DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA TERHADAP PENURUNAN AKTIVITAS ENZIM ASETILKOLINESTERASE PADA PETANI BAWANG MERAH (STUDI KASUS KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH)
EVY NURYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
ABSTRAK
EVY NURYANA. Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Asetilkolinesterase Pada Petani Bawang Merah. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN dan DYAH ISWANTINI PRADONO. Peningkatan agroindustri berkaitan dengan peningkatan penggunaan pestisida untuk membasmi hama dan penyakit tanaman. Jenis pestisida yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah golongan organofosfat dan karbamat, yang merupakan penghambat enzim asetilkolinesterase (AChE). Kandungan AChE dapat digunakan seb agai penanda biologis terjadinya keracunan pestisida. Penelitian bertujuan mengetahui dampak penggunaan pestisida terhadap penurunan aktivitas enzim AChE petani. Daerah penelitian adalah desa Sisalam, Jagalempeni dan Kedunguter Kabupaten Brebes. Kandungan AChE diukur dengan spektrofometer, menggunakan reagen S-butiril tiokholin iodida. Data mengenai kondisi petani, lama dan seringnya menggunakan pestisida, teknik dan perlengkapan pelindung, dikumpulkan dari petani yang diambil darahnya. Hasil penelitian menunjukan di Desa Sisalam 3 orang keracunan sedang (10,71 %) dan 5 orang keracunan ringan (17,86 %), Desa Jagalempeni 6 orang keracunan ringan ( 24 %) serta Desa Kedung Uter 5 orang keracunan ringan (19,23 %). Pengetahuan petani Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) lebih tinggi dibandingkan dengan non SLPHT pada semua jenjang pendidikan. Penurunan aktivitas enzim AChE dipengaruhi oleh penggunaan alat pelindung diri, jenis bahan aktif, toksisitas pestisida, lamanya waktu terpapar dan sebagainya. Penurunan aktivitas enzim AChE disebabkan keracunan organofosfat dan karbamat, karena kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) normal. Gejala keracuanan seperti sakit kepala, penglihatan kabur, mata berair, mual, kram, lemas, dada tertekan, lemah, kaku dan otot wajah kaku sering diderita sebag ian besar petani walaupun kandungan AChE masih normal. Dari hasil penelitian ini perlu diadakan penyuluhan mengenai cara penggunaan pestisida yang baik, dengan menekankan pentingnya pemakaian alat pelindung diri oleh petani. Kata kunci : asetilkolinesterse, pestisida, petani
ABSTRACT
EVY NURYANA. Impact of Pesticide Application On Declining Activity of Acetylcholinesterase among shallot farmers. Supervised by LATIFAH K DARUSMAN and DYAH ISWANTINI PRADONO Development of agro industry is closely related to increasing use of pesticide in eradicating pests and plant diseases. The kinds of pesticides commonly used in Indonesia are those of organophosphate and carbamat. These pesticides inhibit acethylcholinesterase enzyme. This acethylcholinesterase enzyme concentrate in the body can be used as a biological indicator of pesticide poisoning. The research was conducted among shallot farmers applying pesticide in their farming. The locations of the research were villages of Sisalam, Jagalempeni, and Kedung Uter in Brebes Regency. The concentrate of acethylcholinesterase (AChE) was measured with a spectrophotometer involving a reagent of S-butiryl tiocholine iodide. The periode, frequently, and using of equipment during the farmer work, that had been collected by quistioner/dialogue. The result indicated that three farmers in Sisalam village experienced medium poisoning (10,17%) and five others were in light poisoning condition (17.86%). In Jagalempeni village 6 farmers were in slightly poisoned condition (24%) while five farmers in Kedung Uter village were also slightly poisoned (19,23%). Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) farmers have more knowledge than the non SLPHT ones in all levels of educatio n. Declining activity of acethylcholinesterase enzyme was mostly due to farmers’ carelessness in handling pesticides, the absence of protecting equipment during spraying, the kind of pesticide active materials, pesticide toxicity, the exposure duration, and so on. The declining activity of acethylcholinesterase activity among farmers was caused by organophosphate poisoning and that of carbamat as the concentrate of glutamate piruvat transamine enzyme (GPT) among all farmers was in a normal level. The symptoms of getting poisoned such as a headache, a chest pain, hard of sight, watering eyes, feeling sick, getting crammed, feeling weak, and stiffening. Feeling sick and stiffening face muscles are often suffered by farmers despite the normal concentrate of acethylcholinesterase (AChE) in their blood. Due to these obtained figures to propose encouragement to the proper use of pesticides while stressing the importance of the uses of protective devices by these farmars. Key word : acethylcholinesterase, pesticide, the farmer.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : DAMPAK
PENGGUNAAN
PESTISIDA
TERHADAP
PENURUNAN
AKTIVITAS ENZIM ASETILKOLINESTERASE PADA PETANI BAWANG MERAH. (Studi Kasus Kabupaten Brebes Jawa Tengah). adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Juni 2005
EVY NURYANA P025014061
DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA TERHADAP PENURUNAN AKTIVITAS ENZIM ASETILKOLINESTERASE PADA PETANI BAWANG MERAH (STUDI KASUS KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH)
EVY NURYANA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
@ Hak cipta milik Evy Nuryana, tahun 2005 Hak cipta dilindung Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagaina atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi. Mikrofilm dan sebagainya
Judul Tesis
Nama NIM
: Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Asetilkolinesterase Pada Petani Bawang Merah. (Studi Kasus Kabupaten Brebes Jawa Tengah) : Evy Nuryana : P025014061
Dis etujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Latifah K.Darusman, M.S. Ketua
Dr. Dyah Iswantini Pradono, M.Agr. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal ujian : 13 Juni 2005
Tanggal lulus :
PRAKATA
Dengan mengucap puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini, dengan judul Dampak Penggunaan Pestisida terhadap Penurunan Aktivitas Asetilkolinesterase Pada Petani Bawang Merah. (Studi Kasus Kabupaten Brebes Jawa Tengah). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Latifah K.Darusman, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Dyah Iswantini Pradono, MAgr selaku Anggota Komisi Pembimbing. Terima kasih kepada Dirjen PPM dan PL, Direktur Penyehatan Lingkungan, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan serta kepada Bagian Proyek Peningkatan Surveilans Pusat Provincial Health Project (PHP II) Jakarta yang telah memberikan beasiswa. Ucapan terima kasih juga kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, atas bantuannya dalam penelitian ini.
Bogor, Juni 2005
Evy Nuryana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pemalang pada tanggal 31 Januari 1968 sebagai anak pertama dari pasangan H. Muhamad Rifai dengan Hj. Sofro Rifai, menikah dengan Sunaryo, S .Kom dan dikaruniai seorang putra Zaki Kamal Saputra. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Kimia, Universitas Pakuan Bogor, lulus sarjana pada tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Proyek Peningkatan Surveilans Pusat Provincial Health Pro ject (PHP II) Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penulis bekerja di Direktorat Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan sejak tahun 1999 sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Daftar Isi ……………………………………………….……………………
Halaman viii
Daftar Tabel ………………………………………………..…………….…
x
Daftar Gambar ………………………………….…………………………...
xii
I.
II.
III.
IV.
V.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1.2. Tujuan Penelitian...………………………..……………........... 1.3. Manfaat Penelitian..…………………………………………… 1.4. Perumusan Masalah………………………………....…............ 1.5. Kerangka Pemikiran..…………………..………….………….. 1.6. Hipotesis………………………………………………………. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pestisida……………………………………………. 2.2. Penggolongan Pestisida………………………………………... 2.3. Insektisida……………………………………………………… 2.4. Pestisida Bawang Merah………………………………………. 2.5. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)...…………………............ 2.6. Dampak Pestisida……………………………………………… 2.7. Cara Masuk Pestisida ke dalam Tubuh Manusia……………… 2.8. Faktor yang Mempengaruhi Masuknya Pestisida ke dalam Tubuh Manusia………………………………………………... 2.9. Asetilkolinesterase…………………………………………….
1 4 4 4 5 6
7 7 8 10 13 14 17 18 20
METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian…………………………………. 3.2. Bahan dan Alat………………………………………….......... 3.3. Metode Penelitian………………………………………......... 3.4. Pengumpulan Data…………………………………………… 3.5. Analisis Data………………………………………………….
25 25 25 26 28
KEADAAN UMUM LOKASI 4.1. Goelogi dan Topografi……………………………………….. 4.2. Kependudukan……………………………………………….. 4.3. Iklim…………………………………………………………. 4.4. Luas Areal dan Produksi Bawang Merah…………………..... 4.5. Karakteriktik Petani Responden……………………………... 4.6. Golongan Pestisida Yang Dipergunakan Petani……………...
31 31 32 32 33 35
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengetahuan Petani mengenai Pestisida……………………... 5.2. Pengetahuan Petani mengenai Peraturan Pestisida.…............ 5.3. Pengetahuan Petani mengenai Dampak Pestisida…………....
37 39 41
5.4. 5.5. 5.6. 5.7. 5.8. 5.9. 5.10. 5.11. 5.12.
VI.
Sikap Petani yang Berhubungan dengan Penggunaan Pestisida……………………………………………………… Sikap Petani yang Berhubungan dengan Personal Hygiene…. Sikap Petani yang Beerhubungan dengan Alat Pelindung Diri…………………………………………………………... Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap…………………… Data Ekonomi……………………………………………….. Data Lingkungan……………………………………………. Data Kesehatan……………………………………………… Hubungan antara Kadar AChE d engan Lama Bekerja dan Frekuensi Penyemprotan……………………………………. Hubungan antara Kadar AChE dengan Kebiasaan Tidak Menggunakan Masker dan Sarung Tangan………………….
43 47 49 54 57 59 62 73 75
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan …………………………………………………. 6.2. Saran-saran ………………………………………………….
76 77
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………........
78
LAMPIRAN ………………………………………………………………...
79
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Penggolongan pestisida berdasarkan jenis organisme pengganggu…. Pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman bawang merah……………………………………………… Jumlah penduduk Kabupaten Brebes Tahun 2000-2003…………….. Luas areal dan produksi bawang merah Kabupaten Brebes tahun 1999-2003……………………………………………………………. Karakteristik responden berdasarkan umur dan lama bertani……….. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan dan kursus……….. Golongan pestisida yang digunakan responden petani…………….... Pengetahuan petani mengenai pestisida……………………………... Pengetahuan petani mengenai peraturan pestisida…………………... Pengetahuan mengenai dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan…………………………………………………………….. Sikap petani y ang berhubungan dengan penggunaan pestisida……… Data petani yang melakukan pengoplosan pestisida………………… Data petani yang menggunakan pestisida tidak sesuai dosis………... Sikap yang berhubungan dengan personal hygiene…………………. Data kebiasaan petani merokok samb il menyemprot………………... Sikap petani yang berhubungan dengan alat pelindung diri…………. Kebiasaan tidak menggunakan masker pada saat menyemprot pestisida……………………………………………………………… Kebiasaan tidak memakai sarung tangan pada waktu berhubungan dengan pestisida……………………………………………………... Kebiasaan tidak memakai baju pelindung pada saat menyemprot….. Hubungan antara Pengetahuan dengan Sikap Petani………………... Harga pestisida, biaya produksi dan hasil produksi…………………. Harga pestisida dan besarnya biaya produksi untuk pestisida………. Pendapatan petani dan pekerjaan lain……………………………….. Pendapatan petani bawang merah per bulan………………………… Sikap petani dalam melakukan penyemprotan pestisida…………….. Tindakan petani dalam pencucian alat penyemprot di saluran air sawah……………………………………………………………….... Tindakan petani terhadap bekas/wadah pestisida……………………. Gangguan kesehatan petani dan anggota keluarga…………………... Tingkat keracunan petani akibat penggunaan pestisida……………... Kandungan asetilkolinesterase (AChE) dan glu tamat piruvat transaminase (GPT) pada petani di desa Sisalam……………………. Kandungan asetilkolinesterase (AChE) dan glutamat piruvat transaminase (GPT) pada petani di desa Jagalempeni………………. Kandungan asetilkolinesterase (AChE) dan glutamat piruvat transaminase (GPT) pada petani di desa Kedunguter………………. Dampak pestisida terhadap gangguan kesehatan petani……………
8 12 32 33 34 35 35 36 38 40 43 45 47 47 49 49 51 52 53 54 57 58 58 59 59 60 60 62 62 64 66 67 71
Halaman 34. 35
Hubungan antara lama bekerja dan frekuensi penyemprotan dengan kadar AChE pada petani……………………………………………... Hubungan antara kadar AChE dengan kebiasaan tidak memakai masker dan sarung tangan……………………………………………
73 74
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bagan alir kerangka pemikiran………………………………………. Rata-rata kategori pengetahuan petani mngenai pestisida…………... Rata-rata kategori pengetahuan petani mngenai peraturan pestisida…………................................................................................ Rata-rata kategori pengetahuan petani mngenai dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan…………………….…………... Rata-rata sikap yang berhubungan dengan penggunaan pestisida…………................................................................................ Rata-rata kategori sikap yang berhubungan dengan personal hygiene………..…............................................................................... Rata-rata kategori sikap yang berhubungan dengan penggunaan pestisida…………................................................................................ .
5 38 40 41 44 48
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Petani melakukan penyemprotan tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) di lokasi penelitian……………………….……………… Petani melakukan penyemprotan tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) di lokasi penelitian……………………….……………… Petani melakukan penyemprotan hanya menggunakan kaos dan celana pendek di lokasi penelitian..………………….………….…… Petani menggunakan pelindung sederhana dan celana pendek……… Petani melakukan penyemprotan dengan pelindung muka yang sederhana, baju dan celana panjang………………….……………… Wadah/tempat bekas pestisida yang dibuang sembarangan, dekat dengan hasil panen bawang merah yang sedang dijemur…………… Sampel darah petani responden untuk pemeriksaan AChE dan GPT.. Peta wilayah Kabupaten Brebes……………………………………... Kuesioner penelitian…………………………………………………. Data kolinesterase tahun 2003……………………………………….. Jenis pestisida yang digunakan petani……………………………….. Hasil pengolahan data………………………………………………..
82 82 83 83 84 85 85 86 87 95 96 100
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Sumberdaya alam yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia disadari suatu ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya dilakukan
secara
tidak
berkelanjutan.
Dalam
rangka
melestarikan
dan
mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut dilakukan pengelolaan secara berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam ditujukkan pada dua hal yaitu pertama, pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam dan kedua, perlindungan dan konservasi (Santoso, 2003). Sehubungan dengan itu ditetapkan berbagai kebijakan oleh Pemerintah antara lain menetapkan kawasan tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan yang dieksploitasi, baik eksploitasi sumberdaya alam hutan, tambang, minyak dan gas ataupun sumberdaya laut yang
dapat dieksploitasi dengan semena-mena dan
melupakan perhatian aspek daya dukung lingkungan, kerusakan lahan, maupun upaya-upaya rehabilitasi. Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi maka tekanan terhadap sumberdaya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai realitas pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya dari tahun ke tahun semakin meningkat, dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi ter sebut kian terancam habis. Kawasan konservasi
di Indonesia sangat luas, khusus
cagar alam
mempunyai luas ± 4.635.456.29 ha atau 17 % dari kawasan konservasi lainnya, kawasan cagar alam di Provinsi Papua mencapai 2.386.061.25 ha atau 23% dari luas kawasan konservasi lainnya (Direktorat Jendral PAPH, 2004). Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC) yang luasnya 22.500 ha, ditetapkan dengan SK
Menteri Pertanian Nomor 56/Kpts/um/I/1978 dan SK
Menteri Kehutanan Nomor 365/Kpts-II/1987 dengan memperhatikan fungsi : a.
Pusat endemis dan evolusi penting biogeography pulau Papua.
Tikusan
hutan mayr (Ralina mayri) dan tikus air rusuk merah (Paraleptomys refilatus) terrbatas hidup di daerah ini, banyak tanaman dan satwa endemik pulau Papua juga terwakili disini.
2
b.
Pegunungan Cycloop/Dafonsoro relatif terisolir
dari wilayah pegunungan
lainnya dengan batuan ultrabasa khusus yang tidak dapat ditumbuhi atau toleran terhadap jenis tumbuhan tropis. Sifat batuan memberikan tempat bagi keragaman species yang lebih besar. c.
Keragaman ketinggian kawasan ini meliputi spektrum luas jenis-jenis habitat termasuk daerah pantai berbatu, hutan pantai, hutan daratan rendah, hutan gunung rendah, hutan lumut, hutan ultra basik dan padang rumput.
d.
Letaknya berdekatan dengan Ibukota Propinsi memungkinkan kegiatan penelitian, pendidikan lingkungan hidup dengan pengenalan tipe-tipe hutan.
e.
Pensuplai air
bagi penduduk Kabupaten/Kota Jayapura dan kegiatan
pertanian sekitar CAPC serta sumber air bagi danau sentani yang berada pada wilayah selatan. Sehubungan dengan status dan fungsi konservasi /lindung, CAPC hampir tidak dapat dirasa kan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat sekitar yang secara turun temurun telah memanfaatkan sumberdaya alam yang berada diwilayah kawasan CAPC, sementara kelestarian fungsinya dihadapkan dengan tekanan dan ancaman oleh penduduk yang berada disekitar CAPC. Pertamb ahan penduduk yang semakin cepat, mengakibatkan kebutuhan lahan untuk kegiatan pertanian/perladangan, pertambangan golongan C dan pembangunan pemukiman serta infrasruktur semakin berkurang. Fenomena ini mengakibatkan konversi lahan pada wilayah CAPC menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari, sementara itu pilihan ini sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tentang konservasi seperti UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menyatakan kegiatan yang dapat dilakukan pada wilayah cagar alam adalah kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya,
kegiatan yang dilarang adalah kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan cagar alam. Dengan jelas aturan diatas telah mengatur kegiatan yang dapat dilakukan dan yang tidak dilakukan, namun faktual yang terjadi adalah konversi dan peruntukan lahan terus dilakukan dikawasan lindung cycloop. Untuk mengatur berbagai kegiatan disekitar kawasan Cycloop, Pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura menetapkan kebijakan pemanfaatan ruang yang dibahas dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW).
3
RUTRW Kota Jayapura tahun 1995-2004 yang ditetapkan dengan Perda No. 16 tahun 1995 di bagi dalam struktur Tata Ruang menjadi tiga bagian antara lain: bagian pertama, tata jenjang pusat-pusat pelayanan (pasal 10), bagian kedua, sistem transportasi (pasal 11 dan 12) dan bagian tiga, Pengembangan prasarana dan sarana lain (pasal 13,14,15) (Watori, 2003). Seiring dengan kebutuhan transportasi di Kota Jayapura, Pemerintah Kota Jayapura membangun jalan alternatif Polimak IV - Kelurahan Hedam dan Skyline Uncen Waena, kedua jalan alternatif ini melintasi kawasan inti dan penyangga CAPC.
Pembangunan Jalan alternatif
memberikan akses
masyarakat untuk
mengeksploitasi sumberdaya hutan dan potensi lainnya yang berada dikawasan ini. Kebijakan Pemkot Jayapura telah memberikan nilai positif untuk kemajuan daerah ini, namun bukan berarti pembangunan ini tidak memberikan dampak negatif, sebab nilai sosial budaya dan lingkungan atau konservasi
telah mengalami
degradasi . Berbagai aktifitas pembangunan dan alih fungsi lahan mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan (hasil analisis Citra landsat tahun 2000). Sedangkan struktur RUTRW Kabupaten Jayapura tahun 2002 - 2010 yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu: jaringan prasarana dan transportasi, pusat pelayanan serta fungsi primer (Bappeda Kab. Jayapura, 2001). Mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka Kabupaten Jayapura dalam pemanfaatan ruang dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam implementasi pemanfaatan ruang, dengan jelas kawasan lindung ada akses penduduk disekitar buffer zone dan ka wasan inti dengan berbagai kegiatan antara lain perladangan berpindah, pemukiman liar oleh masyarakat migran Papua dan non Papua, pertambangan golongan C (pasir, batu) oleh masyarakat lokal dan pengusaha/swasta, pembangunan pemukiman dan infrastruktur / jalan melintasi CAPC,
penjarahan kayu dan anggrek
disekitar
wilayah penyangga dan kawasan inti yang berdampak pada degradasi lahan, tanah longsor, banjir, kebakaran hutan dan terjadi pengeringan pada sumber-sumber air (PKBI dan NRM II, 2003). Semenjak pemekaran wilayah kabupaten Jayapura tahun 1993, Kabupaten
Jayapura
pindah
ke
Sentani
yang
sekarang
wilayah
menjadi
pusat
pemerintahan Kabupaten Jayapura dan Kotamadaya Jayapura di Jayapura yang sekaligus sebagai pusat pemerintahan Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua).
4
Dengan berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kesempatan kepada daerah untuk menentukan kebijakan yang akan diberlakukan pada wilayahnya, pasal 10 ayat 1
daerah berwenang
mengelola sumberdaya alam nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal ini termasuk kawasan konservasi yang diberlakukan Kebijakan pemanfaatan ruang yang dibahas dalam RUTRW kedua pemerintahan. Semenjak diberlakukan berbagai program di kawasan ini telah terjadi berbagai gangguan terhadap potensi sumberdaya alam di kawasan CAPC, baik dalam kawasan inti maupun penyangga antara lain: a.
Eksploitasi kayu, anggrek dan tanaman paku-pakuan yang dilakukan dengan pola destruktif.
b.
Perburuan binatang liar seperti kus-kus, burung dan binatang mamalia.
c.
Eksploitasi kayu soang (Xentrosstemon sp) sebagai bahan baku pembuatan arang dan pembangunan rumah/jembatan dipinggiran laut.
d.
Penggalian batu kapur dan pengambilan batu kali / kerikil.
e.
Perladangan berpindah.
f.
Pemukiman masyarakat yang masuk dalam kawasan CAPC.
g.
Rawan terhadap kebakaran hutan. Gangguan ini dilakukan
oleh masyarakat migran Papua
dan pendatang
(Lamuasa et al. 1991 ). Penduduk migran ini cukup memahami konservasi tradisional, namun desakan ekonomi mengakibatkan tekanan serius terhadap fungsi kawasan CAPC. Bersamaan dengan tekanan yang dilakukan dikawasan CAPC mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan lahan untuk mengantisipasi tekana n yang terjadi. Kebijakan Pemerintah Kota Jayapura tentang Pemanfaatan Lahan diatur
dalam UU Nomor 16 tahun 1995 tentang Rencana
Umum Tata Ruang Wilayah tahun 1995-2004, sedangkan Kabupaten Jayapura Perda RUTRW Revisi tahun 2000-2013 masih dalam tahap proses. Kedua RUTRW ini dengan jelas telah dibagi peruntukan lahan/ruang untuk berbagai kegiatan termasuk kawasan konservasi/lindung. Namun realitas dilapangan menunjukkan inkonsisten kedua Pemerintah Daerah dalam hal pemanfaatan ruang , oleh sebab itu
masyarakat menuding bahwa salah satu sumber kerusakan pada kawasan
CAPC diakibatkan oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura dalam implementasi RUTRW.
5
Jika hal ini dibiarkan berlangsung, maka
pertanyaan yang timbul adalah
sejauhmanakah kewenangan Pemerintah Daerah untuk menanggulangi tekanan yang berakibat pada kerusakan di dalam kawasan CAPC dan bagaimana kinerja institusi yang diberi kewenangan untuk menangani permasalahan konservasi di wilayah CAPC. Kerusakan kawasan akibat kebijakan banyak terjadi pada wilayah Kota Jayapura, padahal luas CAPC diwilayah Kota Jayapura ± 26 %. Kerusakan akibat kebijakan pemanfaatan lahan di Kota Jayapura antara lain: Pembangunan pemukiman dan perkantoran yang berbatasan dengan kawasan inti, pembangunan Markas Kodam XVII/Trikora dan Lapangan Golf Cenderawasih, pembangunan jalan alternatif Polimak IV - Kelurahan Hedam yang melintasi kawasan inti CAPC dan jalan Angkasa – Kampung Ormu yang telah dibatalkan akibat tidak dilengkapi dokumen AMDAL. Pengambilan material batu kapur di daerah Bucen dan Entrop, pengambilan kayu untuk pembangunan jembatan bagi penduduk yang berada di daerah pantai di Teluk Humbolt dan Dok IX. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah
Kota
Jayapura
tidak
memperhitungkan
nilai
atau
aspek
ekologis/lingkun gan kawasan CAPC, namun lebih mementing kan nilai atau aspek ekonomi. Menurut PKBI dan NRM II (2003), kerusakan akibat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura antara lain: Perladangan berpindah disekitar kawasan penyangga, penebangan hutan tanpa perencanaan (illegal logging), pengambilan material batu dan pasir pada daerah aliran sungai yang berada disekitar kawasan penyangga dan masuk dalam kawasan inti, pemukiman liar oleh penduduk yang melakukan perkebunan dan berbagai pemukiman yang diizinkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura. Permasalahan kerusakan ini menurut Petocz (1987) adalah ketidak tahuan masyarakat terhadap status kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan cagar alam dengan berbagai fungsi dan desakan ekonomi sehingga disarankan untuk melakukan pendekatan dalam bentuk penyuluhan atau sosialisasi tentang status kawasan dan fungsinya serta perlu dicari solusi tentang peningkatan ekonomi masyarakat dengan tidak menebang hutan atau pengambilan sumberdaya alam secara berlebihan. Kondisi empiris menujukkan, bahwa masyarakat Jayapura menyadari adanya momentum pergeseran kewenangan sebagai peluang dan kesempatan terlibat
secara
langsung
dalam
keseluruhan
proses
untuk
pembangunan
di
6
Kabupaten/Kota Jayapura. Kesadaran itu ditandai dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat bahwa, mereka tidak lagi sebagai obyek pembangunan tetapi menjadi subyek dan lebih dari itu sebagai pelaku pembangunan. Pada kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop masih bertumpuk berbagai kepentingan baik kepemilikan adat, kebijakan pemerintah dan swasta (pemanfaat), yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pendeknya sejak terberbentuknya Kabupaten / Kota Jayapura, tuntutan terhadap upaya penyempurnaan segala bentuk kebija kan daerah khususnya dengan pengelolaan sumberdaya lahan cenderung meningkat. Kebijakan Pembangunan Pemerintah Provinsi Papua saat ini lebih diarahkan pada pembangunan aspek ekonomi, pendidikan dan kesehatan, sejalan dengan substansi Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Provinsi Papua. Aspek-aspek tersebut juga merupakan penjabaran dari visi Provinsi Papua yang pada tahapan jangka menengah pertama (Perform Project, 2001), dimana
meletakan Tahun 2005 sebagai tonggak tapal batas (Milestone)
tercapainya kerangka landasan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang kuat bagi terwujudnya masyarakat Papua menjadi tuan di negeri sendiri (Pemerintah Provinsi Papua, 2001). 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a.
Mengidentifikasi kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi.
b.
Mengidentifikasi faktor-faktor pendorong dan penghambat yang
timbul
dalam penerapan peraturan perundang-undangan pada kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC). c.
Menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal Konservasi CAPC.
d.
Mengetahui sumber mata air dan nilai ekonomi.
e.
Menyusun strategi pengembangan CAPC
terhadap
Kawasan
7
1.3. Kerangka Pemikiran Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena SDL diperlukan disetiap kegiatan manusia (Sitorus, 2004). Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segalah tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut ( Sitorus, 2004). Perkembangan budaya, kegiatan dan kepadatan penduduk yang relatif cepat umumnya terjadi di perkotaan. Perkembangan ini dibaringi dengan kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk melakukan berbagai kegiatan yang menunjangan keberlanjutan hidup. Lahan yang berada diperkotaan telah diperuntukan untuk pengembangan sentra ekonomi dan berbagai infrastruktur mengakibatkan nilai ekonomi lahan semakin mahal sehingga masyarakat lokal yang berada disekitar perkotaan terdesak
ke
pinggiran
kota
bahkan
masuk
dalam
wilayah
kawasan
lindung/konservasi. Pada tahun 1993 kebutuhan lahan untuk
pengembangan Kota dan
Kabupaten Jayapura mulai meningkat, dikarenakan kedua daerah ini telah dimekarkan. Kota Jayapura sebagai ibukota Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua) membutuhkan lahan yang sangat luas untuk pembangunan berbagai infrastruktur perkantoran, jalan, perumahan dan sentra-sentra ekonomi yang membuat tidak ada pilihan
lain
untuk
terhindar
dari
konversi
lahan
kawasan
lindung
bagi
pembangunan. Sementara itu kebutuhan lahan untuk masyarakat melakukan kegiatan seperti pertanian/perkebunan, pengambilan kayu, pertambangan galian C dan pariwisata memberikan pihan mereka pada penggunaan lahan yang berada pada kawasan lindung/konservasi. Kawasan CAPC merupakan kawasan yang penting bagi perlindungan flora dan fauna endemis Papua yang terwakili disini, sebagai kawasan penyimpan dan pensuplai air bagi penduduk Jayapura dan sekitarnya serta sebagai penyangga kehidupan bagi
suku Tepra, Ormu, Moy, Sentani, Humbolt selaku masyarakat
pemilik ulayat dan masyarakat/penduduk disekitarnya. Pengelolaan kawasan CAPC tergolong dalam terminalogi kawasan/hutan konservasi yang tercantum pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
8
Potensi kawasan CAPC, saat ini sebagian besar mengalami keadaan rusak berat akibat perambahan hutan, perladangan berpindah, pertambangan galian C, pembangunan pemukiman dan infrastruktur/jalan yang melintasi wilayah inti CAPC. Kegiatan-kegiatan diatas ada yang mendapat legitimasi hukum dalam bentuk ijin prinsip dan pinjam pakai yang di dasari dengan terjemahan peraturan perundangundangan dan adapula yang dilakukan secara illegal, oleh sebab itu
perlu
diidentifikasi peraturan perundang-undangan sebagai dasar pengelolaan kawasan konservasi dan faktor pengambat dan pendorong yang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan CAPC, mengetahui potensi sumber air bersih dan nilai ekonominya bagi penduduk Jayapura, menganalisis alternatif yang optimal untuk pengelolaan CAPC dan menyusun strategi pengembangan CAPC. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan, perlu dilakukan analisis terhadap institusi yang menyangkut dengan peraturan perundang -undangan serta fungsi dan kewenangan dari lembaga/institusi yang berkaitan dalam pengelolaan CAPC. Institusi merupakan suatu sisten kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup idiologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tak terlepaskan dari lingkungan. (Pakpahan, 1990 dalam Kartodihardjo, 1998). Menurut North (1991) dalam Kartodihardjo (1998), institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu intitusi adalah instrumen yang mengatur hubungan individu. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, yang di break down dengan Perda Nomor 16 Tahun 1993 tentang RUTRW Kota Jayapura (Watori, 2003) dan RUTRW Kabupaten
Jayapura (Bappeda Kab.
Jayapura, 2001) telah diatur dengan baik ruang-ruang yang aka n dilakukan kegiatan, sedangkan untuk
daerah - daerah yang dilindungi seperti CAPC
diberikan ruang yang disebut buffer zone untuk kegiatan masyarakat setempat seperti perkebunan, pertambangan, dan pembangunan pemukiman serta berbagai infrastuktur adat maupun pemerintah. Hal-hal diatas dengan jelas telah di Perdakan dan tersusun dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah daerah, namun dalam implemetasi terjadi dikeluarkan oleh kedua
kedua pemerintah
inkonsisten terhadap RUTRW
yang
pemerintah. Salah satu yang menjadi masalah urgen
adalah pengelolaan terhadap sumberdaya lahan yang berada pada kawasan konservasi CAPC. Sebagai indikator adalah ancaman terhadap biodiversity, hutan
9
dan air yang semakin hari berkurang. Berbagai gejala alam seperti longsor, erosi dan banjir terjadi di kedua wilayah administratif. Keberadaan kawasan CAPC memberikan manfaat yang besar bagi penduduk yang berada disekitarnya dan Jayapura pada umumnya. Pada kawasan ini telah berlangsung lama kearifan tradisional masyarakat adat untuk melakukan konservasi secara tradisional namun dengan kebijakan pemerintah dan tuntutan ekonomi maka
nilai-nilai adat
lambat laun mulai terkikis. Hal ini dapat dilihat
dengan jelas pada wilayah selatan CAPC, dimana masyarakat tidak lagi mempertahankan cycloop sebagai ibu dalam apresiasi dan
kepercayaan adat
mereka, namun sebaliknya dibiarkan untuk dirusaki atau diperkosa demi mencapai kenikmatan sesaat dengan berbagai kegiatan seperti: pertambangan golongan C, pemukiman, perladangan berpindah, pembangunan jalan, pariwisata, pelayanan jasa dan penebangan hutan tanpa perencanaan (illegal logging). Kebijakan
pemerintah
dan
adat
berupa
pertambangan, pengambilan kayu, pemukiman, pariwisata dan penebangan hutan jelek
terhadap
Jayapura.
yang
ekonomi,
ekologi/lingkungan
izin
kegiatan
perladangan dan pertanian,
pada kawasan ini te lah memberikan implikasi
kawasan yang dilindungi dan dibanggakan oleh penduduk
Kebijakan
pertumbuhan
pemberian
dikeluarkan
yang
oleh
pemerintah
mengesampingkan
berorientasi
fungsi
dan
pada
manfaat
dan sosi al budaya yang mengakibatkan berbagai benturan
dalam pemahaman kebijakan pada level masyarakat. Berbagai fenomena sosial yang terjadi akibat kebijakan pemerintah membuat gaya hidup/budaya setempat menjadi kendor dan mengikuti tren konsumtif yang ingin mengkonsumsi seluruh sumberdaya alam yang ada dalam kawasan ini, tanpa memperhitungkan status kawasan, tetapi lebih banyak memperhitungkan status sosial yang berdampak pada pemenuhan ekonomi. Berdasarkan fenomena diatas, maka penelitian ini akan mengkaji seberapa jauhkah faktor pendukung dan pendorong yang mempunyai pengaruh terhadap kelestarian kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop dan seberapa jauh pandangan atau persepsi mereka terhadap kawasan ini sehubungan dengan penyelenggaraan Otonomi Khusus Provinsi Papua. secara lebih rinci dapat dilihat pada kerangka pemikiran pada
Gambar 1.
10
1.4. Perumusan Masalah Dalam rangka melestarikan dan mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan maka pengelolaan sumberdaya alam ditujukan pada dua hal yaitu pertama, pemanfatan atau eksplorasi sumberdaya alam dan kedua, perlindungan atau konservasi. Pola pengelolaan sumberdaya yang baik adalah harus dapat menetapkan sumberdaya sebagai obyek dan subyek pembangunan sehingga dapat berperan dalam pembangunan regional maupun nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pembangunan di suatu daerah merupakan suatu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat pada daerah tersebut untuk
mensejahterakan
manusia
secara
lestari. Sumberdaya lahan dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi tidak boleh mengorbankan fungsi sumberdaya lahan tersebut sebagai penopang kehidupan. Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah antara lain dengan menetapkan kawasan-kawasan tertentu sebagai kawasan yang dapat di eksplorasi, dan kawasan-kawasan yang harus dilindungi. Namun bukan berarti kawasakawasan tertentu yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang dapat dieksploitasi, baik eksploitasi sumberdaya hutan, tambang, minyak dan gas ataupun sumberdaya lahan, dapat dieksploitasi dengan semena-mena sehingga melupakan perhatian aspek
daya
dukung
lingkungan,
dengan
pertambahan
kerusakan
lahan,
maupun
upaya-upaya
rehabilitasi. Seiring
penduduk,
pertumbuhan
ekonomi
dan
industrialisasi maka tekanan terhadap sumberdaya alam semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan hutan, pertambangan dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya dari tahun ke tahun semakin meningkat/besar. Dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis, sementara suksesi sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan telah dieksploitasi membutuhkan waktu lama untuk diperbaharui kembali. Ancaman tidak hanya me ncul terhadap kawasan-kawasan yang dianggap sebagai kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan eksploitasi saja, akan tetapi juga tertuju kepada kawasan-kawasan yang telah ditunjuk sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi. Ancaman tersebut disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, pengrusakan lingkungan, konversi lahan, penangkapan secara berlebihan spesies tertentu ataupun pengenalan spesies eksotik.
11
Sehubungan dengan pengembangan Kota dan Kabupaten Jayapura, kedua Pemda telah menyusun Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) dari masing-masing daerah yang behubungan dengan penggunaan lahan pada kedua wilayah masing-masing. RUTRW dengan jelas mengatur tentang pengunaan ruang/lahan yang berada disekitar CAPC, namun dalam implementasi RUTRW ada berbagai kegiatan yang telah masuk kawasan cagar alam pegunungan cycloop. Kegiatan yang dimaksud adalah pembangunan infrastruktur/jalan alternatif Polimak IV – Keluarahan Hedam
(status izin pinjam pakai), dan
Angkasa – Kampung Ormu sepanjang
jalan melingkar
25 km yang telah dibatalkan karena tidak
dilengkapi dengan dokumen AMDAL, kegiatan ini sangat mengganggu sumber mata air bersih dan berbagi flora fauna dalam kawasan CAPC. Kegiatan lain yang memberikan
kerusakan bagi sumberdaya lahan seperti perladangan berpindah,
penebangan hutan secara liar, pertambagan galian C masih marak dilakukan disekitar wilayah ini, belum ditata oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Peruntukan lahan disekitar kawasan ini masih terbentur oleh kepemilikan adat, sehingga luas lahan/tanah
tertentu harus melalui persetujuan/ pelepasan
adat. Fenomena sosial budaya masyarakat disekitar CAPC masih kuat dengan adat istiadat, namun akhir-akhir ini terlihat bahwa adat-istiadat dari masyarakat khusus dibagian selatan kawasan ini telah mengalami degradasi nilai adat diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Fenomana diatas sangat berhubungan dengan sistem dalam
lembaga
masyarakat dan pemerintah yang melaksanakan berbagai program pengelolaan kawasan konservasi CAPC. Mengingat kelembagaan ini harus dilatarbelakagi dengan kapabilitas dan kapasitas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan konservasi dan juga dapat memberikan alternatif terhadap tekanan dan ancaman yang terjadi dalam kawasan CAPC. Untuk meminimisasi tekanan dan ancaman yang terjadi dikawasan ini maka dibutuhkan koordinasi terintegrasi antara para pihak yang berkepentingan dengan kawasan CAPC, sumberdaya manusia dan dana yang cukup, lembaga yang kredibel. Dalam rangka pengelolaan sumberdaya lahan di CAPC, dibutuhkan kebijakan yang mengakomodir kebutuhan para pihak dengan mengedepankan aspek
12
lingkungan/ekologi, sosial budaya dan ekonomi dan tidak seb aliknya. Berdasarkan kondisi
faktual di
atas,
telah
memberikan indikasi, bahwa dasar-dasar
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan harus didukung oleh berjalannya prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan berwawasan lingkungan (enviromental good governance) yaitu dilakukan secara terbuka, partisipatif, bertanggung jawab, bertanggung-gugat, demokratis dan berpihak pada kepentingan publik. Semangat untuk merespon kondisi empiris ini dan menangkap momentum seperti diuraikan diatas, perlu dijadikan pendekatan bagi semua bidang pembangunan dalam menetapkan rencana kegiatan dan program strategi. Dari uraian diatas timbul
tiga
pertanyaan penelitian
ditimbulkan oleh stakeholders berkepentingan pada kawasan konservasi
yang CAPC
antara lain: a.
Bagaimanakah fungsi dan kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura dalam pengelolaan Sumberdaya Lahan pada kawasan CAPC.
b.
Seberapa besar nilai ekonomi air sebagai dasar pengambilan keputusan
c.
Seberapa besar faktor pendorong dan penghambat dapat mempengaruhi kelestarian CAPC.
1.5. Hipotesis Pembaharuan kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya lahan dapat tercapai,
apabila
faktor-faktor
pendorong
lebih
besar
dari
pada
faktor
penghambatnya, dan kebijakan dapat dilaksanakan, apabila ekspektasi rasional masing-masing
pelaku
(aktor)
sesuai
dengan
tujuan
pembangunan
yang
diharapkan. 1.6. Manfaat a.
Memberikan informasi evaluasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota Jayapura sebagai arah pengambilan keputusan dan atau kebijakan sesuai kewenangan yang diberikan guna
pengelolaan sumberdaya lahan
kawasan konservasi CAPC. b.
Sebagai informasi ilmiah bagi stakeholders yang berkepentingan dengan kawasan CAPC.
13
PROGRAM BERJALAN
Faktor Penghambat
(Pemerintah Pusat, Prov, Kab/Kota)
KINERJA YG DICAPAI
PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN Faktor Pendorong
KONDISI AWAL
Kebijakan Pemerintah ttg Peraturan Per-UU Konservasi dan Kewenangannya
AKTOR
Faktor Penghambat
Fak. Pendukung ALTERNATIF SOLUSI
KINERJA SAAT INI
Tim Pokja Cycloop yang terdiri dari pihakpihak yang berkepentingan dengan Cycloop al. Pemerintah, Swasta, PT, Masyarakat/ LMS
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
Ekspetasi Rasional
Perilaku dan Adaptasi
KINERJA HARAPAN
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Peningkatan
pembangunan
nasional
terutama
sektor
pertanian
memerlukan berbagai sarana untuk mendukung tercapainya hasil yang memuaskan, dan mencukupi kebutuhan nasional di bidang pangan. Saranasarana yang mendukung pen ingkatan hasil pertanian adalah alat-alat pertanian, pupuk dan bahan-bahan kimia lainnya termasuk pestisida. Penggunaan pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman telah memberi konstribusi positif terhadap peningkatan produksi pertanian. Tetap i juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan gangguan kesehatan petani serta masyarakat lainnya. Selain itu penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan gangguan terhadap musuh alami hama. Kematian musuh alami dan terjadinya resistensi hama terhadap pestisida menurunkan efektivitas pestisida sehingga penggunaan pestisida meningkat. Di Kabupaten Brebes penggunaan pestisida sangat intensif untuk budidaya bawang merah, demikian juga di tempat lain seperti di Ban jarnegara dan Wonosobo untuk budidaya kentang dan
Karanganyar untuk budidaya
sayur-sayuran. Menurut prakiraan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Program Lingkungan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNEP), 1,5 juta kasus keracunan pestisida terjadi pada pekerja
di sektor pertanian. Sebagian besar kasus
keracunan pestisida tersebut terjadi di negara berkembang yang 20.000 kasus diantaranya berakibat fatal. Jumlah keracunan yang sebenarnya terjadi diperkirakan lebih tinggi lagi, mengingat angka tersebut diperoleh dari kasus yang dilaporkan dari angka statistik. Banyak kasus keracunan yang terjadi di lapangan tidak dilaporkan oleh korban sehingga tidak tercacat oleh instansi terkait (infokes, 2004) Petani di Kabupaten Brebes Jawa Tengah khususnya petani cabai dan bawang merah cenderung berlebihan dalam penggunaan pestisida, yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, penyakit dan hama tanaman menjadi
2
resisten serta membahayakan kesehatan petani dan masyarakat . Dari segi biaya produksi penanaman cabai dan bawang merah yang berlebihan dalam pemakaian pestisida menyebabkan pembengkakan pembiayaan, karena ratarata petani mengeluarkan biaya sampai Rp. 2.800.000 per hektar (Suara Merdeka, 2002). Pada
umumnya
petani
dalam
menggunakan
pestisida hanya
memperhatikan masalah pengendalian hama dan penyakit saja,
tanpa
memperhatikan kesehatan dan pencemaran lingkungan. Penggunaan pestisida merupakan rutinitas yang seolah -olah tidak mendatangkan bahaya. Seringkali terlihat petani merokok sambil menyemprot, tidak menggunakan alat pelindung diri saat menyemprot, mencuci tangki semp rot di sungai dan membuang wadah bekas pestisida sembarangan. Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapas an, pencernaan, kulit dan kontak langsung. Masuknya pestisida melalui saluran pernapasan karena pada saat bekerja tidak menggunakan masker. Pestisida juga dapat masuk melalui kulit yang terkena percikan pestisida, serta sejumlah kecil dapat masuk mulut karena menggunakan tangan atau peralatan yang tercemar. Selain itu pestisida dapat masuk melalui mata akibat tidak menggunakan pelindung mata. Pestisida organofosfat
bila masuk ke dalam tubuh akan mengikat
enzim kolinesterase sehingga asetilkolin terkumpul dalam jaringan. Jika kadar enzim turun kira-kira 20 % dari keadaan normal maka akan tampak gejala pupil mata atau celah iris mata
menyempit sehingga penglihatan menjadi
kabur, mata berair, mulut berbusa, berkeringat banyak, mual, pusing, muntah muntah, banyak mengeluarkan air liur, kejang-kejang, sesak napas, detak jantung menjadi cepat, otot tidak bisa digerakan akhirnya pingsan (Wudianto, 1990). Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Brebes tahun 2002 sebanyak 29 dari 80 orang petani bawang merah terinfeksi racun dari pestisida. Dari semua petani yang terinfeksi pestisida 4 diantaranya dengan katagori keracunan sedang, dan 25 orang dalam katagori keracunan ringan. Kejadian keracunan
3
ini dapat ditunjukan dari hasil pemeriksaan kadar kolinesterase dalam darah petani dengan menggunakan alat Cholinesterase Test Kit I. Kolinesterase adalah enzim, suatu bentuk katalis biologik yang dalam jaringan tubuh berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan sel-sel saraf bekerja secara terorganisir dan harmonis (DepKes, 1992). Ada dua tipe kolinesterase yang dijumpai dalam darah, yaitu “true” cholinesterase (acethylcholinesterase) dalam sel darah merah dan “pseudocholinesterase” (acethylcholine acylhydrolase) pada serum/plasma (Jacob et al. 1990). Asetilkolinesterase dalam butir/sel darah merah lebih banyak dibandingkan dengan pseudokolinesterase. Keduanya merupakan indikator, plasma dipakai sedikit penurunannya bila kontak dengan organofosfat meskipun dalam jumlah sedikit. Insektisida
organofosfat
merupakan
golongan
terpenting
yang
menimbulkan keracunan, karena kerjanya sangat kuat dan lama. Intoksikasi dapat ditimbulkan karena absorpsi melalui kulit. Tergantung dari jenis antikolinesterase, keracunan dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa minggu (Darmansyah dan Gan, 1995). Keracunan pestisida dapat menurunkan aktivitas enzim kolinesterase pada tingkat tertentu sesuai dengan tingkat keracunannya. Penurunan aktivitas kolinesterase juga terjadi pada beberapa penyakit seperti hepatitis, sirosis hati dan tumor hati. Penyakit infeksi akut, malnutrisi, anemia dan ginjal kronis dapat pula menurunk an aktivitas kolinesterase (Dirdjoatmodjo, 1991). Untuk mengetahui adanya gangguan kesehatan akibat keracunan pestisida, maka ditentukan kandungan enzim asetilkolinesterase pada darah petani. Aktivitas enzim ini dapat dipergunakan sebagai indikator keracunan pestisida organofosfat dan karbamat. Selain itu juga ditentukan aktivitas enzim glutamat oksaloasetat transaminase (GOT) dan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT), untuk menyingkirkan kemungkinan penurunan aktivitas asetilkolinesterase bukan karen a keracunan organofosfat. Berdasarkan
uraian
tersebut
maka
dilakukan
penelitian
guna
mengetahui dampak penggunaan pestisida terhadap kesehatan petani, pengetahuan dan sikap petani terhadap penggunaan pestisida, men entukan
4
kandungan enzim asetilkolinesterase (AChE) dan kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) pada darah petani bawang merah.
1.2.
Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui dampak penggunaan pestisida yang berlebihan terhadap gangguan kesehatan petani
2.
Mengetahui pengetahuan dan sikap petani terhadap penggunaan pestisida.
3.
Menentukan kandungan enzim asetilkolinesterase (AChE) dalam darah petani bawang merah.
4.
Menentukan kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) dalam darah petani bawang merah.
1.3.
Manfaat Penelitian 1.
Memberikan informasi kepada Pemerintah Daerah sebagai bahan evaluasi
kebijakan
berkenaan
dengan
tingkat
pencemaran
pestisida. 2.
Sebagai bahan informasi bagi pemerhati dan pengelola lingkungan agar dapat mengambil tindakan untuk meningkatkan kesehatan petani dan masyarakat.
3.
Mendapatkan validasi kadar enzim asetilkolinesterase dalam darah yang dapat ditoleransi.
1.4.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka penekanan
permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1.
Banyaknya penggunaan pestisida dalam budidaya tanaman bawang merah, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan.
2.
Interaksi lama kerja antara petani dalam menggunakan pestisida.
3.
Tingkat keracunan yang dicirikan oleh asetilkolinesterase pada petani bawang merah.
penurunan kandungan
5
4.
Pengetahuan dan sikap petani terhadap penggunaan pestisida dan dampaknya yang ditimbulkannya.
1.5.
Kerangka Pemikiran Indonesia adalah negara agraris yang
sebagian besar penduduknya
bekerja di sektor pertanian. Banyaknya penggunaan pestisida mengakibatkan masalah kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan pada petani. Petani berpotensi menderita keracunan pestisida, yang diakibatkan sikap dan perilaku petani itu sendiri, kurangnya pengetahuan, rendahnya pendidikan dan ketidakpedulian petani untuk menggunakan alat pelindung diri. Untuk itu kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan insektisida
DAMPAK
Manfaat : Peningkatan produksi
Kesehatan - cuaca - suhu - kelembaban - arah angin - glutamat oksaloasetat - glutamat piruvat transaminasee
Keracunan ringan > 50-75 %
Gambar 1
Pemaparan (manusia)
Asetilkolinesterase ( AChE)
Keracunan sedang > 25-50 %
Bagan Alir Kerangka Pemikiran.
Lingkungan : Air, tanah, udara, dan tanaman
- umur - jenis kelamin - lama pajanan - APD - alat penyemprot
Keracunan berat 0-25 %
6
1.6.
Hipotesis 1.
Semakin lama bekerja /lama pajanan (exposure) aktivitas enzim asetilkolinesterase pada darah petani semakin menurun.
2.
Terdapat
hubungan
antara
kebiasaan
menggunakan
alat
pelindung masker dengan aktivitas enzim asetilkolinesterase. 3.
