Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
PENINGKATAN AKSES PETANI TERHADAP KREDIT KETAHANAN PANGAN DAN ENERGI Enhancing Farmers’ Access to Food Security and Energy Credit Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Food Security and Energy Credit (KKP-E) realization surpasses its official allocation. Most of the credit is allocated for sugarcane farming and staple food purchase business. Food crops farmers only get a little portion of the credit. This paper describes performance, constraints, and factors affecting KKP-E distribution in East Java and Bali Provinces in 2010. Many farmers could not access KKP-E due to lack of credit promotion, complicated procedures, and limited collateral ownership. Credit allocation for the upstream sector, such as rice, corn, and livestock farming, needs enhancement. The Ministry of Agriculture and the executing banks need to improve the credit social marketing of KKP-E. The farmers require land certificates at affordable price such that they could use them for credit collateral. Key words: KKP-E, collateral, social marketing, East Java, Bali
ABSTRAK Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) melampaui plafon yang ditetapkan dengan alokasi terbesar untuk tanaman tebu dan pengadaan pangan. Sedangkan petani tanaman pangan hanya memperoleh porsi yang kecil dari kredit tersebut. Makalah ini menguraikan keragaan, kendala, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran KKP-E di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali tahun 2010. Banyak petani yang tidak dapat mengakses KKP-E karena kurang sosialisasi, prosedur yang rumit, dan keterbatasan agunan. Alokasi dana untuk KKP-E, khususnya untuk sektor hulu seperti budidaya padi dan jagung maupun peternakan, perlu ditingkatkan. Sosialisasi KKP-E oleh bank dan instansi terkait harus ditingkatkan frekuensi dan cakupannya. Disamping itu petani perlu dibantu dalam pembuatan sertifikat tanah secara massal dengan harga murah agar dapat digunakan untuk agunan kredit. Kata kunci: KKP-E, agunan, sosialisasi, Jawa Timur, Bali.
PENDAHULUAN Latar Belakang Kredit bagi petani merupakan modal pertanian yang diperoleh dari pinjaman (Mubyarto, 2000). Pemerintah memperkenalkan kredit program bagi
188
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
petani sejak pendirian Padi Sentra tahun 1959 yang menangani masalah penyuluhan, penyaluran, dan pengambilan kredit (Hermanto, 2001). Bank Indonesia melalui program Pembiayaan Usaha Kecil (PUK) juga menyediakan kredit yang dapat diakses oleh petani. PUK meliputi meliputi aspek pemasaran, aspek teknis produksi, aspek finansial, aspek dampak ekonomi dan lingkungan. Sektor-sektor yang dibiayai meliputi budidaya tanaman pangan dan hortikultura, tanaman perkebunan, peternakan, perikanan, dan industri (Bank Indonesia, 2010). Penyaluran kredit dilakukan dengan berbagai cara, dari mulai melibatkan perbankan, koperasi dan lembaga keuangan lainnya. Permasalahan utama dalam penyaluran kredit umumnya adalah persyaratan agunan, kompleksitas birokrasi, ketidak-mampuan petani membayar, adanya penyimpangan penyaluran kredit (Widyarini, 2009). Sebagian besar petani Indonesia masih sangat lemah dalam mengakses sumber-sumber permodalan formal. Lemahnya kepemilikan modal disebabkan oleh kecilnya skala usaha sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan akumulasi modal. Setiap selesai panen, hasil penjualan digunakan untuk membayar pinjaman sarana produksi dan kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara itu, lemahnya akses petani kecil terhadap sumber-sumber permodalan formal disebabkan oleh prosedur yang tidak sederhana dan persyaratan kolateral yang harus dipenuhi oleh petani. Pihak perbankan tidak tertarik untuk membiayai sektor pertanian yang dipandang berisiko tinggi, baik karena gangguan alam seperti banjir dan kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman, maupun fluktuasi harga output. Dari total kredit perbankan nasional sebesar Rp 1.397 triliun, kredit untuk sektor pertanian hanya Rp 77 triliun atau 5,5 persen. Padahal, kontribusi sektor pertanian pada pembentukan Produk Domestik Bruto menempati posisi kedua terbesar setelah sektor manufaktur. Pada tahun 2008, misalnya, kredit sektor pertanian hanya sekitar 9 persen dari PDB sektor pertanian, yang berarti lebih banyak kegiatan pertanian yang dibiayai sendiri. Sulitnya akses terhadap kredit perbankan juga tecermin pada tingginya suku bunga kredit untuk sektor pertanian yang ratarata mencapai 13,20 persen per tahun. Jika lahan usahatani yang dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit modal dari perbankan, maka hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar petani tidak layak mendapatkan modal yang bersumber dari lembaga keuangan formal. Hal ini karena petani pemilik-penggarap umumnya tidak mempunyai sertifikat tanah, apalagi jika mereka adalah penggarap lahan petani lain. Umumnya hanya petani yang lahannya luas yang lebih mudah mendapatkan modal dari sumber-sumber keuangan formal karena mempunyai agunan dalam bentuk bukan hanya lahan. Sementara itu, di kalangan petani kecil terdapat sumber-sumber permodalan non-formal yang mudah mereka akses karena prosedurnya sangat sederhana dan persyaratannya mudah dipenuhi petani karena hanya mengandalkan kepercayaan. Walaupun tingkat bunga yang dikenakan terhadap petani debitur sangat tinggi, petani kecil merasa lebih nyaman dengan memanfaatkan sumber-sumber modal non-formal.
189
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
Melihat permasalahan yang dihadapi petani dalam permodalan tersebut, maka pemerintah berupaya membantu meringankan beban petani dengan menetapkan berbagai skim pembiayaan bagi petani kecil yang lebih mudah diakses oleh petani kecil. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan usahatani bagi petani kecil di Indonesia. Jenis-jenis kredit program untuk pembiayaan pertanian yang saat ini diluncurkan Kementerian Pertanian adalah Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK-SUP 05), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Disamping itu juga ada pembiayaan syariah yang meliputi (i) pengembangan skema pembiayaan berbasis syariah; dan (ii) pengembangan kelembagaan usaha petani yang berasal dari kelompok usaha tani. Juga ada program tambahan, yaitu (i) Program fasilitasi Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP-3); dan (ii) Kerjasama pemanfaatan Bantuan Luar Negeri. Secara umum kebijakan pembiayaan pertanian oleh Pemerintah dibagi menjadi empat sesuai karakteristik kelompok yang akan dibiayai (Mulyadi, 2010). Kelompok pertama adalah yang feasible dan bankable. Kelompok kedua adalah sudah feasible tetapi belum bankable diberi fasilitas skim Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kelompok ketiga sudah bankable tetapi belum feasible dengan bunga komersial memperoleh kredit KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi), Kredit Pengembangan Energi Nabati-Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Kelompok keempat adalah tidak feasible dan tidak bankable tetapi usahanya potensial untuk berkembang diberi dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), misalnya PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan). Usaha layak (feasible) adalah usaha calon debitur yang menguntungkan sehingga mampu membayar bunga dan seluruh kewajiban pokok. Belum bankable adalah debitur yang belum dapat memenuhi persyaratan perkreditan dari perbankan antara lain dalam hal penyediaan agunan. Sampai bulan Juli 2010 sebanyak Rp 10,23 trilyun (120%) dari plafon KKP-E sebesar Rp 8,5 trilyun berhasil disalurkan oleh Bank Umum maupun Bank Pembangunan Daerah. Realisasi penyaluran KUR untuk pertanian sebesar Rp 3,97 trilyun (19,9%) dari total plafon KUR Rp 20 trilyun. Penyaluran KPEN-RP sebanyak Rp 1,03 trilyun (2,7%) dari plafon Rp 38,6 trilyun dan penyaluran KUPS baru mencapai Rp 0,11 trilyun (6,1%) dari plafon Rp 1,8 trilyun (Mulyadi, 2010). Pada tahun 2008 alokasi kredit perbankan untuk sektor pertanian secara nasional hanya mencapai 5,14 persen. Sedangkan kredit dari BPR untuk sektor pertanian baru sebesar 6,85 persen pada tahun yang sama. Mulai tahun 2010 hingga 2014 diharapkan kredit untuk sektor pertanian dari perbankan naik rata-rata 1 20 persen per tahun . Hingga bulan Agustus 2010 kredit untuk sektor pertanian hanya 5,4 persen (Rp 88,6 trilyun) dari kredit nasional sebanyak Rp 1.640,4 2 trilyun . Pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, perlu melakukan 1 2
www.kontan.co.id, 7 Desember 2009 Republika Online, 20 Oktober 2010
190
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
terobosan agar petani dapat meningkatkan akses terhadap kredit yang sangat diperlukan dalam usahatani.
Tujuan Secara umum makalah ini menguraikan keragaan penyaluran KKP-E bagi kelompok tani di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali. Secara khusus tujuan makalah ini adalah: a) Mengkaji keragaan penyaluran dan pengembalian KKP-E. b) Menganalisis kendala akses dan pengembalian KKP-E. c) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengakses KKP-E.
KERAGAAN PENYALURAN KKP-E
KKP-E adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang diberikan kepada petani, peternak, nelayan dan pembudidaya ikan, kelompok (tani, peternak, nelayan dan pembudidaya ikan). KKP-E disalurkan dalam rangka pembiayaan intensifikasi padi, jagung kedelai, ubi kayu dan ubi jalar, kacang tanah dan/atau sorgum, pengembangan budidaya tanaman tebu, peternak sapi potong, ayam buras dan itik, usaha penangkapan dan budidaya ikan serta kepada koperasi dalam rangka pengadaan pangan berupa gabah, jagung dan kedelai (Direktorat Pembiayaan Pertanian, 2011). Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) semula dikenal dengan Kredit Ketahanan Pangan (KKP), sudah berjalan sejak Oktober 2000 dan merupakan penyempurnaan dari KUT (Kredit Usaha Tani), KKPA (Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya), serta Kredit Koperasi Pangan (KKP). KKP ditujukan untuk membantu permodalan petani dan peternak dengan suku bunga terjangkau sehingga mereka dapat menerapkan teknologi rekomendasi budidaya dan dapat mengembangkan agribisnisnya secara layak. Dalam perkembangannya KKP terus mengalami perubahan dan penyempurnaan baik dalam cakupan komoditas yang dibiayai, kebutuhan indikatif, dan plafon maksimum per debitur. Penyempurnaan KKP juga ditujukan untuk mendukung ketahanan energi sehingga mulai Oktober 2007 KKP berubah menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). KKP-E adalah kredit investasi dan/atau modal kerja yang diberikan dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Ketahanan Pangan dan Program Pengembangan Tanaman Bahan Baku Bahan Bakar Nabati. Tujuan dari KKP-E adalah: (a) Menyediakan kredit investasi dan atau modal kerja dengan suku bunga terjangkau; (b) Mengoptimalkan pemanfaatan dana kredit yang disediakan oleh perbankan untuk petani/peternak yang memerlukan pembiayaan usahanya secara efektif, efisien dan berkelanjutan guna peningkatan produksi sekaligus peningkatan pendapatan dan kesejahteraanya;
191
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
dan (c) Mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional dan ketahanan energi lain melalui pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati. Sasaran KKP-E adalah: (a) Tersalurnya KKP-E kepada petani dan peternak yang membutuhkan pembiayaan/kredit serta lancar dalam pengembalian kreditnya; dan (b) Peningkatan penerapan teknologi anjuran bagi petani/peternak yang memanfaatkan pembiayaan/kredit yang akhirnya terjadi peningkatan produktivitas usaha. Sumber dana KKP-E berasal dari Bank Pelaksana dan resiko KKP-E ditanggung sepenuhnya oleh Bank Pelaksana. Peran pemerintah antara lain menyediakan subsidi suku bunga dan risk sharing untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai. Keputusan akhir kredit ada pada Bank mengingat resiko kredit sepenuhnya ditanggung Bank. Suku bunga KKP-E ditinjau tiap 6 bulan (Direktorat Pembiayaan Pertanian, 2011). Ketentuan tingkat bunga tersebut mulai berlaku tanggal 1 Oktober 2010 sampai 31 Maret 2011 (Tabel 1). Tabel 1. Tingkat Bunga Bank, Tingkat Bunga Peserta KKP-E dan Subsidi Bunga Tingkat Bunga Bank 1. KKP-E Tebu 12 % 2. KKP-E Lainnya 13 % Sumber: Direktorat Pembiayaan (2011) Uraian
Tingkat Bunga kepada Peserta 7% 5%
Subsidi Bunga 5% 8%
Penyaluran KKP-E di Tingkat Nasional Bank Pelaksana KKP-E meliputi 22 Bank, yaitu 9 (sembilan) Bank Umum meliputi Bank BRI, Bank Mandiri, BNI, Bukopin, CIMB Niaga, Agroniaga, BCA, BII, dan Artha Graha. Terdapat 13 Bank Pembangunan Daerah (BPD), yaitu BPD Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat-Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Papua , Riau dan Nusa Tenggara Barat. Dari Rp 8,4 trilyun plafon KKP-E yang ditetapkan pada tahun 2011, nilai realisasinya mencapai Rp 10,9 trilyun (129%). Realisasi penyaluran KKP-E oleh Bank Umum mencapai Rp 10,1 trilyun (128%), sedangkan BPD menyalurkan Rp 0,78 trilyun (150%). Bank danamon menyalurkan paling banyak (Tabel 2). Terdapat enam Propinsi yang belum memanfaatkan KKP-E, yaitu Propinsi Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat, dan Kepulauan Riau. Walaupun KKP-E budidaya tanaman pangan terbesar ketiga setelah budidaya tebu dan peternakan, tetapi penyebarannya terluas dari semua subsektor yang memperoleh KKP-E (27 Propinsi). Penyebaran KKP-E untuk budidaya tebu hanya di Sembilan Propinsi dan terbanyak atau fokus di Pulau Jawa. Sedangkan untuk budidaya tanaman hortikultura selain fokus di Pulau Jawa, juga banyak diserap di Propinsi NTB dan sedikit di Kalsel dan Sumsel.
192
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
Hampir 73 persen KKP-E untuk membiayai budidaya tebu. Sedangkan untuk pembiayaan budidaya padi, jagung dan kedelai hanya 7 persen. Pengadaan pangan atau pembelian gabah mendapat alokasi hanya 1,4 persen dari total plafon. Secara nasional tingkat kredit macet untuk KKP-E kurang dari 5 persen yang umumnya karena gagal panen. Tabel 2. Realisasi Penyaluran KKP-E di Tingkat Nasional, Desember 2010
No
Bank Pelaksana
Plafon (RpJuta)
Realisasi (RpJuta)
Persentase thd plafon (%)
I
Bank Umum
7,886,350
10,126,577
128.41
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bank BRI Bank BNI Bank Mandiri Bank Bukopin Bank BCA Bank Agroniaga Bank BII Bank Niaga Bank Danamon Bank Arthagraha Bank Pembangunan Daerah BPD Sumut BPD Sumbar BPD Sumsel BPD Jabar BPD Jateng BPDDIY BPD Jatim BPD Bali BPD Sulse! BPD Kalsel BPD Papua BPD Riau Bank Ex KKP JUMLAH
4,800,000 618,350 480,000 660,000 55,000 508,000 130,000 170,000 15,000 450,000
5,728,124 555,994 749,851 956,015 40,508 1,576,837 70,875 388,725 59,648 -
119.34 89.92 156.22 144.85 73.65 310.40 54.52 228.66 397.65
521,795
781,621
149.79
14,165 4,000 20,000 67,000 54,120 10,025 256,000 107 405 1,000 5,485 50,000 40,000
921 4,915 3,086 106,460 33,767 9,877 346,722 253,784 869 7,861 7,998 3,091 2,270 10,908,198
6.50 122.88 15.43 158.90 62.39 98.52 135.44 236.29 86.90 143.32 16.00 7.73
II 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
8,408,145
129.73
Sumber: Direktorat Pembiayaan (2011)
Penyaluran KKP-E di Jawa Timur KKP-E disalurkan kepada kelompok tani (KT), koperasi, maupun perusahaan/perantara pemasaran produk pertanian. Jumlah kelompok yang terlibat didalam penyaluran KKP-E relatif terbatas karena kehati-hatian pihak
193
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
perbankan untuk menanggung resiko kegagalan dalam pengembalian kredit. Oleh karena itu bagi kelompok atau koperasi yang akan memperoleh KKP-E diharuskan memenuhi syarat: (i) kelompok telah terdaftar pada Dinas teknis setempat, (ii) mempunyai kegiatan usaha yang mandiri, (iii) mempunyai anggota yang melakukan usaha budidaya yang dapat dibiayai KKP-E, dan (iv) mempunyai organisasi dan pengurus serta aturan didalam kelompok. Persyaratan untuk koperasi adalah: (i) koperasi harus sudah berbadan hukum; (ii) memiliki pengurus yang aktif; (iii) memenuhi persyaratan, (iv) memiliki anggota yang terdiri dari petani; dan (v) memiliki bidang usaha di sektor pertanian. Beberapa langkah strategis (misalnya yang dilakukan oleh BRI Cabang Jember) untuk menjaring nasabah yang dapat akses terhadap KKP-E melalui uji kelayakan sebagai berikut : i.
Melakukan pendekatan secara pribadi kepada pengurus kelompok/koperasi untuk lebih mengenal secara mendalam.
ii.
Menempatkan calon nasabah sebagai mitra yang sejajar dengan bank.
iii. Kelayakan usaha yang dijalankan dengan kesesuaian pasar. iv. Nasabah mempunyai pengetahuan dan pengalaman didalam usahanya. v.
Ketersediaan sumberdaya alam yang memadai untuk menunjang usaha yang dijalankan.
vi. Jaminan yang terbuka antara kelompok dengan BRI . vii. Jaminan berupa agunan dapat ditanggung oleh beberapa anggota kelompok, asal nilai agunan memenuhi syarat jumlah dan kesesuaian sebagai agunan.
KKP-E di Desa Pontang, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember KKP-E di Desa Pontang, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember disalurkan melalui KUD (Koperasi Unit Desa) dengan alasan persyaratan mudah dan bunganya rendah (6 % per tahun pada awal tahun 2010) dan sebetulnya mulai tahun 2001 KUD ini sudah menerima kredit program. KUD ini sendiri berdiri tahun 1981 dengan bisnis utama adalah perdagangan hasil pertanian. Unit usaha KUD ini meliputi toko pertanian, toko kelontong, usaha simpan pinjam, dan penggilingan padi dengan tenaga kerja tetap sebanyak 22 orang, tenaga lepas 12 orang, dan pengurus 5 orang.Total modal KUD sebesar Rp 2 milyar yang terdiri dari 50 persen modal sendiri, 45 persen dari kredit, dan 5 persen bantuan. Jumlah kredit yang diajukan dan riil diterima sebesar Rp 500 juta. Biaya pengurusan kredit sebanyak Rp 5 juta atau 1 persen dari nilai kredit. Jangka waktu pengembalian 12 bulan dengan masa tenggang 12 bulan. Dengan demikian kredit dibayar sekaligus pada bulan ke-12, yaitu pokok dan bunga pinjaman. Agunan yang digunakan adalah dua buah sertifikat KUD senilai lebih dari Rp 1 milyar. Menurut aturan yang berlaku untuk KKP-E seharusnya agunan cukup 130 persen dari nilai kredit atau dalam hal ini senilai Rp 650 juta. Persyaratan kredit dianggap, mudah, layanan bagus, dan dana cair dalam tiga hari. Jika kredit macet maka kena sangsi denda bunga sebesar 16 persen sisa NPL.
194
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
Lembaga ini berfungsi sebagai linkage program melalui pola executing dengan menyalurkan kredit ke petani/anggota sejak 1999.Debitur setahun terakhir sebanyak 1.080 orang termasuk anggota 150 orang. Pinjaman diberikan kepada nasabah dengan jaminan sertifikat tanah atau BPKB mobil/motor sebesar Rp 500.000-Rp 20 juta/orang dengan lama pinjaman 1-6 bulan dan bunga 2,5 persen per tahun untuk kredit Rp 500.000 dan 3 persen per bulan untuk kredit Rp 20 juta. Umumnya lama peminjaman antara 4 sampai 5 bulan. Pembayaran kredit dilakukan sekaligus saat jatuh tempo atau tanpa mengangsur.Selama ini kredit macet kurang dari 5 persen. Jika nasabah mengalami kredit macet maka angsuran ditunda tetapi tidak didenda atau jika harus didenda adalah dalam pembayaran bunga. Kredit macet terjadi karena gagal panen atau kesengajaan oleh debitur. Biaya pinjam ke KUD ini sebesar 2 persen dari bunga, bonus pengembalian bunga 10 persen (dari total bunga). BRI Cabang Jember dalam menyalurkan kredit ke KUD dan nasabah lainnya selain meminta jaminan juga meminta referensi dan kesehatan finansial kelompok. Kuota kredit maksimal dari BRI adalah Rp 500 juta per debitur. Jika pengembalian kredit melampaui jatuh tempo maka akan diterapkan bunga komersial. Harapan pengurus KUD adalah peningkatan plafon kredit dan kontinyuitas penyaluran kredit dari BRI. Koperasi atau KUD yang masih menunggak kredit usaha tani (KUT) tidak dapat meminjam kredit ke bank.
Penyaluran KKP-E untuk Tebu dan Ternak Penyaluran kredit KKP-E melalui Bank Jatim Cabang Jember pada tahun 2009/2010 terdiri dari KKP-E Tebu Rakyat Pola Murni dan KKP-E Ternak Sapi Potong. Plafon kredit KKP-E Tebu Rakyat Pola Murni pada musim tanam 2009/2010 senilai Rp 2 milyar untuk mendanai 210,527 hektar tanaman tebu TRS II di wilayah PG Semboro, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember yang dimanfaatkan oleh 3 kelompok tani. KKP-E Ternak Sapi Pola Murni di Desa Gambirono, Kecamatan Bangsalsari, Kabupaten Jember, sebanyak 78 ekor disediakan plafon kredit Rp 500juta yang digunakan untuk satu kelompok peternak. Pengajuan KKP-E tebu dan sapi potong dijembatani oleh Koperasi Simpan Pinjam sebagai mitra usaha kelompok tani. Kesepakatan kedua belah pihak dilakukan secara tertulis dalam bentuk perjanjian. Persyaratan permohonan kredit hanya diberlakukan pada mitra kelompok, serbagai berikut : a) Permohanan kredit b) Susunan pengurus c) Petikan berita acara rapat anggota d) TDP dan NPWP e) Akte pendirian koperasi/anggaran dasar f)
Anggaran rumahtangga
g) RAT/RAB tahun 2008
195
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
h) Neraca 2 tahun terakhir dan neraca Agustus 2009 i)
Fotokopi jaminan
j)
Satu set Rencana Definitif Kerja Kelompok (susunan pengurus, surat kuasa petani kepada kelompok, surat kuasa kelompok tani kepada koperasi, rencana penarikan dan pengembalian kredit).
Sebenarnya sebagian KKP-E untuk tebu tidak langsung diterima petani. Banyak tuan tanah termasuk para pengurus Koperasi yang menyewa lahan petani kemudian mengajukan KKP-E atas nama petani. Seorang tuan tanah dapat menyewa lebih dari 100 ha sawah per tahun untuk ditanam tebu. Keuntungan per hektar menanam tebu dengan cara menyewa lahan dan menggunakan KKP-E memang tipis, yaitu sekitar Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta. Namun seorang tuan tanah dengan menyewa lahan 100 ha dapat memperoleh keuntungan bersih Rp 150-200 juta setahun dengan menggunakan KKP-E atas nama petani.
Penyaluran KKP-E di Kelompok Tani Penekanan program KKP-E yang diarahkan pada usaha budidaya pertanian pada umumnya masih melibatkan petani sebagai debitur. Oleh karena itu, penyaluran KKP-E ditingkat petani diupayakan untuk membiayai semua subsektor pertanian yang terbatas pada peningkatan produksi berbagai komoditas bernilai tinggi dan mempunyai pasar yang jelas. Penyaluran KKP-E kepada Kelompok Tani lebih banyak digunakan untuk pembiayaan budidaya cabe merah, ternak sapi, dan kacang tanah. Bank penyalur yang melayani KKP-E kepada petani adalah Bank BRI dan Bank Jatim Cabang Jember. Sementara itu, tingkat pendidikan petani penerima kredit yang terbanyak adalah SLTA dan SD masing-masing sekitar 41 persen dan SLTP sekitar 18 persen. Petani yang memperoleh kredit harus menjadi anggota kelompok tani yang sudah pasti dan disahkan oleh Dinas terkait sebagai salah satu syarat peserta kredit program KKP-E. Bentuk agunan KKP-E umumnya adalah akte tanah (33%) dan sertifikat tanah (25%), sebagian lagi (42%) tidak menyerahkan agunan ke kelompok. Yang tidak menyerahkan agunan sebenarnya ditanggung oleh pengurus kelompok atau perantara pemasaran. Salah satu syarat pengajuan KKP-E yang dikeluhkan masyarakat adalah agunan. Menurut pihak bank, agunan tersebut bukan syarat mutlak dan hanya difungsikan sebagai pengikat agar ada motivasi bagi debitur untuk lebih serius dalam mengelola pinjaman. Ada kesan jika kredit diberikan tanpa agunan, maka kredit tersebut sering dianggap gratis oleh penerima dan tidak perlu dikembalikan. Dilain pihak bagi anggota yang tidak menyerahkan agunan dapat diupayakan melalui tanggung renteng oleh beberapa orang dalam kelompok yang memiliki agunan. Lama waktu pencairan kredit mulai persiapan hingga pencairan kredit ratarata 6 sampai 9 minggu. Disamping itu, petani sebagian besar menganggap prosedur pencairan kredit dari bank ke kekelompok tani dan dari kelompok tani ke petani sangat mudah tanpa prosedur yang berbelit. Namun demikian waktu
196
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
pencairan kredit dianggap relative lama dan menghambat pelaksanaan budidaya terutama jika saat pencairan kredit tanaman sudah berumur beberapa minggu yang akhirnya akan menganggu proses produksi karena terlambat pemberian pupuk. Namun penyaluran KKP-E perlu dilakukan hati-hati karena semua resiko akan menjadi tanggung jawab pihak bank. Oleh karena itu kelompok tani yang sudah memperoleh pengesahan disarankan bermitra dengan perusahaan atau bekerjasama dengan koperasi yang menjamin pengadaan sarana produksi, penyuluhan, dan jaminan pemasaran hasil produksi. Dari pengamatan atas intensitas sumber pembiayaan, terlihat bahwa proses penyaluran kredit KKP-E komoditas cabe, kacang tanah dan ternak sapi potong di daerah penelitian pada tahun 2009 baru dilaksanakan rata-rata satu kali. Hal ini menunjukkan bahwa sejak diluncurkannya program KKP-E tahun 2007 partisipasi petani yang memanfaatkan kredit KKP-E untuk pembiayaan budidaya pertanian masih rendah. Umumnya jenis kredit KKP-E yang diambil petani harus melalui Kelompok Tani, sebagaimana disyaratkan sebagai suatu cara pemberdayaan Kelompok Tani sebagai wadah bagi petani dalam melakukan kegiatan budidaya secara bersama. Alasan petani memilih KKP-E sangat bervariasi. Sebanyak 33 persen yang memilih KKP-E menyatakan karena bunga ringan dan persayaratan mudah, 25 persen karena plafonnya fleksibel, dan 9 persen karena tanpa agunan. Alasan lain yang dikemukakan petani dalam mengakses KKP-E adalah menghindari kekauan dalam mengakses kredit ke sumber pembiayaan formal atau perbankan. Keragaan pemanfaatan kredit KKP-E yang diterima petani mempunyai pola yang berbeda dan tergantung dari jenis komoditas yang dibiayai serta usaha yang dijalankan. Pada KKP-E sapi potong, besar dana yang resmi diterima jauh tentu lebih besar (Rp 51,750 juta/petani) dibanding dana yang resmi diterima untuk usaha budidaya kacang tanah (Rp 6,2 juta/petani) dan cabe (Rp 9,2 juta/petani). Jumlah dana KKP-E ternak sapi besar karena terdiri dari beberapa komponen, diantaranya dana pembelian sapi, pembelian dedak, obat cacing, pembelian rumput, tenaga kerja, vitamin, konsentrat, biaya kandang dan tenaga. Namun dana yang riil diterima petani dari Kelompok Tani lebih rendah dibanding dana resmi yang diterima dari bank karena pemotongan untuk biaya pembuatan proposal, transportasi, dan akomodasi selama pengurusan hingga akad kredit, biaya administrasi kelompok, notaris, dan kesejahteraan desa. Misalnya, dana yang diterima petani untuk KKP-E cabe 97,4 persen, kacang tanah 96,7 persen, dan ternak sapi 99 persen. Besarnya potongan dari masing-masing KKP-E berdasarkan atas kesepakatan para anggota kelompok dan pengurus kelompok. Masa tenggang pembayaran KKP-E ternak rata-rata hingga 630 hari (hampir 2 tahun), KKP-E kacang tanah 120 hari dan KKP-E cabe 264 hari. Lamanya tenggang waktu KKP-E yang diberikan pada usaha budidaya tanaman semusim memberikan kelonggoran bagi petani dalam menggunakan kredit karena biaya yang diterima dapat digunakan untuk 3 kali musim tanam.
197
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
Tingkat bunga KKP-E dari perbankan rata-rata 6 persen per tahun, namun berdasarkan kesepakatan diantara para anggota tingkat bunga pinjaman dari Kelompok Tani ke anggota ditetapkan antara 10 persen hingga 12 persen per tahun. Sedangkan pengembalian kredit dari kelompok tani ke perbankan sangat fleksibel, yaitu dengan pembayaran bunga setelah menerima kredit dan pengembalian uang pokok pada akhir masa tenggang dengan cara angsuran atau pembayaran sekaligus. Sebagai rasa tanggung jawab petani terhadap sejumlah kredit yang diberikan oleh perbankan kepada petani/Kelompok Tani, pihak bank memberikan insentif bagi yang tepat waktu membayar kredit dan memberikan sangsi bagi yang terlambat atau menunggak. Jenis insentif yang diberikan oleh perbankan kepada petani adalah mempercepat waktu pengambilan kredit berikutnya. Sementara sangsi yang dilakukan adalah membayar kewajiban hutangnya dengan tingkat suku bunga yang berlaku di pasar serta penahanan agunan. Pelaksanaan KKP-E di Dinas terkait (Dinas Pertanian/Perkebunan) tidak sepenuhnya dicatat karena laporan dari bank penyalur tidak lengkap. Di Kabupaten Mojokerto, misalnya, data KKP-E tanaman pangan tidak tercatat di Dinas Pertanian, padahal dari data di BRI Cabang disebutkan bahwa di Mojokerto juga ada realisasi KKP-E untuk tanaman pangan. Kondisi ini dapat saja terjadi karena kemungkinan besar Kelompok Tani mengajukan kreditnya melalui Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) dan PPL langsung berhubungan dengan perbankan tanpa melalui Dinas. Dalam hal ini PPL-lah yang memberikan rekomendasi Kelompok Tani yang layak diberikan KKP-E dan pihak perbankan menyetujuinya. Untuk kasus seperti ini, umumnya pihak perbankan telah mengenal PPL dan Kelompok Tani dengan baik. Kondisi yang sama terjadi juga pada KKP-E tebu, yaitu Dinas Perkebunan juga tidak memiliki data lengkap terkait nama-nama penerima KKP-E tebu dan nilai kredit yang telah tersalur. Menurut informasi, keterlibatan pihak Dinas Perkebunan dalam KKP-E tebu masih sangat kurang karena pihak bank langsung ke Pabrik Gula (PG) atau ke Koperasi Petani Tebu. Dinas Perkebunan hanya diundang saat ada penyerahan Memorandum of Understanding (MoU) untuk kredit program diantara pihak yang terlibat.Terkait dengan KKP-E tebu secara umum opini petani tebu sangat positif. KKP-E sangat menguntungkan karena bunganya relatif rendah. Walaupun ada semacam fee untuk koperasi maupun PG sebesar 0,5 persen, tetapi dipandang masih wajar dan tidak memberatkan petani. Yang menjadi masalah bagi petani tebu adalah pencairan kredit yang terlambat atau sudah melampaui masa tanam ketika petani membutuhkan biaya tenaga kerja. Selain itu, petani menggunakan dana tersebut kurang dari setahun tetapi harus membayar bunga yang dihitung satu tahun. Sementara itu, pelaksanaan KKP-E komoditas peternakan dilaporkan secara baik di Dinas Pertanian/Peternakan. Bervariasinya pelaporan data sangat tergantung dari keaktifan PPL sebagai pendamping kelompok peternak. Dari bulan Maret 2008 sampai Maret 2010 tercatat 12 kelompok ternak yang telah mendapatkan KKP-E BRI. Sebagian besar (75%) dana KKP-E digunakan untuk usaha penggemukan sapi, sementara sisanya adalah untuk usaha ternak itik (petelur). Proses pengajuan KKP-E di BRI dianggap lebih mudah karena untuk agunan tidak dipersyaratkan untuk semua anggota tetapi dapat diwakili oleh 1 atau
198
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
2 orang saja (misalnya ketua/pengurus kelompok) selama nilai agunan masih lebih tinggi dari pinjaman.
Penyaluran KKP-E di Bali Di Bali tidak ada KKP-E yang disalurkan untuk palawija dan tebu. Sebagian besar KKP-E disalurkan untuk peternakan. Penyaluran KKP-E oleh Bank BRI digunakan untuk peternakan, pengadaan tanaman pangan, dan pengembangan tanaman padi, jagung dan kedele. Rekapitulasi KKP-E periode 31 Juli 2010 di BRI Kantor Wilayah Bali menunjukkan penyaluran untuk tiga subsektor tersebut, namun rekapitulasi bulan September 2010 hanya ditujukan untuk KKP-E Peternakan dan Pengadaan Pangan. Di Kabupaten Gianyar, KKP-E banyak disalurkan untuk usaha ternak sapi potong, baik untuk penggemukan maupun pembibitan dalam rangka pengembangan ternak sapi Bali. Bank yang dominan menyalurkan KKP-E di Kabupaten Gianyar adalah Bank BRI Cabang Gianyar, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali Cabang Gianyar dan BPD Bali Cabang Ubud. KKP-E ini sangat membantu peternak terutama untuk pengembangan usaha ternak sapi. Manfaat yang dirasakan dalam kelompok tani/ternak adalah semakin eratnya hubungan antar anggota kelompok karena sering bertukar pikiran dalam pengembangan usaha ternak. Hasil sampingan dari meningkatnya populasi sapi memberikan dampak bagi ketersediaan pupuk organik dari kotoran sapi yang dapat menunjang integrasi usaha pertanian pangan dan ternak. Disamping itu, hal yang paling penting bagi petani/peternak adalah meningkatnya pemilikan sapi sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka. Masyarakat diluar anggota kelompok tani/ternak memperoleh manfaat tersedianya lapangan kerja dengan bagi hasil atau ngadas dalam istilah setempat. Berdasarkan pengalaman peternak (peternakan rakyat) ada batas kemampuan optimal dalam pemeliharaan ternak, yaitu 10 ekor per peternak. Dengan adanya KKP-E, peternak dapat memiliki lebih dari 10 ekor sapi yang mana sebagian sapi dapat dipelihara oleh peternak lain dengan sistem bagi hasil. Salah satu penerima KKP-E Ternak adalah Kelompok Tani Satwa Murti yang berdiri sejak Juli 2004 dengan anggota semula 11 orang dan sekarang menjadi 30 orang. Kegiatan utama kelompok adalah ternak sapi sebanyak 135 ekor. Anggota kelompok yang menerima kredit sebanyak 14 orang pada tanggal 26 Mei 2010. Sebagian anggota tidak menerima KKP-E karena umumnya belum yakin dengan realisasi kredit dan sebagian tidak dapat memenuhi persyaratan. Setelah 14 orang anggota menerima KKP-E, sebagian anggota yang tidak menerima KKP-E mengajukan kredit non formal ke LPD (Lembaga Perkreditan Desa) dengan bunga yang lebih mahal (2,5% per bulan). Total KKP-E yang resmi diterima adalah Rp 265 juta dan riil yang diterima sebesar Rp 261,25 juta karena harus membayar biaya administrasi sebanyak Rp 3,75 juta. Dengan rekomendasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan pinjaman dapat diambil di BRI Cabang Tabanan. KKP-E harus dikembalikan dalam waktu 3 tahun dengan bunga 6 persen per tahun. Manfaat KKP-E bagi anggota adalah mendorong pemilikan sapi bagi
199
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
anggota yang semula 50 persen diantaranya adalah penggaduh. Setelah lunas kelompok ini akan mengajukan KKP-E lagi dengan peminat yang lebih banyak karena relatif murah bunganya dan mudah prosedurnya serta berharap plafon per orang ditingkatkan (sekarang Rp 25 juta per orang) dan suku bunga diturunkan. Kelompok Tani lainnya yang menerima KKP-E ternak adalah Banteng Rahayu yang menerima kredit sebanyak Rp 325 juta untuk 13 orang atau rata-rata Rp 25 juta per orang. Agunan yang diserahkan ke Bank adalah sertifikat tanah. Biaya administrasi berkisar antara Rp 150.000 hingga Rp 170.000 per orang. Dengan kredit tersebut anggota kelompok dapat membeli lima ekor sapi per orang. Kredit ini sangat membantu petani dalam pemilikan sapi. Kedua KELOMPOK TANI ternak tersebut mengeluhkan rendahnya harga jual sapi potong yang sangat merugikan peternak. Kelompok Tani Sri Artha berdiri tahun 1989 dengan anggota 118 orang menerima KKP-E untuk padi. Pada musim kemarau pertama (MK I) tahun 2010 hanya 48 orang yang mengambil kredit karena tidak semua hamparan sawah mendapat irigasi. Kegiatan utama anggota kelompok adalah usahatani padi dengan total luas garapan 41 ha. Disamping itu mereka juga memiliki ternak sapi potong, babi, kambing, dan ayam.Anggota kelompok yang menjadi pemilik ternak sebanyak 50 persen, selebihnya merupakan penggaduh. Kelompok ini sudah menerima kredit program sejak tahun 1990 dan khusus untuk KKP-E sudah menerima lima kali. Nilai kredit yang diterima kelompok ini untuk bulan Juni 2010 sebesar Rp 111 juta atau rata-rata Rp 2,5 juta per ha. Dana kredit diambil ke BRI Tabanan dengan rekomendasi dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tabanan. Anggota kelompok tidak diminta menyerahkan agunan tetapi hanya menandatangani Perarem yang berisi kesanggupan membayar kredit tepat waktu. Jika ada anggota yang menunggak kredit maka barang-barang yang dimiliki akan dijual untuk melunasi kredit dan air yang mengalir ke sawah debitur tersebut akan dihentikan. Pengetahuan anggota Kelompok Tani tentang KKP-E diperoleh dari pengurus kelompok dan cakupannya relatif terbatas, karena semua prosedur pengurusan pencairan kredit secara rinci, quota kredit, agunan, biaya pencairan, dan proses lainnya dalam pencairan kredit tidak mereka ketahui karena semua dilakukan oleh pengurus kelompok. Pengetahuan mereka hanya sebatas menerima sejumlah uang dan harus mengembalikannya dengan bunga 6 persen per tahun. Distribusi dan cara pengembalian kredit diatur dan disepakati dalam kelompok. Sementara itu pengurus kelompok memperoleh informasi tentang KKPE dari berbagai sumber seperti petugas bank maupun media masa. Sebagian besar petani/peternak peserta KKP-E menyatakan bahwa prosedur untuk memperoleh KKP-E mudah dan cepat. Kemudahan dan cepatnya proses pencairan dana KKP-E disebabkan oleh kelengkapan dokumen petani/peternak yang menjadi persyaratan dalam pencairan KKP-E. Kelompok tani/ternak yang dapat melengkapi persyaratan administrasi dengan mudah akan menerima kredit dengan cepat. KENDALA AKSES DAN PENGEMBALIAN KKP-E
200
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
Berbagai kendala dijumpai petani dalam mengakses dan mengembalikan KKP-E. Dengan berbagai kendala yang ada petani berusaha mendapatkan KKP-E dan menggunakan sebaik-baiknya agar dapat mengembalikan kredit tepat waktu.
Kendala Akses KKP-E di Jawa Timur Pada prinsipnya penyaluran KKP-E kepada petani dilakukan secara mandiri melalui kelompok tani/koperasi atau bekerjasama dengan mitra. Namun tidak semua petani dapat secara langsung mengakses kredit ke sumber pembiayaan untuk digunakan dalam usahatani. Tetapi di Kabupaten Jember akses terhadap KKP-E terkendala berbagai factor antara lain: (i) Kemampuan petani berkelompok dan bekerjasama masih kurang, sehingga sebagai salah satu syarat akses ke KKP-E belum terpenuhi. Umumnya pembentukan kelompok masih bersifat program, belum menunjukkan kemandirian sebagai kelompok tani yang memperoleh pengesahan dari Instansi/Dinas terkait. Sifat kemandirian kelompok dalam kegiatan kerja sama belum menunjukkan kinerja pengurus yang aktif serta aturan main yang ditetapkan belum berjalan meskipun telah disepakati seluruh anggota kelompok; (ii) Persyaratan aplikasi tidak sesederhana yang diperkirakan, sehingga Kelompok Tani sulit untuk mengakses KKP-E karena belum ada sosialisasi program KKP-E baik dari perbankan atau Dinas terkait kepada kelompok tani sehingga mereka sulit mengakses. Dalam Pedoman Teknis Skim Kredit KKP-E disebutkan bahwa instansi pusat, yaitu Direktorat Pembiayaan Pertanian, bersama dengan instansi terkait di daerah dan bank penyalur harus melaksanakan sosialisasi untuk mempermudah akses petani (Direktorat Pembiayaan, 2011); (iii) Untuk mengakses KKP-E, petani harus menjadi anggota Kelompok Tani tetapi setelah menjadi anggota kelompok tidak otomatis dapat memperoleh KKP-E. Agunan sebagai jaminan kredit jarang terpenuhi oleh petani, misalnya agunan berupa sertifikat lahan atau surat berharga lainnya. Sebagian agunan yang dimiliki petani umumnya bernilai jauh lebih rendah dari nilai riilnya. Walaupun pihak perbankan menganggap agunan sebagai syarat pelengkap, akan tetapi merupakan pengikat yang harus dipenuhi karena yang menanggung resiko kredit adalah pihak perbankan sendiri; (v) Kadang-kadang proses pencairan kredit terlalu lama sehingga dana belum tersedia pada waktu diperlukan; (vi) Petani yang akan memperoleh KKP-E harus petani pemilik atau petani penggarap lahan orang lain yang harus diketahui oleh pejabat desa; (vii) Disamping itu budidaya tanaman yang diusahakan harus sesuai dengan permintaan pasar dengan harga jual yang pasti supaya dalam uji kelayakan usaha memungkinkan untuk dibiayai melalui KKP-E; (viii) Pelaksanaan uji kelayakan sangat memberatkan petani yang akan mengakses KKP-E karena memerlukan waktu cukup lama untuk mengurusnya; (ix) Instansi teknis terkait belum secara langsung terkoordinasi dengan pihak perbankan dalam penyaluran KKP-E. Hal ini disebabkan antara lain :
201
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
a) Belum ada kegiatan sosialisasi secara bersama-sama dengan pihak perbankan tentang penyaluran KKP- E kepada petani/kelompok. b) Koordinasi penyaluran KKP-E belum dilaksanakan petani/kelompok berhubungan langsung dengan perbankan.
dan
umumnya
c) PPL sebagai petugas di lapang hanya sebatas mengetahui pelaksanaan transaksi kredit tanpa sepengetahuan induk unit kerja. d) Belum ada laporan kemajuan pelaksanaan kredit baik yang berasal dari pihak perbankan atau petugas lapang, sehingga tidak terdeteksi perkembangannya. e) Belum ada instruksi atau himbauan dari pusat untuk koordinasi, sosialisasi pelaksanaan penyaluran KKP-E. Asosiasi Petani Kacang Tanah Indonesia (APKCINDO) yang berdiri sejak tahun 2004 mengalami kesulitan saat pertama kali mengajukan KKP-E ke BRI Cabang Jember. Dari 31 Kelompok Tani Kacang Tanah yang bernaung dibawah APKCINDO hingga tahun 2010 baru 14 kelompok yang mendapat pinjaman KKPE. Pengurus APKCINDO sudah membantu para petani untuk mengurus sertifikat secara massal agar lebih murah biayanya, tetapi belum semua petani anggota dapat memiliki sertifikat tanah. Selain syarat pemilikan sertifikat tanah (Tabel Lampiran 1), pihak BRI Cabang Jember menambah berbagai persyaratan dengan alasan kacang tanah semula tidak masuk prioritas KKP-E. Hal ini sebenarnya tidak tepat karena budidaya kacang tanah termasuk usahatani tanaman pangan yang dapat dibiayai dengan KKP-E.
