Perkembangan Kota Medan 1909-1951 Nurhamidah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN Kota-kota di Indonesia yang berpenduduk bangsa Eropa pada zaman Hindia Belanda merupakan daerah kantong (enclave) di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Asal mulanya kota-kota itu merupakan sebuah perkampungan tempat tinggal penduduk asli. Bangsa Eropa yang pada mulanya merupakan penduduk inti kota makin lama semakin besar jumlahnya, sedangkan penduduk asli jumlahnya semakin sedikit karena terdesak oleh orang-orang Eropa tersebut. Dalam menjalankan kebijaksanaannya pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan peruandang-undangan yang mengatur tentang pembentukan daerah otonomi bagi kota-kota di Indonesia sesuai dengan situasi setempat. Kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda dengan sendirinya disesuaikan dengan kepentingan pemerintah kolonial. Kota Medan sebagai salah satu kota di Indonesia dalam sejarah pertumbuhannya juga tidak terlepas dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan pada dasarnya pertumbuhan kota Medan sebagai bentuk komunitas yang serba kompleks, diawali oleh adanya kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menjalankan politik kolonialnya. Hal itu dimulai sejak adanya perjanjian yang dibuat oleh pihak Kesultanan Deli dengan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 22 Agustus 1862 yang dikenal dengan nama Acte van Verband. Perjanjian tersebut disusul dengan pemberian konsesi oleh kerajaan Deli atas tanah-tanah yang ditempati oleh orang-orang Eropa untuk dijadikan sebagai tempat pihak Gouvernement dengan leluasa menjalankan pemerintahannya. Kemudian oleh pemerintah Hindia Belanda tanah-tanah konsesi itu disahkan menjadi Gemeente Medan pada tahun 1909. Perkembangan kota Medan secara kronologis sejak tahun 1909 sampai tahun 1951 akan penulis ungkapkan dalam karya ilmiah ini. Pengungkapan kembali sejarah perkembangan kota Medan sejak pembentukan Gemeente Medan (tahun 1909) sampai ditetapkannya menjadi Kota Besar (1951) bertujuan untuk memahami kembali aspek-aspek historis yang mendukung perkembangan kota Medan itu sendiri. Suatu hal yang menarik bagi penulis pada periode tersebut, yaitu Kota Medan dari bentuk sebuah perkampungan yang sederhana telah berubah menjadi suatu bentuk komunitas yang serba kompleks. Demikianlah sejarah, karena studi sejarah berarti studi tentang perubahan dalam perjalanan waktu.
1 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
BAB II GAMBARAN UMUM PERTUMBUHAN KATA-KATA DI INDONESIA
Suatu hal yang istimewa dan tak dapat disangkal bahwa pihak pemerintah kolonial Belanda banyak mengumpulkan pengetahuan secara lengkap tentang daerah pedesaan. Pengetahuan mereka tentang pedesaan di Indonesia itu berdasarkan penelitian para ahli bangsanya sendiri di dalam berbagai aspek kehidupan. Berdasarkan pengetahuan mereka tentang hukum adat, sistem pertanian, sistem kekerabatan, norma agama, dan sebagainya itulah Belanda menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Memang para ahli etnologi bangsa Eropa telah lama tertarik kepada penyelidikan masyarakat yang mereka anggap ganjil dan menyimpang dari kebiasaan masyarakat Eropa. Namun suatu hal yang perlu dicatat, bahwa mereka enggan mengamati dan meneliti perkembangan kota-kota, khususnya di Indonesia. Keadaan demikian berlangsung hingga bagian pertama abad 20. Sampai pada saat itu, gejala pertumbuhan kota, seperti urbanisasi yang berlangsung terus, kerapuhan adat kebiasaan lama bagi penduduk kota, dan sebagainya, dianggap sebagai suatu pertumbuhan yang tidak wajar, yang tidak sesuai dengan gambaran tradisional Indonesia. Namun setelah tahun 1910 masalah kepadatan penduduk di kota-kota di Indonesia mulai mendapat perhatian dan merupakan masalah yang memerlukan penanggulangan. Dalam catatan sejarah, Thomas Karsten pernah menggambarkan perubahan corak kota-kota di Hindia yaitu pada tahun 1938. Kota-kota di Indonesia telah mengalami perubahan yang pesat sekali sejak awal abad 20. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perkembangan secara pesat itu. Perluasan areal perkebunan, pembukaan jalan-jalan kereta api pada waktu itu sangat mempengaruhi pertumbuhan kota-kota di Indonesia. Hal ini ditambah pula dengan kemajuan komunikasi internasional yang semakin pesat. Perusahaan-perusahaan kapal uap berkembang dengan hebatnya. Pembukaan terusan Suez telah mengurangi jarak antara negeri Belanda dengan Indonesia. Menurut catatan Karsten, kota-kota di Indonesia dalam awal perkembangannya masih memiliki corak tertentu. Menurutnya, kota-kota di Indonesia pada waktu itu tak lebih merupakan sejumlah desa yang sedang berkembang. Selain kegiatan ekspor dan impor, ternyata kota waktu itu hanya memainkan peranan yang tidak begitu besar. Suasana yang seharusnya ditemukan pada kota-kota besar sekarang tidak ditemukan. Kota-kota besar pada waktu itu suasananya hanya seperti yang ditemukan pada kota-kota kecil terpencil di daerah pedalaman sekarang ini. Gairah hidup rendah, lalu lintas sedikit, instansi-instansi pemerintah yang melayani kepentingan umum hampir tidak ada sama sekali. Orang-orang Eropa pada waktu itu tinggal pada rumah-rumah Indonesia tua yang besar dan lapang dengan halamannya yang luas. Pada waktu itu rumah-rumah masih dibangun dengan cara demikian, karena tanah-tanah dan bahan bangunan mudah didapat dan tidak terlalu mahal. Kampung-kampung sangat luas, akan tetapi bangunan yang terdapat di dalamnya masih sederhana dan terpencar-pencar. Hal ini disebabkan oleh tanaman yang mengantarai rumah-rumah mereka dalam jumlah yang banyak. Orangorang Cina diajak untuk tinggal pada kampung-kampung bersama perumahan tua Belanda. Ini semua merupakan tempat-tempat yang begitu padat, yang merupakan sebagian wilayah kota. Keadaan ini sudah berlangsung sejak abad 17. Demikianlah awal 2 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada umumnya. Kalangan orang-orang Eropa tidak tinggal di kampung-kampung, tetapi menempati bagian-bagian kota yang paling ramai pada waktu itu, yakni di sepanjang jalan-jalan besar. Pada waktu itu belum ada bangunan induk perdagangan. Rumah-rumah dibangun oleh orang-orang swasta, pemilik perkebunan swasta, dan sekali-sekali oleh perusahaan dengan maksud untuk penanaman modal. Setelah tahun 1890, banyak tempat penduduk kota bertambah padat dengan pesatnya. Sejalan dengan itu, pertumbuhan kapitalisme dalam bidang pertanian tumbuh pula dengan hebatnya di kota-kota di Indonesia. Usaha-usaha dagang, bank-bank, dan industri dibangun dan diperluas. Kegiatan pemerintah bertambah meluas dengan cepat sekali. Dengan demikian para pekerja dan pegawai bermukim di kota, yang sekaligus juga menarik minat para pedagang toko, golongan profesional, dan sebagainya untuk menjalankan usahanya. Bangunan-bangunan dagang mulai bermunculan. Kontraktorkontraktor serta ahli-ahli bangunan pertama didatangkan dari negeri Belanda. Modelmodel rumah Eropa sebelumnya dirombak menyamai model vila Belanda moderen di luar kota. Perluasan kota yang demikian cepatnya jelas membuka peluang bagi orang-orang Eropa untuk membeli tanah lebih luas, terutama sekali yang terdapat di sepanjang jalanjalan besar. Tanah-tanah yang mereka beli itu bukan tanah kosong yang tak ada penghuninya, melainkan kampung-kampung tempat bermukim orang-orang Indonesia asli. Ini menyebabkan penduduk asli yang tanahnya mereka beli lalu mencari perumahan pula pada tanah-tanah perkampungan yang semakin memadat. Orang-orang Cina tetap tinggal di kamp-kamp yang serba eksklusif. Pertumbuhan kota yang sedemikian pesat telah menimbulkan masalah baru bagi pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu. Meskipun mekanisme dan kegiatan pemerintahan telah bertambah maju pada dasawarsa terakhir abad 19, namun pemerintahan yang mencakup kepulauan yang terpencar-pencar dan saling berjauhan itu tidak dapat terawasi secara efektif. Pengawasan dari istana gubernuran (dulu disebut dengan Buitenzorg) sulit dilakukan. Pemusatan kepentingan Belanda di kota-kota, pendirian pabrik-pabrik baru, jalan-jalan kereta api dan trem, begitu juga fasilitas pelabuhan, kesemuanya meminta penyelesaian dengan segera. Pihak penguasa setempat yang juga merupakan penghuni, mesti menyelesaikan setiap masalah terlebih dahulu sebelum sampai ke Buitenzorg guna memperoleh suatu keputusan. Bagi usaha dagang, hal seperti itu sesungguhnya merupakan penghambat perkembangannya. Terlebih-lebih lagi karena perpindahan di kalangan pegawai pemerintah yang sering terjadi. Sementara pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehendak penduduk daerah setempat sangat terbatas, di samping dana yang diperoleh untuk menanggulangi tuntutan daerah setempat yang bertambah itu jauh dari mencukupi. Keadaan tersebut di atas, akhirnya menyebabkan warga kolonial menginginkan untuk bersuara dalam urusan pemerintahan. Tujuan memberikan peluang bagi mereka untuk bersuara adalah untuk kepentingan pembentukan kekotaprajaan menurut model di negeri Belanda yang diperintah oleh seorang walikota yang bertanggung jawab kepada Dewan Kotapraja. Sebagai memenuhi tuntutan tersebut, maka pada periode permulaan abad 19 sistem pemerintahan desentralisasi diperkenalkan di Hindia Belanda. Dewan kekotaprajaan diresmikan pertama sekali di Batavia pada tahun 1905, yang selanjutnya di Surabaya, Semarang dan Bandung pada tahun 906, dan kemudian di Medan pada tahun 3 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
1909. Khususnya untuk kota Medan periode inilah yang akan diuraikan dalam bab-bab berikut nanti, yaitu berkenaan dengan masa pemerintahan Gemeente tersebut. Tugas yang dipercayakan kepada Dewan Kekotaprajaan terdiri dari masalahmasalah bangunan, pemeliharaan jalan-jalan, jembatan, begitu pula pengontrolan kebersihan selokan dan sampah-sampah, persediaan air, pemasaran, rumah-rumah potong, sanitasi, perumahan, perluasan kota, tanah pekuburan, pemadam kebakaran, dan penerangan jalan-jalan. Hal-hal lain yang lebih penting lagi adalah pemeliharaan terhadap kesehatan masyarakat serta transportasinya. Suatu hal yang juga perlu dicatat adalah bahwa pada masa itu juga, yakni pada tahun 1910-1911 timbul revolusi di negeri Cina. Peristiwa tersebut sekaligus mempercepat proses emansipasi orang-orang Cina di Indonesia, sehingga sejak tahun 1911 memperoleh izin untuk dapat tinggal di luar kamp-kamp Cina. Tetapi emansipasi itu mempunyai efek lain, yakni menghalau penghuni asli dari kampung-kampung, yang langsung menimbulkan suatu proses perenggangan sosial yang menyolok di kalangan penduduk asli. Orang-orang kampung yang lebih kaya membeli habis semua tanah milik kawan mereka yang lebih miskin. Setelah berlakunya sistem pemerintahan desentralisasi petumbuhan kota-kota di Indonesia semakin laju. Masalah baru pun timbul, seperti hal-hal yang menyangkut kepadatan penduduk, masalah bangunan tempat tinggal, bangunan dagang, bangunan industri, dan sebagainya. Di kota, sebagai pusat perdagangan dan industri, perumahan menjadi masalah yang paling penting. Perumahan bagus kelas menengah keadaannya jauh dari memuaskan, khususnya di kota-kota besar. Kelompok orang-orang Cina masih tetap menghuni sebagian besar kamp-kamp Cina yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Keadaan mereka yang semakin sesak dan memadat, tidak memungkinkan mereka untuk tinggal secara menyebar keluar dari kamp-kamp. Kelompok penduduk asli kelas menengah tumbuh dengan cepat. Di antaranya sebagian besar adalah para pegawai dan biasanya mereka tinggal di rumah-rumah sewaan. Di beberapa kota, mereka ini tinggal di tempat-tempat tertentu yang lebih baik, tetapi biasanya dengan fasilitas yang kurang memadai (dengan jalan-jalan yang tidak rata, jalan-jalan yang kecil dan hampir tidak dapat dilalui pada musim hujan, tak ada penerangan jalan, saluran air yang tidak baik, serta pembuangan sampah yang sembarangan). Apa yang digambarkan di atas, secara terperinci dapat dibaca dalam edisi yang diedit oleh A. Manteau S.A. dalam bukunya berjudul The Indonesian Town. Di sana digambarkan bahwa perumahan massa urbanisasi sebagian besar sangat menyedihkan. Keadaan demikian terdapat di berbagai kota di Indonesia. Ada dua faktor yang menyebabkan keadaan tersebut. Pertama, dipertahankannya kebiasaan lama dalam bentuk dan cara membangun perumahan. Kedua, tidak terkendalikannya kecenderungan ke arah pemadatan bangunan-bangunan perumahan tempat tinggal. Saluran air yang tidak sempurna, pembuangan sampah yang sembarangan, penyumbatan riol-riol pada musim penghujan, tidak sedikit menimbulkan masalah banjir. Tempat-tempat penduduk miskin, kampung-kampung yang penuh sesak, berkali-kali diancam oleh bahaya banjir dan bahaya kebakaran yang serius. Kekurangan penerangan, air minum yang tidak memenuhi syarat kesehatan telah menimbulkan masalah yang kompleks. Pertambahan penduduk kota nyatanya bukan terjadi pada kampung-kampung yang baru, akan tetapi pada kampung-kampung yang lama yang penghuninya memang sudah padat. Akibatnya menimbulkan kepadatan yang rumit. 