Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
PERAN PUSAT LOGISTIK BERIKAT (PLB) DALAM MENURUNKAN DWELLING TIME DI PELABUHAN INDONESIA The Role of Bonded Logistic Center (BLC) in Reducing Dwelling Time on The Indonesian Port Avif Haryana Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5 Jakarta Pusat Pos-el:
[email protected],
ABSTRACT:In March 2016 the government has inaugurated the operation of Bonded Logistics Center (BLC). BLC incentives are expected to be able to reduce logistics costs by lowering national dwelling time on ports and make the warehouses closer to the industry. This study aimed to analyze the differences between the dwelling time of import using PIB form and the dwelling time of imports to be dumped in the BLC using BC 1.6 form. Based on the results of interviews with PT TMMIN along with document and container flow analysis indicate that using BC 1.6 forms,dwelling time will be cut as a result of the postponement of the payment of customs duties, fulfilment of import permits and examination of containers and its documents. Keywords:bonded logistic center, port, dwelling time, logistic cost ABSTRAK: Pemerintah pada Bulan Maret 2016 telah meresmikan beroperasinya Pusat Logistik Berikat (PLB). Insentif PLB diharapkan akan mampu mengurangi biaya logistik nasional dengan menurunan dwelling time di pelabuhan dan mendekatkan gudang bahan baku ke industri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan dwelling time antara importasi barang untuk dipakai dengan formulir PIB dan importasi barang untuk ditimbun di PLB dengan formulir BC 1.6. Berdasarkan hasil wawancara dengan PT TMMIN serta analisis alur dokumen dan peti kemas menunjukkan bahwa dengan formulir BC 1.6 dwelling time akan terpangkas dengan penundaan proses pembayaran bea masuk, pemenuhan syarat aturan pembatasan dan pemeriksaan dokumen dan fisik peti kemas. Kata Kunci: pusat logistik berikat, pelabuhan, dwelling time, biaya logistik
PENDAHULUAN Turunnya peringkat Indonesia dalam survei Logistic Performance Indeks (LPI) 2016 perlu mendapatkan perhatian oleh para pemangku kebijakan. Dari 160 negara yang disurvei, Indonesia mendapatkan peringkat ke-63 dengan skor 2,98, mengalami penurunan dibandingkan hasil survei periode sebelumnya di tahun 2014 dimana saat itu Indonesia mendapatkan peringkat ke-53 dengan skor 3,08 (rentang skala 1-5, dengan 5 skala tertinggi). LPI merupakan benchmarking tools yang dikembangkan oleh World Bank yang mengukur kinerja rantai pasok dalam suatu negara dengan dibandingkan dan diperingkat bersama negara-negara lainnya. LPI memberikan gambaran kinerja logistik yang komprehensif mencakup prosedur kepabeanan, biaya
logistik, kualitas infrastruktur dalam melacak pengiriman, ketepatan waktu sampai ke tujuan dan kompetensi industri logistik nasional (World Bank, 2007). Penurunan skor LPI ini sempat dipertanyakan banyak pihak, mengingat semenjak masa pemerintahan Kabinet Kerja banyak kebijakan pembenahan logistik nasional diluncurkan, antara lain seperti Tol Laut, Gerai Maritim, pengembangan Indonesia Nasional Single Window (INSW) Generasi-2, Beyond Cabotage, mega proyek infrastruktur logistik dan pengembangan Pusat Logistik Berikat (PLB). Dari beberapa diskusi1 terungkap bahwa skor 1
Sebagaiman disampaikan oleh Daniel Alexander Van Tuijil dari World Bank dalam seminar Jakarta International Logistics Summit (JILSE) bulan Oktober 2016.
1
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
LPI 2016 belum mengakomodir perkembangan terkini sektor logistik di Indonesia. Efisiensi prosedur kepabeanan di pelabuhan merupakan salah satu komponen penilaian LPI. Pelabuhan merupakan titik simpul (node) dalam rantai pasok global, sehingga kinerja suatu rantai pasok global juga ditentukan oleh kinerja pelabuhan dalam rantai pasokan tersebut. Salah satu aspek kinerja pelabuhan yang akhirakhir ini hangat diperbincangkan adalah dwelling time.
