Survey Trust Pada Masyarakat Kota Jakarta Terhadap Elit Politik Handrix Chrisharyanto, Tia Rahmania, Ahmad Ramadhoni Mubarok, Agung Budi Dopo, Hafil Fauzi, & Erdizal Fajri. Program Studi Psikologi Universitas Paramadina PENDAHULUAN Melihat Indonesia dari kacamata media massa dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat ibarat disuguhi sebuah kapal yang seolah akan pecah. Mayoritas headline menyembulkan pesimisme soal pembangunan bangsa dan negara ke depan. Bahkan beberapa kalangan santer menyuarakan bahwa saat ini Indonesia hampir menjadi negara gagal (Nurullah dan Hakim, 2011). Pernyataan tersebut dapat menjadi kenyataan mengingat krisis multidimensional (politik, ekonomi, dan sosial) yang melanda negri ini sudah sangat kronis yang apabila tidak mendapatkan penanganan serius dari bangsa ini maka dapat dipastikan kegagalan tersebut akan menjadi kenyataan. Salah satu krisis yang terkait dengan multidimensional ini mengarah pada permasalahan politik di negeri ini. Keberadaan politik di negeri ini tidak jarang disamakan dengan hal yang tidak baik dan mengarah pada kata kotor. Kondisi tersebut memunculkan suatu persepsi di masyarakat akan ketidakpercayaan terhadap politik dalam hal ini para elit politik sebagai pelaku dalam politik. Realitas akan ketidakpercayaan terhadap politik salah satunya digambarkan melalui survey yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia. Hasil survey melaporkan bahwa kepercayaan publik terhadap politisi di Indonesia turun drastis. Kepercayaan tersebut kini hanya tinggal 23,4 persen. Sementara yang tidak percaya sebesar 51,3 persen, dan sisanya tidak tahu. Survei yang dilaksanakan pada 5-10 September 2011 dengan 1200 responden ini menemukan bahwa jumlah tersebut menurun drastis dibanding tahun 2005. Saat itu tingkat kepercayaan publik maupun citra positif DPR masih sebesar 44,2 persen. Politisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tokoh tokoh yang yang dipilih rakyat melalui mekanisme pemilu, seperti presiden, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, dan mantan anggota DPR (www.pelitaonline.com). Ada tiga hal menurut LSI (www.tempo.co) menjadi faktor utama dalam menurunnya kepercayaan publik terhadap elit politik yakni pertama, banyaknya politisi yang terjaring kasus korupsi dalam enam tahun terakhir. Kedua, munculnya pemain baru yang "powerfull" dalam mafia jaringan korupsi di DPR seperti korupsi di Kemenpora dan Kemenakertrans menunjukkan adanya oknum lintas partai yang memainkan anggaran di tingkat Badan Anggaran DPR, dan yang terakhir memburuknya citra politikus di mata publik, menurut LSI, karena perkembangan media sosial. Setiap isu
buruk yang berkembang mengenai politikus, termasuk oknum di Badan Anggaran, segera mendapat tanggapan dari publik. Dengan mudah, isu buruk politisi meluas dan menyebar tanpa disensor oleh siapa pun. Ini membantu menurunnya persepsi positif terhadap politikus secara masif dan cepat. Hasil survey tersebut menguatkan adanya permasalahan kepercayaan pada kondisi politik di masyarakat dalam hal ini keberadaan akan elit politik. Jika menilik lebih jauh secara konsep, elit politik menurut Surbakti (1999) merupakan sekelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Mereka (elit politik) yang memiliki sumber kekuasaan yang memiliki kekuasaan politik, dan jumlah yang memiliki kekuasaan politik sedikit sekali, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam masyarakat negara. Lebih lanjut kewenangan politik yang dimiliki oleh elit politik melekat pada lembagalembaga pemerintahan seperti badan-badan perwakilan rakyat, presiden, menterimenteri, birokrasi, pejabat-pejabat tinggi negara dan pengadilan (Surbakti, 1999). Kepercayaan dalam konsep psikologi digambarkan oleh Hardin (Igarashi dkk, 2008) sebagai sebuah harapan mengenai perilaku orang lain atau kelompok lain. Fukuyama (2002) lebih jauh menjelaskan bahwa kepercayaan merupakan pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu. Keberadaan akan kepercayaan dalam realitasnya sangat penting terkait dengan keberadaan masyarakat dan politik. Seperti halnya diungkapkan oleh Blind (2006) bahawa kepercayaan merupakan sebagai salah satu dari unsur-unsur terpenting dimana legitimasi dan penopang sistem politik di bangun. Sebab salah satu faktor terpenting di dalam nilai yang mendasari legitimasi adalah dapat dipercayanya pemerintah (Levi, Tyler, dan Sacks, 2009). Nilai positif di dalam kepercayaan juga mampu untuk menjalin hubungan interpersonal serta mendekatkan individu kepada tujuan yang bersifat konstruktif antara satu sama lain (Tanis & Postmes, 2005). Kepercayaan juga mampu memperkuat kerjasama antar individu (Igarashi dkk, 2008). Mendasarkan pada asumsi tersebut keberadaan akan kepercayaan antara masyarakat dengan para elit politik mampu menjadi dasar di dalam usaha membangun negara ini dengan tujuan kesejahteraan bagi bersama. Berdasarkan pada asumsi-asumsi yang sudah digambarkan sebelumnya, maka upaya untuk memahami dinamika psikologis kepercayaan pada masyarakat khususnya di Jakarta ini menjadi salah satu hal yang menarik untuk dikaji. Ketertarikan ini tidak terlepas dari kota Jakarta sebagai ibu kota negara, pusat pemerintahan, pusat ekonomi negara, heterogenitas masyarakatnya hingga dianggap sebagai barometer dalam perpolitikan nasional. METODE Subjek penelitian