4 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Usaha-usaha perbaikan perumahan tempat tinggal atau kampung dijalankan oleh pemerintah kotapraja (Gemeente). Akan tetapi usaha tersebut hanya dapat menyelesaikan sebagian saja, khususnya pengaturan air, serta jalan-jalan kampung dan jalan-jalan kecil. Sebaliknya perbaikan kampung yang telah dilakukan hanya menguntungkan lapisan penduduk golongan menengah. Sebab setelah perbaikan selesai, akhimya tempat-tempat itu jatuh ke tangan orang-orang kaya, sedangkan orang-orang miskin terhalau keluar dari kampung-kampung yang telah diperbaiki itu. Gejala demikian berlangsung terus. Masalah lain yang timbul dalam pertumbuhan kota-kota di Indonesia umumnya adalah masalah bangunan komersial (bangunan dagang/pertokoan). Dalam usaha mendapatkan tempat dalam struktur komersial kota yang serba kompleks, telah membawa keuntungan, karena lokasi yang baik akan memberi keuntungan berupa uang, yang nyatanya merupakan syarat mutlak harus ada dalam dunia kegiatan ekonomi. Tidak mengherankan jika kebutuhan yang lebih banyak dalam sektor ini lebih terpenuhi secara baik dari pada yang dijumpai pada sektor perumahan tempat tinggal yang letaknya di perkampungan. Bangunan pertokoan, kantor-kantor dan perumahan untuk orang-orang kaya memang memiliki lokasi yang lebih menyenangkan terpusat dan berada pada keramaian atau kesibukan jalan raya, walaupun bentuknya masih tradisional. Dikatakan demikian, karena kamp-kamp Cina, toko-toko, dan kantornya masih sangat berdekatan dengan pusat kota. Masalah yang timbul umumnya dalam hubungannya dengan model bangunan, kelihatannya berbeda dengan perumahan tempat tinggal. Namun dalam beberapa hal terdapat kesamaan, yaitu masalah kepadatan dan kesesakan. Dalam beberapa hal, khususnya toko yang juga dijadikan sebagai tempat tinggal, seperti terdapat pada kampkamp kelompok orang Cina, pembatasan tertentu agar bangunan toko-toko yang sekaligus merupakan tempat tinggal itu memenuhi syarat-syarat kesehatan, kelihatannya tidak diperdulikan. Pembangunan rumah-rumah bertingkat yang tinggi secara tidak teratur dan saling berdekatan telah cenderung pula mendorong naiknya harga tanah di daerah-daerah seperti ini. Hal ini disebabkan para pengusaha Cina sangat cepat mengetahui di mana tempat-tempat yang menguntungkan untuk perdagangan. Inilah salah satu alasan yang paling pokok, yang menyebabkan bertambah rumitnya pertumbuhan kota-kota di Indonesia, yaitu sejak pembukaan kamp-kamp Cina yang bermula pada tahun 1911. Sistem perdagangan bebas yang merupakan akibat dari politik liberal abad 19 di Eropa juga mempengaruhi pertumbuhan kota-kota di Indonesia, walaupun tidak sedemikian besar. Masa1ah yang ditimbulkan antara lain, munculnya bangunanbangunan industri di tengah-tengah kota. Untuk membatasi ketidakteraturan tumbuhnya bangunan-bangunan industri yang dibangun di dekat perumahan tempat tinggal, akhirnya diperlukan peraturan yang mengharuskan agar setiap bangunan industri mesti mendapat izin terlebih dahulu. Gejala tumbuhnya bangunan-bangunan industri yang tidak teratur tersebut pada umumnya disebabkan kenyataan, bahwa pemilik atau pihak yang menjalankan industri kebetulan memiliki sebidang tanah, atau karena memperoleh tanah dengan mudah. Pada tanah itulah mereka mendirikan bangunan industri, walaupun seringkali lokasinya tidak cocok untuk industri. Di samping bangunan industri, bangunan-bangunan warung yang merupakan bangunan darurat pada umumnya juga diharuskan mendapat izin sebelum didirikan. Pemberian izin bangunan demikian 5 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
disebabkan orang-orang Eropa pada waktu itu menganggap pertumbuhan warung-warung juga merupakan gejala yang tidak sehat untuk pertumbuhan kota. Perkembangan kota-kota di Indonesia pada umumnya juga diwamai oleh tumbuhnya bangunan-bangunan umum, seperti kantor-kantor pemerintah/swasta, rumahrumah ibadat, sekolah, bioskop, hotel, pasar, kolam renang, dan sebagainya. Suatu hal yang kurang menyenangkan ialah bahwa bangunan-bangunan umum tumbuh tanpa perencanaan terlebih dahulu sebagaimana diharapkan dalam perkembangan kota yang baik dan teratur. Misalnya saja, bangunan kantor-kantor pemerintah/swasta tanpa mengindahkan penyediaan lapangan untuk parkir kendaraan, bangunan-bangunan sekolah tanpa tersedianya lapangan untuk murid-murid bermain, dan bangunan-bangunan sekolah ini sering dibangun di tempat lalu lintas yang sibuk, bangunan-bangunan masjid dan gereja di jalan-jalan utama dan kadang-kadang di persimpangan jalan sehingga sering memadatkan lalu lintas pada waktu-waktu tertentu. Pendirian bangunan-bangunan pasar sebagai perusahaan kotapraja adalah hal yang sangat menguntungkan jika ditinjau secara ekonomis, karena merupakan salah satu sumber pendapatan bagi pemerintahan kotapraja. Pasar-pasar biasanya mendapat perhatian penuh dari para penguasa kekotaprajaan. Pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada umumnya juga telah mengarah kepada pertambahan jumlah pasar-pasar. Semakin besar sebuah kota jumlahnya pasarnya juga cenderung semakin bertambah banyak. Pemilihan terhadap lokasi pembangunan pasar sering ditentukan pada tempat-tempat yang menunjukkan gejala pemusatan kegiatan pembelian yang besar. Gejala lain yang timbul selain pertumbuhan pasar-pasar ialah timbulnya para pedagang jalanan atau pedagang kaki lima, yang kadang-kadang sungguh merepotkan dan sulit dikendalikan. Gambaran lain yang dapat dikemukakan alam perkembangan kota-kota di Indonesia pada masa lalu umumnya adalah perhatian masyarakat maupun pemerintah kotapraja yang sangat kurang terhadap monumen-monumen yang memiliki nilai budaya dan nilai sejarah yang tinggi. Keadaan demikian berlangsung hingga pertengahan abad 20. Monumen-monumen Cina, kemudian Jawa, dan monumen Belanda dari abad 19 kurang diperhatikan pemeliharaannya, dan seandainya ada sangat sedikit sekali. Kesadaran dan rasa tanggung jawab budaya dalam memelihara dan melindungi monumen-monumen bagi kalangan penguasa sangat kurang, sekalipun sudah ada badan pengawas untuk itu. Contohnya, rumah-rumah tua asli Indonesia yang baik, yaitu tipe model rumah tua yang sering dikagumi dan dapat dijadikan contoh dari segi arsitektur hampir habis. Coraknya yang asli maupun keindahannya secara berangsur-angsur di perbaharui bentuknya. Di atas telah dibicarakan berbagai macam bangunan yang menimbulkan masalah dalam pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada umumnya. Bagian lain yang juga telah menimbu1kan masalah ialah kepadatan lalu lintas yang semakin bertambah apabila dibandingkan dengan kemampuan jalan-jalan yang tidak memadai. Kegiatan penduduk kota yang memanfaatkan prasarana lalu lintas untuk pergi bekerja, berdagang, dan bersantai telah menimbulkan kepadatan itu. Ditambah pula kios-kios penjual rokok, penjual lotere, dan sebagainya yang berusaha mencari langganan sebanyak mungkin dengan cara menjual lebih murah dari pada harga di toko-toko. Bangunan-bangunan seperti ini biasanya didirikan di tempat-tempat yang strategis, seperti di persimpanganjalan, di depan toko-toko sehingga menambah kepadatan lalu lintas. Secara sosial ekonomis memang situasi tersebut memberi kesempatan bagi penduduk asli untuk 6 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
berusaha di sektor perdagangan secara kecil-kecilan, serta memberikan rangsangan untuk menurunkan harga sampai ke batas minimum dalam mengadakan persaingan seefektif mungkin. Namun yang menjadi masalah dengan adanya bangunan-bangunan seperti disinggung di atas, adalah pengotoran jalan-jalan dan menjadi penghalang bagi orang banyak di samping menimbulkan bau yang tak sedap dan mengganggu pemandangan bagi penghuni rumah-rumah di sepanjang jalan. Secara ekonomis di lain pihak, juga mengurangi pendapatan mereka yang berjualan di pasar-pasar resmi. Oleh karena itu, keadaan demikian menurut pandangan orang-orang Eropa, walaupun usaha para pedagang kaki lima, kios-kios di pinggir jalan umum itu berhasil baik, namun merupakan suatu harga yang harus dibayar secara mahal untuk keindahan suatu kota. Gejala lain. Dalam proses perkembangan kota ini adalah munculnya bangunanbangunan perumahan di sepanjang jalan-jalan utama menuju luar kota. Bangunanbangunan itu berupa rumah-rumah petak secara bersambung-sambung di sepanjang jalan. Masalahnya adalah bangunan-bangunan demikian tumbuh di daerah luar wewenang pemerintah kotapraja, sehingga sulit untuk dapat mengendalikan serta mengaturnya. Akibatnya timbul kecentangprenangan yang tidak menyedapkan pandangan. Toko-toko, bengkel, warung nasi, kedai kebutuhan pokok sehari-hari, dan sebagainya bercampur baur. Satu hal lagi yang menyulitkan adalah bangunan-bangunan itu terlampau dekat dengan jalan, sehingga pada saat daerah itu dimasukkan ke dalam wilayah wewenang kekotaprajaan telah menimbulkan masalah, terutama jika diperlukan pelebaran jalan guna mengurangi kepadatan lalu lintas. Kebutuhan tempat-tempat rekreasi dan olah raga juga memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh pada masa itu. Akibat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, kesibukan yang terus menerus, warga kota pada saat-saat tertentu memerlukan tempat rekreasi dan juga sarana olah raga. Tetapi sarana yang telah disediakan pemerintah belum dapat memenuhi kebutuhan itu secara sempurna. Walaupun kolam-kolam renang dan tempat olah raga telah dibangun, tetapi hanya mampu menampung sebagian kecil penduduk kota. Selanjutnya, masalah yang sangat umum terjadi dalam sejarah pertumbuhan kotakota di Indonesia adalah masalah sanitasi, kesehatan masyarakat, dan pembuangan sampah. Pembangunan suatu kota sebagai tempat tinggal yang sehat bagi warganya sesungguhnya memerlukan perencanaan dan penanganan yang tepat. Masalahnya bukan hanya menyangkut masalah keuangan dan teknis, akan tetapi merupakan masalah perencanaan kota. Yang terakhir disebutkan pada umumnya kurang diperhatikan dan kurang dikenal dalam sejarah pertumbuhan kota-kota di Indonesia. Dalam perkembangannya, pengaturan korelasi antara ketiga aspek tersebut telah menentukan bagaimana kondisi kesehatan masyarakat kota-kota di Indonesia dalam pertumbuhan selanjutnya. Kota Jakarta (dahulu Batavia) dalam hal ini, menurut catatan A. Manteau S.A. (1958:47-48), telah membuat kesalahan. Saluran-saluran air yang telah dibangun sekitar tahun 30-an sampai awal tahun 40-an telah menjadi penghalang bagi usaha perluasannya pada masa 20 tahun berikutnya. Pekerjaan tersebut sebagian besar meminta perbaikan ulang yang meminta biaya mahal. Kesalahan lain yang pernah terjadi adalah menyangkut sistem pengaturan air yang dipasang pada kampung-kampung dalam kota Cirebon, Malang, Tegal. Sebagai akibatnya, ketika jajaran bangunan dibuat dan jalan-jalan kecil 7 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
