1
Pachter Candu dalam Novel Lo Fen Koei Karya Gouw Peng Liang: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra Astri Setyarini, Edwina Satmoko Tanojo Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Pada abad ke-19, perdagangan candu marak terjadi di Nusantara. Konsumen candu sendiri berasal dari berbagai golongan, mulai dari kaum/clan Tionghoa hingga kaum pribumi. Dalam mengatur perdagangan candu di masyarakat, Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa di Nusantara pada masa tersebut menerapkan sistem pacht. Sistem pacht memberikan keuntungan bagi orangorang yang terlibat di dalamnya, terutama kaum Tionghoa. Dalam lelang pacht, kaum Tionghoa banyak yang memenangkan lelang tersebut dan mendapatkan hak sebagai pachter/ penyewa tanah usaha dalam sistem pacht. Potret kehidupan kaum Tionghoa sebagai pachter telah dituangkan dalam berbagai literatur, salah satunya dalam novel karya Gouw Peng Liang yang berjudul Lo Fen Koei. Novel yang ditulis pada tahun 1903 tersebut menyoroti sisi lain kehidupan pachter bernama Lo Fen Koei yang menyalahgunakan kekuasaannya demi memuaskan segala keinginannya. Selain menyajikan kisah tentang karakter Lo Fen Koei, novel ini juga menyajikan interaksi antara tokoh-tokoh Tionghoa dan tokoh-tokoh pribumi. Dengan penggambaran yang dibuat semirip mungkin dengan peristiwa di kehidupan nyata (baik penggambaran karakter pachter dalam tokoh Lo Fen Koei dan penggambaran interaksi sosial antara kaum Tionghoa dan pribumi dalam novel ini), pembaca dapat memperoleh informasi mengenai gambaran sosial dan interaksi antar-golongan masyarakat yang terjadi di Nusantara pada masa tersebut. Kata Kunci: Candu, Pachter, Tionghoa, Pribumi, Lo Fen Koei.
Opium-Pachter in the Novel Lo Fen Koei by Gouw Peng Liang: Sociological Literature Review ABSTRACT On nineteenth century, opium business became widely promised business in Nusantara. Opium consumers came from any social class, from aristocrate to poor, from Chinese people to local people called pribumi. To managed opium trade in Nusantara, Colonial Dutch Government that ruled Nusantara (on that time) applied opium-pacht system. This system promised big profit for everyone
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
2
who took a part on it, especially for Chinese people. On opium-pacht auction, Chinese people often became the winner and have a right to be an opium-pachter/ land renter on opium-pacht system. The life of Chinese opium-pachter has been illustrated on any works and written, for example the novel Lo Fen Koei. This novel written by Tionghoa’s author named Gouw Peng Liang. Written on 1903, this novel potrayed the life of Lo Fen Koei, a fictitious Chinese opium-pachter that manipulated his power to get anything he wants. This novel not only tells about Lo Fen Koei’s character, but also described about the interaction of people from any social class in Nusantara, especially interaction between Chinese people and pribumi. With the resemblances between Lo Fen Koei’s story and real events (such as the portrayal of opium-pachter that illustrated on Lo Fen Koei’s character and interaction between the Chinese and the pribumi), the readers could get a lot of information about social interaction and any events that happened in Nusantara on that time. Keywords: Opium, Pachter, Chinese, Pribumi, Lo Fen Koei
Pendahuluan Candu merupakan salah satu komoditas paling berharga di Nusantara pada abad ke--18. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, candu diartikan sebagai “getah kering pahit berwarna cokelat kekuning-kuningan yang diambil dari buah Papaver Somniferum, yang dapat mengurangi rasa nyeri dan merangsang rasa kantuk serta menimbulkan rasa ketagihan bagi yang sering menggunakannya”. Candu juga diidentikkan sebagai sesuatu yang menjadi kegemaran. Sejarah menyebutkan bahwa pada abad ke--18, perdagangan candu di Indonesia membawa keuntungan yang besar bagi pemerintahan Hindia Belanda yang pada saat itu menduduki Indonesia. Haryati Soebadyo, dalam bukunya yang berjudul Indonesian
Heritage:
Sejarah
Modern
Awal,
mengungkapkan
bahwa
“perdagangan candu dapat menghasilkan uang bagi kas Hindia Belanda di Batavia, yang menjadikan Belanda sebagai pemeran utama dalam perdagangan candu dengan Cina, serta monopoli candu menjadi pelopor organisasi administrasi penjajah” (2002: 88). Singkatnya, candu kemudian berkembang dari sekadar komoditas perdagangan menjadi alat tukar yang sangat berharga dalam perdagangan internasional.
