Page |1 PERILAKU PEGAWAI DALAM PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN PADA BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU KOTA BANDUNG Kurhayadi Dosen STIA Bandung ABSTRACT Abstract THE EMPLOYEE BEHAVIOR IN SERVING THE BUILDING PERMIT AND LICENCE IN BANDUNG CITY INTEGRATED SERVICE BOARD The purpose of the study is to find out the problem of employee behavior in serving building permission and lisence in Bandung City .The behavior aspect is very important as a part of the public service process. Customer will judge the public service quality by how he or she being treated by the public service employees attitude. The institution who responsible in such service is the Board of Integrated Service System on Building Permits and Lisence Bandung City. For the shake of the scientific development , it is hoped that the new model of the public server behavior concept will be discovered. The working hypothesis in the study is: "The behavior of employees in the building permits and ilsence will be formulated by the aspects of individual, organizational, and psychological." The hypothesis is built , based on theory of Gibson, who claimed that the behavior of employees established under inidividu aspects, psychological and organizational. The research method used in the study is a qualitative descriptive methods, and the data collection method is done by observation, in-depth interviews, and documentation study The results of the study shows that the behavior of employees of the Building Permits and Lisence Bandung City Board has not satisfied the customer yet. There are several reasons of the gap such as: Lack of the ability, especially the technical competence, lack of the mentally model of excellence service paradigm, gap between the self interest and organizational interrest, lack of leader supervision . The employees violate the work ethic, attitude and work too bureaucratic. They are very arrogant, they feel that the transparency. Keywords: Employee Behavior, Individual, psychological, organizational, public service. A. PENDAHULUAN Sejalan dengan semakin berkembangnya kehidupan demokrasi di Indonesia, maka wacana tentang pelayanan publik (public service) semakin mengemuka dan menjadi isu strategis. Meningkatnya kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas tidak dapat dihindari, karena pelayanan publik merupakan hak mendasar setiap warga
negara yang harus dipenuhi oleh negara. Pelayanan publik merupakan salah satu dari bagian pemenuhan kesejahteraan masyarakat, maka secara otomatis menjadi bagian dalam pemenuhan hakhak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara.Hal ini dilakukan karena pelayanan publik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyatnya.
Page |2 Pemerintah Kota Bandung sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah berusaha untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat Kota Bandung dalam berbagai aspek yang menyangkut kepentingan publik.Salah satu aspek pelayanan yang diberikan adalah pelayanan administrasi perizinan.Tugas penyelenggaraan pelayanan administrasi perizinan tersebut dilakukan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung.Peningkatan kualitas pelayanan publik merupakan wujud tanggung jawab moral Pemerintah Kota Bandung untuk memelihara kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat.Oleh karena itu, masyarakat berhak menerima pelayanan terbaik, yakni mudah, murah, cepat, tranparan, adil dan pasti. Aspek yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik antara lain adalah adanya sumber daya manusia yang professional; yaitu yang mempunyai kemampuan dan keterampilan, tanggung jawab akan pekerjaannya, serta mempunyai etika dan moral dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kualitas pelayanan pada organisasi pemerintah banyak ditentukan oleh aspek manusianya dalam hal ini perilaku para pegawainya. Sebagai pelayan masyarakat, pegawai pemerintah atau birokrat harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Ketidakmampuan mereka dalam memenuhi harapan masyarakat, akan berujung pada semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Penelitian ini bertitik tolak dari adanya masalah yaitu banyaknya keluhan-keluhan yang dilontarkan masyarakat tentang perilaku pegawai yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Bandung. Keluhan-keluhan masyarakat terhadap perilaku pegawai Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan merupakan
kondisi empirik bahwa para pegawai belum menampilkan perilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat.Keluhan-keluhan tersebut antara lain adalah para pegawai sering bertindak diskriminatif dan tidak adil, tidak transparan, kurang responsif dan cenderung acuh, birokratis, arogan dan merasa dibutuhkan, sering bertindak sebagai calo atau perantara dan cenderung koruptif. Pada dasarnya perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bandung dipengaruhi oleh aspek-aspek yang membentuknya. B. TINJAUAN KONSEPTUAL
TEORITIS
DAN
Untuk memahami perilaku pegawai dalam suatu organisasi bukanlah hal yang mudah.Upaya untuk memodifikasi, membentuk, ataupun merekonstruksi perilaku, masih menjadi persoalan yang sering diperdebatkan di kalangan pakar ilmu perilaku. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Winardi (2004 : 197198) yang menjelaskan bahwa : disetujui secara universal yang dapat digunakan para manajer untuk mengubah kepribadian, sikap, persepsi, atau polaLebih lanjut Winardi menjelaskan -pola perilaku manusia senantiasa mengalami perubahan.Perilaku manusia terlampau kompleks untuk diterangkan oleh sebuah generalisasi yang dapat diterapkan terhadap Berdasarkan pendapat tersebut bahwa tidak ada suatu metode yang pasti untuk memahami perilaku individu dalam suatu organisasi, karena perilaku seseorang dalam suatu organisasi sangat kompleks dan sering berubah-ubah, sehingga tidak mudah untuk digeneralisasi dan diterapkan terhadap semua perilaku manusia.
Page |3 merupakan fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan l berbeda dengan perilaku orang lainnya, karena perilaku seseorang ditentukan oleh karakteristik individunya dengan lingkungan yang mempengaruhinya.Setiap orang mempunyai karakteristik yang berbedabeda, dan mempunyai lingkungan yang berbeda pula.Oleh karena itu sangat sulit untuk membuat suatu generalisasi tentang perilaku seseorang untuk perilaku orang lainnya. Perilaku (P) merupakan Fungsi (F) dari Individu (I) dan Lingkungan atau P = F ( I, L ). Menurut Melcher (1990:15) faktor yang mempengaruhi pola perilaku individu dalam organisasi, faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga variabel utama, yaitu variabel struktural, gaya kepemimpinan dan Menurut Robbins (2008:84) ada tiga variabel yang membentuk perilaku individu dalam organisasi, yaitu kemampuan, karakteristik biografis dan pembelajaran.Aspek kemampuan meliputi kemampuan fisik dan kemampuan intelektual. Karakteristik biografis berkaitan dengan usia, gender, ras dan masa jabatan seseorang dalam suatu organisasi. Sedangkan pembelajaran merupakan setiap adanya perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Menurut Ivancevich, et al. (2007:83), merupakan interaksi kompleks kepribadian, kemampuan
dari dan
lanjut Ivancevich menyebutkan bahwa dilakukan seseorang dalam lingkungan Seperti berbicara dengan pimpinan, mendengarkan rekan kerja, mempelajari software komputer dan sebagainya merupakan perilaku kerja. Untuk mengkaji aspek-aspek yang membentuk perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan, sebagai acuan dalam penelitian ini
digunakan teori dari Gibson, et al. (1994:52), yang menyatakan bahwa aku pegawai dalam suatu organisasi dibentuk oleh aspek individu, aspek psikologis dan aspek kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis.Kemampuan dan keterampilan meliputi mental dan fisik.Latar belakang meliputi keluarga, tingkat sosial, dan pengalaman.Demografis meliputi umur, asal usul dan jenis kelamin. Aspek psikologis, meliputi : persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Aspek keorganisasian meliputi : sumber daya, kepemimpinan, imbal jasa, struktur dan desain pekerjaan. Perilaku merupakan fungsi dari aspek individu, organisasi dan psikologis. C. METODOLOGI PENELITIAN Dalam sebuah proses penelitian, karakteristik obyek menentukan pilihan metode penelitian. Karena tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memahami makna atau verstehen tentang perilaku pegawai, maka metode yang digunakan adalah metode kualitatif Dengan metode kualitatif ingin diperoleh pemahaman yang lebih mendalam serta menyeluruh tentang perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bandung.Alasan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif adalah untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bandung.Peneliti melakukan kontak langsung dengan informan sehingga dapat menghasilkan jawaban yang jelas dan mendalam tentang obyek yang diteliti. Penggunaan pendekatan kualitatif memberikan sebuah gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi pemahaman informan atas fokus penelitian yang terjadi secara natural atau alamiah. Dalam pendekatan kualitatif peneliti secara langsung terlibat di lokasi penelitian melalui pengamatan peran serta (participant
Page |4 observation). Dengan demikian peneliti sekaligus juga bertindak sebagai instrumen penelitian yang diharapkan dapat mengungkapkan makna dari apa yang terjadi dibalik realitas dan fenomena sosial tersebut secara lebih mendalam. Dalam rangka pengumpulan data, peneliti melakukan wawancara terhadap sejumlah informan , yaitu orang yang dapat memberikan informasi sesuai dengan kedudukan atau jabatannya dengan permasalahan yang sedang diteliti. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah pegawai BPPT yang terlibat dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan masyarakat yang mengajukan permohonan IMB.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan, wawancara, dan penelaahan dokumen, data audio visual, membaca berbagai literatur dan jurnal. Pada penelitian ini pengujian keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi, dengan cara melakukan check dan recheck serta crosscheck terhadapdata yang diperoleh. Melalui teknik triangulasi ini, diharapkan fakta, data, dan informasi yang ada dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi persyaratan kesahihan dan keandalan. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara simultan dan terus menerus, berulang-ulangsetiap pengamatan dan wawancara dilakukan secara bersamaan dengan aktivitas pengumpulan data.Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data yang meliputi : (1) reduksi data , (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan ataupun verifikasi. D. PEMBAHASAN Perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan bangunan dibentuk oleh aspek-aspek individu, psikologis dan aspek organisasi. 1. Aspek Individu Salah satu aspek penting yang dapat membentuk perilaku pegawai adalah
aspek individu.Aspek individu yang meliputi kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis, serta etika dan moral mempunyai kontribusi yang bervariasi terhadap pembentukan perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kemampuan dan keterampilan pegawai mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam membentuk perilaku pegawai. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan bahwa sebagian pegawai kurang memahami berbagai peraturan yang berkaitan dengan IMB. Kurangnya pemahaman para pegawai ini antara lain disebabkan banyaknya peraturan yang berkaitan dengan IMB, disamping itu juga antara peraturan yang satu dengan yang lainnya kadang-kadang tidak sejalan.Kemudian juga Peraturan Daerahnya masih baru dan belum ada Peraturan Walikotanya.Hal ini jelas menyulitkan pegawai dalam melaksanakan tugas di lapangan.Di samping itu juga kurangnya kemampuan dan ketrampilan pegawai terutama dalam kemampuan bersifat teknis yang berkaitan dengan tata ruang, konstruksi bangunan dan pertanahan.Hal ini menyebabkan BPPT selalu bergantung kepada para pegawai instansi terkait untuk dapat memberikan rekomendasi teknis terbitnya IMB. Latar belakang pegawai dapat dilihat dari latar belakang keluarga, tingkat sosial dan pengalaman para pegawai. Berdasarkan hasil penelitian hanya pengalaman yang mempunyai kontribusi yang besar terhadap pembentukan perilaku pegawai. Sedangkan latar belakang keluarga dan tingkat sosial pegawai tidak berpengaruh banyak dalam membentuk perilaku pegawai dalam pelayanan Izin mendirikan Bangunan di Kota Bandung. Demografis merupakan salah satu faktor dari aspek individu yang meliputi umur, asal-usul dan jenis kelamin.Faktor demografis dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku pegawai dalam pelayanan Izin mendirikan Bangunan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa usia,
Page |5 asal-usul pegawai dan jenis kelamin pegawai menunjukkan kontribusi yang tidak besar terhadap pembentukan perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bandung. Tingkat produktivitas pegawai yang tua dengan pegawai yang lebih muda tidak menunnjukkan tingkat perbedaan yang berarti.Diakui bahwa pegawai yang muda lebih dinamis dan lebih kreatif jika dibandingkan dengan pegawai yang lebih tua.Tingkat absensi antara pegawai yang lebih tua dengan pegawai yang lebih muda sesungguhnya tidak ada perbedaan yang berarti, tetapi pegawai yang lebih muda sering tidak ada di tempat pada waktu jam kerja, sedangkan pegawai yang tua lebih banyak berada di tempat.Asal usul pegawai berkaitan dengan ras atau etnis pegawai berasal dari mana. Berdasarkan hasil penelitian bahwa aspek etnis pegawai BPPT yang menangani Izin Mendirikan Bangunan tidaklah begitu banyak berpengaruh terhadap perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya, karena sebagian besar pegawai berasal dari etnis yang sama, yaitu Suku Sunda, disamping itu semua pekerjaan dalam pelayanan penerbitan IMB sudah mempunyai standar tertentu. Gender merupakan salah satu faktor dari aspek individu yang dapat mempengaruhi perilaku kerja pegawai, walaupun masalah gender ini sering hanya merupakan wacana daripada kenyataan. Tetapi dalam hal-hal tertentu seringkali masalah gender ini mengemuka sebagai suatu penyebab yang dapat menimbulkan perbedaanperbedaan dalam berperilaku. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti pelayanan yang diberikan oleh pegawai laki-laki maupun pegawai perempuan. Perilaku mereka sama saja baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan fakta tersebut, bahwa antara pegawai laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menunjukkan adanya perbedaan sikap dan perilaku yang berarti dalam bekerja, kecuali karena alasan-alasan lain. Hal ini
juga didukung oleh karena pegawai BPPT yang menangani perizinan sebagian besar adalah pegawai laki-laki. Tetapi memang diakui, bahwa untuk pekerjaanpekerjaan tertentu, misalnya tugas ke luar kota, pegawai perempuan lebih sering menghindar atau menolak, dengan alasan tidak mau meninggalkan keluarga terlalu lama. Jadi perempuan pada umumnya mempunyai beban dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap keluarga jika dibanding dengan laki-laki.Hal ini dimungkinkan karena wanita secara kultur mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap keluarga dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian, faktor lain dari aspek individu menunjukkan bahwa etika dan moral memunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan perilaku pegawai. 2. Aspek Psikologis Aspek psikologis pegawai yang meliputi persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi mempunyai kontribusi yang bervariasi terhadap pembentukan perilaku pegawai dalam pelayanan IMB di Kota Bandung. Persepsi mempunyai pengaruh terhadap pembentukan perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi pegawai BPPT Kota Bandung terhadap paradigma pelayanan IMB pada umumnya tidak banyak mengalami perubahan dari cara pandang lama, seperti mereka merasa dibutuhkan, merasa sebagai pemilik kewenangan, merasa organisasi publik tempat ia bekerja bukan milik rakyat sehingga mereka merasa tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, hal-hal tersebut masih menjadi pola pikir mereka, sehingga perilaku mereka pun tidak banyak mengalami perubahan. Sikap mempunyai pengaruh terhadap pembentukan perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bandung.Sehingga perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan IMB sering
Page |6 ditentukan oleh sikap pegawai.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap pegawai BPPT Kota Bandung sering menpunyai sikap tidak konsisten dalam memberikan pelayanan IMB kepada masyarakat.Sikap tidak konsisten ini karena adanya pengaruh tertentu baik secara internal dari diri pegawai sendiri, dari lingkungan organisasi maupun adanya tekanan-tekanan tertentu yang datang dari luar organisasi. Kepribadian mengidentifikasikan karakteristik seseorang yang bersifat permanen yang menjelaskan perilaku seseorang.Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seseorang misalnya rasa malu, patuh, malas, ambisius, dan setia.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap perilaku pegawai dalam pelayanan IMB di Kota Bandung.Sehingga perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan sering ditentukan oleh kepribadian dari para pegawai tersebut. Pembelajaran merupakan suatu proses terjadinya perubahan dalam perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman, baik melalui pelatihan formal maupun secara kebetulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembelajaran pegawai di BPPT Kota Bandung tidak dapat merubah perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan IMB di Kota Bandung. Perilaku pegawai tidak banyak mengalami perubahan walaupun pegawai sudah mengalami berbagai proses pembelajaran. Pola pikir, sikap dan perilaku mereka masih tetap tidak banyak mengalami perubahan. Motivasi pegawai BPPT dalam memberikan pelayanan IMB masih didominasi oleh faktor kepentingan dan kebutuhan pegawai, bukan karena kewajiban sebagai abdi masyarakat.Sehingga perilaku pegawai banyak ditentukan oleh kepentingan yang bersifat pribadi. Hal ini menyebabkan perilaku pegawai yang tidak transparan, diskriminatif, cenderung koruptif dan munculnya
praktek percaloan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. 3. Aspek Organisasi Aspek organisasi merupakan aspek penting yang dapat membentuk perilaku pegawai.Aspek organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan mempunyai kontribusi yang bervariasi terhadap pembentukan perilaku pegawai.Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kepemimpinan mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap pembentukan perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan. Lemahnya pengawasan oleh pimpinan terhadap perilaku pegawai menyebabkan pegawai cenderung tidak disiplin dan lebih leluasa dalam bertingkah laku. Akibatnya perilaku pegawai dalam melayani Izin Mendirikan Bangunan cenderung tidak transparan, kurang adil, koruptif dan ada yang bertindak sebagai perantara atau calo dalam pembuatan IMB. Imbal jasa atau reward mempunyai kontibusi yang besar terhadap perilaku pegawai. Akibat dari reward yang tidak memadai, para pegawai cenderung untuk mencari penghasilan tambahan dengan mencari berbagai peluang yang bisa dimanfaatkan berkaitan dengan proses pembuatan IMB. Struktur organisasi dan desain pekerjaan merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku pegawai. Pegawai dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya didasarkan kepada struktur organisasi dan desain pekerjaan yang ada. BPPT Kota Bandung sebagai suatu lembaga yang ditugasi mengelola perizinan, dalam struktur organisasi dan desain pekerjaannya tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan rekomendasi teknis atas penataan ruang, bangunan, jasa konstruksi dan pertanahan berupa Keterangan Rencana Kota (KRK),. Rekomendasi teknis kewenangannya berada pada dinas terkait yaitu Dinas Tata Ruang dan Cipta
Page |7 Karya. Karena Peraturan Daerahnya yang mengatur demikian. Sehingga BPPT Kota Bandung sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam memberikan pelayanan IMB tidak dapat bekerja secara optimal, karena kewenangan rekomendasi teknis berada pada instansi lain. Kondisi ini berpengaruh terhadap perilaku para pegawai BPPT dalam memberikan pelayanan IMB di Kota Bandung yang selalu bergantung kepada kinerja instansi terkait. E. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bandung dibentuk oleh aspek individu, aspek psikologis dan aspek organisasi. Aspek individu meliputi kemampuan dan keterampilan, latar belakang, demografis serta etika dan moral mempunyai kontribusi yang bervariasi terhadap pembentukan perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bandung.Kemampuan dan keterampilan serta pengalaman pegawai mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam membentuk perilaku pegawai. Sedangkan latar belakang keluarga, tingkat sosial, umur, asal-usul dan jenis kelamin pegawai menunjukkan kontribusi yang tidak besar terhadap pembentukan perilaku pegawai dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bandung. Kemampuan dan keterampilan pegawai BPPT dalam pelayanan IMB kurang optimal, hal ini disebabkan masih adanya pegawai yang kurang memahami berbagai peraturan yang berkaitan dengan IMB, dan kurangnya kemampuan dan keterampilan pegawai terutama kemampuan bersifat teknis yang berkaitan dengan tata ruang, kontruksi bangunan dan pertanahan. Etika dan moral pegawai merupakan faktor penting yang dapat menentukan perilaku pegawai dalam pelayanan IMB di Kota bandung.
Aspek psikologis, motivasi pegawai mempunyai kontribusi yang besar dalam menentukan perilaku pegawai dalam pelayanan IMB.Pegawai pada umumnya bekerja lebih didasarkan kepada motif tertentu yaitu kebutuhan dan kepentingan pribadi yang lebih besar daripada kepentingan organisasi. Proses pembelajaran baik melalui pengkondisian operan maupun pembelajaran yang diamati tidak dapat merubah persepsi, sikap, dan kepribadian para pegawai, sehingga berdampak kepada perilaku pegawai yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu masih adanya perilaku pegawai yang birokratis, diskriminatif, tidak transparan, tidak adil, arogan, dan merasa dibutuhkan masyarakat. Aspek organisasi, kurang ketatnya pengawasan oleh pimpinan terhadap perilaku para pegawai, sehingga para pegawai lebih leluasa dalam melakukan tindakan transaksional yang cenderung koruptif dan munculnya praktek percaloan dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan. Disamping itu juga BPPT tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan rekomendasi teknis berupa Keterangan Rencana Kota (KRK), sehingga BPPT Kota Bandung tidak dapat bekerja secara optimal. Karena antara kewenangan dan tugas pokok BPPT tidak seimbang, dimana tugas dan fungsi pelayanan izin mendirikan bangunan ada di BPPT, tetapi kewenangan ada pada Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya. DAFTAR PUSTAKA Angelo, Kinicki & Robert Kreitner. 2003. Organizational Behavior Key Concepts, Skills & Best Practices. Boston: Mc. Graw Hill. Brannen, Julia. 2002. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, (cetakan keempat), (Terjemahan, H. & Noorhaidi A. H.). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Creswell, John, W. 1994. Research Design Quantitatif & Qualitatif
Page |8 Approach. London : Sage Publication. Inc. Cushmay, Berry & Derek Lodge. 2002. Organizational Behavior and Design, Perilaku dan Desain Organisasi, Struktur Pekerjaan & Peran-Komunikasi-Motivasi (cetakan ketiga), (Terjemahan, Sularmo Tjiptowardojo). Jakarta : Gramedia. Danandjaja, Andreas A. 1986. Sistem Nilai Manajer Indonesia. Jakarta : PT Pustaka Binaan Pressindo. Dwijanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : Galang Printika. Gibson, Jasmes L., John M. Ivancevich & James H. Donnely. 1994. Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses, Jilid I (edisi kedelapan), (Terjemahan Nunuk Adiarni). Jakarta : Binarupa Aksara. Guba, Egon G.1998. Toward a Methodology of Naturalistic Inquiry in Educational Evaluation. Los Angeles : Center of the Study of Evaluation. UCLA Graduate School of Education. University of California. L.A. Ivancevich, Konopaske, Matteson. 2007, Perilaku dan Manajemen Organisasi, Edisi ketujuh, Alih bahasa : Gina Kania. Jakarta : Erlangga.
Kumorotomo, Wahyudi. 1994. Etika Administrasi Negara (cetakan keempat). Jakarta : Rajawali Press. Luthans, F. 1995. Organizational Behavior. New York : McGraw Hill Book Co. Melcher, Arlyn J. 1990. Struktur dan Proses Organisasi (Terjemahan A. Hasymi Ali). Jakarta : Rineka Cipta. Moleong, Lexi, J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.. Ratminro & Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan, Pengembangan Model Konseptual, Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi, Edisi 12 (Terjemahan Diana Angelica). Jakarta : Salemba Empat. Siagian, 2005. Administrasi Pembangunan. Jakarta : Bumi Aksara. Thoha, Miftah. 2008a. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi (edisi revisi). Jakarta : Kencana.
Page |9 PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN INSENTIF DAN AKSES PERMODALAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI USAHA (STUDI PENGARUH PADA PELAKU USAHA BINAAN BADAN PROMOSI DAN PENGELOLA KETERKAITAN USAHA BPPKU KOTA BANDUNG) Deden Hadi Kushendar Alumnni Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi STIA Bandung Dosen STIA Bandung ABSTRACT The influence of incentive and capital access policy on the economic business growth (Case study on the entrepreuneurs sponsored by the Business Management Promotion Board/BPPKU in Bandung City) The incentive policy implementation is an effort process on transforming policy into a real action. Capital access is the ability and the possibility of the entrepreneurs to have the chance of earning the working capital liability. Economic business growth is the ability of the entrepreneurs measured economically. incentive and capital access policy on the economic business growth of the entrepreuneurs sponsored by (the Business Management Promotion Agency in . The method of the study used is a descripitive quantitative approach, which is expected to give a representative and factual data about the object of the study.. The instrumen used in gathering data consists of the questionaire, documents study .Data is analyzed by thestatistical methods to prove the hypothesis. The conclusion of the research are as follow: 1. The correlation between the incentive policy and the capital accumulation is sufficient; 2. The influence of the incentive policy on the capital accumulation is low; 3. The influence of the capital accesson the economic business growth is sufficient; 4. The influence of the incentive policy implementation and the capital accesssimultaneaously is high. Keywords: The implementation of incentive regulation, the capital access, and the economic growth effort. A. PENDAHULUAN Pola pengelolaan program pada umumnya diarahkan untuk menemukan bentuk yang tepat dalam rangka memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat, juga dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Satu diantaranya adalah yang dikemukakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mengenai pemberian insentif dan akses permodalan pada usaha mikro dan kecil.
Pertumbuhan ekonomi Kota Bandung mengalami kenaikan yang cukup signifikan hal ini terlihat pada tabel berikut: Tabel 1. Perkembangan Indikator PDRB dan LPE Kota Bandung Tahun 2008 2012 Indikator LPE Kota BDG (%) LPE Nasional (%) PDRB (jt Rp.) (harga berlaku) PDRB (jt Rp.) (harga konstan 2000)
2008
2009
2010
2011
2012
8,17
8,34
8,45
8,73
9,4
5,5
4,6
6,1
6,59
6,23
60.44 4,487
70.281, 163
82.00 2,176
97.45 1,902
110.6 69,83 7
26.97 8,909
29.228, 272
31.69 7,282
34.41 5,522
37.70 1,954
P a g e | 10 Sumber:
RPJMD Kota Bandung 2014 (2013:10).
2018,
Pada tabel 1 memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kota Bandung tahun 2012 sebesar 9,4% diatas pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 6,23%. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan dalam mengelola semua sumber daya Kota Bandung oleh Pemerintah Kota Bandung dalam pembangunan sektor ekonomi cukup berhasil. Peranan usaha mikro dan kecil di Kota Bandung diperlihatkan pada tabel berikut: Tabel 2. Jumlah Usaha di Kota Bandung Menurut Skala Usaha dan Lapangan Usaha Tahun 2012 Skala Usaha Mene ngah
Lapangan Usaha
Mikro
Kecil
Pertanian
998
28
2
0
Tambang Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel-Rest. Pengangkutan & Kom. Keuangan, Persewaan & Jasa Persh.
0
0
0
0
5.011
2.011
274
77
153
34
5
3
195
323 71.34 8
75 22.59 7
30
4
5.211
688
9.356
544
307
17
432 99.8 44 10.2 24
9.981
1.087
441
100
11.6 09
Jasa-jasa
14.45 8
2.476
325
35
17.2 94
Total
111.6 28
28.85 2
6.595
924
147. 999
Sumber:
Besa r
Jml 1.02 8 0 7.37 3
Identifikasi UKM di Kota Bandung Tahun 2012, (2013:335).
Pada tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah usaha mikro dan kecil di Kota Bandung adalah 111.628 + 28.852 = 140.480, jikalau dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 2012 sebanyak 2.655.160 jiwa (dalam RPJMD Kota Bandung 2014 2018, 2013:9), maka jumlah usaha mikro dan kecil di Kota Bandung dibandingkan jumlah penduduk Kota Bandung mencapai 5,3%. Hal ini memperlihatkan peranan usaha mikro dan kecil pada pertumbuhan ekonomi Kota Bandung. Kenyataan lain menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka Kota Bandung walaupun mengalami
penurunan yang signifikan dari tahun 2008 sebesar 15,27% ke tahun 2012 sebesar 9,17%, jika dibandingkan dengan provinsi Jawa Barat sebesar 9.08% dan Nasional sebesar 6,14% (RPJMD Kota Bandung Tahun 2014 2018, 2013:17). Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa usaha mikro dan kecil di Kota Bandung yang mencapai 5,3% dari jumlah penduduknya, jika dibandingkan tingkat pengangguran di Kota Bandung, hal ini memperlihatkan adanya masalah penyerapan tenaga kerja oleh usaha mikro dan kecil di Kota Bandung. Data lain memperlihatkan tingkat kemiskinan di Kota Bandung pada tahun 2008 mencapai 379.255 jiwa (15,97%), dan pada tahun 2012 ini mencapai 360.578 jiwa (9,09%) dalam RPJMD Kota Bandung Tahun 2014 2018, (2013:12), hal ini memperlihatkan masih besar persentase kemiskinan, jika dibandingkan dengan jumlah usaha mikro kecil di Kota Bandung, sehingga diindikasikan pelaksanaan kebijakan insentif bagi pelaku usaha mikro dan kecil Kota Bandung masih jauh dari harapan. Permasalahan yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan kebijakan insentif dapat dilihat dari 2 faktor, yaitu 1) faktor internal: masalah klasik dari UMKM yaitu lemah dalam segi permodalan dan segi manajerial (kemampuan manajemen, produksi, pemasaran, dan sumber daya manusia); dan 2) faktor eksternal: masalah yang muncul dari pihak pengembang dan pembina UMKM, misalnya solusi yang diberikan tidak tepat sasaran, tidak adanya monitoring dan program yang tumpang tindih (Primiana, 2009:55). Pemerintah Kota Bandung menyadari dan menyebutkan dalam naskah resmi Pemerintah Kota Bandung pada RPJMD Kota Bandung 2014 2018 (2013:17) bahwa kendala utama usaha mikro dan kecil di Kota Bandung adalah keterbatasan modal dan masih sulitnya mengakses permodalan ke perbankan. Hal ini didukung dengan data yang menunjukkan penyerapan permodalan
P a g e | 11 berupa fasilitas kredit bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Kota Bandung dibandingkan dengan provinsi Jawa Barat pada Bank Umum dan BPR Kota Bandung berdasarkan data yang dikemukakan oleh Bank Indonesia (Kajian Skema Pembiayaan DPE Kota Bandung, 2013:25) hanya sebesar 19,2% pada tahun 2012, ini jelas memperlihatkan masih rendahnya penyerapan akses permodalan oleh usaha mikro dan kecil di Kota Bandung. Harapan dari pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung dalam mengatasi situasi ekonomi sekarang ini, maka Pemerintah Kota Bandung dituntut untuk memberikan akses permodalan yang dapat diakses oleh pelaku usaha, sehingga bisa mempertahankan dan meningkatkan usahanya tersebut. B. TINJAUAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL 1. Implementasi Kebijakan Insentif Manajemen kebijakan publik menurut LAN (2008:15) mendefinisikan sebagai berikut: untuk merencanakan kegiatan formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik dengan memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efisien serta memperhatikan lingkungan internal dan eksternal, dalam rangka mencapai suatu tujuan yang telah Definisi di atas menerangkan bahwa dalam proses kebijakan publik adalah hal yang rumit dan kompleks, karena di dalamnya banyak membutuhkan sumber daya, waktu dan keterlibatan orang, oleh karena itu memerlukan manajemen kebijakan publik. Hal ini yang mendasari dalam penelitian ini bahwa dalam implementasi kebijakan insentif pengelolaan organisasi yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut. Seiring hal tersebut Lembaga Administrasi Negara dalam Tachjan (2006:17) membagi kebijakan publik ke dalam lingkup nasional dan ke dalam
lingkup wilayah/daerah, disetiap lingkup kebijakan publik ada kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis. Implementasi kebijakan publik menurut Sharkansky, Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006:63) mengemukakan bahwa: sebagai salah satu aktivitas dari administrasi publik sebagai suatu institusi, dimaksudkan sebagai salah satu proses kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit administratif atau unitunit birokratik pada berbagai tingkat pemerintahan baik bersifat vertikal maupun horizontal dalam proses Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output) maupun sebagai hasil. Batasan implementasi kebijakan menurut Mater dan Va dalam Widodo (2009:86) dirumuskan sebagai berikut: "Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals (or groups) that are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions. This include both one time efforts to transform decisions into operational terms, as well as continuing efforts to achieve the large and small changes mandated by Definisi tersebut menjelaskan bahwa implementasi kebijakan menuntun tindakan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok) swasta, yang mana diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.Hal ini termasuk semua usaha mentransformasikan kebijakan untuk dapat dioperasionalkan, sebagai usaha lanjutan untuk mencapai yang telah disepakati dalam kebijakan tersebut.Definisi inilah yang menjadi landasan yang dipakai dalam penelitian ini mengenai implementasi kebijakan
P a g e | 12 insentif yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Hal ini didukung berdasarkan dari Widodo (2009:85) yang mengemukakan bahwa: merupakan salah satu tahapan proses dari proses kebijakan publik (public policy process) sekaligus studi yang sangat crucial Hal tersebut jelas bahwa implementasi merupakan satu tahapan proses kebijakan publik dan hal ini menjadi sangat penting karena jikalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan tidak akan bisa diwujudkan. Widodo (2009:88) menyimpulkan mengenai implementasi bahwa: yang melibatkan sejumlah sumber yang termasuk manusia, dana, dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pemerintah maupun Proses tersebut di atas maksudnya dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan. Maka Widodo (2009:88) menyimpulkan bahwa: suatu proses usaha untuk mewujudkan suatu kebijakan yang masih bersifat abstrak ke dalam realita nyata. Pelaksanaan kebijakan merupakan suatu kegiatan untuk menimbulkan hasil, dampak, dan manfaat serta akibat yang dapat Widodo (2009:91) mengidentifikasikan pelaksana kebijakan (policy implementators), antara lain: 1) Dinas, badan, kantor, unit pelaksana teknis (UPT) di lingkungan pemerintah daerah; 2) Sektor swasta; 3) Lembaga swadaya masyarakat (LSM); 4) Komponen masyarakat.
Sehubungan identifikasi pelaksana kebijakan tersebut, maka terkait penelitian ini adalah implementasi kebijakan publik berupa kebijakan insentif yang dilakukan oleh kerjasama antara pemerintah Kota Bandung dengan sektor swasta. Edwards III dan Sharkansky (1978:295) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan publik Communication, Komunikasi menurut Edwards III dalam Agustino (2008:157-158) menentukan pada keberhasilan pencapaian tujuan implementasi kebijakan. Dikemukakan 3 faktor komunikasi yaitu: 1) Transmisi/komunikasi yang baik; 2) Kejelasan; dan 3) Konsistensi. Adapun indikator Sumber daya (Resources) terpenting dalam implementasi kebijakan menurut Edwards III dalam Agustino (2008:151152), terdiri dari: 1) Staf; 2) Informasi; 3) Wewenang; 4) Fasilitas. Faktor yang harus diperhatikan dalam disposisi (dispositions) menurut Edwards III dalam Agustino (2008:152-153) adalah: 1) Komitmen Pelaksana; 2) Penghargaan. Dalam struktur birokrasi (Bureaucratic Structure) menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat 2 karakteristik utama dari birokrasi yakni: 1) Standard Operational Prosedure (SOP) dan 2) fragmentasi. Empat faktor menurut Edwards III tersebut menjadi dimensi dan indikator implementasi kebijakan insentif yang kemudian menjadi fokus dalam penelitian ini. Bentuk insentif yang dikemukakan oleh Luthans (2006:153) mengenai sistem penghargaan (reward) atau insentif adalah: anisasi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda meliputi uang (gaji, bonus), penghargaan/insentif, dan benefit.Sistem penghargaan paling
P a g e | 13 Hal tersebut yang dikemukakan mengenai sistem penghargaan seperti bentuk insentif kepada pelaku usaha jelas memegang peranan penting bagi perkembangan negara Indonesia yang ingin menumbuhkembangkan kewirausahaan. Insentif adalah suatu tindakan pemberian motivasi/dorongan bagi individu/kelompok dalam bentuk pemberian fasilitas, baik finansial/non finansial yang bertujuan untuk mensejahterakan (welfare) individu/kelompok, insentif dapat berupa: 1) Finansial, yaitu pemberian pengurangan pembayaran kewajiban berupa pajak, dan retribusi lainnya; 2) Non Finansial, yaitu pemberian kemudahan, fasilitasi, kebijakan, intermediasi dan lainnya yang dapat memberikan keuntungan bagi yang diberi insentif. (DPE Kota Bandung, 2010:8-9). 2. Akses Permodalan Modal didefinisikan oleh (2006:91) adalah:
Kasmir
diperlukan untuk membiayai operasi perusahaan mulai dari berdiri sampai beroperasi.Modal terdiri dari uang Pengertian tersebut menjelaskan bahwa modal dalam bentuk uang diperlukan untuk membiayai segala keperluan usaha, mulai dari biaya prainvestasi, pengurusan ijin, biaya investasi untuk pembelian aktiva tetap, sampai dengan modal kerja.Sementara modal keahlian diperlukan untuk mengelola atau menjalankan usaha tersebut. Modal kewirausahaan menurut Suryana (2011:5) adalah: selalu identik dengan modal yang berwujud (tangible) seperti uang dan barang, tetapi juga modal yang tidak berwujud (intangible) seperti modal intelektual, modal sosial, modal
moral, dan modal mental yang dilandasi agama. Secara garis besar, modal kewirausahaan dapat dibagi ke dalam empat jenis, yaitu modal intelektual, modal sosial dan moral, Modal Intelektual dapat diwujudkan dalam bentuk ide-ide sebagai modal utama yang disertai pengetahuan, kemampuan, keterampilan, komitmen, dan tanggung jawab sebagai modal tambahan. Ide merupakan modal utama yang akan membentuk modal lainnya. Dalam kewirausahaan, kompetensi inti (core competency) adalah kreativitas dan inovasi dalam rangka menciptakan nilai tambah untuk meraih keunggulan dengan berfokus pada pengembangan pengetahuan dan keunikan (seperti citra).Keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan merupakan kompetensi inti wirausaha untuk menciptakan daya saing khusus agar memiliki posisi tawarmenawar yang kuat dalam persaingan. Suryana (2011:6-7) mengklasifikasikan modal sebagai berikut: a. Modal Sosial dan Moral; b. Modal Mental; c. Modal Material. Klasifikasi modal maksudnya adalah modal sosial dan moral diwujudkan dalam bentuk kejujuran dan kepercayaan, sehingga dapat terbentuk citra. Seorang wirausaha yang baik biasanya memiliki etika wirausaha seperti: (1) kejujuran, (2) memiliki integritas, (3) menepati janji, (4) kesetiaan, (5) kewajaran, (6) suka membantu orang lain, (7) menghormati orang lain, (8) warga negara yang baik dan taat hukum, (9) mengejar keunggulan, dan (10) bertanggung jawab. Dalam konteks ekonomi maupun sosial kejujuran, integritas, dan ketepatan janji merupakan modal sosial yang dapat menumbuhkan kepercayaan dari waktu ke waktu.Modal mental adalah kesiapan mental berdasarkan landasan agama, diwujudkan dalam
P a g e | 14 bentuk keberanian untuk menghadapi risiko dan tantangan.Modal Material adalah modal dalam bentuk uang atau barang.Modal ini terbentuk apabila seseorang memiliki jenis-jenis modal di atas. Istilah modal pinjaman dari bank konvensional (barat) sering disebut dengan kata kredit. Sedangkan dalam bank Islam pinjaman sering disebut pembiayaan. Berbagai lembaga keuangan yang dapat dijadikan tempat untuk meminjam modal antara lain dunia perbankan dan lembaga keuangan nonbank, seperti leasing dan penggadaian atau asuransi. Dalam setiap pemberian pinjaman atau untuk mengakses permodalan usaha menurut Kasmir (2006:113-114) diperlukan hal-hal sebagai berikut: 1) Kepercayaan; 2) Kesepakatan; 3) Jangka waktu; 4) Risiko; 5) Balas jasa. Kepercayaan didasarkan pada latar belakang usaha dan pengalaman usaha yang akan dibiayai, dan prospek usahanya. Kesepakatan mempunyai maksud adalah kreditur terlebih dahulu membuat perjanjian dengan calon peminjam.Perjanjian ini dituangkan dalam akad kredit.Isi perjanjian ini memuat hak dan kewajiban masingmasing pihak yang harus ditaati bersama. Jangka waktu mengadung arti bahwa setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu.Jangka waktu artinya batas waktu pengembalian suatu pinjaman, hal ini ditentukan berdasarkan kesepakatan. Adapun mengenai risiko yang mana kredit yang disalurkan memiliki risiko untuk tidak terbayar pada saatnya. Tingkat risiko ini dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: pertama, adalah faktor kesengajaan; kedua, adalah faktor tidak sengaja. Balas jasa mengandung maksud bahwa nasabah sebagai peminjam disebut debitur dan mempunyai
kewajiban untuk mengembalikan pinjaman berikut bunga sesuai jangka waktunya. Berdasarkan yang dikemukakan Kasmir (2006:113-114) mengenai faktor yang harus diperhatikan untuk mengakses permodalan usaha dari berbagai pihak terutama perbankan, hal inilah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. 3. Pertumbuhan Ekonomi Teori dasar dalam ilmu ekonomi dibedakan menjadi dua kumpulan teori, yaitu teori mikroekonomi dan makroekonomi.Perbedaan keduanya terlihat pada corak dari setiap analisis yang dibuatnya.Analisis mikroekonomi meliputi bagian kecil dari keseluruhan kegiatan ekonomi, sedangkan makroekonomi lebih menyeluruh sifatnya. (Sukirno, 2007:4). Mikroekonomi dan makroekonomi juga berbeda dalam ruang lingkup dan titik berat/fokus analisisnya. Sukirno (2007:4) mengenai perbedaan mikroekonomi dan makroekonomi mengemukakan: kepada analisis mengenai masalah membuat pilihan untuk (i) mewujudkan efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber, dan (ii) mencapai kepuasan yang maksimum.Sedangkan analisisanalisis dalam makroekonomi menerangkan tentang (i) pentingnya segi permintaan dalam menentukan tingkat kegiatan dalam perekonomian dan (ii) pentingnya kebijakan dan campurtangan pemerintah untuk mewujudkan prestasi kegiatan ekonomi di tingkat yang dikehenda Dalam pernyataan di atas terkait mengenai makroekonomi pada point (ii) mengenai pentingnya kebijakan dan campur tangan pemerintah untuk mewujudkan perekonomian yang diharapkan adalah merupakan benang merah untuk penelitian ini dikaitkan dengan ekonomi pembangunan.
