PERLAKUAN AKUNTANSI DAN PEMENUHAN PRINSIP SYARIAH PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH PADA PT. BANK MUAMALAT INDONESIA TBK Rina Ariani (21208507) Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2012
ABSTRAKSI Bank syariah melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian prinsip bagi hasil yang dilaksanakan oleh PT. BMI dengan prinsip yang diatur dalam syariah Islam pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Dalam memperoleh datadata yang diperlukan untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan metodemetode seperti mengajukan daftar pertanyaan dan dokumentasi. Dalam pelaksanaan prinsip bagi hasil pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada PT. BMI belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam sedangkan dalam perlakuan akuntansinya pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk ini secara umum telah sesuai dengan PSAK No. 105 mengenai akuntansi mudharabah dan PSAK No. 106 mengenai akuntansi musyarakah. Kata kunci : Perlakuan Akuntansi, Prinsip Syariah, Mudharabah, Musyarakah ABSTRACT Islamic banks conduct business based on sharia principles, including sharia business units and branches of foreign banks that do business based on sharia principles. This study aimed to identify the suitability of principles of sharing conducted by PT. BMI with the principles set out in Islamic Sharia Mudharabah and Musyarakah financing. In obtaining the data necessary to complete this thesis, the author users methods such as asking a list of questions and documentation. The result of this research is the implementation of the principle of sharing and Mudharabah and Musyarakah financing at PT. BMI is not fully in accordance with the principles of Islamic Sharia while the accounting treatment on Mudharabah and Musyarakah financing at the PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk has generally been in accordance with PSAK No. 105 regarding the accounting Mudharabah and PSAK No. 106 regarding the accounting Musyarakah. Keywords : Accounting Treatment, Sharia Principles, Mudharabah, Musyarakah
PENDAHULUAN Bank syariah adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang saat ini telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (Dahlan Siamat, 2005). Menurut Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri. Bank syariah sebenarnya berlaku untuk semua orang atau universal. Syariah itu sendiri hanyalah sebuah prinsip atau sistem yang sesuai dengan aturan atau ajaran Islam. Manajemen bank syariah tidak banyak berbeda dengan manajemen bank pada umumnya (bank konvensional). Namun dengan landasan syariah serta dengan peraturan pemerintah yang menyangkut bank syariah serta sesuai dengan peraturan pemerintah yang menyangkut bank syariah antara lain UU No. 10 Tahun 1998 sebagai revisi UU No. 7 Tahun 1992, tentu saja baik organisasi maupun sistem operasional bank syariah
terdapat perbedaan dengan bank pada umumnya, terutama adanya dewan pengawas syariah dalam struktur organisasi dan adanya sistem bagi hasil. Dasar pemikiran pengembangan bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah untuk memberikan pelayanan jasa kepada sebagian masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilayani oleh perbankan yang sudah ada, karena bank-bank tersebut menggunakan sistem bunga. Dalam menjalankan operasinya, bank syariah tidak mengenal konsep bunga uang dan tidak mengenal peminjaman uang tetapi yang ada adalah kemitraan / kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sementara peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa adanya imbalan apapun. Sehingga dalam operasinya dikenal beberapa produk bank syariah antara lain produk dengan prinsip mudharabah dan musyarakah. Prinsip mudharabah dilakukan dengan menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh sedangkan kerugian yang timbul menjadi resiko pemilik dana sepanjang tidak ada bukti bahwa pihak pengelola tidak melakukan kecurangan. Prinsip musyarakah adalah perjanjian antar pihak untuk menyertakan modal dalam suatu kegiatan ekonomi dengan pembagian keuntungan atau kerugian sesuai nisbah yang disepakati (Antonio, 2004). Prinsip bagi hasil adalah salah satu skim yang ada dalam ekonomi Islam serta merupakan salah satu komponen dalam sistem kesejahteraan Islam. Apabila pelaksanaan proses bagi hasil ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana dicontohkan oleh Nabi SAW, niscaya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi
pengangguran, dan sekaligus mengurangi jumlah kaum-kaum fakirmiskin serta terciptanya keadilan dalam distribusi pendapatan. Apabila kesejahteraan masyarakat meningkat, sudah jelas kaum miskin secara berangsur-angsur akan bisa dientaskan. (Umrotul Khasanah, 2010). Perkembangan lembaga keuangan yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil tidak terlepas dari adanya legalitas hukum dalam bentuk undang-undang perbankan No.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Undang-undang ini mengizinkan lembaga perbankan menggunakan prinsip bagi hasil, bahkan memungkinkan bank untuk beroperasi dengan dual system, yaitu beroperasi dengan sistem bunga dan bagi hasil, sebagaimana dipraktekkan oleh beberapa bank di Indonesia. Mudharabah dan musyarakah saat ini merupakan wahana utama bagi lembaga keuangan syariah untuk memobilisasi dana masyarakat dan untuk menyediakan berbagai fasilitas, seperti fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha. Mudharabah dengan dasar profit and loss sharing principle merupakan salah satu alternatif yang tepat bagi lembaga keuangan syariah yang menghindari sistem bunga (interest free) yang oleh sebagian ulama dianggap sama dengan riba yang diharamkan. Pengertian mudharabah menurut PSAK No. 105 (IAI, 2009) adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Apabila terjadi kerugian, hal tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Pengertian musyarakah menurut PSAK No. 106 (IAI, 2009) adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan resiko atau kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana (modal). Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Dari penjelasan diatas, secara umum perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional yaitu bank syariah menggunakan sistem bagi hasil sedangkan bank konvensional menggunakan sistem bunga. Dan salah satu bank yang menggunakan sistem bagi hasil pembiayaan mudharabah dan musyarakah yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. PT. BMI merupakan pelopor dan bank syariah pertama yang berdiri di Indonesia. METODE PENELITIAN Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, yaitu analisis data dengan cara memberikan penjelasan dengan memberikan predikat kepada variabel yang diteliti sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Langkah – langkah yang dilakukan setelah memperoleh data serta untuk menggambarkan perlakuan akuntansi prinsip bagi hasil PT. BMI adalah sebagai berikut: 1. Memilih data yang telah didapatkan sesuai dengan kebutuhan yang akan
2.
3.
4.
5.
digunakan dalam penelitian. Melakukan analisis terhadap transaksi mudharabah dan musyarakah yang terjadi pada PT. BMI menggunakan sampel penelitian yang diperoleh dari PT. BMI. Menganalisis apakah prinsip bagi hasil pada PT. BMI sudah sesuai dengan prinsip yang diatur dalam syariah Islam. Menganalisis perlakuan akuntansi dalam pencatatan atau penjurnalan yang dilakukan pada PT. BMI pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah tersebut apakah telah sesuai dengan PSAK No. 105 dan PSAK No. 106. Membuat kesimpulan dari apa yang telah dianalisis mengenai pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Prinsip Syariah Islam Terhadap Pelaksanaan Mudharabah Dan Musyarakah Pendapatan bagi hasil yang diperoleh PT. BMI berasal dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah sehingga praktik pembiayaan yang menghasilkan pendapatan bagi hasil ini harus diketahui dan dicocokkan dengan hukum syariah untuk dapat menilai apakah pendapatan bagi hasil tersebut telah sesuai dengan hukum Islam. Terkait dengan temuan-temuan dalam studi kasus pada Bank Muamalat, penulis akan menyoroti beberapa hal yang berkaitan dengan prinsip mudharabah dan musyarakah yang dilaksanakan pada Bank Muamalat yang kemudian dicocokkan dengan pendapat jumhur ulama.
1. Ijab dan Qabul (Akad) Menurut Veithzal Rivai, H. (2008), pernyataan kehendak yang berupa ijab dan qabul antara kedua pihak memiliki syarat-syarat, yaitu : a. Harus jelas menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah dan musyarakah. Dalam menjelaskan maksud tersebut, bisa menggunakan kata mudharabah, qiradh, muqaradhah, mu’amalah, musyarakah, atau semua kata yang semakna dengannya. Bisa pula tidak menyebutkan kata mudharabah dan kata-kata sepadan lainnya jika maksud dari penawaran modal tersebut sudah dapat dipahami. Misalnya, “Ambil uang ini dan gunakan untuk usaha dan keuntungan bagi kita berdua.” (Al-Kasani, 2001). b. Harus bertemu. Artinya, penawaran pihak pertama sampai dan diketahui oleh pihak kedua sebagai ungkapan kesediaan bekerja sama. Misalnya, dengan mengucapkan, “Ya, saya terima,” atau “Saya setuju,” atau dengan isyarat-isyarat setuju lain seperti menganggukan kepala, diam atau senyum. Oleh karena itu, peristiwa ini harus terjadi dalam satu majelis akad agar terhindar dari kesalahpahaman. c. Harus sesuai maksud pihak pertama, cocok dengan keinginan pihak kedua. Secara lebih luas, ijab dan qabul tidak saja terjadi dalam soal kesediaan dua pihak untuk menjadi pemodal dan pengusaha, tetapi juga kesediaan untuk menerima kesepakatankesepakatan lain yang muncul lebih terinci. Dalam hal ini, ijab (penawaran) tidak selalu diungkapkan oleh pihak pertama.
Begitu sebaliknya. Keduanya harus saling menyetujui. Artinya, jika pihak pertama melakukan ijab (penawaran), maka pihak kedua melakukan qabul (penerimaan). Begitu juga sebaliknya. Ketika kesepakatankesepakatan itu disetujui, maka terjadilah hukum. Pada faktanya, PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk ketika melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah atau musyarakah kepada pihak yang memerlukan dana telah sesuai dengan syarat-syarat yang ada dalam persyaratan ijab dan qabul yaitu : a. Harus jelas menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah ataupun musyarakah. Pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk nasabah yang akan melakukan pembiayaan mudharabah ataupun musyarakah dengan PT. BMI harus menjelaskan maksud dan tujuannya melakukan kegiatan pembiayaan tersebut. b. Harus bertemu. Di PT. BMI nasabah yang akan melakukan kegiatan mudharabah dan musyarakah pada saat akan melakukan perjanjian atau kesepakatan pihak Bank Muamalat harus bertemu dengan nasabah tujuannya agar penawaran pihak pertama sampai dan diketahui oleh pihak kedua sebagai ungkapan kesediaan bekerja sama. c. Dan harus sesuai maksud pihak pertama, cocok dengan keinginan pihak kedua. Pada PT. BMI juga demikian tidak hanya soal peminjam atau pemodal dana tetapi antara pihak PT. BMI dengan nasabah juga harus ada
kesediaan dalam mematuhi atau menerima kesepakatan kesepakatan lain yang telah di setujui dalam kontrak karena ketika kesepakatan-kesepakatan atau perjanjian-perjanjian tersebut disetujui, maka telah ada hukum di dalamnya. Apabila ada pihak yang melanggar maka akan berurusan dengan hukum. 2. Adanya dua pihak (pihak penyedia dana dan pengusaha / pengelola dana). Menurut Veithzal Rivai, H. (2008), para pihak (shaibul maal dan mudharib) disyaratkan : a. Cakap bertindak hukum secara syar‟i. Artinya, shaibul maal memiliki kapasitas untuk menjadi pemodal dan mudharib memiliki kapasitas menjadi pengelola. Jadi, mudharabah yang disepakati oleh shaibul maal yang mempunyai penyakit gila temporer tidak sah. Namun, jika dikuasakan oleh orang lain, maka sah. Bagi mudharib, asalkan ia memahami maksud kontrak saja sudah cukup sah mudharabahnya. b. Memiliki walayah tawkil wa wakalah (memiliki kewenangan mewakilkan / memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa), karena penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak pengelola modal merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah modal tersebut. Dalam hal ini, PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk ketika akan melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah dan musyarakah kepada pihak yang memerlukan dana telah sesuai dengan syarat-syarat yang ada, yaitu : a. Cakap bertindak hukum secara syar‟i yang artinya shahibul maal
memiliki kapasitas menjadi pemodal dana dan mudharib menjadi pengelola dana tersebut. Dalam hal ini PT. BMI pada pembiayaan mudharabah memang bertindak sebagai shahibul maal yang memiliki kapasitas sebagai pemodal dana dan nasabah atau mudharib memiliki kapasitas sebagai pengelola dana. b. Memiliki walayah tawkil wa wakalah (memiliki kewenangan mewakilkan / memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa), yaitu penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak pengelola modal merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah modal tersebut. Pada PT. BMI juga setelah modal diserahkan oleh pihak PT. BMI kepada nasabah, maka nasabah tersebut akan mengelola atau mengolah modal tersebut dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak antara pemodal dana dengan pengelola dana. 3. Adanya modal Menurut Veithzal Rivai, H. (2008), modal disyaratkan : a. Harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah dan musyarakah, sehingga tidak menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidakjelasan jumlah. Kepastian dan kejelasan laba itu penting dalam kontrak ini. b. Harus berupa uang (bukan barang). Mengenai modal harus berupa uang dan tidak boleh barang adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka beralasan, mudharabah / musyarakah dengan
barang itu dapat menimbulkan kesamaran karena barang pada umumnya bersifat fluktuatif. Jika barang bersifat tidak fluktuatif seperti emas dan perak, mereka berbeda pendapat. Imam Malik dalam hal ini tidak tegas untuk melarang atau membolehkannya. Dalam kaitan mudharabah / musyarakah dengan emas atau perak ini, Imam Syafi’i melarangnya. Dalam kaitannya dengan modal ini pula, para fuqaha sepakat bahwa jika barang yang diserahkan tersebut tidak untuk mudharabah / musyarakah, tetapi untuk dijadikan sebagai sebuah modal mudharabah / musyarakah dengan cara menjualnya terlebih dahulu, maka hal ini diperbolehkan karena hal ini telah banyak disebutkan dalam Hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. c. Uang bersifat tunai (bukan utang). d. Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung. Jika tidak diserahkan kepada mudharib secara langsung dan tidak diserahkan sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan akan terjadi kerusakan pada modal, yaitu penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai bekerja dan akibat yang lebih jauh mengurangi kerjanya secara maksimal. Jumhur fuqaha sepakat akan hal ini. Hanya, sebagian dari mahzab Hanafi lebih fleksibel menambahkan apabila pengangsuran kucuran modal tersebut dikehendaki oleh mudharib, maka tidak batal. Dalam hal ini, PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk ketika akan melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah dan
musyarakah kepada pihak yang memerlukan dana telah sesuai dengan syarat-syarat modal yang ada, yaitu : a. Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah dan musyarakah, pada PT. BMI ketika akan melakukan pembiayaan mudharabah dan musyarakah modal yang diberikan tentunya jelas jumlah dan jenisnya telah diketahui oleh kedua belah pihak yaitu pihak Bank Muamalat dengan pihak nasabah (atau pengelola dana) pada saat dibuatnya akad pembiayaan tersebut. b. Harus berupa uang (bukan barang), dalam hal ini PT. BMI dalam melaksanakan pembiayaan mudharabah maupun musyarakah memberikan modal pinjaman dalam bentuk berupa uang. c. Uang bersifat tunai. Pada PT. BMI modal pinjaman yang di berikan adalah uang yang bersifat tunai. Uang diberikan sesuai jumlahnya secara tunai kepada nasabah. d. Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung. Pada PT. BMI modal yang akan di pinjamkan kepada mudharib memang diserahkan secara langsung agar mudharib dapat langsung memulai kerja usahanya. 4. Adanya usaha („amal). Menurut Veithzal Rivai, H. (2008), mengenai jenis usaha pengelolaan ini, sebagian ulama khususnya Syafi’i dan Maliki, mensyaratkan hanya berupa usaha dagang (commercial). Mereka menolak usaha yang berjenis kegiatan industri (manufacture) dengan anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk dalam
kontrak persewaan (ijarah) yang semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal (investor), sementara para pegawainya digaji secara tetap. Tetapi, Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri. Jadi sesungguhnya, dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa jenis usaha yang diperbolehkan adalah semua jenis usaha. Tentu saja tidak hanya menguntungkan, juga harus sesuai dengan ketentuan syariah sehingga merupakan usaha yang halal. Dalam menjalankan usaha ini, shahibul maal tidak boleh membatasi mudharib sedemikian rupa sehingga mengakibatkan upaya pemerolehan keuntungan maksimal tidak tercapai. Tetapi, di lain pihak, pengelola harus senantiasa menjalankan usahanya dalam ketentuan syariah secara umum. Apabila usaha itu dijalankan di bawah akad mudharabah / musyarakah terbatas, maka ia harus memenuhi klausul-klausul (perjanjian) yang ditentukan oleh shahibul maal. Pada faktanya PT. BMI memberikan pinjaman dana / modal pada usaha-usaha yang bersifat tidak hanya menguntungkan tetapi juga merupakan usaha yang halal dan juga harus sesuai dengan ketentuan syariah Islam. 5. Adanya keuntungan Menurut Veithzal Rivai, H. (2008), mengenai keuntungan, disyaratkan bahwa : a. Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan presentase dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntungannya saja setelah dipotong besarnya modal. Dalam hal ini, perhitungan harus dilakukan secara cermat. Setiap
keadaan yang membuat ketidakjelasan penghitungan akan membawa kepada suatu kontrak yang tidak sah. b. Keuntungan untuk setiap pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal, misalnya satu juta, dua juta dan seterusnya. Jika ditentukan dengan nominal, berarti shahibul maal telah mematok untung tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas untung dan ruginya. Ini akan membawa pada perbuatan riba‟. c. Nisbah pembagian ditentukan dengan persentase, misalnya 60:40%, 50:50%, dan seterusnya. Penentuan persentase tidak harus terikat pada bilangan tertentu. Artinya, jika nisbah bagi hasil tidak ditentukan pada saat akad, maka setiap pihak memahami bahwa keuntungan itu akan dibagi secara sama, karena aturan umum dalam penghitungan ini adalah kesamaan. d. Keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu pihak. Pada dasarnya, mudharabah dan musyarakah membagi keuntungan berdasarkan kesamaan. Namun, jika mudharib mensyaratkan seluruh keuntungan untuk dirinya, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik membolehkannya, karena cara itu merupakan kebaikan atau kesukarelaan shahibul maal. Di lain pihak, Imam Syafi’i melarangnya. Ia menganggap cara seperti itu sebagai suatu kesamaran, karena jika terjadi kerugian, shahibul maal pun telah menanggung modalnya. Jadi menurut Imam Syafi’i, beban resiko yang ditanggung shahibul
maal itu telah berat dan tidak boleh ditambah lagi. Imam Abu Hanifah, berkenaan dengan masalah ini berpendapat bahwa hal itu tidak termasuk kategori mudharabah / musyarakah, melainkan qardh (pinjaman). Artinya, pelimpahan seluruh keuntungan ke tangan mudharib menjadikan kegiatan ekonomi itu sebagai sebuah pinjaman. Maka dari itu, jika terjadi kejadian yang sebaliknya (kerugian), maka seluruh kerugian ditanggung oleh mudharib. Dalam hal adanya keuntungan ini, PT. BMI ketika akan melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah dan musyarakah kepada pihak yang memerlukan dana telah sesuai dengan syarat-syarat yang ada, yaitu sebagai berikut : a. Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan persentasi dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntungannya saja setelah dipotong besarnya modal. Pada PT. BMI, keuntungan atau laba yang dibagikan adalah setelah dipotong besarnya modal dan perhitungan yang dilakukan oleh PT. BMI dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi ketidakjelasan penghitungan sehingga akan membawa pada suatu kontrak / perjanjian yang tidak sah. b. Keuntungan untuk setiap pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal. Pada PT. BMI keuntungan yang di bagikan harus sesuai dengan perhitungan yang seadil-adilnya dan sejelas mungkin agar tidak terjadi pada perbuatan riba‟. c. Nisbah pembagian ditentukan dengan presentase. Faktanya pada
PT. BMI memang nisbah pembagian keuntungan adalah dengan menggunakan presentase, misalnya 30:70%, 50:50%, dsb. Nisbah ini ditentukan pada saat akad, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara bank dengan pihak nasabah dalam pembagian nisbah. d. Keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu pihak. 6. Yadul Amanah Konsep mudharabah memiliki prinsip bahwa modal yang dikelola oleh mudharib (pengelola dana) adalah yadul amanah artinya ia tidak menanggung apapun ketika modal tersebut hilang, berkurang atau rusak kecuali jika hal itu disebabkan oleh kelalaiannya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam setiap permohonan pinjaman dana dalam pembiayaan mudharabah, pihak bank mengharuskan adanya aset yang dijadikan jaminan (collateral) oleh mudharib untuk lebih meyakinkan pihak bank akan kejujuran mudharib. Jika pihak mudharib gagal mengembalikan modal yang dipinjamnya sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati maka jaminannya akan dilelang. Jika nilai jaminan tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai hutangnya, maka selisih tersebut akan dikembalikan ke pihak nasabah. PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk yang dalam hal ini berposisi sebagai mudharib bagi nasabah penyimpan dana, sekaligus merupakan shahibul maal bagi pihak yang membutuhkan dana, melakukan pengambilan barang jaminan dari mudharib untuk menjamin dan
mempertanggungjawabkan pengelolaan dana pihak nasabah, karena pada hakikatnya pihak nasabah menanamkan dan mempercayakan dana di PT. BMI atas dasar motif keamanan, dan agar dana yang mereka titipkan tersebut mengalami peningkatan dengan dikelola oleh pihak bank. Oleh sebab itu, pihak bank sebagai mudharib akan berusaha untuk meningkatkan serta menjaga stabilitas jumlah nilai yang akan dibagihasilkan kepada pihak penyimpan dana. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa praktek ini yaitu pengambilan jaminan oleh pihak bank karena pihak muhdarib tidak bisa mengembalikan dana mudharabah, telah menyalahi prinsip yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu memposisikan mudharib sebagai pihak yang tidak akan menanggung kerugian yang tidak diakibatkan oleh kelalaiannya. Transaksi-transaksi yang berkaitan dengan pengambilan jaminan tersebut dikategorikan sebagai transaksi yang fasid (rusak). Agar transaksi mudharabah tersebut tidak terkategori transaksi yang fasid, maka konsekuensinya transaksi tersebut dibatalkan atau syarat yang rusak tersebut yakni keharusan memberikan jaminan jika nasabah mengalami kerugian ditiadakan. 7. Biaya pengelolaan Seorang mudharib disamping berhak atas bagian keuntungan dari modal yang dikelolanya, iapun berhak atas biaya atas operasi pengelolaan tersebut. Meski demikian biaya operasional tersebut oleh para fuqaha diberikan batasan-batasan yang tegas. Biaya-biaya yang boleh dibebankan atas dana mudharabah yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pengelolaan harta mudharabah saja. Selain itu, tidak diperbolehkan seorang
mudharib untuk membebankannya kepada dana mudharabah, seperti nafkah hidup sehari-hari, dan sebagainya. Dengan demikian, pihak pengelola memiliki hak untuk mempergunakan modal usaha untuk membiayai berbagai kebutuhan transaksi. Namun demikian ia tidak memiliki hak untuk mendapatkan gaji sebagai kompensasi dari proses pengembangan modal tersebut termasuk gaji karyawan yang membantunya karena kompensasi akan ia peroleh dari keuntungan usaha tersebut. Dengan kata lain, pihak shahibul maal yaitu bank, harus ikut menanggung segala biaya yang timbul akibat dari transaksitransaksi yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah. Dalam hal ini PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk mempergunakan metode revenue sharing dalam perhitungan bagi hasil yang akan diterima dari mudharib. Jika menggunakan metode revenue sharing, maka bank memperoleh bagiannya dari jumlah pendapatan yang diterima oleh mudharib pada periode tersebut sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang terkait dengan pengelolaan dana mudharabah yang bersangkutan. Dengan menggunakan metode revenue sharing, menggambarkan bahwa pihak mudharib menanggung biaya-biaya operasionalisasi usaha yang dikurangi dari pendapatan bagi hasil yang menjadi bagian mudharib setelah dibagikan kepada pihak shahibul maal, sehingga akan memperkecil jumlah pendapatan yang seharusnya diterima. Dengan demikian, walaupun pihak shahibul maal telah menerima bagian dari bagi hasil tersebut, dan mengakui adanya pendapatan akan tetapi pihak mudharib tetap mempunyai peluang untuk mengalami kerugian, jika biaya-biaya operasionalnya lebih besar
dibandingkan dengan pendapatannya. Hal ini menunjukkan bahwa pihak mudhariblah yang sepenuhnya menanggung biaya operasional tersebut. Penjelasan dan pemaparan di atas menghantarkan penulis pada kesimpulan bahwa penggunaan metode revenue sharing dalam menghitung penerimaan bagi hasil telah menyalahi prinsip bagi hasil yang ada di dalam Islam. Hal ini didasarkan pada pernyataan para fuqaha bahwa mudharib berhak untuk membebankan biaya-biaya yang menyangkut operasionalisasi usaha pada dana mudharabah, sehingga shahibul maal juga harus ikut menanggung biaya operasional tersebut. 8. Pembagian keuntungan Tidak ada perbedaan di kalangan para fuqaha tentang hak mudharib atas keuntungan dari pengelolaan harta mudharib. Namun mereka berbeda pendapat kapan keuntungan tersebut menjadi hak mudharib. Meski demikian mereka tidak berbeda pendapat bahwa proses penyerahan keuntungan tersebut dilakukan setelah modal diserahkan kepada pemilik modal. Dalam kasus pembiayaan mudharabah pada PT. BMI, pihak pengelola diwajibkan membayar angsuran dari modal yang dipinjamnya berdasarkan kesepakatan di dalam akad secara berkala (setiap akhir bulan laporan) terlepas besar kecilnya angsuran tersebut. Angsuran tersebut terdiri dari pokok pinjaman ditambah dengan bagi hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah yang telah ditetapkan dalam akad. Padahal sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para fuqaha bahwa pemberian keuntungan itu dilakukan hanya ketika modal tersebut telah dikembalikan kepada pemilik modal sehingga jelas apakah proses
mudharabah itu menguntungkan atau tidak. Pendapatan yang diperoleh dari pembiayaan mudharabah ini, dalam pandangan Islam, diakui pada saat mudharib telah menyetorkan seluruh modal yang dipinjamnya. Jika terdapat kelebihan dari modal yang telah dimudharabahkan tadi, maka laba diakui ketika laba tersebut telah nampak dan diperhitungkan sesuai dengan nisbah yang disepakati, sehingga terdapat jaminan yang pasti akan diterimanya pendapatan tersebut. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa pendapatan tersebut diakui pada saat pendapatan telah direalisasi berupa kas yang diserahkan. Besarnya nilai dari pendapatan tersebut diukur sebesar jumlah yang akan atau yang telah diterima bank setelah diperhitungkan sesuai dengan proporsi bagi hasil yang telah ditentukan di dalam akad. Pelaksanaan pembagian keuntungan pada PT. BMI, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, ternyata belum sesuai dengan pembagian keuntungan yang telah disyaratkan dalam Islam. Hal ini dapat dilihat pada perbedaan waktu pengakuan dan penerimaan pendapatan bagi hasil oleh shahibul maal. Bank menerima pendapatan bagi hasil tersebut secara angsuran bersamaan dengan angsuran pokok pinjaman, dan sekaligus mengakuinya saat pendapatan tersebut telah terealisasi, sedangkan Islam mensyaratkan pembagian keuntungan dilaksanakan pada saat modal telah diserahkan sepenuhnya kepada shahibul maal. 9. Mudharabah atas mudharabah Seorang amil (pengelola) tidak boleh memudharabahkan harta mudharabah kepada pihak lain. Jika hal tersebut dilakukan maka hal tersebut termasuk ke dalam kategori melampaui
batas. Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha yang masyhur bahwa jika seorang amil menyerahkan modal qiradh kepada pihak pengelola lain maka ia wajib menanggungnya jika mengalami kerugian (Sayyid Sabiq,1983). Pada faktanya, PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk Indonesia ketika melakukan penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah kepada pihak yang memerlukan dana, maka sejatinya pihak perbankan tersebut telah memudharabahkan harta mudharabah. Hal ini dapat dilihat dari akad yang disepakati antara bank dengan pihak yang menyimpan dana serta akad yang disepakati antara bank dengan pihak yang memerlukan dana. Akad yang ditetapkan dengan pihak penanam dana adalah akad mudharabah, dimana pihak penanam dana bertindak sebagai shahibul maal dan pihak bank bertindak sebagai mudharib. Adapun akad yang ditetapkan dengan pihak yang memerlukan dana juga merupakan akad mudharabah. Dalam hal ini bank bertindak sebagai shahibul maal dan pihak yang memerlukan dana bertindak sebagai mudharib. Adapun mengenai pembiayaan yang diberikan kepada pihak yang memerlukan dana merupakan dana yang berasal dari pihak penanam dana. Sehingga, praktik semacam ini termasuk dalam kategori praktik memudharabahkan harta mudharabah. Dengan demikian, jika pihak pengelola mengalami kerugian maka kerugian tersebut tidak boleh dibebankan kepada pemilik modal pertama (nasabah atau investor). Jadi, kerugian tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan bank. Demikian pula kerugian itu tidak boleh dibebankan kepada pihak pengelola jika kerugian tersebut tidak diakibatkan oleh kelalaiannya.
Sikap PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk yang melakukan mudharabah atas mudharabah ini termasuk dalam kategori melampaui batas dan jika tetap melakukan hal tersebut maka konsekuensinya kerugian apapun dari pengelolaan harta tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada pemilik modal. Dalam praktiknya, PT. BMI memang tidak membebankan kerugian dari pengelolaan harta mudharabah kepada para nasabahnya, akan tetapi langkah PT. BMI yang memudharabahkan harta mudharabah itu tetap termasuk dalam kategori melampaui batas sehingga tidak sesuai dengan syariah Islam. Pelaksanaan keempat poin yang penulis temukan di atas yang belum sesuai dengan syariah Islam, tidak terlepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Terkait dengan konsep yadul amanah dalam mudharabah, sistem kapitalisme secara tidak langsung memaksa seseorang untuk tidak mempercayai orang lain. Dalam kapitalisme, sebuah kesuksesan dilihat dari materi. Tolak ukur untuk melihat seseorang pun didasarkan pada materi. Sehingga seseorang mau bekerja sama juga didasarkan karena materi. Begitu pula halnya dengan perbankan. Dalam hal ini perbankan mau memberikan pembiayaan mudharabah karena bank telah memprediksi jumlah laba yang akan diperoleh, sehingga pihak bank secara otomatis akan mengambil jaminan mudharabah ketika mudharib mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa standar yang dipergunakan oleh bank untuk memberikan pembiayaan mudharabah adalah berdasarkan materi bukan sistem kepercayaan seperti yang telah disyaratkan di dalam Islam. Dalam hal pembagian keuntungan, PT. BMI menerima
pendapatan bagi hasil per bulan secara angsuran. Metode yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan ini mempergunakan revenue sharing di mana bank tidak ikut menanggung biaya pengelolaan mudharabah. Bank Muamalat menjalankan hal ini karena PT. BMI dituntut untuk memberikan bagi hasil kepada nasabah penyimpan dana setiap bulannya. Sebagaimana diketahui, secara mayoritas, motif nasabah dalam menyimpan dana di bank syariah tidak semata-mata karena bank syariah tersebut menerapkan syariah Islam, akan tetapi mereka hanya ingin memperoleh keuntungan dan tidak mau menanggung kerugian. Hal ini juga merupakan imbas dari sistem kapitalisme yang menjadikan manusia hanya berorientasi kepada materi dengan jalan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan resiko yang sekecil-kecilnya. Perbankan syariah yang ada saat ini belum bisa dikatakan ideal karena sebagian besar kegiatan operasionalnya khususnya pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah masih terpengaruh aturan-aturan kapitalis. Perbankan syariah dapat dikatakan ideal jika berada dalam sebuah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam akan bisa terwujud dengan politik ekonomi Islam yang diterapkan oleh pemerintahan Islam. Penyajian Dan Pengungkapan (PSAK No. 105) Pada PSAK No. 105 paragraf 36 menyatakan bahwa pemilik dana menyajikan investasi mudharabah dalam laporan keuangan sebesar nilai tercatat. Pelaporan yang dilakukan PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk telah sesuai dengan yang dinyatakan dalam PSAK No. 105 paragraf 36 tersebut. Dan PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk mengungkapkan hal-hal yang terkait
transaksi mudharabah, antara lain pembagian hasil usaha, rincian jumlah investasi mudharabah berdasarkan jenis atau penyalurannya, dan penyisihan kerugian investasi mudharabah selama periode berjalan, hal tersebut telah sesuai dengan PSAK No. 105 paragraf 38. Penyajian Dan Pengungkapan (PSAK No. 106) Pada PSAK No. 106 paragraf 36 menyatakan bahwa mitra pasif menyajikan hal-hal yang terkait dengan usaha musyarakah dalam laporan keuangan sebagai berikut investasi musyarakah untuk kas atau aset nonkas yang diserahkan kepada mitra aktif dan keuntungan tangguhan dari selisih penilaian aset nonkas yang diserahkan pada nilai wajar disajikan sebagai pos lawan (contra account) dari investasi musyarakah pemilik dana menyajikan investasi mudharabah dalam laporan keuangan sebesar nilai tercatat. Pelaporan yang dilakukan PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk telah sesuai dengan yang dinyatakan dalam PSAK No. 106 paragraf 36 tersebut. Dan PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk mengungkapkan hal-hal yang terkait transaksi mudharabah, antara lain isi kesepakatan utama usaha musyarakah, sepeti porsi dana, pembagian hasil usaha, aktivitas usaha musyarakah, hal tersebut telah sesuai dengan PSAK No. 106 paragraf 37. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan prinsip bagi hasil pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang terkait dengan
prinsip bagi hasil pada PT. BMI belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, yaitu dalam hal : - Yadul amanah yang menggunakan barang jaminan mudharib sebagai ganti pembiayaan yang tidak dapat dikembalikan oleh mudharib sekalipun hal tersebut bukan diakibatkan oleh kelalaian mudharib. - Biaya pengelolaan pada PT. BMI mempergunakan metode revenue sharing dalam memperhitungkan bagi hasil yang akan diterima dari mudharib. Penggunaan metode ini mengakibatkan shahibul maal (PT. BMI) tidak ikut serta menanggung biaya operasional yang dikeluarkan oleh mudharib untuk mengelola harta mudharabah. - Pembagian keuntungan, PT. BMI menerima keuntungan yang dibagihasilkan disertai dengan pengembalian modal secara angsuran setiap bulan. Keuntungan ini seharusnya diterima oleh bank ketika pembiayaan telah selesai dan modal telah dikembalikan seluruhnya oleh mudharib. - Selanjutnya, pembiayaan mudharabah pada PT. BMI dikategorikan sebagai kegiatan yang melampaui batas karena jika memudharabahkan kembali harta mudharabah, maka pemilik dana awal tidak boleh menanggung kerugian baik yang diakibatkan oleh kelalaian pihak mudharib atau tidak. 2. Perlakuan akuntansi baik pengukuran, penyajian dan pengungkapan pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk
ini secara umum telah sesuai dengan PSAK No. 105 mengenai akuntansi mudharabah dan PSAK No. 106 mengenai akuntansi musyarakah. Saran 1. PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk hendaknya tetap konsisten dalam menyesuaikan transaksi-transaksinya dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam syariah Islam dengan melaksanakan kegiatan yang hanya sesuai dengan syariah Islam, mengingat komitmen awal dari PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk adalah menjadi bank pertama yang murni syariah. 2. Prosedur pembiayaan mudharabah dan musyarakah PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk harus diperhatikan secara terperinci dan hati-hati. Tujuannya agar tidak terjadi pembiayaan bermasalah yang dapat merugikan PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. Dan juga dana yang disalurkan dapat digunakan dengan baik oleh mudharib (pengelola dana). 3. Penulis menyarankan agar PT. BMI menggunakan metode profit and loss sharing untuk seluruh pembiayaan mudharabah, dalam penerimaan pendapatannya sehingga pembiayaan tersebut benar-benar membantu pelaksanaan usaha secara riil yang dapat menguntungkan kedua belah pihak atas dasar kesepakatan dan kerelaan bersama. 4. Saran bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dan dapat dikembangkan lebih dalam lagi pada penelitian selanjutnya demi hasil yang lebih baik lagi karena penelitian ini memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna.
DAFTAR PUSTAKA Al-Kasany, Alauddin. 2001. Bada‟iu as-Shanaiy fi Tartib as Syara‟iy. Beirut : Daar al-Kutub alIlmiyyah. Al-Qudamah, Ibnu. 2002. Al Mughny fi Fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal as Syaibany. Beirut : Daar al-Ihya at-Turath alArabiy. Antonio, M. Syafi’i. 2004. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cetakan kedelapan, Jakarta : Gema Insani Press. Ikatan
Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta : Salemba Empat.
Neneng Nurhasanah. Optimalisasi Peran Mudharabah Sebagai Salah Satu Akad Kerjasama Dalam Pengembangan Ekonomi Syariah. FH. UNISBA. Volume XXI, No. 3 November 2010. Nurhayati Sri., dan Wasilah. 2011. Akuntansi Syariah di Indonesia. Edisi 2 revisi. Jakarta : Salemba Empat. Sabiq, Sayyid. 2004. Fiqh as Sunnah. Beirut : Daar al-Fikr. Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan, Kebijakan Moneter dan Perbankan. Edisi Kelima. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. T. Rusydi. Segi-segi Positif Dalam Prinsip Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah Serta Perbedaannya Dengan Bank
Konvensional. Jurnal Equality, Volume 11 No. 1 Februari 2006. Taufiqul Hulam. Jaminan Dalam Transaksi Akad Mudharabah Pada Perbankan Syariah. Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 3 Oktober 2010, Halaman 520-533. Umrotul Khasanah. Sistem Bagi Hasil Dalam Syariat Islam. Jurnal Syariah dan Hukum, Volume I, Nomor 2 Januari 2010. Veithzal Rivai, H. 2008. Islamic Financial Managemen. Edisi 1, Cetakan 1. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2008. Yaya
Rizal., Martawireja A R., Abdurahim Ahim. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah : Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta : Salemba Empat.
Website at http://www.muamalatbank.com Website at http://www.bi.go.id