PERANAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIH (LKS) DALAM PENGELOLAAN EKONOMI KELUARGA1 Oleh: Didin Hafidhuddin2 بسم الله الرحمن الرحيم Landasan dan Filosofi Ekonomi Syariah Ekonomi sebagai suatu usaha mempergunakan sumber-sumber daya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan, sesungguhnya melekat pada watak manusia. Tanpa disadari, kehidupan manusia seharihari didominasi kegiatan ekonomi. Dalam bahasa Arab, ekonomi sering diterjemahkan dengan Al-Iqtishad, yang berarti hemat, dengan perhitungan, juga mengundang makna rasional dan nilai secara implicit. Ekonomi Islam pada hakikatnya adalah upaya pengalokasian sumbersumber daya untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan petunjuk Allah SWT untuk memperoleh ridha-Nya. Petunjuk Allah SWT tentang hal itu sudah ada sejak wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, sebagai kajian yang berdiri sendiri dengan menggunakan ilmu-ilmu modern, terlepas dari ilmu fiqh, baru dimulai sekitar tahun 1970-an. Menurut ahli ekonomi Islam, ada tiga karakteristik yang melakat pada ekonomi Islam yaitu: 1. Inspirasi dan petunjuknya diambil dari Al-Qur'an dan Sunnah. 2. Perspektif dan pandangan-pandangan ekonominya mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber. 3. Bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai, prioritas dan etika ekonomi komunitas muslim pada periode awal (M. Yasir Nasution, 2002). Dari informasi singkat ini, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam mempunyai perbedaan yang mendasar dengan ekonomi konvensional (sebutan yang lazim digunakan untuk ekonomi sekuler). Perbedaan yang mendasar adalah pada landasan filosofinya dan asumsiasumsinya tentang manusia. Ekonomi Islam dibangun atas empat landasan filosifis yaitu : tauhid, keadilan, (keseimbangan), kebebasan dan pertanggungjawaban. (Adiwarman Karim, 2001). Tauhid dalam hal ini berarti bahwa semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah SWT dan hanya Dia yang mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme hubungan antarn, perolehan rizki, dan lain sebagainya (rububiyyah). Oleh sebab itu manusia harus mengikuti segala ketentuan Allah SWT dalam segala aktifitasnya, termasuk aktifitas ekonomi. Ketentuan Allah SWT yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, akan tetapi juga bersifat etis dan moral (uluhiyyah). 1 Disampaikan pada ACARA KIBAR AUTUMS GATHERING, Venue: Nottingham Pakistani Centre, 163 Woodborough Road, Nottingham 03 Dzulqa’dah 1429 H/01-02 November 2008. 2 Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Direktur Pascasarjana Univeritas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, dan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB).
1
Keadilan dan keseimbangan ditegaskan dalam banyak ayat suci AlQur'an sebagai dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah secara intrinsic membawa keadilan dan keseimbangan. Dalam ekonomi Islam misalnya, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua dari satu entitas. Pada tingkat teknis, hal ini tampak pada prktek Mudharabah (Lost and profit sharing) dimana pemilik modal dan pekerja ditempatkan pada posisi yang sejajar dan adil. Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktifitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan ketentuan Tuhan yang melarangnya. Ini menunjukkan bahwa inovsi dan kreatifitas dalam ekonomi adalah suatu keharusan. Pertanggungjawaban memiliki arti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggungjawab atas segala putusannya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan memilih berbagai alternatif yang ada dihadapannya. Pada gilirannya ia harus bertanggungjawab kepada Allah SWT (M. Yasir Nasution, 2002). Keempat landasan filosofis ini selanjutnya membawa perbedaanperbedaan lainnya pada asumsi dan hal-hal yang bersifat teknis. Dari landasan tauhid misalnya, asumsi tentang manusia akan berbeda dengan asumsi ekonomi konvensional. Manusia dipandang sebagai makhluk yang pada kodratnya mempunyai kasih sayang, manusia akan merasa senang memberi bantuan kepada orang lain (altruisme). Karena itu kebijakan ekonomi dan teknis operasional lembaga ekonomi seharusnya merangsang orang untuk menumbuhkan fitrah kebaikannya itu. Konsep fitrah akan melahirkan contributive (ta'awun dan takaful) menggantikan sikap exploitative. Tampak bahwa hal yang paling menjadi perhatian para ahli ekonomi Islam adalah pada dimensi filosofis dan nilai. Bertolak pada dimensi filosofis dan nilai Islam, mereka mencoba untuk merumuskan dimensi-dimensi teori dan teknis. Konsep kebutuhan dasar dan arah pembangunan misalnya, mereka rumuskan berdasarkan maqasid al-yari'ah (tujuan-tujuan syari'at Islam) yang ditulis oleh alSyathibi dan juga al-Ghazali dengan tetap meminjam instrument pengukuran dan pengujian ilmu ekonomi konvensional. Demikan juga halnya dengan sistem moneter. Satu hal yang menarik dari proses pembentukan ekonomi Islam, cara yang ditempuh adalah pendekatan ilmiah, melalui penelitianpenelitian baik penelitian pada sumber-sumber ajaran Islam, sunnah Nabi dan para sahabat , khasanah pemikiran ekonomi para ilmuan terdahulu, maupun penelitian empiric terhadap kondisi dan perilaku ekonomi masyarakat Islam. Penellitian-penelitian itu dilakukan secara terbuka, dipertanggungjawabkan secara ilmiah di forum-forum asosiasi ekonomi yang dihadiri tidak saja oleh ilmuan ekonomi syari'ah, akan tetapi juga ilmuan ekonomi lain sesuai dengan bidang minat 2
keilmuannya. Puncak acara keilmuan dalam kurun waktu empat tahun sekali dilakukan konferensi internasional memperbincangkan hasil-hasil penelitian dan pengujian teori-teori yang telah ditemukan. Sebagai salah satu proses pengjian ilmiah, sama sekali tidak ada kesan ekslusifisme di dalamnya (M. Yasir Nasution, 2002). Manajemen Ekonomi Dalam Rumah Tangga Ekonomi syariah bukanlah sebuah kegiatan ekonomi yang hanya dilaksanakan dalam level luas atau dalam skala makro, seperti dalam ekonomi bangsa dan negara, akan tetapi juga berlaku dalam keluarga. Ekonomi yang berasal dari kata-kata al-Iqtishad sebagaimana tersebut di atas, dalam salah satu hadits Rasulullah SAW diungkapkan dengan istilah pengeluaran dan pembelanjaan pada diri seseorang atau keluarga.
ُ ْسو َ قَا َ معِي وَالتَّوَدُّد ُ إِلَى، ِشة ُ ص ُ ل َر َ ْ ف ال ْ ِ ي النَّفَقَةِ ن َ ِ الِقْت:s ِل الله ِ صاد ُ ف َ ُّ ن ال .{ }رواه الطبراني.ِف الْعِلْم ُ ص ُ ص ُ َ و، ل ْ ح ْ ِل ن ْ ِس ن ِ سؤَا ُ س ِ ْف الْعَق ِ الن ّا
”Rasulullah SAW bersabda: ”Ekonomis (sederhana dan tidak berlebihlebihan) dalam memberikan nafkah (untuk keluarga) merupakan separuh kehidupan, saling mencintai sesama manusia merupakan separuh akal, dan bertanya dengan baik, merukan separuh ilmu pengetahuan.” (HR. Thabrani).
Hadits di atas mengandung arti, bahwa kebaikan kehidupan bukan semata-mata ditentukan oleh seberapa jauh pendapatan dan penghasilan yang ia dapatkan, akan tetapi juga ditentukan oleh seberapa efisien dan hemat (ekonomis) dalam mengeluarkannya. Oleh karena itu, di dalam beberapa ayat al-Qur’an diungkapkan tentang larangan berlaku ishraf dan tabdzir (berlebih-lebihan). Israf dan tabdzir adalah perbuatan yang tercela, karena mengeluarkan sesuatu secara berlebih-lebihan, melebihi kebutuhan yang layak, baik dalam makan, minum, berpakaian, maupun dalam pemenuhan kebutuhan yang lainnya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-A'raf [6] ayat 31 dan QS. Al-Isra’ [17] ayat 26-27:
ِّ ُ عنْد َ ك َ قَا ْ جدٍ وَكُلُوا وَا شَربُوا ُ م ِ م َ َ يَا بَنِي آَد:ه تَعَالَى ْ م ِ س َ ل ْ ُ خذ ُوا زِينَتَك ُ ل الل ُّ ح .{31 : }العراف.ن ِ ُه ل َ ي ْ م ْ ُ وَل َ ت ُ ْ ب ال ُ َّ سرِفُوا إِن َ ْ سرِفِــي
” Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A'raf [6]: 31).
َّ ن ال َ قَا ذّْر ِ َ ل وَل َ تُب ِ ْ ه وَال ِ َ وَآ:ه تَعَالَى َ ت ذ َا ال ْ ُقْربَى ْ م ُ َّحق ُ ل الل ِ سبِي َ ْ ن وَاب َ ْ سكِي َّ ن ال َّ ن ال َّ ِ ( إ26 ) تَبْذِيًرا ْ ِ ن كَانُوا إ ِن لَِرب ِّه ُ شيْطَا َ ن وَكَا َ خوَا ُ ْ ن ال َ مبَذِّرِي ِ ْ شيَاطِي .{27 -26 : }السراء.(27 ) كَفُوًرا
”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (26) Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (27).” (QS. AlIsra’ [17]: 26-27). 3
Salah satu kekhasan ciri ekonomi syariah, yang membedakan dengan ekonomi konvensional, adalah yang diperhatikan bukan sematamata bagaimana cara mendapatkan harta tersebut, akan tetapi juga bagaimana kita mengeluarkannya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
َ َل ع َّ حت َ َ سأ َ ْن تَُزو ُ ْسو َ قَا ن َ ِ مة َ ْما َع َبد ٍ يَو ْ ُى ي ُ ل َر َ م الْقِيَا َ َ ل قَد ْ َ ع:ن أْربٍَع ْ ْ َ ل:s ِل َالله َ َ ن م ِ ِمالِه َ َ ن اِكْت َ ْ ه وَفِي ُ َ سب َ ن َ ْ شبَابِهِ فِي َ ْ مرِهِ فِي ْ ُ َع َ ْ ن أي ْ م ْ َ وَع,ُم أبْلَه ْ َ وَع,ُم أفْنَاه ْ َ م .{ }رواه أبو داود.ِل بِه ِ ن ِ َ ماذ َا ع ِ عل َ ِ مه ُ َأنْفَق ْ َ ه وَع
“Rasulullah Saw. bersabda: “Seseorang yang akan terlepas dari empat pertanyaan pada Hari Kiamat nanti: Usia dipergunakan untuk apa, masa muda dihabiskan untuk apa, harta benda yang dimiliki bagaimana cara mendapatkannya dan bagaimana pula caa memanfaatkannya; serta ilmu pengetahuan bagaimana pengamalannya”. (HR. Abu Daud).
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka memanej kegiatan ekonomi di dalam rumah tangga, antara lain: Pertama, Hendaknya setiap keluarga mencari rizki atau cara mendapatkannya dilakukan secara baik dan halal. Karena rizki yang halal akan menyebabkan serta menghasilkan perilaku yang baik. Sebaliknya rizki yang haram, juga akan mengakibatkan perilaku yang kurang buruk.
َ َ ْ ما ف َّ م َ َقا ت ُ حلَل ً طَيِّبًا َول َ تَتَّب ِ ُعوا ِ خطُ َوا ِ س كُلُوا َ ض ُ ل الل ُ يآأيــُ َها النَّا:ه ت َ َعالَى ِ ِ ي الْر َّ ال .{168 : }البقرة.ن َ م ُ ع ُ د ٌّو ْ ُ ه لَك ُ ن إ ِ َّن ٌ مبِي ِ شيْطَا
”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168).
َ َ َّ م َ قَا ِم بِه ِ وَكُلُوا:ه تَعَالَى َ ه ْ ُ ه ال ّذِي أنْت َ حلَل ً طَي ِّبًا وَاتَّقُوا الل ُ م الل ُ ُ ما َرَزقَك ُ ل الل .{88 : }المائدة.ن ِ ْ مؤ َ منُو ُ
”Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 88).
َّ م َ َقا ْ حلَل ً طَيِّبًا َوا م َ م ِ ة الل ِ َفكُلُوا:ه ت َ َعالَى ْ ِه إ َ ه ْ ُ ن كُنْت َ شكُُروا ن ِ ْع ُ م الل ُ ُ ما َرَز َقك ُ ل الل .{114 : }النحل.ن َ إِيَّاهُ ت َ ْعبُدُو
”Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni`mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An-Nahl [16]: 114).
َ َ ذي ُ َ َ َقا ْ م َوا ن ِ شكُُروا لل ِ ن طَيِّبَا ِ منُوا كُلُوا ْ ِه إ ْ ُ ما َرَز ْقنَاك َ ت َ نآ ُ ل الل ْ م َ ِ ّ يآ أيــ َها ال:ه ت َ َعالَى َ .{172 : }البقرة.ن َ ه ت َ ْعبُدُو ُ م إِي ّا ْ ُ كُنْت
”Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benarbenar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 172). Kedua, Hendaknya setiap keluarga menjadikan penghasilan itu untuk memenuhi kebutuhan yang pokok, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan, serta kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Ketiga, Hendaknya setiap keluarga, mengeluarkan sebagian dari harta yang telah diperolehnya; baik itu berupa zakat, infaq dan shadaqah. Karena zakat dan infaq ini, akan menyebabkan keberkahan,
4
ketenangan, bahkan juga akan menyebabkan harta yang diperoleh tersebut semakin bertambah dan berkembang.
َ َ َ ِ موَا َ قَا ه ِ س فَل َ يَْربُو ِ عنْد َ الل ِ م ْ يأ ْ ُ ما آتَيْت َ َو:ه تَعَالَى ُ ل الل ْ م ِ ن رِبًا لِيَْربُوَ ُ ف ِ ل الن ّا َ َ ِ ه اللهِ فَأولَئ .{39 : }الروم.ن ِ م َ ضعِفُو ْ م ْ ن َو َ ن َزكَاةٍ تُرِيدُو ُ ْ م ال ُ ُك ه َ ج ْ ُ ما آتَيْت َ َو ْ م
”Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat [30]: 39). َ َ gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum َ
ُ َ مث َ قَا ت َ ل َ ن يُنْفِقُو َ ي ْ َ حبَّةٍ أنْبَت َ َ ل اللهِ ك ْ ُموَالَه ْ نأ َ :ه تَعَالَى ُ ل الل ِ َ مث ِ سبِي َ ل ال ّذِي ِ مف َ َ ُ ِّ ي ك َ ِ سنَاب َ َن ي ُ ع ِ ضا ُ َ مئ ِ ه وَا ِ ٍسنْبُلة ٌسع َ ُه ي َ ة ُ ل َ َسبْع َ ُ شاءُ وَالل َ ِف ل ُ حب ّةٍ وَالل ْ م ِ لف .{261 : }البقرة.م ي ل ِ ٌ َع
”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 261). َ َ َ
َّ ِ إ:ه تَعَالَى َّ م َّ موا ال َ قَا ما ب اللهِ وَأقَا ن ال ّذِي ِ صلَة َ وَأنْفَقُوا َ ن كِتَا َ ن يَتْلُو ُ ُ ل الل َ ُ م ً َ سًّرا وَع َلَنِي ِ م ُ مأ َ ِن ت َ جو ُ ة يَْر ْ ُم وَيَزِيدَه ْ ُجوَره ْ ُ( لِيُوَفِّيَه29) ن تَبُوَر ْ َُرَزقْنَاه ْ َ جاَرة ً ل َ ه غَفُوٌر .{30-29 : }فاطر.(30) شكُوٌر ِ ْ َن ف ُ َّ ضلِهِ إِن ْ م
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (29) agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (30).” (QS. Fathir [35]: 29-30). ُ ُ
َّ ِم ع َلَيْه ُ ْسو َ قَا ما ٌ َ ثَلَث... :s ه ِ ح ِ ل الل ْ حدِيثا ً فَا َ م َ وَأ، ن ُ ل َر َ : ُح َفَظُوه ْ ُ دّثُك ُ ة أقْس ًعّزا ُ ما ِ ه ً م ِ ٍ ل ع َبْد ُ صبََر ع َلَيْهَا إِل ّ َزادَه ُ الل َ َ مظْل َ ٌ م ع َبْد َ ِ َوَل َ ظُل، ٍصدَقَة َ ص َ ة َ ن َ َنَق ْ م َ َ َ ّ .{ }رواه الترمذي....ٍب فقْر َ ه ع َليْهِ بَا َ َ مسألةٍ إِل فَت َ ح ع َبْد ٌ بَا َ َ وَل َ فَت، ُ ح الل َ ب
“Rasulullah SAW bersabda: “… Ada tiga hal yang akan aku bagikan (berikan), dan akan aku ceritakan buat kalian suatu berita, maka jaga dan peliharalah ketiga hal tersebut: “Tidaklah menjadi berkurang (habis) harta seorang hamba (manusia), jika ia keluarkan shadaqah (infaq)nya, melainkan akan menjadi berkah dan bertambah; tidaklah menjadi hina seseorang, jika ia telah didzalimi, kemudian ia bersabar, kecuali Allah akan menambahkan kemuliaan kepadanya; dan tidaklah Allah akan membuka pintu permasalahan hamba-Nya, kecuali Allah akan membuka (pintu permasalahan tersebut) melalui pintu (masalah) kefakirannya…” (HR. Tirmidzi). Keempat, Jika dimungkinkan, hendaknya setiap keluarga menjadikan harta yang telah diperolehnya untuk disimpan ataupun ditabung. Kegiatan menabung ini, bisa melalui bank syariah maupun asuransi syariah; baik untuk pendidikan anak, kesehatan, dana pensiun, maupun kegiatan-kegiatan yang lainnya.
Perbedaan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) Adapun perbedaan Lembaga Keuangan Syariah, seperti Bank maupun Asuransi dengan Lembaga Keuangan Konvensional, antara lain sebagai berikut: a) Akad dan Aspek Legalitas. Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi, 5
karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti. Setiap akad dalam lembaga keuangan syari’ah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti rukun dan syarat. b) Struktur Organisasi. Lembaga Keuangan Syari'ah dapat memiliki struktur yang sama dengan Lembaga Keuangan Konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi. Tapi unsur yang amat membedakan antara lembaga keuangan syari’ah dengan lembaga keuangan konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syari’ah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produkproduknya agar sesuai dengan garis-garis syari’ah. c) Bisnis dan Usaha yang Dibiayai. Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syari'ah. Karena itu bank syari'ah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan. Dalam lembaga keuangan syari'ah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, yang diantaranya adalah: (1)Apakah objek pembiayaan halal atau haram? (2)Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat? (3)Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila? (4)Apakah proyek berkaitan dengan perjudian? (5)Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal? (6)Apakah proyek dapat merugikan syi'ar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung? d) Lingkungan Kerja Dan Corporate Culture. Sebuah lembaga keuangan syari'ah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syari'ah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu karyawan lembaga keuangan syari'ah harus skillful dan professional (fathonah) dan mampu melaksanakan tugas secara team-work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syari'ah. Selain itu cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula
6
dalam menghadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga. Nabi Muhammad Saw. mengatakan bahwa senyum adalah shadaqah.
والله أعلم بالصواب
7