Konferensi Nasional Ikatan Sosiologi Indonesia, Malang 19-20 Oktober 2012 @ Multikulturalisme dan Kebudayaan Indonesia
Revitalisasi Tradisi, Pariwisata dan Skema Ekonomi-Politik Kota Akhmad Ramdhon @ Sosiologi Universitas Sebelas Maret
Abstrak Surakarta secara bertahap berubah pasca otonomi daerah. Kewenangan yang ada menetapkan pilihan-pilihan strategis untuk membangun kota. Salah satunya adalah skema solo masa depan adalah solo masa lalu. Kajian ini, hendak menjelaskan upaya peningkatan pembangunan lewat skema pengembangan pariwisata dalam konteks otonomi daerah. Pariwisata yang merupakan salah satu unggulan nasional menjadi daya dukung daerah yang mempunyai destinasi wisata maupun event wisata yang dapat dikelola menjadi pintu masuk bagi peningkatan ekonomi di daerah. Program yang mengitegrasikan sektor pariwisata dilakukan untuk menegaskan bahwa pariwisata telah memasuki sebuah fase yang lebih maju yaitu penata kelolaan yang lebih baik dan melibatkan pihak ketiga (dunia usaha) menjadi bagian dari perkembangan pariwisata. Efek multi player dari pariwisatalah yang kemudian dipercaya menjadi energi bagi semua pelaksanaan bentuk dan program-program pembangunan secara keseluruhan. Revitalisasi tradisi dan pariwisata didesain menjadi motor bagi bergeraknya sektor perdagangan dan sektor jasa serta kontribusi bagi bergeraknya ekonomi riil warga. Sekaligus menempatkannya menjadi salah satu prioritas pembangunan di Surakarta. Pilihan atas politik pariwisata, menurunkan komitmen dalam regulasi yang kemudian menjadi modla bagi bangunan dinamika ekonomi politik sesudahnya. Meningkatnya kemampuan daerah untuk mengembangkan kapasitas untuk pengembangan skema Pendapatan Asli Daerah tidak lepas dari upaya-upaya pembangunan secara umum dan khususnya pelaksanaan kegiatan di bidang kepariwisataan yang berkonsentrasi pada MICE dan berdampak pada mengeliatnya aktivitas perekonomian masyarakat. Kata kunci : wisata, ekonomi, politik, pembangunan, legitimasi
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret, Ir Sutami 36 A Kentingan Surakarta http://sosiologi.fisip.uns.ac.id
1
Nalar Awal
Otonomi daerah dalam implementasinya membuka ruang yang sangat luas bagi daerah, berbagai skema inovasi bagi pengembangan daerah serentak dirancang, dianggarkan untuk kemudian direalisasikan dalam sebuah semangat kebaharuan. Desentralisasi menjadi arus besar untuk membuka ruang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakannya sebagai upaya pengoptimalan dan pendayagunaan potensi ekonomi daerah, yang diamanatkan oleh Reformasi. Dinamika yang terjadi kemudian adalah keterbangunan beragam kebutuhan dan upaya untuk mewujudkan frame good governance, yang merubah pola kebijakan dari kepentingan negara menjadi kepentingan kota dimana setiap bagian didalamnya mempunyai saham akan harapan, program kerja dan tanggung jawab lewat sistem perencanaan dan pembangunan yang partisipatif. Di Surakarta, pasca reformasi agenda akselerasi merambah ke ranah politik yang lebih luas Pembaharuan perundang-undangan tentang mekanisme pemilihan kepala daerah hadir dan diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Momentum untuk menentukan kepala daerah, menjadikan segenap warga kota mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan minimal dengan memilih caloncalon
pemimpin
kota
selain
dengan
pola
pembangunan
partisipatif.
Kepemimpinan yang diawali dari sebuah proses demokratis mau tidak mau harus menempatkan pola kepemimpinan yang lebih terbuka. Berbagai janji dan komitmen yang dikampanyekan sebelumnya menjadi bahan pertimbangan bagi seseorang yang akan menggunakan hak pilihnya sehingga kepemimpinan Joko Widodo-FX. Hadi Rudyatmo menyisakan berbagai agenda bagi perkembangan kota Surakarta. Dengan visi menjadikan Surakarta sebagai 'Kota Sala Berseri, Tanpa Korupsi, kota dicoba dimaknai dalam arti bersihnya kota Sala secara fisik dan sehat lingkungannya sehingga mengangkat potensi dalam perdagangan, jasa, pariwisata, pendidikan dan olah raga. Serta mengembangkan manajerial pemerintahan kota dengan bersih tanpa korupsi, dalam suasana budaya pelestarian
2
kota Surakarta yang rapi, indah, nyaman dan sejahtera. Untuk itu beberapa agenda pembangunan kemudian direncanakan dan digelar. Agenda pengelolaan pemerintahan yang baik, bersih dan jujur ; Pengelolaan anggaran yang terbuka, partisipatif, efektif dan efisien ; Pengelolaan kesejahteraan rakyat dengan target pemenuhan tingkat kelayakan kesejahteraan lahir dan batin ; Pengelolaan pembangunan baik fisik dan non fisik perkotaan dalam sarana dan fasilitasnya untuk melayani aktivitas dan kegiatan kota secara maksimal. Kesemuanya menjadi janji yang siap direalisasikan dan dinilai secara langsung oleh segenap warga kota.
Politik Pariwisata Pembangunan daerah kemudian berjalan seiring dengan meluasnya ruang otonom daerah untuk mengembangkan potensinya masing-masing. Pariwisata menjadi salah satu program yang banyak dikembangkan didaerah bersamaan dengan dibangunnya rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, propinsi hingga kabupaten/kota [UU 10 Tahun 2009 : 8-1]. Dengan kewenangan yang otonom di daerah, keberadaan pemerintah kabupaten/kota kemudian menjadi penyelenggara atas keterlibatan warga dalam menyusun berbagai agenda sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Berbasis indikator pembangunan dan kebijakkan
yang
ada
maka
agenda
untuk
menjadikan
pengembangan
kabupaten/kota kemudian implementasikan dalam penyusunan dokumen RPJMRPJMP yang antara lain menegaskan : pengembangan
kegiatan
ekonomi
masyarakat melalui upaya optimalisasi potensi wisata dan kebijakkan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengapresiasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai jati diri warga kota sekaligus menjadi pijakan bagi pengembangan wisata didaerah. Kebijakan memodernkan kota dalam prakteknya membuka orientasi pengambil kebijakan untuk kemudian berpaling pada masa lalu dan menempatkannya menjadi bagian dari masa depan yang akan dikembangkan. Di sisi lain pertumbuhan kota-kota modern telah ada pada titik -klimaks dari kapitalisasi-
3
yang menjadikan orientasi dari kehidupan adalah menghadirkan unsur-unsur kebaharuan berupa mekanisme menghabiskan leisure time [Gail Dexter, 1999]. Ada banyak argumentasi untuk mendukung tumbuh kembangnya semangat menghabiskan waktu luang : oleh sebab pendidikan yang membaik memberi argumen tentang kebutuhan akan pengetahuan dunia-budaya ditempat lain, pertumbuhan ekonomi yang memapankan capaian maupun orinetasi kehidupan dan sebagian besar dari mereka adalah inividu yang terbangun mentalitasnya akan sebuah tantangan, keingintahuan maupun keinginan menjadi bagian dari kebudayaan yang lain. Dimana pada dekade 70’-80’an orientasi kedatangan-perjalanan pada kasus american travelers telah mengalami perubahan yang fluktuatif oleh beragam sebab dan terbangun trend baru semenjak 90’an. Analisa atas pergeseran tersebut, oleh RG Soekadijo [1997 : 213] ditegaskan sebagai indikator motivasi wisata dan pemahaman atas dinamika motivasi yang mengalami perubahan akan menentukan segmentasi dari pelayanan yang akan disediakan. Indikator motivation research menjadi media untuk menyusun kebijakan atas segmentasi pasar yang hendak dibidik oleh negara-kota yang hendak melatakkan kunjungan wisata sebagai sumber pendapatan. Selain indikator tersebut, latar belakang kunjungan berbasis geografis dan sosio-profesional akan menentukan kemampuan kita dalam menyesuaikan perubahan yang ada. Berlatar kondisi tersebut, pengalaman diberbagai negara-kota yang menjadi tujuan kunjungan wisata internasional menunjukkan kontribusi yang signifikan bahkan dicatat memberi kontribusi besar [GTZ, 2009]. Penajaman pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 [pasal 4] a. pariwisata bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, b. meningkatkan kesejahteraan rakyat, c. menghapus kemiskinan, d. mengatasi pengangguran. Dimana pembangunan pariwisata meliputi, industri, destinasi, pemasaran dan kelembagaan [pasal 7]. Dan bila merujuk pada semangat otonomi daerah yang kemudian menjadi lokomotif pembangunan daerah, pengembangan pariwisata menjadi kewenangan daerah untuk mengelolanya [pasal 30] dan menjadi pengelolaan otorita badan promosi pariwisata daerah [Pasal 43].
4
Kebijakan pengembangan pariwisata kemudian tidak lepas dari sejarah yang terbangun dan membangun kawasan-kota yang ada dimana pemanfaatannya kemudian diatur oleh UU No. 5 Tahun 1992 (Pasal 19 : 1). Amanat regulasi yang menjadikan parisiwisata sebagai prioritas strategi pembangunan nasional-daerah, menuntut kebersamaan stakeholder untuk membentuk gabungan industri kepariwisataan : yang terdiri dari pengusaha pariwisata, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, dan asosiasi lain yang terkait sebagai mitra bersama. Kebijakan pariwisata kemudian tak terhindarkan oleh sebuah kepentingan kolektif dan jauh lebih besar dari sebelumnya. Pengembangan kawasan-kawasan perkotaan secara sadar
kemudian
menetapkan
pariwisata
sebagai
sebuah
tujuan
dalam
pembangunannya. Skema tersebut diindikasikan, at the same time, capital status promotes an accumulation of facilities and assets that attract visitors – national museums, galleries, theatres, opera and performance spaces, and sports arenas, for example. While all cities tend to concentrate symbolic and functional attributes in tourist zones, capitals do so with a particular intensity [Robert Maitland, 2009 : 4] Politik pariwisata menjadi ujung tombak dari global-oriented goverment, Rosabeth Mosss Kanter mensyaratkan setidaknya daerah mengawalinya dengan Concept : sebagai posisioning daerah tersebaut dibanding yang lain. Kemudian Competence : upaya untuk membangun dan memproduksi produk, dan yang terakhir connection : yang dikembangkan untuk mekanisme interaksi, yang senantiasa meluas. Otonomi yang disediakan menjadi pondasi bagi proses awal nan panjang daerah untuk secara bertahap mengambil peran dan mempertegas kemampuannya menyesuiakan dinamika yang ada. Sekaligus memungkinkannya untuk menyusun kebijakan yang menunjang komitmen atas pariwisata. Dengan kewenangan yang disertakan lewat desentralisasi politik maupun keuangan ; membuka ruang yang lebar bagi daerah untuk melakukan audit sumber daya [manusia, fisik, intagibles], mengidentfikasi kompetensi daerah [goverment leadership,
culture-values,
industrial
organization,
social
cohesion]
lalu
melakukan critical succes factors yang berbasis analisis SWOT daerah untuk kemudian menetapkan kapasitas daerahnya [Hermawan Kertajaya, 2005 : 57-70]. 5
Pos inilah yang paling dimungkinkan untuk didorong sebab dalam regulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah, sumber-sumber pendapatan di era otonomi meletakkannya setidaknya pada : pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan penerimaan lain-lain yang sah (UU No. 32 Tahun 2004). Oleh karenanya, logika yang menyertai paparan diatas adalah bagaimana siklus yang membuat proses keterbangunan kemandirian ekonomi lokal pasca desentralisasi akan bermula pada komitmen untuk mengembangkan dan melakukan program-program inovatif yang mampu menstimulasi gerak ekonomi, seperti halnya pariwisata sebagai motor bagi gerak ekonomi lokal yang menyeret keterlibatan sangat luas stakeholder di daerah. Untuk itu menjadi penting melihat strategi yang ada dan dikembangkan sebagai daya jual kota yang berimplikasi pada keuangan daerah maupun perekonomian secara luas.
Tradisi Sebagai Simpul Pariwisata Identitas yang selalu dilekatkan dan dikonstruksi terus menerus tentang kota ini adalah identitas budaya dan program yang terkait dengan itu adalah kebijakkan untuk mengelolanya dalam paket pariwisata. Peraturan Daerah
No. 3 Tahun
2005, Penyelenggaraan Usaha Pariwisata Surakarta, Peraturan Daerah No 2 Tahun 2010, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Surakarta 2005-2025. Kemudian menjadi fokus dari pengembangan wisata kota, berdasarkan orientasi kota kemudian mencoba menetapkan kota Surakarta sebagai kota MICE (Meeting, Incentives, Conference, dan Exhibition). Kota yang mengembangkan beragam kegiatan untuk meeting, incentives, conference dan exhibition baik dalam skala nasional, regional maupun internasional. Untuk itu tersedianya amenitas MICE yang layak dan sesuai dengan standar internasional, atraksi pendukung maupun atraksi utama untuk menarik dan memperpanjang lama tinggal wisatawan, dan mudahnya akses menuju dan keluar dari destinasi MICE. Untuk itu, jejaring kemitraan yang dibangun pada proses kepemimpinan mencoba mengejar dan membangun daya tarik investasi. Sampai akhirnya menyepakati rencana investasi dari investor nasional yang bermitra dengan perusahaan lokal untuk membangun
6
Solo
Exhibition and Conference. Rencana investasi tersebut,
katanya,
diperkirakan menelan dana sekitar US$450 juta atau Rp 4,05 triliun. Dengan melakukan kalkulasi atas semua fasilitas yang tersedia, rintisan kegiatan untuk merealisasikan skema MICE kemudian dirancang lewat beberapa agenda [Any Noor, 2007]. Pola kegiatan Meeting, yang didefinisikan sebagai general term indicating the coming together of a number of people in one place, to confer or carry out a particular activity. Incentives, travel is a global management tool that uses an exceptional travel experience to motivate and/or recognize participants for increased levels of performance in support of the organizational goals. Sedangkan Conference, is an event used by any organizational to meet and exchange views, convey a message, open a debate or give publicity to some area opinion on a spesifiec issues. Dan Exhibition merupakan kegiatan untuk menyebar luaskan informasi dan promosi yang ada kaitannya dengan pariwisata. Pola kegiatan yang dibangun oleh kota secara bertahap adalah membangun jejaring terkait dengan komitmen kota untuk melestarikan kekayaan budaya leluhur. Surakarta kemudian menjadi partisipan pada Konferensi Internasional Kota-kota Warisan Dunia yang merupakan forum yang didedikasikan kepada pelestarian terintegrasi warisan budaya benda dan takbenda pada kota-kota bersejarah, utamanya pada kota-kota yang tercantum dalam kota-kota yang memiliki warisan budaya takbenda yang diakui oleh Unesco. World Heritage City Conference ini kemudian menjadi skema yang sangat yang sangat efektif untuk meletakkan kota Surakarta menjadi bagian dari perbincangan, liputan dan selebrasi yang luar biasa. Antusiasme lokal dan nasional menjadi momemtum yang hadir bersamaan dengan semangat kota secara keseluruhan. Beragam event dihadirkan untuk menunjang kegiatan tersebut, mulai kunjungan lapangan, seminar, workshop, pameran, karnaval hingga berangkaian event-event mikro yang ujung-ujungnya mempromosikan kota secara luas kepada semua khalayak yang hadir. Kesuksesan pelaksanaan event World Heritage City Confrence menjadi titik balik bagi kota untuk merancang beragam tawaran event dalam skala yang besar. Tak
7
lagi tentang Surakarta namun lebih jauh dari sekedar event nasioanal maupun regional, dan menetapkannya pada skala internasional. Maka ujicoba dilakukan untuk mengukur beragam kemungkinan diadakannya skala event secara internasional, dengan basis jejering seni-budaya kota yang luar biasa maka dibentuklah Solo Internasional Etnik Muzik yang menjadi satu-satunya event di skala nasional sekaligus member penghargaan atas keberadaan dan kekayaan music ethnik, khususnya Surakarta. Antusiasme atas pelaksanaan Solo Internasional Etnik Musik kemudian meledakkan semuanya pada titik yang tak terhitungkan dan memastikan pilihan kebijakan kota untuk menjadikannya sebagai paket regular yang secara rutin dijadikan tarikan bagai wisawatawan untuk menikmati kota dengan cara yang berbeda. Dan kini SIEM telah berjalan, sekaligus menjadi salah satu event yang dipermanenkan dalam event tahunan kota [http://siemfestival.wordpress.com/] Selain pertunjukkan musik yang menjadi daya unggul kota Surakarta, bila harus dibandingkan dengan kota lainnya, maka kota ini juga mempunyai keunggulan yang lain berupa tersedianya seniman-seniman lokal dengan pengalaman, jejaring hingga komitmen untuk mengembangkan dan menghubungkan kota ini dengan simpul-simpul kota lainnya. Baik dalam skala yang lebih besar, oleh karenanyalah kemudian lahir Solo International Performing Art yang memberi tawaran yang berbeda dengan keberadaan Solo International Ethnic Muzic. Beragam seni pertunjukkan dirangkai, disiapkan dan dipertunjukkan sebagai bagian dari kota untuk mengembangkan kota sebagai salah satu tujuan wisata. Hampir sama dengan event yang lain, antusiasme akan tawaran pertunjukkan melimpah untuk kemudian diindikatorkan sebagai program yang sukses dan layak dijadikan paket tahunan untuk dilaksanakan. Skema perbaikan terus menerus dilakukan dalam kepentingan untuk meningkatkan kualitas program sekaligus mempromosikan
kota
bersama
rangkaian
kegiatan
kebudayaan
lainnya
[http://sipafestival.com/id/]. Skema event yang terakhir menjadi sebuah event yang menempatkan kota menjadi tolak ukur atas suksesnya sebuah kota mempromosikan diri sebagai kota
8
yang layak diperhitungkan dalam rangkaian kunjungan wisata. Bersemangatkan menafsir ulang kembali tradisi batik yang masih dipertahankan dalam ranah masyarakat modern, hadir bersamaan dengan keberhasilan Indonesia memastikan batik sebagai salah satu heritage yang mesti dilestarikan, dilindungi dan dibanggakan. Maka respon yang ada, kemudian hadir dalam beragam bentuk baik menggeliatnya secara berlahan, dilaunchingnya kawasan-kawasan pelestari batik, kebijakan untuk memberlakukan batik sebagai keutamaan berbusana hingga dirancangnya event untuk mengikatkan batik dengan kota Surakarta. Maka kehadiran Solo Batik Carnival menjadi jawaban untuk mengeksekusi semua keingginan beragam komitmen atas pelestarian tradisi untuk promosi kota sekaligus upayanya untuk memaknai batik dalam ranah kultural masyarakat modern. Solo Batik Carnival-pun sama seperti yang lain, panen akan pujian. Semua skala promosi kota menempatkan event tersebut dalam prioritas karena efek publikasinya betul-betul menjaring antusiasme. Keterlibatan atas semua proses yang ada kemudian melebar tak lagi hanya volunteer semata karena efek dari event tersebut sudah memasuki tahapan untuk komersialisasi. Stakeholder secara aktif kemudian mengambil porsinya masing-masing dalam rangkaian yang melibatkan publik, penontong, volunteer, event organizer, media, biro iklan, hingga pemerintah kota. Semua rangkaian tersebut tentu tidak berjalan sendirian. Kebijakan kota menempatkannya dalam tunjangan kegiatan pendukung lainnya agar upaya penempatan strategi kota dalam target wisatawan mempunyai prioritas maka jejaring informasi calon-calon wisatawan dihadirkan dalam paket-paket tawaran yang dikelola oleh travel agen. Pilihan untuk konsisten dan komitmen menghadirkan beragam kegiatan yang ada mesti ditindaklanjuti dengan kepastian kunjungan. Dan untuk memastikannya, event penunjang yang strategis dikreasikan dalam bentuk Bengawan Travel Mart yang secara rutin pula sedianya dilakukan. Bengawan Travel Mart menjadi salah satu agenda yang mempunyai koneksitas yang luar biasa dengan event-event yang ditawarkan dan kunjungan wisatawan yang mengikutinya dalam bentuk kunjungan ke kota Surakarta. Para buyer bertemu dengan penyedia informasi tentang kota Surakarta secara khusus 9
dalam pola paket-paket tawaran untuk dikunjungi, dan dinikmati dengan semangat wisata. Tantangan untuk memajukan skema pariwisata kota menjadi lebih cepat dari kota-kota lain betul-betul direalisasikan, seperti komitmen Joko Widodo-Hadi Rudyatmo dalam janjinya pada pembangunan fase kedua kepempimpinan di Surakarta. Harapan untuk memperkuat karakter kota dengan aksentuasi Jawa dan melestarikan aset-aset budaya, baik yang tangible maupun intangible hingga melakukan pengembangan brand image kota dengan melakukan penataan kawasan wisata, budaya dan perdagangan, hadir dalam semua program tersebut.
Implikasi Bagi Ekonomi Kota Semua strategi untuk mengembangkan aset kota dalam konteks meeting, incentives, confrence dan exhibition diharapkan dapat berdampak secara luas bagi kota Surakarta. Tentunya juga upaya yang terus dilakukan berupa penciptaan pemerintahan yang lebih baik, agar strategi peningkatan daerah untuk merealisasikan peningkatan pendapatan daerah dapat menghasilkan pertumbuhan perekonomian kota. Baik melalui : Intensifikasi dan ekstensifikasi pengelolaan pendapatan melalui beberapa tindakan diantaranya penyederhanaan sistem dan prosedur administrasi pemungutan pajak/retribusi, kemudahan–ketepatan dan kecepatan pelayanan, pendataan obyek pajak/retribusi, sosialisasi tentang pajak dan retribusi kepada wajib pajak dan retribusi, audit dan penegakan peraturan daerah. Kondisi tersebut menjadi sangat relevan mengingat keterbangunan pola pengembangan kebijakan MICE sebagai pola unggul bagi promosi kota. Catatan GTZ 2009, menunjukkan efektifitas rangkaian kegiatan yang ada untuk menyerap okupasi hunian semua fasilitas yang ada dalam rangkaian kegiatan tersebut. Beragam pola turunan telah menghadirkan kunjungan, pemanfaatan, daya serap hotel maupun hall yang ada. Kondisi yang seragam muncul dalam catatan lainnya berupa bentuk akses yang terbangun atas fasilitas yang terdapat di Surakarta. Beragam pertemuan, beragam kunjungan, beragam tontonan menjadi output akhir dari pengembangan
10
pemasaran pariwisata, maupun destinasi pariwisata; pengelolaan keragaman budaya serta pengembangan destinasi pariwisata untuk kawasan wisata di Surakarta. Implementasi lanjutnya berupa peningkatan pemanfaatan teknologi informasi dalam pemasaran pariwisata, pengembangan jaringan kerjasama promosi pariwisata, pelaksanaan promosi pariwisata nusantara di dalam dan luar negeri, peningkatan pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan jenis dan paket layanan unggulan. Kehadiran beragam event, dan fasilitas yang mendukungnya menghadirkan : pemerintah daerah lain, birokrasi pusat, pelaku swasta, hingga persoarangan untuk memanfaatkan kota sebagai alternatif pilihan yang rasional. Semua fakta tersebut, member hasil akhir dimana kinerja perekonomian Surakarta dikatakan meningkat secara tidak langsung, bila dilihat dari perkembangan indikator makro ekonomi : dimana tingkat pertumbuhan ekonomi Surakarta pada tahun 2009 dengan angka sementara adalah 5,9% meningkat dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 5,69%. Sedangkan catatan PDRB berdasarkan harga berlaku dengan angka sementara adalah Rp.8.867.563.170.000,- atau meningkat 12,22% dari Tahun 2008 sebesar Rp.7.901.886.060.000,- Adapun pendapatan perkapita Surakarta berdasarkan angka sementara adalah Rp.14.693.189,32, lebih tinggi dari tahun 2008 sebesar Rp.13.220.433,14, sedangkan angka sementara di tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 adalah Rp.10.003.924,61. Peningkatan ini menggambarkan meningkatnya kemampuan daya beli masyarakat secara umum dibandingkan periode sebelumnya. Strategi pengembangan ekonomi, satu dekade terakhir memilih ekonomi pariwisata sebagai pola kreatif bagi pengembangan kota. Skema untuk memaksimalkan jejaring kota dalam relasi-relasi ekonomi pariwisata lalu menjadi strategi untuk membentuk investasi (IFC, World Bank 2012). Penghargaan meraih Investment Award 2011 sebagai kota satu kota terbaik dalam penanaman modal diraih setelah capaian investasi per Agustus 2011, mencapai 1.67 triliun dari target 2011 adalah 2.5 triliun. Dengan rincian usaha besar, property/perhotelan 1.347 triliun, usaha menegah 205.9 miliar, usaha kecil 115.34 miliar dan usaha mikro 9 miliar.
11
Anggaran kota dapat dilihat dari sisi kinerja pendapatan daerah, anggaran pendapatan daerah tahun 2009 mencapai Rp.799.442.931.600,- Sedangkan dalam anggaran APBD 2010 pendapatan daerah sebesar Rp.870.219.058.815,85. Sedangkan Anggaran APBD tahun 2011 mencapai Rp.1.003.623.509.000,- dan realisasi belanjanya adalah Rp.1.069.114.673,00. Dengan rincian Pendapatan Asli daerah Rp.159.164.782.000. Sedangkan catatan pendapatan perkapita, 2005 : Rp. 9.223.741,60, 2006 : Rp. 10.635.848,61, 2007 : Rp. 11.738.351,79, 2008 : Rp. 13.220.433,14,
dan tahun 2009 : Rp. 14.693.189,39. Dari situlah urgensi
stabilisasi dan optimalisasi pendapatan daerah, diinisiasi melalui program upaya peningkatan penanaman modal : lewat strategi peningkatan promosi potensi dan peluang investasi di dalam negeri secara selektif terpadu; meningkatkan pemahaman
masyarakat
dan
penegakan
regulasi
hukum;
meningkatkan
kondusivitas iklim dan keunggulan kompetitif investasi serta kualitas infrastruktur yang memadai. Program yang dilaksanakan adalah peningkatan promosi dan kerjasama investasi; peningkatan iklim investasi dan realisasi investasi; penyiapan potensi sumber daya, sarana, prasarana daerah. Kegiatan yang dilaksanakan adalah pengembangan potensi unggulan daerah; peningkatan koordinasi dan kerjasama di bidang penanaman modal dengan instansi pemerintah dan dunia usaha; memfasilitasi dan koordinasi kerjasama di bidang investasi; kajian kebijakan penanaman modal dan kajian potensi sumberdaya yang terkait dengan investasi, penyelenggaraan pariwisata Meningkatnya kemampuan daerah untuk mengembangkan kapasitas untuk pengembangan skema Pendapatan Asli Daerah tidak lepas dari upaya-upaya pembangunan secara umum dan khususnya pelaksanaan kegiatan di bidang kepariwisataan
yang
berkonsentrasi
pada
MICE
dan
berdampak
pada
mengeliatnya aktivitas perekonomian masyarakat maupun dunia usaha yang secara signifikat mampu meningkatkan pandapatan dari sektor pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak reklame. Skema pariwisata mampu menjadi energi positif bagi proses lanjutan pengembangan kota secara makro untuk sekaligus menggerakkan juga sektor riil yang menjadi titik tolak gerakan ekonomi masyarakat secara luas.
12
Daftar Pustaka Ary Noor, 2007. Globalisasi Industri MICE. Alfabetha Ana Prihatingsih, 2010. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Surakarta. FE UNS Akhmad Ramdhon, 2011. Dinamika Kota Surakarta, Gerak Satu Dekade Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Dilema Sosiologi. FISIP UNS Dexter, Gail. 1999. The Power of Cultural Tourism. Lord Management Huang, Chihyen & Basolo, Victoria. 2007. Cities and Economic Developoment. Sagepub Junanto, Deny. 2002. Penerapan Desentralisasi Fiskal Sektor Pariwisata. LAN Kajian Pasar dan Basis Data Wisata MICE (Meeting, Incentive, Conference and Exhibition) Solo, GTZ 2009 Kertajaya, Hermawan & Yuswohady. 2005. Attracting Tourist, Traders, Investors : Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Gramedia Laporan Penelitian Pengembangan dan Strategi Industri Budaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwata RI. 2007 Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Walikota 2000-2005. Pemkot Surakarta 2005 Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir 2010. Pemkot Surakarta 2010 Doing Busines in Indonesia. IFC World Bank 2012 Maitland, Robert. 2009. City Tourism, National Capital Perspective. CABI Ronny, Sugiantoro. 2000, Pariwisata Antara Obsesi dan Realitas. Adicita Ross, F Glen. 1998. Psikologi Pariwisata. Yayasan Obor Indonesia Surakarta Dalam Angka, 2010. BPS Surakarta Solo Raya A Strategy for Tourism Development. GTZ, 2007 Spillane, J James. 1987, Ekonomi Pariwisata : Sejarah dan Prospeknya, Kanisius Spillane, J James. 1994, Pariwisata Indonesia : Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Kanisiu-Realino Soekadijo, RG. 1997, Anatomi Pariwisata : Memahami Pariwisata Sebagai Systemic Linkage. Gramedia Wells, Karen. 2007. The Material and Visual Cultures of Cities. Sagepub Yoeti, Oka. 1996, Pengantar Ilmu Pariwisata, Angkasa
13