Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009
Perspektif Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah oleh
Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
PERSPEKTIF PEMASARAN BAWANG MERAH DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH Henny Mayrowani dan Valeriana Darwis Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161
ABSTRACT Trade liberalisation creating the opportunity and challenge in the development of horticultural product. Trade will give an insentive for the farmers to increase their production in term of quantity and quality, and market is important to distribute the product. Shallot is one of the important horticultural product in Indonesia. Kabupaten Brebes is one of the famous production center of shallot, and the farmers still have a difficulty to sell their product. This mean that the bargaining power of the farmers still weak, long marketing channel, price fluctuated and unpredictable, farmers are not yet get enough benefit from market margin. Availability of imported shallot in the local market, causing more serious problems in the marketing of farmers product. It is difficult for the farmers to get a high price for their product. Shortening the marketing channel is one of the effort to make the efficiency of market. In the ten years periode, there is a change of the farmers behaviour in selling the product. Ten years ago one hundred percent of farmers selling the product to village collector. With the development of infrastructure, now, only 75% of farmers who are selling the product to village collector, the rest directly sell to wholesaler in the town. It is suggested that government more develop infrastructure in the village and regulate the time of import and import tax of shallot to increase farmers income through high selling price of their product. Key words : perspecktife, shallot ABSTRAK Liberalisasi perdagangan dapat memberikan peluang sekaligus tantangan baru dalam pengembangan komoditas hortikultura ke depan dan dalam perdagangan itu sendiri faktor utama adalah pemasaran. Bawang merah merupakan salah satu komoditas utama hortikultura dengan salah satu sentra produksi di Jawa adalah Kabupaten Brebes. Di lokasi ini petani masih sulit memasarkan hasilnya sendiri dan sudah menjadi kebiasaan menjualnya ke pedagang pengumpul atau agen pedagang besar. Artinya petani tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Rantai pasar bawang merah relatif panjang, kondisi ini mengakibatkan petani tidak dapat menikmati apabila ada kenaikan harga dan marjin pasar cenderung lebih mengelompok pada pedagang besar dan supplier. Dalam masa sepuluh tahun sudah terjadi perubahan kebiasaan yang menjual seratus persen ke pedagang pengumpul ke pedagang pengumpul desa (75%), dan sisanya ke pedagang kabupaten dan pedagang besar. Agar petani lebih bisa menaikan harga bawang, maka disarankan pemerintah lebih mengatur bea impor dan waktu impor Kata kunci : perspektif, tataniaga dan bawang merah
1
PENDAHULUAN Liberalisasi perdagangan dapat memberikan peluang sekaligus tantangan baru dalam pengembangan komoditas hortikultura ke depan. Dikatakan memberikan peluang karena pasar komoditas tersebut akan semakin luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar negara. Namun, liberalisasi perdagangan tersebut akan menimbulkan masalah jika komoditas hortikultura yang dihasilkan petani nasional tidak mampu bersaing dengan komoditas dari negara lain sehingga pasar domestik semakin dibanjiri oleh komoditas hortikultura impor, yang pada akhirnya akan merugikan petani nasional. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi nasional juga perlu diiringi dengan peningkatan daya saing dan efisiensi usaha komoditas hortikultura tersebut (Irawan, B., dkk, 2001). Hal yang senada juga dikemukakan oleh Adyana dan Suryana (1996), untuk mengantisipasi permintaan pasar ke depan kita harus bisa mencipatkan (1) teknologi yang mampu meningkatkan produksi pertanian, baik kualitas maupun kuantitasnya, (2) menciptakan nilai tambah serta meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan struktur agribisnis menjadi tersekatsekat dan kurang memiliki daya saing (Irawan. et,al, 2001) yaitu : (1) tidak ada keterkaitan fungsional yang harmonis antara setiap kegiatan atau pelaku agribisnis, (2) terbentuknya margin ganda sehingga ongkos produksi, pengolahan dan pemasaran hasil yang harus dibayar konsumen menjadi lebih mahal, sehingga sistem agribisnis berjalan tidak efisien, (3) tidak adanya kesetaraan posisi tawar antara petani dengan pelaku agribisnis lainnya, sehingga petani sulit mendapatkan harga pasar yang wajar. Pada sektor agribisnis hortikultura di kawasan sentra produksi hortikultura, setiap kegiatan agribisnis mulai dari kegiatan pengadaan sarana produksi, kegiatan produksi, hingga kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil, serta kegiatan jasa penunjang umumnya dilakukan oleh pelaku agribisnis yang berbeda, seperti hasil kajian di Jawa Tengah dan Sumatera Utara (Saptana, et.al.2001) dan kajian di Kawasan Hortikultura Sumatera (Saptana, et.al.2004) Dalam agribisnis hortikultura ada beberapa kekhasan yang dimiliki antara lain (1) usahatani yang dilakukan lebih berorientasi pasar (tidak konsisten), (2) bersifat padat modal, (3) resiko harga relatif besar karena sifat komoditas yang cepat rusak dan (4) dalam jangka pendek harga relatif berfluktuasi (Hadi, et,al. 2000 ; Irawan,. 2001). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Sudaryanto, et.al 1993 yang mengemukakan bahwa petani sayuran unggulan di sentra produksi pada saat panen raya berada pada posisi lemah. Lebih lanjut Rachman (1997) mengungkapkan rata-rata perubahan harga ditingkat produsen lebih rendah dari rata-rata perubahan harga ditingkat pengecer, sehingga dapat dikatakan bahwa efek transmisi harga berjalan tidak sempurna (Imperfect price transmission) 2
Bawang merah merupakan salan satu komoditas andalan dalam produk hortikultura dan tujuan dari tulisan ini adalah ingin melihat mata rantai perdagangan sekaligus saran dalam memperkuat kelembagaan pasar bawang merah di Kabupaten Brebes yang merupakan salah satu sentra penghasil bawang merah di Provinsi Jawa Tengah. METODOLOGI Penelitian dilakukan pada tahun 2007 diwilayah yang menjadi pusat produksi bawang merah di Indonesia, yaitu : Kabupaten Brebes. Selanjutnya di Kabupaten tersebut dipilih tiga kecamatan yang merupakan sentra penghasil bawang merah kabupaten. Penelitian ini mengumpulkan data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan mempergunakan pertanyaan terstruktur (kuesioner) terhadap pedagang sebagai pelaku tataniaga. Cakupan data yang dikumpulkan terdiri dari saluran pemasaran, struktur pasar, transaksi perdagangan, penanganan produksi, transportasi, harga, biaya, tataniaga dan permasalahannya. Penarikan contoh pedagang dilakukan dengan quota sampling, jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjawab permasalahan yang dipelajari dengan tetap berpegang pada prinsip representatif. Pengambilan contoh pedagang adalah : 6 pedagang pengumpul, 4 pedagang besar, 3 eks-importir. Selain itu data primer diperoleh juga dari wawancara langsung dengan pelabuhan (karantina), Asosiasi Bawang Merah Indonesia, DLLAJR (jembatan timbang) dan beberapa dinas tekait. Metoda Analisis Marjin Pemasaran dan Distribusi Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Untuk menganalisis marjin pemasaran dalam penelitian ini, data harga yang digunakan adalah harga di tingkat petani dan harga di tingkat lembaga pemasaran, sehingga dalam perhitungan marjin pemasaran digunakan rumus: Mm = Pe – Pf dimana: Mm = marjin pemasaran di tingkat petani Pe = harga di tingkat kelembagaan pemasaran tujuan pemasaran dari petani Pf = harga di tingkat petani Marjin pada setiap tingkat lembaga pemasaran dapat dihitung dengan jalan menghitung selisih antara harga jual dengan harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Dalam bentuk matematika sederhana dirumuskan: 3
Mmi = Ps – Pb dimana: Mmi = marjin pemasaran pada setiap tingkat lembaga pemasaran Ps = harga jual pada setiap tingkat lembaga pemasaran Pb = harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran Karena dalam marjin pemasaran terdapat dua komponen, yaitu komponen biaya dan komponen keuntungan lembaga pemasaran, maka: Mm = c + Pe – Pf = c + Pf = Pe – c dimana: c = biaya pemasaran π = keuntungan lembaga pemasaran Analisis Deskriptif Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan tabel-tabel analisis dan diarahkan pada masalah pemasaran bawang merah HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Pustaka Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau sebagai aturan main. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal. Selain itu kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan main yang mengatur mengenai tata hubungan antar orang-orang, dimana ditentukan oleh hak-hak mereka, perlindungan atas hak-haknya, hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya (Schmid, 1987). Hal senada juga dikemukakan oleh Mubyarto (1989), lembaga adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Pakpahan (1989) kelembagaan dicirikan oleh tiga hal, yaitu: hakhak kepemilikan, baik berupa hal atas benda materi maupun bukan materi, batas-batas juridiksi dan aturan representasi (Pakpahan, 1989). Pemasaran adalah suatu rangkaian kegiatan yang terjadi dalam proses mengalirkan barang dan jasa dari sentra produksi ke sentra konsumsi guna memenuhi kebutuhan dan memberikan kepuasan bagi konsumen serta memberikan keuntungan bagi produsen. Konsep ini menunjukkan bahwa peranan pemasaran sangat penting dalam rangka meningkatkan nilai guna bentuk, nilai guna waktu, nilai guna tempat dan nilai guna hak milik dari suatu barang dan jasa secara umum dan juga pada komoditas pertanian (Limbong dan Sitorus, 1992). 4
Berbagai bentuk kelembagaan pemasaran komoditas pertanian telah berkembang secara luas dan lebih modern. Kelembagaan pemasaran yang berperan dalam memasarkan komoditas pertanian hortikultura dapat mencakup petani, pedagang pengumpul, pedagang perantara/grosir dan pedagang pengecer (Kuma’at, 1992). Kelembagaan pemasaran lainnya yang berperan dalam pemasaran komoditas hortikultura adalah berupa pasar tradisional, pasar modern dan pasar industri (PSP IPB dan Bapebti, 1995).Menurut Kaman Nainggolan kelembagaan pemasaran hasil-hasil pertanian sampai saat ini belum optimal berperan sebagai penyangga kestabilan distribusi dan harga. (Kompas, 2008). Pelaku-pelaku yang terlibat dalam kelembagaan pemasaran komoditas pertanian akan melibatkan petani sebagai penjual hasil pertaniannya dan pedagang dengan berbagai tingkatannya. Sementara, aturan main dibangun oleh para pelaku yang bertransaksi, serta peran dari para pelaku pemasaran dalam membangun aturan main tersebut. Kemungkinan yang terjadi adalah adanya pelaku pemasaran yang dominan perannya dalam menentukan aturan main (asimetris), namun tidak tertutup kemungkinan bahwa aturan main akan dibangun berdasarkan kesepakatan karena posisi dan peran masing-masing pelaku pemasaran relatif sama (simetris). Posisi dan peran itu sendiri dapat ditentukan oleh aktivitas pelaku, asset dan akses yang dimiliki pelaku pemasaran (Creswell, J.W, 1994); Peranan pemasaran dalam bidang pertanian khususnya hortikultura (sayuran dan buah) terasa semakin penting karena adanya sifat unik dari komoditas tersebut seperti mudah busuk, mudah rusak, produksinya bersifat musiman sementara konsumsi terjadi sepanjang tahun. Sifat-sifat unik ini menuntut adanya suatu perlakuan khusus berupa pengangkutan yang hati-hati, pengepakan yang baku dan baik, penyimpanan dengan suhu tertentu, pengeringan dan berbagai metode pengawetan lain sehingga komoditas dimaksud dapat digunakan sepanjang waktu. Abott dan Makeham (1990) menyatakan bahwa pemasaran komoditas pertanian dimulai pada saat petani merencanakan produksinya untuk memenuhi permintaan pasar. Setelah panen, komoditas tidak selamanya langsung dapat dinikmati oleh konsumen karena: (a) Tempatnya yang jauh dari pusat konsumsi sehingga diperlukan transportasi untuk membawanya atau memindahkannya ke tempat yang memerlukannya, (b) Komoditas pertanian bersifat musiman sementara konsumsi berlangsung sepanjang waktu atau sepanjang tahun, sehingga proses penyimpanan diperlukan untuk menyesuaikan permintaan dan penawaran, (c) Komoditas pertanian jarang dalam kondisi yang langsung dapat dikonsumsi, sehingga diperlukan proses sortasi, pencucian dan pemrosesan dengan berbagai cara dan harus diberikan kepada konsumen dalam jumlah yang cukup, dan (d) Petani mengharapkan pembayaran secara langsung saat produknya berpindah kepemilikannya, sehingga pengaturan keuangan diperlukan untuk menangani seluruh tahap pemasaran sampai pengecer menjual produk tersebut kepada konsumen. Sistem pemasaran komoditas pertanian termasuk hortikultura masih menjadi merupakan bagian yang lemah dari aliran komoditas. Masih lemahnya pemasaran 5
komoditas pertanian dimaksudkan bahwa kegiatan pemasaran tersebut masih belum berjalan efisien. Suatu sistem pemasaran komoditas pertanian yang efisien itu harus memenuhi dua syarat yaitu: (1) Mampu menyampaikan hasil pertanian dari produsen kepada konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya; dan (2) mampu mengadakan pembagian balas jasa yang adil dari keseluruhan harga konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegitan produksi dan pemasaran komoditas pertanian tersebut. Pembagian yang adil dalam konteks tersebut adalah pembagian balas jasa fungsifungsi pemasaran sesuai kontribusi masing-masing kelembagaan pemasaran yang berperan. (Mubyarto,1989) Hasil penelitian Gonarsyah. I (1992), menemukan bahwa yang menerima marjin keuntungan terbesar dalam pemasaran hortikultura dari pusat produksi ke pusat konsumsi DKI Jakarta adalah pedagang grosir. Juga ditemukan bahwa, marjin keuntungan pemasaran yang diterima pedagang yang memasukkan sayurannya ke PIKJ (Pasar Induk Kramat Jati) lebih rendah dari pedagang yang memasarkan langsung sayurannya ke pasarpasar eceran. Sementara hasil penelitian Basri (1988) mengemukakan bahwa antara pasar pusat produksi sayuran dengan pasar-pasar pusat konsumsi sayuran mempunyai hubungan satu dengan lainnya, terintegrasi dengan baik. Secara ekonomi, terjadi transmisi harga antara pasar yang satu dengan yang lainnya, yaitu : apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga-harga di satu pasar maka akan diikuti dengan naik atau turunnya harga di pasar yang lain. Seringkali pasar relatif kurang terintegrasi yang dapat disebabkan oleh: (1) jarak antara dua pasar yang relartif jauh sehingga ongkos angkut relatif tinggi, (2) komoditas sayuran yang dijual tidak dipisahkan menurut kualitas, dan (3) struktur pasar yang menyimpang dari persaingan sempurna, yakni terdapatnya praktek-praktek oligopsoni. Semakin berkembangnya kelembagaan pemasaran komoditas hortikultura terutama pasar modern belumlah sepenuhnya menjamin perbaikan pendapatan produsen (petani), meskipun komoditas hortikultura dari petani tersebut dipasarkan di supermarket dengan harga tinggi. Para petani produsen tampaknya tetap saja menghadapi fluktuasi harga terutama saat panen, dan para pedagang perantaralah yang lebih akses dapat memperoleh peningkatan harga akibat perkembangan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Maliati (2002) bahwa berbagai kelembagaan pasar modern telah banyak berdiri yang diharapkan dapat membantu petani memasarkan hasil usahanya dengan memperoleh harga yang relatif lebih baik dibandingkan dengan harga yang diberikan oleh lembaga pemasaran lain, namun dalam prakteknya belumlah dapat memperbaiki pendapatan petani (produsen). Rantai Pasar Di Kabupaten Brebes Terdapat beberapa jenis saluran pemasaran bawang merah di kabupaten Brebes. Pola yang paling umum, pemasaran diawali dari petani/produsen yang menjual komoditas tersebut ke pedagang pengumpul tingkat desa/bakul kemudian pedagang pengumpul 6
tingkat desa menjualnya lagi ke padagang pengumpul tingkat kecamatan/kabupaten dan kemudian didistribusikan ke pedagang besar/bandar. Pedagang besar/bandar akan mendistribusikannya ke padagang luar daerah produksi, ke pasar induk, ke pedagang antar pulau maupun eksportir. Selain pola umum tersebut diatas terdapat berbagai pola, dimana petani bisa langsung menjual ke pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten yang kemudian menjualnya ke pedagang besar atau ke pedagang pengecer setempat (Brebes) untuk dijual langsung ke konsumen akhir di Brebes. Tanpa melalui saluran pedagang besar, pedagang pengumpul kecamatan dapat langsung menjual ke pedagang antar pulau. Hal ini terjadi pada pedagang di Pasar Induk Bawang Klampok, yang saat ini banyak membuka lapaklapak sendiri apalagi pada saat panen. Atau pedagang antar pulau tersebut masuk ke sentra produksi untuk mencari bawang merah. Dalam jumlah kecil terdapat pola kemitraan antara petani dengan PT Indofood. Pada awalnya kemitraan dilakukan dengan kelompok tani dengan fasilitator Dinas Pertanian Kabupaten Brebes, tetapi kemitraan ini tidak bisa berjalan dengan baik. Dengan meningkatnya kebutuhan PT Indofood akan bahan baku, PT Indofood menjalin kerjasama dengan petani dengan skala produksi menengah atas yang mampu menjamin kontinuitas supply baik secara jumlah maupun kualitas. Saluran pemasaran tersebut dapat terlihat pada gambar . 1 Pelaku pemasaran dan pasar Studi klasik umumnya melihat aktifitas pemasaran lokal terpusat di sekitar pasar. Pasar adalah tempat pemasaran berbagai komoditi yang terkonsentrasi pada satu tempat yang dibuat oleh pemerintah lokal/daerah. Pada setiap orang yang menjual komoditas dikenakan retribusi sebagai kompensasi dari penggunaan fasilitas pasar. Tetapi pada saat ini tidak tertutup kemungkinan bahwa pasar terdapat dimana-mana seperti : dipinggir jalan, disekitar ladang/kebun Kondisi yang sama juga terlihat dalam komoditas bawang merah, untuk membantu petani pemerintah membuat Pasar Induk Bawang Merah Klampok (PIBMK). Tujuan semula pemerintah daerah membangun Pasar Induk Bawang Merah Klampok untuk memfasilitasi petani dalam menjual barangnya sehingga tidak perlu melalui tengkulak dan rantai menjadi lebih pendek atau dengan kata lain bagian harga yang diterima petani akan sedikit meningkat. Di pasar ini bawang dikumpulkan kemudian dibersihkan sebelum dipasarkan keluar daerah.
7
petani
Industri pengolahan
Pdg pengumpul desa/calo
Pdg pengumpul kec./kab
Exporterimportir
Pedagang besar
Pedagang antar pulau
Pedagang pengecer Brebes
Pedagang pasar induk
Konsumnen akhir Brebes
Gambar 1. Rantai Pemasaran Bawang merah di Brebes, 2007 Dalam pelaksanaannya ternyata PIMBK ini kurang berkembang, ada beberapa kendala yang timbul, yaitu : a. bangunan fisik tidak memadai untuk menampung volume keluar masuknya barang terutama pada musim panen raya b. target PAD terlalu tinggi setiap tahun yang memungut pungtan yang tinggi terhadap pelaku pasar yang menjual barangnya di pasar ini. Dari 60 pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten yang menjual barangnya disini sekarang hanya tinggal 4 pedagang kabupaten yang memasarkan bawangnya disini, yang banyak hanya pedagang eceran dan pengumpul desa saja. c. Tingginya target PAD tidak sesuai dengan kemampuan PIBMK menyerap bawang petani. Kemampuan menyerap hanya 34 % tahun 1998 dan pada tahun 2000 hanya 4% 8
d.
Mekanisme anggaran pemerintah daerah menyebabkan pasar kurang terawat baik dan terlihat kotor, sehingga pasar kurang menarik. Banyak pedagang luar daerah yang akhirnya mencari bawang merah dilapak-lapak yang tersebar di berbagai daerah di Brebes.
Selain kendala diatas, bagi petani ada beberapa hal yang menyebabkan mereka tidak tertarik menjual dipasar induk tersebut. Adapun kegiatan yang memberatkan petani selain retribusi adalah : ongkos angkut ke pasar dan kecurangan dalam penimbangan dalam bentuk pemotongan 25 – 30 persen per kwintal. Dengan kondisi tersebut secara lambat laun timbullah pasar bayangan atau biasa disebut pasar lelang/transaksi. Pada pasar ini yang menjadi tokoh penting adalah calo dan umumnya para calo akan mendapatkan jasa 2,5% dari setiap transaksi. Keberadaan calo dalam perdagangan bawang merah memberikan jaminan keamanan bagi petani dalam memasarkan bawangnya terutama dalam memperoleh bayaran dalam waktu yang tepat. Munculnya calo terkait dengan sifat komoditas bawang merah yang susut dan cepat busuk dan harga berfluktuasi. Di pasar ini calo hanya membawa contoh barang yang akan dijual. Pembeli umumnya pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten. Setelah transaksi disepakati, barang tinggal diambil digudang atau dikebun. Petani lebih menyukai pasar ini karena bebas dari retribusi dan tidak ada pengurangan timbangan. Selain pasar tersebut, ada juga pasar yang bergerak yang datang ke rumah petani dimana aktor utama dari pasar ini adalah pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul bisa membeli ke rumah petani (tunai) atau membeli di ladang petani (tebasan). Cara seperti ini dianggap petani sangat menguntungkan, karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transpor. Sebenarnya pedagang pengumpul ini merupakan agen-agen dari pedagang besar. Agen-agen pemasaran ini bertingkat dari tingkat yang paling rendah yang ditandai dengan skala usaha yang kecil ( 250 ton/musim) hingga yang besar dengan skala usaha yang besar ( > 7000 ton/musim). Selain pasar tersebut, ada juga pasar dadakan dalam bentuk lapak-lapak bawang merah yang biasanya muncul pada saat panen raya. Sehingga tidaklah heran para pembeli, pedagang antar pulau bisa langsung masuk ke lokasi produksi. Infrastruktur dan pasar Dengan kondisi infrastruktur yang baik, makin banyak pedagang yang masuk ke daerah produksi. Hal ini menyebabkan kompetisi antar pedagang semakin banyak, diperkirakan terdapat lebih dari 200 pedagang pengumpul desa/calo yang beroperasi di daerah produksi Kabupaten Brebes (Tabel 1). Keadaan ini menunjukkan terjadinya persaingan yang ketat antar pedagang, dan petani dapat memilih kepada pedagang mana mereka menjual dengan pertimbangan harga. Disamping harga, untuk mengatasi 9
persaingan antar pedagang, hubungan langganan harus dipertahankan untuk memperolah barang dagangan. Pedagang-pedagang besar dari luar daerah akan langsung membeli produk ke daerah produksi jika pedagang pengumpul desa/calo tidak dapat memenuhi permintaan mereka dalam jumlah besar. Dengan masuknya pedagang kabupaten dan pedagang antar pulau ke desa dan langsung membeli pada petani maupun pedagang pengumul desa, rantai pemasaran menjadi lebih pendek dan biaya pemasaran dapat lebih efisien. Dari keadaan ini diharapkan bagian harga yang diperoleh petani bisa meningkat. Dengan kata lain, pengembangan infrastruktur, terutama sarana transportasi, bisa mengurangi kemungkinan terjadinya monopsoni dan monopoly di sentra produksi. Pedagang besar jumlahnya hanya sekitar 6 orang, dalam beraktifitas mereka didukung oleh pedagang pengumpul kecamatan yang berjumlah sekitar 40 orang. Selain pedagang mereka juga menguasai lahan-lahan produksi yang luas. Seorang pedagang besar bisa menguasai ratusan bahu (1 bahu kira-kira 0.7 ha) lahan bawang merah. Ini bisa diartikan bahwa mereka dapat mengatur pola tanam/produksi, mengetahui informasi diluar Brebes. Dengan kenyataan ini maka sangat wajar apabila mereka bisa mengatur harga jual bawang merah. Tabel 1. Karakteristik pelaku pemasaran bawang merah di daerah produksi Brebes, 2007
Jenis pelaku Pedagang pengumpul desa/calo *
Perkiraan jumlah (pedagang) 200-300
Pedagang kecamatan/kabupaten
40
Pedagang antar provinsi
25 (temporer)
Pedagang besar/supplier
6
Pengecer lokal
200
Aktifitas utama
Kemampuan modal
Kekuatan membangun relasi
Memasarkan barang petani atau mencari barang untuk pedagang Membeli dan mengolah bawang merah dari calo
Terbatas (lebih sering tanpa modal)
Terbatas pada petani atau pedagang tertentu
Cukup baik
Membeli barang dilapak pedagang atau Pasar Bawang Klampok Membeli bawang dari pedagang pengumpul desa dan kabupaten
Cukup besar
Mempunyai relasi dengan banyak calo dan pedagang antar provinsi. Bergabung dalam ABMI Mempunyai hubungan baik dengan pedagang kabupaten Mempunyai hubungan baik dengan berbagai pelaku perdagangan baik di sentra produksi, di , pasar induk maupun eksportir/importer Tidak ada relasi
Besar
Membeli bawang Sangat terbatas dengan kemampuan beli 5-10 kg per hari * jika mempunyai modal cukup, berfungsi sebagai pedagang pengumpul
10
Keragaan dan Dinamika Pemasaran Dalam memasarkan bawang merah petani lebih suka menjual dengan cara di tebas (50%), ditimbang (45%) dan ijon (5%) (Lampiran 1). Kebiasaan menjual ditebas disebabkan petani tidak mau repot dan mengeluarkan biaya panen, angkut, biaya pasca panen dan yang lebih penting dibayar tunai. Kebiasaan ini dipertegas dari produk yang dijual dalam bentuk ikatan kotor/basah, artinya pedagang yang akan membersihkan, menjemur, mengepak dan mengangkut. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (1997 – 2007), telah terjadi perubahan yang cukup nyata dalam tujuan pasar petani. Pada tahun 1997 petani seluruhnya menjual produksi bawang merah ke pedagang desa, tetapi pada tahun 2007 petani sudah ada yang menjual ke pedagang kecamatan dan pedagang besar (Tabel 2). Hal ini menggambarkan bahwa petani tidak terpaku lagi untuk menjual pada pedagang pengumpul desa, tetapi mereka bisa memilih pasar dengan menjual langsung ke pedagang kecamatan/kabupaten atau bahkan ke pedagang besar. Penetapan harga antara petani dengan pedagang dilakukan dengan tawar menawar, petani akan memilih menjual barangnya pada pedagang yang menawarkan harga yang lebih tinggi, kecuali pada langganan. Pada yang mempunyai hubungan langganan, saling percaya antara petani dan pedagang telah ada, dimana pedagang akan memberikan harga yang berlaku dipasaran kepada petani langganannya. Strategi untuk memperoleh barang untuk memenuhi permintaan konsumen dilakukan pedagang besar dengan berbagai cara. Hal ini terutama untuk memenuhi kuota permintaan langganannya di daerah lain, dengan jaringan pemasaran yang luas dalam jumlah besar dan untuk menjaga kontinuitas pasokan baik dalam jumlah maupun kualitas. Cara-cara yang ditempuh diantaranya : menjalin hubungan dagang dengan penjual dan pembeli dengan memberikan pelayanan yang baik, harga, pembayaran yang tepat mempunyai jaringan pembelian di tingkat yang lebih rendah dengan mempunyai pemasok tetap (kaki tangan di tingkat desa dan kecamatan) dan jaringan pasar yang baik dengan integritas penjualan yang baik dalam arti penyediaan supply secara terus menerus sesuai dengan permintaan pasar baik dari segi kuantitas maupun kualitas dan managemen yang terkendali. jeli melihat peluang, terutama dengan menganalisa harga (terutama bagi pedagang besar). Barang yang sama bisa keluar dan masuk sesuai dengan fluktuasi harga dilokasi pembelian maupun penjualan. Seperti contohnya : harga bawang impor lebih rendah Æ impor bawang ke Brebes dan kemudian di ekspor kembali ke Negara/tujuan asal karena harga bawang asal Brebes lebih tinggi.
11
Tabel 2. Dinamika tujuan pasar petani di daerah produksi Brebes, 1997-2007
Uraian 1. Tujuan pasar 1997 a. pedagang pengumpul desa b. pedagang besar 2. Tujuan pasar 2007 a. pedagang pengumpul desa b. pedagang pengumpul kec. c. pedagang besar
% volume penjualan
Cara bayar (%) Harga (Rp/kg)
tunai
100
2775 0
93 0
75 15 10
6250 6750 8300
80 75 75
bayar kemudian 0 0
lainnya 7 0
20 25 25
Dalam hal persaingan harga, terdapat persaingan harga dalam pembelian, namun tidak terlihat jelas karena perbedaannya tidak terlalu jauh. Namun dalam hal penentuan harga dasar pembelian disinyalir adanya hubungan atau komunikasi diantara pedagang besar dalam penentuan harga beli. Kualitas barang yang dijual berbeda antara tujuan pasar. Untuk tujuan pasar domestik terutama pasar tradisional, kualitas yang diperdagangkan adalah kualitas asalan, dimana pengeringan tidak terlalu lama, masih basah tanpa sortir. Untuk pasar luar Jawa, dilakukan penanganan yang lebih baik, dalam hal ini pengeringan dan sortir, dibandingkan untuk pasar tradisional. Kualitas yang paling baik digunakan untuk komoditi ekspor. Kriteria kualitas terutama dilihat dari kekeringan dan aromanya.. Marjin pemasaran Harga pembelian bawang merah di tingkat pedagang pengumpul desa/calo terhadap petani Rp 6.250/kg dan dijual kembali dengan harga Rp 6.750/kg. Hasil analisis marjin pemasaran bawang merah dari petani dengan tujuan pemasaran pedagang pengumpul diperoleh marjin sebesar Rp 500/kg (Tabel 3). Cukup tingginya marjin pemasaran di level ini disebabkan oleh rendahnya biaya pemasaran yang harus ditanggung pedagang. Dilihat dari sisi petani/produsen, tampak bahwa harga yang diterima petani sekitar 75.3 persen dari harga yang diterima pedagang besar. Harga di petani ini tampaknya tidaklah terlalu jauh dengan harga yang diterima pedagang besar. Mengingat, pedagang pengumpul pun harus menjual bawang merahnya ke pedagang lain seperti pedagang besar dan sangat jarang menjual kepada konsumen akhir. Sistem pembayaran terhadap petani biasanya tempo sekitar satu hari setelah bawang merah yang diperdagangkannya terjual.
12
Tabel 3. Marjin pemasaran bawang merah, 2007 No Uraian 1 Pedagang pengumpul desa/calo a. Harga beli b. Marjin pemasaran - Biaya - Keuntungan c. Harga jual 2 Pedagang pengumpul kec/kab a. Marjin pemasaran - Biaya - Keuntungan b. Harga jual 3 Pedagang besar a. Marjin pemasaran - Biaya - Keuntungan b. Harga jual
Marjin (Rp/kg)
Share (%)
6250
75.3
122.5 377.5 6750
1.48 4.55 81.33
210 490 7450
2.53 5.9 89.76
261 589 8300
3.14 7.1 100
Selanjutnya pedagang besar yang menurut istilah setempat dapat merupakan bandar pengepakan atau pedagang yang memiliki volume perdagangannya cukup besar dan dapat mengirim ke berbagai tujuan pemasaran dan untuk supplier biasanya memasarkan bawang merah sesuai order dari eksportir. Harga rataan pembelian sebesar Rp 7.450/kg dan harga penjualan sebesar Rp 8.300/kg. Tujuan pemasaran bawang merah pada pedagang besar ini cukup bervariasi. Pedagang besar yang menjual bawang merah ke luar Jawa ada yang melakukannya secara langsung misalnya ke Kalimantan dan Sumatra. Di sisi lain, terdapat pedagang besar yang melakukan kerjasama dengan pedagang antar pulau dan eksportir. Pedagang besar akan mengirim bawang merah sampai di Pelabuhan Tanjung Priuk dan selanjutnya ekportir yang membawa dari pelabuhan itu hingga tujuan luar negeri. Kualitas bawang merah yang diperdagangkan untuk tujuan ekspor biasanya kualitas baik (Grade I). Bila dilihat dari segi perolehan rataan marjin pemasaran pada pedagang besar yaitu sebesar Rp 850/kg, lebih tinggi dibandingkan dengan marjin di level pedagang pengumpul desa. Hal ini disebabkan rataan harga jual di level pedagang besar relatif lebih tinggi (Rp 8.300/kg). Sistem pembayaran dalam pemasaran tujuan supplier ini tidak langsung kontan, tapi dapat dibayar dalam tenggang sekitar setengah bulan. Dalam satu bulan, Supplier akan mengkalkulasi pembayaran terhadap pedagang yang menyupply dalam periode setengah bulan sekali. Harga di pasaran akan selalu berfluktuasi tergantung akan: (1) melimpah tidaknya supplai di pasaran; dan (2) kondisi yang ada, misalnya saat sepi pengunjung/pembeli ke pasar maka harga akan jatuh dan saat ramai pembeli maka harga akan stabil. 13
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Rantai pasar masih relative panjang dan masih dikuasai pedagang. Meskipun dalam menjual bawang merah trasnsaksi dilakukan dengan tawar menawar, tetapi sesungguhnya peran petani sebagai penentu harga belum kuat. Terdapatnya phenomena perolehan marjin pemasaran yang cenderung timpang menunjukkan ketidak adilan balas jasa atau fungsi pemasaran antar pelaku. Marjin pasar cenderung lebih mengelompok pada pedagang besar dan supplier. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya harga tidak dinikmati petani, tetapi pada saat harga turun harga tersebut ditransmisikan dengan baik ke tingkat petani. Artinya petani tetap menerima harga yang rendah dan berfluktuasi. Peran pedagang pengumpul desa/calo masih dominant sebagai pedagang yang berhubungan langsung dengan petani. Petani sulit memasarkan sendiri barangnya tanpa melalui agen-agen tesebut. Petani merasa aman jika barangnya dipasarkan pada pedagang pengumpul desa, karena merasa yakin bahwa barangnya akan laku terjual dan pembayarannya akan tepat waktu seperti yang dijanjikan. Pengembangan infrastruktur, terutama sarana transportasi, bisa mengurangi kemungkinan terjadinya monopsoni dan monopoly di sentra produksi. 10 th yang lalu 100% petani menjual bawang merahnya ke pedagang pengumpul desa/calo, sekarang hanya 75% petani yang menjual bawang merahnya ke pedagang pengumpul/calo, sisanya bisa langsung ke pedagang besar atau antar pulau yang dapat masuk/membawa truk hingga ke lokasi petani. Implikasi kebijakan Kebijakan impor komoditas hortikultura perlu disusun kembali dengan memperhatikan dan mengutamakan keamanan pasar domestik. Yang paling penting untuk diatur adalah bea masuk impor, waktu impor, jumlah impor. Impor diijinkan jika produksi rendah dan jumlah terbatas. Kebijakan ini perlu kerjasama yang sinergi dengan Departemen Perdagangan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam meningkatkan perdagangan : (1) peningkatan bea masuk, saat panen raya, (2) pengelolaan kembali dengan baik gudang-gudang untuk menampung hasil panen petani untuk stabilisasi harga, (3) pengembangan konsep kemitraan dengan eksportir dan industri pengolahan DAFTAR PUSTAKA
Abot,J.C dan J.P. Makeham. 1990. Agricultural Economic and Marketing in The Tropics. Longman. Essex 14
Adnyana, M.O dan A. Suryana, 1996. Pengkajian dan Pengembangan Sistem SUP Berorientasi Agribisnis. Makalah disampaikan pada Rakor Badan Agribisnis. Bogor Basri,I. 1998. Peranan Pasar Induk Kramat Jati Dalam Pemasaran Sayur Mayur di Jakarta. Thesis MS, FPS-IPB Bogor, Jurusan Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Creswell, Jhon W. 1994. Research Design : Qualilative and Quantitative Research Approach. Sage Publication Gonarsyah, Isang. 1992. Peranan Pasar Induk Kramat Jati Sebagai Barometer Harga Sayur Mayur di Wilayah DKI Jakarta. Mimbar Sosek, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (5):43-48. Hadi, P.U., Mayrowani, H. Supriyati dan Sumedi. 2000. Review and Outlook Pengembangan Komoditas Hortikultura. Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Kompas, Perbaiki Struktur Pasar Pertanian. 26 Februari 2008 Irawan, B. Nurmanaf, R. Hastuti,E.L. Muslim, C. Supriatna, Y. Darwis,V. 2001. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Limbong, W.H dan P. Sitorus. 1995. Kajian Pemasaran Komoditi Pertanian Andalan. Sosek Pertanian IPB, Bogor. Kuma’at, R. 1992. Sistem Pemasaran Sayuran Dataran Tinggi di Provinsi Sulawesi Utara. Thesis MS – FPS IPB, Bogor. Maliati. 2002. Kelembagaan Pemasaran Pertanian: Permasalahan, Tantangan dan Alternatif Solusinya. USESE Foundation. Jakarta. Mayrowani, H dan Valeriana, D. 2007. Studi Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Laporan Hasil Penelitian. Ditjen BP2HP. Departemen Pertanian Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. PSP IPB-Bapelti. 1995. Studi Kelayakan Pembentukan Pasar Lelang Komoditi Sayuran di Jawa Barat. IPB. Bogor. Pakpahan, A. 1989. Perspektif Ekonomi Institusi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ekonomi dan Keuangan Indonesia. 37(4) : 445-464 Rachman, H.P.S. 1997. Aspek Permintaan, Penawaran dan Tataniaga Hortikultura di Indonesia. Forum Agro Ekonomi 15 (1&2) : 44-56. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Saptana, Sumaryanto, M.Siregar, H.Mayrowani, I. Sadikin dan S.Friyatno. 2001. Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Saptana, M.Siregar, Sri Wahyuni, Saktyanu, K.D, E. Ariningsih dan V. Darwis. 2004. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera 15
(KAAS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Sudaryanto,T. Yusdja,Y. Purwoto, A. Noekman, K.M, Bwariyadi,A dan Limbang, W.H. 1993. Agribisnis Komoditas Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Schmid, Allan A. 1987. Property, Power and Public Choice. An Inguiry Into Law and Economics. Praeger. New York Westport, Connecticut. London. TIM IPB. 1990. Prospek Pengembangan Pasar Induk Sayuran Dalam Pengembangan Wilayah DKI Jakarta. Jurusan Sosial Ekonomi IPB. Bogor.
Lampiran 1 : Pembelian dan penjualan bawang merah oleh pedagang dalam 1 musim
No
1 2
3 6
7 8
10
Uraian
Volume (ku) Cara beli/jual (%) a. tebas b. timbang c. ijon d. lainnya Waktu (hari set panen) Bentuk produk (%) a.ikatan bersih/kering b.ikatan kotor/basah c.protolan Biaya (Rp/ku) Cara pembayaran (%) a.tunai b.panjar c.berjangka d. lainnya Alasan menjual ke pedagang (%) a. harga lebih murah b. langganan c. terikat kontrak d. ketersediaan cukup e. bebas tanpa ikatan
Lembaga pemasaran pdg pengumpul kec/kab
pdg pengumpul desa/calo
pdg besar
pembelian
penjualan
pembelian
penjualan
pembelian
penjualan
250
250
1450
1450
7500
7500
50 45 5
100
100
1,2 45 55
100
3,4
100
100
181000 70
100
100
5,6
100
100
25000
100 37900
30
65 5 30
65 5 30
65 5 30
65 5 30
65 5 30
30
75
75
30
75
100
70
25
25
70
25
16