PRODI D-III KEPERAWATAN POLTEKKES dr. SOEPRAOEN
Digunakan Untuk Kalangan Sendiri dan disampaikan pada perkuliahan Etika Keperawatan Mahasiswa Tingkat 1 Semester 2 TA. 2014/2015
Ns. Apriyani Puji Hastuti, S.Kep Hp. 081336655583 – 085649997077
[email protected]
POLITEKNIK KESEHATAN RS dr SOEPRAOEN MALANG 2015
Modul Proses Pengambilan Keputusan Etik Dalam Praktek Keperawatan Pokok Bahasan
: Proses pengambilan keputusan etik dalam praktek
keperawatan Capaian Pembelajaran 1.
:
Model- model proses pengambilan keputusan etik dalam praktek keperawatan
2. Otonomi pasien 3. Sikap terhadap kematian 4. Kajian bioteknologi 5. Penerapan beberapa pengambilan keputusan keperawatan secara etik dalam bidang kesehatan MATERI PEMBELAJARAN Teori dasar pembuatan keputusan Teori dasar atau prinsip etika merupakan penuntun untuk membuat keputusan etis praktek profesional (Fry, 1991). Teori etik digunakan dalam pembuatan keputusan bila terjadi konflik antara prinsip dan aturan. Ahli filsafat moral mengembangkan beberapa teori etik. Teori tersebut diklasifikasikan menjadi teori teleologi dan teori deontologi (formalisme) Teleologi Teleologi (berasal dari bahasa Yunani, dari Telos, berarti akhir). Istilah teologi dan utilitarianisme sering digunakan saling bergantian. Teleologi merupakan suatu doktrin yang mnejelaskan fenomena berdasarkan akibat yang dihasilkan atau konsekuensi yang dapat terjadi. Pendekatan ini sering disebut dengan ungkapan The End Justifies The Means atau makna dari suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi. Teori ini menekankan pada pencapaian hasil akhir yang terjadi. Pencapaian hasil dengan kebaikan maksimal dan ketidakbaikan sekecil mungkin bagi manusia (Kelly, 1987). Teleologi dibedakan menjadi : 1.)
Rule utilitarianisme Rule utilitarianisme berprinsip bahwa manfaat atau nilai dari suatu tindakan bergantung pada sejauh mana tindakan tersebut memberikan kebaikan atau kebahagiaan pada manusia
2.)
Act utilitarianisme Act utilitarianisme bersifat lebih terbatas, tidak melibatkan aturan-aturan
Pengambilan Keputusan Etik 1
umum, tapi berupaya menjelaskan pada suatu situasi tertentu dengan pertimbangan tertentu terhadap tindakan apa yang dapat memberikan kebaikan sebanyak-banyaknya atau ketidakbaikan sekecil-kecilnya pada individu, contoh: bayi yang lahir cacat lebih baik diijinkan meninggal daripada nantinya jadi beban masyarakat. Teori Deontologi (Formalisme) Deontologi berasal dari bahasa Yunani, deondeon yang berarti tugas, berprinsip pada aksi atau tindakan. Menurut Kant, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil akhir atau konsekwensi dari suatu tindakan, melainkan oleh nilai moralnya. Perhatian difokuskan pada tindakan melakukan tanggung jawab moral yg dapat menjadi penentu apakah suatu tindakan tsb secara moral benar atau salah. Kant berpendapat bahwa prinsip moral atau yang terkait dengan tugas harus bersifat universal, tidak kondisional dan imperative. •
Contoh penerapan deontologi Seorang perawat yang yakin bahwa klien harus diberi tahu tentang yang
sebenarnya terjadi walaupun hal itu sangat menyakitkan. Contoh lain seorang perawat yang menolak membantu pelaksanaan abortus karena keyakinan agama yg melarang tindakan membunuh. Secara luas teori ini dikembangkan menjadi lima prinsip penting yaitu kemurahan hati, keadilan, otonomi, kejujuran dan ketaatan (Fry, 1991) Kemurahan hati Inti dari prinsip kemurahan hati (beneficence) adalah tanggung jawab untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan klien dan menghindari perbuatan yang merugikan atau membahayakan klien. Prinsip ini sering kali sulit diterapkan dalam praktik keperawatan. Perawat diwajibkan untuk melaksanakan tindakan yang bermanfaat bagi klien, tetapi dengan meningkatnya teknologi dalam system asuhan kesehatan, dapat juga merupakan resiko dari suatu tindakan yang membahayakan. •
Contoh : Seorang klien mempunyai kepercayaan bahwa pemberian tranfusi darah
bertentangan dengan keyakinannya. Sebelum mengalami perdarahan yang hebat akibat penyakit hati yang kronis. Sebelum kondisi klien bertambah berat, klien sudah memberikan pernyataan tertulis kepada dokter bahwa ia tidak mau dilakukan tranfusi darah. Pada suatu saat, kondisi klien bertambah buruk maka
Pengambilan Keputusan Etik 2
terjadi perdarahan hebat dan dokter menginstruksikan untuk memberikan transfusi darah. Dalam hal ini, akhirnya tranfusi darah tidak diberikan karena prinsip beneficence,
walaupun pada saat bersamaan terjadi penyalahgunaan
prinsip maleficence. Dengan majunya ilmu dan teknologi, konflik yang terjadi semakin tinggi. Untuk itu, perlu di terapkan system klarifikasi nila-nilai, yaitu suatu proses ketika individu memperoleh jawaban terhadap situasi melalui proses pengembangan nilai individu. Menurut Mergan (1989), proses penilaian mencakup tujuh proses yang di tempatkan ke dalam tiga kelompok, : 1. Menghargai a. Menjunjung dan menghargai keyakinan dan perilaku seseorang b. Menegaskan di depan umum bila di perlukan 2. Memilih a. Memilih dari berbagai alternative b. Memilih setelah mempertimbangkan konsekwensinya c. Memilih secara bebas 3. Bertindak a. Bertindak b. Bertindak sesuai dengan pola, konsistens, dan repetisi (mengulang yang telah di sepakati). Dengan menggunakan ke tujuh langkah tersebut ke dalam klasifikasi nilainilai, perawat dapat menjelaskan nilai-nilai mereka sendiri dan dapat mempertinggi pertumbuhan pribadinya. Langkah di atas dapat di terapkan pada situasi-situasi klien, misalnya perawat da[pat membantu klien mengidentifikasi bidang konflik, memilih dan menentukan berbagai alternative, menetapkan tujuan dan melakukan tindakan. Keadilan Prinsip dari keadilan (Justice) menurut Beauchamp dan Chlidress adalah mereka yang sederajat harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat diperlakukan secara tidak sederajat, sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini berarti bahwa kebutuhan kesehatan mereka yang sederajat harus menerima sumber pelayanan kesehatan dalam jumlah sebanding. Ketika seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar maka menurut prinsip ini, ia harus mrendapatkan sumber kesehatan yang besar pula. Prinsip ini memungkinkan
Pengambilan Keputusan Etik 3
dicapainya keadilan dalam pembagian sumber asuhan kesehatan kepada klien secara adil sesuai kebutuhan. Contoh : Seorang perawat sedang bertugas sendirian di suatu unit RS, kemudian ada seorang klien baru masuk bersamaan dengan klien yang memerlukan bantuan perawat tersebut. Agar perawat tidak menghindar dari satu klien ke klien lainnya maka perawat seharusnya dapat mempertimbangkan factor-faktor dalam situasi tersebut, kemudian bertindak berdasarkan pada prinsip keadilan. Otonomi Prinsip otonomi menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan untuk mentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yg mereka pilih (Fry, 1987). Masalah yg muncul dari penerapan prinsip ini karena adanya variasi kemampuan otonomi klien yang dipengaruhi banyak hal seperti: Tingkat kesadaran, Usia, Penyakit , Lingkungan rumah sakit, Ekonomi, dan Tersedianya informasi. Kejujuran Prinsip kejujuran (veracity) menurut Veatch dan Fry (1987) didefinisikan sebagai menyatakan hal yg sebenarnya dan tidak bohong. Kejujuran harus dimiliki perawat saat berhubungan dg klien merupakan dasar Kejujuran merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara perawat klien Ketaatan Prinsip ketaatan (fidelity) didefinisikan oleh
Fry sebagai tanggung jawab
untuk tetap setia pada suatu kesepakatan. Tanggung jawab dl kontek hubungan perawat klien meliputi tangung jawab menjaga janji, mempertahankan konfidensi,
dan
memberikan
perhatian/kepedulian.
