PERBEDAAN KELAS SOSIAL MASYARAKAT JAWA DALAM NOVEL NGULANDARA KARYA MARGANA DJAJAATMADJA, Sebuah Analisis Sosiologi Sastra
Oleh: Yuli Kurniati Werdiningsih Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP PGRI Semarang Jl. Sidodadi Timur No 24 – Dr. Cipto Semarang Telp. (024) 8316377 Email:
[email protected] pos-el :
[email protected] Abstrak Karya sastra Jawa merupakan cerminan masyarakat Jawa karena merefleksikan kehidupan masyarakatnya. Salah satu karya sastra Jawa yang mencerminkan kehidupan masyarakat pada masa pra kemerdekaan ialah novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Novel terbitan Balai Pustaka ini menggambarkan perbedaan kelas sosial masyarakat Jawa pada masa pra kemerdekaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode sosiologi sastra. Hasil penelitian ini ialah perbedaan kelas sosial yang berupa penggunaan gelar kebangsawanan; jabatan; gelar disertai dengan jabatan; ndara; penyebutan nama kawula; dan penggunaan ragam krama dan ngoko. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa dalam novel ini terdapat perbedaan kelas yakni antara kaum priyayi dan kawula. Kata kunci: Ngulandara, sosiologi sastra, perbedaan kelas sosial, priyayi dan kawula.
I. Pendahuluan Sastra telah diakui oleh para ahli sosiologi sebagai sumber informasi mengenai tingkah laku, nilai-nilai, dan cita-cita yang khas pada anggota-anggota setiap lapisan yang ada di dalam masyarakat, pada kelompok-kelompok keluarga atau pada generasi-generasi (Ras, J.J.,1985:1). Berdasarakan pendapat tersebut
1
dapat diketahui bahwa sastra berkaitan erat dengan masyarakat. Karya sastra merupakan cerminan dari kondisi sosial yang terjadi di masyarakat. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan sosial (Endraswara, 2003:79). Karya sastra tidak diciptakan dengan tiba-tiba oleh pengarangnya, tetapi melalui proses yang panjang. Karya sastra dapat pula merupakan tanggapan seorang pengarang terhadap lingkungan disekitarnya.
Pengarang juga selalu berusaha
merefleksikan kondisi sosial lewat karyanya. Dengan kata lain, seorang pengarang dalam menciptakan karya sastra selalu dipengaruhi faktor-faktor dari luar dirinya. Pengaruh dari luar inilah yang menjadi salah satu penentu terciptanya karya sastra. Faktor dari luar yang paling mempengaruhi seorang pengarang dalam menciptakan karya sastra adalah aspek-aspek dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa pengarang merespon persoalan yang terjadi di masyarakat lewat karya sastra yang diciptakannya. Pengarang adalah anggota dari masyarakat sehingga
karya sastra yang dihasilkan setiap pengarang adalah produk dari
masyarakat. Masyarakat merupakan pemicu lahirnya karya sastra, demikian pula dengan masyarakat Jawa. Perkembangan yang terjadi di masyarakat Jawa memicu perkembangan karya sastra Jawa. Ditinjau dari sudut pengaruh aspek-aspek masyarakat tersebut, sastra Jawa merupakan hamparan objek studi yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hampir semua karya sastra Jawa--baik karya klasik maupun modern-mencerminkan kondisi sosial
yang terjadi di masyarakat. Dalam karya Jawa
modern (khususnya novel) kondisi sosial masyarakat bahkan menjadi tema utama
2
yang diangkat oleh pengarang. Hal ini dapat dilihat dari tema-tema tradisional yang diangkat para pengarang dalam karyanya diawal kemunculan novel Jawa. Novel-novel Jawa modern terbitan Balai Pustaka dalam rentang waktu tahun 1917 hingga 1942 didominasi oleh tema-tema tradisional, berkaitan dengan masalah moral dan sosial kehidupan rumah tangga, perkawinan, pemberantasan kejahatan, perjuangan hidup, atau berhubungan dengan konsep hidup masyarakat Jawa. Selebihnya hanya beberapa yang mengangkat tema modern seperti penolakan kawin paksa, penolakan pandangan hidup kaum priyayi, dan kehedak untuk hidup mandiri (Suwondo, 2001:67). Tema-tema tradisional tersebut merupakan refleksi dari kondisi sosial masyarakat Jawa. Seiring perkembangan kondisi sosial masyarakat, berkembang pula tema-tema novel Jawa. Salah satu karya sastra Jawa yang didalamnya merefleksikan kondisi sosial masyarakat adalah Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1936, tema yang diangkat oleh Margana adalah perjuangan hidup (laku) seorang pemuda Jawa. Novel yang berjumlah 108 halaman ini dilatarbelakangi budaya Jawa sebelum kemerdekaan yang masih dipengaruhi oleh pemerintah kolonial Belanda yang semakin menonjolkan perbedaaan kelas sosial. Dapat pula dikatakan bahwa novel yang terbagi dalam 14 bab ini merupakan salah satu novel yang dapat merefleksikan zamannya. Oleh karena itu, guna mengetahui gambaran khususnya mengenai perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Jawa sebelum kemerdekaan perlu adanya penelitian terhadap novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja ini.
3
Permasalahan utama dalam penelitian ini ialah bagaimana perbedaan kelas sosial masyarakat Jawa yang tercermin dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Berkaitan dengan permasalahan utama tersebut, maka penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Jawa yang tercermin dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra. Menurut Hartoko (1998:129), sosiologi sastra adalah salah satu cabang ilmu yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial, memperhatikan pengarang; proses penulisan; pembaca; serta teks itu sastra itu sendiri.
II. Metode Penelitian Guna mengetahui gambaran mengenai kondisi sosial budaya masyarakat Jawa pra-kemerdekaan, maka diperlukan metode yang tepat dan sesuai dengan teori yang digunakan. Ketepatan dan kesesuaian metode dalam penelitian ini ditujukan untuk mempermudah peneliti dalam mendeskripsikan perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Jawa melalui novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kepustakaan dan sosiologi sastra. Metode kepustakaan digunakan untuk menemukan data baik yang berkaitan dengan objek, yakni unsur maupun proses analisis. Menurut Swingewood (dlm Faruk, 2001:1), sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
4
lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat bertahan hidup. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Didalam karya sastra, terdapat dunia yang merupakan tiruan dari dunia kenyataan yang menurut Plato (Teeuw,1983:219-221), merupakan tiruan dari dunia ide. Dengan demikian apabila dunia dalam karya sastra membentuk dunia diri sebagai sebuah dunia sosial, maka dunia tersebut merupakan tiruan terhadap dunia sosial yang ada dalam kenyataan sebagaimana yang dipelajari oleh sosiologi. Oleh karena itu, meskipun terdapat perbedaan antara sosiologi dan sastra namun keduanya dapat saling melengkapi dalam menguraikan makna dari sebuah teks sastra. Karya sastra senantiasa memiliki hubungan dengan kenyataan sosial (masyarakat). Hal tersebut didasari asumsi bahwa karya sastra merupakan hasil dari ciptaan individu sebagai anggota suatu kelompok masyarakat. Hubungan antara karya sastra dengan dengan masyarakat menumbuhkan pernyataan bahwa karya sastra adalah cermin dari masyarakat. Apa yang terjadi dalam karya sastra adalah gambaran mengenai apa yang terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa kenyataan dalam karya sastra bukan sekedar jiplakan dari kenyataan yang terjadi di masyarakat, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan dan diolah oleh pengarangnya. Menurut Wellek dan Warren (1990:111-132)
terdapat tiga pendekatan yang
berbeda dalam sosiologi sastra, yakni pendekatan terhadap pengarang (sosiologi
5
pengarang sebagai pencipta karya sastra); pendekatan hubungan sastra dan masyarakat (sosiologi karya sastra sebagai dokumen sosial atau potret sosial); dan pendekatan terhadap karya itu sendiri (sosiologi ekonomi dan pengetahuan; dan pengaruh sosial karya sastra terhadap pembaca). Pendekatan terhadap sosiologi sastra juga dikemukakan oleh Watt, menurutnya (dlm Faruk, 2010;50) terdapat tiga pendekatan yakni: 1) konteks sosial pengarang, hal ini berhubungan dengan posisi pengarang dalam masyarakat; 2) sastra sebagai cermin masyarakat; 3) fungsi sosial sastra, sejauh mana sastra berfungsi dalam masyarakat atau pembacanya. Novel Ngulandara merupakan salah satu jenis karya sastra yang mencerminkan kondisi sosial masyarakat dimana karya tersebut lahir. Oleh karena itu, pendekatan yang akan digunakan dalam analisis ini adalah pendekatan yang kedua. Pendekatan yang kedua merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Pada pendekatan ini hal utama yang menjadi perhatian adalah sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu ditulis; sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya; sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Seorang peneliti dapat mengungkap ketiganya sekaligus atau memilih diantara ketiganya, sehingga masing-masing bendiri sendiri-sendiri. Dikarenakan keterbatasan waktu, maka dalam analisis terhadap Ngulandara ini hanya akan mengangkat salah satu aspek dari ketiga aspek penting dalam pendekatan kedua
6
tersebut. Analisis terhadap Ngulandara ini akan fokus pada aspek pertama, yakni sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu ditulis. Dengan harapan dapat mengetahui secara jelas gambaran mengenai kondisi sosial masyarakat Jawa pra-kemerdekaan khususnya mengenai perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Jawa yang tergambar lewat novel Ngulandara.
