1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Ciacia merupakan salah satu bahasa yang dituturkan oleh sebagian besar masyarakat di bagian selatan Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahasa Ciacia tergolong dalam kelas Austronesia, Melayu Polinesia, subrumpun Muna-Buton (Pusat Bahasa, 2008; SIL, 2006). Penutur bahasa Ciacia terdapat di Pulau Buton (Kabupaten Buton), Pulau Batu Atas (Kabupaten Buton), Pulau Binongko (Kabupaten Wakatobi), dan sekelompok kecil di pinggiran Kota Baubau. Bahasa Ciacia dituturkan oleh masyarakat Ciacia yang secara garis besar terbagi dalam empat subetnis, yaitu: Laporo, Burangasi, Wabula, dan Lapandewa. Keempat subetnis tersebut masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Namun, hingga kini kajian kebahasaan mengenai bahasa Ciacia belum banyak dilakukan oleh para linguis. Lokasi tutur bahasa Ciacia yang terbagi dalam tiga wilayah administrtif, dua di antaranya terpisah oleh laut, sangat menarik untuk diteliti. Setakat ini, etnis Ciacia mulai mendapat banyak perhatian masyarakat dan namanya mulai terangkat ke luar Indonesia. Berawal dari ”Simposium IX Pernaskahan Nusantara tahun 2005”, seorang profesor dari Korea, Chun Thai Yun meyakini adanya kekhasan yang menarik dalam keanekaragaman linguistik di daerah
2
Buton, salah satu di antaranya adalah keanekaragaman yang ditunjukkan oleh bahasa Ciacia. Penelusuran keistimewaan bahasa Ciacia sebagai bahasa yang unik terus ditindaklanjuti. Bersama-sama dengan Prof. Hu Yung Lee dan Dr. Lee Konam, Prof. Chun Tahi Yun melakukan berbagai kunjungan, investigasi, dan akhirnya membuahkan sebuah afiliasi konstruktif dengan pemerintah Baubau yakni adanya upaya mentransformasi bahasa Ciacia ke dalam alphabet Hangoul , Korea. Walaupun demikian, belum ada kejelasan akan hubungan kesejarahan antara bahasa Ciacia dan Korea, selain memiliki sejumlah kesamaan kualitas bunyi bahasa dan perlambangan bunyi tersebut (Abdillah, 2009). Salah satu cara penelusuran silsilah bahasa Ciacia adalah dengan menelusuri bentuk asal bahasa Ciacia. Penelusuran silsilah suatu bahasa dikenal dengan istilah genealogi bahasa. Adapun definisi genealogi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Garis keturunan manusia dalam hubungan keluarga sedarah; (2) garis pertumbuhan binatang, tumbuhan, bahasa, dsb. dari bentuk-bentuk sebelumnya (KBBI, 2008). Secara khusus, pengertian genealogi dalam bidang bahasa dipaparkan Crystal (2008) dalam A Dictionary of Linguistics and Phonetics. In Historical Linguistics, the classification of languages according to a hypothesis of common origin; also called genealogical classification. Languages which are genetically related have common ancestor. The terminology of description derives from that of the family tree of human relationships. Non-genetic links between languages can also be established using comparative linguistic techniques (Crystal, 2008:209).
Dalam ilmu linguistik masalah penelusuran genealogi suatu bahasa dapat dilakukan dengan kajian bidang linguistik historis komparatif dan dialektologi. Selama ini kajian-kajian kebahasaan yang dilakukan terhadap bahasa daerah (Ciacia di antaranya) umumnya masih terbatas pada kajian tata bahasa saja (lihat tinjauan pustaka). Adapun kajian linguistik terhadap bahasa Ciacia di luar aspek tata bahasa,
3
yang telah dilakukan, seperti kajian hubungan kekerabatan, hanya terbatas pada hubungan kekerabatan antarbahasa, tetapi kajian yang lebih rinci mengenai hubungan antardialek belum dilakukan. Penelitian ini memaparkan bahasa Ciacia dari telaah genealoginya yang meliputi hubungannya dengan bahasa-bahasa lain di wilayah tuturnya yang termasuk dalam kelompok bahasa Muna-Buton dan hubungan antardialek bahasa Ciacia. Selain itu, penelitian ini juga merekonstruksi bentuk asal bahasa Ciacia sehingga dapat diketahui daerah yang merupakan daerah relik dan inovasi. Dengan demikian, jika keterangan mengenai dialek-dialek bahasa Ciacia telah diperoleh, hasilnya dapat digunakan sebagai penunjang penyusunan aksara Ciacia. Bahasa Ciacia yang dituturkan oleh masyarakat di beberapa wilayah tutur di Kabupaten Buton dan Kota Baubau dapat ditemukan ciri pembedanya sebagai berikut. Tabel (1) Realisasi Perbedaan Fonologi Bahasa Ciacia di Empat Lokasi Tutur
1
Ciacia Gonda Baru Rea
Ciacia Kumbewaha Xea
Ciacia Kanciina rea
Ciacia Lapandewa rea
darah
2
RoO
XoO
roO
roO
daun
3
paRae
paXae
parae
parae
apa
4
Rua
ɗoXua
ru+a
doru+a
dua
5
pigagaRi
gagaXi
gagari
Gagari
hitung
6
kaRakaji
kaXakaji
karakaji
karaakaji
gergaji
7
paRaPata
paXawata
parawata
Parawata
bambu pering
8
ɓaRa
ɓaXa
ɓara
ɓara
barat
9
kaRoho
kasoXo
kasoro
kasoro
kasur
No.
Glos
4
10
buRi
buXi
buri
Buri
tulis
11
Pula
wula
wula
wula
bulan
12
Pulu
wulu
wulu
wulu
bulu
13
PiPi
wiwi
wiwi
wiwi
bibir
14
PaGka
waGka
waGka
waGka
geraham
15
moPilo
wilo
wilo
wilo
buta
16
ɗaPo
ɗawo
ɗawo
ɗawo
ipar
17
haPu
hawu
hawu
hawu
dapur
18
paGaPa
paGawa
paGawa
paGawa
layar
19
baPa
bawa
bawa
Bawa
bawang
20
kaPincu
kawincu
kawincu
kawincu
bisul
(Data Pusat Bahasa)
Tabel (1) tersebut menunjukkan adanya perbedaan fonologi yang terdapat pada wilayah pakai bahasa Ciacia di beberapa lokasi di Kota Baubau dan Kabupaten Buton yang berada di wilayah pesisir dan pedalaman. Perbedaan yang tampak pada tabel (1) merupakan korespondensi bunyi konsonan di empat lokasi, yaitu adanya korespondensi [R], [r], dan [X] baik pada posisi utima dan penultima; dan juga korespondensi [P] dan [w] baik pada posisi ultima dan penultima. Dalam kasus ini, bunyi [R] pada Ciacia Gonda Baru direalisasikan sebagai [X] pada Ciacia Kumbewaha. Sementara itu,
Ciacia Kanciina dan Ciacia Lapandewa dilafalkan
sebagai [r]. Berdasarkan letak lokasi Ciacia Gonda Baru dan Ciacia Kumbewaha terletak di daerah pedalaman, sedangkan Ciacia Kanciina dan Ciacia Lapandewa terletak di pesisir. Dari contoh data yang dikaitkan dengan lokasi tutur keempat
5
bahasa Ciacia tersebut dapatlah ditarik hipotesis awal bahwa dalam melafalkan [r] Ciacia di wilayah pedalaman cenderung melafalkannya sebagai [R] dan [X]. Demikian pula dari korespondensi [P] dan [w] dapat dikaitkan dengan lokasi tuturnya. Bunyi [w] pada Ciacia Lapandewa, Kumbewaha, dan Kanciina, dilafalkan [P] pada Ciacia Gonda Baru. Ciacia Gonda Baru merupakan lokasi tutur yang terletak di Kota Baubau yang umumnya menggunakan bahasa Wolio. Sebagai hipotesis awal dapatlah kita katakan dalam kasus ini kemungkinan pelafalan [P] merupakan ciri bahasa Ciacia yang berada di Kota Baubau, yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa Wolio. Namun, masih perlu diamati data bahasa Ciacia lainnya yang berada di Kota Baubau barulah dapat disimpulkan secara pasti. Walaupun jumlah data yang dikemukakan dalam contoh masih terbatas, hal ini tetap dapat dijadikan informasi awal sebagai dasar untuk memahami dan menemukan karakteristik bahasa Ciacia di wilayah pakai lainnya. Data awal secara tertulis mengenai bahasa Ciacia yang dituturkan di Pulau Batu Atas, Pulau Binongko, dan wilayah-wilayah lainnya di Kabupaten Buton belum ditemukan. Namun, dari seorang informan diperoleh gambaran bahwa ada korespondensi bunyi yang teratur untuk bunyi [R] ≈ [X] ≈ [?]. Hanya saja belum ditemukan data pustaka untuk wilayah tutur pengguna bunyi [?]. Selain perbedaan fonologi dapat pula ditemukan variasi leksikon, yang juga dapat dijadikan informasi awal dalam penelitian ini. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
6
Tabel (2) Realisasi Perbedaan Leksikon Bahasa Ciacia di Empat Lokasi Tutur
No
Ciacia Gonda Baru
Ciacia Kumbewaha
Ciacia Kanciina
Ciacia Lapandewa
Glos
1
toaRu
moide
toaru
toaru
banyak
2
Pine
pembula
wine
wine
benih
3
Pua
ɓake
wua
wua
buah
4
hoRa
popunda
hora
hora
duduk
5
kaRana
rampano
karana
karana
karena
6
moROndo
mokii
morOndo
morOndo
malam
7
poRoku
sumpu
poroku
porOou
minum
8
Pea
wea
Gara
wea
langit-langit
9
Paa
lembo
waa
waa
banjir
10
PolaPo
wolawo
wolawo
sibu
tikus
11
saPu
puku
puku
pukua
pohon
(Data Pusat Bahasa) Tabel (2) menginformasikan beberapa variasi leksikon di wilayah tutur bahasa Ciacia. Berdasarkan tabel tersebut diperoleh gambaran bahwa wilayah tutur bahasa Ciacia di Kumbewaha yang paling sering menggunakan leksikon yang berbeda dari wilayah tutur lainnya. Namun, hal ini belum dapat disimpulkan karena baru mewakili beberapa wilayah tutur bahasa Ciacia. Perbedaan semantis ditemukan pula dalam memaknai kata umEla. Ciacia Gonda Baru memaknai umEla sebagai ’bagus’, sementara pada wilayah tutur Ciacia
7
lainnya (Kumbewaha, Kanciina, dan Lapandewa) makna ’bagus’ terealisasi dalam bentuk ɓajiGa. Sebaliknya leksikon umEla sendiri dalam Ciacia Lapandewa mewakili makna ’manjur’. Sementara makna ’manjur’ dalam wilayah tutur Ciacia lainnya (Gonda Baru, Kumbewaha, dan Kanciina) terealisasi dalam bentuk nObisa.
1.2 Permasalahan SIL (2006) mengelompokkan Kumbewaha dan Kaisabu sebagai bahasa tersendiri, sedangkan Pusat Bahasa (2008) mengelompokkannya Kumbewaha sebagai salah satu dialek bahasa Ciacia, sedangkan Kaisabu sebagai salah satu dialek bahasa Wolio. Untuk memperoleh kejelasan status isolek Kumbewaha tersebut, yang berkaitan langsung dengan bahasa Ciacia, sebagai tahap awal penelitian ini adalah menjelaskan status isolek-isolek yang terdapat pada wilayah tutur bahasa Ciacia, baik secara kuantitaif maupaun kualitatif. Setelah status isolek-isolek di wilayah tutur bahasa Ciacia dari hasil analisis kuantitatif diperoleh, dibuatlah suatu pengelompokan dialek dan subdialek bahasa Ciacia yang didukung oleh evidensi-evidensi kualtitatif berupa penyatu dan pemisah kelompok. Agar genealogi bahasa Ciacia semakin jelas perlu pula direkonstruksi bentuk purba (asal) dari bahasa Ciacia. Dengan diketahuinya bentuk purba bahasa Ciacia akan diketahui pula daerah inovasi dan daerah konservatif bahasa Ciacia. Permasalahan
selanjutnya
adalah
bagaimana
hubungan
antardialek/antarsubdialek dalam bahasa Ciacia tersebut beserta hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam rumpun Muna-Buton. Dengan demikian, genealogi bahasa Ciacia dapat teruraikan mulai dari hubungannya dengan bahasa-
8
bahasa lain dalam kelompok Muna-Buton sampai kepada hubungan di antara dialekdialeknya. Akhir dari penelitian ini adalah tersusunnya suatu bagan genealogi bahasa Ciacia mulai dari posisinya dalam subkelompok Muna-Buton sampai ke tataran dialek, subdialek, beda wicara, dan tidak ada perbedaan.