Peduli
kepada
klien
merupakan salah satu aspek dari prinsip keataatan. Peduli kepada klien merupakan komponen paling penting dari praktik keperawatan, terutama pada klien dalam keadaan terminal (Fry, 1991). Rasa kepedulian perawat diwujudkan dalam memberi perawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik kepada klien, memberikan kenyamanan, dan menunjukkan kemampuan profesional Dalam hubungan antara manusia, individu cenderunga tetap menepati janji dan tidak melanggar kecuali, ada alasan demi kebaikan. Kesetiaan perawat terhadap janji-janji tersebut mungkin tidak mengurangi penyakit atau mencegah kematian, tetapi akan mempengaruhi kehidupan klien serta kualitas hidupnya.
Pengambilan Keputusan Etik 4
Kerangka Pembuatan Keputusan Dalam
membuat
keputusan
etis,
ada
beberapa
unsure
yang
mempengaruhi yaitu nilai dan kepercayaan pribadi, kode etik keperawatan, konsep moral perawat dan prinsip etis, dan model kerangka keputusan etis. Pengenalan Dilema Etika Keperawatan Mrngumpulkan Data Aktual yang Relavan Menganalisis dan Mencari Kejelasan Individu yang Terlibat Menkonsep dan Mengevaluasi Argumentasi Untuk Setiap Isu dan Membuat Alternatif Mengambil Tindakan Mengadakan Evaluasi
Gambar Kerangka Pembuatan Keputusan Berikut ini beberapa contoh model pengambilan keputusan etis keperawatan yg dikembangkan oleh Thompson dan Jameton. Metode Jameton dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah etika keperawatan yang berkaitan dengan asuhan keperawatan klien. Kerangka Jameton, seperti yang ditulis oleh Fry (1991) adalah: - model I terdiri dari enam tahap - model II terdiri dari tujuh tahap - model III yang merupakan keputusan bioetis Model I Tahap
Keterangan
1.
Identifikasi masalah, Klasifikasi masalah dilihat dari konflik hati nurani. Perawat juga harus mengkaji keterlibatannya pada masalah etika yg timbul dan mengkaji parameter waktu untuk pembuatan keputusan. Tahap ini akan
Pengambilan Keputusan Etik 5
memberikan jawaban pada perawat terhadap pernyataan “hal apakah yg membuat tindakan benar adalah benar” 2.
Perawat harus mengumpulkan data tambahan.Informasi yang dikumpulkan dalam tahap ini meliputi orang yang dekat dengan klien, yang terlibat dalam membuat keputusan bagi klien, harapan/keinginan klien dan orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan.Perawat kemudian membuat laporan tertulis kisah dan konflik yang terjadi.
3.
Perawat harus mengidentifikasi semua pilihan atau alternatif secara terbuka kepada pembuat keputusan. Semua tindakan yang memungkinkan harus terjadi, termasuk hasil yang mungkin diperoleh beserta dampaknya. Tahap ini memberikan jawaban atas pertanyaan “Jenis tindakan apa yang benar?”
4.
Perawat harus memikirkan masalah etis secara berkesinambungan. Perawat mempertimbangkan nilai dasar manusia yg penting bagi individu, nilai dasar yang menjadi pusat masalah dan prinsip etis yang dapat dikaitkan dengan masalah. Tahap ini menjawab pertanyaan, “Bagaimana aturan tertentu diterapkan pada situasi tertentu?”
5.
Pembuat keputusan harus membuat keputusan. Pembuatan keputusan memilih tindakan yang menurut keputusan mereka paling tepat.Tahap ini menjawab pertanyaan etika, “apa yang harus dilakukan pada situasi tertentu?”
6.
Tahap akhir adalah melakukan tindakan juga mengkaji
keputusan dan hasil.
Pengambilan Keputusan Etik 6
Model II Tahap 1.
Keterangan mengenali dengan tajam masalah yang terjadi, apa intinya, apa sumbernya, mengenali hakikat masalah.
2.
mengumpulkan data atau informasi yg berdasarkan fakta, meliputi sumber data yang termasuk variabel masalah yang telah dianalisa secara teliti
3.
Menganalisis data yang telah diperoleh dan menganalisis kejelasan bagaimana orang yang terlibat, bagaimana kedalaman dan intensitas keterlibatannya, relevansi keterlibatannya dengan masalah etika.
4.