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
3
Keberadaan candu sebagai komoditas yang menjanjikan membuat perdagangan candu semakin marak di Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda menyediakan lahan untuk menanam candu yang disewakan dengan sistem pacht. Claudine Salmon (2010: 187) mengatakan bahwa, “sistem pacht menunjukkan hak mengusahakan milik pemerintah atau memborong apa-apa yang mendatangkan hasil dengan membayar sewa (pajak) tiap tahun, sedangkan pachter adalah orang yang menyewa dari pemerintah hak untuk mengelola sebuah eksploitasi atau sebuah usaha perdagangan atau juga pajak. Umumnya orang tersebut menyewa hak itu dengan membayar sejumlah uang tertentu dan kemudian berusaha memeroleh untung sebesar-besarnya dari eksploitasi candu tersebut”. Pachter candu kebanyakan berasal dari golongan Tionghoa, atau disebut juga sebagai non-pribumi, yang tidak memiliki hak kepemilikan tanah di Nusantara. Perdagangan candu juga menjadi sumber pemasukan yang besar bagi orang Tionghoa yang bergelut di dalamnya. Keberadaan candu sebenarnya telah lama akrab dengan kehidupan pribumi di Nusantara. James R. Rush (2012: 35) dalam bukunya yang berjudul Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar, dan Pecandu, 1860--1910, menyebutkan bahwa awalnya candu digunakan orang sebagai obat penghilang rasa sakit, seperti demam, malaria, asma, TBC, dan lainnya”. Soebadyo (hlm. 88) juga menyatakan bahwa, “awalnya candu dapat berguna sebagai penyembuh dalam berbagai pengobatan dan dapat digunakan juga sebagai bumbu masakan, tetapi pada akhirnya orang-orang menyalahgunakan dengan menghisapnya sebagai “obat nikmat”. Sebenarnya, kebiasaan mengisap candu bukanlah hal baru dalam kehidupan masyarakat, khususnya para lelaki di Jawa. Namun, biasanya candu yang diisap bukanlah candu murni, melainkan candu yang telah dicampur dengan tembakau. Selain itu, Soebadyo (2002: 89) juga menyebutkan bahwa, “candu juga diolah dengan cara disuling yang menghasilkan narkotik lain, seperti heroin, morfin, dan kodein”. Kebiasaan mengisap dan mengonsumsi candu membawa efek ketagihan bagi para pemakainya, baik kaum pribumi maupun non-pribumi. Kecanduan
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
4
menjadi momok baru yang justru semakin membuat pemasukan kas pemerintah Hindia Belanda menjadi semakin banyak. Melihat efek kecanduan yang melemahkan pemakainya, pada tahun 1920--an, mulai muncul tekanan untuk menghentikan dan memusnahkan perdagangan candu di Hindia Belanda. Akan tetapi, belum ada tindakan serius dari Pemerintah Belanda untuk menghentikan perdagangan candu di Nusantara. Soebadyo (2002 89) menyebutkan bahwa, “proses pemusnahan candu ini berjalan sangat lambat dan pemerintah tetap berjualan candu hingga angkatan perang Jepang datang ke Nusantara pada 1942”. Bisa jadi, pemusnahan candu yang berjalan lambat tersebut disebabkan oleh faktor candu sebagai aset berharga yang membawa banyak keuntungan bagi Belanda. Fenomena perdagangan candu di Nusantara telah dituangkan dalam berbagai tulisan dan karya sastra. Umumnya karya-karya tersebut mengetengahkan orang Tionghoa sebagai tokoh perantara perdagangan candu, misalnya Sair Sindiran yang ditulis oleh Boen Sing Hoo pada tahun 1889. Sair Sindiran mengangkat cerita mengenai kemunculan dan persaingan berbagai kongsi perdagangan candu di antara orang Tionghoa. Salmon (2010: 193) menyebutkan bahwa, “tiap tokoh pemimpin dan anggota keluarga dari setiap perkongsian disimbolkan dengan nama binatang, misalnya landak melambangkan keluarga Ho. Landak merupakan salah satu kongsi perdagangan candu yang paling kuat di Jawa Tengah hingga kematian pendirinya, yaitu Landak Toewa atau Ho Ijam Lo”. Selain Sair Sindiran, karya lain yang menyebutkan masalah candu di dalamnya juga ditemukan dalam novel berjudul Lo Fen Koei yang ditulis oleh Gouw Peng Liang pada tahun 1903. Novel ini merupakan salah satu dari beberapa karya yang termuat dalam buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia jilid 1. Lo Fen Koei mengisahkan kehidupan seorang pachter candu bernama Lo Fen Koei yang menyalahgunakan kekuasaannya sebagai pachter untuk mendapatkan segala hal yang diinginkannya. Dalam upaya mendapatkan segala keinginannya (baik harta maupun wanita), ia tidak segan menggunakan cara-cara
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
5
kotor, seperti memfitnah, menyuap, hingga membunuh orang-orang yang ia anggap sebagai pengganggu. Semua itu dilakukannya melalui tangan orang-orang suruhannya. Di akhir cerita, dikisahkan segala kejahatan Lo Fen Koei terungkap. Orang-orang suruhannya mendapat hukuman berat, sedangkan Lo Fen Koei memutuskan untuk bunuh diri dengan menembakkan pistol ke mulutnya. Dalam novel tersebut, tokoh Lo Fen Koei mendapatkan bantuan dari orang-orang suruhannya guna mendapatkan segala keinginannya. Kaki tangan Lo Fen Koei berasal dari golongan Tionghoa dan pribumi. Kaki tangannya yang berdarah Tionghoa adalah Tjia Njim Soei, sementara kaki tangannya yang berasal dari golongan pribumi antara lain Haji Sa’ari, Sarmilie, Bibi An Hoa/ Satidja, Juragan Sardan, Demang Tabrie, dan Mandor Ahmat. Selain itu, ia juga dikisahkan meminta bantuan seorang berkebangsaan Belanda, yakni Tuan Herman, direktur rumah penjara, ketika ia hendak meminta bantuan agar Liauw Asam (suami dari wanita yang diidamkannya) dihukum berat selama di penjara. Hubungan antara Lo Fen Koei dengan orang-orang dari ras dan suku bangsa yang berbeda memperlihatkan gambaran kuatnya posisi pachter candu dalam berbagai lapisan masyarakat di Nusantara pada masa tersebut. Meskipun demikian, yang banyak diekspos dalam karya ini adalah hubungan antara tokoh yang berdarah Tionghoa dan sesama Tionghoa, atau Tionghoa dengan pribumi. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat kedudukan pachter candu sebagai pengayom sekaligus musuh masyarakat pribumi, yang terlihat dalam diri tokoh Lo Fen Koei. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi analitis. Dalam penelitian ini, peneliti akan terlebih dahulu mengkaji unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novelet Lo Fen Koei. Dalam mengkaji karya tersebut, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Untuk memperkuat analisis, peneliti juga menggunakan metode kajian pustaka, khususnya yang berhubungan dengan sastra Melayu Tionghoa, sejarah Indonesia, dan sosiologi sastra.
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
6
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori sosio-kultural sastra yang diajukan oleh Grebstein dalam buku Sosiologi Sastra karya Sapardi Djoko Damono. Teori sosio-kultural sastra merupakan teori yang menjelaskan hubungan antara sastra dan kultur atau budaya yang hidup dalam masyarakat tertentu. Teori ini berangkat dari ide bahwa karya sastra merupakan cerminan masyarakat. Karya sastra sebagai cerminan masyarakat merupakan salah satu hal yang dikemukakan Ian Watt dalam esainya, “Literature and Society” (Damono, 2010: 4). Pengertian cerminan masyarakat tidak berarti bahwa segala hal yang ditampilkan dalam sebuah karya menjadi 100% sama dengan kehidupan nyata. Watt melihat bahwa, “sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermatcermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya karya yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat” (Damono, 2010: 5) Dengan kata lain, Watt tidak melupakan sisi sosiologis yang dimiliki pengarang dalam proses penciptaan karya. Pengarang ditempatkan sebagai agen yang mewakili masyarakat dalam kehidupan nyata dan menjadi pihak yang paling mengerti siapa masyarakat yang ia tampilkan dalam karyanya. Sementara itu, dalam teorinya Grebstein menyebutkan bahwa “karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan” (Damono, 2010: 6). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang lahir dan tumbuh dalam sebuah masyarakat, yang di kemudian hari menjadi identitas bagi masyarakat itu sendiri. Sebuah karya yang lahir dalam masyarakat, dalam artian diciptakan oleh pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat dan kemudian karya tersebut dinikmati oleh masyarakat itu sendiri, sangat mungkin menjadi dokumentasi budaya yang berlangsung dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh proses penciptaan karya yang banyak terpengaruh dengan segala hal yang terjadi di sekitar, termasuk budaya yang sedang terjadi pada masa penciptaan karya tersebut.
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
7
Selain itu, Grebstein juga menyebutkan bahwa, “gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya; bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan gagasan tersebut. Tak ada karya sastra besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal, dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sungguh” (Damono, 2010: 7). Pendapat Grebstein ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya, dalam proses penciptaan sebuah karya sastra, gagasan menempati tataran tertinggi. Sebuah karya merupakan sarana untuk menyampaikan aspirasi pengarang yang belum dapat tersalurkan mengenai suatu permasalahan sosial tertentu. Melalui karya sastra, pengarang dapat menyuarakan keberpihakan maupun ketidakberpihakan dirinya terhadap isu tertentu. Sifat karya sastra sebagai penyampai aspirasi inilah yang tidak jarang menjadikan sebuah karya sebagai ajang propaganda. Candu: Legal atau Ilegal? Candu memiliki manfaat yang besar dalam ilmu pengobatan. Jauh sebelum kedatangan Belanda, masyarakat Jawa telah mengenal candu sebagai obat yang sangat berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Selain berfungsi sebagai penyembuh, candu juga berfungsi sebagai obat yang dapat memberikan perasaan senang dan bahagia bagi para pemakainya. Namun, mengonsumsi candu dapat berimbas pada bahaya kecanduan. Kecanduan menjadi momok yang berbahaya karena dapat menghancurkan hidup para pecandu, baik secara psikologis maupun ekonomi. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, candu merupakan barang legal yang peredaran dan pemakaiannya diatur dalam undangundang. Perdagangan candu di Nusantara bermula dari berlakunya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, yang “memberi akses pada para investor swasta ke sejumlah besar lahan yang cocok untuk perkebunan-perkebunan dengan cara mengizinkan mereka menyewa tanah-tanah itu dari pihak desa dalam jangka waktu 70 tahun” (Rush, 2012: 23). Yang dimaksud dengan investor swasta di sini adalah orang-orang Tionghoa yang tidak memiliki hak kepemilikan tanah di
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
8
Nusantara.
Pemberlakuan
Undang-Undang
Agraria
sekaligus
membawa
pencerahan bagi orang Tionghoa yang selama ini ruang geraknya dibatasi oleh orang-orang Belanda. Pemberlakuan
Undang-Undang
Agraria
kemudian
dilanjutkan
dengan
pemberlakuan sistem pacht/ pak. Sama halnya dengan Undang-Undang Agraria, pemberlakuan sistem pacht juga memberi keuntungan bagi orang Tionghoa yang biasanya menjadi pemenang lelang kepemilikan pacht. Pemberlakuan sistem pacht dalam perdagangan candu sekaligus memberi pernyataan bahwa candu menjadi barang legal, selama candu tersebut berasal dari sistem pacht. Namun, karena banyaknya kecacatan dalam sistem pacht (seperti maraknya tindak korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan orang-orang di dalam sistem ini), sistem ini kemudian diganti dengan pemberlakuan sistem Regi Opium/ Administrasi Candu Negara pada awal tahun 1904. Ricklefs dalam bukunya yang berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200--2004 menyebutkan bahwa, “hak menjual candu oleh pemerintah dihapuskan secara bertahap mulai tahun 1894, dan akhirnya digantikan oleh Administrasi Candu Negara di seluruh Jawa pada awal tahun 1904” (2005: 272). Pemberlakuan Regi Opium berakhir setelah pemerintah Jepang “menghapuskan Undang-Undang itu (undang-undang peredaran dan perdagangan candu yang berlaku pada masa pendudukan Belanda) dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance)” (Dedi, laman resmi situs BNN (Badan Narkotika Nasional)). Karena sifatnya yang dapat merusak, sudah selayaknya candu dipertimbangkan menjadi barang yang ilegal untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan. Namun, pada masa pemerintahan Kolonial/ Belanda, candu justru menjadi barang yang legal dan disahkan dalam undang-undang. Seperti yang dikutip dari tulisan Dedi, humas BNN (Badan Narkotika Nasional) dalam laman resmi BNN, “Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang”.
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
9
Terdapat beberapa alasan yang membuat perdagangan candu dilegalkan pada masa pemerintahan Kolonial. Pertama, mengisap candu/ opium dalam dunia orang-orang Jawa merupakan kebiasaan turun-temurun yang telah mendarah daging. Kedua, pihak Belanda melihat bahwa orang-orang Jawa masih mengisap candu dalam takaran sedang. Ketiga, terlepas dari pro dan kontra mengenai kebiasaan mengisap candu, pihak Belanda tidak dapat menyangsikan bahwa perdagangan candu memberikan keuntungan besar bagi kas negara. Keempat, pihak pemerintah Belanda jarang ada yang mau terlibat langsung dalam dunia perdagangan candu. Hal ini mengakibatkan minimnya pengetahuan pihak Belanda mengenai seluk beluk dunia candu, baik mengenai cara kerja sistem pak maupun pengelolaan pak oleh para pakter/ pachter/ pengepak. Selain keempat alasan tersebut, masalah lain yang menyebabkan candu tetap tersebar luas di dalam masyarakat (baik pribumi maupun Tionghoa), adalah masalah penyelundupan. Pada masa tersebut, terdapat dua jenis candu, yakni candu legal dan candu ilegal. Candu legal adalah candu yang berasal dari sistem pak yang dikelola pakter tertentu, sementara candu ilegal merupakan candu selundupan/ candu gelap yang dimiliki seseorang yang bukan pachter. Perdagangan candu mulai mengalami masa krisis pada tahun 1880--an. Krisis ini bermula dari munculnya wabah penyakit yang menyerang tanaman perkebunan dan hewan ternak. Setelah masa krisis lewat, tekanan untuk menghapuskan candu kembali muncul, kali ini dari para penulis dan pegawai pemerintah Kolonial, seperti M.Th.H. Perelaer, Isaac Groneman, dan Brooshooft. Lambat laun, masyarakat Jawa juga mulai menyadari bahwa mengisap candu memiliki dampak buruk bagi kehidupan mereka. Seiring perkembangan zaman, mengonsumsi candu dianggap sebagai kebiasaan kuno yang sudah tidak pantas diteruskan dalam kehidupan masa kini. Pada akhirnya, perang melawan candu baru benar-benar berakhir ketika Jepang datang ke Indonesia dan mengakhiri masa pendudukan Belanda. Sejak saat itu, candu dan narkotika lainnya dilarang untuk digunakan secara umum. Penggunaan candu hanya dilakukan di rumah sakit, yaitu morfin
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
10
(hasil olahan dari candu mentah) digunakan sebagai obat penahan sakit dan penyembuh. Situasi Perdagangan Candu di Jawa Apabila ditelusuri, perdagangan candu di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-16. Candu bukanlah tanaman asli Nusantara. Candu berasal dari negara-negara di Asia Barat, seperti Bengal (India), Turki dan Persia. Candu dibawa masuk ke Nusantara melalui kebijakan pemerintah Kolonial yang melakukan perdagangan dengan negara-negara tersebut. Keberadaan candu sebagai barang impor menjadikannya sebagai komoditi yang berharga, terutama dengan kegunaan dan efek yang ditimbulkan setelah mengonsumsi candu. Candu diimpor ke Jawa dalam bentuk mentah dan diolah menjadi produk-produk yang dapat dikonsumsi secara lokal. Candu murni memiliki harga yang tinggi. Oleh sebab itu, banyak orang Jawa yang berasal dari golongan ekonomi rendah menyiasatinya dengan mencampur candu murni dengan berbagai bahan campuran lain (misalnya tike dan awar-awar/ ficus septica). Cara mengonsumsi candu biasanya dengan menggunakan bantuan pipa. Secara garis besar, candu berguna sebagai obat yang menyembuhkan berbagai penyakit. Fungsi penyembuhan tersebut berasal dari zat yang terkandung dalam candu, yang setelah diolah kemudian dikenal dengan nama morfin. Morfin dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dari berbagai tingkatan, mulai dari penyakit ringan seperti batuk, demam, dan sakit kepala, hingga penyakit berat seperti malaria, disentri, dan TBC (batuk berdarah). Selain berfungsi sebagai penyembuh, mengkonsumsi candu juga menimbulkan efek psikologis, di antaranya menimbulkan perasaan senang dan bahagia bagi pemakainya, “banyak orang mengisap opium karena barang ini terasa lezat serta membuat mereka merasa enak dan senang” (Rush, 2012: 36). Efek sugestif seperti perasaan senang dan bahagia setelah mengonsumsi candu seringkali diiringi
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
11
dengan meningkatnya daya fantasi dan imajinasi para pemakainya. Fantasi yang muncul antara lain fantasi seksual, yang disebut sebagai “salah satu kesenangan orang-orang Jawa” (Rush, 2012: 36). Efek psikologis yang disebabkan oleh penggunaan candu dipercaya masyarakat Jawa dapat meningkatkan semangat dan vitalitas kerja, sehingga tidak heran jika dalam kondisi biasa, banyak lelaki Jawa yang mengonsumsi candu sebelum bekerja. Meskipun demikian, tidak selamanya candu dipandang sebagai hal yang positif. Hal ini ditandai dengan ditemukannya efek-efek negatif dari pemakaian candu, seperti kecanduan dan sifat candu yang dapat membuat mabuk. Sifat candu yang memabukkan
dipandang
sebagai
sesuatu
yang
dilarang
agama.
Selain
bertentangan dengan agama, candu sebagai media pengobatan ternyata memiliki efek samping, yakni menyebabkan wasir. Efek candu yang terakhir, dan yang paling menakutkan, adalah kecanduan. Apabila seseorang telah menjadi pecandu, sulit baginya untuk tidak melewatkan hari tanpa mengonsumsi candu. Apabila tidak mengonsumsi candu, para pemakai candu akan merasakan sakit yang tak tertahankan pada tubuh mereka. Efek-efek buruk yang ditimbulkan dari mengonsumsi candu seperti yang dikemukakan Rush dan Carey tersebut mengakibatkan munculnya gerakan menolak candu dalam diri masyarakat Jawa. Pachter Candu Berkebangsaan Tionghoa Rush menyatakan pengertian sistem pacht/ pak sebagai “sistem penyewaan untuk mengumpulkan sejenis pajak (yaitu dari menjual opium) di wilayah khusus dan dikelola oleh seorang pengepak (seseorang yang memegang hak sewa untuk mengelola pak)” (2012: 270--271). Sementara itu, Salmon menyebutkan bahwa, “sistem pacht menunjukkan hak mengusahakan milik pemerintah atau memborong apa-apa yang mendatangkan hasil dengan membayar sewa (pajak) tiap tahun, sedangkan pachter adalah orang yang menyewa dari pemerintah hak untuk mengelola sebuah eksploitasi atau sebuah usaha perdagangan atau juga pajak. Umumnya orang tersebut menyewa hak itu dengan membayar sejumlah uang tertentu dan kemudian berusaha memeroleh untung sebesar-besarnya dari eksploitasi candu tersebut” (2010: 187).
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
12
Singkatnya, meskipun harus menyetor uang pada pemerintah Kolonial, para pachter/ pengepak tetap memiliki kesempatan besar untuk mengelola dan mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari perdagangan candu. Sistem pacht dilaksanakan Pemerintah Kolonial melalui pelelangan. Pelelangan pacht ditujukan bagi mereka, orang-orang Tionghoa maupun pribumi, yang ingin menjadi pachter. Sistem pacht membutuhkan dana yang cukup tinggi. Oleh karena itu, orang-orang yang ingin menjadi pachter dan ingin memiliki hak untuk mengelola tanah biasanya berasal dari kalangan yang berada, seperti para saudagar Jawa dan para hartawan Tionghoa. Setelah pemenang lelang berhasil mendapatkan pacht, maka sang pemenang berhasil menjadi pachter dan harus memenuhi kontrak yang telah disiapkan pemerintah Kolonial. Kontrak yang disetujui pemegang sistem pacht meliputi tiga pasal, “(1) pokok kontrak--yaitu hak eksklusif untuk menjual opium secara eceran di sebuah wilayah yang telah ditentukan dengan jelas; (2) masa berlakunya kontrak--yaitu satu hingga tiga tahun; dan (3) harga--yaitu pajak pak ditambah biaya pembelian opium resmi dari pemerintah.” (Rush, 2012: 50). Selain menyetujui kontrak yang dibuat dengan pemerintah Kolonial, pachter candu juga memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pachter candu mencakup hal-hal yang bersifat teknis, seperti membayar uang sewa pada pemerintah Kolonial secara tepat waktu, hingga melakukan hal-hal yang diminta pemerintah Kolonial sebagai “balas jasa” atas apa yang disediakan pemerintah Kolonial untuk pachter yang bersangkutan. Pachter candu yang berasal dari golongan Tionghoa secara bertahap menancapkan kekuasaannya sebagai orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Pachter candu berkebangsaan Tionghoa yang kaya raya kemudian digolongkan sebagai kelompok Cabang Atas, yakni kelompok kaum Tionghoa Jawa yang paling kaya dan memiliki hubungan baik dengan pemerintah Kolonial.