Penelitian ini menggunakan unit analisis individu. Individu yang digunakan dalam penelitian ini merupakan warga masyarakat kota Jakarta yang meliputi 5 kotamadya (kodya) Jakarta, yakni Kodya Jakarta Pusat, Kodya Jakarta Barat, Kodya Jakarta Timur, Kodya Jakarta Selatan, Kodya Jakarta Utara dan 1 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 468 orang. Metode, sampling dan analisis data Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode survei. Bowling (2002) menjelaskan survei bertujuan untuk mengukur sikap, pengetahuan, dan perilaku dan untuk mengumpulkan informasi secara akurat. Creswell (2009) menambahkan bahwa survei menyediakan gambaran kuantitatif dan angka-angka sikap, atau opini dari populasi dengan cara mempelajari sampel populasi. Teknik pengumpulan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling. Menurut Hultsch (2002) pengambilan sampel secara convinience mengarahkan pada pengambilan sampel secara nonrandom. Peneliti dalam hal ini akan mencari sampel yang memiliki kesediaan untuk dijadikan sampel di dalam penelitian. Pemilihan metode pengambilan sampel ini dikarenakan pada saat proses penelitian tidak semua orang mau mengisi kuisioner dan bersedia menjadi kuisioner. Kriteria sampel di dalam penelitian ini yakni: (1). warga jakarta, termasuk kedalam 5 kotamadya dan 1 kabupaten. (2). Sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin (UU Pemilu). (3). Memiliki KTP Jakarta. (4). Tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis konten berdasar pada pertanyaan terbuka yang akan dilakukan pengkodingan terhadap hasil jawaban responden. Pengkodingan (Kerlinger & Lee, 2000) dilakukan untuk memberikan gambaran terjemahan terkait respon yang muncul dari pertanyaan yang diajukan serta informasi dari responden terkait kategori-kategori khusus yang menjadi tujuan analisis. Pengkodingan pada dasarnya juga suatu analisis terhadap data faktual dari hasil respon yang diperoleh dan menetapkan kategori-kategori atau kelas. Setelah melalui proses pengkodingan maka tahap pentabulasian dilakukan untuk mencatat jumlah respon dalam kategori yang sesuai, setelah dilakukan analisis statistik: persentase, rata-rata dll. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Responden Penelitian Responden penelitian ini berjumlah 468 orang. Gambaran responden penelitian tercantum dalam gambar di bawah ini:
Daerah 11%
Jakarta selatan
15%
jakarta barat
21%
21%
11%
Jakarta Pusat Jakarta Timur
21%
Jakarta Utara Kepulauan Seribu
Gambar 1. Daerah/Lokasi Gambar di atas menunjukkan bahwa lokasi atau daerah responden. Sebesar 21% responden dari Jakarta Barat, 21% responden dari Jakarta Utara, Jakarta Timur sebesar 11%, Jakarta Selatan 15% responden, Jakarta Pusat 21% dan Kepulauan seribu sebesar 11%.
Jenis kelamin 1%
Laki-laki
38%
perempuan 61%
blank
Gambar 2. Jenis Kelamin Gambar di atas menggambarkan bahwa jenis kelamin responden dalam penelitian ini 61% adalah laki-laki, 38% perempuan dan ada 1% responden yang tidak mengisi tabel jenis kelamin pada kuisioner.
Usia responden prosentase 85,04%
13,89%
dewasa awal
dewasa madya
0,64% lansia
0,43% blank
Gambar 3. Usia responden Berdasarkan pada gambar 3 terlihat bahwa presentasi usia responden dapat dibagi menjadi usia dewasa asal (18-40 tahun) sebanyak 85,04%, usia dewasa madya (4160 tahun) sebanyak 13,89%, usia lansia (lebih dari 61 tahun) sebesar 0,64% dan 0,43% tidak mengisi tabel usia pada kuisioner.
Pendidikan responden prosentase 62,61%
7,26% 6,20%
17,74% 0,21% 1,50%
2,14% 0,85% 0,43% 0,21% 0,85%
Gambar 4. Pendidikan responden Berdasarkan pada data di atas tergambar bahwa pendidikan responden dalam penelitian ini adalah 7,26% lulus SD, 6,20% lulus SMP, 62,61% lulus SMA, 0,21% lulus D1, 1,50% lulus D3, 17,74% lulus S1, 2,14% lulus S2, 0,85% lulus S3, 0,43% tidak sekolah, 0,21% lainnya dan 0,85% tidak mengisi untuk data pendidikan.
Pekerjaan prosentase 43,59% 26,71% 10,47% 2,99%7,91%7,69%
0,21% 0,43%
Gambar 5. Pekerjaan responden Berdasarkan pada gambar 5 terlihat bahwa pekerjaan para responden dalam hal ini 43,59% adalah pegawai swasta, 10,47% adalah pedagang, 26,71% masih kuliah, 2,99% sebagai pegawai negeri sipil, 7,91% lainnya (ibu rumah tangga, tukang ojeg, dokter, buruh, nelayan), 7,69% tidak bekerja, 0,21% sebagai TNI/POLRI, dan 0,43% responden tidak mengisi tabel pekerjaannya di kuisioner. Tingkat kepercayaan responden pada elit politik. Berdasarkan pada hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa adanya tingkat kepercayaan yang rendah para responden terhadap para elit politik. Elit politik dalam hal ini digambarkan oleh responden dengan keberadaan pihak eksekutif (presiden dan jajarannya), legislatif (DPR dan jajarannya), Yudikatif (MPR dan jajarannya), serta keberadaan para politikus pada partai politik. Tingkat kepercayaan yang ada pada para responden secara keseluruhan digambarkan sebagai berikut:
Kepercayaan pada elit politik 12%
2% tidak ya 86%
abstain
Gambar 6. Tingkat kepercayaan pada elit politik Mendasarkan pada gambar 6 menunjukkan bahwa 86% responden menyatakan bahwa tidak percaya kepada para elit politik yang ada. 12% responden menyatakan
masih memiliki kepercayaan terhadap para elit politik dan 2% menyatakan abstain tidak memberikan jawaban. Untuk tingkat kepercayaan para responden berdasarkan pada jenis kelamin digambarkan sebagai berikut:
Tingkat kepercayaan terhadap elit politik pada responden laki-laki ya
tidak
abstain
2% 14%
84%
Gambar 7. Tingkat kepercayaan pada elit politik
Tingkat kepercayaan terhadap elit politik pada responden perempuan ya
tidak
abstain
3% 11%
86%
Gambar 8. Tingkat kepercayaan pada elit politik
Berdasarkan pada gambar 7 terlihat bahwa tingkat kepercayaan pada responden laki-laki masuk dalam kategori rendah dengan persentase ketidakpercayaan mencapai 84% dan hanya 14% yang menyatakan percaya serta 2% menyatakan abstain. Selain itu, pada gambar V.8 terkait dengan tingkat kepercayaan responden dengan jenis kelamin perempuan diketahui bahwa tingkat kepercayaan yang dimiliki
terhadap para elit politik juga masuk dalam kategori rendah dengan tingkat ketidakpercayaan mencapai 86% dan 11% menyatakan kepercayaan serta sisanya 3% menyatakan abstain. Berdasarkan pada tingkat pendidikan diketahui bahwa tingkat kepercayaan para responden adalah sebagai berikut:
Tingkat kepercayaan responden berdasar tingkat pendidikan 100,00% 80,00% 60,00% 40,00%
ya
20,00%
tidak
0,00%
abstain
Gambar 9. Tingkat kepercayaan pada elit politik
Berdasarkan pada gambar 9. diketahui bahwa tingkat kepercayaan pada responden tergolong rendah berdasarkan pada tingkat pendidikan yang ada. Dari 10 jenis tingkat pendidikan yang ada, hanya pada responden dengan karakteristik yang menyatakan tidak mengenyam pendidikan yang menyatakan percaya terhadap para elit politik. 9 tingkat pendidikan yang lain menyatakan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap para elit politik. Berdasarkan pada usia responden diketahui bahwa tingkat kepercayaan responden terhadap para elit politik tergolong rendah baik pada usia dewasa awal, dewasa madya dan juga lansia. Gambaran tingkat kepercayaan terhadap para elit politik berdasarkan pada usia responden dapat dilihat pada gambar 10.
Tingkat kepercayaan terhadap elit politik berdasar usia responden ya
tidak
abstain 100,00%
100,00%
0,00% 0,00%
0,00% 0,00%
86,93% 72,31%
24,62% 10,55%
2,51%
dewasa awal
3,08% dewasa madya
lansia
blank
Gambar 10. Tingkat kepercayaan pada elit politik
Berdasarkan pada jenis pekerjaan para responden diketahui bahwa tingkat kepercayaan juga tergolong rendah. Hal ini terlihat dari 7 jenis pekerjaan yang ada pada responden yang ada pada gambar 11 dibawah ini.
Tingkat kepercayaan responden berdasar jenis pekerjaan 100,00% 80,00% 60,00% 40,00%
ya
20,00%
tidak
0,00%
abstain
Gambar 11. Tingkat kepercayaan pada elit politik
Kondisi kepercayaan dan ketidakpercayaan berdasarkan pada gambar 6-11. sebelumnya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu:
10 besar faktor ketidakpercayaan prosentase 28,39% 18,59% 6,78% 6,53% 6,28% 6,03% 5,28%
2,26% 1,51% 1,01%
Gambar V.12. Faktor ketidakpercayaan terhadap elit politik.
Faktor-faktor elit politik masih bisa dipercaya prosentase 12,07% 8,62%
6,90%
5,17% 5,17%
3,45% 3,45%
1,72%
Gambar 13. Faktor-faktor elit politik masih bisa dipercaya.
Di dalam hasil penelitian yang sudah dilakukan, terlihat bahwa 10 besar faktor yang mempengaruhi ketidakpercayaan responden terhadap para elit politik dikarenakan elit politik dianggap suka berbohong (25,38%), korupsi (18,34%), tidak amanah (6,78%), banyak janji (6,53%). Mementingkan diri (6,03%), bermasalah (6,03%), tidak kompeten (5,78%), tidak bermoral (1,76%), tidak transparan (1,51%), dan tidak menggambarkan keadilan (1,01%). Selain faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpercayaan terhadap para elit politik, faktor-faktor yang dianggap para elit politik masih layak untuk dipercayai adalah
pandangan bahwa masih adanya para elit politik yang jujur dan dapat dipercaya serta elit politik diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan. Selain gambaran secara umum mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpercayaan terhadap elit politik, di bawah ini menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpercayaan terhadap elit politik berdasar jenis pekerjaan, jenis kelamin, tingkat usia, dan tingkat pendidikan.
10 besar faktor ketidakpercayaan thd elit politik berdasar jenis pekerjaan 50,00% 45,00% 40,00% 35,00% 30,00% 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00%
swasta kuliah pedagang lainnya tidak bekerja PNS TNI/Polri
Gambar 14. 10 besar faktor ketidakpercayaan pada elit politik berdasar jenis pekerjaan Berdasarkan pada gambar 14 terlihat bahwa para responden dengan berbagai macam jenis pekerjaan yang ada menggambarkan penilaian yang berbeda. Pada responden dengan jenis pekerjaan swasta tergambar bahwa penilaian terhadap elit politik banyak melakukan kebohongan lebih tinggi dibanding penilaian yang lain sebesar 25,91%. Untuk responden yang masih berada dalam tahap kuliah penilaian terbesar pada penilaian mengenai elit politik banyak melakukan kebohongan sebesar 19,55%. Untuk responden yang memiliki jenis pekerjaan pedagang, penilaian tertinggi pada gambaran elit politik banyak melakukan kebohongan dan melakukan korupsi yaitu dengan besaran persentase yang sama 26,53%. Untuk responden yang menyatakan dirinya tidak memiliki pekerjaan juga memberikan penilaian besar untuk kategori elit politik yang suka berbohong sebesar 23,68%. Untuk responden dengan jenis pekerjaan PNS memberikan penilaian terbesar untuk kategori elit politik suka korupsi dengan persentase sebesar 28,75%, TNI/POLRI memberikan penilaian terbesar untuk kategori elit politik suka berbohong dengan persentase sebesar 50% dan untuk responden dengan jenis pekerjaan lainnya diantaranya dokter, nelayan, tukang ojeg, ibu rumah tangga memberikan penilaian
terbesar untuk elit politik yang suka berbohong dan melakukan korupsi sebesar 13,16% untuk keduanya.
10 besar faktor ketidakpercayaan pada elit politik berdasar jenis kelamin 40,00% 35,00% 30,00% 25,00% 20,00% 15,00%
laki-laki
10,00%
perempuan
5,00% 0,00%
Gambar 15. 10 besar faktor ketidakpercayaan pada elit politik berdasar jenis kelamin. Berdasarkan pada gambar 15 terlihat bahwa berdasarkan pada jenis kelamin terlihat bahwa 10 besar faktor ketidakpercayaan terhadap elit politik bagi laki-laki dan perempuan banyak mengarah pada penilaian bahwa elit politik suka berbohong dan melakukan korupsi. Besaran persentase untuk kategori tersebut bagi responden laki-laki adalah 35,03% menyatakan elit politik suka berbohong dan 21,83% elit politik korupsi. Bagi responden perempuan besaran persentase yang ada menunjukkan bahwa 33,59% responden menyatakan elit politik suka berbohong dan 21,37% responden menyatakan elit politik melakukan korupsi.
10 faktor ketidakpercayaan terhadap elit politik berdasar tingkat pendidikan 100,00% 90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00%
bohong korupsi banyak janji mementingkan diri tidak kompeten bermasalah tidak amanah tidak transparan tidak bermoral tidak adil
Gambar 16. 10 besar faktor ketidakpercayaan pada elit politik berdasar tingkat usia. Berdasarkan pada gambar 16 memperlihatkan bahwa 10 faktor ketidakpercayaan terhada elit politik berdasarkan pada tingkat pendidikan dipahami bahwa bagi responden dengan tingkat pendidikan yang lulus SMA menyatakan tingkat ketidakpercayaan terbesar terhadap elit politik adalah suka berbohong dengan persentase sebesar 22,60%. Responden dengan tingkat pendidikan lulus S1 menyatakan ketidakpercayaan terbesar terhadap elit politik dikarenakan suka berbohong sebesar 30,12%. Responden dengan tingkat pendidikan lulus SD menyatakan ketidakpercayaan terbesar terhadap elit politik dikarenakan suka berbohong sebesar 23,53%. Responden dengan tingkat pendidikan lulus SMP menyatakan ketidakpercayaan terbesar terhadap elit politik dikarenakan suka berbohong sebesar 31,03%. Responden dengan tingkat pendidikan lulus S2 menyatakan ketidekpercayaan terbesar terhadap elit politik dikarenakan melakukan korupsi sebesar 20%. Responden dengan tingkat pendidikan lulus D3 menyatakan ketidakpercayaan terbesar terhadap elit politik dikarenakan suka berbohong, korupsi dan bermasalah dengan besaran persentase yang sama yaitu 14,29%. Responden dengan tingkat pendidikan lulus S3 menyatakan ketidakpercayaan terbesar terhadap elit politik dikarenakan suka berbohong, korupsi dan bermasalah dengan persentase yang sama yaitu 25%. Responden dengan tingkat pendidikan D1 menyatakan ketidakpercayaan terbesar terhadap elit politik dikarenakan banyak janji yaitu sebesar 100%.
10 faktor ketidakpercayaan berdasar pada tingkatan usia 50,00% 45,00% 40,00% 35,00% 30,00% 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00%
dewasa awal dewasa madya lansia blank
Gambar 17. 10 besar faktor ketidakpercayaan pada elit politik berdasar tingkat usia. Berdasarkan pada gambar 17 memperlihatkan bahwa 10 besar faktor ketidakpercayaan pada elit politik berdasarkan pada tingkatan usia yaitu pada usia dewasa awal penilaian terbesar terhadap elit politik adalah suka berbohong dengan persentase sebesar 26,13%. Untuk responden dengan usia dewasa madya penilaian terbesar terhadap ketidakpercayaan pada elit politik dikarenakan melakukan korupsi yaitu sebesar 15,38%. Dan untuk responden dengan usia lansia menyatakan ketidakpercayaan pada elit politik dikarenakan korupsi dan banyak berjanji dengan besaran yang sama sebesar 50%. Konstruksi kepercayaan terhadap elit politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi kepercayaan terhadap para elit politik dibangun dengan 10 kategori yaitu kejujuran, integritas, amanah, kepedulian, moralitas, kompetensi, ketegasan, kewibawaan, keterbukaan dan kebijakan. 10 kategori ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Konstruksi kepercayaan prosentase 39,32% 13,68%12,18% 8,33%
7,05% 6,20% 5,77% 2,78% 1,71% 1,50% 1,50%
Gambar 18. Konstruksi kepercayaan Berdasar pada gambar 18 di atas kepercayaan terhadap para elit politik pada dasarnya dibangun dengan adanya kejujuran (39,32%), integritas (13,68%), tanggungjawab (12,18%), kepedulian (8,33%), moralitas (7,05%), kompetensi (6,20%), ketegasan (2,78%), wibawa (1,71%), dan keterbukaan (1,50%). Pembahasan Faktor ketidakpercayaan terhadap elit politik Keberadaan akan kepercayaan pada dasarnya merupakan suatu modal yang mengarahkan pada bentuk kerjasama (Faturochman, 2000). Selain itu, keberadaan kepercayaan dalam dinamika bernegara merupakan pembentuk legitimasi akan keberadaan politik bagi para masyarakat (Blind, 2006). Lebih lanjut Blind (2006) menggambarkan bahwa kepercayaan terhadap politik pada dasarnya berkaitan dengan keberadaan sistem politik dan organisasi politik yang juga mengarah pada keberadaan individu yang berpolitik. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya kepercayaan ini bersifat sangat penting di dalam kemajuan suatu negara. Keberhasilan kerjasama dalam pembangunan disertai dengan adanya legitimasi atas keberadaan para elit menjadi daya penggerak yang positif. Berdasarkan pada hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 86% responden menyatakan bahwa tidak mempercayai para elit politik dan hanya 12% menyatakan percaya serta 2% sisanya menyatakan abstain. Elit politik dalam hal ini digambarkan oleh para responden sebagai pihak yang terkait dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Besarnya ketidakpercayaan tersebut dalam hasil ditunjukkan dengan adanya 10 gambaran besar yang menjadi pelanggaran kepercayaan terhadap para elit politik. Pada peringkat pertama sebesar 25,38% terkait dengan kebohongan. Solomon dan Flores (2001) menggambarkan bahwa kebohongan merupakan bentuk pelanggaran terhadap kepercayaan. Kebohongan ini di dalam suatu standar tertentu malah diberikan label pelanggaran yang utama di dalam rusaknya kepercayaan
antar kedua belah pihak. Kebohongan berkaitan dengan label adanya kecurangan dan dianggap tidak memiliki bentuk kepedulian terhadap pihak yang merasa dibohongi. Keberadaan para elit politik yang dirasa sudah banyak melakukan kebohongan menjadikan tingkat ketidakpercayaan responden menjadi tinggi. Faktor kebohongan ini tergambarkan dari pernyataan responden diantaranya berupa “sudah terlalu banyak membohongi masyarakat dengan janji-janji palsu” Korupsi menjadi faktor kedua terbesar setelah kebohongan tersebut. Korupsi dan kepercayaan dalam beberapa penelitian telah terlihat keterkaitannya. Di dalam penelitian Seligson (You, 2005) di empat negara Amerika Latin menjelaskan pada dasarnya bahwa keberadaan korupsi berpengaruh terhadap pengikisan kepercayaan pada sistem politik yang sudah ada serta mengakibatkan menurunnya kepercayaan interpersonal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Della Porta (Chang & Chu, 2006) menjelaskan bahwa perilaku korupsi menjadikan kepercayaan masyarakat menurun. Kepercayaan ini berkaitan dengan pandangan akan kapabilitas pemerintah di dalam memenuhi apa yang masyarakat inginkan. Kondisi tersebut sejalan dengan apa yang didapatkan pada penelitian ini yang menggambarkan bahwa para responden memiliki tingkat kepercayaan yang rendah dengan salah satu faktor yang mempengaruhi pandangan terhadap elit yang masih lekat dengan perilaku korupsi. Faktor ini tergambarkan dari pernyataan responden salah satunya adalah “kasus korupsi merajalela dimana-mana” dan “akhir-akhir ini banyak banyak politisi yang tersangkut korupsi”. Peringkat ketiga yang berpengaruh terhadap rendahnya kepercayaan pada elit politik adalah penilaian responden yang menyatakan bahwa tidak amanahnya para elit politik. elit politik dianggap tidak bertanggung jawab atas apa yang seharusnya dilaksanakan. pola perilaku yang tidak amanah oleh para elit ini dapat dijelaskan melalui konsep pelanggaran civic order (Bies dan Triep dalam Faturochman, 2000) yang berkaitan dengan posisi pihak yang sebelumnya sudah dipercaya melakukan pelanggaran tidak bertanggung jawab maupun berbohong. Para elit tidak menjalankan apa yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Pada posisi ke empat, keberadaan para elit politik yang dianggap lebih banyak berjanji tanpa merealisasikan apa yang sudah dijanjikan menjadi salah satu faktor yang menjadikan menurunnya kepercayaan responden terhadap para elit politik. kondisi banyaknya janji ini mengarah pada keberadaan elit politik yang dianggap ingkar. Hal ini menurut Bies dan Triep (Faturochman, 2000) bahwa adanya pengingkaran terhadap janji yang sudah dibuatnya merupakan bentuk pelanggaran kepercayaan yang berkaitan dengan civic order. Pengingkaran janji termasuk dalam pelanggaran nilai-nilai sosial khususnya berkaitan dengan kondisi menodai kehormatan yang seharusnya dipenuhi oleh orang yang sudah dipercaya sebelumnya. Pada peringkat kelima, faktor munculnya ketidakpercayaan terhadap para elit politik adalah adanya keyakinan para responden yang menyatakan bahwa para elit politik
hanya mementingkan dirinya sendiri. sumber kepentingan diri pada dasarnya berkaitan dengan proses terbentuknya kepercayaan yang mengarah pada dinamika calculus based trust (Nooteboom, 2006). Lewicky & Bunker (Faturochman, 2000) menjelaskan bahwa dalam model calculus based trust didasarkan pada perhitunganperhitungan maupun imbalan-imbalan yang dapat diterima dalam relasi sosial yang dijalankan. Ketika kepercayaan yang diberikan ternyata tidak mendapati sebuah imbalan yang seimbang, maka ketidakpercayaan malah akan muncul. Dalam hal ini, ketika elit politik dianggap sebagai pihak yang dipilih oleh masyarakat dan dirasa hanya memikirkan kepentingan diri sendiri maka ketidakpercayaan mulai meningkat. Masyarakat dalam hal ini menjadi pihak yang merugi akibat elit politik sebagai pihak yang dianggap mewakili dalam sistem politik ternyata tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat itu sendiri. Posisi keenam, berkaitan dengan penilaian responden bahwa para elit politik saat ini bermasalah. Bermasalah yang digambarkan dalam hasil penelitian ini mengarahkan pada keberadaan elit politik yang seringkali dihadapkan dengan permasalahanpermasalahan yang salah satunya tidak sedikit berkaitan dengan kasus-kasus hukum. Kondisi tersebut menurut Faturochman (2000) kembali lagi diarahkan pada bentuk pelanggaran kepercayaan yang berupa pelanggaran terhadap civic order. Secara khusus, keberadaan pelanggaran civic order ini menurut Bies & Triep (Faturochman, 2000) berkaitan dengan pelanggaran yang bersifat rule violation. Identifikasi yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut mengarah pada pihak yang dipercaya sebelumnya yaitu para elit politik telah melanggar aturan formal, memanipulasi aturan maupun mengingkari kontrak yang sudah ada. Pada peringkat ketujuh, keberadaan kompetensi menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya kepercayaan salah satu pihak terhadap pihak lain. Dalam hal ini keberadaan elit politik yang dianggap tidak memiliki kompetensi yang baik menjadi salah satu faktor yang menjadikan kepercayaan responden menurun. Kompetensi menurut Mishra (1996) merupakan salah satu bentuk dimensi di dalam membangun kepercayaan. Kompetensi ini menggambarkan bahwa pihak terpercaya dianggap memiliki kemampuan untuk menangani masalah yang dihadapi maupun memberikan masukan yang sesuai dan dapat diterima secara akal sehat. Ketika kompetensi dirasa tidak dimiliki oleh para elit, maka wajar ketidakpercayaan ini bisa menurun. Kondisi tersebut kembali lagi diarahkan pada apakah para elit politik memiliki kemampuan di dalam menjalankan negara ini dengan baik. Pada peringkat kedelapan, ketidakpercayaan terhadap para elit dipengaruhi oleh permasalahan mengenai moralitas. Para elit dianggap melakukan pelanggaran moral yang menjadikan kepercayaan menurun hingga 12%. Banerjee, Bowie, & Pavone (2006) menjelaskan bahwa pada dasarnya keberadaan kepercayaan berkaitan dengan konsep moral. Banerjee, Bowie, & Pavone (2006) menjelaskan lebih lanjut bahwa keberadaan moral berkaitan dengan norma maupun etika yang harus dipenuhi oleh pihak yang terpercaya. Perubahan posisi dari kepercayaan menjadi sebuah ketidakpercayaan yang terkait dengan moral dalam hubungan
sehari-hari bisa saja terjadi akibat pelanggaran yang didasarkan pada norma. Adanya pelanggaran norma yang menjadi kesepakatan bersama dianggap sama saja melakukan suatu pembohongan atau melanggar kontrak yang disepakati bersama. Posisi kesembilan, faktor ketidakpercayaan terhadap para elit terbentuk akibat adanya keyakinan pada responden tidak adanya transparansi. Hubungan kedua hal tersebut salah satunya telah dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Lee (2012). Mereka melakukan penelitian di Korea mengenai partisipasi masyarakat terhadap administrasi publik yang terkait dengan persepsi transparansi dan kepercayaan pada pemerintah lokal. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa, masyarakat puas terhadap pelaksanaan e-participant yang digagas pemerintah dan pemerintah dianggap memiliki bentuk responsif yang baik terkait dengan program tersebut. Meningkatnya partisipasi dan terlihatnya keputusan pemerintah lokal yang mempertimbangkan berdasar pada e-participant menjadikan persepsi masyarakat yang baik terhadap transparansi pemerintah lokal. Dengan kondisi tersebut menjadikan kepercayaan masyarakat menjadi baik terhadap transparansi pemerintah sehingga partisipasi masyarakat terhadap e-participant menjadi lebih tinggi. Selain itu, transparansi pada dasarnya juga berkaitan dengan persepsi positif mengenai kompetensi dan kebajikan dari pihak yang dipercaya (Grimmelikhuijsen, 2009). Peringkat yang kesepuluh berkaitan dengan konteks keadilan. Para elit politik dianggap kurang adil sehingga menurunkan kepercayaan dari para responden. Keterkaitan antara keadilan dan kepercayaan salah satunya dijelaskan oleh Colquitt & Rodell (2011) di dalam jurnalnya yang menggambarkan hubungan timbal balik antara keduanya. Keadilan pada dasarnya mempengaruhi bagaimana kepercayaan satu pihak terhadap pihak lain. Keadilan ini ditekankan pada keberadaan keadilan prosedural dan interpersonal berkaitan dengan keyakinan seseorang terhadap integritas dan kebajikan pihak tertentu yang menjadikan pihak tersebut dapat dipercaya. Selain itu menurut Mayer dkk (Bews & Martin, 2002) menjelaskan bahwa keadilan yang harus terpenuhi di dalam membangun kepercayaan ini erat kaitannya dengan persepsi seberapa jauh pihak yang terpercaya memiliki kepedulian kepada pihak yang mempercayai. Konstruksi kepercayaan terhadap para elit politik. Mendasarkan pada hasil penelitian yang ada, terlihat bahwa kepercayaan dibangun oleh 9 hal. 9 hal tersebut adalah kejujuran, integritas, tanggungjawab, kepedulian, moralitas, kompetensi, ketegasan, wibawa, dan keterbukaan. Pada dasarnya, beberapa ahli telah menggambarkan bahwasanya kepercayaan dibangun oleh beberapa dimensi. Seperti halnya penelitian Mishra (1996) mengenai kepercayaan terhadap pemimpin di perusahaan. Di dalam penelitian tersebut menggambarkan bahwa kepercayaan dibangun dengan multidimensi. Dimensi-dimensi tersebut adalah kompetensi, keterbukaan, kepedulian dan reliabilitas. Kompetensi dalam hal
ini berkaitan dengan kemampuan yang digambarkan oleh pihak yang terpercaya. Ketika pihak tersebut dianggap berkompeten maka kepercayaan dapat meningkat. Keterbukaan, digambarkan sebagai bentuk tidak adanya yang ditutup-tutupi di dalam proses sosial yang terbentuk. Menurut Mishra (1996) konsep keterbukaan ini juga berkaitan dengan kondisi tidak adanya kebohongan yang diungkapkan oleh pihak yang terpercaya tersebut. kepedulian, dijelaskan dengan keadaan yang mengarah pada perhatian pada kesejahteraan yang ada pada pihak lain dan bukan hanya dirinya saja yang diperhatikan. Adanya keseimbangan perhatian kesejahteraan antara dirinya dan juga kepada pihak lain yang masih menjadi tanggung jawabnya maka kepercayaan dapat terjaga dengan baik. Untuk konsep reliabilitas, penekanan yang diarahkan pada konsep ini adalah adanya konsistensi antara ucapan dan perbuatan. Ketika ucapan yang sudah ada sejalan dengan perbuatan yang dimunculkan maka kepercayaan terhadap satu pihak akan meningkat. Selain mengacu pada konsep yang dijelaskan oleh Mishra (1996), dimensi kompetensi, keterbukaan dan reliabilitas pada hasil penelitian sejalan dengan dimensi yang dijelaskan oleh Ancok (2003) yang menggambarkan bahwa di dalam kepercayaan terdapat beberapa dimensi yaitu kompetensi, keterbukaan, reliabilitas dan keadilan. Dimensi keterbukaan dan kepedulian pada penelitian ini sejalan dengan konsep yang digambarkan oleh Johnson & Johnson (2000) yaitu terkait dengan oppenness, sharing dan acceptance. Mendasarkan pada konsep yang sudah dijelaskan oleh Mishra (1996), Ancok (2003) serta Johnson & Johnson (2000) tersebut, sejalan dengan beberapa aspek yang ditemukan di dalam penelitian ini. Konsep kompetensi (Ancok, 2003) yang ada sejalan dengan konsep kompetensi dari hasil penelitian yang didapatkan. Kompetensi yang mengarahkan pada kemampuan dari pihak yang terpercaya digambarkan dengan salah satu pernyataan yaitu “kompetensi dalam melaksanakan tugas”. Konteks keterbukaan (Ancok, 2003) dan openness (Johnson & Johnson, 2000) sejalan dengan konsep jujur dan keterbukaan di dalam hasil penelitian. Kejujuran dalam hasil penelitian ini digambarkan dengan pernyataan “kejujuran dalam bersikap, berkata dan bertindak”. Keterbukaan dinyatakan dalam pernyataan “transparan terhadap hasil yang diperoleh”. Konteks kepedulian (Johnson & Johnson, 2000) yang sudah dijelaskan sebelumnya sejalan dengan konsep peduli terhadap rakyat. Hal ini sesuai dengan pernyataan “peduli sama rakyat”. Konteks reliabilitas sejalan dengan konsep integritas yang ada dengan pernyataan “mempunyai integritas tinggi”. Dimensi kepercayaan yang lain berdasarkan hasil penelitian berupa moralitas. Keberadaan moral dijelaskan oleh Hardin (2002) sebagai salah satu bentuk elemen yang membentuk kepercayaan. Di dalam sistem aturan moral, keberadaan moral ini terkait dengan aturan moral dalam kehidupan, aturan-aturan yang seharusnya seperti halnya sebuah norma, hingga berkaitan dengan kondisi ketika adanya konflik dengan oranglain. Keberadaan moral digambarkan seperti halnya kebaikan yang ada di dalam diri individu sehingga individu tersebut dapat dipercaya. Pernyataan
responden yang berkaitan dengan konteks moral ini salah satunya berupa “nilai-nilai luhur keagamaan dan budi pekerti”. Dimensi kewibawaan di dalam dinamika kepercayaan dijelaskan oleh Solomon dan Flores (2001) berhubungan dengan mempersepsikan seorang pemimpin. Keberadaan wibawa ini pada dasarnya berkaitan dengan power yang dapat diasumsikan dalam 2 bentuk. Yang pertama adalah power yang bersifat mengancam dan merusak serta yang kedua merupakan bentuk kewibawaan yang mengarahkan pada suatu legitimasi. Keberadaan kewibawaan ini pada dasarnya mengarahkan pada pengakuan terhadap kompetensi seorang pemimpin, bentuk mengakui serta menghormati, dan tidak diarahkan pada konteks perasaan takut terhadap pemilik power tersebut. Salah satu pernyataan yang berkaitan dengan kewibawaan ini dijelaskan oleh responden berupa “menunjukkan sikap yang baik dan berwibawa”. Dimensi tanggungjawab merupakan tiga besar di dalam pemenuhan kepercayaan bagi para responden. Keberadaan para elit politik yang bertanggung jawab merupakan dimensi yang harus dipenuhi untuk memunculkan kepercayaan itu sendiri. Solomon dan Flores (2001) menjelaskan bahwa pemenuhan tanggungjawab ini merupakan salah satu pondasi terbangunnya sebuah kepercayaan. Konteks kepercayaan ini sangat berkaitan dengan bentuk pemenuhan tanggungjawab personal atas apa yang sudah dijanjikan maupun yang sudah menjadi komitmennya, tindakan yang dimunculkan hingga berkaitan dengan konteks relasi. Pernyataan responden yang berkaitan dengan respon tanggungjawab ini salah satunya adalah “pribadi yang bertanggungjawab”. Dimensi kepercayaan yang berupa ketegasan ini menjadi salah satu pondasi yang harus dipenuhi seorang elit politik untuk bisa dipercaya. keberadaan konteks ketegasan ini seringkali terkait dengan posisi pihak terpercaya yang dianggap sebagai seorang pemimpin. Keberadaan ketegasan ini di dalam teori-teori kepemimpinan menjadi salah satu aspek yang harus dimiliki untuk bisa dikatakan sebagai pemimpin yang efektif. Menurut Suggerman, Scullard dan Wilhelm (2011) menjabarkan bahwa ketegasan merupakan penggambaran suatu kepercayaan diri seorang pemimpin. Situasi kepercayaan diri ini menurut Kirkpatrick dan Locke (1991) salah satunya menggambarkan bagaimana seorang pemimpin mampu mengambil suatu keputusan. Jika seorang pemimpin dirasa memiliki keraguan maupun ketidakyakinan di dalam pengambilan keputusan maka dapat menurunkan kepercayaan dari para pengikutnya. Kepercayaan diri ini juga memberikan pengaruh terhadap persepsi para pengikut yang menggambarkan bagaimana kompetensi seorang pemimpin. Pernyataan responden yang berkaitan dengan dimensi ketegasan ini salah satunya adalah “mengambil keputusan yang tegas dan bijaksana jangan sampai plinplan”.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian mengenai kepercayaan terhadap elit politik pada masyarakat kota Jakarta menunjukkan bahwa: 1. Responden menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah yaitu 86% menyatakan tidak percaya, 12% menyatakan percaya dan 2% menyatakan abstain. 2. Sepuluh besar ketidakpercayaan para responden disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah suka berbohong (25,38%), korupsi (18,34%), tidak amanah (6,78%), banyak janji (6,53%), mementingkan diri (6,03%), bermasalah (6,03%), tidak kompeten (5,78%), tidak bermoral (1,76%), tidak transparan (1,51%), dan tidak menggambarkan keadilan (1,01%). 3. Untuk membangun kepercayaan terhadap para elit politik setidaknya harus terpenuhi 9 dimensi kepercayaan yaitu adanya kejujuran, integritas, amanah, kepedulian, moralitas, kompetensi, ketegasan, wibawa, dan keterbukaan. Pemenuhan dimensi ini bergerak dari persentase tertinggi hingga terendah yaitu kejujuran (39,32%), integritas (13,68%), tanggungjawab (12,18%), kepedulian (8,33%), moralitas (7,05%), kompetensi (6,20%), ketegasan (2,78%), wibawa (1,71%), dan keterbukaan (1,50%). Saran 1. Untuk penelitian selanjutnya: a. Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan mengembangkan metode yang digunakan dengan melakukan multiple methode untuk mampu mencari gambaran yang lebih kompleks dan dinamis. Penggunaan multiple methode ini bisa memperdalam data yang diperoleh dengan tambahan metode FGD terkait hasil penelitian selain metode penelitian yang sudah dilakukan. b. Melakukan penelitian lanjutan terkait dengan mengembangkan kepercayaan yang pengaruhnya terhadap keberhasilan di mengimplementasikan kebijakan maupun regulasi di kalangan masyarakat.
konsep dalam
2. Bagi para partai politik: a. Melakukan seleksi calon anggota legislatif yang mewakili partainya dengan menjadikan 9 dimensi tersebut sebagai acuan. b. Partai politik harus mampu memberikan pembinaan-pembinaan dengan programprogram yang bertujuan untuk memunculkan kesembilan dimensi yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap para elit politik. c. Menjadikan kesembilan dimensi ini sebagai tema yang dapat dipakai untuk mensosialisasikan image partai pada masyarakat Jakarta.
3. Bagi pemerintah: a. Kesembilan dimensi kepercayaan ini dapat dijadikan acuan prioritas untuk bisa menyelesaikan banyaknya masalah yang dihadapi di lapangan khususnya terkait krisis kepercayaan yang sudah terjadi. b. Menjadikan dimensi kepercayaan ini sebagai visi dan misi yang melingkupi kinerja pemerintahan Jakarta. Daftar Pustaka Ancok, D. (2003). Modal sosial dan kualitas masyarakat. http://ancok.staff.ugm.ac.id/main/?p=60. (diakses pada tanggal 18 Januari 2012). Banerjee, S., Bowie, N. E., & Pavone, C. (2006). An ethical analysis of the trust realtionship. In Bachman, R & Zaheer, R (eds). handbook of trust research. Edward Edgar Publishing: United Kingdom. Bews, N & Martins, N. (2002). An evaluation of the facilitators of trustworthiness. Journal of industrial psychology; vol. 28; no. 4; p. 14-19. Blind, P. K. (2006). Building trust in government in the twenty first century: review of literature and emerging issues. 7th Global Forum on Reinventing Government Building Trust in Government 26-29 June 2007, Vienna, Austria. Bowling, A. (2002). Research methods in health (second edition). Mc Graw – Hill House. Berkshire, England. Chang, E. C. C. & Chu, Y. H. 2006. Corruption and trust: Exceptionalism in Asian Democracies?. The Journal of Politics, Vol. 68, No. 2. Colquitt, J. A. & Rodell, J. B. (2011). Justice, trust and trustworthiness: A longitudinal analysis integrating three theoritical perspectives. Academy of management journal; vol 54; no. 6; p. 1183-1206. Creswell, J. W. (2009). Research design: qualitive, quantitative, and mixed methods approaches (third edition). Sage Publications, Inc, Thousand Oaks, California, Printed in USA. Faturochman. (2000). Dinamika psikologi dan sosial kepercayaan (The dynamics of psychology and social trust), in Tantangan psikologi menghadapi milenium baru. Editor Supratiknya, Faturochman & S. Haryanto, Penerbit Yayasan Pengembangan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Fukuyama, F. (2002). Trust: kebajikan sosial dan penciptaan kemakmuran. Penerbit Qalam. Yogyakarta.
Grimmelikhuijsen, S. (2009). Transparency of local public decision-making: towards trust or demystification of government?. Paper. Presented in The 2009 Annual Conference of EGPA, Malta. Hardin, R. (2002). Trust and trustworthiness (The Russell Sage Foundation series on trust). New York: Russel Sage Foundation. Hultsch, D. F., MacDonald S. W. S., Hunter, M. A., Maitland, S. B., & Dixon, R. A. (2002). Sampling and generalisabilty in developmental research: comparison of random and covenience samples of older adults. International Journal of Behavioral Development, 26 (4), 345-359. Igarashi, T., Kashima, Y., Kashima, E. S., Farsides, T., Kim, U., Strack, F., Werth, L., & Yuki, M. (2008). Culture, trust, and social networks. Asian Journal of Social Psychology, 11, 88–101. Johnson dan Johnson. (2000). Joining together: group theory and group skill. Pearson Ed Company. New York. Kerlinger, F. N & Lee, H. B. (2000). Foundations of behavioral research: fourth edition. Harcourt College Publisher: USA. Kim, S & Lee, J. (2012). E-Participation, transparency and trust in local government. Public administration review vol 72 (6), 1-10. Kirkpatrick, S. A & Locke, E. A. (1991). Leadership: do traits matters?. Academy of management executive; vol. 5; no. 2; p. 48-61. Levi, M., Tyler T. & Sacks, A. (2009). The reasons for compliance with the law. Working paper. Australian: The United States Studies Center at The University of Sydney. Mishra, A. K. (1996). Organizational responses to crisis: The centrality of trust. In Kramer, R. J. & Tyler, T. R. (eds). Trust in organization: Frontiers of theory and research. Sage publication: London. Nurullah, A. & Hakim MS, A. (2011). Indonesia negara gagal?. http://www.jurnas.com/halaman/10/2011-11-08/188187 (diakses pada tanggal 17 April 2012) Solomon, R. C & Flores, F. (2001). Building trust in bussiness, politics, relationships and life. New York: Oxford University Press. Sugerman, J,. Scullard, M & Wilhelm, E. (2011). The 8 dimensions of leadership: DiSC strategies for becoming a better leader. Berrett-Koehler Publishing, San Fransisco. Surbakti, R. (1999). Memahami ilmu politik. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Tanis, M. & Postmes, T. (2005). Short communication a social identity approach to trust: Interpersonal perception, group membership and trusting behaviour. European Journal of Social Psychology Eur. J. Soc. Psychology. 35, 413–424. You, J. S. (2005). Corruption and inequality as correlates of social trust: Fairness matters more than similarity. Working Paper No. 29. The Hauser Center for Nonprofit Organizations and The John F. Kennedy School of Government Harvard University. http://www.hks.harvard.edu/hauser/PDF_XLS/workingpapers/workingpaper_2 9.pdf http://www.tempo.co/read/news/2011/10/02/078359443/Survei-LSI-Citra-PolitikusMerosot-Tajam. (diakses pada tanggal 28 Januari 2012). http://www.pelitaonline.com/read/politik/nasional/16/8246/kepercayaan-publikterhadap-politisi-anjlok/. (diakses pada tanggal 22 Januari 2012).