kampung ditata, para penguasa sering berhadapan dengan pilihan pahit, yakni terpaksa menyesuaikan dengan sistem pengaturan yang sudah ada, dan membuat perubahan sistem dalam beberapa hal hanya beberapa tahun sesudah pemasangannya. Masalah pembuangan sampah pada pusat-pusat kegiatan penduduk adalah merupakan persoalan yang perlu ditangani secara semi teknis. Dari sudut perencanaan kota ada tiga masalah utama yang harus ditangani, yakni pengangkutan, tempat pembuangan sampah, dan tempat pembakarannya. Masing-masing masalah itu dapat timbul di kota-kota di Indonesia, tergantung kepada bermacam-macam metode pembuangan sampah yang dipakai. Persoalan penting dalam hal ini adalah apakah harus diusahakan agar sampah-sampah langsung dibawa ke tempat pembuangan terakhir dan tempat sumbernya (misalnya dari peti sampah di halaman atau pintu masuk, onggokan sampah jalan dan pasar yang disapu bersama-sama, dan sebagainya) atau apakah tempat pembuangan itu hanya berupa timbunan sampah (berupa tempat pembuangan saja) atau tempat pembakaran. Pembuangan sampah pada tempat-tempat pembuangan tertentu merupakan model pembuangan yang lazim di kota-kota di Indonesia. Di kota-kota yang terletak di daerah rendah, pembuangan sampah tidak menjadi suatu masalah yang menyulitkan. Sampahsampah cukup dibuang di daerah-daerah yang rendah atau rawa-rawa guna meninggikan permukaan tanah untuk dimanfaatkan bagi maksud-maksud tertentu. Di samping masalah-masalah yang berkaitan dengan sarana fisik di atas, kondisi sosial perkotaan di Indonesia umumnya juga telah turut mempengaruhi timbulnya permasalahan bagi perkembangan kota. Keadaan itu oleh pengamat-pengamat Barat selalu dianggap sebagai suatu gejala yang tidak menyenangkan. Kota, demikian juga desa, sesungguhnya adalah suatu konsentrasi kelompok manusia di dalam suatu daerah yang bertujuan membina pendekatan hubungan antar kelompok sosial. Hubungan yang demikian itu adalah penting untuk aktivitas sosial tertentu yang memerlukan kerja sama yang permanen. Kerja sama demikian dapat berlangsung dalam bidang-bidang tertentu, misalnya bidang industri, perdagangan, administrasi dalam berbagai aspek, pendidikan, penyebaran informasi, perumahan, dan sebagainya. Semakin intensif dan aksentif aktivitas demikian itu dilakukan, akan penting artinya bagi pembentukan karakter masyarakat perkotaan. Irama pertumbuhan kehidupan sosial yang semakin cepat secara lahiriah menimbulkan daya tarik yang kuat, terutama bagi penduduk desa. Secara berangsurangsur urbanisasi terus berjalan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sesungguhnya pertumbuhan kota dan konsentrasi yang berlangsung itu tidak lebih dari suatu refleksi proses sosial yang sangat mendasar. Hal demikian sebenamya adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan. Perhubungan semakin meningkat dan gedung-gedung semakin bertambah guna memenuhi kebutuhan yang meningkat pula. Kegiatan yang berlangsung sampai petang dan malam hari memerlukan penerangan yang lebih baik. Hidup dan bekerja dalam suasana saling berdekatan mengarah kepada pertumbuhan yang tidak sehat dan memerlukan penanggulangan. Intensitas kehidupan yang lebih besar menyebabkan kelelahan yang memerlukan kompensasi seperti rekreasi yang harus sering dilakukan. Akhirnya kehidupan di kota itu. berlawanan dengan yang ada di desa. Intensitas kehidupan di kota terlihat pada situasi yang serba kompleks. Pabrik-pabrik memerlukan tenaga kerja, alat-alat mesin pabrik memerlukan tenaga yang terlatih dan sebagainya. 8 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Kesemuanya dapat dikerjakan dengan mudah jika ada suatu tingkat organisasi tertentu yang menuntut disiplin, aturan-aturan dan kerja sama yang baik. Dengan semakin berkembangnya kehidupan kota secara luas, suasana juga berubah-ubah. Keadaan itu memerlukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih baik dan memerlukan latihan yang lebih baik pula. Namun sebagai implikasinya, pekerja-pekerja demikian memerlukan upah atau gaji yang lebih tinggi. Suatu kondisi sosial yang umum terdapat di kota-kota Indonesia adalah bahwa penduduknya berasal dari desa, sehingga pada awal perkembangannya, tradisi kota masih berorientasi ke pedesaan yang menunjukkan sifat-sifat kesederhanaan. Sebagai akibatnya, pertumbuhan kota diwarnai oleh suatu gejala yang tidak menyenangkan, terutama sekali bagi orang-orang barat pada waktu itu. Dalam kondisi sosial yang demikian, seolah-olah terdapat pertentangan antara perkembangan yang dikehendaki oleh kelompok penduduk asli (pribumi) dan orang-orang Eropa. Penduduk asli yang berpikir secara agraris (karena mereka berasal dari pedesaan) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masih mempergunakan pola pikir agraris. Bahkan dalam berpartisipasi secara keseluruhan pada kehidupan kota, mereka berusaha mencari bentuk kesederhanaan, baik dalam bentuk perkampungan tempat tinggal maupun interaksi sosialnya, walaupun mereka hidup berada di tengah-tengah kota. Hingga saat sekarang masih dapat kita lihat pola-pola yang demikian. Misalnya, masih dapat dilihat perkampungan di tengah-tengah kota yang tetap mempertahankan kehidupan aslinya, baik bentuk perumahan, jalan-jalan, gang-gang, pola berkebun, cara bergaul anggota masyarakatnya, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis kota-kota berkembang secara cepat tanpa mengindahkan struktur yang demikian, sehingga pada suatu saat menimbulkan masalah yang menyangkut pembinaan organisasi, pembinaan ketenagakerjaan yang terlatih, dan sebagainya. Pertumbuhan kota-kota di Indonesia adalah proses yang timbul dari perkembangan Indonesia secara keseluruhan. Dalam perkembangan bentuknya sangat dipengaruhi dan bahkan ditentukan oleh konstelasi politik di mana pertumbuhan itu terjadi. Yang dimaksud dengan konstelasi politik pada waktu itu adalah kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda. Aspek yang pertama dari kebijaksanaan politik pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu adalah dualisme yang mendasar dari masyarakat kota, baik ditinjau dari segi stratifikasi sosialnya, teknologi yang dipakai, maupun kondisi sosial ekonominya. Struktur masyarakat kota ketika itu pada dasarnya terdiri dari kelompok non-pribumi dan kelompok pribumi. Kelompok yang pertama (non-pribumi) memiliki kekuasaan, kaya, mempunyai semangat tinggi, mobilitasnya tinggi, walaupun jumlahnya kecil. Sedangkan kelompok kedua (pribumi) jumlahnya sangat besar, tetapi mereka adalah orang-orang yang diperintah, keadaannya miskin, perkembangannya sangat lamban dan mempunyai ikatan tradisi yang sangat berakar. Kemudian stratifikasi sosial dalam masyarakat kota menjadi bertambah satu lagi, yakni lapisan sosial yang terdiri dari kelompok masyarakat Cina, yang juga mempunyai jumlah yang besar. Kelompok ini mempunyai ciri-ciri yang memang sudah diwarisi dari nenek moyangnya, yaitu rajin, bersemangat, dan komersial. Kelompok ini eksklusif, baik dalam sistem organisasi, cara hidup, dan sistem administrasinya sangat berbeda dengan kelompok penduduk asli. Dalam kebijaksanaan politik kolonial Belanda, antara kelompok orang-orang Indonesia asli dan kelompok keturunan Cina dipisahkan secara ketat. Orang-orang keturunan Cina ditempatkan pada kamp-kamp tertentu, tetapi tidak tertutup sama sekali kemungkinan bagi mereka untuk berhubungan dengan kelompok 9 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
pribumi. Akibat dari interaksi keduanya akhirnya menimbulkan suatu kelompok menengah yang kuat antara kaum pribumi dan kelompok kaum non pribumi, yakni sebagai kelompok yang keempat. Bagi keempat kelompok sosial tersebut, kota merupakan suatu tempat pergumulan setiap keluarga, setiap bisnis dan setiap organisasi. Masing-masing harus bergumul untuk mendapatkan tempat yang perlu untuk hidup dan bekerja. Tanah-tanah yang baik dan strategis tempatnya menjadi perebutan untuk dibangun menjadi tempat tinggal maupun berusaha. Dalam persaingan itu mereka mempunyai kekuatan yang berbeda-beda, normanorma yang berlainan, serta tujuan hidup dan idealisme yang berbeda-beda pula, bahkan mempunyai institusi legal yang tidak sama. Anggota kelompok sosial yang dominan, yang sebagian terdiri dari kelompok Cina, kurang menghargai tradisi-tradisi yang umum berlaku pada masyarakat Indonesia asli. Mereka menganggap kelompok orang-orang Indonesia itu adalah sebagai orang aging. Kelompok yang dominan ini bekerja di Indonesia hanya untuk kepentingan pribadi mereka. Akibatnya tidak ada satupun tokoh yang mau mengabdikan dirinya demi pertumbuhan kota yang berarti dan memuaskan. Itulah salah satu sebab, mengapa pertumbuhan kota-kota di Indonesia berkembang secara tidak teratur. Kelompok-kelompok sosial yang dominan, yaitu golongan Eropa dan Cina, hidup dan tinggal dalam kota secara terpisah dengan penduduk asli. Mereka hanya memikirkan perbaikan fasilitas perumahan dan lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Oleh karena itu lingkungan tempat tinggal kelompok ini kelihatan lebih baik, perumahannya, sanitasinya, taman-taman, tempat rekreasi dan olahraganya memadai. Dibandingkan dengan perkampungan tempat tinggal penduduk asli, kondisinya sangat jauh berbeda. Kondisi sosial demikian hampir dapat dikatakan berlangsung sampai awal tahun 50-an. Sejak itulah dimulai adanya pemikiran terhadap perencanaan suatu kota yang relatif lebih baik dari sebelumnya. Walaupun untuk membenahi keadaan yang centang perenang itu cukup sulit. Namun, usaha-usaha tertentu dari orang-orang Eropa untuk membangun beberapa kota di Indonesia seperti kota-kota di negeri Belanda, misalnya Jan Pieterzoon Coen yang mendirikan Batavia, dengan mencoba memberikan sifat-sifat borjuis dan kebudayaan Belanda juga tidak pernah berhasil sepenuhnya. Akhirnya Jakarta berkembang sesuai dengan bentuk (tipe) kota Timur dan merupakan contoh akulturasi. Keadaan seperti yang telah diuraikan di atas, secara terperinci dibahas dalam buku A. Manteau S.A. (1958) berjudul The Indonesian Town: Studies in Urban Sociology.
BAB III LAHIRNYA KOTA MEDAN 3.1. Beberapa Pendapat Tentang Lahirnya Kota Medan Tentang sejarah lahirnya kota Medan terdapat dua versi. Versi yang pertama menyatakan bahwa kota Medan itu resminya didirikan pada tahun 1909, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Ma'mun Al Rasyid yang memerintah Kesultanan Deli waktu itu. Pendapat ini didasarkan pada fakta, bahwa pada tahun itulah terbentuknya Gemeente Medan sesuai menurut besluit pembentukan yang dikeluarkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1909 yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz. 10 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Gemeente Medan dibentuk berdasarkan Decentralisatie Wet, yaitu undangundang pemerintahan daerah pada waktu itu, yang maksudnya untuk memberi kesempatan kepada daerah-daerah guna menjalankan suatu daerah otonom. Saat dibentuknya Gemeente Medan, tepatnya pada tanggal 1 April 1909, pernah menjadi patokan sebagai lahirnya kota Medan yang diperingati setiap tahun, sejak tahun 1959 sampai tahun 1975. Kemudian versi kedua menyatakan bahwa Medan telah ada jauh sebelum itu. Medan dalam bentuk perkampungan telah ada sejak tahun 1590. Pendapat ini didasarkan atas hasil penelitian terhadap suatu naskah lama riwayat Hamparan Perak, yang didukung oleh bukti-bukti sejarah, antara lain sebuah makam tua yang bertuliskan Said Tahir yang meninggal dunia pada tahun 1570, terkenal dengan sebutan "Kramat Glugur". Tentang makam ini juga terdapat dalam catatan Begraafplasts Rapport Gemeente Medan 1928. Di samping itu masih ada lagi makam-makam tua lain yang diteliti. Penelitian dilakuakan oleh sebuah tim yang terdiri dari : Prof. Mahadi, S.H. sebagai Ketua Tim Syahruddin Siwan, M.A. sebagai Sekretaris Tim Ny. Mariam Darus, S.H. ; T. Luckman Sinar, S.H. ; M. Abduh, S.H. ; M. Solly Lubis, S.H. ; Miharza, S.H. ; Haji Mohammad Said; Dada Meuraxa ; serta Nasir Tim Sutannaga sebagai anggota. Sesungguhnya untuk mencari dan menetapkan kapan lahir atau berdirinya suatu kota secara tepat berdasarkan disiplin ilmu sejarah bukanlah suatu pekerjaan mudah. Dalam hal ini kita dihadapkan kepada suatu persoalan-persoalan tentang suatu batasan. Batasan itu berkenaan dengan kondisi dan situasi suatu komunitas tertentu yang dapat dikatakan sebagai sebuah kota atau memenuhi persyaratan suatu kota. Secara terperinci, persoalan-persoalan itu dapat disebutkan sebagai berikut : Apakah suatu komunitas dapat dikatakan suatu kota harus didasarkan pada struktur sosial ekonomi, di mana sarana dan fasilitas yang serba kompleks sudah tersedia? Atau sebaliknya, apakah lahirnya suatu kota didasarkan pada orang yang pertama sekali membuka suatu daerah, kemudian menjadi bentuk perkampungan, yang selanjutnya secara berangsur-angsur berkembang menjadi suatu komunitas yang serba kompleks? Tentang batasan ini, para ahli sejarah belum mempunyai kesepakatan, kalau tidak dapat dikatakan belum mempunyai pendapat sama sekali. Untuk memberikan suatu definisi yang tepat mengenai apa yang dimaksud dengan kota adalah sukar, sebab sejarah sampai kini mengenal berbagai bentuk kota yang berbeda satu sama lain. R.D.H. Koesoemaatmadja (1978:6-7) membuat pengertian tentang kota dengan membandingkan antara bentuk kota dan desa sebagai berikut : "Desa adalah satu bentuk asli dari masyarakat tempat tinggal bersama dari beberapa ratus sampai beberapa ribu orang yang merupakan face to face group (kalau tidak saling kenal mengenal mereka paling sedikit kenal mengenal mukanya). Faktorfaktor tersebut mempunyai daya pengikat yang kokoh, sehingga mereka merasa bersatu, sekeluarga/seketurunan dan seterusnya. Kebanyakan dari penduduk desa hidup dari pertanian, perikanan, peternakan, dan usaha-usaha lain yang erat hubungannya dengan alam dan musim. Kemudian, kota adalah gundukan massal dari suatu penduduk yang tidak agraris, dengan penghidupan ekonomi yang diatur secara rasional dan kurang menunjukkan ikatan kelompok seperti desa-desa, karena lingkungan hidupnya itu maka penduduk kota 11 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