Secara singkat permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. a. Bagaimanakah status isolek-isolek yang terdapat dalam wilayah tutur bahasa Ciacia? b. Bagaimanakah rekonstruksi bentuk asal (prabahasa) bahasa Ciacia dan mengapa hal tersebut dapat menjelaskan genealogi bahasa Ciacia? c. Bagaimanakah hubungan antardialek dan subdialek bahasa Ciacia serta hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun MunaButon?
1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini pun dapat dijabarkan sebagai berikut. a. Mendeskripsikan dan menjelaskan status isolek-isolek yang terdapat dalam wilayah tutur bahasa Ciacia. b. Mendeskripsikan bentuk prabahasa (asal) bahasa Ciacia dan menjelaskan kaitannya dengan genealogi bahasa Ciacia.
9
c. Mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan kekerabatan antardialek dan antarsubdialek dalam bahasa Ciacia serta hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun Muna-Buton.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui silsilah genealogi bahasa Ciacia, yang secara tidak langsung menambah referensi kajian dialektologi dan linguistik historis komparatif. b. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk mempertahankan harmonisasi hubungan masyarakat yang terpisah oleh wilayah administratif bahkan yang terpisah oleh lautan. Bukti kekerabatan bahasa merupakan bukti kesamaan asal-usul yang dapat mempererat rasa persatuan. Hasil dari penelitian ini adalah dihasilkannya bagan genealogi / diagram pohon silsilah bahasa Ciacia dan peta bahasa Ciacia. Secara umum, manfaat peta bahasa adalah sebagai berikut (Lauder, 1993:3—5): (1) dari peta bahasa dapat dibuat peta bunyi sehingga dapat dilihat kaidah fonotaktik bahasa/dialek yang diteliti, (2) peta bahasa dapat lebih mempermudah rekonstruksi bahasa sehingga dapat membantu bidang linguistik historis komparatif, (3) peta bahasa dapat melokalisasi konsep budaya tertentu sejauh konsep itu tercermin dalam
10
kosakata, (4) peta bahasa sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh dinas kesehatan untuk membuat ramalan peta penyebaran wabah penyakit karena batas penyebaran epidemi pada umumnya sejalan dengan batas bahasa/dialek (epidemi mudah berjangkit
pada orang-orang yang melakukan kontak).
Dalam hal ini, WHO pernah memanfaatkan peta bahasa untuk membuat prediksi peta penyebaran wabah penyakit menular (Lauder, dalam Laksono 2004:5). Selain itu, sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan dalam penyusunan aksara untuk bahasa Ciacia.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian bahasa Ciacia yang telah dilakukan umumnya masih terfokus pada bidang kajian tatabahasa. Ada dua penelitian mengenai bahasa Ciacia yang telah diterbitkan menjadi sebuah buku, yaitu Abdullah (1991) dengan “Struktur Bahasa Ciacia” dan Konisi (2001) dengan “Konstruksi Verba Aktif-Pasif Bahasa Ciacia Dialek Pedalaman”. Selain itu, ada beberapa hasil penelitian yang belum diterbitkan baik itu berupa tesis ataupun laporan penelitian yang membahas bahasa Ciacia dalam kajian struktural. Ada pun judul penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut. a. Abidin (2000) mengulas
“Frasa Nominal Bahasa Ciacia”. Tulisan ini
merupakan suatu analisis tatabahasa generatif transformasional terhadap bahasa Ciacia yang berfokus pada bahasa Ciacia di daerah Poogalampa. Hasil analisis menunjukkan ada delapan pola dalam struktur frasa nominal bahasa
11
Ciacia Poogalampa, frasa nominal bahasa Ciacia Poogalampa menduduki fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap, dan fungsi keterangan, serta makna yang terdapat dalam struktur frasa nominal bahasa Ciacia Poogalampa. b. Konisi (2001) mengulas “Analisis Kategori Kata Bahasa Cia Liwungau”. Penelitian ini mengklasifikasikan kategori kata Bahasa Cia Liwungau berdasarkan ciri morfemis, sintaksis, dan ciri semantis. Kategori kata yang dianalisis meliputi kategori verba, nomina, adjektiva, numeralia, dan preposisi
Dalam (Abdullah, 1991:9) dikemukakan sekilas mengenai variasi dialek bahasa Ciacia berdasarkan data yang diperoleh dari informan, yaitu: 1) Dialek Takimpo dengan wilayah pemakaiannya meliputi Desa Pasarwajo dan Desa Takimpo. 2) Dialek Wabula dengan wilayah pemakaiannya meliputi Desa Wasuemba, dan sebagian penuturnya menyebar ke desa-desa lain. 3) Dialek Holimombo dengan wilayah pemakaiannya meliputi Desa Holimombo, Desa Bagola. 4) Dialek Kondowa dengan wilayah pemakaiannya di Desa Kondowa. 5) Dialek Laporo dengan wilayah pemakaiannya di Desa Laponda dan sebagian menyebar ke desa lain. 6) Dialek Lapodi dengan wilayah pemakaiannya di Desa Lapodi. 7) Dialek Wakaokili dengan wilayah pemakaiannya di Desa Wakaokili. 8) Dialek Wolowa dengan wilayah pemakaiannya meliputi Desa Wolowa, Desa Wasaga, dan Desa Kancinaa.
12
9) Dialek Kancinaa dan dialek Wasaga, keduanya sudah hampir punah karena penuturnya tinggal sedikit. Dialek ini terdesak oleh dialek-dialek lain yang menyebar ke desa-desa lain.
Dialek-dialek tersebut apabila ditinjau dari penggunaan kosakatanya, tidak menunjukkan perbedaan yang berarti, kecuali dari segi intonasi sehingga tidak mengganggu kelancaran berkomunikasi antara penutur masing-masing dialek (Abdullah, 1991:9) Pembagian dialek bahasa Ciacia juga terdapat dalam Monografi Daerah Sulawesi Tenggara yang dikutip oleh Burhanuddin (1979). Dalam monografi itu disebutkan pembagian bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara, yang salah satunya adalah pembagian dialek bahasa Ciacia yang meliputi: dialek Wabula, dialek Sampolawa, dialek Laporo, dialek Takimpo, dialek Kondowa, dialek Holimombo, dialek Watuata, dan dialek Wali. Sebaliknya, Burhanuddin sendiri membagi bahasa dialek bahasa Ciacia meliputi dialek Mawasangka (subdialek Mambulu dan subdialek Laporo) dan dialek Wabula (subdialek Wabula, subdialek Burangasi, subdialek Wali, subdialek Takimpo, subdialek Kondowa, dan subdialek Holimombo). Konisi (2001) mengelompokkan bahasa Ciacia ke dalam dua kelompok besar. Menurut Konisi bahasa Ciacia secara struktur fonologi dibagi menjadi dua wilayah pemakaian, yaitu wilayah pesisir dan wilayah pedalaman. Oleh karena itu, dialek bahasa Ciacia terbagi atas dua bagian, dialek pesisir dan dialek pedalaman. Dialek pesisir mengenal fonem getar alveolar [r] pada kata rato ‘tiba’, sedangkan dialek pedalaman mengenal fonem uvular [ġ] yang secara ortografi /gh/ seperti pada kata ghato ‘tiba’. Dewasa ini, bahasa Ciacia dialek pedalaman juga sudah mengenal fonem
13
getar alveolar [r] seperti pada roti [roti] dan radio [radi&O] akibat masuknya kosakata serapan dan bahasa daerah lain termasuk bahasa Indonesia (Konisi, 2001) Penelitian lainnya yang berhubungan dengan bahasa Ciacia adalah penelitian “Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara” yang dilakukan oleh Tim Pemetaan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, tahun 2006-2008. Penelitian tersebut merumuskan hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain di sekitarnya dan hubungan antardialek bahasa Ciacia. Penjelasan hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Bahasa Ciacia tergolong dalam kelas Austronesia Barat, rumpun Muna- Buton. Penutur bahasa Ciacia umumnya terdapat di Kabupaten Buton. Dialek-dialek bahasa Ciacia meliputi: dialek Lapandewa, dialek Kancinaa, dialek Masiri, dialek Gonda Baru; dan dialek Kumbewaha. Selain bahasa Ciacia, pada daerah sebaran tersebut terdapat bahasa Muna (di Kabupaten Buton), bahasa Lasalimu-Kamaru (di Kabupaten Buton), bahasa Sasak (di Kabupaten Buton). Hasil analisis dialektometri menunjukkan persentase perhitungan antardialek tersebut berkisar 36 % sampai 52 %. Sebaliknya hasil analisis kuantitatif dengan bahasa-bahasa lainnya di Sulawesi Tenggara berkisar 85 % ke atas (Pusat Bahasa, 2008). Pengelompokan ini berbeda pengelompokan SIL (dalam Languages of Indonesia) yang mengelompokkan Kumbewaha sebagai bahasa tersendiri. Hasil analisis kuantitatif Kumbewaha dengan Lapandewa 58,89 % (Sugono : 2008) Hasil penelitian kekerabatan dan pemetaan bahasa yang dilakukan oleh Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan hubungan antara dialek bahasa Ciacia adalah sebagai berikut.
14
Tabel (3) Hasil Penghitungan Dialektometri Kelompok DP Pemakai Bahasa Ciacia No.
DAERAH PENGAMATAN YANG DIPERBANDINGKAN
PERSENTASE PERBEDAAN
1.
Masiri – Gonda Baru
49,00%
Perbedaan Subdialek
2.
Masiri – Kancinaa
48,66%
Perbedaan Subdialek
3.
Masiri – Lapandewa
51,83%
Perbedaan Dialek
STATUS ISOLEK
4.
Gonda Baru – Kancinaa
49,61%
Perbedaan Subdialek
5. 6.
Gonda Baru – Lapandewa Kancinaa – Lapandewa
50,54% 36,26%
Perbedaan Dialek Perbedaan Subdialek
(Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007)
Alirman (2010) seorang tokoh masyarakat Buton pada Kongres BahasaBahasa Daerah Sulawesi Tenggara tahun 2010, memaparkan bahwa secara umum bahasa Ciacia dapat dibagi menjadi tiga rumpun besar, yaitu: 1. Ciacia Kapara’e a. Tira, Lande, dan Sampubalo Wapulaka b. Batuatas, Wapulaka, Burangasi, Pogalampa, Rano c. Rumpun Lapandewa (Sempa-Sempa, Rongi, Kaindea, Kaongkeongke, dan Tambunaloko) d. Todombulu, Saumolewa, Lapola e. Rumpun Laporo f. Wakaokili g. Wabula, Wolowa, Matanauwe h. Lasalimu-Ambuau i. Binongko (Wali, Oihu, Waloyindi, Lagongga, Wakarumende, Haka) 2. Ciacia Mbahae a. Sampolawa (Mambulu, Katilombu, dan Uwebonto)
15
b. Wawoangi, Wawulaka, Makolona c. Masiri, Honelalo (Majapahit) 3. Ciacia Taina Takimpo, Kondowa, Holimompo
Seluruh penelitian tersebut belum ada yang menelusuri silsilah bahasa Ciacia secara menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan hanya sekedar menurut pengakuan penduduk ataupun penelitian secara kuantitatif yang tidak didukung oleh bukti kualitatif. Penelitian ini diharapkan dapat menelusuri silsilah bahasa Ciacia (secara kuantitatif dan kualitatif) dan merumuskan bentuk purba (asal) bahasa bahasa Ciacia, yang kemudian dapat dijadikan bahan penunjang dalam penyusunan aksara untuk bahasa Ciacia. Walaupun demikian, penelitianpenelitian tersebut tetap menjadi bahan acuan dalam penelitian ini. Informasiinformasi pada penelitian tersebut (baik berupa struktur bahasa Ciacia, maupun pembagian dialeknya) merupakan informasi awal yang sangat berguna bagi penelitian ini. Beberapa artikel-artikel yang berhubungan dengan bahasa Ciacia juga diperlukan sebagai gambaran awal bahasa Ciacia. Artikel-artikel yang dimaksud adalah sebagai berikut. Sehubungan dengan penggunaan aksara Hangoul pada masyarakat Ciacia, Hanan (2011) dalam Prosiding Seminar Internasional Bahasa Ibu, memberikan uraian singkat tentang penggunaan aksara Korea di Desa Karya Baru, demikian pula tanggapan beberapa suku Cia-Cia. Hal ini memberikan informasi yang terkait dengan issu Korea-Ciacia saat ini yang menjadi sorotan publik.