Terdapat pelindung
hubungan sarung
asetilkolinesterase.
antara tangan
kebiasaan dengan
menggunakan aktivitas
alat enzim
7
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pestisida Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida artinya
pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama (Soemirat, 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 pasal 1 mengenai “ Pengawasan atas Peredaran dan Penggunaan Pestisida” yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hamahama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, memberantas rerumputan, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas atau mencegah hama-hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman , tanah dan air.
2.2.
Penggolongan Pestisida Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk
membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya (Tarumingkeng, 2004). Menurut Novizan (2002) Pestisida dikelompokkan berdasarkan kelompok organisme pengganggu tanaman (OPT) yang akan dikendalikan dan berdasarkan fungsi pestisida. Penggolongan ini sering menimbulkan salah pengertian dari pemakainya, sehingga menimbulkan kesalahan dalam aplikasinya. Penggolongan pestisida berdasarkan fungsi tertera pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Penggolongan pestisida berdasarkan jenis organisme pengganggu Jenis pestisida Insektisida Herbisida Fungisida Bakterisida Rodentisida Nematisida Moluskisida
Fungsi Untuk mengendalikan serangga Untuk mengendalikan gulma Untuk mengendalikan cendawan Untuk mengandalikan bakteri Untuk merngendalikan binatang pengerat Untuk mengendalikan nematoda/cacing Untuk mengendalikan siput
Sumber : Wudianto, R (1990). Berdasarkan ketahanannya di lingkungan maka pestisida dikelompokan menjadi dua golongan yaitu pestisida yang presisten, yaitu pestisida yang meninggalkan pengaruh terhadap lingkungan dan yang kurang presisten. Pestisida organoklorin termasuk yang presisten pada lingkungan dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan, contohnya DDT, cyclodienes, heksakloroheksana (HCH), endrin. Pestisida organo fosfat mempunyai pengaruh yang efektif sesaat saja dan cepat terdeg radasi di tanah, contohnya disulfoton, paration, d iazinon, azodrin, dan lain-lain.
2.3.
Insektisida Insektisida digunakan untuk mengendalikan serangga, misalnya
membunuh hama tanaman, membunuh serangga pembawa penyakit, membasmi hama gudang dan sebagainya. Dengan perkembangan teknologi pada saat ini yang paling banyak digunakan adalah insektisida organik sintetik. Insektisida merupakan kelompok pestisida terbesar dan terdiri dari beberapa sub kelompok kimia yang berbeda. Insektisida organik sintetik dibedakan atas tiga kelompok berdasarkan struktur dan komposisiya yaitu : 1.
Insektisida organoklorin, misalnya DDT, metoksikhlor, aldrin, dieldrin, lindan, endosulfan dan sebagainya.
2.
Insektisida organofosfat, misalnya paration, malation, diazinon, klorpirifos, d iklorvos, dimatoat, fention dan sebagainya.
9
3.
Insektisida karbamat, misalnya karbaril (sevin), karbofuran, propoksur, dan sebagainya.
2.3.1. Insektisida Organoklorin Insektisida ini merupakan turunan dari etana berklor, siklodien, heksaklorosikloheksana. DDT dan metoksiklor adalah derivat dari etana berklor, tetapi metoksiklo r jauh kurang toksik dan tidak bertahan di lingkungan (Frank, 1995). Insektisida jenis ini masih digunakan di negara-negara berkembang terutama negara pada daerah ekuator karena murah, efektif dan persisten. Organoklorin dibagi dalam beberapa bagian yaitu diklorodifenil etan (DDT, DDD, portan, metoksiklor, metioklor), siklodien (aldrin, dieldrin, heptaklor, klordan dan endosulfan) dan sikloheksana benzene terklorinasi seperti HCH dan HCB (Soemirat, 2003). Dieldrin dan klordan bersifat larut dalam lemak, tidak larut dalam air, stabil agak lama dari beberapa bulan sampai setahun. Gangguan keracunan adalah tremor dan kejang-kejang. Lindan bersifat tidak larut dalam lemak, larut dalam oli, minyak atau lemak. Lindan bersifat menstimulasi susunan saraf pusat sehingga ataxia, kejang-kejang, oedema paru-paru, dan kegagalan vaskular. Pengaruh lindan mulai tampak setelah 6 jam keracunan dan lamanya lebih kurang 4 hari. Gejala umum keracunan organoklo rin adalah sakit kepala, mual, muntah -muntah, mencret, badan lemah, gemetar, kejang-kejang dan pingsan (Wudianto, 1990).
2.3.2. Insektisida Organofosfat Golongan ini merupakan salah satu jenis insektisida yang paling banyak digunakan di bidang pertanian, dan dikenal sebagai inhibitor untuk enzim kolinesterase . Menurut Soemirat (2003) jenis insektisida organofosfat sering disebut sebagai insektisida antikolinesterase, karena dapat menghambat aktivitas enzim kolinesterase. Organofosfat sering disebut esterfosfat, yang merupakan turunan atau persenyawaan
asam fosfat dengan bahan-bahan organik. Kebanyakan
digunakan untuk serangga berjasad lunak dan dipasarkan dalam kadar 1-95%
10
Kadar yang tinggi terutama untuk pestisida yang berbentuk tepung yang dibasahkan. Jenis pestisida yang termasuk golongan organofosfat antara lain diazinon, fention, dichlorvos, dimetoat, fenitrothion, fentoat, klorpirifos (Wudianto, 1990).) Organofosfat bekerja menghambat asetilkolinesterase (AChE) yang mengakibatkan akumulasi asetilkolin (ACh). Asetilkolin yang ditimbun dalam SSP akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang dan lain -lain. Dalam sistem saraf autonom akumulasi ini akan menyebabkan diare, urinasi tanpa sadar, miosis dan sebagainya. Akumulasi pada neuromuskuler akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti kelemahan, hilangnya reflek dan paralisis. Senyawa organofosfat tertentu misalnya DFP (diisopropil fluofosfat) menyebabkan penghambatan yang tidak dapat pulih, penyembuhannya hanya melalui sintesis AChE baru (Frank, 1995). Beberapa organofosfat larut dalam air, juga mengakibatkan keracunan sistemik pada serangga dan mamalia. Karena bahan ini secara cepat dapat didistribusikan ke seluruh tubuh maka gejala cepat timbul beberapa jam setelah pemajanan. Organofosfat yang larut dalam lemak seperti k lorfentio dan fention dapat menimbun dalam lemak dan menimbulan gejala tetap sampai beberapa minggu dan dapat kambuh secara periodik serta memerlukan pengobatan yang tepat. 2.3.3. Insektisida Karbamat. Insektisida golongan ini mengandung bahan aktif yang merupakan turunan asam ditiokarbomin yang disebut ditiokarbamat. Yang termasuk golongan ini adalah karbaril, karbofuran, BPMC, MIPC, dan propoksur (Wudianto, 1990). Kelompok insektisida ini bekerja menghambat AChE tetapi pengaruhnya terhadap enzim jauh lebih reversible dibandingkan efek insektisida organofosfat. 2.4.
Pestisida Pada Bawang Merah Bawang merah (Allium ascolanicum L) merupakan sayuran rempah
yang banyak digunakan masyarakat. Tanaman ini juga komoditi unggulan
11
hortikultura yang banyak dikembangkan, karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan tidak sulit untuk dibudidayakan. Kebutuhan masyarakat terhadap bawang merah semakin meningkat. Produksi bawang merah hampir tersebar di seluruh wilayah nusantara dan selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.Tanaman bawang merah banyak dibudidayakan pada dataran rendah yang beriklim kering dengan suhu yang agak panas dan cuaca cerah, terutama yang mendapat sinar matahari lebih dari 12 jam. Gangguan hama dan penyakit yang menyerang tanaman bawang merah antara lain ulat tanah, hama thrips, ulat daun, ulat grayak, kutu daun (kutu dan tungau),nematoda akar, bercak ungu, embun tepung, busuk leher batang, antraknosa, busuk umbi, dan sebagainya. Petani pada umumnya menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman bawang merah. Para petani sudah terbiasa menggunakan pestisida, tingkat ketergantungan terhadap pestisida tinggi. Petani bawang merah cenderung berlebihan
di Kabupaten Brebes
dalam pemakaian pestisida. Akibatnya merusak
lingkungan, mengganggu kesehatan petani dan masyarakat, penyakit tanaman lebih resisten, juga menyebabkan pembengkakan biaya produksi. Pestisida masih banyak digunakan untuk menghadapi serangan OPT (organisme pengganggu tanaman).. Banyak merek dan jenis pestisida yang beredar di pasaran dengan berbagai keunggulan yang ditawarkan. Pada tahun 2000, pestisida yang terdaftar pada Komisi pestisida Departemen Pertanian Republik Indonesia telah mencapai 594 merek dagang (Novizan, 2002). Banyak jenis pestisida yang digunakan untuk membasmi hama dan penyakit tanaman bawang merah. Menurut Wudianto (1990) dan Rahayu (2003) jenis pestisida, bahan aktif, dan organisme pengganggu pada tanaman bawang merah tertera pada tabel 2.
12
Tabel 2. Pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman bawang merah No
Organisme Penganggu
Pestisida
Bahan aktif
Gejala
1.
Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hfn)
Dursban 20 EC Furudan 3 G
klorpirifos 200 g/l karbofuran 3%
daun dan batang seperti dikerat,ditarik
2.
Hama thrips (Thrips tabaci)
Diazinon 60 EC Bayrusil 250 EC Dicarzol 25 SP
diazinon 60 % kuinalfos 268 g/l formetanat 25 %
daun bercakbercak
3.
Ulat daun ( Spodoptera exigua)
Dicarzol 25 SP Diazinon 60 EC Lannate 25 WP
formetanat 25 % diazinon 60 % metomil 25 %
daun layu dan bercak putih
4.
Ulat grayak (Spodoptera litura F)
Azodrin Diazinon 60 EC Sumathion 50 EC
monokrotofos diazinon 60 % fenitrotion 555 g/l
daun berlubang
5.
Tungau (Acarina sp)
Kelthane MF
dikofol 42 %
6.
Nematoda akar (Ditylenchus dipsaci )
Furadan 3 G
karbofuran 3%
daun hijau menjadi keabu-abuan pangkal titik tumbuh bengkak ujung akar busuk,kering
7.
Penyakit bercak ungu oleh cendawan Alternaria porii
Antracol 70 WP Topsin-M70 WP Zincofol 68 WP
8.
Penyakit embun tepung (Peronospora destructor)
Daconil 75 WP Velimex 80 WP Dithane M-45 Antracol 70 WP
propineb 70,5 % metil tiofanat 70 % kaptafol 50 %, Cu 12,5 % dan Zn 6 % klorotalonil 75 % maneb 70 %, zineb 8 %, mankozeb, propineb 70,5 %
9.
Busuk leher batang oleh cendawan Botrytis allii Munn
Antracol 70 WP Daconil 75 WP
propineb 70,5 % klorotalonil 75 %
10.
Antraknosa oleh cendawan Colletritichum sp Busuk umbi oleh cendawan (Sclerotium cepivorium)
Delsens MX-200
karbendazim 6,2 % mankozeb 73,8 %
Antracol 70 WP Dithane M-45 Benlate
propineb 70,5 % mankozeb benomyl
11.
daun awalnya bercak putih kelabu lalu ungu daun bintik abu-abu/hijau pucat (awal pembentukan umbi) leher/pangkal batang kelabu lunak pangkal daun mengecil lalu mati daun kuning pangkal daun umbi putih Putih coklat
13
2.5.
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pengendalian Hama Terpadu (PHT) atau Integreted Pest Management
(IPM) merupakan cara pengelolaan pertanian dengan setiap keputusan atau tindakan yang diambil selalu bertujuan meminimalisasi serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan mengurangi bahaya yang ditimbulkannya terhadap manusia, tanaman dan lingkungan.(Novizan, 2002). Menurut Oka (2005) tujuan PHT meliputi : 1).
Mementapkan hasil dalam taraf yang telah dicapai oleh teknologi pertanian maju.
2).
Mempertahankan kelestarian lingkungan.
3).
Melindungi kesehatan produsen dan konsumen
4).
Meningkatkan efisiensi masukan dalam berproduksi.
5).
Meningkatkan kesejahteraan/pendapatan petani.
Dalam rangka untuk pengembangan sumber daya manusia pada tingkat petugas lapangan dan tingkat petani sendiri mala dilakukan pelatihan -pelatihan mengenai PHT. Pelatihan ini dilakukan untuk menghindari pencemaran lingkungan oleh pestisida, termasuk menjaga kesehatan petani dan masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida. Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) merupakan pelatihan PHT yang diikuti oleh petani. Metodologi pelatihan ini adalah suatu proses belajar mengajar secara partisipatif, mencari dan menemukan sendiri apa yang terdapat di lapangan terbuka yaitu sawah, bereksperimen, mendiskusikan dan memutuskan (Oka, 2005). Dengan SLPHT ini petani mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan menggunakan/tidak menggunakan
pestisida dan apa dasarnya, serta menerapkan konsep PHT.
Petani yang sudah mengikuti SLPHT pad a umumnya sudah dapat membedakan jenis hama sasaran, dampak negatif yang ditimbulkannya, peraturan penggunaan pestisida,jenis pestisida dan bahan aktifnya, dan sebagainya. Petani dapat mengaplikasikan pestisida berdasarkan hama sasarannya saja. Dengan demikian pencemaran lingkungan seperti tanah, air, dan udara dapat ditekan sekecil-kecilnya.
14
2.6.
Dampak Pestisida
2.6 .1. Dampak Pestisida Terhadap Lingkungan Dalam bidang pertanian pestisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk membunuh organisme pengganggu tanaman. Penggunaan pestisida selain bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian juga menimbulkan dampak negatip terhadap lingkungan dan kesehatan. Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata tidak semua pestisida mengenai sasaran . Kurang lebih hanya 20 % pestisida yang mengenai sasaran, sedangkan 80 % lainnnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut mengakibatkan pencemaran lahan pertanian. Apabila masuk ke dalam rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemical Acquired Deficiency Syndrom) dan sebagainya. Penggunaan pestisida dapat dilakukan dengan cara disemprot, ditabur, dioles dan lain-lain. Pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan tidak memperhatikan aturan yang ada, selain memboroskan biaya produksi juga menimbulkan dampak sampingan yang merugikan terhadap lingkungan, yaitu : -
Pencemaran air, tanah dan udara, yang akhirnya merugikan manusia dan mahluk hidup lainnya.
-
Matinya musuh alami. Jika musuh alami musnah akan terjadi peningkatan populasi yang menyebabkan organisme tersebut menjadi hama dengan tingkat serangan lebih besar dari sebelumnya.
-
Kematian organisme bukan sasaran , dimana organisme ini merupakan predator serangan OPT jenis lain.
-
Kematian organisme yang menguntungkan.
-
Timbulnya kekebalan organisme pengganggu tanaman (OPT) terhadap pestisida. Pencemaran air oleh pestisida terjadi melalui aliran air dari tempat-
tempat kegiatan manusia yang menggunakan pestisida dalam meningkatkan produksi pertanian. Pestisida yang disemprotkan dan yang sudah berada dalam tanah akan terbawa air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air
15
penerima, yaitu sungai, waduk dan sumur serta menimbulkan kematian organisme air. Produktivitas tanaman bawang merah terhambat dengan rusaknya tanah yang banyak terkena pupuk dan pestisida . Tanah menjadi jenuh karena kebanyakan bahan kimia, kandungan zat reniknya semakin berkurang. Di Kabupaten Brebes sekitar 44.000 hektar lahan
yang digunakan untuk
menanam bawang merah telah rusak. Luas seluruh lahan bawang merah adalah 60.000 hektar (Suara Merdeka, 2002). Pestisida berada di udara setelah disemprotkan dalam bentuk partikel air (droplet) atau partikel yang terformulasi jatuh pada tu juannya.. Kebanyakan penggunaan pestisida dilarutkan dalam air. Di samping itu partikel/aerosol pestisida tersebut dapat juga jatuh pada tanaman, air dan tanah. (Soemirat, 2003). Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah pestisid a sintetik, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain, karena senyawa ini peka terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai. Pestisida organoklorin adalah salah satu golongan pestisida yang presisten . Suatu studi mengemukakan bahwa dengan hanya sekali saja aplikasi pestisida aldrin pada tanah, setelah 5 tahun kemudian masih ditemukan lebih dari 34 % residunya. Sisanya sebanyak 66 % berada dalam air, udara dan tanah (Infokes, 2004)..
2.6.2. Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan Pestisida merupakan bahan yang beracun dan berbahaya, yang bila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatip terhadap manusia.
Manusia
berada
paling
dekat
dengan
pestisida,
pestisida
membahayakan pada manusia karena sifat racunnya, yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan. Penggunaan pestisida terbanyak di daerah pertanian, ini dapat menimbulkan masalah kesehatan pekerja di pertanian atau petani termasuk juga pencampur pestisida. Perhatian petani umumnya tertuju pada hama dan
16
penyakit yang menyerang tanaman saja, tanpa memperhatikan keselamatan dan pencemaran lingkungan.
Kebanyakan petani yang tidak peduli bahaya
pestisida , seperti merokok pada saat menyemprot, mencuci tangki semprot di sungai,
membuang
wadah
bekas
pestisida
sembarangan,
dan
tidak
menggunakan alat pelindung diri. Petani tidak menggunakan alat pelindung diri dalam melakukan pekerjaannya, petani beranggapan penggunaan alat pelindung diri tidak praktis dan merepotkan, akibatnya dapat terpapar pestisida melalui kulit dan saluran napas.
Masyarakat yang tinggal di sekitar pertanian dapat terpapar oleh
pestisida. Eksposure pestisida dapat juga terjadi pada pekerja di industri/pabrik pestisida. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukan 500.000 hingga 1.000.000 orang per tahun di seluruh dunia telah mengalami keracunan pestisida. Sekitar 5000 -10.000 orang per tahun diantaranya mengalami dampak yang sangat fatal, seperti kanker, cacat, kemandulan dan liver (Novizan, 2003).
Pestisida yang disemprotkan pada tanaman akan
meninggalkan residu pada batang, daun, buah dan akar. Walaupun sudah dicuci residu ini masih terdapat pada bahan makanan, jika dimakan oleh manusia akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi kesehatan. Berdasarkan hasil tes darah pada petani tanaman bawang merah di Kabupaten Brebes sangat memprihatinkan. Dari 80 petani di Desa Kemurang Wetan dan Sarireja Kecamatan Tanjung diantaranya 36-37 %
petani
menderita keracunan di tubuhnya (Suara Merdeka, 2002). Efek yang paling buruk akibat pestisida adalah keracunan akut akibat kecelakaan. Beberapa peristiwa keracunan masal oleh senyawa metil merkuri dan etil merkuri, heksaklorobenzen sebagai fungisida, serta paration sebagai insektisida organofosfat, telah terjadi berbagai belahan dunia, dan mengakibatkan kematian (Frank, 1995). Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran napas dan absorpsi kulit, tetapi sejumlah kecil dapat memasuki saluran gastrointestinal (GI) karena menggunakan tangan atau peralatan yang tercemar. Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernapasan,
17
sedangkan pestisida dalam bentuk cairan berbahaya bagi kulit karena dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit. Keracunan pestisida dapat dibedakan berdasarkan jumlah pestisida yang masuk ke dalam tubuh. Bila pestisida masuk kedalam tubuh sekaligus dalam dosis tertentu disebut keracunan akut, yang dapat mengakibatkan kematian. Jika pestisida masuk kedalam tubuh secara berangsur-angsur dalam jumlah yang sangat kecil disebut keracunan kronis. Penderita k eracunan kronis biasanya akan mengalami perubahan histologis dan genetis (Wudianto, 1990). Dampak buruk dari penggunaan pestisida terhadap manusia dan lingkungan baru dirasakan dalam jangka panjang. Berbagai penyakit dari yang sederhana seperti penyakit kulit, gangguan pernapasan, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan hingga penyakit kanker yang dapat mengakibatkan kematian.
2.7.
Cara Masuk Pestisida ke dalam Tubuh Manusia
1.
Kulit Pestisida
cair masuk ke dalam tubuh manusia yang paling banyak
terjadi melalui kulit (absorpsi). Pemaparan yang terjadi melalui kulit ini karena petani tidak menggunakan pakaian pelindung, dengan alasan tidak praktis dan merepotkan. Banyak petani yang hanya menggunakan kaos lengan pendek dalam bekerja. Lengan atau tangan merupakan bagian yang paling sering terpapar pestisida pada waktu melakukan pencampuran dan penyemprotan pestisida. Jenis pestisida organo fosfat masuk dengan cepat melalui kulit dan menimbulkan iritasi. 2.
Pernapasan Jenis pestisida cair yang berbentuk partikel “mist” mudah masuk melalui saluran pernapasan. Untuk menghindarinya maka pekerja tau petani harus menggunakan alat pelindung pernapasan seperti masker atau respirator.
3.
Mulut Pestisida b isa masuk kedalam tubuh manusia melalui mulut. Biasanya terjadi setelah menangani pestisida tidak mencuci tangan ketika hendak
18
makan, minum dan merokok. Selain itu juga terjadi pada saat melakukan penyemprotan sambil merokok .
2.8.
Faktor yang Mempengaruhi Masuknya Pestisida ke dalam Tubuh
2.8.1. Faktor Spesifik Tingkat organofosfat
keracunan tergantung
pekerja atau petani beberapa
faktor
seperti
yang
menggunakan
absorbsi,
distribusi,
biotransformasi dan ekskresi (Gan, 1981). 1.
Absorbsi Sifat absorbsi sangat penting dan menentukan efek dari insketisida. Sifat ini dipengaruhi oleh sifat fisik, kimiawi, bentuk dan dosis insektisida yang digunakan, juga luas permukaan kontak dan tempat absorbsi.
2.
Distribusi Insektisida setelah diabsorbsi akan tersebar melalui sirkulasi darah ke seluruh badan. Molekul insektisida mudah melintasi membrane sel akan mencapai seluruh cairan tubuh.
3.
Biotranformasi Pada umumnya biotransformasi insektisida terjadi oleh enzim hati. Reaksi biokimia yang terjadi pada proses biotransformasi dapat dibagi dalam reaksi sintetik dan non sintetik.
4.
Ekskresi Insektisida dapat dikeluarkan dari badan dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau bentuk asalnya. Ekskresi umumnya terjadi melalui urin dan tinja.
2.8 .2. Faktor Tidak Spesifik Faktor tidak spesifik atau
tidak langsung
yang mempengaruhi
kandungan kolinesterase adalah lingkungan, jumlah pemaparan, alat pelindung dan kepekaan tubuh. 1.
Lingkungan a. Tempat bekerja
19
Jika melakukan penyemprotan di dalam gedung (indoor spraying) kemungkinkan kulit terpapar paling banyak , dan penyemprotan di luar
gedung
(outdoor
spraying),
pada
saat
angin kencang
penyemprotan harus dihentikan atau penyemprotan dikerjakan menurut arah angin, sehingga kabut semprot tidak ke arah badan. b. Cuaca -
Suhu Jika melakukan penyemprotan dalam gedung sebaiknya yang mempunyai ventilasi dan suhu yang sama. Suhu yang diharapkan (optimum) berkisar antara 24oC-30 oC (WHO, 1974).
-
Kelembaban Dalam gedung/ruangan kelembaban diharapkan antara 50 %-70 %. Jika udara lembab insektisida relatif mudah melekat pada kulit.
-
Arah angin Penyemprotan yang dilakukan di luar gedung (out door spraying), seperti daerah pertanian dan perkebunan
sesuai
dengan arah angin. Arah angin potensial mengembalikan titik cairan ke tubuh penyemprot, terutama insektisida berbentuk aerosol. 2.
Jumlah Pemaparan Dalam menentukan jumlah pemaparan terdapat dua unsur penting yaitu waktu dan konsentrasi. Penyemprot terpapar maksimum 8 jam/hari dan bekerja setiap minggu melebihi 5 hari/minggu. Konsentrasi insektisida yang digunakan dalam gram per liter.
3.
Alat Pelindung Untuk mengurangi pemaparan insektisida perlu menggunakan alat pelindung saat melakukan penyemprotan seperti baju lengan panjang, sarung tangan, masker, sepatu, tutup muka, dan kaca mata.
20
4.
Kepekaan Tubuh Daya tahan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, keadaan kesehatan, keturunan dan alat penyemprot yang digunakan.
2.9.
Asetilkolinesterase. Kolinesterase adalah enzim, suatu bentuk dari katalis biologik, yang di
dalam jaringan tubuh berperan menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan sel-sel saraf bekerja secara terorganisir dan harmonis (DepKes, 1992). Enzim kolinesterase merupakan suatu enzim yang mengkatalisis hidrolisis kolinester (Bhabayan, 1974 ; Champbell and Smith, 1988). Enzim kolinesterase ini melakukan
peniadaan
keaktifan
asetilkolin
setelah
berakhir
dalam
menghantarkan rangsangan, akibatnya akan terjadi penimbunan asetilkolin pada sambungan saraf efektor sehingga kehilangan sama sekali koordinasi otot yang menyebabkan kematian melalui proses berhentinya napas. Menurut Jacob et al (1990) dua tipe kolinesterase yang dijumpai dalam darah yaitu : -
“true” cholinesterase(acethylcholinesterase) dalam sel darah merah.