berjiwa sangat mobil, yang membuat kebudayaan kota pada umumnya menjadi sangat dinamis". Bertitik tolak dari uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan secara umum bahwa komunitas desa adalah suatu bentuk yang sederhana sifatnya. Sedangkan komunitas kota adalah suatu bentuk komunitas yang serba kompleks. Namun demikian, mencari kapan lahimya suatu kota tidaklah semudah menetapkan ciri-ciri bentuk suatu kota dan desa. Karena seperti apa yang telah dikemukakan di atas, persoalannya adalah : apakah menentukan lahirnya suatu kota itu didasarkan pada saat awal lokasi itu dihuni oleh orang, kemudian menjadi desa? Atau berdasarkan saat di mana desa itu berubah bentuk menjadi suatu komunitas yang serba kompleks? Kiranya pola pemikiran yang demikianlah yang telah berperan dalam usaha-usaha menetapkan kapan lahirnya kota Medan. Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa lahirnya kota Medan pada tahun 1909, bertolak pada pandangan bahwa sejak itulah Medan yang berbentuk perkampungan telah berubah menjadi suatu tempat yang serba kompleks. Hal ini disebabkan sejak itulah Medan menjadi tempat lalu lintas perdagangan. Kemudian pendapat yang kedua, yang menyatakan bahwa lahirnya kota Medan pada tahun 1590, berititik tolak dari pandangan bahwa sejak itu Medan dalam bentuk perkampungan mulai dirintis dan dibuka dari hutan belantara menjadi perkampungan yang kemudian berkembang menjadi kota. Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tentang kapan lahirnya kota Medan, yang jelas bukti-bukti sejarah telah menunjukkan bahwa sejak tahun 1590 Medan telah ada dalam bentuk perkampungan. Kemudian perkampungan itu secara berangsur-angsur berkembang sedemikian rupa, sehingga dengan dibukanya perkebunan-perkebunan besar di Sumatera Utara oleh perusahaan-perusahaan Belanda, pada tahun 1909 perkampungan yang sangat sederhana itu berubah menjadi suatu tempat lalu lintas perdagangan yang ramai. 3.2. Asal-usul Nama Medan Tentang asal-usul nama Medan juga terdapat beberapa versi. Versi yang pertama bersumber dari syair Puteri Hijau, yaitu suatu cerita rakyat yang masih hidup di kalangan orang Melayu, yang merupakan sebuah kisah tentang asal-usul Kerajaan Deli di zaman bahari. Kisahnya secara singkat sebagai berikut : "Di dalam syair Puteri Hijau ini diceritakan kisah seorang puteri dari Kerajaan Deli-Lama yang kecantikannya bagaikan bidadari, sehingga cahaya kecantikannya itu memancar kelihatan ke Negeri Aceh. Di mana sebenarnya letak Kerajaan Deli-Lama yang dikisahkan di dalam syair itu, tidak diceritakan dengan jelas, tetapi setengah kaul menduga-duga bahwa letaknya adalah di Deli Tua yang sekarang ini, karena nama "Deli" yang "tertua" itulah yang menjadi pegangan sebagai tempat terjadinya kisah yang disyairkan sebagai asal-usul Kerajaan Deli itu. Selain dari pada itu sebagai bukti bahwa yang dimaksudkan ibukota dari Kerajaan Deli-Lama itu adalah Deli Tua yang sekarang ini, ditunjukkan lagi pada suatu bekas pemandian Putri Hijau itu, yakni di suatu tempat kira-kira 10 Km di bagian hulu Lau Simaomao, yaitu sebuah sungai tempat pemandian Putri Hijau ini, menurut cerita dari kaul-kaul yang tersebut tadi, adalah merupakan sebuah batu yang datar indah di tepi sungai itu, sedang dari tebingnya memancar sebuah mata air yang amat jernihnya. Di sinilah tempat pemandian Putri yang cantik itu beserta segala dayang-dayang inang pengasuhnya. 12 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya di dalam syair tersebut diceritakan pula, bahwa Putri Hijau itu pada suatu ketika dipinang oleh Raja Aceh, tetapi pinangan ini ditolak oleh kedua putra saudara dari Putri Hijau tersebut, sehingga karena akibat penolakan ini terjadilah peperangan antara Aceh dengan Deli Lama. Dalam serbuan tentara-tentara Aceh ini, kedua putra yang menjadi saudara Putri Hijau ini melakukan perlawanan keras, di mana seorang di antaranya menjelma menjadi seekor naga yang besar dan yang seorang lagi menjadi meriam yang terus menerus melakukan penembakan terhadap pasukan-pasukan Aceh dengan hebatnya. Adapun benteng pertahanan orang Deli dalam melawan serbuan pasukan Aceh ini ialah terbuat dari bambu berduri yang sulit dimasuki. Tetapi pasukan Aceh telah mempergunakan tipu muslihatnya, menembakkan meriam-meriamnya ke arah bentengbenteng bambu berduri itu dengan peluru uang, sehingga karena melihat uang itu, berlomba-lombalah pasukan Deli memotong bambu-bambu berduri itu, sehingga habis semuanya dan karena itu semakin mudahlah bagi pasukan Aceh untuk masuk menyerbu. Dalam keadaan yang demikian inilah saudara Putri Hijau yang menjelma menjadi meriam taru melakukan penembakan dengan sehebat-hebatnya, sehingga oleh karena sangat hebatnya ia melakukan penembakan itu, maka putus dualah meriam tersebut, dan terpelantinglah pangkalnya ke arah Labuhan Deli dan ujungnya ke arah Tanah Karo, yaitu daerah Surbakti dekat Kabanjahe sekarang ini. Sedang saudaranya yang seorang lagi yang menjelma menjadi naga, mengundurkan diri dengan menelusur dari sebuah tempat di kompleks VDM di Jln. Putri Hijau, yaitu di dekat kompleks Kebun Binatang (Boolweg) di zaman sebelum perang. Sampai sekarang di tempat ini masih didapati sebuah aluran besar yang terus menuju ke sungai Deli dan dari sungai Deli inilah naga tadi menelusur terus ke Selat Malaka dan menanti di Teluk Jamu Air (Jambe Ayeu) di daerah dekat Lhokseumawe sekarang ini. Setelah orang Deli kalah perang, dibawalah Putri Hijau dengan sebuah peti kaca ke Aceh. Sesampainya di Teluk Jambu Air tadi, diwaktu hendak menurunkan peti kaca tersebut, ditaburkanlah lebih dahulu beras kunyit dengan sesajen ribuan telur ayam yang dibawa oleh masing-masing penduduk dari berbagai penjuru negeri Aceh, yakni sesuai dengan permintaan Putri Hijau. Dengan tiba-tiba di saat peti kaca tadi hampir mencecah ke dalam perahu yang akan mengangkutnya ke darat, datanglah angin badai dengan ombak yang besar menggulung-gulung dan abangnya yang menjadi naga tadi menimbulkan diri dan menyambar peti kaca yang berisikan Putri Hijau itu dan terus dibawanya menyelam ke dasar laut. Demikianlah kira-kira singkatnya kisah dari syair Putri Hijau yang tersebut tadi, yang di zaman sebelum perang sangat populer menjadi bacaan bagi orang-orang Bumiputera Deli dan di Malaya sering dilakonkan oleh operaopera Melayu sebagai suatu cerita yang sangat digemari. Berdasarkan pada cerita yang terdapat di dalam syair Putri Hijau tadi, maka timbullah anggapan pada sebagian besar orang bumiputera Deli ini bahwa meriam yang sampai sekarang ini masih didapati di dalam sebuah rumah kecil beratap ijuk di halaman Istana Maimun adalah pangkal meriam yang terpelanting ke Labuhan Deli, pada waktu hebat-hebatnya peperangan dengan orang Aceh tersebut. Menurut cerita-cerita kaul orang-orang tua tadi, meriam ini baru dibawa pindah ke Medan oleh almarhum Sultan Ma'mun Al Rasyid dari Istana Kampung Bahari Labuhan ke Istana Maimun yaitu kirakira di bulan Mei tahun 1891.Dapat ditambahkan, bahwa Istana Maimun ini baru pertamanya diletakkan pada tanggal 26 Agustus 1888 (8 Zulhijjah 1306 H) dan untuk 13 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
pertama kalinya disemayami ialah pada tanggal 18 Mei 1891 (9 Syawal1308 H). Kirakira pada penghabisan tahun 1958 tempat meriam tadi oleh karena roboh, dipindahkan ke tempat lain, tetapi masih di dalam pekarangan istana. Dari kisah yang terdapat di dalam syair Putri Hijau yang tersebut di atas tadi, menurut kaul orang-orang tua selanjutnya dinyatakan, bahwa tempat peperangan yang terjadi antara orang Deli dengan orang Aceh itu adalah di atas sebuah rimba belantara yang datar yang disebut "medan peperangan", letaknya di tepi sungai hampir di pertengahan antara Labuhan Deli dengan Deli Tua, yaitu di kota Medan yang sekarang ini. Dari nama "medan peperangan" itulah diambil namanya yang singkat saja, yaitu "MEDAN", yang sekarang ini telah menjadi sebuah kota…." (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:35). Versi lain tentang asal-usul nama Medan, yaitu versi yang menghubungkan nama Medan dengan sejarah Kesultanan Deli yang ditulis oleh T.Luckman Sinar, S.H. dalam naskah "Garis-garis Besar Perkembangan Kuta menjadi Kota besar Medan", (hal 245246). Menurut versi ini, Sultan Deli yang pertama memang berasal dari Hindustan dan ditunjuk oleh Kesultanan Aceh untuk memerintah di daerah Deli. Sultan Deli yang pertama Tuanku Zulqarni Bahatsid Segh Matarulidin menamakan kerajaannya yang baru itu "Deli" yang diambil dari nama "Delhi", suatu nama tempat di negara asalnya. Daerah kerajaan yang luas dan datar itu disebutnya "maiden" yang artinya datar. Akhirnya dari kata "maiden" ini berubah menjadi kata "medan" yang menjadi nama kota Medan yang sekarang ini. Masih ada versi lain tentang asal usul nama Medan, yaitu cerita rakyat yang masih hidup di kalangan suku bangsa Karo di daerah ini. Penduduk asli daerah Deli ini adalah puak Karo (Naskah T.Luckman Sinar, S.H., hal. 246-247). Menurut versi ini, nama Medan berasal dari nama Karo yang berbunyi "madan". Madan artinya sembuh. Timbulnya kata itu karena di Medan ini zaman dahulu timbul penyakit gadam, lalu bagi orang-orang yang sudah sembuh ditempatkan di madan (tempat kampung sembuh). Banyak lagi cerita lain yang mengisahkan asal-usul nama Medan. Dalam bahasa Melayu, Medan berarti lapangan luas atau bisa juga arena. Dengan demikian medan dapat dikaitkan dengan pengertian medan peperangan, medan laga, dan sebagainya. Besar dugaan bahwa asal kata Medan berkaitan dengan pengertian "medan peperangan". Karena berdasarkan sejarah, kota Medan yang sekarang adalah tempat peperangan antara Kerajaan Aru, Kerajaan Aceh kontra Portugis dan Johor. 