Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014
PERUBAHAN GEBYOK SEBAGAI KAJIAN BUDAYA MASYARAKAT KUDUS Zainul Arifin MA FST-UNISNU Jepara Email:
[email protected] ABSTRAK Gebyok of Kudus house is close related to culture value toward Kudus society, particularly in culture’s life that have a background of decoration of gebyok. Based on cultural perspective, the form and design of gebyok is not solely for aesthetics, but it is also related to meaning of decoration symbol. The decoration of Gebyok Kudus is a phenomenon of artifact that cannot be released from socio-cultural context and an art process as a qualitative paradigm. Thus, this research method used is qualitative method. The aim of this research is particularly an effort to how to utter the symbol decoration meaning from a complex phenomenon. Thus, this research is a descriptive qualitative to find accurate finding research. The changing of gebyok involved in measure, matter, decoration and function due to request of the user of gebyok that will be used in his/her house or public facility makes it in a good change either quality, treatment, or function. Keywords : changing of gebyok, gebyok kudus, culture ABSTRAK Gebyok rumah Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Kudus, terutama dalam kerangka budaya yang melatarbelakangi ketertarikan untuk memahami lebih jauh keberadaan gebyok, terutama perubahan gebyok Kudus. Berdasarkan pada perspektif budaya, bentuk dan corak gebyok bukan semata hanya untuk pemenuhan keindahannya saja, melainkan juga terkait dengan ragam hiasnya. Sesuai dengan kondisi objek penelitian, masalah yang dikaji, dan tujuan yang akan dicapai, perlu memilih strategi yang tepat. Gebyok Kudus merupakan fenomena artefak yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-kultural dan proses kesenian yang mempunyai latar belakang multi aspek, gebyok Kudus merupakan paradigma kualitatif, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, lebih ditekankan pada upaya mengungkap perkembangan gebyok dari sebuah fenomena yang komplek. Penelitian ini ditekankan pada penelitian kualitatif deskriptif untuk mendapatkan temuan penelitian yang akurat. Perubahan gebyok yang meliputi perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan fungsi akibat adanya permintaan dari para pengguna gebyok yang akan diterapkan pada rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga gebyok Kudus mengalami perkembangan baik kualitas pengerjaan maupun fungsinya. Kata kunci : Perubahan, Gebyok Kudus, budaya PENDAHULUAN
kehadirannya tentu tidak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat Kudus yang tercermin pada bentuk joglo dan ragam hias yang diterapkan pada bangunan rumah. Sejalan dengan perkembangan zaman, timbul fenomena baru bahwa nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Kudus khususnya budaya setempat yang berkaitan dengan rumah tradisional Kudus mengalami perubahan. Masyarakat Kudus sudah banyak yang tidak memperhatikan adat-istiadat dan karya-karya peninggalan leluhurnya. Sebagai contoh, rumah Kudus yang dipenuhi dengan ragam hias diseluruh elemen arsitekturnya
Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, dengan adanya budaya mengakibatkan bentuk rumah menjadi berbeda. Selain bentuk yang berbeda juga sangat dipengaruhi oleh kondisi sumber daya alam yang tersedia dan teknologi yang dimiliki, juga berkaitan dengan struktur dan kehidupan sosial budaya masyarakat (Triyanto, 2001:4). Demikian juga keberadaan rumah Kudus dalam lingkup kebudayaan Jawa, kekhasan bentuk rumahnya sering disebut sebagai rumah gebyok (Triyanto, 2001:8),
1
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 hanya tinggal beberapa yang bertahan, rumah Kudus yang dibangun dengan teknik knock down memudahkan untuk dipindahkan ke tempat lain, dan dengan mudah dapat dijual sebagai komoditas. Perkembangan sekarang, rumah tradisional Kudus mulai dibuat replikanya, baik secara utuh maupun hanya gebyoknya saja yang diproduksi oleh perajin. Secara keseluruhannya masih menyerupai bentuk dan ragam hias aslinya seperti yang ada di gebyok rumah Kudus, sedangkan untuk ukurannya sudah mengikuti keinginan konsumen. Motif ukirannya masih menyerupai aslinya dan dianggap masih memiliki makna simbol yang berisi ajaran-ajaran tentang pandangan hidup dan sikap hidup manusia Jawa. Namun ada yang sudah mengalami perubahan terutama pada ukuran gebyok, penggunaan ragam hias dan fungsi yang tidak mengikuti ”pakem” gebyok Kudus. Berubahnya gebyok yang dulunya sebagai penyekat ruang jogosatru dengan ruang tengah, menjadi gebyok yang diproduksi secara terpisah untuk keperluan nilai keindahan rumah tinggal maupun fasilitas umum atau sebagai interior ruang modern, telah membawa pengaruh bagi masyarakat Kudus secara khusus maupun masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan kenyataan tersebut Gustami (1991:103) mengatakan. Pergeseran nilai memang sudah terjadi sesuai dengan perubahan dan perkembangaan zaman. Suatu realitas yang tidak mungkin dihindari, dan itu berpengaruh langsung terhadap eksistensi seni kriya dan kerajinan. Kondisi-kondisi alam dan sosiokultural yang membentuk seni kriya dewasa ini, sangat berbeda dengan kondisi-kondisi masa lampau ketika norma-norma dan sistem nilai telah berkembang secara kompleks dalam struktur yang rumit oleh spesifikasi disiplin yang khas. Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi yang semakin canggih, dan perubahan seni itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat J.W.M. Bakker SJ dalam Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar mengatakan “perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru, dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan kepada situasi baru” (Bakker, 1984:113).
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan permasalahan, maka perumusan masalahnya adalah : 1. Bagaimana wujud gebyok yang merupakan hasil budaya masyarakat Kudus? 2. Bagaimana ciri-ciri gebyok Kudus yang merupakan simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus? 3. Bagaimana pengaruh perubahan gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus? TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah 1. Mendikripsikan wujud gebyok yang merupakan hasil budaya masyarakat Kudus 2. Mengkaji ciri-ciri gebyok Kudus yang merupakan simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus. 3. Merumuskan pengaruh perubahan gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat yaitu : 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan pengetahuan dalam pengembangan ilmu kajian budaya, khususnya pengaruh perubahan gebyok Kudus pada masyarakat Kudus. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan sebagai bahan evaluasi dan pengambilan kebijakan bagi kegiatan pelestarian budaya di Kudus serta dapat menjadi rujukan bagi peminat gebyok Kudus dan masyarakat pada umumnya, mengingat peninggalan budaya yang berupa rumah Kudus dan gebyok Kudus semakin berkurang, sehingga perlu untuk mewacanakan gebyok hasil produksi perajin sebagai alternatifnya LANDASAN TEORI Membicarakan gebyok rumah Kudus sebagai salah satu fakta budaya merupakan produk yang tidak dapat dilepaskan dari peran berbagai pihak untuk mewujudkannya, yaitu perajin sebagai orang yang mengerjakannya, lembaga-lembaga yang terlibat dalam perkembangan gebyok, dan masyarakat sebagai pengguna, maka untuk mengkaji gebyok pada rumah Kudus secara kontekstual diperlukan pendekatan sosiologi dan antropologi, karena berkaitan dengan
RUMUSAN MASALAH
2
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 pengungkapan fenomena perkembangan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal dalam masyarakat pendukungnya. Melihat perkembangan produk gebyok yang ada di Kudus, maka masyarakat ingin terus menggarap potensi yang ada dan harus mengembangkan usaha gebyok yang akhirnya dapat dikatakan sebagai sarana untuk melestarikan dan memasyarakatkan gebyok rumah Kudus di masa datang. Berhubungan dengan hal tersebut di atas maka digunakan teori utama untuk menganalisis kajian gebyok rumah Kudus, yaitu teori dari Raymond Williams (1981: 17) yang dimuat dalam buku Culture: “Three useful kinds of study can then be distinguished, of (i) the social and economic institutions of culture and, as alternative definitions of their ‘products’, of (ii) their content and (iii) their efects” (1981: 17). Selanjutnya untuk memperjelas pemahaman teori tersebut Kuntowijoyo (2006: 6) dalam bukunya Budaya dan Masyarakat menjelaskan sebagai berikut. Williams menyebutkan bahwa dalam sosiologi budaya kita dapat menemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga-lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya atau norma-norma. Dengan kata lain lembaga budaya menanyakan siapa yang menghasilkan produk budaya, siapa mengontrol dan bagaimana kontrol itu dilakukan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa yang diusahakan; dan efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu.
Sehubungan dengan pengaruh sosial masyarakat Kudus dalam mengkaji gebyok rumah Kudus, akan diurai berdasarkan analisis Jean Duvignaut dalam bukunya The Sociologi of Art yang pada hakekatnya menyatakan, bahwa ”kebudayaan itu sangat dipengaruhi oleh peran serta masyarakat pendukungnya” (Duvignaut, 1972: 64). Teori bantu ini digunakan untuk menganalisis peranan lembaga budaya dalam membina dan memotivasi perajin, sehingga produk yang dihasilkan bervariasi dan mampu menembus pasar yang luas. Berdasarkan teori yang sudah diungkapkan di atas, untuk membahas semua permasalahan yang ditemukan dalam penelitian ini, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan teori bantu lain yang dirasa perlu. Menurut SP. Gustami (2000: 34), mengatakan bahwa pendekatan multidisiplin merupakan cara pandang untuk mengembangkan analisis melalui perpaduan dua atau lebih disiplin ilmu. Selanjutnya R.M. Soedarsono (1999: 192) dalam Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, mengatakan bahwa pendekatan multidisiplin dalam penelitian ini sangat mungkin diterapkan, karena objek penelitian berhubungan langsung dengan budaya masyarakat. METODE PENELITIAN Bentuk dan Strategi Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan berdasarkan permasalahannya, menggunakan penelitian diskriptif kualitatif, sedangkan hasil penelitiannya adalah data deskriptif yang berupa kata-kata tentang kajian gebyok Kudus. Artinya data yang dianalisis di dalamnya berbentuk deskriptif dan tidak berupa angka-angka seperti halnya pada penelitian kuantitatif (Moleong, 2002:3). Penelitian yang mengambil objek gebyok Kudus, baik yang ada di rumah tradisional Kudus maupun yang dikerjakan oleh perajin di Kudus, maka strategi penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus, hal ini disebabkan karena permasalahan dan fakus penelitian sudah ditentukan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan data kualitatif dengan analisis data secara diskriptif kualitatif. Secara umum penelitian yang menggunakan analisis data kualitatif, didefinisikan sebagai penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan, termasuk di
Dengan menggunakan ketiga komponen pokok tersebut, yaitu lembaga, isi, dan efek, maka pembahasan mengenai kajian gebyok pada rumah Kudus dapat terkuak dengan jelas. Teori ini dipakai untuk menjelaskan peranan dan dukungan lembagalembaga budaya terhadap perkembangan produk gebyok Kudus, seperti komponen paguyuban perajin gebyok, konsumen, dan pasar, serta peran lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta, seperti Dinas Perindustrian, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Asmindo serta Klaster Ukir Gebyok & Rumah Adat Kudus. Isi (content) budaya yang menjelaskan produk gebyok antara lain menyangkut kajian gebyok pada rumah Kudus. Efek budaya secara kontekstual menjelaskan berbagai pengaruh yang ditimbulkan dengan kajian gebyok pada rumah Kudus terhadap lingkungan sosial, budaya, dan masyarakat pendukungnya.
3
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan pada pengembangan konsep yang ada pada data.
informasi yang didapat dari wawancara dengan informan. 3). Alat tulis. Alat ini banyak digunakan dalam proses pencatatan sebagai bagian proses pengumpulan data, yaitu dalam wawancara, observasi, dan kepustakaan. b. Observasi Peneliti melakukan pengamatan langsung di lapangan, yaitu di rumah tradisional Kudus, workshop perajin gebyok Kudus dan rumah tinggal yang memanfaatkan gebyok sebagai elemen estetik. Dalam penelitian ini, hasil pengamatan diposisikan sebagai data primer. Kegunaan observasi ini adalah sebagai berikut. 1). Untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam mengamati gebyok Kudus yang hasilnya dapat digunakan sebagai alat untuk mengecek ulang kebenaran informasi yang diperoleh dari teknik-teknik lain yang digunakan, yaitu wawancara, studi kepustakaan dan studi dokumen. 2). Untuk memperoleh pengalaman langsung dari sebuah pengamatan terhadap gebyok Kudus yang hasilnya dapat dituangkan dalam suatu catatan atas suatu kejadian sebagaimana terjadi pada keadaan sebenarnya. c. Wawancara. Wawancara digunakan untuk mengetahui perubahan bentuk gebyok, ciriciri dan fungsi gebyok Kudus, pengaruh perkembangan gebyok Kudus dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus. Teknik wawancara ini tidak dilakukan dengan struktur yang ketat dan formal, agar informasi yang dikumpulkan memiliki kedalaman yang cukup (Milles dan Huberman dalam Sutopo H.B, 1988 : 17 ). Cara ini mampu mengorek kejujuran informan untuk memberikan informasi yang sebenarnya, terutama tentang bentuk gebyok, perubahan gebyok dan pengaruhnya dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus Manfaat penggunaan teknik ini adalah untuk mengkaji perubahan gebyok, pengaruh perubahan gebyok yang terjadi pada kehidupan budaya masyarakat Kudus dari para informan. Hasil yang diperoleh dari wawancara diposisikan sebagai data primer penelitian. Wawancara mendalam dilaksanakan dalam tahapan sebagai berikut: 1). menentukan atau menyeleksi informan yang diwawancarai;
Lokasi penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah. Dipilihnya Kudus sebagai lokasi penelitian, karena nilai-nilai lokal masyarakatnya masih dipegang teguh. Masyarakat Kudus memiliki karakteristik khas yang membedakan dengan daerah lainnya. Karakteristik Kudus terkenal dengan ajaran Islam yang cukup kuat karena merupakan pusat penyebaran agama Islam di Jawa dengan Sunan yang terkenal yaitu Sunan Kudus. Objek penelitian khususnya rumah tradisional Kudus, workshop produksi gebyok dan rumah tinggal yang menggunakan gebyok di Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan Kudus ini menjadi lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. Kudus sebagai kota yang mempunyai hasil budaya rumah tradisional yang sangat khas arsitektur dan ragam hiasnya. b. Gebyok Kudus mempunyai ragam hias unik, khas dan sudah diproduksi oleh perajin. Teknik Pengumpulan Data Kajian terhadap gebyok memberikan peluang berkembangnya pemahaman yang lebih mendalam tentang gebyok Kudus. Oleh karena itu, pengumpulan data tentang gebyok Kudus lebih mengutamakan penggunaan teknik observasi dan wawancara, di samping studi dokumen dan studi kepustakaan. Adapun detail kerja secara teknik masingmasing dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Instrumen Penelitian Dalam mengumpulkan data, peneliti sebagai instrumen utama penelitian yang ditunjang dengan penggunakan alatalat bantu sebagai berikut. 1). Pedoman wawancara. Alat bantu ini digunakan sebagai panduan dalam melakukan wawancara dengan informan agar diperoleh data yang diperlukan dalam upaya menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian. 2). Alat perekam gambar (kamera) dan alat perekam suara. Alat perekam gambar digunakan untuk memperoleh data visual dari objek-objek pengamatan, sedangkan alat perekam suara digunakan dalam upaya merekam
4
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 2). pendekatan informan terpilih untuk diwawancarai; 3). mempersiapkan alat bantu, yaitu (1) alat perekam suara; (2) alat tulis, (3) kamera dan (4) pedoman atau materi wawancara; 4). melakukan wawancara agar tetap kondusif dan produktif; serta dapat merangkum hasilnya. d. Studi Dokumen Pengumpulan data bersumber dari berita media cetak dan laporan resmi. Selain itu, dalam penelitian ini termasuk di dalamnya menganalisis terhadap dokumen-dokumen berupa foto-foto.. Dengan demikian, peneliti dituntut melakukan kerja pengumpulan keseluruhan dokumen yang memuat informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan gebyok Kudus dari perpustakaan, data teks yang diperoleh dari studi dokumen ini diposisikan sebagai data sekunder penelitian. Dalam penelitian ini, semua teknik pengumpulan data tersebut tidak saja digunakan untuk memperoleh data, tetapi sekaligus sebagai bagian dari proses keabsahan data, karena untuk mendapatkan keabsahan data peneliti menggunakan teknik implementasi yang disebut dengan triangulasi data, yang memiliki tiga prosedur, yaitu pertama, membandingkan data observasi dengan data hasil interview; kedua, membandingkan informasi dari sumber satu dengan yang lainnya; dan ketiga, membandingkan hasil interview dengan dokumen yang terkait (Moleong, 1989:178).
Pada penelitian kualitatif, analisis data bersifat induktif, artinya penarikan simpulan yang bersifat umum dibangun dari data-data yang diperoleh di lapangan. Dalam prosesnya, analisis penelitian kualitatif dilakukan dalam tiga macam kegiatan, yakni (1) analisis dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data, (2) analisis dilakukan dalam bentuk interaktif, sehingga perlu adanya perbandingan dari berbagai sumber data untuk memahami persamaan dan perbedaannya, dan (3) analisis bersifat siklus, artinya proses penelitian dapat dilakukan secara berulang sampai dibangun suatu simpulan yang dianggap mantap. Dengan demikian, analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang, dan terus menerus (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Analisis yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisis model interaktif. Analisis interaktif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Sedangkan reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Setelah data dikumpulkan dengan teknik wawancara, observasi, dan analisis dokumen, dilakukanlah reduksi data. Reduksi data dalam penelitian ini terdiri atas beberapa langkah, yaitu (1) menajamkan analisis, (2) menggolongkan atau pengkategorisasian, (3) mengarahkan, (4) membuang yang tidak perlu dan (5) mengorganisasikan data sehingga simpulansimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Selanjutnya dari buku yang sama dijelaskan reduksi data adalah, pengumpulan data ditempatkan sebagai komponen yang merupakan bagian integrasi dari kegiatan analisis data. Prosesnya berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian, dimulai sebelum proses pengumpulan data dimulai sampai bentuk laporan akhir penelitian selesai ditulis. Setelah reduksi data, langkah berikutnya dalam analisis interaktif adalah penyajian data. Penyajian data yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah dalam bentuk teks naratif, yang merupakan rangkaian kalimat yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga mampu menyajikan permasalahan dengan fleksibel,
Validitas Data Guna menjamin validitas data dalam penelitian ini maka peningkatan validitas data dilakukan dengan cara yang disebut triangulasi data ( data triangulation ) yaitu penelitian dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis atau sama (Sutopo. HB, 1988:21). Validitas data merupakan faktor yang penting dalam sebuah penelitian karena sebelum data dianalisis terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan. Validitas membuktikan hasil yang diamati sudah sesuai dengan kenyataan dan memang sesuai dengan sebenarnya ada atau kejadiannya (Nasution, 2003 : 105). Teknik Analisis
5
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 tidak “kering”, dan kaya data. Namun demikian, pada penelitian ini data tidak hanya disajikan secara naratif, tetapi juga melalui berbagai matriks dan tabel. Penyajian data dalam penelitian kualitatif dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, sehingga peneliti dapat melihat apa yang sedang terjadi. Dengan demikian, peneliti lebih mudah dalam menarik simpulan. (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik simpulan atau verifikasi. Langkah awal dalam penarikan simpulan atau verifikasi dimulai dari penarikan simpulan sementara. Penarikan simpulan hasil penelitian diartikan sebagai penguraian hasil penelitian melalui
teori yang dikembangkan. Dari hasil temuan ini kemudian dilakukan penarikan simpulan teoretik (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Kemudian simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tinjauan ulang pada catatan di lapangan atau simpulan dapat ditinjau sebagai makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya, kekokohan, dan kecocokannya. Namun demikian, jika simpulan masih belum mantap, maka peneliti dapat melakukan proses pengambilan data dan verifikasi, sebagai landasan penarikan simpulan akhir. Ketiga alur dalam analisis data kualitatif apabila digambarkan adalah sebagai berikut,
PENGUMPULAN DATA SAJIAN DATA
REDUKSI DATA
PENARIKAN SIMPULAN VERIFIKASI
Gambar: 1. Skema Komponen-Komponen Data Model Interaktif Sumber : Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992 Prosedur yang ditempuh dalam analisis data, yaitu lebih menyerupai lingkaran kerja, karena setiap tahapan tidaklah dapat dipisahkan. Mula-mula hasil pengumpulan data direduksi (data reduction) melalui mengikhtisarkan dan memilah-milah ke dalam satuan konsepkonsep, kategori-kategori, dan tema penelitian. Kemudian, hasil reduksi data diorganisasikan ke dalam bentuk sketsa, sinopsis, dan matriks (display data) sehingga memudahkan upaya pemaparan dan penegasan simpulan. Semua data yang dibutuhkan baik data primer maupun data sekunder yang telah diperoleh baik melalui wawancara maupun inventarisasi data tertulis yang ada, kemudian diolah dan disusun secara sistematis untuk dianalisis secara kualitatif. Sehingga analisis ini diharapkan dapat menghasilkan simpulan dengan
permasalahan dan tujuan penelitian yang dapat disampaikan dalam bentuk deskriptif. Proses analisis data dalam penelitian ini meliputi berbagai tahapan. Pertama identifikasi data, yaitu mengumpulkan data primer, sekunder, dan data visual, baik yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi, wawancara maupun data dokumentasi. Setelah identifikasi data diselesaikan, dilanjutkan dengan tahapan ke dua, klasifikasi data yaitu memilih atau mengelompokkan data penelitian yang telah diidentifikasi sesuai dengan jenis dan sifat data. Tahap ke tiga adalah seleksi data, yaitu menyisihkan data yang kurang relevan dan tidak berkontribusi kebutuhan data pada pokok bahasan. Tahapan ke empat dilakukan analisis data sesuai dengan teori-teori yang sudah ditetapkan
6
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 sebelumnya, baik menggunakan analisis tekstual maupun kontekstual. Selain itu dapat dijelaskan pula hubungan saling ketergantungan, dan sebab akibatnya (kausalitas), terutama keterkaitan antara produk yang dihasilkan dengan faktor konsumen, pasar, lembaga budaya dan masyarakat pendukung juga dapat dijelaskan. Tahap berikutnya adalah interpretasi data yang sudah terseleksi dirangkai dengan faktor-faktor menjadi satu
kesatuan analisis yang harmonis dan dapat dipertanggungjawabkan. Model analisa diskriptif kualitatif yang digunakan ada tiga komponen analis, yaitu reduksi data, penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan atau verifikasinya, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data, sebagai suatu proses siklus. PERUBAHAN GEBYOK KUDUS
Gambar : 2. Gebyok Kudus (Sumber : dokumentasi : Zainul, 2013) Kajian perubahan gebyok yang dilakukan dengan menggunakan pisau bedah teorinya Raymond Williams sebagai teori utama untuk mengungkap permasalahan dalam rumusan masalah dihasilkan kajian tentang bentuk rupa gebyok seperti yang sudah disajikan dalam landasan teori. Teori ini dipakai untuk menjelaskan peranan dan dukungan lembaga-lembaga budaya terhadap perkembangan produk gebyok Kudus, isi (content) budaya yang menjelaskan produk gebyok dan efek budaya secara kontekstual menjelaskan berbagai pengaruh yang ditimbulkan terhadap lingkungan sosial, budaya, dan masyarakat pendukungnya.
masyarakat. Kedua, lembaga dalam arti pranata (2004: 14). Perkembangan gebyok dewasa ini, tidak lepas dari dukungan beberapa lembaga terkait. Seperti, lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga swasta, yang juga ikut berperan dalam mengembangkan kerajinan gebyok. Peranan lembaga-lembaga tersebut, antara lain telah memberi kekuatan kepada para perajin gebyok dalam melakukan aktivitasnya. Selain lembaga-lembaga yang terkait dalam perkembangan gebyok, peranan perajin serta pasar juga berperan aktif. Perajin sebagai subjek dalam pembuatan produk dan pasar yang dijadikan tempat untuk proses jual beli atau tempat perdagangan gebyok. Pembinaan dan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga terkait itu bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia dan pengelolaan usaha, sehingga berdampak positif bagi kesejahteraan perajin.
Peran Lembaga Budaya Lembaga Budaya menurut Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, lembaga atau institusi memiliki dua pengertian. Pertama, lembaga dalam arti badan atau organisasi yang berfungsi untuk mengatur kehidupan
Peranan Perajin gebyok
7
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 Perajin merupakan lembaga budaya yang memiliki peranan penting dalam menghasilkan karya seni yang kreatif dan inovatif. Perajin gebyok pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua yakni perajin otodidak dan perajin akademik. Perajin otodidak adalah perajin yang memiliki pengetahuan dan keterampilan secara turun temurun dari leluhurnya yang sistem belajarnya berdasarkan atas meniru, berguru pada seseorang baik langsung maupun tidak langsung. Perajin otodidak lebih berperanan terhadap pelestarian dan kelangsungan nilai budaya tradisional. Dengan demikian, perajin otodidak lebih bersifat konservatif terhadap nilai warisan leluhur, sedangkan perajin akademik adalah perajin yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan formal. Perajin di Kudus pada mulanya merupakan perajin otodidak, yang sistem belajar kerajinan gebyok bersumber dan berpatokan kepada gejala dan kejadian alam, ini sesuai dengan falsafah masyarakatnya yang berguru ke alam. Soedarso Sp (2006: 14) dalam Trilogi Seni, Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni, mengatakan bahwa, “interaksi antara manusia dan alam sekitar banyak hubungannya dengan penciptaan karya seni baik dari sisi motivasi penciptaan maupun hasilnya kemudian”. Alam bisa saja dijadikan sumber ide atau inspirasi bagi seniman untuk berkarya seni, termasuk juga pada karya kerajinan gebyok. Selain perajin otodidak, di Kudus juga ada perajin yang bersifat akademik. Perajin akademik yang dimaksudkan adalah para desainer yang didatangkan dari luar daerah. Kudus mengundang desainer dari ibu kota Jakarta guna memberikan pengetahuan desain, baik itu desain produk, maupun desain umum untuk keperluan pasar. Gebyok memang merupakan salah satu kerajinan dalam bidang arsitektur rumah khususnya dalam pembuatan penyekat ruang tamu dengan ruang keluarga. Gebyok kini juga telah dimodifikasi dengan ragam hias lain yang bisa dijadikan sebagai alternatif pilihan gaya formal. Sebagaimana diungkap oleh But Muchtar (1991: 3) dalam Seni jurnal pengetahuan dan penciptaan seni, dengan judul Daya Cipta di Bidang Kriya, menyatakan bahwa perajin pada dasarnya memiliki kebiasaan, yang pada hakikatnya menirukan apa yang telah diwariskan secara turuntemurun, dengan kata lain mengulang produk yang sama. Komunitas perajin ini merupakan salah satu lembaga budaya yang menjalankan
profesinya secara kontinyu dengan berpedoman pada pola dan norma-norma tertentu yang berpijak pada ikatan-ikatan budaya yang mendukungnya. Perajin ini merupakan pusat dari lembaga budaya (William, 1981: 35). Perajin sebagai bagian dari masyarakat, aktivitas hidupnya dalam berkesenian juga terkait dengan konteks budaya dan masyarakat. Apalagi seni kerajinan sebagai produk budaya memberi harapan bagi perajin dalam memenuhi kebutuhan hidup, terutama sektor ekonomi. Para perajin mendapatkan pendidikan dan keahlian membuat gebyok dari orangorang terdahulu. Pendidikan dan keahlian para perajin dapat diperoleh melalui berbagai pengalaman yang dilakukan sendiri dan sebagian lagi mendapat pengalaman dari orang lain. Seni kerajinan gebyok merupakan perwujudan atau cerminan ungkapan cita rasa estetik dalam bentuk benda fungsional maupun benda estetik yang dalam penggarapannya didukung oleh kemampuan, pengalaman dan kecakapan teknik yang bertujuan untuk mempertahankan seni budaya peninggalan nenek moyang dan tentu saja juga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seperti yang diungkapkan oleh Agus Sachari (2002: 67) dalam Estetika, Makna Simbol, dan daya, yang mengatakan bahwa: nilai estetik merupakan aspek yang secara rupa dan merepresentasikan segala hal dibaliknya. Karya desain dan seni rupa memiliki makna operasional terhadap pencapaian peradaban masyarakat, baik yang berkaitan dengan kemampuan teknologi, situasi ekonomi, gaya hidup masyarakat, dinamika sosial, kebijakan pembangunan, hingga tingkat cita rasa masyarakatnya. Seni kerajinan gebyok memiliki unsur estetik dari produknya maupun dari desain atau motif yang terkandung di dalam karya gebyok. Gebyok merupakan cita rasa masyarakat perajinnya yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam mengukir yang diperoleh dari nenek moyang mereka secara turun-temurun guna memenuhi kebutuhan ekonomi. Keterampilan yang dimiliki oleh perajin membutuhkan pelatihan, ketekunan, kesabaran, dan ketelitian. Peningkatan kemampuan para perajin tersebut diperoleh melalui proses pembelajaran secara turuntemurun dari orang-orang terdahulu dan peniruan dari alam sekitar. Interaksi antara perajin dengan alam dan sarana-prasarana akan menambahkan
8
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 apa yang disebut keterampilan yang dicapai dalam waktu panjang dan tergantung pula pada intensitas interaksi serta besar dan kecilnya bakat yang dimiliki. Seni kerajinan gebyok pada dasarnya sudah menjadi bagian yang melekat dengan budaya yang hidup dan berkembang dikalangan masyarakat Kudus. Dalam mempertahankan dan mengembangkan seni tradisi, maka seni kerajinan gebyok lebih menekankan pada kemampuan teknik, ketelitian, kesabaran dan kecermatan para perajin dalam menghasilkan suatu karya seni. Pada umumnya perajin di Kudus dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu perajin dan pengusaha. Kerukunan masyarakat terjalin dengan baik, terbukti pengusaha tidak segan-segan membimbing perajin. Perajin juga tidak malu belajar kepada pengusaha. Hal ini dilakukan agar produk seni kerajinan gebyok yang dibuat lebih berkualitas. Pada umumnya perajin gebyok di Kudus mengajarkan keterampilan mengukirnya kepada anak cucu mereka yang putus sekolah, atau yang tidak mempunyai pekerjaan. Masyarakat Kudus menyebutnya dengan sistem pewarisan keahlian atau kepandaian mengukir, bagi orang lain yang bukan keluarga disebut nyantrik. a. Perajin Perajin adalah kelompok perajin yang telah menguasai pengetahuan dan keterampilan dalam bidang seni kerajinan gebyok, baik yang menyangkut kegiatan pendesainan, proses produksi sampai dengan proses finishing. Dalam membuat produknya tidak selalu berorientasi pada pesanan, tetapi lebih berorientasi pada pakem gebyok. Perajin sering dibantu oleh perajin lain. Perajin juga ada yang bekerja pada pengusaha gebyok Kudus. Para perajin ini datang ke tempat atau rumah pengusaha untuk mengukir, biasanya pengusaha telah menyediakan peralatan mengukir di tempat usahanya, atau perajin mengambil bahan kayu ke rumah pengusaha lalu mereka mengukir di rumah masing-masing. Menurut beberapa perajin, mereka lebih suka mengukir di rumah masing-masing sebab mereka punya waktu lebih banyak dibandingkan bekerja di tempat pengusaha. b. Pengusaha Kelompok perajin ini kebanyakan merupakan perajin yang memiliki kemampuan mengelola (managerial), memiliki kemampuan Leaderships, kemauan keras untuk maju, dan memiliki
wawasan ke depan, di samping itu juga mempunyai modal usaha serta memiliki pemasaran yang lebih luas, tidak saja di pasarkan dalam daerah tetapi sudah masuk ke dalam pasar nasional dan bahkan hasil produksinya sudah sampai ke luar negeri. Di Kudus, pengusaha gebyok hasil produksinya sudah sampai ke Malaysia, Thailand dan lain-lain. Umumnya para pengusaha gebyok masih merangkap sebagai tenaga kerja, misalnya saat-saat tertentu para pengusaha masih tetap ikut mengerjakan pembuatan motif ukir sendiri. Di samping itu, pengusaha seni kerajinan tidak hanya berperan sebagai produsen tetapi juga sebagai pedagang yang memasarkan hasil produksinya. Dalam menjalankan usaha seperti itu, ia dibantu oleh anggota keluarga baik yang ada di dalam daerah maupun ada keluarga mereka yang ada kota besar. Peranan Pendidikan Pendidikan adalah sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagi perajin gebyok Kudus, ada dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal. Menurut Norhadi (56 tahun) pemilik sentra gebyok Avia Antiq mengatakan bahwa di Kudus sudah ada mata pelajaran muatan lokal yang mengajarkan cara-cara atau proses mengukir dalam mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di tingkat Sekolah Dasar dan Seni Budaya di tingkat Sekolah Menengah. Program ini bertujuan untuk memperkenalkan pendidikan atau pengetahuan mengukir kalangan anakanak remaja sehingga mereka termotivasi kembali untuk mengerjakan mengukir ini, sehingga pewaris dari kerajinan gebyok di Kudus tidak hilang begitu saja. Pelajar bisa mempraktikkan sendiri proses mengukir tersebut, karena masing-masing sekolah sudah memiliki alat mengukir (wawancara, 8 Desember 2012). Namun, di Kudus lebih banyak pendidikan non-formal yang berperan, karena seni kerajinan gebyok merupakan kerajinan yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek-moyang, maka sekarang sama halnya di mana perajin-perajin tersebut mengajarkan langsung seni kerajinan ini kepada anak cucu mereka. Sepulang sekolah anak-anak mereka diajarkan bagaimana proses mengukir dengan keahlian dan keterampilan yang mereka miliki, dan ada juga kerajinan ini dipelajari oleh anakanak mereka yang putus sekolah sehingga dapat menambah pendapatan keluarga.
9
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 Adapun lembaga pendidikan lain yang juga berperan terhadap perkembangan seni kerajinan gebyok adalah lembaga pendidikan tinggi, di mana lembaga ini juga memegang peranan penting dalam kelangsungan seni kerajinan gebyok yang berada di Kudus. Beberapa lembaga pendidikan formal yang berperan langsung terhadap eksistensi seni kerajinan gebyok, di antaranya adalah Universitas Muria Kudus. Peranan pendidikan tinggi Universitas Muria Kudus, antara lain dalam bentuk penelitian, Norhadi mengatakan bahwa banyak mahasiswa dari UMK yang melakukan penelitian tentang gebyok, otomatis secara tidak langsung berkembang gebyok Kudus di tingkat mahasiswa. Namun ada juga mahasiswa luar daerah Kudus yang juga melakukan penelitian di daerah ini, seperti STTDNU Jepara, UNNES Semarang (wawancara, 8 Desember 2012). Sedangkan Bapak Bintong MR sebagai Ketua Klaster Ukir Gebyok dan Rumah Adat Kudus, mengatakan pernah dikunjungi oleh mahasiswa dari ISI Yogyakarta dan ITB Bandung untuk mengadakan observasi tentang gebyok dan motif yang diterapkan pada gebyok (wawancara, 10 Desember 2012)
luar Kudus selalu menghadirkan Gebyok sebagai sajian utama dalam pameran.. b. Klaster Ukir Gebyok & Rumah Adat Kudus Klaster Ukir Gebyok dan Rumah Adat Kudus berada di bawah pembinaan dari Deperindag, klaster ini juga berperan dalam perkembangan seni kerajinan gebyok Kudus. Bintong Mohammad Room ketua klaster mengatakan, Klaster Ukir Gebyok dan Rumah Adat Kudus menyediakan bimbingan, pendampingan, promosi, dan juga program rutin mengikuti pameran baik di Kudus maupun di luar Kudus, terutama di kota-kota besar (wawancara, 10 Desember 2012). Klaster juga melakukan sistem simpan pinjam kepada anggota klaster. Dalam perkoperasian, maju mundurnya koperasi tergantung pada para anggotanya. Unit usaha simpan pinjam ini, para anggota harus menyimpan dulu dan baru kemudian meminjam untuk pengembangan usaha. Peranan Paguyuban Perajin Ukir Gebyok Kudus Keberadaan gebyok yang terkait dengan badaya Kudus secara tidak langsung telah menempatkan paguyuban yang dapat berfungsi sebagai kontrol sosial yang bertugas mengawasi proses penciptaan gebyok. Hal itu untuk menghindari penerapan motif yang tidak sesuai dengan aturan yang diterapkan pada gebyok Kudus. Di samping itu paguyuban juga mengawasi apakah penerapan ragam hias telah sesuai dengan aturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Kudus. Sebagai salah satu wujud kebudayaan, maka gebyok juga sangat ditentukan oleh sistem nilai dan adat-istiadat lingkungan setempat termasuk hubungan institusi-institusi terkait dalam suatu masyarakat (Kaplan & Manners, 1999: 110). Paguyuban berfungsi melestarikan seni kerajinan gebyok Kudus supaya tidak hilang, sebagai fasilitator hasil dari gebyok yang dibuat oleh perajin, salah satunya untuk melestarikan corak atau motif pada setiap ragam hias gebyok Kudus.
Peranan Pemerintah a. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pada hakikatnya pariwisata adalah kegiatan budaya. Di Wilayah Kota Kudus banyak dijumpai objek-objek pariwisata yang dapat digali potensinya sebagai daerah tujuan pariwisata, baik wisata alam, wisata kultural atau budaya maupun jenis wisata lainnya. Drs. Sutiyono, M.Pd, Kasi Sejarah & Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Kudus menyatakan bahwa Pariwisata di Kudus mampu secara berkesinambungan meningkatkan devisa, kesempatan kerja dan mampu memacu peningkatan pembangunan diberbagai aspek, dengan kata lain mampu menjadi pusat pertumbuhan bagi masyarakat Kudus (wawancara, 8 Desember 2012). Perkembangan pariwisata menuntut perkembangan segala hal, seperti kenyamanan, keamanan, kebersihan dan cenderamata khas Kudus. Dengan adanya tuntutan perkembangan tersebut dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mencoba menjadikan Rumah khas Kudus yang ditempatkan di Museum Kretek Kudus dijadikan sebagai objek kunjungan wisata, Ditambah lagi dengan program rutin pameran baik di Kudus maupun di
PERUBAHAN GEBYOK KUDUS SEBAGAI BENDA BUDAYA Perubahan Gebyok Kudus sebagai Benda Budaya Gebyok Kudus yang diproduksi oleh perajin sudah mengalami perubahan baik dari ukuran gebyok, bahan baku yang digunakan,
10
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 penerapan ragam hias maupun fungsi dari gebyok itu sendiri. a. Perubahan Ukuran Perubahan ukuran gebyok yang dilakukan oleh perajin merupakan bentuk pelayanan kepada konsumen, di mana banyak konsumen melakukan pemesanan gebyok disesuaikan dengan kebutuhan bidang / ruang yang akan digunakan untuk penempatan gebyok. Gebyok yang pada umumnya mempunyai ukuran 12 m sesuai dengan lebar pembatas antara ruang pendopo dan jogosatru pada rumah Kudus, sekarang ini
banyak dijumpai gebyok yang mempunyai ukuran 4 m, 6 m, 8 m bahkan ada yang hanya 1,5 m. Sesuai dengan pendapatnya Bintong MR, Ketua Klaster Ukir Gebyok dan Rumah Adat Kudus, Gebyok yang diproduksi oleh perajin gebyok Kudus mengalami perubahan ukuran, hal ini disebabkan karena kebutuhan masyarakat pemesan gebyok yang menentukan ukuran gebyok yang dipesan (Wawancara, 24 November 2012), pendapat ini diperkuat oleh Ali Imron, S.E selaku Ketua Asmindo Kabupaten Kudus dan Norhadi sebagai perajin Gebyok “Avia Antik”.
Gambar 4. Gebyok dengan ukuran 4 m yang ada di Balai Desa Sidorekso, Kecamatan Kaliwungu, Kudus (dokumentasi: Zainul, 2013) b. Perubahan Bahan Gebyok Kudus merupakan produk khas yang menyatu dengan rumah khas Kudus dibuat dengan bahan baku dari kayu jati kualitas baik. Dengan terjadinya kelangkaan bahan baku yang berkualitas baik, maka para perajin gebyok mulai menggunakan bahan kayu jati kualitas jelek (jati kampung) dengan ciri banyak dijumpai kayu jati yang berwarna putih (jati putihan), menggunakan kayu lama (kayu bekas) yang kondisinya masih bagus bahkan ada yang menggunakan kayu nangka. Dengan digunakannya bahan baku alternatif tersebut menjadikan kualitas gebyok semakin menurun, selain pengerjaannya yang kasar juga berdampak pada turunnya harga jual gebyok Kudus
c. Perubahan Ragam Hias Penerapan ragam hias pada gebyok Kudus pun mengalami perubahan, terjadinya penyederhanaan motif ragam hias seperti yang diungkapkan oleh Norhadi perajin Gebyok “Avia Antik” tukang ukir sekarang ini yang terdiri dari anakanak muda sering melakukan “korupsi” motif yang dipahatnya, unsur-unsur hias yang ada di motif jalinan dan angkup sering dikurangi kerumitannya, untuk memudahkan dalam proses pengerjaannya (Wawancara, 8 Desember 2012). Dengan adanya perubahan motif tersebut akan mengurangi makna yang ada, bahkan ada penggantian motif tradisional dengan kaligrafi arab, sehingga dapat mempunyai makna yang berbeda, seperti pada gambar 5.
11
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014
Gambar : 5. Gebyok yang menggunakan kayu jati kualitas jelek (jati kampung) (dokumentasi: Zainul, 2013)
Gambar : 6. Motif tumbuhan menjalar diganti dengan kaligrafi arab (dokumentasi: Zainul, 2013)
12
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014
rumah tinggal, bahkan masjid. Sehingga fungsi utama gebyok sebagai elemen arsitektur dan elemen estetik rumah Kudus mengalami perubahan menjadi elemen estetik atau unsur dekoratif ruangan baik di rumah tinggal maupun ruang publik, seperti pada gambar 7.
d. Perubahan Fungsi Fungsi gebyok yang semula menjadi pembatas antara ruang pendopo dengan jogosatru pada rumah Kudus, sekarang banyak dijumpai gebyok yang ditempatkan sebagai elemen estetik pada
Gambar : 7. Gebyok yang diterapkan pada Rumah Tinggal (dokumentasi: Zainul, 2013) PENGARUH PERUBAHAN BENTUK GEBYOK DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT KUDUS
Hal ini tentu saja terkait dengan pembuatan model pada proses desain produk, merupakan representasi penampilan khas Kudus, tetapi tidak lepas dari nilai-nilai tradisi yang tercermin dari bentuk motif yang tetap sama seperti bentuk motif gebyok, hanya saja sudah dimodifisikasi. Kesadaran akan manfaat yang diperoleh melalui pembuatan gebyok, yang merupakan produk praktis dan ekonomis yang menunjukkan pertumbuhan yang semakin meningkat. Hal ini terutama terdorong oleh meningkatnya harga jual gebyok, yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan ekonomi masyarakat perajin gebyok Kudus. Faktor ekonomi dalam perdagangan gebyok merupakan suatu faktor yang ikut memberi dorongan produktif bagi kerajinan gebyok Kudus. Perkembangan kerajinan yang mengarah pada produk komersial dewasa ini, berawal dari pemikiran baru terhadap kondisi dan tuntutan zaman yang berkaitan dengan ekonomi pasar. Perubahan sikap dan perilaku hidup para perajin ternyata telah mengantarkan gebyok ke dalam babak baru kehidupan modern. Gebyok mulai
Pengaruh Perubahan Gebyok Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat. Perkembangan gebyok menjadi salah satu bentuk industri kerajinan rakyat yang mampu menopang kehidupan perekonomian masyarakat pendukungnya. Munculnya berbagai bentuk produk baru dari gebyok, tertuang dalam bentuk produk bersifat komersial yang mampu meningkatkan minat masyarakat luas akan gebyok Kudus Kemampuan masyarakat Kudus mengembangkan gebyok merupakan aspek positif masyarakat pendukungnya, tercermin dari kemampuan perajin dalam mengerjakan segala bidang pekerjaan yang berkaitan dengan gebyok tersebut. Didorong oleh penilaian yang positif terhadap pekerjaan alternatif, serta nilainilai terhadap pekerjaan yang ditekuni, maka profesi perajin gebyok dianggap sebagai milik dan identitas masyarakat Kudus.
13
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 ditawarkan keseluruh belahan dunia melalui media cetak dan internet. Perkembangan gebyok Kudus sekarang ini tidak terlepas dari usaha dan kerjasama berbagai pihak, meskipun demikian usaha tersebut berawal dari usaha kolektif masyarakat Kudus terhadap kerajinan ini. Munculnya bentuk kerjasama baik sesama perajin maupun dengan berbagai pihak dalam kegiatan industri kerajinan gebyok disebabkan kondisi pemasaran produk yang kompleks. Ini merupakan partisipasi masyarakat untuk melestarikan kegiatan tersebut karena terkait langsung dengan perekonomian masyarakat. Bentuk kerjasama yang dilakukan masyarakat dan perajin baik dalam proses produksi maupun dalam pemasaran hasil produksi, merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam menghadapi pengaruh perkembangan pasar yang sangat cepat sekarang ini. Gebyok berkembang menjadi barang yang diperdagangkan dan pembuatannya mulai dilipatgandakan. Faktor ekonomi merupakan salah satu pendorong bagi terciptanya gebyok komersial dalam masyarakat. Di samping itu, dengan berkembangnya usaha kerajinan gebyok ini juga telah membuka lapangan kerja khususnya bagi masyarakat Kudus, yang secara tidak langsung juga telah menekan pengangguran. Berkurangnya pengangguran di Kudus disebabkan karena setiap hari masyarakat disibukkan dengan melakukan kegiatan perekonomian di bidang kerajinan gebyok. Kaum laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan di bidang lain dan ibu-ibu serta anak-anak yang putus sekolah pada umumnya setiap hari mengisi hari-hari mereka dengan bekerja pada perajin gebyok, baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah pengusaha gebyok Kudus. Keberadaan gebyok Kudus yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan keputusan masyarakat untuk memilih kerajinan ini dikembangkan merupakan salah satu bentuk usaha masyarakat untuk mempertahankan eksistensi dalam mengatasi masalah ekonomi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada gebyok tidak hanya berpengaruh terhadap aspek kehidupan yang ada di sekitar industri saja, tetapi juga pada masyarakat lain yang bersentuhan dengan proses dan interaksi yang terjadi di dalamnya. Efek sebagai bagian dari suatu rangkaian aktivitas dalam pembuatan
gebyok mempunyai dampak pada aspek sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Kudus khususnya, maupun di luar wilayah tersebut pada umumnya. Gebyok Kudus sangat bermanfaat sekali dalam memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat pada aspek ekonomi. Di mana dengan adanya sentrasentra gebyok di daerah Kudus dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekitar. Masyarakat yang awalnya tidak mempunyai pekerjaan, sekarang mereka mempunyai keterampilan yang hasilnya dapat dijual. Sentra-sentra gebyok yang ada di Kudus membuka siapa saja yang mau belajar ditempatnya tanpa ada pengecualian. Sentra-sentra gebyok Kudus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tidak bersekolah atau pengangguran. Pengaruh Perubahan Gebyok Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Kondisi hubungan sosial dengan segala prosesnya memang dapat menjembatani terhadap proses bertahannya kerajinan gebyok di Kudus. Namun demikian, kondisi-kondisi yang senantiasa berubah terus, telah menyebabkan masyarakat Kudus berhadapan dengan kondisi yang semakin kompleks. Dalam arti masyarakat Kudus harus berhadapan dengan masyarakat yang lebih luas dan memiliki sistem nilai serta kepentingan-kepentingan ekonomi yang lebih kompleks. Untuk menunjang eksistensi kerajinan gebyok, masyarakat Kudus berusaha memahami kondisi-kondisi yang kompleks tersebut. Namun keterbatasan pengetahuan dan kemampuan masyarakat sering menimbulkan suatu dilema tersendiri. Walaupun demikian tidak memperlemah motivasi masyarakat, karena sampai sekarang masyarakat Kudus masih mampu mempertahankan kerajinan gebyok. Berbagai usaha dan upaya dilakukan oleh masyarakat guna mempertahankan kelestarian kerajinan gebyok yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang supaya tidak hilang dari kegiatan masyarakat dan diwariskan pada generasi berikutnya. Usaha yang juga dilakukan oleh masyarakat Kudus, bahwa masyarakat tidak menutup diri atau terbuka pada pengaruh-pengaruh yang datang dari luar selama pengaruh tersebut berdampak
14
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 positif bagi perkembangan kerajinan gebyok Kudus. Kemampuan para perajin gebyok Kudus beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan kompleksitas kondisi perkembangan dunia global sekarang ini, telah menunjukkan tingkat perkembangan industri gebyok. Kini komoditi gebyok Kudus telah berada pada jaringan pasar bebas yang mampu menjalin hubungan dengan kota-kota besar. Hal ini berarti masyarakat Kudus telah mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman guna untuk memenuhi kebutuhan perekonomian. Perkembangan globalisasi saat ini, menuntut masyarakat untuk tidak menutup diri dan terbuka, karena kadangkala pengaruh tersebut sangat bermanfaat sekali pada perkembangan kerajinan gebyok di Kudus. Tinggal bagaimana masyarakat menyikapi pengaruh tersebut, apakah pengaruhnya bersifat posisif maupun negatif yang dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Proses-proses adaptasi terhadap kompleksitas perkembangan globalisasi dan komoditi pasar, hal ini menunjukkan kemampuan para perajin mengubah struktur industri maupun cara kerjanya. Namun, kemampuan dan pengetahuan para perajin gebyok yang terbatas dan masih terikat kegiatan industri dengan sistem hubungan sosial atau kerajinan yang dilakukan masih bersifat kekeluargaan, maka tentunya belum mampu mengubah struktur industri maupun cara kerja secara keseluruhan yang mengarah pada struktur ekonomi saja maupun cara kerja yang profesional. Adapun cara yang ditempuh para perajin sebagai suatu cara yang paling sesuai dengan kondisinya, adalah menggabungkan antara kondisi lama dan kondisi baru. Hal ini berarti kondisi masyarakat (perajin) telah mengalami perkembangan yang berada pada kondisi transisi dalam perspektif perubahan sosial budaya. Di satu pihak, mereka belum dapat meninggalkan pola lama, sedangkan di lain pihak mereka harus mengikuti pola-pola baru, Seperti pada pola motif atau ragam hias gebyok yang digunakan. Masyarakat atau perajin gebyok Kudus dalam pembuatan motifnya masih memakai pola bentuk motif lama, hanya saja motif tersebut sudah dimodifikasi dan disederhanakan ke dalam bentuk-bentuk praktis dalam proses pengerjaannya.
Dalam proses pengerjaan gebyok, masyarakat perajin masih mempertahankan bentuk-bentuk kerjasama dengan sistem gotong-royong atau tolong menolong yang tampak pada segala aspek kegiatan industri meliputi bidang-bidang produksi, manajemen, ketenagakerjaan, pemasaran, guna untuk mempertahankan perkembangan kerajinan gebyok ini tidak hilang dari kegiatan masyarakat Kudus, karena gebyok Kudus merupakan salah satu hasil budaya daerah Kudus yang sarat dengan tradisi kebudayaan nenek moyang. Sesuai dengan kondisi masyarakat Kudus, sistem percampuran seperti ini, tampak merupakan sistem yang paling cocok dikembangkan oleh masyarakat Kudus dalam mempertahankan eksistensi dan keberlanjutan kegiatan kerajinan gebyok sebagai bagian dari strategi adaptasi dalam sistem perekonomiannya. Bentuk kerjasama yang terjadi pada kegiatan kerajinan gebyok di Kudus sebagai manifestasi kehidupan gotong royong tersebut, semata-mata bukan karena kemampuan masyarakat dapat bertahan pada batas-batas kewajaran, dan bukan semata-mata karena adanya monopoli pasar. Fenomena yang kini tampak di Kudus sebenarnya adalah kondisi keterbukaan bagi siapa saja yang ingin berpartisipasi dalam proses produksi gebyok maupun pemasarannya. Hal ini juga merupakan bentuk partisipasi masyarakat untuk melestarikan kegiatan tersebut karena berkaitan dengan sistem ekonomi maupun sistem hubungan sosialnya. Ditinjau dari segi sosial, kerajinan gebyok Kudus telah ikut menciptakan keakraban antara penduduk Kudus. Keakraban ini terjadi antara pengukir dengan perajin gebyok. Antara pengukir dengan perajin gebyok akan terjadi hubungan timbal balik. Jika pengukir gebyok tidak ada, perajin tidak akan bisa menjalankan usahanya dan begitu juga sebaliknya. Kondisi sosial masyarakat Kudus yang seperti itu telah mampu membawa atau mengantarkan masyarakat ketaraf kehidupan yang lebih baik. Hal ini terlihat bahwa banyak generasi muda di Kudus melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, dengan banyak berdirinya kampus kampus di Kabupaten Kudus, seperti UMK, STIKES, AKPER, AKBID, STAIN. Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dalam pembangunan
15
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 suatu daerah. Dengan pendidikan yang tinggi, akan membuat kemajuan bagi daerahnya. Begitu juga di Kudus, pendidikan merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh seluruh masyarakat. Kerajinan yang bersifat produksi dan menjadi profesi pribadi juga mempunyai dampak sosial budaya yang cukup tinggi. Seorang ahli kerajinan tertentu yang hidup dalam suatu daerah, akan selalu menularkan keahliannya pada lingkungan sekitarnya. Mereka sangat bangga dapat memberikan keahlian pada orang lain. Mereka akan sangat terbantu karena beberapa pekerjaannya sudah dapat dikerjakan oleh orang lain. Demikian juga masyarakat lainnya akan sangat senang karena mempunyai keterampilan lain. Kerjasama yang baik dan saling hormat-menghormati antara perajin dan anak asuhannya sangat kental. Semuanya terbuka secara luas, dan tidak ada yang harus disembunyikan. Pendidikan cara ini sangat efektif dalam pengembangan sebuah keahlian, karena sebuah keahlian harus ditularkan pada generasi berikutnya, sehingga kerajinan tersebut tidak putus. Adanya proses pengembangan kerajinan gebyok semacam ini, menjadikan kerajinan tertentu akan tersentra pada satu lingkungan. Terpusatnya kerajinan pada satu wilayah tertentu akan sangat memudahkan untuk mendapatkan produk tersebut. Konsumen akan sangat mudah mendapatkan sebuah produk sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Apabila konsumen membutuhkan produk yang lebih banyak dalam waktu yang singkat, perajin akan selalu bekerjasama untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Budaya kerjasama dan saling membantu tetap terpelihara walaupun secara ekonomi selalu dihitung dengan pasti. Begitu juga dengan perkembangan kerajinan gebyok di Kudus yang bersifat komersial, ini akan dapat meningkatkan hubungan yang baik antara perajin, pengusaha, serta pemerintah daerah, yang tujuannya untuk mempertahankan eksistensi kerajinan gebyok di tengahtengah masyarakat Kudus. Masyarakat saling bantu membantu, karena mereka merasakan kalau kerajinan gebyok Kudus merupakan hasil budaya yang patut dipelihara dan dilestarikan pengembangannya supaya tidak hilang dari kegiatan masyarakat Kudus. Kudus menjadi sentra industri kerajinan gebyok menyebabkan daerah ini menjadi terkenal,
dan banyak didatangi oleh masyarakat yang berada di luar daerah dan bahkan luar kota. Pengaruh Perubahan Gebyok terhadap Kehidupan Budaya Masyarakat Kudus Kerajinan kerap kali dijadikan sebagai indikator strata status sosial di masyarakat. Masyarakat mampu dan tidak mampu dapat dikenali dengan produk kerajinan yang mereka miliki. Hal ini dapat dilihat dari produk kerajinan yang dimanfaatkan baik untuk kebutuhan hidup sekuler maupun kehidupan spiritual. Produk kerajinan yang berkualitas tinggi akan menjadi milik orang yang mampu. Kenyataan ini kemudian memberi dampak terhadap pemakaian kerajinan gebyok, jika dahulu dipakai untuk rumah adat namun sekarang dipakai dalam berbagai rumah modern atau fasilitas umum tanpa memperdulikan arsitektur rumah. Perubahan fungsi gebyok sebagai budaya tradisional Kudus dari rumah adat ke bentuk produk praktis dan ekonomis tidak mengalami perubahan terhadap bentuk motif yang ditampilkan pada gebyok, hanya adanya pengurangan motif yang dilakukan oleh perajin untuk menghindari tingkat kerumitan dalam pengerjaannya. Bentuk motif gebyok tetap berkaitan erat dengan adat-istiadat dan budaya Kudus, sebab dalam motif gebyok tradisional tersimpan ajaran tentang adatistiadat serta gambaran nilai-nilai kehidupan. Pesan-pesan nilai budaya yang terkandung dalam motif gebyok dapat dipahami melalui berbagai simbol pada ragam hiasnya. Lambang yang diungkapkan serta kelengkapannya merupakan percerminan dan kebudayaan dalam arti nilai yang menjadi pola tingkah laku masyarakat. Walaupun secara visual bentuk ragam hias yang ditampilkan dapat dilihat pada gebyok, dengan bentuk dan keunikan yang dimiliki oleh gebyok dapat terus bertahan sampai sekarang. Namun makna simbol yang melekat sudah mengalami perubahan makna, sehingga bentuk dan fungsinya sudah ada berubah. Pekerjaan dalam membuat gebyok ini dianggap pekerjaan yang cukup menjanjikan oleh sebagian masyarakat Kudus dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Oleh sebab itu banyak masyarakat yang tertarik untuk mengusahakannya, terutama bagi yang mempunyai modal. Biasanya mereka akan mendirikan
16
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 workshop atau show room. Perkembangan yang terjadi pada gebyok Kudus, bahwa sekarang ini tidak hanya menghasilkan untuk rumah adat, tetapi juga memproduksi untuk rumah modern maupun untuk fasilitas umum. Kerajinan gebyok dewasa ini digunakan pada rumah modern, karena gebyok dianggap mempunyai nilai keindahan yang tinggi dan sekaligus sebagai identitas etnik budaya Kudus. Gebyok sekarang ini dipakai oleh berbagai lapis masyarakat dalam berbagai penempatan. Pemakaian gebyok dapat dilihat sebagai suatu kreatifitas masyarakat dalam memanfaatkan hasil kebudayaan daerah sendiri. Usaha pengembangan gebyok bertujuan untuk memperkenalkan produk gebyok Kudus yang bernilai tinggi dan sebagai identitas dari budaya masyarakat sekitar, yang pada akhirnya akan berdampak pada pengembangan perekonomian daerah sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat perajin gebyok itu sendiri. Bentuk produk gebyok Kudus umumnya mengacu kepada fungsi, kesatuan dan simbolik dari nilai-nilai budaya, sehingga masyarakat yang menggunakan gebyok sebagai elemen dekoratif rumah tinggal akan mengingat makna simbol yang terkandung dalam ragam hias gebyok, walaupun sudah banyak masyarakat yang memahami gebyok beserta ragam hiasnya hanya sebagai elemen dekoratif saja dan memanfaatkan keindahan ragam hias gebyok sebagai simbol untuk meningkatkan status sosial di masyarakat.
ekonomi masyarakat yang semakin meningkat, pengaruh pada kehidupan sosial masyarakat dan pengaruh pada kehidupan budaya masyarakat Kudus. Saran Gebyok Kudus adalah peninggalan sejarah yang sangat berharga. Di dalamnya terkandung nilai-nilai tradisi yang diwujudkan dalam bentuk arsitektur. Upayaupaya yang telah ditempuh untuk mencegah kelangkaan peninggalan gebyok Kudus harus lebih ditingkatkan, upaya pelestarian budaya tersebut harus ditumbuhkan kesadaran di kalangan masyarakat akan pentingnya pelestarian gebyok Kudus agar cagar budaya yang masih ada tidak semakin berkurang, bahkan hilang sama sekali. Peninggalan yang masih ada tinggal sedikit jumlahnya, itupun tidak seluruhnya utuh sesuai dengan bentuknya. Benda budaya tersebut dapat dijadikan objek pembelajaran, kajian dan penelitian dalam pengembangan keilmuan. Dengan demikian generasi mendatang akan dapat mengkaji lebih dalam tentang bentuk, ragam hias, pengaruh budaya dan makna yang melekat pada gebyok Kudus Pengembangan gebyok Kudus yang dilakukan oleh perajin gebyok merupakan bentuk pelestarian budaya yang dilakukan secara turun temurun, sehingga perlu adanya peraturan pemerintah daerah Kabupaten Kudus dengan perbup (peraturan bupati) atau perda (peraturan daerah) yang mengatur pelestarian cagar budaya gebyok Kudus dan pendampingan UMKM gebyok dengan program “Gebyokisasi” serta pelatihan untuk dapat menjaga kualitas gebyok, sehingga gebyok sebagai komoditas ekonomi dapat dikembangkan sebagai penyangga perekonomian Kudus. Gebyok Kudus yang banyak diminati oleh masyarakat, baik untuk tempat tinggal maupun fasilitas umum diharapkan memanfaatkan gebyok hasil produk perajin gebyok dengan masih mempertahankan ragam hias yang menjadi “pakem” ukiran gebyok Kudus, sehingga masyarakat masih bisa menikmati hasil budaya, mengenal, dan mengapresiasi ragam hias yang ada pada gebyok sebagai budaya yang adiluhung.
PENUTUP Simpulan Kajian tentang bentuk rupa gebyok, meliputi peran lembaga budaya seperti perajin yang terdiri dari perajin pemula, perajin ahli dan perajin pengusaha, pendidikan baik formal, nonformal, pendidikan tinggi, pemerintah yang melibatkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Klaster Ukir Gebyok, dan Rumah Adat Kudus, Paguyuban Perajin Ukir Gebyok. Gebyok Kudus mempunyai ciri-ciri yang khas seperti pola ragam hias yang tertata rapi, teknik ukir naturalis. Namun, ada perubahan yang terjadi meliputi perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan fungsi dari gebyok itu sendiri. Pengaruh yang ditimbulkan dengan berkembangnya industri gebyok adalah pengaruh kepada
DAFTAR PUSTAKA Budiono Heru Satoto, ,1987 Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : PT Hanindita Graha Widya. Cassirer, Ernst.1987, Manusia Dan Kebudayaan, Sebuah Essei Tentang
17
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014 Manusia, terjemahan Alsis A Nugroho. Jakarta : Gramedia. Djelantik, A.AM., 1999, Estetika : Sebuah Pengantar, Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Endraswara, Suwardi, 2003, Mistik Kejawen : Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jaw a. Yogyakarta : Narasi Gie, The Liang, 1976, Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), Yogyakarta : Penerbit Karya. Gustami Sp.1980 Nukilan Seni Ornamen Indonesia. Yogyakarta : STSRI ”ASRI” _________, 2000. Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara : Kajian Estetika Melalui Pendekatan Multidisiplin. Yo gyakarta : Kanisius. Hamzuri, Warisan Tradisional itu Indah dan Unik, Jakarta : Depdikbud Hasan, M, Iqbal, 2002, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta : Ghalia Indonesia. Herusatoto, Budiono. 2000. Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita. Holt, Claire, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni Indonesia, Bandung: Arti.line. Hoop, Van Der, 1949, Ragam ragam Perhiasan Indonsia, Jakarta : Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen Ismunandar K., R., 2001, Joglo : Arsitektur Tradisional Jawa, Semarang : Effhar. Kodiran, 2002, Kebudayaan Jawa dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta : Balai Pustaka. etodologi Penelitian Budaya Rupa, Jakarta : Erlangga. Salam, Solichin, 1995, Kudus Selayang Pandang, Jakarta : Hidayah Soedarso SP,1976. Pengertian Seni. Yogyakarta : STSRI “ ASRI” __________,1987. Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni : Yogyakarta,: Saku Dayar Sana. __________., 1990, Seni Rupa Indonesia dalam Masa Prasejarah, dalam Perjalanan Senirupa Indonesia dari Zaman Prasejarah Hingga Kini, Kusuma Atmaja, Mochtar, Editor,
_____________, 1997. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia. Koswara, Aji. 1996. Ukiran Jepara, Suatu Kajian terhadap Gaya Ukiran Jepara, Tesis Program Magister Desain, ITB. Kuntowijoyo, 1987, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya. Mahasin, Aswab, editor, 1996, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika,Jakarta : Yayasan Festival Istiqlal. Michell, George, 1987, Architecture of The Islamic World, London : Thames & Hudson Miles, Matthew B., dan A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta : UI Press. Mulyana, Deddy, 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung : Rosdakarya Maryono, Irawan dkk, 1982, Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur Indonesia, Jakarta : Djambatan. Priatmojo, Danang dkk, Anatomi Rumah Tradisionak Kudus, Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara. Read, H. 1967. Art and Alienation : The Role of The Artist in Society. New York: Horizon Press. _______, 1970. Education Through Art. London : Faber and Faber. Sachari, Agus, 2001, Wacana Transformasi Budaya, Bandung : Penerbit ITB. ___________, 2001. Desain dan Dunia Kesenirupaan Indonesia dalam Wacana Transformasi Budaya. Bandung : Penerbit ITB. ___________, 2005, M Jakarta : Panitia Pameran KIAS Soetopo, H.B. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. Suseno, Frans Magnis, SJ., 2001, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Triyanto, 2001, Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah tradisional Kudus, Semarang : Kelom pok Studi Mekar. Toekio, Soegeng M.1987. Mengenal Ragam Hias Indonesia, Bandung : Angkasa.
18
Vol. 5, No. 1, Januari
Jurnal DISPROTEK 2014
Pencu, Tesis Program Magister, ITB. Yudoseputro, 1993, Pengantar Wawasan Seni Budaya, Jakarta : Depdikbud. __________, 1986. Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia. Bandung : Angkasa
Umar
Kayam, 1981. Seni, Tradisi dan Masyarakat. Jakarta : Sinar Harapan Warsino.2005. Ragam Hias Seni Ukir. Semarang : Museum Jawa Tengah Ranggawarsita. Widiantoro, Bayu, 2003 Peranan Proporsi terhadap Ukuran Ruang Interior Rumah Tradisional Kudus Joglo
14