sumber: (PT Pelabuhan Indonesia, 2016)
Gambar 1 Data Rata-Rata Bulanan Dwelling Time (Hari) di 4 Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Priok Tahun 2015
Menurut Pengelola Portal Indonesia National Single Window (PP INSW) dwelling time adalah waktu tunggu yang dibutuhkan mulai saat peti kemas diturunkan dari sarana pengangkut hingga keluar dari area pelabuhan. Isu dwelling time menjadi mengemuka di pertengahan tahun 2015 menyusul kekecewaan Presiden Joko Widodo
terhadap masa tunggu bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, dimana waktu tunggu bongkar muat untuk barang tertentu memakan waktu 5,5 hari dan 20 – 30 hari untuk barang jenis bahan berbahaya dan beracun (B3). Presiden sempat menyebut dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok terlama di Asia (Lumanauw, 2015). Data dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok tahun 2015 ditunjukkan oleh Gambar 1. Dengan lamanya dwelling time proses pengadaan bahan baku dan bahan penolong yang berasal dari luar negeri (impor) akan terhambat dan berdampak pada biaya peningkatan biaya logistik terutama pada biaya pengadaan (procurement) dan biaya penyimpanan bahan baku (holding cost). Pada akhirnya, biaya logistik yang tinggi akan berdampak pada produksi yang tidak efisien dan rendahnya daya saing. Pada akhir tahun 2015, pemerintah melakukan terobosan di bidang logistik yaitu dengan meluncurkan kebijakan pemberian insentif untuk pengembangan kawasan Pusat Logistik Berikat (PLB). Kebijakan ini merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi tahap ke-2 atau yang dikenal dengan paket kebijakan ekonomi Jokowi jilid 2 yang diluncurkan tanggal 29 September 2015. Berdasarkan PP No. 85 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas PP No. 32 Tahun 2009 Tentang Tempat Penimbunan Berikat, definisi PLB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang digunakan untuk menimbun barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean dengan fasilitas penangguhan bea masuk, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
2
Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
Esensi dari kebijakan ini yaitu menciptakan gudang penimbunan di dalam negeri untuk barang impor terutama bahan baku dan bahan penolong yang berlokasi di kawasan dekat dengan industri dengan insentif penundaan bea masuk dan pajak serta belum diberlakukan ketentuan pembatasan saat pemasukan barang. PLB merupakan salah satu bentuk Tempat Penimbunan Berikat (TPB) yang dikembangkan dan diperluas fungsinya. Sebelum kebijakan insentif PLB diluncurkan, sudah ada jenis TPB lainnya yang juga mendapat fasilitas penundaan bea masuk dan pajak sebagaimana diatur dalam PP No. 32 Tahun 2009 yang sudah dirubah yaitu: 1. Gudang Berikat; 2. Kawasan Berikat; 3. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat; 4. Toko Bebas Bea; 5. Tempat Lelang Berikat. 6; dan 7. Kawasan Daur Ulang Berikat. Adapun keistimewaan PLB dibandingkan TPB lainnya antara lain (Supomo, 2016): 1. Kepemilikan barang yang ditimbun bisa milik sendiri, konsinyasi atau titipan. 2. Waktu masa timbun sampai dengan 3 tahun dan bisa diperpanjang jika barang yang ditimbun merupakan barang untuk keperluan: a). Operasional minyak dan/atau gas bumi; b). Pertambangan; c). Industri tertentu; d). Industri lainnya dengan izin Kepala Kantor Pabean. 3. Digunakan nilai pabean (NP) saat pengeluaran. 4. Asal dan tujuan pengeluaran barang fleksibel (one to many, many to one, many to many) 5. Jangka waktu izin seumur hidup sampai dicabut. 6. Certificate of Origin (CoO)/ Surat Keterangan Asal (SKA) diterima dan bisa dikeluarkan secara parsial 7. Pemeriksaan oleh surveyor bisa dilaksanakan di dalam PLB. Kebijakan insentif PLB direspon dengan antusias oleh para stake holder baik oleh kementerian dan lembaga selaku pembuat regulasi pendukung maupun oleh pelaku usaha selaku penerima manfaat kebijakan ini. Sampai
dengan akhir bulan Oktober 2016, terdapat 28 PLB yang sudah diresmikan dan diprediksi akan terus bertambah mengingat besarnya animo pelaku usaha terhadap kebijakan ini. Dari sisi regulasi pemerintah telah meluncurkan beberapa regulasi untuk mendukung operasional PLB yaitu: 1. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas PP No. 32 Tahun 2009 Tentang Tempat Penimbunan Berikat. 2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 272/PMK.04/2015 Tentang Pusat Logistik Berikat. 3. Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/M-DAG/PER/9/2016 Tentang Ketentuan Pemasukan dan Pengeluaran Barang Asal Luar Daerah Pabean Ke dan Dari Pusat Logistik Logistik Berikat. 4. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. PER-01/BC/2016 Tentang Tata Laksana Pusat Logistik Berikat. 5. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. PER-02/BC/2016 Tentang Tata Laksana Pengeluaran Barang Impor dari Kawasan Pabean untuk Ditimbun di Pusat Logistik Berikat. 6. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. PER-03/BC/2016 Tentang Tata Laksana Pengeluaran Barang Impor dari Pusat Logistik Berikat untuk Diimpor untuk Dipakai. Presiden berharap pembentukan PLB menjadi solusi dari permasalahan logistik nasional. Dengan adanya PLB, pemerintah meyakini biaya logistik nasional akan turun, dwelling time di pelabuhan semakin cepat, serta dapat menarik investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional (Setkab, 2016). Selain itu pemerintah juga berharap fasilitas PLB dapat dioptimalkan oleh perusahaan untuk mengembangkan usahanya dan memperluas jaringan pasokannya sehingga bisa mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai Hub Logistik di Asia Pasifik (Kemenkeu, 2016). Kebijakan PLB merupakan
3
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
kebijakan nasional dan bukan hanya merupakan kebijakan Kementerian/Lembaga tertentu. Berbagai analisis dan tinjauan komprehensif harus dilakukan untuk mengawal, dan memberikan masukan terkait kebijakan PLB supaya diperoleh output dan outcome yang diharapkan. Penelitian ini merupakan tinjauan yang komprehensif mengapa dwelling time bisa dipersingkat. Tulisan ini akan menganalisis kebijakan PLB khususnya dampak yang ditimbulkan dalam mengurangi dwelling time di pelabuhan di Indonesia. METODOLOGI
Tulisan ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dimulai dengan (i) menjelaskan insentif yang ditawarkan oleh PLB terhadap barang impor (ii) mendeskripsikan dan menganalisis proses pergerakan peti kemas di pelabuhan dan dwelling time; (iii) menganalisis dampak pemanfaatan PLB terhadap dwelling time di pelabuhan. Dugaan/pernyaatan sementara tulisan ini adalah bahwa implementasi PLB akan mempersingkat dwelling time di pelabuhan. Data yang digunakan dalam penulisan ini merupakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengusaha yang telah menerapkan PLB dengan cara wawancara pada saat acara pameran Indonesia Transport, Supply Chain and Logistic (ITSCL) di Jakarta International Expo Kemayoran tanggal 19 – 21 Oktober 2016. Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur sebelumnya, Kementerian Perdagangan, Dirjen Bea dan Cukai, dan berbagai media massa baik cetak maupun elektronik. HASIL DAN PEMBAHASAN Insentif Pusat Logistik Berikat (PLB) Berdasarkan PMK No.272/PMK.04/2015 Tentang Pusat Logistik Berikat dinyatakan bahwa barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean (luar negeri) untuk
ditimbun di PLB mendapatkan insentif yaitu diberikan penangguhan bea masuk, diberikan pembebasan cukai dan/atau tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). Dengan adanya insentif tersebut bahan baku dan barang penolong yang ditimbun di PLB mempunyai keistimewaan dimana adalah bahan baku atau barang modal asal luar negeri yang ditimbun di PLB sudah berada di dalam negeri namun berstatus barang negara asal yang belum dikenai kewajiban bea masuk, cukai dan pajak serta belum dikenai aturan larangan dan pembatasan barang impor. Hal ini sebagai akibat dari insentif penundaan bea masuk, cukai dan/atau pajak dengan jangka waktu sampai dengan tiga tahun. Selain itu pemenuhan persyaratan tentang ketentuan pembatasan akan dipenuhi ketika barang tersebut diimpor untuk dipakai dari PLB.
Sumber: (Ditjen Bea Cukai, 2016) Gambar 2. Beberapa Skema Pemasukan dan Pengeluaran Barang Dari dan Ke PLB.
Dalam konsep supply chain management (SCM), strategi penundaan (postponement strategy) merupakan salah satu strategi yang memberikan dampak yang nyata terhadap terhadap keunggulan kompetitif perusahaan dan performa organisasi (Cheng, et al. 2010). Dengan fasilitas penundaan pengenaan bea masuk, cukai dan/atau pajak, pengusaha PLB bisa menyimpan bahan
4
Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
baku atau barang penolong secara lebih dekat dengan industri pengguna di dalam negeri dan lebih murah karena bea masuk, cukai dan/atau pajak belum dipungut. Dari sisi industri pengguna, lokasi pasokan bahan baku yang lebih dekat ke sisi hilir akan menyederhanakan perencanaan produksi, memperkecil lead time pemesanan dan pada akhirnya akan mengurangi biaya simpan (holding cost) karena stok bahan baku bisa diturunkan jumlahnya. Selain fasilitas penundaan bea masuk dan pajak, PLB juga diberikan fleksibilitas dalam hal pemasukan dan pengeluaran barang (one to many, many to one, many to many) sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2. Barang yang akan ditimbun di PLB bukan hanya bisa berasal dari impor (luar daerah pabean /LDP), namun bisa juga berasal dari TPB lain, PLB di lokasi lain (satu izin), kawasan bebas, kawasan ekonomi khusus (KEK) dan dari dalam negeri (tempat lain dalam daerah pabean/TLDDP). Demikian pula barang yang dikeluarkan dari PLB bukan hanya bisa dikeluarkan untuk diimpor untuk di pakai di dalam negeri (TLDDP) tapi bisa diteruskan ke TPB lain, PLB di lokasi lain (satu izin), kawasan bebas, kawasan ekonomi khusus (KEK) dan di ekspor ke negara lain (LDP). Adapun keterangan mengenai dokumen pemberitahuan pabean dari setiap pemindahan barang pada Gambar 2, bisa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1Beberapa Dokumen Pemberitahuan Pabean Terkait PLB Kode Formulir BC 1.1
BC 1.6
BC 2.0
Keterangan Inward manifest/manifes yang memuat daftar muatan barang niaga yang diangkut oleh sarana pengangkut saat memasuki kawasan pabean. Pemberitahuan pabean pemasukan barang impor untuk ditimbun di PLB PIB (Pemberitahuan Impor Barang)/ Pemberitahuan pabean
Kode Formulir
Keterangan
untuk pengeluaran barang yang diimpor untuk dipakai BC 2.7 Pemberitahuan Pengeluaran Barang untuk Diangkut dari TPB ke TPB lainnya BC 2.8 PIB PLB/ Pemberitahuan pabean untuk pengeluaran barang dari PLB untuk diimpor untuk dipakai/ diimpor sementara BC 3.0 PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) BC 4.0 Pemberitahuan pemasukan barang asal tempat lain dalam daerah pabean ke tempat penimbunan berikat. BC 4.1 Pemberitahuan Pengeluaran Kembali Barang Asal Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Dari Tempat Penimbunan Berikat PPB Pemberitahuan Pabean PLB pengeluaran barang dari PLB di satu lokasi ke PLB di lokasi lain yang masih satu izin pengusahaan. PP-FTZ Pemberitahuan Pabean untuk 02 pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke Tempat Penimbunan Berikat, Kawasan Bebas lainnya, dan Kawasan Ekonomi Khusus Sumber:(Harahap, 2010)
Pergerakan Pelabuhan
Peti
Kemas
Melalui
Proses perdagangan internasional dimulai dengan dua belah pihak yang saling bersepakat untuk melakukan transaksi jual beli. Setelah eksportir di luar negeri mengapalkan barangnya ke Indonesia, importir akan menerima pemberitahuan tibanya dokumen-dokumen pengapalan dari opening bank (bank tempat membuka L/C di dalam negeri) yang dikirim oleh advising bank (bank di luar negeri). Selanjutnya setelah importir membayar/menebus dokumen-dokumen tersebut atau rekeningnya didebit, maka opening bank menyerahkan dokumendokumen tersebut kepada importir untuk keperluan pengeluaran barang dari pabean.
5
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
BC BC
2 1
BC
B 1
G
P Luar Pelabuhan/
Dwelling Time peti
Sumber: Tim INSW Kemenko Perekonomian kemas dalam impor (Haryana, 2012), diedit. Gambar.3 Pergerakan Peti Kemas Impor
Peti kemas/ kargo yang diangkut oleh kapal atau sarana pengangkut lainnya menuju ke wilayah pabean Indonesia akan melalui beberapa tahap sebagaimana ditunjukkan pada Gambar. 3 sebagai berikut: 1. Kapal datang di perairan Indonesia kemudian menunggu antrian untuk sandar di dermaga. 2. Kapal sandar di dermaga, pihak shipping line menyampaikan inward manifest (manifes kedatangan sarana pengangkut)/BC 1.1, kemudian peti kemas di bongkar dari kapal (unloading) 3. Peti kemas yang sudah di bongkar kemudian ditimbun di lapangan penumpukan container (container yard/CY). Importir menyiapkan formulir BC 2.0 pemberitahuan Impor Barang (PIB) jika importir ingin mengimpor barang untuk dipakai. Jika importir ingin menimbun barang impornya di PLB, maka formulir yang dipakai adalah BC 1.6.Tahap ini disebut juga tahap pre-clearance 4. Tahap penyelesaian kewajiban pabean (customs clearance) yang meliputi verifikasi dokumen oleh bea cukai, pemeriksaan persyaratan impor (larangan dan pembatasan), pemeriksaan fisik peti kemas (khusus jalur merah) dan penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Jika pelaku usaha PLB (Penyelenggara PLB, Pengusaha
PLB, atau PDLB2) akan menimbun barangnya di PLB (BC 1.6), proses customs clearance akan ditunda di PLB. Selanjutnya jika form BC 1.6 sudah diverifikasi, akan diterbitkan SPPB PLB. 5. Pembayaran biaya penimbunan ke operator pelabuhan (post clearance) 6. Pengeluaran peti kemas dari kawasan pelabuhan dan pemasangan tanda pengaman pada peti kemas (post clearance). 7. Penyelenggara PLB, Pengusaha PLB, dan PDLB memasukkan barang ke PLB dengan mencocokkan kriteria-kriteria yang tercantum pada SPPB PLB, kemudian melaporkan ke Kantor Pengawas Pabean untuk mendapatkan SPPD (Surat Persetujuan Penyelesaian Dokumen) 8. Dengan form BC 2.8, pelaku usaha dalam industri mengimpor barang dari PLB untuk keperluan industrinya. Pada tahap ini pelaku usaha tersebut membayar bea masuk, cukai dan PDRI sesuai nilai pabeannya. Pelaku usaha 2
Penyelenggara PLB adalah badan hukum yang menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan PLB. Pengusaha PLB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB. Pengusaha di PLB (PDLB) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB yang berada di dalam PLB milik penyelenggara PLB yang statusnya sebagai badan usaha yang berbeda.
6
Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
yang membeli juga mempersiapkan persyaratan impor dari Kementerian teknis untuk barang yang terkena aturan pembatasan. Dwelling time sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3 merupakan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan pada nomor 3 – 6 yang terbagi menjadi tiga tahapan yaitu: pre-clearance (nomor 3), customs clearance (nomor 4), dan post-clearance (nomor 5 & 6). Perbandingan Dwelling Time antara Impor Barang dengan PIB (BC 2.0) dan Penimbunan Ke PLB dengan BC 1.6 Berdasarkan wawancara kepada pelaku usaha PLB yang sudah beroperasi, kebijakan insentif PLB terbukti mampu menurunkan dwelling time di pelabuhan. Salah satu penyelenggara PLB untuk sparepart kendaraan bermotor yaitu PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), pada awal peresmian PLB di bulan Maret 2016 memiliki rata-rata dwelling time untuk barang impornya sebesar 3 hari. Dengan pemanfaatan PLB, pada bulan Oktober 2016 dwelling time bisa ditekan sampai dengan 1 hari (same day), meskipun pada bulan Mei dan Agustus 2016 sempat mengalami kenaikan dwelling time sampai 5 hari karena belum terbiasa dengan penerapan sistem baru. Selain berpengaruh terhadap dwelling time, pemanfaatan PLB di PT TMMIN memberikan manfaat lain yaitu: 1. Menurunkan biaya logistik karena bisa terhindar dari biaya tambahan di pelabuhan (tarif progresif lapangan penumpukan, over brengen dan biaya penalti). 2. Efisiensi arus kas (cash flow) karena penundaan pajak dan bea masuk sampai 3 tahun 3. Fleksibilitas logistik dan produksi karena clearance terhadap barang impor bisa dilakukan secara parsial dan 4. Kemudahan lain seperti pembayaran periodik, corporate guarantee, dan penyampaian dokumen secara periodik. Sebagaimana telah di jelaskan diatas bahwa dalam artikel ini akan dibandingkan dua cara pengeluaran
barang dari pelabuhan/kawasan pabean untuk dimasukkan ke dalam negeri (daerah pabean). Cara yang pertama adalah yang sudah biasa dilakukan oleh pelaku industri yaitu membeli bahan baku dan bahan penolong dari luar negeri, kemudian memasukkan barang tersebut ke dalam daerah pabean Indonesia dengan tujuan untuk dipakai untuk proses produksi di dalam negeri. Pada cara yang pertama ini, formulir yang digunakan untuk pemberitahuan pabean adalah formulir BC 2.0 atau yang lazim disebut PIB (Pemberitahuan Impor Barang). Konsekuensi dari cara ini adalah pelaku usaha/ importir harus menyelesaikan urusan kepabeanan dan persyaratan impor di pelabuhan terlebih dahulu. Jika urusan dengan Bea Cukai dan kementerian terkait belum diselesaikan, maka barang impor tidak bisa dikeluarkan dari pelabuhan/ kawasan pabean. Adapun pada cara yang kedua, dalam hal ini pemerintah memberikan fasilitas bagi importir bahan baku dan penolong untuk membeli bahan baku dan penolong dari luar negeri kemudian trader memasukkan barang tersebut ke PLB untuk ditimbun dengan fasilitasfasilitas yang sudah dipaparkan di depan. Proses pemasukannya tetap melalui pelabuhan. Di pelabuhan setelah melewati proses nomor 2 & 3 pada Gambar 3, pelaku usaha PLB mengajukan pemberitahuan pabean BC 1.6 untuk menimbun barang di PLB. Proses selanjutnya, barang tersebut akan dibeli oleh pelaku industri sesuai kebutuhan proses produksi di dalam negeri dengan pemberitahuan pabean BC 2.8. Pada cara yang kedua ini, ada dua formulir pemberitahuan pabean yang digunakan yaitu formulir BC 1.6 untuk penimbunan di PLB dan formulir B.C 2.8 untuk pembelian/impor dari PLB di dalam negeri. Dampak positif dari cara yang kedua ini adalah ada sebagian proses pre-clearance dan custom clearance (No. 3 & 4 pada Gambar 3) yang ditunda pelaksanaannya di pelabuhan yang pada tahap selanjutnya ( No. 7 pada 7
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
Gambar 3) proses tersebut akan dilaksanakan di PLB ketika pelaku industri membeli barang dari PLB. Dengan dipindahkannya proses tersebut ke PLB, maka dwelling time peti kemas impor akan lebih pendek. Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah dua kasus proses pengadaan bahan baku kapas. Kasus ini hanyalah contoh dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman. Dalam kasus ini importir menyampaikan dokumen pemberitahuan kepabeanan secara elektronik melalui Sistem Komputer Pelayanan (SKP) di Kantor Kepabeanan. a. Kasus I PT Jayatex selaku produsen benang dan kain yang berlokasi di Bandung membutuhkan bahan baku kapas untuk produksinya. Kebutuhan tersebut dipenuhi dengan cara impor kapas dari gudang penimbunan kapas di Malaysia. PT Jayatex diasumsikan sudah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi importir. Proses dwelling-nya adalah sebagai berikut: (i) Setelah kapal yang mengangkut kapas tiba di perairan Indonesia dan shipping line menyampaikan BC 1.1, peti kemas diturunkan dari kapal dan diletakkan di terminal penumpukan (CY). (ii) PT jayatex selaku importir atau diwakili oleh (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) mengisi dan membuat PIB dalam bentuk data elektronik dan menyampaikan data PIB ke Kantor Pabean secara elektronik melalui SKP. (iii) SKP di Kantor Pabean menerima data PIB dan melakukan penelitian kesesuaian data-data PIB. (iv) Jika pengisian data PIB tidak sesuai, SKP mengirimkan respon penolakan dan PT Jayatex memperbaiki data PIB dan mengirimkan kembali. (v)Jika hasil penelitian telah sesuai, SKP memberikan tanggal pengajuan dan menerbitkan kode billing pembayaran bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor (PDRI). (vi) PT Jayatex melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan PDRI sesuai kode billing pembayaran di Bank Devisa. (vii) Apabila sampai 5 (lima) hari sejak
tanggal pengajuan PIB, PT Jayatex belum melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau PDRI, SKP menerbitkan respon penolakan dan PT Jayatex harus mengulangi pengajuan PIB. (viii) Setelah PT Jayatex melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan PDRI, SKP melakukan penelitian pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan atas bahan baku kapas berdasarkan pos tarif dan/atau uraian jumlah dan jenis barang yang diberitahukan dalam PIB. Dalam hal ini komoditi kapas terkena aturan pembatasan karantina tumbuhan (KT.2 dan KT.9) yang sertifikatnya diterbitkan oleh Karantina Tumbuhan di Badan Karantina Pertanian Indonesia sesuai dengan PP No.14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan (ix) Jika berdasarkan PIB menunjukkan barang impor wajib memenuhi ketentuan larangan/pembatasan dan persyaratannya belum dipenuhi SKP menerbitkan NPBL kepada PT. Jayatex dengan tembusan kepada unit pengawasan, kemudian PT Jayatex menyampaikan dokumen yang dipersyaratkan di kantor Pabean. (x) Jika hasil penelitian menunjukkan dokumen yang dipersyaratkan telah sesuai SKP memberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor. (xi) Berdasarkan prosedur manajeman resiko kepabeanan, jalur pengeluaran barang impor dibagi menjadi tiga yaitu 1). Jalur hijau (tanpa pemerikaan dokumen dan fisik) 2). Jalur kuning (dengan pemeriksaan dokumen oleh pejabat pemeriksa) 3). Jalur merah (dengan pemeriksaan dokumen dan fisik oleh pejabat pemeriksa ). (xii) Setelah melewati proses penjaluran dan telah sesuai, SKP menerbitkan mengirimkan respon Surat Pemberitahuan Pengeluaran Barang (SPPB) kepada PT Jayatex dan pengusaha Tempat Penimbunan Sementara (TPS) yang telah menerapkan pintu otomatis (autogate system)(xii) Barang dikeluarkan dari pelabuhan melalui pintu otomatis atau manual untuk TPS yang belum 8
Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
menerapkan sistem pintu otomatis dengan mencetak dokumen SPPB. b. Kasus II PT Indo Cafco adalah pengusaha di dalam PLB (PDLB) PT Dunia Express Trasindo (Dunex) yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat. PT Indo Cafco sudah mempunyai klien yang akan membeli/mengimpor kapas dari PLB yaitu PT Bhineka Karya Manunggal yang merupakan perusahaan produsen kapas pintalan/ benang. PT Indo Cafco memasukkan kapas kapas ke PLB dari penghasil kapas di Brazil. Proses dwelling-nya adalah sebagai berikut: (i) Setelah kapal yang mengangkut kapas tiba di perairan Indonesia dan shipping line menyampaikan BC 1.1, peti kemas diturunkan dari kapal dan diletakkan di terminal penumpukan (CY). (ii) PT Indo Cafco atau PPJK yang mewakilinya mengisi dan membuat formulir BC 1.6 dalam bentuk data elektronik dan menyampaikan data BC 1.6 secara elektronik melalui SKPdi Kantor Pengawas. (iii) SKP di Kantor Pengawas menerima data BC 1.6 dan melakukan penelitian kesesuaian datadata BC 1.6. (iv) Jika pengisian data BC 1.6 tidak sesuai, SKP mengirimkan respon penolakan dan PT Indo Cafco memperbaiki data PIB dan mengirimkan kembali. (v) Jika hasil penelitian telah sesuai, SKP di Kantor Pengawas memberikan nomor dan tanggal pendaftaran BC 1.6, mengirimkan respon Surat Pemberitahuan Pengeluaran Barang PLB (SPPB PLB) ke PT Indo Cafco (vi) Data BC 1.6 dan SPPB PLB pada SKP di Kantor Pengawas dikirimkan ke SKP di Kantor Pembongkaran di TPS.(vii) SKP mengirimkan data SPPB PLB ke Pengusaha TPS dan Pejabat yang mengawasi TPS (viii) Pejabat yang mengawasi TPS menyiapkan dan mengadministrasikan tanda pengaman (segel) untuk dilekatkan pada kemasan atau peti kemas. (ix) Peti kemas dikeluarkan dari Pelabuhan. Pada Kasus I terdapat beberapa prosedur yang tidak dilakukan pada
Kasus II. Hal ini karena prosedurprosedur yang tidak dilakukan tersebut nantinya akan dilaksanakan di PLB.Jika kita cermati lebih detail, beberapa proses dalam pre-clearance dan custom clearance yang ditunda/ dipindahkan ke PLB adalah: 1. Pembayaran bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor sesuai kode billing pembayaran dari SKP. Pemenuhan persyaratan impor untuk barang yang terkena aturan pembatasan yaitu berupa dokumen perizinan dari Kementerian/Lembaga. 2. Pemberian nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor berdasarkan manajemen risiko (jalur hijau, jalur kuning atau jalur merah) 3. Verifikasi dokumen PIB dan dokumen pelengkap pabean oleh pejabat pemeriksa untuk jalur kuning dan pemeriksaan fisik untuk jalur merah. Dengan sistem PDE/EDI pada SKP di Kantor Bea dan Cukai, penyampaian dokumen dan responnya sebenarnya tidak memakan waktu lama (+10 menit) namun proses perlambatan terjadi ketika importir harus: 1. Melakukan pembayaran bea masuk, cukai dan pajak dalam rangka impor (PDRI) melalui bank. 2. Memenuhi persyaratan pembatasan jika ternyata belum diurus. 3. Ditetapkan sebagai importir jalur merah, maka harus dilakukan proses pemeriksaan secara fisik oleh petugas terhadap barang impor (Haryana, 2012). KESIMPULAN berdasarkan hasil data wawancara kepada pengusaha PLB dan analisis kebijakan insentif PLB diatas bisa disimpulkan bahwa kebijakan insentif PLB yang mulai diluncurkan pada bulan Maret 2016 memberikan dampak positif terhadap dwelling time di Pelabuhan. Penurunan dwelling time terutama disebabkan oleh pemindahan beberapa kegiatan pada tahap pre-clearance dan custom clearance di pelabuhan ke PLB. Selain pengaruhnya terhadap dwelling time kebijakan insentif PLB juga memberikan kemudahan dan efisiensi produksi industri nasional. Dengan 9
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
semakin banyaknya jumlah PLB yang beroperasi di Indonesia diharapkan biaya logistik nasional akan semakin turun sehingga daya saing industri nasional akan semakin baik. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak Lian Estian selaku General Manager Logistic Planning Division PT TMMIN atas kesediaan dan waktunya dalam memberikan informasi dan data terkait dengan operasional PLB sparepart kendaraan bermotor dari PT TMMIN pada acara acara pameran Indonesia Transport, Supply Chain and Logistic (ITSCL) di Jakarta International Expo Kemayoran tanggal 19 – 21 Oktober 2016. DAFTAR PUSTAKA Cheng, T.C. Edwin, Jian Li, C.L Jhonny Wan, dan Shouyang Wang. Postponement Strategies in Supply Chain Management. New York: Springer, 2010. Ditjen Bea Cukai. “Bea Cukai Tangerang.” April 2016. link: goo.gl/Rpxc73 (diakses November 9, 2016). Harahap, Raja Martua. Sekilas Tentang Direktorat Bea dan Cukai. 14 November 2010. http://stanbc.blogspot.co.id/2010/11/maca m-macam-pemberitahuanpabean.html (diakses November 13, 2016). Haryana, Avif. “Peningkatan Pemanfaatan dan Evaluasi
Kinerja Sistem Perizinan Online Inatrade.” Laporan Kegiatan Magang TMI Logistik ITB Topik Fasilitasi Perdagangan, 2012. Kemenkeu. 11 Perusahaan Resmi Jadi Pusat Logistik Berikat. 2016. http://www.beacukai.go.id/berita/ -11-perusahaan-resmi-jadipusat-logistik-berikat.html (diakses Oktober 31, 2016). Lumanauw, Novy. “Jokowi Kecewa Dwelling Time Priok Terlama di Asia.” Investor Daily, 18 Juni 2015: 6. PT Pelabuhan Indonesia. Sistem Informasi Dwelling Time Tanjung Priok. November 2016. http://dwelling.indonesiaport.co.i d/ (diakses November 14, 2016). Setkab. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. 10 Maret 2016. http://setkab.go.id/resmikan-11pusat-logistik-presiden-jokowiberharap-logistis-ekspor-imporpindah-ke-indonesia/ (diakses Oktober 22, 2016). Supomo. “Peran Bea Cukai Sebagai Regulator Utama PLB.” Warta Bea Cukai, April 2016: 13-16. World Bank. Connecting to Compete Trade Logistics in the Global Economy, The Logistics Performance Index and Its Indicator. Washington DC: The World Bank, 2007.
10