ANALISIS TATANIAGA BAWANG MERAH (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)
SKRIPSI
ANITA DWI SATYA WACANA H34070045
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i
RINGKASAN ANITA DWI SATYA WACANA. Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan JUNIAR ATMAKUSUMA). Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang tumbuh dengan baik di dataran rendah. Meskipun komoditas ini bukan merupakan kebutuhan pokok, namun hampir selalu dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga sebagai pelengkap bumbu masak sehari-hari. Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Tingkat permintaan dan kebutuhan bawang merah yang tinggi menjadikan komoditas ini sangat menguntungkan untuk diusahakan. Konsumsi bawang merah penduduk Indonesia per kapita per tahun mencapai 4,56 kilogram atau 0,38 kilogram per kapita per bulan. Oleh karena itu permintaan bawang merah akan terus meningkat dengan perkiraan 5 persen per tahun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Di Indonesia, daerah sentra produksi bawang merah adalah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Brebes merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki total lahan terbesar yang diusahakan untuk komoditas bawang merah. Kabupaten Brebes menyuplai sekitar 75 persen kebutuhan bawang merah di Provinsi Jawa Tengah dan 23 persen kebutuhan bawang merah nasional. Tujuan dari penelitian ini antara lain : (1) Menganalisis sistem dan pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, (2) Menganalisis fungsi lembaga pemasaran serta struktur, dan perilaku pasar dalam kegiatan tataniaga komoditas bawang merah, (3) Menganalisis efisiensi saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes dilihat dari margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Penelitian dilakukan di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pengumpulan data dilakukan mulai bulan Februari hingga Maret 2011 yang merupakan tahap pengumpulan data primer di lapangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapang, baik melalui pengamatan langsung dengan menggunakan kuisioner dan wawancara pada sejumlah petani dan lembaga pemasaran yang terlibat (responden) pada wilayah pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Pemilihan petani responden dilakukan dengan teknik random sampling. Jumlah petani yang dijadikan sebagai responden berjumlah 30 orang yang dianggap telah mewakili populasi petani bawang merah di Kelurahan Brebes. Penentuan responden lembaga pemasaran lainnya dilakukan dengan teknik snowball sampling yaitu dengan menelusuri saluran pemasaran bawang merah di lokasi penelitian berdasarkan informasi yang didapat dari lembaga pemasaran sebelumnya dari tingkat petani sampai ke pedagang pengecer. Pedagang yang diambil sebagai ii
sampel terdiri dari sepuluh orang pedagang pengumpul, empat orang pedagang pengirim, lima orang pedagang besar, dan enam orang pedagang pengecer. Pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes terdiri dari empat saluran pemasaran, yaitu pola saluran pemasaran I : petani → pedagang pengumpul → pedagang pengirim → pedagang besar non lokal (Sumatra) → pedagang pengecer non lokal (Sumatra) → konsumen non lokal. Pola saluran pemasaran II : petani → pedagang pengumpul → pedagang pengirim → pedagang besar non lokal (Jawa) → pedagang pengecer non lokal (Jawa) → konsumen non lokal. Pola saluran pemasaran III petani → pedagang besar lokal → pedagang pengecer lokal → konsumen lokal. Pola saluran pemasaran IV petani → pedagang pengecer lokal → konsumen lokal. Masing-masing lembaga pemasaran yang berada di Kelurahan Brebes memiliki fungsi sesuai dengan peran dan kebutuhannya. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bersifat pasar persaingan sempurna, struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul dan pedagang pengirim lebih mengarah kepada pasar oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang besar bersifat oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer adalah pasar persaingan monopolistik. Sistem penentuan harga yang terjadi baik di tingkat petani hingga di pedagang pengecer terjadi melalui proses tawar menawar hingga tercapai kesepakatan bersama. Pembayaran yang dilakukan oleh petani dan pedagang besar dilakukan dengan sistem pembayaran angsuran, sedangkan dari pedagang besar hingga ke pedagang pengecer, pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran tunai. Kerjasama yang dilakukan antar lembaga pemasaran baik di tingkat pedagang pengumpul, pedagang pengirim, pedagang besar dan pedagang pengecer berlangsung dengan baik dan telah dilakukan untuk waktu yang lama. Berdasarkan hasil analisis rasio keuntungan terhadap biaya, pola saluran pemasaran III memiliki rasio keuntungan terhadap biaya terbesar, yaitu sebesar 7,25. Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga yang dilakukan terhadap empat pola saluran pemasaran bawang merah yang terjadi di Kelurahan Brebes, dapat disimpulkan bahwa pola saluran pemasaran IV merupakan pola saluran pemasaran yang paling efisien karena memiliki margin pemasaran peling kecil, farmer’s share paling besar, dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar dibandingkan dengan pola saluran pemasaran lainnya. Namun pada pola saluran pemasaran IV, jumlah petani responden yang terlibat dalam kegiatan pemasaran relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah petani responden pada pola saluran pemasaran I. Volume produk yang dipasarkan pada pola saluran pemasaran IV berjumlah kecil, sehingga nilai keuntungan total yang diperoleh petani dan lembaga pemasaran lainnya relatif sedikit. Pola saluran pemasaran yang dianggap lebih menguntungkan bagi petani dan lembaga pemasaran lainnya adalah pola saluran pemasaran I, karena pada pola saluran pemasaran I petani dan lembaga pemasaran lainnya dapat menjual bawang merah dalam volume yang lebih besar sehingga menhasilkan keuntungan total yang lebih besar pula meskipun dengan margin pemasaran terbesar, farmer’s share terkecil dan rasio keuntungan terhadap biaya terkecil.
iii
ANALISIS TATANIAGA BAWANG MERAH (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)
ANITA DWI SATYA WACANA H34070045
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 iv
Judul Skripsi
: Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)
Nama
: Anita Dwi Satya Wacana
NRP
: H34070045
Disetujui, Pembimbing
Ir. Juniar Atmakusuma, MS NIP. 19530104 197903 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus : v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Juni 2011
Anita Dwi Satya Wacana H34070045
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Juni 1990. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan Bapak R.S. Basuki dan Ibu Intan Nurcahya. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 030 Sukajadi Pekanbaru pada tahun 1995-1999, SD Negeri 10 Petang Kebon Jeruk Jakarta Barat pada tahun 1999 dan menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Cempaka Cirebon pada tahun 2001. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Sumber Cirebon. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 2007 di SMA Negeri 1 Sumber Cirebon. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008, penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Sebagai Mayor.
vii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala berkah, rahmah dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)”. Shalawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, struktur, dan perilaku pasar serta efisiensi saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Penulis menyadari, dalam menyelesaikan skripsi masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Namun diharapkan skripsi ini dapat menjadi masukkan dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Bogor, Juni 2011 Anita Dwi Satya Wacana
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1.
Ir. Juniar Atmakusuma, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas arahan, waktu, bimbingan, solusi dan kesabaran yang telah diberikan selama penulis menyusun skripsi ini.
2.
Dr. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama dan Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji departemen pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3.
Ir. Joko Purwono yang telah menjadi pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis yang selalu memberikan saran, masukkan kepada penulis.
4.
Pihak Kelurahan Brebes dan Kecamatan Brebes atas waktu, kesempatan, informasi dan dukungan yang diberikan.
5.
Ketua dan staf Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, petani dan pedagang responden, atas waktu, fikiran dan bantuannya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
6.
Ayahanda R.S Basuki dan Ibunda Intan Nurcahya, abangku Rurys Setyawan, adikku Tomy Pasi Oktava yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, semangat, dan doa kepada penulis selama ini.
7.
Akhyar Sulaiman Pattiradja atas panduan dan bantuannya dalam membantu penulis melakukan penelitian dan pencarian data primer di Kelurahan Brebes.
8.
Bang Herry, Mbak Melani, Kineta, Tante Lutfiah dan keluarga atas bantuannya sebagai penerjemah selama penulis melakukan kegiatan pengumpulan data primer di Kelurahan Brebes.
9.
Agribisnis 44, Mega, Nunu, Asti, dan Nuning serta teman-teman Agribisnis 44 yang telah meluangkan waktu untuk sharing dan membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini.
ix
10.
Teman-teman Puri Sembilan, Sri, Ivon, Anis, Nella atas kehadirannya mendukung penulis dalam seminar skripsi dan ibu Yanti yang selalu memberikan dukungan, masukkan dan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
11.
M. Syafriyansyah Bermani atas kesediaannya sebagai pembahas dalam seminar penulis.
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xv
I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................
1 5 6 6 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah .................................. 8 2.2 Syarat Tumbuh dalam Budidaya Bawang Merah ........................... 9 2.3 Perlakuan Pasca Panen .................................................................... 10 2.4 Studi Penelitian Terdahulu Tentang Tataniaga ................................... 12 2.4.1 Sistem dan Pola Saluran Pemasaran ........................................... 14 2.4.2 Fungsi Lembaga Pemasaran .................................................. 15 2.4.3 Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ..................................... 17 2.4.4 Efisiensi Saluran Pemasaran .................................................. 19 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ......................................................... 3.1.1 Sistem dan Pola Saluran Pemasaran ..................................... 3.1.2 Fungsi Lembaga Pemasaran.................................................. 3.1.3 Struktur Pasar ........................................................................ 3.1.4 Perilaku Pasar........................................................................ 3.1.5 Efisiensi Pemasaran .............................................................. 3.1.6 Margin Tataniaga .................................................................. 3.1.7 Farmer’s Share ..................................................................... 3.1.8 Rasio Keuntungan Terhadap Biaya...................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .................................................
23 23 25 27 29 30 30 32 33 33
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 4.2 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 4.3 Jenis dan Sumber Data .................................................................. 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ......................................... 4.4.1 Analisis Saluran Pemasaran ................................................ 4.4.2 Analisis Fungsi Pemasaran .................................................. 4.4.3 Analisis Struktur dan Perilaku Pasar .................................. 4.4.4 Analisis Margin Pemasaran ................................................ 4.4.5 Analisis Farmer’s Share.....................................................
36 36 37 38 38 38 39 39 40 xi
4.4.6 Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ......................
40
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1 Karakteristik Wilayah .................................................................... 5.2 Keadaan Penduduk ......................................................................... 5.3 Karakteristik Petani Responden Tataniaga Bawang Merah ...........
42 43 45
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah ..................... 6.1.1 Pola Saluran Pemasaran I..................................................... 6.1.2 Pola Saluran Pemasaran II ................................................... 6.1.3 Pola Saluran Pemasaran III ................................................. 6.1.4 Pola Saluran Pemasaran IV................................................. 6.2 Fungsi Lembaga Pemasaran........................................................... 6.3 Struktur Pasar ................................................................................ 6.4 Perilaku Pasar................................................................................ 6.5 Analisis Efisiensi Pemasaran ........................................................
48 50 51 52 52 52 67 73 75
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ..................................................................................... 8.2 Saran................................................................................................
85 86
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
88
LAMPIRAN ................................................................................................
90
xii
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Bawang Merah di Kabupaten Brebes Tahun 2005 – 2009……………………………………………………… 3 2.
Perbandingan Harga Bawang Merah di Tingkat Petani dan di Tingkat Konsumen Tahun 2009-2010…………………..
4
3.
Tinjauan Penelitian Terdahulu……………………………..
22
4.
Karakteristik Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Sudut Pembeli................................................................
28
5.
Luas Lahan di Kelurahan Brebes Tahun 2009……………..
43
6.
Jumlah Penduduk Kelurahan Brebes Berdasarkan Usia tahun 2009………………………………………………….
44
7.
Jumlah penduduk Kelurahan Brebes berdasarkan mata Pencaharian Tahun 2009…………………………………...
45
8.
Karakteristik Petani Responden Usahatani Bawang Merah di Kelurahan Brebes tahun 2011…………………………..
46
Fungsi Pemasaran pada Lembaga Pemasaran bawang Merah di Kelurahan Brebes………………………………..
53
Analisis Margin Pemasaran Bawang Merah pada Bulan Februari-Maret 2011 di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes………………………………….
76
11.
Farmer’s Share pada Saluran Pemasaran Bawang Merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes...
79
12.
Rasio Keuntungan dan Biaya pada Saluran Pemasaran Bawang Merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes Tahun 2011…………………………….
82
9. 10.
xiii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Konsep Margin Pemasaran......................................................
31
2.
Skema Kerangka Pemikiran Operasional……………………
35
3.
Alur Pengambilan Sampel Petani dan Pedagang Perantara Bawang Merah di Kelurahan Brebes.……………………….
37
Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah di Kelurahan Brebes, Kabupaten Brebes ………………..…………………
48
4.
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Kuisioner Petani……………………………………….
87
2.
Kuisioner Pedagang……………………………………
89
3.
Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran I………
92
Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran II……
93
Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran III..…
94
Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran IV……
95
4. 5. 6.
xv
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang
memiliki nilai ekonomi tinggi serta mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai usaha di bidang agribisnis. Komoditas hortikultura terdiri dari buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman obat. Salah satu produk dari komoditas sayuran adalah bawang merah. Di Indonesia tanaman bawang merah telah lama diusahakan oleh petani sebagai usahatani komersial. Tingkat permintaan dan kebutuhan bawang merah yang tinggi menjadikan komoditas ini sangat menguntungkan untuk diusahakan. Konsumsi bawang merah penduduk Indonesia per kapita per tahun mencapai 4,56 kilogram atau 0,38 kilogram per kapita per bulan. Oleh karena itu permintaan bawang merah akan terus meningkat dengan perkiraan 5 persen per tahun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia1. Permintaan bawang merah pada tahun 2005 mencapai 847.833.000 kilogram dengan rincian 731.833.000 kilogram untuk kebutuhan konsumsi dan 116.000,000 kilogram untuk kebutuhan lain seperti benih, industri dan ekspor. Dengan perkiraan peningkatan permintaan sebesar 5 persen per tahun, maka pada tahun 2009, estimasi permintaan bawang merah adalah sebesar 934.301.000 kilogram dengan rincian 800.101.000 kilogram untuk kebutuhan konsumsi dan 134.200,000 kilogram untuk kebutuhan lain2. Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang tumbuh dengan baik di dataran rendah. Meskipun komoditas ini bukan merupakan kebutuhan pokok, namun hampir selalu dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga sebagai pelengkap bumbu masak sehari-hari. Selain itu, bawang merah juga memiliki manfaat sebagai obat tradisional seperti kompres penurun panas,
1.
Anonim. 2009. Konsumsi Bawang Merah Indonesia Per Kapita. http://hortikultura.go.id/index. php?. [diakses 30 Mei 2011].
2.
Anonim. 2008. Permintaan Bawang Merah Nasional. http://www.bi.go.id/nr/rdonlyres. [diakses 30 Mei 2011].
1
diabetes, penurun kolesterol darah dan kadar gula darah, mencegah pengerasan dan penebalan pembuluh darah, dan maag karena kandungan senyawa allin dan allisin di dalamnya. Selain itu, peningkatan pertumbuhan industri makanan juga turut meningkatkan permintaan bawang merah dalam negeri diluar kebutuhan konsumsi restoran dan hotel serta industri olahan lainnya seperti acar, bumbu, bawang goreng dan bahan baku campuran obat-obatan. Di Indonesia, daerah sentra produksi bawang merah adalah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Brebes merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki total lahan terbesar yang diusahakan untuk komoditas bawang merah. Kabupaten Brebes menyuplai sekitar 75 persen kebutuhan bawang merah di Provinsi Jawa Tengah dan 23 persen kebutuhan bawang merah nasional. Dengan produksi sebesar 312.583.200 kilogram pada tahun 2009, pertanian bawang merah menyumbang PDRB Kabupaten Brebes sebesar 58 persen3. Beberapa varietas bawang merah yang dikembangkan di Kabupaten Brebes adalah varietas Bima Brebes, Kuning, Timor, Sumenep, dan varietas bawang merah impor seperti dari Filipina dan Bangkok (ditanam pada musim kemarau). Namun hanya bawang merah varietas Bima dan varietas Kuning yang dikembangkan di Kelurahan Brebes. Bawang merah di Kelurahan Brebes ditanam dengan sistem monokultur maupun tumpang gilir, dengan waktu panen raya pada bulan Mei-Juni dan Agustus-September. Beberapa faktor iklim yang penting dalam budidaya bawang merah adalah ketinggian tempat, temperatur, cahaya, curah hujan, dan angin. Sebagai komoditas unggulan yang sekaligus menjadi andalan di Kabupaten Brebes, bawang merah dikembangkan di 10 wilayah Kecamatan yang menjadi sentra produksi komoditas utama tersebut, yaitu Kecamatan Wanasari, Kecamatan Bulakamba, Kecamatan Larangan, Kecamatan Tanjung, Kecamatan Losari, Kecamatan
Kersana,
Kecamatan
Ketanggungan,
Kecamatan
Larangan,
Kecamatan Songgom dan Kecamatan Brebes. 3.
Nurdin, Mohammad. 2011. Boks Laporan dan Analisis Hasil Liaison Ad Hoc Komoditas Bawang
Merah
Kabupaten
Brebes,
Jawa
Tengah.
http://mohnurdin.files.wordpress.combawang-merah-brebes-2001 [Diakses 30 Mei 2011]
2
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Bawang Merah di Kabupaten Brebes Tahun 2005 - 2009 Tahun
Luas Panen
Produksi
Rata-rata Produksi
(Ha)
(kilogram)
(kilogram/Ha)
2005
24.440
231.960.000
9.491,00
2006
18.869
179.227.800
9498,53
2007
23.361
253.183.500
10.837,87
2008
26.636
336.644.700
12.638,71
2009
24.978
312.583.200
12.514,34
Sumber : BPS Kabupaten Brebes 2009, diolah
Pada tahun 2009, produksi bawang merah Kabupaten Brebes mengalami penurunan dibanding produksi pada tahun 2008. Jika pada tahun 2008 produksi bawang merah di Kabupaten Brebes mencapai 336.644.700 kilogram dari luas panen 26.636 hektar, maka pada tahun 2009 produksi hanya mencapai 312.583.200 kilogram dari luas panen 24.978 hektar. Harga bawang merah berfluktuasi setiap bulannya. Fluktuasi harga tersebut cenderung mengikuti jumlah produksi yang dihasilkan pada bulan tersebut. Pada saat jumlah produksi bawang merah tinggi, harga bawang merah cenderung turun, dan sebaliknya pada saat produksi bawang merah rendah harga cenderung naik. Dari Tabel 2 terlihat perbedaan yang cukup besar antara harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan konsumen. Hal tersebut dapat terjadi akibat tidak efisiennya saluran pemasaran yang dilalui oleh produk, panjangnya saluran pemasaran, banyaknya fungsi yang dilakukan oleh pedagang perantara, tingginya biaya yang dikeluarkan dan tingginya keuntungan yang diambil oleh pedagang perantara. Pola harga musiman bawang merah di tingkat petani dan tingkat konsumen dalam periode tahun 2009-2010 diperlihatkan pada Tabel 2. Pada tingkat petani di tahun 2009 harga bawang merah terendah yaitu terjadi pada harga Rp 4.224,30 sedangkan harga tertinggi mencapai harga Rp 6.323,00. Pada tingkat konsumen, harga bawang merah terendah terjadi pada harga Rp 7.922,10 sedangkan harga bawang merah tertinggi mencapai harga Rp 14.900,80.
3
Tabel 2. Perbandingan Harga Bawang Merah di Tingkat Petani dan di Tingkat Konsumen Tahun 2009-2010 Tahun Harga
2009
2010
Petani
Konsumen
Margin
Petani
Konsumen
Margin
(Rp/Kg)
(Rp/Kg)
(Rp/Kg)
(Rp/Kg)
(Rp/Kg)
(Rp/Kg)
Januari
4.224,30
7.922,10 3.697,80
5.720,90
11.986,90 6.266,00
Februari
6.323,00
8.843,20 2.520,20
5.947,10
10.740,60 4.793,50
Maret
5.771,40
11.588,70 5.817,30
5.605,70
11.193,30 5.587,60
April
5.205,70
10.134,30 4.928,60
6.251,40
11.958,40 5.707,00
Mei
4.941,40
11.101, 60 6.160,20
6.677,10
13.511,50 6.834,40
Juni
4.647,90
11.410,10 6.762,20
7.433,40
13.632,80 6.199,40
Juli
6.001,00
12.764,90 6.763,90
7.588,70
14.020,60 6.431,90
Agustus
5.331,10
14,900,80 9.569,70
6.302,00
17.189,00 10.887,00
September 5.586,10
12.429,40 6.843,30
6.033,50
15.953,80 9.920,30
Oktober
5.112,70
10.878,90 5.766,20 11.064,60
14.183,90 3.119,30
November
6.102,00
12.636,30 6.534,30 11.578,00
20.681,10 9.103,10
Desember
5.440,60
12,283,20 6.842,60
20.099,00
Rata-rata
5.390,60
11.407,79 6.017,19
7.291,13
14.595,91 6.804,50
Sumber: Liaison Dispertan Brebes, Survei Pemantauan Harga, DW DSM (diolah)
Pada tingkat petani di tahun 2010 harga bawang merah terendah yaitu terjadi pada harga Rp 5.605,70 sedangkan harga tertinggi mencapai harga Rp 11.578,00. Pada tingkat konsumen, harga bawang merah terendah terjadi pada harga Rp 10.740,60 sedangkan harga bawang merah tertinggi mencapai harga Rp 20.681,10. Rata-rata harga bawang merah di tingkat petani pada tahun 2009 adalah Rp 5.390,60 atau sebesar 47,25 persen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen yaitu sebesar Rp 11.407,79. Rata-rata harga bawang merah di tingkat petani pada tahun 2010 adalah Rp 7.291,13 atau sebesar 49,95 persen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen yaitu sebesar Rp 14.595,91. Margin pemasaran terbesar pada tahun 2009 diperoleh pedagang perantara pada penjualan bulan Agustus, yaitu sebesar Rp 9.569,70 sedangkan pada tahun 2010, margin
4
pemasaran terbesar diperoleh pedagang perantara juga pada penjualan bulan Agustus, yaitu sebesar Rp 10.887,00. 1.2. Perumusan Masalah Kabupaten Brebes merupakan salah satu daerah penghasil bawang merah terbesar di Indonesia. Daerah ini mampu memproduksi hingga lebih dari 300,000.000 kilogram per tahun yang dipasarkan di Provinsi Jawa Tengah dan pasar nasional. Namun tingginya tingkat produksi bawang merah di Kabupaten Brebes tidak membuat harga bawang merah di daerah tersebut stabil, pada kenyataannya harga bawang merah di Kabupaten Brebes berfluktuasi setiap bulannya (Tabel 2). Musim tanam yang dilakukan secara hampir bersamaan, akan menyebabkan produksi bawang merah melimpah pada musim panen yang mengakibatkan turunnya harga jual bawang merah. Tingginya curah hujan yang berlangsung, menyebabkan turunnya produktivitas bawang merah. Selain itu, angin kumbang yang biasanya terjadi pada bulan Juli hingga bulan Agustus relatif jarang berhembus pada tahun 2009 hingga tahun 2010 akibat curah hujan yang tinggi. Sifat angin kumbang yang sejuk namun tidak lembab merupakan faktor pendukung dalam peningkatan produksi bawang merah. Setelah menghasilkan bawang merah, tindak lanjut petani kemudian adalah memasarkan hasil produksinya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, sistem pemasaran bawang merah yang ada selama ini dinilai dan belum dapat mensejahterakan petani produsen. Harga yang terjadi di tingkat konsumen akhir selama ini dinilai belum seimbang jika dibandingkan dengan margin pemasaran yang diterima oleh pedagang perantara. Sistem pemasaran yang belum efisien tersebut menyebabkan harga bawang merah di tingkat konsumen relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan harga bawang merah di tingkat petani (Tabel 2). Harga rata-rata bawang merah di tingkat petani pada tahun 2009 hanya mencapai Rp 5.390,60, sedangkan harga rata-rata di tingkat konsumen mencapai Rp 11.407,79. Jika dibandingkan, maka ada selisih margin yang cukup besar antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen akhir.
5
Ketidakseimbangan harga yang diterima petani dengan margin di tingkat pedagang perantara dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti banyaknya fungsi yang dilakukan lembaga pemasaran selain petani, kurangnya informasi pasar yang dibutuhkan oleh pelaku pasar yang terlibat dalam aktivitas pemasaran dan tingginya biaya pemasaran yang digunakan dalam kegiatan pemasaran bawang merah hingga ke tingkat konsumen akhir. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes 2. Bagaimana fungsi lembaga pemasaran serta struktur, dan perilaku pasar dalam kegiatan tataniaga komoditas bawang merah 3. Apakah saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes sudah efisien dilihat dari margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pemaparan dari latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis sistem dan pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes 2. Menganalisis fungsi lembaga pemasaran serta struktur, dan perilaku pasar dalam kegiatan tataniaga komoditas bawang merah 3. Menganalisis efisiensi saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes dilihat dari margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. 1.4.
Manfaat Penulisan Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak
terutama bagi petani dan lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran komoditas bawang merah terutama di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan
6
masukan dan pembelajaran bagi perkembangan kelembagaan pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes. Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan dan penelitian selanjutnya terutama yang terkait dengan analisis tataniaga bawang merah. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi dalam lingkup analisis pemasaran komoditas
bawang merah dilihat dari pola saluran pemasaran, fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar. Dalam hasil analisis tersebut dapat diidentifikasi bagaimana efisiensi pemasaran komoditas bawang merah yang terjadi yang kemudian dapat memberikan gambaran secara umum mengenai kegiatan pemasaran untuk komoditi bawang merah di Kabupaten Brebes. Penelitian ini juga dibatasi pada lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran komoditas bawang merah yang berlokasi di Kelurahan Brebes hingga pedagang besar yang berlokasi di luar Kelurahan Brebes seperti di daerah Palembang, Jambi, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pola saluran pemasaran yang diteliti dibatasi pada pola saluran pemasaran yang memasarkan komoditas bawang merah dalam bentuk bawang merah mentah (tidak diolah) hingga ke konsumen akhir yaitu konsumen rumah tangga.
7
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang
merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi selain bawang putih dan bawang Bombay. Tanaman bawang merah banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah yang memiliki iklim kering dan suhu yang cukup tinggi. Jika dilihat secara ilmiah, kedudukan bawang merah dalam tata nama atau sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio
: Spermatophyta
Sub division
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Lilialaes (Liliflorae)
Famili
: Liliales
Genus
: Allium
Spesies
: Allium ascalonicum L.
Menurut Rahayu (1998), bawang merah tergolong tanaman semusim atau setahun yang berbentuk rumpun dengan akar serabut. Tanaman bawang merah memiliki batang yang sangat pendek, sehingga hampir tidak tampak dengan daun yang memanjang dan berbentuk silindris. Pangkal daunnya akan berubah bentuk dan fungsinya hingga membentuk umbi lapis. Umbi tersebut kemudian membentuk tunas baru yang kemudian tumbuh membesar dan setelah dewasa akan membentuk umbi kembali. Karena sifat pertumbuhan tersebut maka dari satu umbi dapat membentuk satu rumpun tanaman yang berasal dari hasil peranakan umbi. Cukup banyak varietas bawang merah yang ditanam di Indonesia seperti varietas Bima Brebes, Kuning, Timor, Sumenep, dan varietas bawang merah impor seperti dari Filipina dan Bangkok (ditanam pada musim kemarau), tetapi umumnya tingkat produktivitasnya masih terhitung rendah. Saat ini, varietas bawang merah yang sebagian besar diusahakan di Kelurahan Brebes adalah jenis
8
Bima dan jenis Kuning. Menurut Wibowo (1999), varietas Bima merupakan salah satu varietas yang memiliki tingkat produktivitas tertinggi dibanding dengan varietas lainnya. Varietas Bima sangat terkenal dengan produksinya yang sangat tinggi hingga mencapai 10.000 kilogram per hektar. Varietas ini sangat unik, karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap tingkat curah hujan yang tinggi. Umbi yang dihasilkan berukuran besar, bercincin kecil dengan warna merah muda. Umur panen dari varietas Bima termasuk pendek, yaitu sekitar 60-65 hari. Sedangkan varietas Kuning memiliki tingkat produktivitas yang sedikit lebih rendah dari varietas Bima, yaitu sekitar 7.000 kilogram per hektar. Varietas ini sangat cocok untuk ditanam pada musim kemarau. Umbi yang dihasilkan berbentuk bulat dengan cincin-cincin umbi lapis yang jelas. Umur panen dari varietas ini tergolong panjang, yaitu sekitar 80 hari. 2.2.
Syarat Tumbuh dalam Budidaya Bawang Merah Menurut Rukmana (1994), dalam budidaya bawang merah terdapat
beberapa syarat dan perlakuan agar tanaman bawang merah dapat berproduksi dengan baik, yaitu : 1. Iklim Bawang merah akan berproduksi dengan sangat baik jika ditanam di daerah yang berikilim kering dengan suhu yang cenderung panas dan cuaca cerah. Tanaman bawang merah memiliki akar yang pendek, sehingga walaupun ditanam di daerah yang beriklim kering, tanaman ini harus diberikan pengairan yang baik. Musim yang sangat tepat untuk menanam bawang merah adalah pada akhir musim hujan atau pada awal musim kemarau. 2. Suhu dan Ketinggian Tempat Tanaman bawang merah sangat baik diusahakan di tempat yang memiliki ketinggian kurang dari 30 meter di atas permukaan laut atau di dataran rendah dengan suhu rata-rata berkisar antara 25 - 32oC. Pada suhu di bawah 22oC, tanaman bawang merah akan mengalami kesulitan untuk berumbi, sehingga tingkat produktivitasnya akan sangat rendah.
9
3. Tanah Bawang merah dapat ditanam di sawah setelah panen padi atau dapat juga ditanam di tanah darat seperti tegalan, kebun dan pekarangan. Tanah yang sangat baik untuk pertumbuhan bawang merah adalah tanah yang gembur, subur, dan banyak mengandung bahan organis atau humus. Selain itu, dibutuhkan tanah yang memiliki aerasi yang baik dan tidak becek. Tanah yang gembur dan subur akan mendorong perkembangan umbi, sehingga umbi yang dihasilkan akan berukuran lebih besar. 2.3.
Perlakuan Pasca Panen Penanganan panen dan pasca panen merupakan satu rangkaian dengan
kegiatan budidaya tanaman. Kegiatan ini juga perlu mendapat perhatian khusus dan hati-hati agar hasil yang akan dipasarkan mempunyai kualitas baik dan bernilai ekonomis tinggi. Penanganan pasca panen yang dapat dilakukan untuk menghindari kerusakan bawang merah setelah panen meliputi pembersihan, pengeringan, sotrasi dan grading, penyimpanan, pengemasan dan pengangkutan. 1. Pembersihan Umbi bawang merah yang baru dipanen keadaannya masih sangat kotor, karena banyak tanah yang melekat pada umbi. Pembersihan umbi dapat dilakukan bersamaan dengan proses pengikatan daun dari beberapa rumpun tanaman. Setelah pengikatan selesai, pembersihan umbi dapat dilakukan dengan menggerak-gerakkan ikatan bawang merah tersebut dibantu juga dengan tangan sehingga tanah yang menempel berjatuhan. Setelah bawang merah bersih, ikatan dapat diletakkan di tempat penjemuran. 2. Pengeringan Proses pengeringan bawang merah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu penjemuran, pengasapan dan pengeringan mekanis. Penjemuran bawang merah umumnya dilakukan di lahan-lahan bekas penanaman. Areal yang dibutuhkan untuk penanaman sekitar 50 hingga 60 persen dari luas area penanaman. Saat penjemuran berlangsung, bagian umbi bawang merah 10
tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung untuk menghindari terjadinya sengatan luka bakar pada umbi. Pada saat penjemuran, umbi diletakkan di bagian bawah dengan daun di bagian atas. Cara pengasapan dilakukan apabila kondisi cuaca sedang buruk dan tidak mungkin dilakukan penjemuran. Pengasapan dilakukan di tempat khusus dengan membuat tungku-tungku berbahan bakar kayu atau sekam. Untuk mengatur suhu, tempat pengasapan dilengkapi dengan jendela yang dapat dibuka dan thermometer sebagai pengatur suhu. Agar bawang merah kering secara merata, perlu dilakukan pembalikan atau pertukaran tempat. Bila panas ruangan dipertahankan secara normal, dalam 12 jam umbi sudah cukup kering. Umbi bawang merah dapat juga dikeringkan dengan menggunakan pengering mekanis. Prinsip kerja alat tersebut yaitu dengan menggunakan sumber pemanas kompor. Pipa-pipa pemanas dipanaskan dengan kompor hingga udara di dalam pipa ikut memanas. Kemudian udara tersebut dialirkan ke dalam ruangan pengering yang berisi rak-rak penyimpanan bawang dengan menggunakan blower atau kipas angin. Selama berada di dalam bilik pengeringan, air yang terkandung di dalam umbi akan menguap, hingga umbi akan mengering. 3. Sortasi dan Grading Kegiatan sortasi dan grading dilakukan untuk memisahkan umbi bawang merah yang baik dengan yang cacat, busuk, terkena hama penyakit atau kerusakan lainnya. Ukuran yang dijadikan acuan biasanya adalah keseragaman, umur umbi, tingkat kekeringan, penyakit, bentuk umbi dan ukuran besar kecilnya umbi. 4. Penyimpanan Dalam kegiatan penyimpanan bawang, diperlukan ruangan khusus berupa gudang penyimpanan yang bersuhu sekitar 25 hingga 30oC dengan tingkat kelembapan 60 hingga 70 persen dan memiliki ventilasi yang baik. Bila bawang merah disimpan di ruangan dengan tingkat kelembapan tinggi, bawang merah akan mudah terserang penyakit, terutama oleh jamur. Untuk mempermudah dalam kegiatan pengangkutan, bawang merah sebaiknya
11
dimasukkan dalam kemasan karung yang anyamannya jarang, sehingga udara dapat masuk. 5. Pengangkutan Pengangkutan bawang merah dilakukan ke beberapa tempat seperti gudang, pasar, supermarket atau ekspor. Agar bawang merah tidak rusak selama proses pengangkutan berlangsung, diperlukan kendaraan yang dapat memberikan tempat yang luas dan aman selama perjalanan. Agar kualitas bawang merah terjamin, hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan terhadap umbi, seperti benturan fisik, kontaminasi kotoran, ataupun terkena air hujan. 2.4.
Studi Penelitian Terdahulu Tentang Tataniaga Beberapa penelitian terdahulu yang menganalisis mengenai tataniaga
komoditas hortikultura adalah penelitian Rosantiningrum (2004), tentang Analisis Produksi dan Pemasaran Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus Desa Banjaranyar, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah), penelitian Anggraini (2000) tentang Analisis Usahatani dan Pemasaran bawang Merah (Kasus di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah), penelitian Maulina (2001) mengenai Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Bawang Merah (Kasus :
Desa Kemukten, Kecamatan Kersana,
Kabupaten Dati II Brebes, Jawa tengah), penelitian Ariyanto (2008) mengenai Analisis Tataniaga Sayuran Bayam (Kasus Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor), dan penelitian Agustina (2008) mengenai Analisis Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Kubis (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat). Penelitian Rosantiningrum (2004) didasari adanya fakta bahwa sistem pemasaran bawang merah yang terjadi pada tahun 2004 belum memberikan insentif yang besar bagi peningkatan kesejahteraan petani. Permasalahan tersebut disebabkan oleh harga bawang merah yang fluktuatif yang perubahannya terjadi dalam waktu kurang dari satu bulan. Akibat dari fluktuasi harga bawang merah tersebut dinilai oleh peneliti dapat merugikan petani. Nilai koefisien variasi perubahan harga bawang merah yang terjadi pada tahun 2001 dan 2002 lebih dari
12
10 persen yaitu 19,68 persen dan 22,35 persen yang berarti terjadi ketidaksempurnaan sistem pemasaran dengan perbedaan harga yang sangat signifikan setiap bulannya. Penelitian Anggraini (2000) juga didasari adanya fakta bahwa belum sempurnanya sistem pemasaran bawang merah yang terjadi pada tahun 2000. Sistem pemasaran yang ada selama ini belum memberikan kesejahteraan bagi petani, karena keuntungan terbesar berada di tangan pedagang perantara. Permasalahan tersebut disebabkan oleh harga bawang merah yang fluktuatif yang perubahannya terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Akibat dari fluktuasi harga bawang merah tersebut dinilai oleh peneliti dapat merugikan petani. Penelitian Maulina (2001) didasari adanya fakta bahwa adanya peningkatan permintaan bawang merah yang signifikan setiap tahunnya antara tahun 1986 hingga tahun 1995 yaitu dengan rata-rata sebesar 6,39 persen per tahun, sehingga bawang merah dianggap memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan ke di masa depan dan dapat memberikan keuntungan bagi petani. Penelitian Ariyanto (2008) didasari atas informasi yang diterima di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yaitu saluran tataniaga bayam memiliki jalur tataniaga yang panjang dan farmers’s share rendah dengan kisaran antara 28 persen - 42,8 persen. Perbedaan harga bayam di tingkat petani dengan di tingkat konsumen terjadi begitu besar. Petani di Desa Ciaruten Ilir sebagai produsen sekaligus sebagai pihak yang menerima harga. Dalam posisi tawar-menawar sering tidak seimbang, petani dikalahkan dengan kepentingan pedagang yang lebih dulu mengetahui harga. Keluhan ini semakin diperkuat karena fluktuasi harga selalu berubah-ubah. Penelitian Agustina (2008) didasari oleh fakta bahwa harga yang terjadi pada komoditas kubis setiap saat dapat berubah. Fluktuasi harga tersebut pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara volume permintaan dan penawaran dimana tingkat harga meningkat jika volume permintaan melebihi penawaran dan sebaliknya. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena selain banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat, informasi yang tersedia untuk semua pihak masih relatif kurang, kemudian kelemahan dalam mencari dan menentukan peluang pasar serta belum kuatnya segmentasi pasar. Hal ini menyebabkan adanya
13
margin atau perbedaan harga di tingkat produsen dan di tingkat konsumen yang cukup besar, serta tidak adanya keterpaduan harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen. 2.4.1.
Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Hasil dari penelitian Rosantiningrum (2004) mengenai pola saluran
pemasaran menyatakan bahwa terdapat tiga pola saluran pemasaran bawang merah yang terjadi di Desa Banjaranyar, yaitu pola I dari petani – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen non lokal, pola II dari petani – pedagang pengumpul – pedagang besar atau grosir – pedagang pengecer – konsumen non lokal, dan pola III yaitu dari petani – pedagang pengumpul – konsumen lokal. Dari ketiga pola tersebut, Rosantiningrum menyatakan bahwa pola II merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh pelaku tataniaga di Desa Banjaranyar yaitu sebesar 86,87 persen. Di Desa Wanasari, Kecamatan Brebes, terdapat lebih banyak pola saluran pemasaran. Pola saluran tersebut yaitu pola I dari petani – pedagang pengumpul desa – pedagang besar – pedagang grosir Pasar Induk – pedagang pegecer Pasar Induk – konsumen Pasar Induk, pola II dari petani – pedagang besar – pedagang grosir Pasar Induk – pedagang pengecer Pasar Induk – konsumen Pasar Induk. Pola saluran III merupakan saluran terpanjang yang dilalui komoditas bawang merah di Desa Wanasari, yaitu dari petani – pedagang pengumpul desa – pasar bawang – pedagang besar – pedagang grosir Pasar Induk – pedagang pengecer Pasar Induk – konsumen Pasar Induk. Pola saluran IV merupakan pola yang terjadi dalam lingkup pemasaran lokal yaitu dari petani – pedagang pengumpul desa – pasar bawang – pedagang pengecer lokal – konsumen lokal. Berdasarkan hasil penelitian Anggraini (2000), pola saluran pemasaran I dan II yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 46,67 persen dan 33,33 persen. Penelitian Maulina (2001) memiliki pola saluran pemasaran yang hampir menyerupai pola saluran pemasaran dari penelitian Rosantiningrum (2004). Pada penelitian ini, pola saluran pemasaran yang terjadi terbagi dalam tiga pola, yaitu pola I dari petani – pedagang besar - konsumen, pola II dari petani – pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen non lokal, dan
14
pola III dari petani – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – kosumen lokal. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pola saluran yang paling banyak digunakan di Desa Kemukten adalah pola III, yaitu sebesar 77,78 persen. Penelitian Ariyanto (2008) menyatakan bahwa pola saluran pemasaran sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir terbagi dalam tiga saluran pemasaran yaitu Saluran pemasaran 1 : petani – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – konsumen. Saluran pemasaran 2 : petani – pedagang pengecer – konsumen. Saluran pemasaran 3 : petani – konsumen. Berdasarkan analisis marjin tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga tiga petani yang paling efisien. Petani memperoleh keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp 368 per ikat, rasio keuntungan dan biaya yaitu sebesar 9,43 dan bagian harga yang terbesar (farmer’s Share) diterima oleh petani sebesar 100 persen. Pada saluran tataniaga tiga petani berprofesi sebagai pedagang pengecer dan produk yang dijual sedikit sehingga keuntungan secara total yang diperoleh tidak begitu besar dan hanya sebagian kecil dari jumlah petani yang di wawancarai yang melakukan kegiatan tataniaga ini. Di Desa Cimenyan, terdapat tiga saluran tataniaga kubis yaitu: (1) Petani Pedagang Pengumpul I - Grosir – Pengecer - Konsumen (2)Petani - pedagang pengumpul II - Grosir - Pengecer - Konsumen (3) Petani – Grosir - Pengecer Konsumen. Saluran dua dibagi menjadi dua bagian, pertama pemasaran di daerah produksi (lokal) dan kedua pemasaran di luar daerah produksi. Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran tiga dengan nilai total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28. 2.4.2.
Fungsi Lembaga Pemasaran Mengenai fungsi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran,
hasil dari penelitian Rosantiningrum (2004) memiliki kesamaan dengan penelitian Maulina (2001). Fungsi yang dilakukan oleh petani meliputi fungsi pertukaran berupa penjualan dan fungsi fasilitas berupa fungsi informasi pasar, sedangkan
15
pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa penyimpanan dan pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar. Pedagang grosir atau pedagang besar dan pedagang pengecer melakukan fungsi yang sama dengan pedagang pengumpul. Hasil penelitian Anggraini (2000) menunjukkan perbedaan dalam fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran dibandingkan dengan kedua penelitian lainnya. Pada penelitian tersebut, petani melakukan fungsi yang lebih banyak yaitu fungsi pertukaran berupa penjualan, fungsi fisik berupa penyimpanan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar. Pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar. Pedagang besar dan pedagang pengecer melakukan fungsi yang hampir sama, yaitu meliputi fungsi pertukaran berupa penjualan, pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan, dan fungsi informasi pasar berupa informasi pasar, dan ditambah fungsi pengangkutan pada fungsi yang dilakukan oleh pedagang besar. Sedangkan pedagang grosir melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan, pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan dan fungsi fasilitas berupa fungsi informasi pasar. Hasil penelitian Ariyanto (2008) menunjukkan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani sayuran bayam adalah fungsi pertukaran berupa fungsi penjualan, fungsi fisik berupa kegiatan pengemasan, pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan risiko dan pembiayaan. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan, fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan, fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Hasil penelitian Agustina (2008) menyatakan bahwa petani melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan, fungsi fisik berupa pengemasan dan fungsi pengangkutan. Pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan, dan pengangkutan serta fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi
16
pasar. Pedagang pengumpul II melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa fungsi standarisasi dan grading, informasi harga, pembiayaan dan penanggungan risiko. Pedagang grosir melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan, serta fungsi fasilitas berupa sortasi dan grading. Pedagang pengecer melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan dan penyimpanan serta fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko dan informasi pasar. 2.4.3.
Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Analisis struktur dan perilaku pasar dilakukan dalam penelitian
Rosantiningrum (2004), Ariyanto (2008) dan Agustina (2008) sedangkan kedua penelitian
lainnya
tidak
melakukan
analisis
tersebut.
Pada
penelitian
Rosantiningrum, struktur pasar dianalisis dengan melihat jumlah lembaga yang terlibat, jenis produk, hambatan keluar masuk pasar, dan informasi pasar. Di tingkat petani hingga pedagang pengumpul, jenis produk yang dipasarkan seragam atau homogen, sedangkan di tingkat pedagang grosir hingga pedagang pengecer produk yang dijual lebih beragam atau heterogen dari ukuran dan harganya. Hambatan keluar masuk pasar pada tingkat petani dan pedagang pengecer rendah dilihat dari kebutuhan modal yang rendah untuk dapat masuk pasar. Sedangkan bagi pedagang pengumpul dan pedagang grosir, dibutuhkan modal yang besar untuk dapat masuk ke dalam kegiatan pemasaran bawang merah, sehingga hambatan masuk dan keluar pasar relatif tinggi. Informasi pasar diperoleh pelaku kegiatan pemasaran melalui pedagangpedagang yang terlibat dalam kegiatan pemasaran. Berdasarkan analisis tersebut, Rosantiningrum menyimpulkan bahwa struktur pasar yang terjadi di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah struktur pasar oligopoli, pada tingkat pedagang grosir adalah struktur pasar monopolistik, sedangkan pada tingkat pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna. Analisis perilaku pasar diamati dengan melihat sistem penentuan harga bawang merah serta kerjasama diantara berbagai lembaga pemasaran yang
17
terlibat. Sistem penentuan harga yang dilakukan oleh petani hingga pedagang pengecer di Desa Banjaranyar dilakukan dengan sistem tawar menawar. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing lembaga pemasaran menghadapi harga yang telah ditentukan oleh lembaga pemasaran diatasnya sehingga semua lembaga pemasaran yang terlibat hanya sebagai price taker. Dalam penentuan harga pasar, tidak ada kerjasama antara pedagang, sehingga harga yang terbentuk berdasarkan mekanisme kerja hukum permintaan dan penawaran. Pada penelitian Ariyanto (2008), struktur pasar yang dihadapi petani sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir bersifar pasar bersaing sempurna karena jumlah petani yang banyak, tidak dapat mempengaruhi harga dan petani bebas untuk keluar masuk pasar. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul di Desa Ciaruten Ilir adalah Oligopsoni. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna, karena jumlah pedagang pengecer cukup banyak, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi pasar sehingga bertindak sebagai price taker. Perilaku pasar yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berupa praktek pembelian sayuran bayam dan menjual kepada pedagang pengecer. Secara umum sistem pembayaran antar lembaga tataniaga dan petani dilakukan secara tunai dan harga produk berdasarkan mekanisme pasar. Kerjasama anatara petani dan pedagang pengumpul terjalin dengan baik melalui kegiatan jual-beli produk sayuran bayam. Hal yang sama juga terjadi diantara pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Pada penelitian Agustina (2008), struktur pasar yang dihadapi petani kubis yaitu oligopsoni. Hal ini dikarenakan jumlah lembaga tataniaga kubis tidak sebanding dengan jumlah petani. Jumlah petani lebih banyak dibandingkan jumlah pedagang pengumpul I maupun pedagang pengumpul II. Sedikitnya jumlah pedagang pengumpul desa (I dan II) menyebabkan harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga petani hanya bertindak sebagai price taker akibat posisi tawar yang lemah walaupun dalam proses transaksi dilakukan secara tawar-menawar. Pedagang pengumpul I menghadapi struktur
18
pasar oligopsoni. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pedagang pengumpul desa yang menjual kubis, namun dihadapkan pada jumlah pedagang grosir yang terbatas yaitu hanya dua orang. Hambatan masuk bagi pedagang pengumpul I terletak pada modal yang harus digunakan untuk membeli kubis dari petani. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu kubis green cronet. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul II adalah oligopoli. Hal ini dilihat dari jumlah pedagang grosir yang lebih besar dari jumlah pedagang pengumpul II. Hambatan masuk bagi pedagang pengumpul II terletak pada modal yang harus digunakan untuk membeli kubis dari petani. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu kubis green cronet. Pedagang grosir menghadapi pasar oligopoli dimana jumlah pedagang pengecer lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang grosir. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu kubis green cronet. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer bersifat oligopoli. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen dan jumlah pedagang pengecer sedikit dibandingkan jumlah konsumen yang sangat banyak. Pada kegiatan penentuan harga kubis di lokasi penelitian, antara pedagang pengumpul I dan pedagang pengumpul II didasarkan pada harga yang berlaku di pasaran dan proses tawar-menawar, dimana pedagang memperoleh informasi harga dari grosir atau sesama pedagang pengumpul. Sistem pembayaran yang terjadi dalam kegiatan pertukaran komoditas kubis ini terbagi dalam tiga sistem pembayaran, yaitu sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran kemudian dan sistem pembayaran di muka. 2.4.4.
Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Analisis efisiensi pemasaran pada penelitian di atas dilakukan dengan
menganalisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya dari masing-masing saluran pemasaran. Pada penelitian Rosantiningrum (2004), margin pemasaran terbesar terjadi pada pola II, yaitu sebesar 57,3 persen dari harga jual pedagang pengecer. Farmer’s share terbesar terjadi pada pola III, sebesar 56,4 persen, sedangkan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar terjadi
19
pada pola I, yaitu sebesar Rp 4.2 untuk setiap Rp 1,- yang dikeluarkan. Rosantiningrum menyimpulkan bahwa pola saluran pemasaran yang paling efisien adalah pola saluran pemasaran III dimana bagian yang diperoleh petani cukup tinggi yaitu 56,4 persen dengan total margin 43,6 persen. Pada penelitian Anggraini (2000), margin pemasaran dan farmer’s share yang terjadi untuk setiap saluran pemasaran sama, yaitu sebesar 44,29 persen untuk farmer’s share dan 55,71 persen untuk margin pemasaran. Hal tersebut dikarenakan harga yang berlaku di tingkat petani dan di tingkat pedagang pengecer pada masing-masing saluran pemasaran sama. Sedangkan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar terjadi pada pola IV, yaitu sebesar 11,73 persen. Pada penelitian ini, peneliti tidak menyimpulkan pola pemasaran yang paling efisien dari hasil analisis margin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pada penelitian Maulina (2001), farmer’s share terbesar terdapat pada pola II yaitu sebesar Rp 3.825,00 atau 90,00 persen. Hal ini terjadi karena petani pada pola II langsung menjual bawang merahnya di pasar-pasar yang berada di luar kota dan petani juga melakukan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh pedagang pengumpul. Berdasarkan total margin yang terjadi, pola III memiliki margin terbesar yaitu 34,66 persen dari harga jual pengecer dan pola II memiliki margin paling kecil yaitu sebesar 10,00 persen. Pola III memiliki margin terbesar karena pola III memiliki saluran pemasaran yang paling panjang diantara seluruh pola pemasaran yang terjadi. Rasio keuntungan terhadap biaya dalam penelitian Maulina (2001) menunjukkan bahwa pola III memberikan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar, yaitu sebesar Rp4,80 untuk setiap Rp1,00 yang dikeluarkan dan pola II memberikan keuntungan terkecil yaitu Rp1,93 untuk setiap Rp1,00 yang dikeluarkan. Dari hasil analisis tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pola saluran pemasaran II merupakan pola saluran pemasaran yang peling efisien, dimana bagian yang diperoleh petani cukup tinggi yaitu 90,00 persen dengan total margin 10,00 persen. Pada penelitian Ariyanto (2008), berdasarkan analisis marjin tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga tiga petani yang paling efisien, karena hasil
20
produksi sayuran bayam langsung dibawa ke pasar dan dijual langsung ke konsumen dalam bentuk ikat dan petani bertindak sebagai pedagang pengecer. Petani memperoleh keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp 368 per ikat, rasio keuntungan dan biaya yaitu sebesar 9,43 dan bagian harga yang terbesar (farmer’s Share) diterima oleh petani sebesar 100 persen. Pada saluran tataniaga tiga petani berprofesi sebagai pedagang pengecer dan produk yang dijual sedikit sehingga keuntungan secara total yang diperoleh tidak begitu besar dan hanya sebagian kecil dari jumlah petani yang di wawancarai yang melakukan kegiatan tataniaga. Berdasarkan penelitian Agustina (2008), Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran tiga dengan nilai total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28. Berdasarkan studi dari beberapa penelitian terdahulu, dapat terlihat bahwa peneliti menggunakan beberapa alat analisis yang digunakan untuk menjabarkan kegiatan tataniaga produk agribisnis bawang merah yang berupa analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan meneliti sistem dan pola saluran pemasaran bawang merah dari petani hingga sampai ke konsumen akhir, fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran yang terlibat, serta analisis struktur dan perilaku pasar yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan pemasaran. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan menganalisis tingkat efisiensi saluran pemasaran yang digunakan dalam memasarkan produk bawang merah hingga sampai ke konsumen akhir dengan menggunakan alat analisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya dari masing-masing saluran pemasaran. Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis serupa, untuk melihat apakah dengan kondisi harga bawang merah pada bulan Februari hingga Maret 2011, kegiatan pemasaran komoditas bawang merah di Kelurahan Brebes telah dianggap efisien. Penelitian bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat margin yang diterima pedagang perantara, rasio keuntungan terhadap biaya dan farmer’s share yang diterima petani jika harga yang diterima konsumen
21
akhir memiliki selisih yang besar dibanding harga rata-rata yang diterima konsumen akhir dan harga yang terdapat dalam penelitian terdahulu. Tabel 3. Tinjauan Penelitian Terdahulu No
Nama
Judul Penelitian
Alat Analisis
1
Rosantiningrum
Analisis Produksi dan Pemasaran Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus Desa Banjaranyar, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, analisis struktur dan perilaku pasar, efisiensi saluran pemasaran.
Analisis Usahatani dan Pemasaran bawang Merah (Kasus di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, efisiensi saluran pemasaran.
Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Bawang Merah (Kasus : Desa Kemukten, Kecamatan Kersana, Kabupaten Dati II Brebes, Jawa tengah)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, efisiensi saluran pemasaran.
Analisis Tataniaga Sayuran Bayam (Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, analisis struktur dan perilaku pasar, efisiensi saluran pemasaran.
Analisis Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Kubis (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, analisis struktur dan perilaku pasar, efisiensi saluran pemasaran.
(2004)
2
Anggraini (2000)
3
Maulina (2001)
4
Ariyanto (2008)
5
Agustina (2008)
22
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan batasan teori yang akan dipakai
sebagai landasan dalam penelitian. Kerangka pemikiran teoritis memberikan gambaran mengenai variabel yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti dalam penelitian analisis tataniaga bawang merah di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini terdiri dari sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, struktur dan perilaku pasar serta efisiensi pemasaran yang dilihat dari margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. 3.1.1. Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Dahl dan Hammond (1977) dalan Asmarantaka (1999), mendefinisikan pemasaran sebagai serangkaian fungsi yang diperlukan dalam penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer sampai konsumen akhir. Serangkaian fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fisik (pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan) dan fasilitas (pembiayaan, risiko, standarisasi dan grading dan inteligens pemasaran). Fungsifungsi pemasaran tersebut adalah kegiatan produktif (meningkatkan nilai guna, bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan), sedangkan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat dilakukan oleh kelompok perusahaan atau individu yang disebut lembaga pemasaran. Stanton (1978) dalam Firdaus (2008) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa kegiatan pemasaran terdiri dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek non fisik. Aspek fisik merupakan aspek yang menyangkut perpindahan barang atau distribusi produk ke tempat produk tersebut dibutuhkan. Sedangkan aspek non fisik meliputi pengetahuan penjual
23
akan keinginan dan kebutuhan konsumen dan pengetahuan konsumen terhadap produk yang dijual. Menurut Kohl dan Uhl (2002), perspektif pemasaran memiliki pengertian yang berbeda bagi setiap pelaku pemasaran. Bagi konsumen, pemasaran berkenaan dengan kegiatan pembelian produk. Bagi petani, kegiatan pemasaran merupakan kegiatan penjualan produk kepada penawar dengan harga tertinggi yang akan membawa produk hasil pertaniannya ke pasar. Bagi pedagang seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan pengolah, akan melihat pemasaran sebagai proses dalam mendapatkan keuntungan dalam persaingan dari pesaingpesaingnya, meningkatkan penjualan dan laba serta memuaskan konsumen. Setiap pelaku hanya memiliki sebagian konsep dari proses pemasaran secara keseluruhan. Dalam kegiatan pemasaran, pelaku pemasaran berhubungan dengan pelaku pemasaran lainnya dengan tujuan pembelian atau penjualan produk. Pada situasi normal, selalu ada situasi persaingan dalam kegiatan pemasaran, dimana produsen mengandalkan pedagang perantara untuk memenangkan persaingan melalui sistem dan strategi yang telah diciptakan perusahaan untuk memenangkan persaingan. Tingkat efektivitas pemasaran dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana pedagang perantara masing-masing berada seperti demografi, ekonomi, teknologi, fisik, politik dan sosial budaya. Kegiatan pemasaran bertujuan untuk memaksimumkan tingkat pembelian masyarakat terhadap produk yang dipasarkan. Tingginya tingkat pembelian atau konsumsi masyarakat akan mempengaruhi volume produksi dan tingkat laba yang diterima oleh perusahaan. Tingkat produksi yang meningkat akan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara mikro dan makro. Secara makro, peningkatan produksi dapat meningkatkan investasi pada sektor produktif yang akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), saluran pemasaran dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen hingga ke konsumen. Dalam hal ini, jumlah pihak yang terlibat dalam perpindahan barang atau jasa tersebut
24
menentukan panjangnya saluran pemasaran yang terjadi. Panjang atau pendeknya saluran pemasaran yang dilalui oleh suatu produk bergantung pada beberapa faktor, yaitu: 1. Jarak antar produsen dengan konsumen. Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya semakin panjang saluran yang ditempuh oleh produk tersebut. 2. Sifat produk. Produk yang mudah rusak harus segera diterima konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat. 3. Skala produksi. Jika produksi berlangsung dalam ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan kecil, sehingga akan tidak menguntungkan bila produsen langsung menjual ke pasar. Hal ini berarti membutuhkan kehadiran pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang. 4. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran tataniaga karena akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan dengan pengusaha yang posisi keuangannya lemah. 3.1.2. Fungsi Lembaga Pemasaran Salah satu langkah dalam mengklasifikasikan aktivitas yang terjadi dalam kegiatan pemasaran adalah dengan membagi proses pemasaran tersebut ke dalam fungsi-fungsi. Fungsi pemasaran diartikan sebagai aktivitas spesialisasi utama yang dilakukan untuk menyempurnakan kegiatan pemasaran. (Kohl dan Uhl, 2002) Menurut Firdaus (2008), ada sejumlah kegiatan pokok pemasaran yang perlu dilaksanakan untuk mencapai sasaran pemasaran, yaitu menempatkan produk ke tangan konsumen yang dinyatakan sebagai fungsi-fungsi pemasaran (marketing function). Dalam hal ini terdapat tiga fungsi pemasaran, yaitu : 1. Fungsi pertukaran Fungsi pertukaran melibatkan kegiatan yang menyangkut pengalihan kepemilikan dari satu pihak ke pihak lainnya dalam sistem pemasaran. Pihak
25
yang terlibat dalam proses ini adalah pedagang perantara, distributor, dan agen yang mendapat komisi karena mempertemukan pembeli dengan penjual. a. Fungsi Penjualan Fungsi penjualan meliputi sejumlah fungsi tambahan seperti, (1) Fungsi perencanaan dan pengembangan produk, (2) Fungsi mencari kontak, (3) Fungsi menciptakan permintaan, (4) Fungsi melakukan negosiasi, (5) Fungsi melakukan kontrak. b. Fungsi Pembelian Fungsi pembelian meliputi segala kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendapatkan ptoduk yang diinginkan pembeli dan produk yang dibeli siap digunakan pada waktu dan tempat tertentu dengan harga yang layak. Fungsi pembelian meliputi (1) Fungsi perencanaan, (2) Fungsi mencari kontak, (3) Fungsi assembling, (4) Fungsi mengadakan perundingan, (5) Fungsi kontrak. 2. Fungsi Fisik Fungsi fisik adalah kegiatan yang berhubungan dengan waktu, tempat, dan bentuk. Fungsi fisik meliputi kegiatan pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan. Fungsi pengangkutan dilakukan dengan tujuan perpindahan produk dari tempat asal produk ke daerah dimana produk tersebut dibutuhkan oleh konsumen . pengangkutan dapat dilakukan dengan berbagai alat transportasi seperti mobil pick up, truk, kereta api, pesawat terbang dan lain sebagainya. Fungsi penyimpanan dilakukan untuk menyimpan produk dari saat produk selesai diproduksi hingga produk siap dikonsumsi. Kegiatan penyimpanan merupakan kegiatan penting bagi pemasaran, karena penyimpanan berguna bagi produk pertanian yang diproduksi secara musiman agar produk dapat tersedia sepanjang tahun, bagi produk yang mudah rusak agar dapat digunakan untuk waktu yang lebih lama dan bagi bahan mentah agar tersedia pada saat dibutuhkan. Fungsi pengolahan sangat berguna untuk meningkatkan nilai tambah produk yang akan dipasarkan, karena sebagian besar produk pertanian merupakan bahan mentah bagi industri.
26
3. Fungsi penyediaan sarana Fungsi penyediaan sarana merupakan kegiatan yang dapat membantu kegiatan pemasaran agar berjalan dengan lancar. Fungsi ini meliputi fungsi informasi pasar, fungsi penanggungan risiko, fungsi standarisasi dan grading dan fungsi pembiayaan. Fungsi Informasi pasar sangat dibutuhkan oleh pembeli dan penjual yang berperan dalam kegiatan pemasaran. Pembeli memerlukan informasi mengenai harga, mutu dan sumber penawaran, sedangkan penjual memerlukan informasi mengenai harga pada beberapa pasar. Produsen memerlukan informasi mengenai harga saat ini dan harga di masa yang akan datang untuk memutuskan produk mana yang akan disimpan dan produk mana yang akan dijual ke pasar. Informasi pasar dapat diperoleh dari media massa, perusahaan swasta, pemerintah maupun institusi pendidikan. Fungsi penanggungan risiko dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi yang bekerjasama dengan lembaga pemasaran. Fungsi ini sangat penting karena pemilik produk pertanian selalu menghadapi risiko di sepanjang saluran pemasaran. Fungsi standarisasi dilakukan untuk menentukan mutu barang menurut ukuran atau standar tertentu. Standarisasi memudahkan produk untuk dijual dan dibeli dengan penyeragaman ukuran dan jenis produk sesuai keinginan konsumen. Fungsi grading dilakukan untuk mengklasifikasikan hasil pertanian ke dalam beberapa golongan mutu yang berbeda. Proses grading yang baik dapat meningkatkan nilai tambah produk. Fungsi pembiayaan sangat penting bagi sistem pemasaran modern yang membutuhkan modal dalam jumlah besar. Fungsi pembiayaan dalam sistem pemasaran dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan atau investor. 3.1.3. Struktur Pasar Struktur
pasar
merupakan
karakteristik
organisasi
pasar
yang
mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Struktur pasar menggambarkan kondisi suatu pasar dalam hal jumlah penjual (perusahaan), keseragaman produk dalam pasar, kemudahan keluar masuk pasar dan bentuk
27
persaingannya. Pada umumnya jenis struktur pasar dapat dibedakan berdasarkan persaingan yang terjadi, yaitu : Tabel 4 Karakteristik Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Sudut Pembeli No
Karakteristik Struktural Jumlah
Struktur Pasar dari Sisi
Sifat Produk
Penjual
Pembeli
Standarisasi
Persaingan
Persaingan
sempurna
sempurna
Persaingan
Persaingan
monopolistik
monopolistik
Perusahaan 1 2
Banyak Banyak
Diferensiasi
3
Sedikit
Standarisasi
Oligopoli murni
Oligopsoni murni
4
Sedikit
Diferensiasi
Oligopoli
Oligopsoni
diferensiasi
diferensiasi
Monopoli
Monopsoni
5
Satu
Unik
Sumber : Dahl dan Hammond, (1977)
1. Persaingan sempurna atau persaingan murni (pure competition). Struktur pasar ini ditandai dengan jumlah pembeli dan penjual yang sangat banyak. Transaksi setiap individu yang dilakukan dalam struktur pasar ini sangat kecil dibandingkan output industri total sehingga pelaku yang terlibat dalam pasar tidak dapat mempengaruhi harga produk yang dijual. Perusahaan-perusahaan dalam struktur pasar ini cenderung tidak mampu untuk melakukan diffrensiasi produk atau produk yang dihasilkan bersifat homogen. Pembeli dan penjual hanya bertindak sebagai penerima harga (price taker). Informasi tentang harga dan kualitas produk mudah didapatkan oleh setiap perusahaan bisa dengan mudah. Pada pasar ini tidak adanya hambatan untuk masuk atau keluar pasar. 2. Monopoli Murni (pure monopoly). Merupakan struktur pasar yang ditandai oleh adanya seorang produsen tunggal. Produk yang dihasilkan oleh perusahaan monopolis tidak memiliki barang substitusi. Dalam struktur pasar monopoli sempurna, terdapat hambatan di dalam memperoleh informasi tentang produk seperti harga dan kualitas. 28
Perusahaan monopoli memiliki kemampuan dalam membentuk harga (price maker). 3. Persaingan monopolistik, merupakan struktur pasar yang sangat mirip dengan pasar persaingan sempurna, namun pada pasar ini produsen mampu membuat differensiasi produk. Kemampuan untuk mendapatkan informasi dalam sturuktur pasar ini cenderung mudah dan perusahaan memiliki kemudahan untuk masuk dan keluar dari industri. 4. Oligopoli merupakan struktur pasar di mana hanya ada sejumlah kecil perusahaan yang memproduksi hampir seluruh output industri dan mempunyai keputusan yang saling mempengaruhi. Dalam struktur pasar ini, terdapat
ketidaksempurnaan dan hambatan dalam memperoleh
informasi mengenai produk, dan terdapat kemampuan pengendalian harga. Sebagian produk didiferensiasikan, sehingga terdapat perbedaan produk antara produsen satu dengan yang lain. 3.1.4. Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah pola tingkah laku pelaku pasar dalam melakukan penyesuaian dengan struktur pasar yang dihadapi, dapat berupa praktek penentu harga komoditi, keseragaman biaya pemasaran dan praktek persaingan bukan harga. Perilaku pasar dapat diketahui dengan kegiatan pengamatan praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, kemampuan pasar untuk menerima komoditi yang dijual, stabilitas pasar, sistem pembayaran dan kerjasama antar lembaga pemasaran. Asmarantaka (1999) menyatakan bahwa terdapat tiga cara untuk mengenal perilaku pasar, yaitu dengan (1) Penentuan harga dan setting level of output; penentuan harga : menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama-sama penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga atau price leadership, (2) Product promotion policy; melalui pameran dan iklan atas nama perusahaan, (3) Predatory and exclusivenary tactics; strategi ini bersifat illegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar.
29
3.1.5. Efisiensi Pemasaran Sebagai suatu kegiatan ekonomi, pemasaran menghendaki adanya efisiensi. Sistem pemasaran yang tidak efisien akan mengakibatkan kecilnya bagian yang diterima produsen, dan tingginya harga yang dibayarkan oleh konsumen. Pemasaran disebut efisien jika tercipta keadaan dimana pihak produsen, lembaga pemasaran dan konsumen memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas pemasaran tersebut (Limbong dan Sitorus, 1985). Bagi lembaga pemasaran dan produsen, tujuan utama dari efisiensi pemasaran adalah untuk menemukan langkah dalam meningkatkan kepuasan konsumen dengan biaya seminimal mungkin. Pemasaran produk pertanian dapat dilihat dalam sistem input-output. Menurut Kohl dan Uhl (2002), input pemasaran terdiri dari sumber daya tenaga kerja, modal, alat produksi, dan bahan produksi. Output pemasaran terdiri dari waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Sumber daya yang digunakan dalam kegiatan pemasaran merupakan biaya dan kepemilikan merupakan manfaat dari rasio efisiensi pemasaran. Pemasaran yang efisien adalah maksimisasi dari rasio input dan output tersebut. 3.1.6. Margin Tataniaga Menurut Kohl dan Uhl (2002), margin tataniaga memiliki pengertian sebagai selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan yang diterima oleh petani produsen. Adanya perubahan atau selisih harga tersebut merupakan indikator yang memperlihatkan total biaya yang dikeluarkan, keuntungan serta jasa dan peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh pelaku pemasaran yang terlibat. Dengan kata lain, margin tataniaga merupakan harga dari keseluruhan aktivitas penambahan nilai serta kinerja dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Harga dalam hal ini termasuk biaya dalam kinerja pemasaran dan semua biaya yang menggerakkan produk dari produsen hingga ke konsumen akhir serta keuntungan dari lembaga pemasaran yang terlibat Harga yang dibayarkan konsumen menentukan persaingan dan posisi tawar dari petani dan lembaga pemasaran. Harga tersebut merefleksikan biaya
30
dalam memproduksi produk pertanian dan biaya jasa pemasaran. Tinggi rendahnya margin tataniaga sering digunakan dalam menilai tingkat efisiensi pemasaran. Margin tataniaga yang rendah tidak selalu merefleksikan tingkat efisiensi pemasaran yang tinggi. Tinggi atau rendahnya margin tataniaga suatu produk dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik tataniaga seperti pengangkutan, penyimpanan, pengolahan dan lain sebagainya. Kesalahpahaman lain dalam menginterpretasikan tingkat margin tataniaga adalah margin yang tinggi menunjukkan banyaknya pedagang perantara yang terlibat dalam proses pemasaran dan margin dapat diturunkan dengan memperpendek saluran pemasaran. Pada kenyataannya, tinggi atau rendahnya margin tataniaga bergantung pada banyaknya fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran, bukan banyaknya lembaga yang terlibat. Harga yang dibayar konsumen akhir merupakan harga di tingkat pedagang pengecer. Bila digambarkan dalam suatu kurva, maka keseimbangan harga ditingkat pengecer merupakan perpotongan antara kurva penawaran turunan (derived supply curve), dengan kurva permintaan primer (primary demand curve). Sedangkan kesesimbangan harga ditingkat petani perpotongan antara kurva penawaran primer (primary supply curve) dengan kurva permintaan turunan (derived demand curve). Atau dapat digambarkan dengan:
Gambar 1. Konsep Margin Pemasaran
31
Keterangan: Sd
: derived supply (kurva penawaran turunan = penawaran produk di tingkat pedagang)
Sp
: primary supply (kurva penawaran primer = penawaran produk ditingkat petani)
Dd
: derived demand (kurva permintaan turunan = permintaan pedagang atau pabrik)
Dp
: primary demand (kurva permintaan primer = permintaan konsumen akhir)
Pr
: harga ditingkat pedagang pengecer
Pf
: harga ditingkat petani
MM : margin pemasaran (marketing margin = Pr – Pf) Q*
: kuantitas (jumlah) produk yang ditransaksikan, yaitu sama ditingkat petani dan ditingkat pengecer.
3.1.7. Farmer’s Share Farmer’s share merupakan perbandingan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani. Farmer’s share biasanya dinyatakan dalam persentase dan memiliki hubungan yang negatif dengan margin pemasaran. Semakin tinggi margin pemasaran suatu produk, maka semakin rendah farmer’s share yang diterima petani dan sebaliknya, semakin rendah margin pemasaran suatu produk maka semakin tinggi farmer’s share yang diterima petani. Kohl dan Uhl (2002) menyatakan bahwa farmer’s share adalah selisih antara harga retail dengan margin pemasaran. Bagian dari harga yang dibayarkan oleh konsumen yang diterima oleh petani dinyatakan dalam persentase harga konsumen. Komoditas yang diberi nilai tambah yang lebih banyak oleh lembaga pemasaran selain petani akan memiliki farmer’s share yang lebih rendah. Nilai tambah produk yang dihasilkan dan farmer’s share dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) Tingkat pengolahan, (2) Daya tahan produk, (3) musim produksi produk, (4) biaya transportasi, (5) volume dalam kaitannya dengan nilai produk.
32
3.1.8. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Tingkat efisiensi pemasaran selain dapat dilihat dari margin tataniaga dan farmer’s share, juga dapat dilihat dari perbandingan antara keuntungan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Semakin merata penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya, maka semakin efisien sistem pemasaran yang dilalui oleh produk tersebut. Rasio keuntungan terhadap biaya digunakan untuk melihat tingkat keuntungan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran pada saat biaya pemasaran naik sebesar satu satuan. Rasio antara keuntungan dan biaya sebesar 1 berarti untuk setiap Rp 100,00 per satu satuan produk biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran tersebut akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 100,00 per satu satuan produk. 3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Dalam sistem pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan
Brebes, Kabupaten Brebes, terdapat beberapa variasi dalam saluran pemasaran. Variasi tersebut mengakibatkan perbedaan dalam hal harga jual, margin pemasaran, farmer’s share,keuntungan dan biaya pemasaran untuk masingmasing lembaga pemasaran yang terlibat dalam sistem pemasaran. Permasalahan utama yang terjadi dalam pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes adalah rendahnya harga yang diterima oleh petani dibandingkan dengan harga yang diterima konsumen. Dalam penelitian ini dilakukan analisis mengenai sistem pemasaran komoditas bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes mulai dari tingkat petani, lembaga pemasaran yang terlibat, hingga lembaga-lembaga penunjang kegiatan pemasaran bawang merah. Analisis dilakukan dalam dua cara, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi analisis pola saluran pemasaran yang digunakan dalam mengidentifikasi lembaga yang terlibat dalam kegiatan pemasaran bawang merah. Analisis ini juga digunakan untuk mengidentifikasi fungsi pemasaran yang dilakukan oleh masingmasing lembaga pemasaran untuk melihat aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan peningkatan nilai tambah produk bawang merah dan memperlancar arus pemasaran hingga ke tangan konsumen dengan menggunakan analisis fungsi
33
pemasaran. Analisis kualitatif juga digunakan untuk menganalisis mengenai struktur dan perilaku pasar yang meliputi kegiatan pengamatan terhadap banyaknya dan skala lembaga pemasaran yang terlibat, ketersediaan informasi bagi masing-masing lembaga pemasaran, tingkat kesulitan untuk keluar masuk pasar, dan kegiatan penjualan dan pembelian yang berlangsung antar pelaku pemasaran. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi di setiap pola saluran pemasaran yang terjadi dalam kegiatan pemasaran komoditas bawang merah dengan analisis margin pemasaran, analisis farmer’s share (bagian harga yang diterima petani) dan analisis keuntungan terhadap biaya pemasaran (benefitcost ratio) masing-masing saluran dan lembaga pemasaran. Dari hasil analisis yang dilakukan, maka akan diketahui tingkat efisiensi pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Melalui hasil tersebut, dapat dirumuskan langkah-langkah perbaikan yang harus dilakukan oleh produsen dan lembaga pemasaran yang terlibat untuk meningkatkan efisiensi pemasaran. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan oleh pemerintah yang berperan dalam memberikan kebijakan yang dapat mendukung peningkatan efisiensi pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes.
34
Usahatani bawang merah di Kelurahan Brebes
Terjadi perbedaan yang cukup besar antara harga jual bawang merah di tingkat petani dengan harga jual bawang merah di tingkat konsumen
Lembaga pemasaran − Pedagang pengumpul − Pedagang pengirim Petani Konsumen − Pedagang besar − Pedagang pengecer Analisis Kuantitatif Analisis Kualitatif − Margin pemasaran − Fungsi pemasaran − Farmer’s share − Pola saluran dan lembaga − Rasio keuntungan terhadap pemasaran biaya − Struktur dan perilaku pasar Rekomendasi Alternatif Saluran Tataniaga Bawang Merah yang Efisien Keterangan : : Informasi dua arah : Arus barang satu arah : Arus uang satu arah
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Operasional 35
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Kabupaten Brebes merupakan daerah sentra produksi bawang merah di
Indonesia, baik dalam hal luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas per luas panen. Kecamatan Brebes merupakan salah satu dari tiga kecamatan dengan luas panen terbesar di Kabupaten Brebes. Kecamatan Brebes terbagi dalam 5 kelurahan dan 18 desa, salah satunya adalah Kelurahan Brebes. Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Penelitian dilakukan di Kelurahan Brebes. Pengumpulan data dilakukan mulai bulan Februari hingga Maret 2011 yang merupakan tahap pengumpulan data primer di lapangan. 4.2.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan dengan penarikan sampel petani secara
Random Sampling. Jumlah petani responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sejumlah 30 orang petani dari 78 orang petani responden yang dianggap telah mewakili populasi petani bawang merah yang ada di Kelurahan Brebes. Lembaga pemasaran lain seperti pedagang pengumpul, pedagang pengirim, pedagang besar, dan pedagang pengecer di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes dilakukan dengan teknik snowball sampling dengan mengikuti alur pemasaran yang terjadi dari petani hingga ke konsumen. Teknik ini dipilih dengan tujuan agar tidak adanya saluran tataniaga yang terputus dalam kegiatan pengambilan sampel. Jumlah pedagang pengumpul yang diambil sebagai sampel pada penelitian ini berjumlah 10 orang pedagang pengumpul dengan rincian 8 orang pedagang pengumpul pada saluran pemasaran I dan 2 orang pedagang pengumpul pada pola saluran pemasaran II, 4 orang pedagang pengirim dengan rincian 3 orang pedagang pengirim pada saluran pemasaran I dan 1 orang pedagang pengirim pada pola saluran pemasaran II, 5 orang pedagang besar dengan rincian 3 orang pedagang besar pada saluran pemasaran I, 1 orang pedagang besar pada saluran pemasaran II, dan 1 orang pedagang besar pada saluran pemasaran III, 6 orang pedagang pengecer sebagai
36
sampel dengan rincian 3 orang pedagang pengecer pada saluran pemasaran III dan 3 orang pedagang pengecer pada pola saluran pemasaran IV.
30 Orang Petani
10 Orang Pedagang Pengumpul
4 Orang Pedagang Pengirim
6 Orang Pedagang Pengecer
5 Orang Pedagang Besar
Gambar 3. Alur Pengambilan Sampel Petani dan Pedagang Perantara Bawang Merah di Kelurahan Brebes Kegiatan observasi merupakan aktivitas pengamatan langsung di lapangan untuk mengetahui, mengamati, dan menganalisis kondisi yang berlangsung di lapangan. Kegiatan wawancara dilakukan secara langsung kepada seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pemasaran produk bawang merah. Sedangkan kuisioner adalah daftar pertanyaan yang terkait dengan penelitian ini dan ditujukan kepada pihak yang terkait dengan penelitian (Lampiran 1 dan Lampiran 2). 4.3.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapang, baik melalui pengamatan langsung, dengan menggunakan kuisioner dan wawancara pada sejumlah petani dan lembaga pemasaran yang terlibat (responden) pada wilayah pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh tanpa pengamatan langsung di lapangan dan merupakan data penunjang yang diperoleh dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Brebes, Dirjen
37
Bina Hortikultura, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten Brebes, Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes dan studi literatur terkait. 4.4.
Metode Analisis dan Pengolahan Data Pengolahan data hasil penelitian dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Data kualitatif diolah dengan dijabarkan secara deskriptif analitis yaitu mengenai gambaran umum dan kondisi tempat penelitian, pola saluran pemasaran, fungsifungsi pemasaran, struktur dan perilaku pasar. Sedangkan data kuantitatif berupa margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya diolah dengan menggunakan Microsoft Excel dan kalkulator. 4.4.1. Analisis Saluran Pemasaran Analisis ini saluran pemasaran digunakan untuk mengetahui jenis dan jumlah saluran pemasaran yang dilalui oleh produk bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes dari tingkat produsen (petani) hingga ke konsumen akhir. Hasil analisis ini akan menunjukkan pola saluran pemasaran yang terjadi berdasarkan jumlah dan jenis lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran. Pola pemasaran yang terjadi akan menggambarkan peta pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. 4.4.2. Analisis Fungsi Pemasaran Analisis fungsi pemasaran digunakan untuk mengetahui fungsi-fungsi pemasaran apa saja yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Hasil analisis ini juga dapat digunakan sebagai acuan dalam menghitung biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran dan keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran sehingga dapat digunakan dalam penghitungan margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Analisis fungsi pemasaran dapat dilihat dari beberapa fungsi, yaitu fungsi pertukaran yang meliputi fungsi penjualan dan fungsi pembelian, fungsi fisik yang
38
meliputi fungsi pengolahan, fungsi pengemasan, fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan, dan fungsi fasilitas yang meliputi fungsi standarisasi dan grading, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi pasar. 4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Struktur pasar komoditas bawang merah dianalisis berdasarkan banyaknya jumlah lembaga pemasaran yang bertindak sebagai penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran komoditas bawang merah di Kelurahan Brebes, jumlah persentase pangsa pasar yang dikuasai oleh masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran, sifat dan keaadaan produk dalam arti heterogenitas produk yang dipasarkan, kebebasan lembaga pemasaran untuk masuk dan keluar pasar, serta sistem informasi pasar yang terjadi di dalam kegiatan pemasaran komoditas bawang merah di Kelurahan Brebes. Sedangkan perilaku pasar dianalisis dengan pengamatan mekanisme penentuan harga dan pembayaran yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran di dalam lingkungan pasar dan sistem kerjasama antar lembaga pemasaran. 4.4.4. Analisis Margin Pemasaran Analisis margin pemasaran dilakukan untuk mengetahui struktur dan besar biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran, dari produsen hingga konsumen akhir. Margin pemasaran merupakan selisih antara jumlah yang dibayarkan oleh konsumen tingkat akhir dengan harga yang diterima oleh produsen, dengan kata lain, margin pemasaran merupakan total dari keuntungan yang diperoleh seluruh lembaga pemasaran ditambah dengan total biaya yang dikeluarkan. Secara matematis margin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut : Mi = Psi – Pbi Mi = Ci + πi Mt = Ct + πt Dimana : Mi Psi
= margin pemasaran pasar tingkat ke-i = harga jual pasar tingkat ke-i
39
Pbi
= harga beli pasar tingkat ke-i
Ci
= biaya pemasaran pada tingkat ke-i
πi
= keuntungan lembaga pemasaran pada tingkat ke-i
Mt
= margin pemasaran total
Ct
= biaya pemasaran total
πt
= keuntungan lembaga pemasaran total
4.4.5. Analisis Farmer’s Share Analisis farmer’s share merupakan indikator yang digunakan untuk melihat persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang diterima konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat, akan semakin kecil tingkat persentase farmer’s share yang didapat petani. Farmer’s share memiliki perbandingan negatif dengan margin tataniaga. Secara matematis, farmer’s share dirumuskan sebagai berikut : Pf Farmer’s share
=
x 100% Pr
Dimana : Pf
: Harga bawang merah pada tingkat produsen
Pr
: Harga bawang merah pada tingkat konsumen
4.4.6. Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Analisis rasio keuntungan terhadap biaya dilakukan untuk mengetahui penyebaran keuntungan dan biaya pemasaran. Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap lembaga pemasaran, maka secara teknis sistem pemasaran tersebut semakin efisien. Secara matematis, rasio keuntungan terhadap biaya dirumuskan sebagai berikut : Rasio Keuntungan Terhadap Biaya (%) =
πi
x 100%
Ci
40
Dimana : πI
: Keuntungan tataniaga pada lembaga ke-i
Ci
: Biaya tataniaga pada lembaga ke-i
41
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1.
Karakteristik Wilayah Kabupaten Brebes merupakan salah satu dari tiga puluh lima daerah
otonom di Propinsi Jawa Tengah yang terletak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Pertanian merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat di Kabupaten Brebes. Salah satu komoditi pertanian unggulan yang diusahakan oleh mayoritas masyarakat Brebes adalah bawang merah. Komoditi ini diusahakan terutama oleh masyarakat yang tinggal di dataran rendah, yaitu di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Sesuai dengan letak geografisnya, iklim di Kabupaten Brebes merupakan iklim daerah tropis. Dalam satu tahun hanya ada dua musim yaitu musim kemarau antara bulan April-September dan musim Penghujan antara bulan Oktober-Maret. Temperatur udara rata-rata di daerah ini berkisar antara 21,70 oC hingga 34 oC, sehingga daerah Brebes dapat dikatakan bersuhu panas. Temperatur udara di Kabupaten Brebes sangat baik untuk pertumbuhan umbi bawang merah, karena untuk dapat tumbuh dengan baik, tanaman bawang merah harus ditanam di daerah dataran rendah dengan suhu rata-rata berkisar antara 25oC hingga 32oC. Rata-rata hari hujan per bulan adalah 12,9 hari dengan jumlah curah hujan 1595,0 mm. Di Kabupaten Brebes, terdapat beberapa 10 kecamatan yang merupakan daerah sentra penghasil bawang merah, yaitu Kecamatan Wanasari, Kecamatan Bulakamba, Kecamatan Larangan, Kecamatan Tanjung, Kecamatan Losari, Kecamatan
Kersana,
Kecamatan
Ketanggungan,
Kecamatan
Larangan,
Kecamatan Songgom dan Kecamatan Brebes. Baiknya pengembangan usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes didukung oleh tanah yang subur dan iklim yang baik untuk meningkatkan produktivitas lahan. Selain itu, letak Kabupaten Brebes yang strategis turut menunjang kelancaran arus distribusi dalam kegiatan pemasaran bawang merah yang dihasilkan. Berdasarkan luas panen bawang merah setiap tahunnya, Kecamatan Brebes merupakan salah satu dari tiga kecamatan dengan luas panen bawang merah terbesar di Kabupaten Brebes. Dengan luas panen yang besar, Kecamatan
42
Brebes juga memproduksi bawang merah dalam jumlah yang besar setiap tahunnya, yaitu sebesar 312.583.200 kilogram. Kelurahan Brebes merupakan salah satu Kelurahan yang berada di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Luas wilayah Kelurahan Brebes secara keseluruhan mencapai 306 hektar, dengan jumlah lahan sawah sebesar 78,48 hektar, dan lahan bukan sawah sebesar 227,52 hektar yang terbagi menjadi 210,06 hektar bangunan dan pekarangan, dan 17,46 hektar sarana umum. Tabel 5 Luas Lahan di Kelurahan Brebes Tahun 2009 Komponen
Luas Lahan (Ha)
Persentase (%)
Lahan sawah (irigasi)
78,48
25,65
Bangunan dan Pekarangan
210,06
68,65
Sarana Umum
17,46
5,70
306
100
Total Sumber : Monografi Kelurahan Brebes, 2009
Kelurahan Brebes berbatasan dengan Kelurahan Pasar Batang di sebelah utara, kelurahan Gandasuli di sebelah timur, Desa Padasugih dan Desa Pulosari di sebelah selatan, dan Kecamatan Wanasari di sebelah barat. Secara umum, Kelurahan Brebes termasuk kelurahan yang mudah dijangkau karena letaknya yang strategis dan relatif mudah dijangkau oleh kendaraan besar maupun kecil. Hal tersebut memudahkan petani lembaga pemasaran lainnya yang berada di Kelurahan Brebes untuk dapat membawa hasil panen yang akan dijual atau didistribusikan ke daerah lain. Alat transportasi yang biasa digunakan masyarakat setempat adalah sepeda dan sepeda motor. Truk dan mobil pick up digunakan sebagai alat angkut dalam kegiatan distribusi hasil panen masyarakat setempat. 5.2.
Keadaan Penduduk Komposisi penduduk Kelurahan Brebes jumlahnya hampir berimbang
antara penduduk laki-laki dan perempuan. Penduduk perempuan berjumlah 10.632 jiwa, sedikit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki yang berjumlah 10.288 jiwa. Kelurahan ini merupakan kelurahan terpadat dari 23 43
kelurahan dan desa yang ada di Kecamatan Brebes. Berdasarkan komposisi umur, jumlah penduduk terbanyak didominasi oleh penduduk berusia antara 15-19 tahun yaitu sebanyak 2.615 jiwa. Komposisi penduduk berdasarkan usia di Kelurahan Brebes secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 6 Jumlah Penduduk Kelurahan Brebes Berdasarkan Usia tahun 2009 Kelompok
Laki-Laki
Perempuan
Total
Umur
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
(tahun)
(jiwa)
(%)
(jiwa)
(%)
(jiwa)
(%)
0–4
732
7,11
701
6,59
1.433
6,85
5-9
763
7,41
730
6.87
1.493
7,14
10-14
855
8,31
830
7,81
1.685
8,05
15-19
1.340
13,02
1.275
11,99
2.615
12,50
20-24
940
9,14
915
8,61
1.855
8,87
25-29
969
9,41
919
8,64
1.888
9,02
30-34
830
8,06
975
9,17
1.805
8,63
35-39
861
8,37
908
8,54
1.769
8,46
40-44
755
7,35
726
6,83
1.481
7,08
45-49
780
7,58
801
7,53
1.581
7,56
50-54
427
4,15
400
3,76
827
3,95
54-59
289
2,82
376
3,54
665
3,18
60-64
273
2,65
390
3,67
663
3,17
65+
475
4,62
686
6,45
1.161
5,55
Jumlah
10.288
100
10.632
100
20.921
100
Sumber : Monografi Kelurahan Brebes, 2009
Jumlah penduduk yang berada pada usia produktif atau usia kerja lebih banyak daripada jumlah penduduk yang tidak berada pada usia produktif. Penduduk yang berada pada usia produktif adalah 13.821 jiwa sedangkan yang berada pada usia tidak produktif berjumlah 7.100 jiwa. Pada umumnya jumlah penduduk yang masuk dalam usia kerja berkisar antara usia 15-54 tahun, namun
44
pada data monografi Kelurahan Brebes penduduk yang termasuk dalam usia kerja adalah penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun. Berdasarkan
mata
pencahariannya,
penduduk
Kelurahan
Brebes
didominasi oleh penduduk yang bekerja sebagai pegawai dan pedagang. Jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani di daerah ini hanya sekitar 78 jiwa atau 0,67 persen, namun sebagian besar petani yang berada di daerah ini memiliki lahan lebih dari 0,5 Ha. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh tani berjumlah 56 jiwa atau 0,48 persen. Tabel 7
Jumlah penduduk Kelurahan Brebes berdasarkan mata Pencaharian Tahun 2009
Mata Pencaharian
Jumlah Penduduk (jiwa)
Persentase (%)
Petani
78
0,67
Buruh Tani
56
0,48
Pengusaha
215
1,84
Buruh Industri
915
7,84
Buruh Bangunan
532
4,56
1879
16,11
121
1,04
6321
54,19
Tentara / Polisi
386
3,31
Pensiunan / Purnawirawan
419
3,59
Pekerja Jasa
566
4,85
Pegawai Swasta
176
1,51
Pedagang Pekerja Angkutan Pegawai Negeri Sipil
Sumber : Monografi Kelurahan Brebes, 2009
5.3.
Karakteristik Petani Responden Tataniaga Bawang Merah Berdasarkan hasil wawancara pada 30 petani responden, didapat data
sebaran usia petani responden di Kelurahan Brebes yaitu antara usia 28-65 tahun dengan pengalaman bertani sebagian besar kurang dari 15 tahun.
45
Tabel 8
Karakteristik Petani Responden Usahatani Bawang Merah di Kelurahan Brebes tahun 2011
Karakteristik
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
1
3,33
31-35 tahun
3
10,00
36-40 tahun
5
16,67
41-45 tahun
2
6,67
46-50 tahun
8
26,67
51-55 tahun
6
20,00
56-60 tahun
3
10,00
≥60 tahun
2
6,67
30
100,01
5
16,67
5
16,67
20
76,67
Usia ≤30 tahun
Total Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD/SR Tamat SD/SR Tamat SLTP/Lebih Total Lama Pengalaman ≤15 tahun
30
100,01
21
70,00
>15 tahun
9
30,00
30
100,00
3
10,00
8
26,67
19
63,33
30
100,00
Total Luas Lahan Garapan <0,25 Ha 0,25 – 0,49 Ha ≥0,5 Ha Total Sumber : Data Primer, 2011
Dari Tabel 10 terlihat bahwa sebaran usia petani yang berusahatani bawang merah lebih banyak pada usia 46-50 tahun dan 51-55 tahun. Pada umumnya petani mulai menggeluti usahatani bawang merah sejak usia muda, baik dengan langsung menjadi petani maupun dengan menjadi buruh tani terlebih dahulu. Dari Tabel 10 juga terlihat bahwa rata-rata petani responden telah melaksanakan usahatani bawang merah selama kurang dari 15 tahun, yaitu
46
sebanyak 21 orang atau 70 persen dan lebih dari 15 tahun yaitu sebanyak 9 orang atau 30 persen. Petani di Kelurahan Brebes umumnya mengusahakan bawang merah dalam skala usaha sedang hingga besar. Luas lahan petani responden kurang dari 0,25 hektar sebanyak 3 orang atau 10 persen, luas lahan 0,25 – 0,49 hektar sebanyak 8 orang atau 26,67 persen dan luas lahan lebih dari 0,5 Ha sebanyak 19 orang atau 63,33 persen. Terbatasnya jumlah lahan pertanian yang ada di Kelurahan Brebes menyebabkan sejumlah petani memilih melakukan usahatani bawang merah di wilayah kelurahan lain. Beberapa petani responden bahkan memiliki lahan di daerah Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka. Pemilihan daerah
pengembangan usahatani bawang merah dilakukan karena
daerah tersebut dianggap memiliki kesuburan tanah, cuaca dan tingkat curah hujan yang baik dalam mendukung pertumbuhan tanaman bawang merah, sehingga umbi bawang yang dihasilkan memiliki kualitas yang hampir menyerupai bawang merah yang dihasilkan di Brebes. Petani responden sebagian besar telah menamatkan pendidikan SLTP, bahkan beberapa juga telah menamatkan tingkat pendidikan SLTA. Pengalaman serta pengetahuan yang dibutuhkan dalam berusahatani bawang merah didapatkan dari lapangan dengan mendalami kegiatan usahatani tersebut seblama bertahuntahun. Alasan petani responden melakukan usahatani bawang merah adalah iklim, cuaca dan kesuburan tanah yang cocok, keuntungan tinggi, perawatan yang cukup mudah dan merupakan usaha turun temurun keluarga. Permasalahan utama yang dihadapi petani adalah masalah fluktuasi harga jual bawang merah. Harga jual bawang merah yang terus berubah-ubah tiap bulannya, seperti yang terlihat pada Tabel 2 dapat menyebabkan kerugian pada petani. Permasalahan cuaca yang tidak menentu pada tahun 2009 hingga tahun 2011 dan curah hujan yang tinggi turut menjadi penyebab kerugian petani, karena curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan petani gagal panen akibat umbi membusuk di dalam tanah dan menurunkan tingkat produktivitas tanaman. 47
VI. 6.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah Pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes terbentuk dari
beberapa komponen lembaga pemasaran, yaitu pedagang pengumpul, pedagang pengirim, pedagang besar non lokal (Sumatera), pedagang besar non lokal (Jawa), pedagang besar lokal dan pedagang pengecer. Berdasarkan beberapa komponen tersebut dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran merupakan berbagai tingkatan pedagang perantara yang menjembatani kegiatan pemasaran antara petani dengan konsumen akhir. Lembaga pemasaran ini melakukan kegiatan berupa fungsi-fungsi pemasaran yaitu kegiatan yang menjadikan bentuk, waktu dan tempat komoditas bawang merah sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen. Skema saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes sebagai lokasi penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada bagan berikut : Pola I = 22 Orang (83,26 %) P. Pengumpul
P. Pengirim
P. Besar Non Lokal (Sumatera)
P. Pengecer Non Lokal (Sumatera)
Konsumen Non Lokal
P. Besar Non Lokal (Jawa)
P. Pengecer Non Lokal Jawa
Konsumen Non Lokal
Pola II = 3 Orang (10,63 %) P e t a n i
P. Pengirim
P. Pengumpul
Pola III = 2 orang (3,10 %) P. Besar Lokal
P. Pengecer Lokal
Konsumen Lokal
Pola IV = 3 Orang (3,01 %) P. Pengecer Lokal
Ket : Gambar 4
Konsumen Lokal
= batasan saluran pemasaran yang diteliti Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah di Kelurahan Brebes, Kabupaten Brebes
48
Skema saluran pemasaran yang terlihat pada Gambar 4 merupakan skema saluran pemasaran yang terjadi pada kegiatan pemasaran bawang merah yang dilakukan oleh pelaku pemasaran pada setiap musim tanam. Dalam penelitian ini, cakupan pelaku pemasaran yang diteliti adalah pelaku pemasaran yang berada di lingkungan Kelurahan Brebes dan pedagang besar non lokal, yaitu pedagang besar yang berada di luar Kabupaten Brebes. Dari Gambar 3, terbentuk suatu sistem pemasaran yang merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan bekerjasama dalam sistem yang terorganisir. Dari gambar 3 terlihat bahwa terdapat 4 saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, yaitu : Saluran I : Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengirim
Pedagang Besar non Lokal (Sumatra) Lokal (Sumatra) Saluran II : Petani
Pedagang Pengecer non
Konsumen non Lokal
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar non Lokal (Jawa) (Jawa)
Konsumen non Lokal
Saluran III : Petani
Pedagang Besar Lokal
Pedagang Pengirim Pedagang Pengecer non Lokal Pedagang Pengecer Lokal
Konsumen Lokal Saluran IV : Petani
Pedagang Pengecer Lokal
Konsumen Lokal
Proses pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes dimulai dari penjualan bawang merah oleh petani melalui tiga cara, yaitu penjualan melalui pedagang pengumpul, penjualan melalui pedagang besar lokal, dan penjualan melalui pedagang pengecer lokal. Dari 30 orang petani responden, 22 orang petani responden yaitu petani responden pada pola saluran pemasaran I menjual hasil panennya sebesar 83,26 persen atau sebanyak 94.000 kilogram kepada 8 orang pedagang pengumpul. Sebanyak 3 orang petani responden pada pola saluran pemasaran II menjual hasil panennya sebesar 10,63 persen atau sebanyak 12.000 kilogram kepada 2 orang pedagang pengumpul. Petani responden yang ada pada pola saluran pemasaran I dan pola saluran pemasaran II menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul karena beberapa alasan yaitu agar petani tidak mengalami kesulitan dalam mencari pasar dan tidak perlu melakukan kegiatan
49
panen serta pasca panen lain seperti pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan. Pedagang pengumpul datang langsung ke lahan petani untuk membeli hasil panen petani. Sisanya 2 orang petani responden pada pola saluran pemasaran III menjual hasil panennya sebesar 3,10 persen atau sebanyak 3.500 kilogram kepada 1 orang pedagang besar. Sebanyak 3 orang petani responden pada pola saluran pemasaran IV menjual hasil penennya sebesar 3,01 persen atau sebanyak 3.400 kilogram kepada 3 orang pedagang pengecer yang diambil sebagai sampel. Petani responden yang ada pada pola saluran pemasaran III dan pola saluran pemasaran IV menjual hasil panennya tanpa melalui pedagang pengumpul, karena petani responden tersebut hanya menghasilkan bawang merah dalam jumlah kecil. Pola saluran pemasaran tersebut diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara terhadap 30 orang responden petani di Kelurahan Brebes. 6.1.1. Pola Saluran Pemasaran I Dari hasil analisis pola saluran pemasaran dapat dilihat bahwa pola saluran pemasaran yang paling banyak digunakan oleh petani responden di Kelurahan Brebes adalah pola saluran pemasaran I, yaitu digunakan oleh 22 orang petani responden atau sebesar 83,26 persen. Melalui saluran pemasaran ini, volume bawang merah yang dipasarkan sebanyak 94.000 kilogram. Petani menjual hasil panennya langsung ke pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul menjualnya ke pedagang pengirim untuk dijual kembali ke pedagang besar non lokal di daerah Sumatra seperti Palembang dan Jambi. Dari pedagang besar non lokal, bawang merah dijual kembali ke pedagang-pedagang pengecer di daerah tujuan untuk dijual kembali ke konsumen akhir. Banyaknya petani responden yang menggunakan pola saluran pemasaran ini dipengaruhi oleh keterikatan antara petani dengan pedagang pengumpul. Keterikatan antara petani dengan pedagang pengumpul terjadi karena pedagang pengumpul meminjamkan modal kepada petani pada saat petani mulai menanam bawang merah. Hal ini menimbulkan rasa keterikatan pada petani sehingga petani menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul tersebut. Sistem penentuan harga antara petani dengan pedagang pengumpul ditentukan pada saat menjelang panen bawang merah. Pedagang pengumpul yang akan membeli hasil panen
50
petani akan mendatangi petani untuk melihat kondisi lahan petani dan tanaman bawang merah untuk dapat memperkirakan jumlah bawang merah yang akan dihasilkan. Setelah itu, pedagang pengumpul akan melakukan tawar menawar harga dengan petani untuk menentukan harga jual bawang merah hasil panen hingga mencapai harga kesepakatan dengan petani. Petani yang menggunakan pola saluran I adalah petani dengan skala usaha sedang hingga besar, dengan luas lahan rata-rata lebih dari 0,5 hektar. Hal ini dikarenakan pedagang pengirim lebih menginginkan kerjasama jangka panjang dengan petani yang berproduksi dalam skala besar. 6.1.2. Pola Saluran Pemasaran II Pola saluran pemasaran II digunakan oleh 3 orang petani responden atau sebesar 10,63 persen. Melalui pola saluran pemasaran ini, petani memasarkan bawang merah sebanyak 12.000 kilogram yang dijual kepada pedagang pengumpul. Sistem penentuan harga yang dilakukan antara petani dengan pedagang pengumpul sama seperti yang dilakukan pada pola saluran pemasaran I, yaitu pedagang pengumpul mendatangi petani menjelang panen untuk meminta persetujuan pembelian. Setelah itu pedagang pengumpul akan mendatangi lahan petani untuk memperkirakan jumlah yang akan dipanen dari lahan petani tersebut. Perkiraan hasil panen diperoleh pedagang pengumpul dengan melihat kondisi tanaman, serta sampel bawang merah yang dihasilkan dari tanaman tersebut. Selain itu, perkiraan hasil panen juga didapat pedagang pengumpul dari catatan hasil panen petani di musim panen sebelumnya. Setelah memperkirakan hasil panen yang akan dibelinya, pedagang pengumpul akan melakukan tawar menawar dengan petani mengenai harga total bawang merah yang akan dibeli hingga mencapai kesepakatan. Dari pedagang pengumpul kemudian bawang merah dijual ke pedagang pengirim yang akan mengirimkan hasil panen tersebut ke beberapa pedagang besar non lokal (Jawa) yang berlokasi di daerah-daerah di Jawa Barat, seperti Cirebon, Kuningan, Jakarta, dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Dari pedagang besar non lokal (Jawa) bawang merah akan dijual kembali ke beberapa pedagang pengecer di daerah tujuan untuk dijual kembali ke konsumen akhir.
51
6.1.3. Pola Saluran Pemasaran III Pola saluran pemasaran III digunakan oleh 2 orang petani responden atau sebesar 3,10 persen. Dalam pola saluran pemasaran ini petani menjual hasil panennya kepada pedagang besar lokal untuk kemudian dijual kepada pedagang pengecer. Melalui saluran pemasaran ini, petani dapat menjual 3.500 kilogram bawang merah kepada pedagang besar lokal. Sistem penentuan harga pada saluran ini yaitu dengan sistem tawar menawar antara petani dengan pedagang besar lokal hingga mencapai kesepakatan. Petani memperoleh informasi harga dari rekan sesama petani dan dari harga pasar, sedangkan pedagang besar memperoleh informasi harga dari pedagang pengecer dan rekan sesama pedagang besar lainnya. 6.1.4.
Pola Saluran Pemasaran IV Pola saluran pemasaran IV digunakan oleh 2 orang petani responden atau
sebesar 3,01 persen. Pola saluran pemasaran ini digunakan oleh petani yang memiliki skala usaha kecil dengan luas lahan kurang dari 0,25 hektar. Melalui pola saluran pemasaran ini, petani dapat memasarkan 3.400 kilogram bawang merah. Karena petani tersebut hanya menghasilkan sedikit hasil panen, maka petani lebih memilih untuk memasarkan hasil panennya di pasar lokal dengan menjual hasil panennya ke pedagang pengecer yang memiliki kios di Pasar Bawang Klampok. Hal ini dilakukan petani untuk mempermudah memasarkan hasil panennya yang berjumlah kecil. Sistem
penentuan harga antara petani
dengan pedagang pengecer pada saluran ini adalah dengan sistem tawar menawar hingga mencapai kesepakatan harga. Baik petani dan pedagang pengecer mendapatkan informasi harga dari harga yang berlaku di pasar. 6.2.
Fungsi Lembaga Pemasaran Setiap lembaga pemasaran yang berkontribusi dalam pemasaran bawang
merah hingga ke tangan konsumen memiliki fungsi-fungsi yang berbeda. Fungsi lembaga pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, dapat dilihat di Tabel 11.
52
Tabel 9
Fungsi Pemasaran pada Lembaga Pemasaran bawang Merah di Kelurahan Brebes
Saluran dan
Fungsi-fungsi Pemasaran
Lembaga
Pertukaran
Pemasaran
Fisik
Fasilitas
Penju
Pembe
Pengang
Penyim
Pengol
Standa
Penang
Pembi
Info
alan
lian
kutan
panan
ahan
risasi,
gungan
ayaan
Pasar
Grading
Risiko
Pola Saluran Pemasaran I − Petani
D
-
-
-
-
-
D
D
D
− P. Pengumpul
D
D
D
D
-
-
D
D
D
− P. Pengirim
D
D
-
D
-
-
D
D
D
− P. Besar
D
D
D
D
D
D
D
D
D
D
D
D
D
-
-
D
D
D
− P. Pengecer
4
Pola Saluran Pemasaran II − Petani
D
-
-
-
-
-
D
D
D
− P. Pengumpul
D
D
D
D
D
-
D
D
D
− P. Pengirim
D
D
-
D
-
-
D
D
D
− P. Besar
D
D
D
D
-
D
D
D
D
D
D
D
D
-
-
D
D
D
− P. Pengecer
5
Pola Saluran Pemasaran III − Petani
D
-
D
D
D
-
D
D
D
− P. Besar
D
D
-
D
-
D
D
D
D
− P. Pengecer
D
D
D
D
-
-
D
D
D
Pola Saluran Pemasaran IV − Petani
D
-
D
D
D
-
D
D
D
− P. Pengecer
D
D
D
D
-
D
D
D
D
Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan :
D Melakukan fungsi pemasaran -
1.
Tidak melakukan fungsi pemasaran
Petani Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh sebagian besar petani
responden hanyalah fungsi pertukaran berupa
penjualan dan fungsi
fasilitas berupa fungsi, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan 4
Data diperoleh dari hasil wawancara melalui telepon dengan Bapak Indra Wijaya pada tanggal 25 Februari 2011 5 Data diperoleh dari hasil wawancara melalui telepon dengan Bapak Alam pada tanggal 28 Februari 2011
53
dan fungsi informasi pasar. Hal tersebut karena sebagian besar petani responden yaitu petani responden pada saluran pemasaran I dan II menjual hasil panennya dengan cara tebasan atau cabutan. Sistem penjualan dengan cara tebasan atau cabutan merupakan sistem penjualan dimana petani menjual hasil panennya sebelum melakukan kegiatan pemanenan. Dalam sistem penjualan ini petani tidak melakukan fungsi fisik seperti fungsi pengangkutan, fungsi pengolahan dan fungsi penyimpanan serta kegiatan pasca panen lainnya. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan oleh pedagang pengumpul yang membeli hasil panen petani. Dari 30 orang petani responden, sebanyak 25 orang petani responden melakukan penjualan hasil panennya dengan sistem tebasan, yaitu petani pada pola saluran pemasaran I dan II. Bagi petani yang menjual hasil panennya melalui pedagang pengumpul dengan sistem tebasan atau cabutan, dalam penentuan harga petani melakukan kegiatan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul hingga tercapai harga yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kegiatan tawar menawar harga bawang merah ini dilakukan oleh petani dan pedagang pengumpul ketika tanaman bawang merah mendekati masa panen. Pedagang pengumpul yang akan membeli bawang merah hasil panen petani akan mendatangi petani untuk meminta persetujuan pembelian. Setelah petani menyetujui sistem pembelian yang diajukan oleh pedagang pengumpul, maka pedagang pengumpul akan mendatangi lahan petani untuk memperkirakan jumlah bawang merah yang akan dipanen oleh petani. Dalam melakukan perkiraan, selain melihat kondisi tanaman dan melakukan pengambilan sampel pada beberapa tanaman bawang, pedagang pengumpul membutuhkan data-data hasil panen petani pada periode tanam sebelumnya. Biasanya jumlah produksi yang diperkirakan oleh pedagang pengumpul lebih rendah dari hasil sebenarnya, namun sering pula jumlah produksi lebih sedikit dari jumlah yang diperkirakan oleh pedagang pengumpul. Dalam kasus tersebut petani akan diuntungkan karena menerima hasil pembayaran yang lebih tinggi dari pedagang
54
pengumpul. Setelah melakukan perkiraan, pedagang pengumpul akan melakukan tawar menawar harga dengan petani hingga tercapai harga kesepakatan. Untuk lahan seluas 0,5 hektar, pedagang pengumpul memperkirakan bawang merah yang dihasilkan sebanyak 4.000 kilogram. Harga kesepakatan yang dicapai dari kegiatan tawar menawar tersebut adalah Rp 39.200,000. Setelah tercapai kesepakatan, pedagang pengumpul akan membayar uang muka kepada petani sebesar Rp 2.000,000. Sebagian besar petani memilih menjual hasil panennya melalui pedagang pengumpul agar tidak mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan fungsi fisik dan kegiatan pasca panen lainnya. Seluruh kegiatan pasca panen, fungsi pengolahan, fungsi penyimpanan dan fungsi pengangkutan akan dilakukan oleh pedagang pengumpul hingga bawang merah siap diangkut ke gudang penyimpanan pedagang pengumpul. Semua biaya panen dan kegiatan pasca panen lainnya hingga fungsi fisik ditanggung oleh pedagang pengumpul. Harga jual bawang merah dengan sistem tebasan atau cabutan akan lebih rendah dari harga jual bawang merah langsung ke pedagang besar, hal itu disebabkan oleh banyaknya biaya-biaya yang harus ditanggung oleh pedagang pengumpul seperti biaya pekerja pemanenan, biaya penanganan pasca panen, biaya pengangkutan, biaya pengolahan, biaya penyimpanan dan biaya penyusutan bobot bawang merah. Jika petani melakukan sendiri kegiatan pemanenan, maka petani yang menanggung sendiri biaya-biaya tersebut. Fungsi penanggungan risiko yang dilakukan petani adalah fungsi penanggungan risiko gagal panen akibat bencana alam dan hama, penanggungan risiko jika harga yang dibayarkan pedagang pengumpul jauh lebih rendah daripada harga yang terjadi di pasar, serta penanggungan risiko jika harga jual bawang merah lebih rendah daripada biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman bawang merah. Sebanyak 5 orang petani responden atau sebesar 16,67 persen melakukan kegiatan panen, pasca panen dan fungsi pertukaran berupa
55
penjualan serta fungsi fisik lainnya seperti fungsi pengangkutan, fungsi pengolahan dan fungsi penyimpanan. Petani responden yang melakukan fungsi tersebut adalah petani yang menjual hasil panennya langsung ke pedagang besar lokal yaitu petani responden yang menggunakan pola saluran pemasaran III dan petani yang menjual hasil panennya langsung ke pedagang pengecer lokal yaitu petani responden yang menggunakan pola saluran pemasaran IV. Setelah waktu panen tiba, petani yang melakukan kegiatan panen dan pasca panennya, membayar pekerja untuk melakukan kegiatan pemanenan di lahan miliknya. Proses pemanenan dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan mencabut umbi bawang dengan tangan dari dalam tanah. Setelah umbi dipanen, maka akan dilakukan kegiatan pengikatan dan pembersihan. Pembersihan umbi dilakukan bersamaan dengan proses pengikatan daun dari beberapa rumpun tanaman bawang merah. Proses pembersihan bawang merah dilakukan dengan cara menggerak-gerakkan ikatan hingga tanah yang menempel pada umbi berjatuhan. Setelah dibersihkan, bawang merah yang telah diikat dijemur di lahan-lahan bekas penanaman hingga kering. Setelah kering, bawang merah dibersihkan dari daun-daun yang melekat dan kemudian dikemas ke dalam karung yang anyamannya jarang, untuk selanjutnya dibawa ke gudang penyimpanan milik petani dengan menggunakan mobil pick up dengan kapasitas 2 ton untuk satu kali angkut. Dalam melakukan fungsi pertukaran berupa fungsi penjualan, petani responden pada pola saluran pemasaran III menawarkan hasil panennya kepada pedagang besar lokal yang ada di Kelurahan Brebes. Bila pedagang besar lokal setuju untuk membeli bawang merah yang ditawarkan oleh petani, maka pedagang besar lokal dan petani akan tawar menawar mengenai harga jual dan harga beli bawang merah milik petani hingga tercapai harga kesepakatan. Setelah harga kesepakatan tercapai dan pedagang besar membayar bawang merah yang telah dibeli, maka petani akan mengangkut bawang merah ke gudang milik pedagang besar.
56
Pada pola saluran pemasaran IV, dalam melakukan fungsi penjualan petani responden menawarkan hasil panennya kepada pedagang pengecer. Jika pedagang pengecer setuju untuk membeli hasil panen petani, pedagang pengecer dan petani akan melakukan tawar menawar harga hingga tercapai harga kesepakatan. Pada pola saluran pemasaran I, petani menjual bawang merah ke pedagang pengumpul dengan harga Rp 9.800 per kilogram. Pada pola saluran pemasaran II petani juga menjual bawang merah ke pedagang pengumpul Rp 9.800 per kilogram, sedangkan pada pola saluran pemasaran III petani menjual hasil panennya ke pedagang besar lokal dengan harga sebesar Rp 10.300 per kilogram. Pada pola saluran pemasaran IV petani menjual hasil panennya ke pedagang pengecer lokal dengan harga Rp 10.850 per kilogram. Dengan demikian petani yang menjual hasil panennya dengan sistem tebasan seperti pada saluran pemasaran I dan II hanya melakukan fungsi pertukaran, yaitu kegiatan penjualan dan fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Sedangkan petani yang menjual hasil panennya langsung ke pedagang besar lokal seperti pada saluran pemasaran III dan ke pedagang pengecer lokal seperti pada pola saluran pemasaran IV melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan petani sama dengan petani pada saluran pemasaran I dan II yaitu fungsi penjualan. Fungsi fisik yang dilakukan oleh petani meliputi fungsi pengangkutan, fungsi penyimpanan dan fungsi pengolahan. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar. 2.
Pedagang Pengumpul Dalam melakukan fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian,
pedagang pengumpul pada pola saluran pemasaran I dan II mendatangi petani yang memiliki tanaman bawang merah mendekati masa panen untuk melakukan negosiasi mengenai sistem pembelian yang akan
57
dilakukannya. Setelah mencapai kesepakatan mengenai sistem pembelian yang akan dilakukan, kemudian pedagang pengumpul mendatangi lahan petani untuk memperkirakan berapa hasil panen yang akan diperoleh petani pada musim panen tersebut. Perkiraan hasil yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dilakukan dengan cara melihat data hasil panen pada musim tanam sebelumnya dan melihat kondisi umbi bawang dengan mengambil sampel pada beberapa tanaman bawang merah untuk dapat memperkirakan hasil yang diperoleh dari keseluruhan luas lahan milik petani. Setelah perkiraan ditentukan oleh pedagang pengumpul akan kembali melakukan tawar menawar dengan petani mengenai harga yang akan dibayarkan, hingga tercapai harga kesepakatan. Setelah waktu panen tiba, pedagang pengumpul yang telah membeli bawang merah petani dengan sistem tebasan atau cabutan akan datang ke lahan petani untuk melakukan pemanenan, dengan membawa 7 orang pekerja pemanenan untuk mengerjakan pemanenan di lahan seluas 0,5 hektar. Pemanenan dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan cara pencabutan umbi bawang dengan tangan dari dalam tanah. Setelah umbi dipanen, maka akan dilakukan kegiatan pengikatan dan pembersihan. Pembersihan umbi dilakukan bersamaan dengan proses pengikatan daun dari beberapa rumpun tanaman bawang merah. Proses pembersihan bawang merah dilakukan dengan cara menggerak-gerakkan ikatan hingga tanah yang menempel pada umbi berjatuhan. Setelah dibersihkan, kemudian bawang merah yang telah diikat dikeringkan dengan cara dijemur. Proses penjemuran dilakukan di lahan bekas penanaman. Proses penjemuran dilakukan selama satu hari di lahan bekas penanaman, dan sisanya yaitu selama kurang lebih dua hari dilakukan di halaman gudang milik pedagang pengumpul. Setelah dijemur bawang merah dibawa ke gudang penyimpanan milik pedagang pengumpul dengan menggunakan mobil pick up berkapasitas 2.000 kilogram untuk satu kali pengangkutan. Kegiatan sortasi dilakukan setelah bawang merah kering. Sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi bawang merah yang baik dengan yang
58
cacat, busuk, terkena hama penyakit atau kerusakan lainnya. Untuk pedagang pengumpul pada saluran pemasaran II, setelah dilakukan sortasi bawang merah kemudian dibersihkan dari daun-daun yang melekat. Untuk kegiatan pembersihan dilakukan oleh 5 orang tenaga kerja dengan upah Rp 13.000 per karung berkapasitas 50 kg. Selanjutnya dilakukan kegiatan pengemasan untuk memudahkan dalam penyimpanan bawang merah di gudang penyimpanan, penimbangan dan pengangkutan. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan karung yang anyamannya jarang, agar sirkulasi udara tetap terjaga dan mencegah bawang merah busuk. Setelah dikemas dan ditimbang, kemudian bawang merah disimpan di gudang milik pedagang pengumpul. Dalam
melakukan
fungsi
penjualan,
pedagang
pengumpul
menunggu pesanan dari pedagang pengirim. Untuk dapat memenuhi pesanan pedagang pengirim yang berjumlah besar, pedagang pengumpul bekerjasama dengan beberapa petani. Setelah pedagang pengirim mengajukan pesanan dan pedagang pengumpul menyatakan sanggup untuk memenuhi pesanan bawang merah pedagang pengirim, maka pedagang pengumpul dan pedagang pengirim akan melakukan tawarmenawar mengenai harga yang akan dibayarkan dan waktu pengiriman hingga mencapai kesepakatan. Pada saat waktu pengiriman tiba, pedagang pengumpul mengirimkan bawang merah ke gudang milik pedagang pengirim dengan menggunakan mobil pick up berkapasitas 2.000 kilogram untuk satu kali pengangkutan. Pedagang pengumpul memiliki modal yang besar untuk dapat menyimpan bawang merah hasil panen petani. Pada saat harga bawang merah rendah, yaitu ketika musim panen bawang merah
pedagang
pengumpul akan menyimpan hasil panen petani untuk jangka waktu tertentu hingga harga bawang merah kembali stabil yaitu hingga harga jual bawang merah lebih besar daripada harga yang dibayarkan pedagang pengumpul kepada petani. Hal ini dilakukan pedagang pengumpul untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
59
Fungsi penanggungan risiko yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah penanggungan risiko jika harga jual bawang merah ke pedagang pengirim lebih rendah dari harga beli bawang merah dari petani, risiko kerusakan bawang merah pada saat penyimpanan, risiko penyusutan bawang merah jika disimpan untuk waktu yang relatif lama, dan risiko umbi bawang terserang penyakit yang disebabkan oleh jamur akibat tempat penyimpanan yang lembab. Pada pola saluran pemasaran I, bawang merah diual pedagang pengumpul kepada pedagang pengirim dengan harga sebesar Rp 12.500 per kilogram. Pada pola saluran pemasaran
II bawang merah dijual
pedagang pengumpul kepada pedagang pengirim juga dengan harga sebesar Rp 12.500 per kg. Dengan demikian pedagang pengumpul pada pola saluran pemasaran I melakukan fungsi pertukaran, yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian, fungsi fisik yaitu fungsi pengangkutan dan fungsi penyimpanan, serta fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Pedagang pengumpul pada pola saluran pemasaran II melakukan fungsi pertukaran, yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian, fungsi fisik yaitu fungsi pengangkutan, fungsi pengolahan dan fungsi penyimpanan, serta fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. 3.
Pedagang Pengirim Pedagang pengirim bekerjasama dengan beberapa pedagang
pengumpul untuk dapat memenuhi permintaan dari pedagang besar yang berjumlah relatif besar. Dalam melakukan pembelian, pedagang pengirim memesan jumlah yang dibutuhkan pada pedagang pengumpul. Sistem penentuan harga diakukan dengan sistem tawar menawar harga antara pedagang pengirim dengan pedagang pengumpul hingga tercapai harga kesepakatan. Setelah tercapai harga kesepakatan, pedagang pengumpul mengantarkan bawang merah yang telah dikemas ke dalam karung ke
60
gudang milik pedagang pengirim dengan menggunakan mobil pick up berkapasitas 2.000 kilogram untuk satu kali pengangkutan. Dalam melakukan fungsi penjualan pedagang pengirim menunggu adanya pesanan dari pedagang besar non lokal. Sistem penentuan harga antara pedagang pengirim dengan pedagang besar non lokal baik pada pola saluran pemasaran I maupun pola saluran pemasaran II dilakukan dengan sistem tawar menawar harga hingga tercapai harga kesepakatan. Setelah harga kesepakatan tercapai, maka pedagang besar akan menentukan waktu pengiriman dan mekanisme pengiriman. Sistem pembayaran yang berlaku adalah sistem pembayaran yang disepakati oleh kedua pihak, yaitu dibayar dengan sistem sebagian pada saat bawang merah akan dikirim oleh pedagang pengirim dan sebagian pada saat bawang merah telah tiba di daerah tujuan pengiriman. Untuk pedagang pengirim pada pola saluran pemasaran I, untuk tetap menjaga kepercayaan pedagang penerima, bawang merah yang telah diterima dari pedagang pengumpul ditimbang kembali dan dihitung jumlah ikatannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman pedagang besar di daerah tujuan pengiriman akibat banyaknya bobot bawang merah yang menyusut selama pengiriman. Setelah ditimbang dan dihitung jumlah ikatannya, bawang merah dikemas ulang ke dalam karung berkapasitas 50 kilogram dan disimpan ke gudang milik pedagang pengirim hingga waktu pengiriman yang disepakati tiba. Pada saat waktu pengiriman yang telah disepakati tiba, bawang merah dimasukkan ke dalam truk-truk pengangkut yang telah dikirimkan oleh pedagang besar non lokal. Untuk menaikkan bawang merah ke dalam truk, pedagang pengirim mempekerjakan satu orang pekerja pengangkutan untuk satu buah truk yang berkapasitas 7.000 kilogram bawang merah. Untuk pengiriman ke wilayah Sumatra, pedagang pengirim memberlakukan sistem pemberian bonus sebagai pengganti bawang merah yang menyusut selama perjalanan, yaitu 6 kilogram untuk setiap 100 kilogram bawang merah yang dikirim.
Selain itu, untuk memastikan
jumlah ikatan bawang merah yang dikirim sama dengan jumlah ikatan
61
bawang merah yang sampai di daerah tujuan pengiriman, pedagang pengirim mempekerjakan satu orang yang bertugas melakukan pencatatan untuk satu buah truk. Lama pengiriman untuk daerah Sumatera seperti Palembang dan Jambi, berkisar antara 2 hingga 3 hari, sedangkan pengiriman untuk daerah di Jawa Barat seperti Cirebon, dan Majalengka seperti pada pola saluranpemasaran II berkisar antara 4 hingga 5 jam. Fungsi penanggungan risiko yang dilakukan oleh pedagang pengirim adalah penanggungan risiko penyusutan bawang merah yang terjadi selama perjalanan dan risiko kerusakan dan penyakit bawang merah selama masa penyimpanan. Pada pola saluran pemasaran I, bawang merah diual pedagang pengirim kepada pedagang besar non lokal (Sumatra) dengan harga sebesar Rp 13.500 per kilogram. Pada pola saluran pemasaran II bawang merah dijual pedagang pengirim kepada pedagang besar non lokal (Jawa) juga dengan harga sebesar Rp 13.500 per kg. Dengan demikian fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang pengirim pada saluran pemasaran I dan II adalah fungsi pertukaran yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian, fungsi fisik berupa fungsi penyimpanan serta fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. 4.
Pedagang Besar Dalam melakukan fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian,
pedagang besar bekerjasama dengan satu orang pedagang pengirim yang berlokasi di Kelurahan Brebes. Dalam kegiatan pembelian, pedagang besar memesan jumlah yang dibutuhkan pada pedagang pengirim. Sistem penentuan harga dilakukan dengan sistem tawar menawar harga dan pemberian bonus antara pedagang besar dengan pedagang pengirim hingga tercapai harga kesepakatan. Setelah tercapai harga kesepakatan dan waktu pengiriman telah ditentukan, maka pedagang besar akan akan menyiapkan truk-truk pengangkut untuk dikirim ke gudang milik pedagang pengirim. Truk yang dikirim berkapasitas 7.000 kilogram bawang merah, dilengkapi
62
dengan penutup berupa terpal untuk menghindari kerusakan bawang merah akibat terkena air hujan. Untuk pengiriman ke daerah Sumatra seperti Palembang dan Jambi, seperti pada pola saluran pemasaran I truk diberangkatkan pada sore hari. Sedangkan untuk pengiriman ke daerah di Jawa Barat seperti Cirebon dan Majalengka, seperti pada pola saluran pemasaran II truk diberangkatkan pada malam hari. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan penyusutan bobot bawang merah akibat terjemur selama perjalanan. Pada pola saluran pemasaran I, setelah bawang merah sampai di gudang milik pedagang besar non lokal (Sumatra), maka dilakukan pembersihan bawang merah dari daun-daun yang masih melekat, sehingga dihasilkan bawang merah tanpa daun siap jual. Kegiatan pembersihan dilakukan bersamaan dengan kegiatan standarisasi dan grading. Tidak ada ukuran baku untuk standarisasi dan grading bawang merah. Kegiatan standarisasi dan grading hanya dilakukan untuk memisahkan bawang merah berukuran besar dengan bawang merah berukuran kecil berdasarkan penglihatan pekerja. Pembersihan dilakukan oleh 10 orang tenaga kerja dengan sistem pembayaran Rp 13.000 untuk setiap satu karung bawang merah dengan berat 50 kilogram. Setelah pembersihan selesai, bawang merah kembali ditimbang dan dikemas ke dalam karung untuk kemudian disimpan di gudang milik pedagang besar. Pada pola saluran pemasaran II, setelah bawang merah sampai di gudang milik pedagang besar non lokal (Jawa), hanya dilakukan kegiatan standarisasi dan grading untuk memisahkan bawang merah yang berukuran besar dengan bawang merah yang berukuran kecil, karena bawang merah yang dikirim sudah dalam bentuk bawang merah tanpa daun. Standarisasi dan grading dilakukan oleh 10 orang tenaga kerja dengan upah Rp 5.000 untuk setiap karung berkapasitas 50 kg bawang merah. Fungsi penanggungan risiko yang dilakukan oleh pedagang besar adalah penanggungan risiko adanya kecelakaan selama pengangkutan bawang merah hingga tiba di daerah tujuan, adanya keterlambatan waktu
63
pengiriman akibat kemacetan yang mengakibatkan penyusutan bobot bawang merah bertambah, dan risiko kerusakan dan penyakit bawang merah selama masa penyimpanan. Pada pola saluran pemasaran III, dalam kegiatan pembelian, pedagang besar lokal membeli hasil panen dari petani yang sudah dikeringkan dan dibersihkan dari daun yang melekat. Pedagang besar lokal memesan jumlah yang dibutuhkan pada petani. Sistem penentuan harga dilakukan dengan sistem tawar menawar harga antara pedagang besar lokal dengan petani hingga tercapai harga kesepakatan. Setelah tercapai harga kesepakatan petani akan mengirimkan bawang merah ke gudang milik pedagang besar lokal. Pengangkutan bawang merah dari gudang milik petani ke gudang milik pedagang besar lokal dilakukan dengan menggunakan mobil pick up berkapasitas 2.000 kilogram untuk satu kali pengangkutan. Setelah tiba di gudang milik pedagang besar lokal, maka dilakukan kegiatan standarisasi dan grading. Kegiatan standarisasi dan grading dilakukan untuk memisahkan bawang merah berukuran besar dengan bawang merah berukuran kecil. Standarisasi dan grading dilakukan oleh 3 orang tenaga kerja dengan sistem pembayaran Rp 5.000 untuk setiap satu karung bawang merah dengan berat 50 kilogram. Kemudian bawang merah kembali ditimbang, dikemas dan disimpan di gudang milik pedagang besar lokal. Informasi pasar mengenai harga yang akan ditawarkan diperoleh pedagang besar pada pola saluran pemasaran III dari sesama pedagang besar, harga yang terjadi di pasar, dari petani dan dari berita radio. Fungsi penanggungan risiko yang dilakukan oleh pedagang besar adalah penanggungan risiko kerusakan dan penyakit bawang merah selama masa penyimpanan. Dalam melakukan fungsi penjualan, pedagang besar menunggu pedagang pegecer yang datang untuk membeli bawang merah. Pedagang besar dan pedagang pengecer akan melakukan tawar menawar harga hingga mencapai harga kesepakatan. Sistem pembayaran dilakukan secara
64
tunai langsung pada saat pembelian bawang merah di gudang dan kios milik pedagang besar. Pada pola saluran pemasaran I dari pedagang besar non lokal (Sumatra) ke pedagang pengecer non lokal (Sumatra), bawang merah dijual dengan harga Rp 17.000 per kilogram. Pada pola saluran pemasaran II dari pedagang besar non lokal (Jawa) ke pedagang pengecer non lokal (Jawa) bawang merah dijual dengan harga Rp 14.500 per kilogram. Sedangkan dari pedagang besar lokal ke pedagang pengecer lokal pada pola saluran III bawang merah dijual dengan harga Rp 11.350 per kilogram. Dengan demikian fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang besar non lokal pada saluran pemasaran I adalah fungsi pertukaran yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan, fungsi penyimpanan, serta fungsi pengolahan dan fungsi fasilitas berupa fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang besar non lokal pada saluran pemasaran II adalah fungsi pertukaran yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan dan fungsi penyimpanan serta fungsi fasilitas berupa fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Sedangkan fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang besar lokal pada saluran pemasaran III adalah fungsi pertukaran berupa fungsi penjualan dan fungsi pembelian, fungsi fisik berupa fungsi penyimpanan serta fungsi fasilitas berupa fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. 5.
Pedagang Pengecer Pada pola saluran pemasaran III, dalam kegiatan pembelian
pedagang pengecer lokal membeli langsung jumlah yang dibutuhkan pada pedagang besar lokal. Sistem penentuan harga dilakukan dengan sistem tawar menawar harga antara pengecer lokal dengan pedagang besar lokal
65
hingga tercapai harga kesepakatan. Setelah tercapai harga kesepakatan pedagang pengecer lokal akan mengangkut bawang merah dengan menggunakan sepeda motor ke kios milik pedagang pengecer. Pada pola saluran pemasaran IV, dalam kegiatan pembelian pedagang pengecer membeli langsung jumlah yang dibutuhkan pada petani. Sistem penentuan harga dilakukan dengan sistem tawar menawar antara pedagang pengecer lokal dengan petani hingga tercapai harga kesepakatan. Setelah tercapai harga kesepakatan, pedagang pengecer lokal akan mengangkut bawang merah ke kios miliknya dengan menggunakan sepeda motor. Setelah bawang merah sampai di kios milik pedagang pengecer lokal, maka pedagang pengecer lokal akan melakukan kegiatan standarisasi dan grading. Kegiatan standarisasi dan grading dilakukan pedagang pengecer lokal untuk memisahkan bawang merah yang berukuran besar dengan bawang merah yang berukuran kecil. Standarisasi dan grading dilakukan pedagang pengecer lokal tanpa standar ukuran yang jelas, hanya berdasarkan penglihatan pedagang pengecer lokal. Dalam melakukan fungsi penjualan, pedagang pengecer lokal menunggu konsumen lokal yang datang untuk membeli bawang merah. Pedagang pengecer dan konsumen lokal akan melakukan tawar menawar mengenai harga hingga mencapai kesepakatan. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai langsung pada saat pembelian bawang merah di kios milik pedagang pengecer lokal. Fungsi penanggungan risiko yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah penanggungan risiko kerusakan dan penyakit bawang merah selama masa penyimpanan dan risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Pada pola saluran pemasaran III, dari pedagang pengecer lokal ke konsumen lokal bawang merah dijual dengan harga Rp 12.500 per kilogram. Pada pola saluran pemasaran IV, dari pedagang pengecer lokal ke konsumen lokal bawang merah dijual dengan harga Rp 12.500 per kilogram.
66
Dengan demikian fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer lokal pada saluran pemasaran III dan IV adalah fungsi pertukaran yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan dan fungsi penyimpanan serta fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. 6.3.
Struktur Pasar Struktur merupakan karakteristik yang menggambarkan kondisi suatu
pasar dalam hal jumlah penjual dan pembeli, keadaan produk atau komoditi yang dijual dalam pasar, kemudahan dalam keluar dan masuk pasar, serta bagaimana pelaku pasar dapat memperoleh informasi pasar yang dibutuhkan dalam transaksi dan kegiatan pertukaran yang terjadi di dalam pasar. Struktur pasar dan perilaku pasar yang nantinya akan memperlihatkan bagaimana keragaan pemasaran sehariharinya. 1.
Jumlah Penjual dan Pembeli Petani responden di Kelurahan Brebes berjumlah 30 orang, Jumlah
petani ini akan berhadapan dengan pedagang pengumpul yang hanya berjumlah 10 orang. Selanjutnya pedagang pengumpul akan menjual bawang merah yang telah dikumpulkan ke pedagang pengirim yang berjumlah 4 orang yang akan menjual bawang merah ke pedagang besar non lokal di daerah Jawa tengah dan Jawa Barat dan ke pedagang besar di daerah Palembang dan Jambi. Pedagang pengirim dalam menjual bawang merah asal Brebes ini bersaing dengan pedagang pengirim lainnya dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat seperti Majalengka, Cirebon, dan daerah lainnya. Pedagang besar yang terlibat sebagai responden dalam kegiatan pemasaran komoditas bawang merah baik di pasar lokal maupun di pasar non lokal berjumlah 5 orang. Pedagang besar lokal dan pedagang besar non lokal juga akan bersaing dengan pedagang besar lainnya untuk menjual bawang merah ke pedagang pengecer. Pedagang besar ini akan berhadapan dengan pedagang pengecer yang jumlahnya banyak dan tersebar di berbagai tempat.
67
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 30 orang petani responden tersebut, dapat dilihat bahwa pasar komoditas bawang merah terkonsentrasi pada saluran pemasaran I yaitu dengan volume sebesar 83,26 persen yang dilakukan oleh 22 orang petani responden yang berarti bahwa pola saluran pemasaran I menguasai pangsa pasar yang lebih besar daripada pola saluran pemasaran lainnya. 2.
Keadaan Produk Bawang merah yang dihasilkan petani Kelurahan Brebes beragam
dari segi harga jual, tergantung kualitas dan ukuran bawang merah tersebut dan hasil tawar-menawar yang dilakukan antar masing-masing lembaga pemasaran. Pada pola saluran pemasaran I dari petani hingga ke pedagang besar non lokal (Sumatra) bawang merah dikirim dalam bentuk bawang merah dengan daun dan homogen, dalam arti tidak dibedakan berdasarkan ukurannya. Penjualan bawang merah dalam bentuk bawang merah dengan daun bertujuan untuk memudahkan dalam penghitungan jumlah ikatan untuk memastikan jumlah yang dikirim oleh pedagang pengirim sesuai dengan jumlah yang diterima oleh pedagang besar non lokal (Sumatra). Dari pedagang besar non lokal hingga ke konsumen akhir, bawang merah yang diperdagangkan berbentuk bawang merah tanpa daun dan telah dibedakan berdasarkan ukuran besar kecilnya. Pada pola saluran pemasaran II dari petani hingga ke pedagang pengumpul bawang merah yang dijual berbentuk bawang merah dengan daun. Sedangkan dari pedagang pengumpul hingga ke konsumen bawang merah yang dijual berbentuk bawang merah tanpa daun. Bawang merah yang diperdagangkan dari petani hingga pedagang besar non lokal tidak dibedakan berdasarkan ukurannya atau homogen, sedangkan dari pedagang besar non lokal hingga ke konsumen akhir, bawang merah yang diperdagangkan dibedakan beradasarkan ukurannya. Pada pola saluran pemasaran III dari petani ke pedagang besar lokal bawang merah dijual dalam bentuk bawang merah tanpa daun dan
68
tidak dibedakan berdasarkan ukurannya, sedangkan dari pedagang besar lokal hingga ke konsumen akhir bawang merah juga dijual dalam bentuk bawang merah tanpa daun namun telah dibedakan berdasarkan ukurannya. Pada pola saluran pemasaran IV, dari petani hingga ke konsumen akhir bawang merah dijual dalam bentuk bawang merah tanpa daun. Dari petani hingga ke pedagang pengecer, bawang merah yang diperdagangkan tidak dibedakan berdasarkan ukurannya, sedangkan dari pedagang pengecer hingga ke konsumen akhir, bawang merah dibedakan berdasarkan ukurannya. Pada dasarnya tidak ada ukuran yang baku dalam penentuan ukuran dalam kegiatan standarisasi dan grading bawang merah, pembedaan ini tergantung dari ukuran dan pandangan yang diterapkan oleh masing-masing pedagang. 3.
Syarat Keluar Masuk Pasar Pada dasarnya, ada beberapa hambatan yang mempengaruhi
kebebasan bagi pelaku pasar untuk keluar dan masuk pasar. Bagi petani, hambatan masuk pasar tergolong relatif rendah, karena kebutuhan modal dalam menjalankan kegiatan usahatani bawang merah terhitung lebih rendah daripada kebutuhan modal pelaku pemasaran lainnya. Kebutuhan modal petani bawang merah untuk lahan seluas 0,5 Ha hanya sekitar Rp 22.000,000 dengan jumlah produksi 4.000 kilogram bawang merah. Sedangkan di tingkat pedagang pengumpul hambatan untuk keluar masuk pasar lebih besar, karena dibutuhkan modal yang besar untuk dapat membeli bawang merah dalam jumlah besar dan menyimpannya untuk jangka waktu tertentu pada saat harga bawang merah di tingkat petani lebih tinggi daripada di tingkat pedagang pengirim. Selain itu pedagang pengumpul dan pedagang pengirim juga memerlukan modal untuk menanggung biaya-biaya pemasaran. Pedagang pengumpul yang ada di Kelurahan Brebes umumnya telah memiliki keterikatan dengan petani sebagai produsen bawang merah dan dengan pedagang pengirim sebagai pembeli bawang merah yang dijual oleh pedagang pengumpul. Hal
69
tersebut juga menjadi hambatan bagi pedagang pengumpul untuk keluar dan masuk pasar. Bagi pedagang pengirim hambatan keluar dan masuk pasar juga besar. Hal tersebut disebabkan karena untuk menjadi pedagang pengirim memerlukan modal yang besar untuk dapat membeli bawang merah dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu, pedagang pengirim yang ada di Kelurahan Brebes telah memiliki keterikatan dengan pedagang pengumpul sebagai pemasok bawang merah dan dengan pedagang besar sebagai pembeli bawang merah yang dijual oleh pedagang pengirim. Di tingkat pedagang besar, hambatan masuk pasar juga tergolong tinggi, karena besarnya modal yang dibutuhkan oleh pedagang besar untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran terutama fungsi pertukaran untuk membeli bawang merah dalam jumlah besar dan untuk melakukan fungsi fisik seperti penyimpanan dan pengangkutan. Fungsi pengangkutan bagi pedagang besar terutama yang berada di luar Jawa membutuhkan modal yang sangat besar, karena seluruh biaya dalam proses pengangkutan bawang merah dari daerah asalnya di Brebes hingga ke daerah tujuan membutuhkan biaya yang besar dengan risiko yang besar pula. Modal lainnya yang dibutuhkan oleh pedagang besar adalah biaya tenaga kerja. Selain itu pedagang besar juga memiliki keterikatan dengan pedagang pengirim sebagai pemasok bawang merah. Bagi pedagang pengecer hambatan masuk pasar sangat rendah, karena pembelian dilakukan dalam jumlah kecil, yaitu kurang dari 300 kilogram sehingga modal yang dibutuhkan pun relatif kecil. Pedagang pengecer tidak memiliki keterikatan dengan pedagang besar, sehingga pedagang pengecer dapat membeli bawang merah yang akan dijualnya dari pedagang besar lain. 4.
Sumber Informasi Pasar Dalam kegiatan pemasaran bawang merah, informasi pasar utama
yang paling diperlukan adalah informasi harga, karena harga bawang merah yang cenderung fluktuatif membuat pelaku pasar harus terus
70
mendapatkan informasi terbaru mengenai harga agar tidak dirugikan dalam transaksi-transaksi yang dilakukan dengan pelaku pasar lain. Informasi pasar mengenai harga yang akan ditawarkan pada saat memasarkan bawang merah diperoleh petani dari sesama petani, pedagang yang ada di pasar lokal dan dari berita di radio lokal. Petani tidak memerlukan biaya untuk mendapatkan informasi pasar mengenai harga bawang merah. Informasi pasar mengenai harga yang akan ditawarkan oleh pedagang pengumpul diperoleh pedagang pengumpul dari sesama pedagang pengumpul, dari petani produsen dan dari pedagang yang ada di pasar lokal. Untuk dapat mendapatkan informasi pasar mengenai harga yang berlaku, pedagang pengumpul tidak memerlukan biaya. Pedagang pengirim memperoleh informasi pasar mengenai harga yang akan ditawarkan dari sesama pedagang pengirim, pedagang yang ada di pasar lokal dan dari pedagang besar di daerah tujuan penjualan. Untuk dapat mengetahui harga yang berlaku di pasar di daerah tujuan, pedagang pengirim aktif mencari informasi melalui pedagang besar langganannya di daerah tujuan pengiriman. Informasi pasar mengenai harga yang akan ditawarkan diperoleh pedagang besar dari sesama pedagang besar, harga yang terjadi di pasar dan dari pedagang pengirim. Pada pola saluran pemasaran III informasi pasar mengenai harga diperoleh dari sesama pedagang besar, harga yang terjadi di pasar dan dari petani. Informasi pasar mengenai harga yang akan ditawarkan diperoleh pedagang pengecer dari harga yang terbentuk di pasar dan dari pedagang besar. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan untuk masing-masing jenis struktur pasarnya, maka dapat disimpulkan bahwa struktur pasar yang terjadi di tingkat petani bawang merah di Kelurahan Brebes bersifat pasar persaingan sempurna karena banyaknya jumlah petani yang terlibat dalam kegiatan pemasaran bawang merah, dimana petani tidak dapat mempengaruhi harga dan petani bebas untuk keluar masuk pasar. produk yang dihasilkan petani bersifat homogen yang terlihat dari tidak adanya fungsi standarisasi dan grading yang dilakukan oleh petani. Pada saat penelitian dilakukan, responden petani bawang merah berjumlah 30 orang.
71
petani tidak memerlukan biaya untuk mendapatkan informasi mengenai harga. Karena banyaknya jumlah petani yang terlibat dalam kegiatan pemasaran, maka kedudukan petani dalam sistem pemasaran sangat lemah, petani hanya bertindak sebagai price taker. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul di Kelurahan Brebes adalah oligopoli karena jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran bawang merah pada tingkat pedagang pengumpul sedikit. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul memiliki keterikatan dengan petani. Setiap pedagang pengumpul telah memiliki petani langganan. Jumlah pedagang pengumpul di Kelurahan Brebes lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah petani. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengirim di Kelurahan Brebes adalah oligopoli karena jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran bawang merah pada tingkat pedagang pengirim sedikit. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengirim. Pedagang pengirim memiliki keterikatan dengan pedagang pengumpul. Setiap pedagang pengirim telah memiliki pedagang pengumpul langganan. Jumlah pedagang pengirim di Kelurahan Brebes lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pedagang pengumpul. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang besar di Kelurahan Brebes dan di luar Kelurahan Brebes adalah oligopoli karena jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran bawang merah pada tingkat pedagang besar sedikit. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang besar. Pedagang besar memiliki keterikatan dengan pedagang pengirim dan dengan petani. Setiap pedagang besar telah memiliki pedagang pengirim dan petani langganan. Bawang merah yang dijual oleh pedagang besar bersifat heterogen, karena pedagang besar melakukan fungsi standarisasi dan grading pada bawang merah yang akan dijualnya, sehingga bawang merah yang dijual dibedakan berdasarkan ukuran besar dan kecilnya.
72
Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer adalah pasar persaingan monopolistik. Jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran bawang merah di tingkat pedagang pengecer banyak. Bawang merah yang dijual di tingkat pedagang pengecer bersifat heterogen, karena dibedakan berdasarkan ukuran besar dan kecilnya. Hambatan keluar dan masuk pasar pada pasar yang dihadapi pedagang pengecer relatif mudah, karena tidak adanya hambatan bagi pedagang pengecer lain untuk memasuki pasar. 6.4.
Perilaku Pasar Perilaku pasar dapat dilihat dari sistem penentuan harga dan pembayaran
yang terjadi diantara masing-masing lembaga pemasaran serta kerjasama yang terjadi antar lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai tataniaga. 1.
Sistem Penentuan Harga dan Pembayaran Pada umumnya, sistem penentuan harga yang terjadi baik di
tingkat petani hingga pedagang pengecer adalah sistem tawar menawar antar lembaga pemasaran tersebut, namun sebenarnya harga terbentuk dari hasil penyesuaian terhadap harga yang berlaku di tingkat pedagang pengecer. Harga yang berlaku di tingkat pedagang pengecer adalah harga yang berlaku umum di pasar, dimana tingkat persaingan pasar sangat tinggi dan harga sangat bergantung pada volume bawang merah yang ada di pasar dan jumlah pembelian konsumen pada saat itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap lembaga pemasaran menghadapi harga yang telah ditetapkan oleh lembaga pemasaran lain yang berada di atasnya, sehingga baik petani maupun lembaga pemasaran lainnya hanya bertindak sebagai penerima harga (price taker). Sistem pembayaran bawang merah dari pedagang pengumpul ke petani yaitu dengan sistem pembayaran sebagian terlebih dahulu. Pedagang pengumpul biasanya membayar sebagian dari hasil tebasan yang diperkirakannya pada saat memperkirakan jumlah bawang merah yang akan dipanen di lahan petani, dan membayar sebagian sisanya setelah selesai melakukan panen dan mengangkut bawang merah ke gudang 73
miliknya. Dari pedagang pengumpul, bawang merah dijual kembali ke pedagang pengirim. Sistem pembayaran oleh pedagang pengirim juga hampir sama dengan pembayaran oleh pedagang pengumpul. Bawang merah yang dibeli oleh pedagang pengirim dibayar sebagiannya pada saat bawang merah tiba di gudang pedagang pengirim dan sisanya setelah pedagang pengirim mendapatkan bayaran dari pedagang besar yang akan membeli kembali bawang merah tersebut. Sistem pembayaran yang berlaku dari pedagang besar ke pedagang pengirim adalah sistem pembayaran yang disepakati oleh kedua pihak, yaitu dibayar dengan sistem sebagian pada saat bawang merah akan dikirim oleh pedagang pengirim dan sebagian pada saat bawang merah telah tiba di daerah tujuan pengiriman. Untuk pedagang besar ke pedagang pengecer, pembelian dilakukan secara tunai karena jumlah pembeliannya yang relatif kecil. 2.
Kerjasama Antar Lembaga Pemasaran Kerjasama antara sesama pelaku pemasaran bawang merah baik di
tingkat pedagang pengumpul, pedagang pengirim, pedagang besar maupun pedagang pengecer sangat baik. Pola saluran pemasaran yang terbentuk umumnya telah berjalan untuk jangka waktu yang lama, karena pelaku pemasaran menganggap kerjasama secara berkelanjutan akan lebih menguntungkan dibanding bekerjasama dengan pelaku pasar yang berbeda dalam setiap penjualan. Bekerjasama dengan pelaku pemasaran yang sama dapat mengurangi pengeluaran pelaku pemasaran dalam pengeluaran biaya berganti pemasok. Diantara sesama pedagang dalam satu tingkat pemasaran tidak ditemui adanya kerjasama dalam penentuan harga jual. Harga jual yang terjadi di pasar terbentuk secara alami mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Jika penawaran bawang merah di pasar tinggi sedangkan permintaan rendah, maka harga jual bawang merah di pasar akan rendah. Hal ini terjadi pada saat musim panen bawang merah. Sebaliknya jika tingkat permintaan tinggi dengan penawaran yang terbatas maka harga jual
74
yang terbentuk di pasar akan naik tanpa adanya kesepakatan diantara pelaku pemasaran yang terlibat. Di antara sesama pedagang pengecer juga tidak ditemui adanya kerjasama baik dalam hal pembelian maupun penjualan kembali. Masing-masing pedagang pengecer membeli dan menjual bawang merah di pasar secara individual. 6.5.
Analisis Efisiensi Pemasaran 1.
Analisis Margin Pemasaran Margin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayarkan
konsumen dengan harga yang diterima oleh petani produsen. Selisih harga tersebut memperlihatkan total biaya yang dikeluarkan oleh pelaku pemasaran, serta keuntungan, jasa dan peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh pelaku pemasaran yang terlibat. Analisis margin pemasaran digunakan untuk melihat tingkat efisiensi teknik pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes. Analisis margin pemasaran bawang merah pada saat dilakukan penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Dari Tabel 12 terlihat bahwa komponen dari pemasaran adalah biaya pemasaran, dan keuntungan pemasaran. Biaya pemasaran dalam hal ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran dalam memasarkan bawang merah dari Kelurahan Brebes hingga ke konsumen akhir. Biaya pemasaran tersebut meliputi biaya tenaga kerja (untuk pemanenan, pembersihan, penjemuran, sortasi, standarisasi dan grading, pengemasan dan pengangkutan), penyusutan dan transportasi. Sedangkan keuntungan pemasaran merupakan selisih antara harga jual dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran yang terlibat. Harga jual petani untuk komoditas bawang merah di Kelurahan Brebes berbeda untuk setiap saluran pemasarannya. Hal tersebut terjadi karena harga penjualan tergantung dari jumlah pembelian yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Pedagang yang membeli dalam jumlah besar akan mendapat harga yang lebih murah per kilogramnya dibandingkan dengan pedagang yang membeli dalam jumlah kecil. Selain itu perbedaan 75
harga tersebut juga dipengaruhi oleh fungsi-fungsi yang dilakukan oleh petani di masing-masing saluran pemasarannya. Tabel 10 Analisis Margin Pemasaran Bawang Merah pada Bulan FebruariMaret 2011 di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes Keterangan
Pola I Rp/Kg
Pola II
Pola III
Pola IV
%
Rp/Kg
%
Rp/Kg
%
Petani Biaya Pemasaran 0 - Harga Jual 9.800,00 Pedagang Pengumpul
0 56,00
0 9.800,00
0 65,33
417,50 10.300,00
-
Harga Beli
9.800,00
56,00
9.800,00
65,33
-
-
-
-
-
Biaya Keuntungan Margin Harga Jual
267,50 2.432,50 2.700,00 12.500,00
1,53 13,90 15,43 71,43
427,50 2.272,50 2.700,00 12.500,00
2,85 15,15 18,00 83,33
-
-
-
-
12.500,00 852,86 147,10 1.000,00 13.500,00
71,43 4,87 0,84 5,71 77,14
12.500,00 112,86 887,14 1.000,00 13.500,00
83,33 0,75 5,91 6,67 90,00
-
-
-
-
13.500,00 728,57 2.771,43 3.500,00 17.000,00
77,14 4,16 15,84 20,00 97,14
13.500,00 100,00 900,00 1.000,00 14.500,00
90,00 0,67 6,00 6,67 96,67
10.300,00 100,00 950,00 1.050,00 11.350,00
82,40 0,80 7,60 8,40 90,80
-
-
3,34 82,40
Rp/Kg
%
464,16 10.850,00
3,71 86,80
Pedagang Pengirim -
Harga Beli Biaya Keuntungan Margin Harga Jual
Pedagang Besar -
Harga Beli Biaya Keuntungan Margin Harga Jual
Pedagang Pengecer -
Harga Beli
17.000,00
97,14
14.500,00
96,67
11.350,00
90,80
10.850,00
86,80
-
Biaya Keuntungan Margin Harga Jual
233,30 266,70 500,00 17.500,00
1,33 1,52 2,86 100,00
150,00 350,00 500,00 15.000,00
1,00 2,33 3,33 100,00
166,67 983,33 1.150,00 12.500,00
1,33 7,87 9,20 100,00
233,34 1.416,67 1.650,00 12.500,00
1,87 11,33 13,20 100,00
2.082,23 5.617,73
11,90 32,10
790,36 4.409,64
5,27 29,40
684,17 1.933,33
5,47 15,47
697,50 1.416,67
5,58 11,33
7.700,00
44,00
5.200,00
34,67
2.200,00
17,60
1.650,00
13,20
Total Biaya Total Keuntungan Total Margin
Sumber : Data Primer diolah, 2011 *=Persentase terhadap harga di tingkat pedagang pengecer **=Informasi margin pedagang pengecer pada pola saluran pemasaran I dan II diperoleh dari hasil wawancara melalui telepon
76
Pada pola saluran pemasaran I dan II, seluruh kegiatan panen dan pasca panen dilakukan oleh pedagang pengumpul, sehingga seluruh biaya yang seharusnya dikeluarkan petani untuk melakukan fungsi tersebut diambil alih oleh pedagang pengumpul sehingga harga jual bawang merah petani ke pedagang pengumpul pun menjadi lebih rendah. Sedangkan pada pola saluran pemasaran III dan IV, petani melakukan sendiri kegiatan pasca panennya, sehingga biaya untuk melakukan fungsi tersebut ditanggung oleh petani yang menyebabkan harga jual bawang merah pun meningkat. Berdasarkan total margin yang diperoleh pedagang perantara, pola saluran pemasaran I memiliki margin pemasaran terbesar yaitu 44,00 persen dari harga jual pedagang pengecer yang kemudian diikuti oleh pola saluran pemasaran II dan pola saluran pemasaran III yaitu sebesar 34,67 persen dan 17,60 persen dari harga jual pedagang pengecer. Pola saluran pemasaran I memiliki margin yang paling besar diantara pola saluran pemasaran yang lain, hal ini disebabkan karena pola saluran pemasaran I memiliki saluran yang paling panjang dengan lokasi tujuan pemasaran yang jauh dari tempat asal bawang merah diproduksi. Selain itu, konsumen akhir dari produk bawang merah di jalur pemasaran I bukan penduduk lokal daerah Brebes, melainkan penduduk di daerah Palembang dan Jambi sehingga pedagang dapat menjual komoditinya dengan harga yang lebih tinggi. Daerah Sumatra merupakan daerah potensial untuk memasarkan bawang merah, karena Sumatra memiliki potensi pasar yang besar dengan harga jual yang tinggi. Pola saluran pemasaran IV memiliki total margin terkecil yaitu hanya sebesar 13,20 persen dari harga jual pedagang pengecer. Hal ini disebabkan karena daerah tujuan pemasaran bawang merah dari pola saluran pemasaran ini hanya pedagang pengecer di pasar lokal Brebes yang dianggap cukup dekat dari lokasi penanaman bawang merah sehingga pedagang tidak menjual dengan harga yang tinggi. Selain itu, pola saluran pemasaran ini juga merupakan pola saluran pemasaran terpendek diantara pola saluran pemasaran yang lain. Pada pola saluran
77
pemasaran I, II dan III besarnya margin pemasaran ditentukan oleh jarak distribusi serta fungsi pemasaran yang dilakukan pedagang perantara. Berdasarkan hasil analisis margin pemasaran tersebut, pola saluran pemasaran IV merupakan pola saluran pemasaran yang paling efisien, karena memiliki total margin pemasaran paling kecil, yaitu sebesar Rp 1.650 atau sebesar 13,20 persen dari harga jual di tingkat pedagang pengecer. Biaya pemasaran merupakan total keseluruhan biaya yang telah dikeluarkan oleh lembaga pemasaran untuk untuk melakukan fungsi pemasaran dengan tujuan menyalurkan bawang merah dari produsen hingga ke konsumen akhir. Biaya pemasaran terbesar yang dikeluarkan yaitu pada pola saluran pemasaran I yaitu sebesar Rp 2.082,23 per kilogram atau sebesar 11,90 persen dari harga jual pedagang pengecer. Pada pola saluran pemasaran II dan III biaya pemasaran yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp 790,36 dan Rp 684,17 per kilogram atau sebesar 5,27 persen dan 5,47 persen dari harga jual pedagang pengecer. Biaya pada pola saluran pemasaran IV yaitu sebesar Rp 697,50 per kilogram atau sebesar 5,58 persen dari harga jual di tingkat pedagang pengecer. Berdasarkan keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran, pola saluran pemasaran I memiliki keuntungan terbesar yaitu Rp 5.167,73 per kilogram, karena pola saluran pemasaran ini memiliki saluran pemasaran terpanjang dan konsumen akhirnya bukan merupakan konsumen lokal. Keuntungan terkecil terdapat pada pola saluran pemasaran IV, yaitu sebesar Rp 1.416,67 per kilogram. Hal ini terjadi karena selain saluran pemasarannya yang pendek, konsumen akhir dari pola saluran pemasaran ini adalah penduduk lokal, sehingga keuntungan yang diambil pedagang tidak besar. 2.
Analisis Farmer’s Share Farmer’s share adalah perbandingan harga yang diterima petani
dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir yang biasa dinyatakan dengan persentase. Farmer’s share berhubungan negatif dengan margin
78
pemasaran, artinya semakin tinggi margin pemasaran maka bagian yang akan diterima petani akan semakin rendah. Farmer’s share merupakan bagian yang diperoleh petani sebagai bayaran atas kegiatan yang dilakukan dalam usahatani bawang merah. Farmer’s share yang diterima petani pada saluran pemasaran bawang merah dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 11
Farmer’s Share pada Saluran Pemasaran Bawang Merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes
Pola Saluran Pemasaran Pola I Pola II Pola III Pola IV
Harga di Tingkat Harga di Tingkat Petani (Rp/Kg) Konsumen (Rp/Kg) 9.800,00 17.500,00 9.800,00 15.000,00 10.300,00 12.500,00 10.850,00 12.500,00
Farmer’s Share (%) 56,00 65,33 82,40 86,80
Sumber : Data Primer diolah, 2011
Farmer’s share yang diterima petani pada pola saluran pemasaran I yaitu sebesar 56,00 persen. Farmer’s share sebesar 56,00 persen berarti bahwa bagian yang diterima oleh petani sebesar 56,00 persen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Pola saluran pemasaran ini memiliki farmer’s share terkecil diantara pola saluran pemasaran lainnya karena pola saluran pemasaran ini merupakan pola saluran pemasaran terpanjang jika dilihat dari jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dan daerah tujuan pemasaran. Pada pola saluran pemasaran ini, petani hanya melakukan sedikit fungsi pemasaran. Fungsi pemasaran pada pola saluran pemasaran ini sebagian besar dilakukan oleh pedagang perantara yang terlibat. Pada pola saluran pemasaran II farmer’s share yang diterima petani sebesar 65,33 persen, sedangkan pada pola saluran pemasaran III sebesar 82,40 persen dan pada pola saluran pemasaran IV sebesar 86,80 persen dari harga jual pedagang pengecer. Pola saluran pemasaran IV merupakan pola saluran pemasaran dengan farmer’s share tertinggi dibandingkan dengan pola saluran pemasaran lainnya. Hal ini disebabkan karena pola saluran pemasaran IV merupakan pola dengan saluran pemasaran terpendek jika dilihat dari jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dan pasar tujuan. Dari farmer’s share tersebut, terlihat bahwa pola 79
saluran pemasaran IV merupakan saluran pemasaran yang paling menguntungkan bagi petani karena memiliki nilai farmer’s share terbesar. 3.
Analisis Rasio Keuntungan Biaya Biaya pemasaran merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan
oleh lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan penyaluran bawang merah dari petani hingga ke konsumen akhir yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram. Sedangkan keuntungan pemasaran merupakan selisih antara margin pemasaran dengan biaya yang dikeluarkan selama kegiatan pemasaran. Pada pola saluran pemasaran I, total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp 2.082,23 per kilogram. Perhitungan komponen biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran pada saluran I dapat dilihat pada Lampiran 1. Biaya pemasaran terbesar pada pola saluran pemasaran I ditanggung oleh pedagang pengirim yaitu sebesar Rp 852,86 per kilogram dan biaya pemasaran terendah ditanggung oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 233,30 per kilogram. Sedangkan keuntungan terbesar diperoleh pedagang besar non lokal (Sumatra) yaitu sebesar Rp 2.771,43 per kilogram dan keuntungan terkecil diperoleh pedagang pengirim yaitu sebesar Rp 147,10 per kilogram. Pada pola saluran pemasaran II, total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp 790,36 per kilogram. Perhitungan komponen biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran pada pola saluran pemasaran II dapat dilihat pada Lampiran 2. Biaya pemasaran terbesar pada pola saluran pemasaran II ditanggung oleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp 427,50 per kilogram dan biaya pemasaran terendah ditanggung oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 150,00 per kilogram. Sedangkan keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp 2.272,50 per kilogram dan keuntungan terkecil diperoleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 350,00 per kilogram. Pada pola saluran pemasaran III, total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp 266,67 per kilogram. Perhitungan komponen biaya yang
80
dikeluarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran pada pola saluran pemasaran I dapat dilihat pada Lampiran 3. Biaya pemasaran terbesar pada pola saluran pemasaran III ditanggung oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 166,67
per kilogram dan biaya pemasaran terendah
ditanggung oleh pedagang besar yaitu sebesar Rp 100 per kilogram. Sedangkan keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 983,33 per kilogram dan keuntungan terkecil diperoleh pedagang besar yaitu sebesar Rp 950 per kilogram. Pada pola saluran pemasaran IV, total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp 233,33 per kilogram. Perhitungan komponen biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran pada pola saluran pemasaran I dapat dilihat pada Lampiran 4. Sedangkan keuntungan dalam kegiatan pemasaran hanya diperoleh pedagang pengecer, karena pedagang pengecer
merupakan
satu-satunya
lembaga
pemasaran
yang
menghubungkan antara petani dengan konsumen akhir. Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa total rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran bawang merah terbesar terdapat pada pola saluran pemasaran III yaitu sebesar 7,25. Rasio 7,25 berarti untuk setiap Rp 100 per kilogram biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran tersebut akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 725 per kilogram bawang merah. Rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran terbesar pada pola saluran pemasaran III diperoleh pedagang besar, yaitu sebesar 9,50.
81
Tabel 12 Rasio Keuntungan dan Biaya pada Saluran Pemasaran Bawang Merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes Tahun 2011 Lembaga Pemasaran
1
Saluran Pemasaran 2 3
4
Pedagang Pengumpul Li (Rp/Kg)
2.432,50
2.272,50
-
-
Ci (Rp/Kg)
267,50
427,50
-
-
Rasio Li/Ci
9,09
5,32
-
-
Pedagang Pengirim Li (Rp/Kg)
147,10
887,14
-
-
Ci (Rp/Kg)
852,86
112,86
-
-
Rasio Li/Ci
0,17
7,86
-
-
Pedagang Besar Li (Rp/Kg)
2.771,43
900,00
950,00
-
Ci (Rp/Kg)
728,57
100,00
100,00
-
Rasio Li/Ci
3,80
9,00
9,50
-
Pedagang Pengecer Li (Rp/Kg)
266,70
350,00
983,33
1.416,67
Ci (Rp/Kg)
233,30
150,00
166,67
233,33
Rasio Li/Ci
1,14
2,33
5,90
6,07
Total Li (Rp/Kg)
5.617,73
4.409,64
1.933,33
1.416,67
Ci (Rp/Kg)
2.082,23
790,36
266,67
233,33
Rasio Li/Ci
2,70
5,58
7,25
6,07
Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan :
Li : Keuntungan Lembaga Pemasaran Ci : Biaya Pemasaran
Pada pola saluran pemasaran I rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran terbesar diperoleh pedagang pengumpul, yaitu sebesar 9,09. Pada pola saluran pemasaran II rasio keuntungan terhadap biaya terbesar diperoleh pedagang besar yaitu sebesar 9,00. Pada pola saluran pemasaran III, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar diperoleh pedagang besar, yaitu sebesar 9,50. Sedangkan pada pola saluran pemasaran IV rasio keuntungan terhadap biaya terbesar diperoleh pedagang pengecer yaitu sebesar 6,07. Berdasarkan nilai rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran tersebut dapat disimpulkan bahwa pola saluran pemasaran
82
bawang merah tersebut tidak memberikan keuntungan yang merata pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Berdasarkan identifikasi saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, terdapat empat pola saluran pemasaran. Analisis margin pemasaran menunjukkan bahwa pola saluran pemasaran IV merupakan pola saluran pemasaran yang memiliki nilai margin pemasaran terkecil, yaitu sebesar Rp 1.650 atau sebesar 13,20 persen dari harga jual di tingkat pedagang pengecer sehingga pola saluran pemasaran IV dianggap sebagai pola saluran pemasaran paling efisien. Farmer’s share juga dapat dijadikan sebagai indikator efisiensi pemasaran. Berdasarkan hasil analisis farmer’s share, farmer’s share yang diterima petani terbesar terdapat pada pola saluran pemasaran IV yaitu sebesar 86,80 persen dari harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Berdasarkan hasil perhitungan farmer’s share tersebut dapat disimpulkan bahwa pola saluran pemasaran IV merupakan pola saluran pemasaran yang paling menguntungkan bagi petani. Berdasarkan hasil analisis rasio keuntungan terhadap biaya, pola saluran pemasaran III memiliki rasio keuntungan terhadap biaya terbesar, yaitu sebesar 7,25. Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga yang dilakukan terhadap empat pola saluran pemasaran bawang merah yang terjadi di Kelurahan Brebes, dapat disimpulkan bahwa pola saluran pemasaran IV merupakan pola saluran pemasaran yang paling efisien karena memiliki margin pemasaran peling kecil, farmer’s share paling besar, dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar dibandingkan dengan pola saluran pemasaran lainnya. Namun pada pola saluran pemasaran IV, jumlah petani responden yang terlibat dalam kegiatan pemasaran relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah petani responden pada pola saluran pemasaran I. Volume produk yang dipasarkan pada pola saluran pemasaran IV berjumlah kecil, sehingga nilai keuntungan total yang diperoleh petani dan lembaga pemasaran lainnya relatif sedikit. Pola saluran pemasaran yang dianggap lebih menguntungkan bagi petani dan lembaga pemasaran lainnya adalah pola saluran pemasaran I,
83
karena pada pola saluran pemasaran I petani dan lembaga pemasaran lainnya dapat menjual bawang merah dalam volume yang lebih besar sehingga menhasilkan keuntungan total yang lebih besar pula meskipun dengan margin pemasaran terbesar, farmer’s share terkecil dan rasio keuntungan terhadap biaya terkecil.
84
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai lembaga
pemasaran di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, diperoleh beberapa kesimpulan, antara lain: 1.
Terdapat empat pola saluran pemasaran yang terjadi di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes yang menjembatani kegiatan pemasaran antara petani dengan konsumen akhir. Pola saluran pemasaran tersebut terbentuk dari beberapa komponen lembaga pemasaran, yaitu pedagang pengumpul, pedagang pengirim, pedagang besar non lokal (Sumatra), pedagang besar non lokal (Jawa), pedagang besar lokal dan pedagang pengecer.
2.
Masing-masing lembaga pemasaran yang berada di Kelurahan Brebes memiliki fungsi sesuai dengan peran dan kebutuhannya. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bersifat pasar persaingan sempurna, struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul dan pedagang pengirim lebih mengarah kepada pasar oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang besar bersifat oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer adalah pasar persaingan monopolistik. Sistem penentuan harga yang terjadi baik di tingkat petani hingga di pedagang pengecer terjadi melalui proses tawar menawar hingga tercapai kesepakatan bersama. Pembayaran yang dilakukan oleh petani dan pedagang besar dilakukan dengan sistem pembayaran angsuran, sedangkan dari pedagang besar hingga ke pedagang pengecer, pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran tunai. Kerjasama yang dilakukan antar lembaga pemasaran baik di tingkat pedagang pengumpul, pedagang pengirim, pedagang besar dan pedagang pengecer berlangsung dengan baik dan telah dilakukan untuk waktu yang lama.
3.
Berdasarkan hasil analisis rasio keuntungan terhadap biaya, pola saluran pemasaran III memiliki rasio keuntungan terhadap biaya terbesar, yaitu sebesar 7,25. Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga yang dilakukan
85
terhadap empat pola saluran pemasaran bawang merah yang terjadi di Kelurahan Brebes, dapat disimpulkan bahwa pola saluran pemasaran IV merupakan pola saluran pemasaran yang paling efisien karena memiliki margin pemasaran peling kecil, farmer’s share paling besar, dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar dibandingkan dengan pola saluran pemasaran lainnya. Namun pada pola saluran pemasaran IV, jumlah petani responden yang terlibat dalam kegiatan pemasaran relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah petani responden pada pola saluran pemasaran I. Volume produk yang dipasarkan pada pola saluran pemasaran IV berjumlah kecil, sehingga nilai keuntungan total yang diperoleh petani dan lembaga pemasaran lainnya relatif sedikit. Pola saluran pemasaran yang dianggap lebih menguntungkan bagi petani dan lembaga pemasaran lainnya adalah pola saluran pemasaran I, karena pada pola saluran pemasaran I petani dan lembaga pemasaran lainnya dapat menjual bawang merah dalam volume yang lebih besar sehingga menhasilkan keuntungan total yang lebih besar pula meskipun dengan margin pemasaran terbesar, farmer’s share terkecil dan rasio keuntungan terhadap biaya terkecil. 7.2.
Saran Saran yang dapat diberikan untuk lembaga pemasaran yang terlibat dalam
pemasaran komoditas bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes berdasarkan hasil penelitian, antara lain : 1.
Pola saluran pemasaran yang dipilih oleh masing-masing lembaga pemasaran sebaiknya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lembaga pemasaran.
2.
Untuk dapat memasarkan komoditas bawang merah secara efisien, petani perlu bekerjasama dengan pedagang perantara yang bersedia membeli hasil panen petani dengan harga yang tinggi dan relatif stabil.
3.
Perlu dilakukan koordinasi antar petani dalam hal kegiatan pemasaran bawang merah untuk dapat meningkatkan posisi tawar dan pendapatan petani.
Diperlukan
dukungan
pihak
Kelurahan
Brebes
dalam
86
pembentukan kelompok tani dalam rangka pengembangan sistem informasi yang lebih lengkap yang dapat menguntungkan petani dalam kegiatan pemasaran komoditas bawang merah. 4.
Sebaiknya
dilakukan
penelitian
lebih
lanjut
mengenai
analisis
keterpaduan pasar bawang merah di Kelurahan Brebes untuk dapat melihat integrasi antar pasar produsen di tingkat petani Kelurahan Brebes dan pasar yang menjadi pasar acuan.
87
DAFTAR PUSTAKA Anggraini E. D. N. 2000. Analisis Usahatani dan Pemasaran bawang Merah (Kasus di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Agustina, Lusiana. 2008. Analisis Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Kubis (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2009. Konsumsi Bawang Merah Indonesia Per Kapita. http:// hortikultura.go.id/index.php?. [Diakses 30 Mei 2011] Anonim. 2008. Permintaan Bawang Merah Nasional. http://www.bi.go.id/nr/ rdonlyres. [Diakses 30 Mei 2011] Ariyanto. 2008. Analisis Tataniaga Sayuran Bayam (Kasus Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor). [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Asmarantaka, Ratna Winandi. 1999. Pemasaran Pertanian Suatu Kajian Teoritik dan Empirik. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. 2006. Kabupaten Brebes dalam Angka, Brebes in Figures. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. Brebes. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. 2007. Kabupaten Brebes dalam Angka, Brebes in Figures. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. Brebes. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. 2008. Kabupaten Brebes dalam Angka, Brebes in Figures. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. Brebes. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. 2009. Kabupaten Brebes dalam Angka, Brebes in Figures. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. Brebes. Bappeda Kabupaten Brebes. 2009. Buku Saku Data Base Kabupaten Brebes Tahun 2008. Bappeda Kabupaten Brebes. Brebes. Bappeda Kabupaten Brebes. 2009. Pendataan Monografi Desa 2009 (Dalam Rangka Penyusunan Kecamatan dalam Angka Tahun 2009). Bappeda Kabupaten Brebes. Brebes. Dahl, Dale C dan Jerome W. Hammond. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. McGraw-Hill. USA. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. 2009. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. IPB Press Kampus IPB Darmaga Bogor. Firdaus, Muhammad. 2008. Manajemen Agribisnis. Bumi Aksara. Jakarta. Kohls, R. L and J. N. Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. MacMillian Publishing Company. New York. Limbong, W. H dan Panggabean Sitorus. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Fakultas Politeknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
88
Maulina, Destriati. 2001. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Bawang Merah (Kasus : Desa Kemukten, Kecamatan Kersana, Kabupaten Dati II Brebes, Jawa tengah). [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nurdin, Mohammad. 2011. Boks Laporan dan Analisis Hasil Liaison Ad Hoc Komoditas Bawang Merah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. http://mohnurdin.files.wordpress.combawang-merah-brebes-2001 [Diakses 30 Mei 2011] Pemerintah Kabupaten Brebes. 2010. Profil Kecamatan Brebes. Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes. Rahayu E dan Nur Berlian. 1998. Bawang Merah. Penebar Swadaya. Jakarta. Rosantiningrum, Ratna. 2004. Analisis Produksi dan Pemasaran Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus Desa Banjaranyar, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rukmana, Rahmat. 1994. Bawang Merah. Kanisius. Yogyakarta. Wibowo, Singgih. 1999. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay. Penebar Swadaya. Jakarta.
89
LAMPIRAN
90
Lampiran 1. Kuisioner Petani
KUISIONER PENELITIAN ANALISIS TATANIAGA BAWANG MERAH DI KECAMATAN BREBES, KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH Kuisioner ini digunakan sebagai sumber data primer dalam rangka penyusunan skripsi (penelitian) yang berjudul “Analisis Tataniaga Bawang Merah Kasus di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah” Oleh Anita Dwi Satya Wacana (H34070045), Program Studi Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Petunjuk umum : Berilah Tanda ( √ ) A. RESPONDEN PETANI 1. Nama : ........................................................... 2. Jenis Kelamin : (....) Laki-laki (....) Perempuan 3. Umur : ...................... Tahun 4. Pendidikan : ...................... 5. Lama Bertani : ....................... B. ASET YANG DIMILIKI 1. Lahan : a) Luas b) Produksi
: ............................... m2 : ............................... Kw
C. PENJUALAN PER MUSIM TANAM Produksi No. Tujuan Penjualan (Kg)
Harga Jual (Rp/Kg)
Penerimaan
91
D. TATA CARA PENJUALAN No. Uraian 1. Cara Penjualan : (….) Bebas (….) Kontrak 2. Cara Pembayaran : (….) Tunai (….) Dibayar dimuka (….) Dibayar sebagian (….) Hutang 3. Cara Penyerahan barang : (….) Ditempat pembeli (….) Ditempat penjual
No. Uraian 4. Cara Penentuan Harga (….) Ditentukan pedagang (….) Ditentukan konsumen (….) Ditentukan pemerintah (….) Tawar-menawar 5. Cara Perolehan Informasi Harga (….) Sesama pedagang (….) Media massa (….) Kelompok tani (….) Lainnya
E. BIAYA KESELURUHAN No. Jenis Kegiatan 1. Transportasi/Pengangkutan 2. Pengemasan 3. Tenaga Kerja 4. Penyimpanan 5. Biaya bongkar muat 6. Biaya sortasi 7. Lain-lain: ……………………………………….. ……………………………………….. ………………………………………..
Biaya (Rp/Satuan)
92
Lampiran 2. Kuisioner Pedagang
KUISIONER PENELITIAN ANALISIS TATANIAGA BAWANG MERAH DI KECAMATAN BREBES, KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH Kuisioner ini digunakan sebagai sumber data primer dalam rangka penyusunan skripsi (penelitian) yang berjudul “Analisis Tataniaga Bawang Merah Kasus di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah” Oleh Anita Dwi Satya Wacana (H34070045), Program Studi Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Petunjuk umum : Berilah Tanda ( √ ) A. RESPONDEN PEDAGANG 1. Nama : ........................................................... 2. Jenis Kelamin : (....) Laki-laki (....) Perempuan 3. Umur : ...................... Tahun 4. Pendidikan : (....) SD (....) SMP (....) SMA (....) KULIAH (....) Lainnya............ 5. Jenis Usaha : (....) Pedagang Pengumpul (....) Pedagang Pengecer (....) Pedagang Besar (Grosir) (....) Lain-lain 6. Nama Usaha : ............................................... 7. Bentuk Usaha : (....) Perorangan (....) CV/Firma (....) PT (....) Lainnya 8. Awal Usaha : ...................... B. PEMBELIAN No. Sumber
Volume (Kg)
Harga (Rp/Kg)
Keterangan
93
C. TATA CARA PEMBELIAN No. Uraian 1. Cara Pembelian : (….) Bebas (….) Kontrak 2. Cara Pembayaran : (….) Tunai (….) Dibayar dimuka (….) Dibayar sebagian (….) Hutang 3. Cara Penyerahan : (….) Ditempat pembeli (….) Ditempat penjual 4. Cara Penentuan Harga (….) Ditentukan perusahaan (….) Ditentukan pedagang (….) Ditentukan pemerintah (….) Tawar-menawar
No. Uraian 5. Cara Perolehan Informasi Harga (….) Sesama pedagang (….) Media massa (….) Kelompok tani (….) Lainnya 6. Alasan Membeli Pada Sumber (….) Harga lebih murah (….) Barang lebih bagus (….) Lokasi mudah dijangkau (….) Langganan (….) Lainnya
D. HAMBATAN DAN MASALAH DALAM PEMBELIAN No Masalah Keterangan 1 Harga beli terlalu mahal (….) Ya (….) Tidak 2 Harga berfluktuasi (….) Ya (….) Tidak 3 Ketersediaan barang tidak kontinu (….) Ya (….) Tidak 4 Sarana jalan buruk (….) Ya (….) Tidak 5 Fasilitas transportasi tidak mendukung (….) Ya (….) Tidak 6 Peraturan pemerintah tidak jelas (….) Ya (….) Tidak 7 Adanya pungutan liar (….) Ya (….) Tidak 8 Keterbatasan tenaga terampil (….) Ya (….) Tidak 9 Kurangnya tenaga pemasaran (….) Ya (….) Tidak 10 Kualitas produk bawang merah beragam (….) Ya (….) Tidak 11 Keterbatasan modal (….) Ya (….) Tidak 12 Lain-lain: ……………………………………………….. ……………………………………………….. ………………………………………………..
94
E. PENJUALAN No. Tujuan Penjualan
F. TATA CARA PENJUALAN No. Uraian 1. Cara Penjualan : (….) Bebas (….) Kontrak 2. Cara Pembayaran : (….) Tunai (….) Dibayar dimuka (….) Dibayar sebagian (….) Hutang 3. Cara Penyerahan barang : (….) Ditempat pembeli (….) Ditempat penjual
Volume (Kg)
Harga Jual (Rp/Kg)
Penerimaan
No. Uraian 4. Cara Penentuan Harga (….) Ditentukan pedagang (….) Ditentukan konsumen (….) Ditentukan pemerintah (….) Tawar-menawar 5. Cara Perolehan Informasi Harga (….) Sesama pedagang (….) Media massa (….) Kelompok tani (….) Lainnya
G. BIAYA KESELURUHAN No. Jenis Kegiatan 1. Transportasi/Pengangkutan 2. Pengemasan 3. Tenaga Kerja 4. Penyimpanan 5. Biaya bongkar muat 6. Biaya sortasi 7. Lain-lain: ……………………………………….. ……………………………………….. ………………………………………..
Biaya (Rp/Satuan)
95
Lampiran 3 Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan oleh Petani dan Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran I Biaya Pemasaran Petani Subtotal Pedagang Pengumpul − Biaya Pemanenan − BiayaPembersihan dan Penjemuran − Biaya Sortasi − Biaya Pengangkutan Subtotal Pedagang pengirim − Biaya Penyusutan − Biaya Tenaga Kerja Bongkar Muat − Biaya Pencatatan Subtotal Pedagang Besar − Biaya Sortasi − Biaya Pengangkutan Subtotal Pedagang Pengecer − Biaya Pemasaran Subtotal Total Biaya Pemasaran
Jumlah Rata-rata (Rp/Kg) 0 0 61,25 93,75 62,50 50,00 267,50 810,00 14,29 28,57 852,86 300,00 428,57 728,57 233,30 233,30 2.082,23
96
Lampiran 4 Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran II Biaya Pemasaran Petani Subtotal Pedagang Pengumpul − Biaya Pemanenan − BiayaPembersihan dan Penjemuran − Biaya Sortasi − Biaya Pengangkutan Subtotal Pedagang pengirim − Biaya Penyusutan − Biaya Bongkar Muat − Biaya Pencatatan Subtotal Pedagang Besar − Biaya Pengangkutan Subtotal Pedagang Pengecer − Biaya Pemasaran Subtotal Total Biaya Pemasaran
Jumlah Rata-rata (Rp/Kg) 0 61,25 56,25 260,00 50,00 427,50 70,00 14,29 28,57 112,86 100,00 100,00 150,00 150,00 790,36
97
Lampiran 5 Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran III Biaya Pemasaran Petani − Biaya Tenaga Kerja Panen − Biaya Pembersihan dan Penjemuran − Biaya Sortasi − Biaya Pengangkutan Subtotal Pedagang Besar − Biaya Standarisasi dan Grading Subtotal Pedagang Pengecer − Biaya Pengemasan − Biaya Pengangkutan Subtotal Total Biaya Pemasaran
Jumlah Rata-rata (Rp/Kg) 70,00 37,50 260,00 50,00 417,50 100,00 100,00 100,00 66,67 166,67 684,17
98
Lampiran 6 Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran IV Biaya Pemasaran Petani − Biaya Tenaga Kerja Panen − Biaya Pembersihan dan Penjemuran − Biaya Sortasi − Biaya Pengangkutan Subtotal Pedagang Pengecer − Biaya Standarisasi dan Grading − Biaya Pengemasan − Biaya Pengangkutan Subtotal Total Biaya Pemasaran
Jumlah Rata-rata (Rp/Kg) 58,33 62,50 260,00 83,33 464,16 66,67 100,00 66,67 233,34 697,50
99