-
“pseudocholinesterase”
(acythylcholine
acylhydrolase)
pada
serum/plasma. Asetilkolinesterase dalam
butir/sel
darah
merah
lebih
banyak
dibandingkan dengan pseudokolinesterase. Keduanya merupakan indikator, plasma dipakai sedikit penurunannya bila kontak dengan organofosfat meskipun dalam jumlah sedikit (WHO, 1986). Kadar kolinesterase untuk lakilaki dewasa berbeda dengan kadar kolinesterase perempuan dewasa. Dalam keadaan normal kadar kolinesterase laki-laki dewasa 2,3 – 7,4 µ/ml (25oC), sedangkan perempuan dewasa 2,0 – 6, 7 µ/ml (25 oC) (Merk, 1977 dalam Wiyono, 1981). Hambatan pada kolinesterase akan menyebabkan terjadinya penumpukan asetilko lin sehingga dapat menimbulkan efek muskarinik, nikotinik maupun menurunnya fungsi saraf pusat dan berakibat fatal. Kadar kolinesterase merupakan petanda biologis (biomarker) terjadinya keracunan senyawa golongan organofosfat dan karbamat.
21
2.9 .1. Metabolisme Asetilkolin Asetilkolin merupakan suatu neuro hormon yang terdapat di antara ujung-ujung syaraf dan otot sebagai chemical mediator yang berfungsi meneruskan rangsangan saraf atau impuls ke reseptor sel-sel otot dan kelenjar. Rangsangan yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan gangguan pada pada tubuh. Asetilkolin mempunyai efek ringkas pada reseptor (1 msec atau lebih) karena menghidrolisis secara cepat asetilkolinesterase (true cholinesterase) menjadi kolin dan asetat. Kolin diangkut kemb ali menuju saraf parasimpatik akhr dan digunakan kembali untuk sintesa asetilkolin. Hidrolisis antikolinesterase,
oleh seperti
asetilkolin
tidak
organo fofat
terjadi
jika
dan karbamat.
dihambat Cara
oleh
bekerjanya
antikolinesterase dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut (Gan, 1981) : Asetilkolin
Kolin + Asam cuka Kolinesterase diikat Anti kolinesterase
Asetilkolin sebagai transmitter harus diinaktifkan
dalam waktu cepat.,
kecepatan inaktifasi tergantung dari sinap dan neuron (Darmansyah dan Gan, 1995).
Reaksi hidrolisis dari asetilkolin oleh organofosfat
ENZIM-OH + (CH3)3N+CH2CH2OC(O)CH3 ? [ENZIM-OH---(CH3)3N+CH2CH2OC(O)CH3] (CH3)3N+CH2CH2OH ENZIM-OC(O)CH3
HOC(O)CH3
22
Atau E-OH + ACh
E-OH ? ACh
E-OAc ChH
E-OH AcOH
Reaksi hidrolisis dari asetilkolin oleh karbamat : ENZIM-OH + RO-C(O)NHCH3
[ ENZYME – OH----RO-C (O)NHCH3] > (ROH) ENZYME-OC(O)NHCH3
HOC(O)NHCH3
CO(OH)2 + CH3NH2
2.9.2. Pengaruh Paparan Pestisida Terhadap Asetilkolinesterase Insektisida organo fosfat dan karbamat menghambat kolinesterase. Biasanya neurotransmiter asetilkolin (ACh) dilepaskan pada sinaps. Sekali impuls saraf disalurkan ACh yang dilepas dihidrolisis oleh asetilkolinesterase (AChE) menjadi asam asetat dan kolin. Asetilkolinesterase berada dalam otak, sel-sel syaraf dan butir darah merah, sehingga penting artinya dalam mekanisme pergerakan syaraf . Insektisida yang mengandung ester organik dan derivat asam fosfor (misalnya parathion) dapat menonaktifkan fungsi enzim AChE pada sel-sel syaraf. Jika aktivitas AChE berkurang secara cepat sampai ke tingkat rendah, mengakibatkan gangguan gerakan otot-otot halus dan kasar, sekresi air mata dan air liur secara berlebihan. Selanjutnya pernapasan akan lemah, denyut jantung lebih lambat dan lemah. Pada saat terpajan organo fosfat
dan karbamat, asetilkolinesterase
AChE) dihambat sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh). ACh yang ditimbun dalam SSP akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang -kejang dan lain-lain. Penghambatan AChE yang diinduksi oleh karbamat dapat pulih dengan cepat, sedangkan pada senyawa organofosfat sulit pulih (Frank, 1995).
23
Masuknya organofosfat dalam tubuh akan mengganggu sistem saraf karena penghambatan enzim asetilkolinesterase (Hassall, 1982). Akibat keracunan dari pemaparan pestisida organofosfat ini secara berlebihan (over exposure) dapat menurunkan aktivitas asetilkolinesterase. Penurunan aktivitas asetilkolinesterase dapat juga terjadi pada beberapa penyakit. Infeksi virus hati yang dikenal dengan hepatitis, baik yang akut maupun yang kronis dapat menurunkan aktivitas kolinesterase sampai 30-50 %, sedangkan penyakit sirrosis hepatitis yang lanjut dan tumor hati ataupun tumor lain yang bermetasitasis ke hati dapat menurunkan aktivitas kolinesterase sampai 50–70 % (Dirdjoatmojo, 1991). Penurunan aktivitas asetilkolinesterase oleh keadaan penyakit lain seperti penyakit yang menyerang hati, dapat menyebabkan kekeliruan dalam menentukan adanya keracunan organofosfat, bila petani juga menderita penyakit hati. Untuk menyingkirkan adanya kekeliruan maka ditentukan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT).
2.9 .3. Penentuan Kandungan Asetilkolinesterase Penentuan kandungan enzim asetilkolinesterase dalam tubuh manusia dapat dilakukan dengan menggunakan parameter biologis (biomarker). Kadar enzim kolinesterase yang ditentukan menunjukkan terjadinya keracunan senyawa golongan organofosfat ataupun karbamat. Menurut Departemen Kesehatan (1992) batasan yang digunakan untuk memberikan kriteria keracunan adalah kadar kolinesterase dalam darah, yaitu kadar 0-25 % dari normal(keracunan berat), kadar > 25-50 % dari normal (keracunan sedang), kadar >50-75 % dari normal (keracunan ringan) dan kadar > 75-100 % dari normal (kondisi normal) . Kandungan asetilkolinesterase dalam darah dapat diketahui dengan beberapa metode, diantaranya Lovibond dan Elman. Pada metode Lovibond menggunakan alat Tintometer Kit dengan reagensia ACP (Acethylcholine Perchlorat) dan BTB (Bromo Timol Blue)sebagai indikator. Metode Lovibond ini merupakan pengujianan di lapangan.
24
Penentuan kandungan AChE dalam darah dengan metode Lovibond mempunyai prinsip “ Darah yang mengandung enzim AChE menguraikan asetilkolin menjadi asam cuka bebas dan kolin. Dengan bebasnya asam cuka maka pH darah turun. Penurunan pH darah sebagai petunjuk besarnya asam cuka yang bebas, semakin aktif AChE semakin banyak asam cuka yang bebas dan pH darah rendah. Dengan indikator bromothymol blue diukur seberapa jauh penurunan pH “. Pengujian ini dilakukan untuk mengukur tingkat kolinesterase darah dengan asumsi bahwa yang menyatakan sebagai suatu prosentase dari aktivitas kolinesterase dalam darah normal (Lovibond, 1998). Metoda Elman menggunakan alat spektrofotometer dan dilakukan di laboratorium. Pada metode ini digunakan reagensia S-butiril thiocholine iodida dan 5,5 dithiobis 2-nitrobenzoat. Darah yang diambil untuk menen tukan aktivitas enzim asetilkolinesterase adalah darah vena yang diambil sebanyak 2 ml dicampur dengan antikoagulan heparin (Sasmito, 1996). Penentuan aktivitas enzim asetilkolinesterase dengan spektrofotometer menurut metode Elman berdasarkan prinsip :” Enzim kolinesterase mengkatalisis proses hidrolisis S-butiril thiocholin menjadi
butirat dan
thiocholin. Thiocholin yang terbentuk akan mereduksi zat indikator 5,5 dithiobis (2-nitrobenzoat) menjadi 4-mercapto 2,nitrobenzoat yang berwarna kuning”. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektofotometer pada panjang gelomb ang 400/420 nm pada suhu kamar (Elman, 1961).
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Brebes Jawa Tengah yang merupakan
daerah pertanian bawang merah. Penelitian dilakukan mulai bulan Maret sampai dengan Oktober 2004. Lokasi penelitian terdiri dari 3 desa, yaitu Desa Sisalam dan Desa Jagalempeni Kecamatan Wanasari serta Desa KedungUter Kecamatan Brebes.
3.2.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
darah dari petani
pengguna pestisida . Pereaksi seperti alkohol 70 %, aquades steril, larutan buffer fosfat, 5,5-dithiobis-2-nitrobenzoat, S-butiril thiocholine iodida. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah disposible syiringe, kapas, centrifuge, torniqute, pipet drop, tabung centrifuge, tabung sampel, cool box, , pipet ukur, pipet volume, termometer dan spektrofotometer.
3.3.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survai yaitu teknik
wawancara dengan kuesioner kepada petani yang terpilih sebagai sampel untuk memperoleh data sosial ekonomi, data jenis pestisida dan data kesehatan. Sedangkan menentukan kandungan enzim asetilkolinesterase dan enzim glutamat piruvat transaminase dilakukan pengambilan darah responden yang terpilih. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Wanasari dan Kecamatan Brebes. Untuk Kecamatan Wanasari dipilih 2 desa yaitu Desa Sisalam dan Desa Jagalempeni, sedangan Kecamatan Brebes dipilih 1 desa yaitu Desa Kedunguter. Pengambilan sampel di Desa Sisalam sebanyak 28
26
responden, Desa Jagalempeni sebanyak 25 responden dan Desa Kedung Uter sebanyak 26 responden. Total keseluruhan yang menjadi obyek penelitian berjumlah 79 orang responden. Lokasi penelitian dipilih sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka kecamatan dipilih secara purposif : 1) wilayahnya merupakan penghasil bawang merah 2) wilayahnya merupakan daerah dengan aktivitas penyemprotan tinggi dan rendah, 3) banyaknya petani berkaitan dengan penggunaan pestisida, 4) mata pencaharian atau kegiatan utama sebagai petani.
Responden dalam penelitian
ini adalah petani yang menangani/ berhubungan dengan pestisida dan berjenis kelamin laki-laki. Dengan cara ini diharapkan responden yang terpilih merupakan representasi dari petani yang terkait dengan pestisida di daerah pertanian bawang merah.
Penelitian ini merupakan penelitian sewaktu, karena tidak dilakukan
pemeriksaan dahulu pada calon responden (keadaan sebelum melakukan penyemprotan dengan pestisida).
3.4.
Pengumpulan Data Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan,
pengambilan sampel darah petani dan melakukan wawancara pada petani dengan memberikan pertanyaan berstruktur melalui pengisian kuesioner.
3.4.1. Data Aktivitas Enzim Asetilkolinesterase
(AChE) dan Enzim
Glutamat Piruvat Transaminase (GPT) Untuk mengukur derajat keracunan pestisida organofosfat dan karbamat dilakukan pemeriksaan kandungan enzim asetilkolinesterase (AChE) dalam darah petani yang terpilih (kelompok sampel) . Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) untuk menyingkirkan kemungkinan penurunan kandungan enzim AChE bukan karena pengaruh pestisida. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan yang sama pada sejumlah orang
27
dari daerah yang sama tetapi tidak berhubungan sama sekali dengan pestisida, kelompok ini disebut kelompok kontrol. Penentuan kandungan enzim asetilkolinesterase ini dilakukan dengan metode Elman, berdasarkan prinsip enzim asetilkolinesterase mengkatalisis proses hidrolisis S butiril thiocholine menjadi butirat dan thiocholine. Thiocholine yang terbentuk akan mereduksi 5,5 Dithiobis (2-nitrobenzoat) menjadi 4-mercapto 2, nitrobenzoat yang berwarna kuning. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer. Penentuan kadar enzim asetilkolinesterase dilakukan dengan mengambil sampel darah pada responden yang terpilih sebanyak 2 ml dan dimasukan dalam tabung stril yang telah diberi heparin secukupnya. Darah yang sudah diambil dicentrifuge selama 20 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Kemudian diambil yang jernih dan dimasukan dalam tabung yang jernih untuk pemeriksaan di laboratorium dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 400/420 nm dalam suhu kamar. Penentuan kadar enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) dilakukan dengan spektrofotometer Kit Boehringer Mannheim. Penentuan kandungan enzim GPT ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penurunan AChE bukan karena keracunan pestisida.
3.4.2. Data Sosial Ekonomi Pengumpulan data sosial ekonomi
dilakukan dengan wawancara kepada
petani yang terpilih di setiap desa menggunakan kuesioner, yang meliputi mata pencaharian, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan sebagainya.
3.4.3. Data Kesehatan Petani Pengumpulan data kesehatan petani menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara kepada petani (responden) yang terpilih di setiap desa menggunakan kuesioner, pemeriksaan kesehatan dan
28
pengambilan darah petani untuk mengetahui kandungan AChE petani. Wawancara ini menyangkut keluhan sakit yang dirasakan petani yang berhubungan dengan pestisida. Dalam pengumpulan data ini dibantu oleh petugas
Puskesmas
Kecamatan Wanasari dan Kecamatan Brebes serta petugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes. Data sekunder diperoleh dari instansi atau sektor terkait seperti Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes dan Puskesmas Kecamatan setempat. Data sekunder yang lain diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian Kehutanan dan Konservasi Tanah, Bappeda, Kantor Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum, dan Pemda. Jenis data sekunder yang diperlukan antara lain: 1.
Data lingkungan seperti cuaca, suhu, kelembaban dan curah hujan.
2.
Data lokasi (luas, kondisi geologi, tanah, topografi, iklim dan sebagainya).
3.
Data sosial ekonomi (jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, pendapatan dan sebagainya).
3.5.
Analisis Data
3.5.1. Pengetahuan dan Sikap Untuk data ini menggunakan kuesioner bersifat kualitatif, kemudian dikuantitatifkan (scoring) dengan menggunakan skala ordinal. No
1). a. b.
c.
2).
Kelompok
Pengetahuan Pengetahuan mengenai Pestisida Pengetahuan mengenai peraturan penggunaan pestisida Pengetahuan mengenai dampak pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan. Sikap
Jumlah Pertanyaan
Scoring jawaban ya sedikit/ tdk kadangkadang
Nilai tertinggi terendah
7
3
2
1
21
7
5
3
2
1
15
5
5
3
2
1
15
5
14
3
2
1
42
14
29
3.5.2. Ekonomi Jumlah pertanyaan yang berhubungan dengan ekonomi berjumlah 6 pertanyaan, yaitu (1) harga pestisida, (2) biaya produksi, (3) hasil produksi bawang merah, (4) pekerjaan lain, (5) kebutuhan keluarga, (6) keuntungan dan kerugian.
3.5.3. Lingkungan Jumlah pertanyaan yang berhubungan dengan lingkungan berjumlah 10 pertanyaan, yaitu (1) penyemprotan sesuai arah angin, (2) memperhatikan cuaca pada saat menyemprot, (3) penyemprotan pada cuaca panas, (4) penyemprotan pagi dan sore, (5) mencuci alat penyemprot di saluran air, (6) wadah pestisida ditanam, (7) wadah pestisida dibakar, (8) wadah pestisida dibuang ke tempat sampah, (9) wadah pestisida di sekitar sawah, dan (10) wadah pestisida dibuang ke parit/sungai.
3.5.4. Lain-lain Jumlah pertanyaan untuk kelompok lain-lain meliputi 5 pertanyaan yaitu (1) tempat pembelian pestisida, (2) kemasan pestisida, (3) wadah pestisida, (4) kebiasaan membeli pestisida dengan bahan pangan, (5) penyimpanan pestisida.
3.5.5. Kesehatan Jumlah pertanyaan untuk kelompok kesehatan meliputi 4 pertanyaan yang berhubungan dengan kesehatan yaitu (1) gangguan kesehatan yang diderita petani, (2) cara petani mengatasi gangguan kesehatan, (3) gangguan kesehatan pada anggota keluarga dan (4) keluhan yang diderita petani seperti mata, saluran pernapasan, saluran pencernaan, sistem kardiovaskular, ginjal, otot rangka, dan sistem saraf pusat. Analisa data dengan menggunakan komputer, teknik analisa yang digunakan :
30
a.
Analisis Univariat, yaitu analisa persentase yang digunakan untuk melakukan analisa terhadap distribusi frekuensi.
b.
Analisis Crosstabs, yaitu analisa yang menampilkan tabulasi silang atau tabel kontigensi yang menunjukan hubungan suatu distribusi bersama dan pengujian hubungan antara dua variabel atau lebih.
c.
Analisis Korelasi , yaitu analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel.
31
IV.
4.1.
KEADAAN UMUM LOKASI
Geologi dan Topografi Kabupaten Brebes merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa
Tengah, yang terletak pada posisi 1080 41’ 37,7” BT sampai 109011’ 28,92” BT dan 6044” 56,5” LS sampai 70 20’ 51,48” LS. Secara administratif berbatasan dengan wilayah lain, yaitu : -
Sebelah utara
: Laut Jawa
-
Sebelah timur
: Kabupaten Tegal dan Kota Tegal
-
Sebelah barat
: Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan
-
Sebelah selatan
: Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas.
Secara topografi Kabupaten Brebes terletak di kawasan pantai, dataran rendah dan dataran tinggi, memiliki luas wilayah 166.177 ha yang terbagi menjadi 5 wilayah Pembantu Bupati, 17 Kecamatan, 292 Desa dan 5 Kelurahan. Jenis tanah sebagian besar alluvial sehingga daerah Kabupaten Brebes berpotensi untuk sentra produksi bawang merah (NKLD, 2003).
4.2.
Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Brebes dari tahun ke tahun sejak tahun 2000
sampai 2003 mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 2003. Peningkatan jumlah penduduk tersebut tersebar pada 17 kecamatan. Sebagaian besar penduduk bermata pencaharian sebagai buruh tani sebesar 398.629 orang (40,87 %) dan sebagai petani sendiri sebesar 292.454 orang (30 %). Data kependudukan untuk Kabupaten Brebes sejak tahun 2000 sampai 2003 secara rinci tertera pada Tabel 3.
32
Tabel 3. No
Jumlah penduduk Kabupaten Brebes Tahun 2000 – 2003
Jumlah penduduk
1. Jumlah penduduk akhir tahun (berdasar regestrasi) 2. Kepadatan penduduk 3. Pertumbuhan penduduk
Tahun 2000
Tahun 2001
Tahun 2002
Tahun 2003
1.641.030
1.702.034
1.708.657
1.717.103
1.023 1.12 %
1.027 1.04 %
1.030 1.089 %
1.033 0.933 %
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes
4.3.
Iklim Kabupaten Brebes memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 12.152 mm dan curah hujan terendah pada bulan September sebesar 219 mm. Atas dasar klasifikasi Schmidt dan Furguson, wilayah Kabupaten Brebes terdapat dua iklim yaitu 1) iklim A yang meliputi wilayah dataran tinggi seperti Kecamatan Sirampong, Ketanggungan, Bumiayu, Bantarkuwung, Salem dan Tonjong, dengan curah hujan rata-rata 4.448 mm/tahun ,2) iklim B yang meliputi wilayah dataran rendah seperti Kecamatan Larangan, Brebes, Bandarharjo terus ke utara sampai daerah pantai dengan curah hujan rata-rata 2.165 mm/tahun (NKLD, 2003). Berdasarkan data kondisi iklim dan cuaca Propinsi Jawa Tengah menurut stasiun Klimatologi Klas I Semarang, suhu rata-rata antara 18oC sampai 29oC. Tempat-tempat yang terletak dekat dengan pantai mempunyai suhu rata-rata lebih tinggi, berkisar antara 21o C sampai 27oC, sedangkan kelembaban udara bervariasi antara 74 % sampai 95 %.
4.4.
Luas Areal dan Produksi Bawang Merah Tanaman bawang merah merupakan produk unggulan Kabupaten Brebes,
yang tersebar di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Larangan, Kecamatan Ketanggungan, Kecamatan Banjarharjo, Kecamatan, Losari, Kecamatan Tanjung, Kecamatan Kersana, Kecamatan Bulakamba, Kecamatan Wanasari, Kecamatan
33
Jatibarang, Kecamatan Songgom, dan Kecamatan Brebes. Produksi bawang merah di Kabupaten Brebes sejak tahun 1999 sampai 2003 pada umumnya mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 2002 mengalami penurunan Luas areal dan produksi bawang merah tahun 1999-2003 tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Luas areal dan produksi bawang merah Kabupaten Brebes tahun 1999-2003 No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
1999 2000 2001 2002 2003
Luas tanam (ha)
Luas panen (ha)
Produksi (kwt)
Rata-rata (kw/ha)
26.578 16.993 20.317 18.681 20.312
244.562 1.529.241 1.693.090 1.539.638 1.931.125
91.97 89.99 76.08 82.41
28.722 17.316 21.333 22.624 21.729
Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan dan Konservasi Tanah (2003)
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran prioritas yang dikembangkan dan salah satu tanaman andalan di Jawa Tengah, dan Kabupaten Brebes merupakan sentra bawang merah di propinsi ini.
4.5.
Karakteristik Petani Responden
4.5.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan Lama Bertani Responden adalah petani berjenis kelamin laki-laki dengan persentase terbanyak berusia 31-50 tahun untuk Desa Sisalam Kecamatan Wanasari (60,7 %) dan Desa Kedunguter Kecamatan Brebes (69,2 %). Sedangkan untuk Desa Jagalempeni Kecamatan Wanasari persentase terbanyak berusia = 30 tahun (68, 0 %). Untuk selengkapnya tersaji dalam Tabel 5.
34
Tabel 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan Lama Bertani. Karakteristik responden
Persentase Responden Menurut Lokasi Kec. Wanasari Desa Sisalam
Kec. Brebes
Desa Jagalempeni
Desa Kedunguter
Umur (tahun) § = 30 § 31 – 50 § = 31
35,7 60,7 3,6
68,0 32,0 0,0
11,5 69,2 19,2
Lama bertani tahun) § = 10 § 10 -20 § = 21
46,4 28,6 25,0
76,0 12,0 12,0
34,6 15,4 50,0
Dari aktivitas dalam bertani bervariasi , terbanyak responden melakukan pekerjaan bertani selama = 10 tahun meliputi dua desa yaitu Desa Sisalam Kecamatan Wanasari (46,4 %) dan Desa Jagalempeni Kecamatan Wanasari (76,0 %), sedangkan Desa Kedunguter Kecamatan Brebes terbanyak bertani selama = 21 tahun (50, 0 %).
4.5.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan dan Kursus Berdasarkan data penelitian menunjukan bahwa pada umumnya petani responden
masih
berpendidikan
rendah,
sebanyak 46 orang (58,2
%)
berpendidikan SD. Sedangkan yang berpendidikan SMP sebanyak 13 orang (13,9 %) dan berpendidikan SMA sebanyak 11 orang (16,5 %). Untuk petani responden yang pernah mengikuti kursus SLPHT (Sekolah Lapangan Pengandalian Hama Terpadu)
sebanyak 28 orang (35,4 %) dan non SLPHT sebanyak 51 orang
(64,6%) , secara rinci tertera pada Tabel 6.
35
Tabel 6. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan dan kursus Pendidikan Tingkat
Kursus
?
%
Jenis
?
%
TTSD SD SMP SMA
9 46 13 11
11.4 58.2 13.9 16.5
SLPHT Non SLPHT
28 51
35.4 64.6
Total
79
100.0
Total
79
100.0
4.5.4. Golongan Pestisida yang Digunakan oleh Petani Dari hasil wawancara dengan petani sebagian besar petani di
lokasi
penelitian menggunakan pestisida jenis organofosfat (42,91 %) dan karbamat (37, 40 %) . Sedangkan jenis lain yang digunakan oleh petani di daerah ini adalah ditiokarbamat, peritroid, pirazol dan avermectin. Data jenis
pestisida yang
digunakan petani selengkapnya tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Golongan pestisida yang digunakan responden petani No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Golongan pestisida
Jumlah
Persentase
Organofosfat Karbamat Piretroid Ditiokarbamat Avermectin Pirazol
109 95 35 6 6 3
42,91 37,40 13,78 2,36 2,36 1,18
Jumlah
254
100,00
Berdasarkan tabel 7 menunjukan bahwa ada 6 jenis pestisida
yang
digunakan oleh petani di tiga desa lokasi penelitian, yaitu Desa Jagalempeni, Desa Sisalam dan Desa Kedung Uter di Kabupaten Brebes. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di lokasi tersebut
yang terbanyak insektisida
36
golongan organofosfat (42,91 %) dan karbamat (37,40 %). Jenis insektisida organofosfat dan karbamat sering disebut insektisida antikolinesterase karena keduanya mempunyai efek yang sama dalam sistem saraf (perifer dan pusat). Untuk insektisida golongan organoklorin tidak digunakan oleh petani di daerah ini. Sejak tahun 1971 golongan organoklorin (DDT) dilarang pemerintah peredarannya secara bebas, dan hanya diperbolehkan penggunaanya di lembagalembaga yang telah mendapatkan ijin khusus (Faedah, 1993).
