Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PERAN INOVASI TENOLOGI DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PETERNAKAN MEMANFAATKAN SUMBER DAYA LOKAL (the Role of Inovation Technology in Supporting Livestock Productivity Improvement Through Utilization of Local Resources) Haryono, Bess Tiesnamurti dan Sjamsul Bahri Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan No. 29 Pasar Minggu, Jakarta Selatan
ABSTRACT Food including food of livestock sourse is a basic need for human to be able to survive. according to the constitution of the Indonesian Republic of 1945 and decree number 18, 2012; government is responsible to provide the food for its citizens, not only in quantity but also in quality. Appropriate amount and quality of food supply is important to develop human resources of a country. Food from livestock is one of good quality food that is very important in producing (providing) high quality human resources. Indonesia with IPM = 0.629 is in the 121position out of 187 countries, with animal protein consumption of 6 g/capita/day, is included into group of country with very low animal protein consumption. Composition of meat production in indonesia is as follow: 66.8% poultry (1.8 million ton), 20.1% beef and carabau meat (540.800 ton), 8.7% pork (234.700 ton), and 4.3% motton (115.100 ton). This figure indicating that poultry (broiler, local chiken and duck) production could be improved since the tecknology and seeds of prime local chicken and duck are available, resulted from research done by Badan Litbang Pertanian. Opportunity in improving mutton production is also could be done by using technology resulted from Badan Litbang Pertanian like such breeding stock of goat and composite sheep: Sumatera and Garut. Strategy in breeding and developing local prime animal/livestock resulted from Badan Litbang Pertanian need to be done through agency that work nationally. The design of the agency is a prerequisit in breeding and developing of these research result so that the seed of these prime livestock will be available for all farmer through out Indonesia. Technology for feed based on waste product of: agriculture, crop plants, horticulture, and estate crop should be developed at the farmer levels. Moreover, antisipative steps should be progammed for the future research in anticipating the possibility of exotic dan zoonosis diseases such as AI H7N9, Nipah virus, West Nile and some others. Key Words: Food From Livestock, IPM, Human Resource Quality, Livestock Production, Technological Innovation, Animal Disease ABSTRAK Pangan termasuk pangan asal ternak merupakan kebutuhan dasar manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya sesuai dengan UU Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu, dalam UU nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disinggung peran pemerintah yang antara lain berkewajiban untuk menyediakan pangan tersebut. Kebutuhan pangan tidak hanya kuantitasnya saja tetapi kualitas juga sangat diperlukan terutama dalam kepentingan pengembangan SDM suatu negara. Pangan asal ternak merupakan salah satu bahan pangan bermutu tinggi sangat berguna dalam meningkatkan kecerdasan SDM suatu bangsa. Indonesia dengan nilai IPM = 0,629 berada pada urutan ke-121 dari 187 negara dengan konsumsi protein asal ternak 6 g/kapita/hari, termasuk negara dengan konsumsi protein asal ternak yang sangat rendah. Struktur produksi daging di Indonesia adalah 66,8% (1,8 juta ton) daging unggas, 20,1% (540,8 ribu ton) daging sapi dan kerbau, 8,7% (234,7 ribu ton) daging babi dan 4,3% (115,1 ribu ton) daging kambing/domba, menggambarkan bahwa potensi untuk meningkatkan produksi daging unggas (ayam broiler, ayam kampung dan itik) masih mempunyai peluang yang cukup besar berdasarkan ketersediaan teknologi dan bahan baku yang ada termasuk memanfaatkan bibit unggul ayam kampung unggul dan itik lokal unggul hasil Badan Litbang Pertanian. Demikian juga dengan meningkatkan produksi daging kambing dan domba dengan memanfaatkan teknologi hasil Badan Litbang Pertanian seperti bibit kambing dan domba komposit Sumatera dan Garut. Strategi pengembangbiakan dan perbanyakan ternak-ternak lokal unggul hasil Badan Litbang
3
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Pertanian perlu dibangun kelembagaan yang menanganinya secara nasional. Rancang bangun model kelembagaan perbibitan hasil penelitian ini merupakan suatu prasyarat yang harus diwujudkan agar ketersediaan bibit unggul lokal hasil penelitian dapat dirasakan oleh para peternak. Teknologi pakan berbasiskan hasil samping pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura harus dikembangkan sampai kepada tingkat pengguna pada peternakan rakyat. Langkah antisipasi terhadap kemungkinan munculnya berbagai penyakit eksotik dan zoonosis harus diprogramkan dalam kegiatan penelitian kedepan, seperti penyakit AI H7N9, penyakit Virus Nipah, penyakit, West Nile dan penyakit eksotik lainnya. Kata Kunci: Pangan Asal Ternak, IPM, Kualitas SDM, Produk Ternak, Inovasi Teknologi, Penyakit Hewan
PENDAHULUAN Dalam Undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945, Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia, pasal 28A menyebutkan bahwa Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pada pasal 28B ayat (2) menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selanjutnya pada Pasal 28C ayat (1) menyatakan bahwa Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Oleh karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan kehidupannya, maka dalam UU nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, seringkali disebutkan bahwa kebutuhan pangan merupakan hak asasi manusia sehingga Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Agar setiap orang yang mengkonsumsi pangan tersebut dapat hidup dan mempertahankan kehidupannya, maka pangan atau bahan pangan tersebut harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Apalagi dengan bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya pendidikan dan kesadaran gizi yang baik serta meningkatnya pendapatan, akan berdampak kepada meningkatnya permintaan pangan dan bahan pangan yang berkualitas. Dengan demikian, kecukupan pangan saja tidak cukup untuk membangun SDM yang berkualitas dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Oleh karena itu, pangan bergizi seperti pangan asal ternak mutlak diperlukan untuk
4
mendukung pembangunan SDM di Indonesia. Sementara itu, pembangunan SDM (Sumberdaya Manusia) dan penyediaan pangan berkualitas menjadi bagian yang penting untuk menentukan masa depan suatu bangsa. Pangan hewani merupakan salah satu pangan berkualitas tinggi yang berperan penting dalam membangun SDM sejak dalam kandungan hingga dewasa baik sebagai protein fungsional maupun sebagai pembangun struktur (pertumbuhan) terutama pada anak-anak di bawah 5 tahun, dimana laju pertumbuhan dan pengembangan sel-sel otaknya sangat tinggi. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang lebih mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga akan lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya. IPM, PANGAN ASAL TERNAK DAN KUALITAS SDM Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang dibuat UNDP antara lain digunakan untuk mengklasifikasikan apakah suatu negara masuk kategori negara maju, negara berkembang atau terbelakang. Penetapan IPM ini didasarkan kepada perbandingan tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, dan tingkat standar hidup yang ada kaitannya dengan tingkat pendapatan perkapita/GDP dan daya beli. Berdasarkan data tahun 2012 yang dilaporkan pada Maret 2013 ternyata IPM Indonesia berada pada urutan ke-121 dari 187 negara dimana Indonesia masuk ke dalam kategori negara berkembang dengan nilai IPM 0,629, GDP US$4.154, angka harapan hidup 69,8 tahun yang berada pada kelompok menengah. Secara keseluruhan IPM ini memiliki keterkaitan dengan kebijakan ekonomi dari suatu negara terhadap kualitas hidup rakyatnya.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Sementara itu, diketahui terdapat hubungan antara tingkat konsumsi protein hewani dengan tingkat harapan hidup, kualitas hidup dan tingkat pendapatan masyarakat dari suatu negara. Hal ini didukung oleh pendapat bahwa protein hewani mempunyai komposisi asam amino yang lengkap yang dibutuhkan tubuh manusia untuk pembentukan protein sel-sel organ tubuh manusia terutama pada anak-anak balita dimana proses perkembangan otak dan organ tubuh lainnya sangat memerlukan asupan asam-asam amino tersebut. Oleh karena itu, protein hewani ini penting dalam membentuk tingkat kecerdasan, tingkat stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel-sel tubuh manusia dan memelihara sel darah merah. Protein hewani memiliki nilai hayati yang relatif tinggi dimana hampir semua bahan pangan asal ternak mempunyai nilai hayati di atas 80 yang menggambarkan banyaknya unsur N (nitrogen) dari suatu protein dalam bahan pangan tersebut yang dapat dimanfaatkan tubuh dalam membentuk protein tubuh. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa produk ternak merupakan sumber protein terbaik berkualitas tinggi dan juga sumber mikronutrien esensial seperti vitamin A, vitamin B, riboflavin dan calcium serta unsur trace element seperti besi (Fe) dan seng (Zn) yang memiliki nilai bioavailabilitas yang tinggi (derajat penyerapan dan pemanfaatannya tinggi). Tingkat bioavailabilitas ini penting untuk ibu dan anak balita dimana mikronutrien ini biasanya sulit diperoleh dari pangan asal tanaman karena bioavailibilitasnya rendah. Sejumlah kecil pangan asal ternak ini sangat esensial bagi kesehatan ibu dan perkembangan fisik dan mental anak balita. Selanjutnya mengenai kebutuhan pangan ini terdapat hubungan yang erat antara ketersediaan pangan (jumlah dan mutu yang memadai) dengan kualitas atau tingkat kecerdasan SDM dari suatu bangsa. Hal ini tidak dapat dibantah lagi bila kita melihat ranking IPM yang tinggi dan sangat tinggi dari suatu bangsa pada umumnya angka konsumsi protein hewaninya juga tinggi. Sebagai contoh, ranking IPM dengan indeks sangat tinggi hampir seluruhnya berasal dari negara-negara maju seperti Norwegia (0,955), Australia (0,938), Amerika Serikat (0,937), Belanda (0,921), Selandia Baru (0,919), Jepang (0,912), Kanada (0,911), Korea Selatan (0,909), Inggris
(0,875) dan Brunei Darussalam (0,855), masing-masing berada pada urutan 1, 2, 3, 4, 6, 10, 11, 12, 26 dan 30. Sementara itu, konsumsi protein asal ternak (g/kapita/hari) dan sharing konsumsi protein asal ternak terhadap total protein (%)yang terbesar juga berasal dari berbagai negara maju seperti: Australia (60,8 g/kapita/hari dan 56,7%), Amerika Serikat (69,0 g/kapita/hari dan 59,5%), Belanda (59,5 g/kapita/hari dan 56,7%), Selandia Baru (44,5 g/kapita/hari dan 48,3%), Kanada (50,0 g/kapita/hari dan 48,0%), Inggris (52,3 g/kapita/hari dan 50,5%), dan Brunei Darussalam (37,8 g/kapita/hari dan 40,7%). Bandingkan dengan angka konsumsi protein asal ternak Indonesia yang masih 5,4 g/kapita/hari dengan persentase terhadap total protein baru 10,1% (FAO 2009). KONSUMSI PROTEIN ASAL TERNAK DAN STRUKTUR PRODUKSI PANGAN ASAL TERNAK Menurut data Statistik Peternakan tahun 2012, angka konsumsi protein asal ternak penduduk Indonesia pada tahun 2012 adalah 6 g/kapita/hari yang terdiri dari 2,75 g asal daging dan 3,25 g asal telur dan susu (hasil SUSENAS BPS tahun 2011). Sementara itu, protein asal ikan adalah 8 g/kapita/hari, sehingga asupan protein hewani total adalah 14 g/kapita/hari (Ditjen PKH, 2012). Sementara itu, konsumsi total protein (Nabati dan hewani) adalah 56,25 g/kapita/hari, dengan demikian sharing konsumsi protein asal ternak pada tahun 2012 adalah 6/56,25 = 10,67%. Angka ini masih sama dengan data FAO (2009), sedangkan, rata-rata share protein asal ternak dunia 27,9%, untuk negara maju 47,8%, dan untuk negara berkembang 22,9%. Untuk asupan kalori protein asal ternak Indonesia berada pada urutan yang sama dari 173 negara dengan asupan hanya 82,4 kcal/kapita/hari (share terhadap total asupan kalori hanya 3,4%). Seharusnya, share kalori protein yang ideal terhadap total energi adalah sekitar 15% (Hardinsyah, 2012). Bandingkan dengan rata-rata dunia, rata-rata negara maju, dan rata-rata negara berkembang yang masingmasing 388,2; 694,6; dan 311,8 Kcal/kapita/ hari (dengan share masing-masing 12,9%; 20,3%; dan 11,1%). Informasi ini dimaksudkan
5
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
untuk mengingatkan kita bahwa asupan protein hewani bagi penduduk Indonesia sangat rendah, sementara itu diketahui bahwa protein hewani mempunyai peranan yang penting dalam membangun kualitas sumberdaya manusia. Bila dihitung dari konsumsi protein hewani keseluruhan (asal ternak dan ikan =14 g), maka sharing konsumsi protein hewani adalah 14/56,25 = 24,89%. Menurut Hardinsyah et al. (2012) bahwa angka kecukupan energi tahun 2012 adalah 2150 kkal (sedangkan angka kecukupan energi berdasarkan ketersediaannya adalah 2400 kkal), untuk angka kecukupan protein yang dianjurkan pada Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 2012 adalah 57 g/kapita/hari dengan porsi protein hewani anjuran sebesar 25% atau 14,25 g/kapita/hari (sedangkan berdasarkan angka ketersediaannya pada tahun 2012 adalah 63 g/kapita/hari). Berdasarkan buku Statistik Peternakan tahun 2012, bahwa data keragaan produksi daging total pada tahun 2012 adalah 2,69 juta ton yang berasal dari: 1) daging unggas (ayam ras, buras, dan itik) sekitar 1,8 juta ton (66,8%); 2) daging sapi dan kerbau sekitar 540,8 ribu ton (20,1%); 3) daging babi sekitar 234,7 ribu ton (8,7%); dan 4) daging kambing dan domba sebesar 115,1 ribu ton (4,3%), dan sisanya dari daging lainnya. Dari 66,8% daging unggas tersebut ternyata 83% berasal dari daging broiler dan layer afkir (Ditjen PKH, 2012). Sementara itu, konsumsi produk asal ternak per kapita per tahun pada tahun 2011 adalah 5,54 kg daging, 6,62 kg telur dan sekitar 7 kg setara susu segar (Ditjen PKH, 2012). Untuk produksi telur yang mencapai 1,54 juta ton pada tahun 2012 didominasi oleh telur ayam ras sebesar 1,059 juta ton (68,75%), sedangkan telur itik 276,2 ribu ton (17,9%), dan telur ayam buras sebesar 205,3 ribu ton (13,6%). PERMASALAHAN, POTENSI DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PETERNAKAN Apabila impor yang volume dan nilainya cukup besar ini tidak bisa ditekan atau malah justru bertambah besar, maka akan semakin melemahkan posisi ketahanan pangan kita dan terjadi pengurasan devisa yang semakin besar. Disamping itu, dengan terjadinya
6
ketergantungan impor yang besar, akan menurunkan kemampuan produksi di dalam negeri, sehingga pada suatu saat apabila dinegara produsen terjadi gangguan musim dan serangan hama yang berakibat menurunnya produksi, maka akan terjadi kelangkaan suplai dan harga komoditas produk ternak akan menjadi mahal, sementara itu kita sudah ketinggalan dalam melakukan usaha di dalam negeri. Indonesia sesungguhnya memiliki potensi SDA (seperti bahan pakan berbasiskan produk samping pertanian dan perkebunan serta industri agro) yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, berbagai upaya dan strategi perlu dibangun untuk memproduksi produk peternakan di dalam negeri sekaligus membuka kesempatan lapangan pekerjaan bagi penduduk Indonesia pada sub sektor peternakan. Komoditas kambing domba yang pertumbuhannya terus positif sesungguhnya dapat mempercepat laju konsumsi produk asal ternak dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang isu negatif mengkonsumsi daging kambing yang dikaitkan dengan kolesterol dan penyakit jantung. Produktivitas kambing domba ini dapat ditingkatkan dengan menyebar luaskan bibit kambing dan domba unggul hasil Badan Litbang Pertanian seperti domba komposit Sumatera, domba komposit Garut, dan kambing Boerka. Untuk itu strategi yang harus dibangun adalah menciptakan penangkar bibit ternak unggul hasil Litbang Pertanian. Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan pangan utama seperti beras, kedelai, dan gula akan semakin tinggi, sehingga pemanfaatan lahan dan air akan lebih diprioritaskan untuk pangan utama tersebut. Oleh karena itu, pola usaha sub sektor peternakan akan mengalami pergeseran dimana lahan-lahan penggembalaan yang produktif akan bergeser untuk dikonversi bagi keperluan tanaman pangan (sebagai makanan pokok), dan peternakan akan beralih ke arah peternakan intensif atau semi intensif dengan mendekatkan diri kepada berbagai sumber bahan pakan dan pakan dengan sistem integrasi tanaman ternak. Pembangunan peternakan selain memberikan kesempatan berusaha (lapangan kerja) dan bagian dari pembangunan nasional juga harus diarahkan langsung untuk meningkatkan produksi protein hewani dari berbagai sumber pangan asal ternak yang
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
memiliki keunggulan tertentu, dengan prioritas kepada komoditas ternak yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam waktu relatif cepat. Dalam hal ini ayam ras pedaging dan ayam ras petelur yang sudah berkembang sistem usaha agribisnis dari hulu-hilirnya dan mantab proses produksinya perlu dipacu pertumbuhannya. Selain itu, bila melihat struktur produksi daging di Indonesia maupun di dunia juga memperlihatkan bahwa daging unggas terus mendominasi. STRATEGI DAN PERAN BADAN LITBANG DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PETERNAKAN Sharing konsumsi protein asal ternak rakyat Indonesia yang baru 10% ini mengindikasikan masih rendahnya peranan protein asal ternak dalam meningkatkan kualitas SDM di Indonesia. Sementara itu, diyakini bahwa protein hewani ini mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia, maka sudah seyogyanya kita menaruh perhatian terhadap persoalan ini dengan mencari solusi bagaimana meningkatkan konsumsi protein hewan melalui peningkatan produksi protein hewani di dalam negeri atau mendatangkan (impor) protein hewani yang murah dan ASUH. Kebijakan impor adalah alternatif terakhir apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi. Oleh karena itu, harus ada program dan kebijakan strategis jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang darimana sumber-sumber protein hewani tersebut bisa di produksi atau di impor, dan berapa jumlahnya. Kita harus mampu mengidentifikasi komoditas ternak apa saja yang dapat dikembangkan dalam jangka pendek, menengah dan panjang, sesuai dengan potensi yang dimiliki, dan bagaimana caranya agar sasaran/target kebutuhan protein hewani tersebut dapat dicapai pada waktunya. Struktur produksi produk asal ternak seperti diulas terdahulu dapat dijadikan dasar untuk menggambarkan potensi dari berbagai komoditas ternak lokal sebagai sumber utama protein hewani di dalam negeri. Dalam hal ini komoditas unggas tetap harus mendapat prioritas untuk dikembangkan karena potensinya yang besar sebagai sumber pangan
asal ternak utama. Keterlibatan para peternak rakyat harus tetap terjamin dengan payung hukum yang mengatur kebijakan tersebut, sehingga ketersediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan bagi peternak rakyat tetap terbuka disamping peningkatan produksi pangan hewani. Selain ayam ras, maka ayam kampung, itik lokal, kambing, domba dan babi juga termasuk komoditas yang potensial untuk ditingkatkan produksinya, bahkan untuk daging kambing dan domba yang perlu dilakukan segera adalah menangkal isu negatif terkait penyakit jantung dan darah tinggi yang dikaitkan akibat mengkonsumsi daging kambing dan domba. Kesalahan persepsi ini yang harus diluruskan melalui berbagai kegiatan sosialisasi melalui PKK dan Dinas Peternakan yang berada di Kabupaten/Kota. Wilayah Pengembangan komoditas ternak hendaknya memperhatikan faktor-faktor biofisik, sosial ekonomi dan budaya serta kearifan lokal wilayah dan masyarakat setempat. Misalnya pengembangan ternak babi akan lebih mudah di wilayah Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTT, Bali, sebagian wilayah Sumatera Utara dan wilayah-wilayah lainnya sesuai dengan nilainilai sosial budaya masyarakat setempat. Diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan, perbaikan ekonomi dan gizi masyarakat setempat. Oleh karena itu, peternakan rakyat harus dikembangkan dengan cara meningkatkan skala usaha dengan memfasilitasi permodalan, kelembagaan dan pembinaan. Kecuali untuk skala komersial dan ekspor seperti di Pulau Bulan dan Pulau Bintan Kepri serta di Sumatera Utara. Demikian juga untuk pengembangan ternak kuda pada daerah yang masyarakatnya mengkonsumsi daging kuda seperti beberapa kabupaten di NTT, NTB dan Sulawesi Selatan. Inovasi teknologi pemuliaan pada ayam kampung seperti ayam KUB juga ikut berperan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan produksi daging ayam di dalam negeri dengan memanfaatkan sumberdaya genetik ayam lokal. Demikian juga dengan itik MojosariAlabio/MA telah mampu meningkatkan produksi telur itik dalam periode waktu produksinya, merupakan kontribusi dari peranan teknologi dalam meningkatkan produktivitas sumberdaya genetik itik lokal.
7
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Teknologi persilangan untuk meningkatkan produksi daging pada sapi potong juga telah diterapkan secara luas di Indonesia melalui IB (Inseminasi Buatan). Sedangkan teknologi penciptaan domba komposit Sumatera dan Garut juga sudah dihasilkan dan dibuktikan dapat meningkatkan bobot potong jauh lebih besar dari domba aslinya pada waktu yang sama, namun upaya perbanyakannya belum mendapat perhatian. Selain teknologi pemuliaan, diperlukan juga teknologi pakan untuk mengatasi kebutuhan bahan pakan yang terus meningkat ditengah-tengah keterbatasan sumberdaya alam. Berbagai sumber bahan pakan inkonvensional yang tersedia di alam perlu diteliti agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Biomassa berupa limbah perkebunan sawit yang melimpah telah diteliti oleh berbagai peneliti di Indonesia untuk bisa dijadikan sebagai bahan pakan dan pakan ternak. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh limbah tanaman sawit (pelepah dan daunnya, tandan kosong, bungkil sawit, solid) dapat digunakan untuk diproses menjadi pakan siap saji bagi
8
ternak ruminansia terutama sapi potong. Demikian juga untuk campuran bahan pakan ternak unggas dapat menggantikan/ mensubstitusi sebagian kebutuhan jagung maupun bungkil kedelai. Langkah antisipatif yang perlu dilakukan dalam mengamankan usaha produksi unggas di Indonesia adalah merencanakan dan melakukan penelitian pengendalian penyakit Flu Burung (Avian Influenzae) baik pada ayam maupun pada itik termasuk mengantisipasi kemungkinan masuknya virus AI baru H7N9 yang sedang mewabah di China. Selain itu, juga lakukan langkah antsipatif terhadap kemungkinan masuknya penyakit-penyakit eksotik yang bersifat zoonosis terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Penyakit-penyakit tersebut antara lain Penyakit Virus Nipah, West Nile, dan Japanese Encephalitis. Anjuran penerapan biosekuriti pada peternakan harus terus disosialisasikan dan dikembangkan melalui kegiatan penelitian dan pengkajian. Selain itu, saya mengharapkan agar saudara juga dapat kreatif dalam membangun kegiatan penelitian konsorsium guna menjalin networking dan efisiensi penggunaan dana, fasilitas dan SDM.