3.3. Pembentukan Gemeente Medan Jika kita ingin mengungkapkan sejarah pembentukan Gemeente Medan, sesungguhnya tidak terlepas dari sejarah asal-usul Kesultanan Deli. Mengenai keturunan siapa sebenarnya Sultan Deli yang pertama hingga sekarang belum diperoleh suatu kepastian. Ada beberapa cerita rakyat yang masih hidup di kalangan orang Melayu, bahwa antara Puteri Hijau dengan daerah Karo erat sekali hubungannya. Namun demikian bagaimana pertaliannya dengan keturunan/silsilah Kesultanan Deli tidak diperoleh cerita yang jelas. Berkenaan dengan asal-usul keturunan Deli, berdasarkan sebuah dokumen yang masih ada, baru dikenal sejak zamannya Sultan Usman Perkasa Alam, yaitu ayah dari Sultan Mahmud Perkasa Alam. Dokumen tersebut adalah sebuah mandat dari Sultan lskandar Muda Kerajaan Aceh yang dimuat dalam "Buku Kenang-Kenangan/Jubelium 14 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Keradjaan Deli" dan diterbitkan sebelum Perang Dunia II. Namun sejauh itu tidak dijelaskan Sultan Usman Perkasa Alam keturunan siapa. Namun masih ada cerita yang masih hidup di kalangan rakyat Melayu di daerah ini, bahwa Sultan Deli yang pertama berasal dari Hindustan yang ditunjuk oleh Kesultanan Aceh untuk memerintah di daerah Deli. la adalah Tuanku Zulqarni Bahatsid Segh Matarulidin dan menamakan kerajaannya yang baru itu dengan nama "Deli" yang diambil dari nama "Delhi", yaitu nama tempat asalnya. "Tapi dugaan yang banyak mengatakan bahwa Sultan Usman amat rapat hubungannya dengan keluarga Kesultanan Aceh" (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:43). Sultan Usman Perkasa Alam mulai memerintah Kesultanan Deli dalam tahun 1854 (1272 H) dan mangkat pada tahun 1857 (1275 H) dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di pekarangan Masjid Labuhan Deli, dan diberi gelar "Almarhum Masjid". Kemudian almarhum digantikan oleh puteranya yang sulung, yaitu Sultan Mahmud Perkasa Alam, yang ditabalkan bertepatan pada hari wafatnya Sultan Usman. Setelah lebih kurang 5 tahun lamanya Sultan Mahmud memerintah Kesultanan Deli diadakanlah suatu perjanjian dengan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 22 agustus 1862. Perjanjian ini terkenal dengan nama "Acte van Verband". Pada waktu membuat perjanjian, pihak pemerintah Hindia Belanda diwakili oleh E. Netscher yang pada waktu itu menjabat Residen Riau en Onderhoorigheden. Perjanjian yang dicantumkan dalam Acte van Verband ini disahkan oleh Gubernur Jenderal. Setahun kemudian, yaitu pada tanggal 5 Maret 1863, oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam dibuat lagi perjanjian tambahan di samping Acte van Verband, yang juga dilakukan dengan Residen Riau E. Netscher. Di dalam perjanjian tambahan tersebut dimuat ketentuan, antara lain bahwa tanah-tanah tidak akan diserahkan kepada orangorang Eropa dan orang-orang asing lainnya. Dengan perjanjian tambahan tersebut posisi Hindia Belanda untuk menguasai tanah-tanah di daerah kekuasaan Kesultanan Deli semakin kuat. Karena orang-orang Eropa dan orang-orang asing lainnya tidak dibenarkan mendapatkan tanah di daerah ini. Kemudian pada tanggal 10 Nopember 1872, diadakan lagi perjanjian tambahan dengan pihak Hindia Belanda, yakni berkenaan dengan status orang-orang yang ditentukan menjadi rakyat Gubernemen Hindia (yaitu orang-orang yang tidak menjadi rakyat Zelfbestuur Kerajaan Deli). Acte van Verband dan kedua perjanjian tambahan berikutnya adalah asalmula daerah Kerajaan Deli diperkenalkan dengan eksploitasi penjajahan. Karena setelah itu, mulailah persetujuan antara Sultan Mahmud dan J. Nienhuys yang membuka kesempatan kepada orang-orang Belanda untuk membuka perkebunan-perkebunan tembakau di daerah Deli ini. Setelah adanya persetujuan tersebut, Medan yang sebelumnya hanya merupakan tempat tinggal ataupun perkampungan yang sederhana semakin berkembang. Kantor-kantor perusahaan perkebunan besar mulai didirikan di Medan, seperti kantor Deli Maatschappij, menyusul kemudian kantor Deli Batavia Mij, Tabaks Mij "Arendsburg", dan sebagainya. Sejak saat itulah dataran-dataran subur yang terdapat di sekitar Medan dibuka untuk perkebunan-perkebunan tembakau. Sultan Mahmud Perkasa Alam mangkat pada tahun 1872 dalam usia 44 tahun dan dimakamkan di dalam lingkungan pagar batu Masjid Labuhan Deli. Almarhumlah yang mendirikan istana kota baru di muka masjid Labuhan. Oleh karena itu pulalah, sesudah mangkatnya almarhum terkenal sebagai "Almarhum Kota Batu". 15 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Di atas telah disebutkan, babwa Acte van Verband ditandatangani pada bulan Agustus 1862 antara Sultan Mahmud Perkasa Alam dengan E. Netscher sebagai Residen Riau. Dengan demikian perjanjian ini adalah "merupakan perjanjian politik yang pertama oleh Sultan Deli dengan Belanda" (H. Mohammad Said, 1977:23). Medan pada masa itu masih berada di bawah kekuasaan Residensi Riau dan hal ini berlangsung dan tahun 1860 sampai dengan tahun 1870. Ketika tahun 1872 Sultan Mahmud Perkasa Alam mangkat, puteranya yang sulung, Tengku Ma'mun Al Rasyid masih di bawah umur, yaitu baru berusia 15 tahun. Sementara menunggu Sultan Ma'mun Al Rasyid dianggap dewasa untuk menjalankan pemerintahan, maka kerajaan dipimpin oleh Tengku Sulaiman (Raja Muda Negeri Deli) dan Tengku Sulung Laut (Pangeran Raja Negeri Bedagai selaku Wazir Negeri Deli). Kemudian setelah Sultan Ma'mun Al Rasyid genap berusia 17 tahun, yaitu pada tahun 1873, beliau diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Pada zaman Sultan Ma'mun Al Rasyid Acte van Verband ditambah lagi dengan beberapa pasal. Penambahan pasal-pasal tersebut dilakukan di bawah suatu peranjian dengan pemerintah Hindia Belanda tanggal 14 November 1875. Dalam perjanjian tersebut pihak pemerintah Hindia Belanda diwakili oleh Residen Pulau Perca (maksudnya Sumatera Timur) Stoffel Locker de Bruijne yang kemudian disyahkan oleh Gubernur Jenderal Van Lanebergen. Tambahan pasal-pasal itu berkenaan dengan cara-cara pemungutan hasil-hasil perkebunan dan cara-cara keluar masuknya. Di samping itu sebelumnya telah dibuat perjanjian lain yang berkenaan dengan status rakyat, pemungutan cukai terhadap barangbarang yang keluar dan masuk untuk daerah Padang/Begadai (Tebing Tinggi Deli), dan juga kekuasaan di Belawan. Kemudian yang penting yaitu pada tanggal 5 Nopember 1898 telah dibuat lagi suatu tambahan perjanjian antara Kerajaan Deli dengan pemerintah Hindia Belanda tentang ketentuan status rakyat yang termasuk dalam lingkungan kerajaan dan termasuk lingkungan Gouvernement. Setelah adanya perjanjian-perjanjian tersebut, mulai ada pemisahan wilayah dan status kependudukan, yaitu yang lebih dikenal dengan nama wilayah Landschap beserta penduduknya, serta daerah Gouvemement. Dalam perjanjian tersebut juga diatur masalah organisasi dan administrasi masing-masing wilayah. Bertahun-tahun setelah daerah Sumatera Timur menjadi daerah perkebunan secara besar-besaran, maka arti Medan sebagai suatu bentuk komunitas yang sederhana berubah menjadi suatu tempat yang serba kompleks. Medan telah berubah menjadi pusat perekonomian. Penduduknya kian lama kian bertambah banyak, terlebih-lebih pada tahun 1875, yakni pada waktu perkebunan-perkebunan mendatangkan puluhan ribu pekerja dari pulau Jawa. Sebelumnya perkebunan-perkebunan tersebut mengalami perkembangan yang pesat, pekerja-pekerja dari India dan Tiongkok tidak mencukupi lagi. Pekerjapekerja dari pulau Jawa diikat dengan suatu kontrak yang dikenal dengan istilah "poenale sanctie" yang diatur dalam peraturan yang bernama "koeli ordonantie". Poenale sanctie artinya "syarat yang bisa berakibat hukuman dilanggar" (H. Mohammad Said, 1977:66). Sejak itulah Medan merupakan perkampungan berubah menjadi sebuah pusat kota pereknomian di Sumatera Timur ini. Sementara itu kedudukan Belawan sebagai pelabuhan bertambah penting artinya untuk mengekspor hasil-hasil perkebunan ke luar negeri. Sejalan dengan bertambah 16 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
luasnya areal perkebunan di pesisir Sumatera Timur, maka arti alat pengangkutan sebagai alat perhubungan menjadi sangat penting dan mendapat perhatian yang besar. Sebagai tahap pertama, dalam tahun 1884 dibukalah trayek kereta api Medan-Belawan yang dieksploitasi oleh Deli Spoowerg Maatschappij (DSM). Beberapa tahun kemudian, trayek kereta api tersebut ditambah lagi, hingga meluas sampai ke Tanjung Balai, Pematang Siantar, dan Besitang. Perkembangan Medan menjadi suatu kota yang sekaligus merupakan pusat kegiatan perdagangan di Sumatera Timur, maka dalam tahun 1886 kedudukan Residen di Bengkalis dipindahkan ke Medan. Sejak itu kota Medan resmi menjadi ibukota Keresidenan Sumatera Timur (Residentie Oostkust van Sumatra). Setelah kedudukan Residen Timur dipindahkan dari Bengkalis ke Medan, maka terjadilah perubahan susunan wilayah pemerintahannya. Daerah Sumatera Timur dibagibagi menjadi beberapa afdeelingen (wilayah setingkat dengan kabupaten sekarang). Uraian di atas telah menunjukkan perkembangan sosial ekonomi menjelang Medan diresmikan menjadi bentuk pemerintahan Gemeente. Namun di samping perkembangan-perkembangan sosial ekonomi tersebut, perlu juga disinggung situasi ketatanegaraan Hindia Belanda secara umum yang telah mendorong dan mempengaruhi pembentukan Gemeente-Gemeente di Jawa dan di Sumatera Timur, khususnya Gemeente Medan. Meskipun Kostitusi Nederland sebagai induk hukum ketatanegaraan telah dirubah pada tahun 1840 clan 1948, hingga memberikan kesempatan bagi Staten General untuk mencampuri urusan-urusan Hindia Belanda, namun pihak Nederland tidak segera menaruh perhatian untuk menjajaki kemungkinan pemerintahan desentralisasi di Indonesia, sehingga pemerintahan tetap dijalankan secara sentralisasi. Sejalan dengan kebijaksanaan pemerintahan Nederland, supaya daerah koloni efektif dan menguntungkan bagi Nederland, maka prinsip yang dianutnya ialah menumpukkan urusan sedemikian rupa di tangan Gubernur Jenderal di Buitenzorg (Bogor), bahkan dengan urusan-urusan yang remeh sekalipun, sehingga menimbulkan ekses birokrasi dan banyak urusan-urusan terbengkalai. Setelah berlarut-larut keadaan berjalan dan setelah berulang-ulang dibahas di kalangan pemerintah Nederland, dan Menteri Jajahan lebih kurang sepuluh tahun lamanya telah silih berganti barulah pada tahun 1903 diadakan perubahan pada RR 1854 atas usul Menteri Idenburg. Perubahan itu memungkinkan pembentukan daerah-daerah desentralisasi di Hindia Belanda (Indonesia). Menurut pasal-pasal baru dari perubahan tersebut, beberapa daerah ataupun bagian dari daerah, dapat disentralisasikan, yaitu diberikan keuangan sendiri yang terpisah untuk digunakan dalam mengurus kepentingan khusus daerahnya. Ada pendapat bahwa daerah desentralisasi yang dimaksudkan bukanlah daerah otonomi yang bergerak mengatur rumah tangganya sendiri, tetapi mengadakan pengurusan dengan cara menggunakan keuangan yang dipisahkan dari keuangan pusat. Tujuannya agar beban pemerintah pusat lebih ringan. Jadi sistemnya masih sentralisasi dan perubahannya hanya pada kebijaksanaan keuangan. Tujuannya supaya Residen dan Asisten Residen di daerah-daerah mendapat kelonggaran dan kebebasan mengatur kepentingan-kepentingan daerahnya berdasarkan keuangan yang terpisah (Sunarko, 1955:2). Undang-undang Desentralisasi 1903 itu disusul dengan peraturan organiknya, yaitu Decentralisatie Besluit dari raja pada tahun 1904, kemudian disusul lagi dengan 17 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Locale Raden Ordonantie (L.R.O.) tahun 1905. Berdasarkan ketentuan-ketentuan inilah disusun Gemeente-Gemeente, seperti Batavia, Bogor, dan sebagainya. GemeenteGemeente ini diberi wewenang mengurus rumah tangganya sendiri, antara lain di bidang jalan-jalan, jembatan-jembatan, tanah-tanah, dan riol- riol yang ada. Antara tahun 19061908 di Jawa telah terbentuk Gemeente Bandung, Gemeente Sukabumi, Gemeente Cirebon, Gemeente Surabaya, Gemeente Malang, dan lain-lain, yakni di tempat yang banyak penduduk asingnya. Di Sumatera Timur dibentuk Gemeente Medan, Gemeente Binjai, Gemeente Tebing Tinggi, dan Gemeente Pematang siantar. Di Sumatera Barat dibentuk Gemeente Padang, Gemeente Sawahlunto, dan Gemeente Bukit Tinggi. Di Sumatera Selatan dibentuk Gemeente Palembang (T. Luckman sinar, S.H. : 22). Dengan demikian jelaslah, bahwa Gemeente Medan di bentuk berdasarkan "Decentralisatiewet 1903 Stbl. No. 329 seperti halnya Gemeente-Gemeente lainnya di Hindia Belanda. Gemeente Medan pada waktu itu di bawah pimpinan seorang ketua Gemeenteraad. Ketua Gemeenteraad Medan dari masa pembentukannya pada tanggal 1 April 1909 (Stbl. 1909 No. 180) adalah E.G.Th. Maier, Asisten Residen Deli Serdang waktu itu dan sidangnya yang pertama dilangsungkan pada tanggal 6 April 1090. Dalam tahun 1918 Ketua Gemeenteraad tersebut diserahkan kepada seorang Burgermeester yang pertama, yaitu Baron Daniel Mackay (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:57-58). Maka sejak tanggal 1 April 1909 inilah Medan resmi menjadi Gemeente sesuai menurut besluit pembentukannya yang dikeluarkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1909, yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutz. Tanggal 1 April 1909 tersebut pernah menjadi patokan sebagai lahirnya kota Medan yang diperingati dari tahun ke tahun mulai 1959 sampai 1975, meskipun dalam penulisan sejarah kota Medan itu, patokan tanggal 1 April 1909 itu telah mendapat kritikan dan serangan yang hebat oleh para peminat sejarah di kota ini.
BAB IV PERKEMBANGAN DARI GEMEENTE KE KOTA BESAR 4.1. Perkembangan Politik dan Pemerintahan 4.1.1. Perkembangan Pemerintahan Dalam meninjau perkembangan politik dan pemerintahan pada masa pemerintahan Gemeente Medan, sebaiknya kita tinjau dulu bagaimana susunan pemerintahan beberapa tahun menjelang pembentukan Gemeente Medan. Setelah terjadi pemindahan kedudukan Residen Sumatera Timur dari Bengkalis ke Medan pada tahun 1886, maka terjadilah pembahan susunan wilayah pemerintahannya. Keresidenan Sumatera Timur dibagi-bagi menjadi beberapa afdeling. Di antaranya terdapatlah daerah (afdeling) Deli dan Serdang (Afdeeling Dell en Serdang) yang terdiri dari dua daerah onder-afdeling Deli dan onder afdeling Serdang dengan hooplaats Medan. Hal ini diatur dalam Staatsblad 1900 No. 64 yang kemudian beberapa kali diubah dan ditambah. Perubahan atau penambahan terakhir dengan Bijblad No. 14491, yang di dalamnya dimuat ketentuan, bahwa afdeeling Deli en Serdang tersebut adalah meliputi wilayah Landschap Deli dan wilayah Landschap Serdang. Jelasnya, kedua wilayah dua Kesultanan tersebut adalah termasuk ke dalam daerah hukum 18 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Afdeeling Deli en Serdang, yang pada ketika itu dipimpin oleh seorang pemimpin pemerintahan dengan pangkat Asisten Resident dengan aparatnya yang terdiri dari Controleurs, Gezaghebbers dan lain-lain. Bahkan menurut Staatsblad 1939 No. 146 dinyatakan bahwa wilayah kota Medan adalah masih termasuk dalam lingkungan wilayah Landschap Deli. Oleh karena itu, maka Asisten Residen yang menjadi Kepala Pemerintahan di Afdeeling Deli en Serdang masih mempunyai kekuasaan penuh terhadap kota Medan. Kekuasaan tersebut baru berakhir pada tahun 1918, yakni setelah terbentuk dan dilaksanakannya Geemente Medan berdasarkan Decentralisatiewet 1903, Stbl. 1903 No. 329, di bawah pimpinan seorang Burgemeester. Menurut salah satu catatan yang tersebut dalam buku "Kenang-Kenangan Jubilium Kesultanan Deli" (Agustus 1937), ada disebutkan bahwa penyerahan tanah milik Landschap kepada Gemeente Medan ini adalah terdiri dari ratusan ribu meter, yang diperkuat dengan sebuat Akte Notaris tanggal 30 Nopember 1918 No. 97 dan ditandatangani oleh Sultan Ma'mun Al Rasyid sebagai pihak yang menyerahkan dan oleh Baron Daniel Mackay sebagai Burgemeester pertama Gemeente medan (pihak yang menerima). Dari uraian di atas jelas bahwa lebih dari sembilan tahun sejak pembentukan Gemeente Medan (1 April 1909) wilayah Medan masih berada di bawah kekuasaan pemerintahan Afdeeling Deli en Serdang. Kembali meninjau sebelum terbentuknya Gemeente Medan, setelah Medan berubah menjadi sebuah ibukota Keresidenan Sumatera Timur dan merangkap sebagai hoofdplaats Afdeeling Deli en Serdang pacta tahun 1886, maka kelihatanlah bahwa dalam susunan pembagian wilayah terdapat garis pembagian. Garis pembagian itu menentukan batas-batas kekuasaan antara Zelfbestuur (Raja-raja) dalam daerah Landschap dengan wilayah yang menjadi daerab Landschap dengan wilayah yang menjadi daerah kekuasaan Gouvemement. Di dalam wilayah Landschap, yaitu daerah Zelfbestuur yang terpisah dari wilayah daerah kekuasaan Gouvemement, dibuat peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan tentang batas-batas kekuasaan dan hak raja-raja atas segala isi yang terdapat dalam wilayah dan hak kekuasaan raja-raja terhadap penduduk yang tinggal di daerah hukumnya. Di samping itu, diatur pula ketentuan-ketentuan tentang batas batas hak pihak Gouvemement dalam campur tangannya di daerah Landschap tersebut. Berhubung karena uraian ini adalah berpokok pada sekitar perkembangan kota Medan dari Gemeente ke Kota Besar, maka mengenai hal-ihwal Landschap dan Gouvemement itu tidak akan diuraikan secara mendalam. Selanjutnya, dari dokumen yang masih ada didapat suatu keterangan ; "Sesudah kota Medan ini diresmikan menjadi ibukota Keresidenan Pesisir Timur Pulau Perca (Oostkust van Sumatera), maka dibentuklah sebuah Commissie tot het beheer v/h Otmeente fonds yang lebih terkenal dengan nama "Negorijraad", yakni suatu badan yang bertugas untuk memperhatikan dan mengatur kepentingan kota Medan setempat bersamasama dengan alat-alat yang ada padanya. Tapi sungguhpun Negorijraad ini sudah terbentuk dengan suatu tugas yang khusus untuk memperhatikan dan mengatur keadaan kota Medan, tetapi kekuasaan Binenlands Bestuur (Asistent Resident, Controleur, dan sebagainya) dalam soal-soal pemerintahan di kota Medan ini masih berjalan seperti biasa" (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:56).
19 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa Negorijraad inilah dalam masa 20 tahun telah menjadi pelopor yang baik sekali dalam memberikan suatu pemerintahan Gemeente bagi kota Medan pada tahun 1909. Berdasarkan Decentralisatiewet 1903 tersebut di atas, maka pada tahun 1906 telah dibentuk pula sebuah lembaga lain yang diberi nama "Afdeelingsraad van Deli". Namun, meskipun sudah ada pembentukan tersebut, tetapi Negorijraad masih saja meneruskan tugasnya sebagaimana biasa hingga masa likuidasi Afdeelingsraad ini pada tanggal 1 April 1909. Susunan anggota-anggota Afdeelingsraad van Deli dari tahun 1906 sampai dengan tahun 1908 tercatat sebagai berikut : 1. E.G. Th. Maier (Voorzitter) 2. J. Roest 3. Mr. J. Rahder 4. S. Blok 5. J.D.L. Le Febvre 6. J. van Vollenhoven 7. W.H.M. Schede 8. E.J. van Lier 9. O. Magnee 10. Ds. J. Brink 11. J.N. Eikema 12. Dr. J.G.C. Vriens 13. H. J. G. Wolff 14. Dr. F.W. van Haeften 15. Mr. H.J. Bool 16. G.L.J.D. Kok 17. J.J.C. Knokke v.d. Meulem 18. R.J. Koppenol 19. Tengku Besar van deli (Tk. Amaluddin) 20. Datuk Hamparan Perak 21. Kpt. Tjong A Fie 22. Kpt. India Mohd. Ali Yang menjadi Sekretaris Afdeelingsraad van deli adalah Jhr. R.J.M. de Roy van Zuijdewijn (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:56-57) Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pada tanggal 1 April 1909 terbentuklah Gemeente Medan. Maka sejak saat itu pula dibubarkanlah Afdeelingsraad. Sebagai gantinya dibentuk sebuah lembaga lain yang disebut dengan "Cultuurraad" untuk luar kota Medan dan Gemeenteraad khusus untuk kota Medan. Setelah terbentuknya Gemeente Medan, mulailah Negorijraad dibekukan dan sekaligus menyerahkan tugasnya kepada lembaga yang baru dibentuk tersebut. Anggota-anggota Gemeenteraad menurut keterangan sebanyak 15 orang dan diambil dari anggota-anggota Afdeelingsraad van Deli, tetapi tidak jelas nama-nama mereka yang diangkat menjadi anggota Gemeenteraad tersebut. Ketua Gemeenteraad Medan sejak masa pembentukannya pada tanggal 1 April 1909 adalah E.G. Th. Maier, yang sebelumnya menjabat sebagai Voorzitter
20 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Afdeelingsraad van Deli en Serdang. Saat itu, di samping E.G. Th. Maier Ketua Gemeenteraad Medan, juga menjabat sebagai Assistent Resident van Deli en Serdang. Melihat keadaan yang demikian, nyatalah bahwa di masa peralihan tersebut terdapat dualisme pemerintahan dalam Gemeente Medan. Karena, seperti yang telah disinggung di atas, ternyata menurut saluran-saluran yang dibentuk terdapat dua cara pemerintahan. Pertama, cara mengatur pemerintahan di luar kota yaitu adanya Cultuurraad dan yang kedua cara mengatur pemerintahan di dalam kota, yaitu adanya Gemeenteraad. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa kolonial terdapat cara pemerintahan yang tidak seragam. Dalam masa pemerintahan Gemeente Medan sampai dibentuknya Stadsgemeente pada tahun 1939 dan kemudian diubah menjadi Shi pada pendudukan Jepang tahun 1942, telah terjadi pertukaran Burgermeester. Sejak tahun 1918 sampai tahun 1942 berturutturut para Burgemeester itu adalah sebagai berikut : 1. D. Baron Mackay (masa memerintah 21 April 1918-15 April 1931) 2. Mr. J.M. Wessenlink (masa memerintah 25 Apri11931-19 Agustus 1934) 3. Mr. G. Pitlo (masa memerintah 19 Agustus 1934-27 Agustus 1938) 4. Mr. C.E.E. Kuntze (masa memerintah 27 Agustus 1938-13 Maret 1942) (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:80) Pada masa pendudukan Jepang pemerintahan Stadegemeente Medan mengalami perubahan, yaitu beralih nama menjadi Medan Shi yang dikepa1ai oleh Medan Sityo sebagai pengganti Burgemeester. Pemerintahan demikian berlangsung mulai tanggal 13 Maret 1942 sampai tanggal 24 Agustus 1945. Susunan pemerintahan pada waktu itu adalah sebagai berikut : Medan Sityo : Hayasaki Sekretaris : Mr. Mohd. Jusuf Wakil Sekretaris : Mr. Loeat siregar S.M. Tarigan Keuangan : Jap Gim Sek Nakafuyi (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:80) Sistem pemerintahan pada masa Medan Shi tersebut sebenarnya hanyalah merupakan ke1anjutan sistem pemerintahan zaman Belanda. Di samping itu, menurut keterangan, meskipun Medan Sityo dijabat oleh seorang Jepang (Hayasaki), tetapi yang menjalankan praktek sehari-hari pemerintahan Medan Shi adalah Mr. Mohd. Jusuf, yang bagi penduduk biasa dianggap sebagai walikota. Mr. Mohd. Jusuf dibantu oleh wakilwakil sekretarisnya, yaitu Mr. Luat Siregar dan S.M. Tarigan. Demikianlah situasi pemerintahan sampai pada masa proklamasi kemerdekaan. Selanjutnya, situasi pemerintahan kota Medan sejak tahun 1945, sebagaimana situasi pemerintahan di kota-kota lainnya di Indonesia pada waktu itu, diwamai oleh situasi revolusi. Sebagaimana selalu terjadi dalam perkembangan sejarah, situasi revolusi di mana-mana selalu menggambarkan suasana perjuangan untuk merubah keadaan secara cepat. Dalam situasi yang demikian, jalannya pemerintahan selalu dipegang oleh tokohtokoh revolusi dan selalu tidak menentu.
21 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Proklamasi Kemerdekaan memang agak terlambat diumumkan di Medan. Mr. T.M. Hassan dan Dr. M. Amir, yaitu dua orang utusan dari daerah ini yang duduk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta, baru pulang ke Medan pada akhir bulan Agustus 1945. Pada tanggal 17 September 1945, keduanya membentuk sebuah Panitia Kebangsaan yang bertugas melanjutkan Proklamasi di Medan. Proklamasi di Medan baru diumumkan pada tanggal 30 September 1945. Pada waktu itu para pemuda sedang meresmikan pembentukan "Barisan Pemuda Indonesia" bertempat di gedung Taman siswa. Tentara pendudukan sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memasuki kota Medan pada awal bulan Oktober 1945. Masuknya tentara sekutu ke kota Medan telah menimbulkan peristiwa-peristiwa berdarah. Sejak itu Medan telah dijadikan pusat perjuangan kemerdekaan untuk daerah Sumatera Utara umumnya. Karena sejak diumumkannya proklamasi kemerdekaan secara resmi di kota Medan, diangkatlah Mr. TM. Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Maka sejak itulah terbentuk berbagai badan perjuangan yang dilanjutkan dengan pembentukan kesatuan-kesatuan Tentara Keamanan rakyat (TKR) Barisan Merah, Barisan Pelopor Republik Indonesia, Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), yang diusahakan oleh para pemimpin perjuangan waktu itu antara lain Abdul Karim MS., Soufrom, A. Razak, M. Tahir, lain Hamid, Jakob Lubis, Nip Masdulhaq Karim, Ngumban Surbakti, Marzuki Lubis, D. Egon, dan lain-lain. Tidak berapa lama setelah diumumkan proklamasi kemerdekaan di Medan, dibentuklah sebuah Markas Agung. Menurut keterangan, Markas Agung inilah yang mendesak Mr. TM. Hassan untuk menjadi Gubernur Sumatera. Para pemimpin Markas Agung tersebut adalah sebagai berikut : Ketua selaku Komandan I : Sarwando (Pesindo) Ketua selaku Komandan II : Marzuki Lubis (Napindo) Ketua selaku Komandan III : Bachtiar Junus (Hisbullah) Sekretaris : BH. Hutadjulu Dalam menyinggung situasi kota Medan pada masa revolusi ini, ada baiknya disinggung sedikit tentang badan-badan maupun tenaga-tenaga penggerak roda revolusi itu di sini. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hal tersebut antara lain terjadi pada tanggal 10 Agustus 1946. Menurut catatan Biro Sejarah Prima: "Pada tanggal tersebut, barisan-barisan pemuda yang tadinya dibentuk oleh partaipartai politik dan agama telah berhasil menyatukan dirinya di dalam komando, yaitu "Komando Resimen Lasykar Rakyat Medan Area" di bawah Komandan Kapten Nip Xarim. Dalam bulan Januari 1947 nama Komando Resimen Lasykar Medan Area ini diganti degan nama "Komando Medan Area" di bawah pimpinan Letkol. Sutjipto" (Biro Sejarah Prima, 1976:401). Sesudah keluarnya perintah harian Jenderal Spoor yang kemudian diwujudkan dengan apa yang dinamakan Belanda "Aksi Polisionil Yang Pertama", maka barisanbarisan Lasykar Rakyat yang telah ada itupun dilebur menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam situasi revolusi tersebut yang penting dicatat adalah bahwa pada awal memuncaknya revolusi kemerdekaan, Mr. Loeat Siregar berprakarsa membuka kembali kantor kota Medan dengan mengambil tempat di Jalan Istana 15 waktu itu. Beliau sendiri menjabat sebagai walikota serta Mr. Mohd. Jusuf menjadi Residen. Beberapa bulan setelah berjalannya pemerintahan kota Medan di bawah walikota Loeat 22 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Siregar, kemudian beliau diangkat pula sebagai Residen. Untuk menggantikan jabatan walikota, diangkatlah Mr. Mohd. Jusuf dari tanggal 10 Nopember 1945 hingga bulan Agustus 1947. Demikianlah garis besar situasi pemerintahan kota Medan sejak awal revolusi sampai menjelang terbentuknya Negara Sumatera Timur. Pada tanggal 25 Desember 1947 secara resmi dibentuklah Negara Sumatera Timur oleh suatu komite buatan Belanda, yaitu Komite Daerah Istimewa Sumatera Timur. Sebagai Wali Negara diangkatlah Dr. T. Mansur yang diperlengkapi dengan sebuah barisan pengawal yang bernama "Blauwpijpere". Di zaman Negara Sumatera Timur, meskipun ada Wali Negara secara penuh, karena masih ada instansi yang lebih tinggi dan berkuasa, yaitu yang disebut "RECOMBA", yang dipimpin oleh seorang yang disebut Hoofd Tijdelijke Bestuur (HTB). Cara-cara dan pedoman kerja serta peraturanperaturan bagi Gemeente Medan pada zaman Negara Sumatera Timur ini praktis tidak dipergunakan, karena telah diganti dengan peraturan HTB No. 44 dan No 45. Setiap kegiatan dalam pemerintahan Gemeente Medan berdasarkan perintah Recomba yang bertujuan menguatkan kembali kedudukan Belanda pada waktu itu. Keadaan tersebut di atas berlangsung sampai pembubaran Negara Sumatera Timur pada tanggal 15 Agustus 1950. Perlu ditambahkan, bahwa pada waktu didirikan Negara Sumatera Timur, Mr. Mohd. Jusuf mengundurkan diri dari jabatan walikota dan sebagai penggantinya diangkat Mr. Djaidin Purba terhitung sejak 1 Nopember 1947 sampai Desember 1954. Sesudah kekuasaan RI dipulihkan kembali pada tahun 1950, maka pertumbuhan kota Medan kelihatan semakin pesat, sehingga semenjak 14 Nopember 1951, oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Utara - dengan mendahului keputusan Pemerintah Pusat - dengan keputusannya No. 66/III/PSU yang kemudian disusul oleh Maklumat walikota Medan No. 21 bertanggal 29 Nopember 1951. Medan diperluas dan ditetapkan menjadi Kota Besar. Dengan ketetapan perluasan ini, wilayah kota Medan bertambah lebih kurang tiga kali dari luas wilayah pada zaman Gemeente Medan seperti yang ditetapkan dalam Staatsblaad tahun 1921 No. 772. 4.1.2. Perkembangan Politik Yang dimaksud dengan perkembangan politik dalam uraian ini adalah bagaimana sistem penyusunan kekuasaan dalam pemerintahan kota (gemeente) Medan pada masa itu. Sistem politik yang berlangsung sesungguhnya tidak terlepas sama sekali dengan konstelasi politik pada zaman itu, yaitu konstelasi kebijaksanaan politik pihak kolonial Belanda yang lebih luas. Sebagaimana telah disinggung dalam bagian terdahulu, bahwa yang menjalankan pemerintahan kota pada awalnya adalah Asintent Deli en Serdang. Dalam hal ini, Asistent Deli en Serdang menjalankan pemerintahan kota Medan bersama-sama dengan sebuah Dewan Kota yang disebut dengan "Gemeenteraad". Gemeenteraad pada awalnya beranggotakan 15 orang yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Menurut catatan yang ada : "Dari pengangkatan keanggotaan Gemeenteraad ini telah dinampakkan adanya pemisahan keanggotaan secara nyata, yaitu 12 orang buat/dari golongan Eropa, 2 orang buat/dari golongan Indonesia, dan 1 orang buat/dari bangsa Timur Asing lainnya (Vereemde Oosterling)" (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:74)
23 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Pada masa pemerintahan Gemeente Medan belum ada peranan partai politik terhadap perkembangan kekotapradjaan. Perkembangan kota Medan lebih ditentukan oleh kebijaksanaan politik kolonial Belanda walaupun beberapa tahun kemudian setelah pembentukan pemerintahan Gemeente diadakan sistem pemilihan untuk anggota Dewan Kota (Gemeenteraad), namun sistem itu sendiri hanya menguntungkan kekuasaan pemerintah kolonial. Pemilihan (verkiezing) diadakan berdasarkan suatu peraturan yang disebut dengan "Kiesordonantie". Tidak jelas bagaimana pelaksanaan sesungguhnya dari pemilihan anggota Gemeenteraad itu. Verkiezing (pemilihan) untuk memilih anggota-anggota Gemeenteraad berdasarkan Kiesordonantie dilakukan juga menurut pembagian golongan seperti dasar keanggotaan pada waktu permulaan, yaitu tiga golongan ; a. Golongan Eropa b. Golongan Indonesia c. Golongan Timur Asing Sudah tentu saja pertimbangan pembagian kursi adalah lebih banyak untuk golongan Eropa. Sudah dicoba untuk mencari sumber-sumber sejarah yang behubungan dengan anggota-anggota Gemeenteraad Medan pada masa kolonial Belanda dahulu, tetapi tidak berhasil. Menurut keterangan yang diperoleh, ketiadaan sumber-sumber itu disebabkan situasi zaman pendudukan Jepang yang mengakibatkan sumber-sumber tersebut banyak yang hilang. Menurut keterangan-keterangan lisan dapat diperoleh nama-nama bangsa Indonesia yang pernah menjadi anggota Gemeenteraad, antara lain Abdullah Lubis dan Tanjung Mohd. Arif. Menurut catatan yang masih ada, terdapat nama bangsa Indonesia yang terpilih menjadi anggota Gemeenteraad berdasarkan hasil verkiezing pada tanggal 11 Agustus 1938. Mungkin verkiezing ini adalah yang terakhir sampai pada saat pendudukan Jepang. Nama-nama tersebut adalah : Adinegoro, Baharuddin, Boerhanuddin Gelar St. Dilaoet, Sugondo Kartoprodjo, GB. Josua, dan Soelaiman Hasibuan. (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:75) Pada zaman pendudukan Jepang, praktis Gemeenteraad tidak berjalan sama sekali. Demikian juga pada saman permulaan revolusi hingga saatnya pendudukan Belanda dan dalam pemerintahan Negara Sumatera Timur, majelis (dewan perwakilan) seperti pada zaman Gementeraad juga tidak ada. Sehingga sampai kepada saat pengakuan kedaulatan, kota Medan hanya diperintah oleh seorang walikota tanpa dewan. Jabatan walikota (Medan Sityo) pada zaman pendudukan Jepang resminya ialah Hayasaki. Tetapi dalam pelaksanaan pekerjaan walikota sehari-hari dilaksanakan oleh Mr. Mohammad Jusuf yang ketika itu menjabat sekretaris dengan bantuan dua orang wakil sekretaris, yaitu Mr. Loeat Siregar dan SM. Tarigan. Ketika Jepang kalah dan serentak dengan itu kemerdekaan diproklamirkan, maka Mr. Loeat Siregar berprakarsa membentuk kembali pemerintahan kota Medan dan sebagai walikota diangkat Mr. Mohammad Jusuf, yaitu dari tanggal 10 Nopember 1945 sampai dengan Agustus 1947. Kemudian dari tahun 1947 sampai dengan tahun 1952, jabatan walikota Medan diserahkan kepada Mr. Djaidin Purba. Tetapi di zaman pendudukan Belanda kembali (tahun 1947-1948), Mr. Djaidin Purba dalam menjalankan jabatan ini di bawah pengawasan Belanda. Pada masa pendudukan Belanda (pada masa revolusi) di kota Medan, sebagaimana juga di beberapa tempat lainnya, berlaku UndangUndang "Staat van Oorlog en Beleg" (SOB). Sebagai salah satu jalan untuk memenuhi 24 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam "Stadsgemeente Ordonantie Buitengewesten", maka pada tangga1 19 Nopember 1947 dengan sebuah peraturan No.14, ditentukanlah Hoofd Tijdelijke Bestuurdienst (HTB) di Medan, di mana walikota Medan juga menjalankan Gementeraad (Dewan Kota). Dengan demikian sejak waktu itu berlakulah sistem pemerintahan tunggal di kota Medan. Beberapa waktu setelah pengakuan kedaulatan, dinyatakanlah bahwa berlakunya ketentuan SOB di kota Medan diakhiri. Dengan demikian, berarti pula bahwa dengan sendirinya Peraturan No. 44 dari Hoofd Bestuurdienst di Medan tanggal 19 Nopember 1947 itu sudah tidak berlaku lagi. Meskipun sesudah pengakuan kedaulatan telah aman dan berlakunya SOB juga sudah dicabut, namun untuk membentuk sebuah dewan perwakilan rakyat sebagai lembaga politik dalam pemerintahan kota, sebagai pengganti "Gementeraad" untuk Kota Besar Medan sebagaimana diharapkan oleh UU No. 22/1948 belum terwujud. Untuk kesekian kalinya kota Medan mengalami pemerintahan tunggal, yaitu berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 9 Pebruari 1954 No. Des. 9/2/33, dinyatakan bahwa walikota Medan dalam menyelenggarakan pemerintahan juga menjalankan tugas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang belum dibentuk. Keadaan ini berlangsung sampai keluarnya UU No. 14 tahun 1956. Pembentukan DPR Daerah Peralihan menurut UU No. 14 tahun 1956 yang pelaksanaannya diatur menurut Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1956, telah diselesaikan di kota Medan. Dan pada tanggal 9 Januari 1957 diresmikanlah pe1antikan DPR Daerah Peralihan Kota Besar Medan dengan anggotanya sebanyak 25 orang. Dalam UU No. 8 tahun 1958 nama Kota Besar Medan diganti dengan Kotapraja Medan. Sejak dibentuknya DPR Derah Peralihan untuk Kotapraja Medan tahun 1957 itulah partai-partai politik mu1ai mengambil peranan da1am perkembangan kota Medan. Dalam rangka pembentukan Panitia Persiapan yang akan melakukan perwujudan DPR Daerah Peralihan Kotapraja Medan, dengan mengambil tempat di Kantor Balai Kota oleh Walikota Medan H. Moeda Siregar (Walikota sebelumnya adalah AM. Djalaluddin sebagai pengganti Mr. Djaidin Purba) telah diadakan rapat dengan wakil-wakil dari partai-partai politik yang ada, yaitu Masyumi, PNI, PKI, Parkindo, NU, clan PSI. Dalam rapat tersebut oleh walikota telah diminta, agar selambat-lambatnya tanggal 5 September 1956, partai-partai tersebut telah dapat memasukkan nama dua orang calonnya yang akan duduk dalam Panitia Persiapan. Anggota-anggota Panitia Persiapan Pembentukan DPR Daerah Peralihan yang disyahkan terdiri dari : Zaini Thahir (Masyumi) Wakidi Notowasito (PNI) S. Darsono (PKI) V. Hutabarat (Parkindo) Loeat Harahap gelar Tengkoe Oesman (NU) M. Djunid Siregar (PSI) Pada waktu itu jumlah kursi untuk DPR Dp Kotapraja Medan secara konkrit belum dapat dipastikan. Menurut kawat Menteri Dalam Negeri tanggal 14 Agustus 1956, pembagian kursi-kursi itu diatur menurut perimbangan penduduk, yaitu setiap 10.000 penduduk mendapat seorang wakil. Dalam hubungan ini pada tanggal 30 Agustus 1956 partai-partai tersebut mengeluarkan sebuah pernyataan, menuntut supaya untuk DPR Dp yang akan dibentuk dapat diberikan sejumlah 30 kursi, yaitu menurut jum1ah maksimum yang ditentukan oleh UU. Namun akhirnya ditetapkan bahwa jum1ah kursi seluruhnya 25 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
dalam DPR Dp Kotapraja Medan sebanyak 25 kursi. Nama-nama yang terpilih menduduki kursi-kursi DPR Dp tersebut adalah sebagai berikut : 1. Zaini Thahir (Masyumi) 2. Abdul Wahab Siregar sda 3. Mr. Tagor Ginagan Harahap sda 4. Tgk. Hasan Lho' Kadju sda 5. Ahmad Djadi Nasution sda 6. H. Idris Lutfie sda 7. M. Sahardji sda 8. Bahrum Sa1eh Nst. sda 9. Asiah Lubis sda 10. Abdullah Ali Lubis sda 11. Haji Sajuti Nur sda 12. Zainuddin Kasry (PNI) 13. Ridwan Ahmad Nst. sda 14. Wakidi Notowasito sda 15. Sutinah Kamdi sda 16. Kotjik alias M. Said Nst. sda 17. Anwar Djambak (PKI) 18. Sudirman sda 19. VictorH. (Parkindo) 20. Karel Hutapea sda 21. H. Amiruddin (NU) 22. M. Djunid Siregar (PSI) 23. Lie Tjik le (Baperki) 24. M. Noerdin (PPPRI) 25. M. Alwi St. Sinaro (PSII) (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959: 179) Dari hasil pemilihan tersebut di atas tampak jelas mayoritas kursi dan suara berada pada partai Masyumi. Seperti telah disinggung dalam uraian tentang situasi sosial kota-kota di Indonesia dalam pertumbuhannya, kota Medan sebagai salah satu kota di Indonesia juga tidak terlepas dari pola perkembangan yang demikian. Kota, seperti juga halnya desa, adalah suatu konsentrasi dari kelompok manusia di dalam suatu daerah yang bertujuan membina hubungan antar kelompok. Hubungan seperti itu adalah penting untuk aktivitas sosial tertentu di kota yang memerlukan kerja sama yang tetap dari anggota-anggotanya. Aktivitas tersebut misalnya di bidang industri, perdagangan, administrasi dalam berbagai aspek, bidang pendidikan, penyebaran informasi dan sebagainya. Sedemikian intensif dan ekstensifnya kegiatan sosial itu dilaksanakan, sehingga masyarakat kota mempunyai karakter yang berbeda dengan masyarakat desa. Kegiatan yang semakin intensif dan ekstensif dalam perdagangan dan perindustrian di kota Medan telah menampilkan daya tarik bagi penduduk desa untuk mengadu untung ke tengah-tengah kegiatan kota, terutama di bidang perburuhan, perdagangan dan sebagainya. Keadaan demikian sebenarnya suatu hal yang tak dapat dielakkan, walaupun jika ditinjau dari segi yang lebih luas merupakan suatu gejala yang 26 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
tidak menyenangkan, karena akan menimbulkan urbanisasi yang berakibat pemadatan penduduk di kota. Di lingkungan penduduk bangsa Indonesia (pada masa ita namanya golongan Bumiputera) terjadi pemisahan lingkungan, yaitu sebagian dinamakan penduduk "gemeente" dan yang sebagian lainnya dinamakan "penduduk kerajaan". Pada umumnya, sebagaimana halnya dengan penduduk bangsa Eropa dan penduduk bangsa Timur Asing lainnya selaku penduduk pendatang di kota ini, maka juga penduduk Bumiputera baik yang berdiam di dalam lingkungan gemeente maupun yang termasuk dalam wilayah kerajaan, mempunyai kepentingan yang sama. Mereka sama-sama berjuang untuk hidup di tengah-tengah kegiatan kota Medan yang mulai berkembang itu, baik di lapangan perburuhan, perdagangan, dan sebagainya. Oleh karena adanya kepentingan yang bersamaan ini, maka dalam lingkungan kehidupan kemasyarakatan bangsa Indonesia nampak pula ada persamaannya, meskipun mereka telah dipisahkan oleh batas-batas kependudukan yang terbagi dua. Hanya yang agak jelas kelihatan dalam garis pemisahan ialah dalam hal kewajiban membayar iuran negara (belasting). "Bagi penduduk Bumiputera yang berdiam di wilayah gemeente hanya dikenakan be1asting saja, sedangkan bagi penduduk Bumiputera yang berdiam di daerah kerajaan, selain mereka harus mebayar belasting, juga diwajibkan membayar uang ganti kerja kerahan negeri, yaitu membayar uang rodi, yang pada waktu itu besarnya f 6,-" (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959:73-74) Selanjutnya, apabil kita membicarakan segi-segi kemasyarakatan pada zaman kolonial Belanda tersebut, kita melihat adanya pengelompokan-pengelompokan, baik dari segi politis, sosial, maupun ekonomis. Hal ini terlihat dari uraian-uraian terdahulu. Untuk jelasnya, pengelompokan-pengelompokan itu dapat diperinci sebagai berikut : a. Daerah golongan Eropa (Eurepeese Wijk), yaitu daerah perkampungan yang khusus menjadi tempat kediaman orang Eropa saja. Daerah ini sama sekali tidak boleh didiami oleh penduduk golongan lainnya. Pembagian ini bukan hanya mengenai perkampungan tempat berdiam, tetapi juga berkenaan dengan tempat kegiatan dalam kehidupan kemasyarakatan. Baik kehidupan sosial maupun ekonomi mempunyai garis-garis pemisah tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kehendak politik pemerintah kolonial Belanda. b. Daerah golongan Timur Asing, yang lebih terkenal dengan "Chinesee Wijk" karena didiami hampir seluruhnya oleh golongan keturunan Cina. Mereka mendiami daerah-daerah yang menjadi tempat kegiatan perdagangan, karena mereka memang hampir seluruhnya terdiri dari para pedagang. c. Daerah perkampungan Bumiputera, yang letaknya terpisah dari kedua dari di atas. Dapat dikatakan bahwa letak perkampungan Bumiputera berada di pinggir-pinggir kota, meskipun di sana sini sebagian kecil berhampiran dengan daerah golongan Timur Asing. Dengan adanya pembagian daerah-daerah tersebut, maka kelihatanlah perbedaanperbedaan suasana lingkungan yang menyolok antara ketiga tempat tersebut. Di wilayah yang dinamakan Europeese Wijk, selain adanya kebersihan, keindahan dan keteraturan, juga terdapat ketenangan yang tidak ada di daerah perdagangan. Di daerah perdagangan (Chinesee Wijk) suasananya sangat ribut dan ramai dengan segala kesibukan lalu lintas dan perniagaan. Sedangkan di daerah perkampungan Bumiputera, keadaannya jauh ketinggalan dari kedua daerah tersebut di atas. 27 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Sebagai suatu keadaan yang masih tertinggal sampai sekarang adalah adanya pengelompokan golongan keturunan Cina yang bersifat eksklusif. Mereka masih tinggal mengelompok dengan golongannya sendiri dan bersifat tertutup. Akibat dari adanya kebijaksanaan politik kolonial Belanda tersebut. Lebih jauh telah menimbulkan pula lapisan-lapisan masyarakat (stratifikasi sosial). Golongan Eropa merupakan lapisan masyarakat yang paling tinggi. Golongan ini mempunyai kedudukan tinggi karena mempunyai kekuasaan, ilmu, dan kekayaan. Kemudian lapisan menengah tinggi adalah golongan bangsawan, yang merupakan keturunan/keluarga kesultanan yang tinggal di istana. Mereka juga memiliki kekuasaan dan kekayaan. Lapisan menengah rendah adalah golongan pedagang, yang merupakan golongan keturunan Cina dan golongan pegawai yang merupakan golongan pribumi. Kemudian lapisan sosial yang paling rendah ialah rakyat biasa yang merupakan golongan bumiputera. Mereka ini terdiri dari buruh-buruh perkebunan dan petani. Struktur sosial demikian berlangsung terus sampai pendudukan tentara Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang, status sosial golongan Eropa dan golongan bangsawan menjadi merosot ke bawah. Kemudian status golongan pribumi, terutama dari golongan pemuda, pegawai, dan guru menjadi naik. Golongan yang terakhir ini mendapat kesempatan menjadi maju selama pendudukan tentara Jepang. Tenaga mereka umumnya dipakai oleh pemerintahan militer Jepang. Bagi golongan pemuda, mereka mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan militer yang selama penjajahan Belanda tidak pernah mereka peroleh. 4.3. Pertumbuhan Perkampungan Pada awal Medan menjadi ibukota Keresidenan Sumatera Timur, terdapat perkampungan asli yang agak besar, yaitu : 1. Kampung Petisah Ulu 2. Kampung Petisah Ilir 3. Kampung Kesawan 4. Kampung Sei Rengas. Kampung-kampung tersebut dikepalai oleh seorang Kepala Kampung, di bawah Controleur Beneden Deli, sebagai suatu aparat di bawah Asistent Resident van Deli en serdang. Beberapa lama kemudian kampung-kampung itu tinggal menjadi 3 buah karena disatukan. Petisah Ulu dan Ilir menjadi satu kampung bernama Kampung Petisah dibawah seorang Penghulu. Demikianlah, kota Medan berkembang dari tiga kampung yang asli. Kota Medan terus-menerus mengalami perubahan sehingga di sekitarnya lahir pula perkampungan-perkampungan baru seperti Kampung Aur dan Kampung Keling. Jika di atas tadi telah disebutkan kampung-kampung yang dimasukkan ke dalam wilayah Gemeente Medan, maka di samping itu ada pula kampung-kampung lain di Medan ini yang telah berdiri tetapi dimasukkan ke dalam wilayah Zelfbestuur Deli, seperti misalnya "Kampung Kota Maksum, Kampung Sungai Mati, Kampung Baru, Kampung Sungai Kerah, dan lain-lain." (Djawatan Penerangan Kotaradja I Medan, 1959:73). Berdasarkan keadaan yang demikian, maka terdapat dua garis pembagian yang tegas di wilayah kota Medan, yaitu antara garis batas yang menjadi daerah Gemeente Medan dan garis batas yang menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Deli. Pada masing28 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
masing daerah tersebut telah ada ketentuan-ketentuan hak dan kekuasaannya, sesuai menurnt perjanjian-perjanjian yang telah dijelmakan antara Kesultanan Deli dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda. Sesudah kekuasaan RI dipulihkan kembali, sejak awal tahun 50-an pertumbuhan kota Medan kelihatan semakin hari semakin pesat. Berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Utara tanggal I Nopember 1952 No. 688/II/PSU daerah Kota Besar Medan dibagi dalam 4 kecamatan, yaitu : 1. Kecamatan Medan 2. Kecamatan Medan Barat 3. KecamatanMedan Timur 4. Kecamatan Medan Baru Keempat kecamatan tersebut masing-masing dikepalai oleh seorang Asisten Wedana. Setelah adanya reorganisasi daerah-daerah kecamatan, maka terdapatlah susunan kampung-kampung (Daerah Kepenghuluan) di dalam masing-masing kecamatan itu sebagai berikut : 1. Kecamatan Medan : a. Sukaramai b. Kota Maksum I c. Kota Maksurn II d. Pasar Baru e. Pandau Hulu f. Sungai Rengas 2. Kecamatan Medan Timur : a. Pulau Berayan Timur b. Gelugur darat c. Kampung Durian d. Sidodadi e. Gang Buntu f. Sungai Kerah Hulu g. Sungai Kerah Hilir h. Pandau Hilir 3. Kecamatan Medan Barat : a. Pulau Berayan Pekan b. Gelugur Kota c. Silalas d. Sungai Agul e. Sungai Putih f. Sungai Sikambing g. Sekip h. Petisah i. Kesawan 4. Kecamatan Medan Barat : a. Kampung Jati / Kampung Aur b. J1. Kalkun / Kampung Madras c. Petisah Hulu / Darat d. Padang Bulan 29 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
e. f. g. h.
Kampung Babura Kampung Hamdan Sungai Mati / Sukaraja Kampung Baru Kampung-kampung tersebut masing-masing dikepalai oleh seorang penghulu yang dipilih oleh penduduk kampung yang bersangkutan. Dalam pekerjaannya seharihari, penghulu dibantu pula oleh beberapa orang wakil penghulu beserta kepala-kepala lorong/kepala-kepala blok. Demikianlah situasi/perkembangan perkampungan di kota Medan sejak menjelang dibentuknya Gemeente Medan hingga Medan ditetapkan menjadi Kota Besar. Semenjak terjadinya perluasan kota, maka dengan sendirinya kampung-kampung tersebut secara cepat sekali mengalami perluasan sejalan dengan pertambahan penduduk yang sangat pesat. Mengenai perbandingan jumlah penduduk dapat diperoleh catatan sebagai berikut: "Kalau di masa sebelum perang penduduk yang berdiam di dalam Gemeente Medan tercatat hanya sebesar 80.000 jiwa, maka Kota Besar Medan zaman penyerahan kedaulatan ditaksir telah berpenduduk lebih kurang 500.000 jiwa." (Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan, 1959: 105) Sejalan dengan itu di sekeliling kota Medan timbul pula perkampungan-perkampungan baru. BAB V KESIMPULAN Dari uraian-uraian secara kronologis perkembangan kota Medan dari tahun 19091951 (ditetapkannya menjadi Kota Besar) dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perjanjian antara Sultan Mahmud Perkasa Alam dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 22 agustus 1862, yang lebih terkenal dengan "Acte van Verband', beserta dua perjanjian tambahan berikutnya adalah merupakan asal-usul daerah Kerajaan Deli diperkenalkan dengan eksploitasi penjajahan. Karena setelah itulah dibuat persetujuan antara Sultan Mahmud dengan J. Nienhuys yang membuka kesempatan bagi orang-orang Belanda untuk membuka perkebunan tembakau di daerah ini. Apalagi dengan adanya ketentuan dalam perjanjian tambahan tersebut menyatakan bahwa tanah-tanah tidak akan diserahkan kepada orang-orang Eropa dan orang-orang asing lainnya, sehingga hal itu mengakibatkan posisi pihak Hindia Belanda untuk menguasai tanah-tanah di daerah kekuasaan Kesultanan Deli semakin kuat. 2. Dengan pembukaan perkebunan-perkebunan di daerah Sumatera Timur, Medan yang semula hanya merupakan tempat tinggal dan perkampungan yang sederhana akhirnya menjadi berkembang. Artinya Medan sebagai suatu bentuk komunitas yang sederhana lalu berubah menjadi suatu tempat yang serba kompleks. Medan telah berubah menjadi pusat perekonomian. 3. Pada hakekatnya, terbentuknya Gemeente Medan adalah untuk memperjelas garis pemisah antara kekuasaan Zelfbestuurde Deli di satu pihak dengan Gouvernement Hindia Belanda di pihak lain. Dengan kata 30 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
lain, bahwa garis pemisah dimaksudkan adalah merupakan suatu "pemberian hak yang lebih nyata" untuk pemerintah Hindia Belanda menjalankan kehendak dan kekuasaannya menurut perjanjian-perjanjian yang telah dijelaskan mulai dari Acte van Verband hingga sampai kepada "Politik Kontrak". 4. Dalam perkembangannya politik dan pemerintahan Gemeente Medan, pemeritah Hindia Belanda telah memperkenalkan semacam Dewan Perwakilan yang anggota-anggotanya terdiri dari berbagai golongan, yaitu golongan Eropa, Bumiputera dan Timur Asing, yang disebut dengan Gemeenteraad. Namun melihat perbandingan jumah anggota dari masingmasing golongan serta sistem pengangkatan anggota dewan tersebut, sesungguhnya sistem politik/pemerintahan yang demikian itu hanya memperkuat kedudukan pemerintahan kolonial Belanda saja. 5. Adanya politik kolonial Belanda yang memisahkan kelompok-kelompok penduduk telah berakibat timbulnya kelompok-kelompok masyarakat yang masing-masing mempunyai tempat tinggal secara terpisah-pisah yang serba eksklusif, seperti golongan Eropa dan golongan Cina. Hal itu merupakan suatu kenyataan yang masih kelihatan hingga sekarang, yang merupakan warisan zaman tersebut, ialah adanya kelompok-kelompok golongan keturunan Cina yang masih hidup serba eksklusif Mereka relatif sulit untuk berbaur dengan masyarakat di luar golongannya.
DAFTAR BACAAN A., A. Manteau S. 1958, The Indonesian Town: Studies in Urban Sociology, The Hague: W. van Hoeve Ltd. Anderson, Jhon, 1971, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823, London : Oxford University Press. Biro Sejarah Prima 1976, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan : Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area. Husni, TM. Lah 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Penduduk Melayu Pesisir Deli Sumatera Timur 1912-1950, Medan: BP. Husni. Kantor Pariwisata Daerah Kotamadya Medan, 1974, Obyek-obyek Pariwisata Kotamadya Medan. Kartodirjo, Sartono (Ed.), 1977, Masyarakat Kuno & Kelompok-Kelompok Sosial, Jakarta : Bhratara Karya Aksara. Koesoemahatmadja, RDH, 1978, Peranan Kota Dalam Pembangunan, Bandung : Binacipta. Meuraxa, Dada, 1975, Sejarah Hari Jadinya Kota Medan 1 Juli 1590, Medan. Sastrawan. 31 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978, Sejarah Kebangkitan Nasional Sumut. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977, Sejarah Daerah Sumatera Utara. Said, Mohammad, 1976, Pertumbuhan dan Perkembangan Pers di Sumatera Utara, Medan : PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada. ------------------, 1977, Suatu Zaman Gelap di Deli : Koeli Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita dan Kemarahannya, Medan : Waspada. Sinar, T. Luckman, ---- Garis-Garis Besar Perkembangan Kuta Menjadi Kota Besar Medan (be1um diterbitkan) ------------------, 1970 Sari Sejarah Serdang, Medan (tanpa penerbit) Soekisno, 1980, Perkembangan Pemerintah di Daerah, Yogyakarta : Liberty. Sunarko, 1955, Susunan Negara Kita : Sejarah dan Pertumbuhan Pemerintahan Daerah, Jakarta: Jambatan. Suti, Bayo, 1979, Medan Menuju Kota Metropolitan, Medan : Yayasan Potensi Pengembangan Daerah Medan. Thaib, Roestam dkk., 1959, 50 Tahun Kotaradja Medan, Djawatan Penerangan Kotapradja I Medan.
32 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara