Editorial
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter Layanan Primer dalam Rangka Mencapai Target “MDGs” Pendekatan Kedokteran Keluarga Merupakan Kunci Keberhasilan untuk Mencapai MDGs
Sugito Wonodirekso, Danny Pattiradjawane Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia Pengurus Pusat, Jakarta
Pendahuluan Pertama kali yang harus ditekankan dalam bahasan ini adalah: “DEPKES memegang peran kunci dalam pemberdayaan, pendayagunaan, dan pengembangan karir dokter layanan primer (DLP).” Karena DEPKES sebagai pengguna utama DLP yang berfungsi sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan yang praktiknya bukan sekedar menyembuhkan akan tetapi juga menyehatkan. Fokus pelayanan adalah lima tingkat pencegahan yang bermuara pada penghematan dana kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Peran utama DEPKES dalam pemberdayaan dan pendayagunaan DLP diyakini merupakan komponen penting untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDGs). Beberapa dasawarsa belakangan ini semakin tampak bahwa layanan kesehatan primer menjadi primadona, parameter, dan bahkan barometer kualitas pelayanan kesehatan di banyak negara. Primadona maksudnya mendapat prioritas untuk dikembangkan, diberdayakan, dan dimanfaatkan serta ditingkatkan daya-gunanya. Parameter maksudnya, di suatu negara dengan layanan primer yang kuat dapat dipastikan tingkat kepuasan pasien tinggi dan akan terjadi penghematan dana kesehatan secara signifikan. Barometer maksudnya, dapat digunakan sebagai tolok ukur taraf kesehatan Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
masyarakat suatu negara. Semakin kuat layanan primer semakin ringan beban kesehatan masyarakat dan pendanaannya. Laporan tahunan WHO tahun 20071, mengungkapkan bahwa negara dengan layanan primer yang kuat mempunyai layanan kesehatan bermutu sekaligus menghemat biaya. Sebaliknya di negara dengan layanan primer yang lemah akan terjadi pemborosan biaya kesehatan dan layanan kesehatan yang tidak memuaskan masyarakat. Contohnya adalah Amerika Serikat yang menghabiskan dana kesehatan tertinggi di dunia akan tetapi peringkat pelayanan kesehatan tergolong yang terburuk akibat layanan primer yang lemah.2 Sebaliknya Denmark mempunyai mutu layanan kesehatan tinggi dengan biaya kesehatan yang rendah karena layanan primernya yang kuat.3 Hingga kini, layanan primer belum diberdayakan dan didayagunakan secara maksimal di Indonesia. Sebagai pengguna jasa dokter seharusnya DEPKES segera tanggap dan menentukan sikap untuk memanfaatkan DLP secara maksimal. Kalau tidak, akan terjadi suasana timpang. Banyak tenaga dokter tetapi indeks pelayanan kesehatan tidak kunjung membaik. Selain itu jika potensi DLP tidak terakomodasi dalam regulasi yang mapan, akan terjadi
101
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter pemborosan dana karena pendidikan dokter sangat mahal tetapi potensi hasilnya tidak dimanfaatkan secara maksimal. Selama ini secara tidak sengaja, DLP “termarginalkan”, karir profesionalnya tidak jelas bahkan mandek. Upaya pemberdayaan dan pendayagunaan potensi DLP yang besar itulah yang akan membangkitkan semangat mereka untuk berpartisipasi dalam membangun kesehatan masyarakat yang bermuara pada membaiknya mutu pelayanan kesehatan secara umum dan pengembangan karir profesional mereka. Pertanyaannya apakah dokter layanan primer kita siap untuk menyelenggarakan layanan kesehatan primer yang bermutu tinggi? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan itu secara lugas berdasarkan pengalaman dan pengamatan lapangan yang sudah cukup lama. Pendidikan Dokter di Indonesia Usia pendidikan kedokteran di Indonesia paling kurang setara dengan usia republik ini. Telah banyak profesional kesehatan dan kedokteran berkualitas nasional atau bahkan internasional dihasilkan, namun tidak bisa menjawab secara tegas pertanyaan: “Mengapa tingkat kesehatan masyarakat Indonesia tidak kunjung meningkat atau meningkat sangat lambat?” Rasanya – secara asumtif – peningkatan taraf kesehatan orang Indonesia – terbukti dengan bertambahnya sintas hidup (life expectancy) – terjadi secara alami karena tingkat pengetahuan masyarakat meningkat dan bukan sebagai hasil upaya terprogram para profesional kesehatan. Tulisan ini sudah tentu tidak mungkin menjawab pertanyaann itu secara tegas, namun paling tidak membuka cakrawala baru untuk menyikapi keadaan itu. Pada tahun 1955-an telah terjadi perubahan revolusioner kurikulum pendidikan dokter di Indonesia. Pendidikan dokter dengan kurikulum “bebas” diubah menjadi kurikulum terpimpin dengan kurun waktu pendidikan 6 tahun. Langkah itu diambil agar dapat memproduksi dokter dalam jumlah besar guna mencukupi kebutuhan dokter sesuai dengan jumlah dan kebutuhan penduduk saat itu. Mulai saat itu pula bermunculan fakultas kedokteran swasta yang ingin membantu pemerintah memproduksi dokter secepat mungkin. Pascapendidikan 6 tahun, seorang dokter dibenarkan praktik sebagai “dokter praktik umum” – seumur hidup – tanpa perlu memperbaharui Surat Izin Praktik (SIP). Sebenarnya struktur kurikulum pada saat itu cukup memadai untuk membentuk dokter sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Hal itu terbukti dengan banyaknya dokter yang berkualitas tinggi dan bertaraf internasional dengan berkembangnya spesialisasi. Spesialisasi sangat diperlukan untuk menggembangkan pelayanan medis di bidangnya. Namun, sarana pendidikan tidak berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan pendidikan dokter. Akibatnya pendidikan dokter layanan primer “teranak-tirikan” sehingga tidak mencapai sasaran atau “mutunya menurun”, yang antara lain disebabkan “berebut pasien” dengan residen spesialisasi karena rumah 102
sakit pendidikan tidak berkembang sesuai dengan kebutuhan. Selain itu ilmu dan teknologi pendidikan berkembang sangat cepat sehingga kurikulum pendidikan tertinggal. Masih banyak faktor lain yang menyumbang penurunan kualitas pendidikan dokter layanan primer. Kurikulum pendidikan dokter pun disesuaikan dari waktu ke waktu guna menjamin kualitas dokter yang dihasilkan. Perubahan terakhir disepakati dan dimulai tahun 2005. Kurikulum lama yang mengacu cakupan isi (konten) dan sangat bergantung pada “kuliah” dinilai tidak cocok lagi dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang demikian cepat. Karena itu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) disepakati untuk diterapkan sejak tahun 2005. KBK mengandalkan kuliah–sekalipun tidak mengharamkan kuliah–melainkan mengandalkan pembelajaran “mandiri dan terpimpin”. Kurikulum baru itu mengandalkan metode pembelajaran orang dewasa yang antara lain bertujuan menumbuhkan kemampuan belajar mandiri sepanjang hayat sehinga lulusannya selalu dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Kurikulum pendidikan sebelum tahun 2005, seluruhnya bersifat teacher’s oriented berupa perkuliahan departemental yang berusaha “mencurahkan seluruh konten” departemental – yang notabene tidak mungkin karena perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran sangat pesat. Sesudah tahun 2005 metode pendidikan diubah menjadi student oriented menggunakan metode Problem Based Learning yang mengutamakan integrasi horisontal dan vertikal dan pendekatan SPICES (Student Centred, Problem-based, Integrated,Community-based Elective/Early Clinical Exposure, Systematic) dapatlah dihipotesiskan bahwa DLP hasil KBK ini akan lebih potensial daripada hasil KIPDI selama ini. Kelemahan yang tidak mudah diatasi, yaitu mengubah pola pikir staf pengajar yang terbiasa kuliah agar menjadi guru yang mampu memicu minat dan memacu bakat; bukan sekedar mendiktekan informasi. Di satu sisi KBK merupakan highly structured curriculum yang menghendaki setiap staf pengajar memahami dan menghayati pembelajaran ini dan harus ditopang dengan sarana dan prasarana yang memadai. Di sisi lain tidak mudah mengubah pola pikir staf pengajar dan menyediakan sarana dan prasarananya. Kendala penting adalah masih diutamakannya pendidikan berbasis penyakit sedangkan yang dihadapi dokter layanan primer dalam praktik adalah gejala awal penyakit yang sering tidak spesifik. Hal itu disebabkan, antara lain, seluruh pendidikan klinis diserahkan kepada dokter spesialis yang pola pikirnya adalah mengobati penyakit. Karena yang dihadapi dalam pendidikan adalah penyakit maka hal itu mempermudah mahasiswa untuk terjerumus ke pola berpikir kuratif. Masalahnya, apakah DLP sudah siap mendidik mahasiwa? Ada keadaan ganjil yang tidak disadari yang sampai sekarang terjadi yaitu “FK bertujuan mendidik DLP tetapi tidak satupun FK di Indonesia yang mempunyai Departemen Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter Pelayanan Primer.” Departemen itu sebenarnya sangat dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu kedokteran layanan primer dan staf pengajarnya. Yang tahu persis kebutuhan DLP seharusnya juga DLP, namun demikian pendidikan oleh dokter spesialis juga tetap diperlukan untuk membangun kompetensi kuratif. Departemen Pelayanan Primer diharapkan dapat melakukan riset yang akan menjadi tumpuan perkembangan pelayanan primer. Riset di ranah pelayanan primer sangat diperlukan jika kita ingin memperkuat layanan primer. Tidak berkembangnya departemen itu mungkin akibat belum terlaksananya pemeringkatan pelayan kesehatan sesuai dengan SKN menjadi tingkat primer, sekunder, dan tersier. Ranah pelayanan primer diselenggarakan oleh DLP, ranah pelayanan sekunder diberikan oleh dokter spesialis, pelayanan tersier diselengarakan oleh tim dokter.4 Sudah saatnya DEPKES – sebagai pengandil utama dalam pembangunan kesehatan masyarakat – segera memulai kerjasama dengan fakultas kedokteran guna menghasilkan DLP yang paripurna. Dalam hal ini FK menyediakan wahana pengembangan ilmu kedokteran pelayanan primer dan DEPKES menyediakan wahana pengembangan profesi DLP. Dengan kata lain FK menyediakan Departemen Layanan Primer dan DEPKES menyediakan wahana pendidikan DLP.
Di Inggris yang menyebut DLP dengan GP, di sana lulusan FK belum boleh langsung praktik mandiri akan tetapi harus internship yang sebenarnya magang kepada GP senior yang bersertifikat, selama 3 tahun. Pascamagang, setelah memenuhi syarat tertentu, barulah dokter tersebut boleh praktik mandiri dan memperoleh sebutan GP. Magang itulah yang membuat seorang DPU dasar menjadi DPU paripurna. Kematangan pribadi dan ilmu serta keterampilan untuk praktik mandiri seorang DPU paripurna berbeda keluasan dan kedalaman ilmu serta keterampilannya dengan DPU dasar. Para DPU paripurna itulah yang berpraktik di Inggris dan disebut sebagai GP yang di negara lain disebut Dokter Keluarga (DK). Karena itu pelayanan primer di Inggris sangat kuat seperti di Denmark dan banyak negara maju di Eropa. Dari proses perolehan sebutan GP atau DK itu dapat disimpulkan bahwa sebutan GP paripurna atau DK itu sebenarnya adalah sebutan profesi dan bukan sebutan akademik. Tidak jarang sekalipun belum memperoleh sebutan DK dari Kolegium, masyarakat yang dilayanilah yang menyebut seorang DPU menjadi Dokter Keluarga mereka. Pendidikan dokter dengan KBK menghendaki lulusannya yang masih Dokter Layanan Primer Dasar mampu menerapkan pendekatan kedokteran keluarga dalam praktiknya.
Dokter Layanan Primer (DLP), Dokter Praktik Umum (DPU), dan Dokter Keluarga (DK) Sering orang bertanya apa bedanya “ketiga macam” sebutan itu. Memang tidak mudah memahami konsep ketiga sebutan itu tanpa memahami pendidikannya. Dari bahasan tentang pendidikan dokter di atas dapatlah ditafsirkan bahwa lulusan fakultas kedokteran adalah Dokter Layanan Primer. Lulusan FK disebut DLP karena kewenangannya hanya sebatas pelayanan primer. Para lulusan itu disebut juga “Dokter Praktik Umum” karena cakupan layanan yang diberikan tidak dibatasi oleh jenis penyakit, jenis kelamin, sistem organ, dan golongan usia. Di banyak negara persemakmuran Inggris DPU disebut juga General Practitioner (GP) yang kemudian diterjemahkan menjadi “Dokter Praktik Umum” dan bukan “Dokter Umum” yang secara salah kaprah digunakan selama ini sampai diputuskan oleh Muktamar IDI tahun 2000 di Malang untuk diganti dengan”Dokter Praktik Umum”. Jadi sebenarnya DLP dan DPU adalah sosok yang sama dan semua lulusan FK disebut DLP atau DPU.5-7 Lalu bagaimana dengan sebutan dokter keluarga? Ini memang unik dan sedikit sulit dipahami. Perlu dicatat di sini bahwa lulusan FK (DLP atau DPU) sebenarnya adalah basic medical doctor atau basic primary care doctor atau dokter layanan primer dasar. Berarti harus ada kelanjutan karir menjadi advance primary care doctor atau dokter layanan primer paripurna, namun waktu pendidikan dokter sangat pendek untuk dapat menjadi dokter layanan primer yang paripurna.
Pemberdayaan Dokter Layanan Primer Setelah memahami karakteristik dokter layanan primer secara umum, mari kita telaah profil dokter di Indonesia. Pendidikan dokter yang hanya 6 tahun sudah barang tentu tidak mungkin menghasilkan DLP paripurna. Jadi yang praktik di Indonesia sebenarnya adalah DLP atau DPU dasar. Mereka tertatih-tatih berkembang, sebagian sukses dan sebagian lainnya mandeg atau bahkan binasa sebelum berkembang. Tidak heran jika mereka merasa gamang ketika mulai berpraktik dan sangat terbatas kemampuannya. Itulah sebabnya sebagian besar pasien merasa enggan untuk ke DPU lebih dulu. Para pasien lebih suka langsung ke dokter spesialis yang dirasakan lebih matang. Akibatnya, lambat tetapi pasti, terbentuk opini bahwa berobat langsung ke spesialis lebih baik daripada lebih dulu ke DPU. Pendapat itu membuat sistem pelayanan kesehatan di Indonesia kacau dan harus segera diluruskan sekalipun tidak mudah. Salah satu cara adalah dengan peraturan jelas yang diterapkan secara ketat, namun demikian harus disertai perbaikan sistem antara lain pemberdayaan DLP. Pemberdayaan itu harus diartikan bahwa profesionalisme DLP harus ditingkatkan. Cara yang paling sederhana adalah melakukan penataran berdasarkan kurikulum yang jelas agar seluruh komponen profesionalisme tercakup dalam penataran itu. Penataran seperti itu di Inggris disebut sebagai keharusan internship selama tiga tahun. Di Indonesia harus dikembangkan sistem penataran yang lebih laik selenggara, efektif, dan efisien, mengingat jumlah DLP yang sangat besar. Penataran yang dilakukan selama ini dirasakan terlampau
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
103
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter lambat akibat daya jangkaunya terlampau sempit karena merupakan upaya mandiri yang bersifat bottom up. Karena itu PDKI sebagai organisasi profesi dokter keluarga, menggalang kerja sama dengan sejumlah FK untuk bersamasama menyelenggarakan penataran yang lebih luas dan berbobot. Kerja sama dengan Depkes pun dilakukan akan tetapi tidak sistematis melainkan secara sporadis karena keterbatasan dana. Penataran kurang efektif dan sulit dinilai dampaknya karena skalanya kecil dan dilaksanakan tanpa perencanaan atau kurikulum yang mapan. Sudah saatnya disusun kurikulum nasional penataran seperti itu dan direncanakan pula penilaian dampaknya. Sudah saatnya DEPKES mencanangkan bahwa pendekatan kedokteran keluarga dalam SKN harus menjadi program nasional. sehingga pengembangan kedokteran keluarga yang selama ini merupakan upaya bottom up dapat menjadi program nasional yang top-down agar pelayanan kesehatan bermutu cepat terjadi. Apakah Pelayanan Primer Kita Lemah? Ya. Pelayanan primer kita lemah dalam arti kinerjanya lemah. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada regulasi yang mengharuskan setiap DLP menyelenggarakan praktik dan menerapkan seluruh kompetensinya dan kewenangannya sebagai DLP. Yang ada sekarang DLP hanya sekedar menjadi “dokter batuk-pilek-mencret”. Survei PDKI bersama Askes dan Jamsostek pada tahun 2002 dan 2003 (tidak boleh dipublikasikan, tetapi dicetak dalam bentuk buku, tersedia di ASKES dan Jamsostek) menunjukkan kinerja DLP yang memprihatinkan. Hal itu diperparah oleh konsep keliru selama pendidikan yang mengatakan bahwa DPU adalah dokter yang mengetahui sedikit-sedikit dari ilmu kedokteran yang banyak. Slogan ini jelas tidak akan memicu minat dan memacu bakat belajar mandiri tetapi justru mematikannya. Karena itu PDKI dalam menyelenggarakan penataran selalu menanamkan bahwa “tidak ada larangan untuk belajar ilmu kedokteran bidang apa pun, akan tetapi tingkat kewenangan DLP memang hanya terbatas pada pelayanan primer.” Dengan kata lain penguasaan ilmu berbatas langit tetapi kewenangan melakukan prosedur klinis hanya sebatas pelayanan primer seperti yang tercantum dalam standar pendidikan dokter yang diterbitkan oleh KKI. Selama ini PDKI bekerja sendiri sebagai organisasi profesi kecil yang berkembang lambat, namun semangat PDKI tidak pernah mati, pantang mundur, dan telah melakukan sejumlah langkah fenomenal. Berkat partisipasi PDKI, tujuan pendidikan kedokteran sekarang adalah menghasilkan dokter layanan primer yang mampu menerapkan pendekatan kedokteran keluarga. PDKI telah pula berhasil menerbitkan buku teks di bidang kedokteran keluarga dengan judul Primer on the Family Medicine Practice. Standar profesi DK telah rampung ditulis dan disepakati. Buku log dan program CPD PDKI telah disahkan oleh 104
Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia. Telah berdiri Program Magister Ilmu Kedokteran Keluarga di UNS. Semua itu dalam upaya pemberdayaan DLP. Selanjutnya dengan dukungan DEPKES, pemberdayaan dapat disusul dengan pendayagunaan yang bermuara pada peningkatan karir DLP. Kelemahan sistem pelayanan kesehatan yang kurang mendayagunakan potensi DLP agaknya telah membawa dampak besar. Harus diakui sintas hidup (life expectency) penduduk Indonesia meningkat; akan tetapi tidak jelas apakah disebabkan oleh kemerdekaan atau sistem ekonomi yang sedikit membaik. Secara sederhana jika kita menggunakan parameter selain sintas hidup yang terjadi adalah sebaliknya. Coba cermati triple health burdens di bawah ini: 1. Masalah kesehatan yang sangat berat: a. Agenda yang belum terselesaikan (infeksi, MMR, IMR, malnutrisi, dsb) b. Muncul dan mewabahnya penyakit baru (DHF, HIV/ AIDS, Flu Burung, dsb) c. Muncul dan mewabahnya penyakit lama (TBC, Malaria, dsb) 2. Kelemahan Sistem Kesehatan Nasional a. Pelayanan kesehatan: ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas b. Keterbatasan dana kesehatan c. SDM kesehatan yang kurang memadai dalam hal pemanfaatan, pendayagunaan, dan sistem remunerasi 3. Komitmen politik yang tidak mendukung a. Prioritas pembangunan di bidang kesehatan b. Dukungan dana APBN untuk kesehatan yang kurang memadai Mencapai MDGs dengan Dokter Keluarga Tantangan Pelayanan Kesehatan 1. Tuntutan MDGs Pemerintah Indonesia dituntut untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang mutlak harus dicapai pada tahun 2015. MDGs menetapkan 8 tujuan pembangunan yang diuraikan menjadi 18 target dan 48 indikator untuk pemantauan yang harus dicapai dalam kurun waktu 1990 – 2015. Tiga di antara delapan tujuan tersebut terkait langsung dengan pelayanan kesehatan (lihat Tabel 1): 2. Transisi epidemiologis dan triple burden of diseases Saat ini penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup dan perilaku meningkat pesat termasuk di negara berkembang. Menurut WHO kategori penyakit tersebut mengambil 20-25% beban global seluruh penyakit. Beban penyakit jiwa seperti depresi, ketergantungan alkohol dan skizofrenia belum memperoleh perhatian sebagaimana mestinya oleh pendekatan kedokteran klasik yang hanya menekankan patologi bukan kerugian sosial yang ditimbulkan akibat penyakit itu. Pada tahun 2020 diperkirakan penyakit yang ditimbulkan akibat merokok akan membunuh Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter Table 1. Target MDG dan Indikator Pencapaiannya Tujuan MDG
Target
Indikator
Menurunkan angka kematian anak Menurunkan angka kematian balita (AKABA)
Meningkatkan kesehatan ibu
Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit menular lainnya
1. Angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 1990-2015 2. Angka kematian bayi (AKB) 3. Proporsi imunisasi campak (PIC) pada anak berusia 1 tahun (1223 bulan) Menurunkan angka kematian ibu 1. Angka kematian ibu (AKI) sebesar tiga perempatnya antara 2. Proporsi pertolongan kelahiran (PPK) oleh tenaga kesehatan tahun 1990-2015. terlatih (TKT) 3. Angka pemakaian kontrasepsi pada perempuan menikah usia 1549 tahun (KB) Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS 1. Prevalensi HIV/AIDS ibu hamil (PHIV-BUMIL) yang berusia antara dan mulai menurun nya jumlah kasus 15-24 tahun baru pada 2015 2. Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi 3. Angka penggunaan kondom pada prevalensi kontrasepsi 4. Persentase penduduk berumur 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan yang komprehensif tentang HIV/AIDS (PPK-HIV/AIDS) 5. Rasio kehadiran di sekolah anak yatim piatu berusia 10-14 tahun karena HIV/AIDS (RKS-YP) terhadap kehadiran di sekolah yatim piatu berusia 10-14 tahun Mengendalikan penyakit malaria dan 1. Prevalensi malaria (PM) dan angka kematiannya mulai menurunnya jumlah kasus mala- 2. Presentase penduduk yang menggunakan cara pencegahan yang ria dan pe nyakit lainnya pada 2015 efektif untuk memerangi malaria 3. Persentase penduduk yangmendapat penanganan malaria secara efektif 4. Prevalensi tuberkulosis dengan angka kematian tuberkulosis dengan sebab apapun selama pengobatan obat anti tuberculosis 5. Angka penemuan penderita tuberkulosis BTA positif baru 6. Angka kesembuhan penderita tuberkulosis (AKP-TBC)
lebih banyak orang daripada HIV/AIDS. Dulu kita beranggapan bahwa bila pembangunan suatu negara berkembang maka penyakit-penyakit tak menular akan mengeser penyakit-penyakit menular. Akan tetapi kenyataan saat ini negara berkembang menghadapi tiga beban penyakit sekaligus: penyakit menular, penyakit tak menular, dan penyakit kesehatan jiwa atau akibat perilaku sosial (triple burden of diseases) Dibutuhkan Pelayanan Primer yang Kuat untuk Menjawab Tantangan Tersebut Untuk menjawab tantangan tersebut dibutuhkan pelayanan kesehatan yang mampu menjembatani kebutuhan-kebutuhan sosial dan pelayanan individual yang holistik. Pelayanan kesehatan yang dimaksud juga mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan pelayanan kesehatan preventif dan pelayanan kesehatan kuratif secara berimbang. Mengingat luasnya beban penyakit yang ditanggung masyarakat, pelayanan kesehatan juga perlu memenuhi prinsip keadilan distribusi yakni bahwa pelayanan harus dapat dinikmati oleh semua orang. Artinya berlaku prinsip equity. Karena itu pelayanan kesehatan itu perlu cost-effective, yakni mampu mengimbangi penurunan biaya kesehatan dan mutu pelayanan. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010
Karakteristik Pelayanan Dokter Keluarga Pelayanan dokter keluarga memenuhi segala kriteria yang diperlukan untuk menjalankan pelayanan primer sebagaimana yang dituntut di atas. Pelayanan dokter keluarga memiliki ciri-ciri fundamental (yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia).6 Ciri tersebut adalah bersifat umum, kontinu, komprehensif, terkoordinasi, kolaboratif, berorientasi keluarga, berorientasi komunitas, sadar biaya, mutu, etika dan hukum, dan dapat diaudit dan akuntabel Ada lima prinsip yang mendasari dokter keluarga yaitu: 1. Hubungan pasien – dokter adalah yang utama, 2. Dokter keluarga adalah klinisi yang efektif, 3. Dokter keluarga bekerja dalam komunitas, dan 4. Dokter keluarga adalah sumber daya dari suatu populasi tertentu.5 Dalam menjalankan fungsinya, dokter keluarga bekerja dalam tim pelayanan primer. Tim pelayanan primer dapat terdiri atas dokter, perawat, paramedik, pekerja sosial, pekerja kesehatan komunitas (kader-kader kesehatan). Tim suportif antara lain resepsionis, petugas administrasi, ahli kesehatan masyarakat, petugas laboratorium dan petugas radiologi. Sedangkan tim konsultatif dapat terdiri dari dokter spesialis baik dalam bidang medis maupun ilmu kesehatan masyarakat atau spesialis bidang-bidang lain yang menunjang.5 105
Peran DEPKES dalam, Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter Dokter keluarga akan menghubungkan pelayanan primer dengan sekunder dan tersier; umum dan spesialis; medis dan non-medis. Berarti bahwa lokus kerja dokter keluarga dapat pula di pusat-pusat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit atau puskesmas tempat konsentrasi alat-alat medis dan berbagai tenaga yang dibutuhkan untuk membentuk tim pelayanan primer, suportif dan konsultatif. Modal yang Sudah Kita Miliki: Perkembangan Dokter Keluarga di Indonesia Gerakan untuk mengembangkan dokter keluarga di Indonesia dimulai sejak tahun 1981 yakni saat didirikannya Kelompok Studi Dokter Keluarga (KSDK) oleh sekelompok dokter yang perduli untuk meningkatkan pelayanan primer. Hingga kini Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) sudah menyelenggarakan delapan kali kongres nasional. Pada tahun 1996 PDKI telah memulai pelatihan dokter keluarga (paket A dan B) yang pertama. Pelatihan tersebut berlangsung hingga saat ini dan memperoleh antusiasme para dokter praktik umum baik di DKI Jakarta maupun daerah lain. Sebagian dari mereka yang telah mengikuti dokter keluarga ini telah menerima gelar Dokter Keluarga (DK) melalui program Konversi DPU – DK pada Kongres Nasional PDKI ke VIII di Bandung tahun 2008. Dan untuk mempertahankan keilmuan mereka PDKI telah menyusun suatu Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (CPD) Dokter Keluarga yang perlu diikuti para dokter keluarga selama lima tahun guna resertikasi kompetensi. CPD tersebut kini sedang dipersiapkan CPD Online. Kedokteran keluarga telah masuk dalam Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) III, sehingga diharapkan lulusan fakultas kedokteran adalah dokter yang mampu melakukan pendekatan kedokteran keluarga. Kedokteran keluarga juga telah mendapatkan perhatian di pusat-pusat pendidikan kedokteran seperti di FKUI, UGM, UNS, dan UNHAS. Di UNS telah dijalankan program magister dokter keluarga. Untuk mempersiapkan pelayanan dokter keluarga lebih lanjut, PDKI pada Kongres ke VI di Surabaya telah memformulasikan Standar Profesi dan Standar Praktik Dokter Keluarga. Standar dimaksudkan untuk mengarahkan para praktisi di lapangan mewujudkan sarana pelayanan dokter keluarga maupun departemen kesehatan/dinas kesehatan dalam memberikan perizinan praktik dokter keluarga. Perkembangan dokter keluarga dengan demikian adalah suatu gerakan akar rumput yang bottom-up bukan top-down. Karena berbagai tuntutan sistem pelayanan kesehatan untuk memperkuat pelayanan primer, dokter keluarga perlu menjadi gerakan nasional. Ia memenuhi syarat untuk itu karena telah siap baik dari segi sumber daya dokter keluarga (yang diproduksi dari pelatihan-pelatihan dokter keluarga PDKI dan juga lulusan fakultas kedokteran) maupun sarana penunjang lainnya seperti standard-standard praktik dan CPD. Yang
106
perlu dijalankan hanyalah, Dokter Keluarga harus menjadi norma atau kriteria umum di seluruh rumah sakit dan puskesmas. Dalam hal ini peran pemerintah diperlukan untuk mendorong pelayanan dokter keluarga agar diterima dan betul-betul dijalankan oleh seluruh pengandil kesehatan. Kesimpulan Pelayanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga menjadi primadona pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Di Indonesia telah rampung dikembangkan dasardasarnya dan sudah siap tinggal landas menjadi gerakan nasional. Kurikulum pendidikan dokter yang baru perlu dikawal pelaksanaannya agar dapat menghasilkan DLP (sekalipun masih DLP Dasar) yang mampu menerapkan pendekatan kedokteran keluarga. Kementerian Kesehatan RI telah mulai memperluas jaringan lahan pendidikan DLP yang sesuai dalam rangka program internsip bagi dokter lulusan FK yang menggunakan KBK. “Armada” pelayanan primer yang sangat bersar perlu segera dikembangkan dan didayagunakan semaksimal mungkin agar target MDGs dapat terlaksana. Tanpa Pelayanan Primer yang kuat mustahil dicapai target-target MDGs. Mereka tersebar paling luas di seluruh Indonesia sekalipun sebagain masih terkonsentrasi di kota besar akibat sistem remunerasi yang kurang kondusif. Dilihat dari fungsinya dokter keluarga dapat praktik mandiri ataupun bekerja di poliklinik rumah sakit, perusahaan, puskesmas, dan sebagainya. Dokter keluarga yang dimulai dari gerakan akar rumput kini perlu menjadi gerakan nasional sehingga ia menjadi suatu unit pelayanan primer yang imperatif di seluruh pusat-pusat pelayanan kesehatan primer. Peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI sangat dibutuhkan. Daftar Pustaka 1.
2. 3. 4. 5.
6.
7.
The world health report. Primary health care now more than ever. World Health Report. Geneva: World Health Organization; 2008. Rakel RE. The family physician. In: Rakel RE. Ed. Essential of family practice. Philadelphia: WB Saunders Company; 2006. Starfield B, Shi L, Macinko J. Milbank memorial fund. New York University. Blackwell Publishing. 2005;83:457-502. Wonodirekso S. Sistem pelayanan dokter keluarga. Maj Kedok Indon, Editorial. 2003;53:345-8. Boelen C, Haq C, Hunt V, Rivo M, Sahadhy E. Improving Health Systems: The Contribution of Family Medicine. Singapore. Best Printing Company; 2002. Allen J, Crebolder H, Jan Heyrman J, Svab I, Ram P. The european definition of general practice/family medicine. Evans P. Editor. WONCA Europe, 2005;12-15.7. Sautz WJ. Theorethical framework for the discipline of family medicine. In Family Medicine, defining and Examining the discipline. Saultz WJ, Ed. Toronto: Mcgraw-Hill; 2000.
RW
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010