16
Tulisan lain yang berhubungan dengan bahasa Ciacia dapat dilihat pada Hanan (2012) dalam Aspek-Aspek Bahasa Daerah di Pulau Sulawesi Bagian Selatan. Tulisan ini mendeskripsikan secara umum kondisi bahasa Ciacia pada masa lampau, masa kini, dan perkiraan konsidi bahasa Ciacia pada masa depan. Melalui tulisan ini diperoleh informasi tentang gambaran bahasa Ciacia pada masa lampau (termasuk hasil-hasil penelitiannya) yang dapat dijadikan sebagai salah satu tinjauan pustaka. Selanjutnya Hanan (2013) dalam Fonologi Bahasa Daerah di Pulau Sulawesi Bagian Selatan mendeskripsikan sistem fonologi dan variasi bunyi dalam bahasa Ciacia yang dilengkapi dengan inovasi-inovasi fonologis. Informasi ini penting dalam mengingat kajian pada penelitian ini bertitik tolak pada aspek fonologis dan leksikal. Tulisan lain yang berhubungan dengan bahasa Ciacia dapat pula dilihat pada Hanan (2013) dalam Kandai: Jurnal Bahasa dan Sastra, volume 9 no 1 tahun 2013. Tulisan ini mengulas etimologi kata-kata berpolisemi bahasa Ciacia hingga ditemukan mana yang bentuk asli dan mana yang merupakan bentuk analogi. Hal ini juga disertakan dalam pembahasan pada disertasi sebagai realisasi penjelasan relasi PAN dengan beberapa kata dalam bahasa Ciacia yang dijumpai saat ini. Selain kajian-kajian yang berhubungan dengan bahasa Ciacia, dalam penyusunan disertasi ini juga mengacu pada beberapa kajian genealogi bahasa. Adapun kajian yang berhubungan dengan genealogi bahasa yang menjadi bahan acuan penyusunan disertasi ini adalah sebagai berikut. Fernandes, Inyo Yos , Sandra Safitri, dan Yohanes Sanjoko (2012) dalam ”Kekerabatan Bahasa dan Budaya Muna-Buton di Kawasan Lepas Pantai Sulawesi Tenggara: Kajian Linguistik Historis Komparatif dan Etnolinguistik”. Tulisan ini merupakan laporan penelitian Hibah Kompetensi yang mengulas hubungan
17
kekerabatan Muna-Buton dari sisi linguistik dan etnolinguistik. Berdasarkan tulisan ini diperoleh gambaran bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lainnya dalam subrumpun Muna-Buton. Yamaguchi (2010), ”Bahasa-Bahasa di Sulawesi Tenggara dalam Kaitannya dengan Genealogi” dalam Prosiding Kongres Bahasa-Bahasa Daerah
Sulawesi
Tenggara. Tulisan ini membahas klasifikasi bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara menurut beberapa ahli juga disertai dengan perbandingan unsur-unsur linguistiknya. Artikel ini sangat membantu sebagai gambaran awal mengenai penelitian-penelitian genealogi bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara yang telah dilakukan oleh beberapa ahli. Fernandez (2010) dalam Prosiding Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara. Tulisan ini membahas relasi kekerabatan subkelompok MunaButon secara kualitatif berdasarkan evidensi refleks PAN pada subkelompok tersebut. Informasi dalam tulisan ini pun dapat dijadikan sebagai informasi awal kajian kekerabatan Muna-Buton dari sisi linguistik historis komparatif. Budhasi (2008) merupakan sebuah disertasi yang mengulas hubungan kekerabatan bahasa-bahasa di Sumba. Walaupun tulisan ini tidak membahas bahasa Ciacia, metode analisis data dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan analisis data dalam menelusuri hubungan bahasa Ciacia dalam subrumpun Muna-Buton, khususnya dalam melihat evidensi-evidensi penyatu dan pemisah bahasa Ciacia dalam subkelompok Muna-Buton. Laksono (2004) sebuah buku yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa yang merupakan hasil disertasi yang mengulas tentang kajian dialektologis bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan. Objek penelitian dalam buku ini juga
18
bukan bahasa Ciacia, tetapi metode analisis data berupa kajian dialektologis (dalam hal ini dialektometri) sangat berguna dalam menjelaskan status isolek-isolek dalam wilayah tutur bahasa Ciacia. Tryon (1995) ”Proto Austronesia and The Major Austronesian Subgroups” dalam The Austronesians yang disusun oleh Peter Bellwood, James J. Fox, and Darrel Tryon. Tulisan ini mengulas genealogi sub-subrumpun bahasa yang merupakan turunan Proto Austronesia dari beberapa ahli. Gambaran genealogi ini diperlukan untuk mendapatkan gambaran silsilah subkelompok Muna-Buton ke atas. Bagan berikut ini adalah bagan silsilah subkelompok Muna-Buton ke Proto Austronesia yang disusun oleh Blust, Ross,dan Reid (dalam Tryon, 1995).
19
Bagan (1) Pohon Keluarga Proto Austronesia
Proto Austronesian
Atayalic
Tsouic
Other Formosan Language
Bilic
Amis-Extra Formosa
Amis
Extra Formosa
Malayo-Polinesian
Western Malayo Polinesian
Proto Philippines
........
..........
Outer Philippines
Central Philippines-Malayo-Javanic
.........
.......
Muna-Buton
........
Central-Eastern Malayo Polinesian
........
, ect.
(Blust, Ross, Reid, dalam Tryon, 1995)
Mahsun (1994) merupakan sebuah disertasi yang mengulas dialek geografis bahasa Sumbawa. Objek penelitian ini bukan bahasa Ciacia, tetapi metode analisis
20
data berupa kajian dialektologi diakronis sangat berguna dalam merekonstruksi prabahasa bahasa Ciacia dan menjelaskan kaitannya dengan genealogi bahasa Ciacia. Chen (1976) dalam Journal of Linguistics volume 12 nomor 2. Tulisan ini menguraikan metode rekonstruksi dalam linguistik historis komparatif dan dihubungkan dengan kaidah perubahan bunyi pada kelompok bahasa Indo-Eropa. Ulasan mengenai kaidah perubahan bunyi pada kelompok bahasa Indo-Eropa menjadi masukan guna menemukan kaidah perubahan pada bahasa Ciacia. Dyen (1963) dalam Language volume 39 nomor 4. Tulisan ini menguraikan perubahan fonologis dalam dua buah dialek dalam satu bahasa yang membentuk suatu korespondensi bunyi. Ulasan mengenai korespondensi bunyi yang dikemukakan oleh Dyen ini memberikan gambaran guna menemukan korespondensi bunyi dalam bahasa Ciacia. Austin (1957) dalam Linguistic Society of America. Tulisan ini membahas perubahan bunyi pada beberapa bahasa. Penelitian ”Genealogi Bahasa Ciacia” ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu, baik yang berhubungan dengan bahasa Ciacia maupun dengan kajian genealogi bahasa. Dalam penelitian ini diuraikan silsilah bahasa Ciacia mulai dari yang paling bawah (tidak ada perbedaan) hingga pada posisi bahasa Ciacia dalam subrumpun Muna-Buton. Penelitian genealogi bahasa umumnya hanya menggunakan satu tinjauan, yaitu hanya menguraikan hubungan kekerabatan bahasa dengan bahasa lainnya, atau hanya menguraikan hubungan kekerabatan antardialek/subdialek dalam suatu bahasa. Namun, dalam penelitian ini digunakan dua tinjauan yaitu linguistik historis
21
komparatif dan dialektologi. Selain itu, khusus untuk bahasa Ciacia belum ada kajian yang spesifik meninjaunya dari sudut pandang genealogi bahasa. 1.6 Landasan Teori Bidang kajian linguistik yang berhubungan dengan masalah genealogi bahasa adalah linguistik komparatif. Berikut ini merupakan beberapa teori yang berkaitan dengan linguistik komparatif yang menjadi dasar pijakan dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini. a.
Penelitian Linguistik Komparatif Penelitian komparatif dua buah bahasa/isolek atau lebih yang bertujuan untuk
melihat
relasi
di
antara
bahasa-bahasa/isolek-isolek
tersebut
dengan
cara
membandingkannya dapat dilakukan dengan kajian linguistik historis komparatif dan kajian dialektologi. Penelitian ini memadukan dua kajian tersebut, baik secara deskriptif (sinkronis) maupun historis (diakronis). Kajian sinkronis bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi dalam suatu masa yang terbatas dan tidak melibatkan perkembangan historis. Istilah ini bersinonim dengan deskriptif (Kridalaksana, 2001:198). Adapun kajian diakronis merupakan kajian yang bersifat historis, yakni berkenaan dengan pendekatan terhadap bahasa dengan melihat perkembangannya sepanjang waktu (Kridalaksana, 2001:42). Kajian linguistik historis komparatif
berpijak pada upaya mencari
“kesamaan" dari unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara bahasabahasa/isolek-isolek yang diperbandingkan. Sementara itu, kajian dialektologi dilakukan dengan berpijak pada upaya mencari perbedaan (Mahsun, 1995:17)
22
b. Linguistik Historis Komparatif Kajian Linguistik Historis Komparatif (LHK) dilandasi oleh dua asumsi yang mendasar, yaitu (1) hipotesis keterhubungan (related hypothesis) dan (2) hipotesis keteraturan (regularity hypothesis) (Jeffer dan Lehise, 1979:17). Hipotesis keterhubungan berusaha menjelaskan adanya persamaan yang jelas antara kata-kata dari berbagai bahasa/dialek yang berbeda karena pada hakikatnya bahasa-bahasa itu berhubungan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa bahasa-bahasa atau dialek-dialek itu berasal dari satu bahasa induk (proto bahasa). Hipotesis keteraturan memudahkan pengkaji untuk membuat rekonstruksi bahasa induk tersebut karena diasumsikan bahasa-bahasa atau dialek-dialek itu mengalami perubahan secara teratur (Bynon, 1978:45-46; Lehmann, 1973:92). Linguistik Historis Komparatif mengkaji bahasa-bahasa/dialek-dialek dengan teknik kajian tertentu. Teknik kajian itu meliputi: rekonstruksi internal, rekonstruksi eksternal, geografi dialek, dan leksikostatistik (Lehmann, 1973:75-109; Bynon, 1977:262-272). Analisis kuantitatif dengan metode leksikostatistik digunakan untuk membedakan tingkat kekerabatan antarbahasa atau antardialek dengan cara membandingkan kosakatanya serta membedakan tingkat kemiripannya (Crowley, 1987:190). Metode leksikostatistik dikembangkan oleh Morris Swadesh pada tahun 1951 dilanjutkan tokoh lainnya seperti Sarah Gudschinsky, Joseph Greenberg, dan Isodore Dyen. Leksikostatistik sampai saat ini dipergunakan untuk tiga tujuan (Dyen, 1975:75), yakni a) sebagai daftar kosakata dasar yang cepat dapat menentukan hubungan kekerabatan bahasa atau dialek, b) sebagai alat pengelompokan bahasa/dialek yang protobahasa atau prabahasanya belum begitu tua/kuno, c) sebagai
23
alat atau metode yang dapat dipakai pada tahap awal untuk menetapkan waktu perpisahan antara bahasa-bahasa yang berkerabat. Hasil persentase yang dicapai berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa yang disajikan dengan dasar tingkat persentase. Berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan dapat dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa. Oleh karena leksikostatistik mendasarkan kajiannya terhadap kosakata dasar, maka leksikostatistik berangkat dari beberapa asumsi, seperti yang dikemukakan oleh Dyen (1975); Lehmann (1973); Bynon (1979) dan Keraf (1991) , sebagai berikut. a. Sebagian kosakata suatu bahasa sukar sekali berubah bila dibandingkan dengan bagian yang lain. Kata-kata yang sukar sekali berubah ini disebut kosakata dasar. Kosakata dasar itu merupakan kata-kata yang sangat inti, dan sekaligus merupakan unsur mati hidupnya suatu bahasa. Oleh karena itu, kata-kata untuk hal-hal dalam kehidupan bahasa, khususnya dalam bidang kebudayaan, merupakan unsur yang baru dipinjam akan segera mengalami kelenyapan bersama lenyapnya unsur kebudayaan itu. Kosakata dasar bersifat universal. b. Retensi kosakata dasar adalah tetap sepanjang masa. Pendirian pangkal ini berarti bahwa sejumlah kosakata dasar dari sebuah bahasa sesudah 1000 tahun akan tetap bertahan dengan persentase tertentu. Sesudah 1000 tahun berikutnya kata-kata itu tadi akan bertahan lagi dalam persentase yang sama pula. c. Perubahan kosakata dasar pada semua bahasa adalah sama. Pengujian terhadap pendirian pangkal ini telah dilakukan terhadap tiga belas bahasa yang di antaranya memiliki naskah lama tertulis dengan hasil kosakata
24
dasar bertahan sekitar 86,4 % sampai 74,4 % dalam tiap 1000 tahun, atau dengan angka rata-rata 80,5 % d. Jika persentase kosakata sekerabat (seasal) dua bahasa diketahui, dapat dihitung pula waktu mulai berpisahnya kedua bahasa itu dari bahasa purbanya.
c. Dialektologi Istilah dialektologi berasal dari kata dialect dan kata logi. Kata dialect berasal dari bahasa Yunani dialektos. Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan. Akan tetapi, perbedaanitu tidak menyebabkan para penutur tersebut merasa memiliki bahasa yang berbeda (Meillet, dalam Nadra : 2009) Dialektologi merupakan salah satu cabang Linguistik Historis Komparatif. Keduanya menelaah masalah kesejarahan ragam-ragam bahasa (Lauder, 1993; Poedjosoedarmo, tanpa tahun). Secara umum, dialektologi dapat disebut sebagai studi tentang dialek tertentu atau dialek-dialek suatu bahasa. Selain itu, dalam arti luas penelitian dialektologi berupaya memerikan perbedaan pola linguistik, baik secara horisontal (diatopis) yang mencakup variasi geografis, maupun yang vertikal (sintopis) yang mencakup variasi di suatu tempat. Variasi di suatu tempat yang bersifat sintopis ini dapat merambah pada kajian dialek sosial yang melibatkan faktorfaktor sosial (Chambers dan Trudgill, 1980 ; Mahsun, 1995 ; Poedjosoedarmo, tanpa tahun). Pada mulanya, pengertian dialek merujuk kepada perbedaan regional yang ada di antara daerah pengamatan yang menghasilkan pemetaan bahasa/dialek/subdialek.
25
Pengertian ini lama kelamaan juga mencakup dimensi sosial. Dalam dialektologi penelitian yang mengupas perbedaan-perbedaan yang ada pada beberapa DP disebut dialek geografis, sedangkan yang terjadi sebagai akibat perbedaan dimensi sosial disebut dialek sosial (Ayatrohaedi, 1983:14). Dalam dialek geografis, selain kajian deskriptif sinkronis, perlu juga dicermati dan dijelaskan mengapa terjadi perbedaanperbedaan itu atau bagaimana sejarah terjadinya perbedaan-perbedaan itu (kajian diakronis). Meilet (1970) mengemukakan bahwa ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Selain itu, ia juga mengemukakan dua ciri lain dari dialek, yaitu seperangkat bentuk ujaran setempat yasng berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya jika dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama. Kajian dialektologi tidak hanya terbatas pada kajian sinkronis, yaitu menjelaskan variasi-variasi dalam suatu bahasa. Kajian dialektologi juga dapat menjangkau kajian diakronis, seperti yang dipaparkan oleh Mahsun (1995). Mahsun (1995 : 11 – 16) memaparkan kajian diakronis dalam bidang dialektologi sebagai berikut. Secara diakronis, pembicaraan tentang dialek adalah pembicaraan tentang “bagaimana” eksistensi dialek/subdialek itu, yang mencakup: a.
hubungan dialek-dialek/subdialek-subdialek dengan bahasa induk yang menunrunkannya;
b. hubungan antardialek itu satu sama lain; dan c.
hubungan antardialek/subdialek itu dengan dialek-dialek/subdialeksubdialek dari bahasa lain yang diteliti.
26
Mahsun (1995) menjelaskan bidang garapan dialektologi diakronis mencakup dua aspek, yaitu aspek sinkronis (deskriptif) dan aspek diakronis (historis). Dari aspek sinkronis pengkajiannya didasarkan pada hal-hal berikut ini. a. Pendeskripsian perbedaan unusr-unsur kebahasaan yang terdapat dalam bahasa yang diteliti, meliputi perbedaan fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik. b. Pemetaan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda itu. c. Penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek dengan berpijak pada unsurunsur kebahasaan yang berbeda. d. Membuat deskripsi yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau subdialek melalui pendeskripsian ciri-ciri fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikal yang menandai atau membedakan antara dialek atau subdialek yang satu dengan lainnya dalam bahasa yang diteliti.
Sementara itu, dari aspek diakronis (historis) pengakjian didasarkan pada halhal sebagai berikut. a. Membuat rekonstruksi prabahasa bahasa yang diteliti dengan memanfaatkan evidensi yang terdapat dalam dialek/subdialek yang mendukungnya. b. Penelusuran pengaruh antardialek/subdialek bahasa yang diteliti serta situasi persebaran geografisnya. c. Penelusuran unsur kebahasaan yang merupakan inovasi internal ataupun eksternal dalam dialek-dialek atau subdialek-subdialek yang diteliti. d. Penelusuran unsur kebahasaan yang berupa bentuk relik pada dialek atau subdialek yang diteliti dengan situasi pesebaran geografisnya.
27
e. Penelusuran saling berhubungan antara unsur-unsur kebahasaan yang berbeda di antara dialek atau subdialek bahasa yang diteliti. f. Membuat analisis dialek/subdialek ke dalam dialek/subdialek relik (dailek yang lebih banyak mempertahankan atau memlihara bentuk kuno) dan dialek/subdialek
pembaharu.
Dengan
kata
lain
membuat
analisis
dialek/subdialek yang konservatif dan inovatis.
d. Perbedaan Unsur-Unsur Kebahasaan Deskripsi perbedaan unsur-unsur kebahasaan mencakup semua bidang yang termasuk dalam kajian linguistik, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik (Mahsun, 1995:23). Dalam penelitian ini deskripsi perbedaan unsur-unsur kebahasaan lebih difokuskan pada perbedaan fonologi dan leksikon mengingat dua bentuk perbedaan ini yang paling penting dibahas dalam melihat hubungan kekerabatan di antara bahasa-bahasa/isolek-isolek yang dibandingkan. Perbedaan fonologi menyangkut perbedaan fonetik (bunyi-bunyi). Perbedaan fonologi ini dapat muncul secara teratur, yang disebut korespondensi dan dapat pula muncul secara sporadis, yang disebut variasi. Korespondensi bunyi diuraikan Mahsun dalam buku Dialektologi Diakronis (1995 : 29 – 31) yang intinya adalah sebagai berikut.
Korespondensi bunyi
merupakan perubahan bunyi yang muncul secara teratur. Korespondensi bunyi, dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu: a) korespondesi sangat sempurna, jika perubahan bunyi itu berlaku disemua data yang disyarati secara linguistik dan daerah sebaran secara geografisnya sama;
28
b) korespondensi sempurna, jika perubahan itu berlaku pada semua contoh yang disyarati secara linguistik, tetapi beberapa data memperlihatkan daerah sebaran geografisnya tidak sama; c) korespondensi kurang sempurna, jika perubahan itu tidak terjadi pada semua bentuk yang disyarati secara linguistik, tetapi sekurang-kurangnya terdapat pada dua data yang memiliki sebaran geografis yang sama.
Berdasarkan uraian di atas ada dua hal yang patut diperhatikan dalam penentuan status kekorespondensian suatu kaidah, yaitu: a) mengetahui kaidah-kaidah perubahan bunyi yang terjadi di antara daerahdaerah pengamatan; dan b) mengetahui sebaran geografis kaidah-kaidah perubahan bunyi tersebut.
Variasi bunyi dapat berupa bermacam-macam perbedaan bunyi yang muncul hanya pada satu atau dua kosakata saja. Perbedaan yang berupa variasi dapat terealisasi dalam wujud metatesis, asimilasi, disimilasi, apokope, sinkope, paragoge, aferesis, epentensi, dll. (Mahsun, 2006:10; lihat juga Crowley, 1987:25-49 dan Lehman, 1973:158-182). Sementara itu, suatu perbedaan disebut sebagai perbedaan dalam bidang leksikon jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari satu makna yang sama. Semua perbedaan leksikon selalu berupa variasi (Mahsun, 1995:54). Sebagai contoh dalam penelitian ini ditemukan bentuk yang berbeda dalam merealisaikan kata “ikan”, penutur Ciacia Kanciina,
29
Lapandewa, menyebutnya dengan isa , sedang penutur Ciacia Masiri menyebutnya dengan kenta. Perbedaan-perbedaan linguistik tersebut dapat terjadi pada bahasa mana pun sebab sifat kedinamisan yang dimiliki oleh semua bahasa. Poedjosoedarmo (2008: 1-2) mengungkapkan bahwa bahasa berubah antara lain karena ada kontak dengan bahasa lain. Perilaku sosiolinguistik para penutur dalam sebuah masyarakat dapat menjadi salah satu pemicu berubahnya sebuah bahasa. Masing-masing penutur ingin menyesuaikan idioleknya dengan idiolek lawan bicaranya untuk kelancaran komunikasi. Pemicu lain berubahnya suatu bahasa adalah faktor migrasi. Perpisahan penutur suatu bahasa dengan jarak yang cukup jauh mengakibatkan semakin besarnya perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kelompok penutur bahasa tersebut dan memberikan peluang munculnya bahasa/dialek baru. Walaupun demikian, unsurunsur asli bahasa asalnya masih dapat ditelusuri melalui penelusuran hubungan kekerabatan dan kesejarahan bahasa-bahasa tersebut. e. Protobahasa atau Bahasa Purba atau Prabahasa Hubungan antarbahasa sekerabat dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasa sebagaimana diungkapkan Fernandez (1996:21). Secara teoretis, protobahasa adalah rakitan teoretis yang dirancang bangun kembali dengan cara merangkaikan sistem bahasa-bahasa yang memiliki hubungan kesejarahan, melalui kaidah-kaidah yang sederhana secara ekonomis (Bynon, 1979: 71). Protobahasa merupakan rakitan yang teoretis-hipotesis dan merupakan suatu ‘bangunan bahasa’ yang diasumsikan pernah hadir. Rakitan tersebut diterima sebagai
30
prototipe bahasa seasal (Haas, dalam Mbete, 2002:14). Kendati pun hanya diterima sebagai rakitan, protobahasa merupakan fakta hubungan keseasalan. Melalui protobahasa pula, perubahan dan penelusuran unsur-unsur dan sistem bahasa yang hidup pada masa kini dapat ditelusuri dan dijelaskan secara sistematis (Mbete, 2002:14). Istilah prabahasa (prelanguage) adalah istilah yang terbentuk dari gabungan dua morfem, yaitu morfem yang berupa afiks {pra-} dan morfem dasar ’bahasa’. Oleh karena itu, prabahasa merupakan ’bahasa pendahuluan’ dalam artian sebuah bahasa yang dihipotesiskan digunakan sebagai sarana cikalbakal dari bahasa modern yang ada sekarang ini dan direkonstruksi berdasarkan evidensi dialektal atau subdialektal (dalam Mahsun, 1995). Untuk lebih jelasnya pembedaan terhadap dua istilah prabahasa dan protobahasa diuraikan oleh Mahsun (1995 : 82) sebagai berikut. Prabahasa
Protobahasa
- rekonstruksi bahasa purba
- rekonstruksi bahasa purba
- rekonstruksi internal
- rekonstruksi eksternal
- rekonstruksi didasarkan pada evidensi
- rekonstruksi didasarkan pada
dialektal atau subdialektal - digunakan dalam disiplin ilmu dialektologi
evidensi bahasa - digunakan dalam disiplin ilmu linguistik komparatif
31
f. Rekonstruksi Bahasa Rekonstruksi bahasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Rekonstruksi dari atas ke bawah adalah rekonstruksi dengan melihat refleks protobahasa ke bahasa-bahasa modern. Teknik ini diterapkan oleh Dempwolff
(1938) dalam karangannya Austronesisches Worterverzeichmis
(dalam Fernandez, 1994 : 29). Rekonstruksi dari bawah ke atas pun pertama kali dikembangkan oleh Dempwolff (dalam Mahsun 1994) untuk menemukan kekerabatan dan merumuskan protobahasa Austronesia. Dalam Mahsun (1994) diuraikan bahwa rekonstruksi dari bawah ke atas ini ditempuh melalui prosedur berikut ini. a. Penentuan prafonem secara serentak. Berdasarkan perangkat kata yang berkognat yang ditemukan secara langsung ditentukan prakata. Melalui etimon prabahasa itulah, selanjutnya didaftarkan prafonem serta perumusan kaidah-kaidah perubahan fonem pada dialekdialek/subdialek-subdialek turunan. b. Penentuan prafonem demi prafonem. Berdasarkan perangkat kata yang berkognat yang ditemukan, dirumuskan dan ditentukan kaidah-kaidah perubahan fonem sebelum rekonstruksi etimon prabahasa dilakukan. Melalui cara ini dimungkinkan untuk diperoleh prafonem demi prafonem, dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi etimon prabahasa berdasarkan kaidah-kaidah perubahan fonem yang ditemukan.
