PERAN ELIT POLITIK DALAM PROSES PENETAPAN KEBIJAKAN PUBLIK DI DPRD KOTA MANADO
Oleh Frans C. Singkoh Frans C.Singkoh,2012, Peran Elit Politik Dalam Proses Penetapan Kebijakan Publik di DPRD Kota Manado. Di bawah bimbingan Prof.Dr.Drs.Patar Rumapea,MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Herman Najoan,SH.MHum sebagai anggota). RINGKASAN Peran elit politik DPRD dapat dilihat dari aktivitas tugas dan fungsinya yakni sebagai pemberi legislasi, menetapkan anggaran (APBD) serta sebagai kelompok yang mampu memberikan control terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagai pemberi legitimasi, elit politik DPRD di lihat dari perannya dalam membuat peraturan daerah (Perda), sebagai pemberi legitimasi elit politik memiliki kepentingan dalam menetapkan anggaran terutama dalam menetapkan APBD
serta
sebagai
pemberi
legitimasi
dalam
melaksanakan
control
(pengawasan) atas jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dimana peneliti terlibat sebagai instrument kunci. Pelibatan peneliti sebagai instrument kunci merupakan totalitas jiwa dan raga dalam mengamati, bertanya, melacak, mamaknai dan menganalisis segala sesuatu yang terjadi di lokasi penelitian.Peneliti berupaya untuk mencatat apa yang dilihat dan di dengan dan mencatat apa yang informan pikirkan dan rasakan melalui perkataan. Jumlah informan seluruhnya sebanyak 7 orang. Data/informasi dikumpulkan melalui teknik wawancara dan dilengkapi teknik observasi.Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik analisis kualitatif yaitu model analisis interaktif, kemudian hasil analisis disajikan dalam bentuk narasi. Hasil penelitian menunjukkan : bahwa Elit politik mampu menetapkan kebijakan publik sebagai panduan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
terlaksananya pembangunan di daerah, sehingga dapat memberikan kestabilan dan kesejahteraan pada masyarakat. DPRD sebagai wadah penyalur aspirasi masyarakat di Kota Manado dalam melaksanakan fungsinya terutama fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan telah menunjukkan peran yang baik sekalipun belum maksimal namun sudah cukup efektif. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peran elit politik dalam proses penetapan kebijakan publik belum maksimal. Terlihat secara tersamar “dominasi” eksekutif sangat kuat sehingga terjadi musyawarah untuk mufakat. Saran yang dapat diajukan yaitu :sebaiknya Bupati/Walikota tidak boleh merangkap jabatan sebagai ketua partai politik; Perlu adanya ketentuan/peraturan yang ditaati serta sangsi yang tegas jika terjadi penyalahgunaan jabatan. 1.Pendahuluan Dalam suatu masyarakat baik pada masyarakat modern maupun pada masyarakat primitif selalu terdapat sekelompok kecil yang berkuasa. Kelompok kecil ini biasanya dianggap sebagai pemberi legitimasi dan menjadi panutan sikap dan acuan tindakan , mereka ini biasanya disebut kelompok elit (Keller,1984). Elit adalah mereka yang menduduki posisi puncak di masyarakat baik dalam kekuasaan maupun dalam kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan otoritas, pengaruh, kekuasaan dan pengawasan terhadap sumbersumber daya yang sangat penting. Mereka dapat merumuskan kebijaksanaan, memimpin kegiatan, dan memutuskan masalah-masalahpemerintahan yang penting, pendidikan, hukum, politik dan sebagainya. Dari batasan kelompok elit yang paling berpengaruh saat ini adalah elit politik. Para elit politik dalam sistem pemerintahan dan pembangunan dapat diperhitungkan sebagai pembuat kebijakan, penentu kebijakan, mengamil keputusan serta sebagai pengontrol di dalam sistem pemerintahan. Diantara elit politik yang dominan adalah elit politik dewan
perwakiln rakyat daerah. Mereka adalah elit yang muncul bukan secara kebetulan tetapi keberadaan meeka di bentuk dari proses yang panjang, dari berbagai latar belakang seperti kelompok etnis, agama, cendekiawan, politisi, birokrat, ekonom maupun dari kelompok massa atau masyarakat biasa. Elit politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini memiliki peranan dan posisi yang sangat strategis, dimana mereka dapat dilihat dari berbagai peran yang dimainkan, legitimasi yang mereka lakukan, kontrol yang dilaksanakan serta pembawa dan penyalur aspirasi masyarakat. Mereka ada dari keberagaman, direkrut dan diseleksi melalui partai politik. Mereka dihimpun dalam satu wadah yang disebut dengan lembaga legislatif atau yang lebih dikenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peran elit politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah nampak dari aktivitas tugas dan fungsinya, yakni sebagai pemberi legislasi, menetapkan anggaran yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta sebagai kelompok yang mampu memberikan kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagai pemberi legitimasi, elit politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilihat dari perannya dalam membuat peraturan daerah (Perda), sebagai pemberi legitimasi mereka juga memiliki kepentingan dalam menetapkan anggaran terutama dalam menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta dapat melakukan kontrol (pengawasan) terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Konsep Elit Politik Garis besar perkembangan elit politik di Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis dan berdasarkan keturunan
kepada elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran , berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. (Robert van Niel, 1984). Secara struktural ada disebutkan tentang administrator-adinistrator, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional dan para intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalu maupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan kedua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis. Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzane Keller mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik kedalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elit itu adalah tunggal yang biasa di sebut elit politik. Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. Menurut Arisoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan.
Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua sosiolog politik Italia, yakni Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca. Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kecil ini disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama., yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjt membagi masyarakat dalam dua kelas yaitu, pertama elit yang memerintah (governing elite / golongan elit) dan elit yang tidak memerintah (non governing elite), kedua lapisan rendah (non elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca, yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca dalam semua masyarakat, mulai dari yang paling giat mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakat yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah. Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemudian
didukung olehRobert Michel yang berkeyakinan bahwa “hukum besi oligargi” tak terelakan. Dalam organisasi apapun , selalu ada kelompok kecil yang kuat, dominant dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistic. Sosoknya tersebar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri berganti-ganti pada setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannyapun bisa naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswelll, situasi itu yang lebih penting, dalam situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat kepada siapa saja yangf kebetulan punya peran penting. Konsep Kebijakan Publik Kebijakan publik atau public policy atau kebijakan pemerintah dapat diartikan oleh Dye (1992), public policy sebagai : ”is whatever governments choose to do or not to do”, apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Edwards III dan Sharkansky (1978) mengartikan public policy sebagai “…is what governments say and do or a not do. It is the goals or purpose of government programs …”
adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan oleh pemerintah”.
Kebijakan Negara itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau bentuk program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Public polici itu berupa sasaran atau tujuan programprogrampemerintah. Anderson (1984), mengatakan public policy adalah kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat pemerintah. Implikasi dari kebijakan pemerintah tersebut yaitu : (1) bahwa kebijakan pemerintah itu selalu mempunyai
tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan; (2) bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-polatindakan pejabat-pejabat pemerintah; (3) kebijaksanaan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan 5 oleh pemerintah. Jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu; (4) bahwa kebijakan pemerintah itu bisa bersifat positif dalam arti : merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; (5) bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya
dalam arti yang positif didasarkan atau selalu
dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Dengan pengertian public policy diatas maka dapat dirangkum sebagai berikut : 1) Bahwa public policy itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakantindakan pemerintah. 2) Bahwa public policy itu tidak cukup hanya dunyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuknya yang nyata. 3) Bahwa public policy baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud-dan tujuan tertentu. 4) Bahwa public policy itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat. Untuk memberikan kejelasan makna kebijakan public dapat dilihat dari bentuk-bentuk kebijkan public itu. Menurut Undang Undang Nomor 10 tahun
2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, pasal 7 mengatur jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang. 6 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden. 5. Peraturan Daerah. Kelima bentuk perundang-undangan tersebut merupakan bentuk pertama dari kebijakan public. Disebut demikian karena mereka merupakan aparat public yang dibayar oleh uang public melalui pajak dan penerimaan Negara lainnya, dan karena itu secara hukum formal bertanggungjawab kepada publik. Secara sederhana keijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga (Dwidjowijoto, 2006), yaitu : 1. Kebijakan public yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima peraturan yang disebut diatas. 2. Kebijakan public yang bersifat meso atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk peraturan menteri, peraturan gubernur, peraturan bupati dan peraturan walikota. 3. Kebijakan public yang bersifat mikro ialah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publuk di bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota. Konsep Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pengertian dan makna legislative daerah telah mengalami pergeseran mendasar sejak berlakunya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai isi UU No.32 Tahun 2004 dalam hal menimbang disebutkan 7 bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat UUD 1945, maka pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut azas otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah. Adapun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Penguatan eksistensi lembaga perwakilan rakyat daerah sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 dalam pasal 18 yang mengisyaratkan bahwa Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu di bagi atas kabupaten dan kota. Di dalam tiap-tiap daerah tersebut memiliki pemerintahan daerah yang diatur dengan UU. Pemerintahan daerah memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dalam rumusan Pasal 3 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disebutkan pemerintahan daerah adalah :
(1) Pemerintahan daerah propinsi yang terdiri atas pemerintah daerah propinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi. (2)
Pemerintahan
kabupaten/kota
yang
terdiri
atas
pemerintah
daerah
kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Dewan perwakilan rakyat daerah merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah. Hal yang sama terdapat juga pada kedudukan DPRD Kabupaten/kota, yang berbunyi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan kabupaten/kota (pasal 76). DPRD propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi yang sama yaitu : 1. Fungsi lagislasi, membentuk peraturan daerah bersma kapala daerah. 2. Fungsi anggaran, bersama dengan pemerintah daerah menyususn dan menetapkan anggaran dan pendapatan daerah (APBD) yang didalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD. 3. Fungsi pengawasan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, peraturan daerah dan keputusan kepala daerah serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Fraksi adalah pengelompokkan anggota DPRD yang terdiri dari kekuatan Sosial
politik
dan
mencerminkan
susunan
anggota
dalam
masyarakat
(Tito,2006).Menurut Napitopulu (2005), fraksi adalah pengelompokkan anggota DPRD yang mencerminkan konfigurasi politik yang ada di DPRD, dari partai politik peserta pemilu. Jumlah keanggotaan fraksi mencerminkan konfigurasi
politik yang terdiri dari satu partai politik atau lebih sesuai dengan perolehan kursi hasil pemilu. Fraksi-fraksi bukan merupakan alat kelengkapan DPRD. Tugas fraksi antara lain menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang menyangkut urusan masing-masing fraksi, serta meningkatkan kemampuan efektivitas dan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya yang tercermin dalam setiap kegiatannya. Untuk dapat merealisasikan fungsi, tugas dan wewenang, hak DPRD dan hak anggota DPRD, kewajiban anggoyta DPRD, DPRD memiliki alat kelengkapan dan pendudkung, seperi diatur dalam pasal 98 ayat (4) UU No.22 tahun 2003, yang selanjutnya dimuat dalam pasal 46 UU No.32 tahun 2004 terdiri dari : a. Pimpinan, pimpinan terdiri atas seorang ketua dan beberapa orang wakil ketua yang dipilih diantara anggota DPRD, dengan cara pemilihan yang diatur dalam peraturan tata tertib DPRD itu sendiri. Kalau pimpinan DPRD belum ditetapkan, untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua usianya dan dibantu oleh orang yang termuda usianya. Pimpinan bertugas memimpin rapat DPRD, menyimpulkan persoalan yang dibicarakan, menentukan kebijakan anggaran belanja, serta menyusun rencana kerja dewan yaitu dengan membagi
pekerjaan
antara
ketua
dan
wakil
ketua
dengan
mengumumkannya secara terbuka dalam rapat paripurna. b. Komisi, merupakan pengelompokkan anggota DPRD yangterdiri dari bidang keahlian dan tugas yang ditetapkan sendiri oleh DPRD dengan surat keputusan. Tugas komisi meliputi bidang-bidang yaitu :
(1). Membentuk perundang-undangan dan undang-undang APBD. (2). Mengawasi eksekutif. (3). Menampung aspirasi masyarakat. Untuk melaksanakan tugasnyakomisi dapat mengadakan dengar pendapat, rapat kerja, mengajukan pertanyaan dan kunjungan kerja pada aparat pemerintahan ataupun masyarakat umum, baik atas permintaan komisi maupun pihak lain. c. Panitia musyawarah, merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada permulaan DPRD melakukan kegiatannya. Tugas panitia musyawarah meliputi : (1) memberi pertimbangan atau saran tentang penetapan program kerja DPRD, baik atas permintaan pimpinan DPRD maupun tidak, (2) menetapkan jadwal kegiatan rancangan peraturan daerah, (3) menentukan waktu dan susunan acara rapat paripurna, (4) memutuskan pilihan mengenai isi risalah apabila timbul perbedaan pendapat, (5) memberikan saran dan pendapat untuk memperlancar segala pembicaraan atas dasar musyawarah dan mufakat, (6) bermusyawarah dengan gubernur kepala daerah mengenai hal yang berkenaan dengan penetapan acara serta pelaksanaannya, apabila hal ini dianggap perlu oleh DPRD atau apabila diminta oleh Gubernur Kepala Daerah. d. Panitia anggaran, merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada permulaan DPRD melakukan kegiatannya. Tugas dan kewajiban panitia anggaran meliputi : (1) memberikan saran dan pendapat kepada kepala daerah dalam
mempersiapkan rancangan nota keuangan dan RAPBD, selambatlambatnya lima bulan sebelum ditetapkannya APBD, (2) memberikan saran dan pendapat kepada DPRD mengenai pra rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah, Rancangan nota keuangan dan tancangan anggaran daerah, baik penetapan, perubahan maupun perhitungan yang telah disam[aikan kepada kepala daerah dan (3) membantu pimpinan DPRD dalam menyusun rancangan anggaran belanja DPRD setiap tahun anggaran bersama sekretaris DPRD. e. Badan kehormatan, dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan DPRD. Adapun anggotanya dipilih dari dan oleh anggota DPRD. Tugas badan kehormatan yaitu : (1) mengamati, mengevaluasi disiplin, etika, dan moral para anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan kode etik DPRD, (2) meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap peraturan tata tertib dank ode etik DPRD serta sumpah/janji, (3) melakukan penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD, masyarakat atau pemilih, (4) menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, ferifikasi dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada bagian 3 sebagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh DPRD. Yang dimaksud dengan tidak lanjut dalam ketentuan ini ialah pemberian sanksi apabila terbukti adanya pelanggaran atau rehabilitasi 12 f. nama baik apabila tidak terbukti adanya pelanggaran.
g. Alat kelengkapan lain yang diperlukan. Pembentukan, susunan dan tugas dan wewenang alat kelengkapa DPRD propinsi, kabupaten/kota terhadap peraturan tata tertib dan kode etik DPRD serta sumpah/janji. (1) Melakukan penyelidikan, ferifikasi dimaksud pada rekomendasi untuk ditindaklanjuti dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD,
masyarakat
dan/atau
pemilih,
(2)
menyampaikan
kesimpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada bagian (3) sebagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh DPRD. Yang dimaksud dengan tindak lanjut dalam