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengetahuan Petani Mengenai Pestisida Petani SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu) dan non
SLPHT mempunyai pengetahuan mengenai pestisida pada kategori sedang pada semua jenjang pendidikan, baik SD, SMP maupun SMA (Tabel 8 dan Gambar 2).
Tabel 8. Pengetahuan petani mengenai pestisida Kategori (%)
Pendidikan SLPHT TTSD
Non SLPHT
SD
SMP
SMA
TTSD
SD
SMP
SMA
rendah sedang tinggi
0 0 0
0 8 8
0 4 1
0 5 2
1 8 0
2 23 5
0 8 0
0 4 0
Jumlah
0
16
5
7
9
30
8
4
Rata-rata
0,00
2,38
2,29
2,37
1,87
2,00
2,14
2,32
sedang
sedang
Kategori
tdk ada sedang sedang sedang
sedang sedang
Pada umumnya pengetahuan petani mengenai pestis ida cukup baik, yaitu dalam kategori sedang pada jenjang pendidikan SD sampai dengan SMA, baik itu petani SLPHT maupun non SLPHT. Petani responden rata-rata telah bekerja selama 15,52 tahun dan petani secara langsung berhubungan dengan pestisida dalam budidaya tanaman bawang merah. Petani SLPHT mendapatkan pengetahuan dari pelatihan PHT, sehingga lebih mengetahui substansi pestisida baik jenis, bahan aktif, daya racun, sifat, dan sebagainya. Petani SLPHT juga mendapatkan tambahan materi dan menekankan pada teknik aplikasi pestisida yang lebih diarahkan pada jenis hama sas aran serta
memperhatikan dampak
lingkungan dan kesehatan, perhitungan ekonomi dan aspek lainnya, yang menentukan dalam sikap petani. Para petani yang sudah mengikuti pelatihan PHT
38
menjadi bertambah peka terhadap masalah pencemaran lingkungan, mempunyai kesadaran yang tinggi dalam penggunaan pestisida, dan memperhatikan semua dampak yang ditimbulkannya. Mereka menyadari bahwa pestisida merupakan racun, sehingga harus dikelola dengan hati-hati dan benar.
Tinggi Mengenai Pestisida
Rata-rataPengetahuanResponden
3.50
2.50
Sedang
1.50
Rendah
0.50 TTSD
SD
SMP
SMA
SLPHT
TTSD
SD
SMP
SMA
Non SLPHT
Gambar 2. Rata-rata kategori pengetahuan petani mengenai pestisida rendah < 1,50, sedang >1,5 – 2,50, tinggi > 2,50 Dengan pelatihan PHT ini akan membantu petani dalam meningkatkan efisiensi dan biaya produksi, mempertahankan hasil produksi yang baik, berperan dalam melestarikan lingkungan dan kesehatan petani dari pencemaran dan keracunan pestisida. Metodologi dalam pelatihan ini adalah partisipatif sehingga dapat meningkatkan penalaran petani. Pengetahuan petani non SLPHT hanya diperoleh secara turun temurun dan pengalaman sesama petani.. Keberhasilan petani dalam budidaya tanaman bawang merah karena mendapatkan informasi baik dari sesama petani maupun penjual pestisida pada kios pertanian. Dalam hal ini terjadi interaksi sosial antara petani dengan petani, petani dengan petugas pertanian
dan
petani dengan penjual
pestisida. Petani secara tidak langsung mengikuti budaya yang telah ada dan secara turun temurun diajarkan oleh generasi sebelumnya dalam penggunaan pestisida untuk membasmi hama dan penyakit tanaman. Peningkatan pengetahuan petani non SLPHT diperoleh dari petugas penyuluh pertanian yang memberikan penyuluhan di lapangan secara langsung,
39
serta informasi dari petani yang sudah mengikuti SLPHT.
Namun kesadaran
petani masih rendah terutama petani non SLPHT sehingga dalam penggunaan pupuk dan pestisida pada budidaya tanaman bawang merah cenderung berlebihan. Petani beranggapan penggunaan pestisida akan membasmi hama dan penyakit tanaman, tanpa melihat jenis pestisida dan hama sasarannya sehingga menimbulkan dampak negatif baik terhadap lingkungan maupun kesehatan. Petani hanya
memikirkan untuk meningkatkan
dampak negatif yang ditimbulkannya musush alami,
produksinya tanpa memperhatikan seperti rusaknya lingkungan,matinya
gangguan kesehatan terhadap petani dan masyarakat serta
penyakit tanaman menjadi kebal (resisten) dan sulit dibasmi.
5.2.
Pengetahuan Petani Mengenai Peraturan Pestisida Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan petani mengenai peraturan
pestisida secara rinci tertera pada Tabel 9 dan Gambar 3. Dari tabel dan gambar menunjukan bahwa petani SLPHT mempunyai pengetahuan mengenai peraturan pestisida pada kategori tinggi untuk jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA
Tabel 9. Pengetahuan petani mengenai peraturan pestisida Kategori (%)
Pendidikan SLPHT
Non SLPHT
TTSD
SD
SMP
SMA
rendah sedang tinggi
0 0 0
0 6 10
0 0 5
0 5 2
Jumlah
0
16
5
7
Rata-rata
0,00
2,57
2,92
2,7 4
Kategori
tdk ada
tinggi
tinggi
tinggi
TTSD
SD
SMP
1 8 0
2 23 5
0 8 0
0 4 0
9
30
8
4
1,24
1,93
2,4 5
rendah
sedang sedang
SMA
2,85 tinggi
Sedangkan untuk petani non SLPHT mempunyai kategori rendah, sedang dan tinggi. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi pula pengetahuan
40
mengenai peraturan pestisida. Petani SLPHT walaupun pendidikan rendah tetapi sudah menerima tambahan materi yang diperoleh dari tempat kursus sehingga pengetahuannya lebih tinggi. Petani
SLPHT mempunyai pengetahuan mengenai peraturan pestisida
lebih tinggi dibandingkan dengan petani non SLPHT . Petan i SLPHT pada umumnya mempunyai pengetahuan tinggi walaupun pendidikan rendah, karena petani tersebut telah mendapatkan tambahan pengetahuan dari pelatihan PHT. Tingginya pengetahuan petani mengenai peraturan pestisida menentukan sikap petani dalam mengelola pestisida akan lebih hati-hati dan sesuai aturan.
Tinggi Mengenai Peraturan
Rata-rataPengetahuanResponden
3.50
2.50
Sedang
1.50
Rendah
0.50 TTSD
SD
SMP
SLPHT
SMA
TTSD
SD
SMP
SMA
Non SLPHT
Gambar 3. Rata-rata kategori pengetahuan mengenai peraturan pestisida rendah < 1,50, sedang >1,50 – 2,50, tinggi > 2,50 Rendahnya pengetahuan yang dimiliki petani non SLPHT membuat sikap petani tidak memperhatikan aturan dalam penggunaan pestisida. Petani cenderung menggunakan pestisida yang berlebihan (over)
walaupun dalam kemasan
pestisida ada label yang menginformasikan cara pemakaian dan dosisnya. Petani tidak mematuhinya karena beranggapan semakin tinggi dosis pemakaian menjadi semakin ampuh dalam membasmi hama dan penyakit tanaman. Akibatnya hama dan penyakit tanaman menjadi lebih resisten, matinya musuh alami, dampak negatif terhadap lingkungan dan adanyanya residu pestisida yang tertinggal pada tanaman bawang merah.
41
5.3.
Pengetahuan Mengenai Dampak Pestisida Terhadap Lingkungan dan Kesehatan. Pengetahuan petani mengenai dampak terhadap lingkungan dan kesehatan
secara rinci tertera pada Tabel 10 dan Gambar 4. Berdasarkan tabel dan gambar tesebut, menunjukan bahwa pada petani SLPHT mempunyai pengetahuan mengenai dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani non SLPHT. Tabe 10. Pengetahuan mengenai dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan Kategori (%)
Pendidikan SLPHT TTSD
Non SLPHT
SD
SMP
SMA
TTSD
SD
SMP
SMA
0
0
0
0
2
3
0
0
0 0
2 14
1 4
0 7
6 1
10 17
2 6
4 0
Jumlah
0
16
5
7
9
30
8
4
Rata-rata
0,00
2,81
2,84
2,86
1,71
2,44
2,65
3,00
Kategori
tdk ada
tinggi
tinggi
tinggi
tinggi
tinggi
sedang sedang
3.50
Mengenai Dampak Lingkungan
Rata-rata Pengetahuan Responden
rendah
sedang tinggi
Tinggi
2.50
Sedang
1.50
Rendah
0.50 TTSD
SD
SMP
SLPHT
SMA
TTSD
SD
SMP
SMA
Non SLPHT
Gambar 4. Rata-rata pengetahuan petani tentang dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan , rendah < 1 ,50, sedang >1,50 – 2,50, tinggi > 2,50
42
Petani SLPHT pada semua jenjang pendidikan kecuali TTSD mempunyai kategori pengetahuan tinggi. Sedangkan untuk petani non SLPHT mempunyai kategori pengetahuan sedang pengetahuan
pada pendidikan TTSD dan SD, kategori
tinggi untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA. Hal ini
menunjukan bahwa petani SLPHT pengetahuan
mempunyai pengetahuan
mengenai dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani non SLPHT. Petani yang telah mengikuti pelatihan mengenai PHT lebih peka terhadap dampak yang ditimbulkan akibat pestisida. Petani ini menyadari bahwa pestisida merupakan racun yang dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan pada manusia. Menurut Oka (2005) berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa 73,3 % dari peserta SLPHT melihat adanya pencemaran air oleh pestisida, sedangkan yang non SLPHT yang memperhatikan baru 33 %. Petani juga menyadari penurunan jenis jenis hewan tertentu karena pengaruh pestisida. Untuk yang berpendidikan rendah petani SLPHT juga mempunyai pengetahuan yang tinggi, karena sudah mendapat tambahan ilmu dari pelatihan PHT yang diikutinya. Petani SLPHT pada umumnya memperhatikan dampak lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida. Kesadaran petani dalam melakukan kegiatan penyemprotan sudah cukup baik, ditandai dengan penggunaan alat pelindung diri, seperti masker (penutup hidung dan mulut), walaupun
masih yang sederhana. Sebagian besar petani
menggunakan celana panjang dan kaos panjang, penutup kepala sekaligus hidung yang masih sederhana. Dengan kenyataan seperti ini menunjukan bahwa pengetahuan petani mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pestisida, baik terhadap lingkungan dan kesehatan sudah dimengerti, hanya sarana petani untuk menggunakan alat pelindung diri masih kurang. Untuk petani non SLPHT pada semua jenjang pendidik an mempunyai pengetahuan tentang dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan lebih rendah dibandingkan dengan petani SLPHT. Petani non SLPHT tidak mendapat bekal pengetahuan mengenai dampak penggunaan pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan. Petani tersebut
terbiasa menyemprot tanpa menggunakan alat
43
pelindung diri, seperti masker, sarung tangan, baju pelindung maupun pelindung mata. Pada saat menangani pestisida petani hanya menggunakan celana pendek dan koas lengan pendek saja. Kesadaran petani akan bahaya pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan masih rendah. Petani cenderung ceroboh dan berlebihan dalam menggunakan pestisida, petani beranggapan kalau sudah terb iasa dan kebal dengan pestisida, serta tidak menyadari bahaya pastisida. Keluhan terhadap gangguan kesehatan terhadap petani itu sendiri dianggap sesuatu yang biasa dialaminya. Pada umumnya petani mencuci peralatan penyemprotan di saluran air (parit) d i sekitar sawah setelah selesai bekerja. Begitu pula dengan tangan dan kaki, mereka beranggapan itu sesuatu yang biasa dilakukan sejak dahulu, tanpa melihat dampak terhadap lingkungan maupun kesehatan. Petani sudah terbiasa malakukan penyemprotan tanpa menggunakan alat pelindung diri, merokok sambil menyemprot, dan mempunyai personal hygiene yang buruk.
5.4.
Sikap Petani yang Berhubungan dengan Penggunaan Pestisida Berdasarkan hasil penelitian, sikap petani yang berhubungan dengan
penggunaan pestisida secara rinci tertera pada Tabel 11 dan Gambar 5. Dari tabel dan gambar tersebut menunjukan bahwa petani SLPHT mempunyai kategori sikap sedang pada semua jenjang pendidikan, kecuali untuk pendidikan TTSD tidak ada kategori. Hal ini menunjukan adanya peningkatan pengetahuan setelah petani mengikuti pelatihan PHT sehingga petani dapat menentukan sikap dalam penggunaan pestisida. Setelah melakukan pelatihan pada umumnya petani SLPHT sudah dapat membedakan mana yang hama sasaran dan mana yang bukan hama sasaran. Dengan demikian aplikasi pestisida hanya dairahkan pada jenis hama sasaran saja. Petani yang sudah mengikuti pelatihan PHT lebih peka terhadap masalah pencemaran lingkungan. Petani menyadari bahawa pestisida harus dikelola dengan baik dan benar sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan.
44
Tabel 11. Sikap petani yang berhubungan dengan penggunaan pestisida Kategori (%)
Pendidikan SLPHT
Non SLPHT
TTSD
SD
SMP
SMA
rendah sedang tinggi
0 0 0
0 16 0
0 5 0
1 6 0
Jumlah
0
16
5
Rata-rata
0,00
1,86
1,90
Kategori
tdk ada
sedang
sedang
SD
SMP
SMA
5 4 0
9 21 0
2 6 0
0 4 0
7
9
30
8
4
1,95
1,37
1,53
sedang
TTSD
rendah
sedang
1,62
1,58
sedang
sedang
3.50
Rata-rata Sikap Responden
Berhubungan dengan Pestisida
Tinggi
2.50
Sedang
1.50
Rendah
0.50 TTSD
SD
SMP
SMA
TTSD
SLPHT
SD
SMP
SMA
Non SLPH
Gambar 5. Rata-rata s sikap yang berhubungan dengan penggunaan pestisida, rendah < 1,50, sedang >1,5 – 2,50, tinggi > 2,50. Dari tabel 11 dan gambar 5 menunjukan bahwa berhubungan dengan penggunaan pestisida
sikap petani yang
petani non SLPHT mempunyai
kategori sikap rendah pada semua jenjang TTSD, sedangkan pada jenjang pendidikan SMP dan SMA mempunyai kategori sikap sedang. Hal ini menunjukan makin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi pula. Petani non SLPHT tidak mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai PHT, petan i hanya
45
mengetahui mengenai pestisida secara turun temurun, informasi dari sesama petani maupun dari toko kios. Kenyataan di lapangan tidak demikian, walaupun telah terlatih dan mendapatkan bekal pengetahuan dalam kursus PHT yang diikutinya tetapi masih banyak petani yang tidak menerapkan apa yang sudah diperoleh dari pelatihan PHT. Rendahnya kesadaran petani melaksanakan konsep PHT, karena merasa tidak ada pengawasan dan sangsi, serta hanya merupakan wacana teoritis saja. Menurut Sarwono (1999) menyatakan bahwa sikap dapat menentukan tindakan jika ia muncul atau dimunculkan dalam kesadaran seseorang. Petani non SLPHT mempunyai sikap dalam kategori rendah sampai sedang. Petani ini tidak mendapatkan bekal pengetahuan dari konsep PHT, sehingga tidak mengetahui penggunaan pestisida secara benar dan aman. Petani mempunyai kebiasaan yang turun temurun dan pengalaman sesama petani. Penggunaan pestisida tidak memperhatikan dosis yang dianjurkan dan pada umumnya melakukan pengoplosan (pencampuran) beberapa jenis pestisida, dengan tujuan agar lebih mematikan hama dan penyakit tanaman. Data petani yang melakukan pengoplosan tertera pada tabel 12. Tabel 12. Data petani yang melakukan pengoplosan pestisida. Pendidikan
Petani Responden SLPHT
ya
kadang
Non SLPHT
tidak
ya
kadang
tidak
TTSD SD SMP SMA
10 3 2
3 2 5
3 -
8 27 7 4
1 3 1 1
-
Jumlah
15
10
3
46
5
-
Berdasarkan tabel 12 menunjukan bahwa sebagian besar petani baik yang SLPHT dan non SLPHT cenderung melakukan pengoplosan pestisida, dengan alasan produk pestisida yang beredar saat ini kurang daya toksisitasnya dan hama serta penyakit tanaman bawang merah kekebalan (resistensi) sudah tinggi, sehingga tidak mati jika disemprot dengan satu jenis pestisida. Petani yang
46
melakukan pengoplosan lebih dari 2 jenis pestisida. Petani SLPHT tidak menerapkan apa yang sudah diperoleh dari pelatihan yang diikutinya, sedangkan petani non SLPHT yang pengetahuannya kurang, juga mempunyai kesadaran yang kurang dalam penggunaan pestisida. Petani tidak lagi
memperhatikan
efektivitas dan dampak yang ditimbulkannya, baik dampak terhadap lingkungan maupun kesehatan. Sering ditemukan fakta di lapangan ketika berbagai merek sudah dicoba dan tidak mampu membasmi hama, petani melakukan pengoplosan yang tidak rasional. Ada yang mencampur pestisida yang satu dengan yang lain tanpa memperhatikan efektifitas dan dampaknya. Bahkan ada yang mencampur dengan minyak tanah, solar serta pembasmi nyamuk (Pikiran Rakyat, 2002). Pada umumnya petani cenderung melakukan pengoplosan (pencampuran) pestisida dengan
alasan
menghemat
waktu
dan
tenaga
penyemprotan.
Penyemprotan pestisida dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-10.00 WIB atau sore hari pada pukul 15.00 -17.00 WIB, dengan peralatan yang terbatas. Faktor lain yang mendorong petani untuk melakukan pengoplosan pestisida adalah keyakinan yang tinggi bahwa dengan pencampuran dua atau lebih pestisida akan meningkatkan toksisitas pestisida, tanpa melihat jenis hama sasaran. Dalam penggunaan pestisida petani tidak memperhatikan dosis yang sudah dianjurkan, baik yang tertera pada label kemasan maupun anjuran dari petugas penyuluh pertanian. Berdasarkan Tabel 13 menunjukan bahwa petani non SLPHT sekitar 27,85 % menggunakan pestisida tidak sesuai dosis. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan petani SLPHT yang sudah mendapatkan bekal pengetahuan dari kursus PHT. Petani non SLPHT cenderung tidak mengikuti dosis yang ditetapkan karena pengetahuan kurang, kesadaran rendah, serta petani beranggapan bahwa kualitas pestisida saat ini sudah menurun. Dosis yang ditetapkan produsen melalui tahap -tahap penelitian yang lama. Pentaatan dosis harus dilaksanakan secara seksama, untuk melindungi pengguna, konsumen,
lingkungan
dan
menghindari
pemborosan
yang
finansial
Djoyosumarto. 2000 dalam Sulistiyono, 2003 ). Petani non SLPHT mengabaikan aturan yang ditetapkan dan tidak mentaati aturan yang tertera di label. Petani beralasan penyemprotan tidak sesuai dosis karena daya toksisitas pestisida sudah
47
berkurang, sehingga tidak mampu membunuh hama tanpa memperhatikan jenis hama sasaran. Tabel 13. Data petani yang menggunakan pestisida tidak sesuai dosis. Pendidikan
Petani Responden
ya
SLPHT kadang
tidak
TTSD SD SMP SMA
1 2 -
3 2 4
12 3 1
1 13 7 4
3 10 2 -
5 7 1 1
Jumlah
3
9
16
22
15
14
3,80
11,39
Persentase
5.5.
Non SLPHT ya kadang
20,25
27,85
tidak
18,99
17,72
Sikap Petani yang Berhubungan dengan Personal Hygiene Berdasarkan hasil penelitian, sikap petani yang berhubungan dengan
personal hygiene secara rinci tertera pada Tabel 14 dan Gambar 6. Dari tabel dan gambar tersebut menunjukan bahwa petani SLPHT mempunyai kategori sikap sedang pada semua jenjang pendidikan, kecuali untuk pendidikan TTSD.. Sedangkan untuk petani non SLPHT mempunyai kategori sedang. Tabel 14 . Sikap yang berhubungan dengan personal hygiene Kategori (%)
Pendidikan SLPHT
Non SLPHT
TTSD
SD
SMP
SMA
rendah sedang tinggi
0 0 0
0 14 2
0 4 1
0 4 3
5 4 0
Jumlah
0
16
5
7
9
Rata-rata
0,00
2,29
2,32
2,43
Kategori
tdk ada
sedang
sedang
sedang
TTSD
SD
SMP
SMA
4 26 0
0 8 0
0 3 1
30
8
4
1,56
1,97
2,10
2,35
sedang
sedang
sedang
sedang
3.50
Tinggi
Hygienis
Rata-rataSikapRespondenPersonal
48
2.50
Sedang 1.50
Rendah
0.50 TTSD
SD
SMP
SLPHT
SMA
TTSD
SD
SMP
SMA
Non SLPHT
Gambar 6. Rata-rata sikap petani yang berhubungan dengan personal hygiene, rendah < 1,50, sedang >1,5 – 2,50, tinggi > 2.50
Secara parsial menunjukan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi pula kategori sikap yang ditentukan. Pada umumnya petani SLPHT dan non SLPHT pada semua jenjang pendidikan mempunyai sikap dengan kategori sedang. Hal ini menunjukan petani mempunyai personal hygiene yang baik. Berdasarkan hasil penelitian sikap petani yang berhubungan dengan personal hygiene baik petani SLPHT maupun non SLPHT mempunyai sikap dengan kategori sedang pada semua jenjang pendid ikan (Tabel 14). . Hal ini menunjukan bahwa sebagain besar petani berperilaku baik dalam personal hygiene. Pada umumnya petani mempunyai kesadaran yang tinggi untuk membersihkan badan setelah bekerja di sawah, tidak makan dan minum sambil bekerja serta memisahkan pakaian dengan pakaian lain saat mencuci. Kebiasaan petani SLPHT maupun non SLPHT (100 %) yang buruk adalah mencuci tangan dan kaki di saluran air. Sikap petani SLPHT menunjukan bahwa petani tersebut hanya menerima wacana teoritis saja, tetapi kesadarannya masih rendah. Data kebiasaan merokok sambil menyemprot tertera pada Tabel 15.
49
Tabel 15. Data kebiasaan petani merokok sambil menyemprot Pendidikan
Kursus
ya
SLPHT kadang
tidak
ya
TTSD SD SMP SMA
1 -
1 1 -
14 4 7
4 4 -
3 5 2 -
2 21 6 4
Total
1
2
25
8
10
33
1,27
2,53
31,65
10,13
12,66
41,77
Persentas e
Non SLPHT kadan g
tidak
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang tertera pada Tabel 15 menunjukan bahwa petani SLPHT dan non SLPHT yang mempunyai kebiasaan merokok sambil menyemprot sekitar 11,4 %, artinya kesadaran petani akan personal hygiene baik. Kesadaran ini harus ditingkatkan melalui penyuluhan baik oleh Dinas Kesehatan maupun Dinas Pertanian.
5.6.
Sikap Petani yang Berhubungan dengan Alat Pelindung Diri (APD) Petani SLPHT mempunyai sikap dengan kategori sedang pada semua
jenjang pendidikan seperti tertera pada Tabel 16 dan Gambar 7. Tabel 16. Sikap petani yang berhubungan dengan alat pelindung diri (APD) Kategori (%)
Pendidikan SLPHT
Non SLPHT
TTSD
SD
SMP
SMA
rendah sedang tinggi
0 0 0
7 8 1
1 4 0
1 6 0
7 2 0
Jumlah
0
16
5
7
9
0,00
1,66
1,71
1,78
1,20
Rata-rata
TTSD
SD
SMP
SMA
15 15 0
3 5 0
1 3 0
30
8
4
1,51
1,61
1,75
50
Rata-rataSikapResponden
BerhubungandenganAlatPelindung
Kategori
tdk ada
sedang
sedang
sedang
rendah
sedang
sedang
sedang
3.50
Tinggi
2.50
Sedang
1.50
Rendah
0.50 TTSD
SD
SMP
SLPHT
SMA
TTSD
SD
SMP
SMA
Non SLPHT
Gambar 7. Rata-rata sikap petani yang berhubungan dengan alat pelindung diri, rendah < 1 ,50, sedang >1,5 – 2,50, tinggi > 2 ,50 Petani non SLPHT mempunyai sikap dengan kategori rendah dan sedang. Pengetahuan petani non SLPHT ini masih minim , walaupun petani tersebut mengetahui bahwa pestisida merupakan racun yang sangat berbahaya. Minimnya pengetahuan ini karena petani hanya tahu cara pemakaiannya saja yang diperoleh secara turun temurun dan dari kios pertanian. Petani tidak mengetahui dampak akibat pestisida terhadap dirinya dan lingkungan, sehingga kesadaran untuk menggunakan alat pelindung diri masih rendah. Petani berangggapan bahwa penggunaan alat pelindung diri pada saat menangani pestisida merupakan sesuatu yang merepotkan dan tidak praktis. Pada umumnya petani SLPHT mempunyai sikap dengan kategori sedang pada semua jenjang pendidikan kecuali untuk pendidik an TTSD. Untuk petani non SLPHT mempunyai sikap dengan kategori rendah dan sedang. Semakin tinggi pendidikan petani semakin sadar untuk menggunakan alat pelindung diri pada saat melakukan kegiatan penyemprotan. Petani SLPHT telah menerapkan ilmu yang diperoleh dari kursus, dengan memperhatikan dampak kesehatan pada petani itu sendiri. Kesadaran petani untuk menggunakan alat pelindung diri tinggi, walaupun dengan menggunakan alat pengaman yang sederhana pada saat menyemprot.
