Mikka Wildha Nurrochsyam, Persoalan Pelestarian Bahasa Ciacia: Refleksi atas Etika Jurnal Diskursus Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 2, Agustus 2015
PERSOALAN PELESTARIAN BAHASA CIACIA: REFLEKSI ATAS ETIKA DISKURSUS*) THE PROBLEM IN CIACIA LANGUAGE PRESERVATION: REFLECTIONS ON DISCOURSE ETHICS Mikka Wildha Nurrochsyam Pusat Penelitian dan Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang, Kemdikbud Jln Jenderal Sudirman-Senayan, Gedung E Lantai 19, Jakarta 12041 e-mail:
[email protected] Naskah diterima tanggal: 22/02/2015, Direvisi akhir tanggal: 31/04/2015, disetujui tanggal: 06/08/2015 Abstract: Ciacia language is the language used by the Ciacia community in Southeast Sulawesi. In August 2009, the Mayor of Baubau, Southeast Sulawesi, enacted policy to adapt the Korean alphabet (Hangeul) into the Ciacian alphabet because the Ciacia language does not have its own script. This decision immediately caused controversy as some agreed and others disagreed. This paper has two objectives. First, it seeks to observe the diverse opinions surrounding the decision to adapt the Korean alphabet into the Ciacia alphabet. Secondly, the paper offers a reflection on the ethical discourse surrounding the adaptation of the Korean alphabet into the Ciacia alphabet. This study used case studies and took a qualitative approach. Results showed that there was not enough support given to the public to encourage practical discourse and offer a no-pressure environment. Support was neither given within the Ciacia community in Baubau nor outside Baubau to strengthen Ciacia language and culture. This study concluded that those who agree with the adaptation are likely to understand it as serving an instrumental function in furthering economic and political interests. Meanwhile, those who oppose the adaptation are more concerned with culture preservation. Proper discourse has not taken place in regards to this issue. Thus, the debate continues to be unresolved. Keywords: language preservation, discourse ethics, Ciacia language Abstrak: Bahasa Ciacia merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Ciacia di Sulawesi Tenggara. Walikota Baubau, Sulawesi Tenggara pada Agustus 2009 memutuskan kebijakan mengadaptasi aksara Korea (Hangeul) menjadi aksara Ciacia karena Bahasa Ciacia tidak mempunyai aksara sendiri. Keputusan ini menimbulkan reaksi baik pro maupun kontra. Tulisan ini mempunyai dua tujuan Pertama, ingin mengetahui pendapat-pendapat tentang kasus adaptasi aksara Korea menjadi aksara Ciacia. Kedua, ingin mengetahui implementasi etika diskursus untuk menyelesaikan kasus adaptasi aksara Korea menjadi aksara Ciacia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Hasil penelitian menunjukan bahwa kasus adaptasi ini kurang memberikan ruang publik untuk diskursus praktis dalam suasana saling pengertian dan bebas dari tekanan, baik dalam masyarakat Ciacia di wilayah Kota Baubau maupun masyarakat Ciacia di luar Kota Baubau sebagai pendukung bahasa dan budaya masyarakat Ciacia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pihak yang pro adaptasi lebih cenderung berorientasi pada rasionalitas instrumental yakni kepentingan ekonomis dan politis, sedangkan pihak yang kontra berorientasi pada pelestarian budaya. Dalam kasus adaptasi ini belum diterapkan etika diskursus secara memadai sehingga tetap menjadi perdebatan yang tak terselesaikan. Kata Kunci: pelestarian bahasa, etika diskursus, bahasa Ciacia *) Artikel ini merupakan pengembangan dari materi arikel yang telah penulis presentasikan di Goethe University of Frankfurt dalam Seminar yang bertema: Indonesia ’s International Image in the Post-Soeharto Era pada 30 September 2014.
153
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 2, Agustus 2015
PENDAHULUAN
Jangkauan pengguna bahasa Ciacia tersebar di
Pada era orde baru kebijakan kebudayaan
antaranya
cenderung menempatkan kekuasaan negara
Sampolawa, Pasarwajo, Wabula dan beberapa
lebih dominan karena mempunyai kekuasaan
wilayah lainnya. Di Kota Baubau digunakan oleh
penuh mengatur urusan kebudayaan warganya.
masyarakat Ciacia di Kecamatan Sorawolio,
Seperti ditulis oleh Jones (2005), dalam
antara lain di kelurahan Gonda Baru, Karya Baru,
disertasinya mengutip pendapat Supartono
dan Kaisabu Baru. Di Kabupaten Wakatobi,
bahwa pada orde baru yang muncul berjaya
bahasa Ciacia digunakan di Kecamatan Binangko,
yaitu kebudayaan militer. Upacara dan baris-
yang meliputi beberapa kelurahan antara lain,
berbaris, indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan
kelurahan Wali, Desa Jaya Makmur. Bahasa
Pengamalan Pancasila (P4), penyeragaman
Ciacia juga digunakan oleh penutur di beberapa
kurikulum, asas tunggal dalam politik, dan
tempat di luar Pulau Buton, sesuai dengan
pelarangan kegiatan kesenian bagi etnis
penyebaran masyarakat Ciacia, seperti di Pulau
Tionghoa merupakan beberapa contoh dari
Buru di Desa Pasir Putih; Maluku Utara, Pulau
kuatnya semangat militerisme dalam budaya
Seram, Bangka Belitung bahkan penyebaran
selama tiga dekade terakhir.
sampai ke Maumere (Alirman, 2010).
di
Pulau
Buton
terdapat
di
Era reformasi di Indonesia ditandai dengan
Masyarakat Ciacia tidak memiliki budaya
kekuasaan yang tidak lagi terpusat. Peran
tulis. Satu-satunya tradisi tulis masyarakat
pemerintah pusat yang sentralistik digantikan
Ciacia ditemukan dalam kutika, yaitu semacam
dengan sistem baru yang lebih bersifat
coretan-coretan
desentralisasi. Demokratisasi di tingkat sub-
sepotong papan kayu atau kertas yang mirip
nasional ini dikenal dengan desentralisasi dan
sebagai simbol, untuk meramalkan nasib, atau
otonomi daerah. Desentralisasi merupakan
keberuntungan. Kutika juga digunakan untuk
penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat
menentukan waktu musim tanam; sampai
kepada daerah otonom untuk mengatur dan
digunakan untuk meramalkan tim mana yang
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
menang dalam pertandingan sepak bola. Tidak
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
semua orang mempunyai kutika, pada umumnya
yang
ditorehkan
pada
Di era reformasi Indonesia memasuki babak
dimiliki oleh orang yang dituakan dalam
baru dalam tatanan sosial dan pemerintahan
masyarakat (La Ali, wawancara, 18 Desember
yang lebih baik. Indonesia menjadi lebih
2013).
demokratis tetapi di sisi lain telah menimbulkan
Kebijakan menggunakan aksara Korea
problem di berbagai bidang termasuk persoalan
bermula dari sebuah Simposium Internasional
pelestarian budaya. Sekitar tahun 2010
Pernaskahan ke-9 pada 5-8 Agustus 2005.
masyarakat dunia berpaling kepada kelompok
Seusai simposium, ketika para peserta
kecil masyarakat Ciacia di Kota Baubau, karena
melakukan wisata keliling kota, Chun Tai-Hyun,
walikota Baubau pada saat itu telah mene-
seorang ahli Bahasa Malaysia dan sekaligus
tapkan keputusan kontroversial untuk meng-
sebagai Ketua Departemen Hunmin Jeonggeum
adaptasi aksara Korea (Hangeul) menjadi aksara
Masyarakat Korea, bercanda bahwa bahasa lokal
Ciacia - yang selanjutnya dikenal sebagai
yang didengarnya di sini mengingatkan pada
aksara yang sudah terpengaruh oleh Hangeul.
Korea. Dikatakannya bahwa aksara Hangeul
Adaptasi ini dilatarbelakangi oleh permasalahan
dapat digunakan sebagai aksara untuk bahasa
tentang bagaimana melestarikan bahasa daerah
Ciacia yang sedang mengalami kepunahan.
yang bertebaran di seluruh penjuru kota Baubau.
Pernyataan Chun Tai-Hyun segera direspon
Bahasa Ciacia merupakan bahasa tutur yang
positif oleh Walikota Baubau (Song, 2013).
digunakan oleh masyarakat Ciacia. Penutur
Penelitian terkait dengan adaptasi aksara
bahasa Ciacia kurang lebih 93.000 penutur.
Korea menjadi aksara Ciacia telah dilakukan oleh
154
Mikka Wildha Nurrochsyam, Persoalan Pelestarian Bahasa Ciacia: Refleksi atas Etika Diskursus
beberapa ahli. Di antaranya dilakukan oleh Song
kata “Tionghoa” menjadi “Cina”. Di era Reformasi
(2013), yang meneliti tentang motif-motif di
pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk
balik adaptasi aksara Korea. Hasil penelitian
melestarikan nilai sosial budaya dalam rangka
menunjukkan bahwa bagian pinggiran Indonesia
sistem negara kesatuan Indonesia. Namun, tidak
telah mencoba untuk membentuk identitasnya
jarang kebijakan budaya tersebut memunculkan
sendiri sebagai entitas yang berbeda sebagai
persoalan baru di bidang pelestarian budaya.
kelompok orang yang tinggal dalam sebuah
Kewajiban untuk melestarikan budaya diinter-
Negara. Upaya ini dilakukan dengan harapan
pretasikan secara berbeda oleh pemerintah
untuk menunjukan pusat baru di dalam
daerah. Secara khusus penelitian ini melihat
desentralisasi di Indonesia.
kasus adaptasi aksara Korea dalam perspektif
Penelitian lain, dilakukan oleh Hanan (2014)
etika diskursus, yakni melihat bagaimanakah
- dalam disertasinya yang berjudul: “Genealogi
konsesus tanpa tekanan dalam suasana
Bahasa Ciacia” - meneliti tentang pengaruh
pengertian dilakukan secara adil untuk keber-
bahasa lokal yang mempengaruhi bahasa Ciacia.
terimaan aksara Korea dari pendukung bahasa
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa wilayah
Ciacia. Sampai saat penelitian tentang adaptasi
tutur bahasa Ciacia di bagian selatan Pulau
Korea dalam perspektif etika diskursus belum
Buton, diketahui telah mendapat pengaruh dari
ada yang melakukan, karena itu tulisan ini benar-
bahasa Busoa, Muna, dan Wolio; bahasa Ciaca
benar asli.
yang dipakai masyarakat di bagian timur Pulau
Penelitian ini menjadi penting karena
Buton mendapat pengaruh dari bahasa Lasalimu
memperhatikan keniscayaan bahwa Indonesia
dan bahasa Kamaru; Bahasa Ciacia yang
terdiri dari beragam suku bangsa dan kelompok
digunakan masyarakat di Pulau Binongko
masyarakat dengan keanekaragaman budaya,
mendapat pengaruh bahasa Wakatobi; dan
seperti tradisi, kepercayaan, rumah adat, seni
bahasa Ciacia di kecamatan Sorawolio, Kota
tradisional, dan beragam karya-karya budaya
Baubau mendapat pengaruh bahasa Wolio. Kalau
yang eksotik. Dalam relasi sosial, masing-masing
melihat hasil penelitian ini dapat dikatakan
etnis dan kelompok masyarakat menjalin
bahwa bahasa Korea tidak ada pengaruhnya
komunikasi dan interaksi. Di satu sisi terjalin
terhadap bahasa Ciacia.
hubungan yang harmonis. Masyarakat mengem-
Penelitian yang dilakukan berbeda dengan
bangkan sikap saling menghargai, toleransi dan
penelitian sebelumnya oleh Song maupun Hanan.
solidaritas. Di sisi lain, terjadi perbenturan
Penelitian Song misalnya, melihat aspek motif-
kepentingan dan identitas. Penelitian ini menjadi
motif dalam adaptasi aksara Korea sedangkan
penting karena berupaya mencari solusi yang
penelitian Hanan melihat pengaruh bahasa tutur
memadai untuk mencapai kesepakatan dalam
lokal yang berpengaruh pada bahasa Ciacia;
mengadaptasi sebuah budaya asing dalam kultur
sedangkan penelitian yang penulis lakukan ingin
budaya lokal di Indonesia dengan baik dan adil
meneliti sebuah problem yang muncul dalam
sehingga disharmoni dalam masyarakat bisa
pelaksanaan otonomi daerah yakni problem
dihindarkan.
kebijakan pelestarian budaya, yang mengalami
Berdasarkan uraian di atas dirumuskan
perubahan mendasar semasa Era Reformasi.
permasalahan penelitian sebagai berikut: 1)
Pada masa Orde Baru kebijakan kebudayaan
bagaimanakah pendapat masyarakat pendukung
cenderung bersifat deskriminatif, misalnya
budaya Ciacia mengenai kasus adaptasi aksara
dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor
Korea menjadi aksara Ciacia yang dilakukan oleh
14 Tahun 1967 yang melarang semua kegiatan
pemerintahan Kota Baubau?; dan 2) Bagai-
keagamaan, kepercayaan dan kebudayaan
manakah implementasi etika diskursus untuk
Tiongkok; serta Surat Edaran Presidium Kabinet
menyelesaikan kasus adaptasi aksara Korea
Ampera Nomor 06 Tahun 1967 yang mengubah
menjadi aksara Ciacia? Koheren dengan
155
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 2, Agustus 2015
permasalahan tersebut dirumuskan tujuan
Buton dikenal aksara Buri Wolio untuk
penelitian yaitu: 1) mengetahui pendapat
menuliskan bahasa Wolio.
masyarakat pendukung budaya Ciacia mengenai
Banyak kelompok masyarakat memiliki
kasus adaptasi aksara Korea menjadi aksara
budaya dengan bahasa khas tetapi seringkali
Ciacia yang dilakukan oleh pemerintahan Kota
tidak mempunyai aksara tulis sendiri sehingga
Baubau; dan 2) mengetahui tentang imple-
untuk menuliskan bahasa yang mereka miliki
mentasi etika diskursus untuk menyelesaikan
digunakan aksara lain, seperti aksara Arab, atau
kasus adaptasi aksara Korea menjadi aksara
yang paling sering adalah aksara Latin.
Ciacia.
Masyarakat Ciacia sebagai pendukung bahasa Ciacia tidak mempunyai aksara tersendiri,
KAJIAN LITERATUR
sehingga mereka perlu meminjam aksara lain.
Aksara dan Bahasa
Aksara Latin merupakan aksara yang paling
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
umum digunakan untuk menuliskan bahasa
“aksara” mempunyai tiga arti; pertama berarti
Ciacia, tetapi tidak jarang juga digunakan aksara
“sistem tanda grafis yang digunakan manusia
Arab yang sudah diadaptasi oleh masyarakat
untuk berkomunikasi dan sedikit banyak mewakili
Buton, yakni aksara Buri Wolio. Dalam kasus ini,
ujaran; kedua berarti jenis sistem tanda grafis
secara resmi pemerintah daerah Baubau pada
tertentu; dan ketiga berarti huruf. Selanjutnya,
waktu itu mengambil keputusan mengadaptasi
secara etimologi, asal-mula kata ”aksara’
aksara Korea yang diklaimnya sebagai bentuk
berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari
pelestarian bahasa Ciacia dari kemusnahan.
dua suku kata yaitu “a” dan “kshara.” Kata “a” memiliki arti ‘tidak,’ sedangkan “kshara” berarti
Melestarikan Bahasa Melestarikan
“termusnahkan”. Jadi, kata “aksara” mempunyai
Budaya
arti “tidak termusnahkan”. Istilah ini mengacu
Budaya mempunyai definisi yang beragam,
pada pengertian bahwa aksara sebagai alat
diantaranya Tylor dalam Kusumohamidjojo
untuk mendokumentasikan budaya atau
(2009) mengatakan bahwa budaya adalah
peristiwa sehingga peristiwa atau budaya itu
kompleks keseluruhan yang termasuk penge-
dapat langgeng.
tahuan, kepercayaan, moral, hukum, kebiasaan
Di nusantara pernah digunakan beberapa
dan kemampuan manusia yang lainnya serta
aksara untuk menuliskan bahasa, diantaranya
kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
adalah aksara Jawa yang digunakan untuk
anggota kelompok masyarakat. Lebih lanjut,
menuliskan bahasa Jawa. Aksara Batak
Linton dalam Kusumohamidjojo (2009) ber-
digunakan untuk menuliskan bahasa Batak
pendapat bahwa kebudayaan merupakan jumlah
dengan variasi antara lain: aksara Batak Toba
total pengetahuan, sikap-sikap, pola kebiasaan
untuk menuliskan Bahasa Toba; aksara Batak
tindakan yang dishare dan ditransmisikan oleh
Karo untuk menuliskan bahasa Karo; aksara
anggota masyarakat tertentu. Linton mem-
Simalungun untuk menuliskan bahasa Simalungun
perlihatkan bahwa masyarakat pendukung
dan aksara Mandailing untuk menuliskan bahasa
kebudayaan sangat penting. Karena itu, budaya
Mandailing. Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa
tergantung bagaimana peran masyarakat
Bali; dan aksara Lontara dengan variasinya
pendukungnya. Antara budaya dan masyarakat
seperti aksara Bugis merupakan aksara Lontara
pendukungnya tidak dapat dipisahkan. Sebuah
untuk menuliskan bahasa Bugis; aksara
budaya yang berasal dari luar bisa jadi tidak
Makassar untuk menuliskan bahasa Makassar
didukung oleh sebuah kelompok masyarakat
Aksara Arab juga digunakan untuk menuliskan
karena dianggap bukan menjadi karakter
bahasa Jawa dan Sunda sedangkan di Pulau
masyarakat pendukungnya.
156
Mikka Wildha Nurrochsyam, Persoalan Pelestarian Bahasa Ciacia: Refleksi atas Etika Diskursus
Aksara sebagai karya cipta manusia dapat
Karena pentingnya bahasa, beberapa
dipandang sebagai kemampuan intelektual
negara berupaya melakukan pelestarian bahasa-
sebuah komunitas masyarakat. Kalau dilihat dari
bahasa lokal yang sedang mengalami kepu-
pendapat Taylor, budaya tidak statis tetapi
nahan. Seperti di Peru upaya pelestarian bahasa
mengalami perkembangan, karena ada share dan
juga memunculkan kontroversi. Serafýn (2008)
transmisi dari anggota pendukungnya. Aksara
menuliskan tentang upaya The High Academy
juga tidak statis tetapi mengalami perkem-
of the Quechua Language, salah satu organisasi
bangan, karena aksara dishare dan ditrans-
yang berkomitmen untuk melestarikan bahasa
misikan dari generasi ke generasi, sedikit banyak
Quechua juga tidak lepas dari kritik pihak lain.
tentu mengalami perkembangan. Namun, yang
Upaya pelestarian oleh lembaga ini justru
terpenting dalam kebudayaan itu perlu
dianggap menghambat agen-agen lain dan para
memperhatikan sikap dan peran masyarakat
ahli yang sama-sama mempromosikan bahasa
pendukungnya. Adaptasi terhadap budaya lain
Quechua. Organisasi ini juga dianggap diresapi
selain menunjukan bahwa kebudayaan itu tidak
nilai-nilai kelompok yang justru mengalineasi
statis sekaligus perlu mempertimbangkan
orang-orang berbahasa Quechua sendiri yang
keberterimaan masyarakat pendukungnya.
notabene ingin mereka layani.
Budaya dapat berkembang tetapi dapat juga
Davis (2013) juga memaparkan tentang
mengalami penurunan dan bahkan kepunahan.
pentingnya pelestarian bahasa, sehingga negara
Karena itu, terdapat kebijakan dari pemerintah
bagian Montana - USA, menciptakan program
untuk pelestarian budaya, seperti Peraturan
untuk membantu pelestarian bahasa-bahasa
Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007
lokal. Proyek pelestarian bahasa ini memberikan
tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Ke-
bantuan 2 milyar dollar kepada beberapa
masyarakat Bidang Kebudayaan, Keraton dan
masyarakat lokal agar dapat menciptakan,
Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengem-
merekam dan mengembangkan materi-materi
bangan Budaya Daerah, disebutkan bahwa
dan menciptakan kurikulum untuk menjaga agar
pelestarian budaya daerah merupakan upaya
bahasa
untuk memelihara sistem nilai sosial budaya
kepunahan.
tutur
mereka
tidak
mengalami
yang dianut oleh komunitas/kelompok masya-
Pelestarian bahasa yang berhasil dapat
rakat tertentu di daerah, yang diyakini di
dilihat dari kebijakan pemerintah Myanmar
dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap serta tata
dengan mengenalkan kurikulum baru bahasa dan
cara masyarakat yang dapat memenuhi
tulisan Karenni kepada peserta didik di wilayah
kehidupan warga masyarakat. Persoalannya
tersebut, setelah ditetapkan oleh keputusan
adalah bagaimanakah pemerintah daerah
majelis di Negara bagian Loikaw. Pengajaran
menginterpretasikan pelestarian budaya daerah.
anak-anak Karenni dengan bahasa ibu itu telah
Upaya untuk pelestarian budaya seringkali
didukung oleh 80 persen masyarakat lokal dalam
menimbulkan perbedaan tafsir dan kontroversi.
sebuah survei lapangan. Karena itu, pengajaran
Menurut Elis (2005) terdapat dua argumen
bahasa Karenni tidak akan menjadi problem bagi
mengapa pelestarian bahasa menjadi penting.
masyarakat. Di samping hasil survei juga
Pertama karena anggapan bahwa bahasa
didukung dengan penyelenggaraan konferensi
merupakan bagian penting dari budaya, tanpa
yang diwakili oleh seluruh kelompok masyarakat
bahasa, budaya tidak mungkin ada. Kedua, ang-
di Karenni (Soe, 2014)
gapan bahwa setiap orang sangat tergantung pada integritas budaya mereka masing-masing
Etika Diskursus
untuk membangkitkan pengakuan terhadap
Etika diskursus merupakan teori moral yang
budayanya.
dikenalkan oleh Jurgen Habermas seorang filsuf dan ilmuwan sosial Jerman terkemuka saat ini
157
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 2, Agustus 2015
bersama koleganya Karl-Otto Apel. Etika
sebuah model bagi praktik demokrasi dan negara
diskursus tidak menjawab pertanyaan mengapa
hukum pasca-Soeharto dalam masyarakat
kita bertindak moral. Dengan perkataan lain etika
Indonesia. Dengan bantuan teori diskursus
diskursus tidak menghasilkan jawaban-jawaban
Habermas dapat digarap secara intensif prinsip-
yang
pertanyaan-
prinsip, norma-norma dan kondisi-kondisi negara
pertanyaan moral. Apa yang ingin dipertanyakan
hukum modern dan politik demokratis di dalam
dalam etika diskursus yaitu tentang “apa yang
masyarakat majemuk dewasa ini.
siap
pakai
terhadap
Etika diskursus juga diterapkan untuk
adil”. Etika diskursus dirumuskan dalam dua
bidang pendidikan, seperti yang ditulis oleh
prinsip, pertama, yakni prinsip universalitas (U),
Jenlink (2014), hasil penelitiannya menunjukan
yang mengatakan, “All affected can accept the
bahwa etika diskursus menjadi penting dalam
consequences and the side effect its general
desain sistem pendidikan. Kesimpulan ini diambil
observance can be anticipated to have for the
setelah menguji etika diskursus sebagai sikap
satisfaction of everyone’s interest.” (Habermas,
yang diambil oleh pengguna dan perancang yang
2007). Artinya, seluruh akibat yang dapat
terlibat secara kritis, reflektif dan secara sadar
diterima dari konsekuensi-konsekuensi dan
dalam sebuah penelitian untuk sebuah proyek
akibat samping yang secara umum dari pengamat
pemahaman diri – menyadari “diri” individu dan
(subyek) dapat diantisipasikan untuk memuaskan
sosial melalui keterlibatan secara otentik.
kepentingan bagi semua orang. Prinsip ini
Di antara para pemikir terdapat mereka yang
merupakan pertimbangan rasional yang
tidak menyetujui pemikiran Habermas, misalnya
mendalam dari seseorang mengenai problem
Powel (2009) - dalam tulisannya dengan judul
moral sehingga mendapat keyakinan prinsip
Discourse Ethics dan Moral Rasionalisme -
bahwa pertimbangan moral yang diputuskan
menyangsikan apakah etika pemikiran Habermas
akan berlaku umum bagi setiap orang pada kasus
ini dapat memberikan kepada kita sebuah upaya
dan konteks yang sama. Prinsip ini menyatakan
yang menunjukan bahwa moralitas adalah
bahwa pertimbangan moral yang saya kehendaki
kebutuhan rasional. Jawaban yang diberikan
akan berlaku benar kalau dikehendaki oleh semua
olehnya adalah “tidak dapat”, alasannya karena
orang.
etika diskursus tidak dapat menghindarkan
Kedua, prinsip diskursus (D) yang berbunyi,
komitmennya pada prinsip-prinsip moral.
“ Only those norms can claim to be valid that
Pemikiran yang secara menyolok menentang
meet (or could meet) with the approval of all
pemikiran etika diskursus adalah apa yang
affected in their capacity as participants in a
dikenal dengan pemikiran tentang etika disensus.
practical discourse”. Etika diskursus tidak
Kalau dalam etika diskursus “apa yang adil”
berhenti pada tahap (U), maksudnya bahwa
dapat dicapai dengan konsesus atau kese-
pertimbangan rasional itu tidak hanya berhenti
pakatan, tetapi dalam etika disensus, konsesus
pada subyek saja tetapi kebenaran yang
itu tidak diperlukan. Menurut Diprose (2010)
dianggapnya universal itu perlu didiskursuskan
etika disensus berkaitan dengan antagonisme
untuk
saling
yang seharusnya menjadi perhatian bagi teori
pengertian. Dengan demikian, hanya norma yang
demokrasi. Dikatakan lebih lanjut bahwa etika
telah dipastikan dalam diskursus praktis dimana
disensus didasarkan atas kontestasi daripada
semua yang bersangkutan terlibat dapat
asimilasi perbedaan.
mencapai
konsesus
atau
dipastikan kebenarannya.
Meskipun beberapa pemikir menentang
Habermas sendiri menerapkan etika
konsesus, tetapi posisi penulis sendiri berpihak
diskursus untuk bidang hukum dan politik.
pada pemikiran etika diskursus karena penulis
Pemikiran Habermas ini digunakan Hardiman
anggap relefan untuk menyelesaikan problem
(2009) dalam penelitiannya ditawarkannya
tentang keadilan dalam masyarakat Indonesia
158
Mikka Wildha Nurrochsyam, Persoalan Pelestarian Bahasa Ciacia: Refleksi atas Etika Diskursus
yang majemuk. Dalam kemajemukan masyarakat
yang memadai untuk penyelesaian persoalan
Indonesia tampaknya tidak mungkin membiarkan
pelestarian budaya berdasarkan kriteria “apa
masing-masing kelompok untuk tetap berbeda
yang baik” dan “apa yang adil”.
tanpa mempunyai komitmen terhadap konsesus
Di era reformasi dimungkinkan setiap etnis
antara mereka. Untuk kasus masyarakat
dan kelompok masyarakat Indonesia bebas
majemuk seperti di Indonesia paham disensus
untuk mengungkapkan ekspresi budaya mereka
tampaknya akan membuka jurang perbedaan
masing-masing. Setiap ekspresi budaya dalam
yang semakin menajam.
masyarakat mendapat tempat dan penghargaan
Di dalam masyarakat Indonesia etika
tetapi sebaliknya tidak jarang menimbulkan
diskursus lebih dikenal dengan istilah “musya-
persoalan sosial. Ekspresi kebebasan budaya
warah”. Oleh karena itu, etika diskursus
sebagai penguatan identitas budaya kadang
mempunyai kesesuaiannya dengan budaya
dipandang menjadi masalah bagi identitas
dalam masyarakat Indonesia sehingga mudah
budaya masyarakat lain. Komunikasi di antara
diterima dan dipahami. Selain itu etika diskursus
kelompok etnis seringkali tidak terjalin dengan
sesuai dengan kondisi sosial dan budaya
baik, sehingga menimbulkan konflik antar
masyarakat dewasa ini. Hardiman (2009)
budaya. Dalam masyarakat Indonesia yang plural
mengatakan dalam etika diskursus berpijak pada
tersebut, masing-masing kepentingan budaya
pluralitas cara hidup dan orientasi masyarakat
yang berbeda seringkali berbenturan, dalam
modern sangat cocok untuk masyarakat
situasi tersebut etika diskursus sangat
Indonesia
diperlukan, sebagai sarana untuk mencapai
pasca-Soeharto
yang
ingin
mengedepankan hukum dan hak-hak asasi
saling pengertian.
manusia dalam proses demo-kratisasi dan reformasi.
METODE
Etika diskursus cocok untuk masyarakat
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
yang pluralistik digambarkan Habermas dalam
dengan metode studi kasus, yakni memperdalam
tulisannya Beetween Facts and Norms, etika
kasus adaptasi aksara Korea menjadi aksara
diskursus mengacu pada pandangan dan
Ciacia. Penelitian juga didukung dengan studi
keadilan universal yang mempunyai perspektif
pustaka. Penelitian berlokasi di Kota Baubau,
bebas dari seluruh egosentrisme dan etno-
Buton, Sulawesi Tenggara sebagai tempat
sentrisme, etika politik diskursus mencari
terjadinya kasus adaptasi aksara Korea. Waktu
pemahaman diri yang otentik dari sebuah
penelitian diselenggarakan selama tujuh hari dari
komunitas tertentu (Baumeister, 2003).
tanggal 15 sampai dengan 21 Desember 2013.
Di satu sisi masing-masing komunitas budaya
Pengumpulan data dilakukan dengan mela-
dalam masyarakat Indonesia yang plural
kukan wawancara secara mendalam dengan
mempunyai keyakinan, kepercayaan, pan-
informan yang terkait dengan upaya adaptasi
dangan serta nilai-nilai sosial dan budaya yang
aksara Korea, antara lain: para guru yang meng-
berbeda-beda. Di sisi lain terdapat pengaruh
ajar aksara Korea; peserta didik yang mendapat
modern yang mengakibatkan pandangan
pengajaran aksara Korea; parabela (ketua adat)
tradisional tidak dapat lagi memadai untuk
yang telah menyetujui atau menandatangani
menjamin warga masyarakat untuk hidup
perjanjian penggunaan aksara Ciacia; para
bersama dengan cara yang sesuai. Karena itu,
peneliti bahasa dari Kantor Bahasa Provinsi
etika diskursus diperlukan untuk memastikan
Sulawesi Tenggara; ahli bahasa Ciacia dari
kembali persoalan-persoalan yang dipertanyakan
perguruan Tinggi Negeri; pejabat pemerintah
keberlakuannya dalam masyarakat Indonesia
seperti Dinas Pendidikan Propinsi, Dinas
yang plural. Etika diskursus memberikan prosedur
Kebudayaan dan Pariwisata Kota; serta anggota
159
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 2, Agustus 2015
dewan. Wawancara dilakukan pula dengan tokoh
melihat bahwa kebudayaan sebagai sesuatu
muda Ciacia yang berasal dari luar Kota Baubau;
yang statis. Pandangan ini ingin memper-
serta masyarakat Kota Baubau.
tahankan nilai-nilai asli, Kelompok ini cenderung
Setelah data terkumpul, langkah berikutnya
anti-perubahan dan tidak bersedia menerima hal-
melakukan identifikasi dan kategorisasi dari
hal yang baru. Sebaliknya, kelompok kedua
pendapat-pendapat yang pro dan yang kontra
berpandangan bahwa kebudayaan berjalan
terhadap adaptasi aksara Korea. Selanjutnya
dinamik dan terus berdialektika sepanjang
dilakukan analisis terhadap pendapat-pendapat
sejarah. Kebudayaan terus berkembang agar
yang pro dan kontra itu berdasarkan atas motif-
tidak mengalami kepunahan.
motif dan alasan-alasan, mengapa mereka
Kebijakan penggunaan aksara Ciacia yang
setuju dan tidak menyetujui adaptasi. Analisis
baru itu telah memunculkan perbedaan-
ini melihat sejauh mungkin perspektif etika
perbedaan pandangan antara yang pro dan
diskursus, yakni upaya untuk tercapainya
kontra. Masing-masing mengklaim mempunyai
konsesus yang adil dengan melibatkan mereka
tujuan yang sama, yakni ingin melestarikan
yang berkepentingan dalam suasana saling
bahasa Ciacia. Di antara yang pro mempunyai
pengertian.
alasan. Pertama, bahwa budaya tidak statis tetapi terus berkembang, bahasa juga
HASIL DAN PEMBAHASAN
berkembang. Mereka berargumen bahwa
Adaptasi Aksara Korea: Antara yang Pro
adaptasi aksara Korea menjadi aksara Ciacia
dan Kontra
itu sangat dimungkinkan, seperti dinamika yang
Kebijakan pemerintah Kota Baubau untuk
terjadi pada masa lalu juga terjadi adaptasi
mengadaptasi aksara Korea menjadi aksara
aksara Arab menjadi aksara Buri Wolio - aksara
Ciacia ditindaklanjuti dengan himbauan Walikota
yang digunakan untuk menuturkan bahasa Wolio.
untuk mendokumentasikan budaya masyarakat
Kenyataannya dengan adaptasi aksara Arab
Ciacia dengan aksara Ciacia. Melalui sarana dan
tidak membuat masyarakat mempunyai identitas
pemanfaatan aksara yang baru ini, maka bahasa,
budaya Arab. Kedua, aksara Ciacia yang
karya sastra, cerita rakyat, sejarah dan budaya
diadaptasi dari aksara Korea tidak akan
masyarakat Ciacia diharapkan dapat didokumen-
mengubah bahasa Ciacia karena yang diadaptasi
tasikan dengan baik. Beberapa papan nama jalan
hanya aksara saja tidak akan mempengaruhi
di kecamatan Sorawolio ditulis dengan aksara
budaya masyarakatnya. Ketiga, penggunaan
Korea. Pemerintah Kota Baubau juga telah
aksara Ciacia merupakan upaya untuk mence-
melakukan kebijakan pembelajaran aksara Ciacia
gah kepunahan bahasa Ciacia sehingga dapat
yang notebene aksara Korea itu untuk masuk
diwariskan kepada generasi berikutnya.
dalam kurikulum muatan lokal. Pembelajaran
Penggunaan aksara ini dapat memicu supaya
muatan lokal telah dilaksanakan di dua Sekolah
generasi muda dapat meminati bahasa daerah
Dasar di Sorawolio dan Bugi.
Ciacia.
Seiring dengan adaptasi aksara Korea
Kelompok yang setuju terhadap adaptasi
menjadi aksara Ciacia, telah dibuka wacana
aksara Korea ini, antara lain tokoh adat dua
ilmiah, antara lain untuk mendiskusikan upaya
suku yang menggunakan bahasa Ciacia yaitu
pelestarian bahasa daerah, seperti Kongres
Laporo dan Kaisabu di Kecamatan Sorawolio.
Internasional, Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi
Para tokoh adat secara langsung menan-
Tenggara pada Juli 2010, di Sulawesi Tenggara.
datangani berita acara persetujuan penggunaan
Di dalam kertas kerjanya Tamin (2010)
aksara Hangeul dalam Bahasa Ciacia Laporo dan
menyatakan bahwa terdapat dua pandangan
Ciacia Kaisabu di Kecamatan Sorawolio. Para
yang saling bersaing dan menunjukan posisi
birokrat pada umumnya setuju dengan adaptasi
pikiran masing-masing. Kelompok pertama
aksara Korea, salah satu informan di jajaran
160
Mikka Wildha Nurrochsyam, Persoalan Pelestarian Bahasa Ciacia: Refleksi atas Etika Diskursus
birokrasi pemerintah Kota Baubau mengatakan:
yakni aksara Buri Wolio. Masyarakat Ciacia tentu
“adaptasi ini memberikan dampak positif, dan
lebih mudah menggunakan aksara Buri Wolio
seharusnya masyarakat berterima kasih kepada
karena relasi sosial masyarakat Ciacia sangat
orang Korea yang mengajarkan dan memberikan
intens dengan masyarakat yang berbahasa
pengetahuan bahasa Korea di Kota Baubau ini
Wolio. Aksara Buri Wolio pun akan mudah
dengan ikhlas. Dampak positif lainnya, yaitu
dipelajari oleh anak-anak karena mereka
beberapa pemuda dan pemudi di Kota ini
mempunyai kebiasaan mengaji. Ketiga, aksara
mendapat kesempatan berkunjung ke Korea
Buri Wolio telah mengakar, melalui sebuah proses
Selatan untuk melihat dari dekat tentang
sejarah dan akulturasi yang panjang dalam
budaya Korea Selatan. Hal yang positif lagi
konteks kehidupan sosial dan masyarakat Buton.
adalah teman-teman Korea memberikan sum-
Adaptasi aksara Arab melalui proses yang tidak
bangan dalam dunia pendidikan yaitu bantuan
instan tetapi didasarkan atas kebutuhan
komputer ke sekolah-sekolah. Untuk saya pribadi
komunikasi masyarakat pada masa lalu, bukan
lebih mengambil sisi positifnya teman-teman dari
karena
negara Korea Selatan banyak memberikan sisi
diperuntukan untuk masyarakatnya. Keempat,
positif mereka menampilkan kebudayaan, tarian
keputusan penggunaan aksara Ciacia tidak
yang mereka bawakan adalah budaya tradi-
melibatkan penutur bahasa Ciacia lainnya,
sional. Mereka tidak malu-malu menampilkan alat
seperti di Kabupaten Wakatobi, Kabupaten
tradisional (anonim, wawancara, 20 Desember
Wabula, dan tempat lainnya yang tersebar di
2013).
Indonesia.
kebijakan
dari
penguasa
yang
Kelompok masyarakat yang setuju terhadap
Kelompok yang tidak setuju terhadap kasus
adaptasi di antaranya ialah para guru, dan
adaptasi aksara Korea, di antaranya seorang
murid-murid yang secara langsung merasakan
pakar linguistik dari Baubau. Dikatakanya bahwa
dampak kebijakan yang dinilai positif; sehingga
“kebijakan untuk mengadaptasi aksara Korea
pada umumnya mereka bersikap mendukung
tidak tepat karena tidak sesuai dengan kultur
adaptasi, kendati tidak seluruh aspek di-
masyarakat Ciacia. Tradisi dan budaya
setujuinya. Salah seorang guru yang meng-
masyarakat Ciacia adalah budaya Wolio, bahasa
ajarkan aksara Korea di salah satu sekolah Dasar
indukn ya adalah bahasa Wolio” (anonim,
Negeri di Sorawolio, mengatakan: “bayangkan
wawancara, 16 Desember 2013).
dulu perjuangan Raja Sejong untuk menciptakan
Berdasarkan basis keilmuan yang dimiliki
Hungeul dengan perjuangan yang keras,
para ahli linguistik umumnya tidak setuju dengan
sekarang kita tidak mencuri aksara itu tetapi
adaptasi aksara Korea. Pendapat ini diperkuat
diberikan oleh mereka”. Dari keterangan yang
dengan pernyataan seorang peneliti dari Kantor
disampaikan tersebut dapat dipastikan bahwa
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara: “adaptasi
sikapnya mendukung adaptasi aksara Korea
aksara Hungeul ini dilakukan dengan tidak secara
(anonim, wawancara, 18 Desember 2013).
alamiah, tetapi disengaja. Apa yang ditawarkan
Di sisi lain, kelompok yang memiliki
oleh tokoh masyarakat Buton sendiri (di luar
pandangan yang menolak adaptasi aksara Korea,
Kota Baubau) memberikan solusi mengapa tidak
beralasan: pertama, masuknya aksara Korea ke
mengambil bahasa Buri Wolio, kalau bahasa
dalam bahasa Ciacia justru mengakibatkan
Wolio akan mudah diajarkan pada anak-anak,
percampuran bahasa antara bahasa Ciacia dan
karena mereka sudah terbiasa mengaji” (anonim,
Bahasa Korea, yang akhirnya akan diikuti oleh
wawancara, 16 Desember 2013).
masuknya kosa kata dan istilah bahasa Korea
Pendapat yang tidak setuju terhadap
dalam bahasa Ciacia. Kedua, sebaiknya aksara
adaptasi dinyatakan juga oleh seorang informan
yang lebih tepat untuk diadaptasi sesuai dengan
dari tokoh pemuda Ciacia yang tinggal di luar
konteks sejarah dan budaya masyarakat Ciacia,
Kota Baubau. “Kalau dalam kegiatan pertunjukan
161
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 2, Agustus 2015
seni dengan Korea tidak menjadi masalah, tetapi
pernyataannya dalam tulisan: “meskipun prihatin
kalau aksara mengapa kita tidak menggunakan
atas pengaruh budaya dari luar negeri,
aksara Wolio, karena Ciacia adalah bagian dari
pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan
Wolio”, begitu katanya (anonim, wawancara,
untuk mengakui Hangeul sebagai sistem
20 Desember 2013).
penulisan resmi untuk melestarikan bahasa minoritas yang terancam punah”. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul
Penyelesaian Etika Diskursus Kerjasama antara Pemerintah Kota Baubau
merespon pemberitaan media Korea ini dengan
dengan pihak Korea Selatan tidak hanya sebatas
mengirimkan surat faksimili kepada Menteri Luar
adaptasi aksara Korea saja, tetapi diperluas
Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional up.
menjadi rencana pendirian Korean Baubau
Kepala Pusat Bahasa di Indonesia untuk meminta
Center bekerja sama dengan Hunminjeounggem
klarifikasi tentang pernyataan Walikota Baubau
Society of Korea (HSK). Upaya kerjasama
karena banyak pertanyaan dari berbagai pihak.
dengan luar negeri ini menunjukan bahwa daerah
Kantor
mempunyai kebebasan untuk mengembangkan
pemerintah Indonesia yang mempunyai
daerahnya sebagai wilayah desentralisaasi.
wewenang terhadap masalah kebahasaan telah
Dalam sistem kekuasaan yang terdesentralisasi
menanggapi persoalan ini yang tertuang dalam
dan dalam dinamika Indonesia yang demokratis
dua belas butir tanggapan sebagai respon atas
saat ini maka persoalan tentang wewenang
pemakaian aksara Korea dalam Bahasa Ciacia.
dapat didiskursuskan. Dalam sistem desen-
Sedangkan, pemerintah Korea sendiri enggan
tralisasi daerah otonom mempunyai wewenang
mendukung proyek the Hunmin Jeongeum
untuk mengatur dan mengurus urusan
Society karena khawatir akan merusak
pemerintahan sendiri dalam koridor sistem Negara
hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengan
Pusat
Bahasa
sebagai
lembaga
Di dalam negeri Indonesia adaptasi aksara
persoalan pelestarian budaya, negara mengakui
Korea
dan menghormati kesatuan-kesatuan masya-
penggunanya, yakni masyarakat Ciacia yang
rakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
terkena dampak dari pemberlakuan aksara Korea.
sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pada
Pertanyaan kritis dilakukan terutama di luar Kota
masa Orde Baru kerja sama daerah dengan luar
Baubau seperti Kabupaten Wabula dan
negeri dapat dipastikan tidak mungkin, karena
Kabupaten Wakatobi. Mereka merasa tidak
pusat akan melakukan kontrol yang sangat
dilibatkan dalam pengambilan kebijakan adaptasi
ketat. Di dalam kasus adaptasi
tersebut.
aksara Korea
menjadi
pertanyaan
kritis
bagi
menjadi aksara Ciacia sebagai kebijakan
Menurut undang-undang otonomi daerah
pemerintah Kota Baubau, merupakan kewe-
yang punya wewenang untuk mengurus kasus
nangan daerah dan sebagai kewajiban daerah
ini adalah pemerintah daerah. Penyelesaian
untuk melestarikan kebudayaan daerahnya
persoalan dalam pelestarian kebudayaan antar
masing-masing. Namun, dalam kondisi peles-
pemerintah kabupaten/kota dalam satu provinsi
tarian dipertanyakan oleh beberapa pihak maka
dan antar provinsi telah diatur dalam Peraturan
kebijakan ini perlu dikaji ulang.
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Di Korea sendiri adaptasi ini telah diekspose
Kebudayaan dan Pariwisata nomor 42 dan 40
oleh beberapa media Korea antara lain, Yonhap
tahun 2009, bahwa penyelesaian pelestarian
News Agency (26 Juli 2010) mengutip pendapat
kebudayaan diselesaikan secara musyawarah.
Amirul Tamin, bahwa pemerintah Indonesia telah
Kebijakan pelestarian budaya di tingkat lokal
menyetujui penggunaan huruf Korea sebagai
berada ditangan pemerintah daerah, namun
huruf resmi suku Ciacia. Di sebutkan pula
ketika norma moral dipertanyakan maka disitulah
162
Mikka Wildha Nurrochsyam, Persoalan Pelestarian Bahasa Ciacia: Refleksi atas Etika Diskursus
pentingnya etika diskursus yang melibatkan
Kementerian Pendidikan Nasional, atau
seluruh partisipan yang terkena dampak atas
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata untuk
kebijakan tersebut.
memperoleh legitimasi di DPR/DPRD agar aksara
Aksara Ciacia telah diberlakukan dalam lingkup masyarakat Ciacia di Kota Baubau,
tersebut dapat dipergunakan dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan”.
khususnya dua masyarakat Ciacia Laporo dan
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa
Ciacia Kaisabu di Kecamatan Sorawolio. Tokoh
problem yang menyangkut persoalan pelestarian
adat mereka telah menyetujui penggunaan
aksara yang diberlakukan itu harus dapat
aksara Hangeul dalam bahasa Ciacia Laporo dan
dipertanggungjawabkan secara rasional,
Ciacia Kaisabu. Meskipun telah disetujui oleh
kebenarannya harus dapat berlaku universal (U)
tokoh masyarakat, persetujuan ini secara
dapat diterima oleh semua orang karena
kultural kurang mengakar karena inisiatif
didasarkan penelitian dan kajian yang cukup
adaptasi itu berasal dari penguasa daerah
mendalam dan komprehensif. Penelitian perlu
setempat. Kebutuhan untuk mengadaptasi
dilakukan secara obyektif, dalam pengertian
bukan karena kebutuhan dalam konteks
ditujukan untuk kepentingan pelestarian demi
pelestarian budaya, tetapi lebih karena konteks
pelestarian itu sendiri, yakni pelestarian yang
sosial dan ekonomi. Seperti yang dikatakan oleh
berkeadilan demi meningkatkan harkat dan
Song (2013) dalam penelitiannya bahwa tidak
martabat pendukung budaya yang bersang-
dapat dipungkiri bahwa proyek Hangeul
kutan. Bukan ditujukan untuk kepentingan
mempunyai motif kepentingan ekonomis untuk
rasionalitas sasaran, agar sasaran yang
menarik investasi Korea terhadap kota ini
diinginkan itu dapat tercapai.
dengan melakukan pertukaran budaya. Pada
Pemberlakuan aksara Ciacia harus dapat
masa pemerintah Soeharto kerjasama dengan
diterima oleh seluruh kalangan, yang terkait
pihak asing tidak akan mungkin terjadi karena
dengan penggunaan aksara Ciacia. Prinsip
daerah hanya menerima proyek pembangunan
diskursus ini seperti tampak dalam tanggapan
nasional dari pemerintah pusat.
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Bertolak dari persoalan pro dan kontra
(Hanna 2010) menyatakan: “Penggunaan aksara
tersebut, perlu dilihat dalam perspektif etika
Hangeul dalam Bahasa Ciacia perlu melibatkan
diskursus. Masing-masing pihak perlu membuka
masyarakat khususnya penutur bahasa Ciacia
diri secara bersama memperbincangan persoalan
yang tersebar di seluruh penjuru wilayah Kota
pelestarian aksara Ciacia untuk mencapai saling
Bau-Bau, Kabupaten Buton, dan Kabupaten
pengertian. Penyelesaian etika diskursus tampak
Wakatobi, bukan hanya dari pengambil dan
seperti ditawarkan oleh Kantor Bahasa Provinsi
penentu kebijakan semata. Kebijakan peng-
Sula wesi Tenggara (Hanna, 2010) yang
gunaan aksara Hangeul (Korea) terlalu terburu-
menanggapi: “Penggunaan dan penerimaan
buru. Kebijakan ini diambil tanpa melalui survei
aksara Hanguel untuk menjadi bagian dari
dan penelitian yang mendalam mengenai
budaya Indonesia harus melalui penelitian dan
keberterimaan masyarakat bahasa Ciacia
kajian yang mendalam. Hasil kajian dan penelitian
terhadap aksara Hangeul”.
tersebut kemudian perlu dipaparkan dan
Prinsip diskursus (D) dapat diperlihatkan
dipertanggungjawabkan di depan publik melalui
dengan melakukan diskursus untuk mencapai
forum resmi dan ilmiah, baik melalui kongres,
konsesus diantara partisipan, yakni masyarakat
seminar maupun simposium, sehingga dapat
Ciacia sebagai pendukung budaya Ciaca untuk
diterima oleh semua kalangan. Rekomendasi
mencapai kesepakatan menerima atau meno-
yang dihasilkan dalam forum tersebut dapat
laknya. Karena itu hanya norma yang telah
diajukan kepada lembaga-lembaga terkait,
dilaksanakan berdasarkan diskursus praktis
diantaranya Kementerian Dalam Negeri,
adalah norma yang dapat diakui kebenarannya.
163
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 2, Agustus 2015
Berdasarkan prinsip ini berarti pertimbangan
mengadaptasi aksara Korea itu terdapat dua
pelestarian Ciacia yang telah dilakukan
kubu yang saling bersaing, masing-masing
penguniversalan (U) hendaknya dapat dilakukan
mengklaim bahwa pandangannya sebagai upaya
diskursus praktis. Peserta diskursus adalah
untuk melestarikan bahasa Ciacia supaya tidak
pihak-pihak yang terikat dengan keberaksaraan
mengalami kepunahan. Pihak yang setuju lebih
Ciacia, tidak hanya di Kota Baubau saja, tetapi
berorientasi pada rasionalitas instrumental, yakni
diskursus praktis perlu melibatkan masyarakat
upaya pelestarian dimaksudkan untuk mencapai
Ciacia di luar Kota Baubau. Tampaknya kasus
sasaran yang bersifat ekonomis dan politis,
adaptasi aksara Korea ini belum sampai
sedangkan pihak yang tidak setuju lebih
melibatkan diskursus praktis yang mana semua
mempertimbangkan pelestarian bahasa Ciacia
pihak yang terikat dengan keberaksaraan Ciacia
sendiri sebagai sebuah kultur. Kedua, dalam
dilibatkan untuk mencapai saling pengertian.
situasi di mana dua pandangan bersaing maka
Di dalam diskursus praktis itu ruang publik
etika diskursus diperlukan, untuk mencari
menjadi penting. Persoalan ruang publik ditulis
kesepakatan dan saling pengertian, dalam
oleh Habermas dalam karyanya yang berjudul
menyelesaikan persoalan secara baik dan adil.
The Structural Transformation of the Public
Etika diskursus memeriksa apakah sebuah
Sphere: An Inquiry into a Category of
pandangan itu dapat dipertahankan secara
Bourgeouis Society. Ruang publik bukanlah
rasional, yakni dalam situasi tanpa tekanan
merupakan tempat tetapi sebuah kondisi atau
sehingga sebuah norma dapat diberlakukan
syarat
terjadinya
secara universal. Dalam kasus pelestarian
intersubyektifitas dalam sebuah pembicaraan
yang
memungkinkan
aksara Ciacia, telah dilakukan penelitian secara
bersama. Dalam disertasinya Seran (2009)
ilmiah namun di sisi lain diperlukan dialog untuk
menjelaskan konsep ruang publik itu sebagai
menguji kebenaran dari penelitian ilmiah
medan “pertempuran” pelbagai kepentingan
tersebut. Selanjutnya, diskursus praktis
masyarakat, ekonomi, dan politik yang harus
diperlukan dari masing-masing pihak yang terkait
diselesaikan menurut sebuah prosedur rasional
dengan pelestarian aksara Ciacia untuk
yang terlaksana dengan melibatkan semua pihak
melakukan konsesus, berdasarkan atas saling
yang bebas dan terbuka dalam pembicaraan
pengertian, dengan membuka dialog bersama
bersama. Kasus adaptasi aksara Korea tidak
masyarakat Ciacia baik di dalam dan di luar Kota
sepenuhnya dibuka ruang publik untuk para
Baubau. Hasil konsesus ini dapat menjadi
anggota masyarakat Ciacia agar dapat
rekomendasi DPR/DPRD untuk membuat
berpartisipasi menentukan kebijakan pemerintah
kebijakan terkait dengan pelestarian aksara
Kota Baubau yang terkait dengan budaya Ciacia.
Ciacia. Dalam kasus ini, ruang dialog terhadap
Kasus adaptasi ini menjadi monologal, tidak
masyarakat yang terkena dampaknya belum
terjadi intersubyektifitas diantara anggota
pernah dilakukan, karena itu penggunaan aksara
masyarakat Ciacia. Keputusan adaptasi lebih
Ciacia masih menjadi perdebatan.
berasal dari penguasa pemegang kebijakan pada waktu itu.
Saran Etika diskursus dapat menjadi prosedur untuk
SIMPULAN DAN SARAN
menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait
Simpulan
dengan pelestarian budaya secara baik dan adil.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
Pemerintah pusat dan daerah selayaknya
dua hal terkait dengan adaptasi aksara Korea
membuka saluran-saluran ruang publik untuk
menjadi aksara Ciacia. Pertama, dalam upaya
menyampaikan pendapat yang bebas dari
pelestarian bahasa Ciacia dengan cara
tekanan dari pihak manapun sebagai kekuatan
164
Mikka Wildha Nurrochsyam, Persoalan Pelestarian Bahasa Ciacia: Refleksi atas Etika Diskursus
untuk menyelesaikan persoalan pelestarian
bidang kebudayan, seperti yang dikenal dengan
budaya. Ruang publik memerlukan pelibatan
budaya musyawarah yang sudah dijalankan
masyarakat dalam pengambilan kebijakan di
sejak lama oleh masyarakat Indonesia.
PUSTAKA ACUAN Alirman, L. O. Juli 2010. Dialektika dan Kebijakan Keberaksaraan di Kota Baubau. Paper dipresentasikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara. Hanna, Firman AD, dan Sandra Safitri (Editor). Sulawesi Tenggara: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional. Baumeister, A Y. 2003. Habermas: Discourse and Cultural Diversity. Journal Political Studies, (51), hlm. 740-758. Davis, C. 2013. Language preservation. Journal Diverse Issues in Higher Education. 30(13), 7. Diprose, R. 2010. Dissensus, Melancholic Nationalism, And Biopolitics in The Work of Ewa Ziarek. Philosophy Today. Spep Supplement 2010: 43-50. Elis, A. 2005. Minority Right and The Preservation of Language. Philosophy, (80), hlm. 199-217 Habermas, J. 2007. Moral Consciousness and Communicative Action. Translate by Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen. USA: Polite Price. Hanan, S. S. 2014. Genealogi Bahasa Ciacia. Disertasi. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Ilmu Budaya, UGM Hanna. 2010. Tanggapan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap Jawaban Surat Pemerintah Kota Baubau mengenai Pemakaian Aksara Korea dalam Bahasa Ciacia. Sulawesi Tenggara: Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Hardiman, B. F. 2009. Demokrasi Deliberatif, Menimbang “Negara Hukum” dan “Ruang Publik” dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Publikasi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. http://www.hukumonline.com/pusatdata, diakses 30 Juli 2015. Jenlink, P. M. 2014. Discourse Ethics in the Desain of Educational System: Consideration for Desaign Praxis. Research Paper. Publised online in Wiley Inter Science. Jones, T. 2005. Indonesian Cultural Policy, 1950-2003, Culture, Institution, Government. The Thesis for the Degree of Doctorat pf Philosophy. Australia: Departemen of Media and Information Faculty of Media, Society, and Culture, Curtin University of Technology. Kusumohamidjojo, B. 2009. Filsafat Kebudayaan, Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 dan 40 tahun 2009. http://www.hukumonline.com/pusatdata, diakses 3 Agustus 2015 Peraturan Menteri dalam Negeri 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. https://portal.mahkamahkonstitusi.go.id. diakses 1 Agustus 2015 Powel, B. K. 2009. Discourse Ethics dan Moral Rasionalisme. Journal Dialog-Canadian, Philosopical Association, (48), hlm. 374-386.
165
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 2, Agustus 2015
Serafín, C.M.M. 2008. Language Ideologies of the High Academy of the Quechua Language in Cuzco, Peru. Journal. Latin American and Caribbean Ethnic Studies, 3(3), hlm. 319–340. Seran, A.2010. Etika Diskursus Jurgen Habermas Sumbangan bagi Pemahaman Undang-Undang Dasar 1945 dan Hubungannya dengan Pancasila. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Soe, P. 12 September 2014. Karenni Language, Alphabet to be Taught in Schools. Democratic Voice of Burma. http://e-sources.perpusnas.go.id. diakses 25 Juli 2015. Song, W. S. 2013. Being Korean in Buton? The Cia-Cia’s Adoption of The Korean Alphabet and Identity Politics in Decentralized Indonesia. Jurnal KEMANUSIAAN, 20(1), hlm. 51–80 Surat Edaran Kabinet Ampera No. 6 tahun 1967, https://id.wikisource.org/wiki/ Surat_Edaran_Presidium_Kabinet_Ampera_Nomor_06_Tahun_1967, diakses 1 Agustus 2015. Tamin, A. Juli 2010. Dialektika dan Kebijakan Keberaksaraan di Kota Baubau. Paper dipresentasikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara. Hanna, Firman AD, dan Sandra Safitri (Editor). Sulawesi Tenggara: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional. Yonhap News Agency. 26 Juli 2010.
[email protected]. Indonesia OKs Minority Tribe’s use of Korean Alphabet. http://english.yonhapnews.co.kr/ diakses 15 September 2014.
166