1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah potensial penghasil komoditas bawang merah di DIY selain Kabupaten Brebes di Jawa Tengah dan Kabupaten Nganjuk Bantul terutama
di Jawa Timur. Budidaya bawang merah di Kabupaten dilakukan di tiga kecamatan yaitu: Kecamatan Sanden,
Kecamatan Srandakan, dan Kecamatan Kretek, yang kesemuanya memiliki kawasan lahan pasir pantai. Semula budidaya bawang merah dilakukan petani di lahan sawah, dan sejak akhir tahun 1990-an mulai dikembangkan di lahan pasir pantai yang berstatus sebagai Sultan Ground. Pemanfaatan lahan pasir pantai untuk budidaya pertanian memerlukan perlakuan khusus dibandingkan dengan budidaya di lahan sawah karena karakteristik lahan pasir pantai yang miskin unsur hara, bersifat sangat porus, dan evapotranspirasinya besar. Di samping itu kawasan pantai merupakan daerah yang berangin kencang, sehingga untuk budidaya pertanian diperlukan pemecah angin (wind breaker). Untuk mengatasi faktor-faktor pembatas tersebut dalam pengembangan bawang merah di lahan pasir pantai diperlukan teknologi budidayayang spesifik lokal. Sejalan dengan terjadinya perubahan iklim global, yang berpengaruh besar terhadap keadaan agroklimat di kawasan pantai, maka teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai juga selalu berkembang.Perkembangan teknologi ini di samping untuk mengatasi hambatan teknis akibat perubahan iklim global juga
2
sekaligus berperan dalam meningkatkan produktivitas, meminimalkan biaya produksi, mengantisipasi perubahan permintaan, mengurangi resiko kegagalan, dan tidak merusak lingkungan.Menurut Lionberger dan Gwin (1982), untuk pengembangan pertanian tidak dapat hanya mengandalkan pada teknologi pengetahuan lokal yang memiliki sifat wisdom, tetapi perlu disintesakan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi hasil penelitian.Hal ini disebabkan karena teknologi lokal meskipun memiliki sifat wisdom biasanya lamban dalam meningkatkan produktivitas; dan sebaliknya teknologi hasil penelitian biasanya lebih memfokuskan pada kehandalan dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi meskipun kurang memperhatikan unsur kearifan lokal. Selanjutnya dikatakan oleh Lionberger dan Gwin (1982) bahwa dalam rangkaian proses suplai teknologi baru dari lembaga penelitian sampai ke petani akan melibatkan unsur-unsur seperti inovasi, validasi, diseminasi, legitimasi, integrasi, reinforcement, dan governance. Suatu inovasi yang ditemukan oleh peneliti perlu divalidasi di lapangan supaya mendapatkan inovasi yang layak secara spesifik lokal.Selanjutnya inovasi yang valid tersebut didesiminasikan kepada petani untuk mendapat pengakuan atau legitimasi. Untuk menjamin bahwa inovasi yang diterima petani akan diadopsi diperlukan adanya integrasi atau keterpaduan penyediaan input dan pasar dalam manajemen petani. Selanjutnya untuk memantapkan proses adopsi inovasi diperlukan penguatan kelembagaan dan satu kesatuan sistem yang terarah. Pada tahap awal, inovasi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai ditemukan oleh petani setempat, yaitu dengan cara memodifikasi teknologi
3
budidaya bawang merah di lahan sawah yang lokasinya berdekatan dengan kawasan pesisir pantai. Berkembangnya budidaya bawang merah di lahan pasir pantai menjadi daya tarik bagi para peneliti, baik dari Perguruan Tinggi maupun dari lembaga penelitian, untuk melakukan penelitian guna menemukan inovasi teknologi budidaya bawang merah di kawasan tersebut. Tim Peneliti Fakultas Pertanian UGM (2004) mengintroduksi teknologi ‘manipulasi lahan’ untuk budidaya sayuran(cabai merah, terong, bawang merah, dan sawi) di lahan pasir pantai. Selanjutnya Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Yogyakarta juga memperkenalkan teknologi