ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010
SKETSA ELIT DAN FRAGMEN EKONOMI POLITIK KOTA
Akhmad Ramdhon Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract The city in its development experience dynamics. Relation schema elite is one of the determinants of movement of the city. Note the various cases concerning the pattern of relations between elites also determine the pattern of development of the city, where the economic elite could become the motor for the diverse schedule of change. The dynamics of urban political economy that should open a wide space for the involvement of stakeholders city was experiencing reduction by the elite. Transactions of interest between political interests and economic interests became the largest energy to ensure direction, movement and pattern of change that occurred in the city. Keywords : city, elite, economic, politic, social change
A. Konstruksi Umum Diskursus tentang kondisi politik kontemporer di negara kita tidak dapat dilepaskan dari berbagai perspektif yang menyertainya, entah itu dalam perspektif yang deterministik ataupun yang plural. Berbagai perdebatan-pun penuh dengan analisaanalisa yang menempatkan politik bersama relasinya dengan variabel-variabel lain entah budaya, ekonomi hingga variabel-variabel yang tidak tampak dalam permukaan seperti tarik ulur kepentingan antara pelakupelaku dalam jaring-jaring kekuasaan. Konsekuensi dari kondisi seperti itu melahirkan paradoks dalam setiap perdebatan (dalam bahasa lain, perdebatan yang melahirkan perdebatan lagi) yang ingin menjelaskan kondisi perpolitikan kita secara konprehensif dan kami-pun mengalami dampak dari kondisi itu. Kedepan menjadi penting untuk memberi penekan pada relasi antara ekonomi dan politik yang beraras pada konteks
perkotaan, secara umum dan luas. Banyak referensi juga memberi jalan bagi kami untuk melihat signifikansi perkembangan ekonomi yang berbanding seimbang dengan perkembangan kota. Pada konteks itu kita mencoba menganalisanya dengan memberi penekanan pada contoh kasus terutama yang ada di negara berkembang dengan menggunakan perspektif yang melahirkan dikotomik antara pelakunya. Sebab dalam perspektif inilah bisa dibedah konstruksi dari dinamika perpolitikan di negaranegara baik yang sudah maju ataupun negaranegara yang tidak berkembang-berkembang secara ideal untuk diperdebatkan dan ideal karena banyak referensi untuk membedahnya, disamping juga keinginan untuk melihatnya sebagai wacana yang tidak datar namun potensial untuk dieksploitasi. Dalam banyak wacana sebelumnya, kita melihat ada banyak kristalisasi pemikiran kita terhadap pembangunan kota-kota di berbagai negara, dengan menempatkan
Akhmad Ramdhon “Sketsa Elit dan Fragmen Ekonomi Politik Kota”
63
Jurnal Sosiologi DILEMA variabel ekonomi sebagai pendorong utama laju pertumbuhan dan perkembangannya. Catatan sejarah bisa mengenal perkembangan kota-kota yang dimulai dari penemuan flying shuttle yang memudahkan proses penenunan, pemintalan dan memudahkan, menambah produksi sekaligus meletakkan pondasi bagi Revolusi Industri di Eropa. Penemuan itu kemudian disusul dengan berbagai penciptaan teknologi baru yang pada akhirnya menyeret arah pola perekonomian klasik ke arah perkembangan ekonomi kapitalistik dengan modal sebagai sandaran utamanya, dan pada akhirnya mengubah wajah kota-kota di Eropa dan belahan dunia yang lain. Oleh sebab perkembangan ekonomi dan berbagai variabelnya menyebabkan over produksi yang menuntut adanya pasar yang bisa mereduksi berbagai produk yang telah tercipta. Kondisi ini memang tidak begitu saja tercipta namun sudah terkonstruksi sebelumnya dengan berbagai latar belakang sosio-historis di Eropa pada saat itu, terutama dengan lahirnya orang-orang yang tidak puas terhadap kondisi masyarakat secara umum, yang dikuasai oleh koalisi otoritas monarkhi absolut dan gereja. Mereka menunut ada pembaharuan di dalam masyarakat, yang mana mereka anggap stagnan (L. Laeyendecker. 1983 : 13-18). Kondisi yang ada dan berlangsung sesudahnya adalah menggeliatnya kekuatan ekonomi sebagai kekuatan yang merenggut semua variabel yang ada, menjaring semua pelakunya dalam sebuah jaringan global yang tidak menyisakan sedikit ruang–pun bagi individuindividu untuk melakukan penolakkan, agar tereduksi di dalamnya. Keadaan seperti ini bertahan dalam satu arah perubahan yang memang secara sengaja diciptakan oleh para pemodal, dengan proses yang berjalan secara cepat, dengan berbagai instrumen yang diciptakan sebagai pelengkap dari eksistensi-nya dan berbagai produk yang tetap menyertakan kita semua dalam
64
bingkai keterikatan dan ketergantungan yang menyesakkan. Arah perubahan menempatkan ekonomi sebagai motor utama dan secara otomatis merubah pola kekuasaan yang ada sebelumnya, dimana kekuasaan sebelumnya diletakkan di atas pondasi-pondasi nonekonomi. Tapi setelah perkembangan kapitalisme menyebar dan menjadi potret besar wajah dunia global maka yang terjadi adalah tarik ulur antar pelaku kekuasan untuk sebanyak mungkin melakukan akumulasi kapital. Maka dari sinilah analisa untuk menempatkan relasi yang signifikan antara kekuatan ekonomi dengan tegaknya eksistensi kekuasaan. Dan implikasi dari cara berpikir seperti itu mempunyai konsekuensi baru yaitu membuat dikotomi bagi para pelaku politik, atas dasar kepemilikan. Konsekuensi dari paparan tersebut menghasilkan sebuah kategori yang sederhana yaitu menempatkan mereka dalam kerangka relasi antara elit, kelas menengah dan kelas bawah. Relasi yang terbangun diantara mereka adalah dengan menganggap posisi masing-masing secara obyektif-kontradiktif dalam lokasi hubungan kelas. Dimana hubungan antara mereka adalah hubungan antagonistik, saling bertentangan satu sama lain dalam kepentingannya masing-masing dan perseteruan mereka terhadap aset-aset ekonomi yang terbatas jumlahnya namun tetap menarik untuk diperebutkan. Anthony Giddens dan David Held, 1987 : 62). Dan tentunya dengan pengabaian terhadap berbagai standart nilai yang ada dan berlaku. Di sinilah potret yang tampak bukanlah potret yang indah, dengan komposisi keadilan dan kebenaran yang berada pada tempatnya. Namun sebuah potret yang buram yang tidak nyaman untuk disaksikan dalam kerangka moral ataupun nilai-nilai normatif dan diyakini eksistensi nilai-nilai tersebut. B. Sketsa Elit dan Korporasi-nya Dalam kondisi modern dimana setiap masyarakat secara otomatis berafiliasi dalam
Akhmad Ramdhon “Sketsa Elit dan Fragmen Ekonomi Politik Kota”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 bingkai negara maka peran akan subyek yang ditempatkan secara khusus sebagai elit adalah orang yang paling banyak ‘mempunyai’ standart nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini elit kemudian dilekatkan dalam statusnya sebagai subyek yang telah memegang otoritas tinggi ataupun tertinggi dalam masyarakat, untuk menjalankan mekanisme negara (J.W. Schrool, 1980: 128-134). Atau dalam arti yang paling umum, elit itu menunjuk sekelompok orang yang di dalam masyarakat menempati kedudukan tinggi atau dalam arti khusus orang-orang yang terkemuka dalam bidangbidang tertentu dan khususnya memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan serta lingkungan dari mana pemegang kekuasaan itu diambil. Kosekuensinya adalah mengangkat preposisi bahwa kekuasaan ditegakkan oleh ekonomi dan aset-aset ekonomi yang terbatas jumlahnya. Oleh karena itu sudah menjadi konsekuensi yang logis apabila kemudian setiap orang cenderung memperebutkan sejumlah peran utama (elit) dalam kerangka itu, untuk kemudian menciptakan atau mendapatkan fasilitas dalam kerangka mengakumulasi berbagai kapital. Maka yang akan dilakukan oleh setiap subyek yang berusaha dan telah mendapatkannya adalah kecenderungan untuk mempertahankannya dalam waktu yang relatif lama (status quo). Namun juga tidak bisa dipungkiri kalau tuntutan terhadap status itu terlalu besar bagi subyek yang tidak punya kemampuan karena yang akan dihadapinya adalah tuntutan yang terlalu banyak dari masyarakat luas. Tuntuan untuk menempatkan masyarakat pada garda depan takkala membuat kebijakan, tuntutan untuk membuat masyarakat lebih baik, secara ekonomi ataupun politik. Tuntutan-tuntutan itu sudah semestinya ditempatkan sebagai kewajiban atau tugas yang harus dilaksanakan oleh elit. Di samping juga menghadapi berbagai tarikan dari kepentingan yang lain yaitu individu
yang terkait dengan berbagai kebijakan yang diambil oleh elit, membuat hal ini terasa sebagai buah dari semakin kompleks dan memadatnya kota, dalam segala aspeknya. Di sini akan terasa sekali bagaimana masingmasing orang berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari berbagai kebijakan yang ada, entah keuntungan yang mereka rasakan dari adanya aturan yang tidak begitu mengikat ataupun kelonggaran dalam banyak hal, yang intinya menguntungkan bagi mereka. Kesadaran dari elit, bahwa mereka tidak bisa berdiri sendiri tanpa ditopang oleh pelaku yang lain, menjadikan mereka membangun kekuatan bersama dalam rangka mengokokohkan kekuasaan itu. Pertanyaannya kemudian, ketika elit sudah mempunyai kekuasaan maka siapa yang akan mereka ajak bergabung, tentunya pihak lain yang mempunyai kekuatan lain dan kekuatan yang mampu menegakkan kekuasaan adalah modal (I. Warsana Windhu, 1992 : 39) Dengan berkoalisi dengan kekuatan modal maka pertukaran keuntungan terbangun diantar keduanya. Bagi para pemilik modal, kebebasan yang mereka dapatkan, kebijakan-kebijakan yang memihak atau jaminan keamanan atas dasar pertemanan adalah sesuatu yang tidak bisa didapatkan begitu saja dengan mudah. Begitu juga bagi para elit, mengelola aliran modal yang masuk kemudian tidak jelas penggunaannya atau modal untuk menjaga tegaknya kekuasaan mereka juga bukan hal yang mudah. Koalisi antara kekuasaan dan para pemilik modal, sebenarnya lebih disebabkan karena bertemunya para politisi yang lemah dengan para pemodal yang memang tidak punya kemampuan berbisnis dengan baik. Keduanyalah yang kemudian akan membangun kekuasaan menjadi kekuasaan yang tidak mempunyai kepekaan terhadap berbagai tuntutan diluar hubungan keduanya. Mereka dengan serta merta sedang membangun rezim untuk kemudian membuat
Akhmad Ramdhon “Sketsa Elit dan Fragmen Ekonomi Politik Kota”
65
Jurnal Sosiologi DILEMA berbagai kebijakan yang mendukung apaapa yang mereka lakukan dan tentunya ujung dari semua itu adalah terpeliharanya kekuasaan yang mereka punyai sekaligus juga mengembangkannya dengan menghambat berbagai gejala perubahan dalam masyarakatnya. Rezim yang ditegakkan atas dua kekuatan itu, biasanya mampu bertahan relatif lama bila dibandingkan dengan rezim yang hanya berbasiskan kekuatan militer saja. Sebab dengan mereduksi kekuatan modal dalam satu bingkai kekuasaan maka dengan sendirinya mereka juga telah mereduksi kekuatan kelas menengah di dalamnya. Karena letak orientasi kelas menengah lebih pada prosesi ekonomi saja, mereka bukan orang yang berobsesi untuk memegang kekuasaan namun juga tidak mempunyai cukup modal untuk memiliki alat-alat produksi, jadi lebih pada kesempatan-kesempatan hidup yang lebih baik secara ekonomis. Harapan dari keadaan seperti ini adalah minimnya keinginan dari kelas menengah untuk melakukan perubahan karena memang biasanya potensi perubahan memang sering kali datang dari kelas ini, terutama yang berpendidikan tinggi. Dengan sendirinya rezim sedang mengkebiri kelas menengah ini. C. Konsekuensi ekonomi-politik kota Sketsa politik yang terurai dalam deskripsi diatas pada akhirnya menyeret juga perubahan dalam struktur masyarakat secara luas, dimana akan lahir kelas yang tidak memiliki kekuasaan baik politik, modal ataupun kemapanan secara ekonomi. Dalam diskursus ini, menempatkan kelas bawah yaitu kelas yang tercipta akibat proses marjinalisasi ruang-ruang politik dan ekonomi. Proses ini menghasilkan arogansi kebijakan yang menciptakan tingkat produktivitas yang pincang antara kota dan desa, sedikitnya keterkaitan antara kebijakan dengan berbagai perangkat yang disediakan, distance yang luar biasa (antar pelaku ekonomi, desakota atau sektor formal-informal) dan ke-
66
senjangan tingkat pendapatan serta rendahnya tingkat kehidupan masyarakat secara luas (Didik J. Rachbini, Prisma 1991). Padahal kondisi negara kita adalah negara agraris, sedangkan kebijakannya tidak mengarah pada kondisi itu maka yang terjadi adalah melemahnya tingkat perkembangan komoditi pertanian dibandingkan dengan perkembangan komoditi diluar pertanian. Kondisi terpusatnya kebijakan mengakibatkan membesarnya pergeseran manusia ke arah kota, sehingga meningkat pula proporsi penduduk kota. Akumulasi manusia di kota-kota, yang tidak diimbangi oleh jumlah lapangan kerja pada akhirnya menyebabkan pengangguran yang tinggi, dimana luapan ini kemudian bekerja pada kantong-kantong ekonomi informal, dengan produktifitas rendah dan subsisten. Pada beberapa kasus di beberapa negara (terutama negara berkembang) potret urbanisasi merupakan proses yang berjalan secara terus menerus dan tidak dapat ditekan laju pergerakannya. Ada beragam kekuatan yang menyebabkan proses tersebut berjalan secara simultan oleh sebab dinamika kota yang semakin lanjut, sebagai efek dari adanya kolonialisasi dimana kota tumbuh dan dijadikan pusat konsentrasi atas penguasaan dan pengelolaan daerah jajahan. Dan situasi tersebut masih tetap bertahan sekalipun telah terjadi proses dekolonialisasi. Kemudian teknologi yang tersedia dan hanya dapat diakses di kota-kota semata menyebabkan terpusatnya berbagai inovasi teknologi manusia di ranah kota. Pertumbuhan penduduk secara keseluruhan menunjukkan peran dalam mempertegas pentingnya arti dan makna kota bagi penghidupan. Di negara-negara maju, lalu lintas penduduk dalam negeri atau dari/ke kota menjadi alasan atas tingginya laju urbanisasi disamping meningkatnya jumlah pendapatan di wilayah perkotaan. Berbeda dengan kasus-kasus pada negara-negara berkembang dimana perubahan penduduk secara alami merupa-
Akhmad Ramdhon “Sketsa Elit dan Fragmen Ekonomi Politik Kota”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 kan selisih jumlah antara kelahiran dan kematian yang menjadi variabel dominan untuk mendorong laju urbanisasi (Philip M. Hauser dan Robert W. Gardner, 1985 : 46-52). Ada banyak paparan tentang kuantifikasi fenomena urbanisasi dan dinamikanya di berbagai belahan dunia. Oleh Peter JM Nas (1979) diurai : pada tahun 1800-an, terdapat 15.6 juta dari 906 juta orang (1,7 %) yang tinggal dan menetap di daerah perkotaan. Dan pada tahun 1960 kenaikan atas meningkatnya jumlah penduduk kota berkisar pada kisaran angka 51.6 juta menjadi 590 juta atau meningkat 20 %. Dimana fakta lain tentang urbanisasi adalah tentang level urbanisasi (presentase jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan dibagi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan) dan pada kasus Indonesia terdapat kenaikan yang konstan -bahkan naik (Achmad Nurmandi, 1999 : 3-12) : 1960 terdapat 15%; 1970 terdapat 17%; 1980 terdapat 22%; dan 1990 terdapat 31%. Pemusatan beberapa sektor kehidupan seperti perdagangan, industri, pendidikan hingga politik menjadi penyebab utama signifikansi angka-angka tersebut (Takayoshi Kitagawa, 1998 : 297). Akibatnya kota makin dinamis dan kompleks atas berbagai hal. Kawasan kota sebagai mekanisme perekonomian secara tidak langsung adalah sebagai konsekuensi dari perkembangan sektor pertanian dimana keberhasilan atas pencapaian hasil pertanian secara maskimal bahkan surplus mampu menstimulan perkembangan pasar sebagai bentuk transaksi atas pertemuan-pertemuan aktivitas ekonomi. Akumulasi atas kondisi ini menstimulan pula pengelompokkan masyarakat diluar sektor pertanian dan pada saat yang bersamaan industrialisasi melebar. Pembagian kerja dan spesialisasi kemudian menjadi ciri masyarakat kota di samping terstratifikasinya pola pendapatan dan pola konsumsi masyarakat dalam struktur ekonomi berbasis non agraris. Telah terjadi transisi dari ekonomi tradisional ke modern.
Kondisi ekonomi yang mapan membutuhkan pola pengaturan atas berbagai hal dan tata pemerintahan kemudian menjadi jalan keluar atas persoalan ini. Kawasan kota kemudian menjadi satuan-satuan pemerintahan dimana kondisi penduduk makin banyak, persoalan makin kompleks dan kebutuhan makin beragam. Relasi-relasi individual kemudian membutuhkan mediator dan spesialisasi pekerjaan melahirkan profesi bagi sebagian individu untuk mengatur dan menata kota, dengan segala aspeknya. Bangunan organisasi sosial yang terbentuk -sebagai bentuk pengkristalan berbagai perbedaan- menjadi aktualisasi perilaku individu di kawasan perkotaan, selain karakter yang rasional, ekonomis dan dinamis. Kondisi ini juga diikuti oleh dinamika ruang dalam berbagai bentuk dan maknanya dalam lingkungan dan kawasan perkotaan. Pertumbuhan ekonomi dan investasi menyeret pola pendapatan dan pola konsumsi masyarakat dalam ragam-ragam kebaharuan. Dalam ranah politik, konsekuensi dari dominannya ekonomi kota melahirkan subyek-subyek yang apatis sebab mereka biasanya hanya mempunyai sedikit pengetahuan, hidup dalam segala keterbatasan, minimnya partisipasi dalam lingkungan sosialnya. Sebagai subyek mereka sangat potensial, karena jumlah yang sangat banyak. Namun penghargaan terhadap mereka (dalam kapitalisme-birokratis) tidak sesuai. Mereka hanya dieksploitasi sebagai lumbung-lumbung suara takkala pemilihan umum berlangsung, dalam tuturan Samuel Hungtinton menegaskan, mereka merupakan sumber daya politik yang telah kehilangan daya politiknya untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Potensi ini lebih banyak dimanfaatkan oleh berbagai kelompok kepentingan, terutama rezim yang sedang berkuasa sebab biasanya sikap inferioritas lebih karena dominasi politik yang datang untuk meyumbat dan menyekat partisipasi mereka. Akhirnya semakin ter-
Akhmad Ramdhon “Sketsa Elit dan Fragmen Ekonomi Politik Kota”
67
Jurnal Sosiologi DILEMA subordinasi, semakin apatis pula mereka. Kelas ini dalam perkembangannya hanya menjadi bumper’ pada masyarakat kapitalis. Dan ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga banyak dinegara-negara lain terutama negara yang sedang berkembang, setidaknya nilai-nilai elit politik, elit ekonomi dan kebijakan para penguasa, lebih dominan dan menentukan dari pada yang lain dalam membentuk pola partisipasi masyarakat maupun menentukan arah pengembangan suatu negara (J.E. Goldthrope, 1992 : 392). Sejarah politik memberi ruang lapang bagi kemapanan sistem politik tradisional yang diikuti dengan hadirnya momentum kolonialisasi. Kolonialisasi yang berwajahkan perdagangan dan militer mengubah secara frontal potret kekuasaan, sekaligus mengubahnya dengan melemahkan makna serta fungsi kekuasaan yang terkonsentrasi pada tradisi sebagai pusat. Kekuatan dan kekuasaan tergerogoti oleh sistem politik yang dikembangkan kaum kolonial dan melahirkan ketertundukkan secara politis kekuasaan dalam bingkai ekonomi, politik dan budaya. Konflik eksternal kaum kolonial untuk melakukan ekspansi ke berbagai wilayah ikut menyeret kekuasaan yang ada dan masuk ke dalam keterbelahan kekuasaan internal raja-raja, yang luar biasa. Kepentingan kolonial untuk mengembangkan sistem ekonomi sebagai bagian dari perdagangan internasional melahirkan kebijakan dan sistem politik yang mengkonstruksi ketergantungan sekaligus mengkebiri kemampuan kebudayaan Jawa. Salah satu kebijakan politik kolonial yang kapitalistik adalah terjadinya reorganisasi berbagai tatanan dalam masyarakat struktur masyarakat Jawa. Berbekal semangat yang tetap kolonialistik, kebijakan untuk rasionalisasi, standartrisasi dan pemusatan pada tatanan administrasi kolonial, ditata kembali.
68
Penghadiran pelaku-pelaku kebudayaan barupun dilahirkan dengan menciptakan alternatif dalam struktur yang feodal, lewat pendidikan. Kebutuhan akan individu yang terdidik menjadi tak terhindarkan ketika kegiatan perdagangan meningkat dengan cepat, angka-angka eksport meningkat dua kali lipat dan kegiatan tersebut terus mengalami perluasan. Pendidikan menjadi jalan keluar atas kebutuhan memproduksi tenaga kerja yang dibutuhkan bagi kekuasaan baru dan kebutuhan bisnis swasta kolonial serta politik untuk mengawali terintegrasinya modernisasi di Jawa, sebagai perpaduan-persinggungan Barat dan Timur. Lahir elit-elit baru sebagai pelaku politik yang tak berbasiskan tradisi tapi mempunyai latar belakang pendidikan. Mobilitas struktural yang terjadi kemudian mengalami perubahan yang paling awal, yang diikuti oleh perubahan karakter kebudayaan masyarakat kota. Semua kondisi tersebut menjadi prasyarat terbangunnya semangat kebersamaan dalam bingkai nasionalisme. Bangunan identitas kemudian dikonstruksikan, kebebasan kemudian didengung-dengungkan dan organisasi-organisasi baik politik, pendidikan atau kebudayaan, terus diperbanyak lalu mendiseminasikan semua kesadaran tersebut. Politik sebagai manifestasi semua itu, mengalami dinamika yang luar biasa. Pioner dari semangat pergerakan ini adalah para pemuda hasil pendidikan pada fase kolonialisasi akhir dan meninggalkan kemampuan politik tradisional karena telah mampu menebak arah dan gerak perubahan politik nasional. Gelombang perubahan yang memilih negara sebagai bentuk baru -tentang bagaimana kekuasaan diatur dan ditata gunakan- menjadi sangat cepat sekaligus mengakselerasi perkembangan kota diatas rel ekonomi dan politik masyarakat modern.
Akhmad Ramdhon “Sketsa Elit dan Fragmen Ekonomi Politik Kota”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010
Daftar Pustaka Achmad Nurmandi, Manajemen Perkotaan, Lingkaran, 1999 Adi Sasono dan Sritua Arif, Ketergantungan dan Keterbelakangan, LSP, 1984 Didik J. Rachbini, Dimensi Ekonomi dan Poltik Pada Sektor Informal, Prisma 1991 Evers, Hans Dieter, Urbanisme di Asia Tenggara : Makna dan Kekuasaan Dalam Ruangruang Sosial, YOI 2002 Hauser, Philip M. dan Gardner, Robert W. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan : Studi Kasus di Beberapa Daerah Perkotaan, YOI, 1985 Kitagawa, Takayoshi. Urbanisasi dan Industrialisasi di Indonesia, UGM press 1998 Knox, Paul. Urban Social Geography : an Introduction, Longman 1982 Manning, Cris-Tadjuddin Noer, Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota, Gramedia-PSK UGM 1985). Palen, J John. The Urban World, McGraw Hill 1987 Geertz, Clifford. Mojokuto : Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Grafiti, 1986 Goldthrope, JE. Sosiologi Dunia Ketiga ; Kesenjangan dan Pembangunan,Gramedia 1999 Giddens, Anthony dan Held, David. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai v Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, Rajawali Pers 1987 I. Warsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut John Galtung, Kanisius 1992 Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan , Gramedia 1983 Schrool, JW. Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara Berkembang, Gramedia 1980
Akhmad Ramdhon “Sketsa Elit dan Fragmen Ekonomi Politik Kota”
69
Jurnal Sosiologi DILEMA
KETAHANAN MASYARAKAT KOTA SOLO (Model Pengelolaan Konflik Tionghoa – Jawa melalui Pendekatan Ketahanan Masyarakat)
Atik Catur Budiati Pendidikan Sosiologi-Antropologi FKIP Universitas Sebelas Maret
Abstract In Solo, a conflict which involved Tionghoa-Java is frequently, there is even an opinion that says that the Tionghoa-Java conflict is 15-year conflict cycle events. Therefore, Solo City Government develop community resilience program to create social harmony to prevent conflict. The creation of community resilience in Solo is a social phenomena that serve as an anticipation of all forms of social change, cultural. politics and economics which often leads to violence. One is to manage conflicts of Tionghoa-Java. In hopes, Tionghoa-Java conflicts do not occur again in Solo. Keywords: Community Resilience, Conflict Management of Tioghoa - Java
A. Pendahuluan Telah menjadi rahasia umum bahwa konflik yang melibatkan etnis Jawa dan Tionghoa sering terjadi. Konflik sosial ini seringkali berujung pada kerusuhan massal (pengrusakkan, penjarahan, & kebakaran) yang disertai aksi kekerasan. Tentu saja ini menimbulkan kerugian besar baik materiil maupun non materiil. Satu sisi, etnis Jawa merasa dominasi Tionghoa terhadap perekonomian sangat besar. Masyarakat non Tionghoa hanya menjadi kelas nomor dua tanpa mendapatkan kekuasaan dalam monopoli perdagangan. Di sisi lain, adanya diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Akibatnya konflik antar etnis ini tidak dapat dihindari. Sepertinya pemahaman masyarakat tentang pluralitas atau kemajemukan budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia masih berada di tataran cita-cita. Selain itu
70
pembicaraan tentang isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) masih dianggap tabu dan dilarang untuk dibicarakan secara terbuka di tingkatan publik. Ironisnya, isu SARA kerap dijadikan “kambing hitam” penyebab munculnya masalah-masalah sosial di Indonesia. (Rahardjo, 2005:8) Pada era Orde Baru (Orba), Presiden Soeharto menunjukkan keberpihakkan yang besar kepada sekelompok pengusaha yang kebanyakan Etnis Tionghoa. Tetapi di sisi lain, kebijakan Orba tentang pelarangan agama, kepercayaan, ekspresi seni, kebudayaan dan sastra cina memberikan bentuk diskriminatif lain bagi Etnis Tionghoa. Padahal, tanpa disadari hal ini menjadi bom waktu bagi terjadinya ledakan chaos sosial. Tragedi Mei 1998 adalah salah satu contohnya. Menurut Taufik Abdullah, kerusuhan sosial antar etnis memiliki persamaan sebagai peristiwa sosial yang tidak terlepas dari masalah kekuasaan dan cenderung terkait
Atik Catur Budiarti “Ketahanan Masyarakat Kota Solo”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 dengan afinitas atau situasi yang saling bergesekan dari ketiga unsur. Pertama, kegelisahan ekonomi yang terkait dengan perbedaan penilaian terhadap keputusan politik. Kedua, kejengkelan politik bersumber pada perbedaan pendapat diantara kelompokkelompok dalam masyarakat tentang legalitas kekuasaan politik yang dimiliki penguasa dan perbedaan pandangan atau preferensi terhadap pejabat atau lembaga politik tertentu. Ketiga, kegelisahan sosial yang tidak terkait secara langsung dengan politik, tetapi bersumber pada rasa kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap ketidakadilan di antara pihak-pihak yang terlibat, sebagai akibat ketimpangan manfaat yang diperoleh. (Thung Ju Lan, 1999). Sampai saat ini, masyarakat non Tionghoa masih memberikan keberadaan yang kurang menguntungkan bagi Etnis Tionghoa. Ditambah dengan kebijakan pemerintah yang masih tidak jelas dalam menangani persoalan berbasis kultural, berakibat terjadinya berbagai kerusuhan sosial yang akhirnya warga Etnis Tionghoalah menjadi sasaran kekerasan. Kebijakan asimilasi yang salah arah, karena dipahami sebagai penyeragaman, memunculkan persepsi bahwa loyalitas masyarakat Tionghoa hanya dapat dicapai melalui pengingkaran identitas kultural mereka. Sebagai etnis minoritas, maka etnis Tionghoa perlu melakukan strategi dan friksi demi memperjuangkan dan mempertahankan identitas budaya yang dimilikinya. Kota Solo merupakan kota yang pertama kali menciptakan peristiwa rasial anti Cina. Menurut Sejarawan, Sartono Kartodirdjo, pada tahun 1913 dicatat sebagai “lembaran terburam” dalam sejarah Indonesia, sejauh menyangkut kerusuhan-kerusuhan anti Cina (Rahardjo, 2005:104). Puncaknya pada Tragedi Mei 1998. Konflik etnis Tionghoa dan Jawa terus terjadi dan berulang yang biasanya disertai amukan massa (pembakaran, penjarahan, perkosaan dengan kekerasan). Berdasarkan catatan Harian Solo Heritage
Community, Kota Solo di bakar massa sudah terjadi sebanyak tujuh kali yaitu: 1. Tragedi 22 Oktober 1965 Pembantaian 3 pelajar oleh pasukan PKI di depan Benteng Vastenburg oleh Batalyon 444 yang juga dikenal sebagai Batalyon Empat Refting. 2. Kerusuhan Krisis Pangan, 6 November 1966 Dimotori gerakan pemuda kota membongkar gudang sembako di seluruh kota utamanya di Kawasan Tambak Segaran. 3. Tahun 1972 Gegeran abang becak vs pemuda Arab tahun 1972. berdampak di seluruh kawasan pertokoan pasar Pon dan Coyudan di bakar massa 4. Insiden Kerusuhan Pri vs Non Pri di Mesen Tahun 1980 Mengakibatkan munculnya kerusuhan kota yang berkarakter dan bersifat endemis dan pathologis sebagai gejala awal munculnya penyakit sosial perkotaan di Solo. 5. Kerusuhan Mei Kelabu 1998 Masih menggambarkan kerusuhan secara endemis dalam ukuran jam, kerusuhan meluas hingga kawasan eks karesidenan Surakarta dan sifat penyakit sosial pathologis kerusuhan senantiasa kambuhan pada skala siklus 15 tahunan 6. Kerusuhan November Kelabu 1999 Amuk massa sebagai dampak kekalahan Megawati dalam pencalonan sebagai Presiden 7. Amuk Massa Trek-trekan tahun 2001 Dilakukan oleh kalangan pemuda kota akibat kebut-kebutan di kota. Amuk ini berdampak dibakarnya kantor polisi di tingkat kawasan Gendengan. (Solopos, 17 Mei 2007) Kerusuhan sosial yang terjadi pada bulan Mei 1998 mengakibatkan kerugian yang
Atik Catur Budiarti “Ketahanan Masyarakat Kota Solo”
71
Jurnal Sosiologi DILEMA tidak terhitung baik materiil maupun non materiil. Penjarahan, kebakaran, pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa, pengrusakkan, pelemparan bom oleh massa yang membabi buta menghancurkan Kota Solo. Berbagai bangunan yang dianggap “berbau Tionghoa” di rusak, dibakar dan dijarah. Supermarket, plaza, gedung bioskop, hotel hancur dan mematikan sendi perekonomian masyarakat. Biaya sosial dari Mei Kelabu ini harus dibayar oleh semua masyarakat tidak hanya dari etnis Tionghoa saja. Ikatan solidaritas masyarakat Solo dan sekitarnya tercerai berai, dan sosialisasi nilai-nilai kekerasan antar generasi pun terjadi. Ingatan masyarakat akan kerusuhan mei 1998 tidak begitu saja mudah dilupakan. Trauma psikologis para korban selalu mengingatkan bagaimana kebrutalan massa pada waktu itu sangat tidak terkendali. Luapan emosi sesaat mampu menghancurkan bangunan-bangunan baik fisik dan sosial yang selama ini dibangun, hancur hanya dalam waktu sekejap. Akar persoalan dari kerusuhan anti Tionghoa ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan baik di kalangan etnis Tionghoa maupun Jawa. Persoalan banyak berujung pada proses saling menyalahkan satu sama lain dengan mencari pembenaran sendiri sehingga menambah runcingnya permasalahan. Sehingga, solusi penyelesaian dari masalah ini belum dianggap cukup untuk tidak mengulang lagi kerusuhan anti Tionghoa. Padahal, keberadaan etnik Cina di Surakarta tidak dapat dilepaskan begitu saja karena mampu menjadi bandul perubahan tatanan sosial maupun ekonomi di Surakarta. Peran warga Cina dalam perkembangan ekonomi memang tak perlu diragukan seperti keberadaan Pasar Gede berawal dari pasar yang dibidani oleh masyarakat Cina. (Solopos, 15 Februari 2007). Seiring dengan perkembangannya maka terjadilah pembauran sosial antara etnik Cina dan Jawa yang terpusat di Kampung Pecinan “Balong”. Keberagaman tersebut mam-
72
pu memberikan warna baru bagi terjadinya kohesi sosial diantara mereka. Identitas kultural masing-masing tetap dibangun tanpa melalui penyeragaman. Beberapa simbol-simbol kultural Cina masih tetap bertahan dan memberikan saksi bisu bagi kelanggengan hubungan antar etnik. Selain itu kebudayaan Cina juga telah membaur dengan kebudayaan masyarakat lokal seperti tradisi Cembengan yaitu mengarak sepasang batang tebu yang disinyalir merupakan salah satu tradisi masyarakat Cina sebagai hari ziarah. Salah satu contoh kongkrit dari pengakulturasian budaya Cina adalah dapat dilihat dari motif kain batik seperti burung Hong atau lebih dikenal burung Phoenix dan bentuk sulur (Solopos, 16 Februari 2007). Dengan berbagai pembauran sosial ini terlihat sebuah pola ketahanan sosial yang dibangun antara etnik Cina dan Jawa yang harapannya mengurangi sumber-sumber konflik. Segala keberagaman kultural yang ada di Indonesia mampu menjembatani terjadinya kesatuan sosial masyarakat. Tetapi mengapa konflik antar etnis ini masih sering terjadi? B. Pendekatan Struktural: Kebijakan Penyeragaman Kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak jelas berakibat kerusuhan sosial dimana warga Tionghoa menjadi sasaran merupakan wujud nyata persoalan Tionghoa tidak atau belum terselesaikan. Kebijakan asimilasi yang diterapkan pada era Orde Baru misalnya menjadi salah arah karena muncul persepsi bahwa loyalitas orang-orang Tionghoa dapat dicapai melalui pengingkaran ciri-ciri kultural. Pendekatan politik ini sangat kental dengan konsep penyeragaman sehingga mereduksi berbagai keunikan yang melekat dalam komunitas Tionghoa. (Jamuin, 2005). Selain itu berkaitan juga dengan konsep pembauran yang diartikan sebagai upaya menghapus atribut asal (indegenous) dan mengadopsi ciri baru yang dianggap mainstream.
Atik Catur Budiarti “Ketahanan Masyarakat Kota Solo”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 Tabel 1.1 Kebijakan tentang Etnis Tionghoa di Indonesia Tahun 1900an
Peristiwa Penggolongan secara diskriminatif oleh Pemerintah Hindia Belanda ke dalam 3 golongan yaitu: 1. Masyarakat Eropa 2. Golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab) 3. Pribumi (penduduk asli) Penggolongan tersebut membuat Pemerintah Hindia Belanda memberikan hak-hak istimewa kepada orang keturunan Tionghoa misalnya penjualan candu bahkan hak untuk memungut pajak Adanya system pass dan zoning, pengelompokkan warga Tionghoa ke dalam wilayah tertentu sehingga memunculkan kampung peTionghoan (memberikan persepsi seolah-olah warga Tionghoa sangat ekslusif) 1960 Perpu No. 10 tentang pribumisasi pemerintah yang melarang warga Indonesia keturunan Tionghoa untuk berdagang di tingkat pedesaan. 1965 Warga Tionghoa di bunuh dan ditangkap tanpa proses pengadilan atau prosedur yang jelas atas tuduhan komunisme 1967 Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 yang melarang agama, kepercayaan, ekspresi, seni, dan kebudayaan maupun sastra Tionghoa 1998 Sentiment anti-Tionghoa memuncak pada kerusuhan rasial 14-15 mei 1998 2000 Dikeluarkannya keputusan presiden No. 6 Tahun 2000 untk mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 membuat ruang demokrasi mulai dibuka kembali Sumber: diolah dari berbagai data
C.
Pendekatan Perilaku: Enklusifisme Tionghoa
Melihat berbagai kebijakan yang diambil pemerintah, etnis Tionghoa secara individual dan komunal memilih menekuni satusatunya bidang yang paling mungkin survive yaitu bidang bisnis (perdagangan). Hal ini menjadi motivator survival of the fitness yang menghasilkan ekses-ekses yang tidak sehat dalam iklim kehidupan komunitas Tionghoa ketika berinteraksi dengan komunitas lain non Tionghoa. (Rahardjo, 2005). Iklim yan tidak sehat ini juga akibat pola-pola segregasi sosial yang ekslusif secara berlebihan di kalangan komunitas Tionghoa. Implikasinya adalah berkembangnya praktek-praktek nepotisme dan patronase dalam relasi bisnis di kalangan etnis Tionghoa. Persepsi sosial itu akhirnya berkembang ketika eksklusifisme di kalangan konglomerat yang berasal dari etnis Tionghoa terlibat dalam berbagai kolusi dengan penguasa.
Berbagai bentuk perilaku plutokratis (menguasai/mempengaruhi kekuasaan dengan kekayaan atau kekuatan uang) lalu menjalankan bisnis mereka dengan cara-cara kotor. Prasangka negatif lainnya yang dilekatkan dan dipelihara secara terus menerus adalah bahwa etnis Tionghoa itu pelit, binatang ekonomi, konglomerat pengeruk kekayaan negara, licik, tidak memiliki jiwa nasionalis,dll. Sedangkan orang Tionghoa memandang orang Jawa juga memiliki prasangka yang negatif bahwa orang Jawa itu malas, mau enaknya sendiri (suka meminta bantuan) dan kalau membayar utang tidak menepati janji. (Kinasih, 2005) D. Pendekatan Culture:Penghilangan Jati Diri Etnis Tionghoa Karakter yang dilekatkan pada masyarakat Tionghoa sebagai masyarakat eksklusif didasari pada semangat kekauman yang menjadi dasar bagi etnis Tionghoa. Ajaran
Atik Catur Budiarti “Ketahanan Masyarakat Kota Solo”
73
Jurnal Sosiologi DILEMA Konghucu mengajarkan semangat persaudaraan yang kuat sekali rasa kekauman, dan kekeluargaan yang kuat. Filosofi ini menjadi pegangan bagi masyarakat Tionghoa yang menyatakan bahwa “kolong langit adalah satu rumah dan di empat penjuru lautan adalah saudara”. Pada saat rumah menjadi tempat berlindung pada saat bahagia maka kebahagiaan menjadi milik anggota keluarga lainnya. Kesadaran membagi kebahagiaan dengan sesamanya menjadi dasar interaksi masyarakat Tionghoa. Tidak ada kekuatan mengikat selain ikatan darah. (Kinasih, 2005) Hal ini berakibat pada struktur keluarga yang patrilineal sehingga marga menjadi sangat penting. Karena pengaruh dari modernitas maka struktur keluarga Tionghoa mulai bergeser menjadi struktur keluarga baru (neolokal). Sebagai konsekuensinya maka lambat lain kehilangan ciri khas Tionghoa seperti nilai-nilai tradisional keluarga. Karakteristik lain yang hilang adalah berkaitan dengan agama. Tiga agama tradisional yang disebut Sam Kao (Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme) jelas kehilangan pengaruhnya karena tumbuhnya sentimen anti komunis. E. Ketahanan Masyarakat: Model Pengelolaan Konflik Antar Etnis di Kota Solo Lingkaran sengketa antar kedua etnis tersebut tidak pernah diselesaikan hingga kini. Negara justru membiarkan dan mengambil keuntungan dari situasi semacam ini. Akhirnya sengketa itu melebar meluas dan berubah bentuk menjadi kekerasan massal bahkan terjadi secara berulang-ulang. Lantas bagaimana dengan kendali pemerintahan daerah Kota Solo menyelesaikan masalah ini? Saat ini Pemerintahan Kota Solo (Pemkot Solo) melakukan upaya-upaya pencegahan konflik dengan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola konflik. Program ini dinamakan “Pengembangan Ketahanan Masyarakat”.
74
Program ketahanan masyarakat di Kota Solo selain bertujuan untuk menguatkan kembali lembaga dan mekanisme sosial yang mendukung terciptanya budaya damai dalam masyarakat juga bertujuan sebagai berikut: 1. Memahami dan memetakan akar konflik dan kekerasan 2. Memperoleh data mengenai tingkat dan besaran konflik 3. Menyusun model pengelolaan konflik 4. Mengembangkan aktivitas-aktivitas perdamaian 5. Membangun jejaring lintas etnis dan golongan (Pedoman Praktis Kesbanglinmas Kota Solo, 2006) Terciptanya ketahanan masyarakat atau komunitas tertentu merupakan sebuah gejala sosial yang dijadikan sebagai suatu antisipasi dari segala bentuk perubahan sosial, budaya. politik dan ekonomi. Istilah ketahanan masyarakat dapat dikembangkan melalui upaya terjaringnya modal sosial yang ada di masyarakat. Baik modal sosial berupa norma dan jaringan sosial, ataupun kepercayaan sosial yang mampu mendorong tindakan kolektifitas demi mencapai manfaat bersama. Program ketahanan masyarakat ini merupakan hasil dari kegiatan yang telah terlebih dahulu dilakukan Pemkot Solo bekerjasama dengan UNICEF dari tahun 2001 – 2005 dengan melalui kegiatan. Pemetaan awal yang telah dilakukan Tim Kesbanglinmas menyebutkan bahwa Kelurahan Gilingan Kecamatan Banjarsari sebagai wakil dari wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi dan Kelurahan Gandekan Kecamatan Jebres sebagai wilayah dengan tingkat kerawanan sedang. (Pedoman Praktis Kesbanglinmas Kota Solo, 2006) Dan pada tahun 2006 dimulai program ketahanan masyarakat dengan membentuk kader-kader ketahanan masyarakat di ting-
Atik Catur Budiarti “Ketahanan Masyarakat Kota Solo”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 kat kelurahan (ada 51 kelurahan). Setiap kelurahan masing-masing mengirimkan 2 warganya untuk diberikan pelatihan tentang ketahanan masyarakat. Dalam hal ini, ketahanan masyarakat dilakukan melalui empat tahap yaitu identifikasi dan analisis masalah, penyelesaian masalah, penilaian mandiri secara berkala, dan memelihara dan meningkatkan hasil yang dicapai. Berbagai kegiatan telah dilakukan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan ketahanan masyarakat ini dari mulai lokakarya, FGD dengan stakeholder sampai sosialisasi ke tingkat kelurahan. Hasil sementara masih banyak kelurahan yang belum merespon terhadap program ini. Hal ini menurut analisis tim Kesbanglinmas karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kondisi kota. Terlepas berhasil atau tidaknya program ini di masa mendatang, tampaknya niat baik Pemkot Solo ini perlu mendapat dukungan. Karena dengan melalui fasilitasi Pemkot Solo ini, kepentingan antar warga di tingkat kelurahan dipertemukan dan ini sangat baik bagi hubungan antar warga kota. Menurut analisa fungsionalisme, masyarakat mendahului individu. Individu dicetak, ditekan dan dipengaruhi lingkungan sosialnya. Dengan demikian, kepentingan individu mencerminkan “kesadaran kolektif ” atau sistem nilai masyarakat. Dalam menganalisa suatu masyarakat, maka tekanan ini disalurkan melalui mekanisme dimana institusi-institusi sosial diintegrasikan satu sama lain untuk mempertahankan keteraturan sosial yang sudah ada (Jhonson, 1990:102). Menurut Durkheim, realitas dilihat sebagai hasil komunikasi antara kenyataan sosial dan kesadaran. Masyarakat bukan hanya realitas melainkan juga milieu yang melahirkan ide tentang apa yang real itu. Oleh karena itu, individu haruslah terikat pada masyarakat, terikat pada kolektivitas. Karena perlunya suatu ikatan kolektivitas yang mampu menjembatani antara kesadaran individu dengan kesadaran kolektivitas,
semakin besar perubahan sosial yang terjadi sehingga semakin diperlukan sebuah perantara dalam bentuk organisasi untuk mencegah kecenderungan disintegrasi. Kalau kesadaran kolektif cukup kuat maka kesadaran itu mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menetralisasikan perbedaanperbedaan, sehingga menjadi tambah sensitif terhadap pelanggaran yang semula dianggap sebagai hal yang biasa (Soekamto, 1985). Hal ini senada dengan pemikiran Rochwan Achwan yang melihat lembaga-lembaga solidaritas yang ada di masyarakat merupakan sebuah jembatan untuk menyederhanakan dan mengurangi ketidakpastian di dalam kehidupan sosial. Berbagai konflik sosial yang melibatkan ketegangan antar etnis serta masalah sosial lainnya dapat menghilangkan “social trust” di dalam masyarakat. Akibatnya dapat merenggangkan ikatan solidaritas antar masyarakat. Dan akhirakhir ini menunjukkan bahwa lembagalembaga solidaritas yang menjadi penopang ketahanan komunitas tersebut, mulai mengalami penciutan, keretakan, bahkan kelumpuhan. (Hikmat, 2003:6) Di satu sisi, menurut Muhadjir Effendi yang memperkenalkan “Masyarakat Equilibrium”, menegaskan bahwa sebuah perubahan yang terjadi di Indonesia harus dibarengi dengan keseimbangan. Karena tanpa keseimbangan, perubahan justru akan menghasilkan ketimpangan dan rusaknya tatanan sosial. Perubahan yang diiringi dengan keseimbangan inilah yang akan mewujudkan masyarakat equilibrium. Dengan didukung nilai kebenaran yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Tanpa itu, akan menimbulkan suasana yang dalam dunia psikologi disebut itensi paradoksi (pertentangan yang intens). Apalagi, jika pada kenyataannya terjadi proses benturan-benturan nilai yang ada dalam masyarakat, maka hal itu tidak akan mengarahkan terciptanya new equilibrium tetapi menciptakan disequilibrium baru. (Effendy, 2002:12-13). Itulah
Atik Catur Budiarti “Ketahanan Masyarakat Kota Solo”
75
Jurnal Sosiologi DILEMA sebabnya, menurut Durkheim dalam kehidupan sosial perlu adanya solidaritas sosial yang terbentuk dalam masyarakat sebagai proses keseimbangan. Berbagai perubahan kebijakan politik yang menyangkut Etnis Tionghoa menyebabkan keberadaan mereka sebagai etnis minoritas semakin termajinalkan khususnya di Era Orde Baru. Misalnya adanya pelarangan penggunaan segala macam bentuk simbol-simbol kebudayaan Cina (Tionghoa) termasuk perayaan hari besarnya seperti Imlek. Pengakuan terhadap identitas kultural sebagai sebuah hak yang perlu dimiliki oleh setiap kelompok etnis, diingkari oleh pemerintahan Orde Baru saat itu. Masyarakat Etnis Tionghoa hanya diberi ruang untuk melakukan bisnis semata. Hasil penelitian Departemen Sosial RI yang dilakukan di empat propinsi (Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah) menunjukkan bahwa konflik (perubahan sosial) pada tingkat yang paling parah, mengendurkan pranata sosial. Karena, konflik adalah suatu klimaks dari suatu proses panjang dimana masuk dan berkembangnya “virus-virus sosial” ke dalam masyarakat. Konflik berat dalam wujud perusakan harta benda hingga nyawa manusia sebenarnya adalah hasil akumulasi proses sosial yang keropos. Oleh karena itu, perlunya memberdayakan pranata sosial dalam kerangka mencegah dan mengantisipasi terulang kembalinya konflik sosial. (Muttaqin, 2002:1) Ketahanan masyarakat atau Communiti Resilience yang dikembangkan Pemkot Solo merupakan kemampuan masyarakat mengelola berbagai gangguan, hambatan, ancaman, dan tantangan yang mempuyai potensi konflik dan kekerasan dalam rangka mencapai kehidupan yang harmoni. Harapan Pemkot Solo dengan program ketahanan masyarakat ini adalah: 1. Terbangunnya kesadaran warga akan pentingnya budaya damai dan kesedia-
76
2.
3.
4. 5. 6.
an warga untuk berperan aktif dalam menciptakan budaya damai Menguatnya peran lembaga-lembaga formal dan informal di masyarakat dalam mengupayakan perdamaian. Menguatnya peran tokoh-tokoh masyarakat, agama, etnis dan kepemudaan dalam mengupayakan perdamaian Tersedianya data yang lengkap tentang pola-pola konflik di masyarakat Terciptanya mekanisme damai dalam pengelolaan konflik di masyarakat Adanya dokumentasi tentang kegiatankegiatan yang dapat menunjang berkembangnya perdamaian yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. (Pedoman Praktis Kesbanglinmas Kota Solo, 2006)
Terciptanya ketahanan masyarakat diindikasikan dengan kemampuan segenap komponen pemerintah, asosiasi lokal, pengusaha, lembaga swadana masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga ekonomi, dan lembaga keagamaan, guna melakukan peace keeping (menjaga perdamaian), antisipasi konflik, resolusi konflik, dan social recovery dalam proses kehidupan sosial (Kartono, 2005:39). Selain itu, komponen-komponen inilah pula yang perlu memelihara dan memainkan fungsinya sebagai adaptasi, integrasi, goalattainment, dan latence-pattern Maintenace. Agar, ketahanan masyarakat bukan sebuah impian semata dalam kondisi sosial yang tidak menentu seperti sekarang ini. Karena apabila dilihat dari perspektif konflik, setiap masyarakat akan selalu mengalami konflik akibat perubahan yang mengelilinginya. Konflik merupakan gejala alamiah dan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan sosial. Konflik adalah realitas sosial yang tidak mungkin dihilangkan namun dapat diperkecil atau dibatasi sebarannya. Dengan pemahaman tersebut, diharapkan akan ada upaya yang sistematis untuk mengelola konflik dalam bentuk pencegah-
Atik Catur Budiarti “Ketahanan Masyarakat Kota Solo”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 an ataupun penyelesaian konflik (Muttaqin, dkk, 2003:10). Durkheim melihat konflik sebagai bagian dari kondisi yang anomie. Konflik sebagai fungsi-fungsi antar elemen di dalam sistem sosial. Yakni, kondisi pertentangan yang dialami masyarakat dalam masa tertentu buah dari kehilangan kendali norma dan nilai-nilai sosial yang telah ada (Poloma, 1994). Goerge Simmel, salah satu tokoh dari aliran fungsionalisme, menganalisa konflik juga dalam arti keberfungsiannya. Dalam bukunya Conflict: The Web Of Affiliation Group (1955), Simmel mengatakan bahwa struktur sosial adalah suatu gejala yang mencakup di dalamnya berbagai proses asosiatif dan disasosiatif yang tidak mungkin dipisah-pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa. Artinya, dalam kehidupan sosial, konflik itu dapat menjadi penyebab ataupun pengubah kepentingan-kepentingan kelompok, organisasi, kesatuan-kesatuan, dan sebagainya. Konflik juga dapat mengatasi ketegangan-ketegangan antara halhal yang bertentangan sehingga mencapai perdamaian. Di sini, konflik tidak harus dianggap sebagai penghancur sistem sosial, namun juga dilihat sebagai perekat dan pembangun integrasi sistem sosial itu sendiri. Perasaan alamiah dalam manusia adalah sumber terjadinya konflik. Dalam buku The Fungtions of Social Conflict (1956), Lewis Coser mempertegas argumen Simmel bahwa konflik itu bisa menjadi salah satu media integrasi, persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial, serta penguatan identitas suatu kelompok sosial (social group). Kelompok sosial tertentu akan menjadi semakin kuat dan erat ketika mereka memiliki dan menghadapi lawan atau musuh dari kelompok sosial lainnya (Poloma, 1994).
Oleh karena itu pengembangan ketahanan masyarakat tidak hanya sekedar pada upaya mengubah perubahan menjadi peluang dan kesempatan tetapi harus mampu memberikan solusi konflik dan pencegahannya. Sebuah konsep ketahanan masyarakat yang lain menawarkan pemahaman bahwa ketahanan sosial diperlukan pada status sehat (sebagai antibody) dan pada status sakit (sebagai obat). Menurut Rochwan Achwan, suatu komunitas dianggap memiliki ketahanan masyarakat apabila: 1. Mampu melindungi secara efektif anggotanya, termasuk individu dan keluarga yang rentan dari kelompok perubahan sosial yang mempengaruhinya 2. Mampu melakukan investasi sosial dalam jaringan sosial yang menguntungkan 3. Mampu mengembangkan mekanisme yang efektif dalam mengelola konflik dan kekerasan. (Hikmat,dkk, 2004:7) Ketahanan masyarakat menggambarkan kemampuan internal masyarakat dalam menggalang konsensus dan mengatur sumber daya maupun kemampuannya mengantisipasi faktor eksternal menjadi sumber ancaman menjadi peluang. Oleh karena itu ketahanan masyarakat tidak hanya dilihat sebagai final or finish product tetapi juga process or dynamic product (Hikmat,dkk, 2004:22). Ketahanan masyarakat tidak dapat diartikan dalam batas-batas “social defence” pada konteks statis, tetapi perlu dimaknai pula sebagai “social resiliance” yang lebih bercorak dinamis. Mungkinkah langkah yang diambil Pemkot Solo dengan mengembangkan ketahanan masyarakat mampu mewujudkan masyarakat kota yang aman dan nyaman untuk ditinggali?
Atik Catur Budiarti “Ketahanan Masyarakat Kota Solo”
77
Jurnal Sosiologi DILEMA
Daftar Pustaka Coser, Lewis A.,(1956), The Function of Social Conflict, New York: The Free Press Effendi, Muhadjir, (2002) Masyarakat Equilibrium, Yogyakarta, Bentang Budaya Hikmat, Harry,dkk, (2004), Indikator Ketahanan Sosial Masyarakat (Kajian Konseptual dan Empirik), Jakarta, Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Departemen Sosial RI Jamuin, Ma’arif (2001), Memupus Silang Sengkarut Relasi Jawa Tionghoa, Surakarta, Ciscore & The Asia Foundation Johnson, Doyle Paul, (1990), Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama Kartono, Drajat Tri, (2004), Pembentukan Sistem Ketahanan Sosial Melalui Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan, Surakarta, UNS Press Kinasih, Ayu Windy (2005), Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo, Yogyakarta, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM Muttaqin,dkk, (2003) Model Pemberdayaan Pranata Sosial dalam Penanganan Konflik, Jakarta, Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Departemen Sosial RI Poloma, Margareth, (1994) Sosiologi Kontemporer, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada Rahardjo, Turnomo, (2005), Menghargai Perbedaan Kultural (Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis), Yogyakarta, Pustaka Pelajar Simmel, George, (1955), Conflict & Web of Group-Affiliation, Illinois: The Free Press Soekamto, Soerjono, (1985) Aturan-Aturan Metode Sosiologis (Seri Pengenalan Sosiologi 2 Emile Durkheim), Jakarta, CV Rajawali Thung Ju Lan, (1999), “Konflik Cina – Non Cina” Etnisitas dan Kekuasaan, dalam Proceedings Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) Sumber pusataka lainnya: Tim Kota Solo, (2006), Pedoman Praktis Prose Pengembangan Ketahanan Masyarakat Di Kota Solo, Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Solopos, 15 Februari 2007 Solopos, 17 Mei 2007
78
Atik Catur Budiarti “Ketahanan Masyarakat Kota Solo”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010
DIMENSI SOSIOLOGIS DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH (Studi Kasus Di Kud Jatinom, Kabupaten Klaten)
Muflich Nurhadi Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract This Research is done in selected location that is in KUD Jatinom which located in Countryside of Krajan, District Of Jatinom, Sub-Province of Klaten, Province Central Java. Problem of which emerge and will look for its answer in this research is : Factors What Is Influence the Quality Of Milk of Cow Press out in KUD Jatinom. To / answer that question, researcher do not use theory, but woke up a framework of think compiled of datas dug by field, later;then with especial Interview guide as a means of to collect data, is beside assisted other by means. like : observation, needed datas can be collected and analysed by using analysis qualitative. Its result show, that earnings factors, capital, mischief of breeder and weaken control him/ observation become cause fluctuate him of[is quality of dairy cattle milk in KUD Jatinom. Keywords : Quality, Product, Organization
A. LATAR BELAKANG MASALAH Produksi susu segar di Indonesia umumnya dihasilkan oleh usaha rakyat dengan pemilikan sapi perah rata-rata 2 -3 ekor per peternak. Jumlah peternak sapi perah saat ini sekitar 100 ribu orang yang tersebar di sentra-sentra produksi sapi perah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat dan DKI Jakarta. Populasi sapi perah di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2008 sebanyak 114.116 ekor, dengan jumlah peternak sapi perah sekitar 28.400 orang, sedangkan jumlah produksi susunya ada 70.561 ton Dilihat dari sudut populasi sapi perah, Propinsi Jawa Tengah menduduki peringkat kedua setelah Jawa Timur. Populasi sapi perah di Jawa Tengah berada menyebar di sejumlah wilayah KUD-KUD, di antaranya KUD Musuk,
KUD Cepogo, KUD Mojosongo Boyolali, KUD Getasan Salatiga, KUD Jatinom Klaten dan lain sebagainya. KUD Jatinom (yang dijadikan lokasi penelitian) terletak didesa Krajan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, Koperasi ini didirikan pada tahun 1974 dengan nama BUUD, kemudian setelah berubah nama menjadi KUD Jatinom pada tahun 1996, dibuat Akte Pendirian baru pada tanggal 30 Oktober 1996, dengan Badan Hukum Nomor 8679 b/Pad/KWK.II/ X/1996. Pada tahun 1981 (melalui BRI) KUd Jatinom mendpat bantuan Presiden (Banpres) berupa sapi perah sebanyak 50 ekor, pada tahun 1982 mendapat kredit sapi perah dari BRI sebanyak 250 ekor, kemudian pada tahun 1988 mendapat bantuan/kredit dari
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
79
Jurnal Sosiologi DILEMA Bank Bukopin juga nerupa sapi perah sebanyak 125 ekor. Pada tahun 1989 – 1990 mendapat kredit sapi perah dari BRI sebanyak 700 ekor, sehingga total bantuan sapi
perah yang diterima KUD Jatinom mulai tahun 1981 – 1990 sebanyak 1.125 ekor, seperti terlihat tabel dibawah ini.
Tabel 1 Penerimaan Bantuan Sapi Perah di KUD Jatinom Mulai tahun 1981 – 1990 NO
ASAL BANTUAN
TAHUN
JUMLAH
1
BRI
1981
50
2
BRI
1982
250
3
BUKOPIN
1988
125
4
BRI
1989-1990
700
TOTAL
1.125
Sumber data : Unit Sapi Perah KUD Jatinom.
Sementara itu jumlah populasi sapi perah diseluruh KUD jatinom pada tahun 2009 adalah sebagai berikut : sapi laktasi jumlahnya ada 882 ekor, sedangkan induk yang kering jumlahnya ada 241 ekor, untuk
sapi keturunan yang dara sebanyak 445 ekor, sedangkan pedet sebanyak 419 ekor, untuk sapi jantan berjumlah 386 ekor, sehingga jumlah total seluruhnya adalah 2.373 ekor, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel II Populasi Sapi Perah KUD Jatinom Tahun 2009 INDUK
NO 1
KETURUNAN
LAKTASI
KERING
DARA
PEDET
1.116
241
686
419
JANTAN
JML
396
2.85 8
Sumber data : Unit Sapi PerahKUD Jatinom.
Sebagian besar produksi susu sapi perah di KUD Jatinom dijual ke Industri Pengolah Susu (IPS) dan sebagian kecil dijual eceran. Yang dijual ke IPS sering menemui kendala, yaitu kualitas susu sapi perah di KUD Jatinom kadang-kadang tidak memenuhi standart kualiats susu yang telah ditetapkan oelh IPS, sehingga susu darti KUD jatinom sering
80
ditolak oleh IPS di Jakarta, dan itu berarti kerugian bagi KUD Jatinom. Di bawah ini akan peneliti sajikan tabel standar kualitas susu sapi perah dari IPS dan kualitas susu sapi perah di KUD Jatinom hasil pengetesan susu tanggal 23 dan 25 Mei 2010 sebagai berikut:
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 Tabel III Standar kualitas Susu IPS dan Kualitas Susu KUD Jatinom Hasil Pengetesan tanggal 23 dan 25 Mei 2010 NO KUALITAS SUSU
STANDART IPS
HASIL PENGETESAN DI KUD TINGGI SEDANG RENDAH
1
Fat
3.3
3.8
2.93
2.77
2 3
SNF TS
7.7 11
6.86 10.66
6.63 9.56
5.84 8.61
4
BJ Minimal
1.024
23.56
22.07
19.21
5 6
Protein Mineral Kadar Air Mak
2.6 10
2.72 16.73
2.63 20.38
2.33 30.38
Sumber Data : Hasil Laporan Tes Susu di Kelompok Tanggal 23 dan 25 Mei 2010.
Data diatas menunjukkan bahwa standart kualitas susu yang ditetapkan oleh IPS adalah sebagai berikut : TS (Total Solid) minimal 11 %, NJ (Berat Jenis) : 1.024, fat (Kadar Lemak) : 3.3 %, Angka Kuman < 5 juta / CC, Kandungan Kadar Air Maksimal 10 %, Semakin tinngi TS, BJ dan fat akan semakin baik kualitas susu dan harganya akan semakin tinggi, semakin rendah angka kuman dan kandungan kadar airnya, maka kualitas susu akan semakin baik dan harganya pun juga semakin tinggi B. PERUMUSAN MASALAH Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : FaktorFaktor Sosiologi apa saja Yang Menyebabkan Naik-Turunnya Kualitas Susu di Koperasi Unit Desa ‘ JATINOM’ Kabupaten Klaten? C. KERANGKA PEMIKIRAN Faktor pakan dan kebersihan merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap produktivitas sapi perah dalam menghasilkan susu, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Aspek pakan meliputi bahan pakan, formulasi ransum. Dan cara pemberiannya merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Zat-zat makanan pada sapi laktasi akan digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan janin didalam kandungan serta untuk produksi
susu. Jika ingin mendapatkan produksi susu yang tinggi, baik jumlah maupun mutunya, maka pakan harus diberikan dalam jumlah yang cukup dan bermutu. Pakan sapi perah yang cukup dan bermutu terdiri dari : makanan penguat dan hijauan. Makanan penguat misalnya konsentrat, katul dan lai-lain. Yang sangat berpengaruh terhadap kadar SNF, susu. Bahanbahan yang dipergunakan untuk penyusunan konsentrat juga harus berkualitas, dan konsentrat ini diberikan dalam keadaan kering (tidak dicampur dengan air). Tujuannya agar derajat keasaman (PH) didalam rumen stabil sehingga berpengaruh positif terhadap jumlah dan kualitas susu yang diproduksi. Derajat keasaman di dalam rumen dapat stabil apabila : Frekuensi pemberian pakan semakin tinggi dan hijauan diberikan terlebih dahulu untuk merangsang air liur sapi. Air liur sapi mengandung zat buffer yang dapat membuat PH didalam rumen menjadi stabil. Sapi perah saat laktasi sangat memerlukan dukungan kualitas dan kuantitas rangsum yang diberikan, yaitu untuk konsentrat kira-kira 7 kg, apabila berat sapi perahnya -/+ 400 kg, dan untuk hijauannya misalnya rumput gajah perlu diberikan kira-kira 40 kg atau kurang lebih 10 % dari beratnya. Selain itu pemberian hijauan atau serat kasar juga sangat penting, karena hijauan
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
81
Jurnal Sosiologi DILEMA bisa berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kandungan lemak dalam susu. Pemberian hijauan tidak harus satu macam, sebaiknya dilakukan substitusi hijauan dengan tanaman leguminosa yang pada umumnya mengandung protein kasar yang cukup tinggi, misalnya daun turi, daun lamtara, daun kaliandra, rendeng kacang tanah, daun katul dll, daun-daun itu akan bisa meningkatkan kadar rotein ransum dan otomatis akan menurunkan jumlah pemberian konsentratnya. Sementara itu kebersihan meliputi kegiatan sanitasi kandang, sanitasi peralatan, kebersihan puting, dan kebersihan sapi secara keseluruhan, kebersihan yang berkaitan dengan kegiatan pemerahan, ambing sapi perah harus dilakukan dengan menggunakan aturan dan metode yang sudah ditentukan agar diperoleh kualitas dan kuantitas susu yang optimal. Ada tiga fase kegiatan pemerahan yang harus dikerjakan, yang kesemuanya itu akan berpengaruh terhadap angka kuman dan kadar air dalam susu yaitu : a. Pra pemerahan, yaitu persiapan yang terdiri dari memandikan sapi yang akan diperah, membersihkan kandang, mempersiapkan peralatan yang digunakan dalam pemerahan dan lain sebagainya. b. Pelaksanaan pemerahan, yaitu kegiatan pemerahan yang terdiri atas, massage ambing dengan air hangat, mengoles puting dengan vaselin, pemerahan ambing sampai tuntas (apak) dan membersihkan puting setelah pemerahan. c. Pasca pemerahan, yaitu kegiatan setelah pemerahan puting, yang terdiri dari penyaringan susu, pengukuran kualitas dikelompok dan mengantar susu ke KUD.
utama pada usaha sapi perah rakyat yang dihasilkan dan harus memenuhi syarat HAUS yaitu : a. Halal, tidak bersentuhan dengan barang atau zat yang diharamkan, misalnya pada saat pemerahan bersentuhan dengan barang yang haram atau najis. b. Aman, tidak mengandung bibit penyakit, susu yang tidak aman misalnya mengandung mikroba atau kuman-kuman. c. Utuh, tidak dikurangi atau ditambah dengan zat lain, misalnya ditambah air, Santan, tepung, gula atau bahan-bahan lain. d. Sehat, tidak mengandung/dicampur dengan zat berbahaya, misalnya pestisida, Logam berat, antibiotika dll, zat-zat tersebut akan membahayakan kesehatan masyarakat konsumen susu serta merugikan industri pengolahan susu.
Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar tanpa mengurangi atau menambah sesuatu komponen atau bahan lain. Susu merupakan hasil
D. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Kegiatan penelitian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Dilihat dari pilihan lokasinya yaitu di Koperasi Unit
82
Kandungan gizi pada susu murni, misalnya kadar lemak dan protein, erat kaitannya dengan pakan yang diberikan. Akibat pemberian pakan kurang baik, kandungan gizi susu murni dalam negeri lebih rendah daripada susu import. Selain itu kebersihan yang kurang akan mengakibatkan jumlah mikroba dalam susu murni dalam negeri cukup tinggi (diatas 3 juta/ml) Padahal harga jual susu ke KUD/Koperasi susu dihitung berdasarkan kualitas, terutama kadar lemak, SNF, angka kuman/mikroba dalam susu, dan kadar air dalam susu, Kadar lemak dan SNF berkaitan langsung dengan kualitas pakan. Makin baik kualitas pakan makin baik pula kualitas susu yang dihasilkan, sehingga peternak berpeluang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Oleh karena itu peternak harus dapat membuat target jumlah dan kualitas susu yang ingin diproduksi.
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 Desa Jatinomn, maka penetian ini lebih bersifat “Field – research”, sedang kalau dilihat dari tujuannya yaitu ingin mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan naik-turunnya kualitas susu di KUD Jatinom, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian, “eksplorasi” sebab tujuan dari penelitian ini tidak begitu familiar dengan peneliti, dan literaturliteratur serta hasil-hasil penelitian yang membahas masalah ini masih langka. Kalau dilihat dari kegunaannya, penelitian ini dapat digolongkan kedalam penelitian terapan (Applied-serearch), kegiatan penelitian ini untuk memecahkan masalah faktor-faktor yang menyebabkan naik-turunya kualitas susu sapi perah di Koperasi unit Desa Jatinom, sehingga kegunaannya bersifat praktis. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini menuntut untuk dipilihnya suatu lokasi penelitian yang di dalamnya terdapat peternak sapi perah serta koperasi susu yang mengelola sapi perah dan produk sapi perahnya. Ada beberapa Koperasi di Jawa Tengah, di antaranya KUD Semarang, KUD Getasan, KUD Cepogo, KUD Musuk, KUD Mojosongo, dan KUD Jatinom, Di KUD Jatinom peneliti sudah sering mengadakan pengabdian masayarak disana, sehingga sudah terjalin interaksi sosial antara peneliti dan pengurus serta dengan para karyawan dan beberapa peternak, Itulah sebabnya pilihan lokasi penelitian jatuh ke Koperasi Unit Desa Jatinom. 3. Subyek penelitian Penelitian ini mengambil informan sembilan orang, baik informan utama maupun informan pembantu, yang terdiri dari : - Satu penguru KUD Jatinom yang membidangi masalah peternakan dan persusuan.
-
-
Tiga prang karyawan KUD Jatinom yang mengurusi peternakan dan Persusuan, yaitu Dokter Hewan, Petugas IB (Insenminasi buatan) dan Ketua Unit peternakan yang kebetulan juga menjadi ketua kelomok sapi perah. Lima peternak sapi perah KUD Jatinom, yang berasal dari kayumas dan Bandungan.
4. Populasi dan sampel a. Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh peternak di wilayah kerja KUD Jatinom, seluruh karyawan dan pengurus KUD Jatinom, Karakteritik populasi ini tidak tercatat dikantor Kecamatan Jatinom, maupun dikantor-kantor desa se wilayah kecamatan Jatinom. Untuk dapat mengidentifikasi populasi yang demikian maka dilakukan prasurvey. Dengan metode ini dapat diketahui bahwa jumlah peternak di KUD Jatinom sebanyak 1286 orang, jumlah karyawan KUD Jatinom 64 orang, dan jumlah pengurus KUD Jatinom 5 orang. Sedangkan jumlah sapi perahnya 2858 ekor dan jumlah produksi susunya 10.044 liter/hari. b. Teknik Pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive samping. Teknik ini dapat digunakan apabila anggota sampel dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian. Peneliti cenderung untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber dari pengambilan data. Pelaksanaan pengambilan data dan pilihan informan dapat ber-
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
83
Jurnal Sosiologi DILEMA kembang sesuai dengan kebutuhan, yang diangap tahu dalam teknik purposive sampling adalah : - Pengurus Koperasi Unit Desa Jatinom yang membidangi masalah Peternakan dan persusuan. - Karyawan KUD Jatinom yang membidangi peternakan dan persusuan. - Para peternak. c.
Sample Dari teknik pengambilan sampel diatas yaitu porposive sampling, maka ditentukanlah sample penelitian sbb; - Satu orang pengurus KUD Jatinom yang membidangi peternakan dan persusuan. - Tiga orang karyawan KUD Jatinom yang membidangi peternakan dan persusuan. - Lima orang peternak.
5. Teknik Pengumpulan Data Dalam kontak penelitian ini langkah yang diambil adalah dengan meneliti sebuah kesadaran individual yang mengacu pada kesadaran umum dan kemudian melihat pula hubungan antar keduanya. Pada level empiris guna meneliti konstruksi-konstruksi subyektif para peternak dan orang bergerak/bertugas di peternakan dan persusuan, maka akan dilakukan pengambilan data dengan teknik sbb : a. Wawancara Wawancara terstruktur menurut aturan topik-topik atau urutan subsub pokok bahasan, terutama untuk memperoleh data primer, yaitu data yang diperoleh dari unit sampel. Dalam wawancara ini akan digunakan interview guide agar lebih fleksibel dan dikembangkan sesuai dengan tujuan penelitian, disamping itu juga dilakukan indepth-interview
84
untuk memperoleh informasi secara mendalam dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bisa dikembangkan. Hal ini dilakukan karena peternak tidak mudah memberi data yang valid atau informasi yang sebenarnya karena pengaruh kultur pedesaan. b. Observasi. Observasi yang dipilih adalah observasi non partisipasi, baik untuk pra-survey maupun untuk mengambil data primer. Sekunder pada penelitiannya.Observasi dilakukan terutama untuk mengamati setiap aktivitas peternak yang menjadi informan, khususnya pada saat pemberian pakan, pemerahan, pengiriman ke kelompok maupun pengiriman dari kelompok ke KUD Jatinom dan lain sebagainya. Observasi ini bisa dipakai untuk mengambil data primer maupun data sekunder terutama dari unit-unit penelitian. c.
Dokumentasi Dokumentasi ini juga dilakukan pada pra-survey dan pada penelitiannya.Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan data-data skunder yang bersumber dari dokumen, arsip, jurnal dan sebagainya. Diantaranya adalah data tentang populasi sapi, produksi susu sapi perah, laporan hasil tes susu kelompok, jumlah peternak dan jumlah sapi perah dan lain-lain yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
6. Validasi Data. Untuk menjamin kevalidan data yang diperoleh di lapangan, akan digunakan teknik trianggulasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan trianggulasi sumber, yaitu menggunakan sumber data untuk data yang sama.
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 Dengan demikian data yang diperoleh akan dapat dikontrol oleh data yang sama meskipun dari sumber yang berbeda. Trianggulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informan yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dengan jalan : a. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakannya pada saat sendiri. b. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagi pendapat dan pandangan orang lain. c. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan 7. Proses Analisa Data. Didalam aktivitas penelitian ini, peneliti membagi alur penelitian menjadi beberapa tahap. Pertama, peneliti melakukan observasi pendahuluan atau pra survey. Peneliti mendatangi orang-orang yang dianggap mengetahui tentang sapi perah dan kualitas susu, diantaranya adalah dokter hewan, yang bertugas menjaga kesehatan ternak, Petugas Insenminasi buatan (IB), dan Ketua Unit Ternak. Peneliti banyak bertanya kepada mereka sehingga peneliti mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kualitas susu. Dari mereka kemudian penulis menyusun Rencana Penelitian yang akan dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penelitian ini meskipun bersifat fleksibel. Tahap Kedua adalah pengumpulan data. Data diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi. Dalam hal ini peneliti menanyakan kepada informan (peternak) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan sapi dan yang berkaitan dengan sepersusuan. Dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut tercakup perihal pengalaman
yang dimiliki peternak, persepsi, pemaknaan, pendapat dan kemudian tindakan dari refleksi atas pengalaman tersebut. Sedangkan kepada informaan dari tokoh-tokoh (pengurus dan karyawan Koperasi unit Desa Jatinom) peneliti menanyakan mengenai hal-hal yang berkaitan pemeliharaan sapi terutama yang berkaitan dengan naik turunnya kualitas sapi. Karena ada informan yang sensitif terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kelemahan-kelemahan dalam memelihara sapi dan kualitas susu, peneliti tidak dengan serta merta mengungkapkannya secara terbuka, tetapi dikover dengan bahasa yang lebih halus, Selama proses wawancara observasi juga dilakukan. Setelah melakukan wawancara dan Observasi dari proses awal penelitian, peneliti membuat catatan baik diskriptif maupun reflektif. Catatan diskriptif lebih menjadikan kejadian secara rinci yang dikutip dari pertanyaan informan. Catatan yang reflektif lebih mengetengahkan kerangka pemikiran, ide dan perhatian dari peneliti. Tahap ketiga adalah analisis data, dalam tahap ini berbagai data yang telah terkumpul dianalisis. Proses analisis ini dilakukan guna mencari dan menata secara sistematis catatan dari hasil wawancara dan observasi, studi pustaka dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai subyek yang diteliti dan menyajikan sebagai temuan bagi orang lain, Analisis yang digunakan dalam penelitian ini bersifat induktif. Dalam penelitian ekploratif model analisa yang digunakan adalah model analisis interaktif dengan komponen-komponen yang terkandung didalamnya yaitu reduksi data collection, data reduction, data display, dan drawing and verifying conclusions seperti bagan di bawah ini.
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
85
Jurnal Sosiologi DILEMA Bagan 1.1 Components op data Analysis : Interaksi Modal
Data Collection
Data Reduction
Data reduction atau reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncuk dari catatan-catatan dari lapangan. Reduksi data terjadi secara terus menerus dan berkelanjutan selama proses penelitian yang melibatkan berbagai pilihan-pilihan analisis peneliti tentang data yang berguna bagi kepentingan penelitian. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang mengajarkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisisr data dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan finalnya. Data display atau penyajian data yaitu mengatur, meringkas dan memasang informasi. Dimana penyajian dibatasi sebagai sekumupulan informan tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Drawing Conclusion atau penarikan kesimpulan merupakan pertimbangan dalam mereduksi dan mendisplay data untuk menolong dalam penggambaran kesimpulan.
86
Data Display
Conclusions : Drawing / verfying
E. FAKTOR PENYEBAB NAIK TURUNNYA KUALITAS SUSU DI KUD JATINOM Sapi perah merupkan salah satu jenis ternak ruminansia, dimana dalam situsi krisis ekonomi masih tetap bisa bertahan untuk diusahakan dan dikembangkan. Sebagaimana ternak ruminansia lainnya, sapi perah dapat memanfaatkan hijauan dan limbah hasil pertanian yang mengandung serat kasar tinggi sehingga pakan sapi perah tidak teragantung dari bahan pangan import. Disamping itu permintaan protein dari hasil ternak termasuk air susu, terus meningkat baik untuk skala industri pengolahan susu (IPS), maupun untuk konsumsi masyarakat secara langsung. Oleh karena itu usaha sapi perah terus dikembangkan dengan pola pemeliharaan yang baik dan benar. Bahan pakan untuk ternak ruminansia pada umumnya terdiri dari hijauan dan konsentrat. Hijauan pakan yang diberikan harus cukup tersedia serta mempunyai kualitas yang baik, sehingga menjamin ternak untuk hidup, berproduksi dan berkembang biak. Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas sapi perah. Sapi perah yang poduksinya tinggi bila tidak mendapatkan pakan yang cukup,
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 baik kualitas maupun kuantitasnya tidak akan menghasilkan air susu yang sesuai dengan kemampuan ternak tersebut.. Produksi susus segar di Indonesia umumnya dihasilkan oleh usaha rakyat dengan pemilikan sapi perah rata-rata 2-3 ekor per peternak, Jumlah peternak sapi perah saat ini sekitar 100 ribu orang yang tersebar di sentra-sentra produksi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta dan DKI Jakarta. Sapi perah saat laktasi, sangat memerlukan dukungan kualitas dan kwantitas ransum pakan yang diberikan. Untuk hijauan, misalnya rumput gajah perlu diberikan kira-kira 10% dari berat tubuhnya sapi, untuk konsentrat kira-kira 8-9 kg apabila berat sapinya 400 kg, dengan target produksi susu rata-rata 12 lter/hari. Menurut Bapak Supomo yang menjabat sebagai Ketua Unit Sapi Perah dan sekaligus sebagai ketua kelompok sapi perah Kayumas Jatinom, biaya yang diperlukan untuk memelihara seekor sapi perah dengan spesifikasi diatas adalah sebagai berikut: Untuk keperluan membeli konsentrat kurang lebih 8 kg/hari dengan harga konsentrat Rp 1800/kg diperlukan biaya Rp 1800/ kg X 8 kg Rp. 14.400,-. Untuk membeli 40 kg (10%) hijauan. Rp 7000,- Sehingga kalau dijumlah harga konsentrat dan hijauan untuk seekor sapi Rp. 21.400,- Kalau tenaga dihargai Rp.6000,-/perhari, maka biaya keseluruhan seekor sapi perah perhari sebanyak rp. 27.400,Sementara itu menurut Bapak Kisdaryana (Manager KUD Jatinom) harga susu sapi perah masih selalu diopersoalkan oleh peternak dan koperasi, karena dianggap terlalu rendah. Kalau dulu sebelum reformasi harga susu itu ditentukan oleh IPS (Industri Pengolahan Susu), GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) dan Bupati (Pemerintah), tapi sekarang setelah reformasi harga susu mutlak ditentukan oleh IPS. Kalau susunya memenuhi standart kualitas yang
ditentukan oleh IPS, maka susu peternak akan dihargai Rp.2900,-/liter. Kalau kualitas susunya lebih rendah dari standar kualitas yang ditentukan IPS, maka harganya akan lebih rendah, sedangkan kalau kualitas susunya lebih tinggi dari standart kualitas yang ditentukan IPS, maka harganya bisa lebih tinggi. Kualitas susu produk peternak di KUD Jatinom, rata-rata dihargai Rp.2800,-/liter, sehingga kalau dihitung rata-rata pendapatan seorang peternak di KUD Jatinom dari memelihara seekor sapi perah adalah sebagai berikut: Jika seekor sapi perah produksinya berkisar antara 10-15 liter/hari, atau kalau diambil rata-rata 13 liter/hari, maka rata-rata pendapatan peternak sapi perah di KUD Jatinom dari memelihara seekor sapi perah laktasi adalah Rp 2.800,- X 13 liter = Rp. 36.400,-/hari. Kalau biaya yang dikeluarkan untuk memelihara seekor sapi laktasi Rp. 27.400/hari. Maka sisa/keuntungan yang diperoleh peternak dari memelihara seekor sapi laktasi perhari adalah Rp.9000,Peternak di KUD Jatinom rata-rata memelihara tiga ekor sapi perah, jika ketiga sapi perah tersebut semuanya dalam keadaan laktasi, maka pendapatan peternak dari memelihara tiga ekor sapi perah laktasi tersebut adalah Rp 9000 x 3 ekor = Rp. 27.000/ hari. Pendapatan ini berada jauh dibawah pendapatan seorang tukang di pedesaan. Rendahnya nilai tukar susu produk peternak di KUD Jatinom ini diamini oleh semua informan. Menurut salah satu informan yang bernama Pak Salim, Implikasi dari rendahnya harga susu ini adalah berubahnya moral peternak secara perlahan-lahan, atau dengan kata lain peternak secara perlahan-lahan berubah menjadi “nakal” yaitu menambah susu dengan zat lain, misalnya menambah air, santan, tepung gula atau bahan-bahan lainnya, yang akhirnya berakibat pada penurunan kualitas susu. Susunya masih murni tetapi menjadi tidak utuh karena ditambah air, santan, te-
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
87
Jurnal Sosiologi DILEMA pung, gula atau bahan lain. Menambah atau mengurangi bahan pada susu murni kemudian menjualnya sebagai susu murni sudah bukan kegiatan kenakalan lagi, tapi merupakan kegiatan pemalsuan. Pemalsuan susu merupakan kegiatan melanggar hukum. Implikasi yang lain menurut Bapak Wiyono (Informan dari kelompok susu Bandungan) adalah peternak merasa bahwa antara biaya dan pendapatan tidak seimbang, dalam arti bahwa biaya yang dikeluarkan untuk memelihara sapi perah cukup tinggi, tetapi nilai tukar/harga susu dianggap terlalu rendah. Sehingga kelebihan dari nilai tukar susu sapi perah menjadi rendah atau dianggap tidak memadai. Sementara itu peternak masih membiayai kebutuhan sehari-hari. Keadaan inilah yang menyebabkan peternak di dalam memelihara ternaknya tidak berorientasi pada keharusan menjaga kualitas yang baik, tetapi asal dipelihara, yang pada akhirnya kualitas susunya menjadi rendah. Realita di lapangan menurut Bapak Sarjono (Informan dari dusun Beking) menunjukkan bahwa sebagian besar kualitas pakan yang diberikan peternak belum memenuhi standart kebutuhan sapi perah yang ada di KUD Jatinom. Aspek-aspek pakan yang meliputi bahan pakan, formulasi ransum, dan cara pemberiannya kualitasnya masih rendah, karena bahan-bahan yang dipergunakan untuk menyusun konsentrat yang berkualitas harganya mahal. Kondisi ini dipengaruhi dengan kesediaan pabrik konsentrat untuk memproduksi konsentrat dari kualitas yang paling rendah sampai konsentrat yang kualitasnya baik. Zat-zat makanan pada sapi laktasi digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan janin didalam kandungan, serta untuk produksi susu. Jika ingin mendapatkan produksi susu yang tinggi, baik jumlah maupun mutunnya, maka pakan harus diberikan dalam jumlah yang cukup dan bermutu. Aspek-aspek pakan meliputi bahan
88
pakan, formulasi ransum dan cara pemberiannya. Cara pemberian pakan konsentrat harus diberikan secara kering (tidak dicampur kan dengan air). Tujuannya agar derajat keasaman (pH) didalam rumen stabil sehingga berpengaruh positif terhadap jumlah dan kualitas susu yang diproduksi. Harga jual susu ke Industri Pengolahan Susu (IPS) dihitung berdasarkan kualitasnya, terutama kadar lemak (FAT), SNF, TS, Kadar air dll. Kadar lemak dan berat kering tanpa lemak berkaitan langsung dengan kualitas pakan dan pemberiannya pakan. Makin baik kualitas pakan dan pemberiannya, akan semakin baik pula kualitas susu yang dihasilkan, sehingga peternak berpeluang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Hampir semua peternak di KUD Jatinom menurut Bapak Darmo (seorang informan dari Glagah) memberikan pakan konsentrat kepada sapi perahnya secara basah (dicampur dengan air). Pemberian pakan secara basah ini sulit sekali untuk diubah walaupun telah diadakan penyuluhan berulang-ulang. Peternak biasanya beralasan karena sudah menjadi kebiasaan atau tradisi yang sudah turun temurun kalau memberi pakan konsentrat atau katul itu harus secara basah. Sehingga anjuran-anjuran untuk memberi pakan secara kering tidak pernah diperhatikan oleh peternak. Tetapi sebenarnya kalau menurut Pak Darmo, ada alasan karena tradisi atau kebiasaan itu, alasan sebenarnya adalah kalau pakan konsentrat atau katul itu diberikan secara basah (dicampur dengan air) maka sapi perahnya akan cepat kenyang, hal ini agak berbeda kalau konsentratnya diberikan secara kering. Dengan kata lain kalau peternak memberikan konsentrat secara basah, maka peternak bisa lebih irit biaya untuk membeli konsentrat, hal ini kembali kepada harga susu yang tidak memadai. Air, dalam usaha sapi perah adalah sangat penting, hal ini disebabkan fungsinya yang
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 begitu sangat begitu dibutuhkan baik untuk kebutuhan minum sapi-sapi yang dipelihara, maupun untuk menunjang sistem kebersihan dalam perkandangan sapi tersebut. Menurut Drh Agus Sutomo dokter hewan di KUD Jatinom apabila sapi-sapi yang laktasi kekurangan minum air bersih, maka produksi susu yang dihasilkan akan menurun, hal ini disebabkan karena komposisi susu 87% terdiri atas air, sehingga kebutuhan air minum untuk sapi laktasi adalah 4 kali dari produksi susu yang dihasilkan. Kebersihan kandang sapi perah menurut Pak Agus sangat mutlak diperlukan karena apabila kandang tersebut tidak bersih akan menimbulkan bau yang tidak enak. Hal itu selain akan menyebabkan berkembangnya penyakit, juga bau yang tidak enak tersebut akan diserap oleh susu, sehingga susunya menjadi pecah. Kebutuhan air untuk minum sapi perah dan membersihkan tubuh sapi perah serta kandangnya diperkirakan kira-kira 100 liter/ekor/hari. Sementara itu menurut pak Agus, daerah Jatinom secara geografis termasuk daerah sulit air, karena terletak di lereng gunung Merapi. Pada musim hujan peternak menadahi air hujan dan ditampung di tempat penampungan air. Air di tampungan air itulah yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari para peternak, termasuk untuk keperluan ternaknya. Sedangkan pada musim kemarau, peternak membeli air untuk keperluan seharihari dari para penyedia jasa penjualan air. Hal inilah yang menyebabkan kebutuhan akan air untuk keperluan minum sapi, kebersihan badan sapi dan untuk kebersihan kandang kurang terjaga, dan pada gilirannya akan mempengaruhi poduksi susu sapi perah baik pada kualitas maupun pada kuantitasnya.
F. KESIMPULAN 1. Nilai tukar produk susu di KUD Jatinom yang ditentukan oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) berada dalam kategori rendah. Rendahnya harga susu ini menyebabkan dua hal. Pertama, nilai dan moral peternak perlahan-lahan menjadi berubah. Peternak menjadi nakal, yaitu menambah susu murni dengan air, santan, tepung, gula dan bahan lain, Kedua, didalam memelihara ternaknya, peternak tidak berorientasi pada menjaga kualitas susunya, tetapi hanya sekedar asal memelihara.Yang pada akhirnya kedua hal itu akan mempengaruhi kualitas susu di KUD Jatinom menjadi menurun 2. Tradisi atau kebiasaan para peternak yang memberi pakan konsentrat secara basah, sangat sulit untuk dirubah dengan cara memberi pakan konsentrat secar basah menjadi secara kering. Hal diatas pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas susu yang dihasilkan oleh para peternak di KUD Jatinom. 3. Letak Jatinom yang berada di lereng Gunung Merapi menyebabkan sulitnya untuk mendapatkan air. Pada musim penghujan air diperoleh dari tampungan air tadah hujan, sedangkan pada musim kemarau air harus membeli dari para penyedia jasa penjualan air. Hal inilah yang menyebabkan air untuk minum ternak, kebersihan badah ternak, dan untuk kebersihan kandang ternak sulit untuk didapat, kalau pun ada memerlukan biaya. Hal di atas pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas susu produksi KUD Jatinom terutama pada angka kuman.
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
89
Jurnal Sosiologi DILEMA
Daftar Pustaka Alvin L Bertrand, sosilogi, disunting Drs. Sanapiah s faisal, Surabaya PT. Bina Ilmu 1980. Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, diterjemahkan MZ. Lawang, Jakarta, PT Gramedia 1986 David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam sosiologi, diterjemahkan LPPS, Jakarta Rajawali 1981 Margaret M Poloma, Sosiologi kontemporer, diterjemahkan Yosogawa Yogyakarta, Jakarta,cs Rajawali 1979 Ir. Abdullah F. Alim, Pakar dan Tatalaksana Sapi Perah, Bandung, DTIP/2002 Drh Arif Hidayat, Kesehatan Pemerahan, JICA, Jakarta, 2002 Drh Arif Hidayat, kesehatan Reproduksi, JICA Jakarta 2002 Ir Rukmantoro Salim, Produksi dan Pemanfaatan Hijauan, JICA, Jakarta 2002 Sudjatmogo, Permasalahan dan Solusi Sistem Persusuan di Propinsi Jawa Tengah, paper 2007
90
Muflich Nurhadi “Dimensi Sosiologis Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi Perah”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010
DESENTRALISASI SUMBERDAYA HUTAN DAN PEMBENTUKAN MASYARAKAT SIPIL
Siti Zunariyah Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract Decentralization of forest resource management has become a necessity in line with the policy of regional autonomy that gives the space outside the country to be involved. These conditions are directly give effect to changes in forest management institutions, both at the level of the people organanisasi structure, forest managers and institutional form with the opening of public space. This climate provides the opportunity for civil society to further strengthen its position. However, decentralization is still to be followed by devolution that gave management authority to autonomous institutions, such village. So the process of strengthening civil society can continue to go hand in hand with decentralization of forest resource management. Keywords : Decentralization, forest resource management and civil society.
A. Desentralisasi sumberdaya hutan Satu hal yang tidak dapat dipungkiri sebagai hasil dari pembangunan konfigurasi politik Indonesia sejak terjadinya reformasi nasional adalah terjadinya mekanisme penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Hal ini berarti nilai-nilai lokal serta partisipasi aktif masyarakat di daerah akan menentukan kebijakan yang diambil pemerintah. Selama 32 tahun Indonesia menjalani sentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh Soeharto dengan kekerasan dan ketidakadilan, keadaan in dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah. Realitas ini menuai perubahan yang cukup berarti seiring dengan pergantian pemimpin negeri ini. Hingga akhirnya lahir kebijakan desentralisasi yang diharapkan masyarakat di daerah mampu menjalani perubahan ke arah yag lebih baik dalam segala aspek kehidupan. 1
Desentralisasi dan demokratisasi merupakan sebuah keniscayaan sekaligus merupakan fenomena yang mengglobal dan melanda hampir seluruh bangsa saat ini, termasuk di antaranya Indonesa. Fenomena tersebut terjadi pada hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk di antaranya dari sektor kehutanan. Hutan, yang diyakini sebagai salah satu sumberdaya yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, demikian pula manfaat ekologi sosial dan manfaat ekonomi merupakan tiga pilar manfaat yang seharusnya bisa didapatkan dari hutan. Hutan sebagai pengatur tata air telah banyak dipahami orang sehingga kelestarian hutan menjadi kepentingan setiap manusia yang hidup di bumi ini. Demikian pula dengan fungsi hutan sebagai sumber keanekaragaman hayati dan sebagai penyedia kebutuhan subsisten dari masyarakat yang hidup di sekitarnya. Namun diantara berbagai manfaat hutan, man-
Periodisasi ini didasarkan atas factor keberadaan dana reboisasi sebagai salah satu alat analisisnya.
Siti Zunariah “Desentralisasi Sumberdaya Hutan dan Pembentukan Masyarakat Sipil”
91
Jurnal Sosiologi DILEMA faat ekonomi seringkali lebih menarik perhatian bagi sebagian besar orang. Sehingga hutan mendapat julukan sebagai “jamrud khatulistiwa” (Bakhtiar 2001 : 3). Sejarah pembangunan hutan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kepentingan negara yang tercermin dari konsep pengelolaan hutan yang diterapkan oleh pemerintah. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan sebagai sumberdaya alam yang bersifat multidimensi memiliki peluang yang relatif mudah, murah dan cepat dibanding sumberdaya alam lainnya bagi pemenuhan berbagai kepentingan. Karenanya filosofi dan kepentingan penguasa dalam setiap periode memiliki kecenderungan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pembangunan hutan di Indonesia era penjajahan sangat berbeda dengan tatkala Bangsa Indonesia telah merdeka. Pada era penjajahan pembangunan hutan dicirikan dengan cara pandang hutan sebagai modal bagi kepentingan sebesar-besarnya negara kolonial. Hutan dan masyarakat di sekitarnya dihisap bagi pemenuhan target ekonomi serta kepentingan perang negara penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Sementara itu pembangunan hutan pada era kemerdekaan memiliki cara pandang hutan sebagai modal bagi kepentingan pembangunan nasional1. Cara pandang hutan sebagai modal pembangunan nasional inilah yang tetap menjadikan hutan sebagai salah satu sumber devisa negara terpenting bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Hal ini dilakukan karena hutan dipandang sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui yang memiliki nilai komersial yang tinggi sehingga mampu mendatangkan sejumlah keuntungan bagi negara. Salah satu praktek dari cara pandang tersebut adalah dengan mulainya eksploitasi hutan di pulau jawa oleh perhutani sejak jaman colonial belanda dengan tanaman jatinya. 2
Eksploitasi hutan kian meluas tatkala Soeharto berkuasa. Demi mengejar pertumbuhan ekonomi, maka hutan di luar Jawapun tak luput untuk dijadikan sasaran eksploitasi baik yang dilakukan oleh swasta (HPH) negara (INHUTANI) maupun karena tekanan jumlah penduduk yang terus meningkat. Kondisi ini menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya hutan tidak dapat dihentikan terlebih ketika hutan banyak dikonversi menjadi lahan perkebunan, sehingga terjadilah degradasi hutan yang mencapai 40 juta hektar. Dampak lebih jauh sebagai akibat dari degradasi hutan dan lingkungan hidup adalah berupa pencemaran, fluktuasi dan kekeringan, kekurangan persediaan kayu bakar dari pedesaan, kemiskinan dan ketimpangan sosial, ekonomi dan politik. Kondisi inilah yang dihadapi hampir di seluruh negara-negara dunia ketiga yang mengalami kerusakan sumberdaya hutan. Menurut Ponting (1991) dalam bukunya Didik Suharjito dan Dudung Darusman, menyebutkan bahwa negara-negara dunia ketiga menghadapi 2 hal pokok. Pertama, akibat penguasaan politik oleh Eropa, berdampak pada luas lahan yang dicurahkan untuk tanaman-tanaman eksport terus meningkat. Kedua, ketimpangan distribusi penguasaan lahan, tentu hal ini berdampak pada kemiskinan, deforestasi dan degradasi lingkungan sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang cepat. Sementara itu di jawa, ketimpangan distribusi penguasaan lahan pertanian sudah terjadi sebelum merdeka dan kondisi ini cenderung semakin timpang sejak revolusi hijau pada lahan sawah (suharjito : 1998: 3). Ketimpangan inilah yang menguatkan pentingnya perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Dari state based ke community based2 Selama orde baru berkuasa, pola pengelolaan kehutanan berjalan dalam skema
State based berarti bahwa negara masih menjadi factor paling dominan dalam pengelolaan hutan, sedangkan community based lebih menekankan pada keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
92
Siti Zunariah “Desentralisasi Sumberdaya Hutan dan Pembentukan Masyarakat Sipil”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 kelembagaan yang terpusat (centralized institutional arrangement) dan skema managemen yang berbasiskan pada negara (state based managemen). Sehingga melalui desentralisasi diharapkan tidak ada pusat kekuasaan yang mendominasi unit-unit politik yang otonom. Dengan demikian, desentralisasi akan berguna karena memunculkan pemerintahan yang efektif, responsive, akuntabel, mendekatkan pelayan publik pada masyarakat, menghadapi keragaman lokal serta mengembangkan potensi penghidupan masyarakat lokal. Gagasan tentang desentralisasi sumberdaya hutan di Indonesia telah mengemuka sejak dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya peta politik pemerintah bergeser dari semangat sentralistik menjadi semangat desentralistik. Perubahan politik pemerintahan tersebut berdampak pada ragam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Respon dari otonomi daerah ditanggapi pemerintah daerah berlainan adanya. Menurut UU No.22 tahun 1999 yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Titik balik dari sektor kehutanan kentara terlihat dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Meskipun banyak yang mempertanyakan kebaradaan kebijakan tersebut, namun ada kemajuan yang dapat dicatat, bahwa UU ini memberikan jaminan secara lebih tegas pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Jauh dibandingkan dengan UU 5 tahun 1967 yang justru eksploitatif dan memarginalkan masyarakat yang sebenarnya lebih tergantung dengan keberadaan hutan di sekitarnya. Kenyataan ini memunculkan gagasan Community forestry yang menggeser para-
digma pembangunan kehutanan dari atas (buttom up) dan tersentralisasi menuju pembangunan kehutanan yang mengutamakan kontrol dan keputusan dari masyarakat lokal, merubah sikap dan ketrampilan rimbawan dari sebagai “pelindung hutan” terhadap gangguan manusia menjadi “bekerja bersama” masyarakat. Di sisi lain ada yang mendefinisikan community forestry sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok pada lahan negara, lahan komunal, lahan komunal atau lahan milik (individual atau rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu atau rumah tangga dan masyarakat serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar subsistensi. Definisi ini menekankan kehutanan masyarakat pada pengelolaan hutan, namun akses masyarakat dalam pengelolaan aktivitas pengolahan hasil hutan juga tidak boleh diabaikan. Sementara itu dalam konsep Social forestry sebenarnya mengandung makna yang senada dengan community forestry, sebagaimana diungkapkan Tiwari 1983 dalam Suharjito dan Darusman : 1998 : 4 : Ilmu Pengetahuan dan seni menumbuhkan pohon-pohon dan atau vegetasi lain pada semuan lahan yang tersedia, di dalam dan di luar areal hutan tradisional, dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat secara intim dan kurang leih terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan lain. Untuk tujuan menghasilkan tata guna lahan yang seimbang dan saling melengkapi untuk memberikan barang-barang dan jasa secara luas kepada individu atau masyarakat. Konsep lain yang juga ada relevansinya, bahwa community forestry adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual atau rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu atau rumah tangga dan masyarakat serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar subsistensi. Definisi ini menekan-
Siti Zunariah “Desentralisasi Sumberdaya Hutan dan Pembentukan Masyarakat Sipil”
93
Jurnal Sosiologi DILEMA kan kehutanan masyarakat pada pengelolaan hutan, namun akses masyarakat dalam pengelolaan aktivitas pengolahan hasil hutan juga tidak boleh diabaikan. Bergulirnya gagasan tentang community forestry dan semakin terdegradasinya lingkungan direspon positif oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan tentang hutan kemasyarakatan melalui SK 622 tahun 1997. Surat Keputusan Menteri ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan. Kemudian pada tahun yang sama revisi Sk dilakukan, yang disusul dengan dikeluarkannya SK 677 tahun 1997 tentang hutan kemasyarakatan. Kebijakan inilah yang menjadi titik tolak bagi sebuah paradigma pengelolaa hutan yang sebelumnya state based berubah menjadi community based. Dalam kebijakan mutakhir di sector kehutanan, gagasan community forestry ini mengejawantah dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Di bawah payung pemberdayaan masyarakat, kebijakan ini memberikan peluang bagi masyarakat melalui beberapa skema yaitu Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Kemitraan. Sehingga keragaman skema tersebut diharapkan mampu menjawab persoalan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan sekaligus persoalan kerusakan hutan. Hal ini merupakan pengaruh dari demokratisasi yang secara radikal mengubah paradigma hubungan negara dan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Desentralisasi dan pembentukan masyarakat sipil Salah satu dampak dari perubahan paradigma pengelolaan yang lebih desentralistik adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Masyarakat di wilayah tersebut secara perlahan melakukan perubahan struktur orga-
94
nisasi rakyat. Perubahan struktur organisasi masyarakat ini dimungkinkan sebagai institusi legal yang dimiliki oleh masyarakat untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan. Dengan perubahan struktur tersebut pula terbangun daya tawar oleh masyarakat kepada pemerintah. Salah satu organisasi tani hutan yang merubah struktur organisasinya adalah Kelompok Tani kambing di Selo Timur, Kabupaten Kulon Progo yang sebelumnya fokus mengurusi bantuan kambing sebelum tahun 1997 dan pada tahun 2000 berubah menjadi Kelompok Tani Hutan (KTH) yang berfungsi mengelola hutan negara di Kecamatan Kokap oleh masyarakat. KTH Mandiri melakukan perubahan struktur organisasi rakyat yakni dari KTH Rakyat Swadaya, yang dibina oleh Penyuluh Lapangan Pertanian (PLP) dibawah Perhutanan Konservasi Tanah (PKT), lalu menjadi Kelompok tani ternak yang dibina oleh Depnaker, dan saat ini menjadi Kelompok tani yang dibina langsung oleh Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan PPL tanaman pangan. Dalam penelitian lain (Zunariyah: 2009: 42) menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat selalu ada pada setiap tahap pengelolaan hutan berbasis masyarakat, mulai dari tahap persiapan sosial masyarakat, pembentukan kelompok, penguatan kelembagaan dan pengelolaan hutan. Dengan menggunakan analisa partisipasi Petty (1995) maka tingkat partisipasi mereka tergolong pada partisipasi interaktif. Pada tingkatan ini masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencarai keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Kondisi ini menunjukkan semakin menguatkan
Siti Zunariah “Desentralisasi Sumberdaya Hutan dan Pembentukan Masyarakat Sipil”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 peran dan posisi masyarakat sipil di hadapan negara. Pada organisasi LSMpun beberapa lembaga melakukan perubahan di tingkat manajemen. Perubahan di dasarkan pada kebutuhan dan pengembangan program di lapangan, yang diarahkan lebih ramping sehingga lebih efisien dalam bekerja dan distribusi kewenangan dibidang-bidang yang dikembangkan lebih besar dibanding sebelumnya. Perubahan ini memungkinkan munculnya organisasi di tingkat rakyat, hal ini dapat dilihat dari KTH yang mulai membentuk jaringan kelompok tani hutan dan forum desa yang mungkin timbul dan mengatur perekonomian di tingkat KTH. Kerjasama antar kelompok KTH ini terlihat lebih jelas arah dan tujuan bagi pelestarian hutan dan usaha ekonomi rumah tangga petani. Bentuk kelembagaan relatif tidak berubah, skema kelompok tani dan koperasi masih menjadi pilihan organisasi di tingkat rakyat karena alasan pada peran dan kebutuhan untuk peningkatan ekonomi rumah tangga. Sedangkan pada tingkat kelembagaan LSM pilihan menjadi lebih besar yaitu Yayasan, paguyuban, jaringan kerja LSM, Jaringan komunikasi organisasi rakyat, perkumpulan, konsorsium, forum komunikasi, jaringan dan perhimpunan. Prinsip tumbuh dan berkembangnya organisasi di tingkat daerah cukup sederhana yaitu, prinsip kebersamaan, keadilan dan pemerataan, menuju keseimbangan antara kelestarian alam dan kesejahteraan manusia. Prinsip di tingkat lembaga LSM yang dikembangkan untuk mendorong demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam adalah berpihak pada yang lemah; mengutamakan proses yang baik dari pada sekedar hasil/tujuan; berpegang pada kebenaran universal walaupun tidak selalu ilmiah; Transparansi, demokratis, adil, tepat waktu dan partisipatif. Sementara itu, kekuatan lokal masih bertumpu pada hubungan yang dibangun
dalam gerakan rakyat di tingkat akar rumput dan belum masuk dalam proses politik kebijakan. Gambaran ini terlihat dalam dinamika kelompok pada saat bertemu dengan pihak lain, dalam menegosiasikan kebutuhan wilayah kelola hutan. Perkembangan yang terlihat adalah berani mengemukaan pendapat melalui perwakilan kelompok dari anggota kelompok sendiri. Ketergantungan pada orang/lembaga/badan yang dipandang cukup handal dalam memfasilitasi kelompok, terlihat cukup kental. Alasan kepemilikan pengetahuan tentang kelompok dan usahanya semakin memperlihatkan peta kekuatan lokal pada pihak lainnya. Peluang untuk mengembangkan posisi tawar dalam proses kebijakan ini cukup besar dengan lebih terbukanya dialog antara organisasi rakyat dengan pemerintah. Upaya saat ini masih didorong oleh peran LSM dan programnya, namun belum terlihat potret pada kelompok tani yang tidak difasilitasi oleh program LSM. Aspirasi KTH masih dijembatani oleh kegiatan komunikasi yang intens antara LSM dengan Pemerintah. Posisi tawar yang dengan menggunakan kekuatan lokal justru terlihat pada organisasi LSM. Hubungan yang ada mulai mencairkan tabir penguasa dan LSM adalah bukti dari kekuatan lokal dari organisasi masyarakat sipil ini. Namun saat ini belum secara detail terlihat peta kekuatan lokal dan politik kebijakan sumberdaya alam. B. Desentralisasi yang menyisakan persoalan Kendati data diatas sudah dapat membuktikan adanya proses menguatnya keberadaan masyarakat sipil akibat pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat ternyata menyisakan beragam persoalan. Menurut Dwipayana (2002) berdasarkan pengalaman pelaksanaan otonomi daerah, ada beberapa persoalan yang dihadapi; pertama, politik desentralisasi yang
Siti Zunariah “Desentralisasi Sumberdaya Hutan dan Pembentukan Masyarakat Sipil”
95
Jurnal Sosiologi DILEMA menghapus sentralisasi kekuasaan dan otonomi bertingkat ternyata mendatangkan tantangan dari kekuatan politik di tingkat pusat dan propinsi. Kedua, proses desentralisasi seringkali dimaknai sebagai intragovermental decentralization3. Ketiga Adanya kecenderungan desentralisasi justru membuka peluang bagi terkonsentrasinya kekuasaan di tangan local state dan keempat, desentralisasi dan otonomi daerah masih dipahami sebagai auto money yang mendorong eksploitasi sumberdaya ekonomi yang mereka miliki. Tidak dapat dipungkiri dalam kasus desentralisasi kehutanan juga menyisakan berbagai persoalan terutama pelung terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan yang membabi buta. Munculnya raja-raja kecil di daerah yang dengannya tersandang peran otonom dalam menjalankan rumah tangganya sendiri. Sehingga dengan kewenangannya itu akan disusunlah kebijakan-kebijakan yang mampu mendatangkan pendapatan daerah yang melimpah tanpa menghiraukan persoalan kelestarian sumberdaya hutan. Dengan berkaca pada persoalan tersebut diatas, maka konteks pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dapat diberikan alternatif cara dengan pula diikuti proses devolusi, yaitu pelimpahan kewenangan dalam pengelolaan hutan kepada lembaga-lembaga komunitas yang otonom. Devolusi dilakukan dengan alasan pertama, meringankan beban negara dalam pengelolaan sumberdaya hutan karena setiap komunitas sudah dapat dipastikan mempunyai mekanisme peraturan seperti adat, peraturan lokal, nilai-nilai dan praktek serta kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sehingga negara tidak lagi mengeluarkan biaya untuk pengelolaan hutan, seperti mengamankan, konservasi dan sebagainya. Kedua, devolusi juga berguna bagi 3
4
pemberdayaan masyarakat sipil karena disamping memberdayakan secara ekonomi, devolusi akan memperkuat kemampuan partisipasi masyarakat serta membangun kemandirian dan self helf, sehingga masyarakat tidak tergantung kepada pemerintah. Ketiga dengan devolusi dimungkinkan sebagai instrumen resolusi konflik sehingga konflik perebutan sumberdaya hutan antar berbagai stakeholders dapat dikelola. Keempat, devolusi juga akan mempersempit ketimpangan ekonomi antar warga masyarakat. Karena mekanisme kelembagaan mencegah keuntungan atas sumberdaya hutan akan dinikmati oleh segelintir orang seperti yang muncul dalam fenomena privatisasi. C. Catatan kritis Peluang terwujudnya masyarakat sipil yang kuat dan memiliki posisi tawar yang kuat terbuka lebar. Karena bagaimanapun diakui bahwa fenomena masyarakat sipil senantiasa berbanding terbalik dengan kekuasaan rejim. Bilamana negara kuat, memiliki kecenderungan melakukan penetrasi dan kooptasi, dan sebaliknya masyarakat sipil tumbuh subur tatkala kekuasaan negara melemah. Premis ini dapat dikaitkan dengan realitas desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan yang sudah semakin menunjukkan iklim demokrasi yang terbuka dan transparan. Sehingga kenyataan ini justru semakin membuka ruang bagi gerakan sipil untuk mendorong laju transformasi social. Hal ini memberikan pelajaran bagi kita tentang apa yang sudah terjadi di India dan Nepal4 yang gagal karena lembaga-lembaga komunitas yang diserahkan untuk mengelola hutan terjadi tidak partisipatif dan demokratis. Sehingga sumberdaya hutan hanya dinikmati oleh oligarki elite desa yang menguasai lembaga-lembaga desa.
Desetralisasi antar level pemerintahan semata sehigga otonomi hanya dipahami sempit sebagai penyerahan urusan atau pelimpahan kewenangan diantara berbagai level pemerintahan. Model pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah model village Penchayat Forest yang diterapkan di Nepal.
96
Siti Zunariah “Desentralisasi Sumberdaya Hutan dan Pembentukan Masyarakat Sipil”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 Untuk merespon kegagalan ini, maka pemerintah Nepal mengganti model Penghayat dengan Forest User Groups (kelompok Pengguna). Dengan demikian, maka menurut Dwipayana (2002). diperlukan upaya dari berbagi stakeholders untuk membangun dua hal : pertama, penguatan kapasitas dari lembagalembaga lokal yang diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya hutan. Penguatan kapasitas ini meliputi pengaturan kompetisi personal, penguatan kelembagaan
dan penguatan mekanisme (aturan main). Kedua, diperlukan ruang-ruang demokratis, baik dalam konteks relasi antara pengurus lembaga lokal dengan anggotanya, pemerintah desa dengan warganya, maupun hubungan di antara stakeholders. Ruang demokratis ini bisa dibangun melalui forum-forum rembug desa. Sehingga proses penguatan masyarakat sipil dapat terus berjalan seiring dengan desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam.
Daftar Pustaka Awang, San Afri & Adji S. Bambang, 1999, Perubahan Arah dan Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Hutan Perhutani di Jawa, Aditya Media, Yogyakarta Awang, San Afri dkk, 2001, Gurat Hutan Rakyat (Studi Kolaborasi), Debut Press, Yogyakarta. Awang, San Afri, 1999, Inkonsistensi Undang-Undang Kehutanan, Bigraf Publishing, Yogyakarta Anonim, 2002, Laporan Midterm Review Program Pengembangan Kelembagaan Hutan Kemasyarakatan, Capable, Jakarta. ——————, 2001, Otonomi Sumberdaya Hutan, Debut Press, Yogyakarta. Bahtiar, Irfan, 2001, Prosiding Semiloka temu inisiatif DPRD se-jawa Madura “ Hutan Jawa Menjemput Ajal, Wonosobo. Dwipayana ,AA.GN. Ari, 2002, Hutan Rakyat dalam konteks desentralisasi dan demokratisasi (tidak terpublikasi). Fahrudin ,Wawan, 2003, Pembentukan masyarakat Sipil, Jurnal Civic, Pasivis UI, Jakarta Fuad, Faisal Husnul, 2000, Menuju Devolusi Pengelolaan sumberdaya hutan, Arupa, Yogyakarta Raharjo, Diah Y, 2003, Menanti Perubahan, Studio Kendil, Bogor Suharjito, Didi dan Darusman, Dudung, 2000, Kehutanan Masyarakat oleh IPB Bogor. Zunariyah, Siti, 2009, Partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan berbasis masyarakat di DIY.
Siti Zunariah “Desentralisasi Sumberdaya Hutan dan Pembentukan Masyarakat Sipil”
97
Jurnal Sosiologi DILEMA
TUBUH PEREMPUAN : MEDAN KONTESTASI KEKUASAAN PATRIARKIS DI INDONESIA
Sri Yuliani Administrasi Negara FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract Woman Body Is A Symbol Of Moralty and therefore has a strategic value in a power struggle. Politics of women’s bodies have occurred since the era of the old oreder and become more massive in the era of feform. Many public policies are made in the era of reform aimed at controlling womens’s bodies. This is done because the government in up holding the social order. Because women bodies have becomes a political commodity, women are no longer have authority over her own body. Political body makes womens should be subject to the policies of political an moral authority so tend to limit women’s activities in the public domain. Keywords : woman, body, power
Tubuh perempuan merupakan salah satu sumber kekuasaan. Di dalam tubuh seorang perempuan terkandung daya tarik seksualitas yang bisa mengendalikan tingkah laku manusia, terutama libido laki-laki. Banyak sekali kepentingan yang bermain dalam tubuh seorang perempuan. Keluarga dan masyarakat merasa memiliki otoritas atau berhak mengatur perempuan. Lembaga agama dan negara juga merasa berkewajiban mengatur bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya. Ini semua karena tubuh perempuan menjadi simbol martabat dan harga diri laki-laki dan masyarakat. Tubuh perempuan juga menjadi media bagi simbol-simbol identitas moral dan agama melalui pengaturan cara berpakaian dan tanda-tanda di tubuhnya. Sebagai simbol dari harga diri laki-laki dan masyarakat, posisi perempuan menjadi sangat rawan dalam situasi konflik atau peperangan. Banyak pertikaian dan pepera-
98
ngan yang menjadikan perempuan sebagai tawanan atau korban perkosaan. Karena dengan menistakan perempuan berarti merusak simbol kehormatan suatu keluarga atau komunitas. Tubuh perempuan menjadi alat politik yang strategis bagi pihak-pihak yang bersaing dalam memperebutkan kekuasaan. Sejarah kehidupan politik di Indonesia dengan gamblang mencatat betapa (tubuh) perempuan dijadikan media untuk menggalang dukungan politik, membentuk opini publik atau pun untuk mengendalikan pejabat maupun warganya melalui perilaku seksual mereka. Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno adalah pelaku poligami dan dikenal sebagai pemuja perempuan. Kesukaan Soekarno pada perempuan ini yang dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk menyerang atau menghancurkan nama baiknya melalui pembunuhan karakter. Soe Hok Gie (1987) dalam
Sri Yuliani “Tubuh Perempuan : Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 buku catatan hariannya menggambarkan bagaimana isu perempuan di sekitar Soekarno menjadi sangat politis saat itu. ...ada suatu otak yang secara sistematis berusaha ‘mendekadensikan’nya (Soekarno). Ia terus menerus disupply dengan wanita-wanita cantik yang lihai. Hartini muncul, (siapa yang mempertemukannya?) dan membuat Bung Karno ‘dihancurkan’. Sejak itu wanita-wanita cantik keluar-masuk istana : Baby Huwae, Ariati, Sanger, Dewi dan lain-lainnya. Seolah-olah Bung Karno mau dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air menjadi kaisar yang punya harem. Tiap minggu diadakan pesta-pesta yang dekaden di Istana dengan ngomong cabul dan perbuatan-perbuatan cabul.Ya, dalam keadaan ini siapa yang tidak terpengaruh. (Ahmad) Yani juga mengalami nasib yang sama. Yani adalah perwira yang brilliant sekali. Dia tegas dan berani. Tidak ada seorang pun yang mengancamnya atau menyogoknya...Popularitas Yani sangat besar. Tetapi hal ini rupa-rupanya tidak disenangi oleh ‘somebody’ dalam Istana yang juga telah menjatuhkan moral Presiden. Yani mulai dipancing dan akhirnya, ia memelihara isteri muda.....menjadi Menteri di Indonesia sulit sekali. Di samping ia harus pintar, ia harus pula kebal terhadap uang sogokan, pangkat....dan wanita-wanita cantik (hal. 200). Perempuan dan kekuasaan politik nampaknya merupakan isu klasik dalam pemerintahan dari zaman ke zaman. Mulai dari Delilah yang digunakan untuk menjatuhkan Samson, Cleopatra di Mesir, Ken Dedes, dan masih banyak lagi. Di era Orde Lama langkah Soekarno berpoligami menjadi isu seksualitas yang sangat politis dan menjadi senjata untuk membunuh karakter Soekarno. Presiden kedua Indonesia, Soeharto, menunjukkan kecenderungan berbeda. Soeharto mempraktekkan monogami. Untuk mengontrol kecenderungan poligami di kalangan pegawai negeri, pemerintah mengeluarkan UU Perkawinan Tahun 1974. Namun, politisasi perempuan atau peman-
faatan perempuan untuk tujuan kekuasaan di era ini dilakukan secara lebih sistematis. Para perempuan PNS dan isteri-isteri PNS dimobilisasi penguasa saat itu bagi pemenangan Partai Golkar. Pengorganisasi perempuan terutama dilakukan melalui wadah Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Muhadjir Darwin (2006) menyebut adanya proses reproduksi nilai subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki melalui berdirinya organisasi-organisasi para istri aparatur publik seperti istri pegawai negeri (Dharma Wanita), istri militer (Persit Kartika Chandra Kirana), dan istri profesional. Organisasi semacam ini menegaskan posisi perempuan sebagai pendamping laki-laki, yang meletakkan eksistensi, status, dan kehormatan perempuan pada bayang-bayang identitas suami, bukan identitas perempuan. Struktur kepengurusan organisasi tersebut dikembangkan sebagai bayangbayang status suami (mengikuti jabatan struktural dalam birokrasi). Melalui pembentukan organisasi para istri ini, rezim Orba mengembangkan mitos tentang pemuliaan perempuan. Perempuan dianggap “ada” ketika ia adalah “ibu” dan “istri” yang mengutamakan tugas merawat, menjaga, dan mendukung keluarga (suami dan anak-anak). Perempuan tidak diakui “ada”, ketika ia adalah dirinya sendiri, manusia bebas dengan pikiran-pikiran dan pandangan-pandangannya sendiri tentang berbagai aspek kehidupan (Kompas, 18 November 1999). Sedang Julia Suryakusuma (Ibid) menyebut Dharma Wanita sebagai bagian dari upaya negara untuk mengontrol masyarakat. Dharma Wanita dibentuk untuk tujuan kekuasaan yaitu untuk vote-getting, untuk mendukung suami dan posisi fungsional. Dharma Wanita secara sosial adalah mediasi dari domestifikasi perempuan melalui mobilisasi dan kesukarelaan. Melalui Dharma Wanita, Orde Baru berhasil menancap-
Sri Yuliani “Tubuh Perempuan : Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia”
99
Jurnal Sosiologi DILEMA kan ideologi informal mengenai seks dan gender, dengan konstruksi sosial yang mendefinisikan perempuan secara sempit, terbatas pada peran-peran stereotip. Selain itu sejarah Orde Baru juga menorehkan catatan hitam kekerasan terhadap perempuan yang luar biasa. Berbagai temuan penelitian dan tim pencari fakta mendapatkan bukti adanya tindak kekerasan selama berlangsung konflik di Aceh, Papua, Maluku,Timor-Timur dan Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo. Ada sejumlah kesaksian tentang adanya perempuan dalam jumlah relatif besar yang diperkosa pada kerusuhan dan konflik itu. Perkosaan sebagai strategi teror musuh banyak diterapkan oleh militer di berbagai negara. Dalam berbagai peristiwa, perkosaan tidak dilakukan langsung oleh anggota militer, tetapi oleh orang-orang sipil yang mereka latih. Banyak telaah menunjukkan perkosaan dan kekerasan seksual lainnya yang dilakukan terhadap perempuan dalam konflik bersenjata selalu memiliki ideologi dan motif politik. Cordula Reinman (dalam I Febriana Sukiman, 2004) menyatakan politik tubuh telah membuktikan bahwa tubuh sering dipakai sebagai mesin konflik. Tubuh tidak hanya menerima beban fisik dan psikologis, namun seringkali tubuh dijadikan “penanda perbedaan” etnisitas, agama maupun ideologi. Fenomena politisasi tubuh perempuan ternyata masih terus berlanjut di Era Reformasi bahkan semakin formal karena reproduksi nilai domestifikasi dan juga stigmatisasi (tubuh) perempuan dilakukan melalui kebijakan atau perundang-undangan negara. Kecenderungan penggunaan tubuh perempuan untuk kontestasi identitas yang sarat muatan kekuasaan agama maupun politik justru semakin masif di era ini. Ruang publik politik yang semakin terbuka yang antara lain ditandai dengan press yang relatif bebas, maraknya ekspresi publik lewat berbagai demo dan juga adanya kelelua-
100
saan daerah untuk menjalankan pemerintahan di daerah dengan adanya otonomi daerah, ternyata bagaikan kotak pandora karena diikuti dengan munculnya berbagai implikasi dan dampak ikutan yang tidak diprediksi sebelumnya. Tubuh Perempuan dalam Pro-Kontra Formulasi Undang-Undang Pornografi Kebijakan publik paling mengundang pro-kontra di kalangan masyarakat di Era Reformasi adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Undangundang ini menjadi perdebatan sengit di masyarakat sekitar tahun 2006 pada saat berupa Rancangan Undang-Undang yang dikenal sebagai Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). UU ini dibuat untuk merespon maraknya industri pornografi yang dianggap sebagai faktor pendorong perilaku asusila yang merusak moral masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Namun bukannya menyasar pada pelaku industri pornografi, oleh beberapa kelompok masyarakat – seperti aktivis perempuan, seniman dan akademisi - kebijakan ini dinilai menjadikan perempuan sebagai obyek yang dikontrol dan bahkan dikriminalkan atau sebagai tertuduh yang dianggap berkontribusi pada merosotnya moralitas masyarakat dan bangsa. Hal substansial yang banyak menjadi kritikan kelompok yang menolak RUU ini adalah soal definisi pornografi dan pornoaksi. Kata kunci di dalam RUU ini adalah eksploitasi seksual, kecabulan, dan erotika yang tidak dipisahkan secara jelas. Pornografi dirumuskan sebagai substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan dan/ atau erotika. Erotika (Penjelasan Pasal 1) adalah hal-hal perbuatan atau yang sifatnya berkenaan dengan nafsu seksual atau kebirahian dan/atau dengan sensasi seks yang melanggar kesopanan dan/atau kesusilaan.
Sri Yuliani “Tubuh Perempuan : Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 Pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, atau erotika di muka umum. Aturan yang mendapat tentangan keras dari komunitas seni dan budaya adalah larangan “Mengeksploitasi daya tarik tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis bergoyang erotis“ (Bab 2 Pasal 6). Pasal ini sangat multi tafsir dan cenderung mengarah kepada (tubuh) perempuan. Implikasi penafsiran yang luas ditakutkan pasal ini dapat digunakan untuk melarang atau menekan perkembangan kesenian tradisional seperti jaipong, tayub, dan tari jawa yang mempertontonkan bagian pundak perempuan, dan goyang dangdut. Kemudian yang dianggap kontroversial adalah Bagian Kedua yang mengatur ketentuan tentang Pornoaksi, Pasal 25-33 : “Setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual, berciuman bibir, bergoyang erotis, gerakan tubuh menyerupai kegiatan hubungan seksual”. Bagian tubuh tetentu yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha pinggul, pantat, pusar dan payudara perempuan baik terlihat sebagian maupun seluruhnya (Penjelasan pasal 4) Aturan ini dikhawatirkan bisa dimanfaatkan untuk melarang/meniadakan pakaian tradisional perempuan seperti kebaya, baju bodo, tradisi telanjang di Wamena, dan sebagainya. Latifah, dari Fraksi Partai Amanat Nasional di Komisi VII (dalam Maria Hartiningsih, Kompas 4-2-2006) mengakui adanya pencampuradukan antara seksualitas, erotisme, dan pornografi. Filosofinya tidak jelas. Yang dikhawatirkan dengan RUU ini adalah munculnya polisi moral, apalagi akan banyak perda mengacu kesitu. Menanggapi kritik terhadap definisi pornografi dan pornoaksi yang dinilai multitafsir, Fauzan Al-Anshari (2006), Ketua Dewan Data dan Informasi Majelis Mujahidin dan juga seorang dosen agama Islam, mempertanyakan mengapa masih ada yang
belum bisa mengerti tentang definisi, makna, arti, pengertian, mafhum dari kata “porno”, “pornografi”, “pornoaksi”, “anti pornografi”, dan “anti pornoaksi”. Padahal dari sono-nya sudah jelas, porne –yang diambil dari akar bahasa Latin- artinya pelacur. Pornografi artinya gambar pelacur (cabul). Pornoaksi maknanya, aksi atau perbuatan yang menunjukkan sifat kepelacuran. Menurut Al-Anshari, definisi pornografi dan pornoaksi menurut batasan Islam merujuk pada batasan aurat yang berasal dari kata “aura-un” yang artinya keji. Menutup aurat maknanya menutup bagian tubuh yang keji jika dilihat orang lain, untuk menampakkan yang mulia. Bagian tubuh wanita yang keji untuk dipamerkan di depan umum adalah seluruh bagian tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Menutup aurat ini berkorelasi erat dengan kualitas rasa malu yang dimiliki wanita secara fitrah, sehingga bila ia enggan menutup auratnya maka bisa dipastikan ia telah kehilangan rasa malu tadi. Akibat kehilangan rasa malu ia akan nekat melakukan apa saja, termasuk menampakkan bagian tubuhnya yang aduhai untuk membangkitkan gairah seks lawan jenisnya. Hal ini biasanya dilakukan untuk mencari uang, tetapi bisa juga karena suatu penyakit jiwa yang obatnya harus dengan menegakkan hukum Islam, seperti rajam dan cambuk bagi pezina di tempat umum. Berdasar pada pendapatnya diatas, Fauzan Al-Anshari mengkategorikan gerakan tubuh perempuan yang sensual, seperti berjoget (goyang pinggul, ngebor, vebrator, dll), berjalan dengan lenggang-lenggok, berparfum dengan maksud menarik birahi lawan jenisnya, termasuk perbuatan yang diharamkan. Pemikiran Fauzan Al-Anshari menggambarkan cara pandang yang melihat tubuh perempuan dari satu perspektif yakni ajaran agama. Abdul ‘Dubbun’ Hakim (2006), Direktur Eksekutif Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Jakarta,
Sri Yuliani “Tubuh Perempuan : Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia”
101
Jurnal Sosiologi DILEMA menjelaskan kebudayaan Semitik, termasuk di dalamnya Islam, memang menempatkan tubuh dalam kerangka interioritasnya, tubuh yang harus diselubungi, tersembunyi bahkan ditutupi. Dalam mitologi Semitik yang menjadi titik berangkat pahampaham keagamaan Abrahamik, Tuhan dengan keagungannya adalah yang tersembunyi dengan pakaian kemegahan. Maka, bukanlah sesuatu yang mengejutkan bila tubuh dengan pakaian yang menutupinya dalam paham keagamaan Abrahamik mencerminkan interioritas, dunia batin, dan ketersembunyian. Cara pandang inilah yang mewarnai pandangan paham keagamaan Abrahamik mengenai tubuh selama berabad-abad. Karena itulah, Ayu Utami mengkritik kebijakan RUU ini hanya melihat tubuh sebatas aspek sensual, pembangkit gairah sehingga gagal melihat aspek lain dari tubuh. Padahal, aspek lain itulah yang dihidupi berbagai suku bangsa di Indonesia dengan cara berbeda-beda sehingga cara (perempuan) berbusana yang memperlihatkan bahu, sebagian atau seluruh payudara, atau pusar tidak dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, jorok, atau membangkitkan nafsu. Pendapat sama dikemukakan Cokorda Istri Ngurah Raka Sawitri, penyair dan dramawan Bali yang bersama beberapa tokoh masyarakat Bali menemui Pansus RUU APP di Gedung DPR. Menurut Cokorda RUU itu merumuskan sensualitas maupun anggotaanggota badan yang sensual dengan mengabaikan perbedaan tafsir tentang sensualitas yang masih hidup dan diyakini oleh berbagai komunitas tradisional Indonesia, termasuk Bali (Kompas, 22-2-2006). I Made Bandem, seniman cendekiawan Bali, menguraikan dengan latar belakang sosiokultural dan religius tersendiri, Bali memandang sensualitas dan organ kelamin tidak semata-mata berdasarkan pemaknaan yang banal dan material-fisikal semata. Dalam tradisi sosiokultural dan filosofi
102
religius, Bali memaknai hal itu sebagai elemen penting dalam penciptaan, asal muasal, dan pemeliharaan kehidupan. Pemaksaan satu tafsir tunggal atas sensualitas, ketelanjangan, maupun pornografi berpeluang besar merampas kebebasan masyarakat Bali. Tidak hanya dalam merayakan kekayaan sosiokulturalnya, melainkan juga dalam menjalankan keimanan religiusnya. Menurut Abdul ‘Dubbun’ Hakim (2006) konstruksi tubuh dalam kebudayaan masyarakat Bali berakar dari paham keagamaan kebudayaan Asia : Hindu, Budha, dan religi kaum primitif. Dimana tubuh dilihat dari dimensi eksterioritasnya. Dada, pinggul, dan payudara menghiasi karya-karya seni patung Bali. Tubuh yang disingkapkan, ditonjolkan, sumber estetik yang tiada habisnya. Eksterioritas tubuh juga tercermin di relief-relief candi yang sekarang menjadi peninggalan sejarah di beberapa wilayah Indonesia dan bangsa-bangsa Asia lainnya. Hal yang sama juga ditemukan pada seni rupa tradisi komunitas-komunitas etnik di Indonesia lainnya. Ketelanjangan dalam seni rupa tradisi bukan diabdikan untuk tujuan di luar dirinya, ketersingkapan tubuh tidak memiliki telos di luar kultus dan ritus-ritus keagamaan dalam seni-seni tradisi. Meski tubuh dimengerti dalam kerangka eksterioritasnya dalam seni tradisi, tetapi telos dari ekspresi estetiknya masih di bawah payung kultisme melalui upacara-upacara dan ritusritus religi untuk membangun kesadaran kosmik. Disini, karya seni masih dalam lingkungan “persembahan”, atau “ pemujaan” yang menghubungkan manusia dengan jagat hidup sekitarnya, bahkan dalam perjumpaan dengan hidup setelah kematian. Cara pandang berbeda dalam memahami makna tubuh menjadikan masyarakat Bali sebagai pihak yang paling keras menolak RUU APP. Masyarakat Bali memaknai tubuh tidak sekedar dari dimensi seksual. Pemaknaan tubuh atau definisi aurat (bagian-bagian tubuh) dipahami dari dimensi
Sri Yuliani “Tubuh Perempuan : Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 ekterioritas. Keindahan tubuh yang termanifestasi dalam seni tari, patung, dan lukisan Bali menjadi realitas sehari-hari bahkan menjadi ekspresi spiritual masyarakat Bali. Tubuh manusia (perempuan) bukan sesuatu yang kotor atau sumber dosa, tapi suatu keindahan, karya seni Sang Maha Kuasa. Bukan sesuatu yang semata-mata untuk memancing birahi atau nafsu rendah manusia laki-laki. Mengingat kompleksnya makna tubuh dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultur, jelas pendefinisian makna aurat tubuh yang tunggal atau dari satu perspektif saja akan menimbulkan perbedaan pendapat yang bisa berujung pada konflik sosial. Dewi Candraningrum Sukirno (Kompas, 27-11-2006) menyatakan tubuh adalah misteri yang menyimpan makna seluas imajinasi. Karenanya, masing-masing tradisi agama. memberikan penjelasan yang berbeda-beda tentang hakikat dan makna tubuh. Perempuan mengidentifikasikan dirinya bergantung pada episteme dimana dia berada. Perempuan dalam episteme Islam akan memaknai apa itu arti aurat sesuai dengan ajaran agamanya. Perempuan dalam episteme Katolik juga akan menerjemahkan tubuh perempuan dengan penanda berbeda. Perempuan Bali akan mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan teksteks dan kode etik dalam episteme HinduBali. Demikian juga perempuan dalam ranah episteme berbagai suku dan etnis budaya di seluruh Indonesia. Perempuan Indonesia adalah perempuan yang berada dalam kompleksitas dan kemajemukan ruang episteme yang sangat berbeda dan bahkan paradoksal satu sama lain. Dengan kata lain, letak makna tubuh perempuan sangat kontekstual dan, kosmologi agama seorang perempuan memiliki peranan cukup penting dalam membangun makna tubuhnya. Bagaimana seorang perempuan menghayati agamanya bisa menjadi jawaban bagaimana makna tubuh di-
ejawantahkan. (Dewi Candraningrum dalam Kompas, 4-3-2006). Berangkat dari realitas di atas, Dewi menilai RUU APP adalah bentuk simplifikasi tubuh perempuan Indonesia. RUU itu hanya terbatas pada ruang episteme salah satu penggagas ide RUU yang tidak memperhatikan kemajemukan realitas tubuh perempuan Indonesia yang lain. Perempuan Indonesia adalah perempuan yang tidak bisa hanya diidentifikasikan dalam salah satu ruang episteme. Karena itulah, praktisi hukum dan anggota Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana berpendapat alur pemikiran dalam RUU ini telah melupakan kondisi riil sosiokultural masyarakat Indonesia selama ini. Penerapan RUU ini justru mengundang bahaya disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang selama ini didasarkan pada keanekaragaman, bhinneka tunggal ika serta penghormatan atas hakhak individu dan hak-hak masyarakat adat (Kompas, 4-3-2006). Gadis Arivia menyebut RUU APP sebagai misoginis yaitu sikap membenci, menaklukkan, dan merepresi keberadaan budaya dan spiritualitas perempuan. RUU ini menggunakan logika patriarki- logika yang menganggap nilai-nilai yang melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan dan karenanya mendominasi sebab melekatkan dosa dan moral pada tubuh perempuan. Perdebatan dan perbedaan pendapat dalam merespon RUU APP mempertegas betapa sepanjang sejarah seksualitas perempuan selalu menjadi perebutan dalam mencapai atau mempertahankan kekuasaan patriarkis. Nursyahbani Katjasungkana (dalam Kompas, 11-3-2006) menyebut negara mengontrol seksualitas warga negaranya melalui kebijakan, hukum, dan tafsir agama. Seksualitas perempuan dikonstruksi untuk memperkuat kekuasaan negara yang berwajah laki-laki.
Sri Yuliani “Tubuh Perempuan : Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia”
103
Jurnal Sosiologi DILEMA Kontestasi Politik Dibalik Kebijakan Publik Pengatur Tubuh Perempuan Merebaknya kebijakan publik pengatur tubuh perempuan tidak lepas dari kepentingan elite politik yang membutuhkan dukungan politik rakyat di era pemilihan kepala daerah secara langsung. Cara jitu untuk meraih simpati pemilih adalah dengan membangkitkan ikatan yang bersifat emosional yakni penonjolan simbol-simbol atau identitas agama. RUU APP merupakan cerminan bagaimana tubuh perempuan dilihat dari kacamata pemegang kekuasaan, utamanya penguasa moralitas atau agama dan politik (negara). Kedua lembaga besar ini penopang utama tatanan patriarki. Dari sisi kepentingan agama, nampaknya penguasa agama ingin agar kuasa kontrol atas moralitas masyarakat tetap terjaga. Namun, gempuran perubahan lingkungan eksternal sebagai akibat globalisasi menjadi ancaman yang merusak kemapanan. Untuk memelihara ketertiban moral, otoritas agama meminta bantuan kekuasaan politik untuk memaksakan nilai-nilainya secara paksa ke masyarakat. Di sisi lain, penguasa politik membutuhkan dukungan legitimasi agama untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Bertemunya kepentingan agama untuk menjaga moralitas masyarakat dan kepentingan status quo elit politik nampak jelas dari maraknya kebijakan publik yang menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek pengaturan. Pengendalian atas tubuh perempuan melalui kebijakan publik pengatur kesusilaan mengindikasikan bahwa tubuh perempuan menjadi isu moralitas yang seksis yang mengukur tingkat moralitas masyarakat dari bagaimana mereka mengatur tubuh perempuan. Bahkan berbagai kasus di beberapa daerah di Indonesia menggambarkan betapa negara telah merambah jauh ke persoalan moral seksualitas yang cenderung melanggar batas privasi individu, khususnya perempuan.
104
Berbagai bentuk kebijakan publik yang mengarah pada kontrol atas tubuh perempuan membuktikan betapa tubuh perempuan menjadi ajang bagi perebutan kekuasaan patriarki. Di sepanjang era reformasi, pengendalian tubuh perempuan baik terjadi di tingkat daerah melalui perda maupun di tingkat nasional melalui proses pengesahan UU Pornografi menunjukkan gejala yang sama : penggunaan tubuh perempuan untuk tujuan meraih kekuasaan. Kesimpulannya, pengendalian tubuh perempuan terbukti merupakan sarana yang efektif sebagai alat mobilisasi dukungan politik. Mengapa tubuh perempuan mempunyai nilai politis yang begitu tinggi dalam kebijakan publik? Menurut Siti Musdah Mulia (2006) perempuan diperebutkan karena tubuhnya merupakan perwujudan dari berbagai simbol: simbol kehidupan, simbol kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol kemurnian ajaran agama. Perempuan menjadi rebutan, baik oleh berbagai kalangan sebab menaklukkan perempuan dapat dimaknai sebagai menguasai kehidupan, mengontrol kekuasaan, membela kebenaran, menjaga moralitas, dan mengembalikan kemurnian ajaran agama. Wawancara Komnas Perempuan (2009) pada bulan Februari 2008 dengan sejumlah elit politik lokal di 3 provinsi, menunjukkan pengakuan secara lugas, bahwa perancang perundang-undangan dengan sengaja dan seksama menjadikan perempuan sebagai alat mobilisasi publik oleh elit politik. Budaya masyarakat (juga elit politik lokal) yang masih sangat patriarkal telah mendukung segala tindakan politik yang berhubungan dengan pembatasan perempuan sebagai makhluk yang harus menjadi sasaran kendali oleh masyarakat dan negara. Budaya masyarakat patriarkis berkombinasi dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran politik menciptakan kondisi yang kondusif bagi terjadinya politisasi tubuh perempuan.
Sri Yuliani “Tubuh Perempuan : Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 Ada semacam hubungan saling menguntungkan dan menguatkan antara institusi agama yang membutuhkan legalitas negara guna penegakan ajaran moral agama ke masyarakat dan institusi negara yang membutuhkan dukungan ajaran agama untuk justifikasi kekuasaan politiknya. Dan perempuan sebagai kelompok lemah, menjadi pihak yang paling mudah untuk dikorbankan atau dijadikan kambing hitam atas segala
problem sosial yang tidak bisa dipecahkan elit penguasa. Di samping itu, jumlah perempuan yang banyak menjadikan suara perempuan berharga untuk diperebutkan dalam kompetisi demokrasi. Penyatuan atau pun penyeragaman identitas perempuan melalui politik tubuh menjadi sarana yang efektif untuk menggalang dukungan dan sekaligus mobilisasi politik para elit patriarkis.
Daftar Pustaka Abdul ‘Dubbun’ Hakim. 2006. Tubuh Dalam Industri Kebudayaan, dalam Kompas 10 Maret Dewi Candraningrum. 2006. Simplifikasi Tubuh Perempuan Indonesia, dalam Kompas 4 Maret. —————————. 2006. Suamiku adalah Tuhan-ku, dalam Kompas 27 November. Fauzan Al-Anshari. 2006. Pornografi No! RUU APP Yes! Hujjah Press.Jakarta Gadis Arivia. 2004. Tubuhku Milikku (Perdebatan Tubuh Perempuan Dalam Pornografi), dalam Jurnal Perempuan No.38, November. ———————. 2005. SBY dan Pusar Perempuan, dalam Kompas 28 Januari. .I. Febriana Sukiman. 2004. Di Manakah Perempuan dalam Proses Rekonsiliasi, dalam Kompas 11 Oktober.. Maria Hartiningsih. Pornografi, Siapa Berhak Membuat Definisi?, dalam Kompas 4 Februari 2006 Muhadjir M. Darwin. 2005. Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik. Media Wacana. Yogyakarta.. Siti Musdah Mulia. 2006. Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan. http://www.icrponline.org/wmview.php?ArtID=178&page=15 Soe Hok Gie. 1987. Catatan Harian Seorang Demostran. LP3ES. Jakarta. Sri Yuliani dan Argyo Demartoto. 2007. Konstruksi Sosial Mengenai Tubuh Perempuan Dalam Kaitannya dengan Pornografi. Laporan Penelitian Studi Kajian Wanita LPPM UNS Sri Yuliani dan Retno Suryawati. 2009. Perempuan dan Kebijakan Publik : Fenomena Politik Tubuh dalam Kebijakan Publik di Era Reformasi. Laporan Penelitian DIPA FISIP UNS. Al-wa’ie. No 69 Tahun VI 1-31 Mei 2006. Menggugat Kepornoan. Jurnal Perempuan No 38, 2004. Pornografi Jurnal Perempuan No. 47. Mengapa Perempuan Menolak? Jurnal Perempuan No 49, 2006. Hukum Kita Sudahkah Melindungi? Kompas 18 November 1999. Julia Suryakusuma, Meretas Ikatan Nilai-Nilai Tradisional. Kompas 22 Februari 2006. Bali Menolak RUU Antiporno, Keragaman Sosiokultural Terabaikan Sri Yuliani “Tubuh Perempuan : Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia”
105
Jurnal Sosiologi DILEMA Kompas 22 Februari 2006. Logika Dalam RUU APP Keliru, Bisa Jadi Sumber Kekerasan pada Perempuan. Kompas 4 Maret 2006 Kompas 9 Maret 2006. Perempuan Tolak Diskriminasi, RUU Antipornografi dan Pornoaksi Ditolak Kompas 27 Nopember 2006 Lapo ran Komnas Perempuan.2009. Otonomi Daerah, Politisasi Identitas & Hak Konstitusional Perempuan dalam http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/ upl oads/2009/01/oto nomi-daerah-politisasi -identitas-hak-konsti tusionalperempuan1.pdf
106
Sri Yuliani “Tubuh Perempuan : Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010
PERAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
TA Gutama Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Abstract The organization is a set of common goals that would have reached, so the need for joint motion and an integrated step in achieving its goals. For the need of communication in an organization that would unite the ideas together to achieve the goal. Communications will work well if there are values and norms held by each member in the organization. Values and norms were embodied in the form of organizational culture. Keywords : organization, culture, communication
A. Organisasi dan Perubahan Organisasi merupakan suatu kumpulan orang yang mempunyai tujuan yang sama. Anggota suatu organisasi bekerja bersama, saling mendukung satu dengan yang lain, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Olah karenanya komunikasi merupakan salah unsur penting dalam organisasi, dengan mana pesan disampaikan dari pengurus ke anggota dan sebaliknya. Anggota dilibatkan dalam pencapaian tujuan organisasi, sehingga ide-ide dari anggota merupakan masukan yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup organisasi. Keberlangsungan hidup suatu organisasi tidak dapat terlepas dari iklim dalam organisasi, yang menggambarkan adanya suasana yang ada dalam organisasi. Dalam menggambarkan suasana dalam organisasi dapat dilihat dari iklim organisasi dan iklim komunikasi yang ada dalam organisasi. 1. Iklim organisasi Tiaguri (1968) menyatakan iklim organisasi adalah kualitas yang relative abadi dari lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggota-anggota-
nya, mempengaruhi tingkah laku mereka serta dapat diuraikan dengan istilah nilai-nilai suatu set karakteristik tertentu dari lingkungan. (dalam Arni Muhammad, 2005 :82). Sementara Payne dan Pugh (1976) mendefinisikan iklim organisasi sebagai suatu konsep yang merefleksikan isi dan kekuatan dari nilainilai umum, norma, sikap, tingkah laku dan perasaan anggota terhadap suatu system social. (dalam Arni Muhammad, 2005 :82). Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan bahwa iklim organisasi adalah suatu konsep tentang suasana yang ada dalam organisasi yang memungkinkan anggota dan pengurus melakukan komunikasi. 2. Iklim komunikasi Iklim komunikasi menurut Denis (1975) sebagai kualitas pengalaman yang bersifat obyektif mengenai lingkungan internal organisasi yang mencakup persepsi anggota organisasi terhadap pesan dan hubungan pesan dengan kejadian yang terjadi di dalam organisasi.
TA Gutama “Peran Komunikasi Dalam Organisasi”
107
Jurnal Sosiologi
DILEMA
(arni Muhammad, 2005 :86). Iklim organisasi dan iklim komunikasi berhubungan timbal-balik, adanya iklim organisasi menunjukkan adanya suasana dalam organisasi yang kondusif, yang memungkinkan adanya iklim komunikasi. Iklim organisasi dan iklim komunikasi yang baik, penuh persaudaraan, adanya rasa kebersamaan untuk memiliki organisasi, akan menumbuhkan adanya partisipasi, kepercayaan dan keterbukaan. Perasaan sebagai bagian dari organisasi dan rasa memiliki organisasi merupakan “roh” yang menghidupkan organisasi. B. Komunikasi dalam organisasi Dalam suatu organisasi sangat dibutuhkan adanya komunikasi organisasi yang mampu mengembangkan sikap anggota untuk merubah pola pikir dan pola perilakunya sehingga sejalan dengan apa yang menjadi tujuan dari organisasi tersebut. Redding dan Sanborn dalam Arni Muhammad (2005;65) mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Sedangkan Zelko dan Dance (Arni Muhammad, 2005; 66) mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah suatu sistem yang saling bergantung yang mencakup komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Catrin Johansson menyatakan a wide definition of organizational communication is used, including internal, external, informal and formal communication with processes ranging from intraindividual to mass mediated communication (2007,93). Pengertian-pengertian komunikasi organisasi itu menunjukkan bahwa dalam organisasi ada : a. komunikasi internal dan eksternal, di mana komunikasi internal menunjuk pada komunikasi yang terjadi dalam organisasi itu sendiri dan komunikasi eksternal yang menunjuk pada komu-
108
nikasi antara organisasi dengan lingkungan luarnya b. dalam komunikasi organisasi itu ada aliran pesan yang mengarah pada tujuan organisasi itu dengan media yang digunakan dalam penyampaian pesan tersebut c. komunikasi organisasi akan mempengaruhi perilaku anggota-anggotanya. Oleh karena itu setiap organisasi tidak dapat meninggalkan komunikasi organisasi, dengan komunikasi organisasi semua elemen dalam organisasi terintegrasi ke dalam di mana integrasi ini akan memperkuat organisasi untuk menjaga keberlangsungan dalam mencapai tujuan. Komunikasi organisasi bukan hanya sekadar alat untuk mencapai tujuan, tetapi lebih dari itu, komunikasi organisasi merupakan suatu proses yang memunculkan adanya suatu makna yang dipahami secara bersama dan menjadi pola pikir dan pola perilaku yang sama dari anggota organisasi tersebut. Tanpa adanya pemaknaan akan tujuan organisasi, maka tujuan organisasi hanya merupakan slogan yang tidak berarti sama sekali. Iklim organisasi dapat terlihat dari hubungan antara pengurus organisasi dengan anggota-anggota. Hubungan yang akrab akan menumbuhkan adanya saling keterbukaan dalam menghadapi situasi sulit yang dialami oleh suatu organisasi. Dengan keterbukaan dalam melibatkan anggota dan didukung oleh iklim organisasi yang hangat, partisipasi anggota untuk terlibat dalam masalah-masalah yang dihadapi organisasi sangat dimungkinkan. Keterlibatan anggota dalam pemecahan masalah organisasi akan memudahkan pengurus untuk mengkoordinasikan strategi-strategi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah disepakati. Dalam komunikasi organisasi dikenal pula adanya komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Adapun yang dimaksud dengan komunikasi internal adalah komunikasi yang terjadi dalam organisasi itu,
TA Gutama “Peran Komunikasi Dalam Organisasi”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 misalnya komunikasi antara pengurus dan anggota. Sedangkan komunikasi eksternal adalah komunikasi yang terjadi dengan organisasi lain, atau dengan lingkungannya. Hal ini dikemukakan oleh Eunju Rho: “According to the direction of information flow, communication has been trichotomized into downward, upward, and horizontal directions, which depens upon who initiated the communication and who received it. The bosssubordinate transaction through downward or upward communication is probably the most common communicative situation within a work organization.” Selanjutnya dikatakan bahwa : “downward communication means the flow of information from superiors to subordinates and it is a domuinant channel in accordance with formal communication networks” Katz dan Kahn, 1966 (dalam Eunju Rho, 2009) mengidentifikasi “five types of downward communication, including job instruction, job rationale, procedures and practices, feedback and indoctrination of goals.” Garnett,1992 (dalam Eunju Rho,2009) menyatakan: ”The second type of communication within an organization is upward communication, which flows from subordinates to superiors. Upward communication is a channel to know “how work is processing, what problems and opportunities subordinates see, what ideas subordinates have for improving performance, what intelligence subordinates gather about what clients and other organization are doing and what subordinates feel about the agency, their superior, and their jobs.” Sedangkan komunikasi horizontal dikemukakan oleh Miller (1999) sebagai berikut: ”Horizontal communication indicates the lateral exchange of information, which flows in accordance with the functional principle among people on the same level within an organization. Upward and horizontal communication are emphasized for employee satisfaction” (dalam Eunju Rho, 2009). Arah dan aliran komunikasi dalam organisasi, seringkali juga disebut dengan
jaringan komunikasi dalam organisasi menunjukkan adanya adanya aliran informasi, bagaimana informasi itu disampaikan. Dalam hal ini ada 2 (dua) bentuk komunikasi yaitu komunikasi ke bawah dan komunikasi ke atas. a. komunikasi ke bawah Komunikasi ke bawah sangat dibutuhkan oleh pengurus di tingkat bawah dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Pola penyebaran informasi membawa resiko terjadinya distorsi pesan, sehingga pesan yang disampaikan ke anggota menjadi kabur atau tidak dapat ditangkap maknanya secara jelas. Ini disebabkan karena : - pengirim berita/pesan Pengirim pesan mengirimkan pesannya secara garis besar, sehingga perlu adanya penafsiran kembali tentang isi pesan yang disampaikan oleh penerima pesan. penerima berita/pesan Penerima pesan yang takut akan terjadinya kesalahan atau keterbatasan kemampuan dalam menginterpretasikan pesan yang diterima, akan meneruskan pesan yang diterimanya sebagaimana adanya, dan pengurus di tingkat bawahnya yang diminta untuk menginterpretasikan isi pesan. b. komunikasi ke atas. Komunikasi dari bawahan kepada atasan sebenarnya sangat penting bagi kelangsungan hidup organisasi, karena atasan akan mempunyai data yang dapat dipakai untuk membuat kebijakankebijakan baru bagi organisasi. Pada kenyataannya komunikasi dari bawahan kepada atasan atau komunikasi ke atas sangat sulit dilakukan karena : - dari pihak atasan Atasan jarang sekali menerima keluhan-keluhan dari bawahan, karena apa yang sudah diputuskan
TA Gutama “Peran Komunikasi Dalam Organisasi”
109
Jurnal Sosiologi
DILEMA
dalam rapat pengurus menjadi suatu pedoman yang baku bagi organisasi dan harus dilaksanakan apa adanya. Sehingga keluhan dari bawahan tidak berguna bagi atasan dalam pengembangan organisasi. -
dari pihak bawahan Bawahan dalam menjalankan kegiatan organisasi sudah mendapatkan petunjuk dari atasannya. Sedangkan petunjuk yang diberikan hanya suatu garis besar secara umum dan tidak mendetail, sehingga perlu adanya penyesuaian-penyesuaian di lapangan. Bawahan yang selalu menanyakan tugas yang belum jelas diketahui akan dinilai sebagai orang bodoh yang selalu bertanya. Keengganan dinilai sebagai orang bodoh ini menyebabkan komunikasi ke atas sulit dilakukan.
C. Struktur dalam Organisasi. Setiap organisasi mempunyai struktur yang berperan sebagai pedoman yang mengatur gerak dari organisasi tersebut. Makin besar suatu organisasi, maka akan semakin rumit struktur yang ada dalam organisasi. Organisasi Siswa Intra Sekolah mempunyai struktur yang sangat sederhana karena hanya melayani kepentingan kepentingan siswa dalam suatu sekolah. Organisasi ini akan sangat berbeda dengan organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang mengakomodasi kepentingan para pekerja di seluruh Indonesia. Demikian juga dengan PKK yang mempunyai anggota tersebar di seluruh pelosok tanah air, akan mempunyai struktur yang sangat rumit. Struktur organisasi akan sangat mempengaruhi perilaku anggota, komunikasi antara anggota dengan pengurus, antara pengurus dengan pengurus, antara anggota dengan anggota. Struktur akan memformalkan aliran informasi dalam suatu organisasi, sehingga kearah mana informasi itu harus disampaikan dan oleh siapa.
110
Struktur organisasi dapat dipandang dengan berbagai cara, sebagai suatu objek empiris, sekumpulan hubungan yang dirundingkan, sebuah system atau suatu pembawa proses social (McPhee, 1985, dalam R Wayne Pace,2006:234). Sedangkan Stephen P Robbins, 2005:217) menyatakan struktur organisasi menjelaskan bagaimana tugas kerja akan dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan secara formal. Selanjutnya Wayne Pace mengatakan bahwa struktur organisasi menjadi perhatian bagi pekerja dalam organisasi karena akan menunjukkan arah aliran informasi berhubungan langsung dengan bagaimana seharusnya pekerjaan dilakukan dan siapa yang memiliki akses ke dalam informasi serta siapa yang mengendalikan informasi. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik suatu simpulan bahwa aliran informasi dalam organisasi bergantung pada struktur organisasi. Distorsi pesan adalah ketidaksesuaian/ ketidaktepatan isi pesan yang diterima oleh anggota dengan yang dikirim oleh pengurus/pimpinan organisasi. Dalam organisasi wajar kalau terjadi adanya pemimpin atau pengurus dan bawahan atau anggota. Pengurus organisasi akan bekerja secara manajerial artinya akan mengurusi hal-hal yang bersifat pengambilan keputusan atau menentukan arah gerak dari organisasi, sedangkan anggota akan melaksanakan kegiatan yang mendukung keputusan dari pengurus. Distorsi pesan dapat terjadi karena beberapa faktor yang dapat dikategorikan menjadi 2 bagian yaitu : faktor dari dalam organisasi dan faktor dari luar organisasi. Factor dari dalam organisasi : 1. Kedudukan dalam organisasi. Posisi seorang pimpinan dalam suatu organisasi akan mempengaruhi cara orang dalam berkomunikasi. Pimpinan organisasi akan menjaga jarak ketika berhubungan dengan bawahannya, pembicaraan yang ada diusahakan terjadi secara formal dan singkat. Sehingga me-
TA Gutama “Peran Komunikasi Dalam Organisasi”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 nutup kemungkinan bawahan untuk menanyakan tugas yang diberikan secara detail. 2. Hirarkhi dalam organisasi Susunan hirakhi dalam organisasi menunjukkan adanya seseorang yang mempunyai kedudukan superior dan yang lain adalah bawahannya. Antara pimpinan dan bawahan ada perbedaan status dan persepsi tentang organisasi. Seorang pimpinan perusahaan akan senantiasa berpikir untuk mengembangkan perusahaannya, sementara karyawan hanya berpikir tentang tugas yang diberikan. Perbedaan status dan persepsi tentang organisasi ini mempengaruhi cara berkomunikasi. Seorang pimpinan organisasi hanya membutuhkan masukan dari bawahannya, bukan suatu usulan atau lebih-lebih mengenai hal-hal yang cenderung menggoncang posisi pimpinan. Keterbatasan dalam berkomunikasi Dalam suatu organisasi terjadi pembedaan antara pengurus dan anggota, sehingga terjadi pembedaan kelas. Pembedaan ini berakibat juga pada komunikasi dalam organisasi, pengurus hanya berkomunikasi dengan pengurus demikian juga anggota hanya akan berkomunikasi dengan anggota lainnya. Apabila terjadi komunikasi antara pengurus dengan anggota, maka komunikasi yang ada sangat terbatas dan bersifat formal. Keterbatasan dalam berkomunikasi ini mengakibatkan pesan tidak disampaikan secara jelas, sehingga diperlukan adanya interpretasi lebih lanjut. Interpretasi ini justru berakibat adanya distorsi pesan. 3. Sistem, aturan dan kibijakan dalam organisasi Sistem, aturan dan kebijaksanaan sangat mempengaruhi cara-cara orang dalam berkomukasi. Organisasi mem-
punyai sistem, aturan yang membedakan antara pimpinan dan karyawan. Pembedaan ini juga dalam hal berkomunikasi, komunikasi yang ada bersifat personal dan formal. Akibatnya komunikasi antara karyawan dan pimpinan sangat kurang, karena terikat dengan aturan yang formal, sehingga pesan dan informasi mengalami distorsi. Adapun factor dari luar organisasi yang mempengaruhi adanya distorsi pesan antara lain : 1. Keterbatasan individu Dalam berkomunikasi sangat dibutuhkan adanya kemampuan individu untuk mengolah pesan yang diterimanya. Keterbatasan kemampuan individu untuk mengolah pesan akan menyebabkan adanya misscommunication yang menyebabkan adanya distorsi pesan. 2. Bahasa Penggunaan istilah-istilah dalam bahasa seringkali mempunyai arti yang mendua, sehingga individu dalam menangkap pesan menjadi ragu-ragu. Keraguan individu ini akan menyebabkan adanya distorsi pesan. 3. Framming Dalam kehidupan bermasyarakat ada sesuatu yang sudah terkonsep dalam pikiran yang sulit untuk diubah. Adanya framming itu menyebabkan organisasi itu sulit untuk menerima halhal yang baru, sehingga pesan-pesan perubahan dalam organisasi tidak mendapatkan perhatian dari anggota. D. Budaya Organisasi Manusia hidup dalam penuh ketidakpastian, dalam menghadapi ketidak-pastian tersebut, manusia hidup berkelompok. Dalam kelompoknya, mereka akan berbagi tugas untuk memenuhi kebutuhannya yang begitu banyak. Dalam masyarakat modern,
TA Gutama “Peran Komunikasi Dalam Organisasi”
111
Jurnal Sosiologi
DILEMA
individu akan masuk dalam organisasi yang akan memenuhi sebagian dari kebutuhannya. Organisasi akan dilihat sebagai suatu kelompok manusia yang mempunyai tujuan bersama yang hendak dicapai. Untuk menyamakan gerak langkah anggota organisasi dan layaknya suatu kehidupan bersama, diperlukan adanya nilai dan norma yang dipahami bersama oleh anggota organisasi. Norma dan nilai dalam organisasi akan diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku anggota dalam organisasi. Berdasar pada nilai dan norma pengurus akan dapat memotivasi anggota untuk melakukan sesuatu tindakan yang berguna bagi kemajuan organisasi, dengan singkat dapat dikatakan dalam organisasi ada budaya organisasi. Dalam budaya organisasi, pengurus mempunyai tugas untuk memotivasi, mengkoordinir, mengkomunikasikan, mengendali-
kan agar anggota mempunyai kesepakatan untuk mendukung kehidupan organisasinya. Kesepakatan anggota itu ditunjukkan dalam perilaku anggota organisasi sebagai suatu kekuatan dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, pengurus organisasi bertugas untuk mencari terobosanterobosan baru untuk kemajuan organisasi. Ide-ide baru itu dikomunikasi dengan anggota, sehingga anggota mempunyai pengenalan akan ide-ide baru tersebut. Dengan pengenalan tersebut akan dikonsultasikan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam organisasi dan terbentuklah suatu motivasi dan kesepakatan dari anggota, yang akan muncul sebagai perilaku bersama dalam mendukung gerak langkah organisasi. Hal tersebut di atas selaras dengan pendapat Andreas Hartmann dengan membuat diagram sebagai berikut :
Attitudes and behaviour of organization members
Values and norms of the organization
Commitment and motivation of organization members
Managerial actions
Diagram gerak dan langkah organisasi (Andreas Hartmann; 2006 : 161)
E. Komunikasi organisasi, budaya organisasi Melihat uraian di atas dapat diambil simpulan bahwa komunikasi organisasi bicara tentang pentingnya komunikator dalam memilih media yang akan digunakan dalam menyampaikan pesan kepada komunikan. Komunikator hanya menyampaikan pesan dan memilih media supaya pesan
112
dapat diterima oleh komunikan, tanpa harus memperhitungkan bagaimana kelanjutan dari pesan yang disampaikan. Budaya organisasi mengutamakan inovasi dan kretivitas anggota. Komunikasi yang bersifat “top-down” hanya memberikan instruksi-instruksi yang memerlukan pengembangan lebih lanjut, sedangkan para pengurus hanya melakukan apa yang
TA Gutama “Peran Komunikasi Dalam Organisasi”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 digariskan oleh atasannya. Ini dikarenakan budaya hirarkhi organisasi yang membelenggu anggota untuk tidak berkreasi. Budaya organisasi memberi keluwesan anggota untuk mengembangkan potensi yang ada sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam organisasi. Budaya organisasi yang dipadukan dengan komunikasi organisasi akan menimbulkan rasa keterlibatan anggota dalam menjaga kelangsungan hidup organisasi.
Daftar Pustaka Abdullah Masmuh, Komunikasi Organisasi Dalam perspektif teori dan praktek, UMM Press, 2008 Agus Salim, Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, Tiara Wacana, 2002. Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan, GavaMedia, 2004 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, Bumi Aksara, 2005 Astrid S.Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, 1985 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, 2010 Edy Sutrisno, Budaya Organisasi, Kencana Prenada Media Group, 2010 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi teori dan paktek, Graha Ilmu, 2009. Stephen P.Robbins, Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi, Erlangga, Jakarta, 2005 Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media, 2004 Wayne Pace R dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi meningkatkan K i n e r j a perusahaan, 2005 Wibowo, Budaya Organisasi Sebuah Kebutuhan untuk meningkatkan kinerja jangka panjang, Rajawali Pers, 2010 Lain-lain : Andreas Hartmann, The role of organizational culture in motivating innovative behaviour in construction firms, Construction Innovation, 2006 Catrin Johansson, Research on Organizational Communication the case of Sweden, Nordicom Review, 2007 Eunju Rho, The Impact of Organizational Communication on Public and Nonprofit Managers’ Perception of Red Tape,Public Management Research Conference, Ohio,2009 Mahzan Ahmad, Living Organizational Communication :Consuming Dialogism and Polyphony Wisdom in the Production of Consciousness, Ululararasi Sosyal Arastimalar Dergisi, The Journal of International Social Research, 2009 Masood S A, Dani S S, Burns,N D and Backhouse C J, Transformational Leadership and Organizational Culture :the situational strength perspective, ProQuest Science Journal 2006. Pernille Eskerod, Hans Jorgen Skriver, Organizational Culture Restraining In-house Knowledge Between Project Manager, Project Management Journal, Mar 2007.
TA Gutama “Peran Komunikasi Dalam Organisasi”
113
Jurnal Sosiologi
DILEMA
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS SEKTOR INFORMAL PEDAGANG KAKI LIMA (PKL), SUATU ALTERNATIF PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Trisni Utami Universitas Sebelas Maret Surakarta, Tahun 2009
Abstract The existence of vendors (PKL) informal sector community is an urban economic reality and needs adequate consideration in the development process. In Surakarta city, vendors are organized, by relocating the Banjarsari street sellers into the market traders in “Pasar Klithikan Notoharjo”. Therefore, ther should be an attempt/ a strategy to enable the street sellers community adapting well in facing such change/movement so that such community will be empowered, escaped from the marginalization and proverty. The research method employed in this research was action research. The aspirations and obstacles the street sellers faces, particularly after the movement into the market trader, was collected through in-depth interview and Focused Group Discussion (FGD). Then, the information collected was used as the material for developing a model of street seller empowerment, particularly in adapting the street seller (informal sector) into market trader community (formal sector). Keywords : vendors, empowering, poverty PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberadaan komunitas sektor informal pedagang kaki lima (PKL) merupakan realita perekonomian kota dan perlu mendapat perhatian secara memadai dalam proses pembangunan. Tidak dipungkiri bahwa keberadaan PKL sering menimbulkan permasalahan dalam pembangunan kota, misalnya menimbulkan permasalahan kebersihan lingkungan dan keindahan, kesemrawutan lalu-lintas, potensi konflik yang relatif besar dan sebaginya. Namun demikian, PKL mempunyai kontribusi yang berarti bagi perekonomian masyarakat, terutama pada saat semakin sempitnya lapangan kerja. PKL perlu ditangani/ditata secara terpadu melibatkan semua pihak yang berkepentingan, manusiawi, dan berorientasi pada pemberdayaan komunitas PKL.
114
Di Kota Surakarta beberapa waktu yang lalu telah melakukan penataan PKL, salah satunya dengan cara merelokasi PKL Banjarsari menjadi pedagang pasar di Pasar Klithikan Notoharjo. Hal ini merupakan salah satu penangan PKL yang sekaligus bertujuan meningkatkan tarap hidup PKL. Bagi Komunitas PKL, hal ini tidak hanya menyangkut perpindahan lokasi usaha, namun terjadi perubahan yang fundamental, yakni perpindahan dari komunitas sektor informal sebagai PKL menjadi komunitas yang bekerja/berusaha d isektor formal sebagai pedagang pasar. Perpindahan dari PKL (komunitas sektor informal) menjadi pedagang pasar (komunitas sektor formal) sudah barang tentu memerlukan adaptasi/penyesuaian secara baik agar lebih berhasil setelah menjadi pedagang pasar. Kalau tidak dapat melakukan adaptasi secara baik, dikawatir-
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 kan terjadi kegagalan dan menyebabkan komunitas tersebut menjadi lebih marginal dan menjadi miskin. Sebagaimana dipahami bahwa komunitas yang berusaha/bekerja pada sektor informal, termasuk PKL, pada umumnya merupakan komunitas marginal yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan untuk melakukan usaha, antara lain: (1) minimnya modal, (2) rendahnya tingkat pendidikan, dan (3) kurangnya akses terhadap kebijakan pemerintah, informasi dan saranasarana ekonomi maupun sosial. Secara umum komunitas informal perlu diberdayakan agar meningkat taraf hidupnya. Keterbatasan-keterbatasan yang ada pada PKL sudah barang tentu dapat menjadi kendala bagi PKL dalam beradaptasi terhadap suatu perubahan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian kaji tindak (action riset) untuk mendapatkan model/strategi
adaptasi komunitas PKL menjadi pedagang pasar sekaligus bertujuan meningkatkan tarap hidup komunitas tersebut. Berdasar Roadmap penelitian “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal PKL” (Gambar 1), terlihat bahwa penelitian model/strategi adaptasi komunitas PKL menjadi pedagang pasar merupakan penelitian lanjutan. Trisni-Utami dkk. (2006) telah meneliti model pemberdayaan PKL melalui kerjasama antar stake holder. Sebagaimana dikemukan di atas bahwa relokasi komunitas PKL menjadi pedagang pasar merupakan penataan PKL yang sekaligus dimaksudkan untuk meningkatkan tarap hidup komunitas tersebut. Sebagai kelanjutan upaya pemberdayaan komunitas PKL, penelitian ini akan mengevaluasi dan berupaya mendapatkan model/strategi adaptasi komunitas PKL menjadi pedagang pasar agar komunitas tersebut menjadil lebih berdaya. Model Rekayasa sosial: pemberdayaan komunitas sektor informal PKL
Hasil dan Pengembangan Teknologi
Penelitian aksi: Model Penangan PKL Berbasis Pemberdayaan
Penelitian Fundamental: Karakterisasi
Tahap Kegiatan
Pemberdayaan PKL melalui kerja sama antar steak holder: PKL menjadi pedagang pasar
Strategi Adaptasi Komunitas PKL menjadi Komunitas Pedagang Pasar
Identifikasi Potensi dan Peramasalahan PKL
Tahap-1
Tahap-2
Tahap-3
Tahap-4
Gambar 1. Roadmap penelitian pemberdayaan komunitas sektor informal PKL
B. Tujuan Penelitian Berdasar uraian latar belakang, penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pemberdayaan komunitas PKL, khususnya trategi adaptasi komunitas informal PKL menjadi pedagang pasar (dari sektor informal ke sektor formal). Penelitian ini mengkaji:
(a) Mengkaji penataan PKL di Kota Surakarta selama ini, baik keberhasilan yang telah dicapai maupun permasalahan yang terjadi, sebagai bahan pijakan penyusunan model dan strategi yang lebih baik dalam melakukan penataan PKL.
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
115
Jurnal Sosiologi
DILEMA
(b) Mengkaji secara bersama-sama upayaupaya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi PKL pasca relokasi di pasar Notoharjo Semanggi Kota Surakarta. (c) Menyusun Model Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan Sektor Informal PKL khususnya Pasca Relokasi. C. Hasil/ Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat berkontribusi dalam ikut serta menanggulngi kemiskinan, khususnya melalui pemberdayaan komunitas informal PKL. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan Metode Participation Action Reserch. A. Pendekatan Partisipatif Kepentingan pendekatan ini adalah emansipasi/pelibatan masyarakat. Metodemetode yang menggunakan pendekatan yang partisipatif ini (misalnya Participatory Rural Appraisal dan Participatory Action Research) bukanlah pendekatan yang ahistoris (terlepas dari pendekatan-pendekatan sebelumnya). Pendekatan ini banyak menggunakan metode-metode yang sudah ada, yakni menggunakan cara-cara yang digunakan dalam teori-teori antropologi, komunikasi, sosiologi, dll. B. Partisipasi Secara harfiah, partisipasi berarti “turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”. Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai “bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan” Kata ‘keterlibatan’ dalam definisi partisipasi sendiri ditafsirkan secara beragam oleh banyak kalangan.
116
C. Partisipasi Action Research Cukup banyak ragam dan pendekatan dalam proses perencanaan dan riset yang partisipatif, Di Indonesia program perencanaan yang difasilitasi oleh Pemerintah German Barat dan GTZ, metode perencanaannya disebut dengan ZOPP (Ziel Orientierte Projekt Planung) atau OOPP (Objective Oriented Project Planning- dalam bahasa Inggris). Semua proyek-proyek Pemerintah German Barat yang ditangani oeh GTZ diharuskan menggunakan metode ZOPP sebagai pendekatan untuk melakukan perencanaannya. Termasuk juga di Indonesia, di mana proyek-proyek yang dikembangkan oleh GTZ bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia juga menggunakan pendekatan/ metode ZOPP sebagai pendekatan dalam perencaannya D. Teknik Pelaksanaan a) Survei Pendahuluan Kegiatan ini merupakan konsolidasi awal antara peneliti dengan komunitas yang diteliti, khususnya untuk menemukan kesefahaman bersama, data-data sekunder pendukung dan berbagai aspek teknis dan komunikasi dengan komunitas yang diteliti. b)
Persiapan Teknis Kegiatan ini meliputi persiapan aspek administratif yakni perijinan, undangan, kepersertaan, waktu, tempat dan sarana pendukung lainya. Adapun tahapa selanjutnya adalah persiapan aspek sarana dan prasarana meliputi alat untuk dokumentasi, alat peraga, ATK, dan lain sebagainya.
c) Pembentukan Tim dan Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti utama di bantu 3 orang Asisten Peneliti disusun berdasarkan teknik yang dipilih dalam pendekatan PAR. d) Pelaksanaan Penelitian
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan Pemerintah Kota tentang Relokasi PKL di Surakarta Penataan dan Pembinaan PKL di Kota Surakarta pada awalnya menjadi tanggung jawab Dinas Pengelola Pasar (DPP) Kota Surakarta, yang pada akhirnya pada tahun 2001 dengan dibentuknya Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PPKL) Kota Surakarta, maka dilimpahkan kepada Kantor PPKL. 1. Kantor Pedagang Kaki Lima (PPKL) Kota Surakarta Ujung Tombak Penataan dan Pembinaan PKL Dasar pendirian Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PPKL) (Langgar Perda, 4 PKL dihukum Percobaan” [Berita] Solopos, 14 Juni 2007) adalah Perda No.6 Tahun 2001 tentang Struktur Organisasi dan Tata Perangkat Pemerintahan Kota Surakarta dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Walikota Surakarta No.41 Tahun 2001 tentang Pedoman Uraian Tugas Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima. Dalam pelaksanakan tugasnya didasarkan pada Perda No. 8 Tahun 1995 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima dan Keputusan Walikota Surakarta No. 2 Tahun 2001 Tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan perda No.8 Tahun 1995. 2. Penataan dan Pembinaan PKL di Surakarta Pasca Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Baru : Melebur dengan Dinas Pengelola Pasar. Berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Permendagri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, menjadikan Perda No.6 Tahun 2001 tentang Struktur Organisasi dan Tata Perangkat Pemerintahan Kota Surakarta sebagai dasar pendirian Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PPKL) Surakarta harus diperbaharui.
B. Profil Pasar Notoharjo Pasar Klithikan Notoharjo di bangun menghabiskan dana sebesar 5,5 Milyar yang diambil dari APBD tahun 2006. Lokasi Pasar Klithikan Notoharjo menempati tanah seluas 11.950 m2 dengan penggunaan lahan yaitu untuk bangunan kios seluas 6.108 m2, sarana dan prasarana seluas 5.800 m2 dan sisa lahan yang ada yaitu 42 m2. Di lokasi Pasar Klithikan Notoharjo sebelumnya telah berdiri bangunan Pasar Hasil Bumi (1997) yang dibangun oleh Pemda Surakarta menggunakan dana dari APBD Provinsi yang kemudian mangkrak (“Persiapan Kirab sudah Mencapai 95%. Malam ini, midodareni di Klithikan Notoharjo” [Berita}, Solopos, 22 Juli 2006), sehingga pada tanggal 30 Maret 2006, Pasar Hasil Bumi yang mangkrak ini mulai dirobohkan dan mulai dibangun Pasar Klithikan Notoharjo. 1. Kantor Pengelola Pasar Pasar Klithikan Notoharjo merupakan salah satu pasar yang dikelola di bawah Dinas Pengelola Pasar Surakarta (DPP), yaitu sebuah unit kerja di lingkungan Pemerintah Kota Surakarta yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan pasar. 2. Pelaku Pasar Klithikan Notoharjo Surakarta Terdapat tiga pelaku pasar sebagai pelaku yang menghidupkan aktivitas ekonomi di Pasar Klithikan Notoharjo, ketiga pelaku pasar tersebut meliputi Pedagang Kios, Pedagang Bronjong dan Pedagang Shelter. 3. Status Kepemilikan Kios Formalisasi keberadaan pedagang eks pedagang kaki lima Kawasan Monumen ’45 Banjarsari oleh pemerintah ditandai dengan pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP); Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal; Surat Hak Pe-
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
117
Jurnal Sosiologi
DILEMA
nempatan (SHP), Surat Izin Perusahaan (SIP) oleh Dinas Pengelola Pasar kepada pedagang. Penggunaan APBD dalam pembangunan pasar menegaskan bahwa bangunan tersebut merupakan milik pemerintah, sehingga transaksi jual beli kios merupakan tindakan illegal.
menjak masih berada di Monumen’45 Banjarsari. Koperasi Monjari ’45 merupakan salah satu pemenuhan janji Pemkot terhadap paket formalisasi pedagang kaki lima, yaitu penjaminan keberlangsungan usaha pedagang kaki lima pasca relokasi.
4. Retribusi Pedagang Pasar Klithikan Notoharjo dalam melakukan aktivitas ekonomi setiap bulannya dikenai retribusi dari pengelola pasar (DPP) dan PAM Swakarsa. Dasar hukum penarikan retribusi pengelola pasar adalah: (1) Perda Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Pasar; (2) Perda Kota Surakarta Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Retribusi Pasar; (3) Perda Kota Surakarta Nomor 11 Tahun 2003 tentang perubahan atas Perda Kota Surakarta Nomor 4 tahun 2001 tentang retribusi pelayanan Persampahan/Kebersihan; (4) Keputusan Walikota Surakarta Nomor 12 Tahun 2002 tentang Penetapan Tarip Pengganti Beaya Pembayaran Listrik Dalam Kompleks Pasar di Kota Surakarta.
C. Adaptasi Pedagang 1. Formalisasi Sebagai Peluang Ekonomi Formalisasi tidak sepenuhnya telah mempertahankan pedagang tetap berjualan di Pasar klithikan Notoharjo, tidak sedikit pedagang meninggalkan Pasar Klithikan Notoharjo karena tidak menyerap sepenuhnya tujuan dan caracara yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta untuk mengangkat martabat PKL dengan mendorong PKL untuk menjadi formal. Ada pedagang yang memang pergi dan menjual kiosnya, dan ada juga pedagang yang tetap mempertahankan kepemilikan kiosnya, tetapi mencari penghasilan di luar pasar.
5. Paguyuban Pedagang Terbentuknya HPKPN merupakan konsekuensi formalisasi terhadap keberadaan paguyuban-paguyuban yang eksis di Komunitas Pedagang Kaki Lima di Monumen ’45 Banjarsari. Sepuluh Paguyuban yang sebelumnya eksis dengan sendirinya bubar secara alamiah. Pembubaran paguyuban-paguyuban tersebut tidak sertamerta memadamkan semangat untuk terus berjuang dari pedagang untuk memperjuangkan kejelasan nasib pedagang pasca relokasi. 6. Koperasi Pedagang Koperasi Monjari ’45 merupakan koperasi binaan Pemkot Surakarta, dimana embrio pembentukannya telah digagas oleh Pemkot dan pedagang se-
118
2. Adaptasi Perilaku Pedagang Fungsi pasar sebagai sebuah tempat berjualan, merupakan pemknaan yang telah terkonstruksi oleh pedagang baik ketika masih berada di Kawasan Monumen ’45 Banjarsari, ataupun setelah menempati Pasar Klithikan Notoharjo, Pasar dimaknai sebagai sebuah tempat untuk bertemunya antara penjual dan pembeli. Pedagang ketika menempati lokasi di Monumen ’45 Banjarsari telah mencantumkan sebutan “Pasar Pedagang Kaki Lima” pada nota pembelian mereka. D. Penanggulangan Kemiskinan : Sebuah Penggalaman Action Research 1. Kebutuhan Pedagang Pasar Notoharjo Penelitian ini di desain menggunakan metode Partisipaory Action Research. Kunci utama metode ini adalah upaya peneliti untuk membuka diri berhubungan dengan konunitas yang dite-
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 liti guna membangun emansipasi. Pendekatan ini menekankan pentingnya proses sharing of knowledge antara peneliti dengan masyarakat di lokasi penelitian. Proses analisa dilakukan bersama peneliti dan masyarakat setempat. Hasil analisa tersebut langsung dikembalikan kepada masyarakat untuk selanjutnya disusun rencana tindakan bersama (oleh karena itu pendekatan ini disebut juga riset aksi). Ukuran dari pendekatan ini adalah terjadinya perubahan sosial, yaitu adanya adanya perumusan kebijakan di tingkatan Dinas Pengelola Pasar Pemkot Surakarta untuk komunitas Pedagang Pasar Klithikan Notoharjo. 2. Komitmen Pengambilan Kebijakan dalam Pengembangan Pasar Tradisional Visi Dinas Pengelola Pasar memperbaiki Citra Pasar, meliputi : Kebersihan, Ketertiban, Keamanan dn Kenyamanan sebagai salah satu tumpuan perekonomian Kota Surakarta. Visi-visi tersebut di realisasikan dengan menerapkan misi : membuka kesempatan bekerja dan berusaha warga masyarakat, menciptakan kemanan dan ketertiban masyarakat, Peneingkatan pelayanan kepada pedagang dan pengunjung, Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Pengelola Pasar. Sasaran : Lahan usaha bagi pedagang/pengusaha; Kondisi dan Situasi Pasar Bersih, Tertib, Aman dan Nyaman; Prasarana dan Sarana; Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. E. Rekomendasi Dari hasil kesimpulan diatas maka diperlukan upaya strategi pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan pedagang di Pasar Klithikan Notoharjo semanggi pasca relokasi antara lain : 1) Penguatan kapasitas bisnis atau pengembangan kewirausahaan di kalangan
2) 3) 4)
5)
6)
7)
pedagang baik melalui training atau capacity building untuk komunitas PKL Perlu pemberdayaan ekonomi melalui akses bantuan permodalan. Perlu dibangun komunikasi yang lebih dekat dengan para birokrat.. Perlu dibangun forum bersama antar stake holders dalam pengembangan pasar tradisional sehingga punya daya saing dengan pasar modern. Perlu Pendampingan pada para pedagang Pasar Klithikan Notoharjo di dalam pemecahan masalah terkait dengan kendala-kendala yang dihadapi di tempat yang baru. Penataan dengan pendidikan lingkungan agar tidak terjadi kekumuhan dan perilaku yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kebersihan pasar. Perlu Penguatan Komunitas Pasar Klithikan Notoharjo dalam membangun saya saing pasar tradisional di Surakarta.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasar penelitian ini dapat dikemukakan hal-hal berkaitan dengan adaptasi komunitas PKL menjadi pedagang pasar. Komunitas sektor informal di perkotaan merupakan salah satu kelompok masyarakat marginal yang perlu diberdayakan agar lebih mampu melakukan kegiatan ekonomi sehingga taraf-hidupnya meningkatkan dan lebih berkontribusi dalam pembengunan bangsa. Kelompok ini pada umumnya mempunyai keterbatasan-keterbatasan untuk melakukan usaha, antara lain: (1) minimnya modal, (2) rendahnya tingkat pendidikan, dan (3) kurangnya akses terhadap kebijakan pemerintah, informasi dan sarana-sarana ekonomi maupun sosial. Usaha-usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemahan ini perlu dilakukan agar kelompok masyarakat tersebut menjadi lebih berdaya dalam melakukan usaha, sehingga mereka tidak jatuh kedalam kemiskinan.
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
119
Jurnal Sosiologi
DILEMA
Perindahan lokasi usaha tersebut mengakibatkan perubahan pada mereka, dari komunitas PKL menjadi pedagang pasar sehingga mereka sekarang tergabung dalam komunitas/himpunan pedagang pasar tradisonal Notoharjo. Perubahan ini juga mengharuskan mereka untuk mampu beradaptasi. Proses pengambiilan kebijakan dalam pengelolaan pasar Notoharjo masih belum menyentuh pada pendekatan komunitas atau pedagang pasar itu sendiri. Kepentingan komunitas cenderung terabaikan dan belum diakomodir dalam pengembangan pasar. Pendekatan komunitas dan SDM turut menentukan keberhasilan daya saing pasar tradisional. Peran partisipasi Paguyuban belum mendapatkan perhatian secara memadai. Upaya pengembangan usaha dan pemberdayaan komunitas masih sangat kurang. Dilihat dari daya tahan, para pedagang pasar yang tadinya berasal dari komunitas PKL mempunyai potensi dan kemandirian usaha yang sangat baik, karena mereka mampu bertahan di masa pemindahan. Mereka sering dikenal sebagai “Small Scale Enterpreuneurs”. Pemberdayaan komunitas dalam upaya pengentasan kemiskinan dalam pengertian konvensional umumnya dilihat dari pendapatan (income). Oleh karena itu seringkali upaya pengentasan kemiskinan hanya bertumpu pada upaya peningkatan pendapatan komunitas. Pendekatan permasalahan kemiskinan dari segi peningkatan pendapatan (income) saja tidak mampu
120
memecahkan permasalahan komunitas, karena pemberdayaan komunitas bukan hanya masalah ekonomi, namun meliputi berbagai masalah yang kompleks. Bedasar hal-hal tersebut diatas, diperlukan upaya strategi pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan pedagang di pasar Notoharjo Semanggi Pasca Relokasi antara lain: 1) Penguatan kapasitas bisnis atau pengembangan kewirausahaan di kalangan pedagang baik melalui training atau capacity building untuk komunitas PKL 2) Perlu pemberdayaan ekonomi melalui akses bantuan permodalan. 3) Perlu dibangun komunikasi yang lebih dekat dengan para birokrat.. 4) Perlu dibangun forum bersama antar stake holders dalam pengembangan pasar tradisional sehingga punya daya saing dengan pasar modern. 5) Perlu Pendampingan pada para Pedagang pasar Notoharjo dalam pemecahan masalah terkait dengan kendalakendala yang dihadapi di tempat yang baru. 6) Penataan dengan Pendidikan Lingkungan agar tidak terjadi kekumuhan dan perilaku yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kebersihan pasar. 7) Perlu Penguatan Komunitas Pasar Notoharjo dalam membangun saya saing pasar tradisionaldi Surakar
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010
Daftar Pustaka
Agung Wibowo. Skripsi : “BUNGA TROTOAR” KE PEDAGANG KIOS (Studi Pemaknaan Formalisasi Pedagang Pasca Huni Relokasi Pedagang Kaki Lima Monumen ’45 Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo Kota Surakarta). Surakarta. Jurusan Sosiologi FISIP UNS. 2009 Agus Dody Sugiartoto, Perencanaan Pembangunan Parsitipatif Kota Surakarta, Pendekatan Pembangunan Nguwongke-Uwong, Surakarta : IPGI, 2003 Alif Basuki dan Yanu Endar, Memusiumkan Kemiskinan, Saatnya Suara si Miskin Didengar Dan Menjadi Dasar Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah, Pattiro Surakarta, 2007 Bartley. M, Unemployment and Ill Health: Understanding the Relationship. Journal of Epidemiology and Community Health.1994; 48 (4):333–37. Benneth, J.W. Human Behaviour and Environment, Plenum Press, London.1976 Chriswardani Suryawati, 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. JMPK Vol. 08/No.03/September/2005 Cyert & Much. A. Behavioral Theory. Englewood Cliffs. 1963 Etzioni, A. & Halevy, Eva Etzioni- (eds). Social Changes: Sources, Patterns and Consequences. Basic Books, New York. 1973 Everett E. Hagen. On The Theory of Social Change; How Economic Growth Begins. Illinois. The Dorsey Press.1962 Friedman, J. Urban Poverty in America Latin, Some Theoritical Consideration, Dag Hammarskjold Foundation. Upsala.1979 Goodman. Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Prenada Media. 2004 Hardesty, Ecological Anthropology, New York, Chechester, Brisbane, Toronto, 1977. Hidayat. “Situasi Pengangguran, Setangah Pengangguran dan Kesempatan Kerja di Sektor Informal”. Bandung: PPES UNPAD, 1983 Indriyati Suparno, Masih Dalam Posisi Pinggiran, SPEKHAM Surakarta, 2005 Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, California, Wadsworth Publishing Company, 1990, hal. 51 Kemmis, S. and Mc.Taggert, R., The Action Research Planner. Dankin University, 1988. Koento, Wibisono. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Aygus Comte. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1983 Lewis, Oscar. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 1996:7-11. M. Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit” (Studi Radikalisasi Sosial Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta), Surakarta : LPTP, 1999 Mc. Clelland, The Achieving Society. Van Nostrandt Reinhald Co. New York. 1961. Muttia, S. 1991. Penduduk dan Perubahan Lingkungan di Marunda Pulo, Studi tentang Stress, Adaptasi, Disertasi Antropologi UI, Jakarta.1991
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
121
Jurnal Sosiologi
DILEMA
Onny S. Prijono, Pemberdayaan; Konsep, Kebijakan dan Implementasi, CSIS. Poloma, Margaret. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pres. Praptono Djunedi. 2004. Tinjauan Teoritis Dan Empiris Kemiskinan Di Indonesia Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 8, Nomor 4 Desember 2004. Robert K. Marton, Social Theory and Social Structure, New Delhi, American Publishing, 1981, hal. 193. Rogers. Communication of Inovation and Cross Cultural Approach, New York.1972 Scott,James. Moral Ekonomi Petani. Bandung: Bina Aksara, 1985. Sigit Wibowo dkk, Bergerak Dari Komunitas, Jari Indonesia, 2004. Smelser, Neil. Toward Theory of Modernization dalam Amitai Etzioni dan Eva Etzioni (Ed), Social Change. Basic Books. New York.1964:268–84. Soerjono Soekanto, Kamus sosiologi, Jakarta : Rajawali Press, 1985, h.10. Sulton Mawardi dan Sudarno Sumarto. 2003. Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin (Fokus : Pro-poor Budgeting). Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Sulton Mawardi dan Sudarno Sumarto. 2003. Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin (Fokus : Pro-poor Budgeting). Jakarta : Lembaga Penelitian SMERU. Sunyoto Usman, Di antara Harapan Dan Kenyataan, CIRed, Yogyakarta,2004. Sunyoto Usman. Jalan Terjal Perubahan Sosial.CIReD Yogyakarta,2004. Sunyoto Usman. Ruang Malioboro.Yogyakarta:UGM, 2005. Suparlan P, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Jakarta.1980. Supriatna, Tjahya. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora Utama Press. Bandung.1997. Tara Suprobo, Ingan Ukur Tarigan, Daniel Weiss. 2007. Laporan Teknis Sektor Informal Di Indonesia Dan Jaminan Sosial. Jakarta: Kementrian bidang Kesejahteraan Rakyat, Departemen Kesehatan, GTZ Theodorson, GA, Modern Dictionary of Sociology, New York, Thomas Crowell, 1970, hal. 5 Tim Kerja Stakeholders City Developmen Strategy (CDS) Kota Surakarta. 2003. Kharakteristik Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Surakarta (Sebuah Penelitian dalam Rangka kajian pendalaman Issu Pedagang Kaki lIma (PKL) dengan Metode PRA (Participatory Rural Apprasial). Surakarta: Laporan Penellitian. Tim Kerja Stake-holders. Penelitian Kharakteristik Pedagang kaki Lima (PKL) di Kota Surakarta. 2003. Trisni Utami ,Transformasi Tenaga Kerja Dari Sektor Pertanian ke Sektor Informal Perkotaan. Skripsi S1 Sosiologi Fisipol UGM.1986. Trisni Utami, Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi, Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal (PKL) Melalui Kerjasama Antar Stake Holdeers Kota Surakarta UNS Surakarta- DIKTI, 2006. Trisni Utami, Pola Adaptasi Masyarakat Dalam Penerimaan Inovasi Pada Sistem Pertanian Peladangan, Studi Adaptasi Masyarakat Transmigran Rawajitu lampung Utara, Thesis UI.1994. Trisni Utami. 2005. Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Melalui Kemitraan Antar Stageholder (Studi Pada Komunitas Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta. Surakarta: Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I.
122
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 Trisni Utami. 2006. Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Melalui Kemitraan Antar Stakeholders (Studi Pada Komunitas Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta. Surakarta: Laporan Penelitian Hibah Tahun II Urban and Regional Development Institute (URDI). 2003. Studi Penanganan Ekonomi Informal di tingkat Lokal’. (‘Study of Informal Economy at Regional Level’). Jakarta: Info URDI Volume 15 Weinreb, L., Goldberg, R., Bassuk, E., Perloff,L, Determinants of Health and Services Use Patterns in Homeless and Low Income Ho used Children. Journal of Pediatrics.1998;102(3): 554–62.
Trisni Utami “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL), Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan”
123
Jurnal Sosiologi
DILEMA
GLOBALISASI
Sigit Pranawa Universitas Nasional Jakarta
Ketika kita membicarakan globalisasi ada beberapa pertanyaan muncul misalnya: apakah globalisasi merupakan suatu proses yang alami atau sebenarnya dikemudikan oleh kepentingan ekonomi politik Dunia Pertama? Juga pertanyaan apakah globalisasi sebagai proses demokratisasi atau sebenarnya dominasi? Pertanyaan ini menjadi penting karena globalisasi yang merupakan gejala abad ke-21, nampaknya semakin berdampak pada munculnya kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam Human Development report undp tahun 1999, disebutkan bahwa globalisasi menciptakan ancaman terhadap negara berkembang, misalnya berupa kecemasan kehilangan pekerjaan, gangguan kesehatan, kekhawatiran kehilangan kebudayaan dan kehidupan masyarakat, kerusakan lingkungan serta kurang terjaminnya keamanan pribadi (Bisnis Indonesia, 16 Juli 1999). Dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan di India oleh Indian Social Institute disebutkan bahwa globalisasi bukanlah sebuah kekuatan yang alami (Suseno, Kompas 16 Maret 1998). Globalisasi dengan demikian tidak bisa dipandang sebagai satu ideologi yang tinggal diterima begitu saja. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hanya bagaimana harus dipersiapkan, ruang mana yang perlu dibuka dan diberikan pada proses itu, itu nampaknya yang perlu ditentukan oleh masing-masing negara. Hal itu pulalah yang nampaknya menjadi tantangan bagi negara berkembang utamanya
124
penentu kebijakan untuk mempersiapakn diri dalam mengantisipasi air bah globalisasi. Berkait dengan persoalan globalisasi tersebut, sejak awal buku Globalization Sosial Theory and Culture karya Roland Robertson ingin mengajak para pembaca untuk “bertamasya” dan melihat proses munculnya globalisasi dan sekaligus melihat globalisasi sebagai sebuah maslaah. Menurut Robertson, sebagai fenomena atas mengerutnya batas geografis dunia, globalisasi sebenarnya sudah terjadi selama berabad-abad. Namun dalam pengertian adanya saling ketergantungan global yang nyata dan munculnya kesadaran akan adanya kesatuan global baru muncul pada akhir abad ke-20, dengan penggunaan istilah globalisasi yang meluas dan bersilangasengkerut pada awal atau bahkan pertengahan tahun 1980-an. Dalam mencoba memperkaya tulisannya, Robertson memaparkan gagasan McLuhan mengenai desa global yang memiliki pengaruh besar sehingga terjadi sebuah revolusi ekspresi di tahun 1960-an dan gagasan Albrow tentang tahapan sejarah berkait dengan globalisasi yang disebutnya universalisme; sosiologi nasionalis; internasionalisme; indegenisasi dan globalisasi. Robertson juga tertarik pada gagasan Dumont tentang dunia sebagai sebuah kesatuan, bahwa dunia dalam totalitasnya harus dipahami terdiri dari serangkaian hubungan antar masyarakat dunia di satu sisi, dan keunikan diri di sisi lain. Ia menegaskan bahwa kecenderungan akan upaya penyatuan dunia merupakan hal yang tidak dapat Sigit Pranawa “Globalisasi”
ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 ditawar-tawar lagi. Dan sistem global ini adalah sebagai sistem yang secara lebih sadar diri ditempatkan dalam sistem aturan dan hukum global terkait dengan sistem perdagangan ekonomi dan kesadaran ekonomi global sebagai sebuah kesatuan. Dunia dipandang sebagai sebuah kesatuan, khususnya mengenai sistem ekonomi global. Pembaca tanpa terasa dihantarkan dan dipandu memasuki isu globalisasi yang luas di mana dalam perkembangannya mengalami suatu proses yang luar biasa. Bukan saha istilah globalisasi yang seringkalui dipergunakan secara longgar, bahkan kontradiktif. Robertson juga mengajak pembacanya untuk memahami bagaimana aktiraktor, secara kolektif maupun individu, memahami dunia dalam pengertian analitis dan interpretatif. Di sinilah sebenarnya letak keuatan tulisan Robertson tentang globalisasi. Ia memaparkan satu model analisis dalam kaitannya dengan globalisasi, yang meliputi empat aspek utama mengenai globalisasi: masyarakat nasional; individu (diri); hubungan antar masyarakat nasional atau sistem masyarakat dunia; dan umat manusia. Berkaitan dengan karakteristik kebudayaan menurut Robertson dapat ditemui dalam latar belakang masyarakat bangsa atas ilmu sosial modern dan teori sosial berikut. Pertama, pemikiran bangsa Jerman berkait dengan masalah kebudayaan sejati dalam hubungannya dengan persoalan distorsi sosial ilmu pengetahuan. Kedua, minat bangsa Perancis mengenai struktur variasi pemikiran manusia dalam struktur sosial. Ketigam pemikiran bangsa Inggris yang banyak berkait dengan persoalan kedekatan alamiah kebudayaan dan hubungan serta struktur sosial yakni kebudayaan sebagai pandangan hidup masyarakat. Dan keempat, konsepsi kebudayaan Amerika yang bersifat utilitarian, dengan pandangan bahwa pola-pola kebudayaan diciptakan oleh individu dalam latar belakang dan lingkungan sosial khusus. Sigit Pranawa “Globalisasi”
Robertson juga memaparkan alur temporal historis hingga kondisi global saat ini. Tahap I, disebut juga tahap awal yang berlangsung sejak awal abad ke-15 hingga abad ke-18. Tahap ini merupakan tahap pertumbuhan komunitas bangsa yang muncul dan sistem internasional jaman Pertengahan. Adanya perluasan jangkauan gereja Katolik dan penyebaran kalender Gregorian. Tahap II adalah Tahap Pertumbuhan, yang diwarnai oleh terjadinya pergeseran yang tajam menuju ide-ide negara homogen, bersatu, kristaliasi konsep hubungan internasional formal, standarisasi konsep individu warga negara dan konsep manusia secara kongkrit. Pergeseran ini meningkat dalam aturan hukum yang berkait dengan aturan dan komunikasi internasional dan transnasional. Tahap III, atau tahap Lepas Landas, adalah periode di mana tujuantujuan globalisasi dari periode sebelumnya terbukti dan memberi bentuk tunggal yang tidak dapat ditawar lagi, karena itu memaksa masyarakat bangsa, individu, masyarakat internasional tunggal dan makin singular, namun bukan penyatuan umat manusia. Tahap IV atau Tahap Perjuangan demi hegemoni ditandai dengan perselisihan dan perdebatan mengenai pola-pola proses globalisasi dominan yang dibangun pada akhir tahap lepas landas. Terakhir Tahap V atau Tahap Ketidakpastian, yang ditandai meningkatnya masalah Hak Azasi Manusia, percepatan dalam komunikasi global dan institusi pergerakan global. Masyarakat menghadapi masalah polietnisitas dan multikulturalis, adanya hakhak warga negara yang menjadi permasalahan global, pergerakan lingkungan, Islam sebagai pergerakan reglobalisasi/deglobalisasi serta sistem internasional yang mengambang. Dalam bukunya tersebut, Robertson juga membahas tentang modernisasi, globalisasi sebagai problem kebudayaan dalam teori Sistem Dunia yang dikembangkan Wallerstein. Juga tentang globalitas, kultur global dan citra tentang tatanan dunia yang dikembangkan oleh Haferkamp dan Neil Smelser.***
125
Jurnal Sosiologi DILEMA
PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL ILMIAH DAN PENELITIAN SOSIAL DILEMA SOSIOLOGI
Jurnal Ilmiah dan Penelitian Sosial DILEMA (Dialektika Masyarakat) SOSIOLOGI menerima naskah Ilmiah berupa hasil penelitian atau artikel dalam bidang Ilmu Sosiologi. Adapun pedoman penulisan naskah adalah : 1. Naskah belum pernah dimuat atau sedang diajukan untuk dimuat dalam media publikasi lainnya. 2. Naskah diketik pada kertas HVS ukuran A4/kwarto, dengan jarak 1,5 spasi, font 12 (margin : atas – bawah – kanan 3 cm, kiri 4 cm), disket disertakan. 3. Judul naskah seluruhnya ditulis dengan huruf besar dilengkapi dengna judul dalam bahasa Inggris. Di bawah judul ditulis nama para penulis (tanpa gelar), dan tambahkan catatan kaki tentang instansi dan jabatan penulis. 4. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris untuk naskah berbahasa Indonesia dan sebaliknya (maksimum 250 kata). 5. Sistematika penulisan naskah terdiri atas : a. Hasil Penlitian : Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Ucapan Terima Kasih (kalau ada), Daftar Pustaka. b. Artikel : Pendahuluan, Pembahasan, Penutup, Daftar Pustaka. 6. Penulisan daftar pustaka berpedoman pada contoh berikut : a. Terbitan Berseri : Leibo, Jefta. 2003. Pemberdayaan Perempuan di Kawasan Timur Indonesia, Wanodya, Jurnal Ilmiah Penelitian Kajian Wanita dan Gender, No. 15 Tahun XIII, 51 – 55. b. Buku : Kuhn, Thomas. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. (1st and 2nd ed). University of Chicago Press. Chicago. c. Makalah Seminar : Haryono, Bagus. (2004, Oktober). Menemukan Model Kontrol Sosial yang Efektif. Makalah disajikand alam Seminar Hasil Penelitian Dosen Muda. Surakarta. d. Tulisan yang tidak dipublikasikan : Utami, Trisni. 1994. Pola Adaptasi dalam Penerimaan Inovasi pada Sistem Pertanian Peladangan di Daerah Transmigrasi Rajawajitu Lampung Utara. Tesis (S2) yang tidak dipublikasikan. Program Studi Ekologi manusia. Unversitas Indonesia. Jakarta. 7. Redaksi berhak mengubah naskah dengna tidak mengurangi pokok isi tanpa ijin penulis. Demikian syarat penulisan yang harus ditaati setiap calon penulis. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.
126