51
Pada umumnya petani mempunyai kebiasan tidak memakai masker pada saat penyemprot, yaitu petani SLPHT 17,72 % dan non SLPHT 50,63 %. Kesadaran petani SLPHT lebih baik dibandingkan dengan petani non SLPHT pada semua jenjang pendidikan. Semakin tinggi pendidikan petani semakin tinggi pula tingkat kesadaran petani akan dampak yang ditimbulkan akibat kebiasaan buruk dalam menangani pestisida. Data hasil penelitian mengenai kebiasaan tidak memakai masker tertera pada Tabel 17. Tabel 17. Kebiasaan tidak memakai masker pada saat menyemprot pe stisida. Pendidikan
Kursus SLPHT
TTSD SD SMP SMA Total Persentase
Non SLPHT
ya
kadang
tidak
8 3 3
3 -
5 2 4
14 17,72
3 3,80
11 13,92
Kebiasaan
buruk
yang
dilakukan
ya
kadang
tidak
9 23 6 2
-
7 2 2
40 50,63
-
11 13,92
petani
pada
saat
melakukan
penyemprotan akan mengganggu kesehatan petani itu sendiri, apalagi masih banyak petani pada waktu penyemprot pestisida tidak memperhatikan arah angin. Dengan tidak menggunakan masker pada melakukan penyemprotan, pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan. Menurut Wudianto (1990) pestisida dapat masuk ke tubuh secara berangsur-angsur dalam jumlah yang kecil, yang disebut keracunan kronis. Penderita keracunan kronis ini akan mengalami perubahan histologis dan genetis. Sebagian besar petani tidak menggunakan sarung tangan baik pada saat mencampur pestisida maupun melakukan penyemprotan. Sekitar 91,1 % petani responeden baik petani SLPHT maupun non SLPHT tidak memakai sarung tangan pada waktu berhubungan dengan pestisida.. Kebiasaan buruk ini juga terjadi pada petani SLPHT, walaupun sudah mendapat pelatihan mengenai PHT tetapi masih
52
mengabaikan penggunaan sarung tangan dalam menangani pestisida.
Data
mengenai kebiasaan tidak memakai sarung tangan tertera pada Tabel 18. Tabel
18.
Kebiasaan tidak memakai sarung tangan pada waktu berhubungan dengan pestisida.
Pendidikan
Kursus
ya
SLPHT kadang
tidak
ya
TTSD SD SMP SMA
14 4 7
1 -
1 1 -
9 26 8 4
2 -
2 2
Total
25
1
2
47
2
2
2,53
59,49
2,53
2,53
Persentase
31,61
1,27
Non SLPHT kadang
tidak
Berdasarkan Tabel 18 menunjukan bahwa sebagian besar petani dalam menangani pestisida tidak menggunakan sarung tangan. Petani melakukan kebiasaan yang buruk dalam menangani pestisida, dengan alasan sudah terbiasa dan kebal, walaupun mereka mengetahui bahwa pestisida merupakan racun yang berbahaya bagi dirinya dan lingkungan. Rendahnya kesadaran petani karena selama ini petani hanya mengetahui cara pemakaian dan manfaat pestisida serta bagaimana meningkatkan hasil panen. Petani tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat pestisida baik terhadap lingkungan maupun kesehatan. Dengan tidak menggunakan sarung tangan pada saat menangani pestisida, selain pestisida dapat diabsorpsi kulit, juga sejumlah kecil dapat masuk saluran gastrointestinal (GI) karena petani merokok pada saat menangani pestisida, ini akan menyebabkan keracunan pada petani. Petani tidak menyadari bahaya dari pestisida terhadap kesehatan dirinya dan lingkungan. Petani responden pada saat melakukan kegiatan penyemprotan tidak menggunakan baju pelindung, mereka hanya menggunakan kaos lengan panjang dan celana panjang saja.. Data mengenai kebiasaan petani yang tidak menggunakan baju pelindung secara rinci tertera pada T abel 19.
53
Berdasarkan Tabel 19 menunjukan kesadaran petani akan penggunaan baju pelindung masih rendah. Petani beranggapan dengan baju pelindung tidak nyaman, tidak praktis dan merepotkan. Pada umumnya petani tidak menggunakan baju pelindung, petani hanya menggunakan celana panjang dan kaos lengan panjang, bahkan banyak yang menggunakan celana pendek dan kaos lengan pendek saja. Tabel 19. Kebiasaan tidak memakai baju pelindung pada saat menyemprot. Pendidikan
Kursus SLPHT
TTSD SD SMP SMA
Non SLPHT
ya
kadang
12 3 3
3 1 2
1 1 2
8 25 3 2
1 3 -
5 2 2
6
4
38
4
9
48,10
5,06
11,39
Total
18
Persentase
22,78
7,59
tidak
5,06
ya
kadang
tidak
Petani merasa sudah terbiasa dan kebal dengan pestisida, tanpa memikirkan dampak yang disebabkan kecerobohannya sendiri. Dengan tidak menggunakan baju pelindung dalam melakukan penyemprotan, pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit. Jika terus menerus akan mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan pada petani dan menurunnya akvtivitas enzim asetilkolinesterase. Peningkatan penyuluhan oleh petugas sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan akan bahaya pestisida. Peningkatan pengetahuan ini sangat baik untuk meningkatkan kesadaran seseorang akan bahaya pestisida, baik terhadap lingkungan maupun kesehatan masyarakat dan kesehatan petani..
5.7.
Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap Dengan menggunakan analisis korelasi Pearson, hubungan antara
pengetahuan dan sikap petani secara rinci tertera pada Tabel 20.
54
Tabel 20. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Sikap Petani Pengetahuan Pestisida
Pengetahuan Peraturan
Pengetahuan Dampak
Sikap Alat Pelindung
Pearson Correlation Sig N
0,351** 0,002 79
0,459** 0,000 79
0,593** 0,000 79
Sikap Penggunaan Pestisida
Pearson Correlation Sig N
0,355** 0,001 79
0,616** 0,000 79
0,431** 0,000 79
Sikap Personal Hygiene
Pearson Correlation Sig N
0,536** 0,000 79
0,731** 0,000 79
0,755** 0,000 79
** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed).
Berdasarkan Tabel 20 menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan pada taraf nyata 5% antara pengetahuan pestisida dengan sikap menggunakan alat pelindung diri (koefisien korelasi sebesar 0,351), ini ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,002 yang lebih kecil dari 0,05. Artinya semakin tinggi pengetahuan maka semakin tinggi pula sikap petani responden dalam penggunaan alat pelindung diri. Hubungan positif yang signifikan pada taraf nyata 5% antara pengetahuan peraturan dengan sikap menggunakan alat pelindung diri (koefisien korelasi sebesar 0,459), ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Ini berarti semakin tinggi pengetahuan peraturan mengenai pestisida maka semakin tinggi pula sikap petani responden dalam penggunaan alat pelindung diri. Terdapat hubungan positif yang signifikan pada taraf nyata 5% antara pengetahuan mengenai dampak dengan sikap menggunakan alat pelindung diri (koefisien korelasi sebesar 0,593), ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Ini berarti semakin tinggi pengetahuan mengenai dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan, maka semakin tinggi pula sikap petani responden dalam penggunaan alat pelindung diri. Dengan meningkatnya pengetahuan petani mengenai pestisida, peraturan dan dampak yang ditimbulkannya terutama sifat racun pestisida terhadap mahluk hidup dan dampak yang ditimbulkannya, berpengaruh pada penentuan sikap
55
petani dalam
menggunakan
alat
pelindung
penyemprotan dan menangani pestisida.
diri pada
saat
melakukan
Pada umumnya petani mengetahui
bahwa pestisida merupakan racun yang berbahaya dan menyadari pentingnya menjaga kesehatan, sehingga kesadaran petani akan penggunaan alat pelindung diri semakin meningkat. Penggunaan alat pelindung diri merupakan sesuatu yang merepotkan, tidak praktis dan tidak efisien di kalangan petani, namun petani berusaha melindungi diri dengan peralatan yang
masih sederhana seperti
pemakaian celana panjang dan kaos lengan panjang serta penutup kepala sekaligus penutup hidung. Petani merasakan keluhan-keluhan seperti mual, pusing, kepala terasa berat, lemas, wajah kaku, penglihatan kabur dan sebagainya, setelah berhubungan dengan pestisida bila tidak menggunakan pelindung diri. Ini merupakan gejala keracunan pestisida yang tidak disadari oleh petani. Adanya hubungan positif yang signifikan pada taraf nyata 5% antara pengetahuan pestisida dengan sikap penggunaan pestis ida (koefisien korelasi sebesar 0,355), ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,001 yang lebih kecil dari 0,05. Ini berarti semakin tinggi pengetahuan petani maka semakin tinggi pula sikap petani dalam penggunaan pestisida. Hubungan positif yang sig nifikan pada taraf nyata 5% antara pengetahuan peraturan dengan sikap penggunaan pestisida (koefisien korelasi sebesar 0,616), ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Artinya semakin tinggi pengetahuan mengenai peraturan pestisida, semakin tinggi pula sikap petani dalam penggunaan pestisida. Hubungan positif yang signifikan pada taraf nyata 5% antara pengetahuan mengenai dampak dengan sikap penggunaan pestisida (koefisien korelasi sebesar 0,431), ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Ini berarti semakin tinggi pengetahuan mengenai dampak maka semakin tinggi pula sikap petani dalam penggunaan pestisida. Peningkatan pengetahuan petani SLPHT mengenai pestisida, peraturan dan dampak penggunaan pestisida diperoleh dari pelatihan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yang diikutinya. Dengan pelatihan ini pengetahuan petani menjadi bertambah, baik dari penerapan aplikasi penggunaan pestisida maupun dampak yang ditimbulkannya. Petani SLPHT lebih peka dengan masalah
56
pencemaran lingkungan sehingga dalam menangani pestisida hati-hati dan benar. Namun petani SLPHT dengan suka rela memberikan informasi pada petani yang belum mengikuti pelatihan, sehingga meningkatkan pengetahuan petani non SLPHT dan berpengaruh dalam penentuan sikap dalam penggunaan pestisida. Dengan pengetahuan yang tinggi maka petani dalam penggunaan pestisida memperhatikan aturan/dosis, jenis hama dan penyakit tanaman, menyemprot sesuai dengan arah angin, memperhatikan cuaca, dan sebagainya,sehingga dapat mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan. Adanya hubungan positif yang signifikan pada taraf nyata 5% antara pengetahuan pestisida dengan sikap personal hygiene (koefisien korelasi sebesar 0,536), ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Ini berarti semakin tinggi pengetahuan petani maka semakin tinggi pula sikap petani dalam personal hygiene. Hubungan positif yang signifikan pada taraf nyata 5% antara pengetahuan peraturan dengan sikap personal hygiene (koefisien korelasi sebesar 0,731), ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Artinya semakin tinggi pengetahuan petani mengenai peraturan pestisida maka semakin tinggi pula sikap personal hygiene petani. Hubungan positif yang signifikan pada taraf nyata 5% antara pengetahuan mengenai dampak dengan sikap personal hygiene (koefisien korelasi sebesar 0,755), ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Ini berarti semakin tinggi pengetahuan mengenai dampak maka semakin tinggi pula sikap personal hygiene petani. Penentuan sikap petani dalam personal hygiene dipengaruhi adanya pengetahuan yang meningkat, baik mengenai pestisida, peraturan maupun dampak penggunaan pestisida. Pada umumnya petani mempunyai kesadaran untuk membersihkan diri setelah menangani pestisida, mencuci tangan dan kaki, tidak makan dan minum sambil menyemprot, serta memisahkan pakaian yang digunakan pada waktu menyemprot dengan pakaian lain pada saat mencuci. Sebagian besar petani tidak merokok sambil menyemprot, tetapi kenyataan di lapangan masih ada petani yang menyemprot sambil merokok. Kesadaran yang tinggi mengenai personal hygiene menyebabkan terhindar dari gangguang
57
kesehatan akibat pestisida serta keracunan pestisida, apalagi jika dilandasi dengan kesadaran untuk menggunakan alat pelindung diri pada saat menangani pestisida.
5.8.
Data Ekonomi Pada umumnya petani di Kabupaten Brebes menggunakan pestisida untuk
membasmi hama dan penyakit pada tanaman bawang merah.. Petani mendapatkan pestisida dari kios-kios pertanian yang ada dengan harga yang bervariasi, dari harga murah sampai yang mahal. Banyaknya pemakaian pestisida dan frekuensi penyemprotan yang tinggi
menyebabkan tingginya biaya produksi dalam
budidaya tanaman bawang merah, namun hasil produksi bawang merah belum tentu bagus.
Tabel 21. Harga pestisida, biaya produksi dan hasil produksi. Harga pestisida mahal
Biaya produksi tinggi
Hasil produksi baik
?
%
?
%
?
%
ya kadang tidak
56 20 3
70,9 25,3 3,8
60 13 6
75,6 16,5 7,6
37 37 5
46,8 46,8 6,4
Total
79
100
79
100
79
100
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani (Tabel 21) menunjukan biaya produksi tinggi (75,6 %) dan harga pestisida mahal (70,9 %). Sebagian petani responden (46,8 %) mengatakan bahwa hasil produksi belum tentu baik walaupun sudah menggunakan pestisida yang mahal. Tingginya harga pestisida tidak menjamin akan meningkatkan hasil produksi bawang merah, justru akan mengakibatkan pembengkakan biaya produksi, sedangkan harga jual belum tentu tinggi, ini menyebabkan kerugian yang besar pada petani. Menurut petani responden harga pestisida berkisar antara Rp.25.000,- s/d Rp.180.00,- per kaleng. Tingginya harga pestisida menyebabkan biaya produksi menyebabkan pembengkakan biaya. Data selengkapnya mengenai harga pestisida dan besarnya biaya produksi disajikan pada Tabel 22.
58
Tabel 22. Harga pestisida dan besarnya biaya produksi untuk pestisida Harga pestisida per kaleng Rp
Biaya produksi untuk pestisida per ha
%
< 50.000 50.000 -75.000 > 75.000
Rp
42,87 45,03 12,10
%
< 1.000.000 1.000.000-1.500.000 > 1.500.000
11,30 51,63 37,07
Berdasarkan Tabel 22 menunjukan bahwa harga pestisida yang paling banyak digunakan oleh petani (45,03 %) antara Rp. 50.000,- s/d Rp. 75.000,-. Dengan harga pestisida yang tinggi petani mengalami pembengkakan biaya produksi. Sebagain besar petani (51,63 %) membutuhkan biaya untuk pestisida sekitar Rp.1.000.000,- s/d 1.500.000,- per hektar, belum termasuk biaya lainnya seperti benih, pupuk, tenaga dan sebagainya. Besarnya biaya yang diperlukan untuk budidaya tanaman bawang merah ini belum tentu menghasilkan produk yang bagus dan bermutu, serta harga jual belum tentu tinggi. Pada umumnya petani (53,2 %) hanya bekerja sebagai petani baik itu petani penggarap, penyewa lahan maupun petani yang mempunyai lahan sendiri. Ada beberapa petani yang mempunyai pekerjaan lain, baik sebagai pedagang, pamong praja ataupun tukang bangunan., selengkapnya tertera pada Tabel 23.
Tabel 23. Pendapatan petani dan pekerjaan lain Pendapat Responden
ya kadang-kadang tidak
Pendapatan petani untuk mencukupi kebutuhan ? %
Pekerjaan lain ?
%
15 53 11
23 14 42
29,1 17,7 53,2
19,0 67,1 13,9
Pendapatan petani berkisar kurang dari Rp. 500.000,- sampai > Rp. 3.000.000,-. Petani yang berpenghasilan lebih dari Rp. 3.000.000,- adalah petani pemilik sawah sendiri yang dikerjakan sendiri. Pada umumnya petani mempunyai
59
pendapatan antara Rp.500.000,- sampai Rp.1.000.000,- , yang selengkapnya terrtera pada Tabel 24.
Tabel 24. Pendapatan petani bawang merah per bulan No.
Pendapatan per bulan (Rp)
1. 2. 3.
< 500.000 500.000-1.000.000 > 1.000.000
5.9.
Data Lingkungan
Presentase responden (%) 11,27 57,10 31,63
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa pada saat melakukan penyemprotan pestisida di lahan pertanian bawang merah pada umumnya petani memperhatikan arah angin (73,4 %), cuaca (93,7 %) dan dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-10.00 WIB dan sore hari pada pukul 15.00-17.00 WIB, yang secara rinci tertera pada Tabel 25.
Tabel 25. Sikap petani dalam melakukan penyemprotan pestisida. Sikap petani
ya kadang-kadang tidak
Sesuai arah angin ? %
?
58 12 9
74 2 3
73,4 15,2 11,4
Cuaca
C uaca panas
Pagi dan sore
%
?
%
?
%
93,7 2,5 3,8
21 8 50
26,6 10,1 63,3
56 10 13
70,9 12,7 16,4
Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa sikap petani sebagian besar sudah memperhatikan untuk melakukan penyemprotan sesuai arah angin, dan memperhatikan cuaca, walaupun masih ada yang tidak memperhatikannya. Petani juga tidak melakukan penyemprotan pada cuaca mendung, hujan dan hanya 21 % yang melakukan penyemprotan pada saat cuaca panas (siang hari). Menurut Uehara (1993) penyemprotan dan pengaplikasian bahan-bahan kimia pertanian berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan. Sebagian besar bahan -bahan kimia pertanian yang disemprotkan, jatuh ke tanah dan didekomposisi oleh mikroorganisme. Sebagian menguap dan menyebar di
60
atmosfir dan diuraikan oleh sinar ultraviolet atau diserap hujan serta jatuh ke tanah. Pada umumnya petani setelah melakukan penyemprotan pestisida mencuci alat penyemprotnya di saluran air di sawah. Sekitar 91,1 % petani melakukan pencucian alat penyemprot di saluaran air sawah (parit). Penumpahan tidak sengaja, pencucian alat penyemprot dan membuang pestisida ke saluran air akan meningkatkan konsentrasi pestisida di air.
Data hasil penelitian secara rinci
tertera pada Tabel 26. Tabel 26. Tindakan petani dalam pencucian alat penyemprot di saluran air sawah Tindakan petani
Jumlah
ya kadang-kadang tidak
72 3 4
Presentase (%) 91,1 3,8 5,1
Berdasarkan Tabel 26 menunjukan pada umumnya (91,1 %) masih mencuci peralatan penyemprotan di saluran air sawah (parit). Kesadaran petani masih rendah walaupun petani SLPHT sudah mendapatkan pengetahuan mengenai PHT. Petani tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan akibat pencucian alat penyemprot di saluran air sawah, dimana saluran air ini bermuara ke sungai dan menyebabkan plankton dalam air akan menyerap pestisida ke dalam tubuhnya. Plankton yang sudah menyerap pestisida akan dimakan okleh ikan yang selanjutnya ikan yang juga mengandung residu pestisida dimakan oleh manusia. Dengan demikian lambat laun akan meracuni manusia, dan dalam jangka panjang akan dirasakan akibatnya. Tindakan petani terhadap bekas tempat pestisida bermacam -macam seperti dibakar, ditanam, dibuang ke tampat sampah,
di sekitar saw ah dan di parit
sawah. Tindakan petani terhadap bekas tempat pestisida secara rinci tertera pada Tabel 27.
61
Tabel 27. Tindakan petani terhadap bekas/wadah pestisida. Tindakan petani
ya kadang-kadang tidak
ditanam
dibakar
(%)
(%)
40,2 5,1 54,7
10,1 1,3 88,6
dibuang ke tempat sampah (%) 12,7 5,1 82,2
dibuang sekitar sawah (%) 15,2 6,3 78,5
dibuang ke parit (%) 24,1 7,6 68,4
Berdasarkan Tabel 27 tersebut menunjukan bahwa masih banyak petani yang membuang wadah bekas pestisida secara sembarangan, baik yang dibuang di tempat sampah, dibuang sekitar sawah maupun dibuang ke parit/saluran air sawah. Tindakan petani ini akan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan membahayakan anak -anak yang mengambil wadah bekas pestisida tersebut. Kenyataan di lapangan pada saat penelitian masih ada petani yang membuang wadah bekas pestisida di dekat tanaman bawang yang sudah dipanen dan dijemur di pinggir sawah. Pada umumnya petani (77,2 %) menyimpan pestisida di dalam gudang, yang jauh dari jangkauan anak-anak dan hewan peliharaan. Kesadaran petani dalam penyimpanan pestisida sudah tinggi, petani menyadari bahwa pestisida merupakan racun yang berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan, sehingga petani menyimpan pestisida jauh dari jangkauan anak-anak dan di tempat khusus yang tinggi. Penggunaan pestisida yang cenderung berlebihan dilakukan oleh petani bawang merah di Kabupaten Brebes memberikan dampak yang negatif, baik terhadap lingkungan maupun kesehatan. Penggunaan pestisida tidak lagi memperhatikan kaidah-kaidah yang benar dan sesuai dengan konsep PHT. Rendahnya pengetahuan petani dalam menggunakan pestisida menjadi kebiasaan petani yang seolah-olah tidak mendatangkan bahaya. Penyemprotan pestisida yang berlebihan akan menyebabkan tanah di sekitar tanaman menjadi rusak, sehingga produktivitas bawang merah menjadi menurun Di lingkungan perairan jumlah pestisida yang tinggi akan mnyebabkan kematian organisme air. Di samping itu hama dan penyakit tanaman yang muncul menjadi lebih resisten dan sulit dibasmi.
62
Kenyataan di lapangan menunjukan banyak petani melakukan kebiasaan buruk dalam menangani pestisida, seperti merokok pada saat menyemprot, mencuci tangki alat semprot di saluran air sawah, menggunakan pestisida tidak sesuai dosis , tidak memakai alat pelindung dan membuang bekas wadah pestisida sembarangan. Pada umumnya petani hanya memperhatikan masalah pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang menyerang tanaman saja, sehingga keselamatan kerja pada petani itu sendiri dan pencemaran lingkungan terabaikan.
5.10. Data Kesehatan Pada umumnya petani responden atau sekitar 46,8 % mengalami gangguan kesehatan setelah melakukan kegiatan penyemprotan pestisida, tetapi hanya 4 % saja anggota keluarga lain yang mengalami gangguan serupa. Data gangguan kesehatan petani dan keluarganya secara rinci tertera pada Tabel 28.
Tabel 28. Gangguan kesehatan petani dan anggota keluarga Gangguan kesehatan ya kadang-kadang tidak
Petani responden ? % 37 46,8 35 44,3 7 8,9
Anggota keluarga ? % 4 5,1 6 7,6 69 87,3
Gangguan kesehatan yang banyak diderita petani setelah melakukan kegiatan penyemprotan antara lain pusing, mual, mata perih, dan wajah terasa kaku, yang merupakan gejala-gejala keracunan pestisida. Pestisida merupakan racun yang berbahaya bagi manusia, walaupun dampak keracunan pestisida ini baru terlihat dalam jangka panjang.
5.10.1. Dampak Penggunaan Pestisida terhadap Petani Penggunaan pestisida oleh petani secara langsung ataupun tidak langsung memberikan dampak terhadap kesehatan. Keracunan pestisid a organofosfat dan karbamat dapat menurunkan aktivitas enzim asetilkolinesterase (AChE) pada tingkat tertentu sesuai dengan tingkat keracunan nya. Tingkat keracunan pestisida pada petani di tiga desa secara rinci tertera pada Tabel 29.
63
Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengacam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik, yaitu golongan organoklorin. Kerusakan akibat pestisida jenis ini lebih tinggi dibandingkan senyawa lain, karena senyawa ini lebih peka tehadap sinar matahari dan tidak mudah terurai ( Sa’id, 1994). Pestisida organofosfat mempengaruhi fungsi normal sistem saraf dengan cara yang rumit dan pada akhirnya mempengaruhi sistem pernapasan dan sirkulas, menyebabkan kekejangan otot dan kelumpuhan. Beberapa organofosfat merangsang timbulnya efek neurotoksik yang menyerupai efek kecanduan alkohol, diabetes atau berbagai kecanduan obat-obatan (Kusnoputranto, 1995).
Tabel 29. Tingkat keracunan petani akibat penggunaan pestisida No.
1. 2. 3.
Nama Desa
Sisalam Jagalempeni Kedunguter
Jumlah petani
28 25 26
ringan ? % 5 6 5
17,86 24,00 19,23
Tingkat keracunan sedang berat ? % ? % 3 0 0
10,71 0 0
0 0 0
0 0 0
Normal ?
%
20 69,23 19 76,00 21 80,77
Berdasarkan penelitian tingkat keracunan pestisida pada petani di tiga desa penggunaan pestisida tinggi, yaitu di Desa Sisalam petani yang menderita keracunan ringan (KR) sebanyak 5 orang (17,86 %) dan keracunan sedang (KS) sebanyak 3 orang (10,71 %). Sedangkan Desa Jagalempeni sebanyak 6 orang (24,00 %) yang menderita keracunan ringan, serta di Desa Kedung Uter sebanyak 5 orang (19,23 %) menderita keracuanan ringan. Menurut Departemen Kesehatan (1992) batasan untuk kriteria keracunan jika kadar kolinesterase kurang dari 25 % dinyatakan keracunan berat , keracunan sedang (25 % - 50 % dari normal) serta keracunan ringan (>50 % - 75 %). Untuk kondisi normal jika kadar kolinesterase (>75 % - 100 % dari normal). Dampak pestisida secara langsung yang tampak pada petani atau pekerja adalah terjadinya kekejangan otot sampai dengan pingsan di lapangan apabila paparan pestisida terlalu tinggi (Sugihardjo, 1973). Tindakan yang harus diambil jika menderita keracunan ringan (KR) dengan mengistirahatkan petani selama 2
64
minggu, kemudian diulangi pemeriksaan kesehatan. Untuk keracunan sedang (KS), petani tidak boleh bekerja dengan pestisida golongan apapun dan dirujuk ke dokter, sedangkan untuk keracunan berat (KB) tidak boleh bekerja sama sekali serta harus diperiksa dan dirawat dokter (Supardi, 2003). Pestisida dapat meracuni manusia atau hewan melalui kulit, mulut, pernapasan dan melalui mata. Menurut Wudianto (1990) keracunan pestisida dapat dibedakan berdasarkan jumlah pestisida yang masuk ke dalam tubuh. Jika masuk ke dalam tubuh sekaligus dengan dosis tertentu diseb ut keracuanan akut. Jika masuk ke dalam tubuh dalam jumlah kecil dan berangsur-angsur disebut keracunan kronis. Insektisida organofosfat umumnya tidak bersifat karsinogenik, kecuali senyawa yang mengandung halogen misalnya tetraklorvinfos (Frank, 1995). Pestisida yang mempunyai efek teratogen adalah fungisida ditiokarbamat (WHO, 1974). Selain itu kaptan, folpet, parakuat, benomil dan tiabendazol juga memiliki efek teratogen, tetapi penemuan ini membutuhkan penegasan (Murphy, 1986). Dampak kesehatan pada petani dengan timbulnya keracunan akibat petani tidak mengikuti prosedur/aturan yang benar, seperti tidak menggunakan alat pelindung diri, mengabaikan arah angin, menggunakan pestisida tidak sesuai dosis dan sebagainya.. Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut, hidung, mata dan pori-pori kulit. Untuk itu petani seharusnya menggunakan baju pelindung, sarung tangan, sepatu boot dan masker pada saat penyemprotan. Namun selama ini kebiasaan petani masih buruk, petani beranggapan sudah terbiasa dan kebal, tanpa mengingat bahaya pestisida yang setiap saat mengacam keselamatannya dan lingkungan.
5.10.2. Dampak Penggunaan Pestisida terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Asetilkolinesterase (AChE). Jenis pestisida yang paling banyak digunakan di bidang pertanian adalah pestisida golongan organofosfat dan karbamat. Jenis pestisida organofosfat dan karbamat sering disebut antikolinesterase (Soemirat, 2003). Akibat dari pemaparan pestisida organofosfat dan karbamat dapat menurunkan aktivitas enzim asetilkolinesterase (AChE).
65
Penurunan aktivitas AChE ini juga terjadi pada beberapa penyakit, terutama penyakit yang menyerang hati (Dirdjoatmodjo, 1991).
Untuk
menyingkirkan kemungkinan penurunanan aktivitas enzim asetilkolinesterse (AChE) bukan karena keracunan pestisida maka ditentukan juga enzim glutamat piruvat transaminase (GPT). Tabel 30. Kandungan asetilkolinesterase (AChE) dan glutamat piruvat transaminase (GPT) pada petani Desa Sisalam. No respnden Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Umur
38 34 32 30 33 41 28 35 34 33 29 25 27 33 35 31 26 35 30 48 29 27 46 42 40 51 39 30
Kadar AChE (kU/l)
% AChE thd kontrol
Kriteria
Kadar GPT (U/l)
7,780 3,760 6,160 5,430 7,270 7,660 5,880 4,140 6,150 6,200 7,802 4,271 5,880 2,860 5,880 5,893 4,295 6,150 4,040 4,170 2,770 7,490 7,803 7,460 6,670 6,200 6,293 5,990 6,790
48,33 79,18 88,15 93,44 98,46 76,76 70,41 79,05 79,69 100 ,28 54,90 75,58 36,76 75,58 75,75 55,21 79,05 51,93 53,60 35,60 96,27 100 ,30 95,89 85,73 79,69 80,89 76,99 87,28
KS N N N N N KR N N N KR N KS N N KR N KR KR KS N N N N N N N N
28,60 25,20 18,00 21,40 18,00 19,00 17,00 15,20 22,30 14,30 19,50 25,30 28,10 26,20 24,10 19,00 21,10 20,60 19,80 18,70 21,40 19,00 18,00 15,20 22,10 14,90 20,10 22,40
Keterangan : N (normal), KR (keracunan ringan), KS (keracunan sedang) dan KB (keracunan berat).
66
Pemeriksaan kolinesterase pada sel darah merah lebih dianjurkan pada paparan insektisida kronik. Pemeriksaan untuk keracunan karbamat dapat memperlihatkan aktivitas kolinesterase serum yang normal atau mendekati normal (Komala, 2003). Dua tipe kolinesterase dijumpai dalam darah yaitu true kolinesterase (asetilkolinesterase) pada sel darah merah dan pseudokolinesterase pada serum/plasma (Jacob, et al, 1990). Dari Tabel 30 menunjukan bahwa di Desa Sisalam Kecamatan Wanasari terdapat
8 petani responden
yang
mengalami penurunan kandungan enzim
asetilkolinesterase (AChE) pada darah , dengan kadar AChE 2,770 s/d 4,295 kU/l., apabila dibandingkan dengan bat asan normal kandungan enzim AChE sebesar 4,300- 10,00 kU/l untuk laki-laki. Sedangkan untuk kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) pada keadaan normal. Hal ini menunjukan bahwa penurunan kandungan enzim asetilkolinesterase pada petani disebab kan oleh terpaparnya pestisida. Petani
bawang
merah
di
Desa
Sisalam
Kecamatan
Wanasari
menggunakan insektisida jenis organofosfat dan karbamat. Petani menggunakan jenis organofosfat yang mengandung bahan aktif klorpirifos (19,61 %), triazofos (21,57 %) dan profenosfos (0,98 %). Untuk karbamat petani menggunakan jenis karbamat yang mengandung bahan aktif propineb (4,90 %), tiodikarb (7,84 %), karbosulfan (9,80 %), metomil (5,88 %), kartab hidroklorida (3,92) dan karbofuran (0,98 %). Dari jenis insektisida yang dipergunakan oleh petani di Desa Sisalam ini menunjukan bahwa terjadinya penurunan kandungan ezim asetilkolinesterase disebabkan terpapar insektisida golongan organofosfat dan karbamat. Untuk Desa Jagalempeni Kecamatan Wanasari terdapat 6 petani responden yang mengalami penurunan kandungan enzim
asetilkolinesterase
(AChE), dengan kadar AChE 4,245 s/d 4,291 kU/l apabila dibandingkan dengan batasan normal kadar enzim AChE sebesar 4,300- 10,00 kU/l untuk laki-laki (Tabel 31). Sedangkan kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) pada petani responden semuanya normal. Hal ini menunjukan bahwa penurunan kandungan enzim asetilkolinesterase pada petani di Desa Jagalempeni disebabkan oleh terpaparnya pestisida.
67
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa petani bawang merah di Desa Jagalempeni menggunakan pestisida organofosfat yang mengandung bahan aktif klorpirifos (23,53 %), triazofos (11,76 %), profenofos (1,96) dan meditation (1,96 %). Sedangkan untuk golongan karbamat mengandung bahan aktif seperti karbosulfan (11,76 %),
propineb (6,86 %), kartab hidroklorida (5,88 %),
tiodikarb (2,94 %), metomil (0,98 %), dan karbofuran (0,98 %). Dari jenis insektisida yang dipergunakan oleh petani di Desa Jagalempeni ini menunjukan bahwa terjadinya penurunan kandungan enzim asetilkolinesterase disebabkan terpapar insektisida golongan organofosfat dan karbamat. Tabel 31. Kandungan asetilkolinesterase (AChE) dan glutamat piruvat transaminase (GPT) pada petani Desa Jagalempeni. No respnden
Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur
27 30 28 42 54 40 45 45 40 35 48 35 65 53 46 36 60 45 35 39 35 45 47 56 49
Kadar AChE (kU/l)
% AChE thd kontrol
8,428 8,456 7,840 6,730 6,460 4,285 4,270 8,040 8,220 4,291 6,470 8,440 6,440 4,245 6,350 7,480 8,140 8,400 7,840 6,220 8,440 7,690 8,140 4,290 6,400 4,283
100 100,33 93,02 79,85 76,65 50,84 50,66 95,40 97,53 50,75 76,77 100,14 76,41 50,37 75,34 88,75 96,58 99,67 93,02 76,81 100,14 91,24 96,58 50,90 75,94 50,82
Kriteria
Kadar GPT (U/l)
N N N N KR KR N N KR N N N KR N N N N N N N N N KR N KR
21,40 18,00 19,00 17,00 15,20 19,20 20,10 16,20 20,10 22,10 18,00 24,20 19,00 25,20 23,40 21,70 21,00 20,30 18,60 18,30 19,20 20,50 15,60 27,10 15,90
Keterangan : N (normal), KR (kerac unan ringan), KS (keracunan sedang) dan KB (keracunan berat).
68
Berdasarkan Tabel 33 menunjukan bahwa di Desa Kedung Uter Kecamatan Brebes 5 petani mengalami penurunan asetilkolinesterase (AChE) dengan kadar AChE 4,160 s/d 4,300 kU/l, apabila dibandingkan dengan batasan normal kandungan enzim AChE sebesar 4,300- 10,00 kU/l untuk laki-laki. Sedangkan untuk kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) pada petani responden di desa ini
dalam keadaan normal. Desa Kedung Uter ini
termasuk kecamatan Breb es dengan wilayahnya yang mempunyai aktivitas rendah untuk kegiatan penyemprotan. Tabel 33. No respnden
Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kandungan asetilkolinesterase (AChE) dan glutamat piruvat transaminase (GPT) pada petani Desa Kedung Uter. Umur
25 27 33 19 21 19 26 18 41 19 27 27 35 30 40 29 21 21 38 17 33 40 21 21 48 50
Kadar AChE (kU/l)
% AChE thd kontrol
7,510 7,500 4,160 4,290 5,640 6,500 5,700 7,240 4,280 5,830 5,720 6,510 6,020 4,240 6,430 7,500 5,910 7,520 6,100 7,540 5,685 4,300 7,510 6,210 6,880 7,450 7,390
100 99,87 55,39 57,12 75,10 86,55 76,00 96,40 56.99 77,73 76,17 86,68 80,16 56,46 86,62 99,87 78,70 100,13 81,23 100,40 75,70 57,26 100,00 82,69 91,61 99,20 98,53
Kriteria
Kadar GPT (U/l)
N KR KR N N N N KR N N N N KR N N N N N N N KR N N N N N
21,10 25,20 20,10 19,50 22,30 14,60 18,90 19,20 24,10 23,20 19,60 17,00 18,50 19,30 15,30 17,80 25,10 22,60 20,50 22,30 18,60 19,00 19,70 21,50 25,40 19,80
Keterangan : N (normal), KR (keracunan ringan), KS (keracunan sedang) dan KB (keracunan berat).
69
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa petani bawang merah di Desa Kedung Uter menggunakan pestisida organofosfat yang mengandung bahan aktif klorpirifos (20,9 %), profenos (2,99 %), fenfoat (1,49 %), dan triazofos (13,43 %). Sedangakan untuk golongan karbamat mengandung bahan aktif seperti propineb (5,97 %), metomil (1,49 %),dan kartab hidroklorida (4,48 %). Dari jenis insektisida yang dipergunakan oleh petani di Desa Kedung Uter ini menunjukan bahwa terjadinya penurunan kandungan ezim asetilkolinesterase disebabkan terpapar insektisida golongan organofosfat dan karbamat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa dari 79 petani bawang merah di tiga lokasi penelitian, 19 (24,05 %) petani mengalami penurunan kadar asetilkolinesterase (AChE), serta kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) pada semua petani normal. Hal ini menunjukan bahwa terjadinya penurunan kandungan enzim asetilkolinesterase pada darah petani disebabkan oleh pestisida jenis organofosfat dan karbamat. Penentuan kadar enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) untuk menyingkirkan kemungkinan penurunan asetilkolinesterase (AChE) tidak disebabkan karena penyakit hati (hepatitis, sirrosis, tumor hati), penyakit infeksi akut, malnutrisis,anemia, dan ginjal kronis. Infeksi virus pada hati (hepatitis), baik yang akut maupun kronis dapat menurunkan kadar kolinesterase 30-50 %, sedangkan penyakit sirrosis hepatitis lanjut dan tumor hati atau tumor lain yang bermetastas is ke hati dapat menurunkan kadar kolinesterase sampai 50-70 %. Kehamilan juga dapat menurunkan
kadar
kolinesterase
(Dirdjoatmojo,
1991).
Jenis
pestisida
organofosfat dan karbamat sering disebut antikolinesterase, karena keduanya mempunyai efek yang sama dalam sistem saraf (perifer dan pusat) (Soemirat, 2003). Antikolinesterase menghambat kerja kolinesterase, dengan mengikat kolinesterase dan mengakibatkan perangsangan kolinergik terus menerus karena asetilkolin (ACh) tidak dihidrolisis (Darmansjah et al, 1995). Enzim kolinesterase adalah enzim yang berada dalam jaringan tubuh yang berperan menjaga otot-otot, kelenjar-kelenjar dan sel-sel saraf bekerja secara terorganisir dan harmonis (DepKes, 1992). Kolinesterase tersebar di seluruh jaringan dan cairan tubuh dan menghidrolisis asetilkolin (ACh) menjadi asam kolin dan asam asetat. Ada dua macam kolinesterase, yaitu asetilkolinesterase
70
(AChE) dan butirilkolinesterase (BuChE). Asetilkolinesterase (juga dikenal sebagai kolinesterase yang spesifik atau kolinesterase yang sejati) terutama terdapat di tempat transmisi kolinergik pada membran pra maupun pascasinaps (Darmansjah et al, 1995). Hambatan pada kolinesterase akan menyebabkan terjadinya penumpukan asetilkolin sehingga menyebabkan efek muskarinik, nikotinik dan menurunnya fungsi saraf pusat. Kadar kolinesterase merupakan petanda biologis (biological marker) terjadinya keracunan golongan organofosfat dan karbamat. Asetilkolin merupakan senyawa perantara sinap antara serabut pre-ganglion dan postganglion (Hallenbech and Cunningham-Burrns, 1985; Jeyaratman, 1986; Palmer, 1991; Pansky and Allen, 1980). Pada saat terpajan organofosfat dan karbamat, asetilkolinesterase (AChE) dihambat sehingga terjadi terjadi akumulasi asetilkolin (ACh). ACh yang ditimbun dalam SSP akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang dan lain-lain. Dalam sistem saraf autonom akumulasi ini akan menyebabkan diare, urinasi tanpa sadar, bronkokonstroksi, miosis dan lain-lain. Penghambatan AChE yang disebabkan oleh karbamat dapat pulih dengan mudah, sedangkan pajanan organofosfat lebih sulit pulih (Frank, 1995). Hidrolisis asetilkolin tidak terjadi jika dihambat oleh antikolinesterase, seperti organofosfat dan karbamat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa kadar enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) petani normal. Hal ini menunjukan bahwa terjadinya penurunan asetilkolinesterase (AChE) pada petani bawang merah akibat dari keracunan pestisida organofosfat dan karbamat. Pada umumnya petani bawang merah di Kabupaten Breb es menggunakan insektisida organofosfat yaitu sekitar 42,91 %
dan karbamat 37,40 % . Keluhan
seperti mual, pening, lemah,
lemas,otot wajah kaku dan tekanan pada kepala merupakan keluhan yang banyak diderita oleh petani responden. Keluhan -keluhan ini merupakan pertanda terjadinya penurunan asetilkolinesterase (AChE) dalam darah petani, serta terjadinya keracunan akibat paparan pestisida yang cukup memprihatinkan. Jika paparan sudah terlalu tinggi akan terjadi kekejangan otot dan pingsan. Keadaan yang memprihatinkan ini karena petani merasa kebal dan terbiasa dengan pestisida. Rendahnya kesadaran petani dalam sikap dan perilaku dalam
71
menangani pestisida semakin memperburuk keadaan kesehatan petani itu sendiri. Sebagian besar petani dalam menggunakan pestisida tidak mengikuti prosedur yang ada, tidak memperhatikan arah angin dan tidak menggunakan alat pelindung diri. Di samping itu petani juga menggunakan dosis tidak sesuai dan mencampur (mengoplos) dua atau lebih jenis pestisida. Adanya tingkat keracunan ringan dan sedang yang terjadi di Desa Sisalam (28,57 %) dan Desa Jagalempeni (24 %) Kecamatan Wanasari, karena desa ini mempunyai aktivitas lebih tinggi dan frekuensi penyemprotan lebih tinggi dibandingkan Desa Kedung Uter Kecamatan Brebes. Petani sering terlihat melakukan kebiasaan yang berbahaya pada saat menangani pestisida, seperti tidak menggunakan
alat
pelindung
pada
saat
menyemprot,
merokok
sambil
menyemprot, mencampur/mengoplos beberapa jenis pestisida dan sebagainya. Luas permukaan kulit yang terbuka akan mempengaruhi pestisida masuk ke dalam tubuh melalui kulit (Rachmawati, 2001). Petani dapat terpapar pestisida yang digunakan, demikian juga dengan masyarakat yang tinggal di sekitar pertanian (Azaroff, 1998). Selain petani, pekerja pada industri insektisida juga dapat terpapar seperti penelitian Al Machtab (1997) di Bangladesh 33,7 % pekerja dari 265 pekerja yang terpapar insektisida sampai terjadi penurunan enzim AChE di bawah standar dan 12, % % dalam kondisi bahaya. Pada umumnya gejala keracunan pestisida yang nyata baru tampak bila kadar asetilkolinesterase (AChE)
turun sampai 30 %. Tetapi dengan kadar
asetilkolinesterase (AChE) 50 %-75 % pada petani yang berhubungan dengan pestisida
harus
diistirahatkan
sementara
sebagai
tindakan
pengamanan
(Dirjoatmojo,1991). Dengan terjadinya penurunan kadar asetilkolines terase (AChE) pada petani di wilayah ini, perlu dilakukan penyuluhan yang lebih intensif untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran petani dalam menggunakan pestisida, menyelenggarakan SLPHT bagi petani yang belum mengikutinya serta pemeriksaan secara rutin kandungan AChE dalam darah petani.
72
5.10.3. Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Gangguan Kesehatan Gangguan kesehatan pada petani yang ditimbulkan oleh pestisida dapat secara langsung maupun tidak langsung, Gangguan tersebut seperti gangguan pada mata, saluran pernapasan, saluran pencernaan, sistem kardiovaskular, ginjal, otot kerangka, dan sistem saraf pusat (Tabel 33). Berdasarkan Tabel 33 menunjukan pada umumnya petani mengalami sakit kepala (tekanan pada kepala) 84,8 %, penglihatan kabur 64,6%, mual 49,4 %, lemas 49,4 %, dada tertekan 39,2 %, iritasi mata 38,0 %, lemah 38,0 % mata berair 35,4 %, kaku 30,4 %, kram 27,8 %, otot wajah kaku 26,6 %, dan lain-lain.
Tabel 33. Dampak pestisida terhadap gangguan kesehatan petani No 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
Gangguan Kesehatan Mata - berair - iritasi mata - kelopak mata kaku - penglihatan kabur Saluran pernapasan - dada tertekan - batuk Saluran pencernaan - mual - muntah - diare, buang air tidak menentu - sakit tulang belakang Sistem kardiovaskular - detak jantung lemah - tekanan darah turun - tekanan darah naik Ginjal - pengeluaran urine tidak kontiyu Otot kerangka - otot wajah kaku - lemas - kaku - tidak tenang - kram - emosi labil Sistem saraf pusat - mengantuk - lemah - bingung - tidak konsentrasi - sakit kepala, tekanan pada kepala - tremor
Jumlah
%
28 30 19 51
35,4 38,0 24,1 64,6
31 22
39,2 27,8
39 7 2 2
49,4 8,9 2,5 2,5
21 15 8
26,6 19,0 10,1
9
11,4
21 39 24 17 22 8
26,6 49,4 30,4 21,5 27,8 10,1
21 30 11 6 67 3
26,6 38,0 13,9 7,6 84,8 3,8
73
Pemeriksaan
kolinesterase
dapat
digunakan
untuk
mengetahui
dampak
penggunaan pestisida organofosfat dan karbamat. Keadaan klinis yang dapat mengindikasinya yaitu pemeriksaan paparan pestisida dengan gejala seperti miosis, penglihatan kabur, kelemahan otot, twitching dan fasciculation, bradikardi, nausea, diare, mual, banyak mengeluarkan air liur, berkeringat, endema paru, aritmia dan kejang (Komala, 2003). Gangguan kesehatan yang terjadi pada mata seperti iritasi mata, mata berair dan penglihatan kabur disebabkan petani dalam melakukan kegiatan penyemprotan pestisida tidak menggunakan pelindung mata. Pada umumnya petani baik SLPHT maupun non SLPHT tid ak menggunakan pelindung mata sehingga pestisida masuk melalui mata/kontak langsung. Jika dibiarkan terus menerus akan membahayakan kondisi mata petani itu sendiri. Keluhan-keluhan yang terbanyak diderita oleh petani adalah sakit kepala (tekanan pada kepala), mual, lemas, dada tertekan, batuk, kram, mengantuk, dan otot wajah kaku disebabkan pestisida masuk kedalam tubuh petani melalui kulit dan saluran pernapasan. Keadaan seperti ini terjadi karena pada saat berhubungan dengan pestisida tidak menggunakan baju pelindung, sarung tangan dan masker. Gejala-gejala ini merupakan gejala keracunan yang disebabkan oleh pestisida baik itu golongan organofosfat maupun karbamat. Walaupun dalam pemeriksaan darah petani kandungan AChE masih dalam kondisi normal.
5.11. Hubungan antara Kadar AChE dengan Lama Bekerja dan Frekuensi Penyemprotan. Hubungan antara kadar asetilkolinesterase (AChE) dengan lama bekerja petani tertera pada tabel 34. Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan pada taraf nyata 5% antara lama bekerja dengan kadar AChE (koefisien korelasi sebesar 0,011). Ini ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,926, artinya lama bekerja tidak berpengaruh pada tinggi rendahnya kadar AChE petani.
74
Tabel 34.
Hubungan antara lama bekerja dan frekuensi penyemprotan dengan kadar AChE pada petani
Correlations Kadar AChE Lama bekerja
Frekuensi Penyemprotan
Pearson Correlation Sig (2-tailed) N Pearson Correlation Sig (2-tailed) N
0.011 0.926 79 0.067 0.556 79
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) Hubungan antara kadar asetilkolinesterase (AChE) dengan frekuensi penyemprotan tertera pada Tabel 34. Berdasarkan Tabel 34 menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikasi pada taraf nyata 5 % antara frekuensi penyemprotan dengan kadar AChE petani (koefisien korelasi sebesar 0,067). Ini ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,556, artinya frekuensi penyemprotan tidak berpengaruh pada penurunan kadar AChE. Tinggi rendahnya kandungan asetilkolinesterase pada darah petani yang tidak hanya dipengaruhi oleh frekuensi penyemprotan. Selain frekuensi yang terus menerus, penurunan asetilkolinesterase pada petani juga dipengaruhi berbagai faktor seperti bagaimana petani menangani pestisida, penggunaan alat pelindung diri (APD), jenis pestisida, bahan aktif pestisida, toksisitas pestisida (LD 50), lamanya waktu terpajan, kadar enzim glutamat piruvat transaminase (GPT), kadar enzim glutamat oksaloasetat transaminase (GOT) dan sebagainya. Insektisida organofosfat dan karbamat bila masuk ke dalam tubuh bekerja menghambat asetilkolinesterase (AChE) dan mengakibatkan akumulasi asetilkolin (ACh). ACh yang berlebihan menyebabkan menginduksi tremor, inkoodinasi, kejang-kejang dan lain-lain (Frank, 1995). Beratnya gejala kurang lebih berkorelasi dengan tingkat penghambatan kolinesterase dalam darah, tetapi hubungan yang tepat tergantung pada senyawanya (Wills, 1972). Menurut Ecobichon dalam Ruchicawat (1996) Kebanyakan fosforilasi asetilkolinesterase tidak siap mendefosforilasi, ini menunjukan inhibisi irreversibel sehingga perlu waktu berhari-hari. Tanda keracunan dan gejala keracunan menjadi semakin kuat, karena kadar asetilkolin tinggi. Kebalikannya karbaril asetilkolinesterase siap
75
berdisosiasi secara spontan untuk menghasilkan AChE bebas dan menghasilkan ciri dan gejala keracunan umumnya terlihat setelah 3-6 jam terpapar.