ameliorasi pada lahan pasir pantai untuk budidaya bawang merah (Setyono dan Suradal, 2009).Namun demikian, penelitianpenelitian tersebut lebih bersifat insidental dan berorientasi pada pendekatan proyek yang waktunya terbatas, sehingga inovasi yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut belum bisa langsung dimanfaatkan oleh petani.Petani setempat masih memerlukan bukti yang lebih konkrit untuk menerapkan inovasi teknologi budidaya hasil penelitian tersebut. Padahal penelitian tersebut biasanya hanya berlangsung 1 – 2 tahun kemudian berhenti sehingga masih menyisakan berbagai pertanyaan kritis bagi petani. Keadaan ini menjadi stimulan bagi petani untuk melanjutkan kajian guna menemukan inovasi teknologi budidaya bawang merah yang lebih layak diterapkan dan dikembangkan di wilayah pesisir pantai. Dengan berbekal pengalaman dan pengamatan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian mereka berusaha menemukan dan mengembangkan teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai secara mandiri melalui trial and error. Akumulasi hasil temuan petani setempat
4
tersebut merupakan inovasi teknologi budidaya bawang merah yang selama ini diterapkan dan dikembangkan oleh petani di lahan pasir pantai di Kabupaten Bantul. Selama berlangsungnya proses penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi dan lembaga-lembaga penelitian, berbagai fasilitas pendukungdisediakan untuk uji coba teknologi dan pengembangannya, baik oleh peneliti yang bersangkutan maupun oleh Pemerintah Daerah setempat melalui instansi terkait, sehingga modal, sarana produksi pertanian, peralatan, dan prasarana lainnya bisa terpenuhi. Namun demikian, setelah proyek penelitian selesai petani harus menyediakan sendiri segala fasilitas pendukung budidaya bawang merah di lahan pasir pantai kecuali fasilitas pendukung yang bersifat permanen seperti embung air dan reservoir yang berfungsi untuk mensuplai air kebutuhan petani dalam budidaya bawang merah dan tanaman hortikutura lainnya. Kawasan pertanian lahan pasir pantai merupakan kawasan baru yang tumbuh atas prakarsa masyarakat petani setempat dan bukan atas inisiatif Pemerintah, sehingga untuk bisatercatat secara administratif dalam wilayah program pembinaan pemerintah membutuhkan waktu yang lama.Berdasarkan informasi dari pengurus Kelompok Tani Manunggal,yang merupakan kelompok tani tertua dan terbesar di kawasan lahan pasir pantai Kabupaten Bantul, ternyata kelompok tani-kelompok tani di kawasan lahan pasir pantai yang tumbuh secara mandiri sejak awal tahun 1990-an baru dapat tercatat secara administrasi di desa setempat pada akhir tahun 2013. Oleh karena itu, selama masa tumbuhnya kawasan pertanian lahan pasir pantai, termasuk dalam pengembangan budidaya
5
bawang merah, dukungan pihak eksternal (pemerintah, swasta, dan LSM) terhadap pelayanan modal, sarana produksi, peralatan, dan fasilitas lainnya sangat terbatas dan lebih bersifat insidental. Keterbatasan dukungan pelayanan modal, sarana produksi, dan peralatan dari lembaga eksternal terhadap masyarakat tani ternyata tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap melanjutkan budidaya bawang merah di lahan pasir pantai karena komoditas tersebut secara fisik, teknis, dan sosial ekonomi layak untuk dikembangkan sebagai sumber penghasilan potensial bagi mereka.Untuk keberlanjutan budidaya bawang merah tersebut mereka secara swadaya berusaha memenuhi kebutuhan modal, sarana produksi, dan peralatan sesuai dengan kemampuannya tanpa bergantung pada peranan lembaga eksternal.Hal ini berarti berawal dari dukungan pihak eksternal yang serba terbatas dapat memicu tumbuhnya keswadayaan petani untuk mengembangkan inovasi teknologi budidaya bawang merah dilahan pasir pantai.
Kajian ini akan mengungkap
sampai sejauh mana keswadayaan petani tumbuh, dan apa pengaruhnya terhadap adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai Kabupaten Bantul. 1.2 Masalah Penelitian Implementasi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sekarang direvisi dengan UU No.32 Tahun 2004 membawa perubahan kelembagaan di tingkat daerah kabupaten/kota, termasuk kelembagaan di bidang pertanian. Sejak berlakunya otonomi daerahkelembagaan yang terkait dengan bidang pertanian di Kabupaten Bantul mengalami sedikit perubahan, yaitu penanganan
6
bidang pertanian dan bidang kehutanan yang semula terpisah kemudian disatukan menjadi Dinas Pertanian dan Kehutanan, dan koordinasi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang semula oleh Dinas Pertanian diserahkan kepada Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3).Kelembagaan tersebut berperan dalam pembinaan dan penyuluhan kepada petani di wilayah Kabupaten Bantul, yang biasanya dilakukan melalui kelembagaan di tingkat petani, yaitu kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan). Di samping kelembagaan yang berperan dalam pembinaan dan penyuluhan di Kabupaten Bantuljuga terdapat kelembagaan yang mensuplai inovasi pertanian (Perguruan Tinggi dan Balai Pengakajian Teknologi
Pertanian Yogyakarta),
kelembagaan penyedia modal (perbankan), dan kelembagaan penyedia sarana produksi pertanian (KUD dan pedagang saprodi).Namun demikian, hasil observasi menunjukkan bahwa kinerja lembaga-lembaga tersebut belum banyak dirasakan
oleh
petani
sehingga
kebanyakan
petani
belum
sepenuhnya
memanfaatkan pelayanan lembaga-lembaga tersebut dalam menerapkan teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai. Budidaya bawang merah di lahan pasir pantai membutuhkan inovasi yang spesifik lokal, yang secara ekonomi dapat terjangkau oleh modal petani. Selama ini
Perguruan
Tinggi
dan
BPTP
Yogyakarta
sudah
berperan
dalam
mengintroduksi teknologi, tetapi secara teknis dan secara ekonomi teknologi tersebut masih sulit dijangkau oleh kemampuan petani sehingga respons petani rendah. Hal ini ditunjukkan dengan keengganan petani untuk melanjutkan menerapkan teknologi ‘manipulasi lahan’ yang diintroduksi oleh Tim Fakultas
7
Pertanian UGM (2004), yang salah satu unsur teknologinya adalah penggunaan mulsa plastik. Teknologi ini bisa digunakan untuk budidayacabai merah, terong, bawang merah, dan sawi dengan hasil baik, tetapi ternyata penggunaan mulsa plastik bagi petani secara teknis sulit dilakukan dan membutuhkan biaya tinggi.Demikian pula teknologi ameliorasi yang diperkenalkan oleh
BPTP
Yogyakarta kurang mendapat respons dari petani, yang dapat ditunjukkan oleh hasil kajian Setyono dan Suradal (2009), yaitu bahwa pengetahuan petani tentang teknologi ameliorasi di lahan pasir untuk usaha tani bawang merah masih sangat kurang sehingga motivasinya juga sangat rendah. Budidaya bawang merah di lahan pasir pantai sebagai kawasan pertanian baru sangat membutuhkan dukungan kelembagaan pembina (Dinas Pertanian dan Kehutanan) dan kelembagaan penyuluhan (BPP dan BKP3),terutama dalam memfasilitasi tersedianya inovasi, permodalan, sarana produksi, peralatan, dan prasarana lainnya; dan selama ini dukungan tersebut belum terprogram secara berkelanjutan karena kawasan pertanian lahan pasir baru saja (akhir tahun 2013) terdokumentasi secara administratif di wilayah pemerintahan. Demikian pula dukungan lembaga
penyuluhan,
yang semestinya
lebih intensif dalam
memberikan penyuluhan kepada petani di kawasan pertanian baru, ternyata kehadiran penyuluh sangat jarang pada pertemuan kelompok tani. Untuk mengimplementasikan teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai petani membutuhkan modal dan sarana produksi. Lembaga yang berperan dalam penyediaan modal adalah lembaga perbankan, dan lembaga yang berperan dalam penyediaan sarana produksi pertanian adalah kios atau pedagang
8
sarana produksi pertanian.Kehadiran lembaga perbankan dalam menyediakan pinjaman modal kurang direspons oleh petani karena tuntutan persyaratan perbankan yang dirasakan berat dan adanya kekuatiran tidak bisa mengembalikan pinjaman akibat gagal panen. Demikian pula peranan pedagang saprodi juga kurang direspons oleh petani karena di samping modal petani yang terbatas juga karena kualitas sarana produksi yang ditawarkan sering tidak sesuai dengan saat promosi. Budidaya bawang merah di lahan pasir pantai Kabupaten Bantul berlangsung secara berkelanjutan sejak akhir tahun 1990-an sampai sekarang meskipun dukungan kelembagaan penelitian, kelembagaan pembina dan penyuluhan, kelembagaan penyedia modal dan kelembagaan penyedia sarana produksi sangat terbatas. Hal ini berarti menunjukkan bahwa masyarakat tani di lahan pasir pantai memiliki kekuatan internal untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya akibat terbatasnya dukungan pihak ekternal.Kekuatan internal masyarakat tani ini merupakan wujud adanya keswadayaan petani dalam budidaya bawang merah di lahan pasir pantai, yang tumbuh secara alami dari masyarakat setempat guna mempertahankan eksistensinya sebagai petani bawang merah. Keswadayaan petani
merupakan kekuatan internal
yang mampu
memandirikan petani dalam menngakses input (modal, sarana produksi, dan peralatan) untuk budidaya bawang merah di lahan pasir pantai, sehingga tidak bergantung pada peranan kelembagaan eksternal (lembaga penelitian, lembaga pembina, lembaga penyuluhan, perbankan, pedagang saprodi dan alat). Dengan perkataan lain keswadayaan petani dapat menjadi substitusi bagi peranan
9
kelembagaan eksternal dalam penyediaan input budidaya bawang merah di lahan pasir pantai.Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa petani belum sepenuhnya mampu untuk mendapatkan input bagi usaha taninya, sehingga modal, sarana produksi, dan peralatan yang digunakan dalam budidaya bawang merah masih terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa keswadayaan petani masih belum optimal.Belum optimalnya keswadayaan petani dapat menyebabkan terganggunya proses adopsi teknologi budidaya bawang merah dilahan pasir pantai karena input yang dibutuhkan belum sepenuhnya bisa dipenuhi.. Bertitik tolak dari uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana petani bawang merah mengkonstruksi keswadayaannya dalam adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai ? 2. Bagaimana tingkat keswadayaan petani dalam adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai ? 3. Bagaimana efektivitas dukungan kelembagaan pelayanan input pertanian dalam proses adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai ? 4. Bagaimana pengaruh keswadayaan petani, peranan penyuluh pertanian, peranan ketua kelompok tani, peranan kelompok tani, aktivitas petani dalam penyuluhan, aksesibilitas petani pada sumber daya, sikap petani, dan motivasi petani terhadap adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai?
10
1.3Tujuan Penelitian 1. Untuk
mendeskripsikancara
petani
bawang
merah
mengkonstruksi
keswadayaannya dalam adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai. 2. Untuk mengidentifikasi tingkat keswadayaan petani dalam adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai. 3. Untuk mengidentifikasitingkat efektivitas dukungan kelembagaan pelayanan input pertanian dalam proses adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai. 4. Untuk menganalisis pengaruh keswadayaan petani, peranan penyuluh pertanian, peranan ketua kelompok tani, peranan kelompok tani, aktivitas petani dalam penyuluhan, aksesibilitas petani pada sumber daya, sikap petani, dan motivasi petani terhadap adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam : a. Merintis peranan
kelembagaansebagai faktor eksternal yang mampu
memperkuat tingkat keswadayaan petani dalam adopsiteknologi
budidaya
bawang merah di lahan pasir pantai Kabupaten Bantul. b. Menemukan landasan teoritik yang mantap untuk memperkuat tingkat keswadayaan petani dalam adopsi teknologi budidaya bawang merah di lahan pasir pantai Kabupaten Bantul.
11
1.5 Keaslian Penelitian Penelitian tentang adopsi inovasi atau teknologi pertanian telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya.Penelitian tersebut pada umumnya mengkaji tentang adopsi petani terhadap inovasi atau teknologi pertanian yang diprogramkan oleh pemerintah; inovasi petanian tersebut merupakan hasil riset lembaga penelitian yang sudah direkomendasi oleh pemerintah.Berbagai penelitian terdahulu tentang adopsi teknologi pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Daftar Penelitian Terdahulu yang Bertemakan Adopsi Inovasi dan Variabel Independen yang Diteliti No
Peneliti
Judul Penelitian dan Tahun
Variabel-Variabel Independen yang Diteliti
1
Endrit Pou, Achmad Gusasi, dan Arman Wahab
Tingkat Adopsi Inovasi Petani terhadap TeknologiBudidaya Jagung Manis (zea mays saccharata sturt) di Kelurahan Borongloe, KecamatanBontomarannu, Kabupaten Gowa (Jurnal tahun 2006)
Pendidikan, peranan penyuluh, modal, sarana dan prasarana, serta kelembagaan
2
Mulyadi, Basita Ginting Sugihen, Pang S. Asngari, dan Djoko Susanto
Proses Adopsi Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak di Kabupaten Manokwari – Papua Barat. (Jurnal tahun 2007)
Kebutuhan belajar, orientasi nilai budaya, sikap terhadap penyuluhan, karakteristik petani, saluran komunikasi, dan atribut komunikasi.
3. ……………….
12
Tabel 1.1 Lanjutan No
Peneliti
Judul Penelitian dan Tahun
Variabel-Variabel Independen yang Diteliti
3
E. A. Onemolease and S. O. Alakpa
Determinants of Adoption Decisions of Rural Youths in the Niger Delta Region of Nigeria (Journal in 2009).
Umur, gender, status perkawinan, jumlah anggota keluarga, status pekerjaan, pendidikan, luas usaha tani, pendapatan, dan aktivitas dalam penyuluhan
4
Bedy Sudjarmoko
Analisis Adopsi Teknologi Jambu Mete Di Nusa Tenggara Timur(Jurnal tahun 2010)
Pendidikan, umur, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman, luas lahan, umur tanaman, produksi, harga, pendapatan usaha tani, pendapatan luar usaha tani, dan pekerjaan sampingan.
5
Hermaya Rukka dan Nurhayati
Tingkat Adopsi Petani terhadap Aplikasi Pestisida dan Pupuk Organik Cair pada Tanaman Mentimun (Jurnal tahun 2010)
Umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, modal, tersedianya sarana produksi, dan intensitas penyuluhan.
6
Kurnia Suci Indraningsih
Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu (Jurnal tahun 2011)
Persepsi petani terhadap ciriciri inovasi dan persepsi petani terhadap media komunikasi.
7
Bilman W. Simanhuluk, Agus Purwoko, dan Feli Apri
Adopsi Petani terhadap Umur, pendidikan, luas laSistem Rice Intensification han, dan pendapatan. (SRI) di Desa Bukit Peninjauan I Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma (Jurnal tahun 2011)
8
Ayoade A.R &Akintonde J.O
Constraints to Adoption of Agricultural Innovations among Women Farmers in Isokan Local Government Area, Osun State (Journal in 2012).
9
……………
Harga pasar, kecukupan finansial, biaya inovasi, suplai inovasi, ketrampilan berproduksi, ketersediaan input, luas lahan, dan serangan penyakit
13
Tabel 1.1 Lanjutan No
Peneliti
9
Chikezie N.P.,Omokore D.F., Akpoko J.G. and Chikaire J.
10
Hajrah Lalla, M. Saleh S. Ali, dan Saadah
11
Yanter Hutapea, Suparwoto, dan Jauhari Efendy
12
Rini Endang P., IM. Narka Tenaya, dan NW. Sri Astiti
Judul Penelitian dan Tahun
Variabel-Variabel Independen yang Diteliti
Factors Influencing Rural Umur, jenis kelamin, penYouth Adoption ofCassava didikan, jumlah anggota keRecommended Production luarga, status perkawinan, Practices inOnu-Imo Local luas usahatani, pengalaman Govern-ment Area of Imo bertani, status kepemimState, Nigeria (Journal in pinan, keikutsertaan dalam 2012) penyuluhan, jumlah kredit,dan keanggotaan dalam koperasi Adopsi Petani Padi Sawah terhadap Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1 di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar (Jurnal tahun 2012)
Umur, pendidikan, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan, motivasi, frekuensi mengunjungi sumber informasi, pandangan terhadap sifat inovasi
Kecepatan Adopsi Varietas Unggul dan Kelayakan
Umur, pengalaman, pendidikan, luas tanam, kompatibilitas, trialabilitas, obUsahatani Kedelai di Sumaservabilitas, kompleksitas, tera Selatan (Jurnal tahun kosmopolitas, media ko2013) munikasi, intensitas penyuluhan, keuntungan relatif, dan jumlah anggota keluarga yang terlibat Peran Wanita Tani dalam Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada Usahatani Jagung di Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur (Jurnal tahun 2014)
Umur, tingkat pendidikan, motivasi, dan jumlah Tanggungan keluarga, kemudahan penerapan teknologi, kemudahan akses informasi, dan infrastruktur dalam proses produksi.
Tabel 1.1 menunjukkan adanya beragam penelitian yang mengkaji adopsi inovasi untuk berbagai komoditi pertanian, yaituseperti teknologi budidaya jagung manis (Pou et al., 2006), teknologi usahatani ubi jalar dan sayuran (Mulyadi et al.,
14
2007), teknologi dalam budidaya tanaman, ternak, dan perikanan(Onemolease dan Alakpa, 2009), teknologi budidaya jambu mete (Sudjarmoko, 2010), aplikasi pestisida dan pupuk organik cair pada tanaman mentimun (Rukha dan Nurhayati, 2010), teknologi usahatani terpadu pada ternak dan tanaman (Indraningsih, 2011), Sistem Rice Intensification (SRI) pada tanaman padi (Simanhuluk et al., 2011), teknologi budidaya padi, jagung, dan sayuran (Ayoade dan Akintonde, 2012); teknologi budidaya tanaman singkong (Chikezie N.P. et al., 2012), sistem tanam
jajar legowo pada tanaman padi (Lalla et al., 2012), teknologi usahatani kedelai (Hutapea et al., 2013), dan teknologi pengelolaan tanaman terpadu pada usahatani jagung (Endang P. et al., 2014). Semua penelitian terdahulu tersebut memfokuskan kajiannya pada adopsi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, sedangkan dalam penelitian ini teknologi yang diadopsi petani merupakan perpaduan antara hasil temuan petani setempat melalui proses trial and error dan hasil kajian lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang kemudian terakumulasi menjadi teknologi lokal yang legitimated dan recommended bagi masyarakat petani setempat. Di samping itu, pada penelitian terdahulu belum ada yang mengkaji pengaruh keswadayaan petani terhadap adopsi inovasi, sedangkan dalam penelitian ini dimasukkan variabel tingkat keswadayaan petani sebagai salah satu faktor yang diduga dapat mempengaruhi adopsi inovasi pertanian.