Berdasarkan analisis yang telah dibuat, mencari kejelasan konsep etika yang relevan untuk penyelesaian masalah dengan mengemukakan konsep filsafat yang mendasari etika maupun konsep sosial budaya yang menentukan ukuran yang diterima.
5.
Berdasarkan analisis yang telah dibuat, mencari kejelasan konsep etika yang relevan untuk penyelesaian masalah dengan mengemukakan konsep filsafat yang mendasari etika maupun konsep sosial budaya yang menentukan ukuran yang diterima.
6.
Mengambil tindakan, setelah semua alternatif diuji terhadap nilai yang ada di dl masyarakat dan ternyata dapat diterima masyarakat maka pilihan tersebut dikatakan sah (valid) secara etis. Tindakan yang dilakukan menggunakan proses yang sistematis.
7.
Langkah terakhir adalah mengevaluasi,apakah tindakan yang dilakukan mencapai hasil yang diinginkan, mencapai tujuan penyelesaian masalah. Bila belum berhasil harus mengkaji lagi hal-hal apa yang menyebabkan kegagalan dan menjadi umpan balik untuk melaksanakan pemecahan/penyelesaian masalah secara ulang.
Pengambilan Keputusan Etik 7
Model III Tahap 1.
Keterangan Tinjau ulang situasi yg dihadapi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yg dibutuhkan, komponen etis individu /keunikan
2.
Kumpulkan informasi tambahan untuk memperjelas situasi
3.
Kumpulkan informasi tambahan untuk memperjelas situasi
4.
Ketahui atau bedakan posisi pribadi dan posisi moral profesional.
5.
Identifikasi posisi moral dan keunikan individu yg berlainan.
6.
Identifikasi konflik2 nilai bila ada.
7.
Gali siapa yg harus membuat keputusan.
8.
Identifikasi rentang tindakan dan hasil yang diharapkan
9.
Tentukan tindakan dan laksanakan
10.
Evaluasi hasil dari keputusan/tindakan
Penyelesaian masalah etika keperawatan menjadi tanggung jawab perawat. Berarti perawat melaksanakan norma yang diwajibkan dalam asuhan keperawatan, sedangkan tanggung gugat adalah mempertanggung jawabkan kepada diri sendiri, kepada klien/masyarakat,kepada profesi atas segala tindakan yg diambil dalam melaksanakan proses keperawatan dg menggunakan dasar etika dan standar keperawatan. Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan / Pemecahan masalah secara ilmiah, antara lain : 1.
Model Pemecahan masalah ( Megan, 1989 )
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik. a. Mengkaji situasi b. Mendiagnosa masalah etik moral c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
Pengambilan Keputusan Etik 8
d. Melaksanakan rencana e. Mengevaluasi hasil 2. Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 1989 ) a. Mengembangkan data dasar. Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin meliputi :
Siapa
yang
terlibat
dalam
situasi
tersebut
dan
bagaimana
keterlibatannya
Apa tindakan yang diusulkan
Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan yang tepat e. Mengidentifikasi kewajiban perawat f. Membuat keputusan 3. Model Murphy dan Murphy a.
Mengidentifikasi masalah kesehatan
b.
Mengidentifikasi masalah etik
c.
Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Mengidentifikasi peran perawat e.
Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
f.
Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
g.
Memberi keputusan
h.
Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum untuk perawatan klien
i.
Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.
4. Model Curtin
Pengambilan Keputusan Etik 9
a.
Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang menyebabkan masalah
b.
Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan.
c.
Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
d. Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari pilihan itu. e.
Aplikasi teori, prinsip dan peran etik yang relevan.
f.
Memecahkan dilemma
g.
Melaksanakan keputusan
5. Model Levine – Ariff dan Gron a. Mendefinisikan dilemma b. Identifikasi faktor-faktor pemberi pelayanan. c. Identifikasi faktor-faktor bukan pemberi pelayana • Pasien dan keluarga • Faktor-faktor eksternal d. Pikirkan faktor-faktor tersebut satu persatu e. Identifikasi item-item kebutuhan sesuai klasifikasi f. Identifikasi pengambil keputusan g. Kaji ulang pokok-pokok dari prinsip-prinsip etik h. Tentukan alternatif-alternatif i.
Menindaklanjuti
6. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981) Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik a. Mengumpulkan data yang relevan b. Mengidentifikasi dilemma c. Memutuskan apa yang harus dilakukan d. Melengkapi tindakan 7. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981) mengusulkan 10 langkah model keputusan bioetis a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan, komponen etis dan petunjuk individual. b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi c. Mengidentifikasi Issue etik d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.
Pengambilan Keputusan Etik 10
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada FAKTOR2 YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
Faktor agama dan adat-isitiadat Agama serta latar belakang adat istiadat merupakan factor utama dalam membuat keputusan etis. Setiap perawat disarankan memahami nilai yang diyakini maupun kaidah agama yang dianutnya. Sebagai negara berketuhanan, segala kebikjakan atau aturan yang dibuat diupayakan tidak bertentangan dengan aspek agama yang ada di Indonesia. Faktor adat istiadat yang dimiliki perawat atau pasien sangat berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etis tetapi kaitan adat istiadat dan implikasi dalam keperawatan sampai saat ini belum tergali jelas di Indonesia.
Faktor sosial Berbagai factor social berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etis. Faktor ini meliputi perilaku social dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum dan peraturan perundang-undangan (Ellis, Hartley, 1980).
Faktor ilmu pengetahuan dan teknologi Kemajuan di bidang kesehatan telah mampu meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang usia manusia dengan ditemukannya berbagai mesin mekanik kesehatan, cara prosedur baru, dan bahan atau obat baru. Misalnya, klien dengan gangguan ginjal yang dapat diperpanjang usianya berkat adanya mesin hemodialisis. Wanita yang mengalami kesulitan hamil dapat dibantu dengan berbagai inseminasi.
Faktor legislasi dan keputusan yuridis Perubahan social dan legislasi secara konstan saling berkaitan. Setiap perubahan social atau legislasi menyebabkan timbulnya suatu tindakan yang merupakan reaksi perubahan tersebut. Legislasi merupakan jaminan tindakan menurut hokum, sehingga oprang yang bertindak tidak sesuai hokum dapat menimbulkan suatu konflik (Ellis, Hartley, 1990).
Faktor dana/keuangan Dana atau keuangan untuk membiayai pengobatan dan perawatan dapat menimbulkan konflik. Walaupun pemerintah telah mengalokasikan dana yang besar untuk pembangunan kesehatan, dana ini belum seluruhnya dapat
Pengambilan Keputusan Etik 11
mengatasi berbagai masalah kesehatan sehingga partisipasi swasta dan masyarakat banyak digalakkan. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang setiap hari menghadapi klien, sering menerima keluhan klien mengenai pendanaan. Dalam daftar kategori diagnosis keperawatan tidak ada pernyataan yang menyatakan ketidakcukupan dana, tetapi hal ini dapat menjadi etiologi bagi berbagai diagnosis keperawatan, anatara lain ansietas dan ketidakpatuhan.
Faktor pekerjaan/posisi klien maupun perawat Dalam pembuatan suatu keputusan, perawat perlu mempertimbangkan posisi pekerjaannya. Sebagian besar perawat bukan merupakan tenaga yang praktek sendiri, tetapi bekerja di rumah sakit, dokter praktek swasta, atau institusi kesehatan lainnya. Tidak semua keputusan pribadi perawat dapat dilaksanakan, namun harus disesuaikan dengan keputusan atau aturan tempat ia bekerja. Perawat yang mengutamakan kepentingan pribadi sering mendapat sorotan sebagai perawat pembangkang. Sebagai konsekuensinya, ia dapat mendapat sanksi administrasi atau mungkin kehilangan pekerjaan.
KONSEP MORAL DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN Beberapa dasar penting dalam praktik keperawatan antara lain: 1. Advokasi Istilah advokasi sering di gunakan dalam konteks hokum yang berkaitan dengan upaya melindungi hak manusia bagi mereka yang tidak mampu membela diri. Arti advokasi menurut ANA (1985) adalah melindungi klienatau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik tidak syah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapapun. Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal yang memiliki penyebab atau dampak penting. Gadow (1983) advokasi merupakan dasar falsafah dan ideal keperawatan yang melibatkan bantuan perawat secara aktif kepada individu secara bebas menentukan nasibnya sendiri. Pada dasarnya, peran perawat sebagai advokat klien adalah memberi informasi dan memberi bantuan kepada klien atas keputusan apapun yang di buat klien, memberi informasi berarti menyediakan penjelasan atau informasi sesuai yang di butuhkan klien, memberi bantuan mengandung dua peran yaitu peran aksi dan non aksi. 2. Responsibilitas dan Akuntabilitas
Pengambilan Keputusan Etik 12
Responsibilitas(tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat. Perawat yang selalu bertanggung jawab dalam melakukan tindakannya akan mendapatkan kepercayaan dari klien atau dari profesi lainnya. Perawat yang bertanggung jawab akan tetap kompeten dalam pengetahuan dan ketrampilannya serta selalu menunjukkan keinginan untuk bekerja berdasarkan kode etik profesinya. Akuntabilitas (tanggung gugat) mengandung arti mempertanggung jawabkan suatu tindakan yang dilakukan, dan dapat menerima konsekuensi dari tindakan tersebut (Kozier, Erb, 1991). Fry (1990) menyatakan bahwa akuntabilitas mengandung dua komponen utama yaitu tanggung jawab dan tanggung gugat. Perawat bertanggung bjawab terhadap dirinya sendiri, klien profesi, sesame karyawan, dan masyarakat. 3. Loyalitas Loyalitas merupakan suatu konsep yang meliputi simpati, peduli, dan hubungan timbale balik terhadap pihak secara professional berhubungan dengan perawat. Hubungan professional di pertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama, menepati janji, menetukan masalah dan prioritas, serta mengupayakan pencapaian kepuasan bersama( Jameton, 1984, Fry , 1991). Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan dengan berbagai pihak yang harmonis, Loyalitas harus di pertahankan oleh setiap perawat baik loyalitas kepada klien, teman sejawat, rumah sakit maupun profesi. Untuk mewujudkan ini, AR. Tabbner (1981: lihat Cresia,1991) mengajikan berbagai argumentasi: a) Masalah klien tidak boleh di diskusikan oleh klien lain dan perawat harus bijaksana bila informasi dari klien harus didiskusikan secara professional. b) Perawat harus menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat c) Perawat harus menghargai dan member bantuan kepada teman sejawat d) Pandangan masyarakat terhadap profesi keperawatan di tentukan oleh kelakuan anggota profesi (perawat). Perawat harus menunjukkan loyalitasnya terhadap profesi dengan berperilaku secara tepat pada saat betugas. CONTOH PENGAMBILAN KEPUTUSAN : EUTANASIA Eutanasia. Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates
Pengambilan Keputusan Etik 13
pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia
pasif,
eutanasia
agresif
dan
eutanasia
non
agresif
Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien. Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Autoeutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif dimana tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya,
Pengambilan Keputusan Etik 14
dan pihak rumah sakit akan meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis. Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
Eutanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
Eutanasia hewan
Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela
Eutanasia di berbagai Negara 1.
Amerika
2. Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan
kemungkinan
dilakukannya
eutanasia
dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
Pengambilan Keputusan Etik 15
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia. 2. Belanda Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 , yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
Pengambilan Keputusan Etik 16
dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum. 3. Belgia Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian". Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya 4. Inggris Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran. Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga
Pengambilan Keputusan Etik 17
4. Indonesia Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undangundang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa
pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum
positif
yang
masih
berlaku
yakni
KUHP
Eutanasia menuruit pandangan agama a. Agama Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian,
Pengambilan Keputusan Etik 18
seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)
disetarakan
dengan
membunuh
dirinya
sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir almaut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga Ketua Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang haram tindakan Euthanasia (tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia itu kan pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan MUI telah lama mengeluarkan fatwa yang mengharamkan dilakukannya tindakan
Euthanasia
(tindakan
mematikan
orang
untuk
meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia, menurut fatwa kita tidak diperkenankan, karena itu kan melakukan pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin di Jakarta, Jumat (22/10). Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma'ruf Amin mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus. Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan. Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan "euthanasia", dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak
Pengambilan Keputusan Etik 19
diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. "Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT," ujarnya menambahkan. Ketua komisi fatwa MUI itu mengatakan, MUI akan menjelaskan dan mengeluarkan fatwa pelarangan euthanasia tersebut, apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau institusi lainnya menanyakan kepada MUI. Dia menjelaskan, kasus permohonan euthanasia memang belum pernah terjadi di Indonesia, tetapi MUI telah menetapkan fatwa pelarangan tersebut setelah melakukan diskusi dan pembahasan tentang permasalahan euthanasia yang terjadi di luar negeri. b. Agama Kristen Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33] • Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut". • Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi. Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan
Pengambilan Keputusan Etik 20
suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia memusnahkan
harapan
mereka
perawatan kesehatan, atas
pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut CONTOH ILUSTRASI KASUS Seorang wanita berusia 40 tahun menderita tumor dia menolak untuk di obati di karenakan biaya yang kurang mencukupi, namun dia pernah mendatangi puskesmas terdekat untuk berobat dan konsultasi untuk menyelamatkan hidup nya, maka di perlukan suatu operasi dengan segera. Tetapi dia tetap saja menolak untuk dioperasi dengan alas an tidak adanya biaya, tidak inggin orang lain (anak-anak nya) susah akan keberadaannya seperti itu dan membiarkan tumor itu menjadi besar hingga ia meninggal. Anak-anak nya pun tidak bisa berbuat apa-apa, dan mereka menghargai keputusan ibunya walaupun dengan berat hati. Begitu pula suaminya dia bekerja hanya sebagai kuli
yang
hanya
cukup
untuk
keperluan
sehari-hari
saja.
PENYELESAIAN DILEMA ETIK Kerangka pemecahan dilema etik, menurut kozier and Erb (1989) 1. Mengembangkan Data Dasar a. Orang-orang yang terlibat dalam dilema etik tersebut : klien, suami, anak, perawat, rohaniawan b. Tindakan yang diusulkan Sebagai klien dia mempunyai otonomi untuk membiarkan penyakitnya menggerogoti tubuhnya walaupun sebenarnya bukan hal itu yang di inginkannya. Dalam hal ini, perawat mempunyai peran dalam pemberi asuhan keperawatan,
Pengambilan Keputusan Etik 21
peran advocad (pendidik) serta sebagai konselor yaitu membela dan melindungi ibu tersebut untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian. c. Maksud dari tindakan Dengan memberikan pendidikan, konselor, advokasi di harapkan klien mau menjalani operasi serta dapat membuat keputusan yang tepat terhadap masalah yang saat ini dihadapi. d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan Operasi dilaksanakan
Biaya Biaya yang dibutuhkan klien cukup besar untuk dilaksanakannya operasi
Psikososial Pasien merasa bersyukur diberi umur yang panjang (bila operasi itu lancar dan baik) namun klien juga dihadapkan pada kecemasan akan kelanjutan hidupnya bila ternyata operasi itu gagal serta biaya-biaya yang akan di keluarkan.
Fisik Klien mempunyai bentuk
tubuh yang normal tidak terdapat
pembesaran dalam tubuhnya (perut) dan bila dibiarkan begitu saja cepat atau lambat akan terjadilah kematian Bila operasi tidak dilaksanakan
Biaya Tidak mengeluarkan biaya apa-apa
Psikososial Klien dihadapkan pada suatu ancaman kematian terjadi kecemasan dan rasa sedih dalam hatinya
Fisik Timbulnya pembesaran di daerah abdomen
2. Identifikasi Konflik Akibat Situasi Tersebut a. Untuk memutuskan apakah operasi dilakukan pada wanita tersebut, perawat dihadapkan pada konflik tidak menghormati otonomi klien b. Apabila tindakan operasi tidak di lakukan perawat dihadapkan pada konflik : 1)
tidak melaksanakan sumpah profesi
Pengambilan Keputusan Etik 22
2) tidak melaksanakan kode etik profesi dan prinsip-prinsip moral : advokasi,benefesience, justice, avoiding, killing. 3) tidak melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan 4) perasaan bersalah (quilty) akibat tidak melaksanakan tindakan operasi yang memungkinkan timbulnya kematian. 3. Tindakan Alternatif Terhadap Tindakan Yang Diusulkan a. Mengusulkan dalam tim yang terlibat dalam masalah klien untuk dilakukannya operasi, konsekuensi :
usul diterima atau ditolak aleh tim dan pihak yang terlibat dalam penanganan klien
mungkin klien secara psikologis akan menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan akan kehidupan ini
resiko pengeluaran biaya yang tak terduga/ tidak dapat diprediksi
b. Mengangkat dilema etik ini kepada komisi etik keperawatan yang lebih tinggi untuk mempertimbangkan apakah operasi ini dilakukan atau tidak konsekuensi :
Mungkin memperoleh tanggapan yang memuaskan
Mungkin memperoleh tanggapan yang kurang memuaskan
Tidak tertutup kemungkinan untuk tidak di tanggapi sama sekali
c. Meminta izin kepada pimpinan lembaga pelayanan kesehatan (klinik kesehatan) untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi klien yang sebenarnya. Konsekuensi :
Koordinator lembaga pelayanan menyetujui atau menolak
Klien meperoleh informasi dan dapat memahami kondisinya, serta dapat mengambil sikap untuk memutuskan tindakan yang terbaik untuk dirinya.
