PROSES REKONSILIASI DALAM NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Agus Purnomo 024114034
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SATRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008
Motto Jadikanlah hidup ini lebih berarti dengan berbagi
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkn dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Tanggal,30 September 2008 Penulis
AGUS PURNOMO
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama
: Agus Purnomo
Nomor Mahasiswa
: 024114034
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : PROSES REKONSILIASI DALAM NOVEL KUBAH KARYA AHMAD SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
TOHARI
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal :28 Oktober 2008 Yang menyatakan
( Agus Purnomo)
vi
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih, cinta, berkat, dan rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar skripsi ini tidak akan selesai tanpa kekuatan Tuhan. Skripsi ini berjudul “Proses Rekonsiliasi Dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra”. Skripsi ini di tulis guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia pada Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma. Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya kebaikan, dukungan, bantuan, dan dukungan baik secara material maupun spiritual dari berbagai pihak. Kebaikan, bantuan, dan dukungan tersebut senantiasa hadir dalam kehidupan penulis terutama saat menjalani perkuliahan di Universitas Sanata Dharma. Sehubungan dengan tersusunya skripsi ini, maka penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan memperlancar proses penulisan skripsi ini: 1. Dra. F. Tjandrasih, M. Hum, selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, masukan, kesabaran, serta semangat yang selama ini telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, selaku dosen pembimbing II atas bimbingan dan masukan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
3. Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum, Dr. Praptomo Baryadi I, M. Hum, Drs. P. Ari Subagyo, M. Hum, Susilowati Endah Peni Adji, S.S,M.Hum, Drs. Hery Antono, M. Hum, Drs. F.X Santosa atas ilmu dan perkuliahan yang telah diberikan pada penulis selama menempuh perkuliahan di Universitas Sanata Dharma. 4. Kedua orang tuaku, bapak Juwari dan ibu terima kasih atas segala yang telah memberiku tempat bernaung, serta dorongan semangat yang tiada henti 5. Istriku, Rohma Nur Istiati terima kasih atas hari yang indah serta pengorbanan
selama
dan
dorongan
semangat
sehingga
dapat
menyelesaikan skripsi ini. 6. Putri kecilku, Azzahra Aurelia Akbar Purnama yang telah menjadi motivasi dalam menjalani segala rintanagn hidup. 7. Adikku, Riyanto terima kasih telah banyak membantu dalam proses penulisan skripsi, serta segala bantuan selama ini. 8. Teman kerja istriku di Bethesda terima kasih atas segala kebaikan dan rasa kekeluargaan yang terbina selama ini. 9. Sindo 02, terima kasih atas hari hari yang indah yang telah kita lewati selam memjalani perkuliahan di universitas Sanata Dharna. 10. Rekan-rekan ALTIS (Alumni SMK Jetis) terima kasih yang masih selalu mengingatkanku untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman teman kerja di Roemah Mirota terima kasih atas hubungan menyenangkan selama ini
viii
12. Sahabatku Mantri, Anang dan Indru terima kasih atas persahabatan selama ini. 13. Sahabat baikku Edi, Wanto, Anang K serta teman teman yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih atas persahabatan selama ini.
Penulis sadar, bahwa masih banyak kesalahan serta kekurangan dalam penulisan skripsi ini oleh karena kritik dan saran masih di terima demi hasil tulisan yang lebih baik. Semoga dalam hasil penulisan selanjutnya dapat lebih baik.
Penulis
AGUS PURNOMO
ix
ABSTRAK Purnomo,Agus.2008. ProsesRekonsiliasi dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari :Suatu Tinjauan Sosiologi. Skripsi Strata I (S-I).Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta Penelitian ini mengkaji proses rekonsiliasi yang terjadi dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis, yang bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan cerminan kehidupan masyrakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskripsif, sedangkan data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan metode tersebut, penelitian terdiri atas dua tahap; pertama, analisis novel Kubah untuk mengetahui unsur instrinsiknya; kedua, mengunakan hasil analisis pada tahap pertama untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada diluar sastra. Analisis struktur dalam skripsi ini meliputi alur, tokoh ,latar, dan tema. Alur dalam novel kubah merupakan alur yang tidak urut yang mengandung unsur sorot balik. Tokoh meliputi tokoh utama dan tokoh bawahan. Latar meliputi latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Tema dalam novel kubah yaitu bertemalakan tragedy 1965. Tragedi 1965 dipaparkan dalam skripsi ini untuk memberi gambaran yang jelas bagi pembaca. Peristiwa yang terjadi dalam novel merupakan tragedi yang menajadi sejarah bangsa Indonesia. Sejarah tragedi 1965 tidak dipaparkan secara urut seperti halnya dalam sejarah. Dari hasil kajian ditemukan proses rekonsiliasi yang terjadi dalam novel Kubah yaitu proses rekonsiliasi dalam keluarga, proses rekonsiliasi dalam masyarakat, proses rekonsiliasi umat beragama, proses rekonsiliasi mantan tahanan politik. Proses rekonsiliasi dalam keluarga dialami oleh tokoh Karman yang baru saja keluar dari pengasingan. Karman kembali dipertemukan dengan keluarganya. Ketakutan yang menghantui Karman telah sirna, ketakutan bahwa keluarga tidak menerima kembali bekas tahanan politik yang dianggap hina. Proses rekonsiliasi dalam masyarakat, dialami oleh tokoh Karman, dia dapat di terima kembali dalam masyarakat. Tokoh Karman yang pada awalnya merupakan seorang yang taat beribaah kemudian perlahan-lahan mulai jarang beribadah dan enggan untuk datang ke Masjid. Di luar dugaan Karman setelah keluar dari pengasingan ternyata masyarakat tetap menerimanya kembali dalam masyarakat. Proses rekonsiliasi umat beragama terjadi dalam Novel kubah. Proses rekonsiliasi yang terakhir adalah proses rekonsilisi mantan tahanan politik dengna masyarakat.
x
ABSTRACT Purnomo,Agus.2008. Process of Reconciliation in Ahmad Tohari’sNovel Kubah :A Sociological Review. Thesis Strata I. Indonesian Letter Study Program, Letter Department, Sanata Dharma University
This research studied about the process of reconciliation which is happened in Ahmad Tohari’s novel Kubah. The approach used in this research was sociological research, which is initiated from the assumption that the letter is a reflection of social life. Method used in this research was method of descriptive analysis, whereas data was analyzed by using qualitative method. By such method, this research comprises of two steps: first, analysis of novel Kubah to know its intrinsic elements; second, used the result of first step analysis to understand furthermore on social phenomena which exists outside the letter scope. Fro the result of this recearh it founded that the process of reconciliation which happened in novel Kubah, i.e. process of recontiliation in religious community, process of reconciliation of former poitical prisoners. Process of reconlitiation in family was faced by figure of Karman which currently out from isolation. Karman was returned to his family. Karman’s family openly could receive Karman as family member. The afraid which was hunting Karman has had disappeared, the afraid that his family wouldn’t receive him as the former of political prisoner which was perceived as low-esteem. Process of reconciliation in society was faced by figure of Karman, where he could be accepted anymore in society. Figure of Karman initially was a person who family in conducting religious acts, slowly seldom to pray and reluctant to go to mosque. It is opposite with Karman expectation, after he set free from the isolation in fact the society still accept him in to them. Process of reconciliation of religious community happened in novel Kubah. This novel is novel which contains religious element, where in there are any a advices reminding the reader for the important meaning of having religious. It nis only by religious thus someone could prevent any worse things which brings sufferings toward themselves. Process of reconciliation between religious community in this matter Islam, become able to reaccept the former political prisoner which used to neglect his obligation as religious community. Process of reconciliation of former political prisoner in novel Kubah happened while a political prisoner had been set free, in fact the could be reaccepted into society.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... .... i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ .... ii MOTTO ………………………………………………….. ........................... .... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................ .... iv KATA PENGANTAR .................................................................................... .... v ABSTRAK .................................................................................................... ... viii ABSTRACT ..................................................................................................... .... ix DAFTAR ISI .................................................................................................. .... x BAB I.PENDAHULUAN ............................................................................... .... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... .... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ .... 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. .... 4 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... .... 4 1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori .............................................. .... 4 1.5.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................ .... 4 1.5.2 Landasan Teori............................................................................ .... 6 1.5.2.1 Struktur Karya Sastra ......................................................... .... 6 1.5.2.2 Alur ........................................................................................ .... 7 1.5.2.3 Tokoh dan Penokohan ......................................................... .... 8 1.5.2.4 Latar ...................................................................................... .... 9 1.5.2.4.1 Latar Tempat .............................................................. .... 10 1.5.2.4.2 Latar Waktu ................................................................ .... 10 1.5.2.4.3 Latar Sosial ............................................................... .... 11
xii
1.5.2.5 Tema .................................................................................................. .... 11 1.5.2.6 Sosiologi Sastra................................................................................. .... 12 1.5.2.7 Rekonsiliasi ....................................................................................... .... 14 1.6
Metodologi Penelitian ...................................................................... .... 16 1.6.1 Pendekatan................................................................................... .... 16 1.6.2 Metode .......................................................................................... .... 16 1.6.3 Teknis Analisis Data ................................................................... .... 17
1.7 Sumber Data ............................................................................................ .... 18 1.8 Sistematika Penyajian ............................................................................ .... 18 BAB II STRUKTUR PENCERITAAN DALAM NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI ............................................................................... .... 20 2.1 Alur........................................................................................................... .... 20 2.1.1 Bagian Awal ...................................................................................... .... 20 2.1.1.2 Paparan ...................................................................................... .... 20 2.1.1.3 Rangsangan ............................................................................... .... 21 2.1.1.4 Paparan. .................................................................................... .... 22 2.1.1.5 Gawatan ..................................................................................... .... 23 2.1.2 Bagian Tengah .................................................................................. .... 24 2.1.2.1 Tikaian ....................................................................................... .... 24 2.1.2.2 Rumitan ..................................................................................... .... 25 2.1.2.3 Klimaks ...................................................................................... .... 28 2.1.3 Akhir ................................................................................................. .... 29 2.1.3.1 Leraian ....................................................................................... .... 29 2.1.3.2 Selesaian ..................................................................................... .... 30 2.2 Tokoh ....................................................................................................... .... 31
xiii
2.2.1 Tokoh Utama: Karman .................................................................. .... 31 2.2.2 Tokoh Bawahan 1: Marni ............................................................. .... 34 2.2.3 Tokoh Bawahan 2: Haji Bakir ...................................................... .... 35 2.2.4 Tokoh Bawahan 3: Rifah................................................................ .... 36 2.2.5 Tokoh Bawahan 4: Rudio ............................................................... .... 37 2.2.6 Tokoh Bawahan 5: Tini .................................................................. .... 37 2.2.7 Tokoh Bawahan 6: Margo .............................................................. .... 38 2.3 Latar ......................................................................................................... .... 39 2.3.1 Latar Tempat................................................................................... .... 39 2.3.2 Latar Waktu .................................................................................... .... 42 2.3.3 Latar Sosial ...................................................................................... .... 44 2.4 Tema ......................................................................................................... .... 44 BAB III TRAGEDI 1965 DAN PROSES REKONSILIASI DALAM NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI ................................................ .... 47 3.1 Tragedi 1965 dalam Sejarah .................................................................. .... 47 3.2 Rekonsiliasi di Luar Novel Kubah ......................................................... .... 50 3.3 Tragedi 1965 dalam Novel Kubah ......................................................... ....52 3.3.1 Masa Sebelum Tragedi 1965 di Pegaten ........................................ .... 52 3.3.2 Masa Setelah Tragedi 1965, Pembuangan Karman ke Pulau B dalam novel Kubah ........................................................................................... ....56 3.3.2.1 Pelarian Karman ........................................................................ .... 56 3.3.2.2 Karman Tertangkap .................................................................. .... 57 3.3.2.3 Karman Dibuang ke Pulau B .................................................... .... 57 3.4 Proses Rekonsiliasi dalam Novel Kubah ............................................... .... 58 3.4.1 Proses Rekonsiliasi dalam Keluarga .............................................. .... 58 3.4.2 Proses Rekonsiliasi dalam Masyarakat ......................................... .... 61 xiv
3.4.3 Proses Rekonsiliasi Umat Beragama .............................................. .... 63 3.4.4 Proses Rekonsiliasi Mantan Tahanan Politik................................ .... 65 BAB IV KESIMPULAN ............................................................................... .... 67 4.1 Rangkuman ............................................................................................. .... 67 4.2 Saran ........................................................................................................ .... 72 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... .... 73
xv
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan institusi sosial yang menyajikan kehidupan. Kehidupan yang disajikan sangatlah kompleks karena sebagian besar terdiri atas berbagai “dunia” dalam karya sastra antara lain dunia cinta dan perkawinan, dunia bisnis, dunia kerohanian, dan dunia profesi. Pendapat ini erat hubungannya dengan manusia dan permasalahan kehidupannya (Damono,1979:1) Oleh karena itu, sastra menampilkan sebuah gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan seseorang, antar manusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat ( Damono, 1979:1 ) Novel Kubah merupakan karya Ahmad Tohari yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1980 oleh Pustaka Jaya. Melalui novel ini, pengarang mengekspresikan pendapatnya mengenai perjuangan hidup tokoh Karman, seorang anggota PKI yang mencoba kembali ke dalam keluarga maupun masyarakat. Karman mencoba memulihkan kembali hubungan keluarga, persahabatan, dan masyarakat setelah diasingkan selama 12 tahun di pulau B. Ahmad Tohari mencoba mengungkap sisi lain dari tragedi yang melanda Indonesia 43 tahun silam. Banyak tulisan yang mengangkat tentang kebiadapan
2
dan kekejaman PKI, akan tetapi Ahmad Tohari mengangkat sisi lain yaitu bagaimana para anggota PKI tertindas oleh rezim Orde Baru. Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Pertama kali, kaum PKI berontak tahun 1926. Kemudian tahun 1948, tiga tahun setelah Indonesia merdeka, PKI melancarkan pemberontakan Madiun bulan Desember 1948. Selang tujuh tahun kemudian PKI berhasil tampil sebagai “empat besar” dalam Pemilihan Umum pertama kali tahun 1955. PKI hanya menerima Pancasila dasar negara pada saat-saat terakhir memasuki Pemilu. Membangun kekuatan selama sepuluh tahun, PKI merasa cukup tangguh untuk merebut kekuasaan dengan memanfaatkan sakitnya Bung Karno dan situasi konflik yang tajam. Ujungnya tragedi G-30-S yang menelan banyak korban karena balas dendam ( Tabah, 2000:85 ). Novel Kubah karya Ahmad Tohari menarik untuk diteliti karena tiga alasan penting. Pertama, novel ini memaparkan sebuah kisah perjuangan anak manusia yang penuh lika-liku mengharukan. Perjuangan Karman melewati masa sulit dalam hidupnya, yang harus meninggalkan isteri dan ketiga anaknya selama 12 tahun di pulau B. Perasaan rindu dan tersingkir dari masyarakat selalu menghantui pikirannya, terlebih isterinya telah menikah lagi dengan orang lain. Ahmad Tohari dengan lugas menggambarkan perjuangan
hidup Karman,
sehingga pembaca seakan terhanyut di dalamnya. Kedua, dewasa ini banyak dibicarakan mengenai upaya rekonsiliasi. Novel Kubah karya Ahmad Tohari sesungguhnya mendramatisasikan gagasan pengarang mengenai proses rekonsiliasi tersebut. Proses ini sangat menarik untuk dikaji dan
3
diulas. Novel ini, mencoba menggambarkan proses rekonsiliasi yang dialami tokoh Karman, dengan berbagi konflik batin yang harus dialaminya. Kubah merupakan simbolisasi bagaimana Karman telah kembali kepada agama, sahabat, maupun keluarganya. Ketiga, novel Kubah karya Ahmad Tohari merupakan karya sastra yang sekaligus menceritakan sejarah. Dengan membaca novel ini, ingatan pembaca akan sejarah tergugah kembali. Novel ini menyinggung sejarah yang terjadi pada tahun 1965, saat PKI melebarkan sayapnya untuk mencari anggota baru. Dalam novelnya Ahmad Tohari menggambarkan tokoh Karman yang termakan oleh rayuan anggota PKI, sehingga Karman masuk ke dalam partai tersebut. Kajian terhadap aspek rekonsiliasi semacam ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya rekonsiliasi yang sedang dilaksanakan di Indonesia, paling kurang dari segi rekonsilias kultural.
1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, masalah-masalah yang akan diteliti mencakup dua hal, yaitu: 1.2.1 Bagaimanakah struktur penceritaan novel Kubah karya Ahmad Tohari 1.2.2 Bagaimanakah proses rekonsiliasi yang digambarkan dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari
4
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1.3.1 Mendeskripsikan struktur penceritaan novel Kubah karya Ahmad Tohari 1.3.2 Mendeskripsikan proses rekonsiliasi yang digambarkan dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari
1. 4 Manfaat Penelitian Ada dua manfaat dari penelitian ini yaitu: a). Manfaat teoritis, yaitu menambah pengetahuan pembaca tentang struktur penceritaan dan proses rekonsiliasi, sekaligus membantu memahami struktur penceritaan dan proses rekonsiliasi yang terdapat dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. b).Manfaat praktik, yaitu membantu memberikan gambaran upaya rekonsiliasi menyangkut isu-isu kebenaran G30 S/PKI.
1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori 1.5.1 Tinjauan Pustaka Ahmad Tohari merupakan salah seorang sastrawan yang cukup terkenal. Ia seorang penulis yang produktif, banyak karya-karya sastra yang ia buat baik yang berupa novel, misalnya: Kubah, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ( Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala ), Di kaki Bukit
5
Cibadak, maupun cerpen yang terangkum dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin, yang berjumlah 13 cerpen. Utomo (1989:4) dalam artikelnya di Suara Karya tanggal 14 Agustus 1989 mengatakan bahwa ciri khas Ahmad Tohari dalam menciptakan teks satra cenderung berobsesi pada orang yang tersingkir dari kelayakan kehidupan masyarakat, berlatar pedesaan, kental deskripsi alam dengan bahasa yang jernih dan lugas. Lebih lanjut dia nyatakan bahwa dalam kejernihan dan kelugasan bahasa Ahmad Tohari sering kali terkandung ironi yang meledak, menggelitik dan menyadarkan kita pada kegetiran hidup. Sedang Aswadi (1989:6) dalam artikelnya pada majalah Editor tanggal 18 November 1989 menyatakan bahwa semua karangan Ahmad Tohari bercerita tentang soal suka duka masyarakat wong cilik. Bercerita tentang beragam problem yang dihadapi masyarakat golongan bawah yang tentunya tidak bisa lepas dari problem yang bersumber dari ketidakberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari dan keterbatasan wawasan mereka, sehingga pola pikir mereka cenderung sederhana yang benar-benar menggambarkan pola pikir orang pedesaan. Menurut Yudiono (2003:54) novel Kubah mengisahkan penderitaan lahir batin tokoh Karman karena kesadarannya sendiri karena berpihak kepada PKI. Bedanya lagi, akhir cerita Jantera Bianglala belum memberikan harapan yang menggembirakan bagi Srintil, yang harus dibawa ke rumah sakit jiwa, sedangkan akhir cerita Kubah mengisyaratkan harapan yang menyenangkan bagi Karman. Dalam cerita Kubah tampak perubahan sikap dan pemikiran tokoh Karman dari
6
seorang pemuda yang taat beragama menjadi lelaki yang atheis atau komunis. Setelah pecah tragedi 1965 Karman diasingkan ke pulau B selama 12 tahun, dengan seiring waktu akhirnya Karman menyadari akan kesalahannya. Sekeluarnya dari pulau B akhirnya Karman dapat diterima di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun agama. Karya tulis yang terkait dengan penelitian ini adalah tulisan Yudiono. Yudiono dalam tulisannya menyatakan bahwa dalam novel Kubah dikisahkan penderitaan lahir batin yang dialami oleh tokoh Karman, yang telah berpihak kepada PKI. Tokoh Karman mengalami akhir yang menyenangkan, karena ia telah diterima kembali dalam masyarakat sekembalinya dari pengasingan. Penelelitian ini mempunyai keterkaitan, karena sama-sama mengangkat tokoh Karman untuk dianalisis, akan tetapi penelitian Yudiono hanya sampai pada konflik batin tokoh Karman. Skripsi ini mengkaji lebih dalam lagi, tidak hanya terbatas pada konflik batin tokoh Karman, dalam penelitian ini dikaji lebih dalam mengenai proses rekonsiliasi yang terjadi dalam novel Kubah.
1.5.2 Landasan Teori 1.5.2.1 Struktur Karya Sastra Dalam penelitian novel Kubah , unsur intrinsik yang akan dibahas adalah alur, tokoh dan penokohan, latar, dan tema. Peneliti tertarik menganalisis alur, tokoh dan penokohan, latar, dan tema karena keempat unsur tersebut menunjukkan proses rekonsiliasi yang dialami tokoh utama yaitu Karman, yang
7
kesemuanya itu membangun novel Kubah menjadi karya sastra yang menggambarkan kehidupan dengan begitu nyata..
1.5.2.2 Alur Dalam sebuah cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu. Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yaitu alur. Kiasan ini berasal dari Marjorie Boulton (via Sudjiman, 1988:29). Ia mengibaratkan alur sebagai rangka dalam tubuh manusia. Tanpa rangka, tubuh tidak dapat berdiri. Sudjiman (1988:30) menggambarkan struktural umum alur sebagai berikut:
1.paparan (exposition) 1. Awal
2.rangsangan (meiting moment) 3.gawatan (rising actiaon)
4. tikaian (conflict) 2. Tengah
5. rumitan (complication) 6. klimaks
3 .Akhir
7. leraian (falling action) 8. selesaian (denoument)
8
1.5.2.3 Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah orang, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap tokoh, kualitas pribadi tokoh. Penokohan dan karakterisasi menunjuk pada pelukisan/penggambaran yang jelas tentang tokoh dan wataknya dalam cerita (Taum, 2002 : 4). Sudjiman (1988:16) mengemukakan bahwa tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Menurut Nurgiyantoro (1995:165) istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Berdasarkan fungsinya, tokoh dalam cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan dalam menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh bawahan masih dapat dibagi menjadi 2, yakni (a) tokoh andalan dan (b) tokoh tambahan atau lataran. Tokoh andalan adalah tokoh tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya berfungsi untuk memperjelas tokoh utama. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita dan kehadirannya hanya berfungsi untuk menambah suasana, mempertegas setting atau latar cerita. (http//agepe leasson bloogspot.com/2008/memahami cerita rekaan) Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus
9
menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995:166). Jones (Via Nurgiyantoro, 1995:165) mengemukakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dapat juga diartikan penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman, 1988:23).
1.5.2.4 Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan (Abrams via Nurgiyantoro, 1995:216). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh terjadi. Dengan demikian, pembaca merasa mudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasi dan berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuan tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu
mengangkat
suasana
setempat,
warna
lokal,
perwatakannya ke dalam cerita (Nurgiyantoro, 1995:217.
lengkap
dengan
10
1.5.2.5 Latar Tempat Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Solo , Yogyakarta. Tempat dengan inisial tertentu, biasanya berupa huruf awal (kapital) nama suatu tempat, juga menunjuk pada tempat tertentu, tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota, dan kota kecamatan (Nurgiyantoro, 1995:227). Latar tempat berfungsi untuk menjelaskan tempat terjadinya cerita dalam novel Kubah,
dengan demikian memudahkan penelitian.
Latar tempat
memberikan gambaran mengenai keadaan suatu tempat, wilayah dan keadaan masyarakat. Setelah mengetahui dengan jelas latar tempat, maka akan membantu dalam menganalisis proses rekonsiliasi yang terjadi dalam novel Kubah.
1.5.2.6 Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 1995:230). Menurut Genette (Via Nurgiyantoro, 1995:231) masalah waktu dalam karya naratif dapat bermakna ganda: di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita,
11
dan di pihak lain menunujuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan di kisahkan dalam cerita. Latar waktu berfungsi untuk memperjelas kapan terjadinya cerita dalam novel Kubah, sehingga peneliti dapat dengan mudah menganalisis. Dalam menentukan proses rekonsiliasi latar waktu memang sangat dibutuhkan, mengingat rekonsiliasi berhubungan dengan peristiwa yang lampau. Latar waktu dapat membantu memberikan gambaran waktu terjadinya cerita, karena waktu terjadinya peristiwa sangat membantu dalam menentukan proses rekonsiliasi.
1.5.2.7 Latar Sosial Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan bersikap (Nurgiyantoro, 1995:233-234). Latar sosial berfungsi untuk memberikan gambaran sosial yang terjadi dalam novel Kubah. Hal ini sangat dibutuhkan dalam penelitian, dan dengan adanya latar sosial peneliti dapat lebih mudah dalam menemukan proses rekonsiliasi yang terjadi dalam novel Kubah. 1.5.2.8 Tema Brooks (via Aminuddin, 1995:92) mengemukakan bahwa dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang
12
yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Dengan demikian , untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagianbagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, ia bukanlah makna yang “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita. Dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” dibalik cerita yang mendukungnya (Nurgiyantoro, 1995:68). Sudjiman (1988:51) mengemukakan bahwa tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang didukung oleh pelukisan latar, dalam karya sastra yang lain tersirat dalam lakuan tokoh atau dalam penokohan. Tema, bahkan dapat menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur. Ada kalanya gagasan itu dominan sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan pelbagai unsur yang bersama-sama membangun karya sastra dan menjadi motif tindakan tokoh. Sumardjo (1984:57) mengemukakan bahwa tema adalah pokok pembicaraan dalam sebuah cerita. Cerita bukan hanya sekedar berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi susunan bagan itu sendiri harus mempunyai maksud tertentu.
1.6 Sosiologi Sastra Pendekatan sosiologi dalam penelitian sastra bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1989:46).
13
Pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa ahli disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra (Damono, 1979:2). Ritzer (dalam Faruk, 1994:2) menganggap sosiologi sebagai sesuatu ilmu pengetahuan yang multiparadigma. Maksudnya di dalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut hemegoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Ada tiga paradigma yang Ritzer temukan ialah paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Pendekatan sosiologi sastra yang banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sosial, landasannya adalah gagasan bahwa karya sastra merupakan cermin jamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain. Dalam hal ini tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi-situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya (Saraswati, 2003:4). Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi
14
masalah yang sama. Dengan demikian novel, genre utama sastra dalam jaman industri ini dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial ini. Hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara dan sebagainya. Dalam pengartian dokumenter murni, jelas tampak bahwa novel berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi dan politik, yang juga menjadi urusan sosiologi (Damono, 1978:7). Menurut Damono, ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra, sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, hanya merupakan ephinomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra(Damono, 1979:23) Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sosiologi sastra menurut pengertian kedua.
1.6.1 Rekonsiliasi Istilah
rekonsiliasi
lebih
luas
digunakan
dewasa
ini
daripada
pengampunan. Rekonsiliasi bertautan dengan berbagai proses untuk meluruskan situasi yang tidak adil atau situasi yang kacau ( Fahrenholz, 2005 : 4 ). Kekacauan
15
yang terjadi di Indonesia yang terjadi 41 tahun silam yaitu saat tragedi G30S / PKI, menimbulkan asumsi yang kacau pula. Kebenaran akan hal tersebut sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar bagi bangsa Indonesia. Lebih lanjut Fahrenholz mengatakan, rekonsiliasi mencakup perdamaian, keselarasan, dan relasi yang baik dengan sesama, namun ia cenderung diucapkan begitu saja perihal proses berlangkah ke suatu tempat tertentu tanpa menunjukan suatu langkah. Langkah-langkah yang semuanya itu dapat diwujudkan. Proses rekonsiliasi berhubungan dengan kejadia yang telah terjadi pada masa lampau sehingga sulit untuk mengusut, berbeda dengan pelanggaran hukum yang terjadi dalam satu masa. Langkah-langkah yang diambil pun harus berdasarkan fakta yang telah terkubur beberapa tahun bahkan beberapa puluh tahun. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan komisi yang dapat mewujudkan keadilan bagi pelanggaran pada masa lampau. Sebenarnya, makna rekonsiliasi yang lebih umum acap bersifat historis, yang memasuki lorong waktu ke belakang. Dalam hal ini tidak bersifat temporer, tetapi lebih permanen karena sumber konfliknya berasal dari perbedaan nilai. Jika perbedaan historis itu dipakai sebagai sarana untuk menganalisis, harus merunut akar persoalannya dalam kurun waktu lama. Mungkin bangsa Indonesia akan mengaduk-aduk kesadaran sejak peristiwa 1965 (Susanto, 2002). Kini rekonsiliasi lebih bermakna psikologi sosial, politik. Demi menjamin agar masyarakat terhindar dari kekerasan politik berkelanjutan, bahkan untuk tujuan akhir itu berarti individu, kelompok, dan negara harus menanggung ketidakadilan yang memilukan. Rekonsiliasi dengan demikian adalah kasediaan
16
memaafkan atau melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan politik yang lebih baik di masa depan. Singkatnya, rekonsiliasi lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada penuntutan pidana (http//www.Tempointeraktif.com). Penelitian ini memakai teori Fahrenholz yang menyatakan rekonsiliasi sebagai pengampunan,proses meluruskan situasi yang tidak adil dan situasi yang kacau, akan tetapi beberapa tulisan tersebut di atas juga mendukung dalam menemukan proses rekonsilasi. 1.6.2 Metodologi Penelitian Metode penelitian dalam penelitian ini meliputi pendekatan, metode, dan teknik penelitian. Di bawah ini akan dikemukakan pendekatan metode dan teknik penelitian. 1.6.2.1 Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural dan sosiologis. Pendekatan struktural yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menganalisis struktur novel, yang meliputi analisis tokoh, alur, latar, dan tema. Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra adalah cerminan kehidupan masyarakat. Pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini disebut sosiologi sastra (Damono, 1979:2). Dalam penelitian ini,
sosiologi
sastra yang
dipergunakan adalah sosiologi
sastra
yang
mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Teks sastra dianalisis strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam gejala sosial yang ada di luar sastra (Damono,1979:3)
17
1.6.2.2 Metode Ada dua metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: a) Metode deskriptif, metode deskriptif adalah prosedur pematahan/ pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan faktor-faktor yang tampak sebagaimana adanya. Untuk memberikan bobot yang lebih tinggi pada metode ini, maka data atau fakta yang ditemukan harus diberi arti. Fakta atau data yang terkumpul harus diolah atau ditafsirkan. Melalui metode ini, peneliti menggambarkan fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, kemudian mengolah dan menafsirkan. Langkah-langkah yang ditempuh peneliti adalah sebagai berikut : Pertama, menganalisis novel kubah secara struktural, yang meliputi analisis alur, tokoh dan penokohan, latar dan tema. Kedua, menggunakan analisis pertama untuk memahami lebih dalam lagi mengenai rekonsiliasi, yang dialami oleh tokoh Karman. Ketiga, mememberikan kesimpulan terhadap hasil pemaparan permasalahan yang diteliti. b) Metode content analisys / analisis isi, yaitu suatu bentuk penelitian untuk membuat referensi-referensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. (Krippendorff :15). Metode ini dipakai untuk membuat referensi- referensi tentang proses rekonsiliasi, khususnya berhubungan dengan rekonsiliasi dalam penelitian ini.
18
1.6.2.3 Teknik Analisis Data Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat dan teknik kartu. Teknik catat digunakan untuk mengumpulkan data yang terdapat dalam novel Kubah dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Teknik kartu dipergunakan untuk mengklasifikasi data.
1.7 Sumber Data Judul Buku
: KUBAH
Pengarang
:Ahmad Tohari
Penerbit
: Pustaka Jaya
Tahun Terbit
:1980 ( Cetakan Pertama )
Tebal Buku
:183
1.8 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam 4 bab. Keempat bab tersebut antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Pembagian tiap bab tersebut adalah sebagai berikut :Bab I merupakan bab yang berisi pendahuluan mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, landasan teori, metode penelitian, sumber data, sistematika penyajian, jadwal penelitian, anggaran penelitian, daftar pustaka.Bab II merupakan bab yang berisi analisis struktural penceritaan dalam novel Kubah yaitu, tokoh, alur, tema, setting.Bab III merupakan bab yang berisi analisis sosiologi sastra, yaitu menganalisis novel
19
Kubah dengan mendeskripsikan proses rekonsiliasi yang tergambar dalam novel tersebut.Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
20
BAB II STRUKTUR PENCERITAAN DALAM NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI
Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, untuk dapat memahami struktur karya sastra yang kompleks, kita harus menganalisisnya. Dalam menganalisis sebuah karya sastra tersebut harus diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur pembentuk karya sastra yang akan dipakai untuk menganalisis novel Kubah dalam penelitian ini meliputi alur, tokoh, latar, tema. Dengan menganalisis keempat unsur tersebut diharapkan makna keseluruhan novel Kubah dapat dipahami. Berikut ini akan dipaparkan hasil analisis keempat unsur pembentuk karya sastra tersebut dalam novel Kubah sebagai objek kajian penelitian ini.
