perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS PADA RUMAH KUDUS
TESIS Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Sidang Pascasarjana Program Studi Kajian Budaya Minat Utama : Seni Rupa
Oleh
Zainul Arifin MA S.701008018
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS PADA RUMAH KUDUS
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Sidang Pascasarjana Program Studi Kajian Budaya Minat Utama : Seni Rupa
Oleh
Zainul Arifin MA S.701008018
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS PADA RUMAH KUDUS
Oleh
Zainul Arifin MA S.701008018
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing: Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing I Prof.Dr. Nanang Rizali, MSD ……………… NIP. 19500709 198003 1 003
……………..
Pembimbing II Dr. Nooryan Bahari, MSn ……………….. NIP. 19650220 199003 1 001
…………….
Mengetahui, Ketua Program Studi Kajian Budaya
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum NIP. 19640918 198903 1 001 commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS PADA RUMAH KUDUS
Oleh Zainul Arifin MA S.701008018
Telah disetujui oleh Dewan Penguji: Jabatan
Ketua
Nama
Tanda Tangan
…………… ……………..
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum NIP. 19640918 198903 1 001
Sekretaris Dr. Titis Srimuda Pitana, ST.,M.Trop.Arch …………. NIP. 19680609 199402 1 001
Penguji I
Tanggal
Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD NIP. 19500709 198003 1 003
Penguji II Dr. Nooryan Bahari, M.Sn NIP. 19650220 199003 1 001
……….........
...………..
…………….
…………
…………….
Mengetahui, Direktur Program Pascasarjana
Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S. NIP. 19610717 198601 1 001
Ketua Program Studi Kajian Budaya
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum commit to user NIP. 19640918 198903 1 001
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Zainul Arifin MA
NIM : S.701008018
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Kajian Gebyok Dan Makna Simbol Ragam Hias Pada Rumah Kudus, adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditujukan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Kudus, Penulis,
April 2012
Zainul Arifin MA commit to user
v
S.701008018
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan kepada : 1. Istri dan anak-anak ku tercinta. 2. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Kajian Budaya, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS Angkatan 2010, 3. Civitas Akademika dan pembaca yang budiman.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“ Hidup itu Indah “ “ Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan Mencintai Keindahan “ (Hadist)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Zainul Arifin MA, 2012 : Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah Kudus . Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana F Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ragam hias pada gebyok rumah Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Kudus, terutama dalam kerangka budaya yang melatarbelakangi ketertarikan untuk memahami lebih jauh keberadaan gebyok dan ragam hiasnya, terutama perkembangan gebyok, ragam hias dan maknanya. Berdasarkan pada perspektif budaya, bentuk dan corak ungkapan kesenian tidak semata hanya untuk pemenuhan keindahannya saja, melainkan juga terkait dengan pemenuhan lainnya. Ragam hiasnya dipandang sebagai salah satu cara pemuasan akan keindahan yang keberadaannya dipenuhi beragam simbol elemen hias. Peciptaan ragam hias biasanya berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat Melihat letaknya, Kudus termasuk dalam akar budaya Jawa pesisir yang mengandalkan sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomiannya, akses untuk berhubungan dengan dunia luar mengakibatkan adanya kontak budaya. Kontak budaya melalui perdagangan membuka jalan terjadinya percampuran kebudayaan. Hubungan yang semula sekedar hubungan perdagangan akhirnya berkembang menjadi hubungan yang saling mempengaruhi antar budaya masing-masing, terjadilah proses akulturasi budaya yang pada akhirnya ikut membentuk budaya Jawa Kudus. Akulturasi budaya ini tidak hanya terbatas pada nilai-nilai dan pengetahuan saja, tetapi juga berpengaruh kepada artefak budayanya. Sesuai dengan kondisi obyek penelitian, masalah yang dikaji, dan tujuan yang akan dicapai, maka perlu memilih strategi yang tepat. Gebyok dan makna simbol ragam hias Kudus merupakan fenomena artefak yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio kultural dan proses kesenian yang mempunyai latar belakang multi aspek, yang merupakan paradigma kualitatif, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yaitu lebih ditekankan pada upaya mengungkap perkembangan gebyok dan menemukan makna simbol dari sebuah fenomenal yang kompleks, maka penelitian ini ditekankan pada penelitian kualitatif deskriptif untuk mendapatkan temuan penelitian yang akurat. Di dalam motif hias tersebut terdapat suatu arti simbolis yang mengandung nasehat, pesan, dan arti filosofi bagi masyarakat. Ragam hias di gebyok Kudus dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, Cina, Islam dan Eropa yang diwujudkan dalam motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. Selain untuk memenuhi fungsi estetik, ragam hiasnya juga bermakna simbol yang berfungsi sebagai media rupa untuk menyampaikan pesan yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman hidup masyarakat setempat. Perubahan pada gebyok yang meliputi perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan fungsi akibat adanya permintaan dari para pengguna gebyok yang akan diterapkan pada rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga ragam hias pada gebyok mengalami perubahan baik kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya
commit to user Kata Kunci : Gebyok, Ragam Hias, Makna Simbol, Perubahan
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Zainul Arifin MA, 2012: Study of Gebyok and Meaning of Symbol of Ornament in Kudus House. Program thesis of cultural studies, Sebelas Maret University of Surakarta. Ornament in gebyok of Kudus house closely related to cultural value of Kudus society, especially within the framework of cultural background interest to understand ornament of gebyok so far, especially the outgrowth of gebyok, ornament, and meaning. Based on perspective culture, form, and artistic expression motive not only for the fulfillment of its beauty, but also relate to other. Ornament seen as one way the grateful of wonderfulness whose existence filled diverse symbol element of ornament. Making of the ornament usually closely related to view of society life According the location, including the cultural roots of the Kudus coast of Java that relies on the trade to support its economy, access to get in touch with the outside world results in cultural contacts. Cultural contacts through trade paves the way of coexistence of cultures. The relationship is a mere trade relations eventually evolved into a relationship that interplay between their respective culture, acculturation process that ultimately join the cultural forms of javanese culture. Acculturation of culture not only limited to the values and knowledge, but also influential to cultural artifacts. According to the object of research, issues, and objectives of the research, so its need to choose right strategy. Gebyok and meaning of symbol of Kudus house is a phenomenon artifacts that can not be separated from socio cultural context and process that have a background art in multi aspect, the research method that used is descriptive method. Then this study is emphasized on descriptive qualitative research to obtain accurate research finding. In ornament motive there is a symbolic meaning, containing an advice, a message, and its philosophy to society. Ornament in gebyok Kudus affected by Hindus and Budhists culture, China, Islam, and Europe which are realized in motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. In addition to meet estetic function, ornament also has meaning as a symbol that serve as a media to convey messages related to cultural values to be a guidance of society life. Changes in gebyok which includes changes in size, materials, decoration and function as a result of requests from users gebyok to be applied in residences and public facilities, so that the decoration on gebyok to change both the quality of workmanship and the meaning of various symbols of ornament. Key Word: Gebyok, Ornament, Meaning of Symbol, Change
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah Kudus” pada tahun 2012 ini dapat selesai. Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Kajian Budaya (minat utama Seni Rupa), Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menyadari bahwa penulisan tesis ini banyak sekali hambatan, tetapi berkat bantuan, dukungan, dan bimbingan dari beberapa pihak, maka hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh sebab itu, sepantasnya penulis dengan penuh rasa hormat menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S, selaku Direktur Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Kajian Budaya, Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD., selaku pembimbing utama dalam proses penelitian hingga tahap penulisan. 5. Dr. Nooryan Bahari, M.Sn., selaku pembimbing II yang banyak memberikan masukan dan koreksi. 6. Dr, Titis Srimuda Pitana, ST.,M.Trop.Arch, selaku sekretaris Dewan Penguji. 7. Seluruh Bapak / Ibu dosen pengampu Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Civitas Akademika Program Studi Kajian Budaya, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 9. Seluruh teman seperjuangan angkatan tahun 2010 Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 9. Seluruh nara sumber yaitu : Bapak Sundoro Witjaksono budayawan Kudus, Bapak Bintong Mohammad Room Ketua Klaster Ukir Gebyok dan Rumah Adat user Avia Antiq, Bapak Ali Imron, Kudus, Bapak Norhadi sebagaicommit PerajintoGebyok
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SE., Ketua Asmindo Komda Kudus, Bapak Drs. Sutiyono, M.Pd Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, dan Bapak Hendrix Marantek Kepala
Desa
Sidorekso,
Kaliwunggu
yang
memunculkan
program
”gebyokisasi”, telah banyak memberi informasi dan data-data yang dibutuhkan untuk penulisan tesis ini Penulis menyadari bahwa dengan adanya keterbatasan yang ada, menjadikan tesis ini masih perlu untuk ditindaklanjuti dalam penelitian dan kajian yang lebih mendalam, meskipun demikian diharapkan tesis ini sudah dapat memenuhi persyaratan akademik sebagaimana semestinya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kajian budaya pada khususnya.
Kudus,
April 2012
Zainul Arifin MA S.701008018
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Hal JUDUL.............................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................
ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ....................................................................
iii
PERNYATAAN .............................................................................................
iv
PERSEMBAHAN ..........................................................................................
v
MOTTO ..........................................................................................................
vi
ABSTRAK .....................................................................................................
vii
ABSTRACT ...................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR.....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................
1
1.2. Masalah ................................................................................................
4
1.2.1. Identifikasi Masalah ...................................................................
4
1.2.2. Pembatasan Masalah ..................................................................
5
1.2.3. Perumusan Masalah ...................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................
6
1.4. Manfaat Penelitian ..............................................................................
6
1.4.1. Manfaat Teoritis .........................................................................
6
1.4.2. Manfaat Praktis ..........................................................................
7
1.5. Susunan Penulisan ................................................................................
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..
9
2.1. Kajian Pustaka .......................................................................................
9
2.2. Kajian Budaya Jawa ............................................................................. commit to user 2.2.1. Wujud Kebudayaan ......................................................................
12
xii
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.2.2. Kebudayaan Jawa .........................................................................
13
2.2.3. Religi Orang Jawa ........................................................................
18
2.2.4. Akulturasi Budaya .......................................................................
19
2.2.5. Sinkretisme dalam Budaya Jawa .................................................
20
2.2.6. Kesenian Jawa .............................................................................
23
2.2.6.1. Pengertian Kesenian Jawa ................................................
23
2.2.6.2. Jenis-jenis Kesenian Jawa .................................................
24
2.2.7. Ragam Hias sebagai Bentuk Rupa dan Simbol ............................
26
2.2.7.1. Latar Belakang Ragam Hias ............................................
26
2.2.7.2. Pengertian Ragam Hias ..................................................
31
2.2.7.3. Bentuk Ragam Hias dan Simbol ....................................
33
2.2.7.4. Ragam Hias Prasejarah .................................................
39
2.2.8. Perkembangan Ragam Hias Indonesia ....................................
47
2.2.8.1. Pengaruh Ragam Hias Hindu, Budha ...........................
47
2.2.8.2. Pengaruh Ragam Hias Cina ..........................................
52
2.2.8.3. Pengaruh Ragam Hias Islam .........................................
52
2.2.8.4. Pengaruh Ragam Hias Eropa ........................................
55
2.3. Konsep ................................................................................................
56
2.3.1. Kajian Gebyok ...........................................................................
56
2.3.2. Makna Simbol ...........................................................................
56
2.3.3. Ragam Hias Gebyok Kudus ......................................................
58
2.4. Landasan Teori .................................................................................
68
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................
71
3.1 Bentuk dan Strategi Penelitian .............................................................
71
3.2. Lokasi Penelitian ..................................................................................
72
3.3. Sumber Data .........................................................................................
73
3.4. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................
74
3.4.1. Instrumen Penelitian ...................................................................
74
3.4.2. Observasi ....................................................................................
75
3.4.3. Wawancara Mendalam ...............................................................
76
3.4.4. Studi Dokumen ........................................................................... commit to user
77
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.5. Validitas Data .......................................................................................
77
3.6. Teknik Analisis ....................................................................................
79
BAB IV. PERUBAHAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS GEBYOK .........................................................................
84
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Kudus ...................................................
84
4.1.1. Kondisi Geografis Kudus ..........................................................
84
4.1.2. Sejarah Kudus ...........................................................................
86
4.1.3. Budaya Masyarakat Kudus .......................................................
89
4.1.3.1. Sistem Kepercayaan Masyarakat Kudus .......................
90
4.1.3.2. Falsafah dan Sikap Hidup Masyarakat Kudus ..............
92
4.1.3.3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Kudus .......................
96
4.2. Rumah Kudus .......................................................................................
97
4.2.1. Bentuk Rumah Kudus ..............................................................
102
4.2.2. Ragam Hias Rumah Kudus ......................................................
105
4.2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Ragam Hias Kudus .
125
4.2.2.2. Struktur Ragam Hias Tradisional Kudus .....................
128
4.2.2.3. Karakteristik Ragam Hias Kudus .................................
130
4.3. Ragam Hias Pada Gebyok Kudus ........................................................
134
4.3.1. Ragam Hias pada Gebyok bagian Bawah ...............................
136
4.3.2. Ragam Hias pada Gebyok bagian Tengah ..............................
137
4.3.3. Ragam Hias pada Gebyok bagian Atas ...................................
141
4.4. Perubahan Gebyok Dan Makna Simbol Ragam Hias Gebyok ..........
142
4.5. Peran Lembaga Budaya .......................................................................
142
4.6. Perubahan Gebyok Kudus dan Ragam Hias sebagai Benda Budaya ..
152
4.6.1. Perubahan Gebyok Kudus sebagai Benda Budaya ..............
152
4.6.1.1 Perubahan Ukuran ...........................................................
152
4.6.1.2 Perubahan Bahan ...........................................................
153
4.6.1.3 Perubahan Ragam Hias ..................................................
155
4.6.1.4 Perubahan Fungsi ...........................................................
156
4.6.2. Ragam Hias pada Gebyok sebagai Sistem Simbol Masyarakat Kudus ...................................................................................... commit to user
xiv
157
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.7. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias Dalam Kehidupan Masyarakat Kudus .......................................
170
4.7.1. Pengaruh Perubahan Gebyok Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat .....................................................
170
4.7.2. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat ..............
173
4.7.3. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias Terhadap Kehidupan Budaya Masyarakat Kudus ..
178
BAB VI. PENUTUP ....................................................................................
181
6.1. Kesimpulan ..........................................................................................
181
6.2. Saran .....................................................................................................
183
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
185
LAMPIRAN
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Hal Tabel IV.1 Penerapan Ragam Hias Sebagai Sistem Simbol Ragam Hias pada Gebyok Kudus .............................................................................. 158
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Hal Gambar II.1 Peta pembagian wilayah kebudayaan Jawa ..................................
17
Gambar II.2 Ragam Hias corak Manusia ..........................................................
40
Gambar II.3 Ragam Hias Kedok / topeng ........................................................
40
Gambar II.4 Ragam Hias corak Tumpal ............................................................
41
Gambar II.5 Ragam Hias Pilin Berganda ........................................................
42
Gambar II.6 Ragam Hias corak Meander ........................................................
42
Gambar II.7 Ragam Hias corak Swastika .......................................................
43
Gambar II.8 Ragam Hias corak kunci/kait yang digabung dengan corak jalinan. 43 Gambar II.9 Ragam Hias Corak Katak, Ular & Buaya .....................................
44
Gambar II.10 Ragam Hias corak Kerbau ...........................................................
45
Gambar II.11 Ragam Hias corak Gajah ...........................................................
46
Gambar II.12 Ragam Hias corak Ular pada pancuran air .................................
46
Gambar II.13 Ragam Hias corak Makara .........................................................
48
Gambar II.14 Ragam hias burung ....................................................................
49
Gambar II.15 Ragam hias Wayang ..................................................................
49
Gambar II.16 Ragam Hias corak Garuda ........................................................
50
Gambar II.17 Motif tumbuh-tumbuhan sebagai lambang kesuburan terdapat di candi kalasan .........................................................................
51
Gambar II.18 Bentuk pot yang memuntahkan sulur-suluran daun dan bunga
51
Gambar II.19 Ragam hias corak Pohon Hayat ..............................................
51
Gambar II.20 Ragam Hias corak Cina ...........................................................
52
Gambar II.21 Ragam Hias corak Arabes .......................................................
54
Gambar II.22 Ragam Hias corak Geometris ...................................................
54
Gambar II.23 Hiasan berbentuk Medalion di masjid Mantingan, Jepara ........
55
Gambar II.24 Ragam Hias corak Eropa pada elemen arsitektur .....................
55
Gambar IV.1 Letak Kota Kudus ...................................................................
84
Gambar IV.2 Masjid Menara Kudus ............................................................
88
Gambar IV.3 Rumah Tradisional Kudus ........................................ .............
103
commit to user Gambar IV 4 Tampak muka ..........................................................................
103
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.5 Tampak samping kiri ..............................................................
103
Gambar IV.6 Struktur konstruksi bangunan rangka dinding rumah tradisional Kudus .....................................................................
104
Gambar IV.7 Ukiran konsol ..........................................................................
107
Gambar IV.8 Ragam hias pada pintu kerai (sorong) ...................................
108
Gambar IV.9 Kleweran pada pintu depan ....................................................
109
Gambar IV.10 Sabukan ..................................................................................
110
Gambar IV.11 Gebyok dinding dalam ruang Jagasatru ..................................
110
Gambar IV.12 Ragam hias pada panel-panel dinding ....................................
112
Gambar IV.13 Tiang ruang Jagasatru ..............................................................
113
Gambar IV.14 Penerapan ragam hias ukiran pada sampar banyu dan tiang pracik ...............................................................................
114
Gambar IV.15 Pintu antara ruang Jagasatru dan Sentong ..............................
115
Gambar IV.16 Motif Lunglungan dan buah nanas pada konstruksi dada peksi
116
Gambar IV.17 Hiasan kleweran dan plengkung pada pintu masuk ruang sentong 117 Gambar IV.18 Saka geder di ruang jagasatru ....................................................
118
Gambar IV.19 Ukiran pada tebeng dinding ruang sentong dan balok blandar pada ruang jagasatru ...............................................................
118
Gambar IV.20 Ancik-ancik (tangga) ...............................................................
119
Gambar IV.21 Ukiran pada pintu ruang gedongan .........................................
120
Gambar IV.22 Ukiran pada dinding ruang gedongan .....................................
121
Gambar IV.23 Uleng atap tumpangsari ..........................................................
122
Gambar IV.24 Sampar banyu dalam ruang Jagasatru ...................................
122
Gambar IV.25 Angin-angin ruang jagasatru samping ..................................
123
Gambar IV.26 Hiasan pada tiang utama(saka guru) ......................................
123
Gambar IV.27 Pintu ruang dapur menuju ruang jagasatru / sebaliknya ......
124
Gambar IV.28 Ragam hias pada perabung/bubungan atap ............................
124
Gambar IV.29 Pengaruh budaya Hindu pada Ragam Hias tumbuh-tumbuhan menjalar yang berpangkal atau keluar dari jambangan (vas bunga) yang menyerupai pola hias ukir pada bangunan candi Hindu ............................................................. commit to user
xviii
132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.30 Pengaruh budaya Islam pada Ragam Hias motif Persia/Islam, digambarkan dalam bentuk bunga yang terdapat pada ruang Jogosatru ...................................................................................
133
Gambar IV.31 Pengaruh budaya Cina pada Ragam Hias motif binatang gajah yang disamarkan pada konsol ...................................................
133
Gambar IV.32 Pengaruh budaya Eropa pada Motif Mahkota pada gerbang masuk ke gedongan ..............................................................
134
Gambar IV.33 Gebyok Kudus ...................................................................
136
Gambar IV.34 Gebyok Kudus ....................................................................
136
Gambar IV.35 Gebyok dengan ukuran 4 m yang ada di Balai Desa Sidorekso, Kecamatan Kaliwungu, Kudus ........................
153
Gambar IV.36 Gebyok yang menggunakan kayu jati kualitas jelek (jati kampung)..............................................................
155
Gambar IV.37 Motif tumbuhan menjalar diganti dengan kaligrafi arab .......
156
Gambar IV.38 Gebyok yang diterapkan pada Rumah Tinggal ..................
157
Gambar IV.39 Ragam hias tumbuhan, vas bunga ......................................
158
Gambar IV.40 Ragam hias ukel / besusulan ...............................................
159
Gambar IV.41 Ragam hias Plengkung Kubah Masjid ...............................
160
Gambar IV.42 Ragam hias Kala pada dinding gebyok ...............................
161
Gambar IV.43 Ragam hias daun pisang/banbanan ...................................
162
Gambar IV.44 Ragam hias tumpal ............................................................
163
Gambar IV.45 Ragam hias wajikan ...........................................................
164
Gambar IV.46 Ragam hias jalinan ............................................................
165
Gambar IV.47 Ragam hias kerang ...........................................................
166
Gambar IV.48 Ragam hias ceplokan lintangan ........................................
167
Gambar IV.49 Ragam hias kawung .........................................................
168
Gambar IV.50 Ragam hias nanas ..............................................................
169
commit to user
xix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Format Kuesioner / Wawancara Lampiran 2. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Rumah Kudus Lampiran 3. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Perajin Gebyok “Avia Antik” Lampiran 4. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Perajin Gebyok “Bintong MR”
commit to user
xx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Zainul Arifin MA, 2012 : Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah Kudus . Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ragam hias pada gebyok rumah Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Kudus, yang melatarbelakangi ketertarikan untuk memahami lebih jauh keberadaan gebyok dan ragam hiasnya, yaitu perkembangan gebyok, ragam hias dan makna. Berdasarkan pada perspektif kajian budaya, bentuk dan corak ungkapan seni tidak semata hanya untuk pemenuhan keindahan, melainkan juga terkait dengan pedukungnya. Ragam hiasnya dipandang sebagai salah satu cara pemuasan akan keindahan yang keberadaannya dipenuhi beragam simbol elemen hias. Peciptaan ragam hiasnya berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat. Sesuai dengan kondisi obyek penelitian, masalah yang dikaji dan tujuan yang akan dicapai, maka perlu memilih strategi yang tepat. Gebyok dan makna simbol ragam hias Kudus merupakan fenomena artefak yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-kultural dan proses kesenian yang mempunyai latar belakang multi aspek. Hal ini merupakan paradigma kualitatif. Oleh karena itu, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini lebih ditekankan pada upaya mengungkap perkembangan gebyok dan menemukan makna simbol dari sebuah fenomenal yang kompleks, maka penelitian ini ditekankan pada penelitian kualitatif deskriptif untuk mendapatkan temuan penelitian yang akurat. Hasil penelitian mengenai Kajian gebyok dan makna simbol ragam hias, menunjukkan adanya perubahan pada gebyok yang diproduksi oleh perajin gebyok di Kudus, meliputi perubahan ukuran, bahan baku, ragam hias dan fungsi. Perubahan ini terjadi karena adanya permintaan konsumen yang menempatkan gebyok pada rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga ragam hiasnya mengalami perubahan, baik kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya. Motif hias yang ada pada gebyok Kudus terdapat arti simbolis yang mengandung nasehat, pesan, dan arti filosofi bagi masyarakat. Ragam hias di gebyok Kudus dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, Cina, Islam dan Eropa yang diwujudkan dalam motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. Pada perkembangannya, untuk memenuhi kebutuhan konsumen makna simbol yang melekat menjadi bias, yang semula mengandung pesan moral dan pedoman hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat Kudus, akhirnya berubah menjadi makna estetik untuk memenuhi tututan komersial. Sehingga makna simbol yang melekat pada ragam hias gebyok sudah mengalami perubahan makna.
Kata Kunci : Gebyok, Ragam Hias, Makna Simbol, Perubahan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Zainul Arifin MA, 2012: Study of Gebyok and Meaning of Symbol of Ornament in Kudus House. Program thesis of cultural studies Sebelas Maret University of Surakarta Ornament in gebyok of Kudus house closely related to cultural value of Kudus society, especially within the framework of cultural background interest to understand ornament of gebyok itself. They are the development of gebyok, the ornament, and the meaning. Based on perspective culture, form, and artistic expression motive not only for the fulfillment of its beauty, but it also relates to others. The Ornament is seen as one way for people feel satisfied to the beauty since the existence full of symbol of element decoration. Ornament creation is usually related to society view. Based on the condition of research object, it is needed to choose an appropriate strategy to investigate the problem of research and the purpose of the study. Gebyok and the meaning of ornament Kudus symbol constitute phenomena of artefact cannot be separated with socio-cultural contexts and an art process of multiaspect background. It is qualitative paradigm. Therefore, the use of research method is qualitative method. Based on the aim of research, it is focused to the effort how to reveal development of Gebyok and to find out the meaning of symbol from a complex phenomenal. Then, this research is focused on descriptive qualitative research to get an accurate research finding. The result of the study is about Gebyok study and the meaning of ornament symbol, showed that there is a changing of Gebyok producted by craftman of Gebyok in Kudus. It consists of changing of size, raw material, ornament, and function. The changing happened due to the consumers demand that placed Gebyok of the house and public facility become changing different either quality or the meaning of ornament symbol. In the motif of decoration, there is a meaning of symbolic that contains advice, message, and the meaning of philosophy for society. An ornament in geyok Kudus is influenced by the culture of Hindu, Buddha, China, Islam, and Europe are shaped in flower motif, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, and daun pisang. In the development, finally, to fulfill consumer need, the meaning of symbol that adheres firstly it contains a moral message and the way of life in a rule of Kudus society. But now it has an aesthetic meaning to fulfill commodities that the meaning of symbol in Gebyok ornament is changing.
Keywords: Gebyok, ornament, meaning of symbol, changing
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah Kudus sering disebut sebagai “joglo pencu”, merupakan rumah tradisional yang berada di wilayah Kabupaten Kudus sebagai rumah khas Kudus. Rumah Kudus mempunyai keistimewaan tersendiri, yakni selain bentuknya joglo, semua elemen arsitekturnya dipenuhi dengan ragam hias. Penggunaan ragam hias sudah sangat akrab dengan kehidupan manusia sejak lama. Ragam hias tersebut bukan hanya sebagai penghias, tetapi mempunyai makna simbol yang melekat pada masyarakat Kudus. Rumah sebagai bangunan fisik tidak hanya dapat dilihat dan diperlakukan sebagai material fisik, tetapi juga sebagai simbol yang mencerminkan status sosial penghuninya. Hal ini karena pemilik rumah memberi isi pada bangunannya dengan makna-makna simbol tertentu yang mencerminkan jati dirinya. Dalam kehidupan masyarakat, rumah bisa berarti identitas seseorang atau sebagai lambang status sosial, pendidikan, ekonomi para pemiliknya (Triyanto, 2001: 5). Keanekaragaman bentuk fisik atau kekhasan suatu bentuk rumah dan ragam hiasnya, akan semakin nyata kehadirannya apabila dikaitkan dengan makna simbol yang ingin dikaji. Menurut Soegeng Toekio
(1987:9) disebutkan bahwa ragam hias hadir di
tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang commit to user diwujudkan dalam bentuk visual, yang proses penciptanya tidak lepas dari 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengaruh lingkungan. Ragam hias ini ditujukan sebagai pelengkap rasa keindahan dan kemegahan bangunan fisik rumah. Demikian juga dalam berbagai bentuk ragam hias, terdapat pula makna simbol tertentu yang berlaku syah secara konvensional, di lingkungan masyarakat pendukungnya. Selanjutnya dalam buku yang sama Soegeng Toekio (1987:10) juga mengatakan bahwa ragam hias untuk suatu benda pada dasarnya merupakan sebuah penghias yang diterapkan guna mendapatkan keindahan atau kemolekan yang dipadukan. Ragam hias ini berperan sebagai media untuk mempercantik atau menganggunkan sesuatu karya. Ragam hias pada bangunan rumah Kudus, berkaitan erat dengan budaya tradisi yang perwujudannya merupakan simbolisasi dari budaya yang tetap dilestarikan dan diteruskan sebagai tradisi. Demikian juga penciptaan ragam hias pada gebyok sangat berhubungan erat dengan maksud-maksud simbol tersebut. Penciptaannya dipertimbangkan dengan baik dan cermat, sehingga kehadiran ragam hias tersebut di samping memenuhi kebutuhan fungsi dan tuntutan keindahan juga mengandung makna yang selaras dengan harapan hidup. Kesejahteraan dan kedamaian hidup tampaknya merupakan tujuan utama yang hendak dicapai (Gustami, 2000:64). Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, dengan adanya budaya mengakibatkan bentuk rumah menjadi berbeda. Selain bentuk yang berbeda juga sangat dipengaruhi oleh kondisi sumber daya alam yang tersedia dan teknologi yang dimiliki, juga berkaitan dengan struktur dan kehidupan sosial budaya masyarakat (Triyanto, 2001:4). Demikian juga keberadaan rumah Kudus dalam lingkup kebudayaan Jawa, kekhasan bentuk rumahnya sering disebut sebagai commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rumah gebyok (Triyanto, 2001:8), kehadirannya tentu tidak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat Kudus yang tercermin pada bentuk joglo dan ragam hias yang diterapkan pada bangunan rumah. Sejalan dengan perkembangan zaman, timbul fenomena baru bahwa nilainilai yang dianut oleh masyarakat Kudus khususnya budaya setempat yang berkaitan dengan ragam hias mengalami perubahan. Masyarakat Kudus sudah banyak yang tidak memperhatikan adat-istiadat dan karya-karya peninggalan leluhurnya. Sebagai contoh, rumah Kudus yang dipenuhi dengan ragam hias diseluruh elemen arsitekturnya hanya tinggal beberapa yang bertahan, rumah Kudus yang dibangun dengan teknik knock down memudahkan untuk dipindahkan ke tempat lain, dan dengan mudah dapat dijual sebagai komoditas. Perkembangan sekarang, gebyok Kudus banyak yang diproduksi oleh perajin, secara keseluruhannya masih menyerupai bentuk dan ragam hias aslinya seperti yang ada di gebyok rumah Kudus, sedangkan untuk ukurannya sudah mengikuti keinginan konsumen, motif ukirannya masih menyerupai aslinya dan dianggap masih memiliki makna simbol yang berisi ajaran-ajaran tentang pandangan hidup dan sikap hidup manusia Jawa. Namun ada yang sudah mengalami perubahan terutama pada ukuran gebyok, penggunaan ragam hias dan fungsi yang tidak mengikuti ”pakem” gebyok Kudus. Berubahnya gebyok yang dulunya sebagai penyekat ruang jogosatru dengan ruang tengah, menjadi gebyok yang diproduksi secara terpisah untuk keperluan nilai keindahan rumah tinggal maupun fasilitas umum atau sebagai interior ruang modern, telah membawa pengaruh bagi masyarakat Kudus secara commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
khusus maupun masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan kenyataan tersebut Gustami (1991:103) mengatakan. Pergeseran nilai memang sudah terjadi sesuai dengan perubahan dan perkembangaan zaman. Suatu realitas yang tidak mungkin dihindari, dan itu berpengaruh langsung terhadap eksistensi seni kriya dan kerajinan. Kondisikondisi alam dan sosio-kultural yang membentuk seni kriya dewasa ini, sangat berbeda dengan kondisi-kondisi masa lampau ketika norma-norma dan sistem nilai telah berkembang secara kompleks dalam struktur yang rumit oleh spesifikasi disiplin yang khas. Perubahan yang terjadi di pengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi yang semakin canggih, dan perubahan seni itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat J.W.M. Bakker SJ dalam Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar mengatakan “perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan kepada situasi baru” (Bakker, 1984:113).. 1.2. Masalah 1.2.1. Identifikasi Masalah Dengan adanya perkembangan pembuatan gebyok yang dilakukan oleh perajin gebyok Kudus, menyebabkan adanya produk replika (tiruan) baik yang disamakan bentuk, ukuran, ragam hiasnya tetapi ada juga yang dengan sengaja dikerjakan sesuai pesanan, sehingga terjadi perubahan pada gebyok dan ragam hiasnya. Dengan adanya perubahan tersebut, menyebabkan terjadinya perubahan bentuk, ciri-ciri ragam hias, pengaruh yang ditimbulkannya, dan makna simbol yang tersimpan dalam motif ragam hias perlu dikaji lebih mendalam. Makna simbol ragam hias terjadi bukan disebabkan dari segi kebahasaan saja atau commit to user terjadinya perubahan ragam hias, pergantian ragam hias dan kombinasi ragam 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hias, tetapi juga disebabkan oleh latar belakang sosial, pengaruh luar dan perkembangan pola fikir masyarakat. Dalam mengkaji gebyok Kudus sesuai dengan paparan tersebut dapat diidentifikasi permasalahan yang disajikan dalam pernyataan sebagai berikut: Perkembangan gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus harus tetap dipahami oleh masyarakat, karena makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus mengantarkan ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus sebagai suatu sistem simbol masyarakat Kudus yang dalam perkembangan masa sekarang membawa pengaruh terhadap kehidupan budaya masyarakat Kudus. 1.2.2. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang ada supaya tidak meluas permasalahan perlu dibatasi pada obyek kajian yaitu gebyok pada rumah Kudus dan perkembangan gebyok yang diproduksi perajin Kudus, ragam hias pada gebyok dan pengaruh yang ditimbulkan dengan adanya makna simbol ragam hias yang ada pada gebyok terhadap masyarakat Kudus. Pembatasan permasalahn ini dilakukan untuk lebih fokus dalam mengkaji permasalahan lebih mendalam. 1.2.3. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan permasalahan, maka perumusan masalahnya adalah : 1.2.3.1.Bagaimana bentuk gebyok dan ragam hias pada gebyok Kudus saat ini, yang merupakan hasil budaya masyarakat Kudus? commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.2.3.2.Bagaimana ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus saat ini yang merupakan simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus? 1.2.3.3.Bagaimana pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus saat ini? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias saat ini pada gebyok Kudus, sehingga tujuannya adalah : 1.3.1. Mendikripsikan gebyok dan perubahannya serta ragam hias pada gebyok Kudus saat ini yang merupakan hasil budaya masyarakat Kudus 1.3.2. Mengkaji ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus saat ini yang merupakan simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus. 1.3.3. Merumuskan pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus saat ini. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pokok- pokok kepentingan antara lain sebagai berikut : 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan pengetahuan dalam pengembangan ilmu kajian budaya, khususnya pengaruh perubahan ragam hias Kudus pada masyarakat Kudus saat ini. commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan sebagai bahan evaluasi dan pengambilan kebijakan bagi kegiatan pelestarian budaya di Kudus serta dapat menjadi rujukan bagi peminat gebyok Kudus dan masyarakat pada umumnya, mengingat peninggalan budaya yang berupa rumah Kudus dan gebyok Kudus semakin berkurang, sehingga perlu untuk mewacanakan gebyok hasil produksi perajin sebagai alternatifnya 1.5. Susunan Penulisan Penyajian hasil penelitian ini merupakan suatu uraian mengenai susunan penulisan yang dibuat secara teratur dan rinci. Susunan penulisan yang dimaksud adalah untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh dengan jelas dari isi penelitian tersebut, yaitu: Bab I . Menjelaskan dasar pemikiran yang menjadi titik tolak perlunya dilakukan penelitian dan merupakan landasan bagi pembahasan bab-bab selanjutnya. Pembahasannya mengenai latar belakang masalah, masalah yang terdiri dari identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan susunan penulisan hasil penelitian Bab II. Berisi uraian secara teoritis tentang kajian budaya Jawa yang meliputi : Kajian pustaka, kajian budaya jawa, konsep dan landasan teori Bab III Secara umum berisi tentang metodologi penelitian yang didalamnya diuraikan mengenai bentuk dan strategi penelitian, lokasi penelitian , to user data dan teknik analisa data. sumber data, teknik pengumpulancommit data, validitas
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bab IV Perubahan gebyok dan makan simbol ragam hias gebyok. berisi tentang perubahan bentuk dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus, didalamnya membahas tentang gambaran umum Kabupaten Kudus, rumah Kudus, kajian ragam hias pada gebyok Kudus yang mengkaji tentang penerapan ragam hias pada gebyok. Kajiannya meliputi ragam hias pada gebyok Kudus sebagai sistem simbol masyarakat Kudus, perubahan gebyok Kudus sebagai benda budaya dan pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias dalam kehidupan masyarakat Kudus. Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran, yaitu hasil akhir dari analisa data penelitian yang telah dilakukan. Pandangan hidup orang Jawa yang sinkretistik telah mewarnai masyarakat Kudus untuk menerima sesuatu yang datang dari luar, termasuk dalam hal ini adalah perwujudan ragam hias yang kemudian disesuaikan dengan pandangan hidupnya yang sinkretistik itu. Ragam hias yang diterapkan pada gebyok Kudus merupakan kompilasi dari ragam hias yang sudah ada sebelumnya. Ragam hias tersebut berfungsi sebagai elemen estetik dan bermakna simbol sebagai media bertutur. Sedangkan perubahan pada gebyok meliputi : perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan fungsi akibat adanya permintaan dari para pengguna gebyok yang akan diterapkan pada rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga ragam hias pada gebyok mengalami perubahan baik kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya.
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka Kajian gebyok dan ragam hias gebyok Kudus, dilakukan dalam disiplin ilmu Kajian Budaya merupakan kajian yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kajian ini tidak hanya ditujukan untuk memahami gebyok dan ragam hias gebyok Kudus sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu seni rupa saja. Dalam kajian ini gebyok dan ragam hias gebyok Kudus merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai gebyok dan ragam hias. Penelitian yang memfokuskan kajian pada gebyok dan ragam hias gebyok Kudus untuk merumuskan bentuk gebyok dan makna simbol ragam hias yang ada di dalamnya, adalah banyaknya permasalahan
yang
menyertai
dan
mempengaruhinya.
Kenyataan
ini
menunjukkan bahwa kajian ini tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan seni rupa secara umum dan/atau perwujudan ragam hias semata-mata, tetapi harus dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman konsep-konsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan. Hasil penelitian tentang arsitektur rumah Kudus yang dilakukan oleh Triyanto (1992) dalam bukunya yang berjudul “Makna Ruang dan Penataannya Dalam
Arsitektur Rumah Kudus” pada tahun 2001. Dalam penelitian yang
menjadi pokok perhatian adalah makna ruang dan penempatannya dalam arsitektur rumah Kudus. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ruang dan juga penataannya dapat dilihat sebagaicommit simboltoekspresi user gaya hidup warga masyarakat
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kudus sebagai orang Jawa yang taat, patuh atau tunduk dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam yang menjadi pedoman dan bersifat normatif dalam kehidupan mereka. Penelitian ini cukup banyak memberikan informasi tentang rumah Kudus beserta budayanya yang dapat dijadikan sumber data sekunder dalam penelitian ini. Hasil penelitian lain dari Bayu Widiantoro (2003) dalam tesisnya yang berjudul “Peranan Proporsi Terhadap Ukuran Ruang Interior Rumah Tradisional Kudus Joglo Pencu” , menyimpulkan bahwa dilihat pola proporsi yang muncul dan budaya yang berlaku dikalangan masyarakat Kudus, maka pola proporsi yang diterapkan dalam rumah tradisional Kudus Joglo Pencu ini bukan sebagai suatu hal yang muncul dengan tiba-tiba, tetapi muncul sebagai suatu bentuk warisan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Rumah tradisional Kudus mempergunakan suatu pola proporsi tertentu untuk membentuk keindahan di dalam bangunannya. Kendati dalam penelitian Bayu Widiantoro tentang Proporsi Terhadap Ukuran Ruang Interior Rumah Tradisional Kudus Joglo Pencu hanya ditempatkan pada objek arkeologi-budaya yang pengungkapan makna simboliknya hanya berdasar informasi sepihak dari penulisnya, tetapi hasil penelitian tersebut paling tidak dapat dijadikan data sekunder dalam penelitian ini Hasil penelitian tesis lain yang lebih fokus pada gebyok oleh Yusuf Istanto (2008) penelitiannya adalah untuk
mengetahui dan menganalisis kedudukan
kerajinan gebyok Kudus menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai peranan pemerintah kabupaten Kudus dalam pendaftaran Hak Cipta kerajinan commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gebyok Kudus menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Penelitian ini menunjukan bahwa masih banyak perajin gebyok yang setia memakai pakem ukir dalam membuat gebyok Kudus meskipun tak jarang perajin membuat gebyok Kudus dengan motif hasil kreasi sendiri sesuai dengan permintaan dari pemesan gebyok Kudus. Gebyok Kudus sebagai kerajinan yang didapat secara turun temurun merupakan salah satu kerajinan yang dapat dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional akan tetapi UUHC 2002 belum cukup memberikan perlindungan terhadap Hak Cipta gebyok Kudus. Pemerintah Kabupaten Kudus menyadari bahwa kerajinan gebyok Kudus merupakan aset daerah yang berharga dan merupakan salah satu produk unggulan Kudus. Untuk itu Pemkab Kudus melalui klinik HKI Universitas Diponegoro Semarang untuk mendaftarkan Hak Cipta gebyok Kudus. Dari penelitiannya Yusuf Istanto (2008) dapat memberikan informasi tentang gebyok Kudus yang dapat dijadikan data sekunder dalam penelitian ini. Dari tiga hasil penelitian mengenai rumah tradisional dan gebyok Kudus di atas dapat dicatat dua hal penting. Pertama, ketiga kajian di atas memiliki persamaan dalam memposisikan rumah tradisional Kudus maupun gebyok Kudus sebagai objek rekayasa yang mencerminkan falsafah hidup Jawa yang berinti pada pencapaian kesempurnaan hidup. Kedua, ketiga kajian di atas memiliki kesamaan dalam memposisikan rumah adat Kudus dan gebyok serta mitos-mitos yang melekat sebagai arkeologi-budaya sehingga rumah tradsional Kudus yang selama ini dianggap mempunyai makna simbol yang tinggi, tanpa sadar hanya dipandang sebagai peninggalan budaya.
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.2. Kajian Budaya Jawa 2.2.1. Wujud Kebudayaan Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1992:5) menulis bahwa kebudayaan manusia mengandung tiga wujud. Pertama, kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ia bisa berupa kebudayaan nyata, tampak fisiknya, karena merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan. Selanjutnya Koentjaraningrat (1992:2) menganalisis budaya manusia, yang terdiri dari unsur-unsur universal kebudayaan. Unsur-unsur universal itu, merupakan isi dari semua kebudayaan di dunia ini, yakni : (1) Sistem religi dan upacara keagamaan. (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan. (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian hidup dan (7) Sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur kebudayaan tersebut menjadikan budaya manusia terwujud karena perkembangan lingkungan serta norma-norma hidupnya. Norma hidup ini terwujud dalam bentuk alam pikiran, alam budi, karya, tata susila dan seni. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbedabeda tersebut mempunyai kebudayaan khas yang merupakan ciri-ciri kebudayaan daerah. Ciri penting dalam kebudayaan daerah adalah unsur tradisi yang berakar dan turun temurun pada masyarakat kesukuan misalnya unsur religi, etika, adat istiadat dan sebagainya. Sebagai kebudayaan daerah yang menjadi dasar commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
munculnya kebudayaan nasional merupakan potensi yang sangat strategis untuk dilestarikan, sehingga ditegaskan oleh Koentjaraningrat (1992:107-111) bahwa kebudayaan nasional adalah sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga Indonesia. Dalam rangka menunjang fungsi kebudayaan nasional, tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja perkembangan kebudayaan daerah, karena kebudayaan nasional tetap berorientasi pada kebudayaan daerah di samping peradaban masa kini. Kebudayaan daerah sebagai penghayatan masyarakat mampu memberikan benih serta berbagai unsur yang perlu ditingkatkan ditaraf kebudayaan nasional. Pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah sangat perlu, kemudian dilakukan penyeleksian nilai positif yang bisa ditingkatkan sebagai kebudayaan nasional. 2.2.2. Kebudayaan Jawa Secara umum kebudayaan Jawa dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu ”kebudayaan pedalaman” dan ”kebudayaan pesisir”. Daerah pedalaman Jawa yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta atau yang bisa disebut wilayah kebudayaan Jawa Negarigung, sedangkan ”Kebudayaan Pesisir” meliputi daerah – daerah pesisir pantai utara Jawa yang berpusat di wilayah Blambangan, Pati, Tegal (Sukmawati, 2004:12). Masyarakat Jawa memiliki pandangan hidup atau falsafah dalam memahami makna kehidupan, sehingga mempunyai pedoman dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Demikian juga kebudayaan Jawa mempunyai pengertian, norma, nilai, tata aturan, gagasan, ide, etika, estetika dan hasil karya yang commit to user dihasilkan oleh masyaraka Jawa dan berlaku dalam kehidupan sehari-hari, dengan
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
demikian dapat menimbulkan cara pandang masyarakat Jawa terhadap kehidupannya serta menciptakan kaidah kehidupan masyarakat Jawa, yaitu prinsip rukun dan hormat demi terciptanya keselarasan. Kebudayaan Jawa memiliki ciri khas yang terletak pada kemampuan untuk menerima pengaruh kebudayaan lain dan tetap mempertahankan kebudayaan aslinya. Selain menemukan jati diri dan berkembang kekhasannya dari pengaruh luar, identitasnya semakin berwarna setelah masuknya budaya Islam di pulau Jawa. Pelaku budaya Jawa adalah orang Jawa, berdasarkan masuknya agama di Jawa maka dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : Jawa pra Islam, Jawa Abangan, dan Jawa Santri ( Jawa – Islam ). Meskipun demikian orientasi mereka terarah pada satu budaya yang dipegang erat, sebab itu orang Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya Indonesia (Koentjaraningrat, 1993:15). Istilah orang Jawa dan masyarakat Jawa memiliki perbedaan dalam konteks cakupan dan jumlah. Orang Jawa atau manusia Jawa cakupannya sempit dan menyangkut individu atau orang per orang , sedangkan masyarakat Jawa lebih luas dan mencakup komunitas yang hidup di pulau Jawa. Orang Jawa sendiri membedakan dua golongan sosial , yaitu wong cilik atau orang kecil yang terdiri dari sebagian petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota. Golongan dua adalah kaum priyayi, termasuk didalamnya para pegawai dan para intelektual (Koentjaraningrat, 1993:20). Koentjaraningrat
berpendapat
bahwa
seperangkat
nilai-nilai
yang
terkandung pada kebudayaan terurai pada dimensi atau wujud dan unsur commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebudayaan. Kebudayaan manusia mengandung tiga dimensi, yakni kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan pikiran manusia, terdapat pada alam pikir manusia, berupa tulisantulisan serta karangan-karangan. Wujud pertama ini disebut pula sistem budaya, sebab bagian-bagian ide, gagasan atau pikiran yang ada di dalam kepala tidak terlepas-lepas, melainkan saling berkaitan menjadi satu sistem yang relatif mantap dan berkesinambungan. Apabila ide seseorang tidak merupakan suatu sistem, maka jiwa orang itu seperti terganggu , pikirannya tidak mantap berubah-ubah, tidak konsisten dan tidak berkelanjutan. Kebudayaan sebagai kompleks aktivitas yang sudah terpola dalam masyarakat, berupa sistem sosial dalam masyarakat. Kompleknya aktivitas manusia disebut pula sebagai sistem sosial sebab, terjadinya aktivitas itu karena adanya saling berkomunikasi dan berinteraksi sesama manusia. Sistem sosial telah ditata dan diatur oleh gagasan atau tema berpikir tertentu, sehingga mewujudkan aktivitas dan produktivitas yang positif. Aktivitas interaksi berupa pertemuan-pertemuan atau persekutuan yang hasilnya positif, walaupun wujudnya ada yang berupa pertengkaran, akibat positif yang sering muncul adalah gagasan atau konsep yang menguntungkan. Kebudayaan sebagai hasil karya suatu masyarakat, berupa benda-benda berukuran besar maupun kecil, tampak fisiknya maupun kasat mata, dan benda-benda bergerak maupun tidak bergerak. Kebudayaan fisik lahir karena aktivitas manusia dalam bentuk interaksi yang memerlukan sarana berupa benda yang dihasilkan manusia (Koentjaraningrat, 1992:6). commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebudayaan menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia, karena tidak ada manusia yang dapat hidup di luar ruang lingkup kebudayaan. Manusia sebagai pencipta kebudayaan, makhluk budaya merupakan suatu fakta historis yang tidak bisa terbantahkan oleh siapapun sebagai pencipta kebudayaan. Holt (2000:xxi) mengatakan bahwa pada sebagian besar studi tentang Indonesia, tak dapat dihindari bahwa Jawa tetap merupakan pusat perhatian. Hal ini bukan karena Jawa sepanjang sejarah merupakan fokus paling penting dari kekuasaan dan perdagangan antar pulau dan antar bangsa yang memusat,
tetapi Jawa juga menyediakan
sejumlah
besar rekaman-rekaman
sejarah. Pulau Jawa berdasarkan tipe sosial budaya masyarakatnya dapat
dibagi
dua, yaitu: masyarakat yang bertempat tinggal di daerah sepanjang pantai/dataran rendah, sering disebut masyarakat pesisir dengan karakter sosial yang lebih terbuka, dan masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah pegunungan/dataran tinggi yang sering disebut sebagai masyarakat pedalaman, cenderung lebih tertutup terhadap segala perubahan yang bertentangan dengan budaya aslinya. Daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Yogyakarta dan Surakarta, merupakan pusat dari kebudayaan tersebut (Kodiran, 2002:329). Kebudayaan Jawa yang hidup di Yogyakarta dan Surakarta merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di kraton. Peradaban ini menghasilkan kesenian yang tinggi dan ditandai dengan kehidupan keagamaan yang sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam. Daerah istana-istana Jawa ini sering disebut dengan Negarigung. commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Koentjaraningrat, 1994:26).
Gambar II.1 : Peta pembagian wilayah kebudayaan Jawa (sumber: Koentjaraningrat, 1994:27)
Di antara sekian banyak daerah tempat kediaman orang Jawa ini terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur-unsur kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek bahasa dan lain-lainnya, namun masih menunjukkan satu pola ataupun satu sistem kebudayaan Jawa. Lebih rinci Koentjaraningrat (1994:26) membagi peta wilayah kebudayaan Jawa menjadi 12 daerah kebudayaan Jawa meliputi Banten, Sunda, Banyumas, Bagelen, Pesisir
Kilen, Pesisir Wetan, Negarigung,
Mancanegari,
Surabaya, Madura, Tanah Sabrang Wetan dan Blambangan. Kebudayaan Jawa yang hidup di pesisir pantai Utara Jawa biasa disebut dengan kebudayaan pesisir. Kebudayaan ini meliputi daerah dari IndramayuCirebon di sebelah Barat, sampai ke Gresik di sebelah Timur. Koentjaraningrat, (1994:26) menyarankan untuk memecah kebudayaan pesisir ke dalam sub daerah pesisir Barat yang meliputi daerah Cirebon, Tegal dan Pekalongan, sub bagian tengah yang meliputi kota Kudus, Demak dan daerah di sekitarnya, dan sub bagian Timur yang berpusat di Gresik. Sedangkan Koentjaraningrat sendiri commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hanya membedakan antara suatu sub daerah Barat yang pusatnya di Cirebon, dan suatu sub daerah Timur yang berpusat di Demak. Penduduk daerah pesisir ini pada
umumnya memeluk
agama Islam
puritan
yang
juga mempengaruhi
kehidupan sosial budaya mereka. 2.2.3. Religi Orang Jawa Masyarakat Jawa sudah sejak lama telah mengenal adanya kekuatan yang dimiliki oleh benda-benda bertuah maupun pada arwah leluhur. Pemujaan pada kekuatan benda-benda bertuah disebut dinamisme dan pemujaan pada arwah leluhur disebut animisme. Religi Jawa semacam ini masih berlangsung sampai sekarang, yaitu dengan adanya ritual-ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji adalah bentuk
negosiasi
supranatural, agar
kekuatan
adikodrati,
mau
diajak
kerjasama. (Sudarso SP, 1990:14) mengatakan bahwa ritual magis digunakan sebagai alat untuk mencapai sesuatu tujuan dengan cara yang irrasional misalnya dipergunakan untuk mencari persahabatan dengan sesuatu di luar manusia, mencari perlindungan ataupun secara magis diharapkan mempengaruhi keadaan. Animisme dan dinamisme adalah religi Jawa kuno yang mewarnai keyakinan orang Jawa. Wujud nyata dalam pemujaan roh dan kekuatan benda melalui permohonan berkah. Roh dan benda-benda di sekitar manusia dianggap memiliki kekuatan sakti dan dapat mendatangkan kebahagiaan atau sebaliknya. Orang Jawa mengenal orang sakti yang kekuatannya diperoleh dari perewangan yang tak lain merupakan bantuan roh leluhur atau nenek moyang dan jimat dari benda-benda bertuah. commit toroh user Wujud dari keyakinan pemujaan tercermin pada upacara selamatan
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang meninggal. Dalam tradisi Jawa, selamatan memperingati roh orang yang meninggal dilaksanakan sesuai dengan hari keberapa selamatan itu dilaksanakan, yaitu slametan surtanah (geblag), nelung dina, pitung dina, matang puluh, nyatus, mendak pisan, mendak pindho, dan nyewu. Pada waktu selamatan sesaji selalu ada yang diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal. Keyakinan terhadap kekuatan benda sakti nampak pada kebiasaan untuk melaksanakan ritual kutukan dan siraman benda pusaka. Ritual kutukan dilaksanakan setiap malem Selasa Kliwon dan malem Jemuwah Kliwon. Caranya dengan membakar kemenyan pada sebuah dupa, lalu benda pusaka tersebut dilambai-lambaikan di atas pedupaan. Hal ini merupakan tindakan memberi makan kepada benda pusaka tersebut. Sedangkan pembersihan benda pusaka dilaksanakan setahun sekali pada bulan Sura, dengan cara dijamasi (dicuci). Orang Jawa percaya bahwa rumah yang mereka tempati dijaga oleh roh halus, sehingga pemberian sesaji juga diberikan kepada dhanyang merkayangan, sing mbaurekso, yaitu roh leluhur yang menjaga tidak saja rumah tempat tinggal, tetapi juga desa mereka. Tempat-tempat yang dianggap wingit (sakral) juga tidak luput dari pemberian sesaji, karena dianggap ada penunggunya, seperti pohon besar, perempatan jalan, jembatan dan sebagainya. Penunggu tersebut harus diberi sesaji agar mau membantu hidup manusia. 2.2.4. Akulturasi Budaya Kota Kudus yang
terletak
di
pesisir
utara
Jawa,
masyarakatnya
mengandalkan sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomiannya. Akses commit user untuk berhubungan dengan dunia luar to mengakibatkan adanya kontak budaya.
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kontak budaya melalui perdagangan membuka jalan terjadinya percampuran kebudayaan, yang tidak
didasarkan
pada keinginan untuk
menyebarkan
kebudayaan tetapi penyebaran kebudayaan merupakan akibat dari perdagangan. Hubungan
dagang
yang
membentuk
masyarakat
dagang itu di pusat-
pusat perdagangan sekaligus memungkinkan penyebaran kebudayaan baru yang berasal dari para pedagang pendatang. Terjadilah apa yang disebut dengan akulturasi budaya. Yudoseputro (1993:30) mengatakan bahwa akulturasi budaya adalah proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling mempengaruhi. Bertemunya dua
kebudayaan
tersebut
disebabkan
adanya
penyebaran kebudayaan yaitu kebudayaan asing dengan kebudayaan dari suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Akibat dari bertemunya kebudayaan itu timbul proses penyerapan unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Pada tingkat awal proses percampuran kebudayaan tersebut, pihak peneriman cenderung untuk menerima kebudayaan asing seperti apa adanya. 2.2.5. Sinkretisme dalam Budaya Jawa Sinkretisme dalam budaya Jawa dianggap ciri paling menonjol dalam religi orang Jawa, sehingga pembahasan tentang sinkretisme dalam budaya Jawa berkaitan
dengan
religi orang
Jawa,
mengingat hasil-hasil
kesenian
seringkali berhubungan dengan ritual keagamaan. Aryono dalam Sujamto (2000:13) berpendapat bahwa sinkretisme sering diartikan sebagai kombinasi segala unsur dari berbagai agama yang berbeda-beda, kemudian terpadu menjadi satu yang kemudian dijadikan sebagai agama dalam versi baru. commit to user Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sinkretisme sebagai paham (aliran)
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari
keserasian,
keseimbangan, dan
sebagainya.
Dalam
KBBI
juga
menjelaskan kata sinkretisasi sebagai penyerasian (penyesuaian, penyeimbangan, dan sebagainya) antara dua aliran (agama dan sebagainya), ada sinkretisasi Budha dan Syiwa menjadi Budha Mahayana. Dari pengertian sinkretisme di atas dapat disimpulkan bahwa sinkretisme dalam budaya Jawa adalah kecenderungan budaya Jawa yang melakukan suatu proses pertemuan atau perpaduan dua atau lebih aliran. Ketika Hindu dan Budha masuk ke Jawa, terjadilah proses sinkretisasi. Kepercayaan animisme dan dinamisme berbaur dengan Hinduisme dan Budhisme. Sinkretisme memadukan, mencampur, menyelaraskan dua keyakinan atau lebih menjadi suatu keyakinan yang baru. Pengaruh Hindu diterima secara kreatif karena terdapat suatu pemahaman yang sejajar tentang religi animisme dinamisme yaitu manusia bisa menjalin hubungan langsung dengan dewa-dewa dan roh halus. Bahkan dengan laku Tarak Brata manusia bisa jadi sakti dan mengalami bersatu dengan dewanya (Simuh dalam Dhanu, 2004:19). Wujud yang paling menonjol dari sinkretisme Jawa dengan Hindu, Budha adalah Mistik Kejawen (Suwardi, 2003:63). Keadaan seperti itu terjadi pula ketika Islam masuk pada abad 15 dan menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di kepulauan Nusantara pada abad 15 dan 16. Ajaran Islam yang masuk melalui jalur perdagangan di pesisir pantai Utara Jawa menghadapi budaya lokal yang sudah banyak diresapi oleh unsur-unsur Hindusime dan Budhisme. Jadi di Jawa telah terjadi proses commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sinkretisasi antara agama Hindu, Budha, dan Islam diramu menjadi bentuk Kebatinan Jawa. Sinkretisme di Jawa telah diolah dan disesuaikan dengan adat istiadat Jawa, lalu dinamakan agama Jawa atau Kejawen, Koentjaraningrat (1994:341) menyebutnya dengan Agami Jawi. Sinkretisme yang selanjutnya dipelopori oleh kaum abangan, semakin kental dan sulit dikenali mana budaya yang terkena pengaruh dan mana budaya asli. Bahkan manusia Jawa sendiri tidak begitu mempersoalkan antara yang asli dan tidak asli. Manusia Jawa menerima kontak budaya spritual dan selanjutnya hasil sinkretisme itu diakui sebagai miliknya. Proses sinkretisasi yang terjadi pada kehidupan religi Jawa juga berpengaruh pada hasil-hasil kesenian Jawa pada umumnya. Kesenian Jawa prasejarah yang animisme-dinamisme tidak serta merta hilang dengan datangnya agama Hindu dan Budha. Peninggalan keseniannya menunjukkan fenomena ini, seperti yang terdapat pada candi-candi yang merupakan puncak hasil kesenian jaman Hindu dan Budha. Bahkan yang terjadi adalah berpadunya konsep religi Jawa kuno dan Hindu tersebut menumbuhkan kebudayaan Hindu Jawa yang menghasilkan seni ukir dengan kekayaan motif-motifnya beserta perlambangan-perlambangan yang terkandung didalamnya. Demikian juga ketika Islam datang, ciri-ciri artefak yang telah ada tidak dihilangkan, tetapi disesuaikan dengan kepentingan Islam. Sebagai contoh dapat dilihat pada hiasan ukiran yang terdapat pada dinding masjid Mantingan Jepara. Motif ukiran masjid Mantingan yang didirikan pada masa kejayaan Islam di Jawa, menunjukkan ciri-ciri peninggalan kebudayaan masa Hindu Jawa. commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.2.6. Kesenian Jawa 2.2.6.1. Pengertian Kesenian Jawa Dalam membahas kesenian Jawa tidak bisa dilepas dari masyarakat pendukungnya, keberadaannya menyatu dengan masyarakat pendukungnya, karena kesenian Jawa merupakan bagian yang integral dari masyarakatnya. Demikian halnya dengan kesenian Jawa tentu mempunyai jiwa sesuai dengan zaman ketika kesenian Jawa diciptakan. Seni tradisi Jawa tampaknya selalu melekat dengan budaya Jawa, sehingga manusia terpengaruh dengan kekuatankekuatan supranatural yang ada di luar dirinya. Seni juga bukan sebagai kegiatan pertunjukan atau hiburan, melainkan sebagai acara ritual yang sifatnya sakral untuk menanggapi keadaan alam, yang dipengaruhi kepercayaan animisme dan dinamisme serta adanya pengaruh dari agama Hindu, di masyarakat Jawa banyak yang menyatu dalam kegiatan keseniannya. Apabila akan membicarakan sejarah kesenian (seni) Jawa, harus mengungkap konsep kesenian Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari estetika. Di Jawa, orang mengenal konsep adi luhung, Adi mempunyai makna linuwih, melebihi segalanya atau mempunyai nilai lebih, sedangkan luhung mempunyai makna luhur, tinggi melebihi yang lain. Para seniman tradisi menempatkan adi luhung sebagai cita-cita yang diharapkan dan diyakini akan terwujud. Dalam seni masyarakat tradisi Jawa yang sudah mengakar ini pun tidak bisa lepas dari pandangan seniman dan masyarakatnya yang sampai sekarang masih bisa kita rasakan dan masih tampak jelas pada kesenian Jawa. commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.2.6.2. Jenis-jenis Kesenian Jawa Kesenian di Jawa begitu beragam macamnya, adapun jenis-jenis kesenian yang menggunakan ragam hias di antaranya adalah : a. Wayang Kulit. Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, terutama berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh suara gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, Sementara dibelakangnya disorotkan blencong (lampu minyak) atau lampu listrik, sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standar) tersebut, Ki Dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). b. Batik Batik Jawa telah lama ada, bahkan merupakan produk seni rupa paling tua di Indonesia. Secara terminologi, kata batik berasal dari kosa kata bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan malam yang dituangkan ke atas kain dengan canting untuk menahan masuknya bahan pewarna. Di lingkungan commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bangsawan kraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana mereka. Kain batik di lingkungan kraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk menghadiri upacara tradisi, dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari tutup kepala (blangkon), nyamping, semuanya berupa kain batik. Begitu pula dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik. Batik merupakan hasil seni budaya yang memiliki keindahan visual dan mengandung makna filosofis pada setiap motifnya. c. Seni Ukir Seni ukir atau ukiran merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian cekung (kruwikan) dan bagian-bagian cembung (buledan) yang menyusun suatu gambar yang indah. Pengertian ini berkembang hingga dikenal sebagai seni ukir yang merupakan seni membentuk gambar pada kayu, batu, atau bahan-bahan lain. Seiring dengan perkembangan zaman, yaitu saat agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, seni ukir di Jawa mengalami perkembangan. Puncak keemasan seni ukir dengan menggunakan media batu terjadi sekitar abad ke 10, yaitu pada zaman kerajaan Hindu dan Budha di Jawa. Pada zaman inilah seni ukir disebut seni ukir klasik. Bentuk seni ukir tersebut dapat dilihat di relief-relief candi yang banyak tersebar di Jawa Tengah. Bentuk motif yang ada pada relief tersebut di antaranya tumbuhan, manusia, hewan, garis, titik, lingkaran dan sebagainya (Warsino, 2005:25).
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.2.7. Ragam Hias Sebagai Bentuk Rupa dan Simbol 2.2.7.1. Latar Belakang Ragam Hias Manusia mempunyai
kebutuhan
yang bersifat jasmani dan rohani.
Kebutuhan jasmaniah menimbulkan upaya-upaya untuk memenuhinya, yang dapat dilihat pada benda-benda yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan jasmani tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, manusia berburu dan menciptakan alat-alat untuk berburu. Kebutuhan rohani, manusia mempunyai kebutuhan rohani yang beraneka ragam, salah satunya adalah kebutuhan akan rasa keindahan. Perwujudan dari kebutuhan ini diekspresikan dalam bentuk yang beraneka ragam pula, dalam bentuk gerak, nyanyian dan keinginan manusia untuk menghias benda-benda yang diciptakannya. Berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong ke dalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dari dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan berperasaan. Kebutuhan estetik, secara langsung maupun tidak langsung, terserap dalam kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan lainnya, baik dalam pemenuhan kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan integratif lainnya, yang berkaitan dengan perasaan baik dan benar, adil dan tidak adil, serta masuk akal atau tidak masuk akal (Rohidi, 2000:9) Menurut Herbert Read
dalam Haryanto
(2004:124), manusia pada
dasarnya memiliki kebutuhan untuk menghias terhadap segala sesuatu yang dipakainya dan tempat yang ditinggalinya, keinginan kreatif tersebut timbul dalam commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
setiap periode dan peradaban. Pada manusia terdapat perasaan yang dinamakan horror vacui, yaitu perasaan yang tidak dapat membiarkan tempat atau bidang kosong. Perasaan ini terutama terdapat pada suku primitif tertentu dan pada periode suatu peradaban. Dalam kebudayaan Indonesia, seni hias merupakan aspek yang sangat penting, mengingat peninggalan-peninggalan yang ditemukan hampir selalu menyertakan hiasan pada artefak-artefaknya. Keinginan kuat pada seni hias ini, dalam beberapa hal diekspresikan dengan keterampilan yang tinggi. Potensi alamiah dalam seni hias senantiasa merupakan ciri karakteristik bangsa Indonesia. Kreatifitas artistik dalam seni Indonesia masa silam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ritual keagamaan dan magis, sehingga ragam hias mempunyai makna simbolik. Kepercayaan terhadap kekuasaan alam yang memberi kehidupan, kebahagiaan serta ketentraman batin, telah melahirkan keinginan yang kuat untuk memujanya. Manusia primitif percaya adanya kekuatan lain yang menciptakan alam ini. Namun dengan alam pikiran yang masih sederhana dan keinginan memuja sesuatu yang lebih kongkrit, maka alam pikiran ini menjelma menjadi wujud lambang. Lambang-lambang kesuburan dan kebahagiaan, kekuasaan, bumi, air, matahari dan sebagainya adalah bentuk pernyataan lahir dari alam pikiran yang religi–magis. Kultur nenek moyang dengan segala kepercayaan yang terkandung di dalamnya melahirkan karya seni prasejarah dan merupakan dasar perkembangan dari segala perwujudan seni dalam ajaran Hindu dan Islam di Indonesia. Pikiran-pikiran lama ini hidup terus, tetapi bentuk dan artinya commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengalami perubahan. Pada bangunan candi masih terlihat hasrat manusia untuk memuja arwah nenek moyang. Arwah dewa-dewa Hindu dan Budha merupakan bentuk kelanjutan dari perwujudan terhadap kepala suku dan raja. Ajaran tauhid dalam Islam yang meyakini tidak ada Tuhan selain Allah dan larangan menggambarkan mahluk bernyawa mempengaruhi corak perwujudan ragam hias yang diterapkan pada beberapa artefak yang dihasilkan. Ragam hias sebagai elemen pokok dari gambar dalam penerapannya di samping sebagai unsur penghias semata, sering pula ditemui adanya makna simbolik atau maksud–maksud tertentu yang sesuai dengan falsafah hidup penciptanya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini Gustami (1980:7) menerangkan sebagai berikut : ….di dalam ornamen sering ditemukan pula nilai – nilai simbolik atau maksud – maksud tertentu yang ada hubungannya dengan pandangan hidup manusia atau masyarakat penciptanya, sehingga benda – benda yang dikenai oleh suatu gambar akan mempunyai arti yang lebih jauh dengan disertai harapan – harapan yang tertentu pula. Pendapat berbeda disampaikan oleh Sumaryono (1999:30), bahwa : makna, secara khusus diartikan sebagai sesuatu pengertian yang diberikan kepada suatu objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatian atas benda itu. Makna diberikan kepada objek oleh subjek sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali (Sumaryono, 1999:30). Simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai. Makna tidak melekat pada obyek melainkan diberi oleh manusia (subyek) yang menafsirkan simbol itu, artinya makna simbol tidak berada pada simbol itu sendiri, melainkan berada pada commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manusia itu sendiri (Heddy Shri Ahimsa Putra dalam Subiyantoro, 2011:21). Simbol setidak-tidaknya dapat dibedakan dengan empat peringkat, yaitu (1) simbol konstruktif, yaitu simbol yang berkaitan dengan kepercayaan atau keyakinan terhadap Sang Pencipta; (2) simbol evaluasi, yaitu simbol yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma atau aturan-aturan; (3) simbol kognitif, yaitu simbol yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan, dan (4) simbol ekspresif, simbol yang berkaitan dengan pengungkapan perasaan (Subiyantoro, 2011:22) Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, pada dasarnya penciptaan suatu ragam hias tidak lepas dari makna simbolik yang terkadung didalamnya. Hal ini sudah dapat dijumpai pada zaman Mesir kuno, yaitu gambar dari dewa – dewa, di India dengan gambar sapi sebagai dewa Syiwa atau gambar Naga di China sangat terkenal. Di Jawa arti gambar juga sudah dikenal sejak zaman dulu, baik diwujudkan dalam ragam hias, patung atau relief, benda – benda pusaka, batik, pewayangan dan lain – lain. Jadi segala sesuatu yang diciptakan manusia tersebut pada umumnya mempunyai arti simbolik. Dalam masyarakat Jawa, terdapat semacam pendidikan humaniora yang mengajukan nilai – nilai kemanusiaan dan pernyataan – pernyataan simbolis yang merupakan bagian integral dari sistem budaya. Berdasar kandungan nilai – nilai sub kultur, kelompok gambar dan pelembagaan pendidikan humaniora dapat digolongkan menjadi tiga tipe pendidikan humaniora dalam masyarakat tradisional Jawa, yaitu istana, pesantren dan perguruan. commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Salah satu hal yang menarik dalam ragam hias adalah makna simbol yang terdapat dalam ragam hias tersebut, di samping hiasan-hiasan yang terdapat didalamnya. Penciptaan suatu ragam hias banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan pandangan hidup penciptanya, jadi ragam hias tersebut sebagai visualisasi kondisi masyarakat pada waktu itu. Soegeng Toekio (1987:9 ) dalam bukunya, menguraikan bahwa ragam hias yang ada di kehidupan masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk visual yang proses penciptaamya tidak lepas dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Ragam hias tersebut ditujukan sebagai pelengkap rasa estetika yang biasanya dalam ragam hias tersebut terdapat pula makna simbolik tertentu di lingkungan masyarakat pendukungnya (Soegeng Toekio,1987:9). Mengenai pengertian ragam oleh Gustami (1980:176) dijelaskan sebagai berikut : ……..Bahwa ragamlah yang menjadi pangkal atau pokok dari suatu pola, di mana setelah ragam itu mengalami gambar penyusunan dan ditebarkan secara berulang-ulang akan memperoleh sebuah pola. Kemudian setelah pola tersebut diterapkan pada benda lain maka jadilah suatu ornamen. Selanjutnya dalam Kamus Indonesia Modern dijelaskan bahwa kata hias mempunyai arti sesuatu untuk menambah indah. Dengan demikian pengertian kata hias yang dimaksud adalah sesuatu untuk menambah indah, baik terdiri dari unsur – unsur hias berupa ragam maupun unsur – unsur hias lainnya. Ragam hias adalah bentuk atau elemen dasar yang bertujuan untuk suatu keindahan dalam kesenian. Ornamen merupakan suatu bentuk yang tidak lepas dari ragam hias. Ornamen dibuat pada suatu bentuk dasar dari hasil kerajinan tangan commit (perabot, pakaian dan sebagainya) danto user arsitektur. Faktor yang mendorong
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
timbulnya ornamen adalah dari dalam manusia sendiri dan dorongan dari luar yang meliputi lingkungan masyarakat dan lingkungan alam. Dorongan dari alam meliputi segala bentuk tuntutan rohani, sedangkan dorongan dari luar suatu keterikatan manusia sebagai makhluk sosial terhadap alam sekitarnya (Sutan Muhammad Zain, 1958:609). 2.2.7.2. Pengertian Ragam Hias Padanan kata dari ragam hias adalah ornamen, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ornamen diartikan sebagai hiasan yang dibuat pada arsitektur, kerajinan tangan, lukisan,
perhiasan dan sebagainya. Ragam hias setidaknya
adalah sebagai sebuah bentuk hasrat sang seniman untuk mengeksplorasi kenyataan dalam bentuk abstrak dan geometri, seperti lekukan sederhana berbentuk bujur sangkar (meander) atau abstraksi tumbuhan yang melingkar atau binatang yang lebih rumit bentuknya yang banyak ditemui dalam karya seni atau produk lainnya (Susanto, 2003:222). Pendapat lain mengatakan bahwa ragam hias adalah elemen-elemen dekorasi yang diperoleh dengan meniru atau mengembangkan bentuk-bentuk yang ada di alam dan divisualkan pada permukaan suatu benda. Pada dasarnya ragam hias berperan sebagai media untuk memperindah sesuatu karya. Ia dapat memperindah benda pakai secara lahiriah, satu atau dua darinya memiliki nilai simbolik atau mengandung makna tertentu. Dalam penciptaan ragam hias tidak dapat dilepaskan unsur-unsur apa yang menjadi pendukung terjadinya bentuk-bentuk visual tersebut, diantaranya peran garis, bidang, tekstur dan warna (Toekio, 1987:10). commit to user Spelt (1996:1) mengatakan bahwa kesesuaian ragam hias itu selalu
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dihubungkan dengan bentuk dan struktur objek yang dihiasi, sebagai pelengkap dari objek itu, dan tidak pernah melemahkan bahkan menambah nilai
estetis
dengan berbagai variasi bentuknya. Seni ragam hias bukan sesuatu yang bersifat sewenang-wenang; di samping tergantung kepada bentuk produk, ia juga dipengaruhi oleh sifat alami material yang dibuat, demikian juga halnya gaya atau cara di mana produk alami dibuat untuk ornamentasi oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda. Seni ragam hias berkaitan erat dengan material, tujuan, bentuk, dan gaya. Bentuk ragam hias yang paling tua terdiri dari gambar geometris, lingkaran-lingkaran kecil, pita, garis lurus/lengkung dan sebagainya. Dengan kemajuan intelektual umat manusia, seniman memperoleh lebih banyak kecakapan teknis, dan mencoba
untuk menggunakan obyek binatang,
tumbuhan, dan akhirnya menggambarkan dirinya sendiri, untuk seni ragam hiasnya. Tumbuhan dan binatang sering dijadikan sebagai produk ragam hias yang dapat ditempuh dengan dua cara, pertama; dibentuk sesuai dengan wujud aslinya, yang disebut dengan ragam hias naturalistik, dan yang kedua, dalam suatu bentuk yang
mencerminkan
spirit waktu, religius atau
gagasan
politis
dari suatu
masyarakat tertentu disebut dengan Stylistic Ornament. Masing-masing gaya memperlihatkan corak berbeda. Masing-masing mempunyai bentuk-bentuk ragam hias yang lebih disukai oleh masyarakat di mana ragam hias itu berkembang. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ragam hias pada dasarnya adalah sesuatu yang ditambahkan dengan maksud menambah keindahan pada suatu benda, dengan mengutamakan keserasian antara corak ragam hias commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan benda yang dihias sehingga dapat menambah nilai estetis benda yang dihias. Pada kesenian Indonesia ragam hias juga bermakna simbolik, ragam hias tidak sekedar untuk memperindah suatu permukaan saja, tetapi juga mempunyai muatan-muatan
simbolik
yang
berfungsi
sebagai
media bertutur
untuk
menyampaikan pesan tertentu yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan filosofi hidup masyarakatnya. 2.2.7.3. Bentuk Ragam Hias dan Simbol Ragam hias merupakan hasil budaya sejak masa pra sejarah dan berlanjut sampai sekarang. Ragam hias memiliki pengertian secara umum, yaitu keinginan manusia untuk menghias benda – benda di sekelilingnya, kekayaan bentuk yang menjadi sumber ragam hias dari masa lampau yang berkembang di Istana Raja – Raja dan Bangsawan, baik yang ada di Bangsa Barat maupun Bangsa Timur. Istilah lain yang berkaitan dengan ragam hias adalah ragam. Ragam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “pola” atau “corak”,sedangkan corak berarti bunga atau gambar – gambar (Hasan Shadly,1980:593). Dalam Ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa, hiasan adalah ornamen, dibidang seni bangunan dikenal beberapa jenis hiasan, antara lain hiasan aktif, yaitu hiasan yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari bangunan utama, karena kalau hiasan itu dipisahkan akan merusak konstruksi bangunan tersebut. Sedangkan hiasan pasif adalah hiasan yang lepas dari bangunan utama, yang dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi konstruksi bangunan. Adapun hiasan teknis adalah hiasan yang fungsinya sebagai hiasan dan juga punya fungsi lain. commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ragam hias untuk suatu benda pada dasarnya merupakan sebuah pelengkap untuk mendapatkan nilai lebih dari sebelumnya yaitu barang tersebut menjadi lebih bagus dan menarik. Di Indonesia banyak sekali bentuk maupun ragam hias, bahkan sulit mengenali secara jelas dari mana sumbernya. Tetapi dapat dikelompokkan dalam motif hias sebagai berikut : a. Kelompok motif hias geometris Kelompok ragam hias geometris ini selalu memanfaatkan kaidah- kaidah dalam mewujudkan motif-motif atau memanfaatkan pola-pola geometris dalam penyusunan pola-pola hiasnya. Ide dasar lebih banyak mengungkapkan unsurunsur beraturan yang tidak bertitik tolak dari bentuk nyata atau mengalihkan bentuk-bentuk alam. Menurut Soegeng Toekio (1987: 53) berbagai macam motif dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok yaitu : 1). Kaki silang, berupa bentuk persilangan garis yang bertumpu pada satu titik, ini dapat berupa : silang dua, silang tiga dan silang empat, ini dapat berbentuk garis tegak ataupun lengkung. 2). Pilin ( spiral ); berupa relung-relung yang saling bertumpuk atau bertumpang membentuk pilin berupa huruf “S” atau sebaliknya. Bentuk pilin ini dapat diperkaya dengan pengulangan pilin ganda atau kombinasi yang dibuat dengan ukuran yang berbeda. 3). Kincir, bertitik tolak dari mata angin yang mempunyai gerak ke kiri atau ke kanan. Pada garisnya membentuk putaran yang berakhir dalam susunan melingkar dengan putaran (spill). commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4). Bidang, pada kelompok ini dapat terdiri atas bidang segitiga, bundar, empat persegi dan gumpalan ( blob) yang tak beraturan. Dari keempat kelompok tadi dapat dibentuk bermacam-macam variasi baik bentuk tunggalnya sebagai ragam hias, maupun bentuk perulangan dan kombinasinya sebagai pola hias ( Soegeng Toekio, 1987 : 53 ). b. Motif hias tumbuh-tumbuhan. Kelompok motif hias ini merupakan motif hias yang terdiri dari tumbuhtumbuhan sebagai sumber penciptaanya. Dalam perwujudannya terdiri dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah dan ranting. Teknik stilasi sangat dominan mempunyai peranan penting dalam ragam hias kelompok ini di Indonesia. Menurut Soegeng Toekio (1987:81-82) motif hias kelompok tumbuhtumbuhan dibedakan menjadi dua, yaitu : 1). Bentuk Naturalis, Bentuk ini tidak banyak mengalami perubahan dari bentuk asal, dapat dicapai dengan pewarnaan yang mewakili warna aslinya, yaitu dengan gambar-gambar bentuk yang sempurna. 2). Bentuk Stilasi Tumbuh-Tumbuhan Ragam hias ini dibuat dengan penyederhanaan bentuk-bentuk yang diambil dari alam, obyek asalnya sebenarnya masih bertitik tolak dari alam tumbuh-tumbuhan dengan mengambil intinya saja. Dari penjelasan ini, motif hias tumbuh-tumbuhan bisa terjadi dari bentuk naturalis yang tidak banyak mengalami perubahan dari bentuk asalnya. Bisa juga bentuk stilasi dari penyederhanaan bentuk-bentuk dari alam dengan mengambil commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
intinya saja tetapi masih ada sifat-sifat dari tumbuh-tumbuhan itu. Cara pengungkapannya merupakan hasil kreasi dari penciptanya yang tidak melupakan unsur-unsur pokok di dalamnya (Soegeng Toekio, 1987:8182). c.
Kelompok Motif Hias Mahluk Hidup Dalam kelompok ini motif hias mahluk hidup seperti hewan dan mahluk
gaib menjadi sumber inspirasi penciptanya. Perwujudannya dengan bentuk yang realis seperti pahatan pada relief candi. Hewan banyak menjadi sumber penciptaan motif hias. Menurut Soegeng Toekio (1987: 115) motif hias motif binatang dapat dikelompokkan menjadi : 1). Binatang yang hidup di darat ( termasuk binatang melata) 2). Binatang yang hidup di air 3). Binatang bersayap yang bisa terbang Dari tiga jenis binatang ini dapat diperoleh penggambaran dan setiap jenis dapat memberikan contoh berlainan yang penciptaanya ada yang dikaitkan dengan kepercayaan (Soegeng Toekio, 1987 :115 ). d.
Kelompok Motif Hias Dekoratif Kelompok motif hias dekoratif menurut Soegeng Toekio (1987: 137)
adalah banyak ragam hias yang tidak mengambil unsur alam maupun bentuk geometris seperti kaligrafi dan jalinan garis. Jenis motif hias ini dikenal dengan nama motif dekoratif. Dari pendapat ini yang dimaksud motif hias dekoratif adalah motif-motif hias yang mengambil obyek selain dari unsur-unsur alam maupun bentuk-bentuk commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
geometris atau ilmu ukur. Jenis motif hias dekoratif ini banyak ditemukan di seluruh Indonesia, pada hasil karya masa lampau, banyak diciptakan manusia bermula untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari lebih dari itu untuk pelengkap upacara adat dan sebagai benda pusaka ( Soegeng Toekio, 1987 :137 ). Perkembangan ragam hias Indonesia terbagi dalam dua masa, yaitu masa pra sejarah dan sejarah. Masa pra sejarah masih terbagi lagi menjadi zaman paleolitikum, mesolitikum, dan neolitikum. Pada zaman paleolitikum manusia Indonesia belum meninggalkan jejak-jejak peninggalan yang bermuatan seni. Peninggalan bermuatan seni baru pada masa neolitikum dan mesolitikum akhir. Sedangkan zaman sejarah dimulai sejak datangnya pengaruh kebudayaan India ke Indonesia, yang dilanjutkan dengan pengaruh Islam, Cina dan Eropa. Zaman pra sejarah Indonesia sudah mengenal seni, walaupun tulisan belum dikenal. Kesenian Indonesia primitif selalu dikaitkan dengan nilai religi, artefak yang dihasilkan selalu diciptakan untuk maksud pemujaan. Dalam kesenian primitif akan ditemukan kekuatan batin dan dasar-dasar rohani, sehingga arti ragam hias zaman ini lebih penting dari pada cara-cara kesenian yang kemudian lebih mementingkan kepandaian hias menghias. Pada zaman batu muda atau neolithikum sudah mengenal penanaman padi, maka dapat ditemukan pada zaman itu pembuatan cangkul yang dibuat dari batu, memelihara kerbau sebagai binatang ternak. Sangat mungkin telah mampu membuat tenun dan membakar gerabah, membuat barang-barang dari kayu dan menghiasinya dengan ukir-ukiran dan membuat perahu. Dari situ adanya beliung (kampak) batu, pahat lengkuk dan sebagainya. Di samping itu ditemukan arca-arca leluhur untuk commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
upacara pemujaan leluhur (Hoop, 1949:13). Pada zaman neolithikum, kesenian Indonesia kuno bersifat monumental dan simbolik. Pada waktu itu orang telah membangun tempat pemujaan dari batu besar yang tidak atau sedikit bertatah dan membubuhinya dengan simbolsimbol tertentu untuk menolak bahaya dan mendatangkan kebahagiaan dan kesuburan. Jadi ragam hias tidak hanya sekedar berfungsi sebagai hiasan, tetapi menjadi simbol magis. Pada sekitar tahun 500 – 300 SM, mulai masuk kebudayaan logam terutama perunggu dan sedikit besi dari Tongking, bagian utara Indo Cina. Kebudayaan ini
membawa kepandaian
mengerjakan
logam
yang
disebut
kebudayaan perunggu atau kebudayaan Dong Son. Barang-barang yang terbuat dari perunggu telah dihiasi dengan ragam hias yang bagus. Dalam seni Dong Son niat menghias semakin tampil. Bagian tepi dan bidang-bidang dihias dengan ragam hias yang merupakan simbol-simbol tertentu. Ragam hias yang banyak diterapkan seperti motif pilin bentuk “S” atau pilin berganda, swastika dan meander, ragam hias ini melambangkan peredaran matahari, yang berhubungan dengan pemujaan matahari pada zaman itu (Hoop, 1949:12). Gaya yang terdapat dalam ragam hias Indonesia cukup beragam. Salah satu hal yang menyebabkannya adalah religi primordial yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Di mana religi primordial suku-suku di Indonesia dipengaruhi
ekologinya.
Perbuatan
manusia
merubah
lingkungannya dan
lingkungan sebaliknya mempengaruhi tingkah laku manusia. Demikian terjadi secara berulang yang setiap kali akan merubah pola dan nilai yang sudah ada commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara perlahan. Hubungan antara manusia dengan lingkungannya ini terjadi sebagai pencerminan dari kebutuhan asasi manusia sebagai mahluk hidup, yang kemudian akan menghasilkan sebuah budaya. Di Indonesia dapat ditemukan berbagai macam corak ragam hias, tiap daerah mempunyai kekhasan masingmasing sesuai dengan daerah di mana ragam hias berkembang. Berbagai corak ragam hias yang terdapat di Indonesia, dipengaruhi pula kebudayaan yang berasal dari luar, seperti dari India, Arab, Cina dan Eropa. 2.2.7.4. Ragam Hias Prasejarah Beberapa corak ragam hias Indonesia yang berkembang pada zaman prasejarah antara lain sebagai berikut : Corak Manusia, muncul dalam berbagai bentuk, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Mempunyai dua fungsi sebagai penolak kejahatan dan melambangkan nenek moyang yang mengandung makna pelindung dari bahaya (Hoop, 1949:92). Banyak ditemukan pada hiasan alat-alat perunggu seperti: nekara dan genderang perang yang terdapat pada songket di Sumatra Selatan dan Sumba, seni tato Dayak dan perisai perang Irian. Di samping itu juga banyak ditemukan pada hiasan hulu keris.
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar II.2 Ragam Hias corak Manusia (sumber : Hoop, 1949:95)
Corak Kedok (topeng), bagian badan manusia yang dianggap mempunyai kesaktian paling besar oleh orang primitif adalah wajah. Maka orang membuat ragam hias yang dipengaruhi bentuk wajah banyak ditemukan. Kedok diyakini sebagai penangkal pengaruh jahat ( Hoop, 1949:100). Benda-benda yang dihiasi dengan raga-raga mini dapat ditemukan di Sulawesi, Sumba, Papua dan tempat-tempat lain di Indonesia.
Gambar II.3 Ragam Hias Kedok / topeng (sumber : Hoop, 1949:105)
commit to user Corak Tumpal, ragam hias tumpal berbentuk deretan segitiga sama kaki, sering 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dijumpai dalam tenunan atau batik juga barang anyaman, nekara zaman pra sejarah, seni hias bangunan Hindu seperti di candi Naga dekat Blitar. Pada ukiran kayu rumah Minangkabau, corak tumpal diisi dengan hiasan tumbuh-tumbuhan, juga ditemukan pada ukiran rumah Batak dan Toraja (Hoop,1949:24). Corak tumpal ini hampir merata ada di seluruh Indonesia
Gambar II.4 Ragam Hias corak Tumpal (sumber : Hoop, 1949:25)
Corak Pilin atau Pilin Berganda mempunyai bentuk huruf “S”, terdapat hampir di seluruh Indonesia. Corak pilin berganda ini munculnya bersamaan dengan kebudayaan perunggu. Dihiaskan pada nekara perunggu zaman pra sejarah berasal dari Jawa Barat. Corak ini juga merupakan ragam hias sebagai pengisi bidang dan pinggir haluan perahu, juga banyak digunakan pada rumah Toraja, Batak, dan perisai Irian (Hoop,1949:36)
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar II.5 Ragam Hias Pilin Berganda (sumber : Hoop, 1949:37)
Corak Meander berasal dari zaman Perunggu, merupakan bentuk huruf “T” yang tegak lurus serta terbalik yang disusun bergantian dan bersambungan. Dalam teknik batik sering disebut dengan corak banji. Jenisnya bermacam-macam, meander dalam bentuk bundar, mengalir yang kemudian berubah menjadi pinggiran bentuk awan seperti yang terdapat di Cirebon (Hoop,1949:56).
Gambar II.6 Ragam Hias corak Meander (sumber : Hoop, 1949:57)
Corak Swastika melambangkan peredaran bintang-bintang, khususnya lambang matahari sebagai pembawa kemujuran. ragam hias swastika dipakai commitDitoIndonesia user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai pengisi bidang yang terdiri dari gambar-gambar bergaris lurus dan seluruhnya dinamakan sebagai banji (Hoop,1949:64).
Gambar II.7 Ragam Hias corak Swastika (sumber : Hoop, 1949:65)
Corak Kait atau Kunci. Ragam hias ini erat kaitannya dengan ragam hias banji (swastika dan meander), dapat dianggap sebagai kaki swastika atau kait meander. Banyak terdapat pada tenunan, seperti kain tenun dari Minangkabau. Kain itu ditenun dalam berbagai warna dengan benang sutera, di pinggir sebelah bawah yang lebih lebar dan lebih muda warnanya dihiasi dengan serat emas (Hoop,1949:312).
Gambar II.8 Ragam Hias corakcommit kunci/kait toyang userdigabung dengan corak jalinan. (sumber : Hoop, 1949:313)
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Corak Binatang, penggambaran binatang seperti biawak, buaya, kadal, merupakan penggambaran roh nenek moyang. Binatang tersebut diyakini sebagai penjelmaan roh nenek moyang (Hoop, 1949:218).
Gambar II.9 Ragam Hias Corak Katak, Ular & Buaya (sumber : Hoop, 1949:219)
Binatang lain yang sering digambarkan dalam corak ragam hias pra sejarah adalah Kerbau, nenek moyang bangsa Indonesia pada jaman Neolitikum sudah mengenal kerbau sebagai binatang ternak dan memujanya sebagai binatang 'keramat'. Melambangkan kesuburan dan penolak bahaya. Dalam alam pikiran Indonesia dikenal sistem pembedaan yang terbagi dua, yaitu dunia atas dan dunia bawah. Kerbau termasuk dunia bawah seperti halnya bumi, bulan, air, bawah, kiri, dan lain-lain. Sedangkan matahari, burung, langit, api, atas, dan kanan termasuk dunia atas. Corak kerbau terdapat pada rumah Batak yang dipasang diujung atap, rumah adat Minangkabau dan Toraja. Dalam perkembangannya, tanduk commit to user kerbau menjadi bentuk bulan sabit seperti yang terlihat pada pikulan tukang 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sate orang Madura, pada hiasan puncak rumah adat Jawa, bahkan mengandung arti lain sebagai lambang penghormatan pada kelahiran bulan yang baru terbit (Hoop, 1949:130).
Gambar II.10 Ragam Hias corak Kerbau (sumber : Hoop, 1949:131)
Corak Gajah sudah ada di Indonesia sejak dulu sebagai kendaraan untuk berperang dan untuk orang mati.
Selain itu, juga terdapat pada hiasan
keris, cincin, barang emas di Bali dan Hindu Jawa (Hoop, 1949:138).
commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar II.11 Ragam Hias corak Gajah (sumber : Hoop, 1949:139)
Corak Ular, sudah lama dikenal sejak zaman pra sejarah pada tutup peti mati. Di Jawa, Madura dan Bali digunakan sebagai hiasan ukiran kayu seperti naga pada pukulan, pegangan, hiasan gamelan dan keris.
Gambar II.12 Ragam Hias corak Ular pada pancuran air (sumber : Hoop, 1949:211)
commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.2.8. Perkembangan Ragam Hias Indonesia 2.2.8.1. Pengaruh Ragam Hias Hindu, Budha Perkembangan ragam hias di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ragam hias Hindu dan Budha yang datang dari India. Kebudayaan India bercampur dengan kebudayaan tradisional Indonesia. Hasil dari akulturasi budaya ini menimbulkan babakan baru dalam perkembangan kesenian Indonesia. Karya utama seni Indonesia Hindu ialah bangunan candi, bangunan kuil tempat menyelenggarakan upacara agama. Di Indonesia fungsi candi tidak hanya untuk upacara keagamaan saja, tetapi juga sebagai monumen atau bangunan peringatan dari raja yang sudah meninggal. Pada bangunan candi di samping terdapat patungpatung raja juga dihiasi dengan relief cerita-cerita Mahabarata dan Ramayana yang seringkali diselingi dengan kisah raja yang memerintah. Ragam hias yang dihasilkan dari percampuran antara budaya India dan budaya Indonesia tercermin dari ragam hias yang menunjukkan ciri-ciri ragam hias prasejarah yang diterapkan pada hiasan candi. Ada dua jenis pahatan, yaitu relief timbul dan dan relief datar. Relief timbul adalah hiasan pahatan yang timbul di atas permukaan bidang pahatan, sedang relief datar pahatan itu rata dengan bidang permukaan pahatan. Sebagai contoh adalah motif hias Kala Makara, sering tampil sebagai hiasan pada pintu kamar candi atau relung. Hiasan ini dimasukkan ke dalam hiasan struktur karena penampilannya sangat menonjol di atas permukaan dinding yang hampir menyerupai hiasan patung tempelan. Corak Makara, masuk ke Indonesia melalui kebudayaan Hindu. Corak ini merupakan binatang khayalan dengan bentuk ikan dan belalai Gajah. Paduan commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kala atau naga makara sering ditemukan pada ruang masuk candi. Corak ini juga terdapat pada hiasan topi, perhiasan emas, pada pelita dengan bahan 'makara' sebagai tempat minyak
Gambar II.13 Ragam Hias corak Makara (sumber : Hoop, 1949:163)
Corak Burung, di seluruh dunia motif burung ini memegang peranan penting sebagai lambang. Di Indonesia melambangkan roh yang telah meninggal. Burung Merak, berasal dari kebudayaan Hindu sebagai binatang kendaraan dewa perang dan kesenian di Cina. Dari kedua sumber ini kemudian datang ke Indonesia. Ditemukan pada kain Bali. Burung Nuri dalam kebudayaan Hindu melambangkan dewa Kama atau dewa Asmara. Sebagai contoh, terdapat pada talam perunggu dan arca penjelmaan dewa Kama yang sedang duduk (di Jawa Timur). Corak ini juga digambarkan sebagai pembawa surat cinta, dilukiskan dengan membawa surat pada paruhnya seperti terlihat pada hiasan batu bata untuk bangunan di Jawa Timur dan Palembang.
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar II.14 Ragam hias burung (sumber : Hoop, 1949:193)
Corak Wayang, ragam hias wayang ini menggambarkan tokoh-tokoh pewayangan dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Dipahatkan pada dinding candi berupa relief atau dipahatkan pada senjata kuno seperti keris. Corak wayang ini juga ditemukan pada tenunan dan barang-barang dari logam.
Gambar II.15 Ragam hias Wayang commit to user (sumber : Hoop, 1949:129)
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Corak Garuda, dalam mitologi Hindu melambangkan kendaraan Wisnu dan burung Rajawali. Motif ini sering dipakai dalam seni Hindu Jawa dan masih berkembang, pada hiasan lampu di Jawa Barat, batik dan ujung tombak di Jawa.
Gambar II.16 Ragam Hias corak Garuda (sumber : Hoop, 1949: 179)
Corak Flora. Corak flora tidak ada pada jaman pra sejarah, baru muncul pada jaman Hindu, dan selanjutnya menjadi bagian yang utama dalam seni ragam hias di Indonesia. Ragam ini mempunyai sifat magis seperti: sulur, gulung, lidah api, karangan, pegunungan, pohon hayat dan lainnya. Corak flora digunakan pada hiasan ukiran kayu dan bambu, tersirat religi magis yang berhubungan dengan kesuburan tanah. Corak suluran yang di kembangkan secara artistik terlihat pada hiasan rumah adat Jawa. Pada Hindu Jawa, corak ini digunakan dalam upacara keagamaan. Corak pohon 'hayat' melambangkan ketuhanan yang meliputi dunia atas dan bawah; sebagai keesaan tertinggi yang merupakan sumber dari segala kehidupan.
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar II.17 Motif tumbuh-tumbuhan sebagai lambang kesuburan terdapat di candi kalasan (sumber : Gustami, 2000:166)
Gambar II.18 Bentuk pot yang memuntahkan sulur-suluran daun dan bunga (sumber : Gustami, 2000:166)
Gambar II.19 Ragam corak Pohon Hayat commithias to user (sumber : Hoop, 1949:279)
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.2.8.2. Pengaruh Ragam Hias Cina Pengaruh kebudayaan Cina pada kesenian Indonesia sudah ada sejak zaman pra sejarah, tepatnya pada zaman perunggu. Di mana pengaruh kebudayaan Dong Son terlihat pada ragam hias yang diterapkan pada peninggalan-peninggalan seperti Nekara dan Moko dari Nusa Tenggara Timur. Pengaruh kebudayaan Dong Son ini bersamaan dengan gelombang perpindahan orang dari daratan Asia ke Indonesia yang datang pada 500 tahun sebelum Masehi. Pengaruh kebudayaan Cina ini dilanjutkan dengan terjalinnya hubungan perdagangan antara Kerajaan Sriwijaya dengan kerajaan yang ada di daratan Cina.
Gambar: II.20 Ragam Hias corak Cina (Sumber: Gustami, 2000: 169)
2.2.8.3. Pengaruh Ragam Hias Islam Ragam hias dalam dunia Islam merupakan hasil karya seni rupa Islam yang sangat penting, mengingat seni ragam hias ini hampir pasti dapat ditemukan pada kebanyakan hasil seni rupa Islam, baik pada benda-benda kerajinan, senjata, topi perang, permadani, keramik sampai pada peninggalan-peninggalan arsitektur. Gaya
abstrak
dan
user dekoratif commit dalam to Islam
dipengaruhi
adanya larangan
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penggambaran mahluk yang bernyawa. Hal ini mempengaruhi bentuk-bentuk tertentu perkembangan estetik yang mengarah pada suatu penekanan terhadap ragam hias, yang terwujud dalam tiga bentuk, yakni kaligrafi, arabes, dan bentuk geometris. Kaligrafi adalah jalinan huruf-huruf hijaiyah yang dirangkai menjadi sebuah bentuk yang indah. Sebagai hiasannya seringkali dirangkai dengan bentuk tumbuh-tumbuhan. Dapat pula kaligrafi dijalin dengan motif-motif geometris, atau bahkan sekaligus berupa bentuk-bentuk yang geometris. Arabes merupakan jenis ragam hias yang dibentuk dengan cara menempatkan pola-pola hias secara beraturan sedemikian rupa sehingga terbentuk irama yang berulang-ulang dan terus menerus. Secara
struktural arabes terbentuk
karena pengolahan
garis
lengkung dengan segala kemungkinan dan yang paling berperan dalam seni rupa Islam ialah garis-garis pilin (spiral) dengan berbagai ubahan. Ragam hias geometri yang paling banyak diolah ialah bentuk-bentuk poligonal yang pada dasarnya merupakan jalinan dari bentuk-bentuk segi tiga, segi empat, segi lima atau segi banyak lainnya. Ragam hias geometri ini dapat tampil
secara
dua
dimensional
maupun
tiga
dimensional,
kadangkala
merepresentasikan bentuk-bentuk yang ada di alam seperti tumbuh-tumbuhan. Tetapi lebih banyak bentuk-bentuk abstrak. Seringkali pula dipadukan dengan kaligrafi dari ayat-ayat Alqur’an.
commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar II.21 Ragam Hias corak Arabes (sumber : George Michell, )
Gambar II.22 Ragam Hias corak Geometris (sumber : George Michell)
Ragam
hias yang
muncul
pada
masa kerajaan
Islam
antara lain
terdapat pada Masjid Mantingan berupa bentuk medalion sebagai unsur hias yang ditambahkan pada dinding masjid.
commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar II.23 Hiasan berbentuk Medalion di masjid Mantingan, Jepara. (dokumentasi : Zainul, 2011)
2.2.8.4. Pengaruh Ragam Hias Eropa Sejak kedatangannya ke Indonesia pada awal abad ke16 (Ricklefs, 1989:31), bangsa Eropa telah ikut andil memperkaya khasanah budaya Indonesia. Masuknya unsur-unsur budaya asing dari Eropa Barat seperti Ionia, Doria, Korinthia, Renaisans, Barok, Rokoko, Gotik, Georgian, Klasik dan lain-lain, bercampur dengan budaya lokal Indonesia telah menghantarkan terciptanya ragam hias baru dalam khasanah ragam hias Indonesia. Pengaruh ragam hias Eropa Barat nampak pada peninggalan-peninggalan masa penjajahan Belanda yang berupa arsitektur maupun produk kerajinan seperti kursi dan produk furniture lainnya. (Gustami, 2000:165).
Gambar II.24 Ragam Hias corak Eropa pada elemen arsitektur commit to user (Sumber: Gustami, 2000:170)
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.3. Konsep Penjelasan dan batasan tentang penelitian ini perlu dijelaskan konsepkonsep yang digunakan. Untuk itu, urutan konsep yang dipaparkan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) kajian gebyok
(2) makna simbol (3) ragam hias
gebyok pada rumah Kudus. 2.3.1. Kajian gebyok Satuan konsep kajian gebyok terdiri atas dua unsur, yaitu kajian dan gebyok. Keduanya masing-masing dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dalam Kamus Bahasa Indonesia kajian diterjemahkan sebagai hasil mempelajari, menelaah, menyelidiki (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008:618). Kedua, gebyok diterjemahkan sebagai pembatas atau penyekat antara ruang tamu (jogosatru) dengan ruang keluarga. Kajian gebyok merupakan salah satu
bagian dalam pembahasan
penelitian ini. Dari paparan di atas dapat dirumuskan konsep kajian gebyok sebagai berikut. Kajian gebyok adalah hasil menelaah terhadap keadaan yang bersifat teraba, tercerap, umum, dan konkret yang merupakan pengantar pemahaman terhadap objek, yaitu gebyok pada rumah Kudus. 2.3.2. Makna simbol Satuan konsep makna simbol terdiri atas dua unsur, yaitu makna dan simbol. Keduanya masing-masing dijelaskan sebagai berikut. Pertama, makna. Secara khusus “makna” diartikan sebagai sesuatu pengertian yang diberikan kepada suatu objek. Subjek dan objek adalah hubungan yang commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
korelatif atau saling menghubungkan diri satu dengan yang lain. Tanpa subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatian atas benda itu. Makna diberikan kepada objek oleh subjek sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali (Sumaryono, 1999:30). Menurut Gadamer, tokoh hermeneutika filosofis, makna hadir selalu didahului oleh pemahaman subjek terhadap objek. Pemahaman dapat diperoleh, bila subjek memiliki kesadaran terhadap objek. Kegiatan memaknai sesuatu pada dasarnya adalah melakukan interpretasi (Muzir, 2008:98). Interpretasi adalah mencakup pemahaman. Untuk dapat membuat interpretasi orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Menurut kenyataannya, bila seorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi. Kedua, simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai. Makna tidak melekat pada obyek melainkan diberi oleh manusia (subyek) yang menafsirkan simbol itu, artinya makna simbol tidak berada pada simbol itu sendiri, melainkan berada pada manusia itu sendiri (Heddy Shri Ahimsa Putra dalam Subiyantoro, 2011:21). Simbol setidak-tidaknya dapat dibedakan dengan empat peringkat, yaitu (1) simbol konstruktif, yaitu simbol yang berkaitan dengan kepercayaan atau keyakinan terhadap sang pencipta; (2) simbol evaluasi, yaitu simbol yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma atau aturan-aturan; (3) simbol kognitif, yaitu simbol yang berkaitan dengan ilmu commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan, dan (4) simbol ekspresif, simbol yang berkaitan dengan pengungkapan perasaan (Subiyantoro, 2011:22) Makna simbol ragam hias pada gebyok rumah Kudus merupakan salah satu bagian dalam pembahasan penelitian ini, Dari paparan di atas dapat dirumuskan konsep makna simbol sebagai berikut. Makna simbol adalah persepsi terhadap pengertian yang diberikan subjek kepada suatu hal atau keadaan yang bersifat teraba, tercerap, umum, dan konkret yang merupakan pengantar pemahaman terhadap objek, yaitu ragam hias pada gebyok rumah Kudus. 2.3.3. Ragam Hias Gebyok Kudus Padanan kata dari ragam hias adalah ornamen, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia,
ornamen
diartikan sebagai
hiasan
yang
dibuat
pada arsitektur, kerajinan tangan, lukisan, perhiasan dan sebagainya. Ragam hias setidaknya adalah sebagai sebuah bentuk hasrat sang seniman untuk mengeksplorasi kenyataan dalam bentuk abstrak dan geometri, seperti lekukan sederhana berbentuk bujur sangkar (meander) atau abstraksi tumbuhan yang melingkar atau binatang yang lebih rumit bentuknya yang banyak ditemui dalam karya seni atau produk lainnya (Susanto, 2003:222). Pendapat lain mengatakan bahwa ragam hias adalah elemen-elemen dekorasi yang diperoleh dengan meniru atau mengembangkan bentuk-bentuk yang ada di alam dan divisualkan pada permukaan suatu benda. Pada dasarnya ragam
hias berperan
commit to untuk user sebagai media
memperindah
suatu
karya.
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ia dapat memperindah benda pakai secara lahiriah, satu atau dua darinya memiliki nilai simbolik atau mengandung makna tertentu. Dalam penciptaan ragam hias tidak dapat dilepaskan unsur-unsur apa yang menjadi pendukung terjadinya bentuk-bentuk visual tersebut, di antaranya peran garis, bidang, tekstur dan warna (Toekio, 1987:10). Spelt (1996:1) mengatakan bahwa kesesuaian ragam hias itu selalu dihubungkan dengan bentuk dan struktur objek yang dihiasi, sebagai pelengkap dari objek itu, dan tidak pernah melemahkan bahkan menambah nilai
estetis dengan berbagai variasi bentuknya. Seni ragam hias bukan
sesuatu yang bersifat sewenang-wenang; di samping tergantung kepada bentuk produk, ia juga dipengaruhi oleh sifat alami material yang dibuat, demikian juga halnya gaya atau cara di mana produk alami dibuat untuk ornamentasi oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda. Seni ragam hias berkaitan erat dengan material, tujuan, bentuk, dan gaya. Bentuk ragam hias yang paling tua terdiri dari gambar geometris, lingkaran-lingkaran kecil, pita, garis lurus/lengkung dan sebagainya. Dengan kemajuan intelektual umat manusia, seniman memperoleh lebih banyak kecakapan teknis, dan mencoba untuk menggunakan obyek binatang, tumbuhan, dan akhirnya menggambarkan dirinya sendiri, untuk seni ragam hiasnya. Tumbuhan dan binatang sering dijadikan sebagai produk ragam hias yang dapat ditempuh dengan dua cara, pertama; dibentuk sesuai dengan wujud aslinya, yang disebut dengan ragam hias naturalistik, dan yang kedua, dalam suatu bentuk yang mencerminkan spirit waktu, religius atau gagasan commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
politis dari suatu masyarakat tertentu disebut dengan stylistic ornament. Masing-masing gaya memperlihatkan corak berbeda dan mempunyai bentuk ragam hias yang lebih disukai oleh masyarakat di mana ragam hias itu berkembang. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ragam hias pada dasarnya adalah sesuatu yang ditambahkan dengan maksud menambah keindahan pada suatu benda, dengan mengutamakan keserasian antara corak ragam hias dengan benda yang dihias sehingga dapat menambah nilai estetis benda yang dihias. Pada kesenian Indonesia, ragam hias juga bermakna simbolik, ragam hias tidak sekedar untuk memperindah suatu permukaan saja, tetapi juga mempunyai muatan-muatan simbolik yang berfungsi sebagai media bertutur untuk menyampaikan pesan tertentu yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan filosofi hidup masyarakatnya. Ragam hias tradisional Kudus banyak terdapat pada peninggalanpeninggalan sejarah terutama pada peninggalan arsitektur tradisional. Penerapan ragam hias banyak ditemukan pada bangunan rumah ibadah, makam-makam dan tempat tinggal. Penelusuran terhadap obyek-obyek yang masih ada dapat dijadikan sebagai rujukan dalam upaya pendalaman dan pemahaman tentang ragam hias dan penerapannya pada gebyok rumah Kudus. Gebyok rumah Kudus merupakan warisan budaya tradisional yang pada saat sekarang jumlahnya di Kudus sudah sangat berkurang dibandingkan dengan jaman masa kejayaannya dulu pada sekitar abad 18 M. Gebyok rumah Kudus beserta bagian-bagiannya yang sarat dengan ukiran tersebut, terus commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diincar oleh para kolektor dalam dan luar negeri sehingga satu demi satu gebyok tersebut berpindah dari tempat asalnya di Kudus. Gebyok Kudus yang asli dahulunya hanya sebagai unsur arsitektur rumah adat Kudus yang berlokasi atau berada di Kudus Kulon di sekeliling Masjid Menara Kudus. Seiring dengan berjalannya waktu, karena adanya penjualan rumah Kudus, sehingga gebyoknya pun ikut terjual. Di samping itu, faktor lain seperti faktor usia gebyok, kondisi ekonomi pemiliknya sekarang dan kondisi sosial budaya yang sudah tidak sama lagi dengan waktu dulu semakin mempercepat kemungkinan punahnya keberadaan gebyok rumah Kudus tersebut. Berkurangnya gebyok rumah Kudus yang berukiran (ragam hias) dengan penuh makna simbol bagi kehidupan masyarakat Kudus, bisa mengakibatkan terjadinya kepunahan, sedangkan yang banyak dijumpai di Kudus sekarang ini merupakan hasil replika yang dibuat oleh para perajin gebyok. Ragam hias merupakan komponen produk seni yang ditambahkan atau sengaja dibuat untuk tujuan sebagai hiasan. Di samping sebagai penghias yang secara implisit menyangkut segi-segi keindahan, misalnya untuk menambah keindahan suatu barang supaya lebih bagus dan menarik, di samping itu dalam ragam hias sering ditemukan pula nilai-nilai simbol atau maksud-maksud tertentu yang ada hubungannya dengan pandangan hidup (falsafah hidup ) dari manusia atau masyarakat pembuatnya, sehingga bendabenda yang diterapinya memiliki arti dan makna yang mendalam, dengan disertai harapan-harapan tertentu. Artinya bahwa ketika misalnya membuat commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
patung, mereka menganggap patung itu sebagai benda sakral dan menjadi benda untuk ritual atau pemujaan. Ada juga yang membuat sebuah gunungan wayang yang merupakan landasan dari hubungan kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos yang mempunyai arti bahwa dalam hidup kita harus bisa menyeimbangkan kedua hubungan tersebut supaya kehidupan berjalan baik tanpa adanya ketimpangan di suatu saat nanti. Banyak tulisan yang membahas tentang ragam hias oleh sebagian ahli. Ragam hias pada dasarnya identik dengan keindahan yang diterapkan pada suatu benda atau bangunan tertentu. Ragam hias adalah motif yang menjadi pangkal atau pokok dari suatu pola, di mana setelah motif itu mengalami proses penyusunan dan ditebarkan secara berulang-ulang akan memperoleh sebuah pola, kemudian setelah pola tersebut diterapkan pada benda lain maka jadilah suatu bentuk ornamen (Gustami, 1980:25). Tampilan ragam hias pada suatu benda bukan sekedar bentuk yang lebih indah dan menarik, tetapi di dalam ornamen mempunyai peranan lain, yaitu sebagai simbol tertentu yang unsur di dalamnya mengisyaratkan pesanpesan adat yang mencerminkan kepercayaan, pengabdian kepada nenek moyang dan ruh leluhur mereka (Gustami, 1980: 28). Secara umum peranan ragam hias sangat besar sekaligus sebagai sarana untuk kebutuhan manusia. Hal ini dapat dilihat melalui penerapannya diberbagai benda, kesemuanya itu untuk kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Dalam perwujudannya, ragam hias memiliki bentuk yang berbedabeda tergantung benda apa yang dihiasnya. Ragam hias akan memberikan commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nilai tambah pada benda yang dihiasinya, sehingga benda tersebut menjadi indah dan menarik. Terbentuknya ragam hias tentunya tidak akan terlepas dengan unsur pola dan motif. Dengan demikian dengan segala penerapannya akan selalu berhubungan dengan istilah pola dan motif yang bentuknya sesuai perkembangan jaman. Ragam hias selalu bersinggungan dengan istilah pola dan motif. Pola merupakan wujud dasar yang dipakai pedoman untuk menyusun suatu ragam hias. Pola mengandung pengertian hasil susunan dari motif tertentu dalam bentuk dan komposisi yang tertentu pula (Toekio, 1987:147). Dalam ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa motif merupakan pangkal bagi tema kesenian. Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka motif merupakan pokok pikiran dan bentuk dasar dalam penciptaan ragam hias yang meliputi segala bentuk yang ada di alam semesta ciptaan Tuhan dan hasil daya kreasi atau imajinasi manusia (Toekio, 1987: 12), sesuai dengan pendapat tadi, secara visual motif tersebut dapat meliputi ; bentuk manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bentuk garis, lautan, awan, mahluk imajinatif, dan lain-lain. Motif juga merupakan unsur pokok dari suatu pola, sebab pola terbentuk akibat penyusunan dan pengorganisasian motif secara berulangulang, dengan demikian susunan motif yang berulang-ulang disebut pola. Jadi pola yang sudah diperoleh kemudian diterapkan dan dijadikan penghias (hiasan pada suatu benda) disebut dengan istilah ragam hias. commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam pembuatan ragam hias terdapat berbagai bentuk, diantaranya ada beberapa yang sudah mempunyai bentuk-bentuk baku. Bentuk demikian itu nampaknya merupakan sesuatu yang tepat dan memiliki kedudukan tertentu di dalam penerapannya serta pembuatannya. Ragam hias ini, proses pengalihan atau penciptanya tidak selalu sama. Dalam pembuatan atau penciptaan produk baru maka susunan maupun ukuran dibuat dengan pola ulang tertentu. Kenyataan demikian ini rupanya masih mampu bertahan di dalam lingkungan kehidupan masyarakat yang bertumpu pada tradisi. Menurut Soegeng Toekio dalam bukunya ”Mengenal Ragam Hias Indonesia”, (1987: 146-147) melihat tiga hal yang menonjol dalam proses ulang untuk ragam hias antara lain : Pertama : bentuk pola dengan susunan maupun ukuran yang dibuat tanpa pembubuhan bentuk lain dan berdiri sendiri (pola ulang tunggal), bisa ditemukan dalam relung candi, rumah adat atau benda magis lainnya. Kedua : bentuk lain dalam cara reproduksi untuk ragam hias ini dapat kita perhatikan yang tiap bagian merupakan suatu kelompok dan merupakan himpunan untuk pola ulang yang terdiri atas beberapa bentuk atau unsur namun masih bersifat satu kesatuan pokok. Ini biasa dinamakan sebagai pola ulang himpunan. Pola ini dapat dijumpai di benda-benda pusaka, karya monumental, tata ruang bangunan adat, dan lainnya. Ketiga : pengulangan berproduksi dari ragam hias dengan kombinasikombinasi ulangan. Pengulangan di sini disertai membubuhkan bentuk lain yang tidak tercakup pada kelompoknya tanpa merusak atau commit to user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengganggu bagian atau bentuk pokok itu sendiri. Biasa digunakan dalam benda-benda permukaan lebar atau luas. Pengulangan yang demikian ini disebut pola ulang menyeluruh. Beberapa uraian di atas dapat disebutkan bahwa ragam hias didasari dengan unsur pola dan motif. Sedangkan faktor penerapan ragam hias terhadap suatu benda atau bangunan senantiasa mempertimbangkan beberapa hal yaitu mengenai bentuk, komposisi, keseimbangan, serta makna yang terkandung di dalam ragam hias itu sendiri, sehingga tercipta sebuah karya seni yang mempunyai nilai estetis. Bentuk ragam hias terdiri dari beberapa jenis yaitu ragam hias geometris, tumbuh-tumbuhan dan binatang (Bastomi, 1987: 26). Adapun pendapat lain mengatakan ragam hias dibedakan menjadi lima jenis yaitu : 1. Ragam hias Geometris Ragam hias geometris tergolong ragam hias paling tua, bentuk ragam hias ini sangat sederhana yaitu berupa goresan-goresan yang tajam seperti garis lurus dan lengkung. Kemudian berkembang bentuk-bentuk baru seperti pilin, meander, tumpal, dan swastika. Kemudian berkembang lagi menjadi pilin berganda, meander tegak, dan meander miring. Pada jaman dulu bentuk ini banyak ditemukan pada bendabenda kuno yang isiannya berupa goresan-goresan yang cukup sederhana (Guntur, 2009: 4). 2. Ragam hias Tumbuh-tumbuhan commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ragam hias ini biasanya mengambil pola-pola pokok yang berasal dari alam, yaitu berupa tumbuh-tumbuhan atau flora yang dalam penampilannya setiap ragam hias ini diwakili bagian dari tumbuhtumbuhan tersebut, misalnya; daun-daunan, buah-buahan, dan bunga. Bentuk ragam hias ini banyak digunakan pada hiasan meja, vas bunga dan lampion (Guntur,2009: 5) 3. Ragam hias Binatang Ragam hias ini sering menggunakan binatang sebagai motif hiasnya, bagian tubuh binatang dianggap mempunyai nilai tersendiri. Dalam penggambarannya sering menggunakan bentuk binatang secara utuh maupun bagian-bagian tubuhnya, dan biasanya bentuk binatang sudah di stilasi (Guntur, 2009: 6). 4. Ragam hias Manusia Manusia sering dijadikan motif hiasan, bagian tubuh manusia dianggap mempunyai nilai tertentu. Dalam penggambarannya bentuk manusia seringkali dikombinasikan dengan bentuk-bentuk lain seperti geometris, tumbuh-tumbuhan, dan binatang (Guntur,2009: 7) 5. Ragam hias Imajinatif Ragam hias jenis ini berbeda dengan ragam hias jenis lainnya (ragam hias yang jelas objeknya). Ragam hias imajinatif merupakan hasil kreasi manusia yang penciptaan objeknya tidak ada di alam semesta, artinya terdapat keanehan dalam ragam hias tersebut, meskipun dasar pokok penciptaan mengambil bentuk alam semesta (Guntur, 2009: 8) commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari pendapat Guntur tersebut, jenis-jenis ragam di atas merupakan hasil kreasi manusia sepanjang hidupnya yang bersumber pada alam. Keindahan alam seringkali menjadi tema dalam perwujudan ragam hias, semakin maju cara berpikir manusia akan berkembang pula penciptaan berbagai bentuk ragam hias. Perkembangan berpikir manusia akan menentukan perkembangan bentuk ragam hias beserta fungsi ragam hias itu sendiri. Adapun fungsi ragam hias itu sendiri sebagai penghias suatu objek, sehingga apabila ragam hias diletakkan atau diterapkan pada benda lain akan menambah nilai benda yang dikenainya, apakah menjadi antik, indah, angker, ataupun predikat yang lain lagi (Guntur, 2004: 14). Ragam hias sebagai seni hias dalam kehidupan masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai elemen untuk memperindah barang atau benda, melainkan juga memiliki fungsi lain seperti fungsi sakral, simbolik, dan sosial. Adapun fungsi dan terapannya ragam hias pada suatu benda dapat dipilih menjadi : 1. Fungsi Ragam Hias Aktif/Konstruktif Ragam hias yang digunakan pada elemen-elemen bangunan yang berfungsi sebagai konstruksi dan menambah kekuatan suatu benda sebagai hiasan. Dengan demikian perwujudannya tidak terbatas sebagai penambah indah tetapi menjadi satu kesatuan yang utuh dengan struktur dan konstruksi bangunan 2. Fungsi Ragam Hias Pasif commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ragam hias yang melekat pada bangunan dengan fungsi sebagai hiasan saja, dengan demikian bentuk ragam hias pun dapat lepas, artinya ragam hias yang melekat pada benda apabila dihilangkan tidak berpengaruh terhadap konstruksi benda tersebut. 3. Fungsi Ragam Hias sebagai Simbol Ragam hias yang berfungsi sebagai hiasan sekaligus mempunyai makna simbolis atau perlambang (Guntur, 2004: 10). 2.4. Landasan Teori Landasan teori merupakan suatu perangkat untuk penelitian dalam rangka mengkaji masalah yang diteliti, menyusun bahan yang diperoleh, mengadakan analisis data dan hasil temuan di lapangan. Membicarakan gebyok rumah Kudus sebagai salah satu fakta budaya merupakan produk yang tidak dapat dilepaskan dari peran berbagai pihak untuk mewujudkannya, yaitu perajin sebagai orang yang mengerjakannya, lembagalembaga yang terlibat dalam perkembangan gebyok, dan masyarakat sebagai pengguna, maka untuk mengkaji gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok rumah Kudus secara kontekstual diperlukan pendekatan sosiologi dan antropologi, karena berkaitan dengan pengungkapan fenomena perkembangan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal dalam masyarakat pendukungnya. Melihat perkembangan produk gebyok yang ada di Kudus, maka masyarakat ingin terus menggarap potensi yang ada dan harus mengembangkan usaha gebyok yang akhirnya dapat dikatakan sebagai sarana untuk melestarikan commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
dan memasyarakatkan gebyok rumah
digilib.uns.ac.id
Kudus di masa datang. Berhubungan
dengan hal tersebut di atas maka digunakan teori utama untuk menganalisis kajian gebyok dan makna simbol ragam hias gebyok rumah Kudus, yaitu teori dari Raymond Williams (1981: 17) yang dimuat dalam buku Culture: “Three useful kinds of study can then be distinguished, of (i) the social and economic institutions of culture and, as alternative definitions of their „products‟, of (ii) their content and (iii) their efects” (1981: 17). Selanjutnya untuk memperjelas pemahaman teori tersebut Kuntowijoyo (2006: 6) dalam bukunya Budaya dan Masyarakat menjelaskan sebagai berikut. Williams menyebutkan bahwa dalam sosiologi budaya kita dapat menemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga-lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya atau norma-norma. Dengan kata lain lembaga budaya menanyakan siapa yang menghasilkan produk budaya, siapa mengontrol dan bagaimana kontrol itu dilakukan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa yang diusahakan; dan efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu. Dengan menggunakan ketiga komponen pokok tersebut, yaitu lembaga, isi, dan efek, maka pembahasan mengenai kajian gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok rumah Kudus dapat terkuak dengan jelas. Teori ini dipakai untuk menjelaskan peranan dan dukungan lembaga-lembaga budaya terhadap perkembangan produk gebyok Kudus, seperti komponen paguyuban perajin gebyok, konsumen, dan pasar, serta peran lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta, seperti Dinas Perindustrian, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Asmindo serta Klaster Ukir Gebyok & Rumah Adat Kudus. Isi (content) budaya yang menjelaskan produk gebyok antara lain menyangkut kajian gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok rumah Kudus. commit to user
Efek budaya secara
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kontekstual menjelaskan berbagai pengaruh yang ditimbulkan dengan kajian gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok rumah Kudus terhadap lingkungan sosial, budaya, dan masyarakat pendukungnya. Sehubungan dengan pengaruh sosial masyarakat Kudus dalam mengkaji gebyok dan makna simbol ragam hias gebyok rumah Kudus, akan diurai berdasarkan analisis Jean Duvignaut dalam bukunya The Sociologi of Art yang pada hakekatnya menyatakan, bahwa ”kebudayaan itu sangat dipengaruhi oleh peran serta masyarakat pendukungnya” (Duvignaut, 1972: 64). Teori bantu ini digunakan untuk menganalisis peranan lembaga budaya dalam membina dan memotivasi perajin, sehingga produk yang dihasilkan bervariasi dan mampu menembus pasar yang luas. Berdasarkan teori yang sudah diungkapkan di atas, untuk membahas semua permasalahan yang ditemukan dalam penelitian ini, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan teori bantu lain yang dirasa perlu. Menurut SP. Gustami (2000: 34), mengatakan bahwa pendekatan multidisiplin merupakan cara pandang untuk mengembangkan analisis melalui perpaduan dua atau lebih disiplin ilmu. Selanjutnya R.M. Soedarsono (1999: 192) dalam Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, mengatakan bahwa pendekatan multidisiplin dalam penelitian ini sangat mungkin diterapkan, karena objek penelitian berhubungan langsung dengan budaya masyarakat.
commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Bentuk dan Strategi Penelitian Bentuk
penelitian
yang
digunakan
berdasarkan
permasalahannya
menggunakan penelitian diskriptif kualitatif, sedangkan hasil penelitiannya adalah data deskriptif yang berupa kata-kata tentang kajian gebyok dan makna simbol ragam hias pada rumah Kudus. Artinya data yang dianalisis di dalamnya berbentuk deskriptif dan tidak berupa angka-angka seperti halnya pada penelitian kuantitatif (Moleong, 2002:3). Penelitian yang mengambil obyek ragam hias pada gebyok Kudus, baik yang ada di rumah Kudus maupun yang dikerjakan oleh perajin di Kudus, maka strategi penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus, hal ini disebabkan karena permasalahan dan fakus penelitian sudah ditentukan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan data kualitatif dengan analisis data secara diskriptif kualitatif. Secara umum penelitian yang menggunakan analisis data kualitatif, didefinisikan sebagai penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan pada pengembangan konsep yang ada pada data.
commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.2. Lokasi penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah. Dipilihnya Kudus sebagai lokasi penelitian adalah karena nilai-nilai lokal masyarakatnya masih dipegang teguh. Masyarakat Kudus memiliki karakteristik khas yang membedakan dengan daerah lainnya. Salah satu karakteristik Kudus terkenal dengan ajaran Islam yang cukup kuat karena merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa dengan Sunan yang terkenal adalah Sunan Kudus. Masyarakat Kudus juga terkenal sebagai pedagang dan pengusaha yang ulung. Dalam sejarahnya masyarakat Kudus terkenal dengan industri rokok yang dulu dipelopori oleh Nitisemito, dan sampai sekarang industri rokok di Kudus masih penyumbang pajak terbesar di Jawa Tengah. Selain bergelut di bidang industri rokok, masyarakat Kudus juga ada yang berprofesi sebagai perajin gebyok yang menyebar di kecamatan Kota, Jati, Mejobo, Kaliwungu dan Besito Obyek penelitian khususnya adalah rumah tradisional Kudus, workshop produksi gebyok dan tumah tinggal yang menggunakan gebyok di Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan Kudus ini menjadi lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. Kudus sebagai kota yang mempunyai hasil budaya rumah tradisional yang sangat khas arsitektur dan ragam hiasnya. b. Gebyok Kudus mempunyai ragam hias unik, khas dan sudah diproduksi oleh perajin. commit to user
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.3. Sumber Data Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data kualitatif tentang gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus, yang digali dari hasil observasi ke obyek penelitian baik di rumah Kudus maupun ke perajin, wawancara dengan informan, naskah-naskah yang berhubungan dengan obyek penelitian dan pustaka yang relevan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 3.3.1. Informan Informan merupakan seseorang yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan dan data untuk keperluan informasi (Koentjaraningrat, 1997:130). Sedangkan nara sumber yang dijadikan informan adalah : Bapak. Sundoro Wicaksono selaku budayawan Kudus, Bapak Bintong Mohammad Room Ketua Klaster Ukir Gebyok dan Rumah Adat Kudus, Bapak Norhadi sebagai perajin gebyok Avia Antiq, Bapak Ali Imron, SE. Ketua Asmindo Komda Kudus, Bapak Drs. Sutiyono, MM. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus dan Bapak Hendrix Marantek Kepala Desa Sidorekso Kaliwungu yang mempunyai program Gebyokisasi, di mana desa Sidorekso sebagai Central Gebyok di Kabupaten Kudus. 3.3.2. Tempat dan peristiwa/aktivitas Tempat yang dijadikan sebagai sumber data dalam observasi penelitian adalah. (1) rumah tradisional Kudus di Museum Kretek Kudus, Rumah Bapak Umar (2) workshop produksi gebyok Avia Antiq milik Bapak Norhadi, workshop milik Bapak Bintong MR, workshop milik Bapak Ali Imron, SE dan (3) rumah commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tinggal yang menggunakan gebyok Kudus sebagai elemen estetik milik Bapak Norhadi, Bapak Hendrik Marantex, Bapak H. Masrukan dan Bapak H. Mashudi. 3.3.3. Arsip dan Dokumen Arsip dan dokumen yang menjadi sumber data untuk mengetahui makna simbol ragam hias Kudus berupa referensi yang ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus baik sebagai pustaka, hasil telaah dan hasil penelitian sebelumnya. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Kajian terhadap gebyok dan makna simbol ragam hias memberikan peluang berkembangnya pemahaman yang lebih mendalam tentang gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus. Oleh karena itu, pengumpulan data tentang makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus lebih mengutamakan penggunaan teknik observasi dan wawancara, di samping studi dokumen dan studi kepustakaan. Adapun detail kerja secara teknik masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut. 3.4.1. Instrumen Penelitian Dalam mengumpulkan data, peneliti sebagai instrumen utama penelitian ditunjang dengan penggunakan alat-alat bantu sebagai berikut. a. Pedoman wawancara. Alat bantu ini digunakan sebagai panduan dalam melakukan wawancara dengan informan agar diperoleh data yang diperlukan dalam upaya menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian. commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Alat perekam gambar (kamera) dan alat perekam suara. Alat perekam gambar digunakan untuk memperoleh data visual dari obyek-obyek pengamatan, sedangkan alat perekam suara digunakan dalam upaya merekam informasi yang didapat dari wawancara dengan informan. c. Alat tulis. Alat ini banyak digunakan dalam proses pencatatan sebagai bagian proses pengumpulan data, yaitu dalam wawancara, observasi, dan kepustakaan. 3.4.2. Observasi Peneliti melakukan pengamatan langsung di lapangan, yaitu di rumah tradisional Kudus, workshop perajin gebyok Kudus dan rumah tinggal yang memanfaatkan gebyok sebagai elemen estetik. Dalam penelitian ini, hasil pengamatan diposisikan sebagai data primer. Kegunaan observasi ini adalah sebagai berikut. a. Untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam mengamati ragam hias pada gebyok Kudus yang hasilnya dapat digunakan sebagai alat untuk mengecek ulang kebenaran informasi yang diperoleh dari teknik-teknik lain yang digunakan, yaitu wawancara, studi kepustakaan dan studi dokumen. b. Untuk memperoleh pengalaman langsung dari sebuah pengamatan terhadap ragam hias gebyok Kudus yang hasilnya dapat dituangkan dalam suatu catatan atas suatu kejadian sebagaimana terjadi pada keadaan sebenarnya. commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.4.3. Wawancara Mendalam. Wawancara digunakan untuk mengetahui perubahan bentuk gebyok dan ragam hias pada gebyok, ciri-ciri ragam hias gebyok dan makna simbol ragam hias gebyok Kudus, pengaruh perkembangan gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus. Teknik wawancara ini tidak dilakukan dengan struktur yang ketat dan formal, agar informasi yang dikumpulkan memiliki kedalaman yang cukup (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 17). Cara ini mampu mengorek kejujuran informan untuk memberikan informasi yang sebenarnya, terutama tentang bentuk gebyok, ragam hias, makna simbol, perubahan gebyok dan ragam hiasnya serta pengaruhnya dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus Manfaat penggunaan teknik ini adalah untuk mengkaji perubahan gebyok dan ragam hiasnya, pengaruh perubahan gebyok dan ragam hiasnya yang terjadi pada kehidupan budaya masyarakat Kudus dari para informan. Hasil yang diperoleh dari wawancara diposisikan sebagai data primer penelitian. Wawancara mendalam dilaksanakan dalam tahapan sebagai berikut: a. menentukan atau menyeleksi informan yang diwawancarai; b. pendekatan informan terpilih untuk diwawancarai; c. mempersiapkan alat bantu, yaitu (1) alat perekam suara; (2) alat tulis, (3) kamera dan (4) pedoman atau materi wawancara; commit to user
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. melakukan wawancara agar tetap kondusif dan produktif; serta dapat merangkum hasilnya. 3.4.4. Studi Dokumen Pengumpulan data yang bersumber dari berita media cetak dan laporan resmi. Selain itu, dalam penelitian ini termasuk di dalamnya analisis terhadap dokumen-dokumen berupa foto-foto.. Dengan demikian, peneliti dituntut melakukan kerja pengumpulan keseluruhan dokumen yang memuat informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan gebyok Kudus dari perpustakaan, data teks yang diperoleh dari studi dokumen ini diposisikan sebagai data sekunder penelitian. Dalam penelitian ini, semua teknik pengumpulan data tersebut tidak saja digunakan untuk memperoleh data, tetapi sekaligus sebagai bagian dari proses keabsahan data, karena untuk mendapatkan keabsahan data peneliti menggunakan teknik implementasi yang disebut dengan triangulasi data, yang memiliki tiga prosedur, yaitu pertama, membandingkan data observasi dengan data hasil interview; kedua, membandingkan informasi dari sumber satu dengan yang lainnya; dan ketiga, membandingkan hasil interview dengan dokumen yang terkait (Moleong, 1989:178). 3.5. Validitas Data Guna menjamin validitas data dalam penelitian ini maka peningkatan validitas data dilakukan dengan cara yang disebut triangulasi data ( data triangulation ) yaitu penelitian dengan menggunakan berbagai sumber data yang commit to user
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis atau sama (Sutopo. HB, 1988:21). Validitas data merupakan faktor yang penting dalam sebuah penelitian karena sebelum data dianalisis terlebih dahulu harus mengalami pemeriksaan. Validitas membuktikan hasil yang diamati sudah sesuai dengan kenyataan dan memang sesuai dengan sebenarnya ada atau kejadiannya (Nasution, 2003 : 105). Validitas data berguna untuk menentukan tingkat kepercayaan data yang diperoleh. Adanya tingkat kepercayaan yang tinggi menjadikan data yang digunakan semakin baik karena telah teruji kebenarannya dan merupakan jaminan bagi kemantapan kesimpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian (Sutopo, 2006 : 92). Untuk menguji validitas data dalam penelitian ini dipergunakan teknik trianggulasi. Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan validitas data yang menggunakan pandangan multiperspektif, sehingga untuk menarik kesimpulan yang mantap diperlukan tidak hanya dari satu cara pandang. Patton (dalam Sutopo, 2006:92) menyatakan ada empat macam teknik trianggulasi, yakni (1) trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3) trianggulasi metodologis, dan (4) trianggulasi teoretis. Namun dalam penelitian ini hanya digunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Trianggulasi data disebut juga trianggulasi sumber (Sutopo, 2006 :93). Teknik trianggulasi sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan penggunaan sumber, yaitu menggunakan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui beberapa sumber yang berbeda. Data diambil dari beberapa sumber, seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kudus, Ketua Klaster Ukir commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gebyok dan Rumah Adat Kudus secara kelembagaan serta perajin gebyok, secara personal data diambil dari perajin gebyok dan pengguna gebyok. Dengan adanya pembandingan sumber inilah maka akan diketahui tingkat validitas dari data. 3.6. Teknik Analisis Pada penelitian kualitatif, analisis data bersifat induktif, artinya penarikan simpulan yang bersifat umum dibangun dari data-data yang diperoleh di lapangan. Dalam prosesnya, analisis penelitian kualitatif dilakukan dalam tiga macam kegiatan, yakni (1) analisis dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data, (2) analisis dilakukan dalam bentuk interaktif, sehingga perlu adanya perbandingan dari berbagai sumber data untuk memahami persamaan dan perbedaannya, dan (3) analisis bersifat siklus, artinya proses penelitian dapat dilakukan secara berulang sampai dibangun suatu simpulan yang dianggap mantap. Dengan demikian, analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang, dan terus menerus (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Analisis yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisis model interaktif. Analisis interaktif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Sedangkan reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Setelah data dikumpulkan dengan teknik wawancara, commit to user observasi, dan analisis dokumen, dilakukanlah reduksi data.
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Reduksi data dalam penelitian ini terdiri atas beberapa langkah, yaitu (1) menajamkan
analisis,
(2)
menggolongkan
atau
pengkategorisasian,
(3)
mengarahkan, (4) membuang yang tidak perlu dan (5) mengorganisasikan data sehingga simpulan-simpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Selanjutnya dari buku yang sama dijelaskan reduksi data adalah, pengumpulan data ditempatkan sebagai komponen yang merupakan bagian integrasi dari kegiatan analisis data. Prosesnya berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian, dimulai sebelum proses pengumpulan data dimulai sampai bentuk laporan akhir penelitian selesai ditulis. Setelah reduksi data, langkah berikutnya dalam analisis interaktif adalah penyajian data. Penyajian data yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah dalam bentuk teks naratif, yang merupakan rangkaian kalimat yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga mampu menyajikan permasalahan dengan fleksibel, tidak “kering”, dan kaya data. Namun demikian, pada penelitian ini data tidak hanya disajikan secara naratif, tetapi juga melalui berbagai matriks dan tabel. Penyajian data dalam penelitian kualitatif dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, sehingga peneliti dapat melihat apa yang sedang terjadi. Dengan demikian, peneliti lebih mudah dalam menarik simpulan. (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik simpulan atau verifikasi. Langkah awal dalam penarikan simpulan atau verifikasi dimulai dari penarikan simpulan sementara. Penarikan simpulan hasil penelitian diartikan sebagai commit to user
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penguraian hasil penelitian melalui teori yang dikembangkan. Dari hasil temuan ini kemudian dilakukan penarikan simpulan teoretik (Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Kemudian simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tinjauan ulang pada catatan di lapangan atau simpulan dapat ditinjau sebagai makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya, kekokohan, dan kecocokannya. Namun demikian, jika kesimpulan masih belum mantap, maka peneliti dapat melakukan proses pengambilan data dan verifikasi, sebagai landasan penarikan kesimpulan akhir. Ketiga alur dalam analisis data kualitatif apabila digambarkan adalah sebagai berikut, PENGUMPULAN DATA SAJIAN DATA REDUKSI DATA
PENARIKAN KESIMPULAN VERIFIKASI
Gambar 3.1. Skema komponen-komponen data model interaktif Sumber : Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992
Anselm Strauss & Juliet Corbin (2007: 4) dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, mengatakan bahwa ”penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang temuannya tidak commit to user
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya”. Dalam menentukan metode yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh, perlu dipertimbangkan rumusan masalah, kerangka teori dan bentuk data yang dikumpulkan. Data akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif analitik. Prosedur yang ditempuh dalam analisis data, yaitu lebih menyerupai lingkaran kerja, karena setiap tahapan tidaklah dapat dipisahkan. Mula-mula hasil pengumpulan data direduksi (data reduction) melalui mengikhtisarkan dan memilah-milah ke dalam satuan konsep-konsep, kategori-kategori, dan tema penelitian. Kemudian, hasil reduksi data diorganisasikan ke dalam bentuk sketsa, sinopsis, dan matriks (display data) sehingga memudahkan upaya pemaparan dan penegasan simpulan. Semua data yang dibutuhkan baik data primer maupun data sekunder yang telah diperoleh baik melalui wawancara maupun inventarisasi data tertulis yang ada, kemudian diolah dan disusun secara sistematis untuk dianalisa secara kualitatif. Sehingga analisis ini diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang dapat disampaikan dalam bentuk deskriptif. Proses analisis data dalam penelitian ini meliputi berbagai tahapan. Pertama identifikasi data, yaitu mengumpulkan data primer, sekunder, dan data visual, baik yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi, wawancara maupun data dokumentasi. Setelah identifikasi data diselesaikan, dilanjutkan dengan commit to user
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tahapan ke dua, klasifikasi data yaitu memilih atau mengelompokkan data penelitian yang telah diidentifikasi sesuai dengan jenis dan sifat data. Tahap ke tiga adalah seleksi data, yaitu menyisihkan data yang kurang relevan dan tidak berkontribusi kebutuhan data pada pokok bahasan. Tahapan ke empat dilakukan analisis data sesuai dengan teori-teori yang sudah ditetapkan sebelumnya, baik menggunakan analisis tekstual maupun kontekstual. Selain itu dapat dijelaskan pula hubungan saling ketergantungan, dan sebab akibatnya (kausalitas), terutama keterkaitan antara produk yang dihasilkan dengan faktor konsumen, pasar, lembaga budaya dan masyarakat pendukung juga dapat dijelaskan. Tahap berikutnya adalah interpretasi data yang sudah terseleksi dirangkai dengan faktor-faktor menjadi satu kesatuan analisis yang harmonis dan dapat dipertanggungjawabkan. Model analisa diskriptif kualitatif yang digunakan ada tiga komponen analis, yaitu reduksi data, penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan atau verifikasinya, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data, sebagai suatu proses siklus.
commit to user
83