III. Hasil dan Pembahasan Kehidupan masyarakat Jawa memiliki berbagai macam kekhasan. Kekhasan yang begitu mencolok dalam kehidupan masyarakat Jawa diantaranya adalah pola atau sistem hubungan sosial antar anggota masyarakat. Pola atau sistem hubungan antar anggota masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor utamanya adalah budaya kolonial yang mengakar di masyarakat. Hal ini memunculkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Hingga saat ini kelas-kelas sosial dalam masyarakat Jawa, masih mengakar dengan memunculkan perbedaan kelas. Perbedaan kelas sosialsangat mencolok dalam kehidupan masyarakat Jawa, hingga memunculkan dua golongan masyarakat, yakni kaum priyayi dan kaum kawula. Perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Jawa tergambar pula dalam novel Ngulandara. Hal ini terlihat dari penyebutan nama beberapa tokoh yang selalu diikuti dengan gelar kebangsawanan, pangakat atau jabatan dalam pemerintahan, dan tokoh-tokoh dengan nama yang identik dengan kaum kawula. Berbagai hal tersebut diuraikan dibawah ini.
7
A. Penggunaan Gelar Kebangsawanan Lazimnya,
para
priyayi
di
Jawa
selalu
menggunakan
kebangsawanan untuk menunjukkan status atau kelas sosialnya.
gelar
Penggunaan
gelar kebangsawanan tersebut menunjukkan pula kedudukannya di masyarakat. Dengan menggunakan gelar kebangsawanan, para priyayi akan terlihat ’dekat’ dengan raja ’penguasa’ sehingga meningkatkan pamornya. Penggunaan gelar kebangsawanan dalam Ngulandara dapat dilihat dalam kutipan-kutipan berikut. ”Sugeng nyah?, Wilujeng, Den Ajeng. Lo, Den Ajeng Tien (cekakan saking Supartinah) kok wonten dalem. Menapa mboten mulang?” (Djajaatmadja,1936:16). Terjemahan : Selamat Nyonya? Selamat, Den Ajeng. Lho, Den Ajeng Tien (singkatan dari Supartinah) kok ada dirumah. Apakah tidak mengajar?
Penyebutan Den Ajeng ditujukan kepada seorang gadis putri bangsawan, atau putri dari seseorang yang memiliki kedudukan penting dipemerintahan pada masa tersebut. Dalam konteks ini, penyebutan Den Ajeng ditujukan kepada putri dari Den Bei Asisten Wedana yang merupakan golongan priyayi. Selain penggunaan kata Den Ajeng, digunakan pula kata Den Ayu. Penggunaan kata Den Ayu terdapat dalam contoh kutipan berikut. ”Boten Den Ayu! Sowan kula menika kejawi tuwi kasugengan, inggih prelu badhe nglajengaken rembag betah. Kula nyuwun tulung Den Ayu” (Djajaatmadja, 1936:17). Terjemahan : Tidak Den Ayu! Kedatangan saya ini selain menjenguk kondisi kesehatan (keluarga anda), juga akan melanjutkan berembug mengenai kebutuhan. Saya mohon bantuan Den Ayu.
8
Den Ayu merupakan penyebutan yang ditujukan kepada seorang wanita bangsawan atau istri dari pejabat pemerintah pada masa tersebut. Dalam konteks ini penyebutan Den Ayu ditujukan kepada istri dari Den Bei Asisten Wedana.
B. Penggunaan Pangkat atau Jabatan dalam pemerintahan Pada masa tersebut, pejabat pemerintahan dapat dikategorikan pula dalam golongan bangsawan. Oleh karena itu, dalam novel Ngulandara banyak dijumpai penggunaan pangkat atau jabatan dalam pemerintahan. Penggunaan pangkat atau jabatan dalam pemerintahan menunjukkan kedekatan tokoh tersebut dengan penguasa. Penggunaan pangkat atau jabatan dalam pemerintahan dapat dilihat pada kutipan berikut. ”Mangka aku wis ngaturi layang Bu Mantri Gudhang. Yen ora sida sowan, rak dadi pangarep-arep” (Djajaatmadja, 1936:44) Terjemahan : Padahal aku sudah menghaturkan surat ke Bu Mantri Gudang. Jika tidak jadi berkunjung, kan akan ditunggu-tunggu. Mantri Gudang adalah sebutan bagi kepala gudang, biasanya kepala gudang persediaan bahan makanan atau BULOG. Mantri gudang merupakan salah satu jabatan yang terdapat pada masa pemerintahan Belanda.
C. Penggunaan Gelar pemerintahan
Kebangsawanan
disertai
Jabatan
dalam
Penggunaan gelar kebangsawanan yang disertai dengan jabatan di pemerintah dijumpai beberapa kali dalam novel Ngulandara. Kedua hal tersebut muncul karena pada masa tersebut tokoh pejabat lazimnya berasal dari kaum bangsawan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut.
9
”Kadospundi ta Den Bei? Sajak kok le ngedheg-edhegi kuwi (Djajaatmadja, 1936:18). Terjemahan : Bagaimana ta Den Bei? Sepertinya kok menbuat deg-degan begitu.
Berdasarkan kutipan diatas,
penyebutan Den Bei pada konteks ini
ditujukan pada Raden Bei Asisten Wedana. Raden Bei Asisten Wedana adalah asisten dari seorang Wedana atau kepala Kawedanan Parakan. Kepala Kawedanan adalah pejabat yang membawahi beberapa kecamatan di satu wilayah. Wilayah Kawedanan Parakan terdiri dari kecamatan Parakan, Temanggung dan Wonosobo.
Selain
Den
Bei
Asisten,
terdapat
pula
penggunaan
gelar
kebangsawanan yang disertai pangkat atau jabatan dalam pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. Raden Mas Sutanta lajeng omong-omongan kaliyan Den Bei Mantri. Sanajan namung priyantun kalih, tur umurumuranipun kosok-wangsul, nanging ginemanipun ketingal kepyek, sekedap dipunselani gujeng kekel (Djajaatmadja, 1936:102). Terjemahan : Raden Mas Sutanta lalu mengobrol dengan Den Bei Mantri. Meskipun hanya berdua, dan usianya berkebalikan, tetapi obrolannya terlihat hidup, sebentar-sebentar diselingi dengan tawa terbahak-bahak.
Selain itu, penggunaan gelar kebangsawanan disertai dengan jabatan dalam pemerintahan juga digunakan untuk menyebut orang tua Raden Mas Sutanto. Orang tua tokoh utama tersebut merupakan seorang guru. Oleh karena itu, disebut sebagai Mantri Guru. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
10
”Den Mantri Guru pancen saged momong kanca nem sepuh, tur jembar manahipun, cucut ceriyosanipun” (Djajaatmadja, 1936:102) Terjemahan : Den mantri Guru memang bisa mengimbangi teman bicara dari baik muda maupun tua, hatinya luas, ceritanya sangat menarik. Mantri Guru merupakan jabatan bagi seorang guru pada masa tersebut. Guru adalah jabatan yang terhormat, sehingga disebut sebagai Den atau Raden. Pada masa tersebut, guru dikategorikan sebagai kaum bangsawan.
D. Penggunaan Ndara Penyebutan nama-nama tokoh yang berasal dari kaum bangsawan acapkali diawali pula dengan kata ndara. Kata ndara digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain yang dianggap memiliki kelas sosial lebih tinggi. Selain itu, kata ndara digunakan kaum kawula untuk menyebut majikannnya (bendaranya). Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut. (1) ”Boten ndara, sampun kagalih kadospundi-kadospundi. Yen panjenengan boten lenggah nglebet, ngrendheti padamelan kula, amargi manah kula lajeng kirang tentrem, dening sumerep panjenengan kegremisan tur wonten ngriki, papan ingkang hawanipun asrep” (Djajaatmadja, 1936:10). Terjemahan : Tidak ndara, jangan berfikir yang tidak-tidak. Jika anda tidak duduk didalam, memperlama pekerjaan saya, karena perasaan saya jadi kurang nyaman, dengan melihat anda kehujanan dan ladi disini, tempat yang hawanya dingin. (2) Sembah nuwun ndara, mangga lajeng tindak kemawon, kula dherekaken ing wingking. Sopir lajeng murugi otonipun piyambak....” (Djajaatmadja, 1936:12) Terjemahan :
11
Terimakasih Ndara, silahkan lalu pergi begitu saja, saya ikuti dari belakang. Sopir tersebut lalu menghampiri mobilnya sendiri. (3) ”Enggih! Ndara Den Ayu niku awis-awis tindakan. Nanging yen empun kersa tindakan, enggih sok mremenmremen kados alang-alang kobong” (Djajaatmadja, 1936:33) Terjemahan : Iya, ndara Den Ayu itu jarang bepergian. Tapi jika sudah mau bepergian, ya kadangkala menjadi-jadi bagaikan pohon alang-alang yang terbakar. (4) ”Ndara Seten wau tindak pundi ?. ”Kala wau Ndara Den Ayu ngendika ajeng tindak Kemantrenguron.” (Djajaatmadja, 1936:33) Terjemahan : Ndara seten tadi pergi kemana? Tadi Ndara Den Ayu mengatakan akan pergi ke Kemantren-guron. Dari berbagai kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa penyebutan ndara adalah sebutan penghormatan kepada orang yang dianggap memiliki jabatan atau bahkan majikannya. Ndara berasal dari kata bendara atau tuan. Dalam kutipankutipan
tersebut
kebangsawanan.
kata
ndara
Penggunaan
diikuti
kata
pula
ndara
dengan yang
penggunaan
diikuti
dengan
gelar gelar
kebangsawanan terdapat pada kutipan ke tiga, yakni ndara Den Ayu. Selain itu, penggunaan kata ndara diikuti pula dengan pangkat atau jabatan dalam pemerintahan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan ke empat, yakni ndara Seten. Ndara Seten merupakan penyebutan untuk Asisten Wedana.
E. Penyebutan Nama Kawula Berdasarkan penjabaran diatas, dapat diketahui bahwa semua tokoh bangsawan dalam novel Ngulandara disebut dengan disertai gelar maupun
12
pangkat atau jabatan dalam pemerintahan. Sebaliknya, tokoh-tokoh yang merupakan kaum kawula tidak disebut dengan embel-embel tertentu. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh kutipan berikut. ”..., lajeng ngundang rencangipun : Ta, Ta, Kerta ! Nun. Pun Kerta dhateng wonten ngajengipun. (Djajaatmadja, 1936:21) Terjemahan : ”... lalu (Den Bei ) memanggil pembantunya : Ta, Ta Kerta! Iya, saya. Kerta datang didepannya.
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa seorang majikan atau kaum bangsawan hanya menyebut nama ketika memanggil bawahannya (kaum kawula). Penyebutan nama kawula tidak diembel-embeli dengan kata-kata yang lain. Kaum kawula dalam konteks ini diwakili seorang pembantu yang bernama Kerta. Kerta disebut dengan nama Ta dan Kerta. Penyebutan tersebut menunjukkan bahwa kaum kawula berkedudukan sangat rendah jika dibandingkan dengan majikannya. Selain itu, majikannya (kaum bangsawan) juga memiliki hak sepenuhnya terhadap diri sang pembantu.
F. Penggunaan Ragam Krama dan Ngoko Selain penggunaan gelar kebangsawanan, dalam novel ini penggunaan ragam bahasa juga menjadi tolok ukur perbedaan kelas sosial. Ragam bahasa yang berbeda, yakni ragam bahasa Jawa krama dan ngoko mampu menunjukakan siapa dan dari kelas sosial mana orang yang berbicara dan diajak berbicara tersebut.
Ragam bahasa krama digunakan oleh tokoh-tokoh kawula ketika
berbicara pada bendaranya. Tokoh yang merupakan bawahan atau yang kelas
13
sosialnya lebih rendah akan berbicara menggunakan ragam bahasa krama kepada tuannya atau orang yang memiliki kelas sosial lebih tinggi darinya. Demikian pula sebaliknya, tokoh yang merupakan orang yang memiliki jabatan atau berkelas sosial lebih tinggi akan berbicara dengan ragam ngoko kepada bawahannya atau kepada orang yang kelas sosialnya lebih rendah. Penggunaan ragam krama dan ngoko dapat dilihat dari kutipan berikut ini. ”..., lajeng ngundang rencangipun : Ta, Ta, Kerta ! Nun. Pun Kerta dhateng wonten ngajengipun. Kae sopire nyah Hien undangen mrene. Kandaa aku sing ngundang ya! Nun inggih. Ngajeng wonten oto ndara” (Djajaatmadja, 1936:21) Terjemahan : ”... lalu (Den Bei )memanggil pembantunya : Ta, Ta Kerta! Iya, saya. Kerta datang didepannya. Itu sopire Nyah Hien panggillah kemari. Bilang, aku yang manggil ya! Iya. Didepan ada mobil ndara. Kutipan tersebut merupakan pembicaraan yang dilakukan oleh Den Bei dengan pembantunya yang bernama Kerta. Den Bei menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko terhadap pembantunya, sedangkan Kerta menggunakan bahasa Jawa ragam krama ketika berbicara dengan Den Bei.
G. Perbedaan Kelas Sosial Masyarakat Jawa dalam Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut dan analisis yang tealh dilakukan dapat diketahui bahwa novel Ngulandara ini telah mampu mengungkapkan jiwa zamannya, yakni zaman pra kemerdekaan. Selain itu, novel ini juga telah merefleksikan kondisi masyarakat Jawa ditahun 30an. Pada masa tersebut, budaya
14
kolonial Belanda mengakibatkan perbedaan kelas sosial yang mencolok pada masyarakat Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan gelar kebangsawanan; penggunaan jabatan; penggunaan gelar disertai dengan jabatan; penggunaan ndara; penyebutan nama kawula; dan penggunaan ragam krama dan ngoko yang ditemukan dalam novel Ngulandara. Gelar kebangsawanaan yang terdapat dalam novel Ngulandara ialah Den Ajeng, Den Ayu, dan Raden Mas. Penggunaan ketiga gelar tersebut diawal nama tokoh menunjukkan kedudukan tokoh dalam masyarakat. Kedudukan tokoh secara langsung memperlihatkan kelas sosial si tokoh. Ketiga tokoh yang diawal namanya menggunakan gelar kebangsawana ialah Supartinah, ibunya, dan Riyanta. Ketiga tokoh tersebut termasuk dalam kelas priyayi. Penggunaan pangkat atau jabatan diawal nama yang terdapat dalam novel Ngulandara ialah Mantri Gudang. Mantri Gudang merupakan salah satu jenis jabatan pada masa pemerintahan Belanda. Mantri Gudang merupakan kepala gudang yang bertugas mengatur gudang persediaan bahan pangan pada masa pemerintahan Belanda. Pada masa kini mantri gudang dapat dianalogikan dengan kepala BULOG. Tokoh yang menggunakan nama jabatan dapat digolongkan dalam kelas priyayi. Penggunaan gelar kebangsawanan disertai dengan jabatan ditemukan pula dalam novel Ngulandara. Penggunaan gelar kebangsawanan disertai dengan jabatan diantaranya ialah Den Bei, den Bei Mantri, dan den Bei Mantri Guru. Penggunaan gelar kebangsawanan disertai jabatan menunjukkan keistimewaan
15
status sosial tokoh-tokoh tersebut. Keistimewaan status sosial tokoh-tokoh tersebut karena tokoh-tokoh yang menggunaakan gelar kebangsawanan disertai jabatan dapat dimasukkan dalam kelas priyayi. Penggunaan kata ndara dalam novel Ngulandara dijumpai pada beberapa bagian. Kata ndara berasal dari kara bendara yang artinya majikan atau tuan. Kata ndara biasanya disebut sebelum menyebut nama. Jadi, kata ndara secara langsung dapat menunjukkan kelas sosial penggunanya. Kelas sosial pengguna kata ndara ialah kaum priyayi dan kaum kawula. Ketika tokoh dipanggil atau disebut dengan sebutan ndara, maka tokoh tersebut langsung dapat dimasukkan dalam kelas priyayi karena merupakan seorang majikan. Sebaliknya, tokoh yang memanggil atau menyebut tokoh lain dengan sebutan ndara, maka secara langsung dapat dimasukkan dalam kelas kawula. Hal tersebut dikarenakan tokoh yang menyebut, biasanya adalah bawahan dari tokoh ndara tersebut. Penyebutan nama kawula dalam novel Ngulandara dapat dijumpai pada tokoh Kerta. Tokoh Kerta yang merupakan pembantu atau bawahan dari Den Bei Asisten tidak memiliki nama panggilan atau sebutan lain, selain nama aslinya. Bahkan Kerta dipanggil hanya dengan sebutan Ta saja oleh Den Bei Asisten. Hal ini membuktikan bahwa Kerta berasal dari kelas sosial kawula sedangkan Den Bei Asisten berasal dari kelas priyayi. Penggunaan ragam krama dan ngoko dalam novel Ngulandara dijumpai pada beberapa bagian, diantaranya pada percakapan antara Den Bei Asisten dengan Kerta. Den Bei Asisten menggunakan ragam ngoko ketiak berbincang dengan Kerta yang merupakan pembantunya. Sebaliknya, Kerta menggunakan
16
ragam krama ketika berbincang dengan Den Bei Asisten. Hal ini sejalan dengan kaidah ragam bahasa Jawa. Ragam ngoko digunakan untuk berbicara dengan orang yang berasal dari status sosial yang lebih rendah dari pembicara. Ragam krama digunakan oleh orang yang berstatus sosial lebih kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa dalam novel Ngulandara terdapat perbedaan kelas sosial yakni kelas sosial tinggi dan kelas sosial rendah. Kelas sosial tinggi disebut kaum priyayi, sedangakan kelas sosial rendah disebut kawula. Kaum priyayi diwakili oleh pejabat para bangsawan dengan gelar kebangsawanannya, jabatan pada masa tersebut, dan penggunaan ragam bahasa ngoko dalam percakapannya. Kaum kawula diwakili oleh Kerta, yang merupakan pembantu Den Bei dan penggunan ragam bahasa krama dalam percakapannya. Oleh karena itu, novel Ngulandara dapat menunjukkan perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Jawa pra kemerdekaan.
IV. SIMPULAN Karya sastra merupakan produk sosial, sehingga lewat karya sastra dapat diketahui kondisi sosial budaya masyarakat yang melatarbelakangi terciptanya karya sastra tersebut. Karya sastra merupan cerminan dari apa yang terjadi di masyarakat. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat Jawa, dapat digambarkan oleh karya sastra. Penelitian dibidang ini menggunakan teori sosiologi sastra. Salah satu karya sastra Jawa yang merefleksikan kondisi sosial masyarakat adalah
17
Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Lewat novel yang diterbitkan tahun1936 ini, dapat diketahui bahwa kondisi sosial masyarakat Jawa pada masa pra kemerdekaan masih terdapat perbedaan kelas sosial yang mencolok. Perbedaan dapat dilihat dari penyebutan tokoh dengan menggunakan gelar-gelar kebangsawanan dan penggunaan bahasa Jawa ragam krama dan ngoko.
Daftar Pustaka Djajaatmadja, Margana. 1936. Ngulandara. Jakarta : Balai Pustaka. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Med Press. Faruk, 2010. Pengantar Sosiologi Sastra, Edisi Revisi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta : Grafiti Press. Teeuw, 1983. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya. Suwondo, Tirto dan Mardianto, Herry. 2001. Sastra Jawa Balai Pustaka 19171942. Yogyakarta : Adikarya. Wellek, Rene& Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta : Gramedia.
18