2.1 Alur 2.1.1 Bagian Awal 2.1.1.2 Paparan Alur cerita dalam novel Kubah diawali dengan perkenalan tokoh Karman, yang baru saja keluar dari pengasingan. Karman merasa asing dan hina setelah menjalani tahanan di pulau B, hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut: Anehnya ia merasa asing. Jelas dapat dirasakannya ada pemisah antara dirinya dengan alam sekeliling. Ia tidak terpadu dengan semua yang dia lihat.” Tentu saja, akukan hanya seorang bekas Tapol, Tahanan Politik!” begitu ia berkali-kali meyakinkan dirinya. (hlm. 8)
21
Karman beristerikan seorang perempuan bernama Marni, dari pernikahannya Karman telah memiliki tiga orang anak. Sebenarnya Marni tidak ingin mengkhianati suaminya, dengan menerima pinangan Parta. Sanak saudaranya menghendakinya berumah tangga kembali, namun tidak dihiraukannya. Setelah didesak
terus-menerus
oleh
sanak
saudaranya,
akhirnya
ia
mengubah
pendiriannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Tahun 1971 Marni merubah pendiriannya. Ia mengikuti kehendak sanak familinya. Sehelai surat ditulis untuk suaminya. Dengan surat itu ia meminta keikhlasan dan pengertian, karena ia telah memutuskan hendak kawin lagi (hlm13)
2.1.1.3 Rangsangan
Peristiwa selanjutnya, kepulangan Karman ke rumah Gono adik iparnya. Karman memutuskan pulang ke sana setelah sempat bingung ke mana dia harus pulang. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah Gono adik iparnya. Di sana ia bertemu dengan anak bungsunya, Rudio. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Terpaksa Karman memasuki halaman dan mendekati jendela. “Oh, pasti dia Rudio, anakku sendiri!” Jantung Karman seperti dipacu. Ingin ia memanggil anaknya yang dulu baru berusia 7 tahun ketika ditinggalkan. Dengan gentar Karman melangkah ke pintu dan mengetuk. Terdengar langkah mendekat. Daun pintu terbuka. Rudio menatap laki-laki berewokan yang berdiri di depan. (hlm 27) Bagian kedua, pengarang mengkisahkan orang-orang Pegaten yang terlibat dalam peristiwa tahun 1965 kini telah kembali ke masyarakat. Setiap ada kegiatan kerja bakti pastilah mereka yang selalu berada di barisan paling depan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
22
Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang, juga orang Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga masyarakat yang taat. Kecuali mereka yang telah meninggal. Tampaknya mereka ingin sebagai orang yang sungguh-sungguh bertobat. Bila ada perintah kerja bakti, mereka yang pertama kali muncul. Sikap mereka yang demikian itu cepat mendatangkan rasa persahabatan di antara sesama warga desa Pegaten. (hlm 31)
Peristiwa selanjutnya percakapan Tini dengan ibunya, Marni. Setelah mendapat berita tentang kebebasan Karman, timbul konflik batin di hati Marni. Tini juga menyadari perasaan ibunya yang telah mengkhianati kesetiaan Karman dengan menikahi laki-laki lain. Hal ini terlihat pada kutipan berikut : Tini menunggu jawaban ibunya. Tapi Marni bahkan tertunduk. Rasa getir menyapu hati perempuan itu. Tangan Tini digenggamnya erat-erat. Kelenjar air mata Marni bekerja, meskipun ia berusaha menahannya. Kini Marni tidak menyembunyikan tangisnya. “Tini kau sudah besar. Kita sama-sama mempunyai hati perempuan. Tentu kau dapat menduga apa yang sedang kurasakan sekarang. Aku takut kepada ayahmu. Dimata ayahmu aku pasti seorang perempuan tidak bermartabat. Aku…” (hlm 38) 2.1.1.4 Paparan Peristiwa selanjutnya merupakan peristiwa sorot balik, usia perkawinan Marni dengan Karman baru empat bulan. Karman berusaha untuk menjadi seorang suami yang baik. Ia ingin selalu membahagiakan isterinya, apalagi saat isterinya hamil muda. Karman selalu menuruti kemauan Marni, hingga pada suatu malam karena Marni ingin makan buah kedondong. Ia harus menebang pohon kedondong tersebut karena tidak bisa memanjatnya. (hlm 44-47). Bagian ketiga, dikisahkan tempat kelahiran dan asal-usul Karman. Ia merupakan anak seorang mantri pasar, Ayahnya sangat bangga dengan jabatannya
23
itu. Pada zaman Jepang orang-orang Pegaten makan ubi rebus sebagai ganti nasi, priyayi tersebut berkeyakinan bahwa ia tidak pantas untuk makan ubi rebus dan lebih pantas makan nasi kelas satu. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Pada zaman Jepang orang-orang Pegaten terpaksa makan ubi rebus sebagai pengganti nasi. Tidak terkecuali keluarga Pak Mantri. Priyayi itu amat tersiksa, bukan karena ia harus makan ubi rebus. Menurut keyakinannya, seorang priyayi harus selalu makan nasi jenis kelas satu. Ubi rebus tak pantas buat Pak Mantri, baik pada jaman jepang atau jaman Belanda (hlm 48-49). Peristiwa selanjutnya kisah persahabatan Karman dengan Rifah anak Haji Bakir, ia bahkan sering mendapat sarapan nasi dari Rifah. Setelah Karman berteman dengan Rifah
cukup lama,
Haji Bakir berbaik hati untuk
memperkerjakan Karman di rumahnya. Haji Bakir merupakan orang yang baik, Karman dianggap seperti anaknya sendiri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan untuk menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan oleh seorang anak seusianya; mengantarkan makanan bagi orang yang bekerja di sawah, menyapu rumah dan halaman, memelihara ikan di kolam dan melayani si manja Rifah (hlm 55). 2.1.1.5 Gawatan Bagian keempat, merupakan gawatan dimulai dengan peristiwa sorot balik sesudah Pengakuan Keadaulatan pada
tahun 1949, banyak anggota laskar
Hisbulah yang meletakkan senjata. Mereka kembali, salah satunya adalah paman Karman adik dari Bu Mantri. Pamannya menghendaki Karman untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah. Pada awal ajaran 1950 Karman sudah menjadi murid SMP di sebuah kota Kabupaten yang terdekat.
24
Peristiwa selanjutnya adalah sorot balik, peristiwa di Madiun pada bulan September 1948 yang merupakan usaha makar. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Di Madiun pada bulan September 1948 terjadi makar. Usaha itu gagal. Para pelaku yang tertangkap di hukum. Tampaknya, urusan dengan Muso sudah selesai (hlm 70). Ada beberapa dari mereka yang meloloskan diri, salah satu di antaranya adalah bekas Tentara Pelajar yang menjadi guru sekolah di Pegaten, Margo namanya. Margo masih aktif menyebarkan pengaruhnya, dicarinya para pemuda yang cerdas dan berpotensi untuk menjadi pemikir. Anggota Margo telah mencium keberadaan Karman yang baru saja lulus SMP, Karman kebingungan mencari kerja. Margo merupakan orang yang cerdik, dilaporkannya penemuannya kepada atasannya, strategi telah dipersiapkan untuk menarik Karman menjadi anggota. Karman dicarikan kerja di Kecamatan Kokosan, bekerja di Kecamatan benar-benar di luar dugaannya. Dengan demikian Karman merasa berhutang budi, sehingga mudah bagi Margo untuk mempengaruhinya. Secara tidak sadar Karman telah dijauhkan dari keluarga Haji Bakir, yang memberikan ajaran keagamaan kepadanya (hlm 7083). 2.1.2 Bagian Tengah 2.1.2.1 Tikaian Bagian kelima, merupakan tikaian dimulai dengan cerita sorot balik lamaran Karman yang tidak diterima oleh Haji Bakir karena terlambat. Alasan itu tidak diterima begitu saja oleh Karman karena laki-laki yang beruntung meminang
25
Rifah adalah Abdul Rahman, anak pedagang kaya keturunan Pakistan. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut: Terlambat, itu memang nyata. Tetapi Karman curiga apakah itu satu-satunya alasan. Kecurigaan itu terus berkembang karena Karman sendiri yang mengembangkannya. “Seandainya aku yang melamar Rifah lebih dahulu dan diterima, baru kemudian datang Abdul Rahman. Kurasa lamaranku akan dibatalkan oleh Haji Bakir.” (hlm 87) 2.1.2.2 Rumitan Rasa dendam Karman terhadap Haji Bakir kian hari semakin bertambah, Karman mulai meninggalkan masjid Haji Bakir dan memilih untuk sembahyang di tempat lain. Dimulai dari menghindari masjid Haji Bakir lama-lama Karman mulai meninggalkan sembahyangnya. Melihat keadaan yang seperti itu Hasyim, paman Karman mencoba menasihatinya untuk kembali bersembahyang dan menjalin silaturahmi dengan keluarga Haji Bakir. Akan tetapi Karman tidak mempan dengan nasihat yang diberikan oleh pamannya, sehingga terjadi perdebatan yang sangat sengit. Hasyim tidak mampu lagi mengubah pendirian Karman yang memang sudah sangat berbeda dengan Karman yang dulu ia kenal. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Hasyim menutup muka dengan kedua tangannya. Tiga kali beristigfar, belum cukup menenangkan kemarahannya. “Luar biasa,” pikirnya. “ Hati kemenakanku telah penuh dengan ingkar, hati nurani serta akal budinya tertutup. Inilah cikal-bakal kesetanan Karman.” (hlm 96) Pada bagian keenam, diceritakan Margo yang melaporkan ke atasannya untuk menyumpah Karman menjadi anggota partai. Usulan itu belum diterima oleh atasannya dengan alasan bahwa Karman masih seorang yang perasa, ditambah lagi perasaan Karman terhadap Rifah tumbuh kembali. Rifah telah
26
menjadi seorang janda, suaminya mengalami kecelakaan yang kemudian merenggut nyawanya. Hal itu sangat tidak di sukai oleh partai Margo karena itu bisa menjadikan Karman kembali ke kehidupannya semula, seorang yang taat beragama. Atas perintah atasannya Margo mencarikan wanita lain yang memang lebih cantik dari Rifah. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Dua orang berada di dalam ruangan itu. Margo sedang memberikan laporan rutin kepada atasannya. Sekali ini laporan yang menyangkut Karman menjadi titik pusat pembicaraan…….( hlm 98) “Ya, saya sudah merasa yakin. Sudah saatnya Karman disumpah menjadi anggota partai,” kata Margo. “Tidak terlalu tergesa-gesa?” “Oh, itu hanya usulan saya. Akhirnya Anda yang akan memutuskan.” “Nanti dulu. Bung lupa melaporkan kelemahan- kelemahan yang ada dalam diri Karman. Nah, Bung bias menyebutnya sekarang.”( hlm 99 ) “Sekali lagi Anda kurang teliti, dan teledor. Triman mengatakan kepadaku bahwa terlihat gejala cinta Karman kepada Rifah kambuh kembali. Bagaimana pendapat Anda?( hlm 100) “Oh ya saya lupa Anda bujangan. Barangkali Triman lebih cocok untuk menangani masalah ini. Tetapi dengarlah, seorang yang menginginkan satai kambing keinginannya agak berkurang bila kepadanya kita sodorkan satai daging sapi. Mengerti?” (hlm 101 ).
Peristiwa selanjutnya, Karman diajak berlibur ke Semarang oleh Margo yang tentu saja hal itu hanya merupakan taktik partai saja. Karman dikenalkan dengan orang-orang penting dalam partai dalam sebuah rapat partai. Pada bagian ketujuh, diceritakan sorot balik saat peringatan seratus hari kematian suaminya perut Rifah sudah semakin membesar. Tinggal sebentar lagi Rifah akan melahirkan. Di saat kesepian karena di tingal suaminya Rifah teringat
27
kenangan masa kecilnya bersama Karman yang selalu setia menemaninya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Peringatan seratus hari meninggalnya Abdul Rahman sudah lewat. Kandungan Rifah makin besar, makin besar. Ia berharap bulan depan akan melahirkan anaknya yang pertama. “Andaikata anakku lahir laki-laki, tentu ia gagah seperti ayahnya. Hidungnya manis, matanya galak,”demikian harapan calon ibu yang masih sangat muda itu (hlm 115). Peristiwa selanjutnya ada unsur sorot balik , kesengsaraan rakyat Pegaten yang disebabkan pergolakan-pergolakan yang dimulai oleh masuknya tentara Jepang. Di Pegaten sering terjadi perampokan dan juga penjarahan hutan. Hal ini merupakan taktik politik yang dimainkan oleh Margo. Sementara masyarakat Pegaten sengsara, lain halnya dengan Karman hidupnya semakin mantap, apalagi Karman telah menikah dengan Marni. Tahun pertama pernikahannya dengan Marni Rudio lahir. Karman adalah seorang suami yang baik dan bertanggung jawab, akan tetapi kebahagiaan Marni terasa kurang. Marni sangat taat beribadah, sedangkan Karman secara terang-terangan mengaku menjadi seorang ateis. Hal ini terliaht dalam kutipan berikut: Yang tidak bersesuaian di antara mereka hanya satu hal. Sementara Marni merasa tidak bisa meninggalkan ibadahnya. Karman bahkan terang-terangan mengaku menjadi seorang ateis. Kalau Marni merasa kebahagiaannya kurang utuh, itulah dia. Sering ia memohon kepada Tuhan agar keberuntungannya disempurnakan. Tidak heran kalau Marni sering bermimpi bersembahyang berjamaah dengan suaminya (hlm 126). Pada bagian delapan, dimulai dengan sorot balik yang terjadi tahun enam puluhan, keadaan ekonomi memprihatinkan, biaya kehidupan sangat tinggi. Minyak tanah dijatah dan bila ingin mendapatkan gula pasir harus antri. Keadaan alam sendiri menambah penderitaan penduduk. Kemarau sering amat panjang.
28
Hama tikus dan walang sangit menggagalkan panen. Penjarahan hutan semakin tidak terkendali karena memang rasa lapar tidak tertahan lagi. Busung lapar berjangkit di Pegaten karena penduduk makan makanan seadanya.
2.1.2.3 Klimaks Peristiwa selanjutnya, merupakan rumitan menceritakan Karman yang mulai gelisah setelah mendengar kabar orang-orang yang terlibat peristiwa 30 September tertangkap satu persatu. Demi menyelamatkan diri, ia lari meninggalkan keluarga yang dicintainya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Kegelisahan Karman tidak mungkin tertahan lebih lama. Sudah beberapa malam ia tidak bisa tidur. Kalau malam tiba, ia bersembunyi di rumah ibunya atau berkerumun dengan orang lain di masjid Haji Bakir. Pada saat ia merasa sesuatu yang mengerikan bakal tiba, ia menemui isterinya. Pukul delapan malam saat itu. Suaranya serak berbata-bata ketika mengatakan, “Marni, aku mau pergi ke rumah Triman. Bila sesuatu terjadi pada diriku, Marni, jagalah dirimu sendiri bersama anak-anak. Kupercayakan Rudio, Tini dan Tono padamu.” (hlm 136)
Bagian sembilan, dimulai dengan sorot balik diceritakan kisah pelarian Karman. Dalam pelariannya ia bertemu dengan Kastagetek yang hidup di pinggir sungai Sikura. Karman banyak belajar dari Kastagetek tentang kehidupan ini, bagaimana cara mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan dan berserah diri kepada-Nya. Mulai saat itu hati Karman mulai tergugah dia teringat akan segala kesalahannya. Kalau bilik yang di tutupi atap ilalang dan tertopang diatas empat buah tiang bambu itu di sebut rumah, maka Kastagetek pernah memilikinya. Letaknya terpencil di tepi sungai Sikura, didesa Pangkalan. …….( hlm 144 ) Tetapi saat itu Karman tidak berani berkata demikian. Kegoncangan yang menimpa dirinya, telah membuat Karman bergeser dari sikap hidup semula.
