua pajak dibayarkan karena kepemilikan tanah, namun juga akibat kepemilikan kaṭik. Dalam hal ketenagakerjaan, dikenal pula istilah buat haji atau juga dikenal dengan nama gawai yaitu persembahan kepada raja yang dapat dinyatakan dalam jumlah orang, namun kadangkala juga dinyatakan dengan sejumlah uang (Boechari, 2012: 292). Pada Prasasti Kinĕwu 829 Ś berisi mengenai permohonan untuk meluaskan sawah yang dimiliki oleh pejabat Desa Kinĕwu karena pajak yang dikenakan di awal dirasa terlalu berat. Permohonan tersebut dikabulkan namun sebagai gantinya pejabat Desa Kinĕwu harus menyerahkan kaṭik 12 orang dan gawai sebesar 6 māsa. Dari kasus tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa antara kaṭik dan gawai tidak dapat disamakan karena jika dianggap sama, maka ‘pembayaran’ yang harus dilakukan oleh pejabat Desa Kinĕwu dapat sepenuhnya digantikan dengan kaṭik atau sepenuhnya dibayarkan dengan sejumlah emas. Kaṭik sejauh yang diketahui hanya berada pada konteks pertanian, berbeda dengan pengertian lainnya di kamus yang menghubungkan kaṭik dengan pengurus kuda. Kaṭik sebagai salah satu unsur dari pertanian yang dikenai pajak, sepertinya hanya dapat dimiliki oleh segelintir kaum di masyarakat, yaitu mereka yang memiliki harta berlebih dan berkedudukan sosial tinggi seperti yang terdapat di Prasasti Panggumulan 824 Ś yang memiliki kaṭik adalah tokoh yang bernama Pu Palaka. Dari kata sandangnya yaitu Pu dapat diketahui bahwa tokoh tersebut berkasta ksatrya. Namun dalam
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
Prasasti Luītan 823 Ś, pihak yang mengajukan permohonan keberatan terhadap besaran pajak sawah adalah penduduk desa Luītan (anak wanua i Luītan) sehingga dapat disimpulkan bahwa sekelompok orang pun dapat memiliki kaṭik. Sekelompok orang dalam hal ini mungkin dapat dibayangkan pula bahwa kaṭik merupakan milik satu desa, hal tersebut mungkin bertujuan menghindari adanya persengketaan dalam hak milik. Alasan kerusakan desa Rongkab sayangnya tidak disebutkan secara jelas dalam Prasasti Rongkab. Namun dapat diperkirakan kerusakan desa tersebut dapat disebabkan oleh faktor manusia atau faktor alam. Faktor tindakan manusia contohnya dapat berupa akibat tindakan kekerasan, sedangkan faktor alam berupa bencana alam seperti letusan gunung berapi, banjir, maupun angin ribut. Namun perlu diingat pula bahwa anggapan tindak kekerasan manusia sebagai penyebab kerusakan Desa Rongkab dapat dikatakan tidak mungkin karena masalah tersebut biasanya sudah ada di bagian sukha dukha. Selain oleh tindak perbanditan, kerusakan desa mungkin pula merupakan akibat bencana alam. Prasasti Balitung yang mencatat adanya bencana alam adalah Prasasti Rukam 829 Ś yang berisi penetapan sīma Desa Rukam karena desa tersebut telah hancur akibat bencana alam (Nastiti, dkk. 1982: 36). Bencana alam yang dimaksud berupa letusan gunung berapi dan diduga oleh para ahli merujuk kepada Gunung Sindoro-Sumbing, melihat dari daerah penemuan prasasti yaitu daerah Temanggung. Tempat penemuan Prasasti Rongkab sendiri yaitu Kabupaten Pati di Jawa Tengah, dekat dengan Gunung Muria yang sekarang sudah tidak aktif sejak abad sebelum Masehi sehingga menghapus kemungkinan bencana alam letusan gunung berapi. Kemungkinan bencana lainnya adalah kerusakan yang disebabkan oleh meluapnya Sungai Juwana yang terletak di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Sungai Juwana adalah sungai alami berukuran besar dan bermuara di Laut Jawa serta setiap tahunnya senantiasa meluap sehingga terjadi banjir (Shaw & Sharma (ed.), 2011: 273). Kemungkinan bencana lainnya adalah terjadinya gagal panen yang diakibatkan oleh serangan hama atau hal lainnya, namun hal ini sulit untuk dibuktikan. Walaupun bencana alam yang diajukan masih berupa kemungkinan, suatu hal yang pasti Prasasti Rukam membuktikan bahwa bencana alam dapat menjadi alasan diberikannya anugerah kepada masyarakat oleh pejabat. Anugerah tersebut dapat berupa penetapan status suatu daerah menjadi sīma maupun pembebasan pajak akan kepemilikan kaṭik. Jika ditempatkan dalam kronologi sejarah, Prasasti Rongkab dikeluarkan pada tahun 823 Ś, memiliki
angka tahun yang sama dengan Prasasti Taji, Prasasti Luītan, dan Prasasti Kayu Ara Hiwang. Prasasti Taji dan Prasasti Kayu Ara Hiwang keduanya memuat pembatasan daerah menjadi suatu sīma, sedangkan Prasasti Luītan memuat pengaduan penduduk desa akibat ulah pemungut pajak yang tidak sesuai aturan. Isi Prasasti Luītan ini mungkin dapat dikaitkan pula sebagai suatu bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Selain Luītan, Prasasti Palepangan 828 Ś juga menyebutkan adanya kecurangan dalam pengukuran luas sawah penduduk yang akibatnya penduduk membayar jumlah pajak yang lebih banyak dari seharusnya. Ketidakpuasan penduduk tersebut juga diwujudkan dengan bentuk “protes” kepada pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Protes mengenai pajak yang dilakukan oleh penduduk di masa Balitung lainnya adalah Prasasti Rumwiga I 826 Ś dan Prasasti Kinĕwu 829 Ś. Keduanya berisi tentang usulan pengurangan pajak akibat penduduk desa yang merasa tidak sanggup membayar besaran pajak tersebut. Dengan adanya berbagai prasasti yang merupakan protes penduduk mengenai masalah perpajakan kepada Balitung, menandakan sikap Balitung yang peduli dengan permasalahan rakyatnya secara langsung. Hal ini mungkin dapat dinilai sebagai suatu usaha untuk mengambil hati rakyat selama masa kepemimpinannya. Dilihat dari data prasasti, Balitung memerintah selama dua belas tahun yaitu tahun 820 – 832 Ś. Periode dua belas tahun tersebut dapat dibagi secara arbitrer menjadi tiga periode yaitu periode pertama (820 – 824 Ś), periode kedua (824 – 828 Ś), serta periode ketiga (828 – 832 Ś) untuk melihat dinamika yang terjadi pada masa pemerintahan Balitung tersebut (Purnamasari, 2012: 96). Prasasti Rongkab yang berangka tahun 823 Ś kemudian dapat dikategorikan sebagai prasasti yang dikeluarkan di masa awal pemerintahan Balitung karena hanya berjarak tiga tahun dari tahun pertama pemerintahannya. Di periode pertama ini pula, sebagian besar prasasti yang dikeluarkan berupa prasasti sīma, prasasti yang berisi selain sīma hanya dua prasasti, yaitu Rongkab dan Luītan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, isu politik dan keamanan yang mungkin berkenaan dengan protes dan pemberontakan masyarakat terhadap kedudukan Balitung sebagai raja, justru banyak muncul di akhir masa pemerintahan Balitung (Purnamasari, 2012: 98). Hal ini dapat disimpulkan dari isi prasasti-prasasti Balitung yang berumur lebih muda memuat suatu bentuk legitimasi kedudukan Balitung sebagai raja, contohnya Prasasti Mantyāsih 829 Ś serta mencatat lebih banyak kejadian
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
yang meresahkan masyarakat seperti tindakan perbanditan, contohnya yaitu Prasasti Kaladi 831 Ś. Dikeluarkannya Prasasti Rongkab pada periode awal masa pemerintahan Balitung juga menggambarkan bagaimana kebiasaan di masa pemerintahan raja sebelumnya yaitu Rakai Kayuwangi masih terus dilakukan. Melihat Lampiran 4 dan 5 (halaman 91-94), dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, banyak prasasti yang dikeluarkan bukan oleh penguasa pusat, namun memasuki masa pemerintahan Balitung, sedikit demi sedikit prasasti yang dikeluarkan oleh penguasa daerah menjadi berkurang. Sebagian besar prasasti yang berasal dari masa pemerintahan Balitung, menyebut Balitung sebagai tokoh yang mengeluarkan prasasti itu sendiri. Hal tersebut menyiratkan adanya proses peralihan dari desentralisasi di masa Rakai Kayuwangi ke sentralisasi di masa Balitung. Maka Prasasti Rongkab adalah salah satu contoh prasasti masa Balitung yang unik karena masih melanjutkan kebiasaan yang berlaku di masa pemerintahan sebelumnya yaitu Rakai Kayuwangi.
Kesimpulan Prasasti Rongkab berangka tahun 823 Śaka yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris E 83, berasal dari daerah Pati di Jawa Tengah dan sempat menjadi koleksi E. W. van Orsoy de Flines. Prasasti Rongkab dipahatkan di satu lempeng tembaga persegi panjang berukuran 35,2 cm x 14,7 cm yang sisi recto-nya dipahat 10 baris, sedangkan sisi verso-nya terdapat 13 baris. Aksara maupun bahasa dari Prasasti Rongkab adalah Jawa Kuno. Prasasti Rongkab berisi mengenai pemberian Sang Pamĕgat Umanggit bernama Pu Parwata kepada pejabat Desa Rongkab untuk melunasi satu orang kaṭik. Pemberian tersebut dilakukan karena telah terjadi peristiwa kerusakan Desa Rongkab. Mengapa desa tersebut rusak sayangnya tidak dicantumkan dalam prasasti. Kesimpulan jawaban dari permasalahan yang ada pada bagian pendahuluan dapat dilakukan setelah melewati tahap kritik ekstern maupun intern serta interpretasi yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya. Dalam Prasasti Rongkab tidak dicantumkan mengenai peristiwa yang menyebabkan kerusakan dari Desa Rongkab dan akibat kerusakan tersebut, seorang pejabat tinggi watak yaitu Sang Pamĕgat Umanggit yang bernama Pu Parwata memberi pejabat desa untuk melunasi seorang kaṭik. Oleh karena pemberian tersebut, pejabat desa Rongkab memberikan Pu Parwata hadiah berupa perak seberat 10 kāti. Kalimat tersebut sedikit mengundang rasa heran: mengapa sebuah desa yang rusak memberikan hadiah perak
kepada seorang samget dan kepada tamu-tamu lain yang menghadiri acara padahal desanya sendiri sedang rusak dan tentunya untuk membangun desa membutuhkan uang yang tidak sedikit. Hal tersebut kemudian mengundang pertanyaan lainnya lagi yaitu apakah pemberian hadiah sebesar sekian perak tersebut dirasa setimpal atau bahkan lebih kecil daripada biaya pajak seorang kaṭik. Hal lainnya yang perlu ditinjau adalah Prasasti Rongkab yang dikeluarkan oleh pejabat Desa Rongkab, bukan oleh Raja Balitung sendiri yang berkuasa pada saat itu. Melanjutkan tradisi dari masa kepemimpinan Rakai Kayuwangi, sistem pemerintahan pada masa Balitung belum bersifat terpusat secara utuh sehingga pejabat di tingkat wanua dan watak masih memiliki wewenang untuk mengeluarkan prasasti. Namun agak berbeda dengan prasasti keluaran pejabat daerah di masa Rakai Kayuwangi, prasasti keluaran pejabat daerah pada masa Balitung rata-rata memiliki urutan struktur prasasti yang hampir mirip satu sama lain. Akan tetapi dapat disimpulkan bahwa pada masa Balitung memang sudah ada usaha untuk melakukan sentralisasi dalam pemerintahan, contohnya seperti prasasti-prasasti penetapan sīma yang merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Balitung sendiri, berbeda dengan prasasti yang dikeluarkan oleh pejabat daerah yang pada umumnya berisi mengenai pajak dan hutang. Kerusakan pada Desa Rongkab tidak dijelaskan secara detail mengapa hal tersebut dapat terjadi. Kerusakan desa dapat disebabkan oleh tindak manusia maupun akibat bencana alam. Tindak kekerasan manusia seperti perbanditan cukup banyak terjadi, terutama di masa akhir pemerintahan Balitung. Kemudian di masa akhir pemerintahan Balitung pula, terdapat Prasasti Mantyāsih I 829 Ś yang memuat genealogi yang mungkin dimaksudkan untuk melegitimasi kedudukan Balitung sebagai raja. Kemungkinan lainnya yaitu Desa Rongkab rusak karena adanya bencana alam yang dapat berupa meluapnya Sungai Juwana atau berupa gagal panen.
Daftar Acuan Bakker, J. W. M. 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Jogjakarta: Jurusan Sejarah Budaya IKIP Sanata Dharma. Barrett Jones, Antoinette M.. 1984. Early Tenth Century Java from the Inscriptions. Dordrecht: Foris Publication Holland. Boechari. 1977. “Epigrafi dan Sejarah Indonesia” dalam Majalah Arkeologi 1 (2) Tahun 1977 hal. 140. ------------. 1985/1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I. Jakarta: Museum Nasional.
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013
------------. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Damais, Louis-Charles. 1968. “Bibliographie Indonésienne XI; Les Publications Épigraphiques du Service Archéologique de l’Indonésie” dalam BEFEO 54 hal. 295-521. ------------. 1970. Répertoire Onomastique de l’Epigraphie Javanaise (jusqu’a Pu Siṇḍok Śri Iṡanawikrama Dharmmotuṅgadewa). Paris: EFEO. ------------. 1990. Etudes d’ Epigraphie Indonésienne. Paris: EFEO. ------------. 1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. De Casparis, J. G. 1950. Prasasti Indonesia I: Inscripties uit de Çailendra-tijd. Bandung: A. C. Nix. ------------. 1956. Prasasti Indonesia II. Bandung: Masa Baru. ------------. 1975. Indonesian Palaeography. Leiden: E. J. Brill. ------------. 1978. Indonesian Chronology. Leiden/Köln: E. J. Brill Deetz, James. 1967. Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press. Eade, J. C. dan Lars Gislén. 2000. Early Javanese Inscription: A New Dating Method. Leiden: Koninklijke Brill. Gottschalk, Louis. 1969. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Griffiths, Arlo. 2011. “Imagine Laṅkapura at Prambanan” dalam From Laṅkā Eastwards; The Rāmāyaṇa in the Literature and Visual Arts of Indonesia hal. 133-251. Leiden: KITLV Press. ------------. (2013, 11 Juli). Saran mengenai skripsi.
[email protected]. Hardiati, Endang Sri (ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia II; Zaman Kuno Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Magetsari, Noerhadi. 2012. Epigrafi = Sejarah Kuno?. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia pada tanggal 5 Desember 2012 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok. Nakada, Kozo. 1982. An Inventory of the Dated Inscriptions in Java. Tokyo: The Toyo Bunko. Nastiti, Titi Surti, dkk. 1982. Tiga Prasasti dari Masa Balitung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Nastiti, Titi Surti. Tanpa tahun. Daftar Prasasti Balitung. Tidak diterbitkan. Purnamasari, Dewi. 2012. Sambandha pada Prasastiprasasti Masa Balitung (820-832 Ś). Skripsi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Renou, Louis dan Jean Filliozat. 2001. L’Inde Classique; Manuel des Études Indiennes. Paris: EFEO. Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Gaṇeśa Masa Kaḍiri dan Siŋhasāri; Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta: LIPI, RUL, dan EFEO. Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 2003. Archaeology: Discovering Our Past. New York: McGraw-Hill. Shaw, Rajib dan Anshu Sharma (ed.). 2011. Community, Environment, and Disaster Risk Management Volume 6: Climate and Disaster Resilience in Cities. Bingley: Emerald Group Publishing. Soesanti, Ninie. 1981. Struktur Birokrasi Masa Balitung: Data Prasasti. Skripsi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. ------------. 1997. “Analisis Prasasti” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII Cipanas, 12-16 Maret 1996, Jilid I hal.171-182. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Stutterheim, W. F. 1941. Oudheidkundig Verslag 1940. Batavia: Kon. Drukkerij de Unie. Suhadi, Machi. 2003. “Interpretasi Epigrafi” dalam Cakrawala Arkeologi; Persembahan untuk Prof. Dr. Mundardjito hal. 127-134. Depok: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Wisseman Christie, Jan. 2004. “Weight and Values in the Javanese States of the Ninth to Thirteenth Centuries A.D.” dalam Weights and Measures in Southeast Asia Metrological Systems and Societies Volume I hal. 89-96. Paris: EFEO. Wurjantoro, Edhie. Tanpa tahun. Bahan Perkuliahan Epigrafi. Tidak diterbitkan. Zoetmulder, P. J. 2006. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Prasasti Rongkab ..., Terrylia Feisrami, FIB UI, 2013