ketentuan ini ialah pemberian sanksi apabila
terbukti adanya pelanggaran atau rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti adanya pelanggaran. 2. Metodologi Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Prosedur pendekatan kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong,2004). Pendekatan ini mementingkan fenomena yang teramati dan konteks makna yang melingkupi suatui realitas, menggambarkan atau melukiskan keadaan subjektif/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain). 3. Peran Elit Politik dalam proses penetapan kebijakan publik. Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah 13
sebagaimana dikemukakan oleh Wasistiono dan Wiyoso (2009) apabila terjalin hubungan kerjasama antara kedua lembaga yang ada di daerah yaitu dapat berfungsinya kekuatan yang seimbang antara pemerintah daerah (lembaga eksekutif) dan DPRD sebagai lembaga legislatif. Pada kenyataannya penguatan keran dari kedua lembaga tersebut nampaknya tidak seimbang, dimana praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah selama ini lebih didominaso oleh peran eksekutif. Dominannya eksekutif akan membuat pihak eksekutif lebih berkuasa di banding pihak legislatif. Kenyataan ini terjadi dimana dapat dilihat dari mandulnya peran DPRD. DPRD sebagai wakil rakyat seharusnya menjadi sumber inisiatif, sumber ide dan konsep serta pemberi legitimasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kurang berperannya DPRD selama ini karena tradisi dalam iklim politik di daerah lebih menonjolkan peranan eksekutif. Hal ini dapat dipahami karena DPRD sebagai pengemban amanat rakyat memiliki berbagai kelemahan baik dari segi internal maupun eksternal. Dari segi internal DPRD menghadapi berbagai masalah diantaranya rendahnya kualitas sumber daya manusia anggota DPRD karena berasal dari berbagai latar belakang keilmuan dan pengalaman serta keanggotaannya yang bersifat temporer. Dari segi eksternal DPRD memiliki kelemahan karena terdapat berbagai kebijakan yang bersifat ambivalen. Dalam praktek yang terjadi hubungan kepala daerah dan DPRD cenderung berhadapan secara diametral. Hal ini merupakan konsekuensi kedudukan antara kepala daerah dan DPRD yang terpisah sebagai warisan dari semangat undang-undang tentang pemerintahan daerah yang selama ini berubah-ubah. 14
Walaupun sudah terjadi perubahan khususnya dalam UU No.32 tahun 2004 dan amandemen UU No.12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah belum dapat menciptakan keseimbangan terhadap mekanisme check and balances antara pihak eksekutif daerah dan DPRD maupun masyarakat. Seharusnya kedua lembaga ini dapat berperan secara seimbang dalam menciptakan sistem pemerintahan yang lebih harmonis. Menurut Kaloh (2002) ada berbagai faktor yang mempengaruhi hubungan antara eksekutif dan legislatif yang kurang seimbang antara lain dapat dipahami dalam bentuk, pertama hubungan secara positif, kedua bentuk hubungan konflik dan ketiga bentuk hubungan negatif. Dalam hubungan secara positif bentuk hubungan ini terjadi bila pihak eksekutif daerah dan DPRD memiliki visi dan misi yang sama dalam menjalankan pemerintahan dan
bertujuan untuk kemajuan
daerah itu sendiri (good governance), hal ini dapat dilihat dalam cirri-ciri birokrasi, transparan, demokratis, akuntabel, baik, berkeadilan dan objektif. Bentuk hubungan konflik terjadi bila kedua lembaga ini saling bertentangan dalam visi menyangkut tujuan kelembagaan serta tujuan daerah. Hal ini akan berwujud pada pertentangan yang mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan yang tidak produktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pencapaian tujuan-tujuan daerah itu secara keseluruhan. Sedangkan bentuk hubungan secara negatif terjadi bila pihak eksekutif dan legislative berkolaborasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan secara bersama-sama menyembunyikan kolaborasi tersebut kepada publik.
