PERSPEKTIF PEMASARAN BAWANG MERAH DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH Perspective of Shallot Marketing in Brebes Regency, Central Java Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Trade liberalization creating the opportunity and challenge in the development of horticultural products. Trade will give an insentive for the farmers to increase their production in term of quantity and quality, and market is important to distribute the products. Shallot is one of the important horticultural product in Indonesia. Kabupaten Brebes is one of the famous production center of shallot, and the farmers still have a difficulty to sell their product. The objective of this paper is to understand the shallot marketing problem in Kabupaten Brebes. The results show that, the bargaining power of the farmers are still weak, long marketing channel, price fluctuated and unpredictable, farmers are not yet get enough benefit from the margin of market, and market infrastructures are not yet well develop. Therefore, limitation of imported shallot in the case of ilegal trade and policy to secure domestic market, developing partnership between farmers and traders and industries, arranging production pattern among production center, availability of market and price information for the farmers and developing market infrastructure such as farm road is necessary in developing bawang merah market. Key words : perspective, marketing, shallot ABSTRAK Liberalisasi perdagangan dapat memberikan peluang sekaligus tantangan baru dalam pengembangan komoditas hortikultura ke depan dan dalam perdagangan itu sendiri. Faktor utama adalah pemasaran. Bawang merah merupakan salah satu komoditas utama hortikultura, dengan Brebes sebagai salah satu sentra produksi. Pemasaran masih merupakan masalah bagi petani bawang merah. Tulusan ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan pasar bawang merah di Kabupaten Brebes. Hasil menunjukan bahwa harga bawang merah berfluktuasi dan sulit diramalkan, dominasi pedagang besar dalam penentuan harga, rantai pasar yang relatif panjang, serta sarana pasar dan transportasi yang belum berkembang dengan baik adalah masalah yang umum dihadapi petani bawang merah. Untuk mengatasi hal tersebut diatas diperlukan berbagai alternatif kebijakan yaitu : pembatasan jumlah impor, terutama penertiban perdagangan ilegal dan kebijakan yg mengutamakan keamanan pasar domestik, peningkatan kemitraan dg konsumen industri dan supplier/pedagang besar, dengan syarat petani bisa menjamin kontinuitas produksi dan kualitas, pengaturan pola produksi, bantuan untuk memperoleh silang informasi antarsentra dan pemantauan harga yang intensif masih sangat diperlukan, dan pengembangan infrastruture dan sarana pasar. Kata kunci : perspektif, pemasaran, bawang merah
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
PENDAHULUAN
Liberalisasi perdagangan dapat memberikan peluang sekaligus tantangan baru dalam pengembangan komoditas hortikultura ke depan. Dikatakan memberikan peluang karena pasar komoditas tersebut akan semakin luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antarnegara. Namun, liberalisasi perdagangan tersebut akan menimbulkan masalah jika komoditas hortikultura yang dihasilkan petani nasional tidak mampu bersaing dengan komoditas dari negara lain sehingga pasar domestik semakin dibanjiri oleh komoditas hortikultura impor, yang pada akhirnya akan merugikan petani nasional. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi nasional juga perlu diiringi dengan peningkatan daya saing dan efisiensi usaha komoditas hortikultura tersebut (Irawan et al., 2001). Hal yang senada juga dikemukakan oleh Adyana dan Suryana (1996), untuk mengantisipasi permintaan pasar ke depan kita harus bisa menciptakan : teknologi yang mampu meningkatkan produksi pertanian, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan menciptakan nilai tambah serta meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan struktur agribisnis menjadi tersekat-sekat dan kurang memiliki daya saing (Irawan et al., 2001) yaitu : (1) tidak ada keterkaitan fungsional yang harmonis antara setiap kegiatan atau pelaku agribisnis, (2) terbentuknya margin ganda sehingga ongkos produksi, pengolahan dan pemasaran hasil yang harus dibayar konsumen menjadi lebih mahal, sehingga sistem agribisnis berjalan tidak efisien, (3) tidak adanya kesetaraan posisi tawar antara petani dengan pelaku agribisnis lainnya, sehingga petani sulit mendapatkan harga pasar yang wajar. Pada sektor agribisnis hortikultura di kawasan sentra produksi hortikultura di JawaTengah dan Sumatra Utara, setiap kegiatan agribisnis mulai dari pengadaan sarana produksi, produksi, hingga pengolahan dan pemasaran hasil, serta jasa penunjang umumnya dilakukan oleh pelaku agribisnis yang berbeda (Saptana et al., 2000, Saptana et al., 2004). Dalam agribisnis hortikultura ada beberapa kekhasan yang dimiliki antara lain (1) usahatani yang dilakukan lebih berorientasi pasar, (2) bersifat padat modal, (3) risiko harga relatif besar karena sifat komoditas yang cepat rusak dan (4) dalam jangka pendek harga relatif berfluktuasi (Hadi et al., 2000; Irawan, 2001). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Sudaryanto et al. 1993 yang mengemukakan bahwa petani sayuran unggulan di sentra produksi pada saat panen raya berada pada posisi lemah. Lebih lanjut Rachman (1997) mengungkapkan bahwa, rata-rata perubahan harga ditingkat produsen lebih rendah dari rata-rata perubahan harga ditingkat pengecer, sehingga dapat dikatakan bahwa efek transmisi harga berjalan tidak sempurna (Imperfect price transmission). Keadaan ini menunjukkan bahwa pasar masih merupakan masalah bagi produk hortikultura. Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomis tinggi, baik ditinjau dari sisi pemenuhan konsumsi nasional, sumber penghasilan petani, maupun potensinya sebagai penghasil devisa negara. Sejalan
170
Perspektif Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
dengan peningkatan jumlah penduduk yang pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 239 juta orang, pasokan bawang merah yang harus terealisasi untuk memenuhi kebutuhan domestik diproyeksikan meningkat menjadi 976.284 ton (Deptan, 2007). Seperti halnya produk hortikultura lainnya, hingga saat ini pasar bawang merah masih merupakan kendala dalam pengembangan bawang merah. Tulisan ini bertujuan untuk melihat rantai pemasaran bawang merah dan memberikan alternatif saran kebijakan dalam meningkatkan efisiensi pasar bawang merah di Kabupaten Brebes.
METODOLOGI Penelitian dilakukan pada tahun 2007 tiga Kecamatan di Kabupaten 1 Brebes yang merupakan menjadi pusat produksi bawang merah di Indonesia . Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan mempergunakan pertanyaan terstruktur (kuesioner) terhadap petani dan pedagang sebagai pelaku tata niaga. Cakupan data yang dikumpulkan terdiri dari usahatani, saluran pemasaran, struktur pasar, harga, dan biaya, tata niaga dan permasalahannya. Penarikan contoh rumah tangga petani produsen dilakukan dengan stratified random sampling berdasarkan luas penguasaan lahan usahatani bawang merah dengan jumlah petani 30 orang. Penarikan contoh pedagang dilakukan dengan quota sampling, jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjawab permasalahan yang dipelajari dengan tetap berpegang pada prinsip representatif. Pengambilan contoh pedagang adalah : 6 pedagang pengumpul, 4 pedagang besar, 3 eks-importir. Selain itu, data primer diperoleh juga dari wawancara langsung dengan pelabuhan (karantina), Asosiasi Bawang Merah Indonesia, DLLAJR (jembatan timbang) dan beberapa dinas tekait. Metode Analisis Marjin Pemasaran dan Distribusi Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Untuk menganalisis marjin pemasaran dalam penelitian ini, data harga yang digunakan adalah harga di tingkat petani dan harga di tingkat lembaga pemasaran, sehingga dalam perhitungan marjin pemasaran digunakan rumus: Mm = Pe – Pf dimana: Mm = Marjin pemasaran di tingkat petani Pe = Harga di tingkat kelembagaan pemasaran tujuan pemasaran dari petani Pf = Harga di tingkat petani 1
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil Studi Pemasaran Bawang Merah di Direktorat Pemasaran Domestik, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
171
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
Marjin pada setiap tingkat lembaga pemasaran dapat dihitung dengan jalan menghitung selisih antara harga jual dengan harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Dalam bentuk matematika sederhana dirumuskan: Mm = Ps – Pb dimana: Mm = Marjin pemasaran pada setiap tingkat lembaga pemasaran Ps = Harga jual pada setiap tingkat lembaga pemasaran Pb = Harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran Karena dalam marjin pemasaran terdapat dua komponen, yaitu komponen biaya dan komponen keuntungan lembaga pemasaran, maka: Mm = c + π Pe – Pf = c + π Pf = Pe – c - π dimana: c = Biaya pemasaran π = Keuntungan lembaga pemasaran Analisis Deskriptif Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan tabel-tabel analisis dan diarahkan pada masalah pemasaran bawang merah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Tanam Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan dalam pemilihan pola tanam yang akan dilaksanakan. Menurut Shanner (1982), faktor-faktor itu adalah lingkungan fisik (tanah dan agroklimat), biologis, kondisi pengairan, tersedianya teknologi, sistem penunjang dan sumber daya petani sendiri. Pendapat tersebut didukung juga oleh Swastika et al. (2000), pola tanam selain dipengaruhi oleh adanya tingkat adopsi teknologi ditingkat petani, ketersediaan sarana irigasi, agroekosistem, juga dipengaruhi oleh kebiasaan petani dalam budidaya usahatani. Pola tanam bawang merah di Kabupaten Brebes adalah sebagai berikut : Pada Lahan sawah :
padi-bawang merah-bawang merah padi-bawang merah-bawang merah-bawang merah padi-bawang merah padi-(bawang merah + cabe merah)
Pada Tegalan :
172
Bawang merah-bawang merah-palawija Bawang merah-bawang merah-bawang merah
Perspektif Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
Pola tanam yang dominan adalah padi-bawang merah-bawang merah di lahan sawah dan bawang merah-bawang merah-palawija di tegalan. Panen raya bawang merah terjadi pada bulan Juli - Desember. Pola tanam tersebut dilaksanakan karena sudah dianggap biasa (70%), lebih menguntungkan, dan sesuai dengan musim. Pertanaman bawang merah tidak dilakukan serentak, terutama pada pergantian musim hujan ke musim kemarau. Meskipun tanam tidak serempak, puncak panen raya terjadi bulan Agustus. Dengan adanya variasi pola tanam yang berbeda pada setiap musimnya, dapat bermanfaat bagi petani terutama bahwa pengembangan komoditas bawang merah di luar musim (off seasson), di mana komoditas ini umumnya ditanam pada menjelang kemarau. Hal ini jelas akan berdampak positif terhadap kesinambungan pasokan atau kontiniutas penawaran bawang merah di pasaran.
Usahatani Usahatani bawang merah dicirikan oleh kebutuhan tenaga kerja yang cukup intensif sejak pengolahan lahan sampai dengan panen/pascapanen, dan modal yang cukup besar, seperti yang terlihat pada Tabel 1. Dalam kegiatan usahatani, keberadaan tenaga kerja merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan. Tenaga kerja sangat dibutuhkan pada saat mulai melakukan pembibitan, pengolahan lahan, tanam, pemeliharaan, menyemprot, pemupuk, panen, dan pascapanen. Rata-rata total tenaga kerja yang dibutuhkan per musim adalah 420 HOK per ha. Keberhasilan pengembangan budidaya tanaman bawang merah sangat ditentukan oleh intensitas upaya pemeliharaan tanaman yang dilakukan petani. Hal ini disebabkan karena tanaman bawang merah tidak saja rentan terhadap serangan hama/penyakit yang jenis maupun jumlahnya cukup banyak, namun juga rentan terhadap perubahan iklim, cuaca dan juga rentan terhadap persyaratan yang dibutuhkan untuk tumbuhan dan berkembang terutama ketersediaan air maupun kebutuhan pupuk sebagai media tumbuh. Dari total biaya usahatani, biaya tenaga kerja merupakan komponen yang paling besar, yaitu 43,75 persen pada MT1 dan 40,94 persen pada MT2. Sementara itu, kontribusi biaya pembelian bibit menduduki peringkat kedua sekitar 30 persen per musim tanam. Biaya sarana produksi (pupuk dan pestisida) berkisar antara 6-8 persen dan biaya lainnya, antara lain biaya pengairan dengan menggunakan pompa air sekitar 18-19 persen. Musim tanam pertama bawang merah dilakukan setelah lahan ditanami padi dan palawija. Sedangkan musim tanam bawang merah kedua dilakukan pada saat pergantian musim kemarau ke musim hujan. Total biaya yang diperlukan untuk budidaya bawang merah per musim tanam adalah Rp 30.493.000/ha pada MT1 dan Rp 26.230.00 pada MT2, dengan R/C ratio antara 1,60-1,80. Pendapatan petani sangatlah ditentukan oleh harga jual bawang merah dan produksi pada saat panen. Rata-rata harga bawang merah
173
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
basah sebesar Rp. 3.375 per kilogram dan harga bawang merah kering mencapai Rp. 5.000 sampai Rp. 6.000 perkilogram. Tabel 1. Analisa Usahatani Bawang Merah Tingkat Petani di Kabupaten Brebes (per Ha), 2007 MT1
MT2
Uraian Nilai (Rp) A.
%
Nilai (Rp)
%
Sarana produksi - Benih
9.072.000
29,75
8.706.500
33,19
- Pupuk
1.350.000
4,43
830.000
3,16
- Pestisida
1.231.000
4,04
954.000
3,64
11.653.000
38,22
10.490.500
39,99
- Persiapan benih
200.000
0,66
200.000
0,76
- Persiapan lahan
4.300.000
14,10
2.600.000
9,91
680.000
2,23
680.000
2,59
- Pemeliharaan
4.640.000
15,22
4.440.000
16,93
- Panen
3.520.000
11,54
2.820.000
10,75
13.340.000
43,75
10.740.000
40,94
5.500.000
18,04
5.000.000
19,06
Total biaya (A+B+C)
30.493.000
100
26.230.500
100
D.
Penerimaan (Produksi)
48.825.000
47.520.000
E.
Keuntungan
18.332.000
21.289.500
F.
R/C ratio
1.60
1.81
Sub-total A B.
Tenaga kerja
- Tanam
Sub-total B C.
Biaya lainnya
Keterangan : Tenaga Kerja mulai bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang (sebedug, sekesok, setengah hari) Upah tenaga kerja sudah termasuk biaya makan dan minum
Harga, Permintaan dan Penawaran Harga bawang merah sangat berfluktuasi, harga rendah pada saat panen raya dan meningkat saat jumlah produksi bawang merah menurun. Dari Tabel 2. terlihat bahwa fluktuasinya tidak terlalu tajam dan cenderung meningkat, namun terjadi fenomena yang berbeda pada tahun 2006 dimana pada bulan-bulan September-Oktober harga menurun dengan tajam. Perbedaan pada saat panen dan tidak panen sangat jauh berbeda. Fluktuasi harga ini sangat mempengaruhi pendapatan petani, harga yang menurun dengan tajam akan sangat merugikan petani bawang merah.
174
Perspektif Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
Tabel 2. Perkembangan Harga Produsen Bawang Merah (Rp/ku) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata
2004
2005
2006
2281 2397 3520 3363 3518 3307 3574 2798 3093 3224 3184 3815
2995 3043 4347 3860 3943 4465 5104 5264 5242 5253 5165 4444
4939 5199 6133 5293 6017 5968 5829 3373 2689 2280 3334 2435
3172.83
4427.083
4457.42
Komoditas bawang merah banyak diimpor, terutama untuk keperluan benih. Penerapan bea impor sebesar 5% bagi bawang merah konsumsi dan 0 persen untuk bawang merah bibit telah diberlakukan sejak tahun 1998. Keadaan ini masih kurang menguntungkan bagi petani akibat banyaknya impor yang mengatas- namakan benih selanjutnya dijual dalam bentuk bawang merah konsumsi terutama pada musim panen, sehingga sangat mempengaruhi turunnya harga bawang merah. Selain impor, Indonesia juga mengirim bawang merah ke negara-negara konsumen dalam jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan impor. Namun kecenderungan berubah, pedagang melihat peluang dagang dengan mengirim juga barang ke daerah produksi atau pengimpor bawang karena mekanisme harga. Bawang yang diperdagangkan di Brebes tidak hanya bawang produksi Kabupaten Brebes, tetapi juga bawang merah yang berasal dari sentra produksi bawang lainnya di Indonesia seperti Nganjuk (Jawa Timur) dan Cirebon (Jawa Barat). Pola produksi yang tidak teratur disebabkan oleh keadaan musim, ketersediaan air dan lahan untuk dikelola, tidak mempengaruhi permintaan yang terus ada sepanjang tahun dan relatif stabil kecuali pada hari-hari besar. Diasumsikan, bahwa ketersediaan yang ada adalah jumlah selisih impor-ekspor dan produksi. Jumlahnya cukup banyak dibandingkan dengan konsumsi dan kebutuhan konsumen institusi (hotel dan rumah sakit) serta bibit Tabel 3. Dalam keadaan surplus disinyalir adanya kontinuitas pengiriman bawang merah impor secara tidak legal ke sentra produksi seperti Brebes, walaupun data menunjukkan bahwa pada bulan-bulan tersebut tidak terjadi impor. Keadaan ini sangat mempengaruhi mekanisme pembentukan harga bawang merah di tingkat petani. Pada saat panen, dengan adanya impor tersebut jumlah penawaran menjadi lebih tinggi dan harga dengan mudah ditentukan oleh pedagang mengikuti kaidah penawaran dan permintaan.
175
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
Tabel 3. Permintaan dan Penawaran Bawang Merah di Brebes sebagai Basis Pemasaran Bawang Merah di Indonesia 2005-2006 (Ton) Bulan
penawaran
Januari 29,630 Pebruari 15,384 Maret 22,789 April 17,997 Mei 24,777 Juni 27,002 Juli 32,816 Agustus 20,667 September 21,555 Oktober 331 Nopember 10,475 Desember 56,873 Sumber: BPS (2005,2006)
2005 permintaan
Selisih
penawaran
2006 permintaan
selisih
37,467 19,811 4,831 3,729 21,471 33,720 41,978 21,924 26,417 3,114 16,392 64,966
-7,837 -4,426 17,958 14,267 3,306 -6,718 -9,162 -1,257 -4,862 -2,783 -5,917 -8,093
26,932 26,072 26,270 29,282 31,202 38,273 24,137 31,738 21,346 -2,714 4,210 3,794
21,655 10,778 7,427 11,852 36,404 46,790 27,558 29,138 23,077 3,342 6,718 4,382
5,277 15,294 18,844 17,430 -5,202 -8,517 -3,421 2,601 -1,731 -6,055 -2,507 -587
Rantai Pasar Di Kabupaten Brebes Terdapat beberapa jenis saluran pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes. Pola yang paling umum, pemasaran diawali dari petani/produsen yang menjual komoditas tersebut ke pedagang pengumpul tingkat desa/bakul kemudian pedagang pengumpul tingkat desa menjualnya lagi ke padagang pengumpul tingkat kecamatan/kabupaten dan kemudian didistribusikan ke pedagang besar/ bandar. Pedagang besar/bandar akan mendistribusikannya ke padagang luar daerah produksi, ke pasar induk, ke pedagang antarpulau maupun eksportir. Selain pola umum tersebut diatas terdapat berbagai pola, dimana petani bisa langsung menjual ke pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten yang kemudian menjualnya ke pedagang besar atau ke pedagang pengecer setempat (Brebes) untuk dijual langsung ke konsumen akhir di Brebes. Tanpa melalui saluran pedagang besar, pedagang pengumpul kecamatan dapat langsung menjual ke pedagang antarpulau. Hal ini terjadi pada pedagang di Pasar Induk Bawang Klampok, yang saat ini banyak membuka lapak-lapak sendiri apalagi pada saat panen. Atau pedagang antar pulau tersebut masuk ke sentra produksi untuk mencari bawang merah. Dalam jumlah kecil terdapat pola kemitraan antara petani dengan PT Indofood. Pada awalnya kemitraan dilakukan dengan kelompok tani dengan fasilitator Dinas Pertanian Kabupaten Brebes, tetapi kemitraan ini tidak bisa berjalan dengan baik. Dengan meningkatnya kebutuhan PT Indofood akan bahan baku, PT Indofood menjalin kerja sama dengan petani dengan skala produksi menengah atas yang mampu menjamin kontinuitas penawaran baik secara jumlah maupun kualitas. Saluran pemasaran tersebut dapat terlihat pada Gambar 1.
176
Perspektif Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
Petani
Industri pengolahan
Pdg pengumpul desa/calo
Pdg pengumpul kec./kab
Pedagang pengecer Brebes
Exporterimportir
Pedagang besar
Pedagang antar pulau
Pedagang pasar induk
Konsumnen akhir Brebes
Gambar 1. Rantai Pemasaran Bawang Merah di Brebes, 2007 Pelaku Pemasaran dan Pasar Studi klasik umumnya melihat aktifitas pemasaran lokal terpusat di sekitar pasar. Pasar adalah tempat pemasaran berbagai komoditas yang terkonsentrasi pada satu tempat yang dibuat oleh pemerintah lokal/daerah. Pada setiap orang yang menjual komoditas dikenakan retribusi sebagai kompensasi dari penggunaan fasilitas pasar. Tetapi pada saat ini tidak tertutup kemungkinan bahwa pasar terdapat dimana-mana seperti : dipinggir jalan, disekitar ladang/kebun Kondisi yang sama juga terlihat dalam komoditas bawang merah, untuk membantu petani pemerintah membuat Pasar Induk Bawang Merah Klampok (PIBMK). Tujuan semula pemerintah daerah membangun Pasar Induk Bawang Merah Klampok untuk memfasilitasi petani dalam menjual barangnya sehingga tidak perlu melalui tengkulak dan rantai menjadi lebih pendek atau dengan kata lain bagian harga yang diterima petani akan sedikit meningkat. Di pasar ini bawang dikumpulkan kemudian dibersihkan sebelum dipasarkan keluar daerah
177
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
Dalam pelaksanaannya ternyata PIMBK ini kurang berkembang, ada beberapa kendala yang timbul, yaitu : a. Bangunan fisik tidak memadai untuk menampung volume keluar masuknya barang terutama pada musim panen raya b. Target PAD terlalu tinggi setiap tahun yang memungut pungtan yang tinggi terhadap pelaku pasar yang menjual barangnya di pasar ini. Dari 60 pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten yang menjual barangnya disini sekarang hanya tinggal 4 pedagang kabupaten yang memasarkan bawangnya disini, yang banyak hanya pedagang eceran dan pengumpul desa saja. c.
Tingginya target PAD tidak sesuai dengan kemampuan PIBMK menyerap bawang petani. Kemampuan menyerap hanya 34 persen tahun 1998 dan pada tahun 2000 hanya 4 persen.
d. Mekanisme anggaran pemerintah daerah menyebabkan pasar kurang terawat baik dan terlihat kotor, sehingga pasar kurang menarik. Banyak pedagang luar daerah yang akhirnya mencari bawang merah dilapak-lapak yang tersebar di berbagai daerah di Brebes. Selain kendala diatas, bagi petani ada beberapa hal yang menyebabkan mereka tidak tertarik menjual dipasar induk tersebut. Adapun kegiatan yang memberatkan petani selain retribusi adalah : ongkos angkut ke pasar dan kecurangan dalam penimbangan dalam bentuk pemotongan 25 – 30 persen per kwintal. Dengan kondisi tersebut secara lambat laun timbullah pasar bayangan atau biasa disebut pasar lelang/transaksi. Pada pasar ini yang menjadi tokoh penting adalah calo dan umumnya para calo akan mendapatkan jasa 2,5 persen dari setiap transaksi. Keberadaan calo dalam perdagangan bawang merah memberikan jaminan keamanan bagi petani dalam memasarkan bawangnya, terutama dalam memperoleh bayaran dalam waktu yang tepat. Munculnya calo terkait dengan sifat komoditas bawang merah yang susut dan cepat busuk dan harga berfluktuasi. Di pasar ini calo hanya membawa contoh barang yang akan dijual. Pembeli umumnya pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten. Setelah transaksi disepakati, barang tinggal diambil digudang atau dikebun. Petani lebih menyukai pasar ini karena bebas dari retribusi dan tidak ada pengurangan timbangan. Selain pasar tersebut, ada juga pasar yang bergerak yang datang ke rumah petani dimana aktor utama dari pasar ini adalah pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul bisa membeli ke rumah petani (tunai) atau membeli di ladang petani (tebasan). Cara seperti ini dianggap petani sangat menguntungkan, karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transpor. Sebenarnya pedagang pengumpul ini merupakan agen-agen dari pedagang besar. Agen-agen pemasaran ini bertingkat dari tingkat yang paling rendah yang ditandai dengan skala usaha yang kecil (250 ton/musim) hingga yang besar dengan skala usaha yang besar (>7000 ton/musim).
178
Perspektif Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
Selain pasar tersebut, ada juga pasar dadakan dalam bentuk lapak-lapak bawang merah yang biasanya muncul pada saat panen raya. Sehingga tidaklah heran para pembeli, pedagang antarpulau bisa langsung masuk ke lokasi produksi.
Infrastruktur dan Pelaku Pasar Dengan kondisi infrastruktur yang baik, makin banyak pedagang yang masuk ke daerah produksi. Hal ini menyebabkan kompetisi antarpedagang semakin banyak, diperkirakan terdapat lebih dari 200 pedagang pengumpul desa/calo yang beroperasi di daerah produksi Kabupaten Brebes (Tabel 4). Keadaan ini menunjukkan terjadinya persaingan yang ketat antarpedagang, dan petani dapat memilih kepada pedagang mana mereka menjual dengan pertimbangan harga. Disamping harga, untuk mengatasi persaingan antarpedagang, hubungan langganan harus dipertahankan untuk memperolah barang dagangan. Tabel 4. Karakteristik Pelaku Pemasaran Bawang Merah di Daerah Produksi Brebes, 2007 Jenis pelaku
Perkiraan jumlah (pedagang)
Aktifitas utama
Kemampuan modal
Kekuatan membangun relasi
Pedagang pengumpul desa/calo *
200-300
Memasarkan barang petani atau mencari barang untuk pedagang
Terbatas (lebih sering tanpa modal)
Terbatas pada petani atau pedagang tertentu
Pedagang kecamatan/kab .
40
Membeli dan mengolah bawang merah dari calo
Cukup baik
Mempunyai relasi dengan banyak calo dan pedagang antarprovinsi. Bergabung dalam ABMI
Pedagang antarprovinsi
25 (temporer)
Membeli barang dilapak pedagang atau Pasar Bawang Klampok
Cukup besar
Mempunyai hubungan baik dengan pedagang kabupaten
Pedagang besar/supplier
6
Membeli bawang dari pedagang pengumpul desa dan kabupaten
Besar
Mempunyai hubungan baik dengan berbagai pelaku perdagangan baik di sentra produksi, di pasar induk maupun eksportir/importer
Pengecer lokal
200
Membeli bawang dengan kemampuan beli 5-10 kg per hari
Sangat terbatas
Tidak ada relasi
* jika mempunyai modal cukup, berfungsi sebagai pedagang pengumpul
Pedagang-pedagang besar dari luar daerah akan langsung membeli produk ke daerah produksi jika pedagang pengumpul desa/calo tidak dapat memenuhi permintaan mereka dalam jumlah besar. Dengan masuknya pedagang kabupaten dan pedagang antarpulau ke desa dan langsung membeli pada petani maupun pedagang pengumul desa, rantai pemasaran menjadi lebih pendek dan biaya pemasaran dapat lebih efisien. Dari keadaan ini diharapkan bagian harga
179
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
yang diperoleh petani bisa meningkat. Dengan kata lain, pengembangan infrastruktur, terutama sarana transportasi, bisa mengurangi kemungkinan terjadinya monopsoni dan monopoli di sentra produksi. Pedagang besar jumlahnya hanya sekitar 6 orang, dalam beraktifitas mereka didukung oleh pedagang pengumpul kecamatan yang berjumlah sekitar 40 orang. Selain pedagang mereka juga menguasai lahan-lahan produksi yang luas. Seorang pedagang besar bisa menguasai ratusan bahu (1 bahu kira-kira 0.7 ha) lahan bawang merah. Ini bisa diartikan bahwa mereka dapat mengatur pola tanam/produksi, mengetahui informasi diluar Brebes. Dengan kenyataan ini maka sangat wajar apabila mereka bisa mengatur harga jual bawang merah.
Keragaan dan Dinamika Pemasaran Dalam memasarkan bawang merah petani lebih suka menjual dengan cara ditebas (50%), ditimbang (45%) dan ijon (5%) (Lampiran 1). Kebiasaan menjual ditebas disebabkan petani tidak mau repot dan mengeluarkan biaya panen, angkut, biaya pascapanen, dan yang lebih penting dibayar tunai. Kebiasaan ini dipertegas dari produk yang dijual dalam bentuk ikatan kotor/basah, artinya pedagang yang akan membersihkan, menjemur, mengepak, dan mengangkut. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (1997 – 2007), telah terjadi perubahan yang cukup nyata dalam tujuan pasar petani. Pada tahun 1997 petani seluruhnya menjual produksi bawang merah ke pedagang desa, tetapi pada tahun 2007 petani sudah ada yang menjual ke pedagang kecamatan dan pedagang besar (Tabel 5). Hal ini menggambarkan bahwa petani tidak terpaku lagi untuk menjual pada pedagang pengumpul desa, tetapi mereka bisa memilih pasar dengan menjual langsung ke pedagang kecamatan/kabupaten atau bahkan ke pedagang besar. Tabel 5. Dinamika Tujuan Pasar Petani di Daerah Produksi Brebes, 1997-2007 Cara bayar (%) % volume penjualan
Harga (Rp/kg)
Tujuan pasar 1997 a. Pedagang pengumpul desa b. Pedagang besar
100 0
2775 0
93 0
0 0
7 0
Tujuan pasar 2007 a. Pedagang pengumpul desa b. Pedagang pengumpul kec. c. Pedagang besar
75 15 10
6250 6750 8300
80 75 75
0 0 0
20 25 25
Uraian
tunai
bayar kemudian
Lainnya
Penetapan harga antara petani dengan pedagang dilakukan dengan tawar menawar, petani akan memilih menjual barangnya pada pedagang yang menawarkan harga yang lebih tinggi, kecuali pada langganan. Pada yang
180
Perspektif Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
mempunyai hubungan langganan, saling percaya antara petani dan pedagang telah ada, dimana pedagang akan memberikan harga yang berlaku dipasaran kepada petani langganannya. Strategi untuk memperoleh barang untuk memenuhi permintaan konsumen dilakukan pedagang besar dengan berbagai cara. Hal ini terutama untuk memenuhi kuota permintaan langganannya di daerah lain, dengan jaringan pemasaran yang luas dalam jumlah besar dan untuk menjaga kontinuitas pasokan baik dalam jumlah maupun kualitas. Cara-cara yang ditempuh diantaranya: (a) Menjalin hubungan dagang dengan penjual dan pembeli dengan memberikan pelayanan yang baik, harga, pembayaran yang tepat; (b) Mempunyai jaringan pembelian di tingkat yang lebih rendah dengan mempunyai pemasok tetap (kaki tangan di tingkat desa dan kecamatan) dan jaringan pasar yang baik dengan integritas penjualan yang baik dalam arti penyediaan penawaran secara terus menerus sesuai dengan permintaan pasar baik dari segi kuantitas maupun kualitas dan managemen yang terkendali; (c) Jeli melihat peluang, terutama dengan menganalisis harga (terutama bagi pedagang besar). Barang yang sama bisa keluar dan masuk sesuai dengan fluktuasi harga dilokasi pembelian maupun penjualan. Seperti contohnya : saat harga bawang impor lebih rendah. impor bawang masuk ke Brebes dan kemudian di ekspor kembali ke negara/tujuan asal karena harga bawang asal Brebes lebih tinggi. Dalam hal persaingan harga, terdapat persaingan harga dalam pembelian, namun tidak terlihat jelas karena perbedaannya tidak terlalu jauh. Namun dalam hal penentuan harga dasar pembelian disinyalir adanya hubungan atau komunikasi diantara pedagang besar dalam penentuan harga beli. Kualitas barang yang dijual berbeda antara tujuan pasar. Untuk tujuan pasar domestik, terutama pasar tradisional, kualitas yang diperdagangkan adalah kualitas asalan, dimana pengeringan tidak terlalu lama, masih basah tanpa sortir. Untuk pasar luar Jawa, dilakukan penanganan yang lebih baik, dalam hal ini pengeringan dan sortir, dibandingkan untuk pasar tradisional. Kualitas yang paling baik digunakan untuk komoditas ekspor. Kriteria kualitas terutama dilihat dari kekeringan dan aromanya..
Marjin Pemasaran Perhitungan marjin pemasaran dibawah ini didasarkan pada pola pemasaran dominan di Kabupaten Brebes, yaitu : petani ke pedagang pengumpul desa. Dari pedagang pengumpul desa ke pedagang pengumpul kecamatan/ kabupaten. Dari pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten ke pedagang besar. Dari pedagang besar ke pedagang pengecer. Terakhir ke konsumen. Harga pembelian bawang merah di tingkat pedagang pengumpul desa/ calo terhadap petani Rp 6.250/kg dan dijual kembali dengan harga Rp 6.750/kg. Hasil analisis marjin pemasaran bawang merah dari petani dengan tujuan pemasaran pedagang pengumpul diperoleh marjin sebesar Rp 500/kg (Tabel 6).
181
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
Cukup tingginya marjin pemasaran di level ini disebabkan oleh rendahnya biaya pemasaran yang harus ditanggung pedagang. Dilihat dari sisi petani/produsen, tampak bahwa harga yang diterima petani sekitar 71,43 persen dari harga yang dibayarkan konsumen. Harga di petani ini tampaknya tidak terlalu jauh dengan harga yang dibayarkan konsumen. Sistem pembayaran terhadap petani biasanya tempo sekitar satu hari setelah bawang merah yang diperdagangkannya terjual. Tabel 6. Marjin Pemasaran Bawang Merah, 2007 Uraian
Marjin (Rp/kg)
Share (%)
Petani Harga jual bawang merah kering
6250
71,43
a. Marjin pemasaran - Biaya - Keuntungan
122,5 377,5
1,40 4,31
b. Harga jual
6750
77,14
210 490
2,40 5,60
7450
85,14
261 589
2,98 6,73
8300
94,86
250 150
2,86 1,71
8750
100,00
Pedagang pengumpul desa/calo
Pedagang pengumpul kec/kab a. Marjin pemasaran - Biaya - Keuntungan b. Harga jual Pedagang besar a. Marjin pemasaran - Biaya - Keuntungan b. Harga jual Pengecer a. Marjin pemasaran - Biaya - Keuntungan b. Harga jual/harga beli konsumen
Selanjutnya pedagang besar yang menurut istilah setempat dapat merupakan bandar pengepakan atau pedagang yang memiliki volume perdagangannya cukup besar dan dapat mengirim ke berbagai tujuan pemasaran, seperti supplier eksportir dan pengecer. Harga rataan pembelian sebesar Rp 7.450/kg dan harga penjualan sebesar Rp 8.300/kg. Dengan harga beli di tingkat konsumen sebesar Rp 8.750/kg, marjin di tingkat pengecer terendah dibandingkan dengan pedagang lainnya yaitu sebesar Rp 400/kg. Tujuan pemasaran bawang merah pada pedagang besar ini cukup bervariasi. Pedagang besar yang menjual bawang merah ke Luar Jawa ada yang melakukannya secara langsung misalnya ke Kalimantan dan Sumatra. Di sisi lain,
182
Perspektif Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
terdapat pedagang besar yang melakukan kerja sama dengan pedagang antar pulau dan eksportir. Pedagang besar akan mengirim bawang merah sampai di Pelabuhan Tanjung Priok dan selanjutnya ekportir yang membawa dari pelabuhan itu hingga tujuan luar negeri. Kualitas bawang merah yang diperdagangkan untuk tujuan ekspor biasanya kualitas baik (Grade I). Bila dilihat dari segi perolehan rataan marjin pemasaran pada pedagang besar yaitu sebesar Rp 850/kg, lebih tinggi dibandingkan dengan marjin di level pedagang pengumpul desa. Hal ini disebabkan rataan harga jual di level pedagang besar relatif lebih tinggi (Rp 8.300/kg). Harga di pasaran akan selalu berfluktuasi tergantung akan: (1) melimpah tidaknya supplai di pasaran; dan (2) kondisi yang ada, misalnya saat sepi pengunjung/pembeli ke pasar maka harga akan jatuh dan saat ramai pembeli maka harga akan stabil.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan Usahatani bawang merah dicirikan oleh kebutuhan tenaga kerja yang cukup intensif, dan cukup menguntungkan dengan R/C rasio berkisar antara 1,60 dan 1,80. Namun permasalahannya terletak pada pasar. Harga yang sangat berfluktuasi dan mekanisme penentuan harganya masih didominasi oleh pedagang besar yang disinyalir dapat meningkatkan penawaran diluar produksi petani dengan impor, merupakan masalah yang sangat mempengaruhi pendapatan petani. Kekuatan pedagang besar cukup baik, yang diakibatkan oleh pemilikan modal yang besar dan akses yang baik dengan berbagai pelaku pasar, sehingga dengan cepat bisa mengetahui berbagai informasi pasar. Secara umum rantai pasar masih relatif panjang, kemitraan yang ada masih belum berjalan dengan baik. Pasar Induk Bawang Merah yang didirikan di Brebes belum bisa berfungsi dengan baik, manajemennya masih perlu ditingkatkan. Peran pedagang pengumpul desa/calo masih dominan sebagai pedagang yang berhubungan langsung dengan petani. Petani sulit memasarkan sendiri barangnya tanpa melalui agen-agen tesebut. Petani merasa aman jika barangnya dipasarkan pada pedagang pengumpul desa, karena merasa yakin bahwa barangnya akan laku terjual dan pembayarannya akan tepat waktu seperti yang dijanjikan. Dengan berkembangnya infrastruktur diperdesaan, terutama sarana transportasi, telah meningkatkan jumlah petani yang bisa menjual langsung barangnya ke pedagang besar, sehingga bisa memperpendek rantai pasar.
Implikasi Kebijakan Untuk mengurangi fluktuasi harga dan peran pedagang besar dalam penentuan harga, pembatasan jumlah penawaran selain produksi petani bisa
183
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
dilakukan dengan pembatasan jumlah impor, terutama penertiban perdagangan ilegal dan kebijakan yg mengutamakan keamanan pasar domestik. Ketimpangan marjin pasar dan untuk memperpendek rantai pasar, kemitraan dengan konsumen industri dan supplier/pedagang besar perlu ditingkatkan, dengan syarat petani bisa menjamin kontinuitas produksi dan kualitas. Struktur pasar masih relatif sempurna, tetapi penentu harga masih didominasi pedagang besar/kabupaten. Untuk mengurangi dominasi ini pengaturan pola produksi, bantuan untuk memperoleh silang informasi antar sentra dan pemantauan harga yang intensif masih sangat diperlukan. Demikian juga dengan pengembangan infrastruktur perdesaan, terutama sarana transportasi akan mempermudah petani memasarkan produknya ke pedagang-pedagang besar maupun pedagang dari luar daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O dan A. Suryana, 1996. Pengkajian dan Pengembangan Sistem SUP Berorientasi Agribisnis. Makalah disampaikan pada Rakor Badan Agribisnis. Bogor Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah. Jakarta. Basri,I. 1998. Peranan Pasar Induk Kramat Jati Dalam Pemasaran Sayur Mayur di Jakarta. Thesis MS, FPS-IPB Bogor, Jurusan Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Gonarsyah, Isang. 1992. Peranan Pasar Induk Kramat Jati Sebagai Barometer Harga Sayur Mayur di Wilayah DKI Jakarta. Mimbar Sosek, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (5):43-48. Hadi, P.U., Mayrowani, H. Supriyati dan Sumedi. 2000. Review and Outlook Pengembangan Komoditas Hortikultura. Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Irawan, B. Nurmanaf, R. Hastuti,E.L. Muslim, C. Supriatna, Y. Darwis,V. 2001. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Mayrowani, H dan Valeriana, D. 2007. Studi Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Laporan Hasil Penelitian. Ditjen BP2HP. Departemen Pertanian Pakpahan, A. 1989. Perspektif Ekonomi Institusi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ekonomi dan Keuangan Indonesia. 37(4) : 445-464 Rachman, H.P.S. 1997. Aspek Permintaan, Penawaran dan Tata niaga Hortikultura di Indonesia. Forum Agro Ekonomi 15 (1&2) : 44-56. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
184
Perspektif Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
Saptana, M.Siregar, Sri Wahyuni, Saktyanu, K.D, E. Ariningsih dan V. Darwis. 2004. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KAAS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Saptana, Sumaryanto, M.Siregar, H.Mayrowani, I. Sadikin dan S.Friyatno. 2001. Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Schmid, Allan A. 1987. Property, Power and Public Choice. An Inguiry Into Law and Economics. Praeger. New York Westport, Connecticut. London. Sudaryanto,T. Yusdja,Y. Purwoto, A. Noekman, K.M, Bwariyadi,A dan Limbang, W.H. 1993. Agribisnis Komoditas Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Swastika. D.K.S, Made O.A, Nyak.I, Reni.K, Bambang.W dan Spoeprapto. 2000. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Pertanian Utama di Indonesia. Laporan Hasil Penelitan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. TIM IPB. 1990. Prospek Pengembangan Pasar Induk Sayuran Dalam Pengembangan Wilayah DKI Jakarta. Jurusan Sosial Ekonomi IPB. Bogor.
185
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
Lampiran 1. Pembelian dan Penjualan Bawang Merah oleh Pedagang dalam 1 Musim
No
Uraian
1.
Volume (ku)
2.
Cara beli/jual (%)
Lembaga pemasaran pdg pengumpul pdg pengumpul pdg besar desa/calo kec/kab pembelian penjualan pembelian penjualan pembelian penjualan 250
250
a. tebas
50
b. timbang
45
c. ijon
1450
100
1450
100
7500
100
7500
100
100
5
d. lainnya 3.
Waktu (hari set panen)
4.
Bentuk produk (%)
1,2
a.ikatan bersih/kering
45
b.ikatan kotor/basah
55
3,4
100
100
5,6
100
100
100
c.protolan 5.
Biaya (Rp/ku)
6.
Cara pembayaran (%) a.tunai
181000 70
7.
37900
65
65
65
65
5
5
5
5
5
30
30
30
30
30
30
30
75
75
30
75
100
70
25
25
70
25
b.panjar c.berjangka
25000
65
d. lainnya Alasan menjual ke pedagang (%) a. harga lebih murah b. langganan c. terikat kontrak d. ketersediaan cukup e. bebas tanpa ikatan
186