29
Sedikit atau banyak. Paling tidak Karman mula berpikir, mengapa orang tidak bersembahyang dan mengapa orang bersembahyang. (hlm 148) Setelah selama hampir dua bulan pelariannya Karman tertangkap disuatu tempat yang dianggap keramat, makam Astana Lopajang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: Tamat sudah kisah pelariannya, karena seorang gembala kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di sioang itu beberapa orang pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang tidak tega menghabisi nyawanya. (hlm 106) 2.1.3 Akhir 2.1.3.1 Leraian Bagian kesepuluh, menceritakan kepulangan Karman ke desa Pegaten yang membuat hati Marni semakin tersiksa, rasa bersalah selalu menghantuinya. Semua warga dapat menerima Karman kembali, banyak dari mereka berbondongbondong ke rumah Karman untuk melihat keadaannya sepualng dari pengasingan. Begitu pun Marni keinginannya untuk melihat Karman sangat kuat, tetapi rasa bersalah yang terus menghantuinya mengurungkan niat Marni. Tini terus mendesak ibunya untuk melihat Karman, semula Marni menolak tapi akhirnya Marni mengalah. Berikut kutipannya:
Marni tegak terpaku. Pandangannya kosong. Ia tetap diam meskipun Tini menggoyang-goyangkan tangannya. Kemudian ia melihat ada genangan di mata ibunya. “Tini, aku pasti akan menengok ayahmu. Besok atau lusa, sekarang aku belum bisa,” kata Marni kemudian. “Wah, besok atau lusa, Bu? Tidak pantas. Semua orang sudah kelihatan datang ke rumah Nenek. Bahkan Haji Bakir suami isteri sudah disana. Ibu sebaiknya kesana sekarang.” Akhirnya Marni bergerak masuk ke kamarnya. Kemudian Marni meminta ijin hendak menengok bekas suaminya. (hlm 166-167)
30
2.1.3.2 Selesaian Bagian terakhir menceritakan keikutsertaan Karman dalam merenovasi masjid Haji Bakir yang kondisinya sudah memprihatinkan. Karman mengajukan diri untuk membuat kaubah masjid tersebut. Hal itu merupakan upaya Karman untuk memulihkan kepercayaan orang-orang Pegaten. Kubah menjadi simbol bagi Karman, bahwa dia telah menjadi Karman yang dulu lagi, Karman yang taat pada ajaran agama. Dari paparan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam novel Kubah tidak sesuai dengan teori alur yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu alur yang urut dari bagian awal sampai akhir. Dalam novel Kubah dapat ditemukan alur yang tidak urut, pada setiap bagiannya terdapat urutan alur yang sama. Bagian awal terdapat, paparan, rangsangan, paparan, gawatan. Bagian tengah terdapat, tikaian, rumitan, klimaks. bagian Dari paparan tersebut di atas, tampak bahwa alur penceritaan novel Kubah karya Ahmad Tohari merupakan alur berbingkai. Hal ini disebabkan novel ini bercerita tentang dua hal sekaligus. Pertama keraguan tokoh Karman yang baru keluar dari penjara untuk kembali ke masyarakat desanya, kedua cerita tentang kisah perjalanan hidupKarman hingga menjadi anggota PKI. Terjadinya keberbingkaian alur pada novel Kubah dikarenakan adanya alur sorot balik oleh Pengarangnya. Analisis alur dalam penelitian ini digunakan untuk memperjelas jalan cerita dalam novel Kubah, sehingga mempermudah dalam penelitian . alur dalam
31
penelitian ini sangat penting, karena rekonsiliasi berhubungan dengan peristiwa masa lampau. Setelah alur dipaparkan secara jelas maka akan memudahkan dalam penelitian.
2.2 Tokoh
Dalam novel Kubah terdapat sejumlah tokoh yang mendukung terjadinya sebuah peristiwa sehingga terbentuk cerita yang memadai. Tokoh-tokoh ini akan dianalisis dari segi fisik dan sifatnya, maupun kehidupan sosialnya. Di dalam novel Kubah ini, tokoh utama diperankan oleh tokoh Karman, karena tokoh ini berperan dari awal sampai cerita ini berakhir.rtghn
Di samping tokoh Karman, di dalam novel Kubah ini ditemukan beberapa tokoh lain, seperti Marni, Haji Bakir, Rifah, Rudio, Tini, Margo. Tokoh-tokoh ini berperan sebagai tokoh bawahan yang mengiringi tokoh utama. Kehadiran tokohtokoh bawahan ini sangat mendukung peran tokoh utama. Berikut ini akan dipaparkan analisis terhadap tokoh utama yaitu Karman dan untuk mempermudah anlisis tokoh-tokoh bawahan akan disebutkan dengan angka.Tokoh-tokoh bawahan tersebut antara lain Marni, Haji Bakir Rifah, Rudio, Tini, Margo. 2.2.1 Tokoh Utama: Karman Ditinjau dari fisiknya Karman adalah seorang
pria yang mempunyai
postur tubuh gagah, dan seluruh tubuhnya berambut lebat, serta memiliki lubang hidung yang lebar. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut:
32
Dalam waktu yang singkat itu akal budi Rudio bekerja. Ia sudah mendengar Pemerintah membebaskan seribu tahanan dari Pulau B. Dari Ibu, Rudio pernah memperoleh gambaran tentang ayahnya. Perawakannya gagah, kaya akan rambut serta lubang hidung yang lebar. Dan, laki-laki di depannya itu mirip gambar pada pasfoto tua yang dimilikinya. Kemudian atas nama nalurinya, Rudio berkata ragu-ragu, “Ayah…?” (hlm. 28) Ditinjau dari segi sosiologis Karman mempunyai seorang ayah yang bekerja sebagai
mantri pasar yang berpenghasilan cukup untuk menghidupi
keluarganya. Pada masa itu seorang mantri pasar menempati status sosial yang lebih tinggi dari masyarakat biasa atau lebih dikenal dengan sebutan Priyayi.Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut : Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935. Ayahnya seorang mantri pasar. Waktu itu gaji seorang mantri pasar dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Ayah Karman sangat membanggakan jabatannya sebagai priyayi kecil itu. Dia tak senang dipanggil dengan namanya. Itulah sebabnya orang Pegaten hampir lupa siapa nama ayah Karman. (hlm. 48) Pada masa Jepang Karman hidup hanya bersama ibu dan seorang adik perempuan. Ayahnya tidak pernah kembali setelah diculik para pemuda pejuang, Karena ayah Karman tidak ingin menjadi orang republik tetapi memilih bekerja pada recomba saat pecah kemerdekaan terjadi. Semenjak peninggalan ayahnya kehidupan Karman sangat sengsara, untuk makan
sehari- hari saja serba
kekurangan dan hanya mengandalkan oyek dari singkong. Kehidupan Karman semakin membaik atas kebaikan Haji Bakir yang menganggapnya seperti saudara dan senantiasa membantu Karman. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut; Karena cintanya terhadap dunia priyayi, pak Mantri tidak ikut menjadi republic. Ia memilih bekerja pada Recomba, dengan harapan sebutan sebagai pak Mantri menjadi Lestari (hlm. 49)
33
Karman hidup hanya bersama ibu dan seorang adik perempuan.sebenarnya ia mempunya dua orang kakak, tetapi keduanya telah meninggal dunia……..(hlm 50)
Pada tahun 1950 Karman menjadi murid SMP di sebuah kabupaten, atas biaya dari pamannya yang bernama Hasyim. Ia menjadi anak Pegaten yang pertama kali menempuh pendidikan di sekolah menengah. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Pada permulaan ajaran baru 1950, Karman sudah menjadi murid SMP di sebuah kabupaten yang terdekat. Ia menjadi anak Pegaten yang pertama kali menempuh pendidikan di sekolah menengah. Sebulan sekali ia pulang. Bersepatu, berkaos kaki dan pakaiannya bersih. Rambutnya berminyak. Karman menjadi anak kota. Anak- anak Pegaten melihatnya dengan kagum. Apa yang ada pada Karman menjadi bahan peniruan bagi anak-anak sekampung (hlm 68). Setelah tamat sekolah, Karman masuk perangkap Margo yang merupakan anggota PKI. Karman yang bingung mencari kerja setelah lulus, dimanfaatkan oleh Margo untuk menjebaknya. Karman mendapat pekerjaan di kantor kecamatan Kokosan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Kalau benar Pak Triman dan Pak Margo membantunya, Karman merasa dirinya patut diangkat menjadi juru tulis, kemudian akan naik menjadi kepala tata usaha atau mantri polisi praja. “Pada saat itu umurku masih amat muda. Ijazah SMP akan mengantarku ke jabatan asisten wedana. Dan siapa yang mengganggap aneh bila pada suatu saat aku dipanggil bapak Wedana?.(hlm 80-81) Beberapa tahun setelah Karman menjadi pengikut Margo, ia menikah dengan Marni dan dikaruniai tiga anak. Akan tetapi setelah peristiwa 1965 banyak anggota PKI yang tertangkap dan dihukum tidak terkecuali Karman. Marni beserta ketiga anaknya harus kehilangan Karman yang harus menjalani hukuman
34
di pulau B. Enam bulan kemudian Marni menikah lagi dengan lelaki lain, hal ini membuat Karman sangat terpukul. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Tahun 1971 Marni merubah pendiriannya ia mengikuti kehendak sanak famili. Sehelai surat ditulis untuk suaminya. Dengan surat itu ia meminta keikhlasan dan pengertian, karena ia telah memutuskan hendak kawin lagi. (hlm 13) Dari segi perwatakannya Karman dilukiskan sebagai tokoh yang pendendam. Karman merasa dendam karena lamarannya untuk meminang Rifah ditolak oleh Haji Bakir. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Rasa kecewa, marah dan malu berbaur di hati Karman. Akibatnya ia mendendam dan membenci. Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah. Dan memilih tempat lain bila bersembahyang Jumat. (hlm 88) Karman memiliki sifat perasa, juga mudah terpengaruh dan juga pemarah. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Margo tersenyum teringat keteledorannya. Kemudian ia mengusap dahinya yang lebar. “Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang terpengaruh, dan sewaktu-waktu bisa marah.” (hlm 99) 2.2.2 Tokoh Bawahan 1: Marni Secara fisik tokoh Marni digambarkan seorang perempuan berusia 30 tahun yang mempunyai wajah yang cantik. Lekuk sudut bibirnya banyak mengundang kekaguman setiap laki-laki yang memandangnya. Marni merupakan sosok wanita sejati. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Waktu menerima surat istimewa itu di pulau B, mula-mula Karman sangat gembira. Surat dari isteri adalah belaian mesra bagi suami yang dalam pengasingan. Sebelum membaca surat itu sudah terbayang oleh Karman lekuk sudut bibir isterinya yang bagus; suaranya yang lirih dan sejuk atau segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni seorang perempuan sejati…(hlm13)
35
Dalam kehidupan sosial Marni dibesarkan dalam keluarga kebanyakan, dan tidak dapat melanjutkan SKP karena faktor biaya. Kehidupan Marni serba kekurangan dan berlatar pendidikan yang rendah. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Sementara Marni telah mendapat tempat di hati Karman. Pemuda itu tahu sekarang dunia perempuan tidak hanya Rifah. Kalau Rifah dibesarkan dalam kalangan yang memanjakannya, tidak demikian halnya dengan Marni. Ia anak orang kebanyakan, dan tidak bisa menamatkan SKP karena kekurangan biaya….(hlm125) Dari perwatakannya Marni digambarkan sebagai seorang perempuan yang mudah terpengaruh atau orang yang tidak bisa tegak pada pendiriannya. Hal ini digambarkan pengarang dalam kutipan berikut:
Tahun 1971 Marni merubah pendiriannya. Ia mengikuti kehendak sanak-famili. Sehelai surat ditulis untuk suaminya. Dengan surat itu ia meminta keikhlasan dan pengertian, karena ia telah memutuskan hendak kawin lagi. (hlm 13)
2.2.3 Tokoh Bawahan 2: Haji Bakir Secara fisik tokoh Haji Bakir digambarkan tidak begitu jelas. Haji Bakir digambarkan sebagai sosok laki-laki yang sudah tua. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: “…Dengan seloroh Hasyim bertanya kepada Haji Bakir apa syaratnya agar orang dapat mencapai usia setua dia. “ Soal umur sematamata urusan Tuhan. Usiaku pasti sudah lewat delapan puluh tahun sekarang, karena ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 1901 aku sudah ingat. Cicitku sudah empat orang. Boleh jadi Jabir sebentar lagi akan menambah jumlah cicitnya.” (hlm 177)
36
Dalam kehidupan sosial digambarkan seorang Haji yang kaya, kekayaan lebih dari masyarakat Pegaten. Haji Bakir mampu membangun masjid yang dipergunakan oleh masyarakat Pegaten. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Jabir tak malu, malah senang. Biar Tini ditinggal ayahnya ke pengasingan, tetapi siapa lagi yang patut disebut kumbang desa Pegaten? Jabir adalah cucu Haji Bakir yang kaya. Jabir setengah urakan, dan Jabir merasa berhak mendapatkan gadis yang diinginkannya. (hlm 33) Apa yang diperbuat Karman adalah balas dendam. Ia merasa disakiti, dinista. Dengan meninggalkan masjid Haji bakir ia hendak membalas dendam.(hlm 89) Dari perwatakannya digambarkan Haji Bakir digambarkan seorang yang bersahaja dan pasrah atas kehendak Tuhan. Haji bakir juga seorang yang taat terhadap semua ajaran agamanya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Bila malam tiba Rifah sudah tidak menangis lagi. Ia sudah dapat menerima ketentuan Tuhan dengan hati yang ikhlas. Ayahnya selalu berkata, “Takdir Tuhan adalah yang yang paling baik bagimu, betapapun getir rasanya, takwa kepada-Nya akan membuat segala penderitaan menjadi ringan.” (hlm 115) 2.2.4 Tokoh Bawahan 3: Rifah Tokoh Rifah ditinjau fisiknya digambarkan sebagai seorang perempuan yang berkulit bersih, wajahnya cerah dan segar. Rifah memang menonjol jika dibandingkan dengan para perempuan yang ada di Pegaten, karena dia berasal dari keluarga mampu. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: “… Tak ada yang istimewa pada diri remaja itu. Kalau ia tampak menonjol di antara sesama gadis Pegaten, karena kulitnya bersih. Wajahnya cerah, memberi kesan segar. Apa yang dimakannya setiap hari memenuhi kebutuhan pertumbuhan badannya. Jadi kecantikan Rifah adalah kesegarannya.” (hlm68-69) Ditinjau dari kehidupan sosial Rifah adalah anak bungsu dari seorang tokoh agama desa Pegaten. Ayahnya, Haji Bakir sangat dihormati karena ketakwaan dan kebaikannya. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut:
37
“… demikian bila ia berkesempatan bermain bersama Rifah, anak bungsu Haji Bakir. Umurnya empat tahun lebih muda dari umur Karman.”(hlm 51) Ditinjau dari perwatakannya Rifah dilukiskan sebagai
seorang yang
manja, karena semenjak sejak kecil Rifah selalu dimanjakan. Apapun keinginan Rifah harus selalu terpenuhi. Hal ini dapat diketahui dalam kutipan berikut: “…panjang benang yang ditarik akan terkumpar kembali dengan sendirinya. Sengaja Karman berusaha agar Rifah melihat mainan itu. Tak usah dipancing-pancing gadis itu pasti memintanya. Watak yang demikian timbul karena Rifah dimanjakan.”(hlm52) “Tapi aku ingin mainanmu itu,” sambung Rifah lagi. Khas gaya seorang anak yang biasa memperoleh apa yang disukainya.” (hlm 52) 2.2.5 Tokoh Bawahan 4: Rudio Secara fisik Rudio tidak digambarkan dengan jelas. Rudio digambarkan sebagai seorang perjaka seusia anak sekolah kelas tiga STM. Saat ditinggal ayahnya Rudio baru berusia tujuh tahun. Ditinjau dari kehidupan sosial Rudio digambarkan sebagai anak pertama Karman. Rudio mempunyai dua orang adik, Tini dan Tono, akan tetapi Tono telah meninggal sejak masih berusia lima tahun. Dari perwatakannya tokoh Rudio tidak digambarkan begitu jelas. Pada saat pertemuannya denagn ayahnya yang baru keluar dari pengasingan sempat meneteskan air mata. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Sehabis berkata demikian Rudio bangkit dan berjalan ke kamarnya. Ia tahu, menangis bukanlah kelakuan seorang lelaki. Jadi setidaknya ia harus merasa malu, sebab air matanya terlanjur menetes. (hlm 30) 2.2.6 Tokoh Bawahan 5: Tini Ditinjau dari fisiknya Tini digambarkan sebagai seorang gadis berusia 17 tahun yang cantik, dengan bentuk rahang yang menarik. Selain bentuk rahang
38
yang bagus Tini juga memilki alis yang menawan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Tini sudah 17 tahun, dan kurang menyadari bahwa ibunya mewariskan bentuk rahang yang menarik. Seandainya Tini ingin naik pentas membawakan tarian klasik, tukang rias tidak perlu merubah bentuk alisnya. Alis itu sudah bagus secara alami. Memang ada bekas cacar disamping cuping hidungnya. Hanya sebuah, dan tak ada yang menganggap noda kecil itu mengurangi kecantikannya. (hlm 33) …Ditatapnya wajah gadis itu lama-lama. Hidung itu persis hidung Karman, juga bibir Tini. “Anakku, kukira benar kata orang. Kau cantik. Mudah-mudahan kau lebih beruntung dalam hidupmu….(hlm 44) Ditinjau dari kehidupan sosial Tini digambarkan merupakan anak kedua Karman. Sejak masih kecil ia harus tinggal bersama ayah tiri karena Marni, ibunya kawin lagi setelah ayahnya menjalani hukuman di pulau B. Meskipun ia tinggal bersama ayah tiri ia tetap tumbuh seperti gadis biasa yang selalu riang, dan mulai menyukai lawan jenisnya saat menginjak remaja. Tini sangat rajin beribadah dan mempunyai kemampuan membaca Al-quran yang bagus. Ditinjau dari fisiknya Tini digambarkan sebagai seorang yang rendah hati dan mawas diri. Ia selalu merasa hina karena ayahnya seorang tahanan politik. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Bagaimana kuatnya rasa rendah diri pada Tini dapat dibaca dalam surat pertamanya pada Jabir. “Apakah engkau tidak malu berkenalan dengan seorang gadis terlantar sebagai aku ini? Ayahku seorang tahanan, sekarang tinggal di tempat yang jauh.” (hlm 33) 2.2.7 Tokoh Bawahan 6: Margo Ditinjau dari fisiknya Margo digambarkan sebagai seorang yang mempunyai perawakan sedang dengan rambut agak berombak, dengan alis tumbuh terlalu dekat mata. Hal ini terlihat dalam berikut:
39
….Perawakannya sedang dengan rambutnya agak berombak. Hanya kebetulan, alis matanya tumbuh terlalu dekat di atas matanya; mirip alis Lenin. (hlm 70) Ditinjau dari kehidupan sosial Margo merupakan seorang bekas anggota Tentara Pelajar yang menjadi guru sekolah di Pegaten. Ia juga menjadi kader partai PKI pilihan karena kecerdikannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Seorang bekas Tentara Pelajar menjadi guru sekolah di Pegaten, Margo namanya. Bung Margo, demikian dia dipanggil kawan-kawan separtai, adalah seorang kader pilihan. Sabar dan cerdik, dan sangat gemar membaca. (hlm 70) Dari perwatakannya Margo digambarkan sebagai seorang yang sabar dan cerdik . Dengan segala tipu dayanya Karman dapat terhasut untuk masuk menjadi anggota partainya.
2.3 Latar Latar yang akan dibicarakan pada bagian ini meliputi latar tempat, latar waktu, latar sosial. Ketiga latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut: 2.3.1 Latar Tempat 2.3.1.1 Latar tempat yang berada di Markas Komando Distrik Militer, tempat pertama kali Karman menginjakkan kaki setelah keluar dari pengasingan. Hal ini dilukiskan pengarang dan ditunjukan dalam kutipan berikut: Sampai di dekat pintu keluar ia tertegun. Menoleh kekiri dan kekanan seperti ia sedang ditonton oleh seribu mata. Akhirnya dengan gemetar ia menuruni tangga gedung Markas Komando Distrik Militer itu. (hlm 7) Dari depan gedung Kodim, Karman berjalan ke barat. Rasnya ia menjadi seekor kutu yang merayap dalam barisan sapi. Beberapa kali ia hampir bertubrukan dengan orang yang berjalan berlawanan. Ia selalu berjalan menunduk. Bimbangnya kambuh lagi ketika ia sampai di
40
simpang empat. Ke mana? Oh ke kiri tentu. Dengan demikian ia tidak usah menyeberang. (hlm 8) 2.3.1.2 Latar tempat yang berada di alun-alun Kabupaten. Hal ini ditunjukan pengarang dalam kutipan berikut: Dan laki-laki 42 tahun itu mendapatkan tempat yang dicarinya, di bawah pohon beringin alun-alun Kabupaten. (hlm 10) Selanjutnya Karman duduk di atas tonjolan akar. Disampingnya ada gulungan kertas yang berisi kain sarung. Angin bergerak ke utara menggoyangkan daun-daun tanaman hias di halaman Kabupaten…(hlm 11) 2.3.1.3 Latar tempat yang berada di pulau B. Hal ini ditunjukan pengarang dalam kutipan berikut:
Waktu menerima surat istimewa itu di Pulau B, mula-mula Karman sangat gembira. Surat dari isteri adalah belaian mesra bagi suami yang sedang dalam pengasingan…(hlm 13) 2.3.1.4 Latar yang berada di rumah Gono adik ipar dari Karman. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Rumah yang dituju Karman terletak di tepi kali kecil. Itu petunjuk yang jelas, meski misalnya sudah terjadi banyak perubahan. “Mudahmudahan Gono belum pindah,” pikir Karman. (hlm 27) 2.3.1.5 Latar tempat di desa Pegaten . hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang, juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga masyarakat yang taat. Kecuali mereka yang meninggal…(hlm 31) Desa Pegaten yang kecil itu dibatasi oleh kali Mundu di sebelah barat. Bila datang hujan sungai itu berwarna kuning tanah. Tetapi pada hari-hari biasa air kali Mundu bening dan sejuk…(hlm 31)
41
2.3.1.6 Latar tempat yang berada di ruang perpustakaan. Hal ini di lukiskan dan ditunjukan pengarang dalam kutipan berikut: Kamar itu tidak bisa dikatakan sebagai ruang perpustakaan yang baik. Tidak cukup luas, lemari bukunya terbuat dari kayu murahan. Peliturnya sudah botak di sana-sini. Diatas lemari terpasang potret Yahudi Jerman yang terkenal itu, pada latar belakang berwarna merah…(hlm 98) 2.3.1.7 Latar yang berada dirumah Kastagetek. Rumah yang berada di pinggir kali Sikura desa Pangkalan. Hal ini digambarkan pengarang dalam kutipan berikut: Kalau bilik yang ditutupi atap ilalang dan bertopang diatas empat buah tiang bamboo itu disebut rumah, maka Kastagetek pernah memilikinya. Letaknya terpencil ditepi sungai Sikura, di desa Pangkalan…(hlm 144) 2.3.1.8 Latar tempat yang berada di Astana Lopajang, makam yang dikeramatkan, dan terletak di atas bukit kecil yang di kelilingi hutan puring. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Astana Lopajang! Itu makam yang dikeramatkan, yang terletak diatas bukit kecil yang di kelilingi hutan puring. Cungkupnya tak pernah di buka orang kecuali setahun sekalipada Maulud. (hlm 157) 2.3.1.9 Latar tempat yang berada di rumah orang tua Karman. Hal ini dilukiskan dan ditunjukan pengarang sebagai berikut: Di rumah orang tuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangga sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pegaten tetap pada watak mereka yang asli…(hlm167) 2.3.1.9 Latar tempat yang berada di masjid Haji Bakir. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Masjid Haji Bakir menjadi makin tua, seusia pemiliknya. Temboknya retak-retak di sana-sini. Ubin di serambi banyak yang lepas. Langit-langit yang terbuat dari bilik bambu rapuh oleh air yang menetes dari genteng yang pecah. Serta kubah masjid itu! Bila angin bertiup akan terdengar suara derit seng yang saling bergesekan. Rupanya seng yang melapisi kubah itu telah lepas patrinya, atau aus termakan karat. Para jamaah sepakat hendak memugar masjid itu. Pikiran demikian makin mendesak karena jumlah jamaah terus bertambah banyak. (hlm 182)
42
2.3.2 Latar Waktu Penggambaran latar waktu dalam novel kubah terjadi pada peristiwa pagi, siang, sore, petang, malam hari, pukul berapa, berapa hari, berapa tahu dan ditunjukkan dengan kata-kata yang sama artinya dengan latar waktu, misalnya isya, fajar. 2.3.2.1 Latar waktu pagi hari, berikut kutipannya: (1) Sampai pagi, mulut Marni tak berhenti mengunyah kedondong. (hlm 47) (2) Di pagi hari burung-burung gelatik dan murai terbang berkelompok-kelompok menuju sawah. (hlm57) (3) Anak-anak yang tidur di serambi masjid menghapal dua suara yang menandakan fajar telah tiba, kicau burung sikatan di atas kolam masjid atau bunyi terompah kayu Haji Bakir. (hlm58) (4) Demikian, sumur selalu ramai selagi fajar memerah di timur. (hlm 59) (5) Pagi-pagi sarapan nasi rajalele yang masih hangat, lauknya osengoseng jagung muda. (hlm 60) (6) Hari minggu pagi-pagi Karman dijemput. (hlm 106) 2.3.2.2 Latar waktu siang hari, berikut kutipannya: (7) Terik matahari menyiramnya begitu ia melangkahkan kaki di halaman. (hlm 7) (8) Hari masih agak siang ketika Tini mandi di belik itu. (hlm 32) 2.3.2.3 Latar waktu sore hari, berikut kutipannya: (9) Sore itu pun Marni membersihkan beras sambil menangis. (hlm 36) (10)Tadi sore ibu telah memberinya bekal. (hlm 42) 2.3.2.4 Latar waktu petang hari, kutipannya sebagai berikut: (11)Sebelum matahari terbenam rombongan itu tiba di Semarang. (hlm107) 2.3.2.5 Latar waktu malam hari, kutipannya sebagai berikut (12)Di bawanya bau tanah yang habis dicangkul dan kena gerimis tadi malam. (hlm 35)
43
(13)“Kemarin Jabir bertamu sampai malam, tidak pantas bukan?”. “ Ah Bu, kan dia kusuruh pulang ketika beduk isya. Ibu percaya dia anak baik-baik, bukan?”. (hlm39) (14)“Sering, Bu. Pada malam Mauludan yang lalu aku duduk berdampingan dengan…”. (hlm40) (15)Malam yang menarik bagi Tini. (hlm 42) (16)Tengah malam perempuan itu masih duduk gelisah. “Apa yang harus kuperbuat bila Karman, bekas suamiku, benar-benar kembali ke kampung ini?”. (hlm 43) (17)Selesai sembayang malam, ia bersimpuh memohon diberi ketabahan. (hlm 44) (18)Tengah malam Karman tertidur pulas di sampingnya. (hlm 45) (19)“Karman kau sudah gila? Malam-malam begini menebang pohon?” seru ibu Karman sambil mengusap matanya. (hlm 46) (20)“Nanti malam?” Hasyim memburu. “Jangan tergesa-gesa. Besok malam pukul delapan.” (hlm 77) (21) Malam pertama di kota itu tidak menyenangkan Karman. Pada malam kedua Karman merasa sehat kembali. (hlm 107) (22)Malam itu bulan muda hanya sebentar memberikan sinar temaram . (hlm 109) (23) Pasti waktu itu sudah lewat tengah malam, dan Rifah masih duduk berdoa. (hlm112) 2.3.2.6 Latar waktu dengan menunjukkan berapa hari, kutipannya sebagai berikut: (1) Terkadang ia berhari-hari mondar-mandir dengan truk buatan Jepang itu. (hlm 41) (2) Hanya tiga hari Karman tinggal di rumah ibunya. (hlm 57) (3) Sekali lagi ia meminta permisi barang empat-lima hari, mulai besok pagi. (hlm 58) (4) Selama tujuh hari itu ia gelisah, ia berdoa. (hlm 80) (5) Berhari-hari Karman terombang-ambingoleh pikirannya sendiri. (hlm 103) 2.3.2.7. Latar waktu dengan menunjukkan pukul berapa, kutipannya sebagai berikut: (1) Pukul tujuh malam Karman keluar dari masjid. (hlm 26) (2) Pukul dua malam Marni bangkit. (hlm 43) (2) “Jangan tergesa-gesa. Besok malam, saya tunggu pukul delapan.” (hlm 77) 2.3.2.8 Latar waktu yang menunjukan tahun, kutipannya sebagai berikut: (1) Satu tahun penuh Margo mencari calon yang demikian, dan belum diketemukannya. (hlm 71) (2) Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada kepribadian Karman. (hlm 90)
44
(3) Sudah dua tahun Karman berusaha keras melupakan anak Haji Bakir itu. (hlm 101)
2.3.3 Latar Sosial Latar sosial yang mencakup penggambaran tradisi, kebiasaaan hidup, keyakinan, cara berpikir, sikap yang tergolong latar spiritual. 2.3.3.1 Latar sosial yang menggambarkan tradisi yang terpengaruhi budaya JawaIslam. Hal ini ditunjukan pengarang dalam kutipan berikut ini: Astana lopajang! Itu makam yang dikeramatkan, yang terletak diatas bukit yang dikelilingi hutan puring. Cungkupnya tidak pernah dibuka orang kecuali setahun sekali pada bulan Maulud. Pada bulan tersebut, makam dan tanah sekelilingnya dibersihkan. Kelambu yang mengelilingi pasarehan. (hlm 157) 2.3.3.2 Latar sosial yang menggambarkan kebiasaan masyarakat, kebersamaan dalam melakukan kegiatan sosial. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Para jamaah sepakat hendak memugar masjid itu. Pikiran demikian makin mendesak karena jumlah jamaah terus bertambah banyak. Tanpa membentuk panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat bagian menurut kecakapannya masing-masing. (hlm 182)
2.3.4 Tema Pengarang dalam menghasilkan cerita rekaan tidak hanya ingin menyampaikan sebuah cerita. Dalam sebuah cerita tersebut terdapat konsep sastra dan ada sesuatu di balik cerita tersebut, yang dikembangkan dalam sebuah cerita. Tema cerita novel Kubah tidak diungkap secara eksplisit. Hasil analisis terhadap tokoh, alur dan latar digunakan untuk mendukung pengungkapan tema.
45
Dengan melihat analisis tokoh, alur dan latar maka dapat dicari tema yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Dalam novel Kubah tema dapat ditentukan dengan mengkaitkan antara tiga unsur lainnya yaitu tokoh, alur, latar. Untuk mengungkapkan sebuah tema dalam novel maka sebelumnya dapat dicari hal-hal yang mendukung keberadaannya Banyak nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya, antara lain yang terdapat pada novel Kubah ini. Nilai yang dapat menjadikan panutan untuk pedoman kehidupan sehari-hari. Hal ini ditunjukkan pengarang dalam kutipannya berikut ini: …Setelah kedua tungku itu menyala, dari mulut Kastagetek terdengar suara dendang, Aku mbiyen ora ana, Saiki dadi ana, Mbesuk maning ora ana, Pada bali mering rahmatullah. (hlm 149) Makna dari tembang tersebut adalah manusia diciptakan oleh Tuhan lahir ke dunia dan nantinya juga akan kembali kepada-Nya. Dengan memegang teguh filsafat ini maka setiap manusia akan memilih jalan Tuhan dan bertakwa kepadaNya. Nilai yang menggambarkan bahwa kita sebagai manusia harus senantiasa berserah diri, serta bertakwa kepada-Nya. Dengan demikian setiap cobaan seberat apapun di dunia akan terasa ringan. Hal ini ditunjukan pengarang dalam kutipan berikut: Bila malam tiba Rifah sudah tidak menangis lagi. Ia sudah dapat menerima ketentuan Tuhan dengan hati yang ikhlas. Ayahnya selalu berkata, “Takdir Tuhan adalah hal yang paling baik bagimu, betapapun getir rasanya. Takwa kepada-Nya akan membuat segala penderitaan ringan.” (hlm 115)
46
Nilai lain yang menggambarkan bahwa seseorang yang melakukan kesalahan hendaknya berusaha memperbaikinya. Begitu pula kesalahan yang berhubungan dengan masyarakat hendaknya berusaha memperbaiki agar masyarakt memberikan kepercayaan lagi. Bentuk usaha untuk kembali dapat diterima yaitu berbuat sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Hal ini digambarkan pengarang dalam kutipan berikut:
Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Sesen pun ia tidak mengharapkan upah.Bahkan dengan menyanggupi pekejaan itu ia ingin membeli. Bagamanapu sekembalinya dari pengasingan ia merasa ada yang hilang dalm dirinya: kepercayaan masyarakat terhadap dirinya. Ia ingin memperolehnya kembali. Bila ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pegaten, ia berharap akan memperoleh apa yang telah hilang itu. Setidaknya ia akan membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politok masih dapat diharapkan sesuatu! Selebihnya, adalah bukti bahwa Karman sedang merintis jalan yang lebih dekat kepada Tuhan. (hlm 183) Dari semua uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel Kubah karya Ahmad Tohari bertemakan tragedi 1965. Berdasarkan temuan akan tema ini, penulis akan membahas mengenai Rekonsiliasi Pasca Tragedi 1965 dalam Bab berikutnya.
47
BAB III TRAGEDI 1965 DAN PROSES REKONSILIASI DALAM NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI
Pada bab ini akan dibahas proses rekonsiliasi dalam novel Kubah, mengkaji proses itu terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai tragedi 1965, peristiwa yang ada dalam novel Kubah. Hal ini untuk mempermudah pemahaman mengenai peristiwa yang ada dalam novel Kubah. Dalam novel Kubah juga sedikit disinggung mengenai peristiwa 1965, yang menjadi latar belakang semua peristiwa dalam novel Kubah.
3.1 Tragedi 1965 dalam Sejarah Tragedi 1965 atau yang lebih dikenal dengan istilah G30 S/PKI merupakan salah satu peristiwa besar yang menjadi sejarah bangsa Indonesia. Dewasa ini masih banyak dibicarakan mengenai peristiwa tersebut. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku yang mengangkat peristiwa besar tersebut. Peristiwa yang terjadi tanggal 30 September 1965 merupakan gerakan pemberontakan yang berusaha mengambil alih kekuasaan pemerintah yang sah. Sebelumnya PKI juga pernah melakukan pemberontakan di Madiun tahun 1948 (Tabah,2000 : 75). Pada tahun 1954 PKI membentuk Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP), yang merupakan konsep subversi PKI untuk menyebar luaskan pengaruhnya, menetralisasi lawan-lawan politik, serta menyiapkan dukungan yang luas di kalangan rakyat Indonesia terhadap program-progamnya
48
untuk mencapai sasaran tersebut. PKI menyusupkan kader-kadernya yang tangguh ke dalam partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang ada di masyarakat, dengan tujuan membina anggota-anggota partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat tersebut. Dengan pengaruh yang kuat dari PKI akhirnya PKI mendapat simpati dari masyarakat dan mereka bersedia menjadi anggota PKI (Tabah,2000: 75). Pada tanggal 30 September PKI juga mendirikan dewan revolusioner yang bertujuan mengambil alih kekuasaan pemerintah. Serangkaian aksi PKI dimulai dengan penculikan para jenderal besar RI, antara lain: Letnan Jenderal Nasution, Letnan Jenderal A. Yani, Mayor Jenderal Soeprapto, Harjono, Parman, Brigadir Jenderal Soetojo, dan Pandjaitan. Dari ketujuh jenderal ini Nasution berhasil meloloskan diri. Keenam jenderal yang berhasil diculik dibawa ke Lubang Buaya. Tentang peristiwa-peristiwa selanjutnya, ada beberapa versi yang berbeda. Yang paling bisa dipercayai adalah versi yang diberikan oleh CIA dalam sebuah rekonstruksi kup Gestapu yang berjudul “The coup that backfired”. Menurut versi ini komandan unit Pringgodani mengutus seorang kurir ke Senko, dengan pertanyaan apa yang harus dilakukan dengan tawanantawanan itu, jawaban yang diberikan adalah “menghabisi tawanan” ( Tabah,2000: 76). Setelah
mendapat
jawaban
tersebut,
mereka
tergesa-gesa
menyelenggarakan apa yang disebut pengadilan setempat. Ketiga jenderal yang tidak meninggal dalam proses penculikan, dituduh melakukan makar dan merencanakan pembunuhan presiden Soekarno. Sesudah itu mereka langsung
49
ditembak mati. Mayat-mayat mereka dibuang ke dalam sebuah sumur pembuangan sampah yang ditutup dengan daun-daunan dan sampah ( Tabah,2000 :77). Aksi PKI selanjutnya adalah menduduki kantor telepon, kantor telegram, dan gedung RRI. Pada tanggal 1 Oktober PKI mengumumkan “Gerakan 30 September” melalui radio, tidak itu saja dalam berita juga diumumkan bahwa para dewan jenderal telah ditahan, beberapa gedung vital di pusat kota telah diamankan dan bahwa presiden berada di bawah perlindungan Gerakan 30 September. Dewan revolusioner yang terdiri dari unsur-unsur militer, sipil yang mendukung tujuan Gerakan 30 September mulai disusun keanggotaannya dan mulai ditugaskan. Gerakan 30 September, dipimpin oleh seorang perwira yang tidak dikenal dan dekat dengan Bung Karno. Karena keberadaan Soekarno yang masih simpang siur akhirnya Soeharto mengambil tampuk pimpinan. Soeharto menggalang kekuatan untuk meruntuhkan Gerakan 30 September, semua kekuatan militer digalakkan. Akhirnya salah satu tokoh PKI ditangkap, yaitu Aidit. Dengan ditangkapnya pimpinan PKI ini akhirnya para anggota PKI melarikan diri. Dengan begitu Gerakan 30 September runtuh/gagal (Tabah,2000: 77). Empat puluh tahun setelah terjadinya tragedi 1965, tepatnya pada akhir 2005, wacana mengenai peristiwa itu mencuat secara keras baik di media cetak maupun media elektronik. Wacana yang sama bahkan sempat mencuat wacana publik di jalan-jalan. Hal itu terjadi ,antara lain, berkat terbitnya buku terjemahan karya Antonie C.A. Dake yang berjudul Sukarno File: Berkas-
50
berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keutuhan. Salah satu gagasan pokok dari buku itu adalah bahwa Sukarno-lah sebenarnya ”dalang” dari peristiwa G30S/1965. Terhadap buku tersebut telah timbul sikap pro dan kontra di masyrakat.( Baskara,2006: 145) Sedikit disayangkan, buku karya Dake itu maupun berbagai tanggapan yang
muncul
lebih
berkisar
pada
pertanyaan
di
seputar
siapa
sebenarnya”dalang” di balik operasi militer yang dilancarkan oleh sejumlah perwira Angkatan Darat yang menamakan diri ”Gerakan Tigapuluh September” pada 1 Oktober 1965. Sebagaimana kita tahu, dibawah pimpinan Letkol Untung kelompok tersebut menjemput paksa sejumlah perwira militer di Jakarta. Penjemputan paksa itu berujung pada tewasnya tujuh orang perwira militer Angkatan Darat dan seorang putri Jnderal Nasution. Siapa sebenarnya yang menjadi tokoh kunci dari operasi militer itu sampai sekarang masih merupakan misteri, dan hal itu telah menjadi fokus berbagai wacana.(Baskara hlm 146)
3.2 Proses Rekonsiliasi di Luar Novel Kubah Proses rekonsiliasi di luar novel Kubah memberikan gambaran tentang rekonsiliasi yang terjadi, khususnya di Indonesia atas peristiwa yang terjadi di masa silam. Setelah dipaparkan proses rekonsiliasi secara umum, maka akan memudahkan dalam memahami proses rekonsiliasi yang terjadi dalam novel Kubah. Proses rekonsiliasi secara umum merupakan suatu proses pengampunan secara masa terhadap kesalahan yang telah dilakukan secara masa pula. Sebagai
51
contoh di Indonesia terjadi pelanggaran hak asasi manusia atau HAM dalam tragedi 1965. Pemerintah bahkan membentuk badan khusus yang disebut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Proses pembentukan KKR dimandatkan melalui TAP MPR No.VI tahun 2000 tentang Persatuan Nasional yang memastikan penyusunan legislasi tentang komisi kebenaran tersebut. Mandat ini juga ditegaskan kembali dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 43 UU no.26/2000 dijelaskan bahwa kasus pelanggaran berat HAM yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc akan ditangani oleh KKR yang telah di bentuk tersebut.Wacana perlunya KKR di Indonesia muncul tak lama Soeharto jatuh pada Mei 1998, khususnya di kalangan ornop. ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), salah satu di antaranya, yang intensif mengkajinya. Catatan akhir tahun 1998 ELSAM, memuat pentingnya KKR untuk pengusutan pelanggaran HAM rezim terdahulu dan rekonsiliasi untuk mengakhiri konflik (http//www.elsam.or.id/kkr/apakkr.html)
Gagasan KKR sempat dibahas serius pemerintahan BJ Habibie. Dalam pertemuan Komnas HAM dengan Presiden BJ Habibie, terungkap keinginan pemerintah untuk segera membentuk KKR. Tetapi, rencana ini belakangan raib begitu saja. Tersingkap kabar, pihak militer menolak alias keberatan. Habibie mengakomodasinya. Langkah konkrit upaya pembentukan KKR tercapai ketika Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan kalangan ornop dalam sebuah seminar, beberapa waktu lalu. Ketika kalangan ornop mengemukakan gagasan tentang urgensi KKR bagi Indonesia, Yusril "menantang" agar mengajukan draf RUU-nya. ELSAM menjawab tantangan ini.
52
Perkembangan terakhir, draf RUU KKR dikabarkan telah masuk ke Sekretariat Negara pada awal November 2001. (http://www.elsam.or.id/kkr/apakkr.html)
Proses rekonsiliasi dalam novel Kubah berbeda penerapannya dengan pengertian rekonsiliasi yang berkembang saat ini. Dalam novel Kubah, terjadi proses rekonsiliasi yang meliputi rekonsiliasi dalam lingkup keluarga masyarakat,umat beragama,dan mantan tahanan politik. Berikut ini akan dipaparkan proses rekonsiliasi secara urut. Analisis proses rekonsiliasi dalam novel Kubah disesuaikan dengan isi dan latar kejadian maupun waktu dalam novel tersebut.
3.3. Tragedi 1965 dalam Novel Kubah Setelah dipaparkan tragedi 1965 dalam sejarah, selanjutnya akan dipaparkan tragedi yang terjadi dalam novel Kubah. Pemaparan kejadian dalam novel tidak seurut dalam yang ada dalam sejarah, akan tetapi tergambar jelas bagaimana situasi yang terjadi pada tahun 1965. Dampak yang dirasakan masyarakat Indonesia khususnya rakyat kecil, diangkat oleh pengarang dalam bahasa novel yang membuat pembaca larut di dalamnya. Selanjutnya akan di paparkan mulai dari masa sebelum tragedi 1965 di Pegaten, kehidupan Pegaten, Karman sekolah, di pengaruhi kader PKI.
3.3.1 Masa Sebelum Tragedi 1965 di Pegaten Dalam wilayah Kecamatan Kokosan, desa Pegaten terletak paling terpencil. Di sebelah selatan terdapat hutan jati yang luas, sementara di bagian
53
barat dibatasi oleh perkebunan karet dan rawa-rawa. Tanah serta ladangnya subur. Tetapi kehidupan penduduk Pegaten penuh dengan kesengsaraan karena telah terjadi pergolakan-pergolakan yang diawali oleh masuknya tentara Jepang. Kemudian menyusul perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang praktis berlangsung sampai awal tahun lima puluhan. Pada saat itu juga telah terjadi persaingan antara tiga kekuatan. Masing-masing memiliki laskar bersenjata, masing-masing menaruh kepentingan atas wilayah Pegaten dan sekitarnya. Salah satu kekuatan besar itu adalah Lasykar Ahmad Juhdi. Lasykar ini sedang surut, tetapi nama Ahmad Juhdi telah disalahgunakan oleh kekuatan kedua yang sedang tumbuh. Kekuatan kedua ini secara rahasia dipimpin oleh seorang lakilaki ubanan bergigi besi. Kekuatan kedua ini telah melakukan perampokanperampokan yang sering menjarah harta atau membunuh penduduk Pegaten. Kekuatan yang
ketiga adalah alat-alat keamanan milik negara, polisi, dan
tentara. Semua ini terjadi sekitar tahun 1958 sampai dengan tahun 1960. Berikut kutipannya; Dalam wilayah Kecamatan Kokosan, desa Pegaten terletak paling terpencil. Disebelah selatan terdapat hutan jati yang luas, sementara di bagian barat, desa Pegaten dibatasi perkebunan karet dan rawa-rawa. Tanah sawah serta ladangnya subur. Kalaulah sebagian penduduknya hidup miskin, pastilah bukan keadaan tanah yang menyebabkannya. Salah satu kenyataan yang telah menyebarkan kesengsaraan didaerah itu adalah pergolakan yang diawali oleh masuknya tentara Jepang. Kemudian menyusul perjuangan memperjuangkan kemerdekaan yang praktis berlangsung sampai awal tahun lima puluhan. Kehidupan yang tenteram hanya berlangsung beberapa tahun, hingga berakhir dasa warsa itu.(hlm 119) Orang yang teliti dan cukup berbesar jiwa bisa memahami pada saat itu sedang terjadi persaingan antara tiga kekuatan. Masing-masing memilki lasykar bersenjata, masing-masing menaruh kepentingan atas wilayah Pegaten dan sekitarnya. Salah satu kekuatan sedang surut, yaitu lasykar yang dipimpin oleh Ahmad Juhdi. (hlm 120)
54
Kehidupan Pegaten pada awal tahun
enam
puluhan telah
terjadi
inflasi,penghidupan sehari-hari dirasa sangat berat. Minyak tanah dijatah, gula pasir diantrikan, keadaan alam sendiri menambah penderitaan penduduk. Kemarau sering amat panjang, hama tikus dan walang sangit menggagalkan panen. Penduduk Pegaten terpaksa mengisi perut mereka dengan Gaber. Busung lapar terjadi di Pegaten karena kurangnya makanan yang bergizi, bagi mereka asal bisa makan tanpa memikirkan gizi. Berikut kutipannya
Orang Pegaten tidak tahu apa arti kata inflasi. Mereka hanya merasakan akibatnya. Penghidupan sehari-hari pada umumnya dirasakan amat berat. Minyak tanah dijatah, gula pasir diantrikan. Keadaan alam sendiri menambah penderitaan penduduk. Kemarau sering amat panjang. Hama tikus dan walang sangit menggagalkan panen. Tidak sedikit penduduk Pegaten yang terpaksa mengisi perut mereka dengan gaber. Aspas singkong itu dikukus, dan di makan dengan daun-daunan. Busung lapar berjangkit di Pegaten. ( hlm 130 ) Pencuri- pencuru menjadi sangat berani, hutan jati rusak hebat karena dijarah oleh penduduk di sekelilingnya. Bahkan para pekerja perkebunan karet mulai melancarkan kerusuhan-kerusuhan, dengan cara tanaman karet ditebang dan ditanami tanaman sesuka mereka. Ini dikarenakan tekanan kebutuhan hidup yang sangat mendesak. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Pencuri- pencuri menjadi sangat berani. Hutan jati di sebelah selatan Pegaten rusak hebat oleh penduduk sekelilingnya. Bahkan para pekerja perkebunan mulai melancarkan kerusuhan-kerusuhan.( hlm131 )
Karman mulai masuk sekolah tingkat pertama atau yang biasa disebut SMP pada permulaan ajaran baru tahun 1950, di sebuah kota kabupaten. Ia menjadi anak Pegaten pertama yang melanjutkan sekolah sampai ke jenjang SMP. Semasa sekolah Karman dikenal anak yang amat pintar dan teliti, di samping itu
55
ia juga sangat kritis. Pada tahun 1953 Karman berhasil menyelesaikan sekolahnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. Pada permulaan ajaran tahun 1950, Karman sudah menjadi murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat. Ia menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan di sekolah menengah (hlm 68).
Setelah lulus SMP Karman tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, karena paman Hasyim yang membiayainya terbentur biaya. Atas saran Triman Karman mencalonkan menjadi pegawai di kantor kecamatan Kokosan. Dari sinilah awal mula Karman dipengaruhi oleh paham komunisme. Triman memang sengaja mencari bibit unggul seperti Karman untuk memperkuat partainya. Karman seorang anak yang masih lugu dan sangat gampang dipengaruhi, bahkan saat Karman dicekoki dengan bacaan-bacaan teori-teori pertentangan kelas. Tetapi pada ujian pertama Karman tidak lulus, akhirnya kelompok Margo memberikan bacaan-bacaan yang berisi doktrindoktrin Marx dan kawan-kawannya. Pada ujian ulangan Karman dinyatakan lulus, dengan kata lain Ia telah paham betul teori-teri Marx. ”Membuat Karman merasa berhutang budi kepada kita. Sudah kulaporkan, sekarang Karman sedang mencari pekerjaan. Bila suatu jabatan resmi dapat kita sodorkan kepadanya, berarti kita memulai bekenalan dengan cara yang baik. jadi kan saya tanyakan , apakah Bung mempunyai suatu lowongan pekerjaan?. ”Wah tetapi saya hanya mempunyai satu saluran ke Kantor Kecamatan. itu pun tidak gampang, karena orang Nasional disana bersikap sangat tertutup ( hlm 72) Itulah yang terjadi. Karman yang tidak lulus! bukan main kecut dan khawatir dengan rasa hatinya. Padahal kalau tahu, Karman tidak perlu berperasaan demikian. Kelompok Margo hanya menginginkan tambahan waktu untuk membina Karman lebih lanjut, tidak lebih. lulus atau tidaknya si calon pegawai itu sudah berada di tangan mereka sepenuhnya. Dan kini mereka
56
mempunyai waktu tiga bulan lagi untuk memberi Karman bacaan-bacaan yang berisi doktrin-doktrin Marx dan kawan-kawannya (hm 82)
3.3.2 Masa Setelah Tragedi 1965, Pembuangan Karman ke Pulau B dalam Novel Kubah
3.3.2.1 Pelarian Karman Tragedi 1965 membuat Karman tidak tenang, ia tidak pernah tidur di rumah dan memilih untuk bersembunyi. Suatu malam Karman pamit kepada istrinya untuk bersembunyi di rumah Triman, sungguh di luar dugaan Triman telah tertangkap. Berikut kutipannya; Kegelisahan Karman tidak mungkin tertahan lebih lama. Sudah beberapa malam ia tidak bisa tidur. Kalau malam tiba, ia bersembunyi di rumah ibunya atau berkerumun dengan orang lain di masjid Haji Bakir. ( hlm 136) Karman kaget tubuhnya menggigil, tengkuk berkeringat, matanya nanar dan lunglai. Ia berada dalam keadaan antara pingsan dan sadar. Larut malam Karman bangkit dalam kegelapan malam Karman terus mencari tempat yang dianggap paling aman, tujuannnya adalah sungai yang terletak di pinggir hutan. Setelah berjalan berjam-jam sampailah ia di Kedung Waru, sebuah lubuk di sungai Sikura yang terletak di tepi hutan jati. Karman berada di sekitar kedung Waru selama dua hari dua malam, dalam kesunyian ini ia banyak merenung. Betapa pedih perjalanan hidupnya mulai dari masa kecilnya hingga kini
ia telah
mempunyai anak kecil. Kedung Waru bukan tempat yang aman lagi bagi Karman, maka ia memutuskan untuk mencari tempat lain. Astana Lopajang menjadi tujuannya, setelah berpikir beberapa lama. Astana Lopajang merupakan makam yang dikeramatkan, yang terletak di atas bukit kecil yang dikelilingi
57
hutan puring. Karman dapat bersembunyi di tempat itu selama tiga puluh empat hari. Ia hanya keluar di waktu malam untuk mencari makanan dan air.
3.3.2.2 Karman Tertangkap Lari ke kota besar adalah rencana yang telah dipikirkannya sungguhsunguh. Beberapa cara untuk sampai ke kota dipelajarinya, dengan tidak melupakan teori-teori yang telah diberikan Margo. Karman tinggal menunggu waktu yang tepat, satu atau dua bulan hingga keadaan mulai mereda. Rencana yang telah dipikirkan oleh Karman urung dilaksanakan, ia jatuh sakit. Berakhir sudah pelarian Karman setelah seorang gembala kerbau melihat segala gerakgeriknya.Dalam keadaan sakit yang parah akhirnya ditemukan, bahkan sampai orang-orang tidak tega untuk menghabisinya karena melihat keadaannya yang begitu parah. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut; Lari ke kota besar adlah rencana yang telah dipikirkannya sungguh. Beberapa cara untuk sampai kekota di pelajarinya, dengan tidak melupakan teori-teori yang telah diterimanya dari Margo almarhum.( hlm 159) Tamat sudah kisah pelariannya, karena seorang gembala kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang tidak tega menghabisi nyawanya. ( hlm 160)
3.3.2.3 Karman dibuang ke Pulau B Setelah Karman ditangkap di Astana Lopajang, ia dibuang ke Pulau B. Sebuah pulau yang diperuntukkan untuk tahanan para pemberontak Di Pulau B Karman sebarak dengan para pemberontak lain yang sangat pengertian satu sama lain. Tahun 1971 Karman mendapat surat dari Marni, istrinya. Ia sangat
58
senang surat dari sang istri adalah belaian mesra bagi suami yang sedang dalam pengasingan. Tetapi isi surat dari Marni membuat batin Karman tergoncang keras, Marni ingin bercerai. Setelah mendapat surat itu semangat hidup Karman nyaris punah. Berikut kutipannya; Waktu menerima surat istimewa itu di pulau B, mula-mula Karman sangat gembira. Surat dari istri adalah belaian mesra bagi suami yang sedang dalam pengasingan. Sebelum membaca surat itu sudah terbayang oleh Karman lekuk sudut bibir istrinya yang bagus; suaranya yang lirih dan sejuk atau segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni seorang wanita sejati. Tetapi selesai membaca surat itu Karman menjadi sulit bernapas. Padang datar penuh kerikil seakan mendadak tergelar di hadapannya. Gurun yang mengerikan di mana ia merasa tegak seorang diri. Keseimbangan batin Karman tergoncang keras. Semangat hidupnya nyaris punah. (hlm 14)
3.4 Proses Rekonsiliasi dalam Novel Kubah 3.4.1 Proses Rekonsiliasi dalam Keluarga Proses rekonsiliasi dalam novel Kubah diawali dari keluar Karman dari pengasingan. Karman yang bebas setelah menjalani hukuman selama 12 tahun mencoba untuk mencari keluarganya. Hal ini merupakan tantangan bagi Karman karena tidak mudah bagi seorang tahanan untuk kembali ke keluarganya, apalagi Karman merupakan tahanan politik. Karman sebagai seorang tahanan politik harus membangun
kembali kepercayaan dirinya, karena Karman sebagai
seorang yang terasing tidak mempunyai kepercayaan diri lagi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Anehnya ia merasa asing. Jelas dapat dirasakan ada pemisah antara dirinya dengan alam sekeliling. Ia tidak terpadu dengan semua yang dilihat. “Tentu saja, aku kan hanya bekas Tapol, tahanan politik!” (hlm: 8)
59
Karman mencoba untuk memulihkan hubungannya dengan anak pertama yang bernama Rudio yang sewaktu ia tinggalkan baru berumur 7 tahun. Rudio tinggal bersama bibinya di kota dekat kabupaten. Hubungan seorang ayah dengan anaknya ini sempat renggang karena jarak yang memisahkan mereka. Karman sebagai seorang ayah selam 12 tahun tidak memberikan kasih sayang, apalagi nafkah. Setelah sekian lama Karman tidak bertemu dengan anaknya, bahkan ia sudah tidak dapat dengan mudah mengenali anaknya lagi. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: …lama sekali Karman memperhatikannya. Meskipun demikian ia tidak dapat memastikan siapa yang sedang asyik dengan bacaannya itu. Terpaksa Karman memasuki halaman dan mendekati jendela. “Oh, pasti dia Rudio anakku sendiri!” Jantung Karman seperti dipacu. Ingin ia memanggil anaknya yang dulu masih berusia 7 tahun ketika ditinggalkan…(hlm: 27)
Selanjutnya Karman bertemu kembali dengan adik kandungnya, Bu Gono. Rudio hidup bersama Bu Gono semenjak ditinggalkan ayahnya. Sejak kepergiannya, Karman sudah tidak pernah mendengar berita tentang adiknya tesebut, begitu pula dengan adiknya tersebut telah menganggap Karman telah mati. Pertemuan mereka menjadi sangat mengharukan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Ya Tuhan …Mas Karman?! Kau masih hidup Mas Karman?” “Ya, bersyukurlah. Kita masih sempat bertemu lagi. Sekarang tenanglah. Mari kita duduk dulu.” Tetapi Bu Gono belum bisa tenang dan belum mau duduk. Dipeluknya Karman erat-erat. Di sela-sela tangisnya, ia berkata-kata penuh emosi.(hlm: 28)
60
Berita bebasnya Karman dari pengasingan telah tersebar sampai ke desa Pegaten, tempat tinggal Karman sebelum menjalani tahanan. Sama halnya dengan orang-orang Pegaten lainnya, Tini juga mendengar berita tentang ayahnya tersebut. Selanjutnya Tini bersama Jabir menemui Karman dan mengajaknya kembali ke Pegaten. Tini sangat senang menerima Karman kembali, dan tidak ada sedikit pun rasa kebencian di hatinya. Bahkan Tini merasa bangga mempunyai seorang ayah yang gagah. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: “Ibu. Benar ayah telah pulang! Sekarang ada di rumah Nenek. Wah Bu. Orangnya tegap dan gagah. Ada kumis, ada jenggot, ada jambang. Pokoknya banyak bulunya. Pokoknya aku senang, ternyata aku mempunyai seorang ayah yang gagah. Dan tidak setua seperti yang kuduga semula. Eh, Bu, kapan Ibu hendak menemui Ayah. (hlm: 165) Sungguh luapan perasaan kegembiraan yang tidak tergambarkan oleh Karman. Anak yang ditinggalkannya begitu saja ternyata masih mengakuinya sebagai ayahnya. Sesampai di desa Pegaten Karman langsung menuju rumahnya yang menyimpan banyak kenangan. Rumah tersebut ditinggali Bu Mantri seorang diri, setelah Karman diasingkan dan Marni kawin lagi dengan pria lain. Selanjutnya, Karman bertemu dengan ibunya. Hubungan ibu dan anak yang sempat terputus selama beberapa tahun tidak mudah terlupakan begitu saja oleh Karman. Ia telah banyak melewati masa-masa sulit bersama ibunya, semenjak ayahnya di culik oleh pemuda-pemuda pejuang. Semenjak ayahnya tidak kembali lagi, Karman harus bertahan ditengah kehidupan ekonomi yang sulit. Kehidupan Karman bersama adik dan ibunya benar-benar menyedihkan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Karman hidup hanya bersama ibu dan seorang adik perempuan. Sebenarnya ia mempunyai dua orang kakak, tetapi keduanya meninggal pada jaman Jepang.
61
Keadaan keluarga tanpa ayah itu menyedihkan. Lebih-lebih ketika terjadi serangan Belanda pada tahun 1947. bersama ibu dan adiknya, Karman mengungsi, berpindah-pindah dari sebuah desa ke desa lainnya. Pegaten sering didatangi tentara Belanda. (hlm: 50) Di rumah ibunya Karman juga bertemu dengan Marni, mantan istrinya. Pertemuan itu sangat mengharukan, perasaan Karman terhadap Marni tidak dapat terhapuskan begitu saja. Marni telah menjadi bagian hidup Karman, selama di Pulau B ia selalu merindukannya. Marni benar-benar telah menjadi wanita yang didambakannya. Pertemuan Karman dengan Marni menggugah perasaan mereka yang selama 12 tahun tertahankan oleh jarak yang memisahkan mereka. Baik jarak tempat maupun jarak hubungan yang telah merenggangkan hubungan mereka. Dalam pertemuannya ini perasaan keduanya memang manusiawi, perasaan dua orang yang saling mencintai dan terpisahkan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Apa yang sedang menyapu perasaan Karman, demikian pula yang dirasakan oleh bekas isterinya. Kalau Karman berhasil menguasaai perasaannya, Marni tidak. Bagaimana juga ia seorang perempuan. Ia bergerak ke arah Karman. Mulutnya terbuka. Tetapi ada kekuatan yang mencegahnya bergerak lebih lanjut. Dari mulut Marni terdengar suara tertahan , “Mas…Mmmmas Karman!” Hanya itu. Karena kemudian Marni tidak lagi bergerak. Ia berhenti dalam keadaan yang ganjil. Tangannya seakan-akan hendak menggapai ke depan, tetapi tubuhnya condong ke belakang. Beberapa detik Marni tetap berdiri demikian. Lama-lama tubuhnya goyang. Karman cepat menangkap tubuh perempuan itu sebelum roboh ke tanah.(hlm:168-169)
3.4.2 Proses Rekonsiliasi dalam Masyarakat Proses
rekonsiliasi
yang
dialami
Karman
dalam
memperbaiki
hubungannya di masyarakat, di mulai dengan penyesalan Karman yang telah
62
membenci Haji Bakir, karena dia telah menolak lamaran Karman terhadap Rifah anak tunggal Haji Bakir. Karena kebencian yang teramat sangat Karman sampai rela meninggalkan ibadahnya. Semakin ia meninggalkan ibadahnya semakin puas hati Karman, cara itulah yang diambil Karman untuk membalas dendam kepada Haji Bakir. Namun setelah keluar dari tahanan Karman menjadi sadar bahwa apa yang telah dilakukannya kepada Haji Bakir adalah dosa besar. Karena itulah ketika Haji Bakir berkunjung ke rumah Bu Mantri untuk melihat keadaan Karman, Karman langsung berlutut dihadapannya memohon ampun. Haji Bakir sangat gembira melihat hal itu dan mengucap syukur berkali-kali. Berikut kutipannya: Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan berdiri pada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil ditinggal ke pasar oleh ibunya. Haji Bakir tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membaca hamdallah berulang-ulang. (hlm 168) Selanjutnya
Karman
harus
berusaha
memulihkan
kembali
kepercayaan
masyarakat terhadap dirinya. Bagaimanapun ia adalah seorang bekas tahanan politik, hal itulah yang Karman rasakan telah hilang dari dirinya. Karman ingin sekali memperoleh kepercayaan itu kembali. Kesempatan itu datang ketika para jamaah masjid Haji Bakir berencana memperbaiki masjid yang telah rusak termakan usia tersebut. Semua orang mendapat bagian menurut keahliannya masing-masing. Karman memberanikan diri membuat kubah baru untuk masjid. Karman berharap dengan pekerjaan ini ia ingin membuktika bahwa seorang bekas tahanan politik masih bisa diharapkan sesuatu. Berikut kutipannya:
63
Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat bagian menurut kecakapannya masing-masing. Karman memberanikan diri meminta bagiannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman telah belajar mematri dam mengelas. (hlm 182)
3.4.3 Proses Rekonsiliasi Umat Beragama Novel Kubah merupakan novel yang mengandung unsur religius Islami. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan berikut: Nasehat Kapten Somad pada Karman yang saat itu berada dalam pengasingan, tergambar adanya suatu jawaban permasalahan yang dihadapi Karman dalam penyampaian nasehat Kapten Somad mengenai kebenaran dan kesalahannya mengikuti ajaran atheis.
Hai jiwa yang teduh tentram, kembalilah engkau pada-Ku. Maka masukilah barisan hamba-hamba-Ku. Dan temuilah kedamaian abadi, surga-Ku (hlm 24) Nasehat di atas menggunakan Al Qur'an sebagai referensi utama, sesuai dengan surat Al-Fajr ayat 27 - 30. Yang artinya: Hai jiwa yang tentram kembalilah pada Tuhanmu dengan keadaan ridlo dan diridloi, yaitu masuklah di dalam (golongan) hamba-hamba Ku, dan masuklah ke surga-Ku. Karman yang menjadi tahanan politik di pulau B merasa dirinya sebagai orang buangan, mentalnya semakin melemah, demikian juga kondisi tubuhnya. Keadaan ini semakin parah ketika Marni, istrinya yang sangat dicintainya menikah dengan orang lain. Dalam keadaan seperti inilah Kapten Somad yang menjadi tokoh yang mengajak Karman kembali ke jalan yang benar, jalan agama yang pernah
64
dipeluknya sebelum ia mengenal ajaran atheis. Akhirnya akal dan nurani Karman telah kembali dengan digapainya kembali sesuatu yang pernah ia pegang. la yakini dan ia miliki yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang mutlak ajaran-Nya. Keinginan untuk kembali mendekatkan diri kepada Tuhan semakin kuat terlebih-lebih Karman teringat akan pertemuannya dengan Kastagetek.Karman ketemu kastagetek ketika ia dalam pelarian sebelum tertangkap dan dibuang di pulau B. Kastagetek melantunkan sebuah syair yang menggetarkan hati Karman. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut: Kasta bangkit, berjalan ke tepi air. Diambilnya enam buah batu besar untuk membuat dua tungku api. Dari sebuah bungkusan besar ia mengeluarkan berbagai perkakas untuk merebus air dan menanak nasi. Kayu api dikumpulkan. Setelah dua tungku itu menyala, dari mulut Kastagetek terdengar suara dendang: Aku mbiyen ora ono Saiki dadi ana Mbesuk maning ora ana Pada bali marang Rahmatullah ( hlm 149 )
Tembang atau senandung yang dilantunkan Kastagetek adalah sebuah tembang yang sederhana, bagi orang yang akrab dengan surau atau masjid tentu tidak asing lagi. Namun ternyata didalamnya mengandung makna yang dalam yang sanggup menggetarkan hati nurani seseorang, sikap hidup Kastagetek yang lugu, bersahaja, dan tahu akan keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan secara tidak langsung mempengaruhi Karman dan seolah-olah membawa nurani dan akalnya untuk berfikir tentang eksistensi dirinya sehingga secara otomatis timbul getar-getar suara hati dalam diri untuk mencari jawabannya ke arah yang lebih baik.
65
3.4.4 Proses Rekonsiliasi Mantan Tahanan Politik Dalam Novel Kubah terjadi proses rekonsiliasi seorang tahanan politik yang mentalnya telah melemah, tahanan yang di buang dan diasingkan serta jauh dari keuarga. Tahanan politik yang menganut ajaran atheis akhirnya kembali untuk kembali ke ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Kubah karya Ahmad Tohari memaparkan nasib seorang mantan tahanan politik (tapol) yang kembali dari pulau B, tempat pengasingan orang-orang yang terlibat dengan PKI selama 12 tahun Karman terpencil di Pulau B. Perasaan terasingkan dan dikucilkan menyelimuti seorang tahanan politik. Rasa takut yang mendalam apabila setelah keluar dari pengasingan tidak diterima lagi oleh masyarakat. Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar bagi seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan masyarakat. Hali ini terlihat dalam kutipan berikut: Anehnya ia merasa asing, jelas dapat dirasakannya ada pemisah antara dirinya dengan alam sekeliling. la tidak terpadu dengan semua yang dilihat. "Tentu saja, aku kan hanya seorang bebas Tapol, "Tahanan Politik" begitu pula yang dialami oleh Karman (hlm 45). Namun semua prasangka itu salah, masyarakat masih dapat menerima mereka yang pulang dari tahanan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Di rumah orang tuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga yang sudah amat lama ditinggalkan. la merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah bersaudara dan yang penting : gampang melupakan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan Karman adalah sikap membenci yang mungkin diterima begitu ia muncul kembali di Pegaten.... (hlm 167)
66
Diterimanya
para
tahanan
politik
di
tengah-tengah
masyarakat,
menggantikan hubungan yang harmonis antara bebas tahanan politik dengan masyarakat biasa. Peristiwa 1965, memang telah dilupakan orang, terutama di desa Pegaten, masyarakat lebih memilih untuk melanjutkan kehidupan mereka secara normal. Kehidupan pedesaan yang damai telah menjadi ciri khas, bahkan bagi para penduduknya. Begitu pula dengan para bekas tahanan politik yang berusaha menjadi rajin dari para penduduk biasa, bila ada kerja bakti merekalah yang datang lebih dulu. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Bogor, Oktober 1965 sudah dilupakan orang, juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak telah menjadi warga negara yang taat, kecuali mereka yang telah meninggal. Tampaknya mereka ingin disebut sebagai orang yang sungguh-sungguh bertobat. Bila ada perintah kerja bakti, merekalah yang paling dulu muncul. Sikap mereka yang demikian itu cepat mendatangkan rasa bersahabat diantara sesama warga Pegaten. (hlm 31). Sikap para bekas tahanan politik yang menunjukkan keinginan mereka untuk bertobat kembali menjadi warga masyarakat biasa pada umumnya, disambut baik oleh warga yang lain. Bahkan dengan sikap yang demikian cepat mendatangkan rasa bersahabat. Menjadi tahanan politik tidaklah harus dikucilkan maupun disingkirkan setelah mereka kembali ke masyarakat. Lapang dada dan sikap saling menghargai menjadi kunci terjalinnya hubungan dalam masyarakat.
67
BAB IV KESIMPULAN 4.1 Rangkuman Setelah melalui pembahasan pada bab sebelumnya penelitian ini dapat disimpulkan unsur intrinsik dan proses rekonsiliasi dalam novel Kubah. Unsur intrisik dalam novel Kubah meliputi alur, tokoh, latar, dan tema. Alur novel Kubah tidak secara urut dipaparkan, dari awal hingga hingga akhir, di dalamnya terdapat unsur sorot balik. Pada bagian awal terdapat paparan, rangsangan, dan gawatan. Paparan menjelaskan keluarnya Karman dari pengasingan, serta peristiwa sorot balik saat Karman menikah dengan Marni. Bagian Rangsangan memaparkan kepulangan Karman kerumah Gono adik iparnya setelah bingung harus pulang kemana. Bagian Gawatan dimulai dengan peristiwa sorot balik sesudah Pengakuan Keadaulatan pada tahun 1949, banyak anggota laskar Hisbulah yang meletakkan senjata. Pada awal ajaran 1950 Karman sudah menjadi murid SMP di sebuah kota Kabupaten yang terdekat. Setelah Karman mulai di pengaruhi seorang anggota PKI yang bernama Margo, Karman dicarikan kerja di Kecamatan Kokosan, dengan demikian Karman merasa berhutang budi, sehingga mudah bagi Margo untuk mempengaruhinya. Secara tidak sadar Karman telah di jauhkan dari keluarga Haji Bakir, yang memberikan ajaran keagamaan kepadanya. Bagian tengah terdapat tikaian, rumitan, dan klimaks. Bagian tikaian, dimulai dari peristiwa sorot balik lamaran Karman yang tidak di terima oleh Haji Bakir karena terlambat. Alasan itu tidak diterima begitu saja oleh Karman karena laki-laki yang beruntung meminang Rifah adalah Abdul Rahman, anak pedagang
68
kaya keturunan Pakistan. Bagian rumitan, memaparkan rasa dendam Karman yang semakin dalam terhadap Haji Bakir, Karman mulai menjauh dari masjid dan mulai meninggalkan sembahyangnya. Pada bagian keenam, diceritakan Margo yang melaporkan keatasannya untuk menyumpah Karman menjadi anggota partai. Usulan itu belum diterima oleh atasannya dengan alasan bahwa Karman masih seorang yang perasa, ditambah lagi perasaan Karman terhadap Rifah tumbuh kembali. Rifah telah menjadi seorang janda, suaminya mengalami kecelakaan yang kemudian merenggut nyawanya. Hal itu sangat tidak di sukai oleh partai Margo karena itu bisa menjadikan Karman kembali ke kehidupannya semula, seorang yang taat beragama. Atas perintah atasannya Margo mencarikan wanita lain yang memang lebih cantik dari Rifah. Bagian akhir terdapat leraian dan selesaian yang merupakan cerita penutup dari novel Kubah. Bagian leraian menceritakan kepulangan Karman ke desa Pegaten yang membuat hati Marni semakin tersiksa, rasa bersalah selalu menghantuinya. Semua warga dapat menerima Karman kembali, banyak dari mereka berbondong-bondong kerumah Karman untuk melihat keadaannya sepulang dari pengasingan. Begitu pun Marni keinginannya untuk melihat Karman sangat kuat, tapi rasa bersalah yang terus menghantuinya mengurungkan niat Marni. Tini terus mendesak ibunya untuk melihat Karman, semula Marni menolak tapi akhirnya Marni mengalah. Pada
selesaian memaparkan keikut
sertaan Karman dalam merenovasi masjid Haji Bakir yang kondisinya sudah memprihatinkan. Karman mengajukan diri untuk membuat kaubah masjid tersebut. Hal itu merupakan upaya Karman untuk memulihkan kepercayaan
69
orang-orang Pegaten. Kubah menjadi simbol bagi Karman, bahwa dia telah menjadi Karman yang dulu lagi, Karman yang taat pada ajaran agama. Tokoh dalam novel Kubah dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah Karman yang sering muncul dalam cerita novel Kubah. Cerita bawahan yaitu Marni, Haji Bakir Rifah, Rudio, Tini, Margo, Hasyim, Jabir, Bu Mantri dan Bu Gono. Tokoh- tokoh tersebut dianalisis secara fisik, psikologis, dan kehidupan sosialnya. Latar dalam novel Kubah dibagi menjadi latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat dalam novel Kubah meliputi beberapa tempat, diantara di Markas Komando Distrik Militer, alun-alun Kabupaten, pulau B, pulau B,rumah
Gono
,desa
Pegaten
,dirumah
Kastagetek,rumah
orang
tua
Karman,Astana Lopajang,masjid Haji Bakir. Latar waktu, diantaranyaLatar waktu pagi hari, siang hari,sore hari, petang hari,malam hari, Latar waktu dengan menunjukkan berapa hari,Latar waktu dengan menunjukkan pukul berapa, Latar waktu yang menunjukan tahun. Latar sosial mencakup penggambaran tradisi, kebiasaaan hidup, keyakinan, cara berpikir, sikap yang tergolong latar spiritual. Tema cerita novel Kubah tidak diungkap secara eksplisit. Hasil analisis terhadap tokoh, alur dan latar digunakan untuk mendukung pengungkapan tema. Banyak nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya, antara lain yang terdapat pada novel kubah ini. Nilai yang dapat menjadikan panutan untuk pedoman kehidupan sehari-hari. Manusia diciptakan oleh Tuhan lahir ke dunia dan nantinya juga akan kembali kepada-Nya. Dengan memegang teguh filsafat ini maka setiap manusia akan memilih jalan Tuhan dan bertakwa kepada-
70
Nya. Nilai yang menggambarkan bahwa kita sebagai manusia harus senantiasa berserah diri, serta bertakwa kepada-Nya. Dengan demikian setiap cobaan seberat apapun di dunia akan terasa ringan. Nilai lain yang menggambarkan bahwa seseorang yang melakukan kesalahan hendaknya berusaha memperbaikinya. Begitu pula kesalahan yang berhubungan dengan masyarakat hendaknya berusaha memperbaiki agar masyarakt memberikan kepercayaan lagi. Dalam novel Kubah terdapat proses rekonsiliasi yaitu poses rekonsiliasi dalam keluarga, masyarakat,umat beragama, dan proses rekonsiliasi mantan tahanan politik. Pertama, proses rekonsiliasi dalam keluarga, tokoh Karman mengalami proses rekonsiliasi dalam keluarga setelah keluar dari pengasingan. Karman yang telah selam 12 tahun berada dalam pengasingan merasa dirinya tidak layak lagi di terima dalam keluarga. Terputusnya hubungan dalam satu keluarga membuat Karman harus membangun kembali kepercayaan diri. Ketakutan Karman selama di dalam pengasingan ternyata tidak terbukti, akhirnya Ia dapat di teriama kembali dalam keluarga. Hubungan keluarga antara ibu dan anak, anak dengan ayah, kakak dengan adik akhirnya dapat terjalin kembali. Kedua, proses rekonsiliasi yang terjadi dalam masyarakat, dalam novel Kubah tokoh Karman yang menagalami proses rekonsiliasi dengan masyarakat. Proses rekonsiliasi yang dialami Karman dalam memperbaiki hubungannya di masyarakat, dimulai dengan penyesalan Karman yang telah membenci Haji Bakir, karena dia telah menolak lamaran Karman terhadap Rifah anak tunggal Haji Bakir. Karena kebencian yang teramat sangat Karman sampai rela meninggalkan ibadahnya. Semakin ia meninggalkan ibadahnya semakin puas hati Karman, cara
71
itulah yang diambil Karman untuk membalas dendam kepada Haji Bakir. Namun setelah keluar dari tahanan Karman menjadi sadar bahwa apa yang telah dilakukannya kepada Haji Bakir adalah dosa besar. Karena itulah ketika Haji Bakir berkunjung ke rumah Bu Mantri untuk melihat keadaan Karman, Karman lanngsung berlutut dihadapannya memohon ampun. Ketiga, proses rekonsiliasi umat beragama. Novel Kubah merupakan novel yang mengandung unsur religius agamis Islami. Didalamnya terdapat beberapa kutipan yang diambil dari kitab suci agama islam yaitu Al-Quran. Tokoh yang digambarkan dalam novel ini pun beragama islam, toko Karman yang telah meninggalkan segala ajaran-ajaran islam. Karman yang setelah menjadi anggota PKI mulai malas untuk beribadah. Selama dalam pengasingan Karman mulai menyadari akan segala kesalahannya. Karman yang menjadi tahanan politik di pulau B merasa dirinya sebagai orang buangan, mentalnya semakin melemah, demikian juga kondisi tubuhnya. Keadaan ini semakin parah ketika Marni, istrinya yang sangat dicintainya menikah dengan orang lain. Dalam keadaan seperti inilah Kapten Somad yang menjadi tokoh yang mengajak Karman kembali kejalan yang benar, jalan agama yang pemah dipeluknya sebelum ia mengenal ajaran atheis. Akhirnya akal dan nurani Karman telali kembali dengan digapainya kembali sesuatu yang pernah ia pegang. la yakini dan ia miliki yaitu Tuhan yang Maha Esa yang mutlak ajaran-Nya. Keempat, proses rekonsiliasi mantan tahanan politik, Dalam novel Kubah terjadi proses rekonsiliasi seorang tahanan politik yang mentalnya telah melemah, tahanan yang dibuang dan diasingkan serta jauh dari keuarga. Tahanan politik
72
yang menganut ajaran atheis akhirnya kembali untuk kembali ke ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Diterimanya para tahanan politik ditengah-tengah masyarakat, menggantikan hubungan yang harmonis antara bebas tahanan politik dengan masyarakat biasa. Peristiwa 1965, memang telah dilupakan orang, terutama di desa Pegaten, masyarakat lebih memilih untuk melanjutkan kehidupan mereka secara normal. Kehidupan pedesaan yang damai telah menjadi ciri khas, bahkan bagi para penduduknya.
4.2 Saran Novel Kubah karya Ahmad Tohari memang sudah banyak di teliti, akan tetapi masih banyak hal yang menarik untuk dikaji. Sebagai contoh penelitian tentang unsur sejarah, dalam hal ini sejarah tragedi 1965 yang menjadi sejarah nasional bangsa Indonesia. Novel Kubah juga dapat diteliti mengenai konflik batin tokohnya, karena dalam novel konflik batinlah yang sering muncul dalam diri tokoh Karman.
73
DAFTAR PUSTAKA
Aswadi, 1989. “Kepengarangan Ahmad Tohari , Karya- Karyanya” dalam Editor tanggal 18 November. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra:Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:P3B Faruk 1994. Pengantar Sosiologi Sastra, dari Strukturalisme Genetik Sampai Post-Moderisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Gunawan,Hendra. ”Rekonsiliasi: Apakah Rekonsiliasi itu”.http://www.elsam.or.id /kkr/apakkr.html. Tgl 2 Februari 2008.14.50.WIB Guntur, Cahyono. ”Pengertian dan Penerapan Rekonsiliasi”. http//www.Tempo interaktif.com. Tgl 12 November 2007.15.30.WIB Muller-Fahrenholz, G..2005. Rekonsiliasi, Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan Dalam Masyarakat. Maumere, Ledalero, Nabire: Terang Ilmu Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gama Press Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang. UMM Press Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya. Susanto, AB. 2004. “Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran, Apa itu Rekonsiliasi?”. http//www.Kompas.com .Tgl 15 November 12.15.WIB Tabah, Anton. 2000. Dua Jenderal Besar Bicara Tentang GESTAPU/PKI. Klaten : CV. Sahabat. Tohari, Ahmad. 1980. Kubah. Jakarta: Pustaka Jaya Utomo, S. Prasetyo. 1989. “Ciri Karya Ahmad Tohari Sebagai Pengarang” dalam Pelita tanggal 14 agustus.
74
Wardaya Baskara T .SJ. 2006. Bung Karno Menggugat, dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal Hingga G 30 S. Yogyakarta: Galang Press
Wellek, Rene dan Austin Warren.1990. Teori kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia