ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 169-177
Tumbuh-Tumbuhan yang Dimanfaatkan pada Masa Bali Kuno Abad X-Xi M (Kajian Epigrafi) Ni Kadek Sri Sumiartini1*, I Ketut Setiawan2, Rochtri Agung Bawono3 [123] Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1 [
[email protected]] 2[
[email protected]] 3 [
[email protected]] *Corresponding Author Abstract Explicitly in some types of plants have been mentioned repeatedly the inscriptions at the time of ancient Bali X-XI centuries AD. The plants were mostly preserved and useful for the fulfillment of basic needs and spiritual. The issues discussed in this research such as: the type of the plants, the purpose of the plants used, and the public perception about of the plants. The aim of the research to document the knowledge of society at the time of ancient Bali X-XI centuries AD, related to the diversity of the plants were utilized. This research used the archaeological approach with a qualitative method to obtain descriptive data in the form of written and oral through of literature review, observation, and interviews. Data which obtained were then analyzed using qualitative, contextual, and etnoarchaeology. Theories that are used in this research among others: adaptation, subsistence, and cultural ecological. The results obtained, there were 45 species of plants and the purpose were used for: food ingredient, medicine, means of traditional ceremonies in Bali, craft materials (fabric, container, and musical instruments), building, protection of enviromental, means of punishment, and means of writing a manuscript. Besides its use, community interaction with the environment of the plants was also indicated by the presence of plants that were considered to have the value of sacred or profane. Keywords: plants, purpose of used, and ancient Bali.
I. Latar Belakang Tumbuh-tumbuhan yang disebut dalam prasasti Masa Bali Kuno merupakan tumbuh-tumbuhan yang memiliki nilai penting, baik itu bagi raja, tokoh agama, tabib serta tokoh masyarakat lainnya, oleh karena itu tumbuh-tumbuhan tersebut sebagian besar dilestarikan hingga kini. Penelitian terkait sangat penting dikaji secara mendalam, sebab data yang terdapat dalam prasasti merupakan data yang paling akurat. Penelitian ini difokuskan pada prasasti-prasasti yang berbahasa Jawa Kuno yang terbit pada abad X-XI M, sebab prasasti yang berbahasa Jawa Kuno jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan prasasti berbahasa Bali Kuno.
169
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 169-177
Penggunaan Bahasa Jawa Kuno dalam prasasti mulai terlihat pada masa pemerintahan Raja Udayana yaitu prasasti Bwahan A 916 Śaka. Prasasti yang dijadikan objek pada penelitian ini berupa prasasti yang menyebutkan tumbuhtumbuhan diantaranya: prasasti Buwahan A 916 Śaka, prasasti Ujung Pura Dalem 932 Śaka, prasasti Abang Pura Batur A 933 Śaka, prasasti Batuan 944 Śaka, prasasti Sawan AI=Bila I 945 Śaka, prasasti Tengkulak A 945 Śaka, prasasti Dawan 975 Śaka, prasasti Belantih A 980 Śaka, prasasti Sawan B=Belantih B 987 Śaka, prasasti Sembiran A IV 987 Śaka, prasasti Sukawati A (tanpa angka tahun), prasasti Pandak Badung 993 Śaka, prasasti Klungkung A 994 Śaka, prasasti Sawan A II=Bila A II 995 Śaka, prasasti Srokadan B 999 Śaka, prasasti Julah Tengah (tanpa angka tahun), prasasti Klandis (tanpa angka tahun), dan prasasti Sawan C=Blatih C 1020 Śaka. Para ahli arkeologi sebelumnya sudah banyak melakukan penelitian terkait dengan sejarah Bali Kuno, namun dari hasil penelitian yang dilakukan untuk sementara masih belum lengkap. Ada beberapa persoalan yang belum diungkap, salah satunya terkait tumbuh-tumbuhan.
II. Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang terdapat tiga permasalahan yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Apa saja jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan pada Masa Bali Kuno abad X-XI M?
2.
Mengapa tumbuh-tumbuhan tersebut dimanfaatkan pada Masa Bali Kuno abad X-XI M?
3.