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
13
Kedudukan yang tinggi dalam masyarakat seperti ini membuat posisi pachter menjadi sangat terhormat dan diinginkan banyak pihak. Sayangnya, kedudukan yang tinggi dalam masyarakat membuat para pachter Tionghoa bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang status sosialnya rendah, misalnya kaum pribumi. Sikap sombong yang ditampilkan para pachter berkebangsaan Tionghoa muncul sebagai bentuk kebanggaan terhadap posisi mereka sebagai orang-orang yang memegang jabatan penting. Sikap pachter candu yang demikian memicu sikap apatis pribumi terhadap keberadaan mereka (para pachter candu). Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Lo Fen Koei 1. Hubungan antara Pachter Candu dan Pejabat Pribumi Hubungan antara pachter candu dengan pejabat pribumi tampak dalam hubungan antara tokoh Lo Fen Koei dengan tokoh Juragan Sardan dan tokoh Demang Tabri. 2. Hubungan antara Pachter Candu dan Pribumi Pengisap Candu Hubungan antara pachter candu dan pribumi pengisap candu tampak dalam hubungan antara tokoh Lo Fen Koei dengan tokoh Bibi An Hoa. 3. Hubungan antara Pachter Candu dan Pribumi yang Bukan Pengisap Candu Legalitas Candu dalam Lo Fen Koei Kesimpulan Lo Fen Koei merupakan novel yang mengambil latar peristiwa di kehidupan nyata. Sebagai sebuah karya yang lahir dari masyarakat dan kebudayaannya, Lo Fen Koei secara tidak langsung menjadi cerminan sosial masyarakat pada masa karya ini diciptakan, yakni pada awal tahun 1900-an. Dalam hal ini, yang menjadi refleksinya adalah perdagangan candu yang marak pada awal tahun 1900-an, dengan orang Tionghoa sebagai pihak yang mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Karena mengangkat latar sosial perdagangan candu, maka
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
14
tokoh utamanya digambarkan sebagai tokoh yang dekat dengan dunia candu. Sosok pachter candu menjadi pilihan karena pachter candu-lah pihak yang memegang kendali terhadap perdagangan candu di Nusantara. Sebagai sebuah novel yang ceritanya terinspirasi dari kejadian dan fenomena sosial di kehidupan nyata, sebisa mungkin Lo Fen Koei menampilkan tokoh-tokoh dan jalinan cerita yang mirip dengan kehidupan nyata. Karena menampilkan tokoh pachter candu sebagai tokoh utama, maka tokoh pachter candu itu sendiri harus dibuat mirip dengan pachter candu di kehidupan nyata. Kesamaan tokoh Lo Fen Koei dengan pachter di kehidupan nyata terletak pada tugas dan kewajibannya sebagai pachter, memiliki wilayah kekuasaan (dalam hal ini afdeeling Banjar Negara dan Residentie Benawan), serta dibantu kuasa pacht dan kroni-kroninya (seperti jagabaya) dalam menjalankan usaha perdagangan candu. Selain itu, tokoh Lo Fen Koei juga digambarkan memiliki kedekatan dengan para pembesar, baik pembesar pribumi (Demang Tabrie), hingga pejabat Pemerintah Kolonial (Tuan Herman, direktur rumah penjara). Hal tersebut serupa dengan pachter di kehidupan nyata yang banyak berhubungan dengan para pembesar dari berbagai golongan, baik pribumi, Tionghoa, dan Belanda. Persamaan lain antara tokoh pachter Lo Fen Koei dengan pachter di dunia nyata terletak pada penggambaran karakter mereka. Baik Lo Fen Koei maupun pachter di dunia nyata sama-sama digambarkan memiliki watak yang buruk, seperti haus kekuasaan, licik, dan tidak segan melakukan apapun demi mendapatkan keinginannya. Persamaan berikutnya terletak pada penggambaran fenomena sosial selain candu, yakni fenomena suap yang terjadi di kalangan pejabat pemerintahan. Dalam Lo Fen Koei, dikisahkan tokoh Lo Fen Koei memberi uang suap pada tokoh Demang Tabri (kepala distrik Banjar Negara), Tuan Herman (direktur rumah penjara), dan Ahmat (mandor rumah penjara). Ketiganya menerima uang suap dari Lo Fen Koei sebagai balasan karena mereka bertiga telah memuluskan rencana jahat Lo Fen Koei. Dalam kehidupan nyata, praktik suap yang dilakukan terhadap oknum
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
15
pejabat pemerintah (baik pejabat pemerintah Kolonial Belanda maupun pejabat pemerintah pribumi/ priyayi) demi kepentingan pihak-pihak tertentu (khususnya pihak pak) memang marak terjadi. Meskipun demikian, tidak semua penggambaran tersebut akurat, atau hampir seratus persen mirip dengan kehidupan nyata. Terdapat beberapa perbedaan antara tokoh dan peristiwa dalam Lo Fen Koei dengan tokoh dan peristiwa yang berlangsung di kehidupan pachter candu di dunia nyata.
Perbedaan tersebut
antara lain perbedaan sikap yang ditampilkan tokoh Lo Fen Koei terhadap tokohtokoh pribumi. Tokoh Lo Fen Koei menyalahgunakan kekuasaan, namun tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang terhadap para tokoh pribumi. Ia memperlakukan tokoh pribumi yang menjadi orang-orang suruhannya selayaknya atasan memperlakukan bawahan, tanpa diwarnai aksi kesewenangan. Sementara itu, di kehidupan nyata, tokoh pachter berkebangsaan Tionghoa seringkali diidentikkan sebagai orang-orang yang menyengsarakan kaum pribumi, berperilaku sewenang-wenang, serta tidak memberikan penghormatan terhadap orang-orang pribumi, baik dari kalangan priyayi maupun rakyat jelata. Perbedaan lain antara kisah Lo Fen Koei dengan kehidupan nyata terletak dari minimnya jumlah pecandu dalam novel ini. Apabila dalam kehidupan nyata sosok pecandu dapat berasal dari berbagai kalangan, baik dari Tionghoa maupun pribumi, mulai dari kaum hartawan dan priyayi (seperti para pangeran yang turut berjuang dalam Perang Diponegoro) hingga rakyat jelata, dalam Lo Fen Koei sosok pecandu hanya ditampilkan dalam satu tokoh saja, yakni tokoh Bibi An Hoa. DAFTAR PUSTAKA Benedanto, Pax& Marcus A.S, 2002. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia jilid 1. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Carey, Peter. 2008. Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi Tentang Cina 1775--1825. Jakarta: Komunitas Bambu.
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
16
Chandra, Siddharth. “Economic Histories of the Opium Trade”.EH. Net Encyclopedia, disunting oleh Robert Whaples.10 Februari 2008. Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra. Jakarta: Editum. Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Evlin, Hotma S. 1994. Opium Regie: Babak Akhir Tata Niaga Candu Pada Masa Kolonial Belanda 1904-1942. Depok: Universitas Indonesia. Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. Rush, James R. 2012. Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar, dan Pecandu, 1860--1910. Jakarta: Komunitas Bambu. --------------------, “Opium in Java: A Sinister Friend,” Journal of Asian Studies, Vol. XLIV, Mei 1985. Salmon, Claudine. 2010. Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Soebadyo, Haryati, dkk. 2002. Indonesian Heritage: Sejarah Modern Awal. Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International, Inc. Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Yogyakarta: Galang Press.
Melayu--Rendah
Masa
Awal.
Suryadinata, Leo.1996. Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia. Jakarta: Penerbit Grasindo. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Bahasa dan Gramedia Pustaka Utama. Yishihara, Kunio, 1992. Konglomerat Oei Tiong Ham: Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sumber Data GouwPeng Liang, 1903. Lo Fen Koei dalamBenedanto, Pax& Marcus A.S.
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014
17
http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2011/10/31/189/sejarah-singkatnarkoba, diunduh pada tanggal 25 Maret 2014, pukul 15.30
Universitas Indonesia
Pachter candu dalam novel..., Astri Setyarini, FIB UI, 2014