Dari ketiga prinsip hubungan tersebut diatas adalah meliputi representasi, anggaran, pertanggungjawaban, pembuatan peraturan daerah, pengangkatan sekretaris daerah, pembinaan dan pengawasan. Menurut Suwandi (2005), ada beberapa hal yang dapat menjadikan disharmonisasi antara pihak eksekutif dan legislatif (DPRD) , dalam UU No.32 tahun 2004 antara lain : 1. Pemilihan kepala daerah secara langsung akan membuat akuntabilitas kepala daerah lebih kuat dibandingkan dengan akuntabilitas DPRD. Akibat dari kondisi tersebut akan terjadi titik berat kekuatan politik yang tidak seimbang, sehingga posisi kepala daerah yang lebih diperkuat. 2. Bahwa konsekuensi dari pemilihan langsung, DPRD maupun kepala daerah akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. 3. Oleh karena itu kepala daerah tidak lagi menyampaikan laporan 4. pertanggungjawabannya kepada DPRD, namun mekanismenya diatur dalam pasal 27 ayat 2, oleh karena itu mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah diatur sebagai berikut : a. Keadaan kepada Presiden cq. Menteri dalam negeri berupa LPPD (Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah). b. Kesamping kepada Dewan Perwakilan Rakyart Daerah namun berupa LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban). c. Kebawah kepada masyarakat berupa IPPD (informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah). 3. DPRD akan tetap mempunyai otoritas dalam bidang legislasi, anggaran dan kontrol apabila DPRD mampu menggunakan kewenangan tersebut secara
efektif, maka DPRD diharapkan akan mampu menciptakan keseimbangan dan kekuatan dengan pihak eksekutif (kepala Daerah) 4. Terjadinya perubahan signifikan terhadap konstruksi pemerintah daerah yang ada sekarang, dimana terdapat kejelasan antara pejabat politik (Kepala Daerah dan DPRD) dengan pejabat karir. Pejabat politik bertugas merumuskan kebijakab politik, sedangkan pejabat karir mengoperasikan kebijakan tersebut kedalam pelayanan publik. Berdasarkan uraian diatas nampak bahwa dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat akan dapat meningkatkan legitimasi politiknya dalam memimpin pemerintahan daerah dan sekaligus menciptakan check anda balances dalam hubungannya dengan DPRD. Namun apabila DPRD terlam[pau lemah atau dikuasai oleh partai yang sama dengan kepala daerah, maka akan menciptakan power shift kearah executive heavy. Untuk itu pemberdayaan DPRD dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan keseimbangan antara eksekutif daerah dengan DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pembuat kebijakan public sedangkan pemerintah daerah (kepala daerah) adalah pelaksana kebijakan piblik. Namun keduanya mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 25 UU No.32 tahun 2004 tentang tugas dan wewenang kepala daerah, serta tugas dan fungsi Dewan Perwakilan rakyat daerah tercantum dalam pasal 1 butir keempat, dimana disebutkan bahwa
DPRD
adalah
lembaga
perwakilan
rakyat
sebagai
unsure
pemnyelenggara pemerintahan daerah. Dari pasal tersebut menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempubayi kedudukan yakni
sebagai wakil rakyat dan sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah. Kedua kedudukan tersebut seringkali menimbulkan masalah terutama dalam konflik kepentingan yang akan mempersulit posisi elit politik DPRD dalam proses pengambilan keputusan terutama dalam penentuan kebijakan public. 4. Kesimpulan dan Saran Elit politik DPRD dalam tugas dan fungsinya sebagai pemberi legitimasi, menetapkan anggaran serta sebagai kelompok yang mengawasi penyelenggaraan pemerinatahan di daerah diharapkan dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan publik akan menjadi panduan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah khususnya penyelenggaraan pemerintahan di Kota Manado. Sidang pleno DPRD yang dihadiri ketua partai yang merangkap kepala pemerintahan (wali kota), mengakibatkan para elit politik segan ataupun tidak berani memberikan argument apalagi mengkritik kebijakan yang akan ditetapkan sekalipun bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu sebaiknya seorang kepala pemerintahan tidak merangkap sebagai ketua partai politik, dan perlu ada kebijakan yang mengatur hal tersebut. DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab Solichin, 2002, Analisis Kebijakanaan, dari Formulasim ke Implementasi, Kebijaksanaan Negara, Bina Aksara Jakarta. Abidin Zainal, 2006, Kebijakan Publik dan Implementasinya, Pradnya Paramita. Agustino Leo,2006, Dasar-dasar Kebijakan Publik, Alfabeta Bandung. Arikunto Suharsimi,1998, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta Bottomore T B, 2006, Elite dan Masyarakat,Akbar Tanjung Institut Jakarta
Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-dasai Ilmu Politik, Gramedia Jakarta. ............................., 1995, Fungsi Lsgislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, PT.Grafindo Persada, Jakarta. Budiyono Kabul, 2009, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, Alfabeta Bandung Dunn William, N, 2000, Analisis Kebijakan Publik, Gajah Mada University, Yogyakarta. Fatimah Dati & Sukribo Mail, 2009, DPR Uncensored,Bintang Yogya. Heru Rochajat, Sumarmo AP, 2006, Komunikasi Politik sebagai suatu pengantar Maju Mundur Bandung. Hoogewerf A, 1978, Ilmu Pemerintahan, Erlangga Jakarta. Islamy M.Irfan, 2001, Prinsip-prinsip Kebijakan Negara, Sinar Grafika Jakarta. Kansil C.S.T., Kansil Christine C.S.T., 2003, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara jakarta. Keller Suzanne, 1995, Penguasa dan Kelompok Elit, Raja Grafindo Persada Jakarta. Librayanto Romi, 2008, Trias Politica, PUKAT Indonesia. Malarangeng Andi Alfian, dkk, 2001, Otonomi Daerah, Perspektif Teoritis dan Praktis, Bigraf Yogyakarta. Marbun B N.2006, DPR Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Sinar Harapan Jakarta. Moekijat, 1987, Kamus Pemerintahan Alumni Bandung. Moleong J.Lexy, 1996, Metode Penelitian Kualitatif, P.T.Remaja Rosdakarya, Bandung. Napitupulu Paimin, 2005, Peran dan Pertanggungjawaban DPR, Alumni Bandung
………………….., 2007, Menakar Urgensi Otonomi Daerah, Alumni Bandung. Natsir Nanat Fatah, 2010, Moral dan Etika Elit Politik, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Pamuji S, 1993, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bumi Aksara Jakarta. Pito Adrianus Toni, Efrisa, Fasyah Kemat, 2006, Mengenal Teori Teori Politik, Nuansa Bandung. Prodjodikoro Wirjono, 1981, Azas-azas Ilmu Negara dan Politik, Eresco Bandung Purnomowati Dwi Reni, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Rajagrafindo Persada Jakarta. Riant Nugroho, 2008, Kenijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, PT.Alex Media Gramedia Jakarta Riduan, 2003, Metode dan teknik Menyusun Tesis, Alfabeta Bandung. Robert van Niel, 1984, Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka Jaya Jakarta. Sarundajang S H, 2005, Birokrasi dalam Otonomi Daerah, Kata Hasta Pustaka Jakarta. ......................................, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Kata Hasta Pustaka Jakarta ....................................., Pemerintahan Daerah di berbagai Negara, Kata Hasta Pustaka Jakarta ....................................., Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Kata Hasta Pustaka Jakarta Sinambela Poltak Lijan, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara Singarimbun Masri, Effendi Sofyan, 1989, Metode Penelitian Survai, LP3ES
Jakarta. Sjamsuddin Nazaruddin, 1993, Sistem Politik Indonesia, Gramedia Jakarta. Soejito Irawan, 1983, Teknik Membuat Peraturan Daerah, Bina Aksara Jakarta. Soejito Irawan, 1981, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara Jakarta. Sudjana Nana, 2006, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, Makalah – Skripsi – Tesis – Desertasi, Sinar Baru Algensindo Bandung. Sujanto Bagong dan Sutinah, 2007, Metode Penelitian Sosial, Kencana Jakarta. Suharto Edi, 2005, Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta Bandung. Sumarmo, 1989, Dimensi-dimensi Komunikasi Politik, Citra Aditya Bakti Bandung. Sumartono Karim, 1991, Kelompok Elite Dalam Implementasi Pembangunan, CV.Rajawali Press Jakarta. Sutoyo, 2011, Pendidikan Kewargabegaraan untuk Perguruan Tinggi, Graha Ilmu, Yogyakarta Thoha Mifta, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Raja Grafindo Persada Jakarta. Ubaedillah A. Dan Rozak Abdul (Penyunting), 2008, Pendidikan Kewargaan (civic education), Kencana Prenada Media Group Jakarta. Varma S P, 1990, Teori Politik Modern, Rajawali Jakarta. Wahab Abdul Solichin, 2005, Analisis Kebijaksanaan, Bumi Aksara Jakarta. Wibowo Edi, Tangkilisan Nogi Hesel, 2004, Seni Membangun Kepemimpinan Politik, BPFE, Yogyakarta. Winarno Budi, 2007, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi,Buku Kita Jakarta. ......................., 2005, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo Yogyakarta. Wasistiono Sadu dan Wiyono Yonatan, 2009, Meningkatkan Kinerja Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Fokus media Bandung. Wasistiono Sadu dan Riyani Ondo, 2003, Etika Hubungan Legislative Eksekutif, Fokus Media Bandung. Undang Undang Dasar 1945 dan Perubahannya,2004, Redaksi Kawan Pustaka Jakarta. Undang Undang Otonomi Daerah terdiri : . UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. . UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan keuangan antara Pusat dan Pemerintahan Daerah, Citra Umbara Bandung. UU RI No.27 Tahun 2009, Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Fokus Media Bandung.