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan pada Masa Bali Kuno abad X-XI M?
III. Tujuan Penelitian Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan yang pada dasarnya untuk memecahkan permasalahan yang ada. Tujuan penelitan ini secara umum yaitu
170
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 169-177
untuk mendokumentasikan pengetahuan masyarakat pada Masa Bali Kuno abad X-XI M terkait keanekaragaman tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan dengan adanya kebijakan raja terkait pelestarian lingkungan yang disebut dengan istilah “kayu larangan”. Tujuan penelitian ini secara khusus yaitu untuk mengetahui jenis tumbuh-tumbuhan, tujuan dimanfaatkannya tumbuh-tumbuhan, dan persepsi masyarakat terhadap tumbuh-tumbuhan.
IV. Metode Penelitian Penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia (Iskandar, 2009: 11). Peneliti menggunakan metode kualitatif agar dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena sosial yang terjadi pada Masa Bali Kuno abad X-XI M. Data kualitatif pada penelitian ini berupa pustaka yang memuat alih aksara prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M. Data kualitatif yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah 18 buah prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M yang berbahasa Jawa Kuno, karena kendala adat istiadat masyarakat terkait keberadaan prasasti yang disucikan (living monument), peneliti menggunakan alih aksara dalam pustaka yang berjudul Prasasti Bali I, Epigrapia Balica, dan laporan penelitian “Perajin Pada Masa Bali Kuno Abad IX-XI”. Selin itu, peneliti juga menggunakan hasil wawancara di Desa Tenganan Pegringsingan dan Desa Penglipuran sebagai data primer. Sumber data sekunder pada penelitian ini berupa jurnal, laporan penelitian, makalah, buku, serta artikel yang terkait dengan tumbuh-tumbuhan. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu studi pustaka,
observasi,
dan
wawancara.
Data
yang
terkumpul
kemudian
dikembangkan dengan menggunakan teori adaptasi, teori subsistensi, dan teori ekologi budaya. Penggunaan teori dalam pengembangan data juga dilakukan berdasarkan analisis kualitatif, analisis kontekstual, dan analisis etnoarkeologi.
171
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 169-177
V. Hasil dan Pembahasan 1) Jenis Tumbuh-tumbuhan yang Dimanfaatkan Berdasarkan hasil analisis alih aksara pada 18 prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M dapat diketahui terdapat beberapa jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan pada masa itu. Tumbuh-tumbuhan yang disebut dalam prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Bali Kepara, serta nama ilmiah menggunakan Kamus Bahasa Bali Kuno, Kamus Bahasa Jawa Kuno, Kamus Bahasa Bali, hasil wawancara, serta dari buku Daftar Nama Tumbuhan karya J.J Afriastini (1985), dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel Penamaan Tumbuhan No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nama Lokal Pada Prasasti Bahasa Bali Kepara Atak Kacang Ijo Bawang Bawang Bodhi Ancak Cabya Tabia Camalagi Celagi Camara Cemara Duryyan Duren Hampyal Tiying ampel Hano Jaka Jawa Jawawut Jirěk Semage Jnahli Jali-jali Kamiri Tingkih Kapulaga Kapulaga Katumbar Ketumbah Kemukus Tabia bun Kesumba Kpas Gamet, kapas Laktan Ketan Laktan bang Baas barak Laktan hireng, injin Injin Mamangnila* Tarum, taum Měndě Mundeh Nangka Nangke Nira* Tebu Nyū Nyuh Pagagan Padi gage Pari Padi Pipakan Jae Pisang Biu Ptung Tiying gelepung Pucang Buah Rangin Dadap Rasuna Kesuna Ripta Ental Skar kuning Kembang kuning Taļs Keladi Walatu Bandil Waringin Bingin Wijyan Lenge
Bahasa Indonesia Kacang hijau Bawang merah Bodi Cabai Asam Cemara Durian Bambu ampel Enau Jewawut Jeruk Jali Kemiri Kapulaga Ketumbar Kemukus Kesumba Kapas Ketan putih Padi merah Ketan hitam Nila Mundu Nangka Tebu Kelapa Padi gaga Padi Jahe Pisang Bambu petung Pinang Dadap Bawang putih Rontal Kasia emas Talas Rotan Beringin Wijen
Nama Ilmiah Phaseolus radiatus Allium cepa var. ascalonicum Ficus rumphii Capsicum frutescens Tamarindus indica Casuarina junghuniana Durio zibethinus Bambusa vulgaris Arenga pinnata Setaria italic Citrus auratium Coix lacryma-jobi Aleurites moluccana Amomum compactum Coriandrum sativum Piper cubeba Bixa orellana Gossypium arboreum Oryza sativa L. var. forma glutinosa Oryza sativa Oryza sativa L. var. forma glutinosa Indigofera hendecaphylla Garcinia dulcis Artocarpus heterophyllus Saccharum officinarum Cocos nucifera Oryza sativa L. var. culta Oryza sativa Zingiber officinale Musa paradisiaca Dendrocalamus asper Areca catechu Erythrina variegata Allium sativum Borassus flabellifer Cassia surattensis Colocasia esculenta Calameae Ficus benjamina Sesamum indicum
172
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 169-177
41 42 43 44 45
Wuluḥ Waluḥ Wungkudu Wunut Wwaḥ sěrh, sedda
Tiying buluh Bambu buluh Schizostachyum brachycladum Waluh Labu merah Cucurbita moschata Tibah Mengkudu Morinda citrifolia Bunut Gondang Ficus variegate Base Sirih buah Piper betle (Disusun oleh peneliti sebagai sumber) (… * ) : Tidak menyebut jenis tumbuhan secara langsung, tetapi berkaitan dengan suatu jenis tumbuhan yang dapat berupa bagian dari tumbuhan, proses pemanfaatan, dan hasil pengolahan tumbuhan.
Berdasarkan tabel penamaan tumbuh-tumbuhan dalam 18 prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M dapat diketahui terdapat 45 jenis tumbuh-tumbuhan. Adanya jenis tumbuh-tumbuhan yang disebut dalam prasasti menunjukkan bahwa sejak Masa Bali Kuno abad X-XI M masyarakat telah beradaptasi dengan lingkungan yaitu dengan mengenal jenis tumbuh-tumbuhan.
2) Tujuan Dimanfaatkannya Tumbuh-tumbuhan Tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sangat berkaitan dengan kondisi setempat (desa, kala, patra). Jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan pada Masa Bali Kuno sebagian besar masih dimanfaatkan oleh masyarakat Bali saat ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tumbuhtumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan dalam prasasti Masa Bali Kuno abad I-XI M tidak disebutkan secara jelas, namun dari hasil analisis kontesktual terhadap data prasasti dapat diketahui bahwa tumbuh-tumbuhan tersebut tentunya dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup antara lain. a. Sebagai Bahan Makanan Pada prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M terdapat penyebutan hasil-hasil pertanian, penyebutan istilah lahan pertanian seperti: huma/sawah (sawah), parlak (ladang), padang (daerah padang rumput), mmal/kebwan (kebun), dan sesuai dengan keinginan raja untuk mensejahterakan penduduk di desa dengan memberikan tanah kepada penduduk untuk dijadikan lahan perkebunan membuktikan bahwa masyarakat telah bersubsistensi dengan membudidayakan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan makanan. b. Sebagai Bahan Obat-obatan Adanya penyebutan istilah “walyan” (dukun) dalam prasasti (Batuan 944 Śaka, Sawan AII=Bila II 995 Śaka, dan Sawan AI=Bila I 945 Śaka) dan berdasarkan lontar Usada Taru Premana yang diperkirakan ditulis pada abad XI
173
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 169-177
menyebutkan kurang lebih 202 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu telah bersubsistensi dengan memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan pengobatan. c. Sebagai Sarana Upakara Pada prasasti Batuan 944 Śaka dan Sawan C 1020 Śaka terdapat penyebutan banten, banten sebagain besar terbuat dari tumbuh-tumbuhan. Pada prasasti Sawan C 1020 Śaka juga disebutkan salah satu upakara utama yaitu prayaścitta, dan dalam prasasti Pandak Badung 993 Śaka disebutkan sarana persembahan terdiri dari beras, beras merah dan ketan hitam yang dipersembahkan seperti caru. Selain itu, dalam prasasti juga disebutkan sarana pemujaan berupa dupa dan bunga. Saran upakara berupa prayaścitta, caru, dupa, dan bunga yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hal ini menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan berperan dalam kebudayaan masyarakat yaitu sebagai sarana upakara. d. Sebagai Bahan Kerajinan Pada prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M terdapat penyebutan benang, menenun, dan pewarnaan yang bersumber dari tumbuhan. Penyebutan alat musik berupa seruling dan angklung yang kemungkinan dibuat dari bambu buluh. Penyebutan wadah berupa: “kerundang” sementara diartikan ‘keranjang’, bakul, tempat makan dari daun pisang, kuskusan, maupun bumbung, yang bahanya terbuat
dari
tumbuhan.
hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
masyarakat
bersubsistensi dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan kerajinan. e. Sebagai Bahan Bangunan Pada prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M terdapat penyebutan tempat suci, kubu, wantilan, maupun lumbung yang beberapa bahannya kemungkinan berasal dari tumbuhan, dan dikerjakan oleh undagi kayu. Hal ini menunjukkan masyarakat bersubsistensi dengan memanfatkan tumbuhan sebagai bahan bangunan. Namun karena kayu merupakan bahan yang mudah hancur, sampai saat ini tidak pernah ditemukan artefak atau bangunan dari kayu di Bali yang berasal dari abad X-XI M. Tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk kontruksi bangunan tergantung potensi dan kondisi geografis alam suatu daerah. Seperti di Desa Adat
174
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 169-177
Tenganan Pegringsingan serta Desa Penglipuran yang sebagian besar masyarakat memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan bangunan. f. Sebagai Perlindungan Lingkungan Pada prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M terdapat kebijakan raja terkait kayu larangan terhadap pohon besar yang berguna untuk perlindungan lingkungan. Hal ini menunjukkan adanya kebijakan dalam beradaptasi dengan lingkungan tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan prasasti yang terbit antara abad X-XI M jenis tumbuhan yang termasuk dalam kayu larangan kemungkinan dimanfaatkan sebagai perlindungan lingkungan antara lain: kemiri, mundu, beringin, durian, gondang, bambu petung, bunga kuning, dan bodhi. Bila diperhatikan jenis pepohonan tersebut merupakan pohon besar yang sangat berguna bagi kelestarian lingkungan terutama dalam menjaga kesuburan tanah dan pengaturan sirkulasi akibat hujan. g. Sebagai Sarana Hukuman Pada prasasti Tengkulak A 945 Śaka terdapat kebijakan raja berupa hukuman ikat menggunakan tali rotan dan dalam prasasti Udjung tahun 932 Śaka terdapat hukuman kutukan berbunyi: “mayang tan pawwah” artinya: ‘bunga pinang yang tidak berbuah’, “waluḥ rumambanting natar” artinya: ‘labu yang merambat dihalaman’. Hal ini menunjukkan masyarakat beradaptasi dengan memanfaatkan tumbuhan sebagai sarana hukuman (sanksi fisik dan psikis). h. Sebagai Sarana Penulisan Lontar Berdasarkan kutipan prasasti Sembiran A IV 987 Śaka Lempeng VIIIa. 3. “…makanimita tan subsddha paripurnna kahidepanya tamolahing ripta tka ring dlaha ning dlaha.” (Ardika dan Beratha, 1998: 227). Artinya: 3. ‘…oleh karena dalam pikiran mereka (rakyat) tidak kokoh dan sempurna yang tersurat dalam lontar sampai waktu yang akan datang’. Adanya permohonan rakyat agar menyalin prasasti lontar yang dirasa tidak kokoh menunjukkan bahwa masyarakat telah beradaptasi dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana penulisan lontar.
175
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 169-177
3) Persepsi Masyarakat Terhadap Tumbuh-tumbuhan Sejak Masa Bali Kuno hingga saat ini tumbuh-tumbuhan memiliki nilai penting bagi masyarakat. Pada Masa Bali Kuno masyarakat telah berinteraksi dengan lingkungan tumbuh-tumbuhan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya tumbuh-tumbuhan yang dipandang oleh masyarakat memiliki nilai sakral maupun profan. Seperti yang disampaikan oleh Kelihan Adat Tenganan Pegringsingan (I Ketut Sudiastika, 1 Mei 2016) apabila menebang pohon tertentu harus seizin para pengurus maupun krama desa. Menurut masyarakat setempat hutan dipercaya sebagai manifrestasi Dewa Wisnu (dewa pemelihara alam semesta). Seperti yang disampaikan oleh bendesa Adat Penglipuran (I Wayan Supat, 1 Mei 2016) jika masyarakat ingin memanfaatkan kayu di kawasan hutan terlebih dahulu harus melakukan upacara nunas (memohon) kepada Tuhan yang bermanifestasi sebagai penguasa hutan. Konsep semacam ini menunjukkan adanya kepercayaan masyarakat terhadap tumbuh-tumbuhan yang memiliki nilai sakral.Secara umum mesyarakat Bali menganggap pohon-pohon besar yang berada di kawasan suci memiliki nilai sakral. Seperti masyarakat di pedesaan yang percaya bahwa beringin adalah tempat tinggal roh-roh halus, hingga tidak jarang ditemukan sesajen, dan diikat menggunakan kain hitam putih pada pohon beringin yang berada di kawasan suci. Kelangsungan hidup manusia biasanya tidak terlepas dari lingkungan alam sekitarnya termasuk tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan memiliki nilai ganda, salah satunya yaitu nilai profan. Tumbuhan yang dikatakan memiliki nilai profan adalah tumbuhan yang dimanfaatkan dalam kebutuhan hidup manusia. Hingga kini sebagian besar tumbuh-tumbuhan yang disebut dalam prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M masih dimanfaatkan oleh masyarakat Bali sebagai pemenuhan kebutuhan hidup.
VI. Simpulan 1) Pada prasasti Masa Bali Kuno abad X-XI M terdapat 45 jenis tumbuhtumbuhan yang dimanfaatkan.
176
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 169-177
2) Tujuan dimanfaatkannya tumbuh-tumbuhan pada Masa Bali Kuno abad X-XI M antara lain: sebagai bahan makanan, sebagai bahan obat-obatan, sebagai sarana upakara, sebagai bahan kerajinan (kain, wadah, dan alat musik), sebagai bahan bangunan, sebagai perlindungan lingkungan, sebagai sarana hukuman, dan sebagai sarana penulisan lontar. 3) Selain dimanfaatkan, interaksi masyarakat dengan tumbuh-tumbuhan juga ditunjukkan dengan adanya persepsi masyarakat yang menganggap tumbuhtumbuhan memiliki nilai sakral maupun profan. Setiap masyarakat pada beberapa daerah dapat mempunyai persepsi yang berbeda terhadap tumbuhtumbuhan yang sama, hal ini tergantung dari pengetahuan serta latar belakang (desa, kala, patra) yang dimiliki.
VII. Daftar Pustaka Afriastini, J.J. 1985. Daftar Nama Tanaman. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Ardika, I Wayan dan Ni Luh Sutjiati Beratha. 1998. “Perajin pada Masa Bali Kuno Abad IX- XI”. Laporan Penelitian. Fakultas Sastra Universitas Udayana. Gautama, W. Budha. 2009. Kamus Bahasa Bali (Bali-Indonesia). Surabaya: Paramita. Goris, Roelof. 1954. Prasasti Bali I. Bandung: Masa Baru. Iskandar. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada. Putra, I Gusti Segatri. 1999. Taru Premana: Khasiat Tanaman-tanaman untuk Obat Tradisional. Denpasar: Pt. Upada Sastra. Stein, Callenfels. P.V. van. 1926. Epigrapia Balica. I. VBG. LVI. Pp: III-70. Tim Redaksi Kamus Bali Kuno-Indonesia. 1984. Kamus Bali Kuno-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Zoetmulder, P.J dan S.O. Robson. 2011. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Cetakan VI. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.
177