P a g e | 15 Kemitraan dikemukakan Sedarmayanti (2012:1) adalah:
oleh
untuk melakukan transformasi dan reformasi disegala bidang, dewasa ini di Indonesia dituntut untuk dapat membentuk kemitraan antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat madani secara nyata yang terlibat dalam berbagai upaya kolaborasi dalam segala bidang, antara lain dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, pengendalian program pembangunan dan pelayanan publik, maupun dalam rangka pengelolaan bersama Negara memiliki tugas yang berat dalam membangun Negara Republik Indonesia ini, hal ini terkait dengan membangun daya saing negara sesuai yang dikemukakan Institute of Management Development dalam Sedarmayanti (2010:2) bahwa: empat faktor: 1) Kinerja Ekonomi, 2) Efisiensi Pemerintah, 3) Efisiensi Kuznets dalam Jhingan (2002:72) mendefisinikan pertumbuhan ekonomi adalah: dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang Pertumbuhan ekonomi Sukirno (2007:10) bahwa:
menurut
perkembangan kegiatan dalam perekonomian menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan
Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan yang meningkat disebabkan oleh faktor-faktor produksi baik dalam jumlah maupun kualitasnya harus diiringi dengan perkembangan penduduk, dan pengalaman kerja, pendidikan menambah keterampilan penduduknya. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi modern menurut Subandi (2011:69) meliputi: 1) Akumulasi modal; 2) Pertumbuhan penduduk; 3) Kemajuan teknologi. Adapun yang termasuk akumulasi modal adalah semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources).Pertumbuhan penduduk yang berhubungan dengan kenaikan jumlah tenaga kerja (labor forces) yang secara umum dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi.Sedangkan mengenai kemajuan teknologi adalah faktor yang paling terpenting bagi pertumbuhan ekonomi. Kemajuan teknologi dapat dikelompokkan dalam 3 macam, yaitu: netral, hemat tenaga kerja (labor saving), dan hemat modal (capital saving). Definisi ini kemudian digunakan sebagai landasan dalam melihat pertumbuhan ekonomi usaha dari pelaku usaha yang diteliti dalam penelitian ini. C. METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif.Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis yang diajukan adalah dengan menggunakan metode penelitian survei, sedangkan eksplanasi yang untuk menjelaskan hasil penelitian adalah metode deskriptif. Sehingga dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah jenis penelitian survei, tingkat eksplanasi adalah deskriptif, dengan pendekatan secara kuantitatif, sehingga metode survei deskriptif adalah suatu metode penelitian yang mengambil sampel dari
P a g e | 16 suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Setelah data diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis statistik untuk menguji hipotesis yang diajukan pada awal penelitian ini dan hasilnya dipaparkan secara deskriptif pada akhir penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah para pelaku usaha mikro dan kecil yang telah terdaftar atau mengikuti program inkubator bisnis BPPKU Kota Bandung sebanyak 137 pelaku usaha mikro dan kecil, yang terbagi dalam 5 kelompok inkubator bisnis. Dalam penelitian ini, ukuran sampel ditentukan oleh bentuk uji statitik yang digunakan. Uji statistik yang akan digunakan adalah analisis jalur (path analysis), dimana koefisien jalur dasarnya adalah koefisien korelasi. Ukuran sampel minimal untuk analisis jalur ini, dapat ditentukan melalui rumus ukuran sampel minimal untuk koefisien yang dilakukan secara iteratif.(Kismantoroadji & Al Rasyid, 1994:105). Sampel yang diambil dalam penelitian ini, dengan menggunakan = 0,6 untuk taraf nyata ( ) = 0,05 dengan pengujian dua arah dan kuasa uji (1 ) = 0,95 , maka dari tabel dist. Normal diperoleh Z 1 = 1,96 dan Z 1 = 1,645. Oleh karena nilai numerik pada iterasi kedua dan ketiga adalah sama, maka iterasi berhenti dan ukuran sampelnya (n) adalah sebanyak 29 pelaku usaha mikro dan kecil. Diketahui sebelumnya bahwa populasi adalah pelaku usaha kecil dan mikro yang pernah mengikuti program Inkubator BPPKU Kota Bandung sebanyak 137 orang yang terbagi pada 5 kelompok Inkubator, yaitu N1 = 16, N2 = 28, N3 = 30,N4 = 30,N5 = 33,maka untuk ukuran sampel yaitu n = 29, penentuan Sampel Proporsional untuk Stratifikasi adalah sebagai berikut : Ni ni n , i adalah statifikasi ke i N
n1
n4
16 28 29 n 2 29 137 137 3,387 5,927 30 33 29 n5 29 137 137 6,350 6,985
n3
30 29 137 6,350
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka n1 = 4 orang, n2 = 6 orang, n3 = 6 orang, n4 = 6 orang dan n5 = 7 orang. Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Riduwan, 2005:97), sehingga untuk mendapatkan data yang akan dianalisis dalam penelitian ini menggunakan teknik dan instrumen yang dinamakan angket (questionnaire). Sehingga dalam penelitian ini tujuan penyebaran angket/kuesioner adalah untuk mendapatkan data primer atau dari yang merupakan respon/tanggapan langsung responden mengenai implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan serta pertumbuhan ekonomi pelaku usaha. Untuk mendukung pada deskripsi hasil analisis pengolahan data kuantitatif yang didapat dari angket/kuesioner tersebut, maka diperlukan data sekunder yang didapatkan melalui teknik dokumentasi dan studi literatur yang terkait kepada implementasi kebijakan insentif, akses permodalan dan pertumbuhan ekonomi pelaku usaha mikro dan kecil. Data primer yang didapatkan dari hasil angket/kuesioner adalah berupa skala tingkat ordinal berjenis skala Likert. Untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban dalam kuesioner/angket perlu diberi skor, misalnya: Jawaban (1) = Sangat Rendah/Sangat Tidak Setuju/Tidak Pernah Jawaban (2) = Rendah/Tidak Setuju/Jarang Jawaban (3) = Cukup/RaguRagu/Kadang-Kadang Jawaban (4) = Tinggi/Setuju/Sering
P a g e | 17 Jawaban (5) = Sangat Tinggi/Sangat Setuju/Selalu (Sugiyono, 2013:94) Uji Validitas yaitumenggambarkan bagaimana kuesioner (pertanyaan atau item) sungguh-sungguh mampu mengukur apa yang ingin diukur. Jadi dapat dikatakan semakin tinggi validitas suatu tes, maka alat tes tersebut semakin tepat mengenai sasarannya. Berdasarkan perhitungan maka 28 item pernyataan dinyatakan sah atau valid, hal ini dapat disimpulkan bahwa semua item pernyataan yang dimintakan untuk ditanggapi oleh responden dalam kuesioner/angket ini sudah bisa dipakai untuk mendapatkan data primer, atau dalam kata lain item pertanyaan yang merupakan indikator dari dimensi masing-masing variabel yang dilibatkan dalam penelitian ini yaitu variabel implementasi kebijakan insentif, variabel akses permodalan dan variabel pertumbuhan ekonomi pelaku usaha yang diturunkan dari teori ternyata sudah sah/valid untuk digunakan/dioperasionalisasikan dalam penelitian ini. Penggujian instrumen yang dipakai dalam penelitian ini yaitu kuesioner/angket adalah uji reliabilitas atau kesesuaian/reliabel antara angket dengan penelitian yang dilakukan. Nilai korelasi pada tabel di atas, didapatkan dari korelasi Guttman SplitHalf Coefficient terlihat pada lampiran, sedangkan kriteria untuk memutuskan reliabel atau tidaknya diujikan dengan menggunakan uji-t atau dibandingkan dengan nilai tabel r, yang hasilnya terlihat bahwa instrumen penelitian ini berupa angket/kuesioner ternyata sesuai/reliabel, artinya bahwa angket/kuesioner yang terdiri dari pernyataan yang diambil dari indikatorindikator variabel yang terlibat dalam penelitian ini yaitu variabel implementasi kebijakan insentif, variabel akses permodalan, variabel pertumbuhan ekonomi pelaku usaha telah sesuai/reliabel dalam penelitian ini, atau dapat dikatakan bahwa
angket/kuesioner dapat digunakan dalam penelitian ini atau penelitian lain yang sejenis dengan lokus yang berbeda. Data ordinal dari kuesioner untuk dapat digunakan dalam analisis statistik untuk membuktikan hipotesis, maka harus dinaikkan skala datanya menjadi skala data interval, dengan menggunakan Metode Susesif Interval (MSI). Analisis jalur (path) adalah teknik analisis yang digunakan dalam menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antara variabel eksogenus dengan variabel endogenus (Riduwan & Kuncoro, 2011:115). Sehingga analisis jalur tepat untuk digunakan dalam menjawab rumusan masalah dan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Adapun persamaan linier dari analisis jalur (path analysis), adalah sebagai berikut:
Y
Pyx1 X 1 Pyx2 X 2
Untuk memudahkan dalam melakukan perhitungan analisis data secara statistik, dalam hal ini dibantu proses perhitungannya menggunakan software statistik yang dikenal dengan Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 17.0 dan MINITAB for Windows versi 13.0 dan Macro Minitabnya. D. PEMBAHASAN Badan Promosi dan Pengelola Keterkaitan Usaha (BPPKU) Kota Bandung dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bandung Nomor: 510/SK-573Bag.Ek/1997 tentang Pembentukan Badan Promosi dan Pengelola Keterkaitan Usaha (BPPKU) Kota Bandung, yang kemudian diubah melalui SK Walikota Bandung Nomor: 500/Kep.1095Ek/2001, tentang Pembentukan Badan Promosi dan Pengelola Keterkaitan Usaha (BPPKU) dan Pos Ekonomi Rakyat (PER)/Klinik Konsultasi Bisnis (KKB). Kemudian SK Walikota Bandung Nomor: 510.1/Kep.404-Huk/2006, tentang Pembentukan Badan Promosi dan Pengelola Keterkaitan Usaha (BPPKU) adalah wadah untuk membantu
P a g e | 18 Pengembangan usaha Kecil, Menengah dan Koperasi agar menjadi pengusaha yang tangguh, kuat dan mandiri. Dan terakhir diperpanjang dengan Keputusan Walikota Bandung Nomor: 500/Kep.132Bag.Ek/2012. Maksud dan tujuan didirikannya BPPKU Kota Bandung adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan peranan UMKM dalam perekonomian makro, yaitu kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja dan selanjutnya peningkatan produksi dan pemasaran; 2) Terwujudnya UMKM yang kuat, tanggung dan mandiri. Dalam mewujudkan struktur perekonomian nasional yang kokoh berazaskan kerakyatan, kemartabatan dan kemandirian; 3) Memberikan keterampilan teknis dan pemahaman dalam mengembangkan kreativitas usaha; 4) Meningkatkan jumlah masyarakat luas yang menjadi wirausaha; 5) Mempercepat pertumbuhan UMKM di Kota Bandung; 6) Mewujudkan berbagai kemudahan bagi koperasi, UMKM dalam meningkatkan kinerja usaha; 7) Menyebarluaskan dan menciptakan kerjasama usaha serta hubungan anak dan bapak angkat usaha kecil dan usaha besar, serta mewujudkan kemitraan usaha. Sasaran didirikannya BPPKU Kota Bandung adalah: 1) Peningkatan kemampuan pengusaha kecil khususnya di Kota Bandung dalam mengembangkan usahanya sebagai model pengembangan yang ditindaklanjuti oleh pembina setempat. 2) Meningkatkan kualitas manajemen usaha kecil dengan parameter terlaksananya sistem informasi menajemen berupa: a) Rencana Usaha (Business Plan); b) Sistem manajemen; c) Sistem pelaporan;
d) Peningkatan kemudahan dalam mengakses sumber daya; e) Sumber daya keuangan; f) Sumber modal dari lembagalembaga keuangan baik dari Bank maupun dari non Bank; g) Peningkatan usaha; h) Sumber daya Teknologi. 3) Peningkatan kemudahan dalam mengakses pasar baik lokal maupun pasar ekspor, melalui cara konvensional maupun melalui jaringan internet. Berbagai lingkup dan jenis kegiatan yang telah dan masih terus dilakukan oleh BPPKU Kota Bandung yang didapatkan dari studi dokumentasi adalah sebagai berikut: Berbagai pelatihan baik pelatihan kemampuan manajemen usaha, perencanaan usaha, pengembangan usaha, peluang usaha, pemasaran, disain produksi, keuangan, dan lainlain. Konsultasi usaha baik yang dilakukan secara rutin di sekretariat BPPKU Kota Bandung, maupun konsultasi on the spot yang telah dilakukan di seluruh wilayah Kota Bandung. Pendalaman dan pembekalan tentang ekonomi usaha kecil dan menengah bagi Kepala Seksi Perekonomian di Kecamatan se-Kota Bandung dan bagi Kepala Seksi Ekbang Kelurahan di Kota Bandung. Mengundang UKM untuk mengikuti presentasi pameran dalam dan luar negeri bekerja sama dengan Kadin Kota Bandung. Melakukan pertemuan dengan Kepala Bagian PUK/PKBL BUMN/BUMD untuk mengkoordinasikan tentang bantuan kredit lunak BUMN bagi UKM, dimana BPPKU berperan sebagai fasilitator. Program Unggulan Inkubator Bisnis UMKM Konsultan Lapangan. Resume workshop Diagnosa. Assessment. Technical Assistant. Action Plan. Workshop.
P a g e | 19 Rencana Tindak Lanjut. Bottom Up Process. Tenant Inkubator. Case Conference. Progress report. Hasil wawancara dengan Manajer BPPKU Kota Bandung memberikan informasi dan gambaran awal mengenai BPPKU Kota Bandung adalah sebagai berikut: ota Bandung dalam pemberian pelayanan sudah memiliki sistem manajemen kerja yang baku/diakui secara nasional maupun internasional dengan masuk dalam sub kegiatan KADIN Kota Bandung, yang sudah mendapatkan Sertifikat ISO 9000:2000 dari TUV (organisasi standarisasi Jerman). Hal ini jelas menunjukkan kinerja Manajemen BPPKU terukur jelas dan terlaporkan kepada Pimpinan. Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh BPPKU adalah sejumlah 4 orang semua adalah sarjana dari universitas terkemuka, dan sudah mempunyai pengalaman dalam bidang pembinaan UMKM, selain itu mereka sudah ada yang dibekali sertifikat TOT dari lembaga ILO, dan lembaga Wawancara dengan Manajer BPPKU, 2 Januari 2014). Berdasarkan hasil pengamatan langsung ke Sekretariat BPPKU Kota Bandung terlihat bahwa teknologi dan informasi, BPPKU Kota Bandung sudah dapat dikatakan mengikuti perkembangan jaman, hal ini ditunjukkan dengan adanya website BPPKU Kota Bandung dengan alamat website (www.kadinbandung.org), setiap konsultan atau SDM BPPKU sudah dapat berkomunikasi melalui sarana komunikasi online/internet, misalnya: Blackberry Messenger, Facebook, Twitter, dan Blogspot. Sarana dan Prasarana di BPPKU Kota Bandung dari orang tersebut sudah memegang notebook masing-masing, dan
dilengkapi PC Server yang berkedudukan di Kantor/Sekretariat BPPKU Kota Bandung. Kemudian dari hasil studi dokumentasi form ISO yang ada di BPPKU Kota Bandung, didapatkan data mengenai pelayanan BPPKU KADIN Kota Bandung, dengan melihat data tahun 2010 sampai dengan tahun 2013, tidak terdapatnya keterangan adanya keluhan dari para pelaku usaha mikro dan kecil (mitra binaan) di Kota Bandung mengenai lingkup jasa yang disediakan BPPKU Kota Bandung. Kemudian catatan data pelaku usaha binaan yang terdaftar di BPPKU KADIN Kota Bandung adalah sebanyak 250 pelaku usaha (dimasukkan sebagai mitra binaan BPPKU Kota Bandung, dan termasuk Anggota KADIN Kota Bandung tercatat). Catatan dari laporan daftar isian (form) ISO 9000:2000 untuk BPPKU Kota Bandung menunjukkan tahun 2012 sebanyak 703 kali melakukan konsultasi (mitra yang datang langsung ke BPPKU) ataupun Tim BPPKU yang melakukan on the spot ke kelurahan/kecamatan. Bandung, terlihat pada kegiatan berupa program pelatihan yang melibatkan para pelaku usaha mikro dan kecil (mitra binaan) BPPKU, kalaupun hal itu memerlukan subsidi bagi kegiatan tersebut, dan mereka dibebankan nilai sejumlah nilai rupiah tertentu, ternyata mereka bukannya mundur, namun mereka selalu ingin ikut dan tidak keberatan walaupun berbayar, karena hal ini berguna bagi usaha mereka ke depannya. Kemudian para pelaku usaha (mitra binaan) banyak selalu yang ingin ikut kegiatan, sedangkan BPPKU Kota Bandung memiliki keterbatasan fasilitas baik berupa materiil /non materiil (misal: kegiatan) yang diberikan dari: 1) Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Koperasi, UKM dan Perindag Kota Bandung; melalui Bagian Perekonomian pada Setda Kota Bandung bersumber pada dana APBD Kota Bandung;
P a g e | 20 2) BUMN atau BUMD bersumber pada dana CSR/PKBL; 3) Lembaga/Instansi Pemerintah baik Pusat, Provinsi, maupun Kota/Kabupaten, misal: Dirjen HAKI, Dinas Kesehatan PIRT, MUI Produk Halal; 4) Pihak Perbankan dan Non-Bank penyedia dana pinjaman modal kerja/investasi; 5) Pihak-pihak lain seperti baik dalam negeri maupun luar negeri, misal DIHK (KADIN setingkat provinsi (Hasil Wawancara dengan BPPKU, 2 Januari 2014).
Manajer
Pada intinya kegiatan BPPKU Kota Bandung dikategorikan dalam beberapa kegiatan, yaitu: 1) Konsultasi usaha; 2) Pelatihan; 3) Pendampingan; 4) Advokasi usaha; 5) Akses: Permodalan, Pasar, Teknologi Tepat Guna (TTG), Legalitas Usaha, (Sumber: BPPKU, 2013). Data yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan analisis data statistik menggunakan analisis jalur (path analysis).Untuk menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Adapun persamaan jalurnya adalah sebagai berikut:
Y
0,305 X 1 0,565 X 2
Lebih jelas nilai-nilai perhitungan analisis jalur diterapkan dalam diagram/gambar analisis jalur dibawah ini.
X1
0,305 0,640
0,660
Y 0,360
X2
0,565
Hasil pengujian hipotesis yang didapatkan menggunakan perhitungan analisis data pada analisis statistik inferensial yaitu analisis jalur (path analysis). Hasil analisis jalur (path analysis) dalam penelitian ini yang mengemukakan pengaruh antar variabel yang diteliti, yaitu implementasi kebijakan insentif (X1), akses permodalan (X2) dan pertumbuhan ekonomi usaha (Y) dideskripsikan berikut ini. 1. Analisis Hubungan Implementasi Kebijakan Insentif Dengan Akses Permodalan Hipotesis yang diajukan mengenai hubungan implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan adalah sebagai berikut: Ho : X1X2 = 0 Implementasi kebijakan insentif tidak berhubungan dengan akses permodalan pada pelaku usaha. Ha : X1X2 Implementasi kebijakan insentif berhubungan dengan akses permodalan pada pelaku usaha. Hasil perhitungan menggunakan software Minitab versi 13 didapatkan hasil sebagai berikut: "MATRIK KORELASI X" 1.00000 0.66044 0.66044 1.00000 Hubungan antara variabel implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan adalah sebesar 0,66. Menggunakan pengujian individual atau uji student-t, dalam pengujian koefisien korelasi antara implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan yang sebesar 0,66 tersebut, dihitung adalah Thit = 4,565 jika dibandingkan dengan Ttabel = 2,048 maka nilai tersebut memberikan keputusan bahwa Ho ditolak, yang artinya dengan kepercayaan 95% diyakini bahwa nilai
P a g e | 21 koefisien X1X2 adalah tidak sama dengan nol atau sebesar 0,66, atau dengan kata lain bahwa secara signifikan adanya hubungan antara implementasi kebijakan insentif dengan akses permodalan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diputuskan bahwa hubungan antara implementasi kebijakan insentif dengan akses permodalan adalah sebesar 0,66 atau jikalau dimasukkan dalam persentase keeratan antara variabel implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan adalah sebesar R2 = (0,66)2 X 100% = 43,56%. Nilai ini memberi pengertian bahwa persentase keeratan antara implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan adalah sebesar 43,56% (dikategorikan cukup erat). Cukup erat hubungan antara implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan seiring yang dikemukakan oleh Wibowo dan Artati (2012:42) bahwa penguatan UMKM tidak hanya dilakukan pada bidang produksi dan sumber daya manusia serta pemasaran, namun diperlukan juga penguatan pada aspek permodalan yang merupakan hambatan utama UMKM di Indonesia. Langkah yang diperlukan oleh Pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan infrastruktur keuangan yang kondusif dan didukung dengan perbankan dan UMKM yang capable. Hal ini juga didukung oleh pendapat Alma (2013:12) bahwa faktor environment yang mendorong implementasi dan pertumbuhan bisnis satu diantaranya adalah adanya kebijaksanaan pemerintah yang menunjang berupa peraturan bidang ekonomi yang menguntungkan, kebijaksanaan pemerintah tersebut dapat berupa kemudahan-kemudahan dalam lokasi berusaha ataupun fasilitas kredit, dan bimbingan usaha yang dilakukan pemerintah.
2. Analisis Pengaruh Implementasi Kebijakan Insentif Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Usaha Hipotesis yang dikemukakan sebelumnya mengenai pengaruh implementasi kebijakan insentif terhadap pertumbuhan ekonomi usaha adalah sebagai berikut: Ho : PYX1 = 0 Implementasi kebijakan insentif tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha. Ha : PYX1 Implementasi kebijakan insentif berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha. Menggunakan pengujian individual atau uji student-t, hal ini digunakan untuk menguji koefisien jalur untuk implementasi kebijakan insentif didapatkan nilai Thit = 1,95 jika dibandingkan dengan Ttabel = 1,7056 maka memberikan keputusan bahwa Ho ditolak, yang artinya dengan kepercayaan 95% diyakini bahwa nilai koefisien PYX1 adalah tidak sama dengan nol atau sebesar 0,305, atau dengan kata lain bahwa secara signifikan implementasi kebijakan insentif berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi usaha. Hasil pengujian individual menggunakan uji student-t di atas, memberikan kesimpulan bahwa adanya pengaruh dari implementasi kebijakan insentif terhadap pertumbuhan ekonomi usaha, dengan nilai koefisien (PYX1) adalah sebesar 0,305. Hal ini mengindikasikan bahwa implementasi kebijakan insentif mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha. Sedangkan berdasarkan output sofware Minitab for windows versi 13 yang dieksekusi pada macro berdasarkan prosedur/langkah perhitungan analisis jalur (path analysis), yang memperlihatkan hasil sebagai berikut: "PYX1" Sum of C30 = 0.30496 "KAUSAL-X1"
P a g e | 22 K16 0.0930020 K17 0.113860 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X1' K21 0.206862
Hasil tersebut menyatakan bahwa pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel penyebab yaitu implementasi kebijakan insentif adalah sebesar 0,207 (jika dipersentasekan adalah 20,7%). Pengujian yang menggunakan analisis jalur (path analysis), untuk menjelaskan penyebab dari variabel implementasi kebijakan insentif terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha dilihat pula pengaruh tidak langsungnya variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu akses permodalan sehingga jelas bahwa pengaruh langsung dan tak langsung dari implementasi kebijakan insentif baik langsung maupun melalui akses permodalan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha adalah sebesar 20,7%. Pengaruh implementasi kebijakan insentif terhadap pertumbuhan ekonomi usaha yang sebesar 20,7% ini sesuai apa yang dikemukakan oleh Sukirno (2007:4) bahwa analisis-analisis dalam makroekonomi menerangkan satu diantaranya adalah mengenai pentingnya kebijakan dan campurtangan pemerintah untuk mewujudkan prestasi kegiatan ekonomi di tingkat yang dikehendaki. Dalam hal ini pelaksanaan kebijakan insentif adalah bentuk kebijakan dan campurtangan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Kebijakan insentif yang ditegaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada Bab I, Pasal 1 ayat 13, mengemukakan bahwa kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku
usaha mikro, kecil dan menengah dengan usaha besar. Pasal 15 pada UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM, dikemukakan bahwa aspek dukungan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf h ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi inkubator, lembaga layanan pengembangan usaha, konsultan keuangan mitra bank, dan lembaga profesi sejenis lainnya sebagai lembaga pendukung pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 mengenai UMKM secara eksplisit mengemukakan mengenai pemberian insentif yaitu pada Pasal 14, 20, dan secara jelas pada Bab VII mengenai Pembiayaan dan Penjaminan pada bagian kesatu Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Mikro dan Kecil, Pasal 21 ayat (5) mengemukakan bahwa: Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil. Adapun pelaksanaan kebijakan insentif yang terdiri dari 4 dimensi yaitu: 1) Komunikasi, 2) Sumber Daya, 3) Disposisi, dan 4) SOP (menurut Edwards III dan Sharkansky, 1978:295), yang kemudian dioperasionalkan dalam indikator masing-masing yaitu: 1) Komunikasi: a) penyaluran, b) kejelasan, c) konsistensi; 2) Sumber Daya: a) SDM pelaksana, b) informasi, c) wewenang, d) fasilitas fisik; 3) Disposisi: a) komitmen pelaksana, b) penghargaan bagi pelaksana; dan 4) SOP: a) prosedur kerja, b) koordinasi yang efektif. Maka implementasi kebijakan insentif yang dilaksanakan oleh BPPKU Kota Bandung melalui program inkubator bisnisnya, yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan bentuk pelaksanaan UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM, adalah bentuk kemitraan
P a g e | 23 dan pendampingan oleh Pemerintah Kota Bandung, menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan insentif memberikan persentase sebesar 66,33% (dikategorikan tinggi), tingginya implementasi kebijakan insentif ini didukung oleh persentase dari 4 dimensi yang ada pada implementasi kebijakan insentif, secara berurut persentase masing-masing dimensi adalah: 1) Struktur Birokrasi sebesar 72,41% (dikategorikan tinggi), 2) Komunikasi sebesar 67,59% (dikategorikan tinggi), 3) Disposisi sebesar 65,52% (dikategorikan tinggi) dan 4) Sumber Daya sebesar 62,76% (dikategorikan tinggi). Terlihat bahwa struktur birokrasi memberikan persentase tertinggi, hal ini menurut Tachjan (2006:85) bahwa organisasi dibentuk sebagai media untuk mencapai tujuan atau merealisasikan kepentingan/kebutuhan, maka BPPKU Kota Bandung sebagai organisasi yang dibentuk atas kerjasama swasta dalam hal ini Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Bandung dengan Pemerintah Kota Bandung sudah dapat dikatakan mencapai tujuan atau merealisasikan kepentingan dan kebutuhan pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung, dilihat dari kebutuhan pelaku usaha/wirausaha (entrepreneur), menurut Alma (2013:89) hal ini berhubungan dengan motivasi, dan kebutuhan adalah merupakan satu diantaranya motif untuk pemenuhan kebutuhannya tersebut. Berdasarkan 11 indikator yang ditetapkan dalam penelitian ini mengenai pelaksanaan kebijakan insentif, terlihat bahwa indikator yang memberikan persentase tertinggi adalah indikator mengenai prosedur kerja (73,79%) dikategorikan tinggi, koordinasi (71,03%) dan konsistensi dalam komunikasi (71,03%). Tingginya indikator prosedur kerja, koordinasi dan konsistensi dalam komunikasi, dikarenakan BPPKU sebagai bagian dari KADIN Kota Bandung yang telah dikemukakan sebelumnya sudah memiliki sertifikat ISO 9001 dari TUV Rheinland yang merupakan sistem
standar manajemen mutu untuk organisasi, jelas dalam menjalankan pekerjaan yang diamanatkan pada BPPKU dilaksanakan dengan menggunakan sistem atau prosedur kerja yang telah dibakukan dan disahkan oleh yang berkepentingan. Tingginya penilaian indikator efektivitas koordinasi dari BPPKU Kota Bandung, hal ini di dukung oleh berbagai organisasi yang terkait pada pembinaan dan pendampingan usaha serta bentuk kemitraan antara BPPKU Kota Bandung dengan beberapa stakeholder terkait hal tersebut, misalnya Dirjen Haki, MUI untuk Produk Halal, ketua PKBL BUMN yang ada di Kota Bandung adalah juga merupakan tim pengarah dari BPPKU, belum lagi dengan asosiasi yang ada dalam KADIN (dunia usaha), hal ini jelas memperlihatkan besarnya dukungan hasil dari koordinasi BPPKU Kota Bandung dalam pembinaan usaha mikro dan kecil di Kota Bandung. Tingginya konsistensi komunikasi BPPKU sebagai pembina dikarenakan setiap ada program/kegiatan baik dari Pemerintah Kota Bandung lewat Dinas KUKM & Perindag Kota Bandung maupun luar misalnya adanya bantuan seperti pameran atau pelatihan selalu diberitahukan atau disampaikan kepada pelaku usaha binaan BPPKU, hal ini jelas seiring apa yang dikemukakan Edwards III dalam Agustino (2006:152) akan pentingnya konsistensi komunikasi bagi pelaksana implementasi kebijakan yang memberikan pelayanan kepada publik dalam hal ini BPPKU memberikan pelayanan jasa pembinaan kepada pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung. Adapun indikator yang dikategorikan cukup terlihat pada indikator Fasilitas (Sarana Prasarana & Anggaran) sebesar 57,2%; kemudian ada Wewenang (61,38%), Penghargaan bagi pelaksana (62,76%) dan Penyaluran dalam komunikasi (62,76%) walaupun ketiga indikator ini masih dikategorikan tinggi. Dalam hal terindikasikan anggaranlah yang dimungkinkan menjadi perhatian bagi usaha mikro dan kecil binaan
P a g e | 24 BPPKU, karena kemungkinan keinginan mereka adanya anggaran yang besar, yang berdampak pada kegiatan pembinaan dan pendampingan akan lebih banyak kegiatan/programnya yang pada akhirnya memenuhi kebutuhan pelaku usaha di Kota Bandung. Hal ini sesuai yang dikemukakan Edwards III dalam Agustino (2006:151) mengenai pentingnya dukungan keuangan dalam pelaksanaan kebijakan publik. 3. Analisis Pengaruh Akses Permodalan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Usaha Hipotesis yang dikemukakan sebelumnya mengenai pengaruh akses permodalan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha adalah sebagai berikut: Ho : PYX2 = 0 Akses permodalan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha. Ha : PYX2 Akses permodalan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji individual atau uji student-t, pengujian koefisien jalur untuk akses permodalan didapatkan Thit = 3,61 jika dibandingkan dengan Ttabel = 1,7056 maka memberikan keputusan bahwa Ho ditolak, yang artinya dengan kepercayaan 95% diyakini bahwa nilai koefisien PYX2 adalah tidak sama dengan nol atau sebesar 0,565, atau dengan kata lain bahwa secara signifikan akses permodalan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi usaha. Hasil pengujian individual menggunakan uji student-t, memberikan kesimpulan bahwa adanya pengaruh dari akses permodalan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha, dengan nilai koefisien (PYX2) adalah sebesar 0,565.Hal ini mengindikasikan bahwa akses permodalan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha (Y). Sedangkan berdasarkan output sofware Minitab for windows versi 13
yang dieksekusi pada macro berdasarkan prosedur/langkah perhitungan analisis jalur (path analysis), yang memperlihatkan hasil sebagai berikut: "PYX2" Sum of C31 = 0.56531 "KAUSAL-X2" K16 0.319580 K17 0.113860 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X2' K21 0.433440
Hasil tersebut memperlihatkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel penyebab yaitu akses permodalan atau adalah sebesar 0,433 (jika dipersentasekan adalah 43,3%). Dalam analisis jalur (path analysis), maka untuk menjelaskan penyebab dari variabel akses permodalan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha dilihat pula pengaruh tidak langsungnya variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu implementasi kebijakan insentif, sehingga jelas bahwa pengaruh langsung dan tak langsung dari akses permodalan baik langsung maupun melalui implementasi kebijakan insentif terhadap pertumbuhan ekonomi usaha adalah sebesar 43,3%. Pengaruh akses permodalan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha yang sebesar 43,3% ini seiring yang dikemukakan oleh Shrap, et.al dalam Kuncoro (Subandi, 2011:78) yang mengidentintifikasikan ada tiga penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi, yang satu diantara penyebabnya adalah perbedaan akses dalam modal. Hal ini mengandung penjelasan, bahwa adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas.Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berakibat pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi mengakibatkan pada keterbelakangan, dan seterusnya seperti lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty).
P a g e | 25 Terkait akses permodalan atau pembiayaan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan usaha mikro, kecil dan menengah. Aspek pendanaan pada Pasal 8, Aspek pendanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a ditujukan untuk: a) memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi usaha mikro, kecil dan menengah untuk dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan selain bank; b) memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya sehingga dapat diakses oleh usaha mikro, kecil dan menengah; c) memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan d) membantu para pelaku usaha mikro dan usaha kecil untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh Pemerintah. Kemudian pada Bab VII Pembiayaan dan Penjaminan, pada Bagian Kesatu Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Mikro dan Kecil pada Pasal 21 menyebutkan bahwa: 1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil; 2) Badan usaha milik negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada usaha mikro dan kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah dan pembiayaan lainnya;
3) Usaha besar nasional dan asing dapat menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada usaha mikro dan kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya; 4) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk usaha mikro dan kecil. Pasal 22, menyebutkan dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan usaha mikro dan kecil, Pemerintah melakukan upaya: a) Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank; b) Pengembangan lembaga modal ventura; c) Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang; d) Peningkatan kerjasama antara usaha mikro dan usaha kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah; dan e) Pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23, menyebutkan: (1) Untuk meningkatkan akses usaha mikro dan kecil terhadap sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pemerintah dan Pemerintah Daerah: a. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga bukan bank; b. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan c. Memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan. (2) Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif meningkatkan akses usaha mikro dan kecil terhadap
P a g e | 26 pinjaman atau kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. Meningkatkan kemampuan menyusun studi kelayakan usaha; b. Meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pengajuan kredit atau pinjaman; c. Meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknis serta manajerial usaha. Akses permodalan terdiri dari 5 dimensi, yaitu: 1) Kepercayaan, 2) Jangka Waktu, 3) Kesepakatan, 4) Risiko dan 5) Balas Jasa (menurut Kasmir 2006:113115), yang kemudian dioperasionalkan dalam indikator masing-masing yaitu: 1) Kepercayaan: a) latar belakang, b) pengalaman, c) prospek usaha; 2) Jangka Waktu: a) jumlah kebutuhan, b) kemampuan pengembalian; 3) Kesepakatan: tingkat kesesuaian hak dan kewajiban; 4) Risiko: jaminan yang diberikan dan 5) Balas Jasa: tingkat bunga. Maka akses permodalan untuk pelaku usaha binaan BPPKU menunjukkan persentase sebesar 66,72% (dikategorikan tinggi), tingginya akses permodalan ini didukung oleh persentase dari 5 dimensi yang ada pada akses permodalan, secara berurut persentase masing-masing dimensi adalah: 1) Kepercayaan sebesar 69,89% (dikategorikan tinggi), 2) Jangka Waktu sebesar 63,10% (dikategorikan tinggi), 3) Kesepakatan sebesar 64,14% (dikategorikan tinggi), 4) Risiko sebesar 73,79% (dikategorikan tinggi) dan 5) Balas Jasa sebesar 60,00% (dikategorikan cukup tinggi). Terlihat bahwa risiko memberikan persentase tertinggi (73,79%), dalam ini berarti tingginya nilai jaminan/agunan yang harus disediakan oleh pelaku usaha mikro dan kecil binaan BPPKU. Hal ini membuktikan yang dikemukakan oleh Manajer BBPKU, bahwa pelaku usaha mikro dan kecil banyak yang layak untuk mendapatkan kredit permodalan, namun karena yang meminjamkan (pihak perbankan/non-perbankan)
mensyaratkan adanya agunan/jaminan pada nilai rupiah tertentu (misalnya untuk meminjam modal lebih dari 10 juta rupiah), hal ini jelas yang membuat pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung tidak bisa mengakses permodalan yang disediakan oleh pihak perbankan/non-perbankan. Walaupun terlihat lain pada dimensi kepercayaan yang pada 2 indikatornya yaitu: (1) kepercayaan memulai usaha (71,03%); dan (2) kepercayaan pada prospek usaha (71,03%) juga memberikan persentase tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak yang memberikan permodalan usaha kepada pelaku usaha mikro dan kecil akan memberikan kredit/pinjaman modal usahanya kepada pelaku usaha yang layak (feasible) usahanya. Lain halnya dengan balas jasa dalam hal ini tingkat bunga yang ditetapkan (60,00%) oleh pihak yang memberikan pinjaman/kredit modal usaha, hal ini mengindikasikan terjangkaunya tingkat bunga yang ditetapkan kepada pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung. Data memperlihatkan beberapa perbankan di Kota Bandung menerapkan tingkat bunga yang rendah untuk pinjaman berkisar antara 5% 12%. Walaupun sudah baiknya pemberlakuan tingkat bunga oleh pihak perbankan atau non perbankan dalam memberikan pinjaman permodalan, namun masih harus dipikirkan sumber-sumber lain yang dapat memberikan bantuan permodalan kepada usaha mikro dan kecil yang potensial, contohnya sistem keterkaitan Bapak Angkat-Mitra Usaha yakni hubungan kerjasama bisnis dengan tujuan memberi bantuan peningkatan kemampuan usaha mikro, kecil dan menengah dalam aspek manajerial, keterampilan, teknologi, produksi, permodalan dan pemasaran (Primiana, 2009:22).
P a g e | 27 4. Analisis Pengaruh Implementasi Kebijakan Insentif dan Akses Permodalan Secara Simultan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Usaha Hipotesis yang dikemukakan sebelumnya mengenai pengaruh implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha adalah sebagai berikut: Ho : PYX1X2 = 0 Implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha. Ha : PYX1X2 Implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha. Uji Model analisis jalur (path analysis), menunjukkan bahwa Fhit = 23,141 dibandingkan Ftabel = 3,369 maka Ho ditolak, hal ini artinya dengan kepercayaan 95% bahwa model yang dipakai secara signifikan dapat dipakai dalam penelitian ini, atau dengan kata lain bahwa secara signifikan implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan secara simultan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi usaha. Telah dikemukakan juga bahwa dalam hasil pengujian uji model atau uji adanya pengaruh implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan secara simultan adalah telah terbukti, bahwa ada pengaruh yang positif secara simultan dari implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha. Untuk menjelaskan besarnya pengaruh secara simultan dari implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha. Terlihat bahwa R-Kuadrat XY menunjukkan nilai sebesar 0,6403 (jika dipersentasekan sebesar 64%). Hal ini dapat dikatakan
bahwa besarnya pengaruh implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha adalah sebesar 64%. Hasil output software minitab versi 13 memperlihatkan hasil sebagai berikut: "R-KUADRAT YX" Sum of C50 = 0.64030 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X1' K21 0.206862 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X2' K21 0.433440
Hasil tersebut menjelaskan bahwa pengaruh sebesar 64% dari implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi usaha, persentase pengaruh simultan tersebut didapatkan dari kausal X1 dan X2 sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa kausal X1 terhadap Y adalah sebesar 20,7% dan kausal X2 terhadap Y adalah sebesar 43,3%, maka secara simultan jelas bahwa besarnya pengaruh X1 dan X2 secara simultan terhadap Y adalah sebesar 64%. Namun melihat besarnya pengaruh masing-masing yaitu variabel impelementasi kebijakan insentif terhadap variabel pertumbuhan ekonomi usaha yang sebesar 20,7% dibandingkan dengan besarnya pengaruh variabel akses permodalan terhadap variabel pertumbuhan ekonomi usaha yang sebesar 43,3% maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi usaha mikro dan kecil di Kota Bandung dipengaruhi sebesar 64% oleh implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan, namun yang terbesar pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi usaha adalah dari pemberian akses permodalan sebesar 43,3%. Pengaruh implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha adalah sebesar 64%, maka pengaruh variabel lain yang tidak dimasukkan/diteliti dalam penelitian ini adalah sebesar 36% atau dapat dikatakan bahwa besarnya pengaruh variabel selain implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan
P a g e | 28 terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 36%. Keadaan usaha mikro dan kecil binaan BPPKU, setelah mengikuti program inkubator bisnis BPPKU memberikan efek yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi pelaku usaha. Hal ini terlihat pada 3 dimensi yaitu: 1) Akumulasi Modal, 2) Pertumbuhan Penduduk, 3) Kemajuan Teknologi. 3 dimensi tersebut kemudian dioperasionalkan dalam indikator masing-masing yaitu: 1) Akumulasi Modal: (1) penambahan investasi berwujud, (2) penambahan kelengkapan peralatan usaha, (3) peningkatan kemampuan manajerial, (4) peningkatan kemampuan administratif; 2) Pertumbuhan Penduduk: (1) kemudahan mendapatkan tenaga kerja berkualitas, (2) peningkatan pasar lokal (domestik); 3) Kemajuan Teknologi: (1) tuntutan teknologi tepat guna, (2) penghematan tenaga kerja, (3) penghematan modal usaha. Maka pertumbuhan ekonomi pelaku usaha binaan BPPKU menunjukkan persentase sebesar 67,05% (dikategorikan tinggi), tingginya pertumbuhan ekonomi pelaku usaha ini didukung oleh persentase dari 3 dimensi yang ada pada pertumbuhan ekonomi pelaku usaha, secara berurut persentase masing-masing dimensi adalah: 1) Akumulasi Modal sebesar 70,17% (dikategorikan tinggi), 2) Pertumbuhan Penduduk sebesar 64,48% (dikategorikan tinggi), 3) Kemajuan Teknologi sebesar 64,60% (dikategorikan tinggi). Terlihat bahwa akumulasi modal (70,17%) memberikan persentase paling tinggi dengan 2 indikatornya yaitu: (1) peningkatan kemampuan manajerial (76,55%) dan peningkatan kemampuan administratif (75,17%). Hal ini memperlihatkan sudah dapat dikatakan berhasil dalam melaksanakan kebijakan insentif dan akses permodalan melalui program inkubator bisnis BPPKU Kota Bandung yang merupakan kerjasama Pemerintah Kota Bandung dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Bandung, sehingga sesuai apa yang dikatakan oleh Harris dalam
Suryana (2011:5) bahwa wirausaha yang sukses adalah yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan kualitas individu (sikap, motivasi, nilai-nilai pribadi) serta tingkah laku yang diperlukan untuk melakukan kegiatan usaha. Lain halnya dengan dimensi kemajuan teknologi dengan indikatornya yaitu penghematan tenaga kerja (59,31%), hal ini mengindikasikan bahwa kemajuan teknologi produksi usaha (teknologi tepat guna) kurang memberikan penghematan pada jumlah tenaga kerja. Dalam hal ini kemajuan teknologi tidak berakibat pada penghematan jumlah tenaga kerja, disisi lain untuk Pemerintah ada baiknya karena walaupun adanya kemajuan teknologi tepat guna untuk proses produksi usaha mikro dan kecil, namun tetap menyerap tenaga kerja. Hal ini tentu masih menjadi harapan bahwa usaha mikro dan kecil, seiring kemajuan teknologi namun masih dapat menyerap tenaga kerja dari sekitarnya. Diperlihatkan bahwa adanya pengaruh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini yang sebesar 36%, adapun beberapa variabel itu dapat diidentifikasi dengan merujuk pada data sekunder dalam penelitian ini, yang diambil melalui studi dokumentasi dan studi literatur, serta melihat beberapa penelitian lain yang terkait dengan penelitian ini. Adapun variabel yang mempengaruhi namun tidak diteliti dalam penelitian ini yang menunjukkan nilai pengaruh sebesar 36% terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha, selain implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan, adalah sebagai berikut: 1) Dilihat dari kerangka pemikiran penelitian mengenai kebijakan publik, maka variabel lain tersebut adalah mengenai perencanaan kebijakan insentif dan evaluasi kebijakan insentif. Perencanaan kebijakan insentif harus merujuk pada pelibatan stakeholder dunia usaha dalam pembuatan kebijakan insentif bagi
P a g e | 29 pelaku usaha. Implementasi kebijakan insentif bagi pelaku usaha mikro dan kecil dalam upaya meningkatkan perekonomian Kota Bandung harus ada: a) Tata cara pemberian insentif; b) Kriteria pemberian insentif; c) Dasar penilaian pemberian insentif; d) Jenis usaha atau kegiatan yang diprioritaskan memperoleh insentif; e) Bentuk insentif yang dapat diberikan; f) Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan. 2) Variabel lain yang juga dapat mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi usaha dilihat unsur manajemen yang lainnya yaitu: 1) Sumber daya manusia (Man); 2) Metode pengelolaan usaha (Methode); 3) Pasar dan Pemasaran (Market); 4) Infrastruktur fisik dan nonfisik (Materiil); 5) Informasi usaha (Information); juga faktor nonekonomi yang berupa: sikap budaya, nilai moral, kondisi politik dan kelembagaan (Bauer dalam Jhingan, 2002:85). E. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, sebagai berikut: 1. Hubungan antara implementasi kebijakan insentif (komunikasi, sumber daya, disposisi dan SOP) dengan akses permodalan (kepercayaan, jangka waktu, kesepakatan, risiko dan balas jasa) mempunyai hubungan yang kuat, dengan tingkat keeratan yang cukup erat, hal ini mengindikasikan pelaksanaan implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan cukup erat satu sama lain, sehingga dengan implementasi kebijakan insentif oleh pemerintah kota Bandung melalui BPPKU Kota Bandung berhubungan dengan akses permodalan yang bisa diakses oleh pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung, demikian juga
sebaliknya dengan banyaknya akses permodalan bagi pelaku usaha cukup erat kaitannya dengan implementasi kebijakan insentif yang dilakukan. 2. Pengaruh implementasi kebijakan insentif (komunikasi, sumber daya, disposisi dan SOP) terhadap pertumbuhan ekonomi usaha (akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi) dikategorikan kecil, namun tetap mempunyai pengaruh yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung, hal ini juga membuktikan bahwa implementasi kebijakan insentif bukan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung. 3. Pengaruh akses permodalan (kepercayaan, jangka waktu, kesepakatan, risiko dan balas jasa) terhadap pertumbuhan ekonomi usaha (akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi) dikategorikan cukup besar, sehingga dapat dikatakan bahwa akses permodalan adalah satu diantara faktor utama yang mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung. 4. Besarnya pengaruh simultan implementasi kebijakan insentif (komunikasi, sumber daya, disposisi dan SOP) dan akses permodalan (kepercayaan, jangka waktu, kesepakatan, risiko dan balas jasa) terhadap pertumbuhan ekonomi usaha (akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi) dikategorikan besar, hal ini memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan insentif dan akses permodalan bilamana dilaksanakan dan diberikan oleh pemerintah Kota Bandung besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi pelaku usaha mikro dan kecil di Kota Bandung.
P a g e | 30 Setelah melakukan penelitian ini, maka ada beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai saran, adalah: 1. Dalam implementasi kebijakan publik dalam hal ini kebijakan untuk pelaku usaha mikro dan kecil yaitu kebijakan insentif sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), sebaiknya untuk penerapan di lingkungan Kota Bandung diperjelas dengan adanya Peraturan Walikota Bandung tentang implementasi kebijakan insentif, yang isinya mengatur antara lain: prinsip, kriteria, tahapan/mekanisme dan sasaran yang jelas bagi pelaku usaha mikro dan kecil. 2. Begitu juga mengenai akses permodalan kepada usaha mikro dan kecil, hendaknya ada kebijakan yang mana ada lembaga penjamin bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang usahanya layak (feasible) atau memiliki prospek yang bagus untuk dapat mengkases bantuan permodalan usaha, kemudian diperbanyak juga sumber-sumber non perbankan untuk akses permodalan yang bermitra dengan Pemerintah, agar kredit permodalan tersebut berbunga rendah dan dapat diakses tanpa agunan/jaminan. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Alma, Buchari. 2013. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta. Arep, Ishak, dan Tanjung Hendri. 2004. Manajemen Motivasi. Jakarta: PT Grasindo. Edwards III, George C., and Sharkansky, Ira. 1978. The Policy Predicament (Making and Implementation Public Policy). San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Greenberg, Jerald, and Baron, Robert A. 2003.Behavioral in Organization.
8th edition, New Jersey: Pearson Ed., Inc. p188-226. Islamy, Irfan. 2007. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Jhingan, M.L. 2002.Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan D.Guritno. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Kasmir. 2006. Kewirausahaan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Kismantoroadji, Teguh & Al Rasyid, Harun. 1994. Statistika Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. ___________. 1994. Dasar Dasar Statistika Terapan. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. LAN. 2008. Kajian Kebijakan Publik (Modul 2 Diklat Kepemimpinan Tingkat II). Jakarta: Kedeputian Bidang Diklat Spimnas. Luthans, Fred. 2006. Organizational Behavior 10th Edition. Penerjemah: Vivin Andhika Yuwono, Shekar Purwanti, Th. Arie P, dan Winong Rosari. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2012. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refika Aditama. McShane, Steve L., Von Glinow, Mary Ann. 2010. Organizational Behavior Emerging Knowledge and Practice for The Real World. 5th Edition. New York: McGraw-Hill Irwin. Primiana, Ina. 2009. Menggerakkan Sektor Riil UKM & Industri. Bandung: Alfabeta. Purwanto, Erwan, dan Sulistyastuti, D. R. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Gava Media. Render, Barry., Stair, Ralph M. Jr., and Hanna, Michael E. 2009. Quantitative Analysis for Management.Tenth Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Riduwan. 2005. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.
P a g e | 31 Riduwan dan Kuncoro, Engkos Achmad.2011. Cara Menggunakan dan Memaknai Path Analysis (Analisis Jalur). Bandung: Alfabeta. Sedarmayanti. 2014. Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi Untuk Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan. Bandung: Refika Aditama. ___________. 2012. Manajemen dan Komponen Terkait Lainnya. Bandung: Refika Aditama. ___________. 2012. Good Governance Bagian Kedua. Bandung: Mandar Maju. ___________. 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Refika Aditama Sedarmayanti, dan Hidayat, Syarifudin. 2011. Metode Penelitian. Bandung: Mandar Maju. Siagian, Sondang P. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sitepu, Nirwana S.K. 1994. Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Unit Pelayanan Statistika Jurusan Statistika, FMIPA Universitas Padjadjaran Subandi. 2011. Ekonomi Pembangunan. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. ___________. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Surjadi. 2012. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Cetakan Kedua. Bandung: Refika Aditama. Sukirno, Sadono. 2007. Ekonomi Pembangunan (Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Suryana. 2011. Kewirausahaan (Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses). Jakarta: Salemba Empat. Swink, Morgan., Melnyk, Steven A., Cooper, M. Bixby., and Hartley,
Janet L. 2011. Managing Operations Across The Supply Chain. New York: McGraw-Hill Irwin. Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI BandungPuslit KP2W Lemlit Unpad. Wahab, Solichin Abdul. 2008. Analisis Kebijaksanaan (Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara). Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara. Wicaksono, Kristian Widya. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Widodo, Joko. 2009. Analisis Kebijakan Publik (Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik). Malang: Bayumedia. Winarno, Budi. 2005. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo. Sumber Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 23 Tahun 2009 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Keputusan Walikota Bandung Nomor: 500/Kep.132-Bag.Ek/2012 tentang Pembentukan Badan Promosi dan Pengelola Keterkaitan Usaha (BPPKU) Kota Bandung Periode 2012 2016. Sumber Jurnal Dipta, I Wayan.2012. Memperkuat UKM Menghadapi Masyarakat Ekonomi
P a g e | 32 ASEAN Tahun 2015. INFOKOP VOLUME 21 Oktober 2012: 1-12. Handrimurtjahyo A. Dedi, Susilo Y. Sri, Soeroso Amiluhur. 2007. FaktorFaktor Penentu Pertumbuhan Usaha Industri Kecil: Kasus Pada Industri Gerabah dan Keramik Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Parallel Session IIIA: Agriculture & Rural Economy, Wisma Makara, Kampus UI-Depok. Purnama, Chamdan & Suyanto. 2010. Motivasi dan Kemampuan Usaha Dalam Meningkatkan Keberhasilan Usaha Industri Kecil. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.12, No.2, September 2010: 177-184. Wibowo Y. Santoso & Artati Rahmi. 2012. Penguatan Infrastruktur Keuangan bagi UMKM: Menyongsong MEA 2015. INFOKOP VOLUME 21 Oktober 2012: 36-52.
Sumber Publikasi Pemerintah Pemerintah Kota Bandung. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandung 2014 2018. Bandung: Pemerintah Kota Bandung. Bappeda Kota Bandung. 2012. Bandung Dalam Angka (Bandung In Figures) 2011. Bandung: Kerjasama Bappeda Kota Bandung dan BPS Kota Bandung. Bappeda Kota Bandung. 2012. Identifikasi UKM di Kota Bandung. Bandung: Bappeda Kota Bandung. Dewan Pengembangan Ekonomi (DPE) Kota Bandung.2010. Pemberian Insentif Bagi Pelaku UMKM Dalam Upaya Meningkatkan Perekonomian Kota Bandung. Bandung: DPE Kota Bandung. Dewan Pengembangan Ekonomi (DPE) Kota Bandung.2013. Skema Pembiayaan Dalam Mengakselerasi Sektor Potensial Kota Bandung. Bandung: DPE Kota Bandung.
P a g e | 33 ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN PADA DINAS PELAYANAN PAJAK KOTA BANDUNG Oleh : Achmad Dachlan Alumnni Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi STIA Bandung ABSTRACT REAL PROPERTY TAX COLLECTION POLICY IMPLEMENTATION IN COMMUNITY AND CITY PERFORMED BY BANDUNG CITY TAX SERVICE DIVISION The concept of the Intergovernmental Relations In Indonesia nowadays are intensively being implemented, one among the policy is the issuing of the law no 28/ 2009 which regulates the transfer authority of Real ProperyTax collection from the government to the local government. Though the real property tax revenue target was achieved over 100 % in Bandung City, but there are many possibilities that the target was not formulated appropriately yet. The implementation of the regulation, still obstacled by the problem of information of the tax object and the tax subject; tax compliance; the effectiveness of tax colletion activity. To analyze this problem, the study was done by the descriptive qualitative approach method. There are official informen and women who were interviewed in the Bandug City such as the head, secretary, sections, subsections and the functional technical position, so as the tax subject who are having problem in the land and building tax matter. Besides the interview technique, also observation, documents study has been used in data collecting activities. The study has discovered that: 1. Invalidity of tax object and tax subject data base .among 520.000 tax subjects are only 60% valid. 2. Institutional aspect, encompasses combination of interrelations among the units, and effects the reorganization which more service quality oriented and coordination problem solving. 3. Developing the assessment system to be the mix system between official and self assessment 4. Lack of work space, facility management and inventory 5. The Human Element:the problem of discipline, quantity and competence. 6. Customer grievancies of the amount of tax liability 7. The problem of tax intensification and extensification. Based on the fact finding, it is recommended to consolidate the policy adaptation with all government units both central and local in the field of information sytem management, human resource development, facilities expenditures, and rewards for the tax payers compliance. A. PENDAHULUAN Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan atas pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan memberi manfaat ekonomi bagi pemilik atau
penggunanya, makaadil bila dikenakan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12
P a g e | 34 Tahun 1994, Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pusat, tapi setelah terbitnya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daeah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) pengelolaan pemungutannya beralih dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. (welfare). Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Satu diantara sumber dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di Daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).. Kenyataan di lapangan pelaksanaan pemungutan pajak masih menghadapi masalah-masalah, antara lain : 1. Kurang intensifnya pelaksanaan pemungutan pajak; 2. Data subjek pajak dan objek yang belum memadai; 3. Masih banyak wajib pajak yang tidak taat membayar pajak. Dengan adanya masalah-masalah tersebut, penetapan target penerimaan pajak menjadi kurang optimal, demikian juga pencapaian target penerimaannya.Sebelum tanggal 1 Januari 2013 penerimaan PBB Kota Bandung merupakan Dana Perimbangan yaitu Bagi hasil. Sebagai bahan perbandingan penerimaan PBB dari bagi hasil tiga tahun terakhir sebelum pengalihan yaitu tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 pada Dinas Pelayanan Kota Bandung terlihat dalam Tabel berikut:
TAH UN
TARGET
REALISASI
%
SISA L/K
2010
220.992. 485.357
190.243.287. 212
86
30.749.198.1 45
2011
178.660. 614.368
182.122.775. 024
102
(3.462.160.65 6)
2012
206.720. 256.187
211.543.259. 405
102
(4.823.003.21 6)
Sumber: Dinas Bandung.
Pelayanan
Pajak
Kota
Dalam intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan perlu diambil langkah kebijakan pembaharuan sistem perpajakan, dengan tujuan: 1. Penyederhanaan jumlah dan jenis pajak, tarif pajak, serta tata cara pemungutannya; 2. Menerapkan azas menghitung dan menyetor sendiri (self assessment) secara benar dan konsekuen; 3. Mencerminkan azas pemerataan dalam pengenaan dan pembebanannya sehingga dapat memenuhi rasa keadilan; 4. Memberikan kepastian hukum, baik bagi wajib pajak maupun bagi aparat pajak. Pembaharuan sistem perpajakan diwujudkan diantaranya dengan pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah. Seperti telah diketahui pajak pusat terdiri dari : 1. Pajak Penghasilan (PPh); 2 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM); 3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan (BPHTB). 4. Bea Materai Pemungutan pajak pusat tersebut yang dialihkan menjadi pajak daerah adalah: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),ditetapkan dengan Undangundang Nomor: 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang pelaksanaannya paling lambat tanggal 1 Januari 2014. Untuk itu diperlukan kebijakan-kebijakan strategis agar
P a g e | 35 pelaksanaan pemungutan PBB-P2 berjalan lancar. Langkah-langkah pengalihan meliputi persiapan, pelaksanaan dan setelah pengalihan. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 182 menetapkan bahwa: Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan dalam waktu paling lambat 31 Desember 2013. Pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) harus menyiapkan : Sumber Daya Manusia, baik kuantitas maupun kualitas; Sarana dan prasarana; Sistem informasi; Keuangan. Masalah-masalah yang dihadapi dalam tahap persiapan, adalah: 1. Banyak pegawai yang belum mempunyai pengetahuan tentang Pemungutan Pajak Bumi dan Banguan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). 2. Jumlah pegawai belum memadai. 3. Bangunan gedung atau ruangan untuk pengelolaan PBB belum tersedia. 4. Sistem informasi tentang PBB belum tersedia, padahal sistem informasi ini sangat penting dalam pengelolaan PBB, mulai pendataan objek pajak, pelayanan kepada wajib pajak .sampai dengan pembayaran PBB-P2. Pelaksanaan pengalihan pengelolaan PBB-P2 dilakukan oleh para pihak yaitu: 1. Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan; 2. Kemeterian Dalam Negeri, yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Keuangan Daerah dan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri; 3. Pemerintah Daerah, yaitu Pemerintah Kabupaten/Kota. Pelaksanaan Bandung lebih
persiapan di Kota lama dibandingkan
dengan Kota Surabaya tanggal 1 Januari 2011 dan 17 Kabupaten/Kota lainnya tanggal 1 Januari 2012, sedangkan Kota Bandung bersama 104 Kabupaten/Kota lainnya, baru terlaksana pada tanggal 1 Januari 2013. Keadaan sesudah pengalihan berarti pengelolaan pemungutan PBB-P2 sejak tanggal 1 Januari 2013 berada ditangan Pemerintah Kota Bandung, dalam hal ini Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. Masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan pemungutan di Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung adalah: 1. Penetapan Obyek Pajak dan Subyek Pajak di Wilayah Kota Bandung masih belum lengkap; 2. Penentuan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) belum berjalan dengan baik, sehingga masih terjadi ketidakadilan dalam pemungutan PBB-P2; 3. Kurangnya kemudahan dalam pembayaran PBB-P2; 4. Masih lambatnya penetapan Surat Penetapan Pajak Terutang (SPPT). B. TINJAUAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL 1. Kebijakan Publik Menurut Budiman Rusli (2013:30): maknanya dengan policy adalah sebuah kata yang dalam implikasinya bisa dipergunakan secara luas (makro) atau sempit atau terbatas ruang lingkupnya (mikro). Kebijakan juga terkait dengan sebuah kewenangan, namun ia memiliki ruang lingkup atas keterbatasan sesuai dengan tugas dan fungsi yang Istilah kebijakan (policy) juga diberi arti bermacam-macam Wahab (1997:1): penggunaanya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti: tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang, ketentuanketentuan usulan-usulan, dan rangcangan-
P a g e | 36 Harold D. Lasswel dan Abraham Kaplan (Islamy, 1997:15) memberi arti a projected program (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah). Pengertian berikutnya dikemukakan oleh James E. Aderson (Islamy, 1997:17) adalah: mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna Selanjutnya Raksasataya (1997:17) mengemukakan bahwa kebijakan adalah: strategi
yang
diarahkan
untuk
Oleh karena itu suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen, yaitu: 1) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai 2) Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan 3) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan sacara nyata dari taktik atau strategi. 2. Pelaksanaan kebijakan Suatu kebijakan akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota masyarakat. Dengan kata lain tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Pentingnya implementasi kebijakan sebagaimana dikemukakan oleh Wahab (1997:59): jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari Kutipan di atas menyatakan bahwa implementasi merupakan bagian terpenting dalam proses kebijakan.
Sementara (2006:15):
menurut
Tachjan
Menurut Sharkansky, Ripley dan Grace A. Franklin dalam Tachjan (2006:63) mengemukakan bahwa: sebagai salah satu aktivitas dari administrasi publik sebagai suatu institusi, dimaksudkan sebagai salah satu proses kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit administratif atau unitunit birokratik pada berbagai tingkat pemerintahan baik bersifat vertikal maupun horizontal dalam proses Implementasi kebijakan publik sangat penting, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, hal ini karena kebijakan publik didalamnya mengandung nilai-nilai (values) yang dibutuhkan oleh publik (orang banyak) tersebut, maka ada unit-unit administratif atau dikatakan sebagai organisasi (birokrasi) publik, karena pembentukannya dimaksudkan untuk melayani kebutuhan/kepentingan publik yang tidak dapat dipenuhi oleh mekanisme (organisasi) pasar dan kegiatan (organisasi) voluntary. Kebutuhan dimaksud dapat berupa: perlindungan, bantuan, pengaturan, dan layanan secara langsung mengenai barang dan jasa publik yang memiliki nilai-nilai instrumental dan nilai terminal (Tachjan, 2006:65) Edwards III dalam (Tachjan,2006:83) mengemukakan bahwa kinerja atau efektifitas kerja yang dicapai oleh organisasi pelaksana (birokrasi) dalam implementasi kebijakan publik, akan Bureaucratic Structure, Resources, Dispositions, Sedangkan mengenai struktur birokrasi (Bureaucratic Structure) menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat 2 karakteristik utama dari birokrasi yakni: 1) Standard Operational Prosedure (SOP) dan 2) fragmentasi. SOP biasa dikenal dengan prosedur kerja. Sedangkan fragmentasi adalah penyebaran
P a g e | 37 tanggung jawab kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Menurut Edwards III dalam Agustino (2006:158-159), Sumber daya (Resources) adalah hal terpenting dalam implementasi kebijakan, terdiri dari: a) Staf. merupakan sumber daya utama dalam implementasi kebijakan dalam hal ini yang dilihat adalah keahlian dan kemampuan dalam mengimplementasikan kebijakan; b) Informasi. dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai kepatuhan terhadap peraturan/regulasi pemerintah yang telah ditetapkan; c) Wewenang. Dilihat dalam efektifitas kewenangan; d) Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan penting dalam implementasi kebijakan.Dalam hal ini dilihat dari fasilitas pendukung yaitu sarana dan prasarana termasuk dukungan keuangan. Faktor yang harus diperhatikan dalam disposisi (dispositions) menurut Edwards III dalam Agustino (2006:159-160) adalah: a. Pengangkatan birokrasi. Personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan dan komitmen pada kepentingan masyarakat; b. Penghargaan. Faktor pendorong agar pelaksana menjalankan perintah dengan baik, hal ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi. Masih menurut Edwards III dalam Agustino (2006:157-158) komunikasi menentukan pada keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi
kebijakan publik. Dikemukakan 3 faktor utama dari komunikasi yaitu: a. Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik; b. Kejelasan; dan c. Konsistensi. Implementasi kebijakan publik harus berjalan dalam kerangka tata kepemerintahan yang baik (good governance). Menurut Sedarmayanti (2012:37): Good Governace nmeliputi tiga domain, yaitu: negara; sektor swasta; dan masyarakat yang saling berinteraksi dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Perlu diingat bahwa kebijakan mempunyai manfaat dan akibat yang merugikan serta tidak selalu implementasi berlangsung seperti yang diinginkan. Networking dengan pendekatan horizontal, bottom-up, dan partisipatif akan sangat membantu implementasi kebijakan. (Partowidagdo, 2010 : 528). Sedangkan menurut Nugroho (2003:162 ): kebijakan dalam konteks manajemen berada di dalam kerangka organizing leading - controlling.Jadi ketika kebijakan sudah dibuat maka tugas selanjutnya adalah megorganisasikan, melaksanakan kepemimpinan untuk memimpin pelaksanaan dan melakukan pengendalian
3. Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Waluyo dan Ilyas (2003:4) mengutip Soemitro mengenai definisi pajak adalah: negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan balas jasa (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk Menurut Soemahamidjaja dalam Waluyo dan Ilyas (2003:5) pajak adalah:
P a g e | 38 atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah : a) Pajak dipungut berdasarkan undangundang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan; b) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah; c) Pajak dipungut oleh Negara dan digunakan untuk pengeluaran pemerintah untuk mencapai kesejahteraan umum. Dalam pemanfaatannya oleh Negara, pajak mempunyai fungsi: a) Fungsi Penerimaan Anggaran (Budgeter),yaitu merupakan sumber dana untuk membiayai pengeluaran pemerintah. b) Fungsi Mengatur (Reguler), yaitu untuk mengatur kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi. Menurut Nurmantu (2005:58) penggolongan pajak terdiri dari: a) Pajak langsung dan tidak langsung b) Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Adapun pajak langsung adalah pajak yang pembayarannya tidak dapat dilalihkan kepada pihak lainnya. Contohnya: Pajak Penghasilan (PPh). Sedangkan Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dilaihkan kepada pihak lain. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ditinjau dari siapa yang berwenang dalam melakukan pemungutannya, pajak dibedakan ke dalam pajak pusat dan pajak daerah.Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemeritah Pusat, sedangkan Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah.
Uraian tentang pajak pusat dan pajak daerah ini untuk menegaskan adanya pengalihan status Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan dari Pajak Pusat menjadi Pajak Daerah. Pemungutan pajak adalah tindakan untuk menarik/mengambil sejumlah uang yang merupakan pajak terutang dari wajib pajak, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1) Landasan teori dari pemungutan pajak Menurut Mardiasmo (2006:3), terdapat beberapa teori yang menjelaskan pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak, adalah: (1) Teori Asuransi; (2) Teori Kepentingan; (3) Teori Daya Pikul; (4) Teori Bhakti; dan (5) Teori Asas Daya Beli. Kelima teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Teori Asuransi: Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hakhak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut. Teori Kepentingan: Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan kepada kepentingan masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar. Teori Daya Pikul: Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak yang harus dibayar sesuai dengan daya pikul masingmasing orang. Teori Bakti: Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah suatu kewajiban. Teori Asas Daya Beli: Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak.
P a g e | 39 Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluuh masyarakat lebih diutamakan. 2) Asas-asas Pemungutan Pajak. Menurut Smith yang dikutip oleh Waluyo dan Ilyas (2003:14), asas pemungutan pajak terdiri dari: a) Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. b) Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang.Wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran. c) Convinience Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak, sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan.Misalnya pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Cara pemungutan ini disebut Pay as You Earn. d) Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminim mungkin, demikian pula beban yang dipikul oleh Wajib Pajak. 3) Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2002:5) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi: a) Official Assesment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang. b) Self Assesment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang. c) Withholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan saat menggunakan Official System, sebab mulai penetapan NJOP dan menetapkan pajak terutang dilakukan oleh fiscus, sedangkan wajib pajak tinggal melakukan pembayaran saja. Komponen dasar untuk menentukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Menurut Mardiasmo (2009:312) : harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Yang dimaksud dengan: Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama serta telah diketahui harga jualnya. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pad saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan
P a g e | 40 penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut. Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut. (Mardiasmo, 2009:312). Orang awam pada umumnya tidak dapat membedakan pengertian antara nilai dan harga. Dalam ilmu penilaian, tidak semua benda atau barang mempunyai nilai yang sama meskipun barangnya sama, berada pada waktu tertentu di suatu tempat/ruang tertentu, untuk orang atau badan tertentu. Sesuatu benda/properti baru mempunyai nilai, apabila memiliki ciriciri yang sangat menentukan, yaitu: 1) Kegunaan (utility), suatu kemapuan untuk mebangkitkan keinginan untuk memiliki properti dimaksud karena diharapkan dapat memberkan keuntungan/manfaat. 2) Kelangkaan (scarcity), jumlah atau persediaan yang terbatas. Makin langka keberadaannya, maka nilainya semakin tinggi. 3) Permintaan (demand), adanya kebutuhan akan suatu benda/harta/ properti. 4) Dapat dialihkan (transferbility), hak penggunaannya dapat dipingahtangankan kepada subjek lain. 5) Dapat dinyatakan dalam bentuk sejumlah uang atau dibandingkan dengan barang lainnya yang sepadan. (Judowinarso, 2006:80) Masih menurut Judowinarso (2006:81) menyatakan bahwa: disepakati atau terjadi karena suatu transaksi atau pertukaran dengan suatu barang yang terjadi di pasar, antara penjual dan pembeli mempunyai pengetahuan yang layak mengenai fakta yang relevan dan tidak dibawah pengaruh, tekanan atau
Mengenai penilaian, menurut Millington yang diadopsi oleh Judowinarso (2006:84) bahwa untuk melakukan penilaian, penilai perlu mengetahui prinsip-prinsip dasar penilaian sebagai pedoman agar hasil yang dicapai optimal. Beberap prinsip penilaian tersebut, adalah: 1) Prinsip tertinggi dan penggunaan terbaik (Principle of highest and best used); 2) Prinsip substitusi/penggantian (Principle of Substitution) 3) Prinsip kesesuaian (Principle of Comformity); 4) Prinsip antisipasi (Principle of Anticipation); 5) Prinsip penawaran dan permintaan (Principle of Supply and Demand); 6) Prinsip keseimbangan (Principle of Balance); 7) Prinsip perubahan (Principle of Change); 8) Prinsip persaingan (Principle of Competition); 9) Prinsip penambahan dan pengurangan (Principle of Increasing and Decreasing Returns atau Law of Diminising Returns); 10) Prinsip penggunaan yang tetap (Principle of Consistens Used). 4. Pelayanan Publik Lewis dan Gilman (2005:22) mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut: publik.Warga Negara berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan secara tepat dan dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.Pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggung jawabkan menghasilkan kepercayaan publik.Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintahan yang Terdapat beberapa penyelenggaraan
asas dalam pelayanan
P a g e | 41 pemerintahan dan perizinan yang harus diperhatikan, Ratminto dan Winarsih (2006:245) adalah: 1) Empati dengan customer, pegawai yang melayani unsur perizinan dari instansi penyelenggara jasa perizinan harus dapat berempati dengan masyarakat pengguna jasa pelayanan 2) Pembatasan prosedur, prosedur harus dirancang sependek mungkin dengan demikian konsep one stop shop benar-benar diterapkan 3) Kejelasan tatacara pelayanan, tatacara pelayanan harus didesain sesederhana mungkin dan dikomunikasikan kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan 4) Minimalisasi persyaratan pelayanan. Persyaratan dalam mengurus pelayanan harus dibatasi sesedikit mungkin dan sebanyak yang diperlukan 5) Kejelasan keweangan.kewenangan pegawai yang melayani masyarakat pengguna jasa pelayanan harus dirumuskan sejelas mungkin dengan membuat bagan tugas dan distribusi kewenangan 6) Transparansi biaya pelayanan harus ditetapkan seminimal mungkin dan setranspran mungkin. 7) Kepastian jadwal dan durasi pelayanan,jadwal dan durasi pelayanan juga harus pasti, sehingga maasyarakat memiliki gambaran yang jelas dan tidak resah 8) Minimalisasi forlmulir. Forlmulirforlmulir harus dirancang secara efisien,sehingga akan dihasilkan formulir komposit (suatu formulir yang dapat dipakai beberapa keperluan) 9) Maksimalisi masa berlakunya izin, untuk menghindarkan terlalu seringnya masyarakat mengurus izin, maka masa beerlakunya izin harus ditetapkan selama mungkin 10) Kejelasan hak dan kewwajiban providers dan customer, hak-hak dan kewajiban baik bagi pdoviders maupun bagi customer harus dirumuskan secara jelas dan
dilengkapi dengan sangsi serta ketentuanganti rugi 11) Efektivitas penanganan keluhan. Pelayanan yang baik sedapat mungkin harus menghindarkan terjadinya keluha.akan tetapi jika muncul keluhan maka harus dirancang suatu mekanisme yang dapat memastikan bahwa keluhan tersebut akan ditangani secara efektif sehingga permasalahan yang ada dapat segera diselesaikan dengan baik Ciri-ciri pelayanan publik yang baik adalah memiliki unsur-unsur sebagai berikut, Kasmir (2006:34): 1) Tersedianya karyawan yang baik; 2) Tersedianya sarana dan prasarana yang baik; 3) Bertanggung jawab kepada setiap nasabah (pelangan sejak awal hingga akhir); 4) Mampu melayani secara cepat dan tepat; 5) Mampu berkomunikasi; 6) Memberikan jaminan kerahasiaan setiap transaksi; 7) Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang baik; 8) Berusaha memahami kebutuhan pelanggan; 9) Mampu memberikan kepercayaan kepada nasabah (pelanggan). Maklumat Pelayanan Publik dewasa ini banyak dikembangkan untuk dapat melaksanakan pelayanan prima Menurut Hardiansyah (2011:31) beberapa muatan materi yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan maklumat pelayanan publik, antara lain: 1) Profil penyelenggara; 2) Tugas dan wewenang penyelenggara; 3) Siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan; 4) Prosedur dan proses pemberian layanan (dapat dalam bentuk bagan/alur); 5) Hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan (tidak sulit, tidak dipersulit dan tidak berbeli-belit;
P a g e | 42 6) Penyederhanaan dan pemangkasan persyaratan; 7) Mekanisme pengajuan pengaduan dan penyampaian saran; 8) Mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan. Strategi pelayanan prima tersebut dalam implementasinya dapat berjalan baik jika ditunjang oleh kinerja pegawai yang baik. Kinerja pegawai dapat diukur dengan Instrumen Pengukuran Kinerja, yang menurut Sedarmayanti (2010:377) meliputi : 1) Prestasi kerja: hasil kerja pegawai dalam menjalankan tugas baik secara kualitas maupun kuantitas kerja. 2) Keahlian: tingkat kemampuan teknis yang dimiliki oleh pegawai dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya. 3) Perilaku: sikap dan tingkah laku pegawai yang melekat pada dirinya dan dibawa dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Pengertian perilaku di sini juga mencakup kejujuran, tanggung jawab dan disiplin. 4) Kepemimpinan: merupakan aspek kemampuan manajerial dan seni dalam memberikan pengaruh kepada orang lain untuk mengkoordinasikan pekerjaan secara tepat dan cepat, termasuk pengambilan keputusan dan penentuan prioritas. C. METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.Pendekatan kualitatif lebih didasarkan pada usaha memahami makna suatu peristiwa dalam situasi tertentu. Pengumpulan data kualitatif dilaksanakan sesuai kebutuhan dan tujuan penelitan dengan cara langsung telibat di lokasi penelitian melalui pengamatan berperan serta (participant observation) yaitu: bertanya, melihat, mendengar dan bila perlu peneliti turut bekerja. Alasan penggunaan pendekatan kualitatif adalah bahwa masalah pada Proses Pengalihan Pemungutan PBB-P2
masih remang-remang, kompleks dan dinamis. Pendekatan penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik, karena dilakukan pada kondisi alami (natural setting).Pendekatan kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna daripada generalisasi. Pemilihan informan dilakukan secara purposve yaitu memilih orang yang mempunyai pengetahuan cukup dan mampu menjelaskan keadaan yang sebenarnya tentang obyek penelitian untuk mendapatkan data yang dibutuhkan sehingga dapat dijadikan sumber informasi kunci (key informan).Penulis juga menggunakan teknik snowbal sampling yaitu metode pengambiln sampel secara berantai (multi level) dalam upaya mendapatkan data yang spesifik dari kegiatan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) pada Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. Informan adalah orang yang berada pada lingkup penelitian, artinya orang yang dapatmemberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.Dengan demikian informan harus yang mempunyai banyak pengalaman tentang masalah sedang diteliti dan secara sukarela mau menjadi sumber informasi baik secara formal maupun tidak, mereka dapat memberikan pandangannya. Adapun informan tersebut adalah: Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Pejabat Fungsional dan pelaksana pada Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung dan beberapa wajib pajak terutama yang mempunyai masalah dalam Pemungutan PBB-P2. Teknik pengumpulan data sebagai sebagai bagian dari metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan telaah dokumen.
P a g e | 43 Verifikasi dimaksudkan agar penilaian tentang kesesuaian data dengan maksud yang terkandung dalam konsep-konsep dasar penelitian tersebut lebih tepat dan obyektif. Verifikasi data dilakukan dengan langkah-langkah penilaian sebagai berikut: 1. Menilai apakah macam dan jenis data sudah sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penelitian. 2. Apakah jumlahnya sudah cukup memadai. 3. Menilai apakah data yang diperloleh ada hubungan dengan fokus permasalahan yang sedang diteliti. Hipotesis maka Verifikasi data bisa juga dilakukan dengan membuat hipotesis, yang fungsinya untuk verifikasi permsalahan dan data, bukan untuk menguji data tapi mencari jawaban sementara dari masalah. Tesch dalam Creswell (2002:144) memberikan delapan langkah untuk dipertimbangkan dalam prosedur analisa data, yaitu : a. Pahami catatan secara keseluruhan. Baca semua catatan dengan teliti, mungkin tulis semua ide yang muncul. b. Pilih satu dokumen (satu wawancara) yang paling menarik, yang singkat, yang ada ditumpukan paling atas. Pelajari dokumen tersebut, tanyakan kepada diri sendiri. Dokumen tentang apa informasi, tetapi makna pokoknya.Tulis pikiran-pikiran anda di pinggir halaman. c. Setelah selesai melakukan proses ini untuk beberapa informan, buat daftar seluruh topik. Kelompokkan topiktopik yang sejenis, masukkan topiktopik ini ke dalam kolom-kolom topik penting, topik unik dan sisanya. d. Sekarang ambil daftar itu dan kembali ke data Anda. Singkaplah topik-topik tersebut menjadi kode dan tulis kode tersebut disebelah bagianbagian/naskah yang sesuai.Cobalah skema pengaturan awal ini untuk
e.
f. g. h.
melihat apakah muncul kategori dan kode baru. Cari kata paling deskriptif untuk topik Anda dan ubah topik tersebut ke dalam kategori-kategori. Kurangi daftar kategori dengan mengelompokkan topik-topik yang saling berhubungan.Mungkin tarik garis antara kategori-kategori untuk memperlihatkan hubungan. Buat keputusan akhir tentang singkatan setiap kategori dan urutkan kode-kode tersebut menurut abjad. Kumpulkan materi data setiap kategori dlualam satu tempat dan lakukan analisa awal. Jika perlu, kodekan kembali data yang sudah ada.
D. PEMBAHASAN Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bahwa Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak Aitas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang semula Pajak Pusat menjadi Pajak Daerah. Dengan demikian terjadi proses pengalihan pengelolaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) selanjutnya disebut PBB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kota Bandung. Sesuai dengan model konseptual yang ditampilkan pada gambar sebelumnya, maka analisis dilakukan terhadap kebijakan strategis dan implementasinya pada tahap persiapan, pelaksanaan dan setelah pengalihan pengelolaan pemungutan PBB dari pajak pusat menjadi pajak daerah. 1. Tahap Persiapan Pengalihan Hal-hal yang harus dipersiapkan oelh Pemerintah Daerah (Dinas Pelayanan Pajak) adalah: a. sarana dan prasarana, b. struktur organisasi dan tata kerja, c. sumber daya manusia, d. Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan Standard Operating Procedure (SOP),
P a g e | 44 e. kerja sama dengan pihak terkait, antara lain, Kantor Pelayanan Pajak, perbankan, Kantor Pertanahan, dan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan f. pembukaan rekening penerimaan PBB-P2 pada bank yang sehat. Langkah perencanaan strateigs dengan menggunakan analisis SWOT, yaitu evaluasi lingkugan internal (internal environtment) yang terdiri dari kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses) serta evaluasi lingkugan eksternal (eksternal environtment), yang terdiri dari peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats} Peluang (opportunities) terdiri dari 4 (empat) faktor, yaitu : a. Dukungan Sistem Informasi Objek Pajak (SISMIOP) dll. dari Ditjen Pajak Kementerian Keuangan merupakan faktor kunci yang sangat strategis dalam pelaksanaan pemungutan PBB, oleh karena itu diberi bobot 0,25 dan rating 4, sehingga bobot x rating = 0,25 x 4 = 1. b. Kerja sama dengan Bank Jabar Banten peluangnya sangat besar, karena BJB merupakan Bank yang ditunjuk sebagai Bendahara Umum Daerah, maka diberi bobot 0,20 dan rating 3, sehingga bobot x rating = 0,20 x 3 = 0,60. c. Adanya wajib pajak yang bijak (taat bayar pajak) merupakan peluang yang cukup berarti dan harus terus ditingkatkan melalui ekstensifikasi perpajakan. Diberi bobot 0,15dan rating 3, sehingga bobot x rating= 0,15 x 3 = 0,45. d. Pelatihan dan bimbingan teknis yang diselenggarakan oleh Ditjen Pajak dan Kemendagri merupakan faktor yang sangat penting, agar supaya pegawai Disyanjak Kota Bandung siap menerima pengalihan pemungutan pajak dari Pusat kepada Daerah. Diberi bobot 0,20 dan rating 4, sehingga bobot x rating = 0,20x4=0,80.
Ancaman (threats) terdiri dari 4 (empat) faktor, yaitu: a. Notaris yang tidak kooperatif, misalnya tidak melaporkan transaksi jual-beli tanah dan atau bangunan yang mengakibatkan perbedaan data objek pajak. Diberi bobot 0,03 dan rating 3, sehingga bobot x rating = 0,03 x 3 = 0,09. b. Perbankan pemerintah dan swasta ((kecuali Bank Jabar Banten) yang tidak mau bekerja untuk menjadi Bank Persepsi atau sebagai bank penerima setoran pajak dari wajib pajak, karena menganggap tidak menguntungkan. Diberi bobot 0,05 dan rating 3, sehingga bobot x rating = 0,05 x 3 = 015. c. Wajib pajak yang tidak taat membayar pajak, yang mengakibatkan terjadinya piutang pajak makin membesar. Diberi bobot 0,07 dan rating 3, sehingga bobot x rating = 0,07 x 3 = 0,21. d. Pegawai kelurahan yang kurang siap, terutama dalam pendistribusian Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) sering terlambat. Diberi bobot 0,05 dan rating 4, maka bobot x rating = 0,05 x4 =0,20. Dari uraian diatas maka faktor-faktor ekstern strategis yang perlu diperhatikan adalah : 1) Segera melakukan serah-teima SISMIOP dll.; 2) Membuat perjanjian kerja sama (MOU) dengan Bank Jabar Banten untuk menjadi bank penerima setoran PBB dari wajib pajak. 3) Membuat perjanjian kerja sama (MOU) dengan DJP dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama untuk pelatihan dan bimbingan teknis. 4) Menyiapkan program pembinaan untuk para wajib pajak yang kurang taat membayar pajak. Kekuatan (strengths) terdiri dari 4 (faktor), yaitu: a. Budaya kerja yang baik: karyawan Disyanjak mulai tingkat pimpinan sampai dengan tingkat terendah
P a g e | 45 mempunyai budaya kerja yang sangat baik, hal ini terlihat dari disiplin, semangat dan kompak dalam melaksanakan tugas. Diberi bobot 0,25 dan rating 4 (sangat penting), sehingga bobot x rating = 0,25 x 4 = 1,00. b. Dibidang keuangan untuk membiayai persiapan pengalihan ini, Disyanjak mendapat dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandung, diberi bobot 0,25 dan rating 4, sehingga bobot x rating = 0,25 x 4 = 1,00. c. Setiap aparatur Pemkot Bandung terutama karyawan Disyanjak mempunyai motivasi yang tinggi untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PBB merupakan salah satu penyumbang Pendapatan Asli Daeah. Diberi bobot 0,15 dan rating 3, sehingga bobot x rating = 0,15 x 3 = 0,45. d. Disyanjak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pemungutan PBB, karena sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dan tidak ada pesaing. Diberi bobot 0,20 dan rating 3, sehingga bobot x nilai = 0,20 x 3 = 0,60. Kelemahan (Weaknesses) terdiri dari 4 (empat) faktor, yaitu: a. Sarana dan prasarana berupa gedung/ruangan, peralatan mebeler, komputer dll. untuk pengelolaan PBB belum siap. Diberi bobot 0,04 dan rating 2, sehingga bobot x rating = 0,04 x 2= 0,08. b. Kekurangan jumlah pegawai, karena yang diperlukan sebanyak 10 orang, sedangkan pegawai yang khusus menangani PBB belum ada. Selain itu belum ada pegawai yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Diberi bobot 0,05 dan rating 2, sehingga bobot x rating = 0,05 x 2 = 0,10.. c. Susunan organisasi dan tata kerja yang belum siap unuk mengelola pemungutan PBB, diberi bobot 0,03 dan rating 1, sehingga bobot x rating = 0,03 x 1 = 0,03.
d. Peraturan (Perda, Perwal dan SOP) belum siap, sehingga belum ada payung hukum untuk mengelola pemungutan PBB. Diberi bobot 0,03 dan rating 1, maka bobot x rating = 0,03 x 1 = 0,03. Dari uraian diatas maka faktor-faktor intern strategis yang perlu diperhatikan dan diatas adalah: (1) Kekurangan sarana dan prasarana harus segera diatasi, dengan cara memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada; (2) Kekurangan pegawai, baik jumlah maupun kualitas dapat diatasi dengan cara menunjuk para pegawai yang diikutsertakan dalam pelatihan dan bimbingan teknis yang diselenggarakan oleh Ditjen Pajak dan Kemendagri. (3) Segera disiapkan SOTK agar dapat mengelola pemungutan PBB (4) Segera disiapkan Peraturan berupa Peraturan Daerah, Peraturan Walikota dan Standard Operating Procedure (SOP) agar ada payung hukum untuk mengelola pemungutan PBB. Sehubungan dengan persiapan tersebut, Pemerintah Daerah dapat mengadopsi beberapa hal yang dimiliki dan telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat (DJP) sebagai berikut: a) Sistem administrasi PBB (pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan), b) Kebijakan/peraturan dan SOP pelayanan, c) Peningkatan keahlian Sumber Daya Manusia (Aparatur) melalui pelatihan, d) Sistem manajemen informasi objek pajak. Setelah dilakukan analisis terhadap faktor strategis ekstern dan faktor strategis intern, maka langkah selanjutnya adalah membuat Matriks SWOT, untuk menetapkan langkah kebijakan strategpis mengatasi masalah
P a g e | 46 dalam persiapan pengalihan PBB dari pusat ke daerah. Kebijakan strategis yang paling baik dilakukan pada persiapan pengalihan pemungutan PBB adalah yang berdasar srategi SO (Strengths dan Opportunities), yaitu dengan keuatan inten berupa modal budaya kerja yang baik, adanya dukungan APBD, dan memiliki motivasi serta kompetensi, menangkap dan memanfaatkan peluang dari ekstern berupa dukungan SISMIOP,Kerja sama dengan BJB, mendayagunakan WPyang bijak, menunjuk pegawai untuk pelatihan dan bimbingan teknis. 2. Tahap Pelaksanaan Pengalihan Pada prinsipnya proses pengalihan pengelolaan PBB kepada seluruh Kabupaten/Kota seluruh Indonesia harus terlaksana paling lambat tanggal 31 Desember 2013, artinya terhitung tanggal 1 Januari 2014 seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia sudah mengelola PBB secara mandiri. Dalam pelaksanaan pengalihan ini, Kota Bandung tahap persiapannya lebih lama dibandingkan dengan Kota Surabaya tanggal 1 Januari 201 dst.1 dan 17 Kabupaten/Kota lainnya tanggal 1 Januari 2012, sedangkan Kota Bandung bersama 104 Kabupaten/Kota lainnya, baru terlaksana pada tanggal 1 Januari 2013. Pihak-pihak yang berperan dalam pelaksanaan pengalihan PBB seperti tercantum pada Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 395 Tahun 2010 adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah. Tugas dan tanggung jawab masingmasing pihak dijabarkan sebagai berikut: a. Pemerintah Pusat (DJP dan DJPK) Tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dipikul bersama oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). DJP bertugas dan bertanggung jawab dalam memberikan Pemerintah Daerah hasil kompilasi berupa: 1) Peraturan Pelaksanaan PBB
2) Standard Operating Procedure (SOP) terkait PBB 3) Struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajakterkait pemungutan PBB 4) Data piutang PBB beserta data pendukungnya, 5) SK Menkeu mengenai Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun waktu 10 tahun sebelumtahun pengalihan, 6) Salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk softcopy. 7) Salinan basis data PBB sebelum Tahun Pengalihan, 8) Salinan Sistem Aplikasi terkait PBB beserta source code-nya. b. Terkait dengan tugas dan tanggung jawab DJP tersebut, DJP telah melakukan langkah-langkah seba)gai berikut: 1) menyampaikan salinan Peraturan PBB 2) menyampaikan Standard Operating Procedures Pengelolaan PBB. 3) menyampaikan Struktur, Tugas dan Fungsi Pengelolaan PBB. 4) menyampaikan Data Tunggakan PBB 5) menyampaikan Data NJOP, NJOPTKP, NPOPTKP, Peta, SISMIOP 6) Aplikasi SISMIOP dan sourcecode 7) sosialisasi ke Stakeholder (Wajib Pajak, Kantor Pertanahan, Kantor Lelang, Bank, Pemerintah Daerah) 8) asistensi ke Pemerintah Daerah c. Tugas dan tanggung jawab DJPK adalah: 1) menggandakan hasil kompilasi tersebut untuk kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah, 2) melakukan pemantauan dan pembinaan pelaksanaan pengalihan kewenangan pemungutan PBB ke Pemerintah Daerah. d. Kementerian Dalam Negeri Tugas dan tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri dilaksanakan bersama oleh
P a g e | 47 Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, dan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri. Tugas dan tanggung jawab tersebut dilakukan dalam bentuk: 1) penyiapan pedoman struktur organisasi dan tata kerja pemerintah daerah, 2) pemberian bimbingan, konsultasi, pendidikan dan pelatihan teknis, dan 3) pelaksanaan supervisi dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan PBB. Kemudian, agar terciptanya kelancaran dalam pengelolaan PBB pemerintah kabupaten/kota harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan keseimbangan antar wilayah 2. Kebijakan tarif PBB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat 3. Menjaga kualitas pelayanan kepada WP, dan 4. Akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga Serah terima tugas pengelolaan pemungutan PBB dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 2 Januari 2013 dituangkan dalam Berita Acara Nomor 25/BA/Disyanjak/2013 tanggal 2 Januari 2013 ditanda-tangani oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I sebagai fihak ke-I dan Kepala Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung sebagai fihak ke-2 disaksikan oleh Walikota Bandung, para Kepala Dinas Pemerintah Kota Bandung, para Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama di 5 (lima) wilayah Kota Bandung. Langkah strategis yang dilakukan pada saat pengalihan, adalah : 1) Mengecek jenis dan jumlah seluruh barang yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat ( DJP, DIPK, Kemendagri, Kanwil DJP dan KPP Pratama Bandung) kepada Disyanjak Kota Bandung.
2) Mengklasifikasi data yang diterima dari Pemerintah Pusat. 3) Mengecek kualitas, isi materi, basis data (data base) kebenaran sistem aplikasi dll. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa : 1) Barang yang diterima Disyanjak Kota Bandung adalah sebanyak 3 (tiga) jenis, yaitu dokumen, sistem aplikasi, dan file data dengan rincian sebagai berikut: a) Dokumen terdiri dari: - Peraturan Pelaksanaan PBB Standard Operating Procedure (SOP) terkait PBB Struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan PBB - SK Menkeu mengenai Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun waktu 10 tahun sebelum tahun pengalihan. b) Sistem aplikasi terdiri dari : Sistem Aplikasi terkait PBB beserta source code-nya. Sistem Aplikasi SISMIOP dan sourcecode-nya - Salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk softcopy-nya c) File data yang terdiri dari : - Basis data PBB sebelum Tahun Pengalihan, - Data piutang/tunggakan PBB beserta data pendukungnya, - Data NJOP, NJOPTKP, NPOPTKP. 2) Hasil penelitian terhadap isi materi dan kualitas barang yang diterima adalah sebagai berikut : a) Dokumen berupa Peraturan Pelaksanaan PBB Standard Operating Procedure (SOP) terkait PBB, Struktur, tugas, dan fungsi organisasi dapat dijadikan acuan untuk menerbitkan Peraturan Walikota sesuai kebutuhan Disyanjak Kota Bandung.
