RUANG UTAMA
KONFLIK DAERAH SEBAGAI BUDAYA POLITIK MASYARAKAT Muhammad Fadil Abstract Democracy and election process in Indonesia, both of general and local, has often caused conflicts in many places. It might happen in political party and supporting the candidate. Geopolitics aspects also show differences how public acts on their political system. Those differences can be drawn in their orientation such as cognitive, affective, and evaluative and all of these orientation forms political culture in Indonesia. Comparative political culture can bring political process in Indonesia becomes well. Kata Kunci: Konflik, Daerah, Budaya Politik
Latar Belakang Di setiap pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan di berbagai wilayah, tidak sedikit ditemukan konflik-konflik yang terjadi di antara para pendukung calon bupati, walikota, dan gubernur. Konflik lokal pun tidak hanya terjadi pada suasana pemilihan kepala daerah, namun dalam ruang partai politik pun juga terjadi, seperti yang terjadi pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Konflik yang terjadi ditingkat elit PKB akhirnya berimbas di tingkat grass root antara masingmasing pendukung, sehingga dalam penentuan calon anggota legislatif (caleg), konflik tidak dapat dihindarkan. Di balik itu semua, akan timbul sebuah pertanyaan mengapa suasana politik di Indonesia tidak pernah mencapai titik kondusif dan
menunjukkan kedewasaan berpolitik. Di lain tempat, proses pemilihan calon presiden Amerika Serikat, mulai dari pemilihan intern calon dari Partai Demokrat dan Partai Republik, hingga persaingan antara Barack Obama dan John Mc Cain yang disiarkan di seluruh dunia, menjadi inspirasi tersendiri bagi masyarakat Indonesia, yaitu kenapa proses pemilihan di Amerika Serikat dapat berjalan dengan baik dengan konflik yang begitu minimal. Di dalam politik, persaingan antar calon hingga terjadinya kampanye negatif di antara masingmasing pendukung merupakan hal yang biasa. Namun, intensitas konfliklah yang menjadi pembeda di masing-masing negara. Negara Taiwan, misalnya, sering ditemukan bahwa perbedaan pendapat di tingkat anggota dewan senantiasa berakhir dengan perkelahian. Hal ini tidak
akan dijumpai di Negara Eropa dan Amerika Utara, seperti Amerika Serikat dan Kanada dan jarang sekali ditemukan konflik fisik terjadi di antara anggota kongres atau senat. Kewibawaan pejabat publik pun bisa berbeda-beda di antara wilayah lainnya. Di Negara Jepang, misalnya, pejabat publik yang tidak mampu dalam menjalankan tugasnya maka akan segera mengundurkan diri sesegera mungkin seperti yang terjadi pada Perdana Menteri Shinzo Abe pada tahun 2007 yang kabinetnya diduga telah terjadi korupsi di dalamnya. Dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sikap dan reaksi politis di berbagai wilayah yang menjadikan sebuah ciri khas dalam kehidupan politik lokal. Inilah yang disebut dengan budaya politik. Budaya politik sesungguhnya tidak selalu bisa dianggap modal baik bagi masyarakat, karena di dalamnya ada usaha-usaha yang diinginkan oleh berbagai lapisan masyarakat untuk membentuk budaya politik yang lebih bermartabat lagi. Hal ini akan coba dibahas dengan mengangkat budaya politik lokal yang terdapat di Indonesia. Politik masyarakat Indonesia
daerah
(pilkada) di daerahnya, entah itu dalam rangka pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Kegiatan pilkada pun akhirnya diatur dalam aturan pemilihan umum yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Para calon pun tidak harus berasal dari partai politik semata, namun juga bisa berasal dari kalangan umum atau yang dikenal dengan calon independen setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 diberlakukan. Di luar itu, pelaksanaan beberapa pilkada di daerah sudah menunjukan politik lokal secara gamblang yang cukup membuka mata bagi seluruh warga Indonesia. Budaya politik yang akan dijelaskan berikut akan menunjukan bagaimana wajah sesungguhnya politik masyarakat Indonesia. Ini diperlihatkan pada kondisi berikut: a. Perilaku partai politik yang terdapat di daerah -daerah. Partai politik di Indonesia, sebelum di selenggarakannya pemerintahan daerah yang mandiri, bertindak secara sentralistik. Orientasi partai politik adalah pemerintahan pusat, sehingga pengorganisasian dan pengkaderan partai politik pun lebih fokus pada tingkat kekuasaan tertinggi. Pemberdayaan partai politik pada tingkat terendah hanya menjadi basis kekuatan massa dan tidak ada pemberdayaan kader-kader daerah untuk lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan. Persaingan antara partai politik pun sangat nyata dan persaingan dapat terjadi mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Namun, sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah (pilkada), partai politik daerah mulai mampu menunjukan eksistensi
di
Sejak diberlakukannya otonomi daerah dan ditetapkannya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kegiatan perpolitikan lokal semakin marak. Masyarakat daerah tidak hanya terpusat pada pemilihan umum semata, namun secara mandiri dapat melaksanakan kegiatan demokrasi lokal berupa pemilihan kepala daerah 22 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
dalam perpolitikan lokal. Dalam tingkat pemerintah pusat, sebuah partai boleh jadi berbeda kepentingan dalam kebijakan politis, namun pada tingkat daerah partai yang berbeda kepentingan tersebut ternyata mampu menjadi pasangan, kelompok dan koalisi terbaik dalam mengusung calon mereka. Kepentingan pusat tidaklah sama dengan kepentingan lokal (daerah). Boleh jadi setiap partai politik mengklaim bahwa calon yang mereka usung sudah melalui keputusan dan persetujuan di tingkat tertinggi partai, namun koalisi antar partai yang berbeda di tiap tempat menunjukkan bahwa partai politik lokal mampu bergerak dalam tingkat lokal tanpa harus bergantung pada kepentingan di tingkat pusat. Akan tetapi, konflik internal partai akibat kepentingan pilkada pun tidak bisa dihindari. Konflik ini bisa berupa ketidakcocokan antara partai politik di tingkat daerah dan tingkat pusat, antara calon yang diusung oleh masyarakat pemilih dengan partai, seperti yang terjadi pada kondisi berikut ini.
diprioritaskan oleh masyarakat justru tidak direkomendasikan oleh DPD Partai Golkar Papua dan Jayawijaya. Hal serupa juga terjadi pada pencalonan nama untuk anggota legislatif. Sejak kubu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terpecah menjadi dua, antara PKB Muhaimin Iskandar dan PKB Abdurrahman Wahid (Gusdur), pencalonan anggota legislatif dari PKB selalu menemukan kesulitan. Di beberapa daerah PKB Gusdur belum mau bergabung dengan PKB Muhaimin, masingmasing PKB mengajukan nama calon, karena, baik dari PKB Gusdur dan PKB Muhaimin sama-sama membukan pendaftaran caleg. Contoh kasus lainnya ialah perwakilanperwakilan dari DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Cirebon yang menolak keputusan DPP PDI-P yang mengusulkan kembali nama Subardi sebagai Walikota Cirebon dan konflik internal yang terjadi di DPD PDI-P Sumatra Utara tentang pencalonan Tritamtomo-Benny Pasaribu sebagai Gubernur Sumatra Utara yang diusulkan oleh DPP PDI-P. Rata-rata konflik politik lokal terjadi di luar wilayah inti yang mempunyai tingkat aktifitas tinggi, walaupun boleh jadi di Propinsi Sulawesi Selatan juga terjadi ketegangan politik tentang posisi gubernurnya. Namun, pilkada yang dilaksanakan di Jakarta, Bekasi, Tangerang, sampai propinsi Jawa Barat tampaknya memang minim konflik terbuka baik di dalam partai politik maupun antara calon pendukung. Kota Depok, misalnya, walaupun sempat terjadi sengketa tentang siapa calon walikota sesungguhnya, namun cepat ter-
b. Pencalonan para pemimpin daerah dan wakil rakyat. Konflik internal partai bisa terjadi ketika partai pencalonan nama mulai dilakukan. Ketidaksesuaian antara dukungan kelompok dan keinginan partai politik biasa terjadi, seperti yang terjadi di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Masyarakat pemilih di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua menolak kader Golkar Budiman Kogoya jadi calon Bupati pada pilkada Jayawijaya dan lebih mendukung Paskalis Kossy yang juga merupakan kader partai Golkar. Sayangnya, Paskalis, yang lebih 23
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
selesaikan dengan adanya mekanisme hukum yang menetapkan sehingga konflik tidak berlarut-larut. Hal sebaliknya terjadi di pilkada Maluku yang cukup berlarut-larut penyelesaiannya dan sudah melibatkan konflik massa. Tentu ada sebuah hipotesis apakah daerah-daerah yang ‘dianggap’ lebih maju secara aktifitas dan pola pikir masyarakat ternyata memang mampu meredam konflikkonflik politik lokal agar tidak diwujudkan melalui sebuah tindakan kekerasan atau minimnya konflik justru diakibatkan karena semakin tingginya kelompok golongan putih atau yang lebih dikenal dengan Golput, seperti yang sering dikemukakan oleh Lembaga Survey Indonesia. Walaupun daerah-daerah tersebut tidak memiliki tingkat konflik yang cukup tinggi selama pelaksanaan pilkada, namun tidak bisa diabaikan bahwa konflik sejenis akan senantiasa muncul ke permukaan. Menurut Ramlan Surbakti, hampir semua partai mengalami kekisruhan dalam menentukan calon kepala daerah. Dengan demikian akan semakin terlihat budaya politik lokal yang terjadi di Indonesia.
pada sikap masyarakat terhadap pemerintahan. Dengan kata lain, budaya politik pada dasarnya adalah sikap politik masyarakat terhadap kehidupan politiknya sendiri. Selanjutnya ialah bagaimana sebuah sikap politik dimunculkan oleh individu atau pun kelompok, karena sikap individu dimunculkan karena faktor dan orientasi tertentu. Oleh Almond and Powell, tiga orientasi, yang menjadi teori dominan dalam teori budaya politik, tersebut ialah: 1. Orientasi kognitif Orientasi kognitif dihubungkan dengan pengetahuan dan kepercayaan pada politik, peran, dan sistem politik baik input maupun output. Individu dan kelompok yang mempunyai orientasi kognitif, sudah terbentuk oleh konsepnya tentang sistem politik di lingkungannya. Dengan kata lain, mereka mampu memahami dengan baik tentang pola sistem politik tersebut. Budaya politik yang dibentuk oleh orientasi kognitif berusaha mencari bentuk ideal (termasuk rasional) atau mempertahankannya dalam aktifitas politik. 2. Orientasi afektif Orientasi afektif dihubungkan dengan perasaan terhadap sistem politik, peranan para pelaku politik, dan penampilannya. Tidak seperti orientasi kognitif, orientasi afektif lebih mempertimbangkan perasaan individu kelompok dalam menyikapi politik dan pelakunya. Tentu saja faktor like or dislike bisa menjadi kekuatan dominan dalam membentuk budaya politik masyarakat. Tidak bisa diabaikan pula bahwa pertimbangan politik masyarakat dalam pemilihan umum dan daerah pun tidak bisa dilepaskan dari orientasi afektif.
Budaya Politik di Indonesia Pada umumnya, pengertian atau definisi budaya politik yang dijabarkan oleh para ahli politik hampir serupa. Gabriel Almond dan Sidney Verba misalnya menganggap budaya politik sebagai sikap dan orientasi warga negara terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya, termasuk sikap kepada peran warga negara di dalam sistem itu. Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrew menitikberatkan 24 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
3. Orientasi evaluatif Orientasi evaluatif berhubungan dengan keputusan dan pendapat tentang objek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria informasi dan perasaan. Orientasi evaluatif bisa dikatakan sebagai bentuk sinergi antara orientasi kognitif dan afektif, sehingga sebuah justifikasi politis dimunculkan oleh individu. Dalam hubungannya dengan budaya politik di Indonesia, ketiga orientasi ini bisa menjadi acuan dalam melihat budaya politik lokal di Indonesia. Satu hal yang tidak bisa diabaikan ialah budaya politik golput. Di beberapa wilayah yang rentan terhadap konflik (daerah yang tingkat kehidupan tradisionalnya masih cukup tinggi), orientasi afektif merupakan faktor paling dominan dalam membentuk budaya politik mereka. Rasa fanatisme, tunduk pada kekuatan adat, pemimpin agama, dan pemimpin lokal (patriarkis), menjadi faktor kenapa kelompok pendukung calon dan masyarakat pemilih mudah kurang menerima bentuk kompetisi politik yang elegan dalam ruang demokrasi. Dalam sistem demokrasi, pertimbangan rasio publik harus menjadi modal awal bagi masyarakat modern saat ini. Sebagai contoh, sekaligus bentuk orientasi kognitif, ialah yang umum terjadi di negaranegara wilayah Eropa dan Amerika, sehingga penyelenggaran demokrasi tingkat pusat dan daerah berjalan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan. Berbeda dengan negara-negara yang pada dasarnya belum pernah menjalankan sistem demokrasi pada masa lampau. Pengaruh pemimpin karismatik yang ditetapkan karena
garis keturunan tertentu, aturan adat, bahkan pengaruh mistis sangatlah kuat di wilayah-wilayah Indonesia. Belum perjalanan pemerintahan yang pernah terjadi pada sistem kenegaraan Indonesia seperti: a. Rezim Orde Lama. Rezim ini tidak bisa lepas dari sosok karismatik Soekarno yang sampai saat ini mempunyai peran penting bagi karir politik putrinya seperti Megawati, Rahmawati, dan Sukmawati. b. Rezim Orde Baru. Rezim yang dipimpin oleh Soeharto ini telah be rhasil membentuk sistem yang terintegrasi dan terpusat, sebagaimana yang lazim pada pola militeristik, sehingga faktor kepemimpinan sangatlah berperan penting dalam proses politik dan bukan berdasarkan faktor publik. c. Era Reformasi. Era yang sudah memasuk i satu dekade bisa dikatakan masih secara bertahap mengurangi bentuk-bentuk budaya politik kurang baik oleh sistem politik di Indonesia yang pernah dijalankan dua orde sebelumnya. Isu -isu pemberantasan korupsi tanpa memandang pihak tertentu mulai menunjukkan hasilnya dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Persaingan politik secara terbuka mulai diberlakukan di daerahdaerah dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah (pilkada). Seiring berjalannya waktu perpolitikan Indonesia, maka ada beberapa hal dari budaya politik yang perlu dikaji, yaitu: a. Perbedaan pola perilaku daerah, seperti yang dijelaskan sebelumnya, menunjukkan pertanyaan 25 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
kenapa daerah-daerah yang memiliki tingkat aktifitas/modernitas tinggi, pluralitas masyarakat, dan kuat dengan pola kapitalisme seperti Jakarta dan sekitarnya kurang menunjukkan konflik terbuka (walaupun konflik tersebut juga ada) dalam pelaksanaan pilkada dibandingkan di beberapa daerah yang mempunyai karakteristik sosial dan geografi yang berbeda dari daerah tersebut. Namun, apabila dihubungkan dengan orientasi pembentukan budaya politik, maka masyarakat lokal memang masih banyak yang masuk dalam kategori orientasi afektif, yaitu masyarakat masih mengangkat rasa solidaritas lokal dan fanatisme calon dalam proses pilkada. b. Keberadaan golongan putih (golput) berdasarkan hasil pengamatan di beberapa pilkada, seperti pilkada Jakarta. Kenyataannya, jumlah golput memang cukup besar dan cukup mempengaruhi pelaksanaan pilkada itu sendiri, karena masyarakat pemilih yang seharusnya mempunyai hak, justru tidak memanfaatkan hak tersebut. Tentu saja jumlah golput yang besar ini akan mempengaruhi perolehan jumlah suara para calon, sehingga kemenangan pasangan calon pun tentu bisa dirasakan kurang maksimal karena adanya penurunan minat pemilih terhadap pelaksanaan pilkada. Ini adalah budaya politik baru yang ditunjukkan oleh masyarakat lokal. Berdasarkan pengamatan Lembaga Survey Indonesia (LSI), kondisi golput memang terjadi pada lingkungan
terpelajar. Artinya, kelompok tersebut memang menyadari proses politik dan pemerintahan yang terjadi di sekitar mereka. Tentu saja budaya politik seperti ini didasarkan oleh orientasi evaluatif. Mereka merasakan secara langsung kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah daerah (sekaligus pemerintah pusat). Dengan modal pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, mereka merasakan bahwa proses politik tersebut tidak berjalan baik dan keadaan sosial tidak lah mengalami perubahan yang berarti. Kondisi tersebut menyebabkan kekecewaan yang cukup tinggi, terhadap kegiatan pemerintahan dan pasangan calon yang diusung dalam pilkada. Boleh jadi mereka merasakan bahwa siapapun calon yang diusung maka belum tentu akan membawa perubahan yang lebih baik bagi daerah mereka. Budaya politik lokal tersebut memang lebih cenderung dipengaruhi oleh orientasi-orientasi yang melatarbelakanginya. Dalam kajian budaya politik, Almond juga mengangkat tentang tingkat keaktifan masyarakat dalam budaya politik seperti parokial, subjektif, dan partisipatif. Mulai dari kesadaran masyarakat yang rendah terhadap kegiatan politik hingga cukup partisipatif di dalamnya. Namun, pendekatan ini sepertinya kurang sesuai karena ada fenomena golput yang terjadi di masyarakat, misalnya, masyarakat perkotaan yang seharusnya berada pada tingkat partisipatif dengan tingkat kesadaran yang tinggi terhadap kegiatan pemerintahan bisa kembali pada bentuk parokial yang kesadaran 26
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
Sistem Politik. Jakarta: Gadjah Mada Press.
politiknya rendah yang disebabkan oleh rasa jenuh oleh kondisi politik di daerah mereka. Rendahnya budaya politik yang dibentuk oleh faktor kognitif, sehingga masyarakat mampu mengkritisi setiap calon dan pelaksanaan pilkada, tanpa didasari oleh rasa fanatisme kelompok tampaknya belum terwujud nyata. Pola tradisional memang masih begitu dominan dalam proses politik. Eep Saefullah, sebagaimana Ramlan Surbakti, menyatakan bahwa pilkada memang mudah memicu konflik, baik konflik internal partai ataupun konflik horizontal antar pendukung calon, sehingga tampak jelas bahwa budaya politik lokal di Indonesia memang masih diwarnai oleh konflik.
Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr. 1976. Comparative Politics: A Developmental Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co. http://www.waspada.co.id/ (Waspada Online) http://www.lsi.or.id/ (Lembaga Survey Indonesia) http://www.inilah.com/ Berita)
(Situs Portal
http://www.ginandjar.com/ (Situs Ginandjar Kartasasmita)
Referensi Mas'oed, Mochtar. & MacAndrew, Colin. 1985. Perbandingan
27 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007