1
EKSPLORASI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES DAN NEMATODA PADA TRIPS DAN KUTUDAUN PADA TANAMAN MAWAR DAN KRISAN DI BALAI PENELITIAN TANAMAN HIAS KABUPATEN CIANJUR
PRASASTI DWI PHRAMESWANI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
2
ABSTRACT PRASASTI DWI PHRAMESWANI. Exploration of Entomophthoralean Fungus and Nematode on Trips and Aphid on Roses and Chrysanthemum in Indonesian Ornamental Crops Research Institute. Under the direction of RULY ANWAR. Rose and chrysanthemum are two of the ornamental plants that have a high economic value in Indonesia. Thrips and aphid are important pests of these plants. Entomophthoralean fungus and nematode are potential biological control agents of thrips and aphid. There are no many reports of this fungus in Indonesia. The objective of this research was to explore Entomophthoralean fungus and nematode on both thrips and aphids at both roses and chrysanthemums in Indonesian Ornamental Crops Research Institute (Balithi). The research was conducted from March 2012 to June 2012. Thrips and aphids were sampled from three blocks for each plant. Numbers of sampled plants for each block were 10 plants selected randomly. Thrips were sampled at one flower on each plant. Both thrips and aphid samples were put on alcohol 70% for the next experiment. Microscope slide squash mounts in lactophenol cotton blue were made for both thrips and aphids and each sampled insect was examined with a microscope to determine if secondary conidia, hyphal bodies, primary conidia, conidiophores, and resting spores were present. Primary conida, secondary conidia, and hyphal bodies are development stages of fungus were found in thrips. Primary conidia, conidiophores and hyphal bodies were found in aphid. Thrips populations on rose and chrysanthemum were not significantly different. However, fungus infection levels on thrips and aphid showed significant differences. During examination, nematodes were found in thrips on both roses and chrysanthemums. Nematode infection levels in thrips on roses were higher than those on chrysanthemums. Key words: Thrips, aphids, rose, chrysanthemum, Entomophthorales, nematode
3
ABSTRAK PRASASTI DWI PHRAMESWANI. Eksplorasi Cendawan Entomophthorales dan nematoda pada trips dan kutudaun pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh RULY ANWAR. Mawar dan krisan merupakan tanaman hias yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi di Indonesia. Trips dan kutudaun adalah hama yang sering menyerang tanaman hias tersebut. Cendawan Entomophthorales dan nematoda yang berpotensi sebagai agens pengendalian hayati terhadap trips dan kutudaun belum banyak dilaporkan di Indonesia. Eksplorasi cendawan Entomophthorales dan nematoda dalam mengendalikan trips dan kutudaun dilakukan pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi). Penelitian dimulai pada bulan Maret 2012 sampai bulan Juni 2012. Sampel trips dan kutudaun diambil dari 3 blok pada masing-masing pertanaman. Sepuluh tanaman sampel diambil secara acak dari setiap blok. Sampel trips diambil dari 1 bunga pada tiap tanaman sampel. Trips dan kutudaun yang diperoleh, dimasukkan ke botol bervolume 30 ml yang telah berisi alkohol 70% untuk pengamatan lebih lanjut. Sampel trips dan kutudaun dibuat preparat menggunakan larutan lactophenol cotton blue. Konidia primer, konidia sekunder dan hyphal bodies ditemukan menginfeksi trips, sedangkan pada kutudaun ditemukan konidia primer, konidiofor, dan hyphal bodies. Populasi trips pada dua jenis tanaman tersebut tidak berbeda nyata. Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada trips dan kutudaun menunjukkan perbedaan yang nyata. Nematoda juga ditemukan menginfeksi beberapa trips yang diamati. Tingkat infeksi nematoda pada trips di tanaman mawar lebih tinggi daripada di tanaman krisan. Kata kunci: Trips, kutudaun, mawar, krisan, Entomophthorales, nematoda
4
EKSPLORASI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES DAN NEMATODA PADA TRIPS DAN KUTUDAUN PADA TANAMAN MAWAR DAN KRISAN DI BALAI PENELITIAN TANAMAN HIAS KABUPATEN CIANJUR
PRASASTI DWI PHRAMESWANI A34080031
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
5 : Eksplorasi Cendawan Entomophthorales dan nematoda pada trips dan kutudaun pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur Nama Mahasiswa : Prasasti Dwi Phrameswani NIM : A34080031
Judul Skripsi
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ruly Anwar, MSi. NIP 19641224 199103 1 003
Diketahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. NIP 19650621 198910 2 001
Tanggal lulus:
6
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada 1 Juni 1990 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak H. Sarofdin, SE, MM dan Ibu Hj. Ida Rosiani. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan atas di SMAN 71 Jakarta (20052008). Selama SMA, penulis merupakan salah satu anggota Palang Merah Remaja (PMR). Penulis juga merupakan salah satu anggota kontingen Olimpiade Kimia dari SMAN 71 Jakarta. Pada tahun 2008, penulis lulus dari SMAN 71 Jakarta dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Selama masa kuliah, penulis pernah mengikuti organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (2009-2010) sebagai anggota Departemen Sport and Art dan ketua kontingen IPB Art Contest (IAC) Fakultas Pertanian tahun 2010. Penulis juga sering mengikuti berbagai kepanitian, seperti panitia Open House Asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) tahun 2009, Seminar Nasional IBEMPI (Ikatan BEM Pertanian Indonesia) dan Bina Desa tahun 2010, Komisi Disiplin pada Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Pertanian IPB tahun 2010, panitia Masa Perkenalan Departemen (MPD) Proteksi Tanaman, panitia Migrarotia Departemen Proteksi Tanaman tahun 2010 dan 2011, dll. Penulis pernah mengikuti kegiatan Youth for Climate Camp pada tahun 2011 yang di selenggarakan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Penulis pernah mengikuti workshop wirausaha muda mandiri pada tahun 2011 dan mengikuti seminar kewirausahaan yang diselenggarakan BNI (Bank Negara Indonesia) pada tahun 2012. Penulis juga menjadi salah satu anggota kelompok tari saman Departemen Proteksi Tanaman IPB. Selama masa kuliah, penulis pernah mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Setahun.
7
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksplorasi cendawan Entomophthorales dan nematoda pada trips dan kutudaun pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur”. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2012 sampai Juni 2012. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ruly Anwar, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu pengetahuan, saran, dan motivasi. Dr. Ir. Giyanto, MSi. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan saran dan motivasi. Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSi. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan arahan. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua penulis, kakak dan adik penulis (Awwaliyah, Akhmad Shohib, dan M. Said Hannaf), keluarga besar Sartani dan Harun, dan teman-teman Laboratorium Patologi Serangga (Ovie, Tia, Leli, Rizki P, Kak Ayu, Anggi, dan Kak Indri). Pak Yiyin Nasihin selaku Kepala Kebun Percobaan (KP) Cipanas, Pak Yus selaku kepala KP Segunung, Pak Djatnika, Pak Tedi, Pak Arlan, Pak H. Yusuf, dan karyawan Balithi lainnya. Teman-teman Proteksi Tanaman IPB angkatan 45 (Cut Putri, Fitri, Nuuri, Nisa, Ochi, Rita, Fildzah, Ciptadi, Riska DO, Dila, Yuke, Sylvi, Kak Andrix, dll). Ratih, Arini, Ika Fajriah, Arum, Fitridina, Bambang, Hafiz, Rafika, Pitaloka, Kak Dhina, Kak Asti dan teman-teman Pondok Nuansa Sakinah 1 serta pihak-pihak lain yang telah berperan dalam mendukung serta membantu pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan tugas akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan. Tanaman mawar dan krisan merupakan tanaman hias yang banyak diminati masyarakat. Hama trips dan kutudaun menjadi masalah dalam pertumbuhan mawar dan krisan yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas bunga yang dihasilkan. Beberapa dasawarsa terakhir, penggunaan cendawan Entomophthorales dan nematoda entomopatogen banyak dikembangkan sebagai pengendalian hayati untuk mengurangi dampak dari pengendalian kimiawi. Penggunaan agens hayati tersebut telah banyak dilaporkan di luar negeri, bahwa dapat mengendalikan hama trips dan kutudaun. Agens pengendalian hayati inilah yang coba penulis eksplorasi terhadap trips dan kutudaun pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur. Penulis berharap laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca pada umumnya. Atas segala kesalahan, penulis memohon kebijaksanaan dari semua pihak untuk memaafkannya. . Bogor, Oktober 2012
Penulis
8
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xii
PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang ................................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................... Manfaat Penelitian .............................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. Tanaman Mawar ................................................................................ Tanaman Krisan ................................................................................. Trips ................................................................................................... Karakteristik Trips dan Gejala Serangan ................................. Kutudaun ............................................................................................ Karakteristik Kutudaun dan Gejala Serangan .......................... Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi perkembangan Trips dan Kutudaun............................................................................................. Pengendalian Hama Trips dan Kutudaun .......................................... Pengendalian dengan kultur Teknis dan Kimiawi .................... Pengendalian Hayati ................................................................. Cendawan Entomophthorales ............................................................ Taksonomi Cendawan Entomophthorales ................................ Biologi dan Ekologi Cendawan Entomophthorales ................. Cendawan Entomophthorales pada Trips ................................. Cendawan Entomophthorales pada Kutudaun ......................... Nematoda Entomopatogen ....................................................... Nematoda Thripinema spp. ......................................................
4 4 4 6 6 8 8 9 10 10 11 12 12 13 15 16 17 18
BAHAN DAN METODE ........................................................................... Tempat dan Waktu ............................................................................. Bahan dan Alat .................................................................................. Pengambilan Sampel Trips dan Pengamatan Populasi Trips ............ Pengambilan Sampel Kutudaun ......................................................... Pembuatan Preparat Trips dan Kutudaun .......................................... Identifikasi Stadia Cendawan Entomophthorales ............................... Perhitungan Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales .............. Rancangan Percobaan dan Analisis Data ..........................................
20 20 20 20 21 21 21 22 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... Karakteristik Umum Lokasi .............................................................. Gambaran Umum Tanaman Mawar dan Krisan di Balithi ............... Pengamatan Populasi Trips ................................................................ Cendawan Entomophthorales pada Trips .......................................... Infeksi Cendawan Entomophthorales pada Trips di Tanaman Mawar dan Krisan ..............................................................................
23 23 23 25 28 33
9 Cendawan Entomophthorales pada Kutudaun ................................... Infeksi Cendawan Entomophthorales pada Kutudaun di Tanaman Mawar dan Krisan .............................................................................. Infeksi Nematoda pada Trips .............................................................
36 37 41
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... Kesimpulan ........................................................................................ Saran ..................................................................................................
44 44 44
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
45
LAMPIRAN ................................................................................................
49
10
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kelimpahan populasi trips pada tanaman mawar dan krisan di Balai tanaman Hias Kabupaten Cianjur .................................................
32
2 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada trips di tanaman mawar dan krisan di Balai Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ...............
32
3 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada kutudaun di tanaman mawar dan krisan di Balai Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ...........
40
4 Tingkat infeksi nematoda pada trips di tanaman mawar dan krisan di Balai Tanaman Hias Kabupaten Cianjur .............................................
40
11
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Cendawan Entomophthorales pada N. Parvispora..................................
15
2 Kondisi rumah lindung pertanaman krisan di KP Segunung Balithi. .....
26
3 Kondisi pertanaman mawar di KP Segunung Balithi ............................
26
4 Gejala serangan trips ketika mawar masih kuncup, berupa bercak kecokelatan dan mahkota bunga yang menggulung saat mekar ..............
27
5 Bunga krisan di Balithi ...........................................................................
28
6 Trips sehat pada pengamatan ..................................................................
29
7 Hyphal bodies berbentuk bulat pada abdomen trips ..............................
29
8 Hyphal bodies berbentuk batang pada abdomen trips ............................
30
9 Infeksi konidia sekunder pada beberapa bagian tubuh trips ...................
30
10 Konidia primer yang menginfeksi beberapa trips ..................................
31
11 Proporsi fase cendawan yang menginfeksi trips pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur .........
35
12 Cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutudaun di tanaman mawar dan krisan ....................................................................................
37
13 Proporsi fase cendawan yang menginfeksi kutudaun pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ..
39
14 Trips pada tanaman mawar dan krisan yang terinfeksi nematoda ..........
42
12
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Populasi trips pada tanaman mawar di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ...................................................................................
50
2 Populasi trips pada tanaman krisan di Balai penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ...................................................................................
50
3 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales dan nematoda pada trips di tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ...................................................................................
51
4 Kutudaun yang menyerang pertanaman mawar dan krisan di Balithi .....
54
5 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales dan nematoda pada kutudaun di tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ..................................................................................
55
6 Hasil uji-t populasi trips pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ..........................................
56
7 Hasil uji-t tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap trips pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ...................................................................................
57
8 Hasil uji-t tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap kutudaun pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur ......................................................................
58
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Bisnis tanaman hias dewasa ini cukup potensial di Indonesia. James Lumbanraja (Ketua Bidang Produksi Asosiasi bunga Indonesia/Asbindo) menyatakan bahwa permintaan tanaman hias tahun 2012 diperkirakan mengalami peningkatan hingga 100% dari tahun 2011. Prakiraan tersebut berdasar pada kondisi dua tahun terakhir, bisnis florikultura dalam negeri pada tahun 2011 lebih baik dari tahun 2010. Membaiknya usaha florikultura dalam negeri tersebut jika dilihat dari permintaan, karena semakin meningkatnya kepedulian masyarakat terutama dunia properti terhadap kawasan yang ramah lingkungan (Saputra 2012). Tanaman mawar dan krisan merupakan jenis tanaman hias yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi di Indonesia. Data produktivitas tanaman krisan per tahun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 17.58 tangkai/m2 pada 2010, meningkat menjadi 34.85 tangkai/m2 pada tahun 2011. Data produktivitas tanaman mawar per tahun juga mengalami peningkatan dari 14.13 tangkai/m2 pada 2010 menjadi 22.33 tangkai/m2 pada tahun 2011 (BPS 2012). Balai penelitian tanaman hias (Balithi) terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Berbagai tanaman hias tropis maupun subtropis dikembangkan dan diteliti di Balithi. Tanaman mawar dan krisan merupakan tanaman hias subtropis yang sering mendapat perhatian dan perlakuan khusus dalam upaya perlindungan dari hama dan penyakit tanaman. Hama trips dan kutudaun merupakan hama yang sering menyerang kedua jenis tanaman tersebut dan menjadi penghambat dalam kegiatan penelitian serta pengembangan tanaman (Tedi 23 April 2012, komunikasi pribadi). Masyarakat mulai khawatir terhadap efek penggunaan pestisida sintetis terhadap lingkungan. Kekhawatiran tersebut mengakibatkan keinginan untuk pendekatan pengendalian yang lebih ramah lingkungan (Whipps dan Lumsden 1988). Upaya pengendalian hayati yang dilakukan terhadap trips dan kutudaun, yaitu menggunakan predator, parasitoid dan patogen.
Penggunaan patogen
terhadap trips dan kutudaun yang banyak diteliti saat ini ialah menggunakan
2 cendawan Entomophthorales dan nematoda. Musuh alami tersebut diharapkan ada serta menginfeksi trips dan kutudaun pada tanaman mawar dan krisan di Balithi. Cendawan entomopatogen yang telah dilaporkan sampai dengan saat ini berjumlah ± 35 genus dengan lebih dari 400 spesies. Sekitar 1800 asosiasi antara cendawan dan serangga yang berbeda telah didokumentasikan (Jankevica 2004). Neozygites spp. (Neozygitaceae) dan Verticillium spp. (Hypocreaceae)
merupa-
kan cendawan entomopatogen yang dapat menyebabkan kematian pada hama dan mengendalikan populasinya di lapangan (Morse dan Hoddle 2006). Butt dan Brownbrigde (1997) melaporkan bahwa cendawan ordo Entomophthorales dapat digunakan untuk mengendalikan trips. Cendawan tersebut secara bertahap akan menyebar dalam populasi trips, sehingga dapat menginfeksi sampai mematikan trips.
Montserrat et al. (1997) melaporkan bahwa trips
Frankiniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae) yang menyerang tanaman mentimun dalam rumah kaca di Spanyol terinfeksi oleh cendawan Neozygites parvispora (Zygomycotina: Entomophthorales). Trips yang terinfeksi oleh cendawan N. parvispora pada pertanaman mentimun banyak yang mengalami kematian. Konidia primer dan kapillikonidia N. parvispora ditemukan pada bangkai trips yang terinfeksi cendawan tersebut. Siagian (2012) melaporkan bahwa hama trips yang menyerang tanaman mawar di Taman Bunga Nusantara telah terinfeksi oleh cendawan entomopatogen, meskipun rata-rata persentase trips yang terinfeksi kurang dari 2.8%. Cendawan entomopatogen juga dapat menginfeksi dan menyebabkan kematian pada kutudaun. Hasil survei terhadap cendawan entomopatogen pada kutudaun di Afrika Selatan, dari tahun 1995 sampai 1998 dihasilkan bahwa 8 spesies cendawan menginfeksi dan menyebabkan kematian pada kutudaun, 6 cendawan dari Ordo Entomophthorales dan 2 dari Ordo Hyphomycetes (Hatting et al. 1999). Cendawan Entomophthorales memiliki inang yang lebih spesifik dan berpotensi dalam membatasi tingkat infeksi serangga hama (Wilding 1981). Cendawan Entomophthorales yang diketahui dapat menginfeksi dan mematikan kutudaun, yaitu Pandora neoaphidis, Conidiobolus thromboides, C. obscurus, C. coronatus, Entomophthora planchoniana,dan Neozygites fresenii (Hatting et al. 1999).
3 Nematoda entomopatogen diketahui dapat mengendalikan trips. Nematoda Thripinema dilaporkan sebagai genus yang menjadi parasit pada berbagai trips yang menjadi hama pada berbagai jenis tanaman (Khuong et al. 2003). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Arthurs dan Heinz (2002), nematoda Thripinema nicklewoodi ditemukan sebagai musuh alami yang dominan menginfeksi F. occidentalis yang terdapat pada kuncup bunga tanaman anyelir, krisan, dan mawar di California.
Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi cendawan Entomophthorales dan nematoda yang menginfeksi trips dan kutudaun pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias dan mengetahui tingkat infeksi Entomophthorales pada trips dan kutudaun tersebut di lapangan.
Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan terkait dengan pengendalian hayati alamiah, khususnya cendawan Entomophthorales pada trips dan kutudaun serta nematoda entomopatogen pada trips di lapangan.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Mawar Mawar adalah tanaman dari kelas Dicotyledonae dengan ordo Rosanales, famili Rosaceae dan memiliki genus Rosa. Tanaman mawar disebut sebagai “Queen Of Flowers” karena kecantikan bentuknya, serta dapat bermanfaat sebagai obat dan essens parfum dan minuman. Tanaman mawar mempunyai banyak varietas dengan bentuk, ukuran dan warna bunga beragam (Rimando 2001). Tanaman mawar sering dijadikan tanaman hias pot maupun tanaman hias di taman atau halaman terbuka, bunga potong dan dekorasi ruangan. Mawar merupakan tanaman yang memperhatikan beberapa aspek dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Iklim merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Curah hujan yang ideal untuk pertumbuhan mawar berkisar antara 1500 sampai 3000 mm/tahun, intensitas cahaya matahari yang dibutuhkan sekitar 5 sampai 6 jam per hari. Tanaman mawar akan lebih sering berbunga dan memiliki batang yang kokoh di daerah yang cukup sinar matahari. Mawar memiliki daya adaptasi yang cukup luas terhadap lingkungan tumbuhnya. Tanaman mawar dapat ditanam di daerah subtropis, maupun di daerah tropis. Suhu udara yang baik untuk pertumbuhan mawar yaitu antara 18 dan 26 °C dengan kelembaban udara antara 70 dan 80 % (Rukmana 1995). Mawar memiliki dua jenis pembungaan, yaitu mawar berbunga terus menerus sepanjang tahun (recurrent flowering) dan mawar yang tidak berbunga terus menerus (non recurrent flowering) (Darliah 1995). Mawar termasuk jenis bunga sempurna dengan benang sari dan putik terdapat pada dasar bunga. Bunga mawar ada yang tersusun tunggal dan ada yang tersusun menyerupai payung.
Berdasarkan mah-
kota bunga, mawar dibedakan atas mawar berbunga tunggal, berbunga semi ganda dan berbunga ganda (Darliah 1995).
Tanaman Krisan Krisan adalah tanaman hias perdu yang juga dikenal sebagai bunga Seruni atau Bunga Emas (Golden Flower).
Tanaman krisan merupakan famili
5 Asteraceae, dengan genus Chrysanthemum (Rimando 2001). Chrysanthemum dalam bahasa Yunani berasal dari kata Chrysos yang berarti emas, dan anthemon yang berarti bunga. Spesies alami krisan sebagian besar berasal dari daratan Asia Timur. Budidaya krisan pertama dilakukan di China 3000 tahun SM. Seorang Botanis Swedia, Karl Linnaeus pada tahun 1753 mengintroduksi krisan ke negaranegara barat (Djatnika et al. 2008). Krisan merupakan bunga potong komersial yang mudah dibudidayakan dan dikembangakan, dapat berbunga sesuai jadwal panen yang ditentukan, serta memiliki masa hidup yang paling panjang dibandingkan bunga potong lain. Daerah sentra produsen krisan di Indonesia, antara lain: Cipanas, Cisarua, Sukabumi, Lembang (Jawa Barat), Bandungan (Jawa Tengah), dan Brastagi (Sumatera Utara) (Djatnika et al. 2008). Spesies dalam genus Chrysanthemum yang paling popular adalah C. indicum dan C. morifolium yang telah dihibridisasikan menjadi Dendrathema grandiflora. Tanaman krisan di Indonesia mulai dikomersialkan dan dikembangkan pada awal 1990. Di tanah air, tanaman ini banyak ditanam lebih dari 600 m dpl. Suhu udara terbaik yang diperlukan untuk tanaman krisan di daerah tropis seperti di Indonesia adalah antara 20 dan 26 °C. Beberapa varietas krisan yang umum di pasaran, yaitu C. morifolium, C. leucanthemum, C. sperbum, C. frutescens, dan C. indicum (Djatnika et al. 2008). Bunga krisan untuk produksi umumnya dikenal dengan 2 tipe, yaitu bunga tipe spray dan bunga tipe standar. Bunga tipe spray memiliki 10 sampai 20 kuntum bunga berukuran kecil dengan diameter 2 sampai 3 cm pada satu tangkai bunga. Bunga tipe standar hanya memiliki satu bunga pada satu tangkai bunga dan bunga berukuran besar (Djatnika et al 2008). Tanaman krisan membutuhkan cahaya yang lebih lama untuk berbunga, sehingga diperlukan penambahan cahaya dari lampu. Waktu penambahan penyinaran yang baik adalah tengah malam, antara jam 22.30 sampai 01.00 dengan total penyinaran sekitar 150 watt pada area 9 m2 dan lampu dipasang setinggi 1.5 m dari permukaan tanah. Pemasangan lampu dilakukan pada fase vegetatif tanaman, yaitu mulai 2 sampai 8 minggu setelah tanam (Djatnika et al. 2008).
6 Trips Trips merupakan serangga dari ordo Thysanoptera yang memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil 1 sampai 2 mm, berwarna cokelat atau hitam (Pracaya 2007). Kata Thysanoptera berasal dari bahasa Yunani, yaitu thysanos (rumbairumbai) dan ptera (sayap). Trips merupakan serangga fitofag, mikofag, atau predator yang memiliki kisaran habitat luas, pada daerah tropik, subtropik, dan daerah temperate (Bournier 1983 dalam Ananthakrishnan 1993).
Morse dan
Hoddle (2006) melaporkan bahwa spesies trips yang tersebar di seluruh dunia berjumlah ± 8000 spesies dan lebih dari 5500 spesies telah dideskripsikan. Serangga ordo Thysanoptera ini dibagi menjadi 2 subordo, yaitu subordo Terebrantia dan subordo Tubulifera. Subordo Terebrantia terdiri dari 7 famili, sedangkan subordo Tubulifera hanya terdiri dari 1 famili (Mound dan Kibby 1998). Famili yang termasuk dalam subbordo Terebrantia yaitu, Merothripidaae, Aeolothripidae, Fauriellidae, Adiheterothripidae, Heterothripidae, Thripidae, dan Uzelothripidae. Famili Phaleothripidae merupakan satu-satunya famili dalam subordo Tubulifera (Mound dan Kibby 1998).
Karakteristik Trips dan Gejala Serangan Trips mengalami metamorfosis paurometabola, namun memliki fase berpupa seperti metamorfosis holometabola. Siklus hidup diawali oleh telur, 2 instar larva yang aktif makan, kemudian 2 atau 3 instar serangga yang tidak aktif makan (prapupa dan 1 atau 2 instar berpupa), dan terakhir imago (dewasa) (Mound dan Kibby 1998). Trips dapat berkembangbiak secara partenogensis maupun melalui pembuahan (Indiati 2004). Trips betina dihasilkan dari telur yang didahului proses pembuahan, sementara trips jantan tidak dihasilkan dari proses pembuahan. Telur trips diletakan secara berkelompok dalam jumlah yang besar. Keberadaan telur trips dapat diketahui jika di tempat itu terdapat bekas tusukan trips atau di sekitarnya terdapat pembengkakan jaringan (Lewis 1973). Larva instar pertama trips berlangsung sekitar 2 sampai 3 hari. Trips mengalami ganti kulit, kemudian berkembang menjadi instar kedua dengan warna kuning yang lama-kelamaan menjadi kecokelatan, berukuran ± 0.80 mm. Larva instar kedua tersebut berlangsung selama 3 sampai 4 hari. Prapupa merupakan
7 tahap setelah trips mengalami ganti kulit dari instar kedua, dimana mulai terbentuknya embelan sayap dan gerak trips mulai tidak aktif. Pada fase pupa embelan sayap akan semakin terbentuk sempurna, tetapi bulu sayap yang berupa rumbai-rumbai belum terbentuk dan warna trips menjadi cokelat muda (Lewis 1973). Imago trips muncul setelah pupa dan ditandai dengan berkembangnya organ secara sempurna. Pada kondisi optimum, trips memerlukan waktu sekitar 15 hari dalam 1 siklus hidupnya dan serangga dewasa dapat hidup selama 20 hari dengan menghasilkan telur sebanyak 40 sampai 50 butir (Lewis 1973). Tanaman yang terserang berat oleh trips, pada daunnya akan memperlihatkan bercak warna putih, kuncup serta tunas akan menimbulkan gejala menggulung. Gejala yang timbul pada bagian bunga berupa bercak cokelat atau keperakan. Hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan bagian kuncup yang terserang dapat kerdil dan akhirnya mati. Kerusakan secara tidak langsung yang dapat ditimbulkan oleh trips adalah menjadi vektor pada penyakit yang disebabkan oleh virus. Trips sebagai vektor dapat menyebabkan tanaman inang menguning dan mati. Udara yang kering akan memperparah serangan trips, sehingga tanaman lebih cepat kehilangan kelembabannya (Lewis 1997). Trips menjadi salah satu hama penting, terutama jika menyerang tanaman yang bernilai ekonomi tinggi seperti tanaman hias, hortikultura, tanaman buah dan sayuran (Mound dan Kibby 1998). Beberapa spesies trips yang dilaporkan Siagian (2012) menyerang tanaman mawar di Taman Bunga Nusantara adalah Thrips parvispinus,
Frankliniella
intonsa,
Thrips
palmi,
Scirtothrips
dorsalis,
Microcephalothrips abdominalis, Megalurothrips usitatus, dan 2 spesies lainnya yang belum diketahui. Menurut Purwanto (2009), Thrips parvispinus merupakan trips yang banyak menyerang tanaman krisan. Trips dewasa berukuran sekitar ± 1mm, berwarna kuning pucat sampai cokelat kehitaman. Telur T. Parvispinus diletakkan di bagian bawah daun atau di dalam jaringan tanaman secara terpencar. Kelembaban yang rendah dan temperatur yang tinggi akan meningkatkan perkembangan pupa menjadi imago trips. Thrips parvispinus juga merupakan trips yang diketahui menyerang tanaman krisan di Balithi (Djatnika 2012 Maret 13, komunikasi pribadi).
8 Kutudaun Kutudaun tergolong dalam ordo Hemiptera, superfamili Aphidoidea, dan famili Aphididae. Kata Aphididae berasal dari bahasa Yunani yang berarti menghisap cairan, hal ini sesuai dengan kebiasaan hama yang menghisap cairan tanaman untuk makanannya. Perkembangbiakan kutudaun umumnya terjadi secara partenogenesis. Telur kutudaun akan menetas di dalam tubuh kutudaun betina (ovovivipar). Kutudaun juga dapat berkembangbiak secara seksual, dimana keturunan yang dihasilkan membentuk jantan dan betina dengan telur yang menetas di luar tubuh (ovipar) (Pracaya 2007). Macrosiphum rosaae merupakan kutudaun yang sebagian besar menyerang tanaman mawar di Balithi (Djatnika 2012 Februari 27, komunikasi pribadi). M. rosae memiliki tubuh yang kecil dengan panjang ± 0.6 mm dan berwarna hijau. Hama ini umumnya menyerang bagian pucuk atau daun-daun muda dan sering juga ditemukan pada tangkai bunga (Lukito 2007). Macrosiphoniella sanborni adalah kutudaun yang banyak ditemukan menyerang tanaman krisan.
Kutu ini berwarna merah bata sampai kehitaman de-
ngan tungkai dan antena yang panjang. Macrosiphoniella sanborni menghisap cairan tanaman, sehingga menyebabkan layu pada tanaman atau bunga krisan. Serangan kutu daun tersebut dapat menurunkan kualitas bunga, bahkan serangan yang berat dapat menyebabkan tanaman gagal berbunga (Maryam 1987).
Karakteristik Kutudaun dan Gejala Serangan Perkembangan kutudaun di daerah tropis sangat subur, terutama pada awal musim kemarau. Kutudaun memiliki metamorfosis paurometabola (Pracaya 2007). Nimfa instar I memiliki panjang berkisar antara 0.6 sampai 0.7 mm, nimfa instar II 0.8 sampai 0.9 mm dan nimfa instar III 0.9 sampai 1.2 mm. Nimfa instar I sampai instar III memiliki warna yang lebih muda dibandingkan dengan kutudaun dewasa (Pracaya 2007). Imago kutudaun ada yang bersayap (alatae) ataupun tidak bersayap (aptera). Kutudaun yang bersayap memiliki bentuk dan warna tubuh yang serupa dengan kutudaun yang tidak bersayap dan akan berpindah ke tanaman inang lain ketika populasinya semakin tinggi dan makanan mulai terbatas. Macrosiphoniella
9 sanborni memiliki femur dan tibia berwarna gelap panjang, memiliki 6 ruas antena (Maryam 1987). Kutudaun merusak tanaman dengan cara menghisap cairan, sehingga tanaman menjadi layu bahkan terjadi malformasi dan kualitas bunga menurun atau dapat menyebabkan tanaman gagal berbunga. Kutudaun banyak ditemukan pada pucuk tanaman dan menyebabkan tertutupnya daun-daun oleh embun madu. Hal tersebut dapat memicu timbulnya embun jelaga (Pracaya 2007).
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perkembangan Trips dan Kutudaun Temperatur, diapause, cuaca, ketersediaan makanan, dan pemuliaan tanaman terus sepanjang tahun mempengaruhi laju perkembangan generasi serangga setiap tahun (Lewis 1973). Trips, kutudaun dan hampir seluruh serangga merupakan polikiotermal, karena suhu tubuhnya bervariasi (dapat berubah sewaktuwaktu) menyesuaikan suhu lingkungannya. Kemampuan tersebut menjadi suatu kelebihan dalam mempengaruhi berbagai aktivitas serangga, seperti tumbuh dan berkembang serta berbagai aktivitas lainnya yang dipengaruhi oleh temperatur (Speight et al. 1999). Panjang hari (fotoperiod) selama 24 jam menjadi salah satu faktor iklim yang mempengaruhi perkembangan serangga secara tidak langsung, akan tetapi faktor tersebut lebih banyak berpengaruh di daerah yang mempunyai iklim musiman. Fotoperiod yang sesuai dapat mempengaruhi serangga dalam menentukan waktu efisien yang menguntungkan untuk tumbuh dan berkembang (Lewis 1973). Hujan merupakan faktor lingkungan yang memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap trips dan kutudaun. Hujan yang lebat dapat menjatuhkan trips dan kutudaun dari tanaman inang, sedangkan kondisi lingkungan yang kering dapat menyebabkan stres pada tanaman, sehingga lebih rentan untuk terserang hama.
Hujan, temperatur dan angin secara tidak langsung mem-
pengaruhi kelembaban lingkungan untuk menentukan kondisi mikroiklim lokal (Speight et al. 1999). Pengaruh angin terhadap perkembangan trips dan kutudaun sangat besar dalam proses penyebaran hama tersebut. Ukuran tubuh serangga
10 yang relatif kecil memungkinkan untuk berpindah dari 1 tanaman ke tanaman yang lain dengan bantuan angin.
Perpindahan yang terjadi tidak hanya
perpindahan lokal, tapi juga dapat terjadi migrasi yang sangat jauh hingga ribuan mil (Lewis 1973).
Pengendalian Hama Trips dan Kutudaun
Pengendalian dengan Kultur Teknis dan Kimiawi Pengendalian dengan kultur teknis dan kimiawi yang dapat dilakukan, yaitu eradikasi (pemusnahan) langsung terhadap hama, media pembawanya atau tempat persembunyiannya, pemusnahan atau pembersihan gulma yang menjadi tempat persembunyian atau sebagai inang alternatif, penggunaan varietas resisten dan perlindungan (proteksi) tanaman dapat menggunakan pestisida/insektisida yang telah terdaftar penggunaannya (Suhardi 2007). Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan dengan membuang sisa pertanaman yang berada di lapangan untuk menghindari ketersediaan habitat bagi trips dan kutudaun. Penggunaan mulsa plastik perak efektif untuk mengendalikan trips pada beberapa jenis tanaman, karena dapat meningkatkan suhu mikro tanah dan tanaman (Pracaya 2007). Infestasi trips pada tanaman hias juga sering dikendalikan menggunakan insektisida. Insektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan trips pada tanaman krisan yaitu, Decis 2.5 EC, Buldok 25 EC, dan Curacron 500 EC pada konsentrasi yang dianjurkan. Pengendalian kimiawi terhadap kutudaun di tanaman krisan dapat menggunakan Agrimec 18 EC atau Nuvatop 500 WP (Purwanto 2009). Pengendalian trips pada tanaman mawar dapat menggunakan insektisida, seperti Mesurol 50 WP, Decis 2.5 EC, Tokuthion 500 EC, dan Pegasus 500 EC. Kutudaun pada tanaman mawar dapat dikendalikan menggunakan Decis 2.5 EC, Buldok 25 EC, Confidor 200 SL, dan Curacron 500 EC (Rukmana 1995).
11 Pengendalian Hayati Penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama dilapangan mengalami berbagai dilema terkait dengan efeknya terhadap organisme dan lingkungan sekitar, karena dewasa ini masyarakat menginginkan produk tanaman yang berkualitas, ekonomis, serta aman untuk dikonsumsi. Steinkraus dan Slaymaker (1991) melaporkan bahwa penggunaan pestisida dapat mengurangi populasi kutudaun, demikian juga mempengaruhi penyebaran dan perkembangan epizootik. Penggunaan agens hayati dapat diterapkan sebagai pengendalian hama dan penyakit dalam aplikasi budidaya tanaman yang sehat (Karlina 2011). Pengendalian hayati terhadap trips yang telah dilaporkan yaitu menggunakan predator, parasitoid dan patogen (Morse dan Hoddle 2006). Tungau Phytoseidae (Neoseiulus spp.) adalah predator yang umum digunakan untuk mengendalikan trips. Pengendalian menggunakan Parasitoid yang menyerang telur trips (misalnya, Mymaridae: Megaphragma spp.) dan parasitoid larva trips (Eulophidae: Ceranisus spp.) (Morse dan Hoddle 2006). Pengendalian hayati pada trips yang banyak diteliti saati ini ialah menggunakan cendawan entomopatogen (Butt dan Brownbridge 1997). Cendawan dari kelas Zygomycetes, Ascomycetes, Fungi Imperfecti, dan Basidiomycetes dapat digunakan untuk mengendalikan hama pada pertanaman (Whipps dan Lumsden 1988). Cendawan entomopatogen menyebabkan kematian pada hama dan dapat mengendalikan populasinya di lapangan (misalnya Neozygitaceae: Neozygites spp. and Hypocreaceae: Verticillium spp.) (Morse dan Hoddle 2006). Cendawan entomopatogen yang telah dilaporkan sampai saat ini ada sekitar 35 genus dengan lebih dari 400 spesies. Sekitar 1800 asosiasi antara cendawan dan serangga yang berbeda telah didokumentasikan (Jankevica 2004). Agens pengendalian hayati juga dilaporkan dapat mematikan kutudaun. Berdasarkan survei terhadap cendawan entomopatogen yang menginfeksi kutudaun di Afrika Selatan dari tahun 1995 sampai 1998, terdapat delapan jenis cendawan yang diketahui menginfeksi dan menyebabkan kematian pada kutudaun. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa cendawan Entomopatogen merupakan faktor alami yang penting dalam menurunkan populasi kutudaun secara signifikan (Scorsetti et al. 2010). Enam spesies cendawan tersebut termasuk da-
12 lam ordo Entomophthorales dan 2 spesies lainnnya dari ordo Hyphomycetes. Cendawan
entomopatogen
pada
kutudaun
yang
termasuk
dalam
ordo
Entomophthorales, yaitu Pandora neoaphidis, Conidiobolus thromboides, C. obscurus, C. coronatus, Entomophthora planchoniana, dan Neozygites fresenii. Dua spesies Hyphomycetes yang dilaporkan sebagai agens hayati kutudaun yaitu, Beauveria bassiana dan Verticillium lecanii. Cendawan P. neoaphidis, C. thromboides, C. obscurus, dan E. planchoniana dianggap sebagai laporan pertama dari Afrika Selatan mengenai cendawan entomopatogen yang menginfeksi kutudaun. Hasil survei tersebut dicatat selama dua musim panas dan dua musim dingin di Afrika Selatan (Hatting et al. 1999).
Cendawan Entomophthorales Taksonomi Cendawan Entomophtorales Cendawan entomopatogen dari ordo Entomophthorales (Zygomycetes) merupakan salah satu cendawan yang diketahui efektif dalam mengendalikan serangga hama. Cendawan Entomophthorales memiliki 5 famili, yaitu Ancylistaceae, Completoriaceae, Entomophthoraceae, Meristacraceae dan Neozygitaceae (Keller dan Petrini 2005). Famili yang menjadi cendawan patogenik pada arthropoda diketahui berasal dari famili Ancylistaceae (genus Conidiobolus), Entomophthoracae (12 genus) dan 2 genus dari Neozygitaceae. Cendawan entomopatogen dari famili Meristacraceae hanya dari spesies Meristacrum mikoi yang merupakan patogen larva famili Tabanidae (Diptera) (Keller dan Wegensteiner 2007). Cendawan Entomophthorales yang telah teridentifikasi sebanyak 223 spesies pada Januari 2006. Spesies yang teridentifikasi tersebut, 195 diantaranya merupakan famili Entomophthoraceae, 17 spesies termasuk kedalam famili Neozygitaceae dan 10 spesies termasuk spesies Ancylistaceae. Genus Conidiobolus dari famili Ancylistaceae merupakan cendawan saprofitik (Keller dan Wegensteiner 2007). Hasil identifikasi terhadap cendawan Entomophthorales, menunjukkan bahwa 176 spesiesnya menginfeksi serangga. Sembilan spesies diketahui bersifat
13 patogenik pada Arachnida, 7 spesies ditemukan pada Acari dan 2 spesies pada Phalangiidae. Sebagian besar spesies (34% atau sekitar 68 spesies) ditemukan pada Diptera dan 23% pada Homoptera, serta kurang dari 10% ditemukan pada inang lainnya, seperti Trichoptera, Collembola, Dictyoptera (Blattaria) dan Rhaphidoptera (Keller dan Wegensteiner 2007).
Biologi dan Ekologi Cendawan Entomophthorales Dewasa ini, minat terhadap Entomophthorales semakin meningkat terutama karena berpotensial untuk mengendalikan hama. Cendawan Entomophthorales memiliki bentuk yang beragam dengan struktur yang jelas. Struktur yang dapat ditemukan yaitu, protoplas, badan hifa (hyphal bodies), spora istirahat (resting spores), konidiofor, konidia primer, konidia sekunder, sistidia dan rhizoid. Struktur tersebut yang sebagian besar dipelajari pada siklus hidup dan perilaku bagian inti cendawan (Keller dan Wegensteiner 2007). Entomophthorales pada dasarnya memiliki siklus aseksual (konidia) dan siklus seksual (resting spore). Siklus aseksual melibatkan lebih banyak struktur daripada siklus seksual, sehingga hal tersebut menjadi alasan mengapa Entomophthorales diklasifikasikan berdasarkan siklus aseksual. Siklus aseksual memungkinkan cendawan Entomophthorales berkembang dan menyebar pada populasi inangnya, sementara itu resting spores memungkinkan cendawan untuk bertahan pada kondisi yang buruk, seperti musim dingin, kekeringan atau tidak tersedianya inang (Keller dan Wegensteiner 2007). Hyphal bodies merupakan fase perkembangan vegetatif yang hampir ditemukan pada semua spesies cendawan Entomophthorales. Hyphal bodies berkembang dari protoplas dan merupakan proses awal yang terjadi pada inang yang terinfeksi. Dinding sel akan mengekspresikan hyphal bodies dalam berbagai bentuk yang spesifik. Bentuk hyphal bodies yang spesifik tersebut menjadi ciri penting dalam menggolongkan cendawan Entomophthorales (Keller 2007). Konidiofor cendawan Entomophthorales dibentuk pada tabung kecambah tunggal dari hyphal bodies. Ada 2 jenis konidiofor yang dihasilkan, yaitu konidiofor becabang dan tidak bercabang. Konidiofor bercabang memiliki 2 tipe percabangan, yaitu percabangan secara dikotom dan digital. Konidiofor dalam per-
14 kembangannya akan membentuk tabung kecambah untuk menembus kutikula serangga inang, kemudian membentuk konidia primer (primary conidia) dari bagian ujung konidiofor. Konidia primer yang dihasilkan pada konidiofor tidak bercabang memiliki 2 atau lebih nukleus, sedangkan yang dihasilkan oleh konidiofor bercabang memiliki 1 nukleus. Bentuk dan ukuran Konidia primer merupakan kriteria penting dalam identifikasi jenis cendawan Entomophthorales (Keller 1987). Konidia sekunder merupakan struktur yang infeksius dari cendawan Entomophthorales. Konidia ini dihasilkan dari tabung kapiler langsing yang dibentuk pada konidia primer. Apabila terjadi kontak antara konidia dan serangga inang, maka konidia akan membentuk tabung kecambah (germ tube). Selanjutnya, cendawan akan melakukan invasi pada haemosol serangga, sehingga terjadi infeksi (Keller 1987). Ben-Ze’ev dan Kenneth (1982 di dalam Keller 2007) mengelompokkan secondary conidia
(konida sekunder)
ke dalam lima tipe.
Tipe I,
secondary conidia dihasilkan satu per satu kemudian dikeluarkan. Tipe ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu Tipe Ia mempunyai bentuk yang sama dengan konidia primer. Tipe ini merupakan tipe normal yang dimiliki hampir semua jenis cendawan Entomophthorales. Tipe Ib mempunyai bentuk yang berbeda dengan konidia primer. Tipe Ib ini terdapat pada Erynia, Furia, Pandora, dan beberapa jenis Entomophaga (Keller & Eilenberg 1993 di dalam Keller 2007).
Secondary
conidia pada Tipe II disebut capilliconidia. Capilliconidia dihasilkan secara satu per satu dari tabung kapiler langsing yang muncul pada konidia primer dan dilepaskan secara pasif. Tipe ini ditemukan pada Zoophthora, Neozygites, Orthomyces, dan Eryniopsis lampyridarum. Secondary conidia Tipe III disebut dengan nama microconidia. Bentuk microconidia menyerupai konidia primer, tetapi lebih kecil. Tipe ini banyak ditemukan pada beberapa jenis Conidiobolus.
Tipe IV disebut dengan nama
microspores. Tipe ini tidak ditemukan pada jenis cendawan entomopatogen. Tipe V dikenal dengan istilah aquatic secondary conidia, tetra-radiate propagules, tetra-radiate conidia, branched, stellate atau coronate conidia. Konidia sekunder ini dihasilkan di dalam air atau saat terjadi kontak dengan air dan sebagian besar ditemukan pada beberapa jenis Erynia yang berasosiasi dengan air (Keller 2007).
15 Spora istirahat (resting spores) merupakan struktur bertahan cendawan Entomophthorales dengan dinding sel ganda dan berukuran tebal. Resting spores berfungsi untuk bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan. Resting spores dibentuk secara aseksual dari suatu hyphal bodies (azygospores) atau secara seksual dari konjugasi dua hyphal bodies (zygospores). Sebagian besar bentuk resting spores adalah bulat dan hialin. Beberapa resting spores ada yang dikelilingi oleh episporium. Resting spores secara spesifik hanya dapat ditemukan pada genus Neozygites. Resting spores pada Neozygites berwarna coklat gelap sampai hitam, berbentuk bola atau elips, berstruktur halus, dan mempunyai dua inti (Keller 2007).
Cendawan Entomophtorales pada Trips Trips yang terinfeksi cendawan entomopatogen akan tetap berada pada daun dan dapat diamati dari adanya debu keputihan pada permukaan tubuh thrips (Montserrat et al. 1997). Pengamatan N. parvispora yang menginfeksi trips terlihat adanya konidia primer berukuran (10.8 x 9.0 sampai 12.6 x 10.8) μm yang berbentuk bulat serta memiliki papila. Konidia sekunder memiliki bentuk dan ukuran yang sama dengan konidia primer.
Kapillikonidia berbentuk seperti
almond dan berukuran (10.8 x 7.5 sampai 16.2 x 9.9) μm (Montserrat et al. 1997). N. cucumeriformis juga merupakan spesies Neozygites yang diketahui menginfeksi serangga dari ordo Thysanoptera (Keller 2007).
Gambar 1 Cendawan Entomophthorales pada N. Parvispora: a) Konidia primer, b) pembentukan konidia sekunder (Montserrat et al. 2007)
16 Famili Neozygitaceae secara umum memiliki hyphal bodies berbentuk bulat atau batang dengan atau tanpa dinding sel. Hyphal bodies memiliki nukleus dengan ukuran 3 sampai 5 μm.
Konidiofornya berbentuk tidak bercabang.
Primary conidia tidak memiliki membran luar dan memencar secara paksa dengan papilar eversion. Ada 2 tipe konidia sekunder yang dimiliki Cendawan Entomophthorales dari famili Neozygitaceae, yaitu berbentuk seperti konidia primer dan berbentuk kapillikonidia. Resting spores biasanya zygospora yang terbentuk dari konjugasi 2 hyphal bodies dengan 1 nukleus pada masing-masing gametangiumnya. Resting spores berbentuk bulat atau lonjong, berwarna coklat sampai kehitaman, kadang-kadang ditemukan juga yang hialin dengan episporium datar (rata) atau memiliki ornamen (Keller 2007). Cendawan Entomophtorales pada Kutudaun Kutudaun Nasonovia ribisnigri (Hemiptera: Aphididae) pada tanaman selada di Argentina dilaporkan telah terinfeksi oleh cendawan Entomophthorales, Pandora neoaphidis (Scorsetti et al. 2010). Kutudaun yang telah dideteksi terinfeksi oleh P. neoaphidis berjumlah 2171 (12%) dari total 17 058 sampel. Kutudaun tersebut menyerang pertanaman selama pengambilan sampel, tetapi serangan kutudaun yang terjadi pada awal periode pengambilan sampel lebih sedikit. Kutudaun yang mati karena terinfeksi P. neoaphidis memiliki ciri yang khas, yaitu tubuh berwarna putih dan dilekatkan pada permukaan daun oleh rhizoid cendawan. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan pada jumlah kepadatan infeksi kutudaun di bagian pinggir lapangan dengan di bagian tengah lapangan (Scorsetti et al. 2010). Kutudaun pada kapas,
Aphis gossypii merupakan hama penting pada
kapas (Gossypium hirsutum L.) di Amerika pada tahun 1991 dan telah didokumentasikan sebagai hama pada kapas di banyak wilayah di dunia. Kutudaun menjadi hama yang sulit dan mahal untuk dikendalikan karena perkembangan resistensinya terhadap insektisida (Steinkraus dan Slaymaker 1991). Steinkraus et al. (1991) mengidentifikasi epizootik yang disebabkan oleh Neozygites fresenii secara efektif dapat mengurangi populasi kutudaun pada tanaman kapas di Amerika Serikat bagian Selatan dan di Afrika. Penggunaan banyak cendawan ento-
17 mopatogen sebagai pengendali biologi terbatas pada kondisi lingkungan yang spesifik, terutama pada kelembaban yang tinggi. N. fresenii dilaporkan menyebabkan epizootik selama musim panas di Arkansas pada kapas yang tidak diirigasi dan tidak terdapat hujan sejak sebulan sebelum pengamatan. Hal ini menjadi penting untuk memahami, mengapa N. fresenii dapat menyebabkan epizootik selama musim kering, ketika banyak cendawan lainnya pada Entomophthorales memerlukan lingkungan yang sejuk dan kondisi basah (Steinkraus dan Slaymaker 1991).
Nematoda Entomopatogen Nematoda (Nema: benang, Oid: seperti) merupakan binatang yang bentuknya seperti benang. Nematoda juga sering disebut elworm (cacing), threadworm (cacing berbentuk seperti benang), atau roundworm (cacing bulat). Berdasarkan habitatnya, nematoda terdiri atas nematoda parasit tanaman (± 10% dari total nematoda yang ada di dunia), parasit pada manusia dan vertebrata (± 15%), nematoda yang hidup di laut (± 50%), dan yang lain (pemakan bateri dan jamur, serta predator dan omnivora) sekitar 25% (Mulyadi 2009). Keberadaan nematoda di lapangan seringkali ditemukan sebagai hama pada berbagai tanaman hortikultura, tetapi tidak selamanya nematoda memberikan peran negatif terhadap pertanian. Nematoda juga berperan sebagai perangkat pemantau pencemaran lingkungan, membantu dekomposisi bahan organik, dan sebagai musuh alami serangga hama maupun nematoda parasit serangga. Thorne (1949 dalam Nguyen 2010) melaporkan bahwa ada beberapa nematoda yang merupakan parasit atau berasosiai dengan serangga. Ordo Tylenchida adalah salah satu ordo yang telah diidentifikasi sebagai parasit pada serangga. Nematoda yang termasuk ke dalam ordo tersebut hidup di tanah atau pada berbagai bagian tanaman. Sebagian besar nematoda tersebut merupakan parasit pada tanaman atau berasosisasi dengan tanaman, dan sebagian lainnya berperan sebagai parasit pada serangga. Famili nematoda dari Ordo Tylenchida yang dilaporkan sebagai parasit pada serangga di antaranya, yaitu: Allantonematidae, Sphaerulariidae, Phaenopsitylenchidae, Iontochidae, Parasitylenchidae, dan Fergusobiidae. Famili Allanto-
18 nematidae merupakan nematoda parasit serangga yang memiliki nilai penting lebih tinggi dari famili lainnya. Famili Allantonematidae memiliki siklus hidup bebas yang sangat pendek. Nematoda betina akan menginfeksi inang setelah kawin menggunakan stiletnya yang kuat dengan panjang stilet sekitar 15 μm. Nematoda betina yang telah memarasit serangga akan bertubuh gemuk, berbentuk bulat atau oval menyerupai gelendong atau kantung. Rongga tubuh nematoda betina sebagian besar diisi oleh organ reproduksi (Khuong et al. 2003). Ada 2 subfamili yang termasuk kedalam famili Allantonematidae, yaitu Allantonematinae dan Contortylenchinae. Genus nematoda yang terdapat pada famili Allantonematidae adalah tonema,
Metaparasitylenchus,
Bradynema, Thripinema, Howardula, Protylenchus,
Sulphuretylenchus,
Allan-
Parasity-
lenchoides, Proparasitylenchus, Neoparasitylenchus, Spilotylenchus, Bovienema, Contortylenchus, dan Aphelenchulus. Genus Thripinema dilaporkan sebagai genus yang menjadi parasit pada berbagai trips yang menjadi hama pada berbagai jenis tanaman (Khuong et al. 2003).
Nematoda Thripinema spp. Arthurs dan Heinz (2006) melaporkan bahwa nematoda parasit Thripinema nicklewoodi merupakan agens hayati western flowers thrips (WFT) yang menyerang tanaman krisan. Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae) pada 2002 menjadi hama penting pada berbagai tanaman hias di California. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Arthurs dan Heinz (2002) di lapangan terhadap tanaman anyelir, krisan, dan mawar ditemukan Thripinema nicklewoodi sebagai musuh alami dominan yang menginfeksi F. occidentalis yang terdapat pada kuncup bunga. Nematoda Thripinema nicklewoodi (Tylenchida: Allantonematidae) secara alami menginfeksi Western Flowers Thrips (Frankliniella occidentalis). Asosiasi nematoda ini terhadap trips tidak menyebabkan kematian, tetapi pada serangga betina yang diserang, dapat menyebabkan penurunan jumlah embrio bahkan menyebabkan kemandulan. Spesies dari nematoda Thripinema dianggap sebagai parasit obligat pada trips. Nematoda T. nicklewoodi ditemukan sebagai musuh alami trips yang paling
19 melimpah di lapangan, karena di temukan lebih dari 50% pada sampel imago betina WFT dan mewakili 88.3% dari seluruh musuh alami trips yang telah didokumentasikan. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa penularan T. nicklewoodi yang berlangsung selama 9 generasi Phaseolus vulgaris L., dapat menginfeksi sampai 83% imago trips. Pupa betina F. occidentalis dilaporkan paling banyak terinfeksi oleh T.nicklewoodi (54%) dan imago jantan paling sedikit terinfeksi oleh T. nicklewoodi (4.4%). Laporan tersebut merupakan laporan pertama T. nicklewoodi yang dapat menginfeksi trips jantan (Arthurs et al. 2003). Faktor yang mendukung keberhasilan nematoda ini adalah mampu menjangkau inang yang berada pada bagian tanaman yang sering menjadi penghalang untuk masuknya musuh alami Arthropoda. Nematoda T. nicklewoodi memiliki perilaku samar dan tingkat kompatibilitas yang tinggi dengan insektisida yang diterapkan untuk hama lain pada tanaman hias (Mason dan Heinz 2002). Selama tahap infeksi, nematoda betina T. nicklewoodi yang telah kawin menembus WFT melalui membran intersegmental, membentuk kantung besar dan menghasilkan generasi tunggal di dalam rongga perut inang. Nematoda yang telah dewasa, baik keturunan jantan maupun betina bermigrasi ke usus dan kemudian keluar dari inang bersamaan dengan keluarnya frass/kotoran (Mason dan Heinz 2002).
20
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Pengambilan sampel trips dan kutudaun pada tanaman mawar dan krisan dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi), Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Identifikasi cendawan Entomophthorales yang menginfeksi trips dan kutudaun dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Juni 2012.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan lactophenolcotton blue, alkohol 70%, dan pewarna kuku bening. Alat yang digunakan adalah pinset, kuas, pipet tetes, baki putih, tisu, kertas label, preparat slide beserta kaca penutup, botol bervolume 30 ml, dan mikroskop cahaya.
Pengambilan Sampel Trips dan Pengamatan Populasi Trips Tanaman hias yang digunakan pada penelitian ini adalah mawar (Rosa spp.) dan krisan (Dendrathema grandiflora). Sampel trips dan kutudaun diambil dari 3 blok pada pada masing-masing pertanaman mawar dan krisan, kemudian dari tiap blok dipilih 10 tanaman sampel secara acak. Pengambilan sampel trips dilakukan dengan menepuk 1 bunga (diwadahi menggunakan baki putih) dari tiap tanaman sampel. Tiap bunga ditepuk sebanyak 20 kali, kemudian trips dimasukkan ke botol bervolume 30 ml menggunakan kuas halus. Populasi trips dihitung terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke botol. Pengambilan sampel trips dilakukan sebanyak 8 kali, dengan waktu pengambilan sampel 2 kali dalam seminggu.
21 Pengambilan Sampel Kutudaun Sampel kutudaun diambil dari 3 blok pada masing-masing pertanaman mawar dan krisan, kemudian kutudaun diambil pada tanaman yang terserang dalam 3 blok tersebut (minimal 100 kutudaun per blok). Kutudaun yang diperoleh pada tiap blok dimasukan ke botol bervolume 30 ml yang telah berisi alkohol 70%. Pada awalnya eksplorasi cendawan pada penelitian ini hanya dilakukan pada trips, tetapi saat pengambilan sampel trips pertama di lapangan, ditemukan juga adanya kutudaun pada tanaman mawar dan krisan. Pengambilan sampel kutudaun dilakukan sebanyak 4 kali dengan waktu pengambilan sampel seminggu sekali. Sampel kutudaun pada tanaman krisan ditemukan pada pengamatan 1 sampai 4, sedangkan kutudaun pada tanaman mawar hanya ditemukan pada pengamatan 1 dan 2. Identifikasi lebih lanjut terhadap kutudaun hanya dapat dilakukan dari sampel yang diperoleh pada pengamatan 1 dan 2.
Pembuatan Preparat Trips dan Kutudaun Sampel trips dan kutu daun yang telah diperoleh dari lapangan, di bawa ke Labaratorium Patologi Serangga untuk penelitian lebih lanjut. Sampel trips dan kutudaun dibuat preparat slide dengan jumlah 10 individu sejenis per preparat yang ditata secara diagonal. Pembuatan preparat dilakukan menggunakan lactophenol cotton blue. Trips atau kutudaun yang telah ditata di atas kaca preparat ditekan sedikit bagian abdomen agar keluar cairan tubuhnya, sehingga mempermudah pengamatan. Preparat selanjutnya ditutup dengan kaca penutup, kemudian preparat diberi label yang berisi nomor tanaman sampel, lokasi pengambilan sampel, dan tanggal pengambilan sampel. Sehari setelah preparat trips atau kutudaun dibuat, pewarna kuku bening dioleskan pada bagian pinggir kaca penutup agar preparat tidak mudah rusak.
Identifikasi Stadia Cendawan Entomophthorales Preparat diamati menggunanakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali untuk mengidentifikasi fase cendawan Entomophthorales yang menginfeksi trips dan kutudaun. Serangga yang terinfeksi cendawan diklasifikasikan
22 Steinkraus et al. (1995) menjadi 6, yaitu serangga sehat, terinfeksi primary conidia dan conidiophore, secondary conidia, resting spores, hypal bodies, dan saprophytic fungi.
Perhitungan Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales Tingkat infeksi cendawan entomophthorales pada trips dan kutu daun (%) = ∑ trips ∑ populasi
atau kutudaun yang terinfeksi
trips atau kutudaun pada tanaman sampel
X 100%
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Data kelimpahan populasi trips, tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada trips, dan tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada kutu daun dianalisis dengan uji-t pada taraf nyata 5% menggunakan program minitab versi 14.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Umum Lokasi Balai Penelitian Tanaman Hias merupakan unit pelaksana teknis bidang penelitian dan pengembangan tanaman hias, di bawah koordinasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Litbang Pertanian. Balai penelitian tanaman hias teletak di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan memiliki luas wilayah ± 106 060 m2. Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) terletak pada ketinggian ± 1 100 m dpl. Balithi yang terletak di Kabupaten Cianjur terdapat di dua lokasi, yaitu Kebun percobaan (KP) Segunung dan KP Cipanas. KP Segunung terletak di 06°.45.20 LS dan 107°.02.53 BT, sedangkan KP Cipanas terletak di 06°.43.58 LS dan 107°.02.17 BT. Temperatur rata-rata di daerah Pacet, pada bulan Maret 2012 yaitu 20.7 °C dan pada bulan April 2012 yaitu 20.9 °C. Curah hujan pada bulan Maret 2012 di daerah pacet sebesar 216.0 mm dan pada bulan April 2012 yaitu 479.0 mm. Data tersebut diperoleh dari Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor.
Gambaran Umum Tanaman Mawar dan Krisan di Balithi Tanaman mawar yang banyak dibudidayakan di Indonesia berasal dari 2 sumber, yaitu mawar lokal dan mawar introduksi/impor. Balithi berupaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap mawar impor, sehingga dilakukan pemuliaan tanaman mawar untuk menghasilkan varietas unggul yang di eksplan dari mawar introduksi. Tanaman mawar di Balithi ditanam pada lokasi yang sama tanpa memisahkan blok tanaman berdasarkan sumber maupun varietasnya. Varietas tanaman mawar yang terdapat di Balithi secara garis besar dibedakan menjadi 2, yaitu hasil kultur in-vitro dari Prince Meilandina dan Romantica Meilandina yang merupakan tanaman introduksi dan diperkirakan telah cukup lama dibudidayakan di Indonesia (varietas Rosmarun, Yulikara, dan Rosanda) dan varietas Nasional rakitan Balithi (Putri, Talita, Valeri, dan Clarisa) yang dijadikan sebagai tanaman indukan. Kegiatan budidaya tanaman mawar di Balithi meliputi:
24 pengolahan media tanam, penanaman, penyulaman, penyiangan, pemupukan, penyiraman, pemangkasan, serta pengendalian hama dan penyakit. Tanah untuk lahan mawar diolah sedalam ± 30 cm dengan jarak tanam (20 x 30) cm. Perbanyakan tanaman mawar dilakukan dengan teknik okulasi atau stek. Pemupukan yang diaplikasikan terdiri atas pupuk dasar dan pupuk susulan. Pupuk dasar yang digunakan yaitu pupuk kandang, kompos bambu, dan sekam mentah dengan perbandingan 2:1:1. Pupuk susulan diberikan 2 minggu sekali, yaitu berupa pupuk kandang. Penyiraman tanaman mawar dilakukan sekali dalam sehari atau tergantung kondisi cuaca dan lingkungan. Kegiatan pemangkasan yang dilakukan terdiri dari 3 jenis, yaitu pemangkasan ringan, sedang, dan berat. Pemangkasan ringan (30%) dilakukan dengan membuang tunas kecil dari tanaman mawar. Pemangkasan sedang (50%) dilakukan dengan memangkas cabang-cabang atau pucuk. Pemangkasan ringan dan sedang ini bertujuan untuk merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru yang produktif. Pemangkasan berat (75 sampai 80%) dilakukan pada batang yang sudah tua dengan memotong batang sampai 20 cm dari atas tanah untuk meremajakan kembali tanaman dan membuang bagian tanaman yang terserang penyakit dan sulit ditanggulangi dengan pestisida. Tanaman krisan yang dibudidayakan di Balithi memiliki beberapa varietas, yaitu Puspita Nusantara, Puspita Kencana, Sakulanta, Dewi Ratih, Fuji, dan Snow White. Varietas krisan yang diamati pada penelitian ini hanya varietas Snow White. Budidaya tanaman krisan yang dilakukan di Balithi yaitu, pembibitan, pengolahan media tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan pengendalian hama penyakit. Teknik pembibitan dilakukan di bak pembibitan dan penyemaian kultur jaringan. Jarak tanam indukan atau perbanyakan dengan kultur jaringan yaitu ± (2x3) cm. Bak yang digunakan untuk pembibitan memilliki ketebalan ± 7 sampai 10 cm (populasi bibit dalam 1 bak ± 62 tanaman). Bibit yang berasal dari kultur jaringan dapat dipindahkan ke lapangan pada 3 sampai 4 minggu setelah tanam, sedangkan bibit yang berasal dari stek pucuk pada 10 sampai 11 hari setelah tanam sudah dapat dipindahkan ke lapangan. Pupuk yang diberikan pada tanaman krisan terdiri dari pupuk dasar (minimal diaplikasikan 3 hari sebelum tanam) dan pupuk lanjutan (diaplikasikan 1
25 bulan sekali). Pupuk lanjutan yang digunakan adalah pupuk urea 1.5 g/m2 dan KNO3 6 g/m2.
Pemupukan lanjutan terakhir dilakukan pada saat tanaman
berumur 8 minggu dengan menggunakan urea 1.5 g/m2, KNO3 6 g/m2, dan SP 36 sebanyak 6 g/m2. Penanaman krisan dilakukan dengan membuat jarak tanam terlebih dahulu sekitar (10 x 80) cm. Pemberian Furadan 3G dilakukan pada tiap lubang tanam sebanyak 5 sampai 10 butir/lubang untuk mencegah organisme pengganggu tanaman. Pemeliharaan tanaman krisan, meliputi pemberian jaring penegak tanaman, penyiraman, dan pemberian hari panjang. Faktor kelembaban perlu diperhatikan pada tanaman krisan, karena tanaman ini tidak tahan terhadap kekeringan. Penyiraman dilakukan sehari sekali atau melihat kondisi lingkungan pertanaman. Pemberian hari panjang sudah dimulai pada awal penanaman di lapangan sampai tanaman mencapai tinggi standar untuk bunga potong yaitu 50 sampai 55 cm.
Pengamatan Populasi Trips Kelimpahan populasi trips berdasarkan 8 kali pengamatan rata-rata lebih tinggi pada tanaman krisan daripada tanaman mawar, terutama pada tanggal 22 Maret 2012, 10 April 2012 dan 13 April 2012 (Tabel 1). Populasi trips yang berbeda nyata terjadi pada tanggal 10 April 2012, karena sehari sebelum pengamatan terjadi hujan lebat dan pada tanggal 13 April terjadi hujan pada saat pengamatan. Curah hujan dapat mempengaruhi populasi trips, karena dapat membunuh larva dan menekan penyebaran trips (Lewis 1973). Hujan tidak mempengaruhi populasi trips pada tanaman krisan. Kondisi pertanaman krisan di dalam rumah lindung yang tertutup dan tanaman mawar di rumah lindung yang terbuka diduga menjadi sebabnya (Gambar 2). Pada saat penelitian ini, tanaman mawar di KP Segunung digunakan untuk penelitian oleh Pemulia tanaman mawar. Pertanaman mawar di KP Segunung tidak terawat lagi ketika memasuki bulan April, karena lahan tersebut sudah tidak digunakan untuk penelitian.
Pengambilan sampel trips pada 2 pengamatan
terakhir dilakukan di KP Cipanas, karena banyak bunga mawar yang layu dan busuk, serta banyak gulma pada pertanaman mawar di KP Segunung. Kondisi
26 tersebut mempengaruhi ketersediaan inang dan makanan bagi trips, karena trips biasanya makan di bagian dalam kuncup bunga atau daun yang baru berkembang (Mound dan Kibby 1998).
Gambar 2 Kondisi rumah lindung pertanaman krisan di KP Segunung Balithi
a
b
Gambar 3 Kondisi pertanaman mawar di KP Segunung Balithi pada (a) awal Maret 2012 dan (b) pertengahan April 2012 Populasi trips di tanaman mawar dan krisan pada tanggal 16 April dan 19 April tidak berbeda nyata. Populasi trips pada tanaman mawar di KP Segunung lebih sedikit daripada populasi trips di KP Cipanas. Hal ini diduga karena pengaruh pemberian pupuk susulan, berupa pupuk kandang setiap 2 minggu sekali pada tanaman mawar di KP Cipanas. Berdasarkan laporan Cloyd (2010) kondisi lahan yang mengandung nitrogen lebih banyak akan lebih disukai trips, karena mengandung banyak asam amino dan protein yang sangat dibutuhkan bagi trips betina. Produksi telur trips akan meningkat setelah trips betina dewasa makan tanaman yang mengandung banyak asam amino.
27 Tindakan pemanenan juga dapat mempengaruhi populasi trips di lapangan. Bunga mawar yang terdapat di Balithi tidak dipanen, karena tanaman mawar tersebut dibudidayakan sebagai hasil penelitian dan pemuliaan. Bunga krisan aktif diproduksi terutama saat ada permintaan dari suatu perusahaan atau menjelang hari besar, seperti memperingati kemerdekaan Indonesia dan hari kasih sayang. Tanaman krisan dipanen seminggu sekali atau lebih sesuai dengan permintaan pasar. Populasi trips pada tanaman krisan menurun pada tanggal 5 April (Tabel 1). Hal tersebut dipengaruhi oleh kegiatan panen pada pengamatan sebelumnya dan aplikasi pestisida. Populasi trips mengalami penurunan dikarenakan banyak bunga yang telah dipanen, sehingga habitat dan makanan trips berkurang. Pengaruh pemanenan juga terlihat pada 3 pengamatan terakhir (13 April, 16April, dan 19 April). Pengendalian hama yang dilakukan pada tanaman mawar dan krisan hanya pengendalian kimiawi menggunakan insektisida. Insektisida dengan bahan aktif yang sama secara rutin diaplikasikan seminggu sekali pada tanaman mawar dan krisan. Tanaman krisan yang akan dipanen tidak jarang diaplikasikan insektisida 2 sampai 3 kali dalam seminggu. Hal ini dapat menyebabkan hama trips resisten terhadap insektisida yang diaplikasikan.
Gambar 4 Gejala serangan trips ketika mawar masih kuncup, berupa bercak kecokelatan dan mahkota bunga yang menggulung saat mekar Bunga mawar yang terserang trips di lapangan sebagian besar adalah bunga yang berwarna putih. Hal ini juga terlihat jelas pada populasi trips krisan
28 yang memiliki rata-rata populasi trips lebih tinggi, dengan bunga yang diamati seluruhnya berwarna putih (Gambar 5). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Siagian (2012) pada uji perangkap likat, trips lebih banyak terperangkap pada perangkap berwarna putih. Menurut Chu et al. (2006), warna biru dan putih lebih disukai F. intonsa dibandingkan dengan warna kuning.
Gambar 5
Bunga krisan di Balithi: (a) Trips pada bunga krisan, (b) gejala serangan trips pada bunga krisan
Cendawan Entomophthorales pada Trips Eksplorasi cendawan Entomophthorales pada trips diamati dari 240 preparat (2400 trips) yang terdiri dari: 120 preparat trips pada tanaman mawar dan 120 preparat trips lainnya pada tanaman krisan. Pengamatan cendawan yang menginfeksi trips dibagi menjadi 6 kategori menurut klasifikasi yang dilaporkan Steinkraus et al. (1995), yaitu, secondary conidia (konidia sekunder), hyphal bodies (badan hifa), primary conidia (konidia primer) dan conidiophore, resting spores (spora istirahat), dan kategori saprophytic fungi (cendawan saprofit) serta serangga sehat. Berdasarkan pengamatan preparat sampel trips pada kedua jenis tanaman tersebut, fase cendawan yang ditemukan adalah secondary conidia, hyphal bodies, dan primary conidia. Cendawan Entomophthorales yang banyak menginfeksi arthropoda kecil, terutama tungau, Collembola, trips, dan kutu daun adalah genus Neozygites (Entomophthorales: Neozygitaceae) (Keller 1997).
Spesies cendawan Neozygites,
Neozygites
parvispora
cucumeriformes
and
Neozygites
diketahui
hanya
29 menginfeksi trips (Butt et al. 2001). Penelitian yang dilakukan Montserrat et al. (1997) pada pertanaman mentimun di Spanyol, menemukan bangkai trips yang terinfeksi cendawan N. parvispora akan tetap berada pada daun dan dapat diamati dari adanya debu keputihan pada permukaan tubuh trips. Berdasarkan hasil pengamatan, trips yang sehat tidak terdapat fase cendawan yang menginfeksi tubuhnya (Gambar 6).
Gambar 6 Trips sehat pada pengamatan Hyphal bodies (badan hifa) merupakan fase cendawan Entomophthorales yang paling banyak ditemukan pada sampel trips yang terinfeksi. Bentuk hyphal bodies menjadi ciri penting dalam menggolongkan cendawan Entomophthorales. (Keller 1997). Hyphal bodies yang ditemukan pada trips berbentuk bulat (Gambar 7) dan batang (Gambar 8).
Gambar 7 Hyphal bodies berbentuk bulat pada abdomen trips
30
Gambar 8 Hyphal bodies berbentuk batang pada abdomen trips Identifikasi tipe dan bentuk kondia sekunder pada cendawan ordo Entomophthorales merupakan kriteria yang penting untuk mengklasifikasikan genus cendawan. Ada 2 tipe konidia sekunder yang biasanya terbentuk dari cendawan Neozygites, yaitu tipe Ia dan tipe II. Hasil pengamatan terhadap konidia sekunder yang menginfeksi trips di tanaman mawar dan krisan menunjukkan ciri konidia sekuder tipe II atau kapillikonidia (Gambar 9).
a
d
b
c
e
Gambar 9 Infeksi konidia sekunder pada beberapa bagian tubuh trips: (a) tungkai, (b) abdomen, (c) antena, (d) toraks, dan (e) sayap.
31 Konidia sekunder dihasilkan satu-persatu dari tabung kapiler langsing yang muncul dari konidia primer, dan kapilikonidia dilepaskan secara pasif (Keller 1997). Konidia primer ditemukan pada beberapa trips yang diamati. Konidia primer berbentuk menyerupai pir dengan papila memotong pada satu sisinya (Gambar 10).
Konidia primer terbentuk secara aktif dari bagian ujung konidiofor.
Konidia primer (primary conidia) yang dihasilkan pada konidiofor yang tidak ber-
Gambar 10 Konidia primer yang menginfeksi beberapa trips cabang mengandung dua atau lebih nukleus, sedangkan yang dihasilkan oleh konidiofor bercabang mendandung satu nukleus (Keller 1997). Pengamatan stadia cendawan pada sampel trips di tanaman mawar maupun krisan tidak menemukan adanya resting spores (Spora istirahat). Hal ini dikarenakan stadia resting spores merupakan struktur bertahan yang dimiliki cendawan Entomophthorales saat tidak ada inang atau lingkungan yang ekstrim, seperti kekeringan atau musim dingin. Resting spores memiliki struktur dinding yang tebal untuk beradaptasi dan bertahan pada kondisi yang tidak menguntungkan. Resting spores dibentuk dari hyphal bodies (azygospores) atau konjugasi dari 2 hyphal bodies (zygospores).
Resting spores yang ditemukan pada cendawan genus
Neozygites berwarna coklat gelap hampir hitam, berbentuk bulat atau elips (Keller 2007). Trips yang terinfeksi cendawan saprofitik juga tidak ditemukan pada pengamatan, hal ini karena trips yang diambil dari lapangan merupakan trips yang masih hidup dan belum terlihat adanya hifa cendawan saprofit pada tubuh trips.
32
Tabel 1 Kelimpahan populasi trips pada tanaman mawar dan krisan di Balai Tanaman Hias Kabupaten Cianjur (jumlah trips/30 bunga) Jenis tanaman Mawar
15/03/2012 96.3 ± 49.9a
19/03/2012 100 ± 33.1a
22/03/2012 95.3 ± 15.9a
Krisan P-Value
56.7 ± 13.3a 0.315
100.7 ± 20.5a 0.978
200.7 ± 39.7a 0.051
a
Waktu Pengamatan a 5/04/2012 10/04/2012 13/04/2012 129.0 ± 27.0a 111.7 ± 22.7a 119.67 ± 6.43a 186.3 ± 21.6a 0.064
16/04/2012 144.3 ±37.3a
19/04/2012 132 ± 40.7a
302.0 ± 16.5b 263.0 ± 41.9 b 190.0 ±62.6a 0.357 0.001 0.028
191.0 ± 40.6a 0.174
Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Tabel 2 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada trips di tanaman mawar dan krisan di Balai Tanaman Hias Kabupaten Cianjur (%) Jenis tanaman Mawar
15/03/2012 5.4 ± 4.1a
19/03/2012 5.3 ± 4.2a
22/03/2012 14.5 ± 7.5a
Krisan P-Value
44.7 ± 11.4b 0.006
59.3 ± 11.7b 0.002
51.3 ± 3.1b 0.001
a
Waktu Pengamatan a 05/04/2012 10/04/2012 11.3 ± 6.4a 21.3 ± 7.0a
13/04/2012 48.7 ± 23.2a
16/04/2012 64.0 ± 2.0a
19/04/2012 60.0 ± 9.2a
36.7 ± 21.9a 0.127
24.0 ± 10.0a 0.166
31.3 ± 5.03b 0.000
40.0 ± 3.5b 0.024
46.0 ± 5.3b 0.008
Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
32
33 Infeksi Cendawan Entomophtorales pada Trips di Tanaman Mawar dan Krisan Infeksi cendawan Entomophthorales ditemukan pada trips di tanaman mawar dan krisan di Balithi. Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada trips berbeda nyata pada 6 pengamatan, yaitu pada pengamatan 15 Maret, 19 Maret, 22 Maret, 5 April, 16 April, dan 19 April. Kelimpahan populasi trips berbeda nyata terjadi antara tanaman mawar dan krisan pada tanggal 10 April dan 13 April (Tabel 1). Hal sebaliknya, tingkat infeksi cendawan Entomphthorales tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada tanggal tersebut (Tabel 2). Rata-rata infeksi cendawan pada 10 April lebih rendah dibandingkan infeksi pada pengamatan sebelumnya. Hujan deras sehari sebelum pengamatan diduga mempengaruhi tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada trips di tanaman mawar, namun belum dapat ditentukan faktor yang menyebabkan menurunnya infeksi cendawan Entomophthorales pada trips di tanaman krisan pada tanggal tersebut. Menurut Steinkraus et al. (1995), curah hujan juga dapat mempengaruhi infeksi cendawan Entomophthorales. Hujan deras dapat menyebabkan tersapunya hama dan cendawan yang terdapat pada hama. Aplikasi insektisida di tanaman krisan pada 2 hari sebelum pengamatan ke-6 (13 April), juga berpengaruh terhadap berkurangnya tingkat infeksi cendawan Entomophthorales. Stadia cendawan Entomophthorales yang banyak menginfeksi trips adalah hyphal bodies. Rata-rata trips pada tanaman mawar yang terinfeksi hyphal bodies selama 8 kali pengamatan yaitu, 24.06%. Rata-rata hyphal bodies yang menginfeksi trips pada tanaman krisan lebih tinggi daripada trips di mawar, yaitu 40.42%. Pada Gambar 11a dan 11b terlihat proporsi fase cendawan yang menginfeksi trips di tanaman mawar dan krisan. Proporsi fase cendawan Entomophthorales pada trips di kedua tanaman tersebut terlihat berfluktuasi. Persentase hyphal bodies tertinggi yang menginfeksi trips di tanaman mawar terjadi pada tanggal 16 April 2012 sebesar 60.67% dan terendah pada tanggal 19 Maret 2012 sebesar 3.33% (Gambar 11a). Persentase hyphal bodies tertinggi pada trips di tanaman krisan, terjadi pada tanggal 19 Maret 2012 sebesar 58.67% dan terendah pada tanggal 13 April 2012 sebesar 24% (Gambar 11b).
34 Persentase infeksi konidia sekunder yang menginfeksi trips lebih tinggi daripada infeksi konidia primer. Rata-rata konidia sekunder yang menginfeksi trips di bunga mawar lebih besar daripada konidia sekunder yang menginfeksi trips di bunga krisan. Hal tersebut terlihat pada gambar 11a, dimana persentase rata-rata kondia sekunder yang menginfeksi trips di bunga mawar sebesar 4.60%, sedangkan pada trips di bunga krisan sebesar 1.08%. Persentase konidia sekunder pada trips di bunga mawar tertinggi terdapat pada tanggal 5 April 2012, yaitu sebesar 8.00% dan terendah pada tanggal 15 Maret 2012, dimana tidak ada konidia sekunder yang ditemukan menginfeksi sampel trips. Persentase konidia sekunder tertinggi pada trips di bunga krisan pada tanggal 5 April 2012, yaitu sebesar 2% dan terendah pada tanggal 13 April 2012, dimana tidak ada konidia sekunder yang menginfeksi trips pada tanaman krisan (Gambar 11b). Konidia primer yang ditemukan pada trips di bunga mawar terdapat pada 4 pengamatan, yaitu pada 5 April, 10 April, 13 April, dan 19 April. Persentase infeksi konidia primer pada trips di bunga mawar tertinggi, yaitu pada tanggal 13 April 2012 sebesar 3.33%. Fase konidia primer yang ditemukan pada trips di bunga krisan hanya pada 3 pengamatan, yaitu pada 5 April, 10 April, dan 16 April. Persentase infeksi konidia primer pada 3 pengamatan tersebut sama, yaitu 0.67%. Tingkat infeksi konidia sekunder dan konidia primer dari cendawan Entomophthorales sebelumnya juga telah dilaporkan Siagian (2012), tetapi dengan rata-rata persentase infeksi yang lebih rendah, yaitu kurang dari 2.8%.
35 a 100
Proporsi fase cendawan (%)
90 80 70 60 50 40 30
20 10
0 b 100 90 Proporsi fase cendawan (%)
80 70 Sehat
60
Cendawan Saprofitik
50
Spora Istirahat
40
Hyphal bodies Konidia Sekunder
30
Konidia Primer
20 10 0
Waktu Pengamatan Gambar 11 Proporsi fase cendawan yang menginfeksi trips pada tanaman (a) mawar dan (b) krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur
36 Cendawan Entomophthorales pada Kutudaun Pengamatan preparat kutudaun untuk mengetahui infeksi cendawan Entomophthorales dilakukan pada 120 preparat (1200 kutudaun), dimana 60 preparat berasal dari kutudaun pada tanaman mawar dan 60 preparat lainnya merupakan kutudaun pada tanaman krisan. Cendawan yang diamati juga dibagi menjadi 6 kategori menurut klasifikasi yang dilaporkan Steinkraus et al. (1995), yaitu, secondary conidia (konidia sekunder), hyphal bodies (badan hifa), primary conidia (konidia primer) dan conidiophore, resting spore, dan kategori saprophytic fungi (cendawan saprofit) serta serangga sehat. Berdasarkan kategori tersebut, fase cendawan yang ditemukan pada kutudaun pada tanaman krisan dan mawar adalah konidia primer, konidiofor dan hyphal bodies. Cendawan Entomopatogen yang menginfeksi kutudaun, menurut Keller (2007) adalah cendawan ordo Entomophthorales. Cendawan tersebut secara spesifik menginfeksi arthropoda kecil, termasuk kutudaun. Berdasarkan kunci identifikasi (Keller 2007), cendawan yang menginfeksi kutudaun tersebut diduga merupakan famili Entomophthoraceae, Subfamili Erynioideae. Kondia cendawan Erynioideae dibentuk pada konidiofor yang bercabang (Gambar 12a). Konidiofor yang bercabang pada cendawan Entomophthoraceae yang menginfeksi kutudaun menjadi ciri khas genus Zoophthora dan genus Pandora (Keller 2007). Konidia primer yang ditemukan pada kutudaun di tanaman mawar dan krisan berbentuk bulat telur (Gambar 12b). Apabila dilihat dari ciri tersebut, konidia primer mengarah pada genus Pandora. Papila yang terdapat pada konidia primer tidak terlihat jelas bentuknya, sehingga sulit dibedakan apakah cendawan tersebut lebih mengarah pada genus Zoophthora atau Pandora. Papila pada konidia primer Zoophthora berbentuk kerucut yang ditandai dengan adanya tonjolan dari hyphal bodies. Papila pada konidia primer Pandora lebih mulus dan terhubung dengan hyphal bodies. Hyphal bodies cendawan Erynioideae yang menginfeksi kutudaun ini berbentuk seperti hifa dan tidak beraturan (irregular) (Gambar 12c). Konidia sekunder Erynioideae berbentuk menyerupai konidia primer atau berbentuk bulat.
37 a
b
c
Gambar 12 Cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutudaun di tanaman mawar dan krisan: (a) konidiofor bercabang, (b) konidia primer, (c) hyphal bodies yang tidak beraturan
Infeksi Cendawan Entomophtorales pada Kutudaun di Tanaman Mawar dan Krisan Pengamatan dan pengambilan sampel kutudaun di tanaman mawar dilakukan pada lahan mawar di KP Segunung dan pada kutudaun di tanaman krisan dilakukan pada tanaman indukan di KP Segunung, tepat disamping lahan bunga krisan. Pengambilan sampel kutudaun pada tanaman mawar dan krisan hanya dilakukan seminggu sekali selama 4 kali pengamatan.
Pada awalnya, hanya hama
trips yang menjadi konsentrasi eksplorasi cendawan Entomophthorales pada penelitian ini, tetapi saat pengamatan pertama trips di lapangan, hama kutudaun juga terlihat menyerang kedua jenis tanaman hias tersebut. Serangga inang dalam eksplorasi cendawan Entomophthorales akhirnya diperluas menjadi 2, yaitu trips dan kutudaun. Populasi kutudaun pada kedua jenis tanaman tidak dihitung, karena hanya ingin mencari informasi awal mengenai keberadaan cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutudaun pada tanaman hias. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kutudaun yang terdapat dalam 3 blok tanaman sampel (minimal 100 kutudaun per blok). Keberadaan kutudaun di lapangan ditemukan pada tanaman mawar pada pengamatan ke-1 (22 Maret 2012) dan ke-2 (29 Maret 2012), sedangkan kutudaun pada tanaman krisan ditemukan pada 4 minggu pengamatan (22 Maert, 29 Maret, 5 April, dan 13 April). Sampel kutudaun yang
38 dibuat preparat untuk dianalisis hanya sampel pengamatan ke-1 dan 2, karena kutudaun tidak ditemukan pada tanaman mawar saat pengamatan ke-3 dan 4. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada kutudaun di kedua jenis tanaman berbeda nyata pada kedua pengamatan (22 April dan 29 April) (Tabel 3). Rata-rata infeksi cendawan Entomophthorales pada kutudaun di tanaman krisan lebih tinggi daripada infeksinya pada kutudaun di tanaman mawar pada 2 pengamatan tersebut. Hasil pengamatan pertama menunjukkan sampel kutudaun di tanaman krisan yang terinfeksi sebanyak 64 %, sedangkan di tanaman mawar hanya 10.3%. Kutudaun di tanaman krisan yang terinfeksi pada pengamatan ke-2 menurun dibandingkan pengamatan pertama. Hal ini dapat disebabkan karena penggunaan pestisida dengan dosis yang lebih tinggi yang diaplikasikan 3 hari sebelum pengamatan ke-2 (29 April). Steinkraus (2006) melaporkan bahwa penggunaan pestisida dapat mengurangi populasi kutu daun, demikian juga mempengaruhi penyebaran dan perkembangan epizootik. Fakta tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pestisida sintetik dapat berpengaruh pada dinamika cendawan yang menginfeksi serangga. Proporsi fase cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutudaun pada tanaman mawar (Gambar 13a) dan krisan (Gambar 13b) didominasi oleh hyphal bodies. Pada pengamatan 22 Maret, persentase hyphal bodies pada kutudaun di tanaman mawar sebanyak 10% dan pada 29 Maret meningkat menjadi 16.67%. Infeksi konidia primer dan konidiofor hanya ditemukan pada pengamatan ke-2, yaitu sebanyak 0.33%. Rata-rata tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada kutudaun di tanaman krisan lebih tinggi daripada kutudaun di tanaman mawar. Hal ini terlihat pada ke-2 fase cendawan yang ditemukan menginfeksi kutudaun tersebut. Persentase hyphal bodies yang menginfeksi kutudaun di tanaman krisan pada pengamatan 22 Maret sebesar 63.33%, sedangkan pada pengamatan 29 Maret menurun menjadi 49.67%. Persentase konidia primer dan konidiofor yang menginfeksi kutudaun di tanaman krisan pada pengamatan pertama sama dengan pengamatan kedua, yaitu 0.67%. Konidia sekunder, resting spore, dan cendawan saprofitik tidak ditemukan menginfeksi kutudaun pada tanaman mawar, maupun tanaman krisan.
39 a 100
Proporsi fase cendawan (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 b 100
Proporsi fase cendawan (%)
90
80
Sehat
70
Cendawan Saprofitik
60
Spora Istirahat
50
Hyphal bodies
40
Konidia Sekunder
30
Konidia Primer & Konidiofor
20
10 0 22-Mar 29-Mar Waktu pengamatan Gambar 13 Proporsi fase cendawan yang menginfeksi kutudaun pada tanaman (a) mawar dan (b) krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur
40
Tabel 3 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada kutudaun di tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur (%) Waktu Pengamatan a Jenis tanaman Mawar
22/03/2012
29/03/2012
10.0 ± 1.7a
17.0 ± 3.6a
Krisan
64.0 ± 2.0b 0.000
47.0 ± 3.6b 0.001
P-Value a
Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Tabel 4 Tingkat infeksi nematoda pada trips di tanaman mawar dan krisan di Balai Tanaman Hias Kabupaten Cianjur (%) Jenis tanaman Mawar Krisan
Waktu Pengamatan 5/4/2012 10/4/2012
15/03/2012 19/03/2012 22/03/2012 0 0 0 0
0 0
0 0
0 0
13/04/2012
16/04/2012
19/04/2012
0 0
0 12 .00 ± 1.15 0.67 ± 4.00 1.33 ± 2.31
40
41 Infeksi Nematoda pada Trips Pengamatan preparat trips pada tanaman mawar dan krisan tidak hanya menemukan infeksi cendawan Entomophthorales, tetapi juga adanya beberapa infeksi nematoda di dalam tubuh trips (Gambar 14). Nematoda yang menginfeksi tubuh trips yang menyerang bunga krisan, ditemukan pada pengamatan tanggal 16 April 2012 dan 19 April 2012. Nematoda tersebut hanya ditemukan pada trips yang diambil dari blok ke-3 pada pengamatan 16 April dan pada blok ke-1 pada pengamatan 19 April. Infeksi nematoda dalam tubuh trips yang menyerang bunga mawar hanya ditemukan pada pengamatan terakhir, yaitu 19 April 2012 pada ketiga blok tanaman sampel. Tingkat infeksi nematoda pada trips di tanaman krisan tanggal 16 April sebesar 0.67% dan meningkat pada pengamatan 19 April menjadi 1.33%. Tingkat infeksi nematoda yang ditemukan pada trips di tanaman mawar sebesar 12%. Trips yang terinfeksi nematoda tidak dapat dibedakan secara kasat mata dan trips tersebut masih hidup ketika diambil dari lapangan. Faktor yang menyebabkan trips terinfeksi oleh nematoda tersebut belum dapat ditentukan. Identifikasi spesies nematoda yang menginfeksi trips pada kedua jenis tanaman tersebut belum dapat dilakukan. Berdasarkan penulusuran pustaka, nematoda yang menginfeksi trips pada tanaman mawar dan krisan di Balithi diduga merupakan genus Thripinema.
Thorne (1949 dalam Nguyen 2010) melaporkan
bahwa ada beberapa nematoda yang merupakan parasit atau berasosiasi dengan serangga.
Ordo nematoda yang merupakan parasit pada serangga yaitu ordo
Rhabditida, ordo Tylenchida, ordo Mermithida, dan ordo Oxyurida. Ordo Tylenchida memiliki 2 subordo, yaitu Tylenchia dan Aphelenchia. Famili nematoda dari ordo Tylenchida, subordo Tylenchia yang dilaporkan sebagai parasit pada serangga, di antaranya yaitu: Allantonematidae, Sphaerulariidae, Phaenopsitylenchidae, Iontochidae, Parasitylenchidae, dan Fergusobiidae. Genus Thripinema dari famili Allantonematidae dilaporkan sebagai genus yang menjadi parasit pada berbagai trips yang menjadi hama pada banyak jenis tanaman (Khuong et al. 2003).
42 a
b
c
d
Gambar 14 Trips pada tanaman mawar dan krisan yang terinfeksi nematoda (a dan b), (c) nematoda yang berbentuk seperti cacing, dan (d) nematoda betina yang menyerupai gelendong Famili Allantonematidae memiliki siklus hidup bebas yang sangat pendek. Nematoda betina akan menginfeksi inang setelah kawin menggunakan stiletnya yang kuat dengan panjang stilet ±15 μm. Nematoda betina yang telah memarasit serangga akan bertubuh gemuk, berbentuk bulat atau oval menyerupai gelendong atau kantung. Rongga tubuh nematoda betina sebagian besar diisi oleh organ reproduksi. Nematoda jantan sebagian besar tidak hidup sebagai parasit pada serangga dan memiliki siklus hidup yang singkat di lingkungan (Khuong et al. 2003). Penelitian yang dilakukan Arthurs dan Heinz (2002) menemukan nematoda Thripinema nicklewoodi (Tylenchida: Allantonematidae) sebagai musuh alami
43 dominan yang menginfeksi trips F. Occidentalis (Thysanoptera: Thripidae) yang terdapat pada kuncup bunga tanaman anyelir, krisan, dan mawar di California. Hasil penelitian tersebut menemukan lebih dari 50%
imago betina F.
Occidentalis yang terinfeksi nematoda. Asosiasi nematoda Thripinema terhadap trips tidak menyebabkan kematian, tetapi pada serangga betina dapat menyebabkan penurunan jumlah embrio bahkan menyebabkan kemandulan. Arthus et al. (2003) melaporkan bahwa nematoda menginfeksi larva trips instar 1 dan 2, prapupa dan pupa betina, prapupa dan pupa jantan, imago betina dan juga sedikit menginfeksi imago jantan. Hasil penelitian tersebut merupakan laporan pertama T. nicklewoodi yang dapat menginfeksi trips jantan. Thripinema betina yang masih di luar inang atau belum memarasit berbentuk menyerupai cacing, sama seperti Thripinema jantan. Nematoda betina yang telah mating, menembus tubuh F. occidentalis melalui membran intersegmental, kemudian tubuh nematoda betina menjadi berbentuk bulat menyerupai gelendong. Keturunan jantan maupun betina yang telah dewasa keluar dari serangga inang bersama dengan keluarnya frass atau kotoran (Mason dan Heinz 2002). Perbedaan antara Thripinema jantan dan betina dapat dilihat dari ada atau tidaknya stilet. Thripinema betina yang hidup bebas memiliki stilet, sedangkan Thripinema jantan tidak memiliki stilet (Khuong et al. 2003).
44
KESIMPULAN
Kesimpulan Kelimpahan populasi trips pada kedua jenis tanaman tersebut cukup berfluktuasi dan berbeda nyata pada 2 pengamatan, yaitu 10 April dan 13 April. Fase cendawan Entomophthorales yang ditemukan menginfeksi trips adalah konidia primer, konidia sekunder, dan hyphal bodies, sedangkan pada kutudaun ditemukan konidia primer, konidiofor, dan hyphal bodies. Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada trips berbeda nyata terhadap tanaman mawar dan krisan. Hal serupa juga dialami cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutudaun. Cendawan Entomophthorales pada trips tersebut termasuk genus Neozygites dan pada kutudaun diduga termasuk subfamili Erynioideae. Nematoda juga ditemukan memarasit pada beberapa trips yang diamati. Berdasarkan penelusuran pustaka, Nematoda tersebut diduga dari ordo Tylenchida, subordo Tylenchia, Famili Allantonematidae dengan Genus Thripinema.
Saran Perlu identifikasi spesies serangga inang, penelitian lanjutan mengenai cendawan Entomophtorales untuk menemukan karakterisitk lainnya yang belum ditemukan pada penelitian ini, dengan harapan identifikasi dapat dilakukan sampai tingkat spesies, dan penelitian lebih lanjut mengenai nematoda yang menginfeksi trips pada tanaman hias.
45
DAFTAR PUSTAKA
Ananthakrishnan TN. 1993. Bionomics of thrips. Annual Reviews Entomology. 38: 71-92. Arthurs S, Heinz KM. 2002. In vivo rearing of Thripinema nicklewoodi (Tylenchida: Allantonematidae) and prospects as a biological control agent of Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae). Journal of Economic Entomology. 95(4): 668-674. Arthurs S, Heinz KM, Thompson S, Krauter PC. 2003. Effect of temperature on infection, development and reproduction of the parasitic nematode Thripinema nicklewoodi in Frankliniella occidental. Biocontrol Science and Technology. 48: 417-429. Arthurs S, Heinz KM. 2006. Use of the parasitic nematode Thripinema nicklewoodi as a biological control agent for western flower thrips infesting chrysanthemum. Journal of Nematology. 38(2): 258-303. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi tanaman hias menurut provinsi (tangkai). Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Burge MN, editor. 1988. Fungi in Biological Control System. New York (NY): Manchester University Press. Butt MT, Brownbridge M. 1997. Fungal pathogen of thrips. Di dalam: Parker BL et al., editor. Thrip Biology and Management. Amerika Serikat (US): CAB International. hlm 399. Chu CC, Ciomperlik MA, Chang NT, Richards M, Henneberry T. 2006. Developing and evaluating traps for monitoring Scirtothrips dorsalis (Thysanoptera: Thripidae). Florida Entomology. 89(1): 47-55. Cloyd RA. 2010. Western flower thrips management on greenhouse-grown crops [internet]. Kansas (US): Kansas State University; [2012 Jul 20]. Tersedia pada: http://www.ksre.ksu.edu/library/entml2/mf2922.pdf. Darliah. 1995. Pemuliaan mawar. Jakarta (ID): Balai Penelitian Tanaman Hias Press. Djatnika et al. 2008. Teknologi produksi krisan (Dendrathema grandiflora Tzvelev). Jakarta (ID): Balai Penelitian Tanaman Hias Press. Hatting JL, Humber RA, Poprawski TJ, Miller RM. 1999. A Survey of Fungal Pathogens of Aphids from South Africa, with Special Reference to Cereal Aphids. Journal of Biological Control. 16:1-12.
46 Indiati SW. 2004. Penyaringan dan mekanisme ketahanan kacang hijau M-716 terhadap hama trips. Litbang Pertanian. 23(3). Jankevica L. 2004. Ecological associations between entomopathogenic fungi and pest insects recorded in Latvia. Latvijas Entomologs. 41:60-65. Karlina E. 2011. Pengembangan dan pemanfaatan agens pengendali hayati (APH) terhadap hama dan penyakit tanaman. Suara Perlindungan Tanaman. 1(2). Keller S, Petrini O. 2005. Keys to identification of the arthropod pathogenic genera of the families Entomophthoraceae and Neozygitaceae (Zygomycetes), with descriptions of three new subfamilies and a new genus. Sydowia. 57: 23-53. Keller S, Wegensteiner R. 2007. Introduction. Di dalam: Keller S, editor. Arthropod-pathogenic Entomphthorales: Biology, Ecology, Indentification. Brussels (BE): COST Office. hlm 1-6. Keller S. 1987. Arthropod-pathogenic Entomophthorales (Conidiobolus, Entomophaga and Entomophthora) of Switzerland. Sydowia. 40: 122-167 Keller S. 2007. Fungal struktur and biology. Di dalam: Keller S, editor. Arthropod-pathogenic Entomophthorales: Biology, Ecology, Identification. Brussels (BE): COST Office. hlm 27-54. Khuong B et al. 2003. Taxonomy of insect parasitic nematodes.Tsinghua University Press. 2: 795-878. Lewis T. 1973. Thrips Their Biologi, Ecology, and Economic Importance. London (UK): Academic Press. Lewis T. 1997. Field and laboratory techniques. Di dalam: Lewis T, editor. Thrips as Crop Pests. Oxon (UK): CAB International. hlm 435-466. Lukito AM et al, editor. 2007. Buku Pintar Tanaman Hias .Jakarta (ID): PT Agromedia Pustaka. Maryam A. 1987. Hubungan antara stadia tanaman krisan (Chrysanthemum morifolium) dan perkembangan populasi Macrosiphoniella sanborni (Gill. dan Rhopalosiphum sp. (Homoptera : Aphididae) [Tesis]. Bogor (ID): Entomologi Kesehatan, Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mason JM, Heinz KM. 2002. Biology of Thripinema nicklewoodi (Tylenchida), an Obligate Frankliniella occidentalis (Tshysanoptera) Parasite. Journal of Nematology 34(4):332–339. Montserrat M, Castane C, Santamaria S. 1997. Neozygites parvispora (Zygomycotina: entomophthorales) causing an epizootic in Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae) on cucumber in Spain. Journal of Invertebrate Pathology. 71:165-168.
47 Morse JG, Hoddle MS. 2006. Invansion biology of thrips. Annual Reviews Entomology. 51: 67-89. Mound LA, Kibby G. 1998. Thysanoptera an identification guide Second Edition. Oxon (UK): CAB International. Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Yogyakarta [ID]: Gajah Mada University Press. Nguyen BK. 2010. Insect Nematodes [internet]. [diunduh pada 2012 Jul 17]. Tersedia pada: http://entnemdept.ifas.ufl.edu/nguyen/insectnema/insectnematodes.html. Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta (ID): Penebar Swadaya Purwanto AW, Martini T. 2009. Krisan, Bunga Seribu Warna. Yogyakarta (ID): Kanisius. Rimando TJ. 2001. Ornamental Horticulture: A Little Giant in The Tropics. Los Banos (PH): Seameo Searca. Rukmana R. 1995. Mawar. Yogyakarta (ID): Kanisius. Saputra SM. 2012. Florikultura-gerakan kota hijau pacu permintaan tanaman hias [internet]. Bisnis Indonesia. Rubrik Bisnis dan Investasi. [diunduh 2012 Jul 19]. Tersedia pada: http://www.bisnis.com/articles/florikulturagerakan-kota-hijau-pacu-permintaan-tanaman-hias. Scorsetti AC, Maciá A, Steinkraus DC, Lastra CL. 2010. Prevalence of Pandora neoaphidis (Zygomycetes: Entomophthorales) infecting Nasonovia ribisnigri (Hemiptera: Aphididae) on lb7ettuce crops in Argentina. Biological Control. 52: 46–50. Siagian IU. 2012. Keragaman spesies trips dan musuh alaminya pada tanaman mawar di Taman Bunga Nusantara Kabupaten Cianjur Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insects Concepts and Application. United Kingdom [UK]: Alden Press Ltd. Steinkraus DC, Slaymaker PH. 1991. Effect of temperature and humidity on formation, germination, and infectifity of conidia of Neozygites fresenii (Zygomycetes: Neozygitaceae) from Aphis gossypii (Homoptera: Aphididae). Journal of Invertebrate Pathology. 54: 130-137. Steinkraus DC, Hollingsworth RG, Slaymaker PH. 1995. Prevalence of Neozygites fresenii (Entomophthorales: Neozygitaceae) on the cotton aphids (Homoptera: Aphididae) in Arkansas cotton. Environmental Entomology. 24: 465-474.
48 Steinkraus, DC. 2006. Factors affecting transmission of fungal pathogens of aphids. Journal of Invertebrate Pathology. 92: 125–131. Suhardi. 2007. Pengelolaan hama dan penyakit tanaman hias di rumah plastik. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia. 29(1): 11-12. Whipps JM, Lumsden RD. 1988. Commercial use of fungi as plant disease biological control agents: status and prospects. Di dalam: Burge MN, editor. Fungi in Biological Control System. New York (US): Manchester University Press. hlm 9. Wilding N. 1981. Pest control by entomophthorales. Di dalam: Burges HD, editor. Microbial Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. New York (US): Academic Press. hlm 539-554.
49
LAMPIRAN
50 Lampiran 1 Populasi trips pada tanaman mawar di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur Jumlah Trips (indivdu/bunga/ 20 tepuk) Total trips (individu/ Waktu Blok 3 Blok 1 Blok 2 30 bunga/ 30 tanaman) pengamatan 15/03/2012 42 140 107 289 19/03/2012 71 93 136 300 22/03/2012 106 77 103 286 05/04/2012 98 147 142 387 10/04/2012 105 137 93 335 13/04/2012 127 115 117 359 16/04/2012 118 187 128 433 19/04/2012 175 127 94 396 Total 842 1023 920 2785 Lampiran 2 Populasi trips pada tanaman krisan di Balai penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur Jumlah Trips (indivdu/bunga/ 20 tepuk) Total trips (individu/ Waktu Blok 3 Blok 1 Blok 2 pengamatan 30 bunga/ 30 tanaman) 15/03/2012 60 42 68 170 19/03/2012 101 121 80 302 22/03/2012 214 232 156 602 05/04/2012 184 166 209 559 10/04/2012 321 291 294 906 13/04/2012 244 234 311 789 16/04/2012 261 143 166 570 19/04/2012 152 233 188 573 Total 1537 1462 1472 4471
51
Lampiran 3 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales dan nematoda pada trips di tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur (%) Blok tanaman
Kriteria Hyphal Resting Bodies Spores
Waktu Pengamatan
Jenis Tanaman
15/03/2012
Mawar Mawar Mawar
1 2 3
0 0 0
0 0 0
2.3 12 2
0 0 0
0 0 0
97.7 88 98
0 0 0
15/03/2012
Krisan Krisan Krisan
1 2 3
0 0 0
2 2 0
52 46 32
0 0 0
0 0 0
46 52 68
0 0 0
19/03/2012
Mawar Mawar Mawar
1 2 3
0 0 0
2 4 0
2 6 2
0 0 0
0 0 0
96 90 98
0 0 0
19/03/2012
Krisan Krisan Krisan
1 2 3
0 0 0
2 0 0
44 64 68
0 0 0
0 0 0
54 36 32
0 0 0
22/03/2012
Mawar Mawar Mawar
1 2 3
0 0 0
4 0 14
2 17.4 6
0 0 0
0 0 0
94 82.6 80
0 0 0
Konidia Konidia Primer Sekunder
Cendawan Saprofitik
Sehat
Infeksi nematoda
51
52
Kriteria Hyphal Resting Bodies Spores
Jenis Tanaman
Blok tanaman
22/03/2012
Krisan Krisan Krisan
1 2 3
0 0 0
2 0 2
50 54 46
05/04/2012
Mawar Mawar Mawar
1 2 3
0 0 2
4 6 14
05/04/2012
Krisan Krisan Krisan
1 2 3
0 2 0
10/04/2012
Mawar Mawar Mawar
1 2 3
10/04/2012
Krisan Krisan Krisan
13/04/2012
Mawar Mawar Mawar
Konidia Konidia Primer Sekunder
Cendawan Saprofitik
Sehat
0 0 0
0 0 0
48 46 52
Infeksi nematoda 0 0 0
10 16 14
0 0 0
0 0 0
86 78 70
0 0 0
2 2 2
40 42 50
0 0 0
0 0 0
58 54 48
0 0 0
0 4 0
6 2 10
8 2 6
0 0 0
0 0 0
86 92 84
0 0 0
1 2 3
2 0 0
2 0 0
52 44 12
0 0 0
0 0 0
44 56 88
0 0 0
1 2 3
4 6 0
6 2 10
18 68 42
0 0 0
0 0 0
72 24 48
0 0 0
52
Waktu Pengamatan
53
Blok tanaman
Kriteria Hyphal Resting Bodies Spores
Waktu Pengamatan
Jenis Tanaman
13/04/2012
Krisan Krisan Krisan
1 2 3
0 0 0
0 0 0
34 14 24
16/04/2012
Mawar Mawar Mawar
1 2 3
0 0 0
4 6 0
16/04/2012
Krisan Krisan
1 2
Krisan
3
0 0 2
19/04/2012
Mawar Mawar Mawar
1 2 3
19/04/2012
Krisan Krisan Krisan
1 2 3
Konidia Konidia Primer Sekunder
Cendawan Saprofitik
Sehat
0 0 0
0 0 0
66 86 76
Infeksi nematoda 0 0 0
62 58 62
0 0 0
0 0 0
34 36 38
0 0 0
2 0 4
24 32 32
0 0
0 0
0
0
74 68 62
0 0 2
6 2 0
2 4 10
54 44 58
0 0 0
0 0 0
38 50 32
8 12 16
0 0 0
0 2 0
32 40 42
0 0 0
0 0 0
68 58 58
4 0 0
53
54 Lampiran 4 Kutudaun yang menyerang pertanaman (a) mawar dan (b) krisan di Balithi a b
55
Lampiran 5 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales dan nematoda pada kutudaun di tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur (%) Blok ke-
Kriteria Konidia Konidia Hyphal Resting Primer Sekunder Bodies Spores
Waktu Pengamatan
Jenis Tanaman
22/03/2012
Mawar Mawar Mawar
1 2 3
0 0 0
0 0 1
9 12 9
22/03/2012
Krisan Krisan Krisan
1 2 3
2 0 0
0 0 0
29/03/2012
Mawar Mawar Mawar
1 2 3
0 1 0
29/03/2012
Krisan Krisan Krisan
1 2 3
1 0 1
Cendawan Saprofitik
Sehat
Infeksi nematoda (%)
0 0 0
0 0 0
91 88 90
0 0 0
60 64 66
0 0 0
0 0 0
38 36 34
0 0 0
0 1 1
13 19 18
0 0 0
0 0 0
87 89 81
0 0 0
0 0 0
50 44 45
0 0 0
0 0 0
49 56 54
0 0 0
55
56 Lampiran 6 Waktu Pengamatan 15 Maret 2012
19 Maret 2012
22 Maret 2012
5 April 2012
10 April 2012
13 April 2012
16 April 2012
19 April 2012
Hasil uji-t populasi trips pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur (taraf nyata 5%) Output
Mawar
Mean St Dev T-Value P-Value
96.30 49.90
Mean St Dev T-Value P-Value
100.00 33.10
Mean St Dev T-Value P-Value
95.30 15.90
Mean St Dev T-Value P-Value
129.00 27.00
Mean St Dev T-Value P-Value
111.70 22.70
Mean St Dev T-Value P-Value
119.67 6.43
Mean St Dev T-Value P-Value
144.30 37.30
Mean St Dev T-Value P-Value
132.00 40.70
Krisan
1.33 0.315
-0.03 0.978
-4.26 0.051
-2.87 0.064
-11.73 0.001
-5.86 0.028
-1.09 0.357
-1.78 0.174
Kesimpulan
56.70 13.30
Populasi trips di tanaman mawar dan krisan tidak berbeda nyata
100.70 20.50
Populasi trips di tanaman mawar dan krisan tidak berbeda nyata
200.7 39.7
Populasi trips di tanaman mawar dan krisan tidak berbeda nyata
186.30 21.60
Populasi trips di tanaman mawar dan krisan tidak berbeda nyata
302.00 16.50
Populasi trips di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata
263.00 41.90
Populasi trips di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata
190.00 62.60
Populasi trips di tanaman mawar dan krisan tidak berbeda nyata
191.00 40.60
Populasi trips di tanaman mawar dan krisan tidak berbeda nyata
57 Lampiran 7 Hasil uji-t tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap trips pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur (taraf nyata 5%) Waktu Pengamatan 15 Maret 2012
19 Maret 2012
22 Maret 2012
5 April 2012
10 April 2012
13 April 2012
16 April 2012
19 April 2012
Output
Mawar
Mean St Dev T-Value P-Value
5.42 4.06
Mean St Dev T-Value P-Value
5.33 4.16
Mean St Dev T-Value P-Value
14.47 7.45
Mean St Dev T-Value P-Value
21.33 7.02
Mean St Dev T-Value P-Value
11.33 6.43
Mean St Dev T-Value P-Value
48.70 23.20
Mean St Dev T-Value P-Value
64.00 2.00
Mean St Dev T-Value P-Value
60.00 9.17
Krisan
5.63 0.050
-7.52 0.002
-7.93 0.001
-4.86 0.008
-1.92 0.127
1.69 0.166
10.45 0.000
3.54 0.024
Kesimpulan
44.7 11.4
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada trips di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata
59.30 11.7
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada trips di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata
51.33 3.06
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada trips di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata
46.00 5.29
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada trips di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata
36.7 21.9
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada trips di tanaman mawar dan krisan tidak berbeda nyata
24.00 10.00
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada trips di tanaman mawar dan krisan tidak berbeda nyata
31.33 5.03
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada trips di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata
40.00 3.46
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada trips di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata
58 Lampiran 8 Hasil uji-t tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap kutudaun pada tanaman mawar dan krisan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kabupaten Cianjur (taraf nyata 5%) Waktu Pengamatan 22 Maret 2012
29 Maret 2012
Output
Mawar
Mean St Dev T-Value P-Value
10.33 1.53
Mean St Dev T-Value P-Value
17.67 4.16
Krisan
-36.94 0.000
-9.22 0.001
Kesimpulan
64.00 2.00
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada kutu daun di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata
47.00 3.61
Tingkat infeksi cendawan entomophtorales pada kutu daun di tanaman mawar dan krisan berbeda nyata