P a g e | 48 b) Sistem Aplikasi dapat dipergunakan dalam pengelolaan pemungutan PBB selanjutnya. c) Basis data banyak yang tidak valid dibanding dengan keadaan wajib pajak yang sebenarnya. Dari 520.000 wajib pajak, hanya 60% saja yang valid, berarti masih ada 208.000 data WP yang harus di-update. d) Data piutang/tunggakan macet sebesar Rp 500,- milyar merupakan masalah yang cukup berat, demikian juga NJOP perlu peninjauan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dlambil langkah-langkah strategis sebagai berikut: 1) Untuk mengatasi masalah SOTK, telah diterbitkan: - Peraturan Walikota Bandung Nomor 288 Tahun 2012 yang telah diubah dengan Peraturan Walikota Bandung Nomor 294 Tahun 2013 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Uraian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. - Peraturan Walikota Bandung Nomor 887 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan. - Peraturan Walikota Bandung Nomor 309 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Bandung Tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan. 2) Bekerjasama dengan petugas Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung dalam hal operasional sistem aplikasi pemungutan PBB. 3) Klarifikasi ke KPP Pratama Bandung tentang basis data wajib pajak tidak valid yang dalam lingkup Disyanjak Kota Bandung Klarifikasi jumlah piutang/tunggakan pajak baik jumlah wajib pajaknya maupun nilai rupiahnya. 4) NJOP TKP dinaikkan yang semula Rp 8.000.000,- menjadi Rp 25.000.000,berdasarkan Peraturan Walikota Bandung Nomor 309 tahun 2013.
5) Untuk peralatan (perangkat berupa: High Speed Printer Scanner dan Plotter Komputer dan Printer, Distometer Theodolit File Storage
keras)
Tidak ada penyerahan dari Pemerintah Pusat, makai dlakukan pengadaan barang dengan menggunakan dana APBD Pemkot Bandung tahun 2012. 3. Tahap setelah pengalihan Tahap setelah pengalihan artinya pengelolaan pemungutan PBB sepenuhnya ada di tangan Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung, yaitu mulai tangga 1 Januari 2013.Tahap ini adalah tahap paling krusial dan menentukan keberhasilan pemungutan pajak yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. Dengan kata lain mulai saat iini kedepan adalah tahapan implementasi kebijakan untuk menjamin keberhasilan pemungutan PBB, karena akan sangat berarti bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan pada gilirannya akan mendukung penguatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bandung. Oleh karena itu penulis kemukakan dilaksanakan dengan baik, maka pendapatan asli daerah akan meningkat dan menunjang penguatan APBD Kota Hipotesis ini berfungsi sebagai alat untuk verifikasi data, bukan untuk mengujinya. Jadi hipotesis ini adalah jawaban sementara dari masalah. Untuk melaksanakan tugas berat tersebut Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung mempunyai Visi, Misi dan Motto. Visi: Profesional dalam pengelolaan Pajak Daerah; Prima dalam pelaksanaan menuju Kota Jasa yang bermartabat (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat);
P a g e | 49 Misi: Menjadikan Pajak sebagai sumber utama Pendapatan Daerah; Meningkatkan Sistem Pengelolaan Pajak secara transparan dan akuntabel. Motto: Kuingin Kau Tersenyum Puas. artinya bahwa seluruh pegawai Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung dengan semangat dan disiplin tinggi meberikan pelayanan kepada masyarakat (wajib pajak) sehingga setiap orang yang berurusan dengan Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung selalu tersenyum puas karena dilayani dengan baik dan memuaskan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sedarmayanti (2010:250), bahwa strategi pelayanan prima yang mengacu kepada kepuasan/keinginan pelanggan dapat ditempuh melalui Implementasi visi misi pelayanan pada semua tingkat yang terkait dengan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjalankan Visi dan Misi tersebut, Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung didukung oleh sumber daya sebagai beikut : 1) Sumber daya manusia (Pegawai). a) Terdapat 5 (lima) orang pegawai yang ditugaskan sebagai Koordinator Wilayah Bandung Barat, Bandung Timur, Bandung Tengah, Bandung Utara, dan Bandung Selatan. Korwil bukan jabatan struktural, tetapi cukup penting untuk meningkatkan komunikasi dengan wajib pajak, misalnya dalam mendistribusikan SPPT melalui aparat kewilayahan. b) Ada 2 (dua) orang pegawai yang pangkatnya sudah Penata Tk. I (Gol. III/d) tetapi masih pelaksana, apabila memenuhi syarat-syarat kepegawaiannya perlu diusulkan untuk menduduki jabatan Kepala Seksi pada Disyanjak atau di Dinas lain di Kota Bandung. c) Melihat kenyataan bahwa beban volume kerja yang sangat besar, maka perlu tambahan pegawai : 10 orang.
d) Pengamatan terhadap absensi pegawai diketahui bahwa tingkat kehadiran pegawai sangat baik. Dalam satu bulan pegawai yang tidak masuk hanya satu atau dua orang saja dengan keterangan sakit atau izin. Sedangkan pegawai yang keluar kantor pada jam kerja karena keperluan yang mendesak sudah seizin atasannya. Peraturan lain, misalnya apel pagi di Balai Kota Jl. Wastukancana no.2, ketentuan berpakain Linmas, Rabu nyunda, pakaian batik dan pakaian olah raga ditaati dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai pada Bidang Pajak Penetapan Disyanjak Kota Bandung mempunyai budaya kerja yang baik, kompak, berdisiplin dan mempunyai semangat yang tinggi.Semua itu adalah hasil koordinasi dan pembinaan secara tepat, cepat, dan baik dari pimpinan dalam mengambil keputusan. Kenyataan ini sesuai dengan yang dikemukakan Sedarmayanti (2010:377), pengukuran kinerja, kepemimpinan merupakan aspek kemampuan manajerial dan seni dalam memberikan pengaruh kepada orang lain untuk mengkoordinasikan pekerjaan secara tepat dan cepat, termasuk pengambilan keputusan dan penentuan 2) Sarana dan Perlengkapan. a) Gedung kantor/Ruangan: Tempat Pelayanan PBB Disyanjak Kota Bandung terletak di kompleks Badan Pelayanan Terpadu (BPPT) Kota Bandung, menempati gedung/ruangan berukuran 12 m x 30 m = 360 M2 dan disekat menjadi 14 ruangan. Penggunaannya adalah untukruang kerja Kepala Bidang Pajak Penetapan, 3 ruang Kepala Seksi, Ruang rapat, Front Office, ruang Korwil, Loket Bank Jabar Banten dll. Menurut pengamatan penulis, ruangan-ruangan tersebut terasa sangat sempit dan berdesakan, ruang untuk penyimpanan berkas tidak tersedia,
P a g e | 50 sehingga berkas terpaksa disimpan di ruang rapat, di atas lemari dll. Menurut penjelasan Kepala Bidang Pajak Penetapan selaku penanggungjawab pelayanan PBB, kekurangan sarana ruang kerja berupa ruang penyimpanan berkas aktif dan ruang penyimpanan berkas aktif dan ruang informasi merupakan masalah yang harus segera diatasi. b) Kendaraan Dinas Bidang Pajak Penagihan mendapat fasilitas: Kendaraan roda 4 = 2 Unit Kendaraan roda 2 = 40 Unit c) Mebeler. Peralatan kelompok mebeler terdiri dari: Meja Kepala Bidang = 1 Meja Kepala Seksi = 3 Meja pelaksana = 59 Meja Informasi = 1 Meja front office = 1 (panjang) Kursi Kepala Bidang = 1 Kursi Kepala Sesksi = 3 Kursi Pelaksana = 59 Kursi tamu = 54 Lemari = 6 Filing Cabinet = 6 Sofa = 1 d) Peralatan perangkat keras. Perangkat keras terdiri dari: High Speed Printer = 4 Scanner dan Plotter = 1 Komputer PC Manual = 2 Komputer Sistem PBB = 13 Global Posistioning = 1 Distometer = 1 Theodolit = 1 File Storage = 1 Sudah lengkap hasil pengadaan dengan dana APBD tahun 2012. e) Peralatan teknologi informasi (software) Sistem aplikasi terdiri dari : - Sistem Aplikasi terkait PBB beserta source code-nya. - Sistem Aplikasi SISMIOP dan source code-nya f) Lain-lain Papan pengumuman Petunjuk alur proses layanan
Gambar Presiden, Wakil Presiden, dan Jam dinding Setiap ruangan dibuat Daftar Inventaris Ruangan (DIR) dan isinya sesuai barang-barang yang ada di ruangan yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa penatausahaan barang milik/kekayaan negara/daerah terlaksana dengan baik. 3) Keuangan Tersedia dalam APBD dan DA-SKPD untuk Disyanjak Kota Bandung 4. Implementasi Kebijakan strategis Pemungutan PBB Tindak lanjut setelah tahap pengalihan pengelolaan pemungutan PBB adalah implementasi kebijakan strategis untuk menjamin agar tugas pemungutan PBB dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya. Berikut ini penulis uraikan beberapa pengertian yang berkaitan dengan pemungutan PBB, yang dikutip dari Buku Panduan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) yang diterbitkan oleh Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung tahun 2013. a. Aturan/ Dasar Hukum PBB. 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tanggal 15 September 2009. 2) Peraturan Daerah kota Bandung Nomor 20 tahun 2011 tentang Pajak Daerah tanggal 30 Desember 2011. 3) Peraturan Walikota Bandung Nomor 309 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Bandung nomor 887 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan tanggal 28 Desember 2012. b. Ketentuan Umum Pajak Bumi dan Bangunan 1) Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut PBB adalah pajak atas Bumi dan/atau Bangunan sektor perkotaan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang
P a g e | 51 pribadi atau badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. 2) Objek Pajak Objek Pajak PBB adalah "Bumi dan Bangunan": Bumi: Permukaan Bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Bangunan: Konstrusi Teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap. Contoh: jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal, dermaga, taman mewah, tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, dan menara. 3) Objek Pbb Yang Tidak Dikenakan PBB a) digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan; b) digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; c) digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; d) merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; e) digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat brdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan f) digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. 4) Subjek Pajak DanWajib Pajak a) Subyek pajak adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. b) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan perundang- undangan perpajakan daerah. 5) Cara Mendaftarkan Objek PBB Orang atau badan yang menjadi subjek pajak harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung dengan menggunakan Formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang tersedia gratis di Kantor Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. 6) Dasar Pengenaan Pajak Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah NJOP. a. Besarnya N]OP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap. t a h u n sesuai dengan perkembangan wilayahnya. b. Penetapan besarnya NJOP ditetapkan oleh Walikota berdasarkan Klasifikasi Objek Pajak. 7) Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP) NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi/atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. 8) Tarif PBB a. Sebesar 0,1% (nol koma satu persen) untuk objek p a j a k dengan NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu
P a g e | 52 milyar rupiah). Sebesar 0,2% (nol koma dua persen) untuk objek pajak dengan c. NJOP di atas Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
b.
8) Rumus Penghitungan PBB a. 0,1% X (NJOP - NJOPTKP) untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). b. 0,2 % X (NJOP - NJOPTKP) untuk NJOP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 9) Tempat Pembayaran PBB Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dari Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung harus melunasinya tepat waktu pada tempat tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu di loket-loket Cabang Bank Jabar Banten, Cabang pembantu BJB, warung BJB dan loket kas BJB Phusus untuk pembayaran PBB yang ada di Tempat Pelayanan PBB, atau tempat lain yang ditunjuk oleh Walikota.
Pajak Kota Bandung. b) Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. c) Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. d) Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian dengan melampirkan foto copy bukti yang sah (Sertifikat Tanah, alcta jual beli tanah, dan lain - lain. e) Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung dengan surat kuasa khusus bermaterei, sebagai kuasa wajib pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP f) Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.
11) Surat Pemberitahuan Objek Pajak Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
13) Kewajiban Wajib Pajak a. Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP. b. Mengisi SPOP dengan jelas, benar dan lengkap: 1) jelas berarti dapat dibaca sehingga tidak menimbulkan salah tafsir; 2) Benar berarti data yang diisi sesuai dengan keadaanyang sebenarnya; 3) Lengkap berarti terisi semua dan ditandatangani serta dilampiri surat kuasa bagi yang dikuasakan. c. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi Wajib Pajak Ke Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung selambat-lambatnya 3© hari setelah formulirSPOP diterima. d. Melaporkan perubahan data Objek Pajak/Wajib Pajak ke Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung dengan cara mengisi SPOP sebagai perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.
12) Hak Wa ji b Pa jak a) Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada Kantor Dinas Pelayanan
14) Sanksi a. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan k e m b a l i SPOP
10) SaatYang MenentukanPajakTerhutang Saat menentukan pajak terhutang atau belum dibayar adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
P a g e | 53 pada waktunya, Walikota menerbitkan Surat Teguran yang berisikan perintah kepada wajib pajak untuk segera menyampaikan SPOP. b. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar daripada jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOPyangdisampaikan oleh wajib pajak. 15) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) DanTata CaraPembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan a. Pengertian Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada wajib pajak. b. Hak Wajib Pajak 1) Menerima SPPT PBB setiap tahun pajak, setelah menyerahkan SPOP. 2) Mendapatkan penjelasan berkaitan dengan ketetapan PBB 3) Mengajukan keberatan dan/atau pengurangan 4) Mendapatkan Tanda Bukti Pembayaran PBB dari Bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Walikota Bandungyang tercantum pada SPPT. c. Kewajjban Wajib Pajak 1) Mengisi Surat Pemberitahuan.Objek Pajak (SPOP) dengan lengkap, benar dan jelas dan menyampaikan ke Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. 2) Menandatangani bukti tanda terima SPPT dan mengirimkanny kembali ke Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. 3) Melunasi PBB melalui Bank atau tempat lainyang ditunjuk oleh Walikota Bandung. d. Cara Mendapatkan Sppt 1) Meng)ambil sendiri di Kantor Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung atau Kantor Kelurahan. 2) Dalam rangka pelayanan, SPPT dapat diantar oleh aparat
Kelurahan. 16) Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan a) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi paling lambat 6 bulan sejak diterimanya SPPT oleh wajib pajak. b) Pajak yang terutang berdasarkan SKPD harus dilunasi dalam janglca waktu paling lama 15 hari kerja sejak diterimanya SKPD oleh wajib pajak. c) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur Nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. d) Hari libur Nasional termasuk hari yang diliburkan untuk Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintahdancuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. e) Dalam hal pembayaran jatuh tempo pada hari kerja, khusus untuk pembayaran melalui Jaringan Elektronik Bank, pembayaran harus dilakukan sampai jam 24.00 WIB sebagaimana diatur dalam Peraturan Walikota Bandung. f) Pembayaran yang dilakukan melewati waktu dikenakan denda sebesar 2% setiap bulan. g) Pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan SSPD PBB / bukti lainyang sah. h) Kepada Wajib Pajak diberikan bukti pembayaran SSPD PBB / bukti lain yang sah sebagai bukti telah melunasi pembayaran PBB dari Bank atau tempat lainyang ditunjuk oleh Walikota Bandung. i) SSPD PBB / bukti lain yang sah berfungsi sebagai bukti pembayaran yang sah apabila telah mendapatkan validasi. j) Pembayaran pajak dilakukan di Bank atau tempat yang ditunjuk oleh Walikota. k) Pembayaran dengan Cek Bank/Giro
P a g e | 54 Bilyet Bank, baru dianggap sah apabila telah dilakukan kliring. l) Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan melalui jaringan kantor bank dan jaringan elektronik bank. m) Pembayaran yang dilakukan melalui jaringan elektronik bank dianggap sah apabila wajib pajak telah menerima bukti pembayaran pajak daerah/bukti pembayaran ATM. n) Pengawasan terhadap tempat pembayaran, tempat pembayaran Elektronik, Bank dalam rangka pengelolaan penerimaan PBB dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. o) Tempat pembayaran yang telah ditunjuk melaporkan kepada Walikota Bandung melalui Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. 17) Pengurangan Pajak Bumi Dan Bangunan a. Walikota Bandung dapat memberikan penguranganatau pembebasan pajak, dalam hal: 1) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak pensiunan PNS, TNI/Polri sebesar 15% dari pajak terhutang; 2) Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, termasuk janda/dudanya sebesar 75% dari pajak terhutang; 3) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi tokoh pejuang sosial sebesar 50% dari pajak terhutang; 4) Objek pajak yang mempunyai fungsi pelestarian lingkungan sebesar 50% dari pajak terhutang; 5) Objek pajak Bangunan yang termasuk cagar budaya sebesar 25% dari pajak terhutang; 6) Objek pajak yang terkena bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus. dan sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran
yang mengakibatkan objek pajak tidak dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak sebesar 100% dari pajak terhutang; 7) Wajib pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada tahun sebelumnya sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban dibuktikan dengan laporan keuangan yang telah di audit oleh akuntan publik sebesar 10% dari pajak terhutang. 8) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak yang berbadan hukum yang mengupayakan kantong plastik atau kantong alternatif lain yang ramah lingkungan dan/atau mengurangi penyediaan kantong plastik sebesar 25%. b. Dalam hal wajib pajak orang pribadi memiliki, menguasai dan/atau memanfaatkan lebih dari satu objek pajak, pengurangan atau pembebasan hanya diberikan terhadap objek pajak yang terletak di wilayah Kota Bandung yang menjadi tempat tinggal wajib pajak. 18) Cara Pengajuan Permohonan a. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada walikota. b. Permohonan pengurangan diajukan: 1) Selambat-lambatnya 3 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT; 2) Selambat-lambatnya 15 hari sejak tanggal diterimanya SKPD; 3) Selambat-lambatnya 15 hari sejak tanggal diterimanya SKPD; 4) Selambat-lambatnya 15 hari sejak terjadinya bencana alam atau sebabsebab lain yang luar biasa. c. Permohonan pengurangan pajak sebagaimana diajukan per tahun secara perorangan. 19) Bentuk Keputusan a. Dalam hal wajib pajak melakukan permohonan pengurangan PBB, Dinas menunjuk petugas untuk melakukan penelitian administrasi dan/atau penelitian
P a g e | 55 lapangan serta membuat Uraian Penelitian Pengurangan PBB; b. Berdasarkan Uraian Penelitian, Kepala Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan PBB. c. Keputusan atas permohonan pengurangan besarnya PBB yang diajukan Wajib Pajak dapat berupa: 1. Mengabulkan seluruh permohonan; 2. Mengabulkan sebagian, atau; 3. Menolak. 20) SURAT KETETAPAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Surat Keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, kepada Wajib Pajak. SKP diterbitkan apabila a. Surat Pemberitahuan Objelc Pajak (SPOP): 1) Tidak diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta tidak ditandatangani oleh WP. 2) Tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. b. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP. 21) Batas Waktu Pelunasan SKP SKP harus dilunasi dalam jangka waktu 15 (Lima Belas) Hari Kerja sejak SKP diterima oleh WP. Atas SKP dapat diajukan keberatan/pengurangan. Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) Pajak Bumi Dan Bangunan.
a. Pengertian Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. b. Dasar Penerbitan STPD 1) WP tidak melunasi pajak terhutang sedangkan saat jatuh tempo pembayaran SPPT / SKP telah lewat. 2) WP melunasi pajak terhutang setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran SPPT/SKP tetapi denda administrasi tidakdilunasi. 22) Keberatan Atas Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan a. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada walikota atas suatu: 1) SPPT; 2) SKPD; 3) SKPD KB; 4) SKPDKBT; 5) SKPDLB. 6) STPD b. Permohonan keberatan diajukan dengan syarat sebagai berikut: 1) Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas dan penghitungan jumlah pajak yang terutang; 2) Surat permohonan ditandatangani oleh wajib pajak dan dalam hal surat permohonan dikuasakan harus dilampiri dengan surat kuasa; 3) Diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan dimaksud poin (a). c. Pengajuan surat keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak. 23) Keputusan Keberatan a. Dalam jangka waktu 12 bulan sejak surat keberatan diterima, Walikota menerbitkan keputusan atas keberatan. b. Apabila jangka waktu telah lewat Walikota tidak
P a g e | 56 memberikan Keputusan, keberatan yang diajukan wajib pajak dianggap dikabulkan. c. Keputusan atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak 24) Kelebihan Atas Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan Kelebihan Pembayaran PBB adalah selisih antara Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak dengan pajak yang terhutang. a) Surat Keputusan Keberatan atau Surat Keputusan Pembetulan, Pembatalan dan Pengurangan Ketetapan, dan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi; b) Putusan banding atau putusan peninjauan kembali; dan c) Kebijakan pemberian pengurangan, keringanan, dan/atau pembebasan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan. 25) Tata Cara Pengajuan Permohonan a. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian angka atas kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan kepada Walikota. b. Pengembalian kelebihan pembayaraji disebabkan adanya kelebihan pembayaran karena adanya: 1) Surat Keputusan Keberatan atau Surat Keputusan Pembetulan, Pembatalan dan Pengurangan Ketetapan, dan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi 2) Putusan banding atau putusan peninjauan kembali;dan 3) Kebijakan pemberian pengurangan, keringanan, dan/atau pembebasan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan. c. Permohonan Wajib Pajak diajukan secara tertulis dengan mencantumkan: 1) NOP, Nama, dan Alamat Objek dan Wajib Pajak;
2) Besarnya kelebihan pembayaran pajak; 3) Alasan permintaan pengembalian kelebihan pembayaran; dan 4) Pernyataan Wajib Pajak tentang bentuk pengembalian kelebihan pajak yang dikehendaki berupa Restitusi atau Kompensasi. d. Permohonan harus dilampiri dengan: 1) FotocopyKTP/SIM; 2) Asli dan Fotocopy SSPD/Tanda lunas PBB yang dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran; 3) Fotocopy lunas PBB 5tahunsebelumnya; 4) Dalam hal permohonan diajukan oleh kuasa wajib pajak, harus dilampiri dengan surat kuasa dan fotocopy KTPyang diberi kuasa. e. Dokumen asli yang menjadi dasar permohonan pengembalian Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak disampaikan secara langsungatau melalui PosTercatat. f. Bulcti penerimaan atau bukti pengiriman Pos Tercatat merupakan bukti saat permohonan diterima oleh Walikota. g. Pengembalian kelebihan pembayaran PBB dapat berupa: 1) Pengembalian dalam bentuk pemindahbukuan untuk pembayaran PBB tahun berikutnya, tunggakan, Objek Pajak yang lain dan Utang Pajak Daerah lainnya; 2) Pengembalian pembayaran tunai. 26) Pendaftaran Dan Pendataan Objek Pajak Bumi Dan Bangunan Pendaftaran Objek Dan Subjek PBB a. Pendaftaran objek PBB baru, dilakukan oleh subjek pajak atau wajib pajak dengan persyaratan sebagai berikut: 1) Mengajukan permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia yang ditujukan kepada Walikota melalui Dinas; 2) Mengisi SPOP, termasuk lampiran SPOP dengan jelas,
P a g e | 57 benardanlengkap; 3) Formulir SPOP dan atau LSPOP dapat diperoleh di Dinas. 4) Wajib Pajak yang memiliki NPWP/ NPWPD wajib mencantumkan NPWP/NPWPD dalam kolomyang tersedia dalam SPOP; 5) Surat permohonan dan SPOP termasuk lampiran SPOP sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditandatangani oleh subjek pajak atau wajib pajak dan dalam hal ditandatangani oleh kuasa, harus dilampiri dengan Surat Kuasa bermaterai; 6) Surat permohonan dan SPOP termasuk lampiran SPOP disampaikan kepada Walikota melalui Dinas selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya SPOP oleh subjek pajak atau kuasanya; b. Surat permohonan dilampiri dolcumen pendukung sebagai berikut: 1) Fotocopy KTP atau identitas diri lainnya; 2) Fotocopy bukti kepemilikan/penguasaan/ pemanfaatan tanah (sertifikat/AJB /Girik/ dokumen lainyang sejenis); 3) Fotocopy Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi yang memiliki bangunan; 4) Fotocopy NPWP/NPWPD (bagi yang memiliki NPWP/NPWPD); 5) FotocopySSB/SSPD BPHTB; 6) Surat Keterangan Tanah dari* Lurah yang diketahui oleh Camat setempat. c. Atas pendaftaran objek pajak baru Dinas melakukan penelitian administrasi dan/atau penelitian lapangan. 27) Pendataan Objek Dan Subjek PBB a. Pendataan objek pajakdilakukan dengan cara: 1) Pendataan aktif melalui: a) Pembentukan basis data objek dan subjek PBB; b) Pemeliharaan basis data objek dan subjek PBB dengan cara
b.
c.
d. e.
pemutakhiran data objek/subjek pajak secara aktif oleh Dinas di suatu wilayah kelurahan; c) Pemeliharaan bass data melalui penyempurnaan Zona Nilai Tanah /Nilai Indikasi Rata-Rata; d) Pemeliharaan basis data digital, berupa: Pemeliharaan basis data digital dilakukan sebagai rangkaian dari pemeliharaan data objek - subjek PBB; Pemeliharaan basis data melalui konversi peta analog dalam hal terdapat wilayah yang belum memiliki peta digital tetapi tersedia peta analog; Pemeliharaan basis data digital berdasarkan hasil koordinasi dengan instansi lain dalam bidang perpetaan. 2) Pendataan pasif dilakukan oleh wajib pajak melalui pendaftaran objek pajak baru, mutasi, pembetulan data dan disampaikan kepada Dinas. Pendataan objek dan subjek PBB sebagaimana dimaksud diatas dilakukan dengan carapenyampaian SPOP, pengidentifikasian objek pajak, verifikasi data objek dan subjek pajak, pengukuran bidang objek pajak, penggambaran peta dan pengolahan data grafis oleh Dinas. Dalam melakukan pendataan dengan cara penyampaian SPOP, Dinas dapat menyampaikan SPOP dan atau LSPOP melalui UPT Pemungutan Pajak di 5 wilayah. Dinas mengelola hasil pendataan berupa data numerik dan data grafis dalam sebuah sistem informasi. Dinas dapat bekerjasama dengan instansi terkait yang memiliki data yang berkaitan dengan objek dan atau subjek pajak untuk pemutakhiran data PBB.
28) Penagihan Pajak Bumi Dan Bangunan Serangkaian tindakan agar wajib
P a g e | 58 pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, penyanderaan dan menjual barang yang telah disita. 29) Pelaksanaan Penagihan a) Apabila setelah lewat waktu 7 hari kerja sejak jatuh tempo pembayaran wajib pajak tidak melunasi PBB, kepada wajib pajak dapat diterbitkan surat teguran. b) STPD diterbitkan oleh walikota apabila wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ditentulcan dalam surat teguran. c) Dalam hal wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam STPD, dilakukan penagihan dengan Surat Paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. d) Dalam hal pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu 2x24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada wajib pajak, Walikota menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. e) Surat Paksa disampaikan kepada wajib pajak oleh Jurusita Pajak Daerah. f) Pelaksanaan penyitaan dilakukan oleh Jurusita Pajak Daerah. g) Penagihan pajak dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran, apabila: 1) Wajib Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; 2) Wajib Pajak memindahkan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam ranglca menghentilcan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia; 3) Terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak akanm e m b u b a r k a n badan usahanya atau menggabungkan usahanya atau
memekarkan usahanya atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya atau melakukan perubahan bentuk lainnya; 4) Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; dan 5) Terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak oleh p i h a k ketiga atau terdapat t a n d a - t a n d a kepailitan. Pelaksanaan tugas pelayanan PBB terdiri tugas rutin dan tugas insidentil. 5. Pelaksanaan Tugas Rutin Tugas rutin yang setiap tahun harus dilakukan adalah penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sebagai awal dari proses pemungutan PBB. Langkah-langkah penerbitan SPPT untuk tahun pajak 2013 adalah sebagai berikut: 1. Operator Computer (OC) selesai melakukan pemutakhiran data base; 2. Mencetak SPPT yang pada saat berjumlah 521.786 WP; 3. Pencetakkan selesai akhir bulan Februari 2013, SPPT dicetak per Wilayah masing-masing terdiri dari 5 jenis buku. - Buku I berisi SPPT dengan nilai Rp 0,- s.d. Rp 100.000,- Buku II berisi SPPT dengan nilai Rp 101.000,- s.d. Rp 500.000,- Buku III berisi SPPT dengan nilai Rp 501.000,- s.d. Rp 1.000.000,- Buku IV berisi SPPT dengan nilai Rp 1.000.001,- s.d. Rp 5.000.000,- Buku V berisi SPPT dengan nilai Rp 5.000.001,- ke atas. 4. SPPT ditandatangani oleh Kepala Bidang Pajak Penetapan Disyanjak Kota Bandung dan distempel Disyanjak, paling lambat akhir Maret; 5. SPPT dikirim ke Unit Pelayanan Pajak (UPP) di 5 wilayah; 6. Petugas di UPP masing-masing wilayah memilah SPPT per-Kecamatan dan per-Kelurahan dan menyampaikannya ke Kecamatan dan Kelurahan;
P a g e | 59 7. Aparat kelurahan membagikan ke masing-masing wajib pajak. Proses penerbitan SPPT sampai dengan didistribusikan dan diterima oleh WP dapat digambarkan sebagai berikut: Mekanisme pemungutan PBB dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Sistem pemungutan pajak untuk PBB adalah Official Assesment, artinya petugas pajak (fiskus) menghitung pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak dan dituangkan ke dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT); Isi SPPT antara lain:: Nama wajib pajak dan NPWP/NPWPD; Perhitungan pajak terutang; Diterbitkan tanggal 1 April dan pembayaran terakhir paling lambat 30 September; Contoh perhitungan pajak terutang: a) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah/bumi:Rp 400.000.000,b) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP} bangunan: Rp 350.000.000,-NJOP tanah dan bangunan Rp 750.000.000,c) Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak: Rp 25.000.000,-NJOPTKP d) NJOPKP Rp 725.000.000,e) Tarif PBB = 0,1% , karena NJOP dibawah Rp 1.000.000.000,- ( Satu milyar rupiah) f) Pajak terutang = 0,1% x Rp 725.000.000,- Rp 725.000,- (Tujuh ratus dua puluh lima ribu rupiah) Diterbitkan tanggal 1 April dan pembayaran terakhir paling lambat 30 September; Tempat dan cara pembayaran, yaitu di loket atau ATM Bank BJB; Nama dan tandatangan Kepala Bidang Pajak Penetapan Disyanjak Kota Bandung selaku Penangungjawab Pengelolaan PBB Kota Bandung. Menurut Mardiasmo (2009:5), sistem pemungutan pajak terdiri dari 3 (jenis, yaitu) : 1) Official Assessment System.
2) Self Assessment System. 3) With Holding System. Pada kenyataannya implementasi sistem tersebut tidak murni sesuai dengan pengertian dan ciri-ciri dari sistem itu, melainkan hanya melihat siapa paling berperan untuk menentukan besarnya pajak terutang. Misalnya: Besarnya pajak terutang dihitung atau ditentukan oleh petugas pajak (fiskus), maka disebut Official Assesment System, padahal wajib pajak turut berperan proses pemungutan pajaknya. Contoh : Sistem pemungutan PBB disebut Official Assesment System, karena pajak terutang ditentukan oleh fiskus dengan penerbitan SPPT. Padahal kalau diperhatikan ciri Self Assesment-nya lebih banyak yaitu wajib pajak mengisi SPOP (self), melaporkan SPOP (self), dan setelah menerima SPPT kemudian WP membayar sendiri pajak terutang (self). Menurut penulis sistem pemungutan PBB Self Assesment saja, yaitu dengan cara wajib pajak melakukan: Mengisi SPOP sendiri; Menghitung pajak terutang sendiri; Membayar sendiri pajak terutang; Melaporkan SPOP dan bukti pembayaran/penyetoran sendiri ke Disyanjak; Fiskus hanya meneliti di kantor dan meneliti ke lapangan bila diperlukan. Langkah ini sama dengan yang dilakukan wajib pajak penghasilan (PPh), dimana fiskus hanya meneliti Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) di akhir tahun atau teori tentang pemungutan pajak ini dapat dikembangkan dengan cara menambahkan sistem baru yaitu Mixed Assesment System berupa gabungan dari Official and Self Assesment System. 1) SPPT dapat diambil sendiri di Kantor Disyanjak Kota Bandung atau dalam rangkar pelayanan, SPPT dapat diantar oleh aparat kelurahan; 2) Pajak terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi paling lambat 6 bulan sejak diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
P a g e | 60 3) Pembayaran yang dilakukan melewati waktu dikenakan denda sebesar 2% setiap bulan, paling lama 24 bulan. 4) Pembayaran dapat dilakukan di loketloket Bank Jabar Banten (BJB) yang tersebar di Kantor-kantor Cabang, Cabang Pembantu, Warung BJB dan loket khusus pembayaran PBB di Tempat Pelayanan PBB Disyanjak Kota Bandung, bahkan pada tahun 2014 BJB sedang mengembangkan sistem pembayaran dengan M-Banking. 5) Hasil penerimaan setoran PBB dibuat Laporan Harian penerimaan PBB secara berkesinambungan (sustainable), sehingga saldo akhirpenerimaan dapat langsung terlihat kapan saja. Selanjutnya dibuat laporan bulanan dan laporan tahunan sebagai implementasi Good Governance, yaitu akuntabilitas publik. 6. Pelaksanaan Tugas Insidentil Pelaksanaan tugas insidentil sepanjang tahun yang berkaitan dengan pemungutan PBB terdiri dari 8 (delapan) jenis pelayanan, yaitu : 1) Pendaftaran objek baru 2) Mutasi objek/subjek PBB 3) Pembetulan SPPT/SKP 4) Pembatalan SPPT 5) Pembuatan Salinan 6) Keberatan atas pajak terutang 7) Pegurangan pajak terutang 8) Restitusi dan kompensasi. Untuk jenis pelayanan Pengurangan Pajak Terutang terdiri dari 8 (delapan) macam Sub Pelayanan, yaitu : a. Pensiunan PNS/TNI/POLRI b. Veteran pembela kemerdekaan c. Pejuang sosial d. Pelestari lingkungan e. Cagar budaya f. Bencana alam g. Kerugian dan kesulitan likuiditas h. Kantong plastik/Alternatif lain Menurut Hardiansyah (2011:31) beberapa muatan materi yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan maklumat pelayanan publik, antara lain:
1) Profil penyelenggara; 2) Tugas dan wewenang penyelenggara; 3) Siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan; 4) Prosedur dan proses pemberian layanan (dapat dalam bentuk bagan/alur). Sedangkan menurut Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003 yang diadopsi oleh Sedarmayanti (2010:249-250), sendi pelayanan prima dikembangkan menjadi 14 (empat belas) unsur yang relevan, valid, dan reliabel, sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Prosedur pelayanan; 2) Prasyarat pelayanan; 3) Kejelasan petugas pelayanan; 4) Kedisiplinan petugas pelayanan; 5) Kesopanan dan keramahan petugas; 6) Kewajaran biaya pelayanan; 7) Kepastian biaya pelayanan; 8) Kepastian jadwal pelayanan; 9) Kenyamanan lingkungan; 10) Keamanan pelayanan. Maklumat Pelayanan Publik untuk dapat melaksanakan pelayanan prima sesuai ciri-ciri dan sendi seperti diuraikan diatas, diperlukan suatu pedoman tertulis atau dokumen yang disebut Maklumat. Maklumat berupa: Gambar: Visi, Misi dan Motto; Bagan, Alur penyelesaian pelayanan; Tabel, tentang jenis pelayanan; Tabel, tentang persyaratan; Matriks, tentang jenis pelayanan dan persyaratannya; Gambar, tentang jangka waktu penyelesaiannya Semua telah terpampang di dinding ruang Front Office dan ruang kerja Tempat Pelayanan PBB Disyanjak Kota Bandung.Maklumat tentang biaya pelayanan tidak terpampang karena semua jenis pelayanan tidak dipungut biaya (gratis). Menurut penulis pengumuman tentang biaya perlu juga dipampang agar publik tahu bahwa
P a g e | 61 pelayanan PBB tidak dipungut biaya, sehingga tidak ada keraguan bagi masyarakat yang akan mengurus PBB. a. Pendaftaran Objek baru Setiap orang atau badan yang baru mempunyai suatu hak atas Bumi/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan wajib melaporkan objek yang dikuasainya, dengan persyaratan sebagai berikut: 1) Surat perrmohonan; 2) Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)/Lampiran SPOP; 3) Surat kuasa (bagi yang tidak mengurus sendiri); 4) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; 5) Fotocopy Surat Tanah/Bangunan/ Akte Jual Beli 6) PBB tetangga; 7) Fotocopy, PAM, Telepon; 8) Fotocopy IMB; 9) Fotocopy NPWP/NPWPD; 10) Fotocopy Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD)/Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Lamanya penyelesaian : 30 hari kerja. Proses peyelesaian Pelayanan Pendaftaran Objek Baru sesuai dengan Alur Pelayanan PBB pada Gambar 15 di halaman 124, yaitu: (1) Wajib Pajak menyerahkan pemohonan pendaftaran objek baru ke Tempat Pelayanan PBB; (2) Berkas di-validasi, kemudian diteruskan ke Koordinator Wilayah sesuai alamat objek pajak. (3) Korwil meneliti berkas di kantor dan menugaskan pegawai untuk melakukan penelitian lapangan. Penelitian lapangan diperlukan untuk melihat secara fisik tanah dan/atau bangunan yang didaftarkan. (4) Hasil penelitian kantor dan hasil penelitian lapangan dicocokkan oleh operator console kemudian perekaman dan update data;
(5) Kemudian dilakukan cetak files output; (6) Files bukti sebagai wajib pajak PBB ditandatangani oleh Kepala Bidang Pajak Penetapan Disyanjak Kota Bandung. (7) Peyerahan berkas yang sudah selesai kepada Wajib Pajak.peny (8) Jangka waktu penyelesaian paling lama 30 hari kerja. b. Proses penyelesaian jenis pelayanan yang lainnya pada prinsipnya sama, yaitu sebagaimana alur pelayanan pada Gambar 15. Perbedaannya terletak pada persyaratan masing-masing jenis pelayanan dan pada jangka waktu penyelesaiannya. Hal ini terlihat pada Tabel 10 , Tabel 11 dan Tabel 12. Untuk jenis pelayanan pengurangan pajak terutang, masing-masing macam sub pelayanan dibedakan oleh besarnya pengurangan pajak terutang, yaitu: 1) Pensiunan PNS/TNI/POLRI = 15 % 2) Veteran pembela kemerdekaan = 75 % 3) Pejuang sosial = 50 % 4) Pelestari lingkungan = 50 % 5) Cagar budaya = 25 % 6) Bencana alam =100 % 7) Kerugian dan kesulitan likuiditas = 10 % 8) Kantong plastik/Alternatif lain = 25 % 7. Pelaporan Semua penerimaan hasil penyetoran PBB dari wajib pajak selalu dicatat/dibukukan dengan on-line system dari Bank Jabar Banten ke Operator Computer (OC) di Tempat Pelayanan PBB Disyanjak Kota Bandung. setiap hari dibuatkan Laporan Harian Penerimaan PBB. a. Tujuan pembuatan laporan: 1) Untuk mengetahui keadaan penerimaan PBB pada saat diperlukan; 2) Sebagai bahan pertanggungjawaban penrimaan
P a g e | 62 PBB yang masuk ke Kas Daerah dalam rangka akuntabilitas publik; 3) Sebagai bahan perbandingan anatra target penerimaan PBB dengan realisasinya. 4) Sebagai bahan perbandingan penerimaan PBB dengan penerimaan pajak daerah lainnya. b. Bentuk Laporan Harian Penerimaan PBB Laporan dibuat dengan bentuk sustainable atau berkesinambungan, akhir saldo hari ini menjadi saldo awal hari berikutnya.Sehingga saldo akhir dari suatu hari berarti saldo keseluruhan penerimaan PBB sejak tanggal 1 Januari s.d. hari itu. Angka-angka yang dicantumkan hanya ilustrasi penulis (bukan angka sebenarnya), untuk memudahkan conton. Dari contoh diatas terlihat penerimaan PBB pada tanggal 15 Maret 2014 adalah Rp 100.000.000,- , sampai dengan hari lalu atau tanggal 14 Maret 2014 adalah Rp 5.000.000,000,-, jadi penerimaan s/d hari ini (15 Maret 2014) Rp 5.100.000.000,Kemudian penerimaan PBB pada tanggal 16 Maret 2014 adalah Rp 200.000.000,- , sampai dengan hari lalu atau tanggal 15 Maret 2014 adalah Rp 5.100.000.000,-, jadi penerimaan s/d hari ini (16 Maret 2014) Rp 5.300.000.000,- Hal ini berarti bahwa penerimaan tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan tanggal 16 Maret 2014 adalah Rp 5.300.000.000,Begitu seterusnya setiap hari dilaksanakan secara sustainable (berkesinambungan). Selanjutnya penulis sajikan data laporan Target dan Realisasi Penerimaan PBB 3 (tiga) tahun terakhir sebelum pengalihan pengelolaan pemungutan PBB pada Disyanjak Kota Bandung yaitu tahun 2010, 2011, dan 2012 serta laporan akhir tahun 2013 (tahun pertama dikelola oleh Disyanjak). 8. Analisis data laporan
Sebelum pengalihan pengelolaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hasil penerimaan pajaknya masuk ke Pusat (Rekening Kas Negara) kemudian diserahkan kepada daerah sebagai Dana Bagi Hasil PBB. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 82/KMK.04/2000 Pembagian hasil tersebut diatur sebagai berikut: 1) 10 % dari hasil penerimaan PBB merupakan bagian Pemerintah Pusat; 2) 90 % bagian Pemerintah Daerah, dngan rincian: a. 16,2 % untuk Pemerintah Provinsi yang bersangkutan; b. 64,8 % Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. c. 9 % untuk biaya pemungutan, yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah. Tahun 2010 - Penerimaan Pajak Daerah: Rp 302.378.839.993,00 - Bagi hasil PBB: Rp 190.243.287.212,00 Artinya bagi hasil PBB adalah 63 % dari penerimaan Pajak Daerah Tahun 2011 - Penerimaan Pajak Daerah: Rp 665.854.660.260,00 - Bagi hasil PBB: Rp 182.122.775.024,00 Artinya bagi hasil PBB adalah 27 % dari penerimaan Pajak Daerah Tahun 2012 - Penerimaan Pajak Daerah : Rp 820.484.823.396.00 - Bagi hasil PBB : Rp 211.543.259.405,00 Artinya bagi hasil PBB adalah 11 % dari penerimaan Pajak Daerah Dari data diatas terlihat bahwa penerimaan Pajak Daerah dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan yang berarti.Sebaliknya Dana Bagi Hasil terus menunjukkan penurunan. Kemudian bila dilihat laporan tahun 2013 (Tahun pertama pengalihan PBB), data menunjukkan:
P a g e | 63 -
Penerimaan Pajak Daerah 497.652.557.947,00 Penerimaan PBB : 280.010.034.405,00
: Rp Rp
Artinya bagi hasil PBB adalah 56 % dari penerimaan Pajak Daerah.Hal ini berarti bahwa penerimaan PBB memberi kontribusi yang besar kepada penerimaan Pajak Daerah yang merupakan unsur dominan dari Pendapatan Asli Daerah. Target penerimaan PBB yang setiap tahun dinaikkan, yaitu tahun 2010 Rp 220.992.485.777.932,00, tahun 2011 Rp 178.660.624.368,00, tahun 2012 Rp 206.720.256.187,00 selalu tercapai bahkan pencapaiannya selalu melebihi target yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi PBB di Kota Bandung sangat besar dan masih dapat ditingkatkan, baik dengan cara intensifikasi maupun ekstensifikasi. Pada tahun 2014 Pemrintah Kota Bandung menaikkan target penerimaan PBB menjadi sebesar Rp 360.000.000.000,00 Untuk mengetahui kontribusi Penerimaan PBB terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdapat kendal, ikarena sejak perubahan nama dari Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung menjadi Distanjak Kota Bandung, pemungutan Retribusi dikelola oleh masing-masing Dinas (SKPD). Dengan dikelola dengan baik, maka Pendapatan Asli Daerah akan meningkat dan pada gilirannya akan memberikan penguatan E. PENUTUP Setelah melakukan penelitian untuk melakukan analisis kebijakan yang diterapkan dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan oleh Dinas Pelayanan Pajak Kota Badung yang telah dirumuskan dalam fokus masalah terutama dengan adanya pengalihan status PBB dari pajak pusat menjadi pajak daerah, maka penulis mempunyai simpulan sebagai berikut: 1. Pada tahap persiapan pengalihan telah terjalin suatu sinergi yang baik antara
Pemerintah Kota Bandung dengan Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Ditemukan beberapa masalah, tapi dapat diatasi dengan baik. Kebijakan strategis yang dilakukan saat itu adalah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah yang isinya antara lain mencantumkan Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai pajak daerah. Selain itu diterbitkan juga Peraturan Walikota Bandung Nomor 887 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan yang kemudian diubah dengan Peraturan Walikota Bandung Nomor 309 Tahun 2013. 2. Pada persiapan ini dilakukan kerja sama dengan Bank Jabar Banten yang akan menjadi bank persepsi atau bank penerima setoran pajak bumi dan bangunan dari para wajib pajak. Pihak Disyanjak membuka rekening khusus penerimaan PBB. 3. Pelaksanaan pengalihan pengelolaan pemungutan PBB berjalan dengan baik, karena Disyanjak Kota Bandung mempersiapkannya lebih matang dan lebih lama sehingga pengalihan baru terlaksana pada bulan Januari 2013. Dalam pengalihan ini dari Pemerintah Pusat menyerahkan basis data (data base) dan sistem aplikasi yang berkaitan dengan pemungutan PBB di Kota Bandung. Sistem aplikasi pemungutan PBB dapat dipergunakan dengan baik, sedangkan basis data banyak tidak/kurang valid. Dari data wajib pajak sebanyak 520.000 wajib pajak, hanya 60% saja yang valid. 4. Tahap setelah pengalihan yaitu mulai 1 Januari 2013 yang pertama kali dilakukan adalah mererbitkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 13 tahun 2007 tentang Pembentukan dan
P a g e | 64 Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung yang mengakibatkan perubahan nama dan susunan organisasi Dinas Pendapatan menjadi Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. Tugas Pelayanan PBB dilaksanakan oleh Bidang Pajak Penetapan pada Disyanjak Kota Bandung. Kebijakan yang paling strategis dilakukan adalah kebijakan tentang pelayanan prima, yaitu pelayanan yang transparan, hemat, murah, jelas dan akurat. 5. Adanya pengembangan teori pemungutan pajak, yang semula Official Assesment System, Self Assesment System, dan With Holding System ditambah dengan Mixed Assesment System yaitu gabungan dari Official and Self Assesment System. 6. Masalah yang masih dihadapi dalam pelayanan PBB adalah: a. Kekurangan ruangan seluas 20 M2; b. Masih ada data yang belum valid, sekarang tinggal 15%; c. Belum ada Daftar Inventaris Ruangan (DIR) d. Absensi manual menandatangani daftar hadir; e. Masih ada keluhan dari wajib pajak tentang Surat Pemberitahuan Pajak Terutang. 7. Potensi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sangat besar dan masih pemungutan PBB dikelola dengan baik, maka Pendapatan Asli Daerah akan meningkat dan pada gilirannya akan memberikan penguatan pada uktikan. Mengacu kepada simpulan yang telah diuraikan diatas maka penulis memberikan saran sebagai berikut: a. Untuk mengatasi masalah kekurangan pegawai segera mengusulkan ke Badan Kepegawaian Daerah, dan bila telah diusulkan agar dicek kembali. b. Kekurangan ruangan kerja agar diusulkan ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, demikian juga tentang Daftar Inventaris
Ruangan agar dibuat dan ditempel di setiap ruangan. c. Validasi data wajib pajak diteruskan secara berangsur-angsur agar dapat mengurangi terjadinya kesalahan pada SPPT. d. Keperluan absensi agar lebih akurat, dan akan terhindar dari titip menitip absen. e. Untuk sistem pemungutan PBB agar dikeluarkan kebijakan mengubah dari Official Assesment System menjadi Self Assesment System, atau digunakan Mixed Assesment System. f. Melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan PBB untuk meningkatkan penerimaan daerah dari pajak bumi dan bangunan. g. Memberikan penghargaan kepada wajib pajak yang taat, yaitu membayar tepat waktu, karena yang terlambat didenda sebesar 2% per bulan. Jadi wajar kalau wajib pajak yang baik dihargai. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Creswel, John W. 2002. Research Design Qualitative & Quantitative Approaches (Desain Penelitian Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif).Jakarta : KIK Press. ---------------------, 2009, Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approachess Third Edition. America : Sage Publications Inc. Dessler, Gary. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Klaten: PT Intan Sejati. Dunn, William N. 2000,Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan Samodra Wibawa, Diah Asitadani, Agus Heruanto dan Erwan Agus Purwanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hardiansyah, 2011, Kualitas Pelayanan Publik (Konsep, Dimensi, Indikator
P a g e | 65 dan Implementasinya), Yogyakarta: Gava Media. Islami, Irfan M. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Judowinarso, Endarto. 2006. Pajak Bumi dan Bangunan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah. Mardiasmo, 2004.Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Andi. _________, 2009.Perpajakan, Edisi Revisi Tahun 2009, Yogyakarta:Andi. Michael J. Ewen, 2003, The Foundations of Public Policy, La Trob University, Bundoora, Australia: Campus Graphics. Moleong J.Lexy, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Mulyana, Deddy, 2010. Metode Penelitian Kualitatif (Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial), Bandung: PT. REMAJA Rosdakarya. Nugroho D. Riant, 2010.Kebijakan Publik. Formulasi, Implementasi, danEvaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nurmantu.Safri 2005. Pengantar Perpajakan, Jakarta: Granit. Parsons, Wayne. 2006. Public Policy (Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Partowidagdo, Widjajono, 2010. Mengenal Pembangunan dan AnalisisKebijakan, Bandung: Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB. Pasolong, Harbani.2010. Teori Administrai Publik. Bandung: Alfabeta. Rangkuti Freddy. 2000. Analisis SWOT (Teknik Membedah Kasus Bisnis). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ratminto dan Winarsih, Atik Septi. 2006. Manajemen Pelayanan (Penembangan Model Konseptual, Standar Pelayanan Minimal). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riduwan. 2005. Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Bandung: Alfabeta Rusli, Budiman. 2013. Kebijakan Publik (Membangun Pelayanan Publik Yang Responsif). Cimahi-Bandung: Hakim Publishing. Sedarmayanti. 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung: PT. Refika Aditama ________ 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia ( Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil). Bandung: PT. Refika Aditama ________ 2012.Good Governance Kedua. Bandung: Mandar Maju. Sedarmayanti dan Hidayat, Syarifudin. 2011. Metodologi Penelitian. Bandung: CV Mandar Maju. Starling, Grover. 1988. Strategies For Policy Making, Chicago Illinoiis: The Dorsey Press. Straus , Anselm and Corbin, Juliet. 1990, Basic of Qualitative Reseach: Grounded Theory Procedures and Techniques, Newbury Park, California: SAGE Publications. Sugiyono, 2012.Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta. _______. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Tarsito. Tachjan, 2006.Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung. Utomo, 2009. Administrasi Baru Indonesia, Perubahan Pardigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Waluyo dan Ilyas, Wirawan B. 2003.Perpajakan Indonesia.Jakarta : Salemba Empat. Sumber Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
P a g e | 66 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah Peraturan Walikota Bandung Nomor 294 Tahun 2013 tentang Tugas Pokok,
Fungsi, Uraian Tugas dan Tata Kerja Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung. Peraturan Walikota Bandung Nomor 309 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 82/KMK.04/2000 tentang Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan.