32
g. Inovasi, Retensi, dan Relik Hubungan bahasa-bahasa sekerabat harus didukung oleh bukti kualitatif berupa inovasi bersama secara ekslusif (exclusively shared inovations) yang dimiliki oleh kelompok bahasa tersebut, baik inovasi fonologis maupun leksikon. Inovasi merupakan pembaharuan yang memperlihatkan kaidah yang berlaku . Di bidang fonologi pembaharuan itu bertalian dengan kaidah perubahan yang mendorong pembentukan kosakata baru sebagai penanda pengelompokan bahasa (Fernandez, 1996:22). Inovasi fonologis tampak dalam berbagai wujud perubahan yang menyangkut jumlah dan distribusi fonem yang merupakan dasar berbagai tipe perubahan, seperti complete loss (pelesapan seutuhnya), partial loss (pelesapan sebagian), complete merger (paduan seutuhnya), partial merger (paduan sebagian), split (pembelahan), excrescence (penambahan), dan sebagainya (Anttila, 1989:69-70). Perbedaan mendasar antara inovasi dalam tinjauan dialektologi dengan tinjauan linguistik historis komparatif terletak dalam tataran isolek itu sendiri (bahasa, dialek, atau subdialek). Inovasi dalam kajian dialektologi mencakup tataran dialek dan subdialek, sedangkan inovasi dalam kajian linguistik historis komparatif hanya mencakup tataran bahasa. Adapun daerah-daerah yang tidak mengalami inovasi (atau dengan kata lain masih mempertahankan bentuk proto/prabahasanya) dalam linguistik historis komparatif dinamakan daerah retensi, sedangkan dalam dialektologi dinamakan dengan daerah relik. Namun, perbedaan ini hanyalah sekedar perbedaan istilah saja. Pada prinsipnya peristilahan retensi bila mengacu kepada bentuk protobahasa dan peristilahan relik bila mengacu kepada bentuk prabahasa.
33
Jika pembaharuan/perubahan yang terdapat dalam suatu bahasa disebut inovasi, maka unsur-unsur yang tidak mengalami perubahan pada bahasa sekarang disebut retensi. Dalam perkembangan historis bahasa sekerabat unsur retensi bersama dapat terjadi secara mandiri tanpa melalui suatu masa perkembangan yang sama. Akan tetapi inovasi bersama yang dialami bahasa sekerabat secara ekslusif pada umumnya melalui suatu masa perkembangan bersama (Greenberg, dalam Fernandez, 1996:22). Pembicaraan unsur inovasi dan retensi berkaitan dengan upaya penelusuran evidensi pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang diteliti. Evidensi pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang diteliti merupakan refleks unsur suatu bahasa proto tersebut. Dengan kata lain, refleks adalah cerminan unsur atau bentuk yang lebih tua yang diketahui dari rekontruksi. Unsur atau bentuk turunan itu sedikit banyaknya mengalami perubahan bahasa (Kridalaksana,
2001:186).
Sementara itu, rekonstruksi adalah metode untuk memperoleh moyang bersama dari suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan membandingkan ciri-ciri bersama atau dengan menentukan perubahan-perubahan yang dialami suatu bahasa sepanjang sejarahnya (Kridalaksana, 2001:187) h. Penentuan Hubungan Kekerabatan dalam Linguistik Historis Komparatif Dalam linguistik historis komparatif penentuan hubungan kekerabatan antarbahasa ditinjau dari dua pendekatan, kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif penentuan hubungan kekerabatan dilakukan dengan metode leksikostatistik. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan leksikostatistik adalah sebagai berikut.
34
1) Mengumpulkan kosakata dasar isolek yang berkerabat, dalam hal ini kedua puluh tiga isolek yang terdapat pada kedua puluh tiga wilayah yang menjadi daerah pengamatan. 2) Menetapkan dan menghitung pasangan-pasangan mana yang merupakan kata kerabat. 3) Menghubungkan hasil penghitungan yang berupa persentase kekerabatan dengan kategori kekerabatan. Hasil persentase yang dicapai berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa yang disajikan dengan dasar tingkat persentase. Berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan dapat dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa. Kriteria itu dapat menggambarkan relasi antarbahasa yang dibandingkan. Hubungan kekerabatan antarbahasa dapat dihitung dengan rumus: Jumlah kata yang berkerabat X 100 % Jumlah glos yang dibandingkan
Hasil perhitungan tersebut kemudian dicocokkan dengan klasifikasi dalam leksikostatistik yang dikemukakan oleh Morris Swadesh (Keraf, 1984: 135), yaitu:
Tabel (4) Hubungan Persentase Kekerabatan dengan Kategori Kekerabatan
Kategori Bahasa (language) Keluarga (family) Rumpun (stock) Mikrofilum Mesofilum Makrofilum
Persentase kekerabatan (%) 100 – 81 81 – 36 36 – 12 12 – 4 4–1 1 – krg dr 1
35
Penghitungan dilakukan dengan memperhatikan pedoman berikut ini. 1) Mengeluarkan glos yang tidak diperhitungkan dalam penetapan kata yang berkerabat. Glos yang tidak diperhitungkan adalah glos yang tidak memiliki bentuk realisasi (kosong), baik dalam salah satu bahasa maupun dalam semua bahasa yang diperbandingkan. Selain itu, glos yang realisasinya merupakan bentuk-bentuk serapan dari bahasa lain juga termasuk dalam glos yang tidak diperhitungkan. 2) Menetapkan kata kerabat baik yang terealisasi dalam bentuk yang identik (wujud sama), bentuk yang mirip (berkorespondensi dan bervariasi), dan bentuk yang berbeda tetapi masih dapat dirunut kekerabatannya. 3) Membuat persentase kata kerabat. Pada tahap ini dilakukan penghitungan terhadap jumlah kata dasar yang diperbandingkan pada langkah (1) dan jumlah kata berkerabat yang dijumpai dari hasil penentuan kata kerabat pada langkah (2). Penghitungan tersebut dilakukan dengan cara jumlah kata berkerabat dibagi jumlah kata dasar yang diperbandingkan dan dikali seratus persen sehingga diperoleh persentase jumlah kekerabatan. Hasil persentase tersebut akan dihubungkan dengan kategori tingkat kekerabatan bahasa. 4) Langkah berikutnya adalah membuat diagram pohon yang menggambarkan silsilah kekerabatan isolek-isolek yang diperbandingkan tersebut. Bahasabahasa yang pada fase tertentu memiliki sejarah yang sama sebagai satu keluarga bahasa atau subkeluarga bahasa berada dalam satu simpai (lihat Mahsun, 2007:213-219).
36
Secara kualitataif, penentuan hubungan kekerabatan dalam linguistik historis komparatif dilakukan dengan melihat inovasi bersama sebagai bukti pemisah kelompok yang diperoleh dengan melihat refleks protobahasa pada bahasa-bahasa yang dibandingkan. Dalam fernandez (1984 : 22) dijelaskan bahwa istilah inovasi berarti pembaharuan, yaitu perubahan yang memperlihatkan penyimpangan dari kaidah perubahan yang lazim berlaku, Refleks protobahasa pada bahasa-bahasa yang diperbandingkan lazimnya dapat diamati dalam korespondensi bunyi berdasarkan padanan perangkat kognat.
i. Penentuan Status Isolek Penentuan status isolek dapat ditinjau secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif dalam dialektologi dilakukan dengan menerapkan metode berkas isoglos dan dialektometri. Metode berkas isoglos adalah salah satu metode yang digunakan untuk menentukan status isolek dengan menghitung jumlah isoglos yang menyatukan daerah-daerah pengamatan. Isoglos adalah sebuah garis imajiner yang diterakan pada sebuah peta bahasa (Lauder, 1990:117). Pada awalnya yang dimaksud garis imajiner isoglos adalah garis yang menghubungkan tiap daerah pengamatan yang menghubungkan tiap daerah pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan serupa (Keraf dalam Mahsun, 1995: 36). Sementara itu, metode dialektometri merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut (Revier dalam Ayatrohaedi, 1983 : 32).
37
Dialektometri ini mulai diperkenalkan oleh Seguy tahun 1973 dalam tulisan yang berjudul La Dialectrometric dans L’Atlas Linguistique de La Gascognate (Mahsun, 1995 : 39). Dalam dialektologi, secara kualtitatif digunakan pula cara-cara yang serupa dengan cara yang diterapkan pada linguistik historis komparatif. Dalam pemilahan isolek, digunakan pula metode pemahaman timbal balik (mutual inteligilibity) yang diajukan oleh Voeglin dan Harris (1951). Menurut metode pemahaman timbal balik, bahwa daerah-daerah pakai isolek itu dikelompokkan dalam dialek sebuah bahasa jika antarpenutur isolek yang berbeda itu masih terjadi pemahaman timbal balik antara satu sama lain ketika mereka bertutur dengan menggunakan isoleknya masingmasing. Hasil perhitungan dialektometri tersebut disepadankan dengan bukti-bukti kualitatif
berupa
kesamaan
fonologi
ataupun
leksikal
untuk
menguatkan
pengelompokan. j. Metode Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Linguistik Komparatif Keterkaitan metode kuantitatif dan kualitatif dapat dipahami secara baik apabila kita memahami dalam konteks bahwa setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan. Dalam kajian linguistik historis komparatif dan dialektologi, metode kuantitatif mempunyai kelebihan dapat sekaligus menangani data dalam jumlah yang banyak, tetapi tidak mampu menjelaskan kekognatan kosakata yang dibandingkan karena tidak menelusuri kesejarahan kosakata tersebut. Sementara itu, metode kualitatif mempunyai kelebihan dalam hal kecermatan dan ketajaman di dalam analisisnya karena sampai kepada penelusuran sejarah kosakata bahasa/isolek yang diperbandingkan. Adapun kelemahannya, pendekatan ini umumnya hanya dilakukan terhadap data yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, paduan evidensi kuantitatif
38
dan kualitatif merupakan bukti yang akurat untuk menjelaskan relasi kekerabatan suatu bahasa/isolek. k. Daerah Asal Suatu Bahasa Apabila dari hasil penentuan kekerabatan dan pengelompokan bahasa telah mampu dideteksi ihwal keterhubungan satu isolek dengan isolek lain dalam satu kelompok
serta
keterhubungannya
dengan
kelompok
lain,
dan
melalui
perekonstruksian bahasa purba mampu diperlihatkan bentuk-bentuk yang menjadi asal dari bentuk-bentuk dalam bahasa yang telah dikelompokkan itu. Mahsun (2010:100—109) menjelaskan bahwa dalam kajian linguistik diakronis dianut pandangan bahwa varian-varian yang muncul dari sebuah bahasa purba (baik itu protobahasa ataupun prabahasa) menjadi varian yang berdiri sendiri tidak terjadi secara seketika, melainkan secara bertahap dan melibatkan waktu. Mungkin perubahan bahasa induk menjadi varian-varian itu mulai membentuk perbedaan wicara, menjadi perbedaan subdialek, lalu menjadi perbedaan dialek, dan lama-kelamaan varian itu muncul sebagai bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa induknya. Artinya, perubahan dari satu bahasa induk menjadi beberapa varian yang berstatus beda wicara memerlukan waktu yang tidak terlalu lama dibandingkan dengan perubahan menjadi varian yang berstatus beda dialek atau bahkan beda bahasa. Semakin panjang perjalanan waktu yang dialami suatu bahasa, maka akan semakin tinggi tingkat varian yang dimiliki oleh bahasa itu. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pada wilayah yang memiliki keragaman bahasa yang tinggi secara menyeluruh menunjukkan panjangnya waktu perubahan yang dialami oleh bahasa tersebut dan wilayah itu dapat dihipotesiskan sebagai wilayah asal.
39
l. Subkelompok Bahasa Muna-Buton Bahasa Ciacia merupakan bahasa yang tergolong dalam subkelompok bahasa Muna-Buton (Pusat Bahasa, 2008; SIL, 2006). Berbagai keterangan tentang subkelomnpok bahasa Muna-Buton ini telah diinformasikan oleh para ahli. Yamaguchi dalam Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara dalam Kaitannya dengan Genealogi (2010) memaparkan dua hasil penelitian yang mengacu pada kedudukan subrumpun bahasa Muna-Buton. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian N. Adriani (1865-1926) dan A.C. Kruijt (1869-1949) serta peta bahasa dan penelitian oleh S.J. Esser (1900-1944). Bahasa daerah di Sulawesi Selatan dapat digolongkan dalam beberapa kelompok bahasa. Menurut Esser, di Pulau Sulawesi terdapat sembilan kelompok bahasa (Esser dalam Yamaguchi , 2010), yaitu: V
Philippijnsche groep
VI
Gorontalosche groep
VII
Tominische groep
VIII
Toradjasche groep
IX
Loinangsche groep
IXa
Banggaische groep
X
Boengkoesch-Lakische groep
XI
Zuid-Celebes-Talen
XII
Moenasch-Boetongsche groep
Di antara kelompok bahasa tersebut di atas, yang tersebar di Sulawesi Tenggara adalah X Boengkoesch-Lakische groep dan XII groep.
Moenasch-Boetongsche
40
Kelompok-kelompok bahasa tersebut tergolong dalam keluarga Melayu Polinesia Barat. Keluarga Melayu Polinesia Barat menurunkan beberapa kelompok, salah satunya adalah Proto Philipina. Proto Philippines inilah yang menurunkan Outer Philippines dan Central Philippines-Malayo-Javanic. Subkelompok Muna-Buton merupakan bagian yang diturunkan dari Outer Philippines (Tryon, 1995). Bila silisilah ini diteruskan ke atas diperoleh gambaran bahwa keluarga Melayu Polinesia Barat diturunkan dari Keluarga Melayu Polinesia. Keluarga Melayu Polinesia merupakan salah satu turunan dari Amis-Extra-Formosa. Amis-ExtraFormosa inilah yang salah satu turunan dari Proto Austronesia (Tryon, 1995). m. Pemilihan Teori yang Diterapkan Teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya merupakan pijakan dalam penelitian ini. Secara global penelitian ini memadukan kajian dialektologi dengan kajian linguistik historis komparatif. Namun, penelitian ini berfokus pada kajian dialektologi, khususnya kajian dialektologi diakronis. Hanya saja, hasil penelitian ini tidak dipetakan secara deskripstif. Pemetaan variasi-variasi dialektal hanya disajikan dalam bentuk peta verbal yang memuat variasi dialek/subdialek yang lebih terfokus pada variasi fonologi dan leksikon. Kajian linguistik historis komparatif dalam penelitian ini diterapkan ketika mencari hubungan kekerabatan antara bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain yang tergolong dalam subrumpun Muna-Buton. Permasalahan pertama dalam penelitian ini terjawab dengan menerapkan teori penentuan status kebahasaan dalam kajian dialektologi dengan metode kuantitatif berupa analisis dialektometri yang diikuti oleh evidensi-evidensi perbedaan fonologis dan leksikal isolek-isolek yang diperbandingkan. Metode ini digunakan untuk
41
menentukan status isolek yang berada dalam wilayah pakai bahasa Ciacia yang dalam penelitian terdahulu dan pengakuan penduduk diasumsikan sebagai bahasa Ciacia. (salah satu isolek yang oleh penelitian terdahulu dan pengakuan penduduk terdapat perbedaan pendapat adalah isolek Kumbewaha). Penelitian ini tidak menggunakan metode berkas isoglos dengan pertimbangan daerah pengamatan dalam penelitian ini merupakan daerah kepulauan yang menurut sejarah masyarakat Ciacia tersebar di pulau-pulau tersebut. Oleh karena itu kemungkinan dijumpai kesulitan untuk menarik satu garis isoglos yang menyatukan daerah pengamatan yang terpisah jauh oleh perbedaan pulau. Permasalahan kedua terjawab dengan merapkan teori rekonstruksi prabahasa bahasa Ciacia yang dilakukan dengan menerapkan teori-teori rekonstruksi bahasa purba,
refleks
bahasa
purba
pada
bahasa
modern
(relik
dan
inovasi).
Permasalahan ketiga terjawab dengan menerapkan teori penentuan hubungan kekerabatan dalam linguistik historis komparatif. Dengan demikian penjelasan genealogi bahasa Ciacia tidak hanya terbatas pada lingkup bahasa Ciacia sendiri, tetapi sampai kepada hubungannya dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun Muna-Buton. Penjelasan silsilah subkelompok Muna-buton ke Proto Austronesia yang disusun oleh Blust, Ross, dan Reid (dalam Tryon, 1995) hanyalah merupakan gambaran informasi genealogi subkelompok Muna-Buton (yang menurunkan bahasa Ciacia) ke atas. Namun, perlu ditegaskan bahwa penelitian ini hanya membahasa genealogi bahasa Ciacia mulai posisinya dalam subkelompok Muna-Buton, Prabahasa Bahasa Ciacia, hingga bahasa Ciacia masa kini (tataran dialek, subdialek, beda wicara, dan tidak beda)
42
1.7 Metode dan Teknik Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian linguistik dibagi atas tiga tahapan, yaitu metode penyediaan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data (Mahsun, 2007:127 ; Sudaryanto, 1992:57). 1.7.1
Metode dan Teknik Penyediaan Data Penyediaan data dilakukan dengan metode cakap dan metode simak (Mahsun,
1995:94-101). Metode cakap dilakukan dengan teknik cakap semuka, yaitu mendatangi setiap lokasi penelitian dan melakukan percakapan bersumber pada pancingan yang berupa daftar pertanyaan. Metode simak dilakukan dengan teknik sadap diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat dan rekam. Teknik sadap berarti peneliti menyadap penggunaan bahasa informan. Selanjutnya dilakukan teknik catat, yaitu mencatat berian tentang daftar tanyaan, cerita-cerita rakyat, atau hal-hal yang berhubungan dengan objek yang diteliti. Catatan berian dilakukan dengan transkripsi fonetis. Dalam hal ini transkripsi fonetis yang digunakan berpedoman pada The International Phonetic Association (1991:8—10). Dalam wawancara digunakan bahasa Indonesia untuk menanyakan sejumlah kosakata dan kalimat yang terdapat dalam daftar tanyaan. Namun, bentuk pertanyaan tidak selamanya secara lugu dibacakan. Terkadang pertanyaan kosakata dapat diberikan dalam bentuk penyajian gambar, penyajian gerakan, peniruan bunyi, atau dalam bentuk pertanyaan seperti untuk memancing tuturan suatu kalimat. Contoh untuk menanyakan kalimat Tolong ambilkan baju saya dalam bahasa Ciacia dinyatakan dalam bentuk pancingan pertanyaan seperti, ”Kalau Bapak menyuruh
43
seseorang untuk mengambilkan baju Bapak, apa yang Bapak katakan?” Hal ini penting untuk menghindari penerjemahan secara harafiah oleh informan karena struktur bahasa Indonesia tidak sama dengan struktur bahasa Ciacia. Dalam contoh pertanyaan tersebut kita akan memperoleh jawaban Culungiau alasiau bajuu yang jika diterjemahkan secara harafiah ke dalam bahasa Indonesia adalah Tolong saya ambil saya baju. Jadi, untuk memperoleh data kalimat seperti di atas, tidak digunakan pertanyaan seperti Tolong ambilkan saya baju, jika diterjemahkan ke bahasa Ciacia bagaimana? Pada saat wawancara berlangsung digunakan pula jawaban atau pancingan dari peneliti diharapkan dapat menimbulkan gairah dan semangat para informan, misalnya, oooo begitu ya Pak/Bu? wah bagus sekali!. Selain itu, digunakan juga model pertanyaan ulang untuk memperjelas lafal mereka, misalnya, maaf, apa Pak/Bu? atau maaf, bisa diulangi lagi Pak/Bu? Wawancara terhadap para informan dalam satu daerah pengamatan (DP) dilakukan secara serentak di balai desa atau rumah salah satu informan (satu DP terdiri atas satu informan utama dan dua informan pembanding). Pemilihan salah satu rumah informan dimaksudkan untuk menciptakan suasana santai bagi informan sehingga mereka bebas menyatakan pendapat mereka. Adapun cara yang serentak dimaksudkan untuk memperkuat berian yang ada karena informan pendamping dapat menyepakati atau mempermasalahkan berian yang diungkapkan oleh informan utama. Di samping itu, di beberapa DP di lokasi wawancara biasanya wawancara ramai dihadiri oleh beberapa tetangga yang kebetulan berkunjung ke rumah informan.
44
Selain menggunakan metode penelitian lapangan, penelitian ini juga menggunakan metode pustaka untuk mendapatkan informasi-informasi yang berkaitan dengan objek penelitian. Informasi pustaka ini selain diperoleh dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai bahasa Ciacia, juga dari tulisan-tulisan mengenai wilayah bahasa Ciacia yang dapat diperoleh di kabupaten, kecamatan, atau pun desa, di Biro Pusat Statistik, sejarah kerajaan Buton, dan lain-lain. a. Penetapan Daerah Pengamatan a.1. Populasi Titik Pengamatan Satuan unit penelitian sebagai satu titik pengamatan di dalam penelitian ini adalah desa. Di Kota Baubau jumlah desa penutur bahasa Ciacia terdiri atas dua desa. Di Kabupaten Buton jumlah desa penutur bahasa Ciacia terdiri atas tujuh puluh tujuh desa. Di Kabupaten Wakatobi jumlah desa penutur bahasa Ciacia terdiri atas tujuh desa di Pulau Binongko. Dengan demikian populasi titik pengamatan penutur bahasa Ciacia berjumlah delapan puluh enam desa. a.2 Percontoh Titik Pengamatan Mempertimbangkan perbedaan yang terdapat dalam bahasa Ciacia, maka dalam penelitian ini dipilih dua puluh tiga desa (sekitar 25 % dari keseluruhan populasi) yang berdasarkan informasi awal tokoh masyarakat Ciacia memiliki perbedaan antarwilayah bahasa Ciacia. Penetapan daerah pengamatan dilakukan dengan memilih desa atau dusun sesuai dengan kriteria daerah pengamatan yang diajukan oleh Mahsun (2007:138), yaitu: terletak jauh dari kota besar, mobilitas penduduknya rendah, dan berusia
45
minimal 30 tahun. Penelitian ini mengambil tiga lokasi administratif yang berbeda sebagai daerah sebaran penggunaan bahasa Ciacia, yang menurut informasi awal dari masyarakat Sulawesi Tenggara penggunaan bahasa Ciacia dapat dijumpai di Kota Baubau, Kabupaten Buton, dan Pulau Binongko, di Kabupaten Wakatobi. Selain lokasi tutur bahasa Ciacia, penelitian ini menambahkan enam lokasi tutur yang masing-masing mewakili bahasa Muna, bahasa Wolio, bahasa Busoa, bahasa Lasalimu, bahasa Kamaru, dan bahasa Wakatobi. Lokasi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Desa Gonda Baru, Kecamatan Sorowolio, Kota Baubau, Pulau Buton 2. Desa Karya Baru, Kecamatan Sorowolio, Kota Baubau, Pulau Buton 3. Desa Kaisabu Baru, Kecamatan Sorowolio, Kota Baubau, Pulau Buton 4. Desa Baadia, Kecamatan Baadia, Kota Baubau, Pulau Buton 5. Desa Busoa, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, Pulau Buton 6. Desa Bola, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, Pulau Buton 7. Desa Poogalampa, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, Pulau Buton 8. Desa Masiri, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, Pulau Buton 9. Desa Jaya Bakti, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Pulau Buton 10. Desa Tira, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Pulau Buton 11. Desa Sandang Pangan, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Pulau Buton 12. Desa Warinta, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Pulau Buton 13. Desa Takimpo, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Pulau Buton 14. Desa Kancinaa, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Pulau Buton 15. Desa Holimambo Jaya, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Pulau Buton
46
16. Desa Wabula, Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton, Pulau Buton 17. Desa Wasampela, Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton, Pulau Buton 18. Desa Lapandewa Makmur, Kecamatan Lapandewa, Kabupaten Buton, Pulau Buton 19. Desa Burangasi, Kecamatan Lapandewa, Kabupaten Buton, Pulau Buton 20. Desa Wolowa, Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton, Pulau Buton 21. Desa Matanauwe, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton, Pulau Buton 22. Desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton, Pulau Buton 23. Desa Ambuau Indah, Kecamatan Lasalimu Selatan, Kabupaten Buton, Pulau Buton 24. Desa Wacuala, Kecamatan Batu Atas, , Kabupaten Buton, Pulau Batuatas, Pulau Buton 25. Desa Lasalimu, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, Pulau Buton 26. Desa Kamaru, Kecamatan Lasalimnu, Kabupaten Buton, Pulau Buton 27. Desa Wali, Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi, Pulau Binongko 28. Desa Rukuva, Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi, Pulau Binongko 29. Desa Lahontohe, Kecamatan Tongkuno, Kabupaten Muna, Pulau Muna
Dengan demikian, wilayah tutur bahasa Ciacia yang digunakan dalam penelitian ini ada 23 wilayah, 4 wilayah berada di luar wilayah mayoritas penggunaan bahasa Ciacia dan 19 wilayah yang berada di wilayah mayoritas penggunaan bahasa Ciacia. Pemilihan wilayah tersebut dengan pertimbangan wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah tutur bahasa Ciacia yang sudah bertahun-tahun lamanya. Selain itu, kedua puluh wilayah tersebut sering disebut-sebut masyarakat sebagai wilayah-
47
wilayah pengguna tiga kelompok dialek Ciacia, yaitu: Ciacia Kapara’e, Ciacia Mbahae, dan Ciacia (Alirman, 2010) . Oleh karena itu, diharapkan dari lokasi-lokasi tersebut dapat ditemukan karakteristik dialek-dialek bahasa Ciacia, baik yang berada di lokasi pusat penutur bahasa Ciacia maupun di luar pusat lokasi. Selanjutnya ditambahkan lagi enam wilayah tutur yang masing-masing mewakili enam bahasa yang termasuk dalam subkelompok bahasa Muna-Buton sehingga jumlah keseluruhan daerah pengamatan dalam penelitian ini adalah dua puluh sembilan. Dari dua puluh tiga wilayah tutur bahasa Ciacia tersebut, berdasarkan hasil penelitian kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara oleh Pusat Bahasa (tahun 2008), diperoleh gambaran bahwa dua wilayah tutur yang tidak tergolong dalam bahasa Ciacia, yaitu Desa Kaisabu Baru merupakan wilayah pakai bahasa Wolio. Sebaliknya, dari hasil penelitian SIL (2006) terdapat dua wilayah tutur yang tidak tergolong dalam bahasa Ciacia, Desa Kaisabu Baru dan Desa Kumbewaha.
Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini.
48
PETA WILAYAH TUTUR BAHASA CIACIA U
Keterangan Gambar Abjad : A sampai K → kecamatan Angka: 1 sampai 23 → desa A : Sorowolio (Baubau) C : Sampolawa (Buton) E : Wabula (Buton) G: Wolowa (Buton) I : Lasalimu Selatan (Buton) K : Pulau Binongko (Wakatobi) 1 2 3 4 5 6 7
: Bola : Poogalampa : Sampolawa : Masiri : Tira : Burangasi : Lapandewa
B : Batauga (Buton) D : Pasarwajo (Buton) F : Lapandewa (Buton) H: Siontapina (Buton) J : Pulau Batu Atas (Buton)
8 : Batuatas 9 : Wali 10: Rongi 11: Gonda Baru 12: Karya Baru 13: Kaisabu Baru 14: Warinta
15 : Takimpo 16 : Holimombo Jaya 17 : Wasampela 18 : Wabula 19: Kancina 20 : Wolowa 21: Matanauwe
22: Ambuau 23: Kumbewaha
49
(b) Penetapan Informan Populasi dalam penelitian ini adalah semua penutur bahasa Ciacia yang tersebar pada wilayah-wilayah penggunaan bahasa Ciacia, baik di Kabupaten Buton, maupun di Kota Baubau, dan Pulau Binongko. Selain informan bahasa Ciacia, juga penutur bahasa Wolio, bahasa Lasalimu, dan bahasa Wakatobi yang dituturkan di wilayah tutur bahasa Ciacia. Adapun kriteria informan yang diperlukan untuk memperoleh data (sebagai percontoh penelitian) adalah sebagai berikut (Lauder, 1993:49—56 dan Mahsun, 1995:106). a. Informan lahir dan dibesarkan di lokasi penggunaan bahasa Ciacia yang mobilitasnya rendah. b. Informan berumur 25-60 tahun dan mengenal bahasa yang hidup di daerahnya. c. Informan memiliki organ artikulatoris yang masih utuh. d. Informan dapat berbahasa Indonesia sehingga dapat membantu kelancaran wawancara.
(c) Instrumen Penelitian Instrumen pada penelitian ini berfokus pada daftar tanyaan berupa 200 kosakata Swadesh yang dimodifikasi oleh Gorys Keraf dan 566 kosakata budaya dasar (bilangan, ukuran dan bentuk, rasa, sifat, warna dan bau, bagian tubuh, istilah kekerabatan, sapaan dan kata ganti, pakaian dan perhiasan, pekerjaan/profesi, kendaraan, binatang, bagian tubuh binatang, tumbuhan (termasuk bagian tumbuhan dan olahan), musim, aktivitas, rumah dan bagian-bagian rumah, alam, arah, alat, dan
50
penyakit) serta 15 frasa dan 24 kalimat sederhana. Kosakata swadesh digunakan sebagai piranti dasar untuk mengukur tingkat kekerabatan baik dengan metode leksikostatistik maupun dialektometri. Di samping itu dalam analisis kuantitatif untuk metode dialektometri ditambahkan pula 237 kosakata budaya, sehingga jumlah kosakata untuk analisis dialektomteri adalah 437 kosakata. Hal ini dilakukan karena fokus kajian dialektologi mencari perbedaan. Oleh karena itu diperlukan penambahan kosakata budaya dalam analisis ini. Namun, pada penelitian ini tidak seluruh kosakata budaya dalam instrumen penelitian digunakan dalam analisis dialektometri ini. Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa bentuk realisasi masih mencampurkan kosakata asli dengan serapan dari bahasa Indonesia. Salah satu di antaranya untuk medan makna kendaraan. Sementara itu seluruh kosakata budaya pada instrumen penelitian digunakan dalam analisis kualitatif untuk menemukan korespondensi bunyi. Selain daftar kosakata tersebut, sebagai bahan pendukung digunakan pula data pustaka yang berhubungan dengan objek penelitian, seperti informasi-informasi mengenai budaya dan cerita-cerita rakyatnya. 1.7.2
Metode dan Teknik Analisis Data Analisis data dikaitkan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan
landasan teori. Metode yang digunakan dalam menguraikan genealogi bahasa Ciacia adalah metode komparatif yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini diawali dengan menentukan status isolek-isolek yang berada di wilayah tutur bahasa Ciacia dengan menggunakan metode dialektometri. Adapun tahapan langkah yang dilakukan dalam penerapan metode dialektometri adalah sebagai berikut.
51
1) Membuat tabulasi tahap I dan II. Tabulasi tahap I berisi data yang akan dianalisis yang berupa keseluruhan data pada daftar tanyaan. Tabulasi tahap I ini merupakan Peta Verbal 1. Adapun model tabulasi tahap pertama yang dimaksud adalah seperti contoh berikut ini Tabel (5) Tabulasi Data Tahap I Identifikasi Varian dan Daerah Sebarannya
No I. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kode/Glos
Bentuk Realisasi Berdasarkan Daerah Pengamatan 1
Kosa Kata Dasar Swadesh abu O:awU air i:wOi akar Ohaka alir (me) mOsOlO anak anadalO angin Opu+a anjing Odahu apa OhapO api O+api apung (me) lulOndO
2 O:awu i:wOi Ohaka mOsOlO anadalO Opu:+a Odahu OhapO O+api lulOndO
3
4
awu waE ur|? masOlO an|? aGiG asu aga a:Bi mOnaG
awu i:wOi Ohaka mOsOlO anadalO Opu:+a Odahu OhapO O+api lulOndo
(Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007)
Contoh tabulasi tahap I tersebut mendeskripsikan bentuk realisasi suatu makna pada masing-masing daerah pengamatan. Sebagai contoh, makna ’apung’ pada daerah pengamatan 1, 2, dan 4 direalisasikan dengan lulOndO, sedangkan pada daerah pengamatan 3 direalisasikan dengan mOnaG. Adapun contoh tabulasi tahap I yang mendeskripsikan bentuk realisasi pada masing-masing daerah pengamatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran.
52
Tabulasi tahap I ini menjadi dasar pembuatan tabulasi tahap II yang berisi deskripsi perbedaan unsur-unsur bahasa yang mencakup persamaan dan perbedaan fonologis dan leksikal. Tabulasi tahap II ini merupakan Peta Verbal II. Pengubahan Peta Verbal I menjadi Peta Verbal II dilakukan melalui tahapan berikut ini (Pusat Bahasa, 2008). a. Penentuan kaidah fonologis bentuk-bentuk yang diduga merupakan refleks dari etimon yang sama. b. Untuk membuat kaidah yang memperlihatkan lingkungan tempat berlakunya kaidah, perlu ditentukan secara hipotesis bentuk yang menjadi asal dari semua bentuk yang diduga berasal dari etimon tersebut. c. Bentuk yang lebih kompleks (bukan karena proses morfologis) dapat menjadi asal dari bentuk-bentuk yang seetimon. d. Pemilihan bentuk yang lebih kompleks sebagai bentuk asalnya didasarkan pada pandangan historis bahwa kecenderungan universal bahasa berkembang dari bentuk yang lebih kompleks ke bentuk yang lebih sederhana (dari bentuk yang panjang ke bentuk yang lebih pendek). e. Penentuan kaidah perubahan bunyi di antara bentuk-bentuk yang seetimon sehingga diperoleh kaidah perbedaan fonologis. f. Penentuan pasangan perubahan bunyi dalam pembuatan kaidah fonologis didasarkan pada pandangan historis bahwa bunyi konsonan akan berubah atau selalu muncul sebagai konsonan bukan sebagai
53
vokal dan bunyi vokal akan berubah atau selalu muncul sebagai vokal bukan sebagai konsonan. g. Pembuatan kaidah perbedaan fonologis dengan mengidentifikasikan perbedaan pada posisi awal, menyusul posisi tengah, dan posisi akhir. h. Apabila beberapa bentuk yang seetimon memiliki lebih dari satu kemungkinan
pengaidahan,
setiap
kemungkinan
pengaidahan
ditempatkan dalam alternatif pemetaan yang berbeda. i. Setiap alternatif pemetaan (secara verbal) itu harus memuat informasi tentang bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut serta sebaran geografisnya. j. Apabila bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna itu dapat dikelompokkan ke dalam beberapa etimon, setiap kelompok yang memiliki lebih dari satu refleks harus dikaidahkan, kecuali refleksrefleks itu memiliki sebaran geografis yang sama. k. Setiap kaidah fonologis untuk setiap etimon ditempatkan dalam alternatif pemetaan yang berbeda. l. Apabila hanya dapat dikaidahkan satu kali, kaidah itu akan muncul berulang-ulang pada alternatif pemetaan yang berbeda. m. Urutan bunyi dalam pengaidahan dilakukan secara konsisten.
Penerapan Tabulasi Tahap II yang merupakan Peta Verbal II dapat dilihat pada contoh berikut ini.
54
Tabel (6) Tabulasi Tahap II No 1
2
Gloss abu
air
1
1
2
3
akar
4
alir (me-)
1.a. b.
Bentuk Realisasi
Daerah Pegamatan
O: ~ ø / # O:awu(U) O: awu
1,2 3,4
i: ~ ø / # i:wOi waE oi ~ aE E/-# i:wOi waE Ohaka urE
1,2,4 3 1,2,4 3 1,2,4 3
mO ~ ma / # 1 mOsolo masolo
1,2,4 3
(Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007)
2) Pemilihan peta hasil tabulasi tahap II. Sebelum penggunaan metode dialektometri terhadap analisis Peta Verbal II, hal yang pertama-tama dilakukan adalah memilih salah satu dari sejumlah kemungkinan pemetaan yang dapat dilakukan dalam setiap glos. Hal ini disebabkan mungkin saja glos tertentu memiliki alternatif pemetaan lebih dari satu, padahal untuk menggunakan dialektometri hanya memerlukan satu peta untuk setiap glosnya. Untuk itu diperlukan suatu pegangan dalam memilih salah satu dari alternatif pemetaan lebih dari satu. Adapun pegangan yang dijadikan landasan dalam pemilihan alternatif pemetaan adalah sebagai berikut ini (Pusat Bahasa, 2008)
55
a. Dari sudut pandang perbedaan fonologis, alternatif peta yang dipilih adalah alternatif peta yang kaidahnya sama dengan alternatif pemetaan pada glos lainnya. Pengertian sama di sini tidak hanya sama kaidahnya, tetapi sama atau relatif sama daerah sebaran yang disatukan atau dibedakan oleh kaidah tersebut. b. Setelah dilakukan identifikasi seperti langkah (a) tersebut dan ternyata tidak ditemukan alternatif peta yang sama kaidahnya dari semua glos itu, langkah selanjutnya memilih alternatif peta pada glos yang secara bersama-sama dengan alternatif peta pada glos lainnya mempersatukan daerah pengamatan yang sama atau relatif sama. c. Setelah langkah (a) dan (b) dilakukan, glos sisanya yang belum ditentukan alternatif pemetaan yang akan dipilih, ditentukan dengan tetap mempertimbangkan adanya dukungan bagi penetapan daerah pengamatan atau kelompok daerah pengamatan tertentu sebagai daerah pakai isolek yang berbeda dengan lainnya. Apabila langkah ini tidak memungkinkan, alternatif peta dipilih secara mana suka. 3) Menghitung tingkat kekerabatan bahasa dengan ketentuan sebagai berikut. a. Apabila pada sebuah daerah pengamatan dikenal lebih dari satu bentuk untuk satu makna dan salah satu di antaranya dikenal di daerah pengamatan lain yang diperbandingkan, perbedaan itu dianggap tidak ada; (-) b. Apabila di antara daerah pengamatan yang dibandingkan itu, salah satu di antaranya tidak memiliki bentuk sebagai realisasi suatu makna tertentu, dianggap ada perbedaan; (+)
56
c. Apabila daerah-daerah pengamatan yang dibandingkan itu semua tidak memiliki bentuk sebagai realisasi dari satu makna tertentu, daerahdaerah tersebut dianggap sama; (-) d. Apabila daerah-daerah pengamatan berbeda leksikon, dianggap beda (+) Hasil tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan rumus.
( Sx100) x 100 % n S : jumlah beda dengan DP lain n : jumlah peta yang dibandingkan Hasil yang diperoleh dari perhitungan dialektometri ini berupa persentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu yang selanjutnya akan digunakan untuk menentukan hubungan antar-DP dengan kriteria sebagai berikut. 81% ke atas
: perbedaan bahasa
51% -- 80%
: perbedaan dialek
31% -- 50%
: perbedaan subdialek
21% -- 30%
: perbedaan wicara
di bawah 20%
: tidak ada peredaan (Mahsun, 2010)
Kriteria tersebut berlaku untk perbedaan fonologi dan leksikon yang dihitung menjadi satu. Tidak dilakukan pembedaan perbedaan persentase untuk fonologi dan leksikon seperti yang diusulkan Guiter karena pembedaan
57
semacam itu tidak cocok dengan realita perubahan bahasa. Guiter membedakan persentase untuk perbedaan fonologi dan leksikon sebagai berikut ini. Tabel (7) Dialektometri Guiter
Persentase Perbedaan Fonologi 17 ke atas 12-16 8-11 4-7 0-3
Persentase Pebedaan Leksikal 81 ke atas 51-80 31-50 21-30 20 ke bawah
Status Isolek perbedaan bahasa perbedaan dialek perbedaan subdialek perbedaan wicara tidak ada perbedaan
(Guiter dalam Mahsun, 2010 : 50) Apabila diperhatikan persentase batas krusial antara suatu isolek disebut bahasa atau dialek, akan ditemukan batas maksimal untuk perbedaan fonologi adalah 16 % dan perbedaan leksikon 80 %. Dari titik krusial persentase perbedaan kedua tataran linguistikitu diperoleh perbandingan 1:5. Artinya suatu perbedaan fonologi sama dengan lima perbedaan leksikon. Asumsi Guiter yang menetapkan bahwa perbandingan antara perbedaan fonologi dengan 1:5 dapat berlaku jika perubahan dalam bahasa yang memunculkan perbedaan itu berlangsung secara teratur. Dari penelaahan terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, perubahan yang diasumsikan Guiter itu tidak terbukti. Artinya, bahwa perubahan yang banyak terjadi dalam isolek-isolek yang berkerabat itu tidak berlangsung secara teratur. Lebih banyak perubahan yang bersifat sporadis/tidak teratur daripada perubahan yang bersifat korespondensi /teratur (Mahsun, 2010 : 50).
Melalui
perhitungan
dialektometri
diperoleh
kejelasan
status
isolek
Kumbewaha serta isolek-isolek lain dalam wilayah tutur bahasa Ciacia apakah merupakan bahasa yang berbeda dengan bahasa Ciacia atau merupakan dialek atau
58
subdialek bahasa Ciacia. Penghitungan dialektometri ini dilakukan secara permutasi untuk mendapatkan hasil yang akurat. Hasil perhitungan dialektometri tersebut disepadankan dengan bukti-bukti kualitatif
berupa
kesamaan
fonologi
ataupun
leksikal
untuk
mendukung
pengelompokan. Jawaban permasalahan pertama berupa interpretasi hasil perhitungan dialektometri yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil kuantitatif tersebut dijadikan pijakan untuk pengelompokan isolek-isolek tersebut menjadi dialek, subdialek, beda wicara, dan tidak ada perbedaan. Analisis kualitatif yang dimaksud adalah mendeskripsikan perbedaan fonologi dan leksikon antardialek bahasa Ciacia. Buktibukti perbedaan fonologi dan leksikon yang ditemukan diharapkan dapat menjelaskan hasil analisis dialektometri. Hal ini sangat penting mengingat hasil dialektometri sering kali terjadi tarik-menarik antara satu isolek dengan isolek lainnya dalam pengelompokan. Permasalahan kedua berkaitan dengan aspek historis yang tentu saja sangat erat kaitannya dengan genealogi suatu bahasa. Langkah dari aspek historis ini berupa membuat rekonstruksi bentuk prabahasa dari bahasa Ciacia yang mengacu pada hasil pengelompokan pada bab sebelumnya. Rekonstruksi bentuk prabahasa bahasa Ciacia ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif dengan teknik rekonstruksi dari bawah ke atas (bottom up), yaitu melihat wujud etimon bahasa purba pada tingkat yang lebih tinggi (lebih kuno). Dalam praktiknya, rekonstruksi dari bawah ke atas ini ditempuh melalui prosedur perbandingan sistem fonem yang terdapat dalam dialekdialek yang mendukung bahasa yang direkonstruksi bahasa purbanya, kemudian keberadaan fonem-fonem segmental tersebut sebagai fonem yang dihipotesiskan sebagai fonem bahasa purbanya akan diperlihatkan dalam bentuk rekonstruksi etimon
59
proto bahasa Ciacia. Dengan demikian, metode rekonstruksi yang akan digunakan adalah metode padan intralingual dan ekstralingual dengan bertitik tolak pada kaidah korespondensi bunyi (Mahsun, 1995). Setelah bentuk purba bahasa Ciacia direkonstruksi secara bottom-up kemudian dilihat refleks bahasa Ciacia Purba ke dialek-dialek dan subdialek-subdialeknya untuk menemukan dialek yang mengalami inovasi dan dialek yang tetap mempertahankan bentuk asalnya. Agar genealogi bahasa Ciacia semakin jelas dilakukan juga penelusuran PAN terhadap bentuk asal bahasa Ciacia dan bentuk modern bahasa Ciacia (dialek dan subdialeknya) melalui refleks PAN pada Prabahasa Bahasa Ciacia (PBC) terhadap Bahasa Ciacia Modern (BCM). Dengan demikian, gambaran inovasi dan retensi dari PAN ke Prabahasa Bahasa Ciacia dan ke Bahasa Ciacia Modern dapat terdeskripsikan dengan jelas. Bagian akhir dari permasalahan kedua ini adalah penentuan status dialek dan subdialek sebagai lanjutan dari hipotesis awal akan status tersebut pada permasalahan pertama. Dengan bukti-bukti kualitatif berupa inovasi-inovasi dan relik-relik yang ditunjukkan pada refleks Prabahasa Bahasa Ciacia pada bahasa Ciacia modern semakin memperkuat pengelompokan dialek dan subdialek tersebut. Permasalahan ketiga diawali dengan penjelasan hubungan antardialek dan antarsubdialek bahasa Ciacia yang telah diperoleh kejelasan statusnya pada penyelesaian permasalahan pertama dan kedua. Setelah hubungan kekerabatan antardialek dan antarsubdialek bahasa Ciacia diperoleh, langkah selanjutnya adalah menguraikan hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun
60
Muna-Buton. Untuk melihat hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam
subrumpun
Muna-Buton
digunakan
metode
leksikostatistik.
Dalam
leksikostatistik dipilih masing-masing satu isolek untuk mewakili satu bahasa. Sebagai wakil dari bahasa Ciacia dipilih satu isolek untuk mewakili berdasarkan beberapa pertimbangan (seperti hubungannya dengan isolek lain, kosakata, jumlah penutur, dan lokasi). Hasil persentase yang dicapai berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa yang disajikan dengan dasar tingkat persentase. Berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan dapat dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa. Kriteria itu dapat menggambarkan relasi antarbahasa yang dibandingkan. Hasil persentase hubungan kekerabatan tersebut kemudian diperkuat dengan melihat evidensi-evidensi pemisah dan penyatu kelompok yang didasarkan pada daftar Proto Astronesia (PAN). Adapun daftar fonem PAN yang digunakan dalam penelitian ini berpedoman pada English Finderlist of Reconstructions yang disusun oleh Wurm dan Hattori (1975) Hasil penentuan status isolek-isolek dalam wilayah tutur bahasa Ciacia merupakan simpulan penetapan pengelompokan genealogi bahasa Ciacia yang diwujudkan dalam suatu bagan silsilah bahasa Ciacia. Bagan tersebut kemudian disatukan dengan bagan silsilah bahasa Ciacia dalam subrumpoun Muna-Buton. Dengan penggabungan kedua bagan silsilah yang diperoleh dari hasil pembahasan permasalahan pertama dan kedua diperolehlah suatu bagan silsilah bahasa Ciacia
61
mulai dari posisinya dalam subrumpun Muna-Buton sampai kepada isolek-isolek yang tidak memiliki perbedaan dalam bahasa Ciacia. 1.8 Sistematika Penyajian Penulisan hasil penelitian ini disusun dengan penyajian sebagai berikut. Bab I berupa pendahuluan, yang berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian. Bab II merupakan gambaran umum objek dan lokasi penelitian yang gambaran umum etnis Ciacia, gambaran umum wilayah penelitian meliputi situasi geografis, kilasan sejarah, dan situasi sosial budaya;
situasi kebahasaan daerah pakai bahasa Ciacia. Bab III merupakan
penelusuran status isolek-isolek
dalam wilayah tutur bahasa Ciacia baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Bab IV merupakan rekonstruksi prabahasa bahasa Ciacia , refleks prabahasa bahasa Ciacia pada dialek, subdialek bahasa Ciacia, serta refleks PAN pada prabahasa bahasa Ciacia. Bab V merupakan penjelasan hubungan kekerabatan antardialek dan antarsubdialek bahasa Ciacia serta hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun Muna-Buton. Bab VI merupakan penutup yang berisi simpulan dan saran.