Kondisi psikologis klien lebih baik atau bertambah buruk karena responnya terhadap informasi yang diperoleh
4. Menetapkan Siapa Pembuat Keputusan Pada kasus wanita tersebut merupakan masalah yang komplek dan rumit, membuat keputusan dilakukan operasi atau tidak dapat diputuskan oleh pihak tertentu saja tetapi harus diputuskan secara bersama-sama. a. Pengambilan keputusan harus melibatkan tim yang terkait dan klien
Pengambilan Keputusan Etik 23
b. Keputusan dibuat untuk :
Pihak yang terkait dengan wanita tersebut untuk melakukan operasi atau tidak
Klien, keputusan yang dibuat dapat memperoleh kepastian apakah dilakukan operasi atau tidak.
c. kriteria penetapan siapa pembuat keputusan 1)
Tim Kumpulan dari beberapa pihak yang berkepentingan dan yang paling memahami kondisi fisik dan psikologis klien. Masalah yang dihadapi Sangay
komplek
dan rumit yang
tidak
hanya
memerlukan
pertimbangan ilmiah, tetapi juga pertimbangan etik sehingga pembuat keputusan akan lebih bijaksana dilakukan oleh tim. 2) klien klien ádalah orang yang paling berkepentingan dalam pengambilan keputusan yang dibuat oleh klien bisa berubah secara tiba-tiba yang akan mempengaruhi keputusan tim 3) Keluarga keterlibatan keluarga dalam upaya penyelesaian masalah cukup menentukan mendapatkan
mengingat biaya
secara
ekonomis
diperoleh
darimana
klien
masih
sehingga
Belem
keluarga
mempunyai peranan yang cukup menemtukan masalah d. Prinsip moral yang ditekankan berdasarkan prioritas dalam kasus ini :
Otonomi
Benefesiensi
Justice
avoiding killing
5. Mengidentifikasi Kewajiban Perawat a. menghindari klien dari ancaman kematian b. menghargai otonomi klien dan berusaha menyeimbangkan dengan tanggung jawab pemberi pelayanan kesehatan c. menghindarkan klien dari tindakan yang tidak menguntungkan bagi dirinya d. melaksanakan prinsip-prinsip kode etik keperawatan e. membantu sistem pendukung yang terlibat
Pengambilan Keputusan Etik 24
6. Membuat keputusan Keputusan yang dapat diambil sesuai dengan hak otonomi klien dan dari pertimbangan tim kesehatan, sebagai seorang perawat, keputusan yang terbaik adalah dilakukan operasi berhasil atau tidak itu adalah kehendak yang maha kuasa sebagai manusia setidaknya kita telah berusaha.
DAFTAR PUSTAKA Barbara kozier, 1983, Fundamental of nursing Bertens, 1993, Etika Burhanuddin. 2000. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka Cipta Caroline Bunker Rosdahal, 1999, Text Book of Basic Nursing, Lippincot: Philadelphia, Newyork, Baltimore Cholil Uman, 1994, Agama menjawab tentang berbagai masalah Abad modern, Ampel Suci : Surabaya Ismani, Nila. 2001. Etik Keperawatan. Jakarta: Widya Medika Putri, Trikaloka H. dan Achmad Fanani. 2011. Etika Profesi Keperawatan. Yogyakarta: Citra pustaka. PPNI. 2000. Kode Etik Keperawatan Lambang Panji PPNI dan Ikrar Keperawatan. Jakarta: Pengurus Pusat PPNI. Potter, Patricia A. (2005). Fundamental of Nursing: Concepts, Proses adn Practice 1st Edition. Jakarta: EGC.
Lucie Young Kelly, 1981, Dimension of professional Nursing, fourth edition, Macmillan publishing London
Taylor, Lilis, LeMone, 1997, fundamental of nursing the Art and Sciences of Nursing care, Lippincott Philadelphia Newyork http://addy1571.files.wordpress.com/2008/12/tanggung-jawab-dan-tanggung-gugatperawat-dalam-sudut-pandan.pdf
Pengambilan Keputusan Etik 25