P a g e | 67 PENGARUH KINERJA APARATUR TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KEPENDUDUKAN DI PEMERINTAH KOTA BANDUNG Ruslan Adidjaja Abstract THE IMPACT OF THE PUBLIC OFFICIAL PERFORMANCE ON THE CITIZENSHIP SERVICE QUALITY MANAGEMENT IN BANDUNG CITY GOVERNMENT. The 3 strategic programms in the citizenship management has been performed by Bandung City Government. These programms are as follow: 1. Updating the population data base; 2. Issuing the citizen identity cards service (KTP), and 3. The implementation of E-Government in the population administration (E-KTP system).These programms are very important to support the quality of local government decision making, in the Local, regional development plan and in the national level as well. The method of the study used is a descripitive qualitatif approach, which is expected to give a representative and factual data about the object of the study. The informen consist of the public official and other key persons , they are the customers , opinion leaders of the society in the regions. The instrumen used in gathering data consists of the observation, documents study and the interview methods. The result of the study shows that the successful of these Programms are low public service performance such as discipline problem, low competencies caused by the matter of public official placement and caused by service quality mismanagement. On the other hand , the results are that people not satisfied by the public service quality, the people unconsciousness on the importance of the population database reliability . Based on the study, it is recommended to raise high commitment in work discipline .good work relationship between leader and staff member, applying the merit system, training and development . and law enforcement program more intensively. Keywords: The Apparatus Performance And The Quality Service A. PENDAHULUAN Dengan diberlakukannya Undangundang Nomor 32 Tahun 2004, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan MENPAN No.38 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik, maka peran aparatur pemerintah khususnya yang ada didaerah akan lebih menentukan sebagai pelaksana kegiatan pemerintahan dan pembangunan, oleh karena itu aparatur pemerintah daerah dituntut untuk memiliki kinerja yang berkualitas dan memadai serta memiliki sikap profesionalisme yang tinggi agar mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang
bermuara pada pemberian pelayanan prima kepada masyarakat. Pelayanan publik menjadi persoalan yang senantiasa mewarnai dan bersentuhan langsung dengan keseharian masyarakat. Kualitas pelayanan dan panjangnya alur birokrasi dalam pengurusan suatu administrasi yang berkaitan dengan masyarakat, serta masih terdapatnya pasar gelap belikan jasa penyelesaian surat-surat atau perijinan tertentu masih merupakan potret buramnya pelayanan publik di negeri ini. Satu diantara bentuk pelayanan pemerintah kepada masyarakat adalah pelayanan kependudukan, dimana kependudukan selalu menjadi
P a g e | 68 permasalahan yang tidak pernah selesai, karena kependudukan bergerak secara dinamis.Dinamika kependudukan terjadi karena adanya dinamika kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi) terhadap perubahan-perubahan dalam jumlah, komposisi dan pertumbuhan penduduk, yang langsung maupun tidak langsung memberikan sumbangan besar bagi sebuah negara, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandung nomor 08 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan, Penyelenggaraan administrasi kependudukan di Kota Bandung dilaksanakan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemerintah kota Bandung.Dibidang administrasi kependudukan Pemerintah Kota Bandung mempunyai tiga program strategis, yang pertama, pemutakhiran data penduduk, kedua penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan ketiga penerapan e-KTP. Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan pada prinsipnya diarahkan untuk memenuhi hak asasi setiap orang di bidang Administrasi Kependudukan tanpa diskriminasi, meningkatkan kesadaran penduduk untuk berperan serta dalam pelaksanaan administrasi kependudukan, menyediakan database kependudukan yang lengkap dan akurat, mendukung perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan secara nasional,regional,dan lokal, serta untuk penerbitan dokumen kependudukan yang keabsahannya diakui oleh semua pihak. B. TINJAUAN KONSEPTUAL
TEORITIS
DAN
1. Teori Tentang Kinerja a. Pengertian Kinerja Istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan oleh para cendekiawan
Keban, 2004 : 191). Secara etimologis, kinerja adalah ( sebuah kata yang dalam bahasa yang menerjemahkan kata dari bahasa asing prestasi, bisa pula berarti hasil kerja. Sehingga pengertian kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Menurut Amstrong dan Baron (Sedarmayanti, 2011:202) mengemukakan bahwa kinerja adalah : lebih baik dari organisasi, tim, dan individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam kerangka tujuan dan standar, dan persyaratan atribut yang Menurut Prawirosentono (2008:2), kinerja adalah : asil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika b. Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Menurut Atmosoeprapto (Nogi, 2005 : 181)mengemukakan bahwa kinerja organisasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : faktor eksternal dan faktor internal, dimana secara lebih lanjut kedua faktor tersebut diuraikan sebagai berikut : a. Faktor eksternal, yang terdiri dari : 1. Faktor politik; 2. Faktor ekonomi; 3. Faktor sosial; b. Faktor internal, yang terdiri dari : 1. Tujuan organisasi; 2. Struktur organisasi; 3. Budaya Organisasi, dimana menurut Luthan (Sopiah, 2008:129)ada sejumlah
P a g e | 69 karakteristik yang penting dari budaya organisasi yaitu : 1. Aturan-aturan Perilaku seperti bahasa; 2. Norma; 3. Nilai-nilai dominan misalnya : kualitas produk; 4. Filosofi; 5. Peraturan-peraturan; 6. Iklim organisasi. Faktor-faktor penentu pencapaian prestasi kerja atau kinerja individu dalam organisasi menurutMangkunegara (2005:16-17) adalah Faktor Individu Dan Faktor Lingkungan Organisasi, kedua faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Faktor Individu Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah).Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik.Konsentrasi yang baik ini merupakanmodal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. 2. Faktor Lingkungan Organisasi Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarier dan fasilitas kerja yang relatif memadai. MasihMenurut Mangkunegara (2005:67) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain : Faktor Ability dan Faktor Motivasi, yang diuraikan sebagai berikut : a. Faktor kemampuan Secara psikologis kemampuan (Ability) pegawai terdiri
dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. b. Faktor motivasi, Motivasi terbentuk dari sikap (Attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. c. Indikator Kinerja MenurutPrawirosentono (2008:27), faktor-faktor yang mempengaruhi organisasi dan kinerjanya adalah : a. Efektivitas Dan Efisiensi; b. Tanggung jawab; c. Disiplin; d. Inisiatif. Dari keempat indikator diatas tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut : a. Efektivitas dan Efisiensi Efektivitas dari suatu organisasi apabila tujuan organisasi dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan, efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam mencapai tujuan. Menurut Wisnu Dan Nurhasanah (2005:26) dikatakan bahwa suatu organisasi efektif jika : 1. Mengamankan skill dan sumber daya langka dari luar; 2. Secara kreatif mengkoordinasikan sumber daya dengan skill karyawan untuk menemukan produk dan berselaras dengan perubahan kebutuhan konsumen (pendekatan sistem-sistem internal); dan 3. Secara efisien mengubah skill dan sumber daya menjadi barang dan jasa (pendekatan teknis). Sedangan Efisiensi menurut Dwiyanto, dkk (2008:76) yaitu :
P a g e | 70 perbandingan terbaik antara input dan output b. Tanggung Jawab Tanggung jawab adalah sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai akibat dari kepemilikan wewenang tersebut. c. Disiplin Disiplin apabila taat pada hukum dan peraturan yang berlaku.Disiplin karyawan sebagai ketaatan karyawan bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja dengan perusahaan dimana karyawan bekerja. d. Inisiatif Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir dan kreativitas dalam bentuk ide untuk suatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.Setiap inisiatif sebaiknya mendapat perhatian atau tanggapan positif dari atasan. Inisiatif Menurut Wollfock(Mardiyanto,2008:23) : dalam menghasilkan sesuatu yang baru atau asli atau suatu pemecahan Sedangkan Menurut Suryana (2006:2) mengungkapkan bahwa inisiatif adalah : dan cara-carabaru dalam memecahkan masalah dan menemukan ide dan cara-carabaru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang(thinking new things 2. Pengukuran Kualitas Pelayanan Pengukuran kualitas pelayanan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen pengukuran kualitas pelayanan yang telah dikembangkan oleh Zeithaml, Parasuraman & Berry(Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2008:182),dalam buku mereka yang Delivering Quality Service Mengemukakan bahwa indikator kualitas pelayanan Yaitu : 1. Ketampakan Fisik (Tangibles); 2. Reliabilitas (Reliability); 3. Responsivitas (Responsiviness);
4. Kompetensi (Competence); 5. Kesopanan (Courtessy); 6. Kredibilitas (Credibility); 7. Keamanan (Security); 8. Akses (Access); 9. Komunikasi (Communication); 10. Pengertian (Understanding the customer). Setelah melakukan serangkaian Uji Validitas dan Reliabilitas, Zeithaml, Parasuraman, & Berry sampai pada suatu kondisi di mana dari 10 determinan berkurang menjadi 5 determinan, sebagai berikut : 1. Tangibles (Ketampakan fisik); 2. Reliability (Reliabilitas); 3. Responsiviness (Responsivitas); 4. Assurance (Kepastian); Gabungan dari 7 determinan dari hasil penelitian mereka sebelummya yaitu :Communication, Credibility, Security, Competence, Courtesy, Access, dan Understanding the customer; 5. Empathy (Empati). 3. Tinjauan Teori Kualitas Dan Pelayanan a. Pengertian Kualitas Kualitas mengandung banyak pengertian.Beberapa pakar mengartikan kualitas secara berlainan.Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi, mulai dari definisi yang konvensional hingga yang strategis.Kedua definisi tersebut yaitu definisi konvensional dan definisi strategis dijelaskan dibawah ini. Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk, seperti :performance (kinerja), reability (keandalan), ease of use (mudah dalam penggunaan), esthetics (estetika), dsb. Dalam definisi strategis dinyatakan bahwa kualitas adalah sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau
P a g e | 71 kebutuhan pelanggan (meeting the need of costumers). (Sinambela, 2010:6). b. Pengertian Pelayanan Pelayanan dapat didefinisikan secara berlainan oleh beberapa pakar, diantaranya yaitu : Menurut Albrecht Dan Lovelock (Sedarmayanti, 2010:243) bahwa pelayanan adalah : yang menjadi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam Thoha (Sedarmayanti,2010:243) mengemukakan tentang pelayanan adalah : yang dilakukan oleh seseorang dan atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberi bantuan dan kemudahan kepada 4. Tinjauan Teori Tentang Kependudukan Pada hakekatnya, pengertian mengenai penduduk lebih ditekankan pada komposisi umur, jenis kelamin dan lain-lain, tetapi juga klasifikasi tenaga kerja dan watak ekonomi, tingkat pendidikan, agama, ciri sosial, dan angka statistik lainnya yang menyatakan distribusi frekuensi. Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua : Pertama orang yang tinggal di daerah tersebut. Dan kedua orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. 5. Operasionalisasi Variabel Penelitian ini melibatkan 2 variabel yang terdiri dari 1 variabel bebas, dan 1 variabel terikat, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Kinerja, didefinisikan variabel bebas. Efektivitas dan Efisiensi dinotasikan sebagai X1, Tanggung Jawab
dinotasikan sebagai X2, Disiplin dinotasikan sebagai X3, dan Inisiatif dinotasikan sebagai X4; 2. Kualitas Pelayanan, didefinisikan variabel terikat. kualitas pelayanan dinotasikan sebagai Y; C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Kuantitatif,jenis penelitian survey dengan tingkat eksplanasi adalah deskriptif, sehingga metode survei deskriptif adalah suatu metode penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data.Setelah data diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis statistik untuk menguji hipotesis yang diajukan pada awal penelitian ini dan hasilnya dipaparkan secara deskriptif pada akhir penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua karyawan pada Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Pemerintah Kota Bandung yang berjumlah 113 orang perdesember 2013 Untuk menentukan besarnya sampel,ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (Umar 2003: 120)yaitu :
P a g e | 72
Jadi Jumlah sampel adalah 53 Orang Berdasarkan jumlah sampel hasil perhitungan dengan rumus diatas, sekaligus dijadikan sebagai responden, besarnya responden, selanjutnya penarikan sampel berdasarkan golongan pegawai, besarnya responden tiap jenis ditentukan dengan rumus :
Data yang diperoleh diketahui bahwa jumlah populasi yaitu 113 orang ( sama dengan jumlah rata-rata berdasarkan golongan pegawai dengan rincian sebagaii berikut :
Dengan demikianbesarnya responden, yaitu : n1,untuk gol.IV= 3, n2 , Untuk gol. III= 27, n3untuk gol.II= 19, dan untuk gol I n4= 4.jumlah : n1 + n2 + n3 + n4 = 53 orang. Dalam penelitian kali ini teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling Proportionate Stratified
Random Sampling, teknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota / unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Pengisian Quesioner 2. Studi Dokumentasi 3. Observasi atau Pengamatan Berdasarkan ketiga Teknik diatas, yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara, untuk mendapatkan data tersebut, maka digunakan instrumen penelitian berupa kuesioner/angket yang berisi daftar pertanyaan/pernyataan tertutup dengan menggunakan skala likert sebagai jawaban mengenai pengaruh kinerja aparatur terhadap kualitas pelayanan kependudukan di kota Bandung. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial, dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Data primer yang didapatkan dari hasil kuesioner adalah berupa data jenis ordinal yang menggunakan skala Likertyang telah dimodifikasi, dimana dalam penelitian ini, skala Likert yang seharusnya menggunakan 5 (lima) skala yaitu: SS untuk Sangat Setuju, S untuk Setuju, R untuk Ragu-ragu, TS untuk Tidak Setuju, STS untuk Sangat Tidak Setuju, dalam kuesioner pada penelitian ini menghilangkan skala R (Ragu-ragu) untuk meminimalisasi subjektifitas responden, karena jika skala R (ragu ragu) dimasukkan hampir sebagian responden memilih skala R tersebut. Skala Likert dalam penelitian ini menggunakan skala Likert modifikasi, dengan skala sebagai berikut: Jawaban (4) SS = Sangat Setuju Jawaban (3) S = Setuju
P a g e | 73 Jawaban Jawaban
(2) (1)
TS STS
= =
Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
3) Tentukan
matrik
Adapun persamaan linier dari analisi jalur (path analysis) adalah :
PYX 1
PYX 2
PYX 3
antara
variabel X dan Y.
1
Y
korelasi
ry x1 1
Ryx1
ry x2 rx 1 x 2 1
ry xk rx 1 x k rx 2 x k 1
PYX 4
Dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
X1
4) Hitung semua koefisien Jalur melalui
PyX1
rumus
PyX1
rumus :
PyX1
PyX1
PyX2
X2
Y
R2YX X3
Pyx1 Pyx2 Pyxk
PyX1
C11 C21 Ck1
C12 C22 Ck 2
C1k C2 k Ckk
ryx1 ryx2 ryxk
PyX PyX 3 PyX1
1
5) Hitung
PY
X4
PyX4
matrik
1
korelasi
rx1x2 1
Rx
antar
rx1xk rx2 xk 1
R
n
n
xih
2
h 1
dimana i
h 1
j
x jh
n
n
x jh h 1
2
2
n
x jh
1 R 2 y ( x1 , x2 , xk )
a) UjiKeseluruhan
h 1
H 0 : Pyx1
1,2, , k
2) Tentukan matrik invers korelasi antar
Pyxk
k
k
C1k C2 k Ckk
1)
Pyxi ryxi i 1
F
C12 C22 Ck 2
0
H1 : Sekurang kurangnya ada sebuah Pyxi Statistik Uji
variabel X.
R 1x
Pyx2
(n
C11 C21 Ck 1
Pyxk
7) Langkah Kerja Pengujian :
h 1
2
xih
Pyx2
n
xih h 1
n
Pyx1
y ( x1 , x2 , xk )
ryx1 ryx2 ryxk
6) Hitung Py berdasarkan rumus :
xih x jh h 1
rxi x j n
2
Py n
koefisien
X2, X3 terhadap Y, dengan rumus :
dengan n
yaitu
yang menyatakan determinasi total X1,
Langkah-langkah analisis jalur adalah sebagai berikut: 1) Tentukan variabel X.
R 2 y ( x1 , x 2 , x k )
k
k (1
Pyxi ryxi ) i 1
Kriteria Uji : Jika Fhitung> F ditolak.
;k;(n-k-1)
maka Ho
0
P a g e | 74 b) Uji Individu : a. Dimensi Efektivitas Dan Efisiensi (X1) H 1 : Pyxi 0 Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan organisasi.Apabila suatu organisasi Statistik Uji : berhasil mencapai tujuannya, maka organisasi tersebut telah berjalan Pyx dengan efektif. t Dalam peneliltian ini, dimensi (1 R 2 y ( x , x , x ) ).Cii Efektivitas dan efisiensi kinerja aparatur ( n k 1) terdiri dari 4 indikator, dimana efektivitas terdiri indikator 1).Tercapainya tujuan, Target/sasaran, Kriteria Uji : dan 2). Misi Organisasi. Sedangan dimensi efisiensi terdiri dari indikator : Jika | thitung| > t ;(n-k-1) maka Ho 1.) Input dan output terbaik, dan 2). Manfaat. ditolak. Jumlah skor ideal (kriterium) untuk seluruh item = 4 x 53 = 212 (seandainya 8) Kesimpulan untuk Pengaruh Langsung semua menjawab SS). Jumlah skor yang dan Tak LangsungPengaruh Xi : diperoleh dari penelitian 171. Jadi Pengaruh Langsung : berdasarkan data itu maka tingkat Pyx i Pyx i persetujuan indikator tercapainya tujuan, Pengaruh melalui Xj : target/sasaran dalam dimensi efektivitas Pyx i xi x j Px i x j ; dimana berpengaruh terhadap kinerja aparatur = (171:212) x 100% = 80,66 % dari yang i j diharapkan (100%). Pengaruh melalui Xj : Dengan cara perhitungan yang sama dimana diperoleh hasill untuk dimensi efektivitas Pyx i xi xl Px i xl ; kinerja dengan indikator 1). Pencapaian i l tujuan, target/sasaran pekerjaan sebesar Untuk memudahkan dalam 80,66%, 2). Misi Organisasi sebesar melakukan perhitungan analisis data 76,89%, sehingga persentase efektivitas secara statistik, dalam hal ini dibantu kinerja sebesar 78,77%. Sedangkan proses perhitungannya menggunakan untuk dimensi efisiensi dengan indikator software statistik, dikenal dengan 1). Input dan output terbaik sebesar Statistical Package for the Social Science 81,13%, 2). Manfaat sebesar 66,51% jadi (SPSS) versi 17.0 dan MINITAB for persentase efisiensi kinerja sebesar Windows versi 13. 73,82%. Total persentase efektivitas dan efisiensi kinerja sebesar 76,30% D. PEMBAHASAN (kategori sangat setuju).
H 0 : Pyxi
0
i
1
2
k
a.Analisis Deskriptif Variabel Penelitian 1. Variabel Kinerja Aparatur Kinerja menurut Suyadi Prawirosentono(2008:27) terdiri dari 4 dimensi yaitu : dimensi efektivitas dan efisiensi, dimensi tanggung jawab, dimensi disiplin, dimensi inisiatif. Keempat dimensi tersebut diuraikan dibawah ini :
b. Dimensi Tanggung Jawab (X2) Tanggung jawabadalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Dimensi Tanggung jawab kinerja aparatur terdiri dari 5 indikator, yaitu :
P a g e | 75 1). Nilai dan norma, 2). Pengelolaan waktu,3.) Tugas sesuai prosedur, 4). Penyelesaian tugas, dan 5). Risiko. Dengan cara perhitungan yang sama diperoleh hasill untuk dimensi Tanggung jawab kinerja dengan indikator 1). Nilai/norma sebesar 79,72%, 2). Pengelolaan waktu sebesar 77,36%, 3). Tugas sesuai prosedur sebesar 81,13%, 4). Penyelesaian tugas sebesar 80,19%, 5). Resiko sebesar 84,43%, jadi persentase tanggung jawab kinerja sebesar 80,57% (kategori sangat setuju). c. Dimensi Disiplin (X3) Disiplin merupakan suatu keadaan tertentu dimana orang-orang yang tergabung dalam organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang ada,taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga adanya usaha pendisiplinanuntuk menanamkan nilai ataupun pemaksaan agar subjek memiliki kemampuan untuk mentaati sebuah peraturan. Pendisiplinan bisa jadi menjadi istilah pengganti untuk hukuman ataupun instrumen hukuman dimana hal ini bisa dilakukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain. Dari sudut Aparatur Negara/Pegawai Negeri Sipil, tentang disiplin apatur diatur dengan Diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.53/2010 tentang Disiplin PNS yang merupakan langkah awal untuk menciptakan aparatur yang profesional sebagai pengganti PP No. 30 Tahun 1980 yang bersifat umum. Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah peraturan yang mengatur mengenai kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh Pegawai Negeri Sipil.Sanksi bagi pelanggar disiplin tentang ketentuan tidak masuk kerja, seperti tercantum dalam pasal 8, yang memberikan sanksi diatur secara bertingkat baik secara teguran/lisan maupun secara tertulis,selain itu pelanggaran terhadap kewajiban jam kerja dan mentaati ketentuan jam kerja
dihitung secara kumulatif dan jika jumlahnya mencapai 7,2 jam dikonversi menjadi satu hari, dan peraturanperaturan lainnya yang menjadi pegangan aparatur dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam penelitian ini, yang menjadi dimensi Disiplin kinerja aparatur terdiri dari 3 indikator, dimana indikator itu antara lain : 1). Teratur, 2). Tepat waktu, dan 3.) Taat aturan/norma. Dengan cara perhitungan yang sama diperoleh hasil untuk dimensi Disiplin kinerja dengan indikator 1). Teratur sebesar 90,09%, 2). Tepat waktu sebesar 87,74%, 3). Taat aturan/norma sebesar 88,68%, jadi persentase Disiplin kinerja sebesar 88,84% (kategori sangat setuju) dan berpengaruh sangat besar terhadap kualitas pelayanan. d.Dimensi Inisiatif (X4) Pengertian Inisiatif adalah kemampuan seseorang untuk melahirkansesuatu yang baru baik berupa gagasan maupun karya nyata yangrelatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya dalam usahamemecahkan suatu masalah, sehingga dengan inisiatifnya itu suatu masalah dapat terpecahkan secara baik. Dimensi Inisiatif kinerja aparatur terdiri dari 3 indikator, dimana indikator itu antara lain : 1). Daya pikir, 2). Kreativitas ide, dan 3.) Mandiri. Dengan cara perhitungan yang sama diperoleh hasil untuk dimensi Inisiatif kinerja dengan indikator 1). Daya pikir sebesar 82,55%, 2). Kreativitas ide sebesar 80,66%, 3). Mandiri sebesar 73,58%, jadi dari ketiga indikator tersebut diperoleh persentase inisiatif kinerja sebesar 78,93% (sangat setuju). 2. Variabel Kualitas Pelayanan Kependudukan (Y) Teori Kualitas PelayananMenurut Zeithaml, Parasuraman & Berry terdiri dari lima dimensi yaitu : Tangibles, Reliability, Responsiviness, Assurance, Emphaty, dimana tiap dimensi tersebut terdiri dari beberapa indikator yaitu:
P a g e | 76 Tangibles terdiri dari indikator : fasilitas fisik dan peralatan, dimensi reliability terdiri dari : konsistensi kerja dan sifat dipercaya, dimensi Responsiviness yaitu : daya tanggap, dimensi assurance terdiri dari : pengetahuan, kesopanan, kemampuan dan kepercayaan, dan dimensi emphaty yang terdiri dari indikator perlakuan pribadi dan perhatian pribadi. Kelima dimensi tersebut dinotasikan dalam satu variabel yaitu variabel kualitas pelayan (Y). Berdasarkan data yang diperoleh dari 53 responden maka rata-rata 1766 (75,73%) terletak pada daerah sangat setuju. Untuk lebih jelasnya berapa besar persentase dari kelima dimensi diatas yang ada pada kualitas pelayanan, secara berurut persentase masing-masing dimensi adalah sebagai berikut : 1). Tangibles sebesar 75,71%, 2). Reliability sebesar 81,84%, 3). Responsiviness sebesar 80,66%, 4). Assurance sebesar 76,75%, dan 5). Emphaty sebesar 65,33%. Kelima dimensi kualiitas pelayanan tersebut diuraikan dibawah ini. a. Dimensi Tangibles Dimensi Tangiblesdalam kualitas pelayanan terdiri dari 2 indikator, yaitu antara lain : 1). Fasilitas fisik dan 2). Peralatan. Hasil jawaban responden yang telah diolah secara analisis statistik deskriptif, diperoleh hasil persentase dari dimensi tangibles dengan dua indikator sebagai berikut : 1). Fasilitas fisik sebesar 70,28%, 2). peralatan sebesar 81,13%. Terlihat bahwa peralatan/fasilitas yang tersedia dalam suatu kantor sangat penting, dimana 81,13% responden menganggap peralatan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan. b. Dimensi Reliability Dimensi Reliability dalam kualitas pelayanan terdiri dari 2 indikator, yaitu : 1). Konsistensi kerja, dan 2). Sifat dipercaya.
Hasil jawaban responden sebanyak 53 responden yang telah diolah secara analisis statistik deskriptif,, diperoleh hasil persentase dari dimensi reliability dengan dua indikator sebagai berikut : 1). Konsistensi kerja sebesar 81,13%, 2). Sifat dapat dipercaya sebesar 82,55%. Dari hasil responden terlihat bahwa sifat dipercaya seorang aparatur oleh masyarakat berperan sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan, karena 82,55% responden memilih indikator sifat dapat dipercaya dalam dimensi reliability. c. Dimensi Responsiviness Dimensi Responsiviness dalam kualitas pelayanan terdiridari 1 indikator, indikator itu adalah Daya Tanggap. Hasil jawaban responden yang telah diolah secara analisis statistik deskriptif, diperoleh hasil persentase dari dimensiResponsiviness dengan satu indikator yaitu daya tanggap sebesar 80,66%. Walaupun dimensiResponsiviness hanya terdiri dari satu indikator tetapi jelas terlihat daya tanggap memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kualitas pelayanan. d. Dimensi Assurance Dimensi Assurance dalam kualitas pelayanan terdiri dari 4 indikator, indikator itu antara lain : 1). Pengetahuan, 2). Kesopanan, 3). Kemampuan, dan 4). Kepercayaan. Dari hasil responden sebanyaK 53 orang responden dan telah diolah secara analisis statistik dekriptif, dari dimensi Assurance dengan indikator sebagai berikut : 1). Pengetahuan sebesar 79,29%, 2). Kesopanan sebesar 80,66%, 3). Kemampuan sebesar 65,09%, dan 4). Kepercayaan sebesar 81,60%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa kepercayaan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kualitas pelayanan, ini terlihat dari pilihan responden sebesar 81,60%, dibandingkan dengan tiga indikator yang
P a g e | 77 lain yang persentasenya masih dibawah indikator kepercayaan. e. Dimensi Emphaty Dimensi Emphaty dalam kualitas pelayanan terdiri dari 2 indikator, adapun indikator itu antara lain : 1). Perlakuan pribadi, dan 2). Perhatian pribadi. Hasil jawaban responden yang telah diolah secara analisis statistik deskriptif, diperoleh hasil persentase dari dimensi Emphaty dengan dua indikator sebagai berikut : 1). Perlakuan pribadi sebesar 64,62%, 2). Perhatian pribadi sebesar 66,04%. Terlihat bahwa perhatian pribadi sangat penting, dimana 66,04% responden menganggap perhatian pribadi memberikan kontribusi dan pengaruh yang sangat besar dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, dibandingkan dengan indikator perlakukan pribadi sebesar 64,62%.
dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kualitas pelayanan (Y) sebesar 0,304; 4) Kualitas pelayanan (Y) dipengaruhi oleh Inisiatif (X4) sebesar 0,226 atau dapat dikatakan 1 satuan inisiatif (X4) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kualitas pelayanan (Y) sebesar 0,226; 5) Kualitas pelayanan (Y) dipengaruhi oleh Kinerja aparatur (X) sebesar 0,747 atau dapat dikatakan 1 satuan kinerja (X) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kualitas pelayanan (Y) sebesar 0,747; Lebih jelas nilai-nilai perhitungan analisis jalur diterapkan dalam diagram/gambar dibawah ini.
X1
PyX1 PyX1
PyX1
X2
b. Analisis Variabel Penelitian Data yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan analisis data statistik menggunakan analisis jalur (path analysis).Untuk menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Adapun persamaan jalurnya adalah sebagai berikut:
Y
0,270 X 1 0,214 X 2 0,304 X 3 0,226 X 4
Persamaan jalur di atas memberikan penjelasan sebagai berikut: 1) Kualitas pelayanan (Y) dipengaruhi oleh Efektivitas dan efisiensi (X1) sebesar 0,270 atau dapat dikatakan 1 satuan efektivitas dan efisiensi (X1) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kualitas pelayanan (Y) sebesar 0,270; 2) Kualitas pelayanan (Y) dipengaruhi oleh Tanggung jawab (X2) sebesar 0,214 atau dapat dikatakan 1 satuan Tanggung jawab (X2) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kualitas pelayanan (Y) sebesar 0,214; 3) Kualitas pelayanan (Y) dipengaruhi oleh Disiplin (X3) sebesar 0,304 atau dapat dikatakan 1 satuan Disiplin (X3)
0,270 0,214 0,747
X3
Y
PyX1
0,304 PyX PyX1
1
0,253
X4
0,226
1. Pengaruh Efektivitas Dan Efisiensi Kinerja Aparatur (X1) Terhadap Kualitas Pelayanan Kependudukan (Y) Hipotesis yang dikemukakan sebelumnya mengenai pengaruh efektivitas dan efisiensi kinerja aparatur (X1) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y) adalah sebagai berikut: Ho:
PYX1 = 0,
Ha:
PYX1
Efektifitas dan efisiensi kinerja aparatur tidakberpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung. Efektifitas dan efisiensi kinerja aparatur berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung.
P a g e | 78 Didapatkan bahwa uji individual/ uji student-T, untuk pengujian koefisien jalur untuk efektivitas dan efisiensi kinerja (X1) didapatkan Thit = 2.40jika dibandingkan dengan Ttabel = 2.5652maka memberikan keputusan bahwa Ho ditolak, yang artinya dengan kepercayaan 95% diyakini bahwa nilai koefisien PYX1 adalah tidak sama dengan nol atau sebesar 0,270 atau dengan kata lain bahwa secara signifikan efektivitas dan efisiensi kinerja (X1) berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y). Hasil pengujian individual menggunakan uji student-T di atas, memberikan kesimpulan bahwa adanya pengaruh dari efektivitas dan efisiensi kinerja(X1) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y), dengan nilai koefisien (PYX1) adalah sebesar 0,270 Hal ini mengindikasikan bahwa efektivitas dan efisiensi kinerja (X1) mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y). Sedangkan berdasarkan output sofware Minitab for windows versi 13 yang dieksekusi pada macro berdasarkan prosedur/langkah perhitungan analisis jalur (path analysis) terlampir pada lampiran 7, yang memperlihatkan hasil sebagai berikut: "PYX1" Sum of C31 Sum of C31 = 0.26907
-X1" K16 0.0724002 K17 0.0354883 K18 0.0566255 K19 0.0401411 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X1' K21 0.204655
Hasil tersebut menyatakan bahwa pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel penyebab yaitu efektivitas dan efisiensi kinerja(X1) atau Kausal X1 adalah sebesar 0,205 (jika dipersentasekan adalah 20,5%). Maka dikarenakan menggunakan analisis jalur (path analysis), maka untuk menjelaskan
penyebab dari variabel efektivitas dan efisiensi kinerja(X1) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y), dilihat pula pengaruh tidak langsungnya variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu tanggung jawab (X2), disiplin (X3) dan Inisiatif (X4) sehingga jelas bahwa pengaruh langsung dan tak langsung dari X1 baik langsung maupun melalui X2, X3 dan X4 terhadap Y adalah sebesar 20,5 %. 2. Pengaruh Tanggung Jawab Kinerja Aparatur (X2) Terhadap Kualitas Pelayanan Kependudukan (Y) Hipotesis yang dikemukakan sebelumnya mengenai pengaruh tanggung jawab kinerja aparatur (X2) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y) adalah sebagai berikut: Ho:
PYX2 = 0,
Ha:
PYX2
Tanggung jawab kinerja aparatur tidakberpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung. Tanggung jawab kinerja aparatur berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung.
Didapatkan bahwa uji individual/ uji student-T, untuk pengujian koefisien jalur untuk tanggung jawab kinerja (X2) didapatkan Thit = 2.05jika dibandingkan dengan Ttabel = 1.6772maka memberikan keputusan bahwa Ho ditolak, yang artinya dengan kepercayaan 95% diyakini bahwa nilai koefisien PYX2 adalah tidak sama dengan nol atau sebesar 0.214 atau dengan kata lain bahwa secara signifikan tanggung jawab kinerja (X2) berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y). Hasil pengujian individual menggunakan uji student-T di atas, memberikan kesimpulan bahwa adanya pengaruh dari tanggung jawab kinerja (X2) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y), dengan nilai koefisien (PYX2) adalah sebesar 0.214 Hal ini mengindikasikan bahwa tanggung jawab kinerja (X2) mempunyai pengaruh yang
P a g e | 79 positif terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y). Sedangkan berdasarkan output sofware Minitab for windows versi 13 yang dieksekusi pada macro berdasarkan prosedur/langkah perhitungan analisis jalur (path analysis) terlampir pada lampiran 7, yang memperlihatkan hasil sebagai berikut: "PYX2" Sum of C32 Sum of C32 = 0.21391
-X2" K16 0.0457586 K17 0.0354883 K18 0.0372082 K19 0.0324512 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X2' K21 0.150906
Hasil tersebut menyatakan bahwa pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel penyebab yaitu tanggung jawab kinerja (X2) atau Kausal X2 adalah sebesar 0.151 (jika dipersentasekan adalah 15,1%). Maka dikarenakan menggunakan analisis jalur (path analysis), maka untuk menjelaskan penyebab dari variabel tanggung jawab kinerja (X2) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y), dilihat pula pengaruh tidak langsungnya variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu efektivitas dan efisiensi (X1), disiplin (X3) dan Inisiatif (X4) sehingga jelas bahwa pengaruh langsung dan tak langsung dari X2 baik langsung maupun melalui X1, X3 dan X4 terhadap Y adalah sebesar 15,1%. 3. Pengaruh Disiplin Kinerja Aparatur (X3) Terhadap Kualitas Pelayanan Kependudukan (Y) Hipotesis yang dikemukakan sebelumnya mengenai pengaruh disiplin kinerja aparatur (X3) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y) adalah sebagai berikut: Ho:
PYX3 = 0,
Ha:
PYX3
Disiplin kinerja aparatur tidak berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung.
Disiplin kinerja aparatur berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung.
Didapatkan bahwa uji individual/ uji student-T, untuk pengujian koefisien jalur untuk disiplin kinerja (X3) didapatkan Thit = 2.90jika dibandingkan dengan Ttabel = 1.6747 maka memberikan keputusan bahwa Ho ditolak, yang artinya dengan kepercayaan 95% diyakini bahwa nilai koefisien PYX3 adalah tidak sama dengan nol atau sebesar 0.304 atau dengan kata lain bahwa secara signifikan disiplin kinerja (X3) berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y). Hasil pengujian individual menggunakan uji student-T di atas, memberikan kesimpulan bahwa adanya pengaruh dari disiplin kinerja (X3) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y), dengan nilai koefisien (PYX3) adalah sebesar 0.304 Hal ini mengindikasikan bahwa disiplin kinerja (X3) mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y). Sedangkan berdasarkan output sofware Minitab for windows versi 13 yang dieksekusi pada macro berdasarkan prosedur/langkah perhitungan analisis jalur (path analysis) terlampir pada lampiran 7, yang memperlihatkan hasil sebagai berikut: "PYX3" Sum of C33 Sum of C33 = 0.30412
"KAUSAL-X3" K16 0.0924910 K17 0.0566255 K18 0.0372082 K19 0.0407647 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X3' K21 0.227089
Hasil tersebut menyatakan bahwa pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel penyebab disiplin (X3) atau Kausal X3 adalah sebesar 0.227(jika dipersentasekan adalah 22,7%). Maka dikarenakan menggunakan analisis jalur
P a g e | 80 (path analysis), maka untuk menjelaskan penyebab dari variabel disiplin kinerja (X3) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y), dilihat pula pengaruh tidak langsungnya variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu efektivitas dan efisiensi (X1), tanggung jawab (X2) dan Inisiatif (X4) sehingga jelas bahwa pengaruh langsung dan tak langsung dari X3 baik langsung maupun melalui X1, X2 dan X4 terhadap Y adalah sebesar 22.7%. 4. Pengaruh Inisiatif Kinerja Aparatur (X4) Terhadap Kualitas Pelayanan Kependudukan (Y) Hipotesis yang dikemukakan sebelumnya mengenai pengaruh inisiatif kinerja aparatur (X4) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y) adalah sebagai berikut: Ho:
PYX4 = 0,
Ha:
PYX4
Inisiatif kinerja aparatur tidak berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung. Inisiatif kinerja aparatur berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung.
Didapatkan bahwa uji individual/ uji student-T, untuk pengujian koefisien jalur untuk inisiatif kinerja (X4) didapatkan Thit = 2.070 jika dibandingkan dengan Ttabel = 2.0076 maka memberikan keputusan bahwa Ho ditolak, yang artinya dengan kepercayaan 97.5% diyakini bahwa nilai koefisien PYX4 adalah tidak sama dengan nol atau sebesar 0.226 atau dengan kata lain bahwa secara signifikan inisiatif kinerja (X4)) berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y). Hasil pengujian individual menggunakan uji student-T di atas, memberikan kesimpulan bahwa adanya pengaruh dari inisiatif kinerja (X4) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y), dengan nilai koefisien (PYX4) adalah sebesar 0.226Hal ini mengindikasikan bahwa inisiatif kinerja (X4) mempunyai pengaruh yang positif
terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y). Sedangkan berdasarkan output sofware Minitab for windows versi 13 yang dieksekusi pada macro berdasarkan prosedur/langkah perhitungan analisis jalur (path analysis) terlampir pada lampiran 7, yang memperlihatkan hasil sebagai berikut: "PYX4" Sum of C34 Sum of C34 = 0.22609
"KAUSAL-X4" K16 0.0511181 K17 0.0401411 K18 0.0324512 K19 0.0407647 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X4' K21 0.164475
Hasil tersebut menyatakan bahwa pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel penyebab yaitu inisiatif kinerja (X4) atau Kausal X4 adalah sebesar 0.16 (jika dipersentasekan adalah 16%). Maka dikarenakan menggunakan analisis jalur (path analysis), maka untuk menjelaskan penyebab dari variabel inisiatif kinerja (X4) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y), dilihat pula pengaruh tidak langsungnya variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu efektivitas dan efisiensi (X1), tanggung jawab (X2), dan disiplin (X3) sehingga jelas bahwa pengaruh langsung dan tak langsung dari X4 baik langsung maupun melalui X1, X2 dan X3 terhadap Y adalah sebesar 16%. 5. Pengaruh Kinerja Aparatur (X) Terhadap Kualitas Pelayanan Kependudukan (Y) Hipotesis yang dikemukakan sebelumnya mengenai pengaruh kinerja aparatur (X) terhadap kualitas pelayanan kependudukan (Y) adalah sebagai berikut Ho :
Ha:
PYX1X2X3X4 = 0, PYX1X2X3X4
Kinerja aparatur tidak berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung.
P a g e | 81 Kinerja aparatur berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah Kota Bandung.
Untuk menjelaskan besarnya pengaruh secara simultan dari Kinerja aparatur (X) terhadap kualitas pelayanan (Y) terlihat pada lampiran 7.Terlihat bahwa R-Kuadrat XY menunjukkan nilai sebesar 0,747 (jika dipersentasekan dan dibulatkan sebesar 75%).Hal ini dapat dikatakan bahwa besarnya pengaruh Kinerja aparatur secara simultan terhadap Kualitas pelayanan (Y) adalah sebesar 75%. "R-KUADRAT YX" Sum of C50 Sum of C50 = 0.74713
'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X1' K21 0.204655 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X2' K21 0.150906 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X3' K21 0.227089 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X4' K21 0.164475
Pengaruh sebesar 75% dari X secara simultan terhadap Y tersebut didapatkan dari kausal X1, X2, X3 dan X4 sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa kausal X1 terhadap Y adalah sebesar 20,4%, kausal X2 terhadap Y adalah sebesar 15%, kausal X3 terhadap Y adalah sebesar 22,7%, dan kausal X4 terhadap Y adalah sebesar 16,4%, maka secara simultan jelas bahwa besarnya pengaruh X1, X2, X3, dan X4 secara simultan terhadap Y adalah sebesar 75%. Maka jika pengaruh Kinerja aparatur (X) secara simultan terhadap Kualitas pelayanan (Y) adalah sebesar 75%, maka pengaruh variabel lain yang tidak dimasukkan/diteliti dalam penelitian ini adalah sebesar 25% atau dapat dikatakan bahwa besarnya pengaruh variabel selain Kinerja aparatur terhadap Kualitas pelayanan sebesar 25%.
Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa adanya pengaruh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini sebesar 25% (pembulatan 0,253). adapun beberapa variabel tersebut dapat diidentifikasi dengan merujuk pada data sekunder dalam penelitian ini, yang diambil melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Variabel yang mempengaruhi namun tidak diteliti dalam penelitian ini yang menunjukkan nilai pengaruh sebesar 25% terhadap kinerja aparatur, dan kualitas pelayanan adalah sebagai berikut : 1. Variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi pada kinerja seorang aparatur seperti : - Motivasi, dimana motivasi salah satu faktor yang penting dalam peningkatan kinerja seorang aparatur; - Pengawasan langsung dari atasan terhadap bawahan. 2. Sedangkan variabel lain yang dapat mempengaruhi pada kualitas pelayanan seperti : - Regulasi/aturan yang jelas mengenai pelayanan sektor publik; - Faktor ketersediaan anggaran, semakin baiknya ketersediaan anggaran yang ada maka akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kualitas pelayanan. Dari hasil penelitian yang didapat dengan menggunakan metode kuantitatif yaitu dengan menguji instrumen-instrumen penelitian yang berupa kuesioner dan diolah secara analisis statistik deskriptif serta dengan menguji hasil penelitian dengan uji individual atau uji student-T, dan berdasarkan output sofware Minitab for windows versi 13 yang dieksekusi pada macro berdasarkan prosedur/langkah perhitungan analisis jalur (path analysis), dari teori-teori yang diuji yaitu teori tentang kinerja yang dinotasikan (X), menurut Suyadi Prawirosentono yang terdiri dari variabel efektivitas dan
P a g e | 82 efisien (X1), variabel tanggung jawab (X2), variabel disiplin (X3), dan variabel inisiatif (X4) dan teori kualitas pelayanan yang dinotasikan (Y), menurut Zeithaml, Parasuraman & Berry yang terdiri dari variabel Tangibles, Reliability, Responsiveness, Assurance, dan variabel Emphaty, didapatkan hasil dari penelitian ini yaitu dimensi disiplin sebesar 27,7 % memberikan pengaruh yang cukup besar bagi kinerja aparatur terhadap kualitas pelayanan kependuduk di Pemerintah Kota Bandung, dari hasil penelitian tersebut diatas, teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori kinerja dan teori kualitas pelayanan sangat mendukung dalam penelitian ini. E. PENUTUP Dari hasil penelitian dan pembahasan ini, ada beberapa simpulan yang diambil, diantaranya : 1. Adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari kinerja aparatur terhadap kualitas pelayanan kependudukan di Pemerintah kota Bandung; 2. Adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari dimensi efektifitas kinerja yang terdiri dari indikator tercapainya tujuan, target/sasaran dan indikator misi organisasi, dari dimensi efisiensi kinerja dengan indikator input dan output terbaik, manfaat terhadap kualitas pelayanan yang terdiri dari dimensi tangibles, reliability, responsiviness, assurance dan emphaty, hal tersebut memberikan pengaruh yang kecil dari dimensi efektivitas dan efisiensi kinerja terhadap kualitas pelayanan; 3. Adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari dimensi tanggung jawab kinerja yang terdiri dari indikator nilai/norma, mengelola waktu, tugas sesuai prosedur, menyelesaikan tugas, dan menanggung resiko terhadap kualitas pelayanan yang terdiri dari dimensi tangibles, reliability, responsiviness, assurance dan emphaty, hal tersebut
memberikan pengaruh yang kecil dari dimensi tanggung jawab kinerja terhadap kualitas pelayanan; 4. Adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari dimensi disiplin kinerja yang terdiri dari indikator teratur, tepat waktu, taat aturan/norma terhadap kualitas pelayananyang terdiri dari dimensi tangibles, reliability, responsiviness, assurance dan emphaty, hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar dari dimensi disiplin kinerja terhadap kualitas pelayanan; 5. Adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari dimensi inisiatif kinerja yang terdiri dari indikator daya pikir, kreativitas ide, mandiri terhadap kualitas pelayananyang terdiri dari dimensi tangibles, reliability, responsiviness, assurance dan emphaty, hal tersebut memberikan pengaruh yang kecil dari dimensi inisiatif kinerja terhadap kualitas pelayanan. Dan dari penelitian ini, ada beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai saran, baik saran secara praktis maupun saran untuk pengembangan ilmu, yaitu antara lain : Saran secara praktis : 1. Dari penelitian ini, dimensi disiplin memberikan pengaruh yang cukup besar bagi kinerja aparatur dibandingkan dengan dimensidimensi lainnya seperti efektivitas dan efisiensi, dimensi tanggung jawab dan dimensi inisiatif, ini sejalan (linier) dengan Peraturan Pemerintah No.53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai, sehingga gerakan disiplin bagi aparatur harus benar-benar dilaksanakan dalam upaya meningkatkan kinerja yang berdampak pula pada peningkatan kualitas pelayanan; 2. Dalam upaya meningkatkan kinerja aparatur yaitu dengan membangun komitmen bersama antara atasan dan bawahan untuk bekerja sama dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat, dimana atasan
P a g e | 83
3.
4.
5.
6.
1.
2.
memberikan pengawasan dan bawahan melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya; Pengelolaan dan pemeliharaan sarana prasarana untuk kepentingan masyarakat harus benar-benar dirawat dan dijaga sehingga tidak akan terjadinya kerusakan ketika akan dipakai; Adanya upaya dari pemerintah untuk dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas aparaturnya dengan berbagai pelatihan dan pendidikan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik / prima kepada masyarakat; Penerapan merit sytem, dimana adanya penghargaan bagi aparatur yang berkinerja bagus, dan hukuman bagi aparatur yang bekerja tidak profesional dengan seadil-adilnya, dengan diterapkannya merit system mendorong dan memotivasi aparatur untuk meningkatkan kinerjanya; Untuk mencapai optimalisasi kinerja aparatur, sebaiknya Penempatan kerja dan jabatan aparatur pemerintah berdasarkan pada kompetensi, kualitas dan profesionalitas aparaturnya. Saran Untuk Pengembangan Ilmu : Hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada dunia ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Pemerintahan Daerah; Hasil dari penelitian ini, dimana berdasarkan teori kinerja menurut Suyadi Prawirosentono yang terdiri dari variabel efektivitas dan efisien, variabel tanggung jawab, variabel disiplin, dan variabel inisiatif dan teori kualitas pelayanan menurut Zeithaml, Parasuraman & Berry yang terdiri dari variabel Tangibles, Reliability, Responsiveness, Assurance, dan variabel Emphaty, dapat memberikan referensi bagi peneliti lain yang akan meneliti dibidang kependudukan khususnya tentang pengaruh kinerja aparatur terhadap kualitas pelayanan kependudukan, dalam penelitian
selanjutnya diharapkan tidak hanya berdasarkan kedua teori diatas, tetapi dapat mengambil dari teori teori lain yang sejenis untuk mendapatkan hasil perbandingan dari penelitian yang sejenis yang sudah ada sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Dahlan, Dkk.1995.Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta :Balai Pustaka. Dharma, Agus .2003. Manajemen Supervisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Dwiyanto, Agus .Dkk. 2006.Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.Yogyakarta :Gadjah Mada University Press. , Agus. Dkk. 2008.Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press. Gaspersz, Vincent. 1997. Manajemen Kualitas, Penerapan Konsep, Kualitas Dalam Managemen Bisnis Total , Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. .2006. Total Quality Management: Untuk Praktisi Bisnis Dan Industri. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hardono, Mardiyanto.2008. Intisari Manajemen Keuangan. Jakarta: Grasindo. Hasan, Dede. 2002. Kemampuan Manajerial Pimpinan dalam Memotivasi dan Mendisiplinkan Karyawan dikaitkan dengan Produktivitas Kerja, Bandung: PPs UPI. Kotler, Philip. 2002. Manajemen Pemasaran di Indonesia : Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian, Jakarta: Salemba Empat. Mangkunegara,Anwar Prabu.2001.Managemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung:Remaja Rosda Karya .2005.Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung: Refika Aditama.
P a g e | 84 Moenir, HAS .1998. Managemen Pelayanan Umum Di Indonesia. Jakarta:Bumi Aksara. . 2001. Managemen Pelayanan Umum Di Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka. . 2006. Managemen Pelayanan Publik. Jakarta :Bina Aksara. Ndraha,Taliziduhu.1999.Pengantar Teori Pembangunan Sumber Daya Manusia.Jakarta:Rineka Cipta. Normann .1991.Service Management.Chicester.England:Wile y & Son Pasolong, Harbani. 2006. Teori Administrasi Publik. Bandung: CV.Alfabeta. Prawirosentono, Suyadi. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia Kebijakan Kinerja Karyawan . Yogyakarta: BPFE. Managemen Kualitas : Perspektif Global. Yogyakarta:Ekonisia. Rakhmat. 2009. Teori Administrasi Dan Managemen Publik. Jakarta:Pustaka Arif. Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2008. Managemen Pelayanan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Riduwan. 2004. Metode Dan Teknik Penyusunan Tesis. Bandung:Alfabeta Riduwan dan Kuncoro, Engkos Achmad.2011. Cara Menggunakan dan Memakai Path Analysis ( Analisis Jalur ). Bandung:Alfabeta. Sadu, Wasistiono.2002.Kapita Selekta Managemen Pemerintahan Daerah.Bandung:Alqa Print. Sampara Lukman. 2000. Managemen Kualitas Pelayanan. Jakarta: STIA LAN Press. Sedarmayanti. 2001. Sumber Daya Manusia Dan Produktivitas Kerja. Bandung:C.V. Mandar Maju. -, 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, Dan Kepemimpinan Masa Depan ( Mewujudkan Pelayanan Prima Dan Kepemerintahan Yang Baik). Bandung:Refika Aditama. - - , 2011.Tata Kerja Dan Produktivitas Kerja. Bandung:C.V.Mandar Maju.
Sedarmayanti, dan Syarifudin Hidayat. 2011. Metode Penelitian. Bandung:C.V. Mandar Maju. Sedarmayanti, 2012.Good Governance Bagian Kedua.Bandung:C.V.Mandar Maju. -- , 2013. Managemen Sumber Daya Manusia. Bandung:Refika Aditama. Sinambela, L.P.2010.Reformasi Pelayanan Publik : Teori,Kebijakan Dan Implementasi.Jakarta:PT.Bumi Aksara. Singarimbun, Masri dan Effendy, Sofyan.1996.Metode Penelitian Survey.Jakarta:LP3ES. Sopiah. 2008.Perilaku Organisasional.Yogyakarta:Andi. Sugiyono. 2012.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung:Alfabeta. Supriatna,Tjahya.1997.Birokrasi Pemberdayaan Dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung:Humaniora Utama Press. Suryana.2006. Kewirausahaan, Pedoman Praktis, Kiat Dan Proses Menuju Sukses. Edisi Revisi.Jakarta: Salemba Empat. Sutopo dan Suryanto. 2003. Pelayanan Prima.Jakarta:Lembaga Administrasi Negara RI. Slameto. 2003. Belajar dan FaktorFaktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Tangkilisan,Hessel Nogi S. 2005.Managemen Publik.Jakarta:Gramedia Widia Sarana Indonesia. Thoha,Miftah.1995.Kepemimpinan Dalam Managemen Suatu Pendekatan Perilaku.Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. Tjiptono,Fandy.1996.Managemen Jasa.Yogyakarta:Andi. .2002.Pemasaran Jasa.Malang:Bayu Media Publishing. .2007.Strategi Pemasaran.Yogyakarta:Andi. Tjrokroamidjojo, Bintoro, 2000.Good Governance (Paradigma baru Manajemen Pembangunan). Jakarta: Universitas Indonesia.
P a g e | 85 Triguno. 1997.Budaya Kerja Menciptakan Iklim Yang Kondusif Untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja.Jakarta:PT.Golden Terayon Press. Umar, Husein.2003.Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. .2003.Metodologi Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka. Wisnu UR, Dicky dan Siti Nurhasanah. 2005. Teori Organisasi, Struktur dan Desain. Edisi Pertama. Malang : UMM Press. Yeremias T. Keban. 2004.Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik:Konsep,Teori Dan Isu.Yogyakarta:Gaya Media. Sumber Perundang-undangan : Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah No.96 Tahun 2012 sebagai pelaksanaan Undangundang N0.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan publik. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25 Tahun 2004 tentang Indeks Kepuasan Masyarakat. Peraturan MENDAGRI No.65 Tahun 2010 tentang Profil Kependudukan. Peraturan MENPAN No.38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Sumber Referensi Lainnya : Diktat : Batinggi, Ahmad. 1998. Managemen Pelayanan Umum. Bahan Kuliah STIA LAN. Internet : www.bbc.citizen.com. www.inilahkoran.com. www.matakristal.com/pengertianpenduduk. www.nesaci.com/teori-danpengertian-kependudukan. www.wikipedia.com.
P a g e | 86 PENGARUH PENAMBAHAN POS WILAYAH DAN KEMAMPUAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN BENCANA KEBAKARAN (STUDI PADA BIDANG PEMADAMAN DINAS PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN KOTA BANDUNG) Elan Suparno Alumnni Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi STIA Bandung ABSTRACT THE EFFECT OF THE ENUMERATION OF THE POST AREA AND HUMAN RESOURCE CAPACITY ON THE FIRE DISASTER PREVENTION AND HANDLING SERVICE QUALITY IN BANDUNG CITY GOVERNMENT. As the consequences of a complex city growth and urbanization, besides there are a lot of opportunities, there are also threats. One of among these threats is the fire disaster. According to the results of a study done by the Regional Housing and Infrastructure Research and Development . Bandung City needs at least 30 Posts Area for 30 districts and 151 sub districts. Nowadays there are only 2 Posts Areas supported by only 161 personnel and limited equipment. This conditions will be worsened when the disaster happens in the bad and poor housing area,or slums, and also when the access limited by the traffic- jam. The method of the study used is a descripitive quantitative approach, which is expected to give a representative and factual data about the object of the study.. The instrumen used in gathering data consists of the questionaire, documents study .Data is analyzed by the statistical methods to prove the hypothesis. After this conditions being studied , the results shows that : 1. Partially, the effect of the enumeration of branch post area to the service quality is smaller than the effect of human resources capacity. 2. Simultaneously the effect of both of the enumeration of branch post areas and the human resource capacity have a significant influence on the fire disaster prevention and handling service quality. Based on the study it is recommended to be: more realistic in supporting the quantity and quality posts area; to increase frequency and kinds of Training Programme according to the training needs analysis; to promote the local people participation; strengthening the organization capacity, and be better equipped.
A. PENDAHULUAN Bangunan gedung dan lingkungan adalah sarana tempat tinggal dimana masyarakat melakukan berbagai aktivitas. Oleh sebab itu pengaturan tata ruang kota perlu adanya pengaturan, pembinaan serta pengawasan yang teus menerus agar memenuhi fungsi, serasi, selaras, seimbang, andal terhadap bahaya kebakaran serta nyaman bagi kehidupan penghuninya. Karena itu pengaturan bangunan gedung harus disesuaikan dengan landasan dan asas manfaat, keseimbangan, keselamatan,
dan keseimbangan dengan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Penyebab yang tak kalah pentingnya adalah merebaknya urbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota, hal ini diakibatkan karena banyaknya orang desa beralih profesi ingin berjuang/bekerja dan hidup di Kota. Hal ini tidak ayal lagi, mengakibatkan permasalahan menumpuk di Kota seperti Kota Bandung ini, satu diantara potensi masalah yang akan dihadapi Kota Bandung akibat urbanisasi adalah potensi bencana kebakaran. Oleh karena itu diperlukan
P a g e | 87 antisipasi berupa pelayanan pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait yaitu Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung. Perlindungan terhadap ancaman bahaya kebakaran merupakan nilai tambah yang sangat penting bagi suatu daerah secara keseluruhan, sehingga akan memberikan rasa aman bagi penghuninya. Kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang berbasis pada lingkungan banguna gedung secara berkesinambungan. Dasar Hukum yang mendasari dilaksanakannya penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran adalah: 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2012 tentang perubahan atas Permendagri Nomor 62 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota; 5. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua Atas Perda Kota Bandung Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung; 6. Peraturan Walikota Bandung Nomor 297 Tahun 2013 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Uraian Tugas dan Tata Kerja Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung. Seiring dengan laju pembangunan kota yang semakin kompleks ini adalah hal yang harus disikapi dengan bijak oleh Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota
Bandung adalah pelayanan penanganan penanggulangan bahaya kebakaran, kondisi pos wilayah yang dimiliki oleh Kota Bandung 1 pos wilayah pusat yaitu berada di Jl. Sukabumi No. 17 (Kantor Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung) ditambah dengan 1 Pos Wilayah yang berada di Aria Graha, Jl. Soekarno Hatta. Hal ini tentu saja memerlukan penambahan pos wilayah untuk menunjang pada proses pelayanan penanggulangan bencana kebakaran di Kota Bandung. Pos wilayah di Kota Bandung untuk kondisi saat ini memberikan pelayanan pada pencegahan dan penanggulangan kebakaran di Kota Bandung masih sangat kurang, seharusnya diperlukan minimal 6 pos wilayah kebakaran di Kota Bandung sesuai dengan wilayah yang ada, dalam kajian Litbang Pemukiman dan Inpraswil (2003:37) seharusnya Kota Bandung memiliki pos wilayah disetiap kecamatan, yaitu sejumlah 30 pos wilayah. Hal tersebut di atas jika dibandingkan dengan kondisi eksisting Kota Bandung yang kurang lebih 167,45 km2 yang terdiri dari 30 Kecamatan dan 151 Kelurahan, dan permasalahan kemacetan lalu lintas hampir diseluruh jalan utama Kota Bandung, selain itu banyaknya pemukiman padat penduduk di Kota Bandung akan makin menyulitkan penanganan dan penanggulangan kebakaran di Kota Bandung, oleh karena itu diperlukan penataan dan tata ruang seiring dengan penambahan pos wilayah kebakaran serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia sebagai petugas operasional lapangan dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran di Kota Bandung. Sarana dan prasarana yang menunjang pada pelayanan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di Kota Bandung terinci:
P a g e | 88 Tabel 1. Data Sarana dan Prasana Kebakaran di Kota Bandung NO
JENIS SARANA & PRASARANA
1
Mobil Pancar
2 3 4 5
Mobil Resque Mobil Tangga Mobil Snorkle Mobil M V U Mobil Quick Respon Mobil Komando Anhang Mobil Pancar (PINDAD) Mobil Pancar (GOPUSPAL) Mobil Pancar (Gunung Agung) Mobil Pancar (KODIM) Mobil Pancar (POLDA Jabar) Mobil Pancar (Pemprov Jabar)
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
31 Unit 2 2 1 1
Unit Unit Unit Unit
KONDISI 26 Baik, 5 Diperbaiki Baik Baik Baik Baik
1 Unit
Baik
2 Unit 2 Unit
Baik Diperbaiki
2 Unit
Cukup Baik
3 Unit
Cukup Baik
1 Unit
Cukup Baik
1 Unit
Baik
1 Unit
Baik
2 Unit
Baik
10 Tekanan Air Tinggi, 31 Tekanan Air Sedang Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung, 2013.
Hidran
Sumber:
JUMLAH
41 Titik
Kondisi sarana dan prasarana tersebut masih jauh dari harapan untuk cakupan pelayanan penanggulangan kebakaran Kota Bandung. Adapun data petugas lapangan Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung terinci dalam tabel berikut: Tabel 2. Data Petugas Lapangan Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung NO 1 2 3 4
BIDANG KERJA Pemadaman (3 peleton terdiri dari 21 regu) Penyelamatan (3 regu) Staf Bantuan Penyelamatan Staf Bantuan Pemadaman JUMLAH
JUMLAH (Orang) 126 15 5 15 161
Jumlah petugas lapangan dalam pelayanan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di Kota Bandung tersebut jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Bandung
dan dengan keberadaan pos wilayah masih jauh dari harapan untuk cakupan pelayanan penanggulangan kebakaran Kota Bandung. Walaupun masih dirasakan kurang dalam jumlah personil lapangan, namun yang harus menjadi perhatian utama adalah pada kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki harus mempuni, sehingga kekurangan tersebut dapat ditanggulangi. B. TINJAUAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL 1. Manajemen Sumber Daya Lainnya Sumber daya fisik/materiil menurut Sedarmayanti (2014:174) adalah sebagai berikut: kegiatan perencanaan kebutuhan pemilihan sumber pembelian, pemindahan, penyimpanan dan pengawasan materiil dengan cara optimal sehingga dapat menekan biaya materiil/produksi dalam rangka meningkatkan keuntungan Pengertian di atas mengemukakan bahwa dalam pemberdayaan sumber daya fisik//materiil ada yang dinamakan manajemen materiil yang intinya dalah pengelolaan materiil dalam rangka meningkatkan keuntungan dalam organisasi. Inilah yang menjadi dasar dalam menunjang fokus dalam penelitian ini. Tahap dari manajemen materiil meliputi: 1) Tahap penentuan kebutuhan; 2) Tahap pengadaan; 3) Tahap distribusi; 4) Tahap pemakaian dan pertanggungjawaban. (Sedarmayanti, 2014:174). Sarana dan prasarana didefinisikan oleh Moenir (1995:119) adalah sebagai berikut: lah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan fasilitas yang
P a g e | 89 berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga dalam rangka kepentingan yang sedang berhubungan dengan organisasi Pengertian yang dikemukakan oleh Moenir, jelas memberi arah bahwa sarana dan prasarana adalah merupakan seperangkat alat yang digunakan dalam suatu proses kegiatan baik alat tersebut adalah merupakan peralatan pembantu maupun peralatan utama, yang keduanya berfungsi untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Secara umum sarana dan prasarana adalah alat penunjang keberhasilan suatu proses upaya yang dilakukan di dalam pelayanan publik, karena apabila kedua hal ini tidak tersedia maka semua kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai dengan rencana. Sehubungan dengan materiil, khususnya peralatan seperti pos wilayah seringkali digunakan istilah pengoperasian (Sedarmayanti, 2014:175). Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemakaian/penggunaan/pengoperasian materiil dalam hal ini adalah pos wilayah pemadam kebakaran, Sedarmayanti (2014:177) mengemukakan ada beberapa faktor, yaitu: 1) Harus produktif atau memberikan manfaat. Artinya tidak boleh mengganggur/tidak memberikan manfaat. Karena waktu merencanakan kebutuhan harus hati-hati, harus realistis. Banyak alat yang dibeli dengan dana besar tapi akhirnya tidak dipakai; 2) Pemanfaatannya harus sesuai dengan tujuannya. Artinya tidak boleh untuk keperluan yang tidak sesuai apalagi untuk keperluan pribadi; 3) Harus dirawat/dipelihara agar dapat mempunyai masa pakai (teknis dan ekonomis) yang maksimal;
4) Alat harus dapat beroperasi secara ekonomis, artinya harus ada imbangan (ratio) yang positif antara output dengan input. modern, sophisticated dengan harga tinggi. Dari faktor-faktor pengoperasian inilah yang dijadikan dimensi dan indikator untuk variabel penambahan pos wilayah pemadam kebakaran di Kota Bandung yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Manajemen bencana adalah suatu proses yang terpadu dengan langkahlangkah yang pasti untuk pencegahan dan penanggulangan bencana, dalam penelitian ini yang diteliti adalah bencana kebakaran di perkotaan. Kemudian ITB (1999, 19) mengemukakan mengenai manajemen bencana adalah: ntuk dari adanya suatu kebutuhan akan komunitas serta lingkungan perkotaan yang lebih aman baik terhadap bencana alam dan bencana lain akibat ulah manusia, sehingga secara umum dapat meningkatkan kualitas kehidupan (quality of life) Langkah-langkah yang disusun dalam penangan bencana sebagaimana dikemukakan oleh Carter dalam Asian Development Bank (1991:52) terlihat pada gambar berikut: Penanggulanga n Bencana
Kesiapsiagaa n
Pemulihan
Mitigasi
Pembanguna n Pencegahan
P a g e | 90 Sumber :
Disaster Handbook Development Bank.
Gambar 1. Manajemen Bencana Pengertian bencana kebakaran menurut Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung dalam Wahyudi (2004:7) adalah: yang terdapat di permukiman, bahaya kebakaran adalah proses penyalaan api yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja dan didukung ketersediaan material sebagai bahan Kemudian Masellis mengemukakan bahwa:
bahaya kebakaran yang meliputi keselamatan jiwa (life safety), perlidungan harta benda (property safety), kelangsungan proses dan kerja (process safety). Risiko terdiri dari 3 faktor: yaitu bahaya (hazard), kerentaan (vulnerability), dan kapasitas (capacity) yang diukur dalam hal dampak dan kemungki Sedangkan Sanderson mengemukakan:
(1997:137)
dari kerentanan yang bertemu dengan bahaya yang ada.Bahaya dapat dilihat berdasarkan tipe, frekuensi, dan kehebatan bahaya yang muncul, sedangkan kerentanan dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, infrastruktur, dan organisasi yang dimiliki suatu
(1999:74) Hazard
ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan. Ancaman ini akan menimbulkan kerugian yang semakin besar ketika terjadi pada keadaan yang lebih rentan. Kebakaran dengan proporsi yang tinggi dapat merugikan lingkungan sekitar oleh karenanya asap pembakaran secara besarbesaran serta adanya gas dan asap Dari beberapa pengertian mengenai kebakaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebakaran adalah suatu bencana dimana penyalaan api yang tidak bisa dikendalikan sehingga menimbulkan kerugian berupa jiwa ataupun materiil. Hal inilah yang menjadi fokus bencana yang diteliti dalam penelitian ini. Kemudian Awotona (1997:150) mengemukakan mengenai risiko dalam bencana kebakaran adalah: peristiwa (dalam hal ini kebakaran) memberi dampak pada tujuan. Tujuan disini adalah tujuan dari proteksi
D I S A S T E R
Vulnerability
Social Economic Buildings/Infrast urcture Organization
Hence Disaster = Hazard + Vulnerability Sumber:
Sanderson, David. 1997. Reducing risk as a tool for urban improvement: The Caqueta ravine, Lima, Peru.
Gambar 2. Resiko Bencana Kajian mengenai pos wilayah pemadam kebakaran di Kota Bandung yang dilaksanakan tidak terlepas dari Konsep Fire Management Area (FMA) atau Wilayah Manajemen Area (WMK) yang dirumuskan dalam Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor: 11/KPTS/2000 tentang ketentuan teknis penanggulangan kebakaran di Perkotaan. Menurut Kep.Men.Neg PU tersebut disusun berdasarkan hasil analisis yang merupakan bagian dari suatu kegiatan
P a g e | 91 manajemen risiko kebakaran (fire risk management). Puslitbang Permukiman (2003:4) mengemukakan mengenai pengertian WMK adalah sebagai berikut: hunian memiliki kesamaan kebutuhan proteksi kebakaran dalam batas wilayah yang ditentukan secara alamiah maupun buatan. Perlu dirancang sistem alarm dan pemberitahuan kebakaran terintegrasi dalam WMK (terdapat sambungan sistem alarm otomatis dari masingmasing bangunan yang ada dalam WMK langsung ke Dinas Kebakaran apabila terjadi kebakaran (kondisi emergency). WMK ditentukan oleh waktu tanggap (response time) dari pos pemadam kebakaran yang Kemudian mengenai cakupan (coverage) untuk menentukan batasan minimum kecukupan level proteksi kebakaran suatu wilayah. Hal ini dikemukakan dalam Kepmenneg PU No. 11/KPTS/2000, bahwa: tidak melebihi radius 7,5 KM. diluar daerah tersebut dikategorikan sebagai daerah tidak terlindungi (unprotected area). Daerah yang sudah terbangun harus mendapat perlindungan oleh mobil kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 Diukur dari jumlah kepadatan penduduk dewasa ini dan dengan bertambahnya pengguna jalan yang semakin kompleks baik kendaraan roda 2 maupun roda 4, PKL masih banyak yang menggunakan fasilitas umum, sehinga timbul kemacetan dimananmana dan ditambah pula dengan pembangunan yang semakin pesat dengan kepadatan penduduk yang sudah melebihi kapasitas, ini akan menambah sulitnya akses pelayanan bila tejadi kebakaran. Dengan kajian dan wawancara dengan beberapa sumber alangkah baiknya bila
pos wilayah pemadam kebakaran ditempatkan disetiap wilayah, atau kecamatan yang padat penduduk, dengan maksud untuk mempercepat tibanya mobil pemadam kebakaran dilokasi kejadian kebakaran. 2. Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia (MSDM) menurut Sedarmayanti (2011:25) adalah: organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai Kemudian Kiggundu dalam Gomes (2001:5) mengemukakan mengenai MSDM adalah sebagai berikut: the development and utilization of personnel for the effective achievement of individual, organization, community, national, and international goals and Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa manajemen sumber daya manusia adalah sebuah pola pengembangan dan pemanfaatan pegawai secara efektif dari tujuan dan sasaran dilihat secara pribadi, organisasi, dan lebih luas lagi. Pernyataan yang mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan sebuah hal yang kompleks yang terdiri dari beberapa kelompok aktivitas dan seorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab pada pegawainya harus memperhatikan lingkungan eksternal yang terjadi.Hal ini juga yang mendasari tuntutan manajemen sumber daya manusia dalam pelayanan kebakaran di Kota Bandung. Sumber daya manusia dapat diartikan menurut Sedarmayanti (2011:286) adalah sebagai berikut: diartikan sebagai daya yang bersumber dari manusia. Daya yang bersumber dari manusia ini dapat
P a g e | 92 pula disebut tenaga atau kekuatan (energy atau power) yang melekat pada diri manusia itu sendiri dalam arti dapat ditunjukkan dalam hal tenaga, daya, kemampuan, keberadan, peralatan, wewenang dan tanggungjawab memiliki (competency) yaitu: pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude Pengertian di atas, terlihat bahwa kemampuan sumber daya manusia dapat dilihat dari 3 kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap, hal inilah yang menjadi satu diantara fokus dalam penelitian ini. Rasyid (2000:36) mengemukakan mengenai sumber daya manusia dalam kontek aparatur yang profesional adalah: kan penyiapan sumber daya manusia aparatur yang profesional dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah sesuatu yang tak terhindarkan, suatu keharusan, terutama karena dengan otonomi daerah itu rakyat mengharapkan hadirnya pemerintahan yang lebih tinggi kualitasnya, lebih mampu mengemban fungsi-fungsi pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, Pandangan sejalan terkait dengan sumber daya manusia juga dikemukakan oleh Soetrisno (2003: 54) bahwa: sumber daya manusia aparatur pemerintah diperparah dengan pembagian tugas yang tidak jelas.Akibatnya tidak saja terjadi inefisiensi dalam penggunaan sumber daya manusia, tetapi juga terjadi penumpukan pegawai dalam Berkaitan dengan hal tersebut, maka manajemen sumber daya aparatur pemerintahan di daerah merupakan satu hal yang harus dilaksanakan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah yang bermuarakan pada peningkatan pelayanan publik dan pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Sedarmayanti (2011:126-127) mengemukakan bahwa kompetensi adalah: 1. Keterampilan: keahlian/kecakapan melakukan sesuatu dengan baik. Contoh: kemampuan mengemudi. 2. Pengetahuan: informasi yang dimiliki/dikuasai seseorang dalam bidang tertentu. Contoh: mengerti ilmu manajemen keuangan. 3. Peran sosial: citra yang diproyeksikan seseorang kepada orang lain. Contoh: menjadi seorang pengikut. 4. Citra diri: persepsi individu tentang dirinya. Contoh: melihat/mempromosikan dirinya sebagai pemimpin. 5. Sifat/Ciri: karakteristik yang relatif konstan pada tingkah laku seseorang. Contoh: seorang pendengar yang baik. 6. Motif: pemikiran/niat dasar konstan yang mendorong individu bertindak/berperilaku. Contoh: ingin dihargai, dorongan mempengaruhi orang lain. Hal inilah yang akan menjadi fokus penelitian ini mengenai kemampuan sumber daya manusia pada Bidang Pemadaman Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung. Rentang kendali atau sering dikenal dengan rentang manajemen menurut McShane and Glinow (2010:390) adalah: l (also called span of management) refers to number of people directly reporting to the next Definisi tersebut menegaskan bahwa rentang kendali atau sering disebut rentang manajemen adalah jumlah orang yang terlibat yang dilaporkan untuk atasan dalam struktur organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa prinsip rentang manajemen berkaitan dengan jumlah bawahan yang dapat dikendalikan secara efektif oleh seorang manajer. Bawahan yang terlalu banyak kurang baik, demikian pula jumlah
P a g e | 93 bawahan yang terlalu sedikit juga kurang baik. Rentang kendali atau rentang manajemen dalam penelitian ini penting karena berkaitan dengan jumlah pasukan pemadam kebakaran yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya dalam pencegahan dan pemadaman kebakaran di Kota Bandung. 3. Pelayanan Prima Sektor Publik Hardiyansyah (2011:15) mengemukakan bahwa: public services) oleh birokrasi publik adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberi layanan (melayani) keperluang orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata Dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus berdasarkan pada beberapa asasa umum kepemerintahan yang baik, hal ini dikemukakan oleh Surjadi (2012:12) yaitu: 1. Kepastian hukum; 2. Transparan; 3. Daya tanggap; 4. Berkeadilan; 5. Efektif dan efisien; 6. Tanggung jawab; 7. Akuntabilitas; Sedangkan prinsip penyelenggaraan pelayanan publik menurut Surjadi (2012:12-13) adalah: 1. Kepastian hukum; 2. Keterbukaan; 3. Partisipatif; 4. Akuntabilitas; 5. Kepentingan umum; 6. Profesionalisme; 7. Kesamaan hak; 8. Keseimbangan hak dan kewajiban. Hal tersebut dimaksudkan bahwa kepastian hukum adalah adanya
peraturan perundang-undangan yang menjamin terselenggaranya pelayanan publik yang menunjang pada kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Kemudian keterbukaan adalah penerima pelayanan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan. Partisipatif adalah mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan harapan masyarakat. Akuntabilitas adalah proses penyelenggaraan pelayanan yang harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai peraturan perundang-undangan. Profesionalisme adalah aparat pemberi pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya.Kesamaan hak adalah pemberian pelayanan yang tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. Dan harus keseimbangan hak dan kewajiban dimaksudkan pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dikeluarkan/ dilaksanakan oleh pemberi dan penerima pelayanan. Peran pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan publik diarahkan kepada visi sebagai pengarah, penggerak dan fasilitator dalam penyediaan pelayanan publik.Hal ini ditandai dengan orientasi dan peran aktif pemerintah daerah untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik.Dimensi pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan publik secara tidak disadari telah menempatkan usaha pembangunan pada umumnya dan pelayanan publik pada khususnya sebagai milik birokrasi. Menurut Djaenuri (1997: 50) dalam pandangannya mengemukakan bahwa: sebagai suatu aktivitas/kegiatan organisasi, pelaksanaannya membutuhkan sarana pendukung.Kelancaran pelaksanaan kegiatan manajamen pelayanan masyarakat dalam organisasi pemerintahan banyak dipengaruhi
P a g e | 94 oleh dukungan dari aspek-aspek personil, keuangan, sarana dan Berdasarkan uraian teoritis terkait dengan pelayanan publik tersebut, maka hal yang paling mendasar untuk dilakukan adalah pengguna jasa pelayanan mendapatkan rasa puas terhadap apa yang diberikan. Daviddow & Uttal dalam Hardiyansyah (2011:35) pengertian kualitas yang lebih luas adalah: digunakan untuk mempertinggi kepuasan pelanggan (whatever enchances customes satisfaction Kemudian Groetsh & Davis dalam Tjiptono (2000:51) mendefinisikan kualitas adalah: kan suatu kondisi yang dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau Fitzsimmons dalam Hardiyansyah (2011:46-47) mengemukakan bahwa: 5 dimensi, yaitu Tangible (terjamah), Assurance (jaminan), Reliability (handal), Responsiveness (pertanggungjawaban), dan Emphaty Definisi kualitas pelayanan dari Fitzsimmons inilah yang menjadi fokus dalam penelitian ini.Dimensi Tangible (terjamah) dengan indikatornya adalah penampilan pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti peralatan dan perlengkapan yang menunjang pelayanan.Dimensi Assurance (jaminan) dengan indikatornya adalah pengetahuan/wawasan, kesopan santunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan, respek terhadap konsumen. Dimensi Reliability (handal) dengan indikatornya adalah kemampuan untuk memberi secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan.Dimensi
Responsiveness (pertanggungjawaban) dengan indikatornya adalah kesadaran/keinginan membantu konsumen, dan memberikan pelayanan yang cepat.Dimensi Emphaty (empati) dengan indikatornya adalah kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, berusaha mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen. Pelayanan pencegahan dan penanggulangan kebakaran adalah termasuk pelayanan kepada masyarakat dalam hal ini pelayanan terhadap bencana kebakaran. Menurut Thoha (1991: 41) pelayanan masyarakat dapat dirumuskan sebagai berikut: oleh seseorang atau sekelompok orang maupun institusi tertentu untuk memberikan bantuan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu.Pelayanan masyarakat menjadi sedemikian penting karena hubungan dan singgungannya dengan manusia dalam komunitas masyarakat banyak (society community Birokrasi pemerintah memainkan perannya sebagai institusi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat (warga).Pelayanan masyarakat dalam gugus institusi birokrasi pemerintah merupakan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah yang secara langsung memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. C. METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan penelitian menggunakan metode kuantitatif.Dengan jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian survey. Dengan tingkat eksplanasinya adalah metode deskriptif, yang artinya penelitian akan mengumpulkan data menggunakan instrumen penelitian, kemudian dianalisis menggunakan analisis statistik yaitu analisis jalur (path analysis) yang kemudian disajikan dalam bentuk penjelasan secara deskriptif dari hasil analisis tersebut.
P a g e | 95 Populasi dalam penelitian ini adalah kejadian kebakaran dalam kurun waktu 1 (satu) tahun pada tahun 2013 yang berjumlah 131 kejadian. Berdasarkan rumus slovin tersebut, dengan tingkat kekeliruan yang diambil yaitu dengan = 0,15, maka didapatkan sampel sejumlah 33 orang yang terkena musibah kebakaran pada tahun 2013. Dikarenakan populasi terbagi secara proporsional menurut kejadian kebakaran di Kota Bandung berdasarkan bulan selama tahun 2013, maka sampel yang sejumlah 33 orang yang terkena musibah kebakaran tersebut terbagi kejadian per-bulan, diberlakukan rumus sampel stratifikasi, yaitu: Penggunaan rumus tersebut mempunyai asumsi bahwa populasi berdistribusi normal. Maka ukuran sampel yang diambil dalam penelitian adalah seperti pada tabel berikut ini: Nilai validitas dari instrumen penelitian yang diteliti terhadap 33 orang responden dengan 32 item pertanyaan mengenai variabel yang diteliti, bahwa 32 item pernyataan dinyatakan sah atau valid, hal ini dapat disimpulkan bahwa semua item pernyataan yang dimintakan untuk ditanggapi oleh responden dalam kuesioner/angket ini sudah bisa dipakai untuk mendapatkan data primer, yang merupakan indikator dari dimensi masing-masing variabel yang dilibatkan dalam penelitian ini yaitu variabel penambahan pos wilayah, variabel kemampuan sumber daya manusia dan variabel kualitas pelayanan kebakaran dari teori ternyata sudah sah/valid untuk digunakan dan dioperasionalisasikan untuk penelitian ini. Penggujian instrumen yang dipakai dalam penelitian ini yaitu kuesioner/angket adalah uji reliabilitas atau kesesuaian/reliabel antara angket dengan penelitian yang dilakukan. Didapatkan dari korelasi Guttman Split-Half Coefficient, sedangkan kriteria untuk memutuskan reliabel atau tidaknya diujikan dengan menggunakan uji-t, yang hasilnya terlihat bahwa instrumen penelitian ini berupa
angket/kuesioner ternyata sesuai/reliabel, artinya bahwa angket/kuesioner yang terdiri dari pernyataan yang diambil dari indikatorindikator variabel yang terlibat dalam penelitian ini yaitu variabel penambahan pos wilayah, variabel kemampuan sumber daya manusia, variabel kualitas pelayanan kebakaran yang telah sesuai/reliabel dalam penelitian ini. Hasil jawaban responden secara deksriptif dapat dikategorikan dengan menggunakan kategori garis kontinum (Riduwan, 2005:94). Data ordinal dari kuesioner untuk dapat digunakan dalam analisis statistik untuk membuktikan hipotesis, maka harus dinaikkan skala datanya menjadi skala data interval, dengan menggunakan Metode Susesif Interval (MSI). Analisis jalur (path) adalah teknik analisis yang digunakan dalam menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antara variabel eksogenus dengan variabel endogenus (Riduwan & Kuncoro, 2011:115). Analisis jalur tepat untuk digunakan dalam menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Adapun persamaan linier dari analisis jalur (path analysis), adalah sebagai berikut:
Y
Pyx1 X 1 Pyx2 X 2
Untuk memudahkan dalam melakukan perhitungan analisis data secara statistik, dalam hal ini dibantu proses perhitungannya menggunakan software statistik. D. PEMBAHASAN Dinas Kebakaran adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertugas melaksanaakan kegiatan oprasional pelayanan publik dan dibentuk melalui Peraturan Daerah No.13 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung. Sejalan dengan kedudukan, tugas pokok dan fungsi organisasinya, serta dengan
P a g e | 96 mempertimbangkan berbagai faktor kunci kinerja baik internal maupun eksternal, Dinas Kebakaran Kota Bandung menetapakan Visi kedepan Perlindungan Kepada Masyarakat yang Aman dari Ancaman Bahaaya Kebakaran melalui terciptanya Sistem Pencegahan dan Penanggulangan yang handal guna menunjang Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Bersih, Makmur,Taat dan . Utuk mewujudkan Visi tersebut yang diemban oleh Dinas Kebakaran Kota Bandung secara esensial adalah sebagai berikut: 1) Melaksanakan upaya-upaya dan upaya penerapan terhadap bahaya kebakaran melalui pendataan, inspeksi dan penyusunan penerapan standar/pedoman teknis peraruran terhadap benda benda berbahaya, pengawasan lapangan dan perencanaan pra kebakaran (Pre Fire Planning) dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya penyediaan peralatan sistem proteksi kebakaran; 2) Melaksanakan penangulangan kebakaran dan penyelamatan (Rescue) secara efektif,efesien,cepat dan tepat untuk meminimalisasi kerugian ,baik jiwa manusia maupun harta benda; 3) Menyelenggarakan penyuluhan termasuk bimbingan teknis dan pelatihan kepada masyarakat luas serta unit-unit pengaman dilingkungan instansi pemerintah, BUMN dan swasta dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran tahap dini; 4) Melakukan koordinasi internal maupun eksternal dalam penertiban administrasi dan penyelenggaraan pembinaan keterampilan dalam rangka peningkatan profesionalisme pegawai dibidang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran. 5) Melaksanakan pengadaan, pemeliharaan sarana prasarana pencegahan dan penanggulanga kebakaran dalam rangka menunjang
pelaksanaan tugas Pencegahan dan Penggulangan Kebakaran; Mengenai tugas pokok dan fungsi Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung, mempunyai tupoksi, yaitu sebagai berikut: 1. Merumuskan kebijaksanaan teknis bidang pencegahan dan penggulangan kebakaran; 2. Melaksanakan tugas teknis operasional bidang pencegahan dan penggulangan kebakaran yang meliputi pencegahan, pembinaan dan penyuluhuan, pengendalian oprerasional pemadaman dan rescue, pengadaan sarana dan prasarana; 3. Melaksanakan pelayanan teknis administratif meliputi administrasi umum, kepegawaian, perencanaan dan pengembangan serta administrasi keuangan Dinas. Sedangkan yang menjadi lokus dalam penelitian ini adalah khusus Bidang Pemadaman Kebakaran pada Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung, yang mempunyai uraian tugas sebagai berikut: 1) Menyusun rencana dan program dibidang pemadam kebakaran sebagai pedoman pelaksanaan tugas; 2) Menjelaskan dan membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan rencana program yang telah ditetapkan agar program dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien; 3) Mengkaji bahan kebijakan teknis lingkup pengendalian operasi pemadaman dan pelatihan; 4) Mengkaji dan mengoreksi bahan pedoman pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan lingkup pengendalian operasi pemadaman dan pelatihan; 5) Mengkaji bahan kebijakan pembinaan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan di bidang pemadam kebakaran;
P a g e | 97 6) Membuat telaahan staf sebagai bahan perumusan kebijakan bidang pemadaman kebakaran; 7) Melakukan hubungan kerja fungsional dengan SKPD, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat; 8) Melaksanakan pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas sebagai bahan pertanggungjawaban kepada atasan; 9) Melaksanakan tugas lain dari atasan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Uraian tugas inilah yang menjadi lokus dalam penelitian ini, sehingga jelas yang akan dijelaskan dalam penelitian ini berkenaan dengan uraian tugas mengenai pemadaman kebakaran di Kota Bandung, khususnya pada pelayanan yang diberikan oleh Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung. Adapun prioritas sasaran pemadaman kebakaran oleh Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung, di prioritaskan dengan sasaran pemadaman, meliputi hal berikut: 1) Menyelematkan jiwa; 2) Membatasi penyebaran kebakaran; 3) Memadamkan kebakaran; 4) Meminimalkan kerusakan harta milik bahaya kebakaran. Sedangkan operasional pemadaman dilakukan dengan strategi, meliputi: 1) Meningkatkan keterampilan teknis anggota pemadam kebakaran agar memiliki kualitas Fire Rescue; 2) Mengembangkan teknik pemadaman kebakaran; 3) Meningkatkan kesiagaan para aparatur pemadam kebakaran. Untuk program peningkatan sarana dan prasarana, yang dilakukan Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung, adalah: 1) Memperbaiki respons time layanan kebakaran dan darurat lainnya dengan menambah jumlah pos kebakaran dan perbaikan sistem alarm kebakaran;
2) Meningkatkan sarana dan prasarana pemadaman kebakaran (mobil, peralatan, perlengkapan); 3) Meningkatkan ketersediaan tendon air kebakaran atau hidran kebakaran dan kemungkinan pemanfaatan sungai dan situ. Hasil jawaban kuesioner dari 33 orang responden mengenai penambahan pos wilayah yang dinotasikan sebagai X1, kemampuan sumber daya manusia yang dinotasikan sebagai X2 dan kualitas pelayanan bencana kebakaran yang selanjutnya dinotasikan Y, dan isi pernyataan kuesioner tersebut merupakan indikator-indikator dari variabel tersebut di atas, maka didapatkan hasil analisis data dengan menggunakan analisis jalur (path analysis). Untuk menjawab rumusan masalah dengan adanya hipotesis penelitian, untuk membuktikan hal tersebut maka didapatkan persamaan jalur sebagaimana perhitungan dibantu dengan menggunakan software statistik minitab for windows versi 13, maka didapatkan hasil persamaan jalur sebagai berikut:
Y
0,300 X 1
0,631 X 2
Persamaan jalur tersebut atau dapat dikatakan adanya hubungan linier antara X1, X2 dan Y, dapat dijelaskan sebagai berikut: 6) Kualitas pelayananbencana kebakaran (Y) dipengaruhi oleh penambahan pos wilayah (X1) sebesar 0,300 atau dapat dikatakan 1 satuan dari penambahan pos wilayah (X1) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kenaikan kualitas pelayanan bencana kebakaran (Y) sebesar 0,300. 7) Kualitas pelayanan bencana kebakaran (Y) dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya manusia (X2) sebesar 0,631 atau dapat dikatakan 1 satuan dari kemampuan sumber daya manusia (X2) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kenaikan kualutas pelayanan bencana kebakaran (Y) sebesar 0,631.
P a g e | 98 1. Analisis Pengaruh Penambahan Pos Wilayah Terhadap Kualitas Pelayanan Bencana Kebakaran Pengujian mengenai adanya pengaruh X1 terhadap Y yang dijelaskan di atas, maka untuk mengetahui besarnya pengaruh X1 terhadap Y dapat dilihat dari output macro minitab berikut: "KAUSAL-X1" K16 0.0902952 K17 0.114524 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X1' K21 0.204819 Hasil tersebut menjelaskan bahwa pengaruh langsung dan tidak langsung X1 terhadap Y adalah sebesar 0,205 atau sebesar 20,5%. Nilai ini dapat dikatakan bahwa pengaruh langsung dari penambahan pos wilayah terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung yang dilaksanakan oleh Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung adalah sebesar 20,5%. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengaruh pos wilayah terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran adalah sebesar 20,5%, hal ini jelas sesuai dengan dikemukakan oleh Moenir (1995:199) bahwa sarana dan prasarana dalam hal ini adalah pos wilayah berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan dalam hal ini pelayanan pemadaman kebakaran di Kota Bandung. Selain itu dengan jelas bahwa sarana dan prasarana khususnya pos wilayah, berguna untuk: Mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan sehingga dapat menghemat waktu; Meningkatkan produktivitas, baik barang dan jasa; Hasil kerja lebih berkualitas dan terjamin; Lebih memudahkan/sederhana dalam gerak para pengguna/pelaku; Ketepatan susunan stabilitas pekerja lebih terjamin;
Menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang-orang yang berkepentingan; Menimbulkan rasa puas pada orangorang yang berkepentingan yang mempergunakannya. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2009, yang mengemukakan bahwa perencanaan penambahan pos pemadam kebakaran dalam wilayah manajemen kebakaran (WMK) ditentukan berdasarkan waktu tanggap (respon-time) terhadap pemberitahuan kebakaran di wilayah tersebut. Hasil deskripsi jawaban responden tersebut, jika dikategorikan menurut kategori garis kontinum (Riduwan, 2005:94), maka persentase mengenai penambahan pos wilayah kebakaran di Kota Bandung yang memberikan persentase nilai sebesar 63,64% dapat dikategorikan Setuju. Hal ini berarti responden setuju dengan adanya penambahan pos wilayah kebakaran di Kota Bandung, hal ini jelas memperlihatkan kebutuhan mengenai penambahan pos wilayah kebakaran di Kota Bandung. Lebih rinci dijelaskan pada dimensi produktif yang memberikan persentase terbesar dari dimensi lain dalam penambahan pos wilayah yaitu sebesar 67,27%, sedangkan dimensi yang lain yaitu dimensi sesuai tujuan (65,15%), kemudian dimensi masa pakai ekonomi (61,82%) dan beroperasi ekonomis (60,30%). Besarnya persentase jawaban mengenai dimensi produktif (67,27%) dikategorikan setuju, hal ini didukung tergambar dengan adanya pos wilayah yang dekat dengan kejadian bencana kebakaran akan lebih cepat dalam menanggulangi dan memadamkan kebakaran yang terjadi. Kemudian besarnya dimensi produktif juga didukung oleh indikator bermanfaat (68,48%), hal ini jelas bahwa penambahan pos wilayah pemadaman kebakaran dilakukan mengingat manfaatnya terkait pada pelayanan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di Kota Bandung, sesuai yang
P a g e | 99 diharapkan oleh masyarakat Kota Bandung jika terjadi bencana kebakaran cepat datang dan ditanggulangi oleh petugas pemadaman kebakaran dari pos wilayah terdekat. Terkait hal tersebut, pos wilayah kebakaran yang sekarang dipunyai oleh Kota Bandung hanya 2 pos wilayah kebakaran (termasuk pos pusat), idealnya menurut Kementerian PU Ditjen Cipta Karya (2011:28) kebutuhan pos wilayah di Kota Bandung kondisi saat ini idealnya adalah sebanyak 14 pos wilayah, dan minimalnya adalah sebanyak 5 pos wilayah dalam mengantisipasi pemadaman kebakaran di Kota Bandung. Kelima pos tersebut direkomendasikan berada pada: 1) Kantor Pusat Dinas Kebakaran Jl. Sukabumi, menjadi kantor wilayah kebakaran Kota Bandung. Terutama menangani daerah Sumur Bandung, Regol, Kiaracondong, Cibeunying Kidul, Batununggal, Lengkong, Bandung Kidul, Cicadas, Arcamanik pada khususnya dan daerah seluruh Kota Bandung pada umumnya; 2) Sektor Pasar Ciroyom, menangani Cicendo, Andir, Bandung Kulon, Cicendo, Bojongloa Kaler; 3) Sektor Aria Graha, menangani wilayah Margacinta, Rancasari, Ujung Berung, dan Cibiru; 4) Sektor RM Babakan Siliwangi, menangani Coblong, Cibeunying Kaler, Bandung Wetan, Cidadap, dan Sukajadi; 5) Sektor Tegallega, menangani Bojongloa Kidul, Babakan Ciparay, dan Astana Anyar. Terlihat pada indikator harga realistik yang memberikan persentase nilai sebesar 56,36% (dikategorikan cukup setuju), hal ini jelas bahwa dalam pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung, harga pengadaan sarana dan prasarana pos wilayah kebakaran tidak hanya dilihat dari harganya, namun harus dilihat dari standar kelengkapan pelayanan untuk pemadaman bencana kebakaran.
2. Analisis Pengaruh Kemampuan Sumber Daya Manusia Terhadap Kualitas Pelayanan Bencana Kebakaran Pengujian mengenai adanya pengaruh X2 terhadap Y yang dijelaskan di atas, maka untuk mengetahui besarnya pengaruh X2 terhadap Y dapat dilihat dari output macro minitab berikut: "KAUSAL-X2" K16 0.398480 K17 0.114524 'TOTAL PENGARUH LANGSUNG & TAK LANGSUNG X2' K21 0.513004 Hasil tersebut menjelaskan bahwa pengaruh langsung dan tidak langsung X2 terhadap Y adalah sebesar 0,513 atau sebesar 51,3%. Nilai ini dapat dikatakan bahwa pengaruh langsung dari kemampuan sumber daya manusia terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung yang dilaksanakan oleh Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung adalah sebesar 51,3%. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengaruh kemampuan sumber daya manusia terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung adalah sebesar 51,3%, besarnya nilai ini didukung oleh pernyataan Sedarmayanti (2011:125-126) bahwa kemampuan sumber daya manusia merupakan kompetensi inti dari organisasi dalam hal ini adalah Dinas Bidang Pemadaman Kebakaran Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung, dan merupakan karakteristik yang mendasar yang dimiliki oleh individu serta berpengaruh langsung terhadap kinerjanya, dalam hal ini adalah memberikan pelayanan pemadaman bencana kebakaran atau sebagai petugas pemadam kebakaran. Hasil deskripsi jawaban responden tersebut, jika dikategorikan menurut kategori garis kontinum (Riduwan, 2005:94), maka persentase mengenai
P a g e | 100 kemampuan sumber daya manusia dalam hal ini adalah kemampuan petugas pemadam kebakaran yang memberikan persentase nilai sebesar 68,42% dapat dikategorikan Tinggi. Hal ini berarti bahwa responden menilai bahwa kemampuan petugas pemadam kebakaran tidak disanksikan lagi dengan menilai rata-rata persentase adalah 68,42% (tinggi). Lebih rinci dijelaskan pada dimensi keterampilan yang memberikan persentase terbesar dari dimensi lain dalam kemampuan SDM yaitu sebesar 72,42%, sedangkan dimensi yang lain yaitu dimensi pengetahuan (70,00%), kemudian disusul dengan dimensi motif (69,39%), lalu dimensi peran sosial (66,06%), selanjutnya dimensi citra diri (63,64%), dan yang terkecil adalah dimensi sifat/ciri (62,42%). Besarnya persentase jawaban mengenai dimensi keterampilan (72,42%) dikategorikan tinggi, hal ini tergambar bahwa responden menilai tingginya keterampilan dari petugas pemadam kebakaran Kota Bandung yang terlihat dilapangan bahwa petugas dengan terampil memadamkan api ditempat kejadian. Kemudian besarnya dimensi keterampilan juga didukung oleh indikator keahlian (73,33%), hal ini menegaskan bahwa keterampilan dari petugas pemadam kebakaran Kota Bandung mempunyai keahlian yang tinggi dalam memberikan pelayanan yaitu dalam memadamkan api ketika kebakaran terjadi. Tingginya penilaian terhadap dimensi keterampilan dan keahlian tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Kebakaran Kota Bandung, sudah baik dilakukan, hal ini sesuai dengan tujuan Diklat teknis fungsional penanggulangan kebakaran (DIKLAT FPK) adalah: 1) Meningkatkan mutu dan kemampuan baik dalam bidang substansi penanggulangan kebakaran maupun kepemimpinan yang berorientasi pada
kesamaan pola pikir dan keterpaduan gerak yang dinamis dan bernalar; 2) Dapat melaksanakan tugasnya dengan semangat kerjasama dan tanggung jawab sesuai dengan fungsinya dalam organisasi instansi pemadam kebakaran; 3) Meningkatkan kemampuan teoritis, konseptual, moral dan keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaan. Adapun jenis Diklat Pemadam Kebakaran ada beberapa jenjang dan jenis yaitu: 1) Diklat Pemadam Kebakaran Tingkat Dasar; 2) Diklat Pemadam Kebakaran Tingkat Lanjut; 3) Diklat Perwira Pemadam Kebakaran; 4) Diklat Inspektur Kebakaran; 5) Diklat Instruktur Kebakaran; 6) Diklat Manajemen Pemadam Kebakaran. Lain halnya pada indikator karakteristik personil pemadam kebakaran Kota Bandung yang dikategorikan masih tinggi dengan persentase sebesar 62,42%, namun mengenai karakteristik dinilai dari personil pemadam kebakaran Kota Bandung memberikan persentase terkecil, sehingga hal ini terkait dengan pembinaan personil di Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung yang masih harus ditingkatkan, hal ini terkait dengan 3C yang ditetapkan Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung untuk melakukan pembinaan kepada personilnya, 3C tersebut adalah: 1) Control, menyangkut kejelasan tugas, koordinasi dan komunikasi untuk meningkatkan sikap/attitude pengabdian; 2) Competence, menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan, untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, dan 3) Climate, menyangkut pembentukan lingkungan kerja yang baik sehingga semua merasa dihargai, dibutuhkan dan membutuhkan.
P a g e | 101 Melalui penerapan 3C ini, diharapkan peningkatan sikap pengabdian pengetahuan dan keterampilan, penghargaan masing-masing individu personil pemadam kebakaran akan meningkatkan pelayanan pemadaman bencana kebakaran di Kota Bandung. 3. Analisis Pengaruh Penambahan Pos Wilayah dan Kemampuan Sumber Daya Manusia Secara Simultan Terhadap Kualitas Pelayanan Bencana Kebakaran Hasil mengemukakan bahwa pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel penambahan pos wilayah adalah sebesar 20,5% jika dijumlahkan dengan pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel kemampuan sumber daya manusia yang sebesar 51,3% jelas bahwa hasil penjumlahan pengaruh tersebut adalah sebesar 71,8%. Melihat nilai pengaruh langsung dan tidak langsung X1 terhadap Y (20,5%) dibandingkan dengan pengaruh langsung dan tidak langsung X2 terhadap Y (51,3%), maka dapat dikatakan bahwa pengaruh kemampuan sumber daya manusia terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan pengaruh penambahan pos wilayah terhadap kualitas pelayanan kebakaran di Kota Bandung. Melihat hasil pengaruh penambahan pos wilayah dan kemampuan sumber daya manusia secara simultan terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung adalah sebesar 71,8%, hasil ini jelas memperlihatkan besarnya 2 variabel yaitu penambahan pos wilayah (X1) dan kemampuan sumber daya manusia (X2) yang diteliti dalam penelitian ini terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung (Y), dalam hal ini jelas pengaruh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini adalah sebesar 28,2%. Hasil deskripsi jawaban responden tersebut, jika dikategorikan menurut
kategori garis kontinum (Riduwan, 2005:94), maka besarnya persentase mengenai kualitas pelayanan bencana kebakaran dalam hal ini adalah kualitas pelayanan pemadaman bencana kebakaran memberikan persentase nilai sebesar 60,72% dapat dikategorikan Baik, namun sudah hampir mendekati Cukup. Hal ini berarti bahwa responden menilai bahwa kualitas pelayanan dalam hal pemadaman bencana kebakaran di Kota Bandung sudah baik, namun sudah mendekati cukup, sehingga harus ditingkatkan lagi. Melihat dimensi dari kualitas pelayanan bencana kebakaran yang ada, maka terlihat dimensi empati (emphaty) sebesar 65,45%, dan dimensi terjamah (tangibles) sebesar 65,30% dapat dikategorikan baik, namun untuk 3 dimensi yaitu: dimensi jaminan (assurance) sebesar 59,70%, dimensi handal (reliability) sebesar 58,99% dan dimensi pertanggungjawaban (responsiveness) sebesar 54,14% yang ketiga dimensi tersebut dapat dikategorikan cukup baik. Ketiga dimensi tersebut yang harus diperbaiki selain, hal ini memperlihatkan jika penambahan pos wilayah dan kemampuan sumber daya manusia ditingkatkan maka akan berpengaruh pada kualitas pelayanan bencana kebakaran khususnya, terlihat pada indikator terkecil yaitu pada indikator memiliki pelayanan yang standar dan merespon setiap pelanggan yang keduanya memperlihatkan nilai sebesar 52,12% (dikategorikan cukup). Terkait dengan pelayanan yang standar dalam memberikan pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung, Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung mempunyai sejumlah standar yang ditetapkan, hal ini tidak terlihat secara tertulis, namun terealisasikan pada pelayanan yang diberikan oleh petugas/personil pemadam kebakaran, adapun beberapa prosedur standar yang harus dilakukan oleh personil/petugas pemadam kebakaran adalah:
P a g e | 102 1) Prosedur pemeriksaan/inspeksi; 2) Prosedur penyiapan perencanaan prakebakaran; 3) Prosedur pemeriksaan, pengujian, dan pemeliharaan sistem proteksi kebakaran bangunan, seperti: sistem springkler, pompa kebakaran, hidran gedung, kopling sambungan kebakaranm APAR, dan lainnya. E. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, sebagai berikut: 5. Pengaruh penambahan pos wilayah (produktif, sesuai tujuan, masa pakai maksimal dan beroperasi secara ekonomis) terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran (terjamah, empati, handal, pertanggung jawaban, dan jaminan) dikategorikan kecil, walaupun kecil pengaruhnya namun sudah diujikan bahwa pengaruh tersebut signifikan dari penambahan pos wilayah terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung, hal ini jelas bahwa penambahan pos wilayah bukan merupakan faktor yang utama yang memberikan pengaruh pada kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung. 6. Pengaruh kemampuan sumber daya manusia (keterampilan, pengetahuan, peran sosial, citra diri, sifat/ciri, dan motif) terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran (terjamah, empati, handal, pertanggung jawaban, dan jaminan) dikategorikan cukup besar, hal ini dapat dikatakan bahwa kemampuan sumber daya manusia dalam memberikan pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung merupakan faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung. 7. Sedangkan untuk besarnya pengaruh simultan dari Pengaruh penambahan pos wilayah (produktif, sesuai tujuan, masa pakai maksimal dan beroperasi secara ekonomis) dan Pengaruh
kemampuan sumber daya manusia (keterampilan, pengetahuan, peran sosial, citra diri, sifat/ciri, dan motif) terhadap kualitas pelayanan bencana kebakaran (terjamah, empati, handal, pertanggung jawaban, dan jaminan) dikategorikan besar, ini memperlihatkan bahwa penambahan pos wilayah dan kemampuan sumber daya manusia dapat meningkatkan kualitas pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung. Setelah melakukan penelitian ini, maka ada beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai saran, yaitu: 3. Untuk memperbaiki kualitas pelayanan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di Kota Bandung, hendaknya Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung menambah pos wilayah di Kota Bandung, hal ini didasarkan pada jumlah pendudukdan kemacetan lalulitas, namun dengan bangunan Pos yang memadai ditunjang dengan perlengkapan yang lengkap dan personil yang handal Jumlah pos wilayah yang diperlukan minimal 6 pos wilayah sesuai dengan wilayah yang ada saat ini. 4. Diperlukan pendidikan dan pelatihan tentang pemadaman baik tingkat dasar maupun lanjutan, pendidikan dan pelatihan rescue/penyelamatan dasar maupun lanjutan agar lebih baik lagi dalam memberikan pelayanan berupa pemadaman dan rescue/penyelamatan, juga sosialisasi kepada masyarakat mengenai kebakaran di Kota Bandung. 5. Mengadakan pembinaan dan pelatihan kepada warga masyarakat melalui Satuan Relawan Kebakaran baik di tingkat RT, RW, Kelurahan, Karang Taruna atau kepemudaan dan Ormas tak lupa juga kepada Perusahaan-perusahaan yang berada dilingkungan Kota Bandung. 6. Dalam Sruktur Organisasi Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran sebaiknya dimunculkan Bidang/Seksi Perencanaan yang
P a g e | 103 didalamnya menyangkut Perencanaan Strategis, Pengawasan Urusan Dalam dan Pengorganisasian. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Djaenuri, HM. Aries, 2010. Kepemimpinan dan Etika Pemerintahan. Program Pascasarjana Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jakarta. Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, PT Rineka Cipta, Jakarta. Gomes, Faustino Cardoso. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hamdi, Muchlis. 2002. Bungai Rampai Pemerintahan, Yarsif Watampone, Jakarta. Hardiyansyah. 2011. Kualitas Pelayanan Publik (Konsep, Dimensi, Indikator dan Implementasinya). Yogyakarta: Gava Media. Hasibuan, Malayu S.P. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik serta Implementasinya. Bandung: Mandar Maju. Kirom, Bahrul. 2012. Mengukur Kinerja Pelayanan dan Kepuasan Konsumen (Service Performance and Customer Satisfaction Measurement). Bandung: Pustaka Reka Cipta. Kismantoroadji, Teguh & Al Rasyid, Harun. 1994. Statistika Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. ___________. 1994. Dasar Dasar Statistika Terapan. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Lukman, Sampara. 2003. Manajemen Kualitas Pelayanan, STIA LAN Press, Jakarta. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2012. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refika Aditama.
___________. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Manila, I. GK., 1996. Praktek Manajemen Pemerintahan Dalam Negeri, PT Gramedia, Jakarta. Moenir, H.A.S., 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. PT Bumi Aksara, Jakarta. Napitupulu, Paimin. 2007. Pelayanan Publik dan Customer Satisfaction: Prinsip-prinsip Dasar agar Pelayanan Publik Lebih Berorientasi pada Kepuasan dan Kepentingan Masyarakat, PT Alumni, Bandung. Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Pengembangan Sumber Daya Manusia, PT Rineka Cipta, Jakarta. Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto, 2009, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, GAVA Media, JIAN UGM, MAP UGM, Yogyakarta. Purwanto, Erwan, dan Sulistyastuti, D. R. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Gava Media. Riduwan. 2005. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta. Riduwan dan Kuncoro, Engkos Achmad.2011. Cara Menggunakan dan Memaknai Path Analysis (Analisis Jalur). Bandung: Alfabeta. Sartono, 2004, Kepemimpinan Dalam MSDM Birokrasi Yang Good Governance, dalam Ambar Teguh Governance
Dalam
Perspektif ia,
Yogyakarta. Sedarmayanti. 2014. Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi Untuk Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan. Bandung: Refika Aditama. ___________. 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Refika Aditama. ___________. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia (Reformasi Birokrasi
P a g e | 104 dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil). Bandung: Refika Aditama. Sedarmayanti, dan Hidayat, Syarifudin. 2011. Metode Penelitian. Bandung: Mandar Maju. Sinambela, Lijan Poltak, 2008, Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan Implementasi, PT Bumi Aksara, Jakarta. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Surjadi. 2012. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Bandung: Refika Aditama. Tjiptono, Fandy. 2000. Manajemen Jasa. Yogyakarta: Penerbit Andi. Thoha, Miftah, 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara Jilid II), PT Rajawali Pers, Jakarta. Triguno F., 1997. Budaya Kerja, Menciptakan Lingkungan yang Kondusif Untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja, PT. Golden Terravon Press, Jakarta. Umar, Husein, 2005, Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sumber Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 62 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota; Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 63/KEP/MENPAN/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik; Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 63/KEP/MENPAN/2013 tentang Asas-Asas Pelayanan Publik; Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan; Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Perda Kota Bandung Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung; Peraturan Walikota Bandung Nomor 297 Tahun 2013 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Uraian Tugas dan Tata Kerja Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung. Sumber Jurnal Kartiwa, Asep, 1995, Penyempurnaan Manajemen Pemerintahan di Daerah Untuk Meningkatkan Pelayanan Sektor Publik, Dies Natalis XIII Universitas Langlangbuana, Bandung. Rasyid, Ryas M., 2000, Kebijakan Penyiapan Sumber Daya Aparatur Yang Profesional Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 10 2000, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Jakarta. Setiabudi, 2000, Aparatur Pemerintah Yang Profesional Dapatkah Diciptakan, makalah dalam Diskusi Mingguan Bappenas Edisi Bulan Nopember 2000, Bappenas, Jakarta. Soetrisno, R., 2003, Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Peranannya Dalam Pembangunan Daerah, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan WIDYAPRAJA, Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.
P a g e | 105 Sumber Publikasi Pemerintah Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran Kota Bandung. Bandung: Dirjen Cipta Karya Kementerian PU.
Puslitbang Permukiman. 2003. Kajian Penempatan Titik Pos Pemadam Kebakaran di Kota Bandung. Bandung: Balai Sains Bangunan Puslitbang Permukiman.
P a g e | 106 PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP EFEKTIVITAS IKLIM TRANSPORTASI DI CIPASIR KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG Susilawati Alumnni Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi STIA Bandung ABSTRACT THE INFLUENCE OF INFORMAL ECONOMIC SECTOR MANAGEMENT PUBLIC POLICY IMPLEMENTATION ON THE TRANSPORTATION CONVENIENCE IN CIPASIR, JATINANGOR DISTRICT, SUMEDANG REGENCY Cipasir, a site of textile industry which is located in Jatinangor District, Sumedang Regency, has been used as the informal economic sector site, and has grown rapidly. This sector has participated in supporting local people economic life , but on the other side, has been accused of the traffic chaos , security problem, and the social dis-orderly as well. There have been about 100.000 informal businessmen built their kiosks over the sidefabric manager to permit the people who has lost their job from his manufacture to run their informal business around the fabric. The purpose of the study is to examine how far the influence of theinformal sector management policy implementation on the transportation condition ? The method of the study used is a descripitive quantitative approach, which is expected to give a representative and factual data about the object of the study.. The instrumen used in gathering data consists of the questionaire, documents study. Data is analyzed by the statistical methods to prove the hypothesis. The Government has issued the regulation, it is number 19/2008 where the District leader has the authority to manage the business permission. It is found that this policy has not been applied properly, so it is suggested that the policy implementation must be translated in to programms and projectwhich could be implemented easier and operationally. A. PENDAHULUAN Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Di dalam pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah pusat memberikan hak dan kewenangan kepada setiap pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan visi dan misi daerahnya, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan pasal 14 ayat 2 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa Camat bekedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
bupati/walikota melalui sekretaris daerah. Pasal 15 ayat 2 dalam penjelasannya selain tugas sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 Camat melaksanakan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah yang meliputi aspek: a) Perizinan; b) Rekomendasi; c) Koordinasi; d) Pembinaan; e) Pengawasan; f) Fasilitas; g) Penetapan; h) Penyelenggaraan; dan i) Kewenangan lain yang dilimpahkan.
P a g e | 107 Melihat sumbangan positif dari kehadiran dunia usaha baik formal maupun informal dan penyediaan sarana prasarana pendukung, seyogianya pemerintah menciptakan iklim yang kondusif demi kelancaran jalannya roda perekonomian didaerah. Namun patut dicermati kemungkinan dampak ikutan yang kurang menguntungkan antara lain Globalisasi dan Liberalisasi kehidupan, meluasnya pengangguran, kemiskinan, lapangan kerja dan kesempatan kerja, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai masyarakat, kurangnya kepedulian di antara sesama masyarakat terhadap lingkungan hidup demi memenuhi tuntutan kebutuhan. Para pelaku ekonomi Sektor Informal seperti pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Industri Tekstil Cipasir Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang, akan menjadi lokasi penelitian. Secara geografis terletak di bagian timur Kota Bandung. Cipasir di Kecamatan Jatinangor terdapat ratusan jenis usaha sektor informal (PKL). Para pedagang informal di kawasan industri tekstil Cipasir di Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang telah melakukan berbagai kegiatan guna membantu masyarakat sekitar dalam bentuk; (1) melayani kebutuhan masyarakat sekitar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan mereka; (2) ikut serta membantu peningkatan kesejahteraan lingkungan dalam bentuk semaraknya sektor informal lainnya seperti munculnya terminal Angkot bayangan. Setelah dilaksanakan survei lapangan dan wawancara perangkat desa maka dapat diambil kesimpulan bahwa para pedagang kaki lima yang berada di depan pabrik tekstil tersebut adalah para pendatang dari semua daerah yang bertujuan untuk berjualan dan tidak mendapatkan ijin usaha dari pemerintah setempat maupun dari daerah kabupaten, membangun kios-kios di atas saluran air depan pabrik milik PU. Dengan adanya para PKL tersebut menimbulkan kemacetan yang luar biasa.
Kondisi keamanan, ketertiban, dan ketentraman di kawasan industri Cipasir di Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang tampaknya belum sepenuhnya kondusif sebagaimana yang di harapkan apabila dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan iklim kondusif bagi ketertiban dan keamanan. Masih adanya potensi pertentangan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, maraknya PKL yang di ciptakan oleh pihak menejer perusahaan dengan maksud memberikan jalan keluar bagi pekerja/buruh pabrik yang kena PHK untuk memilih model usaha non formil di sekitar pabrik. Hal ini menjadi kurang menguntungkan di kaitkan dengan kelancaran roda perekonomian oleh kondisi lalu lintas yang carut marut, semeraut, tidak tertib, mangkalnya berbagai jenis angkot yang menimbulkan kemacetan, di perparah lagi dengan musim hujan menyebabkan ruas-ruas jalan yang rusak berat akibat banjir, sampai sejauh ini penelitian tentang Pengaruh Imflementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Terhadap Efektivitas Iklim Transportasi Di Cipasir Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang belum pernah di lakukan. Dengan demikian Pengaruh Imflementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Terhadap Efektivitas Iklim Transportasi Di Cipasir Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang cukup menarik untuk dijadikan objek penelitian. Para pedagang kaki lima sangat berperngaruh terhadap iklim transportasi di sepanjang Jalan Raya Bandung-Garut tepatnya di kawasan industri tekstil Cipasir yang mana selama ini mengakibatkan kemacetan yang panjang setiap hari yang mengganggu jalannya tranportasi baik dari arah Bandung menuju Garut maupun dari arah Garut menuju Bandung. Yang akhirnya pengguna jalan merasa tidak nyaman dan terhambat membawa kendaraannya.Dengan adanya pabrik tersebut sebagian masyarakat pengguna jalan merasa di rugikan dari segi waktu yang lama menuju tujuannya masing-
P a g e | 108 masing.Hal ini menjadikan masalah yang panjang dan belum menemukan solusi untuk menyelesaikan kemacetan yang mengaganggu lancarnya lalu lintas. Adanya pabrik tersebut meraih banyak rezeki bagi para pedagang kaki lima, namum bagi para pengguna jalan atau Tranportasi sangat di rugikan. Hal demikian pantas di waspadai dan adanya penataan serta pengendalian oleh aparat setempat baik dari Dinas Perindustrian dan perdagangan, Dinas Perhubungan maupun dari pihak Kepolisian sebagai pengamanan jalan.Di kawasan Industri Tekstil Cipasir di Kecamatan Jatinangor satu pabrik yang memproduksi tekstil dengan jumlah karyawan yang sangat banyak, bahkan terbilang pabrik terbesar yang menyerap tenaga kerja. Dengan adanya pabrik tersebut, maka kondisi lingkungan sekarang adalah sebagai berikut: 1. Sepanjang jalan/trotoar dan separuh ruas arus jalan raya depan pabrik di penuhi dan dipergunakan oleh Pedagang Kaki Lima; 2. Kemacetan yang panjang setiap hari masuk dan keluar jam karyawan; 3. Kemacetan disaat seluruh karyawan mendapatkan upah bulanan setiap dua minggu sekali; 4. Masyarakat pengguna jalan merasa terganggu waktunya. Keberadaan PKL memberikan gambaran dari sisi ekonomi dan sisi sosial. Disatu sisi karena ketiadaan lapangan kerja serta keterbatasan pendidikan, tidak ada yang mau bekerja sebagai PKL, tetapi kondisi mendorong mereka untuk mencari rejeki bagi keluarganya sebagai PKL, disisi lain keberadaan PKL ternyata menimbulkan persoalan lain yaitu estetika terganggu baik kebersihan maupun ketidakteraturan, alih fungsi trotoar serta kemacetan. Tentunya kondisi ini perlu disikapi secara arif, artinya pemerintah daerah sebelum melakukan tindakan untuk memberantas PKL harus pula memberikan solusi agar pengusiran PKL bukan hanya sebagai kegiatan rutin yang berulang tanpa solusi.
Di Kawasan Industri Tekstil Cipasir Kecmatan Jatinangor Kabupaten Sumedang, berdasarkan informasi 100.000 PKL diperkirakan telah mencapai (Pikiran Rakyat, 2 Juni 2010), bisa dibayangkan bagaimana pemerintah setempat menata PKL yang jumlahnya demikian besar dengan lahan yang terbatas. Tetapi apakah ini akan didiamkan, hingga suatu saat tidak ada lagi tempat di kawasan tersebut yang tanpa PKL. PKL memang tidak bisa dibiarkan tetapi ada cara bagaimana pemerintah daerah menata dan membina mereka agar menjadi suatu kekuatan bagi ekonomi dan juga mendorong daerah lain untuk ikut berfikir bagaimana mendorong ekonominya agar fenomena tersebut tampaknya tidak sesuai dengan konsepsi administrasi publik masyarakatnya tidak perlu mencari nafkah di daerah lain. Tentunya peran pemerintah disini menjadi suatu harapan. B. TINJAUAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL 1. Implementasi Kebijakan Penataan PKL Kebijakan publik (public policy) menurut Islamy (2007:20) adalah: ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh Kebijakan publik menurut Tachjan (2006:15) adalah: rangkaian keputusan yang mengandung konsekuensi moral yang di dalamnya adanya keterikatan akan kepentingan rakyat banyak dan keterikatan terhadap tanah air atau tempat di mana yang bersangkutan berada. Dan hal ini seyogyanya direfleksikan dalam perilaku aparat sebagai penyelenggara, dan adanya interaksi antara penguasa dengan
P a g e | 109 Definisi tersebut mencerminkan inti dari kebijakan publik adalah rangkaian keputusan yang mengandung konsekuensi moral, untuk kepentingan rakyat, dan adanya interaksi antara penguasa dengan rakyat.Definisi inilah yang dijadikan landasan/dasar pemikiran mengenai kebijakan insentif dalam penelitian ini. Pernyataan tersebut di atas jelas menegaskan bahwa kebijakan mengenai penataan pedagang kaki lima merupakan kebijakan publik yang mempunyai tujuan/maksud tertentu, utamanya adalah meningkatkan usaha mikro masyarakat yang teratur dan sejahtera atas hasil kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan publik menurut Sharkansky, Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006:63) mengemukakan bahwa: sebagai salah satu aktivitas dari administrasi publik sebagai suatu institusi, dimaksudkan sebagai salah satu proses kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit administratif atau unitunit birokratik pada berbagai tingkat pemerintahan baik bersifat vertikal maupun horizontal dalam proses Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output) maupun sebagai hasil. Batasan implementasi kebijakan menurut Mater dan Va dalam Widodo (2009:86) dirumuskan sebagai berikut: "Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions. This include both one time efforts to transform decisions into operational terms, as well as continuing efforts to achieve the large and small changes mandated by
Definisi tersebut menjelaskan bahwa implementasi kebijakan menuntun tindakan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok) swasta, yang mana diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkansebelumnya.Hal ini termasuk semua usaha mentransformasikan kebijakan untuk dapat dioperasionalkan, sebagai usaha lanjutan untuk mencapai yang telah disepakati dalam kebijakan tersebut. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa pelaksanaan atau implementasi kebijakan adalah sesuatu yang penting, jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan, dan kebijakan hanya akan menjadi khayalan belaka atau hanya sebatas arsip rencana saja, jika tidak diimplementasikan. Hal tersebut menjelaskan bahwa subsistem kebijakan adalah terdiri dari para aktor kunci dari sektor swasta dan publik yang terlibat dalam kebijakan dan memiliki peranan penting dalam proses kebijakan. Hal ini berlaku baik dalam pelaksanaan kebijakan maupun dalam perumusannya. Pendekatan bottom-up akan mengalihkan pengkajian pelaksanaan dari keputusan-keputusan kebijakan dan mengembalikannya ke masalah kebijakan, sehingga dapat mengkaji semua aktor swasta dan publik serta lembaga yang terlibat dalam masalah tersebut. Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab, 1997 : 65) merumuskan proses implementasi sebagai: Those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions.(Terjemahan: tindakantindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan ). Dari pendapat tersebut dapat dipahami implementasi nilai berlangsung
P a g e | 110 pada salah satu kebijakan. Efektiftivitas implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh proses interaksi antara perangkat tujuan dan tindakan yang diarahkan pada metode dan sumbersumber daya yang tersedia. Pemberdayaan, yang dikenal dari bahasa Inggris, , adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat, terutama Eropa. Pemberdayaan menurut Paul yang dikemukakan oleh Prijono dan Pranarka dalam Sedarmayanti (2000:102) adalah: (equitable sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan dari perspektif lingkungan, penataan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumber daya alami dan pengelolaannya secara Penataan mengandung arti menghilangkan batasan birokratis dan pengkotak-kotakan, sehingga membuat semua stakeholder terkait menggunakan seefektif mungkin keterampilan, pengalaman, energi dan ambisinya. Hal ini juga berarti untuk mengembangkan suatu perasaan memiliki bagian dari proses, khususnya yang menjadi tanggungjawab masing-masing, pada waktu yang sama dituntut pula tanggung jawab dan kepemilikan yang lebih luas dari keseluruhan proses. Sedarmayanti (2000:103) mengemukakan bahwa pada awalnya konsep penataan memiliki dua kecenderung arti, yaitu: 1) Pemberdayaan menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan primer dari
makna pemberdayaan; 2) Kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Lebih jelas mengenai pemberdayaan dikemukakan oleh Webster dalam Sedarmayanti (2000:104) adalah: Empower mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority to, dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable Pengertian diatas mengandung arti bahwa pemberdayaan dapat diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain. Sedangkan dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya memberi kemampuan atau keberdayaan. Mustopadidjadja (1988:11) mengemukakan adanya tiga unsur yang sangat penting dalam proses implementasi, yaitu: 1. Program atau kebijakan yang akan dilaksanakan, 2. kelompok masyarakat sebagai sasaran (target group), dan 3. para pelaksana (implementator). Hubungan ketiga unsur itu oleh penulis dituangkan pada gambar berikut:
Unsur-unsur Proses Implementasi Kebijakan Maarse (dalam Hoogerwerf, 1978: 158-160) menguraikan lebih lanjut bahwa pelaksanaan kebijakan dibedakan disini dari proses pelaksanaan, yang
P a g e | 111 didefinisikan sebagai keseluruhan dari kegiatan yang bersangkutan dengan pelaksanaan suatu kebijakan tertentu. Jelaslah, bahwa pengertian ini mempunyai isi lebih luas daripada pengertian pelaksanaan. Kegiatankegiatan dari suatu kelompok aksi, yang ditujukan untuk melanjutkan atau menghambat pelaksanaan suatu kebijakan tertentu, menjadi dari proses pelaksanaan, tetapi bukan dari pelaksanaan. Ambilah umpamanya suatu proses pelaksanaan tertentu. Jalan dari kebijakan yang harus dilaksanakan kepada hasil-hasil kebijakan dapat digambarkan secara skematik berikut. Kebijakan Penataan PKL
Proses Pelaksanaan Pentaan PKL
Efek segeraKebija kan Penataan PKL
Efek akhir Kebijakan Penataan PKL
Sumber: Maarse (dalam Hoogerwerf, 1978: 158)
Skema jalan dari kebijakan menuju efek kebijakan Dalam model persyaratan Implementasi Kebijakan Publik Maarse dinyatakan bahwa isi kebijakan yang samar-samar, kontradiksi, tidak jelas akan membingungkan para pelaksana, sehingga muncul berbagai interprestasi yang berbeda. Untuk itu, menurut Maarse (dalam Hoogerwerf, 1983:168) ada 4 (empat) faktor yang menentukan berhasil tidaknya suatu kebijakan, yaitu: 1) Isi dari kebijakan yang dilaksanakan. 2) Tingkat informasi dari faktorfaktor yang terlibat pada pelaksanaan. 3) Banyaknya dukungan yang harus dilaksanakan. 4) Pembagian dari potensi-potensi yang ada (struktur organisasi, perbandingan kekuasaan dan sebagainya). Alur pikir Maarse ini dapat digambarkan dalam model berikut:
Isi Kebijakan
Informasi Kebijakan
Keberhasilan Suatu Kebijakan
Dukungan Kebijakan Pembagian Potensi Kebijakan Sumber: Diadopsi dari Maarse dalam Hoogerwerf (1978:168)
Model Persyaratan Maarse Pertama Isi Kebijakan (dalam Hoogerwerf, 1978:168) mengandung makna bahwa untuk mendukung keberhasilan terhadap implementasi kebijakan iklim transportasi, tentunya erat dengan isi kebijakan yang harus pragmatis, jelas mudah dimengerti dan tidak menyulitkan bagi para pelaksana untuk melakukan peran dan fungsinya masing-masing. Begitu pula bahwa isi kebijakan itu memuat adanya tujuan yang terinci, menjelaskan sarana prasarana yang perlu disediakan, adanya penetapan prioritas kegiatan secara berturut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, memiliki kejelasan dan ketegasan kegiatan dalam program kerja, tersedia sumber-sumber pembantu yang dapat melaksanakan kebijakan (waktu pelaksanaan kebijakan yang cukup, adanya biaya operasiaonal yang cukup/memadai dan tenaga manusia yang signifikan). Kedua, Informasi Kebijakan. (dalam Hoogerwerf, 1978:170) pelaksanaan suatu kebijakan memperkirakan, bahwa aktor-aktor yang terlibat langsung, mempunyai informasi yang perlu untuk dapat memainkan perannya dengan baik. Informasi ini terkadang sering tidak ada, hal ini kemungkinan disebabkan sebagai akibat gangguan dalam struktur komunikasi, suatu struktur komunikasi, yang tersebut didalam organisasi pelaksana. Ketiga, dukungan kebijakan (dalam Hoogerwerf, 1978:171) pelaksanaan
P a g e | 112 suatu kebijakan akan sangat dipersulit jika pada pelaksanaan tidak cukup dukungan untuk kebijakan ini. Didalam hal ini antara lain memainkan peran juga kepentingan sendiri dan tujuan dari pelaksana, juga pengharapanpengharapan mereka tentang efektivitas sarana-sarana yang dipilih, kesungguhan dari situasi masalah, latar belakang historis, tradisi dan kebiasaankebiasaan rutin serta juga pendapatpendapat mengenai cara bagaimana pelaksanaan harus diorganisasikan. Kekurangan dukungan umpamanya dapat terlihat dari cara para pelaksana memanfaatkan kebebasan menurut kebijakan berdasarkan pemahaman dan persepsi mereka. Selanjutnya mungkin juga kurang kesediaan objek kebijakan untuk bekerja sama pada pelaksanaan. Keempat, Pembagian Potensi Kebijakan,(dalam Hoogerwerf 1978: 173) sebab musabab yang bersangkutan dengan gagalnya pelaksanaan, berkenaan dengan pembagian potensi diantara aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan. Mengenai organisasi pelaksana dalam hubungan ini antara lain tingkat diperensiasi dari tugas-tugas dan wewenang umpamanya dapat membantu terjadinya maslah-maslah korrdinasi, khususnya jika kepentingankepentingan yang terwakili sangat berlainan mengenai isinya diperensiasi vertikal memperbesar kemungkinan timbulnya masalah-masalah pengawasan. Timbulnya bahaya penyimpangan terhadap tujuan yang ingin dicapai memainkan peran yang penting terhadap kemungkinankemungkinan para pelaksana menghalang-halangi pelaksanaan, banyaknya dukungan kepada kebijakan dan luasnya kebebasan kebijakan yang ada pada mereka struktur dari organisai pelaksana dapat juga mengakibatkan masalah-masalah, apbila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh pembatasanpembatasan yang kurang jelas.
2. Efektivitas Iklim Transportasi Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik.Kamus ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program.Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat H. Emerson yang dikutip Soewarno Handayaningrat S. (1994:16) yang menyatakan bahwa: arti tercapainya tujuan yang telah Sedangkan Georgopolous dan Tannembaum (1985:50), mengemukakan: ktivitas ditinjau dari sudut pencapaian tujuan, dimana keberhasilan suatu organisasi harus mempertimbangkan bukan saja sasaran organisasi tetapi juga mekanisme mempertahankan diri dalam mengejar sasaran. Dengan kata lain, penilaian efektivitas harus berkaitan dengan mesalah sasaran Lebih lanjut menurut Agung Kurniawan dalam bukunya Transformasi Pelayanan Publik mendefinisikan efektivitas, sebagai berikut: melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau (Kurniawan, 2005:109). Dari beberapa pendapat di atas mengenai efektivitas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) yang telah
P a g e | 113 dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Upaya mengevaluasi jalannya suatu organisasi, dapat dilakukan melalui konsep efektivitas.Konsep ini adalah salah satu faktor untuk menentukan apakah perlu dilakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk dan manajemen organisasi atau tidak. Dalam hal ini efektivitas merupakan pencapaian tujuan organisasi melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara efisien, ditinjau dari sisi masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Dalam hal ini yang dimaksud sumber daya meliputi ketersediaan personil, sarana dan prasarana serta metode dan model yang digunakan.Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila dikerjakan dengan benar dan sesuai dengan prosedur sedangkan dikatakan efektif bila kegiatan tersebut dilaksanakan dengan benar dan memberikan hasil yang bermanfaat. Adapun kriteria untuk mengukur efektivitas suatu organisasi ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, seperti yang dikemukakan oleh Martani dan Lubis (1987:55), yakni: 1. Pendekatan Sumber (resource approach) yakni mengukur efektivitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun nonfisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. 2. Pendekatan proses (process approach) adalah untuk melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal atau mekanisme organisasi. 3. Pendekatan sasaran (goals approach) dimana pusat perhatian pada output, mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil (output) yang sesuai dengan rencana. Oleh karena itu pertimbangan tersebut diatas menjadi pedoman bagi
upaya penanggulangan PKL , sehingga ukuran efektivitas penanggulangan PKL dilihat dari tingkat jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan hak azasi manusia, seperti tercermin dalam silasila Pancasila khususnya Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sistem transportasi mikro (Direktorat Jendral Perhubungan Darat,2008) tersebut adalah sebagai berikut : a. Sistem Kegiatan (Transport Demand) b. Sistem Jaringan (Prasarana Transportasi/Transport Supply) c. Sistem Pergerakan (Lalu Lintas/Traffic) d. Sistem Kelembagaan. Penyediaan prasarana transportasi sangat tergantung pada dua factor(Direktorat Jenderal Perhubungan Darat,2008): 1. Pertumbuhan ekonomi menjadikan danaumum untuk membangun jalan-jalan, angkutan simpangan dan menyediakan kendaraan umum. Dana pribadi menyediakan kendaraankendaraan pribadi (mobil, motor) dan dana perusahaan pribadi menyediakan bus, angkot, truk. 2. Dana umumtergantung pada pertumbuhan ekonomi dan kebijakan pemerintah mengenai jalanan dan kendaraan umum. Interaksi antara Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan akan menghasilkan suatu pergerakan manusia dan/atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan dan/atau orang (pejalan kaki). Suatu sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya, akan dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas yang baik. Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar/sedang di Indonesia biasanya timbul karenakebutuhan transportasi lebih
P a g e | 114 besar dibanding prasaranatransportasi yang tersedia, atau prasarana transportasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan pada systempergerakan. Pemda berperananpenting dalam menentukan sistem kegiatan melalui kebijakan perwilayahan,regional maupun sektoral.kebijakan Sistem Jaringan secara umum ditentukan oleh Departemen Perhubungan sertaDepartemen Pekerjaan Umum (dalam hal ini Direktorat Jendral Bina Marga). Sistem Pergerakan dipengaruhi DLLAJR, DepartemenPerhubungan (Dephub), Polantas dan Masyarakat sebagai pemakai jalan(road user) dan lain-lain. Kebijaksanan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan sistempenegakan yang baik.Secara umum dapat disebutkan bahwa Pemerintah, Swasta dan Masyarakat seluruhnya harus ikut berperan dalam mengatasi masalah kemacetan, sebab hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang harus dipecahkansecara tuntas dan jelas memerlukan penanganan yang serius. C. METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan penelitian adalah untuk mendapatkan hasil yang objektif terhadap suatu permasalahan, diperlukan suatu metode khusus yang dianggap paling relevan dan mampu membantu pemecahan penelitian meliputi pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Sehingga dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah jenis penelitian survei, tingkat eksplanasi adalah deskriptif, dengan pendekatan secara kuantitatif, sehingga metode survei deskriptif adalah suatu metode penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Setelah data diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis statistik
untuk menguji hipotesis yang diajukan pada awal penelitian ini dan hasilnya dipaparkan secara deskriptif pada akhir penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah para pedagang kaki lima yang berjualan diatas trotoar atau bahu jalan raya yang telah dihitung sebanyak 100 PKL, yang terbagi dalam 3 kelompok jenis usaha, sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini. Sampel yang diambil dalam penelitian ini, dengan menggunakan = 0,6 untuk taraf nyata ( ) = 0,05 dengan pengujian dua arah dan kuasa uji (1 ) = 0,95 , maka dari tabel dist. Normal diperoleh Z 1 = 1,96 dan Z 1 = 1,645. Oleh karena nilai numerik pada iterasi kedua dan ketiga adalah sama, maka iterasi berhenti dan ukuran sampelnya (n) adalah sebanyak 30 pedagang kaki lima. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka n1 = 9 orang, n2 = 8 orang, n3 = 13 orang. Sehingga dalam penelitian ini tujuan penyebaran angket/kuesioner adalah untuk mendapatkan data primer atau dari yang merupakan respon/tanggapan langsung responden mengenai implementasi kebijakan pemberdayaan pedagang kaki lima dan efektivitas iklim transfortasi. Untuk mendukung pada deskripsi hasil analisis pengolahan data kuantitatif yang didapat dari angket/kuesioner tersebut, maka diperlukan data sekunder yang didapatkan melalui teknik dokumentasi atau studi literatur, dan wawancara yang terkait kepada implementasi kebijakan pemberdayaan pedagang kaki lima dan efektivitas iklim transfortasi. Untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban dalam kuesioner/angket perlu diberi skor, misalnya: Jawaban (1) = Sangat Rendah/Sangat Tidak Setuju/Tidak Pernah Jawaban (2) = Rendah/Tidak Setuju/Jarang
P a g e | 115 Jawaban (3)
= Cukup/RaguRagu/Kadang-Kadang Jawaban (4) = Tinggi/Setuju/Sering Jawaban (5) = Sangat Tinggi/Sangat Setuju/Selalu (Sugiyono, 2013:94) Bahwa 22 item pernyataan dinyatakan sah atau valid, hal ini dapat disimpulkan bahwa semua item pernyataan yang dimintakan untuk ditanggapi oleh responden dalam kuesioner/angket ini sudah bisa dipakai untuk mendapatkan data primer, atau dalam kata lain item pertanyaan yang merupakan indikator dari dimensi masing-masing variabel yang dilibatkan dalam penelitian ini yaitu variabel implementasi kebijakan pemberdayaan sektor informal dan variabel efektivitas penataan pedagang kaki lima yang diturunkan dari teori ternyata sudah sah/valid untuk digunakan dalam penelitian ini. Nilai korelasi pada tabel di atas, didapatkan dari korelasi Guttman SplitHalf Coefficient terlihat pada lampiran, sedangkan kriteria untuk memutuskan reliabel atau tidaknya diujikan dengan menggunakan uji-t atau dibandingkan dengan nilai tabel r, yang hasilnya terlihat bahwa instrumen penelitian ini berupa angket/kuesioner ternyata sesuai/reliabel, artinya bahwa angket/kuesioner yang terdiri dari pernyataan yang diambil dari indikatorindikator variabel yang terlibat dalam penelitian ini yaitu variabel implementasi kebijakan pemberdayaan sektor informal, variabel efektivitas penataan pedagang kaki lima telah sesuai/reliabel dalam penelitian ini, atau dapat dikatakan bahwa angket/kuesioner dapat digunakan dalam penelitian ini atau penelitian lain yang sejenis dengan lokus yang berbeda. Data ordinal dari kuesioner untuk dapat digunakan dalam analisis statistik untuk membuktikan hipotesis, maka harus dinaikkan skala datanya menjadi skala data interval, dengan menggunakan Metode Susesif Interval (MSI).
Adapun persamaan linier dari analisis jalur (path analysis), adalah sebagai berikut:
Y
Pyx1 X 1 Pyx2 X 2 Pyx3 X 3 Pyx4 X 4
Untuk memudahkan dalam melakukan perhitungan analisis data secara statistik, dalam hal ini dibantu proses perhitungannya menggunakan software statistik (dalam hal ini adalah software SPSS versi 17 dan Minitab versi 16). D. PEMBAHASAN Kecamatan Jatinangor merupakan satu diantara Kecamatan di Kabupaten Sumedang, dengan posisi Astronomi berada pada 108º, 6¹, 41,71 dtk (BT) dan 1º, 50¹, 36,38 dtk (LS). Wilayah Kecamatan Jatinangor meliputi luas 111,97 Km² dengan jarak antar Batas Wilayah dari Utara-Selatan 15 Km dan dari arah Barat-Timur 20 Km. Secara administratif Kecamatan Jatinangor terbagi kedalam 12 Desa, 56 Dusun, 130 RW dan 474 RT. Sedangkan dilihat dari posisi Georafisnya, Kecamatan Jatinangor berada di Wilayah Bagian Barat Kabupaten Sumedang dengan batas-batas wilayah aministratif pemerintahan sebagai berikut : Batas Wilayah Kecamatan Jatinangor Letak Batas Kecamatan Bagian Kecamatan Rancaekek Selatan Kabupaten Bandung Bagian Utara Kecamatan Sukasari dan Tanjungsari Bagian Kecamatan Timur Cimanggung dan Tanjungsari Bagian Barat Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung Keadaan Topografi Kecamatan Jatinangor merupakan Daerah Perbukitan dengan ketinggian antara 400-1000 m diatas permukaan laut (dpl), dengan curah hujan rata-rata per tahun mencapai 152 mm. sedangkan orbitasi ke Ibu Kota Kabupaten Sumedang sepanjang 41,5 Km dengan jarak tempuh 1 jam dengan kendaraan darat.
P a g e | 116 Dilihat dari penggunaan lahannya, sebagian besar wilayah merupakan ladang/huma, dan lainnya, yang luasnya mencapai1.141ha (36%), sedangkan luas penggunaan lahan lainnya adalah berupa lahan, sawah 303 ha (1,1%), hutan 403 ha (1,6%), rumah dan pekarangan 323 ha (10%) dan penggunaan lainnya 24.971ha (96%) . Kondisi Demografis Kecamatan Jatinangor antara lain jumlah penduduk berdasarkan hasil Pendataan Keluarga Tahun 2008 adalah sebanyak 96.104 Jiwa, yang terdiri dari 47.566 orang lakilaki, 48.535 orang perempuan dan 21.999 Kepala Keluarga (KK). Pemerintahan Kecamatan Jatinangor memiliki kawasan Pendidikan yang Luas dan berdasarkan monografi Kecamatan Jatinagor tahun 2012, data sosialnya adalah sebagai berikut : Adapun data yang diperoleh dari hasil survei ke lapangan, kondisi jalan raya Bandung-Garut (Cipasir PT. Kahatex) terdapat banyak para pedagang kaki lima di sepanjang jalan dan trotoar yang berdampak terhadap iklim transportasi disetiap hari masuk dan keluar jam kerja, terutama saat para tenaga kerja pabrik tersebut mendapatkan gajih atau upah kerja dalam jangka waktu dua minggu sekali. Berdasarkan data dilapangan jumlah PKL yang berjualan di depan pabrik PT. Kahatex tersebut sebanyak 100 PKL yang terdiri dari berbagai jenis dagangan baik makanan ataupun pakaian serta alat rumah tangga yang dijajakan untuk para karyawan dan masyarakat setempat yang bermaksud membelinya. Setelah di teliti dan didapatkan data dari para PKL langsung, mereka berasal dari barbagai pelosok daerah yang bermaksud mencari nafkah dari hasil keuntungan barang dagangannya. Mereka berdatangan setiap harinya untuk berjualan depan Pabrik tekstil terasebut dengan lapak jualan yang tidak berpindah-pindah bahkan sudah ada yang permanen di atas saluran air /trotoar. Adapun petugas keamanan dari pihak pabrik setempat dan kepolisian untuk menmgamankan jalannya
transportasi di sepanjang jalan depan PT. KAHATEX, namun saja jalannya transportasi masih macet akibat separuh ruas jalan raya di pakai untuk berjualan para PKL tersebut. Data yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan analisis data statistik menggunakan analisis jalur (path analysis).Untuk menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, maka didapatkan hasil sebagaimana terlampir dalam lampiran 7. Adapun persamaan jalurnya adalah sebagai berikut:
Y
0,266 X 1 0,222 X 2 0,277 X 3 0,307 X 4
1. Efektivitas iklim transportasi (Y) dipengaruhi oleh implementasi Isi kebijakan (X1) sebesar 0,266 atau dapat dikatakan 1 satuan dari implementasi kebijakan isi (X1) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kenaikan Efektivitas iklim transportasi (Y) sebesar 0,266. 2. Efektivitas iklim transportasi (Y) dipengaruhi oleh implementasi Informasi kebijakan (X2) sebesar 0,222 atau dapat dikatakan 1 satuan dari implementasi kebijakan Informasi (X2) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kenaikan Efektivitas iklim transportasi (Y) sebesar 0,222. 3. Efektivitas iklim transportasi (Y) dipengaruhi oleh implementasi kualitas dukungan kebijakan (X3) sebesar 0,277 atau dapat dikatakan 1 satuan dari implementasi kebijakan kualitas dukungan (X3) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kenaikan Efektivitas iklim transportasi (Y) sebesar 0,277. 4. Efektivitas iklim transportasi (Y) dipengaruhi oleh implementasi pembagian potensi kebijakan (X4) sebesar 0,307 atau dapat dikatakan 1 satuan dari implementasi kebijakan pembagian potensi (X4) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada kenaikan Efektivitas iklim transportasi (Y) sebesar 0,307. 5. Efektivitas iklim transportasi (Y) dipengaruhi oleh implementasi kebijakan pemberdayaan sektor
P a g e | 117 informal (X) sebesar 0,405 atau dapat dikatakan 1 satuan dari implementasi kebijakan pemberdayaan sektor informal (X) dinaikkan akan memberikan pengaruh pada Efektivitas iklim transportasi (Y) 0,405. 1. Analisis Pengaruh Isi Kebijakan Terhadap Efektivitas Iklim Transportasi Pengaruh Isi kebijakan terhadap efektivitas iklim transportasi yang sebesar 65,78%ini sesuai apa yang dikemukakan dalam Hoogerwerf, 1978:169 menjelaskan bahwa salah satu penyebab implementasi kebijakan tidak mencapai hasil yang diharapkan adalah isi kebijakan. Implementasi Kebijakan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu: 1) Isi kebijakan, 2) Informasi Kebijakan, 3) Dukungan Kebijakan, dan 4) Pembagian Potensi Kebijakan, menurut Maarse (dalam Hoogerwerf1983:169-173), yang kemudian dioperasionalkan dalam indikator masing-masing yaitu: 1) Kemampuan menyusun rencana penataan, 2) Kemampuan untuk pencegahan, 3) Kemampuan untuk penanggulangan. Maka implementasi Isi kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan Jatinangor melalui jenis usaha, yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan bentuk pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, adalah bahwa camat berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris Daerah, menunjukkan bahwa pelaksanaan Isi kebijakan memberikan persentase sebesar 65,78% (dikategorikan tinggi), tingginya implementasi Isi kebijakan ini didukung oleh persentase dari 3 indikator yang ada pada implementasi Isi kebijakan, secara berurut persentase masingmasing dimensi adalah: 1) Kemampuan menyusun rencana penataan sebesar 67,33% (dikategorikan tinggi), 2) Kemampuan untuk penanggulangan sebesar 66,00% (dikategorikan tinggi), 3)
Kemampuan untuk pencegahan sebesar 64,00% (dikategorikan tinggi). Pelaksnaan pertama-tama dapat gagal karena samar-samarnya isi dari banyak kebijakan (tujuan-tujuan tidak cukup terperinci, sarana-sarana dan penetapan prioritas, program kebijakan yang terlalu umum atau sama sekali tidak ada, dan seterusnya). Isi dari kebijaksanaan yang akan dilaksanakan dapat mempersulit pelaksanaannya dengan berbagai cara. Beberapa pokok utama adalah sebagai berikut: pelaksanaan pertama-tama dapat gagal karena samar-samarnya isi dari banyak kebijaksanaan (tujuantujuan tidak cukup terperinci, saranasarana dan penetapan prioritas, program kebijiksanaan yang terlalu umum atau sama sekali tidak ada, dan seterusnya). Isi kebijaksanaan yang samar-samar sering akan mengakibatkan kurangnya pegangan bagi para pelaksana, yang akan memperbesar kemungkinan interprestasi yang berbeda-beda dari isi kebijaksanaan. Terlebih jika rantai pelaksanaan panjang, maka kemungkinan penggeseran tujuan lebih besar. Kurangnya ketetapan intern dan ekstern dari kebijaksanaan yang akan dilaksanakan juga memajukan terjadinya maslah-masalah pelaksanaan. Pada ketidak tepatan terjadi komplik antara unsur-unsur kebijaksanaan. Ketidak tepatan ekstrim terjadi, apabila kebijaksanaan yang akan dijalankan bertentangan dengan kebijaksanaan lain. Jika para pelaksana harus menyelesaikan sendiri situasi-situasi pertentangan ini, maka kadang-kadang dapat dikira-kira timbulnya masalah besar. Hal ini umpamanya akan terjadi, bila para pembentuk kebijaksanaan dengan rumus-rumus kompromi yang samarsamar menggeserkan masalah mereka masing-masing kepada para pelaksana. 2. Analisis Pengaruh Informasi Kebijakan Terhadap Efektivitas Iklim Trasnportasi Pengaruh informasi kebijakan terhadap efektivitas iklim transportasi
P a g e | 118 yang sebesar 63,33%ini sesuai apa yang dikemukakan dalam Hoogerwerf, 1978:170 pelaksanaan suatu kebijakan memperkirakan, bahwa aktor-aktor yang terlibat langsung, mempunyai informasi yang perlu untuk dapat memainkan perannya dengan baik. Implementasi Kebijakan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu: 1) Isi kebijakan, 2) Informasi Kebijakan, 3) Dukungan Kebijakan, dan 4) Pembagian Potensi Kebijakan, menurut Maarse (dalam Hoogerwerf1983:169-173), yang kemudian dioperasionalkan dalam indikator masing-masing yaitu: 1) Struktur komunikasi terbuka, 2) Informasi Top Down, 3) Informasi Buttom Up. Maka implementasi Isi kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan Jatinangor melalui jenis usaha, yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan bentuk pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, adalah bahwa camat berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris Daerah, menunjukkan bahwa pelaksanaan Informasi kebijakan memberikan persentase sebesar 63,33% (dikategorikan tinggi), tingginya implementasi Informasi kebijakan ini didukung oleh persentase dari 3 indikator yang ada pada implementasi Informasi kebijakan, secara berurut persentase masing-masing dimensi adalah: 1) Informasi Buttom Up sebesar 66,00% (dikategorikan tinggi), 2) Informasi Top Down sebesar 66,00% (dikategorikan tinggi), 3) Struktur komunikasi terbuka sebesar 59,33% (dikategorikan cukup tinggi). Pelaksanaan suatu kebijakasanaan memperkirakan, bahwa aktor-aktor yang terlibat langsung, mempunyai informasi yang perlu untuk dapat memainkan perannya dengan baik. Informasi ini ternyata sering tidak ada, umpanya sebagai akibat gangguan dalam struktur komunikasi. Petama-tama kita mengingat kepada suatu struktur komunikasi yang tersumbat didalam organisasi pelaksana.
Para pelaksana pinggiran kurang mendapat informasi tentang apa yang dikehendaki oleh pihak atas sebabnya instansi-instansi terkemuka kurang mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh para pelaksana pinggiran dan seterusnya. Juga masalah-masalah dapat meruncing karena struktur komunikasi yang serba kurang antara organisasi pelaksana dan objek kebijaksanaan. Masalah-masalah dimasa pelaksanaan dapat juga berhubgan erat dengan kekurangan informasi objek-objek kebijaksanaan. Situasi yang demikian terjadi umpanya, bila penduduk tidak cukup mengetahui kemungkinankemungkinan yang diberikan oleh pemerintah atau tentang kewajibankewajiban yang harus mereka penuhi. Disebabkan kerumitan yang meningkat dari kebijaksanaan pemerintah maka semakin sulit bagi objek-objek tujuan untuk tetap mengetahusi bagian-bagian kebijaksanaan pemerintah yang relevan bagi mereka, lebih-lebih karena dalam hal ini juga sering diadakan perubahanperubahan. Untuk dapat menanggulangi persoalan ini, maka beberapa pemerintah kota praja dan perusahaan telah memperkerjakan seorang ahli subsidi, yang harus memberi informasi kepada pemerintah kota praja atau pimpinan perusahaan mengenai semua kemungkinan dibidang peraturanperaturan subsidi. Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang lengkap atau kurang tepat, baik pada objek kebijaksanaan maupun pada pelaksana, dari isi kebijaksanaan yang akan dilaksanakan dan hasil-hasil kebijaksanaan ini. Oleh karena itu banyaknya dukungan bagi keijaksanaan tersebut dapat dipengaruhi secara negatif. Dengan demikian maka kita sampai kepada akibat utama yang ke 3 bagi gagalnya pelaksanaan suatu kebijaksanaan, yaitu kekurangan dukungan pada pelaksana dan / atau objek kebijaksanaan.
P a g e | 119 3. Analisis Pengaruh Dukungan Kebijakan Terhadap Efektivitas Iklim Transportasi Pengaruh dukungan kebijakan terhadap efektivitas iklim transportasi yang sebesar 64,13% ini sesuai apa yang dikemukakan dalam Hoogerwerf, 1978:171) pelaksanaan suatu kebijakan akan sangat dipersulit jika pada pelaksanaan tidak cukup dukungan untuk kebijakan ini. Implementasi Kebijakan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu: 1) Isi kebijakan, 2) Informasi Kebijakan, 3) Dukungan Kebijakan, dan 4) Pembagian Potensi Kebijakan, menurut Maarse (dalam Hoogerwerf1983:169), yang kemudian dioperasionalkan dalam indikator masing-masing yaitu: 1) Tingkat kepatuhan masyarakat, 2) Kecukupan dana, 3) Dampak terhadap tindakan, 4) Upaya memenuhi tuntutan, 5) Upaya memenuhi kebutuhan sumber daya. Maka implementasi Isi kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan Jatinangor melalui jenis usaha, yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan bentuk pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, adalah bahwa camat berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris Daerah, menunjukkan bahwa pelaksanaan Informasi kebijakan memberikan persentase sebesar 64,13% (dikategorikan tinggi), tingginya implementasi Dukungan kebijakan ini didukung oleh persentase dari 5 indikator yang ada pada implementasi Dukungan kebijakan, secara berurut persentase masing-masing dimensi adalah: 1) Dampak terhadap tindakan sebesar 66,67% dan Upaya memenuhi tuntutan sebesar 66,67% (dikategorikan tinggi), 2) Kecukupan dana sebesar 65,33% (dikategorikan tinggi), 3) Upaya memenuhi kebutuhan sumberdaya sebesar 65,67% (dikategorikan tinggi). Pelaksanaan suatu kebijaksanaan akan Selanjutnya mungkin juga kurang kesediaan objek-objek kebijaksanaan untuk bekerja sama pada pelaksanaan. Suatu contoh empiris diberikan oleh
penyelidikan dari Pressman dan Waldavsky, mengenai pelaksanaan program Federal di Oakland untuk merangsan pengadaan lapangan kerja. Dunia usaha dapat memperoleh subsidisubsidi yang luas untuk insvestasi, apabila insvestsi ini menghasilkan lapangan kerja bagi monoritas setempat. Tetapi didalam pelaksanaan kriteria ini ternyata memepunyai banyak perlawanan. Memang pelaksanaan program itu tidak banyak hasilnya. 4. Analisis Pengaruh Pembagian Potensi Kebijakan Terhadap Efektivitas Iklim Transportasi Pengaruh pembagian potensi kebijakan terhadap efektivitas iklim transportasi yang sebesar 63,78% ini sesuai apa yang dikemukakan dalam Hoogerwerf 1978: 173) sebab musabab yang bersangkutan dengan gagalnya pelaksanaan, berkenaan dengan pembagian potensi diantara aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan. Implementasi Kebijakan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu: 1) Isi kebijakan, 2) Informasi Kebijakan, 3) Dukungan Kebijakan, dan 4) Pembagian Potensi Kebijakan, menurut Maarse (dalam Hoogerwerf1983:169), yang kemudian dioperasionalkan dalam indikator masing-masing yaitu: 1) Penegakan oleh aparat, 2) Koordinasi, 3) Pengawasan. Maka implementasi Isi kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan Jatinangor melalui jenis usaha, yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan bentuk pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, adalah bahwa camat berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris Daerah, menunjukkan bahwa pelaksanaan Pembagian Potensi kebijakan memberikan persentase sebesar 63,78% (dikategorikan tinggi), tingginya implementasi Dukungan kebijakan ini didukung oleh persentase dari 3 indikator yang ada pada implementasi Dukungan kebijakan, secara berurut persentase masingmasing dimensi adalah: 1) Penegakan
P a g e | 120 oleh aparat sebesar 66,00% (dikategorikan tinggi), 2) Pengawasan sebesar 63,33% (dikategorikan tinggi), 3) Koordinasi sebesar 62,00% (dikategorikan tinggi). Jenis keempat sebab-musabab yang bersangkutan dengan gagalnya pelaksanaan, berkenan dengan pembagian potensi diantara aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan. Mengenai organisasi pelaksanaan maka dalam hubungan ini antara lain tingkat diperensiasi dari tugas-tugas dan wewenang sangat penting. Diperensiasi horisontal dari tugas dan wewenang umpanya dapat membantu masalah-masalah koordinasi, khususnya kepentingan-kepentingan yang terwakili sangat berlainan mengenai isinya. Diperensiasi vertikal memperbesar kemungkinan timbulnya masalahmasalah pengawasan. Timbulnya bahaya penggeseran tujuannyapun dipermudah. Juga mempermainkan peran yang penting kemungkinan-kemungkinan para pelaksana menghalangkan dan luasnya kebebasan kebijkasanaan yang ada pada mereka struktur dari organisasi pelaksana dapat juga mengakibatkan masalah-masalah, apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas, atau di tandai oleh pembatasanpembatasan yang kurang jelas. Suatu hal yang penting adalah tingkat desentralisasi dari pelaksanaan. Didalam suatu struktur pelaksanaan yang sangat terdesentralisasi umpamanya kemungkinan-kemungkinan untuk mengendalikan pelaksanaan secara sentral dalam prinsip sangat kecil. Hal ini selanjutnya akan mengurangi kemungkinan untuk memperbaiki kegiatan yang kurang efektif atau yang tidak diharapkan dari pelaksanaanpelaksanaan dipinggiran. 5. Pengaruh Isi Kebijakan, Informasi Kebijakan, Dukungan Kebijakan dan Pembagian Potensi Kebijakan Secara Simultan Terhadap Efektivitas Iklim Transportasi
Pengaruh implementasi isi kebijakan (X1), informasi kebijakan (X2), dukungan kebijakan (X3) dan pembagian potensi kebijakan (X4) secara simultan terhadap efektivitas iklim transportasi (Y) adalah sebesar 68,83%, maka pengaruh variabel lain yang tidak dimasukan/diteliti dalam penelitian ini adalah 31,17% atau dapat dikatakan bahwa besarnya pengaruh variabel selain implementasi (X1), (X2), (X3), (X4), terhadap efektivitas iklim transportasi adalah 2,43 %. Usaha penataan PKL setelah di implementasikan kebijakan, memberikan efek yang signifikan pada efektivitas iklim transportasi. Hal ini terlihat pada 3 dimensi yaitu: 1) Pendekatan Sumber, 2) Pendekatan Proses, 3) Pendekatan Sasaran. 3 dimensi tersebut kemudian dioperasionalkan dalam indikator masing-masing yaitu: 1) Pendekatan Sumber: (1) Mengukur Efektivitas dari infut, (2) Mengutamakan adanya keberhasilan organisasi, (3) Kebutuhan Organisasi. 2) Pendekatan Proses: (1) Melihat efektivitas pelaksanaan program; 2) Proses internal/mekanisme organisasi. 3) Pendekatan Sasaran: (1) Pusat perhatian pada Output, (2) Mengukur Keberhasilan organisasi, (3) Mencapai hasil(output) sesuai rencana. Maka pengaruh efektivitas iklim transportasi menunjukkan persentase sebesar 68,83% (dikategorikan tinggi), cukup tingginya efektivitas iklim transportasi ini didukung oleh persentase dari 3 dimensi yang ada pada efektivitas iklim transportasi, secara berurut persentase masing-masing dimensi adalah: 1) Pendekatan Sumber sebesar 72,44% (dikategorikan tinggi), 2) Pendekatan Proses sebesar 67,00% (dikategorikan tinggi), 3) Pendekatan Sasaran sebesar 66,44% (dikategorikan tinggi). Terlihat bahwa pendekatan sumber (72,44%) memberikan persentase paling tinggi dengan 3 indikatornya yaitu: (1) Mengutamakan adanya keberhasilan organisasi (73,33%), (2) Kebutuhan Organisasi (72,67%), (3) Mengukur Efektivitas dari infut (71,33%).
P a g e | 121 Hal ini memperlihatkan sudah dapat dikatakan berhasil dalam melaksanakan kebijakan penataan PKL terhadap efektivitas penataan pedagang kaki lima (Studi Pengaruh pada Kawasan Industri Tekstil Cipasir Jatinangor di Kabupaten Sumedang), sehingga sesuai apa yang dikatakan oleh Harold D. Lasswel dan Abraham Kaplan (Islamy. 1997 : 15) a projected program of goals, values and (sautu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah). Lain halnya dengan dimensi proses penyiapan dengan indikatornya yaitu tingkat pemahaman (51,60%), hal ini mengindikasikan bahwa proses penyiapan kurang memberikan penjelasan pada efektivitas iklim transportasi. Dalam hal ini proses penyiapan berakibat pada iklim transportasi. Diperlihatkan bahwa adanya pengaruh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini yang sebesar 2,43%, adapun beberapa variabel itu dapat diidentifikasi dengan merujuk pada data sekunder dalam penelitian ini, yang diambil melalui studi dokumentasi dan studi literatur, serta melihat beberapa penelitian lain yang terkait dengan penelitian ini. Keberadaan Pedagang kaki lima/PKL memberikan gambaran dari sisi ekonomi dan sisi sosial. Disatu sisi karena ketiadaan lapangan kerja serta keterbatasan pendidikan, tidak ada yang mau bekerja sebagai PKL, tetapi kondisi mendorong mereka untuk mencari rejeki bagi keluarganya sebagai PKL, disisi lain keberadaan PKL ternyata menimbulkan persoalan lain yaitu estetika terganggu baik kebersihan maupun ketidakteraturan, alih fungsi trotoar dan kemacetan. Tentunya kondisi ini perlu disikapi secara arif, artinya pemerintah daerah sebelum melakukan tindakan untuk memberantas PKL harus pula memberikan solusi agar pengusiran PKL bukan hanya sebagai kegiatan rutin yang berulang tanpa solusi.
Permasalahan PKL bukan hanya permasalahan di tingkat kota tetapi permasalahan di tingkat provinsi maupun nasional. Adanya ketimpangan ekonomi di beberapa kabupaten /desa mendorong penduduknya mencari peruntungan ke daerah lain. Semakin banyak PKL yang mengembara ke daerah lain, maka dapat dikatakan daerah asal PKL tersebut tidak memiliki potensi kehidupan ekonomi bagi keluarganya , dengan kata lain pemerintah daerah tersebut belum dapat menjamin kehidupan ekonomi masyarakatnya. Ini sebetulnya dapat digunakan sebagai indikator bagi pemerintah baik tingkat provinsi maupun nasional untuk mengetahui kondisi kabupaten /desa mana yang tingkat kehidupan masyarakatnya jauh dari sejahtera, sehingga dapat diketahui jenis bantuan yang tepat agar kondisi daerah tersebut tidak terlalu jauh dengan daerah lain. Ambil contoh di Rancaekek Kabupaten Sumedang, berdasarkan informasi jumlah PKL di Rancaekek Kab Sumedang mencapai 100.000 PKL (Pikiran Rakyat, 2 Juni 2010), bisa dibayangkan bagaimana pemerintah setempat menata PKL yang jumlahnya demikian besar dengan lahan yang terbatas. Tetapi apakah ini akan didiamkan, hingga suatu saat tidak ada lagi tempat di Kawasan Tersebut yang tanpa PKL. PKL memang tidak bisa dibiarkan tetapi ada cara bagaimana menata dan membina mereka agar menjadi suatu kekuatan bagi ekonomi dan juga mendorong daerah lain untuk ikut berfikir bagaimana mendorong ekonominya agar masyarakatnya tidak perlu mencari nafkah di daerah lain.Tentunya peran pemerintah disini menjadi suatu harapan. Menata PKL membutuhkan suatu strategi tertentu dengan mempelajari terlebih dahulu karakteristik PKL yang ada, seperti yang telah dilakukan oleh walikota solo yang sukses membujuk PKL dan membutuhkan waktu 7 bulan berdialog sebelum terjadi kesepakatan yang saling menguntungkan. Beberapa catatan penulis dalam iklim transportasi
P a g e | 122 yaitu: (a) keseriusan dan komitmen pemerintahan kota, tidak sporadis, taidak bisa disuap dan diberikan solusi, (b) menghindari tumpang tindih kebijakan, (c) berperinbsip saling menguntungkan dalam jangka panjang untuk sama-sama membangun kota, kerjasama dan dialog dengan PKL atau melalui Asosiasi Pekerja Pedagang Kaki Lima/APPKL, (d) pengaturan tata ruang dan menyediakan ruang bagi PKL, (e) pendataan(data base) PKL dengan jenis barang yang dijual dan asal derah diseluruh kecamatan dan kelurahan, (f) menerbitkan surat Ijin Usaha melalui kartu anggota. Ijin usaha mengatur ijin lokasi berjualan. Ada pembinaan secara periodik untuk kualitas dan jenis produk yang tepat dijual, agar PKL secara perlahan dapat meningkatkan usahanya menjadi legal, pembinaan ditekankan bagi PKL yang berasal dari kota Bandung, dan bagi PKL pendatang bila tidak memiliki Ijin Ussaha dipersilahkan untuk kembali kedaerahnya masing-masing, (g) disediakan jalan khusus misalnya jalan dalem kaum yang tidak boleh dilalui kendaraan (car free hours) pada jam-jam tertentu misalnya jam 16.0023.00 hanya khusus penjalan kaki, dibuka khusus bagi PKL dan dapat menjadi tujuan wisata karena merupakan bagian promosi kota Bandung, lokasi bebas kendaraan dapat diterapkan disetiap wilayah di Kota Bandung dengan ciri khas dari masing-masing daerah, (h) pengaturan bagi pendatang ditinjau dari jenis produk dan asal daerah, untuk menentukan dapat atau tidak berjualan di kota Bandung, (i) Law Enforcement bagi yang melanggar, (j) ada kerjasama dengan pasar-pasar modern, atau Factory Outlet untuk memberi tempat bagi para PKL pada hari-hari tertentu/libur, (k) menekankan budaya bersih dan menjaga ketertiban kota. E. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1. Pengaruh antara implementasi isi kebijakan (kemampuan menyusun rencana penataan, kemampuan untuk pencegahan, kemampuan untuk penanggulangan) terhadap efaktivitas iklim transportasi (pendekatan sumber, pendekatan proses, dan pendekatan sasaran) berpengaruh yang kuat, dengan tingkat keeratan yang cukup erat, hal ini mengindikasikan pelaksanaan implementasi isi kebijakan terhadap efaktivitas iklim transportasi cukup erat satu sama lain, sehingga dengan implementasi isi kebijakan oleh pemerintah Kabupaten Sumedang melalui penataan PKL berpengaruh terhadap efektivitas iklim transportasi yang bisa dilaksanakan oleh para PKL di sekitaran jalan raya Bandung Garut, demikian juga sebaliknya dengan dilaksanakannya pemberdayaan sektor informal bagi para Pedagang kaki lima cukup erat kaitannya dengan implementasi isi kebijakan yang dilakukan. Melalui penelitian ini terungkap bahwa proses implementasi kebijakan penataan PKL berpengaruh positif dan cukup baik terhadap efektivitas iklim transportasi di kawasan industri tekstil Cipasir Jatinangor Kabupaten Sumedang. 2. Pengaruh implementasi informasi kebijakan (struktur komunikasi terbuka, informasi top down, informasi buttom up) tehadap efaktivitas iklim transportasi (pendekatan sumber, pendekatan proses, dan pendekatan sasaran) dikategorikan rendah, namun tetap mempunyai pengaruh yang baik bagi para PKL di kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang, hal ini juga membuktikan bahwa implementasi Informasi kebijakan bukan faktor utama yang mempengaruhi penataan PKL di Kabupaten Sumedang. Model implementasi kebijakan penataan PKL yang dirancang sebelum penelitian ternyata sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan dilapangan, karena semua variabel yang dipersyaratkan dari setiap hipotesis yaitu isi kebijakan,
P a g e | 123 informasi kebijakan, dukungan kebijakan dan prmbagian potensi kebijakan secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas iklim transportasi. 3. Pengaruh implementasi dukungan kebijakan (tingkat kepatuhan masyarakat, kecukupan dana, dampak terhadap tindakan, upaya memenuhi tuntutan, upaya memenuhi kebutuhan sumber daya) tehadap efaktivitas iklim transportasi (pendekatan sumber, pendekatan proses, dan pendekatan sasaran) dikategorikan rendah, namun tetap mempunyai pengaruh yang baik bagi para PKL di kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang , hal ini juga membuktikan bahwa implementasi dukungan kebijakan bukan faktor utama yang mempengaruhi penataan PKL di Kabupaten Sumedang. Sebagai sumbangan pemikiran dari hasil penelitian, dapat disampaikan bahwa : ilmu tentang kebijakan pemberdayaan sektor informal terhadap efektivitas iklim transportasi walaupun baru dikatagorikan sebagai pengendalian kedepan (aplikatif) ternyata dapat dibahas dengan pendekatan ilmiah. 4. Pengaruh implementasi pembagian potensi kebijakan (penegakan oleh aparat, koordinasi, pengawasan) terhadap efaktivitas iklim transportasi (pendekatan sumber, pendekatan proses, dan pendekatan sasaran) dikategorikan rendah, namun tetap mempunyai pengaruh yang baik bagi para PKL di kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang , hal ini juga membuktikan bahwa implementasi pembagian potensi kebijakan bukan faktor utama yang mempengaruhi penataan PKL di Kabupaten Sumedang. 5. Besarnya pengaruh simultan implementasi isi kebijakan (kemampuan menyusun rencana penataan, kemampuan untuk pencegahan, kemampuan untuk penanggulangan) terhadap efaktivitas iklim transportasi (pendekatan
sumber, pendekatan proses, dan pendekatan sasaran) dikategorikan besar, hal ini memperlihatkan bahwa implementasi isi kebijakan, informasi kebijakan, dukungan kebijakan dan pembagian potensi kebijakan bilamana dilaksanakan dan diberikan oleh pemerintah Kabupaten Sumedang besar pengaruhnya terhadap penataan PKL di Kecamatan Jatinangor Kabupten Sumedang. Dengan demikian model yang dapat diangkat dari kesimpulan tersebut adalah iklim transportasi merupakan aksi sosial menyangkut penataan dan pemberdayaan PKL, yang menghendaki adanya perubahan terhadap perilaku dan motivasi manusia dari perilaku yang tidak berdaya guna menjadi perilaku berdaya guna yang dimaksudkan adalah tindakan sosial untuk mencegah terjadinya PHK dan kerusuhan. Adapun saran adalah: 1. Konsep pemikiran lebih lanjut sebagai model implementasi kebijakan penataan PKL terhadap efektivitas iklim transportasi yang perlu disampaikan sebagai perbaikan dalam penelitian ini yaitu suatu model implementasi kebijakan yang dipolarisasikan kedalam alur pikir ini mengilustrasikan selaku konsep model implementasi kebijakan pemberdayaan sektor informal dengan efektivitas iklim transportasi melalui proses secara sistemik. 2. Implementasi kebijakan penataan PKL terkait dengan efektivitas iklim transportasi di kawasan industri tekstil Cipasir Jatinangor Kabupaten Sumedang pada hakekatnya adalah wujud upaya penataan PKL yang dilakukan pemerintah ditingkat operasional pada Kabupaten Sumedang. Oleh karena itu agar digunakan pendekatan secara sistem terpadu yang melibatkan dan mensinergikan banyak komponen terutama semua jaringan kelembagaan publik
P a g e | 124 penanggulangan/penataan sektor informal yang bersinergi dengan mengutamakan kebutuhan, kemampuan dan kewenangan. 3. Pada Implementasi kebijakan pemberdayaan sektor informal terkait dengan efektivitas iklim transportasi diperlukan upaya sosialisasi, koordinasi dan pengawasan serta pengendalian yang terus menerus agar tercapai kesamaan interprestasi dan kesamaan terhadap isu iklim transportasi di kawasan industri tekstil Cipasir Jatinangor Kabupaten Sumedang yang jelas diantara para pemangku kepentingan. 4. Dalam upaya peningkatan efektivitas dari Implementasi kebijakan pemberdayaan sektor informal terkait dengan iklim transportasi, hendaknya pemerintah Kabupaten Sumedang diberikan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas pimpinan daerah agar memiliki kepemimpinan peduli pelaku informal sektor yang tinggi terhadap hal-hal para pedagang kaki lima yang lemah. 5. Yang mendesak untuk segera direalisasikan adalah lebih menyebarkan perda tentang perlindungan para PKL dalam program-progaramnya dan meningkatkan aktivitas daerah setempat dalam upaya iklim transportasi. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Edwards III, George C., and Sharkansky, Ira. 1978. The Policy Predicament (Making and Implementation Public Policy). San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Greenberg, Jerald, and Baron, Robert A. 2003.Behavioral in Organization. 8th edition, New Jersey: Pearson Ed., Inc. p188-226. Islamy, Irfan. 2007. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Kismantoroadji, Teguh & Al Rasyid, Harun. 1994. Statistika Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. LAN. 2008. Kajian Kebijakan Publik (Modul 2 Diklat Kepemimpinan Tingkat II). Jakarta: Kedeputian Bidang Diklat Spimnas. Luthans, Fred. 2006. Organizational Behavior 10th Edition. Penerjemah: Vivin Andhika Yuwono, Shekar Purwanti, Th. Arie P, dan Winong Rosari. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2012. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refika Aditama. Martani Husaini dan Lubis, Hari.S.B. 1987.Teori Organisasi (Suatu Pendekatan Makro), Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta Maslow, Abraham H. 1984. Motivasi dan Kepribadian Teori Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia. Terjemahan Nurul Iman. Jakarta : PT Pustaka Binaman Presindo. Mc. Clelland, D. And Winter D.G 1969, Motivating Economic Achievement, New York: Free Press McShane, Steve L., Von Glinow, Mary Ann. 2010. Organizational Behavior Emerging Knowledge and Practice for The Real World. 5th Edition. New York: McGraw-Hill Irwin. Moekijat, 2002 Dasar-dasar Motivasi, Bandung: Pionir Jaya Purwanto, Erwan, dan Sulistyastuti, D. R. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Gava Media. Riduwan. 2005. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta. Riduwan dan Kuncoro, Engkos Achmad.2011. Cara Menggunakan dan Memaknai Path Analysis (Analisis Jalur). Bandung: Alfabeta. Riggs, 1961.The Ecology Of Public Administration Ritzer, George, 1980. SosiologiIlmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penterjemah, Alimandan. Jakarta C.V. Rajawali
P a g e | 125 Sedarmayanti. 2014. Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi Untuk Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan. Bandung: Refika Aditama. ___________. 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Refika Aditama Sedarmayanti, dan Hidayat, Syarifudin. 2011. Metode Penelitian. Bandung: Mandar Maju. Siagian, Sondang P. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sitepu, Nirwana S.K. 1994. Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Unit Pelayanan Statistika Jurusan Statistika, FMIPA Universitas Padjadjaran Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. ___________. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Suradinata.1999 : 8. Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara Sebuah Pengantar.Sarundajang - Politik di Indonesia (Otonomi Daerah). Surjadi. 2012. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Cetakan Kedua. Bandung: Refika Aditama. Swink, Morgan., Melnyk, Steven A., Cooper, M. Bixby., and Hartley, Janet L. Managing Operations Across The Supply Chain. 2011. New York: McGraw-Hill Irwin.
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI BandungPuslit KP2W Lemlit Unpad. The Liang Gie (1982) Administrasi Perkatoran Jakarta: Karunika Indonesia Terbuka. Wahab, Solichin Abdul. 2008. Analisis Kebijaksanaan (Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara). Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara. Wahab, Solichin Abdul. 1997. Implementasi Kebijaksanaan). Edisi Kesatu Jakarta: Bumi Aksara Wicaksono, Kristian Widya. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Widodo, Joko. 2009. Analisis Kebijakan Publik (Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik). Malang: Bayumedia. Winarno, Budi. 2005. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo. Sumber Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Peraturan Bupati Sumedang Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang kaki Lima di Kabupaten Sumedang. Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat Republik Indonesia Nomor IV Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara .