UNIVERSITAS INDONESIA
PRASASTI KALADI 831 ŚAKA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
ANJALI NAYENGGITA 0606086464
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ARKEOLOGI DEPOK JULI 2012
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
ii Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
iii Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
iv Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
KATA PENGANTAR
Pertama saya panjatkan puja dan puji kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan ridho dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Tidak lupa penulis juga mengucapkan syukur kepada-Nya atas karunia dan pertolongannya kepada saya. Saya sadar bahwa skripsi ini tidak dapat tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak mulai dari penulis kuliah hingga menyusun skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Dr. Ninie Soesanti Tedjowasono S.S, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu bersedia meluangkan waktu, tenaga, kesabaran, memberikan banyak masukan juga arahan dalam penyusunan skripsi ini Terima kasih pula saya ucapkan kepada Dr. Supratikno Raharjo M.Hum dan Andriyati Rahayu M.Hum selaku pembaca dan penguji atas masukan saran dan arahannya; 2) Museum Nasional, khususnya kepada Dra. Ekowati Sundari M.Hum selaku kepala bidang Arkeologi di Museum Nasional, Ibu Desrika Retno W S.S, dan Fifia Wardhani S.Hum yang membantu saya dalam pencarian data di Museum Nasional; 3) Dosen-dosen dan para staf pengajar Program Studi Arkeologi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua pengetahuan yang diberikan, pengalaman berharga, dan nilai-nilai lain yang terniTerima kasih yang tak terbatas selama perkuliahan; 4) Ibu, Bapak, adik saya Kalya Risangdaru, atas semua cinta, kasih sayang, doa dan restu serta bantuan yang diberikan sehingga saya bisa menyelesaikan perkuliahan, semoga saya diberikan kesempatan untuk membahagiakan Ibu, Bapak dan Adik. Eyang Putri, Lintang Rucita sepupu seperjuangan dalam skripsi, serta keluarga besar Moedhakir Wirogoeno dan Risyitno Sumo Prayitno atas dukungan juga motivasi penuh dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih terdalam saya ucapkan kepada Alm. Eyang Kakoeng tercinta yang sangat saya rindukan, yang telah memperkenalkan saya kepada Arkeologi sehingga saya termotivasi untuk mendalami bidang Arkeologi;
v Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
5) Teman-teman Arkeologi 2006, yaitu; Rizky Fardhyan selaku ketua angkatan, pemberi dorongan semangat dengan kata-katanya yang kaku sehingga saya bisa terus termotivasi. Teman seperjuangan, Yogi Abdi Nugroho. Kepada para wanita 2006 yaitu Lolita Tobing, Clara Agustin, Virta Permata Sari, atas motivasi dan dorongan yang sangat keras kepada saya. Alvin Abdul Jabbar, Jaka Marsita, Achmad Ghazali, Ario Febrianto, Zulfikar Fauzi, Rifky Firdaus Hutomo Putera, Tornado Gregorius, Agnilasa Pratiko, Prayogi Arie, Yusi Bimantoro, Edy Gunawan, Agung Nugraha, serta Virginia Laili. 6) Kepada Kemas Andrey Hamzah Darpo Kusumo yang menjadi limpahan keluh kesah saya, penyemangat dalam suka duka juga pendengar yang baik, terima kasih atas segala bantuan, perhatian dan kasih sayangnya; 7) Terima kasih kepada seluruh teman-teman KAMA, yaitu; Randu Andreanto dan Dyah Prastiningtyas ’02 atas segala bantuannya juga kepada seluruh angkatan 2002. Mentor tercinta, Dhani ’04, Tifa ’04, Widya ’05, Rendy ’05, dan Oksy ’03. Kepada Dian dan Rauf yang mengizinkan kontrakannya digunakan sebagai tempat pengasingan untuk menyusun skripsi, serta seluruh angkatan 2001 Kepada Shalihah serta seluruh angkatan 2003. Kepada Nissa, Prita, Sekar, Ricky, Dimas, Yoki dan seluruh angkatan 2004. Kepada Thanti, Suci, Poppy, Regina, Moko, Lie, Ndin, Juju, Nenek dan seluruh angkatan 2005. Kepada Deasy, Devy, Ghilman, Iqbal, Wira dan angkatan 2007. Kepada Rangga, Ayi, Lisda, Tika, Fina, Adis dan seluruh angkatan 2008. Kepada Nico, Abi, Ibel, Ika, Dwi, Echa, Betsy dan angkatan 2009. Kepada Ochep, Daniel, Ayu, Nissa, Irene, Daru, dan angkatan 2010. Kepada Hanna, Nadia, Minus, Dicky, Ummi, dan angkatan 2011. Serta untuk KAMA yang telah membantu dalam mendalami bidang arkeologi dan memberikan banyak pengalaman berharga semasa perkuliahan; 8) Kepada Karin, Helmi, Damai, Ella, Yuliadi, Marul, Adita, Ujon, Memes, Kyu, Danang, Dian Nisa dan teman-teman Arkeologi UGM yang telah banyak memberikan dukungan serta bantuan, Sukma dari Arkeologi UNUD, temanteman FIB UI di jurusan lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, serta kepada teman kost yaitu Mecca, Meizvira, Yoan dan Lala, terima kasih atas persahabatan dan waktunya selama ini.
vi Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
vii Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
viii Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
ABSTRAK
Nama : Anjali Nayenggita Program Studi : Arkeologi Judul : Prasasti Kaladi 831 Śaka Prasasti Kaladi berasal dari masa Mataram Kuno dalam masa kepemimpinan Śrī Maharāja Rakai Watukura Dyah Balitung Śrī Dharmmodaya Mahāsambhu. Prasasti Kaladi berisi mengenai penetapan sīma di desa Kaladi, Gayam, dan Pyapya. Prasasti Kaladi diperkirakan adalah prasasti tinulad dan banyak kesalahan terhadap pembacaannya, karena itu dilakukan pembacaan ulang. Pada penelitian ini juga dilakukan pembuktian ke-tinulad-an dari prasasti Kaladi. Dilakukan perbandingan dengan prasasti masa Balitung lainnya untuk membuktikan ketinulad-an prasasti Kaladi. Kata Kunci: Prasasti, Balitung, Kaladi, Jawa Kuno, Mataram Kuno
ABSTRACT
Name : Anjali Nayenggita Study Program : Archaeology Title : Prasasti Kaladi 831 Śaka Kaladi inscription comes from the Ancient Mataram in the leadership of Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahāsambhu. Kaladi inscription contains the determination of sima in the village of Kaladi, Gayam, and Pyapya. Kaladi inscription is an tinulad inscription which has a lot of errors on the transcription and should be re-reading. This study was also conducted on the evidence of inscriptions tinulad Kaladi's. A comparison made with other Balitung’s inscriptions to prove the tinulad of Kaladi's inscription. Keywords: Inscription, Balitung, Kaladi, Ancient Java, Ancient Mataram.
ix Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
x
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR FOTO DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1. 2 Tujuan Penelitian 1. 3 Metode Penelitian 1. 4 Sistematika Penulisan
ii iii iv v viii ix x xii xiii xiv 1 1 5 5 7
BAB II DESKRIPSI SUMBER DATA 2. 1 Riwayat Penelitian 2. 2 Keadaan Prasasti 2. 3 Aksara 2. 4 Bahasa 2. 5 Ejaan 2. 5. 1 Penulisan ě pěpět 2. 5. 2 Pemakaian Vokal Panjang 2. 5. 3 Pemakaian Vokal Rangkap 2. 5. 4 Ejaan Konsonan 2. 5. 5 Vokalisasi U dan I 2. 5. 6 Struktur Prasasti
8 8 9 17 18 18 19 19 19 20 20 21
BAB III ALIH AKSARA DAN ALIH BAHASA 3. 1 Alih Aksara 3. 2 Alih Bahasa
24 24 33
BAB IV PEMBAHASAN 4. 1 Kritik 4. 1. 1 Kritik Ekstern 4. 1. 1. 1 Materi (Bahan dan Bentuk) 4. 1. 1. 2 Jumlah Baris 4. 1. 1. 3 Ukuran Prasasti 4. 1. 1. 4 Aksara (Paleografi) 4. 1. 1. 5 Unsur Kronologi 4. 1. 2 Kritik Intern 4. 1. 2. 1 Bahasa 4. 1. 2. 2 Struktur Prasasti 4. 2 Interpretasi
41 41 43 43 44 46 47 50 53 53 56 60
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
xi
4. 2. 1 4. 2. 2 4. 2. 3 4. 2. 4
Identifikasi Waktu Identifikasi Tokoh Identifikasi Tempat Identifikasi Peristiwa
BAB V PENUTUP DAFTAR PUSTAKA
60 60 62 63 66 68
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
xii
DAFTAR FOTO
Foto 2. 1 Foto 2. 2 Foto 2. 3 Foto 2. 4 Foto 2. 5 Foto 2. 6 Foto 2. 7 Foto 2. 8 Foto 2. 9 Foto 2. 10 Foto 2. 11 Foto 2. 12 Foto 2. 13 Foto 2. 14 Foto 2. 15 Foto 2. 16 Foto 2. 17
Anomali Bentuk Aksara Prasasti Kaladi I (a) Prasasti Kaladi I (b) Prasasti Kaladi II (a) Prasasti Kaladi II (b) Prasasti Kaladi IV (a) Prasasti Kaladi IV (b) Prasasti Kaladi VI (a) Prasasti Kaladi VI (b) Prasasti Kaladi VII (a) Prasasti Kaladi VII (b) Prasasti Kaladi VIII (a) Prasasti Kaladi VIII (b) Prasasti Kaladi IX (a) Prasasti Kaladi IX (b) Prasasti Kaladi X (a) Prasasti Kaladi X (b)
9 10 10 11 11 12 12 13 13 14 14 15 15 16 16 17 17
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8.
Prasasti-Prasasti Masa Rakai Watukura Dyah Balitung Jumlah Baris Pada Bagian Rekto Verso Prasasti Tembaga Unsur Fisik Prasasti Sima Berbahan Tembaga Pada Masa Rakai Watukura Dyah Balitung Perbandingan Aksara Beberapa Prasasti Balitung Perbandingan pertanggalan beberapa prasasti Balitung dengan prasasti Majapahit Kesalahan Penulisan Oleh Citraleka Struktur Prasasti Sima Pada Prasasti Tembaga Masa Rakai Watukura Dyah Balitung Perbandingan Urutan Formula Prasasti Sīma
42 45 47 49 53 54 57 59
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2.
Alih Aksara oleh A.S Wibowo dan Boechari Alih Aksara oleh Barret Jones
70 77
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Prasasti dalam kamus istilah arkeologi berarti pertulisan kuna yang biasanya dipahatkan atau digoreskan di atas batu, logam, atau daun tal (lontar). Sebagian besar prasasti dikeluarkan oleh raja-raja atau pejabat tertentu sejak abad kelima (Ayatrohaedi 1978:137). Prasasti yang lazim ditemukan di Indonesia adalah prasasti berisikan sima, yaitu berisi keputusan mengenai penetapan sebuah desa atau daerah menjadi perdikan (sima). (Djafar, 2001:42). Keterangan-keterangan yang terdapat di dalam bagianbagian prasasti apabila diteliti dengan seksama dapat memberikan gambaran yang amat menarik tentang struktur kerajaan, struktur birokrasi, struktur kemasyarakatan, struktur perekonomian, agama, kepercayaan, dan adat istiadat di dalam masyarakat Indonesia kuno (Boechari 1977:22). Prasasti dapat dikatakan menjadi sumber utama untuk mengetahui hak dan kewajiban seseorang, sesuatu desa ataupun sesuatu bangunan suci tertentu, bahkan kadang-kadang dapat pula peristiwa sejarah yang penting yang menyebabkan ditentukannya hak dan kewajiban tersebut. (Wibowo 1977:83). Menurut isinya, prasasti dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain (1). prasasti Jayapatra (Jayasong) adalah prasasti yang berisi keputusan hukum yang diberikan pada pihak yang menang di dalam pengadilan. (2). Piagem adalah prasasti yang ditulis pada masa kerajaan Islam. Ditemukan dalam bentuk lempengan tembaga. Berisi pemberian anugerah kenaikan pangkat atau pemberian hak-hak istimewa kepada pejabat yang berjasa kepada kerajaan atau perundangan. (3). Prasasti śīma berisi maklumat raja atau bangsawan untuk menjadikan suatu daerah menjadi sima (sima adalah suatu wilayah yang statusnya berubah dalam hal perpajakan karena dibebani kewajiban pemeliharaan bangunan keagamaan, sarana umum dan kepentingan balas jasa raja pada seseorang (4). Prasasti Suddhapattra adalah prasasti
1
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
2
yang berisi pelunasan hutang atau proses gadai. (5). Prasasti pada nisan adalah prasasti masa Islam berupa tulisan pada batu nisan sultan, bangsawan dan pejabat tinggi yang berisi keterangan tentang kapan orang tersebut meninggal disertai kutipan ayat Al-Quran. (6). Prasasti masa kolonial didapat keterangan dari batu-batu kubur di kompleks gereja-gereja tua, dibuatnya sebuah benteng dan tugu peringatan (Soesanti, 1997: 137). Penelitian prasasti-prasasti dan pengunaannya sebagai sumber sejarah kuna telah sejak lama pula dilakukan, namun hampir semua prasasti itu masih mempunyai permasalahan yang belum terselesaikan dengan memuaskan. Salah satu permasalahan yang amat penting dan mendasar adalah pembacaannya (Djafar, 1991 : 1-2). Penelitian yang lebih mendalam terhadap prasasti-prasasti masih harus dilakukan, karena meskipun sebagian prasasti-prasasti itu telah dibaca dan diterbitkan, kebanyakan masih dalam bentuk transkripsi sementara. Tugas seorang ahli epigrafi sekarang ini tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga meneliti kembali prasasti-prasasti yang baru terbit dalam bentuk transkripsi sementara, kemudian ia harus menterjemahkan prasasti-prasasti itu dalam bentuk transkripsi sementara, kemudian ia harus menterjemahkan prasasti-prasasti itu ke dalam bahasa modern sehingga sarjana-sarjana lain, terutama para ahli sejarah dapat menggunakan keterangan-keterangan yang terkandung dalam prasasti tersebut (Boechari, 1977 : 3). Penelitian ini akan mengkaji ulang Prasasti Kaladi. Prasasti ini dipahatkan di atas tembaga, keseluruhan prasasti ini berjumlah 10 lempeng, tetapi 2 lempeng tembaga tersebut hilang. Prasasti Kaladi ditemukan di area Gunung Penanggungan, Jawa Timur. Menurut Damais, prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad yang dibuat pada masa akhir Majapahit dan memiliki banyak kesalahan pada penulisannya karena itulah peneliti merasa pengkajian ulang terhadap Prasasti Kaladi menjadi penting. Prasasti Kaladi berisikan mengenai sīma yang berasal dari masa Mataram Kuna, yang dikeluarkan oleh Śrī Maharāja Rakai Watukura Dyah Balitung Śrī Dharmmodaya Mahāsambhu pada tahun 831 Ś. Dyah Balitung merupakan raja yang memerintah Mataram kuna setelah Rakai Kayuwangi.
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
3
Dari pemerintahannya yang berlangsung selama kira-kira 12 tahun (899-911 M.) ditemukan kembali sekitar 28 prasasti – tidak termasuk yang rangkap -, baik di atas batu maupun di atas perunggu. Yang menarik ialah bahwa ada sebagian prasastinya yang terdapat di Jawa Timur ia memakai gelar abhiseka Srī Iśwarakeśawa Śamarotungga, yaitu di dalam prasasti Watukura tahun 824 Śaka (27 Juli 902 M) dan prasasti Kiněwu tahun 829 Śaka (20 November 907 M). Gelar abhiseka ini tidak dipakai di dalam prasasti-prasastinya yang ada di Jawa Tengah (Soemadio,1993: 136). Gelar yang digunakan di Jawa Tengah adalah Śrī Maharāja Rakai Watukura Dyah Balitung Śrī Dharmmodaya Mahāsambhu. Prasasti-prasasti yang dikeluarkan Dyah Balitung diantaranya adalah: Prasasti Telahap 820 Ś, Prasasti Penampihan 820 Ś, Prasasti Ayam Teas I 822 Ś, Prasasti Ayam Teas II 822 Ś, Prasasti Taji 823 Ś, Prasasti Luitan 823 Ś, Prasasti Kayu Ara Hiwang 823 Ś, Prasasti Rongkab 823 Ś, Prasasti Watukura A 824 Ś, Prasasti Panggumulan A 824 Ś, Prasasti Panggumulan B 825 Ś, Prasasti Telang I 825 Ś, Prasasti Telang II 825 Ś, Prasasti Ketanen 826 Ś, Prasasti Rumwiga I 826 Ś, Prasasti Rumwiga II 827 Ś, Prasasti Poh (Randusari) 827 Ś, Prasasti Kubu-Kubu 827 Ś, Prasasti Kikil Batu I 827 Ś, Prasasti Kikil Batu II 827 Ś, Prasasti Rabwan 827 Ś, Prasasti Palepangan 828 Ś, Prasasti Kandangan 828 Ś, Prasasti Mantyasih I 829 Ś, Prasasti Mantyasih II 829 Ś, Prasasti Matyasih III 829 Ś, Prasasti Sangsang 829 Ś, Prasasti Rukam 829 Ś, Prasasti Guntur 829 Ś, Prasasti Kasugihan 829 Ś, Prasasti Kinewu 829 Ś, Prasasti Barsahan 830 Ś, Prasasti Sang Makudur 830 Ś, Prasasti Turu Mangambil 830 Ś, Prasasti Wukajana 830 Ś, Prasasti Wanua Tengah III Ś, Prasasti Kaladi 831 Ś, Prasasti Tulangan 832 Ś. Bahwa ia naik tahta karena perkawinan mungkin dapat disimpulkan dari prasasti Mantyāsih tahun 829 Ś (11 April 907 M) . Prasasti ini memperingati pemberian anugerah sīma kepada 5 orang patih di daerah Mantyāsih karena jasa-jasa mereka telah mempersembahkan kerja bakti pada waktu perkawinan raja, telah menjaga keamanan di desa Kuning, yang penduduknya selalu merasa ketakutan, dan karena tidak pernah alpa dalam mempersembahkan kebaktian kepada bangunan suci Malangkuśeśwara, Puteśwara, Kutusan, Silabhedeśwara dan Tuleśwara. Bahwa
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
4
perkawinan raja disebutkan di dalam prasasti memang sesuatu yang langka, dan mungkin sekali menunjukkan bahwa perkawinan itu amat penting artinya bagi Rakai Watukura, dan bahwa mungkin sekali tanpa perkawinan itu tidak pernah ia duduk di atas tahta kerajaan Mataram (Soemadio,1993: 137). Isi prasasti Kaladi merupakan prasasti sīma yang isinya merupakan peresmian tanah-tanah di desa Kaladi, Gayam, dan Pyapya sebagai sīma, penyebabnya adalah hutan di pinggir desa tersebut membuat rakyat ketakutan karena adanya mariwuᶇ dan menyebabkan para banyāga menjadi melarat, kemudian hutan tersebut dijadikan sawah yang berguna. Selanjutnya prasasti menyebutkan nama-nama pejabat dan juga pasak-pasak yang diberikan kepada para pejabat, dan sapata bagi yang melanggar sīma tersebut. Prasasti Kaladi adalah salah satu prasasti yang menjelaskan mengenai adanya kasus perbanditan. Boechari dalam artikelnya, menuliskan mengenai perbanditan tersebut. Pembegalan terjadi terhadap para pedagang dan para nelayan yang melewati hutan yang memisahkan desa Gayām dan Pyapya. Para pembegal diketahui berasal dari Mariwung. selesai melakukan aksinya para pembegal itu menghilang masuk ke hutan araṇan sebelum kembali ke desanya. Mungkin sekali para pembegal itu tidak segansegan melukai atau bahkan membunuh kurbannya yang berani memberikan perlawanan, sehingga dapatlah dipahami mengapa penduduk desa Kaladi, Gayām dan Pyapya selalu merasa ketakutan (Boechari,1968: 168-169). Prasasti Kaladi sudah pernah dialihaksarakan oleh Damais, tetapi tidak terdapat alih bahasa. A.S Wibowo dan Boechari pernah mengalihaksarakan tetapi tidak membuat alihbahasa dari prasasti Kaladi. Jones mengalihaksarakan dan mengalihbahasakan isi prasasti Kaladi. Dari semua penelitian tersebut, ditemukan banyaknya perbedaan pendapat dalam pembacaan, dan menyebabkan kesalahan penafsiran dari isi prasasti yang mengakibatkan kesalahan penulisan dalam sejarah, karena itu prasasti Kaladi penting untuk ditelaah ulang. Penelitian ini merupakan analisis kritis terhadap prasasti Kaladi. Penelitian ini juga berusaha membuktikan pendapat Damais yang mengatakan bahwa
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
5
prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad, hal tersebut akan ditinjau dari aspek fisik dan isi dari prasasti Kaladi. Masalah lain yang ditemukan adalah prasasti ini diduga oleh Damais adalah prasasti tinulad, karena itu dilakukan penelitian terhadap prasasti Kaladi untuk menguji kelayakan data prasasti ini untuk melengkapi sejarah pada masa Balitung.
1.2 Tujuan Penelitian Prasasti Kaladi menarik untuk dikaji ulang, karena pada prasasti ini terdapat banyak kesalahan pembacaan yang dilakukan oleh pembaca sebelumnya, yaitu Damais, Jones, Boechari dan A.S Wibowo. Prasasti ini juga diduga kuat sebagai prasasti tinulad, sehingga banyak ketidaktepatan dalam penulisan dan juga penggunaan bahasanya. Tujuan penelitian Prasasti Kaladi adalah: 1. Pembacaan ulang Prasasti Kaladi dimaksudkan untuk melengkapi dan mengoreksi hasil bacaan oleh ahli sebelumnya, sehingga isi dari prasasti ini dapat dipertanggung jawabkan dengan memperbaiki pembacaan, alih bahasa dan memberi catatan alihaksara (aparatus kritik), sehingga data historis yang dihasilkan dianggap memadai. 2. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencoba membuktikan ke-tinulad-an Prasasti Kaladi dari aspek fisik dan isi. 3. Isi dari prasasti Kaladi diharapkan dapat melengkapi peristiwa sejarah, khususnya pada masa kekuasaan Dyah Balitung, karena prasasti ini dikeluarkan oleh Śrī Maharāja Rakai Watukura Dyah Balitung Śrī Dharmmodaya Mahāsambhu.
1.3 Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, prasasti sebagai data arkeologi menjadi bahasan utama. Dilakukan alih aksara dan alih bahasa terhadap isi prasasti. Tahapan yang dilakukan pada penelitian ini adalah tahap heuristik (pengumpulan data), kritik, interpretasi, dan historiografi.
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
6
a. Heuristik (Pengumpulan Data) Tahap pertama adalah heuristik. Peneliti mengumpulkan data dan keterangan mengenai prasasti yang dikaji yaitu Prasasti Kaladi. Hal yang dilakukan pertama adalah pendokumentasian mengenai nomor inventaris, tempat ditemukan, dan tempat disimpannya prasasti Kaladi. Kemudian dilakukan pendeskripsian mengenai bahan, ukuran, keadaan dan aksara yang terdapat pada prasasti. Mengumpulkan referensi mengenai prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Balitung dan data-data sejarah pada masa pemerintahan Dyaḥ Balitung. Berikutnya dilakukan dokumentasi terhadap prasasti Kaladi berupa foto. Peneliti juga melakukan studi pustaka mengenai penelitian tentang prasasti Kaladi yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. b. Tahap Kritik Dalam tahap kritik, dilakukan dua macam kritik, yaitu kritik ektern dan intern pada prasasti. Pada kritik ekstern dilakukan pengkajian mengenai keotentisitasan data yaitu verifikasi mengenai, tempat ditemukan, asal usul, bahan, jumlah, ukuran prasasti, dan aksara. Kemudian dilakukan kritik intern, yaitu verifikasi mengenai kredibilitas data. Kritik ini dilakukan pada isi dan bahasa yang terdapat pada prasasti. Pengujian bahasa pada prasasti dimulai dari kata, kalimat, dan wacana. Tahap ini dilakukan dengan cara analogi dengan prasasti-prasasti sejaman untuk menemukan pola penulisan kata, kalimat, aksara yang lazim digunakan pada masa tersebut. c. Tahap Interpretasi Tahap selanjutnya adalah penafsiran data yang diperoleh dari isi prasasti dengan data pembanding dan diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Interpretasi dilakukan pada isi dari prasasti Kaladi, terjemahan dari prasasti akan dikaji secara keseluruhan untuk mendapatkan narasi mengenai isi prasasti tersebut. Serta dilakukan perbandingan-perbandingan terhadap isi prasasti Kaladi yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dalam Interpretasi juga akan dilakukan kajian mengenai kronologi, biografi, geografi, serta peristiwa yang tertulis di dalam prasasti, hal-hal ini akan dituliskan
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
7
dalam bentuk narasi. Interpretasi yang akan dihasilkan adalah berupa asumsi-asumsi awal dari isi prasasti Kaladi yang merupakan data utama di penelitian ini dalam penulisan sejarah masa Balitung. d. Historiografi Tahap terakhir adalah historiografi, bila dianggap layak maka isi prasasti Kaladi ditempatkan dalam suatu rangkaian sejarah kuno Indonesia, khususnya pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung. Dalam tahap historiografi, seluruh data prasasti, dan artefak pada masa Balitung diakumulasikan untuk penulisan sejarah.
1.4 Sistematika Penulisan Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan (bab) yaitu: BAB I. PENDAHULUAN Berisi mengenai latar belakang penelitian, riwayat penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian yang menjelaskan pembahasan penelitian secara rinci dan sistematis. BAB II. DESKRIPSI PRASASTI Pada bab ini dibahas mengenai deskripsi sumber data, yaitu prasasti Kaladi. Deskripsi yang dilakukan adalah mengenai keadaan prasasti, aksara, bahasa, ejaan, struktur prasasti, serta riwayat penelitian dan riwayat penemuan. BAB III. ALIH AKSARA DAN ALIH BAHASA Bab ini berisi tentang alih aksara, catatan alih aksara, alih bahasa, catatan alih bahasa. BAB IV. PEMBAHASAN Dalam bab ini merupakan suatu interpretasi mengenai isi prasasti Kaladi. Pada bab ini dikaji pula mengenai identifikasi tokoh, kronologi, peristiwa dan geografi, kesalahan tulis oleh citralekha, bukti bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad, serta pendapat dari para peneliti sebelumnya. BAB V. KESIMPULAN Bab ini merupakan hasil penelitian, mencakup rangkuman dari semua bab dari awal hingga akhir.
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
8
BAB II DESKRIPSI SUMBER DATA
2.1 Riwayat Penelitian Prasasti Kaladi sebelumnya pernah diberitakan oleh L.C Damais dalam buku Etudes D’Epigraphie Indonesienne terbitan EFEO. Dalam tulisannya, Damais hanya menuliskan beberapa baris dari lempeng pertama prasasti Kaladi dan hanya membahas mengenai penanggalan yang terdapat di dalam prasasti Kaladi. Damais tidak menyertakan alihaksara dan catatan alihaksara secara lengkap dari prasasti tersebut. Pada buku terbitan Museum Nasional Indonesia, Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I, diterbitkan alihaksara prasasti Kaladi oleh Boechari dan A.S Wibowo. Di dalam buku ini yang diterbitkan hanya alihaksara, tidak diterbitkan alihbahasa dari prasasti Kaladi. Boehari pernah membahas prasasti Kaladi pada artikel yang dimuat dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI dengan judul Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuna. Boechari mengatakan bahwa prasasti itu memperingati penetapan desa-desa Kalaḍi, Gayām, dan Pya-pya, yang semuanya masuk wilayah (Samgat) Bawaᶇ, menjadi sīma atas permohonan Ḍapunta Suddhara dan Ḍapunta Dampi kepada raja Rakai Watukura Dyaḥ Balitung. Adapun sebabnya ialah karena semula ada hutan yang memisahkan (desa-desa) itu yang menyebabkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari penduduk Mariwuᶇ yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka (diputuskan) untuk disetujui bersama hutan itu dijadikan sawah agar supaya penduduk tidak lagi merasa ketakutan. Dan sawah itu juga ditetapkan tidak masuk wilayah (Samgat) Bawaᶇ (Boechari,1968 : 164). Prasasti Kaladi juga disinggung oleh Jones dalam tulisannya Early Tenth Century Java From Inscription, tulisan ini menjelaskan mengenai keadaan pemerintahan di Pulau Jawa pada abad 10 Masehi. Jones juga menyertakan catatan alihaksara dan catatan alihbahasa yang dilakukannya sendiri.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
9
2.2 Keadaan Prasasti Prasasti ini dipahatkan di lempengan tembaga, terdiri dari 10 lempeng tembaga dan 2 lempeng hilang, lempeng yang hilang adalah lempeng nomor 3 dan 5. Sekarang 8 lempeng prasasti Kaladi disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris E 71. Prasasti ini dipahatkan di bagian recto dan verso. Masingmasing sisi terpahat 6 baris, kecuali lempeng bagian verso terakhir, hanya terpahat 5 baris. Secara keseluruhan prasasti ini masih baik keadaannya, hanya saja terjadi patinasi yang cukup parah pada semua lempeng prasasti dan menyebabkan perubahan warna pada lempeng tembaga, sehingga cukup mempengaruhi keadaan aksara pada prasasti, beberapa aksara menjadi cukup aus dan sedikit sulit untuk dibaca. Selain terjadinya patinasi, terjadi pula ketidak-teraturan penulisan baik dari segi bentuk aksara maupun ukuran aksara pada setiap lempeng prasasti. Pada beberapa lempeng juga ditemukan adanya anomali pada penulisan aksara, menyebabkan aksara terkesan patah-patah.
Foto 2.1. Anomali Bentuk Aksara.
Hal lain yang menimbulkan kesulitan dan banyak keraguan dalam pembacaan adalah kemiripan penulisan beberapa aksara. Contohnya adalah aksara ta (
), ka (
menyerupai ga, yaitu (
), dan ga (
). Bahkan terkadang aksara ta dipahatkan
)
Setiap lempeng prasasti memiliki ukuran lempeng yang berbeda dan juga ukuran aksara yang berbeda, jarak antar baris juga berbeda.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
10
1.
Lempeng I memiliki ukuran 11.5 x 42.4 cm, aksara berukuran 1
cm. Kedua sisi lempeng terpahatkan 6 baris. Pada lempeng sisi recto, patinasi yang terjadi tidak terlalu parah, dan aksara masih dapat terlihat dengan jelas, tetapi terdapat beberapa kejanggalan yang terjadi pada beberapa aksara yang dipahatkan pada awal baris. Terlihat adanya keraguan dalam penulisan, sehingga aksara yang dipahatkan terlihat patahpatah. Pada sisi verso, patinasi terlihat cukup parah yang mengakibatkan perubahan warna pada warna tembaga dan keausan pada aksara, khususnya pada sisi kiri lempeng.
Foto 2.2. Prasasti Kaladi I (a).
Foto 2.3. Prasasti Kaladi I (b).
2.
Lempeng II memiliki ukuran 11 x 42.5 cm dan aksara berukuran 1
cm. Kedua sisi lempeng II terpahatkan 6 baris. Pada kedua sisi, recto dan
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
11
verso, terjadi patinasi yang cukup parah terutama pada sisi verso yang mengakibatkan keausan pada baris terakhir sisi recto dan bagian tengah sisi verso. Pada lempeng ini masih ditemukan adanya keraguan dalam pemahatan aksara yang mengakibatkan aksara terlihat patah-patah.
Foto 2.4. Prasasti Kaladi II (a)
Foto 2.5. Prasasti Kaladi II (b)
3.
Lempeng ke IV berukuran 10.9 x 42.5 cm dengan aksara yang
berukuran 1 cm. Kedua sisi lempeng terpahatkan 6 baris. Pada lempeng ini patinasi tidak terlalu merusak aksara. Aksara pada kedua sisi masih dapat terlihat dengan jelas. Patinasi yang terjadi pada sisi recto hanya merusak sedikit aksara pada baris terakhir prasasti. Pada lempeng ini terlihat bahwa aksara mulai konsisten cara pemahatannya, tidak ditemukan adanya keraguan dalam pemahatan aksara.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
12
Aksara pada lempeng ini bentuknya cenderung menjadi kotak, bukan bulat.
Foto 2.6. Prasasti Kaladi IV (a).
Foto 2.7. Prasasti Kaladi IV (b).
4.
Lempeng VI berukuran 11.5 x 43.5 cm dengan aksara berukuran 1
cm. Sisi recto dan verso masing-masing terpahatkan 6 baris. Pada lempeng ini, patinasi tidak terlalu parah, aksara masih dapat terbaca dengan baik, hanya saja pada baris pertama sisi recto dan verso beberapa aksara mengalami keausan akibat patinasi sehingga cukup sulit untuk dibaca. Pada lempeng ini, jarak antar aksara terlihat lebih rapat dibandingkan 3 lempeng sebelumnya, aksara juga terlihat dipahat lebih rapi.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
13
Foto 2.8. Prasasti Kaladi VI (a).
Foto 2.9. Prasasti Kaladi VI (b).
5.
Lempeng VII berukuran 11 x 43.2 cm dengan ukuran aksara 1 cm.
Kedua sisi lempeng VII terpahatkan 6 baris. Pada sisi recto patinasi terjadi cukup parah pada baris pertama sehingga aksara cukup sulit untuk dibaca. Sedangkan pada sisi verso, patinasi terjadi pada sisi kiri dan kanan lempeng, tetapi secara keseluruhan keadaan aksara cukup baik. Jarak antar aksara pada lempeng VII tidak terlalu rapat seperti lempeng I, II, dan I
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
14
Foto 2.10. Prasasti Kaladi VII (a).
Foto 2.11. Prasasti Kaladi VII (b).
6.
Lempeng VIII berukuran 11.5 x 43.4 cm dan aksara berukuran 1
cm. Sisi recto dan verso masing-masing terpahatkan 6 baris. Lempeng ini pada bagian recto terjadi patinasi yang cukup parah pada bagian bawah lempeng sehingga baris 5 dan 6 aus dan sedikit sulit untuk dibaca. Pada bagian verso, patinasi terjadi pada bagian atas dan bawah lempeng, sehingga baris 1 dan 6 aus. Bentuk aksara pada lempeng ini lebih menyerupai kotak daripada bulat jika dibandingkan dengan aksara yang terpahat pada lempeng-lempeng lainnya.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
15
Foto 2.12. Prasasti Kaladi VIII (a).
Foto 2.13. Prasasti Kaladi VIII (b).
7.
Lempeng IX berukuran 11 x 43 cm. Lempeng ini terbilang cukup
baik keadaannya, tidak terlihat adanya patinasi parah yang mengakibatkan keausan pada aksara baik pada sisi rekto maupun verso, hanya pada baris terakhir sisi recto aksara sedikit sulit untuk dibaca.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
16
Foto 2.14. Prasasti Kaladi IX (a).
Foto 2.15. Prasasti Kaladi IX (b).
8.
Lempeng X berukuran 11.4 x 43.4 cm. Pada lempeng recto
terpahatkan 6 baris sedangkan pada bagian verso terpahatkan 5 baris. Pada bagian recto, patinasi tidak terlalu parah sehingga keadaan aksara cukup baik dan dapat terbaca. Pada bagian verso terlihat adanya patinasi yang merusak baris pertama. Ukuran aksara sisi verso lempeng X berdeda dengan lempenglempeng sebelumnya, aksara lebih lebar dan jarak antar aksara cukup lebar. Lempeng X merupakan lempeng terakhir dari Prasasti Kaladi.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
17
Foto 2.16. Prasasti Kaladi X (a).
Foto 2.17. Prasasti Kaladi X (b).
2.3 Aksara Prasasti-prasasti pada masa Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura Dyah Balitung biasanya menggunakan aksara kawi tipe standard. Pada prasasti Kaladi juga digunakan aksara kawi tipe standard dengan variasi. Prasasti Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura Dyah Balitung biasanya bentuk aksaranya hampir bulat dan cenderung miring ke kanan. Bentuk aksara ini oleh Casparis disebut sebagai bentuk standar, yang merupakan bentuk awal aksara Jawa Kuna. Bentuk ini lazim digunakan pada prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi yang berlanjut ke masa pemerintahan Rakai watukura Dyah Balitung (Casparis, 1975: 33).
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
18
Pada prasasti Kaladi bentuk aksara yang digunakan cenderung kotak dan tidak cenderung miring ke kanan. Ketidak-teraturan penulisan pada setiap lempeng menyebabkan perbedaan bentuk aksara
2.4 Bahasa Prasasti Kaladi menggunakan bahasa Jawa Kuna yang dituliskan dalam bentuk prosa.
2.5 Ejaan Ejaan pada bahasa Jawa Kuna memiliki ejaan berbeda dari ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD), karena itu penggunaan ejaan bahasa Jawa Kuna ini dimaksudkan sebagai penyeragaman penulisan kata-kata yang berasal dari bahasa tersebut. Ejaan tersebut adalah: : tanda perpanjangan vocal (……… )
: aksara-aksara yang tidak dapat dibaca dan tidak dapat diperkirakan jumlah aksaranya
( -- -- -- )
: aksara-aksara yang tidak dapat dibaca tetapi dapat diperkirakan jumlah aksaranya. Tiap (--) mewakili satu aksara. : aksara yang berdiri sendiri : aksara yang diberi tanda paten
ḍ
: d domal
e
: e taling
ě
: e pěpět
ḥ
: h visarga
ṇ
: n domal
ṅ
: n velar (ng)
ň
: n palatal (ny)
ᶇ
: n laringal (anusvara)
ṛ
: ěr atau rě
ṣ
: s domal
ś
: s palatal
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
19
ṭ
: t domal
v
: semi vocal (w) 2.5.1 Penulisan ě pěpět Sistem pengucapan vocal pěpět tidak dikenal ada sistem tatabahasa sansekerta dan hanya dikenal pada sistem tatabahasa Jawa Kuno. Pada awal perkembangan aksara Jawa Kuno, sistem vocal pěpět belum dikenal. Oleh karena itu untuk semua vokal ě yang merupakan vokal pertama dari suatu kata dasar tidak diberi tanda ě dalam penulisan dan biasanya konsonan yang kedua dituliskan sebagai ligatur (Casparis, 1956: 212-213).
2.5.2 Pemakaian Vokal Panjang Penggunaan vokal panjang pada Prasasti Kaladi terjadi karena tiga faktor: 1. Apabila kata tersebut merupakan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta. Contohnya: āṣāda
:
2. Pemakaian vokal panjang pada bahasa Jawa Kuna dan nama orang yang memakai vokal panjang. Contohnya: mahāsambhu
:
śimān
:
saprakāra
:
2.5.3 Pemakaian Vokal Rangkap Pemakaian vokal rangkap pada Prasasti Kaladi ada yang mengalami perubahan sesuai dengan hukum samdhi. Penulisan vokal rangkap ai pada Prasasti Kaladi berubah menjadi e. Contohnnya, kata hle yang berasal dari kata hlai. Tetapi pemakaian vokal rangkap ini tidak konsisten, karena beberapa pemakaian vokal rangkap ai terkadang tidak berubah, terkadang tertulis winaiḥ dan terkadang tertulis wineḥ.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
20
Penulisan vokal rangkap ua terkadang mengalami perubahan menjadi wa. Contohnya kata muang menjadi mwang, tetapi ada juga yang tidak mengalami perubahan dan tetap dituliskan muang.
2.5.4 Ejaan Konsonan Pada prasasti Kaladi cara mematikan bunyi biasanya menggunakan virama pada akhir aksara. Virama ini dituliskan dengan garis lengkung dari bagian kanan atas aksara sampai bagian bawah kanan aksara. (
).
Cara penulisan bunyi sengau ng pada prasasti Kaladi ada dua cara, yaitu dengan menggunakan ng laringal (ᶇ) dan ng velar (ṅ). ng velar (ṅ) dituliskan dengan aksara ( anusvara (
), sedangkan ng laringal (ᶇ) dengan sebuah
).
Untuk menuliskan bunyi ra yang dimatikan adalah dengan cara layar dan ligatur. Bentuk layar adalah ( dituliskan dengan cara (
) sedangkan bentuk ligatur ra
).
Konsonan ḥ di akhir kata pada prasasti Kaladi hampir seluruhnya dituliskan dengan visarga (
).
2.5.5 Vokalisasi U dan I Vokalisasi ī pada prasasti Kaladi dituliskan dengan cara memberikan garis horizontal di tengah (
) letaknya ulu ini dituliskan
tepat di atas aksara. Contoh: manamī
:
pamaṇīkan
:
Vokalisasi i pada prasasti Kaladi dituliskan terkadang di atas aksara, di sebelah kiri atau kanan aksara. Contoh: deniᶇ
:
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
21
miniṅley
:
Vokalisasi i dan vokalisasi ī sama besaranya. Vokalisasi u di prasasti Kaladi dituliskan dengan cara garis vertikal di bawah aksara. Penulisan biasanya diletakkan di sebelah kanan atau kiri aksara. Contoh: kamulanya
:
katakutan
:
2.5.6 Struktur Prasasti Prasasti Kaladi berisikan mengenai penetapan sīma. Formula prasasti yang berisikan mengenai penetapan sīma adalah sebagai berikut: 1. Manggala 2. Unsur penanggalan 3. Yang mengeluarkan perintah 4. Yang menerima perintah 5. Yang menerima anugrah sīma 6. Luas daerah yang dijadikan sīma 7. Besarnya Pajak 8. Sambandha 9. Daftar pejabat yang menerima pasěk-pasěk, yaitu: a. Pejabat tinggi kerajaan b. Wadwa c. Pejabat tingkat watak d. Pejabat wanua yang dijadikan sīma e. Pejabar dari desa-desa sekeliling 10. Jalannya upacara penetapan sīma a. Pembagian pasěk-pasěk b. Saji-sajian c. Makan minum
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
22
d. Upacara makamwaᶇ dan makawitha e. duduk bersama mengelilingi watu sīma dan kulumpaᶇ f. Upacara potong ayam, memecah telur, dan menabur debu g. Menyembah kepada saᶇ hyaᶇ kulumpaᶇ dan saᶇ hyaᶇ watu sīma h. Menambah daun i. Kesenian j. Kutukan 11. Larangan bagi para maṅilala drawya haji untuk memasuki wilayah yang telah ditetapkan menjadi sīma 12. Penyebutan Citralekha Pada prasasti Kaladi, tidak semua unsur dalam formula sīma diterapkan. Pada prasasti-prsaasti tembaga masa Balitung, ternyata tidak semua prasasti sīma memiliki formula yang lengkap walaupun pada prasasti tembaga tidak terhalang oleh bidang media yang dituliskan karena tembaga dapat diproduksi. Prasasti Kaladi mencakup formula sīma yang cukup lengkap, beberapa prasasti ada yang hanya menyebutkan unsur penanggalan, yang mengeluarkan perintah, yang mendapat anugerah sīma, sambandha, daftar pasěk-pasěk, pembagian pasěk-pasěk, dan kutukan. Berdasarkan perbandingan unsur formula dalam prasasti masa Balitung, dapat diketahui bahwa penulisan formula yang tidak lengkap adalah wajar pada masa ini dan prasasti Kaladi memiliki kesamaan dengan prasasti-prasasti lain yang dikeluarkan oleh Dyah Balitung. Pada bagian awal prasasti Kaladi dibuka dengan kata Śrīr astu jagaddhitāya, sebuah seruan yang berarti “Semoga seluruh dunia sejahtera!”, kalimat ini tidak lazim digunakan pada prasasti masa Balitung, yang lazimnya adalah penggunaan manggala swasti śakawarṣatita. Kemudian selanjutnya dijumpai keterangan mengenai tahun di keluarkannya prasasti Kaladi yaitu 831 Ś bulan Āṣāda, bulan ke delapan paruh terang, Was, Wage, hari selasa, Wukunya Mahatal, saat kedudukan bintang di utara, naksatranya Hasta, Yoganya Śiwa, Parwweśanya
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
23
Kuwera, Maṇḍala terletak di sebelah barat laut. Muhurttanya Sweta, Karananya Viṣṭi, Rawinya (?). Setelah itu dituliskan keterangan mengenai raja yang mengeluarkan prasasti ini, yaitu Śri Mahārāja Rake Waktukura Dyah Balituᶇ Śri Dharmmodaya Mahāsambhu. Beliau bersama Rakryan Mahapatiḥ i Hino Pu Dakṣottama Bahubraja Pratipakṣākyasa kemudian bertemu dengan pemerintah watěk Bawaᶇ yang bernama Dyaḥ Sraḥwaṇa. Kemudian dituliskan bahwa daerah di Kaladi, Gayam, dan Pyapya dijadikan sīma beserta karena hutan di sekitar desar tersebut membuat penduduk ketakutan akibat adanya bandit yang sering menyerang mereka di daerah hutan tersebut. Hutan tersebut akhirnya dijadikan sawah sehingga penduduk kembali tenang dan dapat beraktifitas seperti semula. Dengan status sīma yang telah ditetapkan, maka daerah tersebut tidak boleh dimasuki oleh para Maṅilala Drawya Haji dan sejenisnya. Kemudian disebutkan mereka yang menjadi saksi pada saat penetapan sīma tersebut dan juga pasěk-pasěk yang diberikan. Setelah itu disebutkan suhkadukha beserta sapata. Kemudian kembali disebutkan nama-nama pejabat yang diberikan pasěk-pasěk. Yang terakhir adalah amanat dari Śri Mahārāja agar penduduk desa harus menjaga kata-kata darinya, dan tertulis nama citralekha yang menulis prasasti tersebut, yaitu Pakṣaṇa.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
24
BAB III ALIH AKSARA DAN ALIH BAHASA 3.1 Alih Aksara
I. a 1. //o// Śrīr astu jagaddhitāya //o// swasti śakawarṣātita1 831 oāṣāda2 māsa 2. tithi oaṣṭami śuklapakśa3 ba4 wa5 āᶇ6 wāra mahatal outtara granāsta hasta nakśatra dinā 3. kṣabdeto śiwayoga kuwera parwweśa bayabya maṇḍala sweta muhutta
7
viṣṭi
kara 4. ṇa nyarawi tātkala nyānugraha śri mahārāja Rake Watukara8 Jyaḥ9 Balituᶇ śri dharmmodaya mahāsambhu 5. tinaḍaḥ rakryan mapatiḥ tgu10 hino pu ḍakṣantama11 bahubajra puti12 pakṣākṣaya turun i rakryan 6. bawaᶇ dyaḥ sraḥwaṇa13 sāmbandha i kanaᶇ lmaḥ oiᶇ kaladi i gayam mwaṅ i pyapya watěk
1
Penulisan śakawarṣātita seharusnya śakawarṣātīta āṣāda seharusnya ditulis āṣada. Āṣāda adalah bulan ke-4 dari tahun Śaka 3 Dalam tahun Śaka terdapat dua bagian dalam satu bulan, satu bagian terdiri dari 15 hari. Bagian tersebut dinamakan śuklapakśa (paro terang), yang dimulai dari tanggal 1, saat bulan baru muncul sampai tanggal 15, yaitu bulan purnama dan kṛṣṇapakṣa (paro gelap), yang dimulai dari tanggal 1, sehari setelah bulan purnama sampai tanggal 15 yaitu sampai bulan menghilang kembali. 4 Kata Ba seharusnya dituliskan Wa. Wa yang dituliskan adalah singkatan dari Was yang berarti hari kelima dari penanggalan enam hari (ṣaḍwāra) 5 Kata Wa adalah singkatan dari Wage yaitu hari ketiga dari penanggalan lima hari (paňcawāra) 6 Kata āᶇ adalah singkatan dari āᶇgara adalah hari ketiga dalam penanggalan tujuh hari (saptawāra), yaitu hari rabu. 7 Kata muhutta seharusnya muhurtta 8 Yang terpahat adalah Watukara tetapi Boechari dan A. S Wibowo membacanya sebagai Watukura 9 Boechari dan A.S Wibowo membacanya Dyaḥ, sedangkan yang terpahat adalah Jyaḥ 10 Kata tgu seharusnya adalah i, karena mengacu pada kata selanjutnya, hino, jadi seharusnya adalah i hino 11 Kata ḍakṣantama seharusnya adalah ḍakṣatama 12 Kata puti seharusnya adalah prati 13 Di prasasti lain tertulis Dyaḥ Srawaṇa 2
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
25
I. b 1. bawaᶇ siněmbahakěn ḍampunta14 suḍdhara muaᶇ dampunta ḍampi sima pananamānakambaᶇ panikělana su2. sur sampun pu oaya winehakěn śimān sambandha oinkaᶇ15 lmaḥ oiᶇ gayam muoaᶇ pyapya 3. hlat guṇanta kamulanya oalas oaraṇan katakutan tamolaḥ pahabětan de niᶇ mari4. wuᶇ dhumurbanakěn oikaᶇ banyāga muoaᶇ hilirān riᶇ rahina riᶇ kulěm kuněᶇ yathanyan oubhayaguna oi 5. kanaᶇ oalas dadhya sawaḥ lāwan mārrya katakutan mari watěk bawaᶇ pārṇnaḥnya swatantra tan kata 6. māᶇ deniᶇ patiḥ wahuta muoaᶇ saprakara niᶇ maᶇilala drawya haji ri daᶇu miśra paramiśra wuluwulu
II. a 1. saprakāra paṅura16 kri17 manamī manimpiki paranakan limus galuḥ paṅaruhan taji watu ta2. jěm sukun paluwarak18 rakadut miniṅley kataṅgarān tapa haji oair haji 3. malandaᶇ olěca lěbělep kalaṅka kutak taṅkil tṛpan salwit tuha dagaᶇ ju4. ru salit maᶇrumbai paᶇguraňjai tuha nambi tunuňjaman 19 watu walaᶇ pamaṅikan maniga 5. sikěpan rumban wilang wadwa 20 wiji kawaḥ tiṅkěs hawe tuhan judi juru jalir mi 6. śra hino dli hapu 21 dli wadung22 dli kinbang23 dli paňjut24 dli harěᶇ25 palahak26 pakaluṅkuᶇ ourutan
14
Kata ḍampunta seharusnya ḍapunta Boechari dan A.S Wibowo membacanya ikaᶇ 16 Paṅura seharusnya tertulis Paṅuraᶇ. Mungkin seharusnya terdapat anusvara di atas aksara ra, tetapi bagian ini sudah aus sehingga tidak terlihat adanya anusvara. 17 kata kri seharusnya ditulis kriᶇ 18 seharusnya haluwarak 19 seharusnya huňjeman 20 seharusnya wilaᶇ wanua 21 kata dli hapu seharusnya wli hapu 22 dli wadung seharusnya wli wadung 23 dli kinbang seharusnya wli kinbang 24 kata dli paňjut seharusnya wli paňjut 25 kata dli harěᶇ seharusnya wli harěᶇ 26 seharusnya palamak 15
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
26
II. b 1. dampulan tpuᶇ kawuᶇ suᶇsuᶇ paṅur27 pasukalas, payuṅan, puluᶇ, padi paběsar28 pagul29 paṅi2. n30 sipat wilut pamawasya hopan paṅaraṅan skar tahun panusuḥ turunturun pamali3. han kḍi walyan widu maṅiduᶇ sambāl hulun haji mamṛki watěs oi jro oityaiwa4. mādi tan tāma oi rikaᶇ sima oi gayām muoaᶇ oi pyapya pramāna oi sadṛwaya hajinya 5. kabeḥ samaṅkana oikanaᶇ sukaduḥka31 kadyaṅganiᶇ mayaᶇ tan mawwara32 waluḥ rumambat iᶇ onata6. r wīpati waṅke kabunan rāḥ kasawuroiᶇ natar wak capala duhilatěn hidu ka33
(plat III hilang)
IV. a 1. paṅuraᶇ oi pakudur 34 si ḍatar paṅuraᶇ oi waděhati35 dyan36 wintuṅan patiḥ paṅharěp saᶇ taruoa saᶇ wuruju 2. oinaᶇsěoan wděhan37 raṅga yu38 1 ken blaḥ 1 mā39 su40 1 mā 4 sowaᶇ sowaᶇ patiḥ lampuran saᶇ 3. kělpouan saᶇ nadraᶇka kamuoaᶇ oinaᶇsěoan wḍihan raṅga yu 1 ken blah 1 mā su 1 mā 4. 4 sowaᶇ sowaᶇ dyaḥ basa wineḥ mā 10 saṅ karuoa saᶇ guṇuṅan saᶇ sambat saᶇ maněkṣa saᶇ 27 28 29
kata paṅur seharusnya paṅuraᶇ seharusnya pabisar
seharusnya paguluᶇ
30
Jones, Boechari dan A.S Wibowo membaca sebagai paṅin naṅing tetapi pada prasasti tidak ditemukan kata naṅing 31 kata sukaduḥka biasanya dituliskan sukhaduhka atau sukaduka 32 kata mawwarah seharusnya mawwah 33 kalimat hidu ka- seharusnya hidu karat, karena lempeng ketiga hilang, maka kalimat ini terputus 34 seharusnya pakudur tertulis makudur 35 waděhati seharusnya adalah wadihati 36 kata dyan seharusnya adalah dyaḥ 37 Wděhan seharusnya wḍihan 38 kata yu adalah singkatan dari yugala 39 mā adalah singkatan dari mās 40 su adalah singkatan dari suwarna
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
27
5. śikāra saṅ ayuta saᶇ watu manuṅgul dyaḥ rāyawa dyaḥ madri saᶇ nini saᶇ wupiᶇ saᶇ sahěl ka6. muoaᶇ oinaᶇsěoan mā 4 wḍihan raṅga yu 1 sowaᶇ sowaᶇ wahuta paliňjouan maharěp
IV. b 1. saᶇ babat saᶇ babahan saᶇ bantěn kamuoaᶇ oinasěoan mā su 1 mā 4 wdihan raṅga yu 1 sowaᶇ 2. ken blaḥ 1 saᶇ maněsěr winaiḥ mā 8 wahuta lampurān saᶇ tambai saᶇ marumuḥ 3. sa41 marapat saᶇ wijiwar saᶇ lampuran kamuoaᶇ winehan mā 4 wḍihan raṅga yu 4. 1 sowaᶇ sowaᶇ daṅācāryya netra wineḥ mā 8 keᶇ blaḥ 1 marurmetiḥ saᶇ 5. ḍawas si uňju si knakěn si kuriňja si kumbuy si ptaᶇ si dumka muoaᶇ wineḥ mā 1 wḍi6. han raṅga hle 1 sowaᶇ sowaᶇ si hujuᶇ si runda si lalu si tanayan si ňamanta wahuta rāma si darmma
(Plat V hilang)
VI. a 1. ken blaḥ 1 sowaᶇ sowaᶇ tlas kabyāh42 oaran taṇḍa rakryan muoaᶇ piᶇlai wahuta rāma43 tinana2. han 44ta ika śima těoas muoaᶇ katimaᶇ dhe rakryan bawaᶇ dyaḥ śrwaṇa ngkāna kidul tapěl45 watěk 3. lawan oiṅ kaṇḍaᶇ tuhun hiṅa nikaᶇ sima iṅ gayam kidul iṅ kali maṅuluoan muwaḥ pahiṅanan 4. muoaᶇ oikaṅ kapuluṅgan oikaᶇ pagěr maṅawetan kidul iṅ kāli muwaḥ hana ta sawaḥ saṅaṅ liriḥ lo-
41
kata sa seharusnya adalah saᶇ kata kabyāh seharusnya kabaih 43 Boechari dan A.S Wibowo membacanya rāsa 44 seharusnya adalah tinanaman atau tinaněman 45 Boechari dan A.S Wibowo membaca kata tapěl tapěl sedangkan yang tertulis di prasasti hanya tapěl 42
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
28
5. r niṅ kali sawaḥ pagagan naran tan ilu riᶇ parawyahara46 tuhun paknanya patěkě garigariḥ ri sḍěᶇ niṅ aṅaturakě6. n pujā oi bhaṭara tumut ika swatantra nikaᶇ sawaḥ kamula dharmmān kacāyan kawiśeṣa deniᶇ mu-
VI b. 1. ladharmma oāpan oikha saᶇ muladharmmā oinahakěn wruha riᶇ hala hayu niṅ śima muwaḥ pahiṅanan oikaᶇ sima 2. oiṅ gayam muoaᶇ oi pyapya oikaᶇ kali humulu maṅalor oikaᶇ pyapya madṛwya o
ikaᶇ kali tuhun ikaᶇ ga-
3. yam madṛwya margga juga hiṅanya lor tapěl watěs lawan niṅ sima dok patiḥ o
aṅaděgakěn teas
4. lawan katimaᶇ hiṅanya kulwan riᶇ katimaᶇ teluᶇ ḍpa kapat siho rama47 tpi siriᶇ milu kāla48 dwiᶇ49 susukan 5. śima winkas
o
i halaṅan saᶇ lumbuᶇ kalaᶇ saᶇ saṅkěp winkas oi taritip saᶇ
balikuḥ winkas oi ka6. lpuoan saᶇ bsi winkas oi waharu saᶇ liṅga kalaᶇ saᶇ rasuk winkas iṅ gayam tběl saᶇ śoca sa-
VII a. 1. maṅkana kwaiḥ ni rāma tpi siriᶇ milu ri kāla niᶇ susukan śima kamuoaᶇ wineḥ mā 2 wdihan raṅga yu 1 2. ken blaḥ sowaᶇ sowaᶇ cihna ni pagěḥ pagěḥnyan śima muoaᶇ pawkas śri maharāja oi rakryān bawaᶇ 3. pārṇnahan oikaṅ sima oiṅ gayam muoaᶇ pyapya tan katama triṇi saprakāra niᶇ maṅilala dṛwya haji śriᶇ50 paḍama4. puy51 tula52 pamgat pakudur53 paṅkur tawan tirip taji tapa haji manimpiki sinaguha
46
seharusnya adalah parawyawahāra seharusnya adalah Rāma 48 Jones memacanya sebagai kala 49 seharusnya niᶇ 50 kata śriᶇ seharusnya adalah kriᶇ 51 A.S Wibowo dan Bpoechari membacanya sebagai paḍamapay 47
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
29
5. tuha dagaᶇ maṅuriňja maᶇrumbai kalaṅkaᶇ kataṅgaran winilay54 siṅgah kawak kawakki jro pamarśi55 6. hulun haji manambaṅi saṅka dhura pamaṇīkan ḍaᶇhuoan huňjamān ṅa śenamuka56 bhuja lawan saᶇ ba-
VII b. 1. ṇigrāma oityaiwamādi tan tumamā oirikaᶇ śima muoaᶇ surā niᶇ kilalān kliᶇ oarja siṅhala dra2. wila57 banyaga 4 paṇḍikir58 campa rammān59 kisira60 margga maᶇmmāᶇ61 taṅ tumamāwarahěn tuha pa 3. ḍahi walyan sambal sumbul wiḍu maṅiduᶇ salaran mārgga oi jro paṇḍai mās tambra 4. wsi gaṅśa oityaiwamadhi yāwat puoarā62 niᶇ kilalān oasiᶇ makadṛwyā ya oasiᶇ maka mārgga ya 5. oasiᶇ para deśa sakananya ouṅguoa tā ya śima oiṅ gayam muoaṅ oi pyapya o
ityaiwamadhi saprakara
6. niᶇ sukhaduḥka oaṅgapratyaṅga63 děṇḍa kuděṇḍa maṇḍiha waṅkey kabunan rāh ta sawar hidu ka-
VIII a. 1. sirāt muwaḥ moliha maliᶇ o
o
amuk magyaṅa lawaᶇ māti
o
amamupaᶇ
ityaiwamadhi saprakāra niṅ aṣdā64
52
seharusnya tuha seharusnya makudur 54 kata winilay seharusnya pinilai 55 Jones membacanya pamarśa, tertulis pamarśi di prasasti, tetapi seharusnya pamrśi 56 Jones membacanya sebagai Śon Muka 57 kata drawila seharusnya dravida 58 A.S Wibowo dan Boechari membacanya paṇḍikidya, di prasasti tertulis paṇḍikir, seharusnya paṇḍikira 59 kata rammān seharusnya rěměn 60 A.S Wibowo dan Boechari membacanya kismira, Jones membacanya kismmira. seharusnya adalah kmir 61 di prasasti tertulis maᶇmmāᶇ, seharusnya adalah maᶇmaᶇ 62 seharusnya soāra 63 aṅgapratyaṅga seharusnya aṅgśapratyaṅgśa 64 seharusnya adalah aṣtā 53
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
30
2. coraḥ oiṅ katimaᶇ oataḥoan sawyakna těṇḍasnya maṅkana pratitiḥ nikaᶇ śima pawka samgět waděhati65 kinonā3. kěn kayatnākna de ḍampunta surḍḍa muoaᶇ ḍampunta dhayi muwaḥ aṅluputaknāmuk oamuᶇpaᶇ maliᶇ oityaiwamadhi 4. saměgět66 wadihati oataḥ pramāṇā oirika kabeḥ muaḥ māti katibā mati kalěbu mati pinaṅa niᶇ glap mā5. ti pinatukkiṅulā mati pinaṅa niᶇ wuhaya māti pinaṅaniᶇ hyu māti deniᶇ huwirān oityaiwamadhi sakwaiḥ niᶇ salaḥ 6. pati samgět waḍihati oataḥ pramāṇa oirika kabeḥ nihan pawkas samgět wadihati muwaḥ oanugraha sa-
VIII b. 1. mgět
wadihati yen hana mati tumpur punnakāya 67 tribhāgan oātaḥ dṛwya
hajinya saduman mari bhātara sadumā2. n mari muladharmmā sadumān mariᶇ puntakāya muoaᶇ yan muladharmmā māti tumpur tan suṅana i kārekā3. de ḍampunta muoaᶇ saᶇ muladharmma salwirā niᶇ gawai hayu oawaraṅana o
awiru oatan suṅěn ikarataḥ ḍampunta lwira
4. salwirāniᶇ oabarit barit samana niᶇ walagarādhi tan kna ataḥ saᶇ muladharmma muaᶇ sḍěṅa ḍampunta maduma lěmaḥ hu5. juṅan hujuṅan milu ataḥ saᶇ muladharmmā samaṅkana pawkas śrimahārāja oi samgět wadihati maṅasěa 6. kěnikaᶇ punta mās pasěk pasěk oi samgět waděhati waděhati wikaᶇ kāla dyaḥ ḍampit wineḥ mā su 4 wḍiha-
IX a. 1. n yu 1 ken blaḥ 1 mumahumah oi samgět wadihati saᶇ haḍyan halarān muaᶇ saᶇ hadyan miramiraḥ 2. saᶇ kulumpitan oanḍumatěṅakěn ikaᶇ śima oi samgět waděhati saṅ handyan buṅkah kamuoaᶇ sara wineḥ mā 65
kata waděhati seharusnya wadihati seharusnya samgět 67 seharusnya Puntakāya 66
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
31
3. 4 wḍihan yu 1 sowaᶇ sowaᶇ winkas oi rambaᶇ saᶇ gaṅśal wineḥ mā 2 saᶇ citraleka saᶇ samara wineḥ mā 4. 4 wḍihan yu 1 sowaᶇ sowaᶇ ḍaᶇācarrya netra wineḥ mā 8 wḍihan yu 1 kěn blaḥ 1 ṣampun kabyāpā5. rān wadwā rakryan mu oaᶇ saᶇ piṅhe wahuta kinon ta saṅ apatiḥ maṅaděgakna těoas muoaᶇ katimaᶇ oiṅ gayam 6. muoaᶇ oiᶇ pyapya patiḥ manusuk sapuluḥ wineḥ mā su 1 mā 4 wḍěha68 yu 1 ken blaḥ palujar69 pati70 saᶇ dawa-
IX b. 1. s muoaᶇ si uňju kamuoaᶇ wineḥ wḍěhan hle 1 mā 4 sowaᶇ sowaᶇ si huju saᶇ rěndaḥ muoaᶇ si halu si tanayan 2. kamuoaᶇ wineḥ mā 4 wḍihan hle 1 sowaᶇ sowaᶇ wahuta rāma saᶇ dharma saᶇ kumru wineḥ mā 4 wḍi3. han hle 1 partaya saᶇ gdaḥ wineḥ mā su 1 mā 4 winkas oi kaladi ri kala niᶇ susukkan śima saᶇ cilika 4. muoaᶇ wineḥ ma yu71 1 mā 4 wḍihan yu 1 ken blaḥ 1 sowaᶇ sowaᶇ kalaᶇ saᶇ ni wineḥ mā su 1 mā 4 wḍiha5. n yu 1 ken blaḥ 1 winkas oi paḍiᶇḍiᶇ saᶇ colika wineḥ mā 10 wḍihan yu 1 ken blaḥ 1 kalaᶇ saṅ anḍi72 6. wineḥ mā 10 wḍihan yu 1 ken blaḥ 1 winkas saṅasiḥ saᶇ dhiti saᶇ margga gusti saᶇ tanaḥ saᶇ nyāpi saᶇ warci
X a. 1. saᶇ sulur juru sasaran saᶇ tuluy saᶇ saṅgai oawatěs siᶇ73 bsi saᶇ gamal saᶇ wiṣa tuha wgaḥ si neruṇda 2. oatuhun si manḍak maᶇjuruoan si rakṣa si timběl si dewa wineḥ mā 2 sowaᶇ sowaᶇ muladharmma ḍampu-
68
kata wḍěha seharusnya wḍihan seharusnya pahujar 70 seharusnya patiḥ 71 yu seharusnya adalah su dari kata suwarna 72 A.S Wibowo dan Boechari membacanya sebagai Saṅ Ganḍi 73 Seharusnya adalah saᶇ 69
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
32
3. nta suḍdhaḥ muoaᶇ ḍampunta dayi saṅ kukajaᶇ saᶇ tisan pasaᶇ guṇuᶇ ḍampu suḍdhaḥ muoaᶇ dampunta dayi oi rāmanta mā 8 u4. misioanaᶇ lěbak guṇuᶇ tumut upa marawairawai kuněᶇ yan hanaᶇ caturwarṇna maṅlyabwataya soninikuṅ ouja5. r haji prasabdha pawkas śri mahārāja oi samgět waděhati wehěnya oumāryya maṅjuruoa waděhati paňcaga 6. ti saṅ sāraya těmunya riṅ oihatraparātra salwiran oiṅupadrewa kapaṅgu hadenya limut ni śarira bhraṣṭā tan
X b. 1. tmwa aᶇsāma mattaṅ yan deya ni kāṅanak banua kabaiḥ prayatna ta ri so ouni niᶇkiṅ hujar haji pra2. ṣaṣdi oanulpraha74 śri maharāja oi samgět waděhati sampun śuḍḍha ikaᶇ sima o
iṅ gayam muoaᶇ
3. oiᶇ pyapya punta tumarima oikaᶇ praṣaṣṭi oi śrī mahārāja dampunta suḍḍhara muoaᶇ dampunta dayi likita ci4. traleka oi hino pakṣaṇa //o// oiti prāṣaṣdi kayatna kna //o// santoṣakna de nira sama 5. sanak oulihira mpu yogarajā anatah oi sira saᶇ hyaᶇ tambra //o//
74
Jones, A.S Wibowo dan Boechari membacanya sebagai anugraha, di prasasti tertulis anulprana. Tetapi yang benar adalah anugraha
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
33
3. 2 Alih Bahasa I. a 1. //o// Semoga seluruh dunia sejahtera//o// Selamat tahun Śaka 831, bulan Āṣāda 2. bulan ke delapan paruh terang, Was, Wage, hari Selasa. Wukunya Mahatal, saat kedudukan bintang di utara, naksatranya Hasta. 3. Yoganya Śiwa, Parwweśanya Kuwera. Maṇḍala di sebelah barat laut. Muhurttanya Sweta, Karananya Viṣṭi 4. Rawinya (?). Pada saat ini, Śri Mahārāja Rake Watukara (Waktukura) Jyaḥ (Dyah) Balituᶇ Śri Dharmmodaya Mahāsambhu 5. untuk bertemu dengan Rakryan Mapatiḥ i Hino Pu Dakṣottama Bahubajra Pratipakṣākṣaya kemudian dengan Rakryan 6. Bawaᶇ Dyaḥ Srawaṇa. Alasannya adalah karena tanah di Kaladi, Gayam, dan Pyapya yang termasuk dalam wilayah
I. b 1. Bawaᶇ yang dipersembahkan kepada Ḍampunta Suḍdhara juga Dampunta Dampi sebagai sima agar pemujaan bunga dilipatgandakan 2. untuk menunjukkan kewajiban dari sima tersebut. Alasannya adalah karena tanah di Gayam dan di Pyapya 3. terhalang untuk tempat pemujaan, karena hutan Araṇan menyebabkan ketakutan karena diduduki oleh Mariwuᶇ 4. yang membahayakan perdagangan dan orang-orang dari hilir, baik siang maupun malam. Karena itu disetujui bahwa 5. hutan tersebut dijadikan sawah dan menghilangkan ketakutan orang-orang di desa yang termasuk kedalam wilayah Bawaᶇ, dan menjadi daerah swatantra 6. dan tidak boleh dimasuki oleh patiḥ wahuta ataupun segala jenis Maᶇilala Drawya Haji75 seperti miśra paramiśra, wuluwulu
II. a 1. (semuanya, semuanya milik, semuanya diberikan kepada) paṅura, kriᶇ, manamī, manimpiki, paranakan, limus galuḥ, paṅaruhan, taji, watu ta75
merupakan abdi dalem keraton yang hidupnya tergantung dari gaji yang diambil dari kerajaan
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
34
2. jěm, sukun, paluwarak (haluwarak), rakadut, miniṅley, kataṅgarān, tapa haji, air haji, 3. malandaᶇ, lěca, lěbělep, kalaṅka, kutak, taṅkil, tṛpan, salwit, tuha dagaᶇ76, ju4. ru salit, maᶇrumbai77, paᶇguraňjai, tuha nambi, tunuňjaman, watu walaᶇ, pamaṅikan, maniga, 5. sikěpan, rumban, wilang wadwa, wiji kawaḥ, tiṅkěs, hawe, tuhan judi, juru jalir, mi6. śra hino, dli hapu, dli wadung, dli kinbang, dli paňjut, dli harěᶇ, palahak (palamak), pakaluṅkuᶇ, urutan
II. b 1. dampulan, tpuᶇ kawuᶇ, suᶇsuᶇ paṅur (paṅuraᶇ), pasukalas, payuṅan, puluᶇ padi, paběsar (pabisar), pagul paṅi2. n sipat, wilut, pamawaśya, hopan, paṅaraṅan, skar tahun, panusuḥ, turunturun, pamali3. han, kḍi walyan, widu maṅiduᶇ78, sambāl, hulun haji79, mamṛki, watěs i jro, dan sebagainya (ityaiwa4. mādi) tidak diperbolehkan memasuki ke dalam (daerah) sima di gayām juga di pyapya, jumlah banyaknya secara keseluruhan pajaknya 5. semua, demikian juga sukaduḥka80 seperti bunga pinang (mayaᶇ) tidak pernah mekar, labu merambat di tanah/halaman 6. mayat yang terkena embun sebelum waktunya, darah bersimbah di tanah, memaki, membuat fitnah, meludah.
(Plat III hilang)
IV. a
76
Tuha berarti ketua, dan dapat diartikan sebagai ketua para pedagang Jyunboll memberi arti sebagai “orang yang pekerjaannya memuka dan berdoa” 78 diartikan sebagai penyanyi atau sinden 79 diartikan sebagai abdi dalem raja 80 umumnya dituliskan dengan kata suhkhaduhkha, merupakan tindak pidana yang terjadi di dalam lingkungan daerah perdikan yang harus dikenai hukuman denda 77
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
35
1. paṅuraᶇ di makudur adalah Si Ḍatar, paṅuraᶇ di Waděhati (Wadihati) adalah Dyah Wintuṅan, Patiḥ Paṅharěp adalah Saᶇ Tarua, Saᶇ Wuruju 2. dipersembahkan kain untuk laki-laki jenis raṅga, 1 buah kain untuk wanita, emas 1 suwarna81 dan 4 māsa82, masing-masing. Patiḥ Lampuran yaitu Saᶇ 3. Kělpuan, juga Saᶇ Nandraᶇka dipersembahkan sebuah kain untuk laki-laki jenis raṅga, satu buah kain untuk wanita, emas 1 suwarna dan 4 mās 4. masing-masing. Dyaḥ Basa diberikan emas 10 mās, Saṅ Karua, Saᶇ Guṇuṅan Saᶇ Sambat, Saᶇ Maněkṣa, Saᶇ5. Śikāra, Saṅ Ayuta, Saᶇ Watu Manuṅgul, Dyaḥ Rāyawa, Dyaḥ Madri, Saᶇ Nini, Saᶇ Wupiᶇ, Saᶇ Sahěl, juga 6. diberikan emas 4 mās, sebuah kain untuk laki-laki jenis raṅga83 masingmasing, Wahuta Paliňjuan (menghadap kepada ?)
IV. b 1. Saᶇ Babat, Saᶇ Babahan, Saᶇ Bantěn, juga dipersembahkan emas 1 suwarna dan 4 māsa, sebuah kain untuk laki-laki jenis raṅga, masing-masing 2. sebuah kain untuk wanita, Saᶇ Maněsěr diberikan emas 8 māsa, Wahuta Lampurān, Saᶇ Tambai, Saᶇ Marumuḥ 3. Sa(ᶇ) Marapat, Saᶇ Wijiwar, Saᶇ Lampuran juga diberikan emas 4 māsa, sebuah kain untuk laki-laki jenis raṅga 4. masing-masing daṅācāryya netra diberikan emas 8 māsa, sebuah kain untuk wanita. Marurmetiḥ Saᶇ 5. Dawas, Si Uňju, Si Knakěn, Si Kuriňja, Si Kumbuy, Si Ptaᶇ, Si Dumka, juga diberikan emas 1 māsa, kain 6. untuk laki-laki jenis raṅga 1 helai, masing-masing. Si Hujuᶇ, Si Runda, Si Balu, Si Tanayan, Si Ňamanta. Wahuta Rāma yaitu, Si Darmma.
VI. a 1. Sebuah kain untuk wanita, masing-masing. Setelah selesai semua, yang disebut segel (tanda) dari Rakryan Piᶇlai Wahuta dari Rāma 81
merupakan satuan ukuran emas pada masa Jawa Kuno salah satu ukuran emas pada masa Jawa Kuno 83 sebuah sebutan untuk jenis motif kain, biasanya dikenakan oleh laki-laki 82
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
36
2. Batu śima dan juga pepohonan ditanam oleh Rakryan Bawaᶇ, Dyaḥ Śrwaṇa. Batas di sebelah selatan adalah 3. Kaṇḍaᶇ. Meskipun begitu (tuhun?) ini adalah batas Sima di Gayam. Sebelah selatan sungai mengalir ke barat, juga berbatasan dengan 4. Kapulungan. Itu (batasnya) adalah pagar yang (mengarah) ke utara di sebelah selatan sungai, juga terdapat sawah hangus (saṅaṅ) di utara 5. sungai, sawah pagagan, yang diperintahkan untuk tidak dimiliki oleh pemerintahan lain. Meskipun fungsinya adalah sebagai desakan (pateke) garigariḥ ketika sedang mempersembahkan 6. pemujaan kepada Bhaṭara, termasuk juga sawah swatantra di Kamula Dharmmān dilindungi oleh kekuatan dari
VI. b 1. Mula dharmma, karena itulah Saᶇ Muladharmmā bermaksud untuk mengetahui keburukan dan kebaikan di śima itu, dan batasnya sima 2. di Gayam juga di Pyapya, sungai yang berhulu ke utara dan Pyapya juga memiliki hak (terhadap) sungai tersebut, Gayam 3. memiliki hak (terhadap) jalan. Kemudian bagian utara berbatasan dengan sima bernama Dok. Patih mendirikan batu suci (śima) 4. dan pohon, kemudian barat berbatasan dengan pohon (katimaᶇ) tiga ḍpa dan empat siho. Perwakilan Rama yang pada saat itu ikut membatasi 5. śima, pejabat Winkas di Halaṅan yaitu, Saᶇ Lumbuᶇ. Dari Kalaᶇ yaitu, Saᶇ Saṅkěp. Pejabat Winkas di Taritip yaitu, Saᶇ Balikuḥ. Pejabat Winkas di 6. Kalpuan yaitu Saᶇ Bsi, Winkas di Waharu adalah Saᶇ Liṅga. Pejabat Kalaᶇ adalah Saᶇ Rasuk. Pejabat Winkas dari Gayam Tběl yaitu Saᶇ Śoca
VII. a 1. Demikianlah banyaknya jumlah pejabat perwakilan dari Rāma dari desa sekitar yang ikut membatasi śima pada saat itu. Semua diberikan emas 2 māsa, sebuah kain untuk laki-laki jenis rangga, 2. juga kain untuk wanita masing-masing. Sebagai tanda (bukti) pengesahan śima dan untuk menjalankan perintah dari Śri Maharāja, kepada Rakryān Bawaᶇ
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
37
3. status dari sima di Gayam juga Pyapya tidak boleh dimasuki oleh tiga orang pejabat dan segala macam dari Maṅilala Dṛwya Haji, yaitu: Kriᶇ84 4. Paḍamapuy85, Tuha Pamgat, Makudur, Paṅkur, Tawan, Tirip86, Taji, Tapa Haji, Manimpiki, Sinaguha 5. Tuha Dagaᶇ, Maṅuriňja, Maᶇrumbai, Kalaṅkaᶇ, Kataṅgaran, Winilay (Pinilai) Siṅgah, watak-watak i jro, Pamarśi 6. Hulun Haji, Manambaṅi, Saṅka, Dhura, Pamaṇīkan, Ḍaᶇhuan, Huňjamān, Śenamuka, Bhuja, juga Saᶇ Baṇigrāma
VII b. 1. dan sebagainya tidak boleh memasuki daerah śima tersebut, dan semua pejabat pajak, seperti orang Kliᶇ, orang Arja, orang Siṅhala, orang Drawila (Dravida) 2. 4 orang saudagar, orang Paṇḍikir, orang Campa, orang Mon, orangg Khmer, orang-orang itu adalah yang tidak diizinkan untuk masuk, Tuha pa3. Walyan, Sambal, Sumbul, Wiḍu Maṅiduᶇ, Salaran, penduduk i jro, Paṇḍai Mās, Tambra 4. Wsi, Gaṅśa, dan sebagainya. Apapun milik seluruh warga di Kilaān, apapun milik para warga 5. semua yang berasal dari jauh, jika mereka berada di daerah Gayam atau Pyapya, dan sebagainya, segala jenis 6. sukhaduḥkanya adalah aṅgśapratyaṅgśa, semua jenih denda , maṇḍiha, mayat terkena embun, darah tercecer
VIII a. 1. meludah, juga menangkap maling yang menyerang, terburu-buru masuk (pintu?), amamupaᶇ (?)87, dan seluruhnya termasuk ke dalam delapan kejahatan,
84
Kriᶇ tidak diketahui jenis pekerjaannya tetapi juga memiliki hubungan dengan paṅuraᶇ Merupakan petugas khusus yang menarik denda terhadap orang-orang yang melakukan pembakaran 86 Menurut Casparis, Paṅkur, Tawan, Tirip merupakan petugas yang melakukan pengawasan agar perintah raja dilaksanakan 87 kata ini belum dapat diartikan 85
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
38
2. di pohon memindahkan kepalanya (?). Itulah peraturan dari śima tersebut dan perintah dari Samgět Waděhati 3. diperintahkan untuk dipelihara oleh Ḍampunta Surḍḍa dan juga oleh Ḍampunta Dhayi. Juga membebaskan dari hukuman maling, dan sebagainya. 4. Samgět Wadihati memiliki ukuran untuk semuanya, juga mati terjatuh, mati tenggelam, juga mati tersambar petir. 5. mati digigit ular, mati dimakan buaya, mati dimakan ikan hiu, mati karena monster laut, dan sebagainya. Semua yang termasuk kematian tidak wajar. 6. Samgět Waḍihati yang tahu ukurannya, semua atas perintah Samgět Wadihati, juga keinginan dari
VIII b. 1. Samgět Waḍihati, jika ada yang mati di peperangan Puntakāya (?)88, dibagi menjadi tiga pajaknya, satu bagian untuk 2. Muladharmmā, satu bagian lagi untuk Puntakāya (?), dan jika Muladharmmā meninggal mendadak, maka tidak diberikan kepada 3. Ḍampunta, dan Saᶇ Muladharmma. Seluruh pekerjaan yang baik awaraṅana awiru atan suṅěn ikarataḥ (?89)Ḍampunta. Segala macam 4. kemalangan dan semacamnya walagarādhi(?) tidak boleh disentuh oleh Saᶇ Muladharmma. Ḍampunta juga membagi tanah 5. dari ujung ke ujung dan Saᶇ Muladharmmā berpartisipasi. Merupakan perintah dari Śrimahārāja kepada Samgět Wadihati 6. dan Punta memberikan pasěk pasěk90 berupa emas kepada Samgět Waděhati. Yang menjabat sebagai Waděhati saat itu adalah Dyaḥ Ḍampit, diberikan emas 4 suwarna
88
kata ini belum dapat diartikan kata ini belum dapat diartikan 90 merupakan hadiah persembahan berupa uang atau pakaian kepada raja dan pejabat kerajaan. 89
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
39
IX a. 1. sepasang kain untuk laki-laki, satu buah kain untuk wanita. Yang menjabat sebagai Mumahumah di Samgět Wadihati, Saᶇ Haḍyan Halarān juga Saᶇ Hadyan Miramiraḥ 2. Saᶇ Kulumpitan yang memberikan Śima tersebut kepada Samgět Waděhati, Saṅ Handyan Buṅkah juga diberikan 3. emas 4 māsa, kain untuk laki-laki 1 yugala, masing-masing. Yang menjabat di Rambaᶇ Saᶇ Gaṅśal diberikan emas 2 māsa. Saᶇ Citraleka yaitu Saᶇ Samara diberikan. 4. emas 4 māsa 4 kain untuk laki-laki 1 yugala, masing-masing. Ḍaᶇācarrya Netra diberikan emas 8 māsa, sebuah kain untuk laki-laki, sebuah kain untuk wanita. Setelah semuanya dikerjakan 5. oleh Rakryan juga Saᶇ Piṅhe Wahuta, diperintahkanlah Saṅ Apatiḥ mendirikan batu suci (śima) juga pohon di Gayam 6. juga di Pyapya. 10 orang Patiḥ diberikan emas 1 suwarna dan 4 māsa, sebuah kain untuk laki-laki dan untuk wanita. Yang menjabat sebagai Palujar bagi Patih, Saᶇ Dawas
IX b. 1. juga Si Uňju, semuanya diberikan 1 helai kain untuk laki-laki dan emas 4 māsa. Si Huju, Saᶇ Rěndaḥ juga Si Halu, Si Tanayan 2. semuanya diberikan emas 4 māsa, sebuah kain untuk laki-laki, masing-masing. Wahuta Rāma yaitu, Saᶇ Dharma, Saᶇ Kumru diberikan emas 4 māsa, kain untuk laki-laki sehelai 3. Yang menjabat Partaya yaitu Saᶇ Gdaḥ diberikan emas 1 suwarna dan 4 māsa. Yang menjabat sebagai Winkas di Kaladi yang menandai śima yaitu, Saᶇ Cilika 4. juga diberikan emas 4 māsa, kain untuk wanita sebuah, masing-masing. Yang menjabar Kalaᶇ yaitu Saᶇ Nini diberikan emas 1 suwarna dan 4 māsa, 5. kain untuk laki-laki sebuah, sebuah kain untuk wanita. Pejabat Winkas dari Paḍiᶇḍiᶇ yaitu Saᶇ Colika diberikan emas 10 māsa, kain untuk laki-laki 1 yugala, dan kain untuk wanita sebuah. Pejabat Kalaᶇ yaitu, Saṅ Anḍi
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
40
6. diberikan emas 10 māsa, kain untuk laki-laki 1 yugala, sebuah kain untuk wanita. Pejabat Winkas yaitu, Saṅ Asiḥ, Saᶇ Dhiti, Saᶇ Margga, Gusti yaitu, Saᶇ Tanaḥ, Saᶇ Nyāpi, Saᶇ Warci
X a. 1. Saᶇ Sulur, Juru Sasaran, Saᶇ Tuluy, Saᶇ Saṅgai. Yang menjabat Awatěs yaitu Saᶇ Bsi, Saᶇ Gamal, Saᶇ Wiṣa.Yang menjabar sebagai Tuha Wgaḥ yaitu, Si Neruṇda 2. yang menjabat sebagai Atuhun yaitu, Si Manḍak. Yang menjabat sebagai Maᶇjuruan yaitu Si Rakṣa, Si Timběl, Si Dewa, diberikan emas 2 māsa, masing-masing. Yang menjabat sebagai Muladharmma, yaitu Ḍampunta 3. Suḍdhaḥ juga Ḍampunta Dayi, Saṅ Kukajaᶇ, Saᶇ Tisan. Yang menjabat sebagai Pasaᶇ Guṇuᶇ, yaitu Ḍampu Suḍdhaḥ juga Dampunta Dayi kepada Rāmanta berupa emas 8 māsa 4. dan segala isi yang ada di bukit, gunung dan rawa-rawa. Dan jika ada empat golongan yang menolak 5. keputusan dari Raja, maka Śri Mahārāja kepada Samgět Waděhati maka dibebaskan dari Jabatan Waděhati, lima macam kesusahan dan sengsara 6. maka akan ditemui di dunia akhirat, segala macam kemalangan akan ditemukannnya, kehancuran menemuinya, dan tidak dimaafkan.
X b. 1. Itulah tugas yang harus dijaga oleh penduduk desa semua dari kata-kata yang ada di prasasti 2. anugrah Śri Maharāja oleh Samgět Waděhati sudah sempurnalah sima di Gayam juga 3. di Pyapya. Pejabat Punta menerima praṣaṣṭi dari Śrī Mahārāja Dampunta Suḍḍhara juga Dampunta Dayi yang ditulis oleh Citraleka 4. dari Hino yaitu, Pakṣaṇa. //o// prāṣaṣṭi ini dipeliharalah //o// dikokohkan oleh penduduk desa dari 5. Mpu Yogarajā yang dipahat di atas tembaga //o//
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
41
BAB IV PEMBAHASAN
Pada Bab IV merupakan pembahasan terhadap isi prasasti Kaladi secara keseluruhan. Dilakukan kritik dan interpretasi terhadap isi dari prasasti Kaladi. Tahap kritik dilakukan untuk menilai apakah isi dari prasasti Kaladi layak atau tidak menjadi data sejarah, khususnya dalam sejarah dari pemerintahan masa Balitung. Pada tahap kritik, dilakukan perbandingan terhadap prasasti-prasasti yang sejaman. Pada tahap interpretasi, data dari prasasti Kaladi akan dibahas secara mendetail sehingga dapat digunakan sebagai sumber untuk menyusun suatu sejarah.
4.1 Kritik Pada tahap ini, kritik teks pada isi prasasti Kaladi dibagi dua, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Tujuan dari tahap kritik adalah untuk menghasilkan suatu kesimpulan apakah yang tertulis di dalam prasasti Kaladi memang sesuai dari jamannya.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
42
Tabel 1. Prasasti-Prasasti Masa Rakai Watukura Dyah Balitung. No.
Prasasti
Tanggal
Bahan
Aksara
1 2 3 4 5 6
820 Śaka 822 Śaka 822 Śaka 823 Śaka 824 Śaka 823 Śaka
Batu Logam Logam Logam Logam Logam
Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno
823 Śaka 823 Śaka
Batu Logam
Jawa kuno Jawa kuno
Purworejo, Jawa Tengah tidak jelas
824 Śaka
Logam
Jawa kuno
tidak jelas
825 Śaka
Logam
Jawa kuno
Sleman, Jogja
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Telahap Ayam Teas II Ayam Teas I Luitan Watukura Taji Kayu Ara Hiwang Rongkab Panggumulan A Panggumulan B Telang I dan II Ketanen Rumwiga I Rumwiga II Poh Kubu-kubu Kikil Batu I Kikil Batu II Palepangan Kandangan
Tempat Ditemukan Telahap, Temanggung, Jawa Timur Purworejo, Jawa Tengah Purworejo, Jawa Tengah Cilacap Jawa tengah tidak jelas Ponorogo, Jawa Timur
825 Śaka 826 Śaka 826 Śaka 826 Śaka 827 Śaka 827 Śaka 827 Śaka 827 Śaka 828 Śaka 828 Śaka
Logam Batu Logam Logam Logam Logam Logam Logam Logam Batu
Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno
21 22
Mantyasih I Mantyasih II
829 Śaka 830 Śaka
Logam Batu
Jawa kuno Jawa kuno
23 24 25
Mantyasih III Sangsang Guntur
829 Śaka 829 Śaka 829 Śaka
Logam Logam Logam
Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno
26
Rukam I
829 Śaka
Logam
Jawa kuno
27 28 29
829 Śaka 829 Śaka 829 Śaka
Logam Logam Batu
Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno
30
Rukam II Kasugihan Kinewu Turu Mangambil
Wonogiri Mojokerto, Jawa Timur Bantul, Jogjakarta Bantul, Jogkarta Klaten, Jawa Tengah Malang, Jawa Timur tidak jelas tidak jelas Magelang, Jawa Tengah Jogjakarta Temanggung, Jawa Tengah Gunung Lawu Temanggung, Jawa Tengah tidak jelas tidak jelas Temanggung, Jawa Tengah Temanggung, Jawa Tengah tidak jelas tidak jelas
830 Śaka
Batu
Jawa kuno
31 32 33
Kaladi Tulangan Wukajana
831 Śaka 832 Śaka 830 Śaka
Logam Logam Logam
Jawa kuno Jawa kuno Jawa kuno
7 8 9 10
Purworejo, Jawa Tengah Gunung Penanggungan, Jawa Timur tidak jelas tidak jelas Universitas Indonesia
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
43
4. 1. 1 Kritik Ekstern Tahap ini merupakan tahap mengenai otentisitas data, tujuannya adalah untuk mendapatkan kesimpulan bahwa data yang terdapat dalam prasasti Kaladi adalah data yang otentik dan asli. Hal yang perlu diteliti dalam tahap kritik ekstern ini adalah dari segi materi (bahan dan bentuk), jumlah baris, ukuran prasasti, paleografi, dan unsur kronologi.
4. 1. 1. 1 Materi (Bahan dan Bentuk) Prasasti Kaladi dipahatkan di atas tembaga berbentuk persegi panjang. Prasasti ini berjumlah 10 lempeng, 2 lempeng hilang, yaitu lempeng 3 dan 5. Prasasti pada masa Balitung pada umumnya dipahatkan di atas tembaga, tetapi ada pula beberapa yang dipahatkan di atas batu. Dari 32 prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Balitung, 25 prasasti dipahatkan di atas lempeng tembaga, sisanya dipahatkan di atas batu. Prasasti yang dipahatkan di atas lempeng tembaga adalah prasasti Luitan, prasasti Watukura, prasasti Telahap, prasasti Ayam Teas I dan II, prasasti Taji, prasasti Rongkab, prasasti Panggumulan A dan B, prasasti Telang I dan II, prasasti Rumwiga I dan II, prasasti Poh, prasasti Kubu-Kubu, prasasti Kikil Batu I dan II, prasasti Rabwan, prasasti Palepangan, prasasti Mantyasih I dan III, prasasti Rukam, prasasti Sang Sang, prasasti Guntur, prasasti Kasugihan, prasasti Barsahan, prasasti Wukajana, prasasti Kaladi, dan prasasti Tulangan.. Bentuk-bentuk prasasti tembaga dari masa Balitung biasanya berbentuk persegi. Jumlah lempeng tiap prasasti berbeda, tergantung isi dari prasasti tersebut, contohnya, prasasti Luitan terdiri dari 2 lempeng dan membahas mengenai pajak di desa Luitan. Prasasti Watukura terdiri dari 9 lempeng, membahas mengenai śima. Pada Prasasti Kaladi sendiri terdiri dari 10 lempeng. Sisi pada prasasti yang dipahatkan juga berbeda-beda, beberapa dipahatkan di bagian rekto dan verso, beberapa dipahatkan di bagian rekto saja. Contohnya adalah prasasti Kaladi yang dipahatkan di sisi rekto dan verso pada semua lempengannya, prasasti Taji yang terdiri dari 7 lempengan tetapi hanya lempeng ketujuh yang dipahatkan pada sisi rekto dan verso, sisanya dipahatkan di sisi rekto.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
44
Dapat disimpulkan bahwa bahan yang digunakan sebagai media prasasti Kaladi yaitu logam, memang lazim ditemukan pada masa Balitung.
4. 1. 1 .2 Jumlah Baris Prasasti yang akan diperbandingkan adalah prasasti masa Balitung yang dipahatkan di atas tembaga, karena prasasti Kaladi dipahatkan di atas tembaga. Prasasti Kaladi dipahatkan dalam 10 lempeng tembaga, tetapi lempeng 3 dan 5 hilang sehingga hanya terdapat 8 lempeng. Pada lempeng 1, 2, 4, 6, 7, 8, dan 9, terpahat masing-masing 6 baris aksara pada sisi rekto maupun verso, sehingga pada satu lempeng terdapat 12 baris. Pada lempeng 10, sisi rekto terpahatkan 6 baris aksara dan pada sisi verso terpahatkan 5 baris aksara, sehingga keseluruhan jumlah baris aksara dari 8 buah lempeng prasasti Kaladi adalah 95 baris. Kebanyakan prasasti tembaga dari masa Balitung memiliki jumlah baris yang lebih dari 20 baris, tetapi tidak sedikit pula yang memiliki baris kurang dari 10. Beberapa prasasti yang memiliki jumlah baris 20 atau lebih adalah prasasti Ayam Teas II berjumlah 20 baris, prasasti Rongkab berjumlah 23 baris, prasasti Watukura 21 baris, prasasti Kubu-Kubu berjumlah 45 baris, prasasti Mantyasih III berjumlah 29 baris, prasasti Barsahan berjumlah 23 baris. Beberapa prasasti masa Balitung yang memiliki jumlah baris kurang dari 20 yaitu, prasasti Ayam Teas I berjumlah 15 baris, prasasti Ayam Teas II berjumlah 20 baris, prasasti Poh (Randusari) berjumlah 3 baris, prasasti Palepangan berjumlah 15 baris, prasasti Barsahan berjumlah 13 baris, prasasti Tulangan berjumlah 7 baris. Dari keterangan tersebut, dapat dilihat bahwa belum ada prasasti pada masa Balitung lainnya yang dipahatkan di atas tembaga yang memiliki jumlah baris yang sama dengan prasasti Kaladi. Mengingat 2 lempeng prasasti Kaladi, yaitu lempeng 3 dan 5, hilang, diperkirakan jumlah keseluruhan baris prasasti Kaladi adalah 119 baris. Jumlah tersebut diperkirakan dari pola yang dilihat dari prasasti Kaladi, setiap lempengnya terdiri dari 6 baris bagian rekto dan 6 baris bagian verso kecuali pada lempeng terakhir. Diperkirakan kedua lempeng yang
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
45
hilang memiliki pola yang sama, sehingga diperkirakan jumlah keseluruhan baris prasasti Kaladi adalah 119 baris. Hal ini patut dipertanyakan.
Tabel 2. Jumlah Baris Pada Bagian Rekto Verso Prasasti Tembaga
No. 1 2 3 4
Nama Prasasti Luitan Ayam Teas I Ayam Teas II Taji
Jumlah Lempeng 1 lempeng
Jumlah Baris Yang Dipahat Rekto Verso 13
1 lempeng 1 lempeng 7 lempeng (3 lempeng hilang)
Keterangan
15 20 10 (Plat I)
4 (Plat VII)
Hanya plat VII yang bagian verso dipahatkan
7 (Plat I) 13 (Plat II)
Plat I bagian rekto tidak dipahatkan
12 (Plat III) 11 (Plat VI) 12 (Plat VII)
5
Telang I dan II
2 lempeng
13 (Plat II)
6
Poh
2 lempeng
19 (Plat I) 19 (Plat II)
7
KubuKubu
6 lempeng (2 lempeng hilang)
5 (Plat III,IV) 4 (Plat V, VI, VII)
8
Mantyasih I
2 lempeng
25 (Plat I) 23 (Plat II)
9 10
Mantyasih III Sangsang
1 lempeng 2 lempeng
14 14
11 12
Guntur Rukam
1 lempeng 2 lempeng
8 12 (Plat II)
13 15 (Plat I) 11 (Plat II) 5 28 (Plat I)
13 14
Kasugihan Kaladi
1 lempeng 10 lempeng (2 lempeng hilang)
7 6
6
18 5 (Plat I, III, IV) 4 (Plat V, VI, VII)
Plat I bagian rekto tidak dipahatkan
Bagian verso tidak dipahatkan
Bagian verso plat I tidak dipahatkan
(5 baris pada lempeng terakhir)
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
46
Jika melihat dari tabel, salah satu ciri dari prasasti masa balitung adalah, jumlah baris pada setiap lempeng berjumlah lebih dari 10 baris dan tidak menggunakan banyak lempeng, sedangkan prasasti Kaladi dan Kubu-kubu memiliki jumlah baris yang sedikit pada setiap lempengnya dan juga memiliki jumlah lempeng yang cukup banyak. Prasasti Kubu-kubu diduga juga merupakan prasasti tinulad, sehingga melihat kesamaan antara jumlah baris setiap lempeng dan juga banyaknya lempeng prasasti pada kedua prasasti tersebut, kemungkinan besar hal itu juga dapat menjadi bukti ke-tinulad-an.
4. 1. 1 .3 Ukuran Prasasti Prasasti Kaladi memiliki ukuran setiap lempeng yang berbeda tipis, yaitu: 1. Lempeng I
: 11.5 x 42.4 cm
5. Lempeng VII
: 11 x 43.2 cm
2. Lempeng II
: 11 x 42.5 cm
6. Lempeng VIII
: 11.5 x 43.4 cm
3. Lempeng IV : 11 x 42.5 cm
7. Lempeng IX
: 11 x 43 cm
4. Lempeng VI : 11.5 x 43.5 cm
8. Lempeng X
: 11.4 x 43.4 cm
Jika membandingkan dengan ukuran prasasti-prasasti tembaga masa Balitung lainnya, dapat dilihat bahwa ukuran prasasti tembaga pada masa itu memang tidak berbeda jauh walaupun ukurannya cukup variatif panjangnya berkisar antara 35-53 cm, dan lebarnya berkisar antara 11-23 cm. Ukuran prasasti Balitung lainnya yang mendekati ukuran prasasti Kaladi adalah prasasti Ayam Teas II yang berukuran 11,3 x 43,7 cm.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
47
Tabel 3. Unsur Fisik Prasasti Sima Berbahan Tembaga Pada Masa Rakai Watukura Dyah Balitung.
Nama No. Prasasti 1 Luitan 2 Ayam Teas I
Bahan Logam Logam
Jumlah Baris 13 baris 15 baris
1 lempeng 7 lempeng (3 lempeng hilang)
Rekto Verso
Ukuran Terbesar 45 x 23 cm 25 x 9 cm 35,3 x 12,2 cm
Rekto Verso
48 x 15 cm
Rekto Verso Rekto Verso
? ?
41 baris
2 lempeng 2 lempeng 6 lempeng ( 2 lempeng hilang)
Rekto Verso
Logam
48 baris
2 lempeng
Rekto
35,5 x 6 cm 49,3 x 22,2 cm
Logam
27 baris
1 lempeng
Rekto Verso
Sangsang Guntur
Logam Logam
54 baris 13 baris
2 lempeng 1 lempeng
Rekto Verso Rekto Verso
12 13
Rukam Kasugihan
Logam Logam
40 baris 7 baris
Rekto Rekto
14
Kaladi
Logam
96 baris
2 lempeng 1 lempeng 10 lempeng (2 lempeng hilang)
3
Ayam Teas II
Logam
20 baris
4
Logam
48 baris
5 6
Taji Telang I dan II Poh
Logam Logam
33 baris 56 baris
7
Kubu-kubu
Logam
8 9
Mantyasih I Mantyasih III
10 11
Jumlah Lempeng 1 lempeng 1 lempeng
Sisi Yang Dipahat Rekto Rekto Verso
Rekto Verso
45 x 19 cm 38 x 13,5 cm 24 x 9,5 cm 43,8 x 22,7 cm ? 11.5 x 43.5 cm
Ukuran prasasti logam masa Balitung yang jumlah lempengnya hanya 1-2 lempeng biasanya memiliki ukuran yang lebih besar dengan prasasti logam yang memiliki jumlah lempeng lebih dari 2. Jika membandingkan dengan prasasti masa Balitung lainnya, prasasti Kaladi memiliki ukuran yang berbeda dengan prasasti Balitung lazimnya.
4. 1. 1. 4 Aksara (Paleografi) Menurut J.G de Casparis, prasasti pada masa Balitung memiliki ciri khas berbentuk bulat dan cenderung miring ke kanan dan tanpa hiasan. Aksara ini merupakan bentuk standar yang merupakan bentuk awal dari aksara Jawa Kuno.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
48
Aksara tipe ini lazim digunakan pada prasasti-prasasti masa pemerintahan Kayuwangi yang berlanjut ke masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung. Kaidah aksara: 1. Aksara-aksara yang tidak mempunyai kucir seperti i ( (
), da (
), ṅa (
), ja (
),
), dan ṇa (
).
2. Aksara-aksara yang mempunyai kuncir ganda seperti sa ( (
), a (
ṣa (
)
), pa (
), ya (
na
),
), ma (
ḍa
) dan
3. Aksara-aksara lainnya yang mempunyai kuncir tunggal yaitu wa (
), ka (
ca (
), dan ra (
), la ( ), śa (
), ta (
), ha (
),
).
4. Aksara berkuncir tunggal umumnya akan kehilangan kuncirnya bila diberi tanda ulu di bagian atasnya ( (
), dan ta (
), dan dua aksara yaitu ka
) selalu kehilangan kucirnya bila diberi wirama
atau tanda paten (
) (Casparis, 1975 : 33-34).
Penggunaan kuncir yang sistematis juga menjadi sebuah ciri aksara dari masa Balitung. Pada prasasti Kaladi, umumnya mengikuti kaidah pemakaian kuncir tetapi terdapat beberapa penggunaan kucir yang tidak konsisten. Contohnya pada plat I a, baris ketiga, aksara pa pada kata parwweśa tidak menggunakan kuncir (
).
Penulisan aksara ya pada prasasti Kaladi jarang dituliskan dengan menggunakan kuncir (
).Contohnya pada plat I a baris ketiga, kata bayabya
tidak dituliskan dengan aksara ya yang berkuncir, hal ini hampir ditemui pada seluruh baris prasasti Kaladi. Begitu pula dengan aksara la, kebanyakan tidak dituliskan menggunakan kuncir ( keenam, kata si lalu dituliskan (
). Contohnya adalah pada plat IV b baris ).
Penulisan aksara pada prasasti Kaladi juga ditemukan kesalahan pada penulisannya. Contohnya pada plat VII b baris ke 4, aksara a ( dengan cara (
) dituliskan
).
Hal lain yang patut diperhatikan lagi adalah ketidak konsistenan dalam penulisan aksara. Pada lempeng I a dan I b di baris awal dapat dilihat adanya keraguan dalam penulisan aksara. Aksara tersebut ditulis dengan patah-patah tidak
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
49
dengan goresan dengan yang sempurna, hal ini patut diperhatikan karena Damais mengatakan bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad. Kemudian pada prasasti Kaladi, aksara yang digunakan tidak terlalu bulat malah cenderung berbentuk kotak dan tidak selalu miring kekanan. Semakin lama aksara yang dituliskan dalam prasasti semakin jelas dan tidak terlihat adanya keraguan dalam penulisan, dan bentuk aksara tidak konsisten karena semakin lama aksara yang dituliskan semakin bulat tetapi tidak cenderung miring ke kanan, sedangkan pada prasasti Balitung aksara biasanya berbentuk bulat dan cenderung miring ke kanan.
Tabel 4. Perbandingan Aksara Beberapa Prasasti Balitung
No Aksara 1
Ka
2
Ta
3
Ma
4
Wa
5
Da
6
Na
7
La
8
Ba
Kaladi
Luitan
Rukam
Pada tabel terlihat bahwa perbedaan ka dan na pada prasasti Kaladi berbeda dengan prasasti Luitan, Rukam, dan Rumwiga yang juga berasal dari masa Balitung. Perbedaan tersebut kemungkinan juga didasari pendapat Damais yang menyatakan bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad, sehingga perbedaan aksara ini menjadi salah satu bukti yang menguatkan pendapat Damais.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
50
4. 1. 1. 5 Unsur Kronologi Pada prasasti Kaladi plat I a, ditemukan adanya angka tahun yang tertera, tetapi angka tahun tersebut sudah sangat aus sehingga sulit dibaca. Jones, A. S Wibowo dan Boechari membacanya sebagai 831 Śaka. Dari pembacaan tersebut dapat dipastikan benar bahwa prasasti ini adalah prasasti yang dikeluarkan oleh Dyah Balitung karena sudah jelas terdapat keterangan tertulis pada prasasti ini bahwa yang mengeluarkan prasasti Kaladi adalah Rake Watukura Dyaḥ Balituᶇ Śri Dharmmodhaya Mahāsambhu yang memerintah Mataram Kuna sejak 821-833 Ś. Pada prasasti Kaladi ditemukan adanya kejanggalan dalam penulisan penanggalan. Di prasasti tertulis : “swasti śakawarṣātita 831 āṣāda māsa tithi aṣṭami śuklapakśa wa wa āᶇ wāra mahatal outtara granāsta hasta nakśatra dinā kṣabdeto śiwayoga kuwera parwweśa bayabya maṇḍala sweta muhutta viṣṭi karaṇa nyarawi.” Terjemahannya adalah, 831 Ś bulan Āṣāda, bulan ke delapan paruh terang, Was, Wage, hari selasa, Wukunya Mahatal, saat kedudukan bintang di utara, naksatranya Hasta, Yoganya Śiwa, Parwweśanya Kuwera, Maṇḍala terletak di sebelah barat laut. Muhurttanya Sweta, Karananya Viṣṭi, Rawinya (?). Terdapat 13 unsur penanggalan pada prasasti Kaladi. Hal ini tidak lazim ditemukan di masa Balitung, Kebanyakan prasasti Balitung hanya terdiri dari 7-9 unsur penanggalan. Contohnya: Prasasti Kubu-Kubu: “swasti śakawarṣātita 827 kartika māsa tithi pratipāda kṛṣṇapaksa ma ka wṛ wāra wariga.” Prasasti Luitan: “swasti śakawarṣātita 823 caitra māsa tithi daśami kṛṣṇapaksa wa ka wṛ wāra sathabisa nakśatra indra yoga.” Prasasti Rongkab: “swasti śakawarṣātita 823 karttikamasa tithi daśami śuklapakśa wā wa a wara satabhisa naksatra baruna.” Prasasti Kaladi diduga adalah prasasti tinulad yang di-tulad pada masa Majapahit akhir, menurut Damais. Salah satu dugaan dapat dilihat dari unsur penanggalan yang ada di prasasti Kaladi. 13 unsur penanggalan tersebut lazimnya diterapkan pada masa Majapahit.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
51
Contohnya: Prasasti Sukamerta: “swasti śakawarṣātita 1218 kartika māsa tithi dwitīya śuklapakśa tung ka ca wāra kuningan daksinastha grahacāra adrānaksatra mitradewata
barunamandala
atigaṇḍayoga
wairajyamuhūrtta
kuweraparwwesa walawakarana mṛcchikarāsi.”. Prasasti Tuhanyaru: “swasti śakawarṣātita 1224 mārggasiramāsa tithi paňcadasi śuklapakśa tung u ang krulwut purwwastha grahacara adrānaksatra rusdradewatā barunamandala brahmayoga wijayamuhūrtta yamaparwwesa wawakarana mituna rāsi.”
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
52
Tabel 5. Perbandingan pertanggalan beberapa prasasti Balitung dengan prasasti Majapahit
Unsur Penanggalan Prasasti
Warṣa
Māsa
Pakṣa
Wāra
Tithi
Graha
Ṣad
Paňca
Sapta
Kubu-Kubu
827
Kartika
Kṛṣṇa
Pratipada
Ma
Ka
Wṛ
Luitan
823
Caitra
Kṛṣṇa
Daśami
Was
Ka
Wṛ
Rongkab
823
Kartika
Sukla
Daśami
Was
Wa
A
Kaladi
831
Āṣāda
Sukla
Aṣtami
Was
Wa
Ang
Sukamerta
1218
Kartika
Sukla
Dwitiya
Tung
Ka
Sa
Tuhanyaru
1224
Margga
Sukla
Pancadasi
Tung
U
Ang
Nakṣatra
Dewata
Sathabisa Sathabisa Uttarasthana Daksina stha Purwwasthana
Mandala
Parweṣa
Rāsi
Muhūrta
Siwa
Bayu
Kuwera
Sweta
Baruna
Kuwera
Kanya Mrccchi ka
Baruna
Yama
Mituna
Wijaya
Yoga
Wuku
Karaṇa
Indra Baruna
Hasta Adra
Mitra
Ganda
Adra
Rudra
Brahma
Wawa
Wairajya
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
53
Jika melihat pola penanggalan dari prasasti masa Raden Wijaya, dapat dilihat adanya pola penanggalan yang mirip dengan penanggalan di prasasti Kaladi. Hal ini merupakan salah satu bukti yang dapat menguatkan teori Damais yang menyatakan bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad.
4. 1. 2 Kritik Intern Pada tahap kritik ekstern dilakukan pengkajian terhadap unsur isi dari prasasti Kaladi secara keseluruhan untuk membuktikan bahwa data-data yag disajikan dalam prasasti Kaladi dapat dipercaya dan sesuai dengan jamannya.
4. 1. 2. 1 Bahasa Pengujian terhadap bahasa yang digunakan dalam prasasti Kaladi meliputi kata, kalimat, dan wacana. Setiap kata akan diteliti apakah kata tersebut lazim digunakan pada prasasti-prasasti masa Balitung lainnya. Kalimat juga akan diteliti, karena pada kalimat-kalimat tersebut biasanya terkandung pola yang khas digunakan pada masanya. Tahap terakhir adalah penelitian terhadap paragraf dan keseluruhan isi teks pada prasasti Kaladi. Bahasa yang digunakan pada prasasti Kaladi tidak singkat dan kaku seperti pada masa Rakai Kayuwangi. Tetapi dapat dilihat pada prasasti Kaladi bahwa terdapat kesalahan penulisan pada isi prasasti dan banyaknya penggunaan kata yang tidak lazim ditemukan pada prasasti Balitung lainnya, serta adanya ketidak konsistenan dalam penulisan kata sīma, terkadang tertulis sima, sīma, atau śima.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
54
Tabel 6. Kesalahan Penulisan Oleh Citraleka
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kata
Tgu Watukara Jyaḥ Ḍaksaṇtama Turun Dampunta Paṅura Kri Paluwarak Miniṅley Lěbělep Paᶇuraňjai Tunuňjaman Hawe Dli Tan katama triṇi Maṅuriňja Winilay Waṅkey
I (a) 1 1 1 1 1
I (b)
II (a)
II (b)
IV (a)
IV (b)
VI (a)
Kesalahan Penulisan Oleh Citraleka VI VII VII VIII VIII (b) (a) (b) (a) (b)
2
3
IX (a)
IX (b)
X (a)
X (b)
3
2
1 1 1 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
55
20 21 22 23 24 25
Rāh tasawar Palujar Wděhan Kalaṅkaᶇ Waděhati Prāṣaṣdi
26
Sukaduhka
1 1 1
1 1
1 1
2
1
2
1 1 1
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
56
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat cukup banyak terjadi kesalahan penulisan oleh citralekha sendiri. Kesalahan penulisan yang banyak terjadi adalah penulisan kata Dampunta, pada prasasti lain biasanya kata tersebut dituliskan dengan kata Dapunta. Kata ini juga tidak lazim ditemukan pada masa Balitung, kata Dampunta pada masa Balitung hanya ditemukan pada prasasti Kaladi, dan kata tersebut diketahui baru muncul setelah masa Sindok. Hal tersebut memperkuat bukti ke-tinulad-an Prasasti Kaladi. Terlihat juga terjadi kesalahan dalam penulisan Waděhati, biasanya kata ini dituliskan Wadihati. Pada penulisan Waděhati terdapat ketidak-kosistenan dalam penulisan, dalam plat VIII (b) kata ditersebut dituliskan dengan benar, yaitu Wadihati. Yang paling menarik adalah kesalahan penulisan nama raja Śri Mahārāja Rake Waktukara Jyah Balituᶇ Śri Dharmmodaya Mahāsambhu, terjadi kesalah penulisan pada kata Watukura dan Dyah. Ini adalah kesalahan yang cukup fatal, karena raja adalah yang memberikan status sīma, sehingga penulisan nama harus benar. Begitu pula dengan penulisan Ḍaksaṇtama, gelar sebenarnya adalah Rakryan Mapatiḥ i Hino Pu Dakṣottama Bahubajra Pratipakṣākṣaya, terjadi kesalahan penulisan terhadap dua nama tersebut adalah kesalahan fatal dan menjadi bukti kuat bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad, karena jika dikeluarkan pada masa Balitung asli, maka tidak mungkin ada kesalahan dalam penulisan nama raja dan i hino karena mereka adalah penguasa saat itu. Penggunaan bahasa lain yang tidak lazim ditemukan pada masa Balitung lainnya adalah penggunaan kata wargga kilalan. Menurut Boechari (1981) dalam artikelnya, istilah ini hanya terdapat pada prasasti-prasasti raja Dharmmawaᶇśa Airlaᶇga. Hal ini kembali memperkuat bukti bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad, karena pada prasasti Balitung lainnya tidak ditemukan adanya istilah wargga kilalan.
2. 2 Struktur Prasasti Prasasti Kaladi merupakan prasasti sīma, setiap prasasti sīma memiliki formula urutan penulisannya. sebagai perbandingannya dapat dilihat di tabel 7.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
57
Tabel 7. Struktur Prasasti Sima Pada Prasasti Tembaga Masa Rakai Watukura Dyah Balitung
No.
Nama Prasasti
1
2
3
4
5
6
7
8
9 a
b
c
10 d
e
a
b
c
d
e
11 f
g
h
i
j
1
Ayam Teas I
●
●
●
●
●
●
2
Ayam Teas II
●
●
●
●
●
●
3
Taji
●
●
●
4
Panggumulan A
●
●
●
●
5
Telang I
●
●
●
●
●
6
Telang II
●
●
●
●
●
7
Poh
●
●
●
●
8
Kubu-kubu
●
●
●
9
Mantyasih I
●
●
●
●
●
●
●
10
Mantyasih III
●
●
●
●
●
●
11
Rukam
●
●
●
●
●
●
12
Kasugihan
●
●
●
●
●
13
Kaladi
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
● ●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
● ●
●
●
●
● ●
●
●
●
●
●
●
●
●
● ●
●
12
● ●
●
●
●
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
58
Keterangan: 1. Manggala 2. Unsur penanggalan 3. Yang mengeluarkan perintah 4. Yang menerima perintah 5. Yang menerima anugrah sīma 6. Luas daerah yang dijadikan sīma 7. Besarnya Pajak 8. Sambandha 9. Daftar pejabat yang menerima pasěk-pasěk, yaitu: a. Pejabat tinggi kerajaan b. Wadwa c. Pejabat tingkat watak d. Pejabat wanua yang dijadikan sīma e. Pejabar dari desa-desa sekeliling 10. Jalannya upacara penetapan sīma a. Pembagian pasěk-pasěk b. Saji-sajian c. Makan minum d. Upacara makamwaᶇ dan makawitha e. duduk bersama mengelilingi watu sīma dan kulumpaᶇ f. Upacara potong ayam dan memecah telur g. Menyembah kepada saᶇ hyaᶇ kulumpaᶇ dan saᶇ hyaᶇ watu sīma h. Menambah daun i. Kesenian j. Kutukan 11. Larangan bagi para maṅilala drawya haji untuk memasuki wilayah yang telah ditetapkan menjadi sīma 12. Penyebutan Citralekha
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa pada prasasti yang berisikan penetapan sīma pada masa pemerintahan Balitung tidak memiliki struktur prasasti sīma dengan lengkap. Prasasti Kaladi memiliki unsur yang cukup lengkap, hanya saja pada prasasti Kaladi tidak mencantumkan daftar pejabat tinggi kerajaan dan pejabat wadwa yang menerima pasěk. Prasasti Kaladi juga tidak mencantumkan jalannya upacara penetapan sīma dengan lengkap, prasasti ini hanya menyebutkan bahwa terdapat acara pembagian pasěk- pasěk, saji-sajian dan juga sapata (kutukan). Jika dibandingkan dengan prasasti Ayam Teas I dan II, prasasti Kaladi memang jauh lebih lengkap strukturnya, prasasti Ayam Teas I dan II hanya menyebutkan mengenai; manggala, unsur penanggalan, nama raja, pejabat tinggi kerajaan yang menerima pasěk,
pembagian pasěk-pasěk, serta larangan bagi
maṅilala drawya haji untuk masuk ke daerah yang sudah menjadi sīma, selebihnya tidak disebutkan unsur-unsur lain. Prasasti yang menurut tabel di atas, yang merupakan prasasti sīma dengan unsur paling lengkap adalah prasasti Rukam. Prasasti ini hampir menyebutkan Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
59
semua hal, kecuali; luas daerah yang dijadikan sīma, Upacara makamwaᶇ dan makawitha, juga penyebutan nama Citralekha. Prasasti masa Balitung yang penggunaan struktur sīma nya mendekati struktur sīma prasasti Kaladi adalah prasasti Poh. Prasasti ini strukturnya mirip dengan prasasti Kaladi hanya saja prasasti Kaladi lebih lengkap sedikit. Perbedaan isi struktur sīma yang terdapat di dalam prasasti Poh dan prasasti Kaladi adalah; Prasasti Poh tidak menyebutkan luas daerah yang dijadikan sīma, dan tidak menyebutkan
siapa
yang
menerima
sīma,
sedangkan
prasasti
Kaladi
menyebutkannya. Prasasti Kaladi menyebutkan nama Citralekha, sedangkan prasasti Poh tidak. Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak semua prasasti penetapan sīma pada masa Balitung memiliki struktur yang lengkap, dan hal ini memang lazim ditemukan di masa Balitung. Tetapi dapat dilihat, walaupun prasasti Kaladi hampir mencantumkan formula yang ada, urutan formula yang terdapat di dalam prasasti Kaladi sangat tidak beraturan Tabel 8. Perbandingan Urutan Formula Prasasti Sīma
Kaladi 1. Manggala 2. Unsur penanggalan 3. Yang mengeluarkan perintah 4. Yang menerima perintah 5. Yang menerima anugrah sīma 6. Sambandha 7. Penerima pasěk-pasěk 8. Batas sima 9. Penerima pasěk-pasěk 10. Sapata 11. Penerima pasěk-pasěk 12. Sapata 13. Larangan bagi maṅilala drawya haji 14. Penyebutan Citraleka
Formula Prasasti Sima Rukam 1. Manggala 2. Unsur Penanggalan 3. Yang mengeluarkan perintah 4. Yang menerima perintah 5. Yang menerima anugrah sīma 6. Sambandha 7. Penerima pasěk-pasěk 8. Jalannya upacara 9. Sapata 10. Larangan bagi maṅilala drawya haji
Mantyasih I 1. Manggala 2. Unsur Penanggalan 3. Yang mengeluarkan perintah 4. Yang menerima perintah 5. Yang menerima anugrah sima 6. Luas daerah yang dijadian sīma 7. Sambandha 8. Penerima pasěk-pasěk 9. Jalannya upacara 10. Sapata 11. Larangan bagi maṅilala drawya haji
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
60
Dapat dilihat dari tabel bahwa memang penulisan urutan formula pada prasasti Kaladi tidak beraturan, hal ini menguatkan bukti mengenai ke-tinulad-an prasasti. Walaupun prasasti Rukam dan Mantyasih I tidak terlalu lengkap penulisan formulanya, tetapi urutan penulisan formulanya masih beraturan.
4. 2 Interpretasi Tahap ini akan disajikan suatu kisah sejarah berdasarkan data yang disajikan di dalam prasasti Kaladi. Pada tahap ini akan dibahas mengenai empat unsur yang paling penting, yaitu waktu, tempat, tokoh, dan peristiwa. Pembahasan keempat unsur tersebut ditunjang dengan prasasti-prasasti lain yang sejaman dan juga hipotesa-hipoesa dari peneliti lainnya sehingga dapat dilihat kesinambungan sejarah pada masa Balitung.
4. 2. 1 Identifikasi Waktu Pada prasasti Kaladi terdapat angka tahun yang tertera tetapi pada prasasti sudah tidak terlihat karena aus. Menurut Jones, Boechari dan A.S Wibowo, pertanggalan pada prasasti Kaladi adalah tahun 831 Ś. Rentang waktu Dyah Balitung memerintah yaitu sejak tahun 820 Ś sampai dengan 833 Ś. Pada prasasti juga menyebut nama Dyah Balitung sebagai raja yang mengeluarkan prasasti, jadi meskipun angka tahun pada prasasti Kaladi tidak bisa terlihat jelas karena aus, tetapi dapat dipastikan bahwa kemungkinan besar prasasti Kaladi bisa ditempatkan pada tahun 831 Ś karena menyebut nama Dyah Balitung sebagai raja yang memerintahkan daerah Gayam, Kaladi, dan Pyapya sebagai sīma.
4. 2. 2 Identifikasi Tokoh Kerajaan Mataram Kuna terdiri dari daerah pusat kerajaan yaitu ibukota kerajaan dengan istana Sri Maharaja dan tempat tinggal para putra raja dan kaum kerabat yang dekat dan para abdi dalem; lalu daerah-daerah watak yaitu daerah yang dikuasai para Rakai dan Pamgat dan wanua yaitu desa-desa yang diperintah oleh para pejabat desa (Soemadio, 1993: 90). Tokoh yang ditemukan pertama kali pada prasasti Kaladi adalah Śri Mahārāja Rake Waktukura Dyah Balituᶇ Śri Dharmmodaya Mahāsambhu atau
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
61
dikenal dengan Dyah Balitung. Dyah Balitung merupakan salah satu raja Mataram Kuna yang memerintah pada tahun 821-833 Ś, Dyah Balitung memerintah setelah Rakai Kayuwangi. Berdasarkan prasasti Mantyāsih tahun 829 Ś, diketahui bahwa dyah Balitung dapat naik jabatan menjadi raja adalah karena perkawinan. Menurut Soebadio, di dalam prasasti Mantyāsih disebutkan mengenai perkawinan dan hal tersebut adalah hal yang tidak lazim ditemukan dalam prasasti. Tampaknya perkawinan ini perlu di sebutkan di dalam prasasti adalah sebagai legitimasi dari Dyah Balitung untuk menyatakan bahwa dirinya berhak menjabat sebagai raja. Kemudian disebutkan ada tokoh bernama Rakryan Mapatiḥ i Hino Pu Dakṣottama Bahubraja Pratipakṣākṣaya. Daksa atau Śri Dakṣottama Bahubraja Pratipakṣākṣaya, yang menjabat rakryān mahāmantri i hino yang menjabat sebagai putra mahkota ternyata bukan anak Rakai Watukura, tetapi mungkin sekali iparnya. Dari berita Cina dari jaman dinasti Sung ia disebut ta-tso-kanhiung, yang oleh Boechari ditafsirkan sebagai Daksa, saudara [raja] yang gagah berani (Soemadio, 1993: 144). Kemudian diketahui bahwa Pu Daksa ini akan menggantikan Dyah Balitung menjadai raja Mataran Kuno setelahnya. Di antara para Rakai dan Pamgat
itu, ada yang berkedudukan sebagai
pejabat tinggi kerajaan dan ada pula yang berkedudukan sebagai kepala adaerah secara turun temurun (Soemadio, 1993: 190). Nama Rakai sendiri terkadang dituliskan dengan istilah Rakai, Rakryān atau Rake. Biasanya penyebutan Rakai atau Pamgat diikuti oleh nama daerah yang diperintahnya. Pejabat berikutnya yang disebutkan adalah Rakryan Bawaᶇ Dyaḥ Srawaṇa. Jadi dapat diketahu bahwa Bawaᶇ disini adalah nama sebuah watak dan pemimpinnya bernama Dyaḥ Sraḥwaṇa. Disebutkan pula jenis-jenis dari maᶇilala drawya haji khususnya paṅkur, tawan, dan tirip. Prasasti Kaladi merupakan prasasti yang struktur sīma-nya cukup lengkap, prasasti ini juga menyebutkan mengenai nama-nama kepala desa dan saksi-saksi yang menyaksikan penetapan sīma ini. Maᶇilala drawya haji terdiri atas beberapa unsur yang masing-masing memiliki peranan yang berbeda yaitu mereka yang memungut pajak atas nama raja, mereka yang dibebaskan dari pajak dan mereka yang mendapat upah dari
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
62
raja. Unsur yang pertama adalah para petugas administratif, mungkin mereka inilah yang diperinci sebagai panguraᶇ, kriᶇ, padem apuy, paranakan, limus galuh dan lain-lain. Unsur kedua adalah para usahawan, baik dengan cara jual beli maupun memproduksi barang, yaitu mereka yang biasa disebut warga kilālan. sedangkan unsur yang ketiga adalah mereka yang langsung melayani kebutuhan keratin atau yang biasa disebut dengan istilah watěk i jro (Sedyawati, 1985: 347).
4. 2. 3 Identifikasi Tempat Dalam masyarakat Jawa Kuna, satuan wilayah yang terkecil adalah wanua yang dipimpin oleh beberapa orang rāma (Sedyawati, 1985: 297). Menurut Sedyawati, dalam penataan wilayah Jawa Kuna selanjutnya dikenal dengan istilah watak atau watěk sebagai satuan administrasi yang lebih besar dari wanua. Watak ini membawahi wanua. Namun wanua-wanua yang berada di bawah satu watak tidak perlu berkelompok secara fisik atau membentuk suatu kesatuan wilayah. Mungkin lebih tepat jika dikatakan wanua-wanua yang tercakup dalam satu watak berada dalam cakupan wewenang watak yang bersangkutan (Sedyawati, 1985: 300). Dalam prasasti Kaladi penyebutan watěk adalah watěk bawaᶇ sehingga diketahui bahwa desa Kaladi, Gayam, dan Pyapya yang disebutkan adalah termasuk wilayah Bawaᶇ yang seperti telah disebutkan sebelumnya, pemimpinnya adalah Dyaḥ Sraḥwaṇa. Penyebutan nama tempat berikutnya adalah Kaladi, Gayam, dan Pyapya. Seperti yang telah disebutkan, ketiga desa ini berada di bawah pemerintahan watak Bawaᶇ. Jones dalam Early Tenth Century Jawa From The Inscriptions tahun 1984, mengutip dari Van Stein Callenfells (1924a: 370-392) yang mengidentifikasikan Wadihati sebagai daerah yang sekarang bernama Wedi, Palinjwan adalah daerah bernama Blinjon yang berada di selatan Wedi. Kapulungan sekarang bernama Pulungan yang berada di sebelah timur Wedi, Gayam Tběl diperkirakan sekarang adalah desa bernama Těběl Gede. Pyapya disamakan dengan desa bernama Pepe yang terletak di sebelah selatan Pulungan. Kaladi dimaksudkan adalah daerah di daerah utara pesisir Sidoarjo.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
63
Sekarang desa Kaladi bernama Kladi. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dari toponimi dapat diketahui area-area yang disebutkan dalam prasasti Kaladi. Dapat disimpulkan bahwa daerah-daerah yang disebutkan dalam prasasti Kaladi memang terdapat di Jawa Timur dan memang benar masuk ke dalam wilayah pemerintahan Dyah Balitung. Dijelaskan dalam prasasti Kaladi, bahwa terjadi perubahan status pada hutan yang berada di sekitar wilayah Gayam, Kaladi, dan Pyapya. Hutan tersebut diubah menjadi sawah karena penduduk Gayam, Kaladi, dan Pyapya merasa keamananannya terganggu akibat adanya bandit yang sering menghadang mereka di sekitar hutan tersebut dan menyebabkan aktivitas penduduk terganggu. Kemudian hutan tersebut dijadikan sawah agar penduduk kembali merasa aman dan dapat melakukan aktivitas sehari-harinya.
4. 2. 4 Identifikasi Peristiwa Peristiwa yang melatarbelakangi dibuatnya prasasti Kaladi sangat jelas tertulis di dalam isi prasasti ini. Seperti yang telah disebutkan, prasasti Kaladi berisikan mengenai sīma yang didirikan di desa Kaladi, Gayam, dan Pyapya yang berada di dalam Watěk Bawaᶇ. Tanah Kaladi, Gayam, dan Pyapya yang berada di bawah Watěk Bawaᶇ agar dijadikan sīma karena hutan yang berada di daerah tersebut membuat warga ketiga desa ketakutan karena adanya Mariwuᶇ, sehingga hutan tersebut kemudian dijadikan sawah sehingga tidak membuat penduduk resah. Sīma dapat diartikan sebagai tanah atau sesuatu daerah yang diberi batas untuk diubah status pajaknya untuk tujuan tertentu yang berkaitan dengan kewajiban terhadap Negara, misalnya pembiayaan bangunan suci atau pemeliharaan umum seperti bendungan, jalan raya, sarana penyebrangan atau hanya sebagai tanda balas jasa dari raja kepada seseorang (Susanti-Yulianto, 1992: 1). Dalam prasasti Kaladi disebutkan bahwa sīma dibuat untuk membuat rakyat yang tinggal di desa Kaladi, Gayam, dan Pyapya tidak merasa cemas dan dapat beraktifitas seperti biasanya tanpa harus merasa ketakutan. Karena jika
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
64
ketakutan tersebut terus berlanjut, diperkirakan bahwa masyarakat di ketiga desa tersebut akan kesulitan untuk membayar pajak. Setelah sīma tersebut ditetapkan, ada sekelompok orang yang dilarang memasuki daerah tersebut, mereka disebut dengan paṅkur, tawan, dan tirip serta para maᶇilala drawya haji. Struktur sīma pada prasasti Kaladi cukup lengkap, disebutkan pula banyaknya perwakilan dari kepala desa di sekitar desa Kaladi, Gayam dan Pyapya yang ikut menghadiri peristiwa penetapan sīma ini. Selain itu peristiwa penerimaan pasěk-pasěk juga dicantumkan dengan lengkap, begitu pula dengan sapata. Maka dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Balitung, struktur pembuatan prasasti sīma sudah cukup sistematis. Diketahui bahwa daerah Kaladi, Gayam, dan Pyapya mendapat ancaman dari para bandit. Hal ini mungkin karena adanya gejolak politik di dalam masa pemerintahan Dyah Balitung. Sangat mungkin adanya pemberontakan karena Dyah Balitung bukanlah keturunan raja, melainkan seseorang yang naik jabatan karena perkawinan, hal ini dapat dilihat di prasasti Mantyasih (829 Ś). Pada prasasti Palepangan (828 Ś) dan Luitan (823 Ś) disebutkan bahwa ada ketidakberesan dalam pemungutan pajak. Kemudian rakyat desa tersebut melapor kepada pejabat pemerintahan agar mereka kembali meninjau banyaknya pajak yang harus dibayarkan oleh rakyat desa tersebut. Pada prasasti Kinewu (829 Ś) disebutkan bahwa rakyat desa Kinewu tidak sanggup membayar pajak yang ditentukan, kemudian rakyat menghadap ke pejabat pemerintah untuk meminta pengurangan pajak. Keinginan rakyat Kinewu dipenuhi dengan syarat mereka harus membayar biaya pengurangan pajak. Pada prasasti Rumwiga I juga dikatakan bahwa rakyat desa meminta keringanan dalam pembayaran pajak desa mereka, mereka pun melaporkan ke pejabat pemerintahan. Dari prasasti-prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa kemungkinan terjadi adanya pemberontakan karena rakyat tidak setuju dengan naiknya Dyah Balitung menjadi Raja. Hal tersebut juga menjelaskan adanya bandit yang membuat penduduk Gayam, Kaladi, dan Pyapya menjadi tidak tenang dan ketakutan. Kemungkinan bandit tersebut adalah rakyat salah satu desa lain yang berusaha membuat nama Dyah Balitung menjadi buruk di mata rakyat Mataram.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
65
Hal ini dapat menjelaskan bahwa pemerintahan Dyah Balitung tidak berjalan dengan damai karena terdapat banyaknya protes terhadap pembayaran pajak dan juga adanya bandit yang membuat rakyat ketakutan.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
66
BAB V Penutup
Pada bab V ini akan disajikan uraian singkat tentang penelitian yang telah dilakukan terhadap prasasti Kaladi dan kesimpulan akhirnya. Prasasti Kaladi berisikan penetapan sīma di desa Kaladi, Gayam, dan Pyapya oleh Śri Mahārāja Rake Waktukura Dyah Balituᶇ Śri Dharmmodaya Mahāsambhu. Sīma ini ditetapkan karena hutan yang berada di antara ketiga desa tersebut membuat ketakutan para warganya karena adanya bandit, sehingga hutan tersebut kemudian dijadikan sawah. Damais berpendapat bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad. Pada prasasti Kaladi, terdapat angka tahun yang jelas, yaitu 831 Ś. Dari hasil kritik intern dan ekstern, ditemukan beberapa kejanggalan yang tidak ditemukan di prasasti masa Balitung lainnya. Terdapat juga terdapat keraguan penulisan pada prasasti, hal ini kemungkinan besar terjadi karena sang penulis kesulitan menuliskan aksara karena penulis tidak kenal dengan aksara yang terdapat di prasasti Kaladi. Hal ini menguatkan dugaan bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad. Dari unsur isi, prasasti Kaladi memiliki kesamaan kata dengan prasasti Balitung lainnya, tetapi terdapat beberapa kata yang tidak lazim digunakan pada masa Balitung, hal ini kembali memperkuat dugaan bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad. Prasasti Kaladi memiliki unsur prasasti sīma yang cukup lengkap, begitupula dengan prasasti-prasasti masa Dyah Balitung lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa prasasti pada masa Dyah Balitung sudah memiliki struktur penulisan sīma yang lengkap. Dapat dilihat pula bahwa yang mengeluarkan prasasti sīma pada masa pemerintahan Dyah Balitung adalah rajanya sendiri, bukan pejabat-pejabat lainnya. Pada prasasti Palepangan (828 Ś) dan Luitan (823 Ś) juga prasasti Kinewu (829 Ś) dapat dilihat bahwa banyak terjadi kecurangan pajak pada masa pemerintahan Dyah Balitung, sehingga masyarakat memprotes kepada raja, hal ini
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
67
bisa dinilai sebagai bentuk pemberontakan, hal ini juga dapat dilihat di prasasti Rumwiga I. Pada prasasti Kaladi juga disebutkan bahwa adanya bandit yang berkeliaran di hutan dan merugikan rakyat di desa Kaladi, Gayam, dan Pyapya. Hal ini dapat menjelaskan bahwa pemerintahan Dyah Balitung tidak berjalan dengan damai karena terdapat banyaknya protes terhadap pembayaran pajak dan juga adanya bandit yang membuat rakyat ketakutan. Hal lain yang dapat memperkuat bukti bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad, adalah penulisan angka tahun yang tidak lazim. Penulisan angka tahun pada prasasti Kaladi memiliki 13 unsur penanggalan, sedangkan pada prasasti Balitung biasanya hanya memiliki 7-9 unsur penanggalan. Biasanya yang menggunakan 13 unsur penanggalan adalah prasasti dari masa Majapahit. Hal ini kemudian menguatkan dugaan Damais yang mengatakan bahwa prasasti Kaladi adalah prasasti tinulad. Dari bukti-bukti yang sudah dipaparkan pada Bab IV, dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan
besar
prasasti
Kaladi
memang
prasasti
tinulad.
Kemungkinan besar prasasti tersebut di-tulad dengan rentang waktu yang cukup jauh dengan masa Balitung sehingga terjadi banyak kesalahan dan ketidak laziman bahasa yang digunakan. Prasasti ini mungkin awalnya ditulis di atas daun lontar yang kemudian rusak atau dipahatkan pada batu yang kemudian aus. Prasasti Kaladi di-tulad untuk kepentingan masyarakat Gayam, Kaladi, dan Pya-pya. Status sīma merupakan status yang akan berlaku hingga akhir jaman, sehingga penduduk Kaladi, Gayam, dan Pya-pya berhak terus menikmati status tersebut dengan segala konsekuensinya. Karena prasasti Kaladi yang pertama kemungkinan rusak parah sehingga tidak bisa dibaca kembali, maka prasasti Kaladi di-tulad agar legitimasi sīma pada daerah Gayam, Kaladi, dan Pya-pya tetap kokoh. Diketahui bahwa hasil pembacaan ulang dari prasasti Kaladi ini tidak memberikan
kontribusi
terhadap
penulisan
sejarah
kuno,
tetapi
dapat
membuktikan ke-tinulad-an dari prasasti Kaladi.
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
68
DAFTAR REFERENSI
Ayatrohaedi (ed), 1978. Kamus arkeologi Indonesia I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Baker S.J, J.W.M, 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Serie Risalah Pengantar Pengadjaran dan Peladjaran Sedjarah. Jogjakarta: Djurusan Sedjarah Budaja IKIP Sanata Dharma.
Boechari & A.S Wibowo. 1985/1986. Prasasti Koleksi Museum Indonesia Jilid 1. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional. (Tidak diterbitkan).
Boechari. 1977. Epigrafi dan Sejarah Indonesia dalam Majalah Arkeologi, I, halaman 1-35.
----------, 1981. Ulah Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuna dalam Majalah Arkeologi IV, halaman 67-87.
Brandes, J. L. A. 1913. Oud-Javaansche Oorkonden, Nagelaten Transcripties van Wiljen Dr. J.L.A Brandes, uitgegeven door Dr. N.J Krom, VBG LX. Damais, Louis-Charles. 1990. Etudes D’epigraphie Indonesienne. Paris: Ecole Française d’Extrềme Orient.
Hardiati, Endang Sri, 1996. Eksistensi Kekuasaan Rakai Watukura Dyah Balitung, dalam Amerta Berkala Arkeologi 17. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Hasan, Djafar. 2001. Prasasti dan Historiografi dalam Pengantar Epigrafi, hal. 41 - 82. Depok : Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
69
Jones, Antoinette M. Barret. 1984. Early Tenth Century Java From The Inscription. Dordrecht-Holland/Cinnaminson-U.S.A: Foris Publications.
Mardiwarsito, L 1990. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Flores: Nusa Indah, cet. Ke4.
Naerssen, F. H. 1937. Twee Koperen Orkonden van Balitung in Het Koloniaal Instituut te Amsterdam, B.K.I hal 441-461. 1995.
Nastiti, Titi Surti. 1982. Tiga Prasasti dari Masa Balitung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Ninie Soesanti. 1997. Analisis Prasasti, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII Cipanas, 12-16 Maret 1996 (Jilid I,). Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang,ed. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II, Edisi ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.
Wibowo, A.S. 1977.
Riwayat Penyelidikan Prasasti di Indonesia, dalam 50
Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional 1913-1963, hlm. 63-105. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
---------------, 1968. Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuna, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, halaman 159-195.
Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Zoetmulder, P.J. 1995. Old Javanese-English Dictionary. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
70
Lampiran 1. Alih Aksara oleh A. S Wibowo dan Boechari
I.a. 1. //o// śrir-astu jagaddhitāya //o // swasti śakawarṣātita. 831. āṣāḍamāsa 2. tithi aṣṭami śuklapakṣa. ba. wa. aŋ. wāra mahatal uttara granār asta. hastanakṣatra dinā 3. kṣabdeto śiwayoga. kuwera parwweśa. bayabya maṇḍala. sweta muhutta wiṣṭikara 4. ṇa nyarawi. tatkāla ny ānugraha śrī mahārāja rake watukura dyaḥ balituŋ śrī dharmmodaya mahāsambhu 5. tinaḍaḥ rakryān mapatiḥ i hino pu dakṣottama bahubajra pratipakṣākṣaya turun i rakryān 6. bawaŋ dyaḥ śraḥwaṇa. sambandha. i kanaŋ lmaḥ iṅ kaladi. i gayam. mwaṅ iŋ pyapya. watĕk I.b. 1. bawaŋ sinĕmbahakĕn ḍampunta suddhara muaŋ ḍampunta dampi śima pananamāna kambaŋ panikĕlana su 2. sur. sampun pūaya winehakĕn śimān. sambandha ikanaᶇ lmah iŋ gayam. muaŋ iŋ pyapya. 3. hlat gūṇan ta kamulanya. alas araṇan katatakutan. tamolaḥ pahabĕtan de niŋ mari 4. wuᶇ. dhumurbalākĕn ikaŋ banyāga muaŋ hilirān riŋ rahina riŋ kulĕm. kunĕŋ yathānyan ucayaguṇa i 5. kanaŋ alas dadhyā sawaḥ lāwan māryya katakutan mari watěk bawaŋ pārṇnaḥnya swatantra tan kata 6. mān de niŋ patiḥ wahuta mua /ŋ/ saprakaraniŋ maṅilala dṛwya haji ri daṅu. miśra paramiśra. wulu wulu II.a. 1. saprakāra. paṅurakri. manami. manimpiki. paranakan. limus. galuḥ. paṅaruhan. taji. watu ta 2. jĕm. sukun. palu warak. rakadut. miniṅley. kataṅgarān. tapa haji. air haji.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
71
3. malandaŋ. ḷca. ḷĕbĕḷĕb. kalaṅkaŋ. kutak. taṅkil. tṛpan. salwit. tuha dagaŋ. ju 4. ru salit. maŋrumbai. paŋguñjai. tuha nambi. tunuñjaman. watu walaŋ. pamaṇikan. manīga 5. . sikĕpan. rumban. wilaŋ wadwa. wiji kawaḥ. tiṅkĕs. hawĕ. tuhan juḍi. juru jalir. mi 6. śra hino. dli hapu. dli waḍu. dli kambaŋ. dli pañjut. dli harěŋ. palahāk. pakaluṅkuŋ. urutān. II.b. 1. ḍampulan. tpuŋ kawuŋ. suŋsuŋ paṅur. pasukalas. payuṅan. puluŋ paḍi. pabĕsar. paguluŋ. paṅi 2. nnaṅin. sipat wilut. pamawaśya. hopan. paṅrāṅan. skar tahun. panusuḥ. turun turun. pamali 3. han. kḍi walyan. widu maṅiduŋ. sambāl. hulun haji. mamṛki watĕs. i jro ityaiwa 4. mādi. tan tāma irikaŋ śima iŋ gayām. muaŋ i pyapya. pramāṇa i sadṛwya hajinya 5. kabeḥ. samaṅkana ikanaŋ sukaduḥka. kadyāṅganiŋ mayaŋ tan mawwara. waluḥ rumambat iŋ nata 6. r. wipati waṅke kabunan. rāḥ kasawur iŋ natar. wāk capala. duhilatĕn. hidu ka IV.a. 1. paṅuraŋ i pakudur si dhatar. paṅuraŋ i wadehati dyan wintuṅan. patiḥ paṅhaṛĕp saŋ tarua. saŋ wuruju 2. inaŋsĕan wḍehan raṅga yu 1 ken blaḥ. 1. mā. su. 1. mā. 4. sowaŋ sowaŋ. patiḥ lampuran saŋ 3. kĕlpuran. saŋ nadraŋta. kamuaŋ inaŋsĕan wḍihan raṅga yu. 1. ken blaḥ. 1 mā su. 1. mā. 4. 4. sowaŋ sowaŋ. dyaḥ basa winaih. mā. 10. saṅ karua. saŋ guṇuṅan. saŋ jambat. saŋ manĕkṣa. saŋ 5. śikara. saṅayuta. saŋ watu manuṅgul. dyaḥ rāyawa. dyaḥ madri saŋ nini. saŋ mupiŋ. saŋ sahĕl). ka
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
72
6. muaŋ inaŋsĕan. mā. 4. wḍihan raṅga yu. 1. sowaŋ sowaŋ. wahuta paliñjuan mahaṛěp IV.b. 1. saŋ babat. saŋ babahan. saŋ bantĕn. kamuaŋ inasean, mā. su 1 mā. 4. wḍihan raṅga yu. 1. sowaŋ 2. ken blah. 1. saŋ manĕsĕr winaiḥ. mā 8. wahuta lampurān. saŋ tambai. saŋ marumuḥ 3. . sa /ᶇ/ marapat. saŋ wajiwar. saŋ lampuran. kamuaŋ winehan. mā 4. wḍihan raṅga yu 4. 1 sowaŋ sowaŋ ḍaṅācāryya netra wineḥ. mā. 8. ken blaḥ. 1. marūrmetiḥ saŋ 5. dawas si uñju. si lĕkĕn. si kuriñja. si lumbuŋ. si ptaŋ. si dum. kamu°aŋ wineḥ. ma 3. wḍi 6. han raṅga hle. 1. sowaṅ so /waᶇ/ . si hujuŋ si runda. si lalu. si tanayan. si nāmanta. wahuta rāma. si darmma. VI. a. 1. ken blaḥ. 1. sowaŋ sowaŋ. tlas kabyaḥ aran taṇḍa rakryān. muaŋ piṅhay wahuta rāṣa. tinana 2. han ta ika śima tĕas muaŋ katimaŋ dhe rakryān bawaŋ dyaḥ śrawaṇa. ṅkāna kidul tapĕl tapĕl watĕs 3. lawan iŋ kaṇḍaŋ. tuhun hiṅan nikaŋ sima iṅ gayam. kidul iṅ kali maṅulu°an. muwaḥ pahiṅanan 4. muaŋ ikaṅ kapuluṅan. ikaŋ pagĕr maṅawetan kidul iṅ kali. muwaḥ hana ta sawaḥ saṅ anliriḥ lo 5. r niṅ kali sawaḥ pagaganu °aranya. tan °ilu riŋ parabyapāra. tahun paknanya. patĕkĕgarigariś ri sdeŋ niṅaṅaturakĕ 6. n puja i bhatāra. tumut ri kaswatantra nikaŋ sawaḥ kamudharmman. kacāyan kawiśeṣa de niŋ mu VI. b. 1. ladharmmā. āpan ika saŋ muladharmmā inahakĕn wruha ri halahayu niṅ śima. muwaḥ pahiṅanan ikaŋ śima Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
73
2. iṅ gayam muaŋ iŋ pyapya. ikaŋ kali humulu maṅalor. ikaŋ pyapya madṛwya ikā kali. tuhun ikaŋ ga 3. yam madṛwya margga juga. hiṅanya lor tapĕl watĕs lawanniṅ śima dok. patiḥ aṅadĕgakĕn tĕas 4. lawan katimaŋ. hiṅanya kulwan riŋ katimaŋ. těluŋ ḍpa kapat siho. rāma tpi siriŋ milu kāladdhiṅ susukan. 5. śima. winkas i halaṅan. saŋ lumbuŋ. kalaŋ saŋ saṅkĕp. winkas i taritip. saŋ balikuḥ. winkas i ka 6. lpuan. saŋ bsi. winkas i waharu. saŋ liṅga. kalaŋ saŋ rasuk. winkas iṅ gayam tbĕl. saŋ śoca. sa VII. a. 1. maṅkana kwaiḥ ni rāma tpi siriŋ milu ri kāla niŋ susukan śima. kamuaŋ wineḥ. mā. 2. wḍihan raṅga yu. 1 2. ken blaḥ sowaŋ sowaŋ. ciḥna ni pagĕḥ pagĕḥnyān śima. muaŋ pawkas śrī mahārāja i rakryan bawaŋ 3. pārṇnahan ikaṅ sima iṅ gayam muaṅ pyapya. tan katamana triṇī saprakāra niŋ maṅilala dṛwyahaji. kriŋ paḍm a 4. pay. tula pamgat. pahudur. paṅkur. tawan. tirip. taji. tapa haji. manimpiki. sinaguha 5. tuha dagaŋ. maṅuriñja. maŋrumbai. kalankaŋ. kataṅgaran. wililay. siṅgaḥ. kawak kawakki jro. pamarśi. 6. hulun haji. manambaṅi. saṅka. dhura. pamaṇīkan. ḍaŋhuan. huñjamān. śenāmukha. bhuja. lawan saṅ ba VII. b. 1. ṇigrāma. ityaiwamādi. tan tumamā irikan śima. muaŋ surāniŋ kilalān. kliŋ. arja. sinhala. dra 2. wila. banyaga. 4. paṇḍikir. campa. rammān. margga kismira. margga maŋmaŋ tan tumamā warahĕn. tuha pa 3. ḍahi. walyan. sambal. sumbul. widu maṅiduŋ. salaran. margga i jro. pandai mās.tambaga.
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
74
4. wsi. gaṅśa. ityaiwamadhi. yāwat pu°arā niŋ kilalan. asiŋ makadṛwyā ya. asiŋ maka mārgga ya. 5. asiŋ paradeśa saŋkanannya. umuṅgua ta ya śima iṅ gayam. muaŋ iŋ pyapya. ityaiwamadhi. saprakara 6. niṅ sukhaduhkha. aṅgapratyaṅga. deṇḍa kudeṇḍa. maṇḍiha. waṅkey kabunan. rāḥ kasawur. hidu ka VIII. a. 1. sirat. muwaḥ molihamaliŋ. °amuk. magyaṅalawaŋ. mati °amamuŋpaŋ. ityaiwamadhi. saprakāra niṅ aṣṭā 2. coraḥ. iŋ katimaŋ ataḥ an sawyakna tĕṇḍasnya. maṅkana pratitiḥ nikaŋ śima. pawkasamgĕt wadehati. kinonā 3. kĕn kayatnākna. de ḍampunta suddhara. muaŋ ḍampunta dhayi. muwaḥ aṅluputaknâmuk. amuŋpaŋ maliŋ. ityaiwamadhi 4. samĕgĕt wadihati. ataḥ pramāṇā i ri ka kabeḥ. muwaḥ māti katibā. mati kalbu. mati pinaṅan iŋ glap. mā 5. ti pinatuttiṅ ūlā. mati pinaṅan iŋ wuhaya. māti pinaṅan iŋ hyu. māti de niŋ huwiran. ityaiwamadhi. sakweḥ niŋ salaḥ 6. pati. samgĕt wadihati ataḥ pramāṇa i ri ka kabeḥ. nihan pawkas samgĕt wadihati muwaḥ anugraha sa VIII. b. 1. mgĕt wadihati. yen hana mati tumpur puntakāya. tribhāgan āṭaḥ dṛwya hajinya. saduman mari bhāṭāra. saduma 2. n mariŋ muladharmmā. sadumān mariŋ punta kāya. mu°aŋ yan muladharmmā māti tumpur. tan suṅana tkā renā 3. de ḍampunta. muaŋ saŋ muladharmmā salwirāniŋ gawai hayu awaraṅana awirua. tan suṅĕn ikarataḥ ḍampunta. lwirā 4. salwirāniŋ abarit barit samananiŋ walagarādhi. tan kna kna ataḥ saŋ muladharmmā muaŋ ṣdĕṅa ḍampunta maduma lĕmaḥ. hu 5. juṅan hujuṅan milu ataḥ saṅ muladharmmā. samaṅkana pawkas śrī mahārāja °i samgĕt wadihati. maŋasĕa
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
75
6. kĕnikaŋ punta mās pasĕk pasĕk °i samgĕt wadehati. wadehati wikaŋ kāla dyaḥ ḍampit. wineḥ mā su 4 wḍiha IX. a. 1. n yu 1 ken blaḥ 1. mumahumaḥ i samgĕt wadĕhati. saŋ hadyan halarān. muaŋ saŋ hadyan miramiraḥ 2. saŋ kulumpitan anḍumatĕnakĕnikaŋ śima i samgĕt wadehati. saŋ hadyan buṅkaḥ kamuaŋ sira wineḥ mā 3. 4. wḍihan yu 1 sowaŋ sowaŋ. winkas i rambaŋ saŋ gaṅśal. wineḥ. mā 2. saŋ citraleka saŋ sabara. wineḥ mā 4. 4. wḍihan yu 1 sowaŋ sowaŋ. ḍaṅacaryya netra. wineḥ. mā 8. wḍehan yu 1. ken blaḥ 1. sampun kabyāpā 5. rān wadwā rakryan muaŋ saŋ piṅhe wahuta. kinon ta saṅ apatiḥ manadĕgakna tĕas muaŋ katimaŋ in gayam 6. muaŋ iŋ pyapya. patiḥ manusuk sapuluḥ wineḥ. mā su 1. mā 4 wḍehan yu 1. ken blaḥ 1. palujar pati [ḥ] saŋ ḍawa IX. b. 1. s muaŋ si uñju. kamuaŋ wineḥ wḍehan hle 1. mā 4. sowaŋ sowaŋ. si huju saŋ rĕndaḥ mu°aŋ si lalu. si tanayan. 2. kamuaŋ wineh. mā 4. wḍihan. hle 1. sowaŋ sowaŋ. wahuta rāma. saŋ dharmmi. saŋ kumbha. wineḥ. mā 4. wdi 3. han hle 1. partaya saŋ gḍaḥ wineḥ. mā su 1 mā 4. winkas i kaladi ri kala niŋ susukkan śima. saṅ cili. ka 4. mu°aŋ wineḥ ma yu 1 mā 4. wḍihan yu 1 ken blaḥ 1. sowaŋ sowaŋ. kalaŋ saŋ ni wineḥ mā su 1. mā 4. wḍiha 5. n yu 1. ken blaḥ 1. winkas i paḍiŋḍiŋ saŋ colika. wineḥ mā 10. wḍihan yu 1. ken blaḥ 1. kalaŋ saṅ gandi 6. wineḥ mā 10. wḍihan yu 1. ken blaḥ 1. winkas saṅasih. saṅ dhiti. saṅ margga. gusti saŋ tunah. saŋ nyāpi saṅ warci X. a. 1. saŋ sulur. juru saŋ saran saŋ tuluy. saŋ saṅgai. °watĕs siŋ bsi. saŋ gamal. saŋ wiṣa. tuha wgaḥ si neruṇḍa. Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
76
2. atuhun si mandat. maŋjuruan si rakṣa. si timbĕl. si dewa. wineḥ. mā 2. sowaŋ sowaŋ. muladharmmā. ḍampu 3. nta suddhaḥ. muaŋ ḍampunta dayi. paṅku kajaŋ saŋ tisan. pasaŋ gunuŋ ḍampunta suddhaḥ. mu°aŋ dampunta dayi i rāmanta mā 8. u 4. misi anan lĕbak gunuŋ tumut upan marawairawai. kuneŋ yan hanaŋ catur warṇna maṅghabwataya ri soni rikiṅ uja 5. r haji prasabhda pawkas śrī mahārāja i samgĕt wadehati. wĕhĕnya umāryya maṅjuru°a wadehati pañcaga 6. ti saṅsāra. ya tĕmunya riṅ ihatraparātra. salwiran °iṅupadrawa kapaṅguha denya limut ni śarira bhrāṣṭā tan X. b. 1. tmwa aŋsāma. mattaṅ yan deya nikāṅanak kabaiḥ. prayatna ta ri so uni niŋkiṅ hujar haji pra 2. ṣaṣṭi anugraha śrī mahārāja i samgĕt wadehati. sampun śuddha pariśuddha ikaŋ sima iṅ gayam mu°aŋ 3. iŋ pyapya. punta tumarima ikaŋ praṣaṣṭi i śrī mahārāja. ḍampunta suddhara. mu°aŋ ḍampunta dayi. likita ci 4. traleka i hino pakṣaṇa //o// iti prāṣaṣṭi kayatnakna //o// santoṣakna de nira sama 5. sanak. ulihira mpu yogarāja. anataḥ i sira saŋ hyaŋ tambra //o//
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
77
Lampiran 2. Alih Aksara oleh Barret Jones
I.a. 7. //o// śrirastu jagaddhitāya //o // swasti śakawarṣātita. 831. āṣāḍamāsa 8. tithi aṣṭami śukla pakṣa. ba [wa or wā]. wa. ang. wāra mahatal uttara granā rasta [grahacāra]. hasta nakṣatra dina 9. kṣabeto śiwa yoga. kuwera parwweśa. bayabyamaṇḍala. swetā muhutta [muhūrrta] wiṣṭikara10. ṇa nyarawi [kanyā rāśi]. tatkāla nyānugraha śrī mahārāja rake watukara [watukura] jyaḥ [dyaḥ] balitung śrī dharmmodaya mahāsambhu 11. tinaḍaḥ rakryān mapatiḥ tgu [i] hino pu dakṣottama bahubajra prati pakṣākṣaya turun i rakryān 12. bawang dyaḥ śraḥwaṇa. sambandha. ikanang lmaḥ ing kaladi. i gayam. mwang ing pyapya. watĕk
I.b. 7. bawang sinĕmbahakĕn ḍampunta suddara muang ḍampunta dampi śima pananamāna kambang panikĕlana su 8. sur. sampun pua ya winehakĕn śimân. sambandha inking [ingkang] lmah ing gayam. muang ing pyapya. 9. hlat guṇanta kamulanya. alas araṇan katatakutan. tamolaḥ pahabĕtan de ning mari 10. wung. dhumurbanākĕn [dhumurbanākĕn] ikang banyāga muang hilirān ring rahina ring kulĕm. kunĕng yathanyan ubhayaguṇa i 11. kanang alas dadyā sawaḥ lāwan māryya katakutan mari watek bawang pārṇnaḥnya swatantra tan kata 12. mān dening patiḥ wahuta mua [muang] saprakara ning mangilala dṛwya haji ri dangu. miśra para miśra. wuluwulu II.a. 7. saprakāra. pangura [pangurang] kri [kring]. manami. manimpiki. paranakan. limus. galuḥ. pangaruhan. taji. watu ta
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
78
8. jĕm. sukun. paluwarak [halu warak]. rakadut. miningley. katanggarān. tapa haji. air haji. 9. malandang. ḷěca. ḷĕbĕḷĕb. kalangkang. kutāk. tangkil. tṛpan. salwit. tuha dagang. ju 10. ru salit. mangrumbai. panggrangñja [pangguňje?]. tuha nambi. tunuñjaman [huňjaman?]. watu walang. pamaṇikan. manīga 11. . sikĕpan. rumban. wilang wadwa [wilang wanua]. wiji kawaḥ. tingkĕs. hawĕ. tuhan) juḍi. juru jalir). mi 12. śra hino. wli hapu. wli waḍu. wli kambang [wli tambang]. wli pañjut. wli haṛěng. palapāk. pakalungkung. urutan. II.b. 7. ḍampulan. tpung kawung. sungsung pangur [panguran?]. pasukalas. payungan. pulung paḍi. pabĕsar. pagul [pagulung?]. pangi8. n angin. sipat wilut. pamawaśya. hopan. panrāngan. skartahun. panusuḥ. turun turun. pamali9. han. kḍi walyan. widu pangidung. sambal. hulun haji. mamṛki watĕs. i jro [pamṛsi watak i jro] ityaiwa10. mādi. tan tāma irikang śima ing gayām. muang i pyapya. pramāṇa i sadṛwya hajinya 11. kabeḥ. samangkana ikanang sukaduḥka. kadyangganing mayang tan mawwara [mawwah]. waluḥ rumambat ing nata 12. r. wipati wangke kabunan. rāḥ kasawur ing natar. wākcapala. duhilatĕn. hidu ka IV.a. 7. pangurang i pakudur si watar. pangurang i wadehati dyan [dyaḥ] wintungan. patiḥ panghaṛĕp angtarua. sang wuruju 8. inangsĕan wḍehan rangga yu 1 ken blaḥ. 1. mā [mas] . su. 1. mā. 4. sowang sowang. patiḥ lampuran sang 9. kĕghuan. sang nadrangka. kamuang inangsĕan wḍihan rangga yu. 1. ken blaḥ. 1 mā su. 1. mā. 10. 4. sowang sowang. dyaḥ basa wineḥ. mā. 10. sang karua. sang guṇungan. sang jambat. sang manĕkṣa. sang
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
79
11. śikara. sang ayuta. sang watu manunggul. dyaḥ rāyawa. dyaḥ madri sang nini. sang muping. sang sahĕl. ka12. muang inangsĕan. mā. 4. wḍihan rangga yu. 1. sowang sowang. wahuta paliñjuan manghaṛěp IV.b. 1. sang babat. sang babahan. sang bantĕn. kamuang inasean, mā. su 1 mā. 4. wḍihan rangga yu. 1. sowang 2. ken blah. 1. sang manĕsĕr winaiḥ. mā 8. wahuta lampurān. sang tambai. sang marumuh 3. . sa [sang] marapat. sang wajiwar. sang lampuran. kamuang winehan. mā 4. wḍihan rangga yu 4. 1 sowang sowang ḍangācārya netra wineḥ. mā. 8. ken blaḥ. 1. marurmetih sang 5. dawas si uñju. si knakĕn. si kuriñja. si lumbung. si ptang. si dum. kamu°ang wineḥ. ma 3. wḍi 6. han rangga hle. 1. sowang sowang . si hujung si runda. si lalu. si tanayan. si nāmanta. wahuta rāma. si darmma. VI. a. 7. ken blaḥ. 1. sowang sowang. tlas kabyaḥ aran taṇḍa rakryān. muang pinghay [pinglai] wahuta rāṣa. tinana 8. hanta [tinanaman ta] ika śima tĕas muang katimang dhe rakryān bawang dyaḥ śrawaṇa. ngkāna kidul tapĕl tapĕl watĕs 9. lawan ing kaṇḍang. tuhun hingan nikang sima ing gayam. kidul ing kali manguluan. muwaḥ pahinganan 10. muang ikang kapulungan. ikang pagĕr mangawetan kidul ing kali. muwaḥ hana ta sawaḥ sanganliriḥ lo 11. r ning kali sawaḥ pagagan aranya. tan ilu ring parawyahara. tahun paknanya. patĕkĕ garigarih ri sděng ningangaturakĕ12. n puja i bhatāra. tumut ri kaswatantra nikang sawaḥ kamudharmman. kacāyan kawiśeṣa de ning mu-
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
80
VI. b. 7. ladharmma. āpan ika sang mula dharmmā inahakĕn wruha ri halahayu ning śima. muwaḥ pahinganan ikang śima 8. ing gayam muang ing pyapya. ikang kali humulu mangalor. ikang pyapya madṛwya ikā kali. tuhunikang ga9. yam madṛwya margga juga. hinganya lor tapĕl watĕs lawan ning śima dok. patiḥ angadĕgakĕn tĕas 10. lawan katimang. hinganya kulwan ring katimang. tlung ḍpa kapat siho. rāma tpi siring milu kālad dwing [ning] susukan. 11. śima. winkas i halangan. sang lumbung. kalang sang sangkĕp. winkas i taritip. sang balikuḥ. winkas i ka12. lpuan. sang bsi. winkas i waharu. sang lingga. kalang sang rasuk. winkas ing gayam tbĕl. sang śoca. saVII. a. 7. mangkana kwaiḥ ni rāma tpi siring milu ri kāla ning susukan śima. kamuang wineḥ. mā. 2. wḍihan rangga yu. 1 8. ken blaḥ sowang sowang. ciḥna ni pagĕḥ pagĕḥnyān śima. muang pawkas śrī mahārāja rakryan bawang 9. pārṇnaha ikang sima ing gayam muang pyapya. tan katamana triṇī saprakāra ning mangilala dṛwyahaji. kring paḍam a10. pay. tula pamgat. pakudur. pangkur. tawan. tirip. taji. tapa haji. manimpiki. sinaguha 11. tuha dagang. manguriñja. mangrumbai. kalankang. katanggaran. wililay. singgaḥ. kawak kawakki jro [watak watak i jro]. pamarśa [pamṛsi]. 12. hulun haji. manambangi. sangkha [sungka]. dhura. pamaṇīkan. ḍanghuan. huñjamān. śon. mukha. bhuja. lawan sang baVII. b. 7. ṇigrāma. ityawaimādi. tan tumama irikan śima. muang surā ning kilalān [wārgga kilalān]. kli [kling]. arja [āryya]. sinhal [singhala]. dra 8. wila [drawida]. banyaga. 4. paṇḍikir [paṇḍikira]. campa. rammān [rměn]. kismira [kmir]. margga mangmang tan tumamā warahĕn. tuha pa
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
81
9. ḍahi. walyan. sambal. sumbul. widu mangidung. salaran. margga °i jro. pandai mās.tambrata. 10. wsi. gangśa. ityaiwamadhi. yāwat puarā ning kilalan [wārgga]. asing makadṛwyā ya. °asing maka mārgga ya. 11. asing paradeśa sangkanannya [para deśa sangkānanya]. unggua ta ya śima ing gayam. muang ing pyapya. ityaiwamadhi. saprakara 12. ning sukha duhkha. anggapratyangga [angśapratyangśa]. děṇḍakuděṇḍa. maṇḍiha [maṇḍi haladi]. wangkey kabunan. rāḥ kasawur. hidu ka VIII. a. 7. sirat. muwaḥ moliha maling. amuk. magyana lawang. mati amamungpang. ityaiwamadhi. saprakāra ning aṣdā 8. coraḥ [aṣṭacorah]. ing katimang ataḥ an sawyakna tĕṇḍasnya. mangkana pratitiḥ nikang śima. pawka [pawkas] samgĕt wadehati. kinonā 9. kĕn kayatnākna. de ḍampunta surddra. muang ḍampunta dhayi. muwaḥ angluputaknâmuk. amungpang maling. ityaiwamadhi 10. samĕgĕt wadihati. ataḥ pramāṇā irika kabeḥ. muwaḥ māti katibā. mati kalbu. mati pinangan ing glap. mā 11. ti pinatutting ūlā. mati pinangan ing bhuhaya. māti pinangan ing hyu. māti de ning luwiran [tuwiran]. ityaiwamadhi. sakweḥ ning salaḥ 12. pati. samgĕt wadihati ataḥ pramāṇa irika kabeḥ. nihan pawkas samgĕt wadihati muwaḥ anugraha saVIII. b. 7. mgĕt
wadihati.
yen hana
mati tumpur
punnakāya
[puntakāya].
tribhāganāṭaḥ dṛwya hajinya. saduman mari bhāňara [bhāṭāra]. saduma 8. n mari muladharmmā. sadumān maring punnakāya. muang yan mula dharmmā māti tumpur. tan sungana i kārenā 9. de ḍampunta. muang sang muladharmmā salwirāning gawai hayu awarangana awirua. tan sungĕnikarataḥ ḍampunta. lwirā 10. salwirāning abarit barit samananing walagarādhi. tan kna kna ataḥ sang mula dharmma muang ṣdĕnga ḍampunta maduma lĕmaḥ. hu-
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
82
11. jungan hujungan milu ataḥ sang mula dharmm. samangkana pawkas śrī mahārāja i samgĕt wadihati. mangasĕa12. kĕn inkang [ingkang] punta mās pasĕk pasĕk i samgĕt wadehati. wadehati wikang [irikang] kāla dyaḥ ḍampit. wineḥ mā su 4 wḍihaIX. a. 7. n yu 1 ken blaḥ 1. mumahumaḥ i samgĕt wadĕhati. sang hadyan halarān. muang sang hadyan miramiraḥ 8. sang kulumpitan an ḍumatĕngakĕn ikang śima i samgĕt wadehati. sang hadyan bungkaḥ kamuang sira wineḥ mā 9. 4. wḍihan yu 1 sowang sowang. winkas i rambang sang angśal. wineḥ. mā 2. sang citraleka sang sanara. wineḥ mā 10. 4. wḍihan yu 1 sowang sowang. ḍang ācaryrpa [ācaryya] netra. wineḥ. mā 8. wḍehan yu 1. ken blaḥ 1. sampun kabyāpā11. rān wadwā rakryan muang sang pinghe wahuta. kinon ta sang apatiḥ manadĕgakna tĕas muang katimang in gayam 12. muang ing pyapya. patiḥ manusuk sapuluḥ wineḥ. mā su 1. mā 4 wḍeham yu 1. ken blaḥ 1. palujar [parujar] pati sang ḍawa IX. b. 7. s muang si uñju. kamuang wineḥ wḍehan hle 1. mā 4. sowang sowang. si huju sang rĕndaḥ mu°ang si lalu. si tanayan. 8. kamuang wineh. mā 4. wḍihan. hle 1. sowang sowang. wahuta rāma. sang dharmma. sang kumru. wineḥ. mā 4. wdi 9. han hle 1. partaya sang gḍaḥ wineḥ. mā su 1 mā 4. winkas i kaladi ri kala ning susukkan śima. sang cili. ka 10. muang wineḥ ma yu [su] 1 mā 4. wḍihan yu 1 ken blaḥ 1. sowang sowang. kalang sang ni wineḥ mā su 1. mā 4. wḍiha 11. n yu 1. kin [ken] blaḥ 1. winkas i paḍingḍing sang colika. wineḥ mā 10. wḍihan yu 1. ken blaḥ 1. kalang sang andi 12. wineḥ mā 10. wḍihan yu 1. ken blaḥ 1. winkas sangasih. sang dhiti. sang margga. gusti sang tunah. sang nyāpi sang waca
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012
83
X. a. 7. sa [sang] sulur. juru sang saran sang tuluy. sang sanggai. °awatĕs sing bsi. sang gamal. sang wiṣa. tuha wtaḥ [wěrěh] si neruṇḍa. 8. atuhun si mandat. mangjuruan si rakṣa. si tumbil. si dewa. wineḥ. mā 2. sowang sowang. mula dharmma. ḍampu 9. nta suddhaḥ. muang ḍampunta dayi. sang kukajang sang tisan. pasang gunung ḍampunta suddhaḥ. muang dampunta dayi i rāmanta mā 8. u10. misianang lĕbak gunung tumut upan marawai rawai. kuneng yan hana ng catur warṇna mangghabwataya ri soni niking uja 11. r haji prasabhda pawkas śrī mahārāja i samgĕt wadehati. wĕhĕn ya umāryya mangdurua wadehati pañca ga 12. ti sangsāra. ya tĕmunya ring ihatra parātra. salwiraning upadrawa kapangguha denya limurni [liputti] śarira bhrāṣṭā tan X. b. 6. tmwa angsāma. mattang yan deya nikānganak kabaiḥ. prayatna ta ri so uni [sa uni or soni] ning ting [nikang] hujar haji pra 7. ṣaṣdi anugraha śrī mahārāja i samgĕt wadehati. sampun śuddha ikang sima ing gayam muang 8. ing pyapya. punta tumarima ikang praṣaṣdi i śrī mahārāja. ḍampunta suddhara. muang ḍampunta dayi. likita ci 9. traloka [citraleka] i hino pakṣaṇa [lakṣana] //o// iti prāṣaṣdi kayatna //o// santoṣakna de nira sama 10. sanak. ulihira mpu yogarāja. anataḥ i sira sang hyang tambra //o//
Universitas Indonesia Prasasti kaladi..., Anjali Nayenggita, FIB UI, 2012