Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 15-27 ISSN 2302-5719
Vol. I, Nomor 2
Diskursus Local Wisdom:
Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan1 JIMMY JENIARTO
Alumnus Program S1 dan S2 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta Surel:
[email protected] Diterima: 19 Agustus 2013 Disetujui: 4 September 2013
ABSTRACT The term Local Wisdom is taken for granted. It is often perceived as the local society’s philosophy. In this paper, I would pose some problems to be criticized in order to understand Local Wisdom more thoroughly. Each problem would have its own implications which deal with the comprehension of Local Wisdom. Some parties conceive Local Wisdom as an ethical issue, while others see it as an epistemological issue. Moreover, it is understood by some that Local Wisdom is bequeathed by ancestors through traditions. Besides, there is another view that considers Local Wisdom as a kind of local knowledge, which is contextual in space and time. Key words: local wisdom, pengetahuan.
PENDAHULUAN Istilah Local Wisdom menjadi populer akhirakhir ini. Banyak kalangan menggunakan istilah Local Wisdom ketika merujuk pada suatu pengetahuan (praktis maupun teoritis) ataupun cara hidup tertentu yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu. Suatu pengetahuan maupun cara hidup yang disebut dengan istilah Local Wisdom itu diklaim sebagai unik dan tidak ada di tempat lain. Misalnya, kain batik dianggap oleh beberapa kalangan sebagai salah satu ben-
tuk Local Wisdom masyarakat Jawa. Pranata mangsa, yakni sistem kalender mengenai aktivitas pertanian di Jawa, juga disebut sebagai Local Wisdom.2 Bahkan, posisi raja (sultan) Yogya yang merangkap sebagai Gubernur Yogyakarta mungkin juga akan disebut sebagai Local Wisdom. Pengertian istilah Local Wisdom itu sen diri tampak diterima secara samar hingga saat ini. Terdapat pula kecenderungan menempatkan maksud istilah Local Wisdom di dalam posisi yang berseberangan ter hadap pemikiran rasional yang lazim pada
1
Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan berjudul “Soal Local Wisdom” yang pernah dimuat di majalah filsafat online Philosophy Angkringantanggal 20 Juni 2013.http://philosophyangkringan.wordpress.com/2013/06/20/ soal-local-wisdom/ 2 Misalnya, Suwarman Partosuwiryo di dalam artikel opini di surat kabar Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu, 20 Juli 2013 menyebut pranata mangsa sebagai Local Wisdom.
02-JIMMY JENIARTO.indd 15
10/26/2013 9:58:41 PM
16
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
masyarakat di negara-negara industri maju, lebih spesifik lagi negara-negara maju Eropa. Beberapa kalangan menempatkan Local Wisdom di dalam posisi bertentangan de ngan modernitas dan kebudayaan Eropa. Tulisan berikut ini bertujuan untuk men diskusikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap diskursus Local Wisdom. Persoalan-persoalan penting di dalam kaitannya dengan diskusi tentang Local Wisdom juga akan dikemukakan. Beberapa persoalan dan pertanyaan yang diajukan di dalam tulisan ini bukan hendak berpendapat tentang apa itu Local Wisdom, juga bukan bercerita tentang suatu pengetahuan dan praktek hidup masyarakat tertentu yang kemudian dilabeli sebagai Local Wisdom masyarakat tertentu. Tulisan ini bertujuan meninjau secara kritis atas pemaknaan dan posisi Local Wisdom dengan cara mengajukan persoalan-persoalan. Istilah Local Wisdom Beberapa hal perlu dijadikan pertimbangan terkait populernya istilah Local Wisdom saat ini. Apakah yang dimaksud sebagai Local Wisdom adalah ide-ide semata sehingga aktivitas-aktivitas dan artefak-artefak yang ada di dalam suatu masyarakat juga disebut Local Wisdom sejauh berkaitan dengan ide-
Vol I, 2013
ide di baliknya? Lantas, ide yang seperti apa? Jika seturut dengan istilahnya, maka ide tersebut adalah ide yang wise atau bijaksana. Pengertian ini masih umum, maka perlu dipikirkan untuk diperjelas lagi. Sartini (2009: 24-26) mengatakan bahwa Local Wisdom dapat didudukkan sebagai bagian dari filsafat sebagai produk, yakni sebagai “konsep filsafati”.3 Sartini, di sini, menempatkanLocal Wisdomsebagai filsafat di dalam pengertiansebagai pandang an hidup yang telah ada di dalam suatu masyarakat lokal tertentu.4 Jika istilah Local Wisdom dimaksudkan sama dengan filsafat, maka, secara bahasa, penggunaan kata “wisdom” di dalam istilah “Local Wisdom” itu sendiri tentu terinspirasi dari kata yang sama di dalam istilah “filsafat”. Istilah Local Wisdom, jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kurang-lebih berarti kebijaksanaan lokal, atau kebijaksanaan (masyarakat) setempat. Di dalam bahasa Indonesia juga sering digunakan kata “arif” dan “kearifan” untuk menerjemahkan istilah Local Wisdom di dalam pengertian yang sama dengan kebijaksanaan.5 Beberapa pihak mungkin akan mempersoalkan penyamaan antara pengertian kata “bijaksana” dengan kata “arif”.6 Namun, di dalam konteks penggunaan kedua kata tersebut berkaitan dengan pengertian
3
Sartini di dalam konteks inimenempatkan Local Wisdom sebagai suatu produk hasil proses berpikir. Pemikiran Sartini ini didasarkan pada pembedaan antara filsafat sebagai produk pemikiran terhadap filsafat sebagai proses atau aktivitas berfikir. 4 Contoh lain, koran Kedaulatan Rakyat edisi Minggu 22 September 2013 memberitakan festival memedi sawah (orangorangan pengusir burung di sawah) di Bantul, Yogyakarta. Koran tersebut menyatakan memedi sawah sebagai kearifan lokal dan memiliki muatan filosofis (Kedaulatan Rakyat, 2013: 1, 6). Di sini dapat dilihat bagaimana memedi sawah ditempatkan sebagai kearifan lokal (Local Wisdom) yang berkaitan dengan filsafat sebagai pandangan hidup. 5 Sartini (2009: 9) menyamakan pengertian “bijaksana” dan “arif” berkaitan dengan penerjemahan Local Wisdom. Istilah Local Wisdom diterjemahkan oleh Sartini sebagai kearifan setempat tanpa dibedakan dengan istilah kebijaksanaan setempat. Di dalam bab pendahuluan buku Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global yang dieditori oleh Irwan Abdullah (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM) bersama Ibnu Mujib dan M. Iqbal Ahnaf (dosen-dosen Sekolah Pascasarjana UGM),istilah Local Wisdom diterjemahkan sebagai kearifan setempat tanpa mempersoalkannya dengan istilah kebijaksanaan setempat (Abdullahet al. (ed.), 2008: 1-10). 6 Kata “arif” merupakan serapan dari bahasa Arab ‘arif. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiayang disusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, kata “arif” diterjemahkan:adj. (1) bijaksana; cerdik dan pandai; berilmu. (2) paham; mengerti. Kata “kearifan” diterjemahkan:n. kebijaksanaan; kecendekiaan (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 65).
02-JIMMY JENIARTO.indd 16
10/26/2013 9:58:41 PM
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
tentang disiplin filsafat, pembedaan antara kata “arif” dan “bijaksana” menjadi kurang relevan.7 Secara literal, kata sofia (ejaan Inggris: sophia) berarti kebijaksanaan (wisdom). Sedangkan penggunaan kata sofia di dalam istilah filosofia (philosophia) pada saat kemunculannya di Yunani Kuno (dan Klasik) dimaknai sebagai pengetahuan. Istilah “kebijaksanaan” (sofia) bermakna lebih dari sekedar kebijaksanaan di dalam pengertian umum, namun merupakan upaya intelektual (Nightingale, 2004: 29-35). Sofia, di dalam konteks kemunculan istilah filsafat, dimaksudkan sebagai pengetahuan tentang realita. Sofia, pada saat itu, merupakan pengetahuan yang diupayakan oleh para filosof. Kata sofia diperuntukkan bagi pengetahuan yang paling penting dan dapat meningkatkan taraf kehidupan (Gerson, 2009: 6). Kata sofia, wisdom, ‘arif, dan “bijaksana” di dalam penggunaan bahasa umum sehari-hari berkaitan dengan ajaran moral atau etika (etika di dalam arti sebagai ajar an moral atau sistem nilai, bukan di dalam arti sebagai filsafat moral). Lebih lanjut, apakah Local Wisdom dimengerti sebagai suatu pengetahuan tentang etika semata, ataukah dimengerti sebagai pengetahuan yang lebih luas dan tidak terbatas pada etika? Keduanya memiliki implikasi masingmasing. Namun, baik pengetahuan tentang etika maupun pengetahuan umum yang lebih luas, keduanya tentu bersifat lokal, sebagaimana kata “local” yang ada. Pada pengertian pertama, istilah Local Wisdom dimengerti sebagai pengetahuan atau pandangan hidup yang luhur masyarakat setempat.Di dalam pengertian
jimmy jeniarto
17
pertama tersebut, kata “wisdom”berarti sebagai keluhuran moral, bukan sebagai pengetahuan umum dan luas, atau dengan kata lain sebagai persoalan etika di dalam arti sistem nilai dan bukan persoalan epistemologi. Local Wisdom, dengan demikian, berarti pandangan hidup yang luhur dari masyarakat setempat. Pada pengertian kedua, istilah Local Wisdom mengacu pada arti dari pembentukan istilah filsafat, sehingga istilah Local Wisdom dapat diartikan sebagai pengetahuan lokal atau pengetahuan (yang dimiliki oleh masyarakat) setempat tentang segala hal. Apa yang dimaksud dengan “kebijaksana an” adalah “pengetahuan” sebagaimana arti yang dimengerti pada saat kemuncul an disiplin filsafat di Yunani. Pengetahuan di sini bermakna luas dan tidak terbatas pada persoalan etika. Selain itu, pengertian Local Wisdom perlu dijelaskan lagi apakah sebagai pengetahuan yang permanen (statis) atau pengetahuan yang berubah (dinamis)? Pengetahuan dinamis dan permanen (statis) ini pertama-tama berkaitan dengan sumber pengetahuan mengenai Local Wisdom. Apakah Local Wisdom diwariskan melalui tradisi ataukah diupayakan secara mandiri?Jika pengertian Local Wisdom adalah pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun, maka ia merupakan pengetahuan yang bersifat permanen. Pengertian Local Wisdom di sini mengacu pada pandangan-pandangan hidup yang diwaris kan oleh generasi-generasi sebelumnya atau nenek-moyang masyarakat setempat secara turun-temurun yang kebenarannya dianggap permanen.Dengan demikian, segala persoalan hidup senantiasa diselesai-
7
Istilah “filsafat”berasal dari bahasa Arab falsafah. Kata falsafahitu sendiri merupakan serapan dari kata Yunani filosofia. Oleh karena itu, kata Arab ‘arif(Indonesia: “arif”) dan kata Indonesia “bijaksana” tidak memiliki pengalaman pembentukan istilah filosofia sebagaimana muncul di dalam bahasa Yunani. Bahasa Arab dan bahasa Indonesia me nerima jadi istilah filosofia beserta maknanya, yang kemudian diserap menjadi falsafahdan filsafat.
02-JIMMY JENIARTO.indd 17
10/26/2013 9:58:42 PM
18
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
kan melalui pengetahuan yang diwariskan melalui tradisi. Berbeda halnya bila istilah Local Wisdom dimengerti sebagai suatu pengetahuan masyarakat setempat yang bersifat dinamis. Dinamika persoalan hidup manusia yang dihadapi secara lokal oleh masyarakat setempat kemudian melahirkan apa yang dikenal sebagai pengetahuan lokal. Namun, Local Wisdom di dalam pengertian ini berarti bukan merupakan suatu pengetahuan yang bersifat permanen yang diwaris kan secara turun-temurun melalui tradisi. Local Wisdom di dalam pengertian ini justru merupakan perubahan pengetahuan secara terus-menerus yang sifatnya lokal. Pengetahuan dan kebenaran pengetahuan di sini senantiasa dicari secara terus menerus. Istilah Local Wisdom itu sendiri muncul dalam kaitannya dengan studi-studi kebudayaan yang dilakukan oleh para akademisi terhadap berbagai masyarakat di negara-negara berkembang dan miskin, yang diawali dengan digunakannya istilah local genius.8 Istilah Local Wisdom digunakan untuk membuat suatu penggolong an terhadap berbagai macam fenomena pengetahuan (pemikiran) maupun praktek hidup suatu masyarakat di negara-negara berkembang yang berbeda atau tidak ditemukan di negara-negara maju. Berbagai pengetahuan dan praktek hidup tersebut dianggap bersifat fungsional hanya di tempat itu. Fungsionalitas tersebut sering diganti dengan pernyataan bahwa setiap masyarakat memiliki rasionalitasnya ma sing-masing. Istilah rasionalitas di sini kemudian menjadi jamak di dalam tafsirannya.
Vol I, 2013
Persoalan-persoalan yang Mengemuka Jika uraian singkat di atas dapat diterima, maka Local Wisdom dapat dianggapsebagai suatu pengetahuan.Namun belum jelas di dalam kategori pengetahuan yang rasional ataukah irasional. Selain itu, Local Wisdom belum diterima secara jelas apakah berisi pengetahuan etika semata, ataukah juga berisi pengetahuan yang mencakup segala bidang. Local Wisdom juga belum jelas dimasukkan sebagai pengetahuan yang dinamis ataukah yang statis. Persoalan-persoalan tersebut akan didiskusikan guna membantu menganalisisLocal Wisdom. 1. Hubungan dengan rasionalitas Pada pokoknya, rasionalitas dipahami di dalam dua wilayah pengertian, yakni pengertian yang menyangkut aspek internal dan pengertian yang menyangkut aspek eksternal. Pada aspek internal, terdapat dua pengertian. Pertama, apa yang dimaksud dengan rasio adalah pikiran manusia. Pikiran manusia tersebut ditempatkan secara berseberangan dengan alatalat indera manusia. Di sini, rasio dipertentangkan dengan sensasi dan empiri.9 Pada epistemologi, terjadi persaingan antara dua aliran utama (yakni empirisme dan rasionalisme), tentang pihak yang primer di dalam menghasilkan pengetahuan. Kedua, rasio dimengerti di dalam kait annya dengan kaedah berpikir. Di dalam hal ini, rasional dan irasional dikaitkan dengan logika. Pemikiran yang disebut rasional ialah pemikiran yang dihasilkan melalui atau menuruti kaedah-kaedah logika. Rasio diidentikkan dengan intelek. Di sisi lain, irasional di dalam konteks ini
8
Istilah local genius digunakan oleh H.G. Quaritch Wales untuk menyebut elemen-elemen lokal pada masyarakat Asia Tenggara di dalam evolusi kebudayaan mereka selama periode Hindu dan Budha serta kaitannya dengan India(Mills, 1952: 407). 9 Sensasi (indera) dan empiri (pengalaman) manusia dijadikan sumber utama di dalam proses munculnya pengetahuan.
02-JIMMY JENIARTO.indd 18
10/26/2013 9:58:42 PM
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
berkaitan dengan pemikiran yang tidak diproses dengan kaedah-kaedah logika. Irasional juga diidentikan dengan hal selain intelek, misalnya imajinasi dan intuisi. Wilayah pengertian rasional yang ke dua berkaitan dengan aspek eksternal. Pada wilayah ini, rasio dimengerti sebagai pikiran manusia yang mandiri dan kritis. Rasional dipertentangkan dengan pengetahuan irasional, di mana istilah irasional di sini dimengerti sebagai suatu pengetahuan yang dianggap tidak berdasar olah rasio mandiri, atau keyakinan terhadap pengetahuan yang berasal dari luar dan keyakinan yang hanya berdasar otoritas luar. Contoh otoritas luar tersebut adalah wahyu, tradisi, dan mitos. Mitos diterima sebagai otoritas luar yang secara permanen diterima kebenarannya dan diwariskan turun temurun melalui tradisi.10 Filsafat di dalam bentuk paling awal di Yunani Kuno berada di dalam kubu rasionalisme sebagai pemikiran mandiri yang dipertentangkan terhadap irasionalisme sebagai pengetahuan yang tidak mandiri. Contoh pengetahuan yang tidak mandiri, atau berdasar otoritas luar, adalah cerita keagamaan dan mitos yang diwariskan secara tradisi. Filsafat berada di garis rasionalitas di dalam pengertian sebagai pemikiran mandiri ini.11 Di sini hanya dibedakan antara pengetahuan rasional dan pengetahuan irasional.
jimmy jeniarto
19
Manusia menjumpai berbagai pengalam an hidup dan berbagai pengalaman hidup tersebut mendorong rasio untuk selalu mem proses pengetahuan-pengetahuan baru. Rasio manusia selalu berproses sehingga kebudayaan dan peradaban manusia juga terus berproses. Jika Local Wisdom ditempatkan sebagai bagian dari tradisi filsafat, maka perlu dijelaskan tentang bagaimana proses adaptasinya dengan potensi rasional manusia. Bukan tidak mungkin bila suatu pengetahuan atau praktek hidup yang telah dilabeli dengan istilah “Local Wisdom” justru akan bertentangan dengan potensi rasio manusia. Pertentangan dapat terjadi dika renakan Local Wisdom ditempatkan sebagai otoritas yang menjadi pandu sekaligus pembatas aktivitas rasio manusia. Local Wisdom tersebut diperlakukan sebagai tradisi dan disikapi melalui pemikiran tradisional. Padahal, filsafat merupakan aktivitas olah rasio yang kritis di dalam menghadapi realitas. Walaupun demikian, jika kemudian terdapat argumen bahwa Local Wisdom tidak harus seperti filsafat (Barat) yang rasional, maka istilah Local Wisdom telah dipisahkan dari pembentukan awal arti istilah filosofia. Wisdom tidak lagi “pengetahuan” sebagaimana pada istilah filsafat, yang secara implisit merupakan pencarian pengetahuan terus menerus, atau sebuah proses.
10
Karl Popper (1989: 26-27) mengatakan bahwa sebenarnya sumber terpenting pengetahuan kita (selain pengetahuan bawaan) berasal dari tradisi. Banyak hal yang kita ketahui berasal dari tradisi. Namun begitu, menurut Popper(1989: 122), terdapat dua sikap terhadap tradisi, yakni kritis dan tidak kritis. Sikap tidak kritis adalah menerima tradisi. Penerimaan tersebut bahkan bisa dilakukan tanpa sadar. Di sisi lain, sikap kritis adalah mengetahui dan mengerti terlebih dahulu suatu tradisi sebelum melakukan kritik. Sikap kritis dapat berakhir menerima, menolak, atau bahkan kompromi terhadap suatu tradisi. 11 Dengan menggunakan pemikiran Poppersebagai kerangka teoritik, yakni tentang kemunculan tradisi baru, maka dapat dikatakan kemunculan filsafat terjadi melalui pertentangan antara rasionalisme melawan tradisionalisme. Menurut Popper, tradisionalisme adalah keyakinan yang menerima otoritas tradisi. Di sisi lain, kaum rasionalis tidak tertarik dengan tradisi. Tradisi dianggap sebagai hasil pemikiran orang lain di jaman dahulu. Para rasionalis ingin menggunakan pikiran mereka sendiri dan menilai sesuatu secara bebas dari tradisi. Kaum rasionalis adalah mereka yang menantang dan mengkritik segala sesuatu, dan tidak tunduk secara buta terhadap tradisi, termasuk tradisi mereka sendiri. Lebih jauh, kemunculan filsafat adalah kemunculan tradisi baru, yakni tradisi akal kritis (Popper, 1989: 120-126).
02-JIMMY JENIARTO.indd 19
10/26/2013 9:58:42 PM
20
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
Istilah “wisdom” barangkali malah dijadikan sebagai penghalusan bagi penyebutan terhadap otoritas luar yang diterima dan diyakini secara tidak kritis, atau semacam pengetahuan yang diwariskan turun temurun tanpa proses kritik, misalnya di dalam bentuk petuah, sabda, dan cerita-cerita mitos. 2. Hubungan dengan Mitos Mitos kerap dimengerti sebagai lawan dari realitas (mitos adalah fiksi) dan juga lawan dari rasionalitas (mitos adalah tidak logis, tidak masuk akal). Di dalam sejarah penggunaanya, kata “mitos” mengalami perubahan makna dari waktu ke waktu. Pada awalnya, mitos merupakan bagian dari legein (nominatif: logos). Pada perkembangannya kemudian, mitos dilawankan terhadap logos (Vernant, 1990: 203-204). Selain itu, mitos juga dibedakan dengan sejarah. Mitos sering melibatkan aspek supranatural. Terlepas dari perkembangan makna, mitos adalah cerita yang berisi berbagai persoalan hidup manusia serta jawabannya, yang dengan mitos tersebut manusia berusaha menjelaskan, meramal, dan me ngontrol realitas. Bahkan, menurut Popper, banyak teori ilmiah yang dihasilkan oleh mitos-mitos lama yang telah ada.12 Bagaimanapun juga, mitos merupakan satu tahapan yang memiliki peran di dalam perkembangan pengetahuan manusia. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia terus bertambah dan berkembang seiring dengan perkembangan persoalan antar-individu, antar-kelompok sosial, dan
Vol I, 2013
antar-generasi. Penjelasan-penjelasan lama yang bertentangan dengan fakta-fakta baru yang ditemukan akan segera dibuang ka rena terbukti salah secara faktual. Banyak di antara penjelasan-penjelasan lama tersebut yang kemudian disebut sebagai mitos. Meski demikian, terdapat beberapa pen jelasan lama yang dianggap tidak faktual namun tetap dipertahankan dengan cara menggeser makna. Mitos tetap dipercaya oleh penganutnya, namun dengan cara yang berbeda bila dibandingkan dengan cara percaya terhadap fakta dan sejarah.13 Dengan cara menggeser makna, maka kebenaran yang dipercaya pada mitos adalah makna yang bernilai. Ringkasnya, mitos dianggap memiliki kebenarannya sendiri (Dowden, 1992: 2-5). Di dalam konteks ini, mitos bisa fungsional tapi belum tentu benar secara faktual dan historis. Perlu dibedakan pula pengertian antara mitos yang diwariskan secara turun temurun dengan pengertian tentang imajinasi kreatif, bila keduanya dikatakan sama-sama merupakan fantasi. Pada mitos warisan tradisi, mitos tersebut pernah dipercaya kebenarannya secara faktual dan historis. Sedangkan pada imajinasi kreatif, kebenaran dari cerita bersangkutan masih berada pada taraf harapan, asumsi, maupun hipotesis, guna memberi visi pada kehidupan. Kebenaran isi cerita imajinatif belum diakui sebagai faktual. Penyematan istilah “mitos” pada teori-teori modern merupakan penyebutan terhadap pendapat yang melakukan klaim kebenaran faktual dan historis terhadap imajinasi yang sebe-
12
Dalam pemikiran Popper, mitos bisa menghasilkan teori-teori ilmiah. Sains dibedakan terhadap mitos (yang lebih tua) bukan karena ia bersifat jelas dibanding mitos, namun dikarenakan bahwa sains disertai oleh tradisi tingkat kedua, yakni diskusi kritis terhadap mitos. Di bawah tekanan kritik, mitos-mitos dipaksa untuk menyesuaikan diri mememberi gambaran dunia di mana kita hidup secara memadai dan lebih detil (Popper,1989: 127-128). 13 Kebenaran mitos diterima dan dipercaya tanpa melalui kritik dan pembuktian, sedangkan fakta dan sejarah diterima melalui proses kritik dan pembuktian.
02-JIMMY JENIARTO.indd 20
10/26/2013 9:58:42 PM
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
narnya masih merupakan harapan, asumsi, dan hipotesis. Di atas disebutkan bahwa salah satu kemungkinan pengertian Local Wisdom adalah sebagai pengetahuan yang diwariskan oleh nenek moyang dan kebenarannya dianggap permanen. Jika suatu mitos dianggap sebagai Local Wisdom di dalam arti ini, maka tidak akan ada kebaruan yang berarti pada mitos tersebut. Mitos, sebagai Local Wisdom di dalam pengertian ini, bersifat permanen. Sedangkan pengetahuan manusia selalu berubah dan berkembang. Dengan demikian, mitos dan pengetahuan baru berada di posisi yang saling bertentangan. Mitos adalah produk yang telah ada, sebagai hasil pemecahan persoalan yang pernah ada. Sedangkan pengetahuan baru adalah hasil dari potensi rasio manusia di dalam lingkungan persoalan baru dan aspirasi baru. Beda halnya jika mitos yang dianggap sebagai Local Wisdom tersebut dilihat di dalam fungsi etisnya yang dipandang permanen, yang berarti pula Local Wisdom dimaknai sebagai pengetahuan etis. Kebenaran di sini berarti kebenaran etis, atau lebih tepat disebut kebaikan. Pemahaman terhadap mitos di dalam kerangka etis ini sejalan dengan pemaknaan Local Wisdom melalui cara penggeseran makna.14 Namun tetap saja pengetahuan (etis) yang terkan dung di dalam mitos tersebut dianggap sebagai warisan tradisi atau otoritas luar. Mitos-mitos warisan masa lalu yang isinya bertentangan dengan fakta-fakta baru dan perkembangan nalar manusia kontem-
jimmy jeniarto
21
porer, tidak dapat dipertahankan melalui sikap lama, yakni sikap yang menerima apa adanya kebenaran isi mitos tersebut. Jika mitos-mitos tersebut hendak diperta hankan, dengan alasan sebagai warisan budaya, maka perlu dilakukan dengan cara baru, yang hal ini berarti pula akan terjadi pergeseran makna.Bagaimanapun juga, banyak pengetahuan lama (baik tentangmasyarakat maupun tentang alam) yang berbeda dan bertentangan dengan faktafakta dan persoalan-persoalan kontemporer. 3. Persoalan kontemporer seiring kemajuan sains dan teknologi Teknologi sebenarnya bukan ciptaan dunia modern belaka, jika kata “modern” dimengerti sebagai masa renaisans dan pencerahan (aufklarung) di Eropa. Teknologi telah ada sejak manusia mampu membuat peralatan untuk membantu kehidup an. Sebagaimana telah disinggung di atas, pada awalnya, di jaman dahulu, manusia memiliki pandangan spiritual tentang du nia di mana ia hidup berupa mitos, bahkan tentang kejadian yang alamiah sekalipun. Namun pada saat yang sama, manusia juga membuat kemajuan di dalam peralatan yang digunakan di dunia sekitar mereka. Kemajuan tersebut bersifat praktis, teknolo gis, dan bukan ilmiah. Kemajuan tersebut merupakan perkembangan peralatan dan metode dalam rangka memperbaiki kehidupan manusia, dan bukan pencarian pengetahuan secara murni untuk memper-
14
Sesuatu yang telah ditolak kebenarannya dikarenakan salah secara faktawi masih bisa diterima dengan cara diubah maknanya.Di dalam kerangka etis, sesuatu bisa diterima oleh masyarakat dikarenakan fungsionalitasnya secara etis (moral), bukan kebenarannya secara faktawi. Misal, hingga saat ini sebagian masyarakat Jawa non-Hindu masih menyukai cerita wayang dikarenakan ajaran moral di dalamnya. Namun mereka tidak mengakui keberadaan faktawi dari tokoh-tokoh di dalam wayang, termasuk para dewa (tuhan) di dalam cerita tersebut, dan menganggap cerita wayanghanya sebagai mitos. Jika cerita wayang dianggap sebagai Local Wisdom, maka Local Wisdom di sini berarti pencarian makna terus menerus dengan menafsirkan secara baru suatu warisan masa lalu, atau dengan kata lain menggeser makna sesuatu yang dahulu pernah dipercaya secara faktawi menjadi dipercaya fungsi etisnya (ajaran moral) saja saat ini.
02-JIMMY JENIARTO.indd 21
10/26/2013 9:58:42 PM
22
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
oleh pemahaman tentang alam dan cara kerja alam (Spangenburg dan Moser, 2004: 6). Pembuatan alat untuk berburu serta pengetahuan tentang pertanian merupakan bagian dari perkembangan teknologi dan metode yang terjadi saat itu.15 Pada masa kontemporer ini, masifnya perkembangan teknologi telah mempercepat perubahan cara hidup manusia. Teknologi seolah menyempitkan ruang dan mengefisienkan waktu. Batas geografi menjadi kabur, rentang waktu seolah menjadi elastis. Manusia berinteraksi secara lebih luas dan cepat, relatif tanpa dihalangi oleh batas-batas kebudayaan, geografi, serta waktu. Namun di sisi lain, perkembang an teknologi dan perubahan cara hidup manusia juga melahirkan persoalan-persoalan baru yang belum pernah ada pada era sebelumnya. Persoalan-persoalan baru butuh solusi-solusi baru. Sains merupakan pengetahuan yang menjadi tenaga utama penggerak akselerasi perubahan cara hidup manusia saat ini. Jenis-jenis pengetahuan lainnya berlombalomba untuk mengilmiahkan diri agar dianggap tetap relevan dengan perkembangan jaman. Akibatnya, muncul beberapa bidang pengetahuan baru yang bermaksud agar pengetahuan-pengetahuan tertentu yang telah ada dapat diterima di era sains, misalnya Ilmu Gaib (occult sciences).16 Pengetahuan yang telah ada tersebut menambahkan kata “science”(ilmu) agar dikesankan terlegitimasi oleh pengetahuan ilmiah (scientific). Sains berusaha memberi jawaban praktis dan teoritis atas segala persoalan yang ditemui manusia, sehingga sains terus
Vol I, 2013
berkembang sejalan dengan perubah an persoalan yang ditemui. Local Wisdom yang disebut sebagai pengetahuan yang diciptakan oleh generasi lampau juga pernah menjadi jawaban praktis dan teoritis bagi persoalan suatu masyarakat tertentu di waktu lampau. Jika terjadi perubahan sudut pandang pengetahuan manusia kontemporer di dalam menghadapi persoalanpersoalan baru, maka bukan tidak mungkin Local Wisdom yang telah ada di dalam suatu masyarakat juga akan berubah oleh karena pengaruh sudut pandang ilmiah. Perubahan praktek hidup dan pengetahuan manusia kontemporer yang termanifestasikan di dalam perkembangan teknologi dan kelaziman sains merupakan ujian untuk mengukur seberapa signifikannyasesuatu yang disebut sebagaiLocal Wisdom dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang merupakan akibat dari praktek hidup dan pengetahuan manusia kontemporer. Persoalan yang dihadapi oleh manusia kontemporer bukan sekedar dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh aplikasi atas sains dan teknologi, tetapi manusia juga menemukan persoalan-persoalan baru dalam rangka usaha melangsungkan dan mempertahankan hidup di dalam suasana dan lingkungan baru yang dipengaruhi oleh sains dan teknologi. Sementara itu, kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi saat ini berdampak pada interaksi antar-manusia, sehingga terjadi saling perjumpaan antarmanusia dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, namun dihadapkan pada persoalan kontemporer yang relatif sama.
15
Pranata mangsa, atau sistem kalender pertanian di Jawa, sebagaimana disebut di atas merupakan contoh kemajuan pengetahuan manusia yang dihasilkan secara praktis untuk memperbaiki kehidupan dan bukan dalam rangka pencarian demi pengetahuan itu sendiri. 16 Istilah “ilmu” merupakan pemendekan istilah “Ilmu Pengetahuan”, yang merupakan terjemahan bahasa Indonesia untuk kata “science”. Jujun Suriasumantri, di dalam bukunya, menyinggung beberapa persoalan terkait penerjemahan kata science ke dalam bahasa Indonesia (Suriasumantri, 2009: 291-296).
02-JIMMY JENIARTO.indd 22
10/26/2013 9:58:42 PM
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
Bisa saja suatu persoalan serupa (global) dipecahkan dengan cara setempat-setempat (lokal). Namun, pemecahan ini tidak menjamin bahwa cara lama yang telah ada di suatu tempat tertentu dapat digunakan kembali sebagai alat pemecahan terhadap pesoalan baru yang terus muncul. Selain itu, efek dari perjumpaan antar-manusia yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi adalah kemungkinan terjadinya perubahan-perubah an cara pikir suatu masyarakat, termasuk kemungkinan pengaruhnya terhadap Local Wisdom. Manusia kontemporer adalah manusia dengan mobilitas dan komunikasi yang cepat dan intensif sebagai akibat dari perkembangan sains dan teknologi. 4. Hubungan dengan filsafat kontemporer Perdebatan filsafat kontemporer global (internasional) mengambil isu-isu persoalan manusia kontemporer untuk dipecahkan. Diskusi dan kritik yang terjadi di dalam perdebatan filsafat kontemporer tak lepas dari persoalan tidak memadainya pemikiran-pemikiran lama di dalam menghadapi persoalan-persoalan baru. Asumsinya, jika pemikiran-pemikiran lama yang telah ada dapat memberi pemecahan atas persoalan-persoalan baru, maka persoalanpersoalan baru yang selalu muncul dapat diselesaikan dengan cara lama. Namun, kenyataannya tidak demikian, karena selalu ada persoalan baru yang tidak bisa diselesaikan dengan cara lama. Oleh karena itu, selalu ada pemikiran filsafat baru yang muncul yang mencoba memberi analisis dan solusi baru. Di dalam arus diskursus filsafat kontemporer global, apakah peran Local Wis
jimmy jeniarto
23
dom berposisi sebagai objek material ataukah objek formal?Jika Local Wisdom berposisi sebagai objek material, maka apa bedanya kajian Local Wisdom dengan kajian Antropologi maupun sebagai bagian dari kajian Sejarah Filsafat (bila memang layak disebut filsafat)? KetikaLocal Wisdom ditempatkansebagaiobjek material, maka Local Wisdom semata dipetakan, dideskripsikan, dan didokumentasikan, namun tidak digunakan sebagai alat analisis bagi persoalan kontemporer.17 Sedangkan jika Local Wisdom diposisikan sebagai objek formal, maka ia akan bertemu dengan persoalan-persoalan baru, juga dengan pemikiran-pemikiran baru, yang barangkali belum pernah ada sebe lumnya. Persoalan baru membutuhkan cara pemecahan yang baru, sehingga pemecah an persoalan senantiasa berubah. Jika Local Wisdomdinilai memiliki kemampuan berposisi sebagai objek formal, maka sejauh apa kemampuannya berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran lain yang muncul dari ruang dan waktu yang lain, baik yang bersifat universalia maupun yang bersifatpartikularia? Mau tak mau, seiring perubahan praktek hidup manusia kontemporer, apa yang disebut sebagai Local Wisdom akan berinteraksi dengan pengetahuan global dan universal, serta pengetahuan partikular dari tempat lain. Akibatnya, terbuka pula kemungkinan terjadinya berbagai penyesuaian antara pengetahuan lokal dengan pengetahuan dari luar dan hal ini akan berdampak pada perubahan-perubahan. Padahal, apabila Local Wisdom dipandang sebagai warisan leluhur yang kebenarannya dianggap permanen, maka tidak ada kemungkinan perubahan bagi Local Wisdom.
17
Pemikiran Sartini (2009: 24) yang menempatkan Local Wisdom sebagai produk, sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah contoh penempatan Local Wisdom di dalam posisi sebagai objek material.
02-JIMMY JENIARTO.indd 23
10/26/2013 9:58:42 PM
24
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
5. Hubungan dengan keadaan sosial Sebagai suatu pemikiran atau pengetahuan yang dianggap permanen kebenarannya dan diwariskan secara turun temurun, maka Local Wisdom memapankan pengetahuan dan praktek hidup tertentu. Local Wisdom dianggap sebagai pemecahan persoalan kehidupan bagi masyarakat tertentu. Local Wisdom yang dianut oleh masyarakat tersebut juga berarti pengetahuan (ide) dan praktek hidup yang berlaku umum, atau kekuatan yang memengaruhi masyarakat bersangkutan. Jika suatu pengetahuan dan praktek hidup di dalam suatu masyarakat telah mapan, maka kedudukan sosial juga telah tetap. Posisi antar-individu juga tetap. Jika masyarakat bersangkutan terstruktur di dalam kelas-kelas sosial, maka kemapanan pengetahuan dan praktek hidup mengimplikasikan kemapanan kedudukan kelas-kelas sosial. Juga kemapanan suatu posisi individu terhadap individu yang lain. Local Wisdom yang dianut di dalam masyarakat tersebut berarti ide dan praktek hidup yang melanggengkan kemapan an tersebut. Apakah posisi antar-individu dan antar-kelas sosial tersebut saling menguntungkan ataukah merugikan satu pihak? Jika saling menguntungkan, maka kemapanan tidak akan dipersoalkan. Namun, jika ada satu pihak yang dirugikan, maka kemapanan tersebut akan digugat
Vol I, 2013
oleh pihak yang dirugikan, namun pada saat yang sama akan dipertahankan oleh pihak yang diuntungkan.18 Apabila di dalam suatu masyarakat terjadi ketidakpuasan atas suatu kemapanan sosial, maka akan muncul ide-ide tandingan melawan ide yang umum (lazim, berkuasa) yang menopang kemapanan keadaan masyarakat tersebut. Setiap usaha untuk memunculkan pengetahuan dan praktek hidup baru akan berhadapan de ngan pengetahuan dan praktek hidup lama yang ada. Jika Local Wisdom dianggap permanen kebenarannya secara turun temurun, maka akan terjadi ketegangan antara aspirasi baru dengan Local Wisdom yang telah ada yang telah diwariskan secara turun temurun. Ketegangan ini mencermin kanbahwa kemapanan pengetahuan dan praktek hidup yang sedangberlaku tengah diguncang. Ringkasnya, Local Wisdom yang ada sedang digugat. Pihak-pihak yang berkepentingan de ngan kemapanan akan mempertahankan Local Wisdom yang telah ada dan menolak kemungkinan kemunculan pengetahuan baru tandingan. Kemapanan selalu ber usaha mempertahankan status quo. Di dalam situasi demikian, Local Wisdom dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan status quo mengenaiposisi antar-individu maupun kelas-kelas sosial.19
18
Misal, jika sistem politik feodalisme Jawa dipraktekkan sebagai Local Wisdom,dengan alasan sebagai pemikiran politik warisan budaya, maka kelas bangsawan akan diuntungkan secara ekonomi dan politik. Contoh kasus, hingga saat inirebutan tanah antara para petani lahan pantai di Kulon Progo, Yogyakarta, dengan pihak Keraton Pakualaman masih berlangsung. Para petani mengatakan bahwa para orang tua mereka merebut lahan tersebut dari penguasaan Jepang dan mereka (para petani dan orang tuanya) telah menggarapnya selama puluhan tahun. Sedangkan pihak Keraton Pakualaman mengklaim bahwa,sebelum kedatangan Jepang, lahan pantai tersebut merupakan tanah Keraton Pakualaman. Sistem politik feodalisme akan berpihak pada Keraton Pakualaman, yang berarti lahan pantai akan diambil oleh Keraton Pakualaman. Para petani tentu menolak sistem politik feodalisme tersebut. 19 Sebagai contoh, Soeharto dikenal sering menggunakan petuah-petuah kebijaksanaan Jawa untuk mengamankan posisi politiknya pada masa Orde Baru. Soeharto menggunakan peribahasa Jawa rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa(kira-kira berarti: mengira mengerti padahal tidak mengerti) untuk menyatakan ketidaksukaannya pada gerakan “Petisi 50” (Dwipayana, G. & Ramadhan K.H., 1989: 347). Kelompok “Petisi 50” yang muncultahun 1980 berisi para tokoh terkemuka yang mengkritisi pemerintahan Soeharto. Pernyataan Soeharto dapat dilihat sebagai upaya Soeharto dalam rangka mengamankan posisi politik dari kemungkinan ancaman menguatnya penentang dirinya.
02-JIMMY JENIARTO.indd 24
10/26/2013 9:58:42 PM
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
Local wisdom dan Sikap Epistemologis Di sini, pemaknaan Local Wisdom akan dikaitkan dengan dua sikap epistemologis yang saling bertentangan. Popper mengatakan bahwa terdapat dua sikap epistemologis, yakni: pertama, optimisme epistemologis; kedua, pesimisme epistemologis. Optimisme epistemologis adalah suatu sikap yang mengatakan bahwa pengetahuan dapat diupayakan oleh manusia (Popper, 1989: 5). Dengan kata lain, manusia secara mandiri dapat menghasilkan pengetahuan. Sementara itu, pesimisme epistemologis adalah suatu sikap yang beranggapan bahwa pengetahuan bersifat diturunkan atau diberikan oleh otoritas (Popper, 1989: 6). Dengan kata lain, pengetahuan didiktekan kepada manusia oleh otoritas luar. Sebagai pengetahuan warisan leluhur yang kebenarannya dianggap statis (permanen), Local Wisdom termasuk di dalam kategori sikap pesimisme epistemologis. Pengetahuan diwariskan melalui tradisi, sehingga sesuai dengan istilah Popper lainnya, yakni tradisionalisme. Local Wisdom di dalam bentuk tradisionalisme ini bersifat stagnan dan permanen. Tidak ada kebaruan di dalam pengetahuan, tetapi hanya pengulangan pengetahuan lama. Subjek bersifat pasif, patuh pada otoritas luar atau didikte otoritas luar. Pengetahuan dikate gorikan sebagai irasional di dalam arti tidak dihasilkan oleh akal subjek secara mandiri. Otoritas luar mendominasi struktur epistemologis anggota masyarakat yang memegang teguh Local Wisdom sebagai panduan di dalam kehidupan mereka. Persoalan yang muncul di dalam tipe masyarakat demikian adalah terhalangnya inovasi kreatif dari rasio anggota masyarakat. Suatu Local Wisdomkemudian merupakan suatu arena di mana batas-batas kebebasan rasio telah ditentukan.
02-JIMMY JENIARTO.indd 25
jimmy jeniarto
25
Di sisi lain, jika Local Wisdom dimengerti sebagai suatu pengetahuan setempat yang dinamis, maka pengertian Local Wisdom di sini termasuk di dalam kategori sikap optimisme epistemologis. Pengetahuan dihasilkan melalui olah rasio subjek secara mandiri, dan dapat disebut sebagai rasionalis (dalam arti yang juga mencakup kerja indera). Local Wisdom di dalam pengertian rasionalisme (optimisme epistemologis) ini bersifat dinamis dan berubah. Di sini, terjadi proses kreasi pengetahuan. Subjek bersifat mandiri, aktif, dan kritis. Pengetahuan dikategorikan sebagai rasionalis (rasionalisme yang mencakup juga kerja indera). Namun, sekali lagi, pengertian Local Wisdom yang dinamis ini berarti pula penyingkiran warisan yang diturunkan melalui tradisi. Pengertian ini tidak sesuai dengan pemaknaan Local Wisdom sebagai warisan leluhur yang harus dipertahan kan dan dipelihara. Pengertian dinamis ini merupakan hasil dari usaha terus-menerus masyarakat bersangkutan di dalam memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Pengetahuan baru dimungkinkan, namun pengetahuan lama warisan leluhur tidak dapat dipertahankan secara permanen. Penutup Secara istilah, pengertian Local Wisdom sebenarnya belum benar-benar didefinisikan dan diterima secara mapan. Terdapat pendapat yang memahami Local Wisdom sebagai filsafat yang teoritis, meski filsafat dimaknai di dalam arti sebagai jalan hidup etis ketimbang kajian kritis-rasional di dalam rangka upaya pencarian pengetahuan. Pendapat lain menganggap Local Wisdom sebagai pengetahuan praktis dalam pemecahan persoalan hidup. Pendapat ini bersifat praktis-teknologis (tekhne: penge-
10/26/2013 9:58:43 PM
26
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
tahuan praktis). Misalnya, penyebutan pranata mangsa sebagai Local Wisdom. Secara garis besar diandaikan terdapat dua pemaknaan Local Wisdom. Pertama, Local Wisdom dimaknai sebagai pengetahuan warisan leluhur yang diturunkan melalui tradisi. Pengetahuan ini bersifat permanen di dalam berbagai era. Kedua, Local Wisdom dimaknai sebagai pengetahuan lokal yang merupakan hasil dari kecerdasan lokal dalam menghadapi persoalan hidup. Pengetahuan ini senantiasa berubah sesuai lingkungan jaman. Pengetahuan ini bersifat kontekstual di dalam ruang dan waktu yang berbeda. Local Wisdom seolah merupakan wakil dari relativisme ketika berhadapan dengan absolutisme. Namun, anggapan relatif maupun absolut terkait Local Wisdom ini bukan tanpa persoalan. Di satu sisi, jika Local Wisdom dimaknai sebagai suatu tradisi yang diwariskan turun-temurun, maka kerelatif-an tersebut terdapat pada ruang namun tidak pada waktu. Relatif secara ruang, tetapi absolut secara waktu. Di sisi lain, jika Local Wisdom dimaknai sebagai sebuah pemecahan kontekstual terhadap persoalan menurut ruang dan waktu tertentu, maka pengertian Local Wisdom sebagai tradisi warisan leluhur menjadi tidak bermakna. Di dalam pengertian ini, Local Wisdom menjadi hal yang terus berubah serta tidak ada warisan budaya yang dipertahankan dan dipelihara sebagai permanen. Di sisi lain, terdapat anggapan absolut bahwa apa yang disebut “wisdom” atau kebijaksanaan, atau kearifan, bersifat universal. Pendapat ini berdampak pada dua hal. Pertama, pemutlakkan universalia sehingga menyingkirkanpartikularia, yang berarti pula penyangkalan terhadap hal lokal. Pendapat ini akan mementahkan kembali diskursus Local Wisdom. Kedua, jika pun Local Wisdom diakui ada, maka pada setiap Local Wisdom dianggap terkandung kebi-
02-JIMMY JENIARTO.indd 26
Vol I, 2013
jaksanaan universal yang sama. Di sini juga terkandung persoalan. Istilah “wisdom” bisa saja dimaknai bukan sebagai sebuahvariabel (sebagai syarat ciri lokal) melain kan sebagai sesuatu yang telah ditetapkan begitu saja secara sama untuk segala ruang dan waktu. Berkaitan dengan berbagai Local Wisdom dari berbagai masyarakat, terdapat kemungkinan terjadinya paradoks. Apa yang disebut sebagai “Local Wisdoms” di berbagai tempat yang berlainan berusaha memecahkan persoalan kontemporer yang serupa, meski mungkin dengan dampak yang berbeda-beda. Bisa jadi akan terjadi persaingan di antara para Local Wisdoms tersebut, bahkan saling menegasikan, untuk menyatakan diri sebagai yang paling unggul. Misalnya, apa sebenarnya yang di sebut sebagai “budaya masyarakat Timur” dan masyarakat mana yang dijadikan kiblat atau patokannya? Persaingan di antara para Local Wisdoms bisa mengarah pada upaya dominasi oleh satu ide tunggal.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwanet al. (ed.). (2008). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar. Dowden, Ken. (1992). The Uses of Greek Mythology. London and New York: Routledge. Dwipayana, G. & Ramadhan K.H. (1989). Soeharto: Pikiran, ucapan, dan tindakan saya: otobiografi, seperti dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada. Gerson, Lloyd P. (2009). Ancient Epistemology. Cambridge: Cambridge University Press. Kedaulatan Rakyat. (2013). “‘Memedi Sawah’, Kearifan Lokal Mengusir
10/26/2013 9:58:43 PM
Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan
Hama”. Kedaulatan Rakyat, Minggu 22 September 2013. Yogyakarta. Mills, Lennox A. (1952). Review of H. G. Quaritch Wales’s The Making of Greater India: A Study in Southeast Asian culture change. The Journal of Asian Studies, 11, 407. Tersedia daring di: http://journals. cambridge.org/action/displayAbstract; jsessionid=DE0527E5C7BB4D45DE448 9BF13DAB4C1.journals?fromPage=on line&aid=7102832 [Terakhir diakses 27 Juli 2013]. Nightingale, Andrea Wilson. (2004). Spectacles of Truth in Clasical Greek Philosophy: Theoria in its Cultural Context. Cambridge: Cambridge University Press. Partosuwiryo, Suwarman. (2013). “Ga rap Potensi Laut, Peduli ‘Local Wis dom’,”Kedaulatan Rakyat, Sabtu 20 Juli
02-JIMMY JENIARTO.indd 27
jimmy jeniarto
27
2013. Yogyakarta. Popper, Karl R. (1989). Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. London: Routledge. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka. Sartini. (2009). Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press. Spangenburg, Ray & Moser, Diane K. (2004). The Birth of Science: Ancient Times to 1699. New York: Facts On File, Inc. Suriasumantri, Jujun S. (2009). Filsafat Ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Vernant, Jean-Pierre. (1990). Myth and Society in Ancient Greece. New York: Zone Books.
10/26/2013 9:58:43 PM