5.12. Hubungan Antara Kadar AChE Dengan Kebiasaan Tidak Memakai Masker dan Sarung Tangan. Hubungan antara kadar AChE dengan kebiasaan tidak menggunakan masker dan sarung tangan tertera pada Tabel 35. Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan pada taraf nyata 5 % antara kebiasaaan menggunakan masker dengan kadar AChE (koefisien korelasi sebesar -0.337), ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0,002 yang lebih kecil dari 0.05. Artinya semakin sering petani menggunakan tidak memakai masker maka semakin rendah kadar AChEnya. Tabel 35. Hubungan antara kadar AChE dengan kebiasaan petani tidak memakai masker dan sarung tangan. Correlations Kadar AChE Tidak memakai masker
Pearson Correlation Sig (2-tailed) N Tidak memakai sarung tangan Pearson Correlation Sig (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
-0.337** 0.002 79 -0.093 0.415 79
Penggunaan masker akan mempengaruhi terjadinya penurunan kandungan asetilkolinesterase, karena pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan.
Jika
terus
menerus
akan
mengakibatkan
penghambatan
asetilkolinesterase sehingga terjadi akumulasi asetilkolin dan mengakibatkan keracunan. Sedangkan untuk kebiasaan tidak memakai sarung tangan, tidak terdapat hubungan yang signifikan pada taraf nyata 5 % dengan kadar AChE (koefisien korelasi sebesar -0.093), ini ditandai dengan nilai signifikasi sebesar 0.415 yang lebih besar dari 0.05. Artinya kebiasaan tidak memakai sarung tangan tidak berpengaruh pada tinggi rendahnya kadar AChE.
76
Kulit adalah salah satu media masuknya pestisida ke dalam tubuh. Namun penurunan aktivitas enzim asetilkolinesterase tidak hanya dipengaruhi oleh tidak memakai sarung tangan saja, juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti jenis pestisida yang digunakan, frekuensi penyemprotan, toksisitas pestisida, lamanya petani terpapar, dan sebagainya. Pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan merupakan dampak negatif dari penggunaan pestisida. Penggunaan alat pelindung diri merupakan salah satu cara untuk menghindari dampak buruk terhadap kesehatan petani. Selain perlu penerapan pengelolaan hama terpadu untuk mengurangi penggunaan pestisida, juga perlu diperhatikan kaidah-kaidah keselamatan kerja petani dalam menangani pestisida. Untuk menghindari dampak buruk dan ketergantungan pemakaian pestisida, pemerintah melalui Keputusan Presiden nomor 3 tahun 1986 telah melarang pemakaian 57 jenis pestisida, karena mengakibatkan keracunan dan pencemaran (Novizan, 2002). Pemerintah lebih menerapkan konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu), dalam penerapan PHT, pestisida hanya digunakan dalam batas-batas tertentu sebagai alternatif terakhir dengan memprioritaskan keselamatan pekerja dan lingkungan.
VI.
6.1.
KESIMPULAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 3 desa di wilayah
Kabupaten Brebes maka dapat disimpulkan : 1.
Pengetahuan petani SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu) mengenai pestisida, peraturan penggunaan pestisida dan dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan lebih tinggi dibandingkan petani non SLPHT berdasarkan jenjang pendidikan.
2.
Sikap petani SLPHT lebih baik dibandingkan dengan petani non SLPHT dalam penggunaan pestisida, personal hygiene dan penggunaan alat pelindung diri (APD).
3.
Penurunan kandungan asetilkolinesterase (AChE) pada darah petani tidak hanya dipengaruhi oleh lamanya bekerja dan frekuensi penyemprotan, tetapi juga dipengaruhi faktor lain seperti sikap dan tindakan
petani
dalam penyemprotan, tidak memakai alat pelindung diri, jenis pestisida, kandungan bahan aktif pestisida, toksisitas pestisida, lamanya waktu terpapar dan sebagainya. 4.
Adanya penurunan aktivitas enzim asetilkolinesterase (AChE) pada 8 petani (28.71 %) di Desa Sisalam, 6 petani (24 %) di Desa Jagalempeni dan 5 petani (19.23 %) di Desa KedungUter. Penurunan aktivitas enzim AChE pada petani sebagai akibat keracunan pestisida, karena kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) pada petani normal.
5.
Penurunan aktivitas enzim AChE disebabkan oleh keracunan pestisida organofosfat dan karbamat. Penggunaan pestisida organofosfat sebanyak 42,91 % dan karbamat 37,40 %. Kedua pestisida jenis ini merupakan pestisida antikolinesterase, yang bekerja menghambat asetilkolinesterase.
77
6.
Petani yang mengalami penurunan aktivitas enzim AChE sebanyak 19 orang, tetapi petani yang lain juga mengalami tanda-tanda keracunan pestisida seperti sakit kepala , penglihatan kabur, mual, lemas, dada tertekan, lemah, mata berair, kaku, kram dan otot wajah kaku, walaupun belum mengalami penurunan aktivitas enzim AChE.
6.2.
Saran Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kesadaran petani dalam
penggunaan pestisida, serta pemantauan kualitas lingkungan, maka disarankan : 1.
Penyuluhan terhadap petani lebih intensif dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan petani, sehingga meningkatkan
kesadaran petani dalam
penggunaan pestisida. 2.
Pemantauan dan pengawasan terhadap pengguna pestisida di Kabupaten Brebes mengingat daerah ini merupakan sentra produksi bawang merah dan pemakai pestisida terbesar di Indonesia.
3.
Pemantauan secara rutin terhadap kesehatan petani pengguna pestisida dengan melakukan tes darah petani dan residu pestisida pada bawang merah.
4.
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai dampak penggunaan pestisida terhadap tanah dan air di areal pertanian bawang merah, serta penelitian analisa risiko lingkungan dan kesehatan akibat penggunan pestisida.
78
DAFTAR PUSTAKA
, 2003. Cholinesterases.
[email protected] Al Machtab, A.M. 1997. Effect Organophosphate Pesticides on The Health of Agro Chemical Worker in Bangladesh, Asian Pacific Newletter 2/1998. Azaroff, L.S. 1998. Biomarker of Exposure to Organophosphorous Insecticides among Farmer Families in Rural Elsavador : factor Associated with Exposure, Environmental Research Journal, Vol 80 No. 2 Bhabayan, N.V. 1974. Biochemestry A Comprehensive Review. J.B. Lippincott Company. Philadelphia. Toronto Campbell, P.N and Smith, A.D. 1988. Boichemistry Illustrated 2nd edition. Churchill Livingstone. Edinburgh. p. 255-257 Coye, M.J. 1986. Biological Monitoring of Agricultural Workers Exposed to Pesticide : E. Cholinesterase Activity Determinations. Journal of Accupational Medicine 28 (8) : 619-626. Darmansyah, I dan Sulistia, G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Bagian Farmakologi UI. Jakarta DepKes. 1992. Pemeriksaan Cholinesterase Darah dengan Tintometer Kit. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta. Dirdjoatmojo, H. 1991. Keracunan Pestisida Organofosfat Pada Penyemprot Perkebunan Sayur Sekitar Bandung. MKB XXIII No. 3. Jakarta. Elman, G.L. 1971. Spectrophotometrical Determination of The Activity of Cholinesterase. Biochem. Pharmacol. Ecobichon, D.J. 1996. Mechanisms of Pesticide Toxicity, in Ruchirawat M and Shank R.C. Environmental Toxicology, Volume 3, Bangkok : Chulaborn Research Institute, International Center of Environmental and Industrial Toxicology. Faedah, A.Gayatri, Koesnadi dan Y.Chan. 1993. Awas Pestisida Nagadon dalam Makanan Kita. Majalah Terompet (Teropong Masalah Pestisida), Edisi IV, Jakarta : Pestiside Action Network (PAN) Indonesia.
79
Frank, C.Lu. 1995. Toksikologi Dasar (Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Gan, S. 1981. Farmakologi dan Terapi. Edisi 2. Bagian Farmakologi UI. Jakarta. Hallenbech, W.H. Cunningham Burrns, K.M. 1985. Pesticides and Human Health. Springer. New York. Hassal, K.A. 1982. The Chemistry of Pesticides. Macmilan Education Ltd. Basingstoke and London. Infokes. 2004. Pencemaran Pestisida dan Pencegahannya. 2004. http://www.infokes.com// today/artikelview.html. 15/03/2004. Jacob, D.S, B.L. Kasten, W. Demott, W. Wolfson.1990. Lab oratory Test Handbook. 2nd ed. William & Baltimore. Jeyaratman, J. 1986. Blood Cholinesterase Levels Among Agricultural Workers in Four Asian Countries. Toxicology Letter 33 : 195-201 Kusnoputranto, H. 1995. Pengantar Toksikologi Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan . Komala, I. 2003. Kolinesterase Serum. Laboratorium Patologi Klinik. R.S. Sumber Waras. Jakarta. Murphy, S.D. 1986. Toxic effect of pesticides. In : Cassarett and Doull’s Toxicology. Eds. C.D. Klaasen, M.O. Amdur, and J. Doull. New York : Macmillan. Oka, I. N. 2005. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Palmer, T. 1991. Understanding Enzymes. 2nd edition. Ellish Horwood. New York. Planksy, B and Allen, D.J. 1980. Review of Neuroscience. Macmillan Publishing Co. Inc. New York. USA. 162 – 163. Pikiran Rakyat, 1995. Pemakaian Pestisida Petani di Brebes Cenderung, Penyakit Tanaman Jadi lebih Resisten terhadap Hama. Bandung Tarumingkeng, R. 2004. Pestisida dan Pencegahannya. http://www.tumoutou. net/TOX/PESTISIDA. htm. 15/03/2004
80
NKLD, 2003. Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Novizan. 2002. Petunjuk Pemakaian Pestisida. Penerbit Agromedia Pustaka. Jakarta. Rachmawati, s. 1993. pengaruh Paparan Insektisida Curacron melalui Kulit pada Petani Rumah kaca dan Ladang Terbuka terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Asetilkolinesterase. Institut Teknologi Bandung, Thesis. Rahayu, E. 1994. Bawang Merah. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Said, E.G. 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua. Agrotek, Institut Pertanian Bogor. Bogor 2 (1) : 71-72. Sasmito. 1996. Kandungan enzim kholinesterase dan kreatinin pada petani penebar pestisida di Kabupaten Brebes. Majalah Farmasi Indonesia 7 (2) : 102-106. Soemirat, J. 2003. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Suara Merdeka. 2002. Penyakit Tanaman Menjadi Resisten Terhadap Hama. Semarang. Sugihardjo, C.Y. Insektisida-insektisida yang Banyak Terdapat di Indonesia. (Skripsi) Doktoral Fakultas Farmasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sulistiyono, L. 2003. Pengetahuan dan Sikap Petani Bawang Merah dalam Penggunaan Pestisida : Studi Kasus Kabupaten Nganjuk (Tesis) Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Supardi, I. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Penerbit PT Alumni. Bandung. Uehara, K. 1996. The Present State of Plant Protection in Japan-Safety Countermesures for Agriculture Chemicals. Japan Pesticide Information, No. 61. Japan Plant Protection Association, Tokyo, Japan, pp 3-6. Wiyono. 1981. Hubungan Antara Pemaparan Insektisida Diazinon Dengan Penurunan Cholinesterase pada Penyemprot Pest Control Pisok dan Rentokil. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta.
81
Wills, J.H. 1972. The measurement and significance of changes in the cholinesterase of erythrocytes and plasma in man and animal. CRC Crit. Rev. Toxicol. March : 153-202. Wudianto, R. 1990. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. World Health Organization. 1974. Safe Use of Pesticides in Public Health. WHO Technical Report Series 356. Genewa. World Health Organization. 1986. Safe Use Of Pestisides. WHO Technical Report Series 634. Genewa.
Lampiran 3 No.kuesioner :…………… Desa/Dusun :…………… Kecamatan :……………
KUESIONER PENELITIAN Pengaruh Paparan Pestisida Pada Petani Bawang Merah Terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Asetilkolinesterase Di Kabupaten Brebes Jawa Tengah
Pedoman pengisian kuesioner 1. Berilah tanda (x) pada setiap jawaban yang dipilih oleh petani. 2. Isilah jawaban pada tempat yang disesuaikan. I.
Identitas Petani Nama Umur Berat badan Jenis Kelamin Pendidikan terakhir Sekolah Alamat Kursus Lama bekerja sebagai petani Frekuensi penyemprotan Jenis pestisida yang dipakai
:………………............................................... : …………………………………………….. :……………………………………………... : ? laki-laki ? perempuan : ? SD ? SMP ? SMA ? Tdk :…………………………………………… : ? SLPHT ? non SLPHT : ? 1-5 th ? 5 – 10 th ? > 10 th :…………………………………..kali/tanam :……………………………………………... ……………………………………………... ……………………………………………...
II.
Data Sosial ekonomi
1.
Data Sosial
A.
Pengetahuan
a.
Pengetahuan mengenai pestisida 1) Apakah saudara mengetahui tentang pestisida ? ? ya ? sedikit ? tidak Pestisida adalah…………………………………………………………..
88
2) Apakah saudara tahu kandungan bahan aktif dari pestisida ? ? ya ? sedikit ? tidak Bahan aktif pestisida………………………………………………………. 3). Apakah pestisida yang digunakan mempunyai daya racun/kemampuan membunuh hama, gulma dan penyakit tanaman yang kuat ? ? ya ? sedikit ? tidak 4) Apakah pestisida yang digunakan terus menerus dapat menyebabkan hama dan penyakit tanaman menjadi kebal/resisten ? ? ya ? sedikit ? tidak 5). Apakah pestisida yang digunakan bersifat mudah hilang (mudah terurai) ? ? ya ? sedikit ? tidak 6). Menurut saudara apakah pestisida merupakan racun yang paling ampuh membasmi hama/penyakit tanaman ? ? ya ? sedikit ? tidak 7). Menurut saudara apakah ada alternatif lain selain penggunaan pestisida untuk membunuh hama pada tanaman bawang merah ? ? ya ? sedikit ? tidak
b.
Pengetahuan mengenai peraturan penggunaan pestisida 1). Apakah saudara tahu mengenai peraturan penggunaan pestisida yang ditentukan pemerintah ? ? ya ? sedikit ? tidak 2). Apakah saudara memperhatikan dosis yang dianjurkan dalam penggunaan pestisida ? ? ya ? sedikit ? tidak 3). Penggunaan pestisida tidak boleh mencemari lingkungan, baik air, udara,tanah dan tanaman ? ? ya ? sedikit ? tidak 4). Penggunaan pestisida harus memperhatikan keselamatan manusia ? ? ya ? sedikit ? tidak
89
5). Penggunaan pestisida dapat menyebabkan matinya organisme bukan sasaran ? ? ya ? sedikit ? tidak
c.
Pengetahuan mengenai dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan 1). Menurut saudara apakah pestisida dapat mencemari perairan, tanah dan udara ? ? ya ? sedikit ? tidak 2). Apakah pestisida dapat meracuni hewan darat dan air ? ? ya ? sedikit
? tidak
3). Apakah pestisida dapat mencemari tanaman ? ? ya ? sedikit
? tidak
4). Menurut saudara apakah pestisida dapat masuk ke dalam tubuh manusia ? ya ? sedikit ? tidak 5). Apakah pestisida dapat menganggu kesehatan /membahayakan manusia ? ya ? sedikit ? tidak
B.
Sikap
a.
Sikap yang berhubungan dengan penggunaan pestisida 1) Pemakaian pestisida dalam membasmi hama dan penyakit tanaman merupakan keharusan ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak 2) Saudara menggunakan pestisida lebih dari satu jenis ? ? ya ? kadang-kadang
? tidak
3). Melakukan pencampuran (pengoplosan) beberapa jenis agar lebih mematikan hama dan penyakit tanaman ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak 4). Dalam menggunakan pestisida tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan? ? ya ? kadang-kadang ? tidak
90
5). Saudara melakukan penyemprotan secara rutin (terjadwal) ? ? ya ? kadang-kadang
? tidak
6). Jika saudara melakukan penyemprotan melawan arah angin ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak b.
Sikap yang berhubungan dengan personal hygiene 1). Saudara mencuci tangan dan kaki setelah melakukan kegiatan penyemprotan di saluran air sawah ? ? setuju ? kadang-kadang ? tidak 2). Saudara makan dan minum pada saat menyemprot ? ? ya ? kadang-kadang
? tidak
3). Saudara merokok pada saat melakukan penyemprotan ? ? ya ? kadang-kadang
? tidak
4). Tidak memisahkan pakaian setelah bekerja dengan pakaian lainnya pada saat dicuci ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak 5). Tidak segera membersihkan badan setelah bekerja di sawah ? ? ya ? kadang-kadang
c.
? tidak
Penggunaan alat pelindung diri (APD) 1). Jika melakukan penyemprotan tidak menggunakan masker untuk menutup hidung dan mulut ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak 2). Jika melakukan penyemprotan tidak menggunakan baju pelindung ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak 3). Tidak menggunakan koas lengan panjang dan celana panjang pada saat menyemprot ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak 4). Menggunakan kaos lengan pendek dan celana pendek pada saat menyemprot ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak
91
5). Jika melakukan penyemprotan tidak menggunakan pelindung mata ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak 6).Jika melakukan penyemprotan tidak saudara menggunakan sarung tangan ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak 7). Tidak menggunakan sepatu boot pada saat menyemprot ? ya ? kadang-kadang
2.
? tidak
Data Ekonomi 1). Pestisida yang saudara gunakan apakah harganya mahal ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak Harga pestisida Rp…………………….………………………………………… 2). Dengan penggunaan pestisida apakah biaya produksi menjadi tinggi ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak Untuk sekali tanam biaya pestisida Rp………………../ha 3). Apakah dengan penggunaan pestisida hasil produksi bawang merah menjadi baik ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak 4). Selain sebagai petani/penyemprot apakah saudara mempunyai pekerjaan lain ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak Pekerjaan lain…………………………………………………………………… 5). Apakah penghasilan saudara sebagai mencukupi kebutuhan keluarga saudara ? ? ya ? kadang-kadang Penghasilan sebagai Rp…………...............hari/minggu/bulan
petani/penyemprot
dapat
? tidak petani/penyemprot
6). Apa saudara mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam penggunaan pestisida ? ? ya ? sedikit ? tidak
92
III.
DATA LINGKUNGAN
1).
Saudara melakukan penyemprotan sesuai arah angin ? ? ya ? kadang-kadang
? tidak
Saudara memperhatikan cuaca pada saat menyemprot ? ? ya ? kadang-kadang
? tidak
Penyemprotan dilakukan pada saat cuaca panas ? ? ya ? kadang-kadang
? tidak
2).
3).
4).
5).
Penyemprotan pada saat pagi hari dan sore hari ? ? ya ? kadang-kadang Pagi :………………………………………… Sore :………………………………………… Saudara mencuci alat penyemprot di saluran air di sawah ? ? ya ? kadang-kadang
? tidak
? tidak
6).
Wadah pestisida yang saudara pakai apakah ditanam/dikubur ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak
7).
Wadah pestisida yang saudara pakai apakah dibakar ? ? ya ? kadang-kadang
? tidak
8).
Wadah pestisida yang saudara pakai apakah dibuang ke tempat sampah ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak
9).
Wadah pestisida yang saudara pakai dibuang di sekitar sawah ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak
10)
Wadah pestisida yang saudara pakai dibuang ke sungai/parit ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak
IV.
LAIN-LAIN
1.
Kemana saudara membeli pestisida ? ? Toko bahan pertanian ? KUD
2.
? Lain- lain……………
Biasanya saudara membeli pestisida dalam bentuk kemasan apa ? ? kemasan pabrik ? kemasan bukan pabrik ? lain-lain……………………………….
93
3.
Jika tidak dalam kemasan asli pabrik, pestisida yang saudara beli ditempatkan pada ? botol khusus ? botol bekas minuman ? lainlain…………………
4.
Pada saat membeli pestisida apakah saudara juga membeli kebutuhan rumah tangga/dapur ? ? ya ? .tidak ? .lain-lain
5.
Dimana saudara menyimpan pestisida ? ? dekat dapur ? gudang khusus ? lain-lain……………………………………………..
V.
KESEHATAN
1.
Apakah saudara mengalami ganggguan kesehatan akibat suadara melakukan kegiatan penyemprotan ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak
2.
Jika ya, bagaimana saudara mengatasi hal tersebut ? ? dibiarkan saja ? berobat ke Puskesmas/klinik ? beli obat bebas ? dukun
3.
Apakah ada anggota keluarga saudara yang mengalami hal serupa ? ? ya ? kadang-kadang ? tidak
4.
Apakah saudara mengalami keluhan-keluhan seperti :
94
No 1
2.
3.
4.
5. 6.
7.
Keluhan Mata - mata berair - iritasi mata - kelopak mata kaku - penglihatan kabur Saluran pernapasan - dada tertekan - batuk Saluran pencernaan - mual - muntah - diare, buang air tak menentu - sakit tulang belakang Sistem kardiovaskular - detak jantung lemah - tekanan darah turun - tekanan darah naik Ginjal - pengeluaran urine tdk kontinyu Otot kerangka - otot wajah kaku - lemas - kaku - tidak tenang - kram - emosi labil Sistem saraf pusat - mengantuk - lemah - bingung - tidak konsentrasi - sakit kepala, tekanan pada kepala - koma, tremor
ya
tidak
Lampiran 4
JENIS PESTISIDA YANG DIGUNAKAN PETANI
1.
No
Pestisida yang digunakan oleh petani di Desa Sisalam Kecamatan Wanasari Pestisida
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Agrimec Antracol Buldok Decis Detacron Dithane Dursban Hostathion Larvin Marshal Metindo Padan Rizotin Regent Saturin
16 17 18
Thiodan Truper Tracer JUMLAH
Bahan aktif abamektin propineb beta siflutrin deltametrin profenofos mankozeb klorpirifos triazofos tiodikarb karbosulfan metomil kartab hidroklorida sipermetrin fipronil tiobenkarb prometrin sipermetrin karbofuran spinosad
?
%
3 5 7 1 1 1 20 22 8 10 6 4 7 1 2
2,94 4,90 6,86 0,98 0,98 0,98 19,61 21,57 7,84 9,80 5,88 3,92 6,86 0,98 1,96
avermectin karbamat piretroid piretroid organofosfat ditio karbamat organofosfat organofosfat karbamat karbamat karbamat karbamat piretroid pirazol tiokarbamat
Keterangan
2 1 1 102
1,96 0,98 0,98 100 ,00
piretroid karbamat
97
2.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 16 17 18 19 20 21 22 23 23
Pestisida yang digunakan oleh petani di Desa Jagalempeni Kecamatan Wanasari Pestisida Agrimec Antracol Buldok Decis Dursban Dithane Cascade Curacron Hostathion Larvin Lannate Marshal Metindo Padan Proclaim Rizotin Regent Supracide Sumo Raydock Thiodan Truper JUMLAH
Bahan aktif abamektin propineb beta siflutrin deltametrin klorpirifos mankozeb flufenoksuran profenofos triazofos tiodikarb Metomil karbosulfan metomil kartab hidroklorida emamektin benzoat sipermetrin karbofuran meditation beta siflutrin beta siflutrin sipermetrin karbofuran
? 1 7 3 2 24 3 1 2 12 3 1 12 10 6 1 6 1 2 1 1 2 1 102
% 0,98 6,86 2,94 1,96 23,53 2,94 0,98 1,96 11,76 2,94 0,98 11,76 9,80 5,88 0,98 5,88 0,98 1,96 0,98 0,98 1,96 0,98 100 ,00
Keterangan avermectin karbamat piretroid piretroid organofosfat ditio karbamat urea organofosfat organofosfat karbamat karbamat karbamat karbamat karbamat avermectin piretroid Pirazol organofosfat piretroid piretriod piretroid karbamat
98
3.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 16 17 18 19 20
Pestisida yang digunakan oleh petani di Desa Kedung Uter Kecamatan Brebes. Pestisida Agrimec Antracol Curacron Cascade Dithane Dursban Decis Elsan Lannate Hostathion Padan Regent Rizotin Tamacin Thiodan Metindo Marshal Truper
Bahan aktif abamektin propineb Profenofos flufenoksuran mankozeb klorpirifos deltametrin fenfoat metomil triazofos kartab hidroklorida karbofuran sipermetrin MIPC sipermetrin metomil karbosulfan karbofuran
? 1 4 2 1 3 14 11 1 1 9 3 1 1 2 2 1 9 1 67
% 1,49 5,97 2,99 1,49 4,48 20,90 16,42 1,49 1,49 13,43 4,48 1,49 1,49 2,99 2,99 1,49 13,43 1,49 100,00
Keterangan avermectin karbamat organofosfat urea ditiokarbamat organofosfat piretroid organofosfat karbamat organofosfat karbamat pirazol piretroid karbamat piretroid karbamat karbamat karbamat