Kendala Akses KKP-E di Bali Keadaan berbeda ditemukan di Bali. Kelompok Tani Sri Artha di Tabanan, misalnya, tidak mengalami kesulitan dalam mengakses KKP-E karena tidak memerlukan agunan tetapi hanya Perarem, yaitu kesepakatan tertulis antara Kelompok Tani dengan pihak bank yang ditandatangani oleh ketua Kelompok Tani, Kepala Desa dan Kepala Adat setempat. Isi Perarem yaitu janji dari anggota Kelompok Tani untuk melunasi kredit dan kesediaan untuk menjual harta milik jika mengalami kegagalan dalam pembayaran kredit. Masalah utamanya adalah ketiadaan air irigasi selama musim kemarau sehingga petani tidak menanam padi atau khawatir kalau-kalau tanaman padinya gagal sehingga mereka memutuskan untuk tidak meminjam KKP-E. Sebagian besar anggota KELOMPOK TANI Sri Artha hanya menanam satu kali dalam setahun. Untuk Kelompok Tani ternak agar KKP-E dapat diakses, maka Kelompok Tani harus mempunyai agunan yang nilainya lebih besar dari nilai KKP-E. Biasanya bank menerima beberapa sertifikat tanah atas nama kelompok untuk agunan kredit. Walaupun demikian tiap anggota kelompok harus menyerahkan sertifikat tanah kepada pengurus kelompok. Bagi peternak yang tidak mempunyai sertifikat tanah mereka tidak dapat meminjam KKP-E. Oleh karena itu sebagian anggota kelompok meminjam dari sumber lain seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD) untuk membeli ternak. Ada juga yang hanya dapat menggaduh (bagi hasil) ternak karena tidak mampu membeli.
202
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
Kendala Pengembalian KKP-E di Jawa Timur Sebagian besar petani atau peternak debitur KKP-E tidak mempunyai masalah dalam pengembalian KKP-E selama kredit KKP-E tersebut digunakan sesuai dengan perjanjian. Tidak adanya ketentuan yang kaku mengenai cara pengembalian kredit, memberikan kemudahan bagi petani/peternak debitur kredit. Beberapa kasus hanya membayar bunganya saja tiap bulan tanpa mencicil pinjaman pokoknya dan akan melunasinya pada jangka waktu kredit yang ditentukan. KKP-E ternak umumnya dilunasi dalam jangka 2 tahun, sedang KKP-E tanaman pangan dilunasi dalam waktu satu tahun. Jangka waktu ini dirasakan cukup baik, mempunyai waktu yang relatif longgar dalam membayar kembali kredit. Dari pengalaman pihak perbankan, misalnya BRI Cabang Jember, secara umum KKP-E pangan berjalan baik. Memang pernah ada permasalahan di salah satu kecamatan yang memiliki tunggakan hampir Rp 1 milyar untuk komoditas tanaman pangan. Namun dalam pelaporan sudah dihapuskan karena agunan sudah ada di BRI. Kemacetan tidak terjadi pada petani, tetapi pada PPL yang menggunakan KKP-E atas nama petani. Kemacetan terjadi pada awal pelaksanaan KKP-E karena pihak bank kurang teliti dan menaruh kepercayaaan terlalu besar kepada PPL. Dengan berprosesnya waktu petugas bank dapat mengetahui karakteristik PPL yang benar-benar memiliki komitmen. Untuk penyaluran KKP-E, BRI memang cukup banyak mengandalkan pada PPL yang sudah berpengalaman. Namun demikian tetap diperlukan kewaspadaan oleh pihak bank untuk meminimalkan potensi kemacetan atau penyalahgunaan. Dengan tingkat suku bunga KKP-E yang relatif rendah, dikhawatirkan jika tidak ada pengawasan yang ketat, kredit tersebut dapat dipinjamkan lagi ke pihak lain dengan bunga yang lebih tinggi. Ada indikasi juga bahwa sekelompok elit politik di daerah yang meminjam KKP-E untuk membantu kelompok pendukungnya yang sebagian besar petani/ peternak. Memang bagi pihak Bank hal ini tidaklah menjadi masalah karena penerima tetap petani/peternak, bahkan kelompok elit tersebut bersedia menjamin pengembalian dana tersebut seandainya ada permasalahan.
Kendala Pengembalian KKP-E di Bali Pola pengembalian pinjaman KKP-E di Bali dipandang relatif fleksibel karena peternak dapat mengatur waktu pengembalian sesuai dengan pola produksinya. Pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Gianyar, pengembalian kredit sebesar 50 persen dari pokok pinjaman dan bunga dilakukan setelah 10 bulan dimana usaha sudah menghasilkan dan sisanya dicicil pada penjualan sapi berkutnya. Dengan asumsi sapi tumbuh dengan normal, dalam jangka 20 bulan kredit dapat dilunasi. Hingga saat ini belum terdapat masalah atau kendala dalam pengembalian, dan kredit digunakan sesuai dengan pengajuan kredit. KKP-E BRI Cabang Gianyar baru mulai dimanfaatkan bulan April – Mei 2010 belum saatnya
203
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
jatuh tempo untuk pengembalian. Demikian pula KKP-E BPD Bali Cabang Gianyar juga belum jatuh tempo. Peternak yang memanfaatkan KKP-E yang disalurkan oleh BPD Bali Cabang Ubud mempunyai kinerja yang sudah baik. Setelah berulang kali memanfaatkan KKP dan KKP-E ternyata tidak pernah ada masalah dan semua kredit dapat dilunasi tepat waktu sehingga mereka mempunyai kemudahan untuk memperoleh kredit kembali. Faktor budaya lokal yang memberikan sangsi sosial dan sangat ditakuti oleh masyarakat Bali merupakan salah satu penyebab berhasilnya pengembalian pinjaman tepat waktu sesuai dengan kesepakatan. Namun, pihak Bank harus tetap mengantisipasi agar permasalahan dalam pengembalian kredit tidak terjadi, terutama dari pihak bank, karena risiko akan menjadi tanggung jawab bank. Antisipasi yang perlu dilakukan adalah : (i) monitoring bank agar kredit digunakan sesuai dengan usulan dan panen berhasil; dan (ii) pasar bagi produk yang dihasilkan oleh nasabah agar produk dapat terjual dengan jaminan harga yang menguntungkan sehingga peternak dapat mengembalikan kreditnya. Saat ini yang dikeluhkan peternak adalah rendahnya harga jual sapi akibat kebijakan impor daging sapi yang belebihan. Selain itu kebijakan pemerintah daerah tentang harga pembelian sapi di Rumah Pemotongan Hewan harus dapat bersaing dengan harga sapi di pasar hewan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PETANI UNTUK MENGAKSES KKP-E Dari berbagai sumber pembiayaan pertanian, banyak ditawarkan berbagai skim kredit untuk usaha pertanian dalam bentuk, jumlah, ketepatan waktu dan tingkat bunga yang berbeda, bahkan melalui promosi untuk menjaring nasabah agar ikut berperan serta dalam akses kredit yang ditawarkan. Namun demikian banyak calon nasabah atau petani yang berminat memiliki keterbatasan baik dari segi pengetahuan, ketrampilan maupun pendidikan, sehingga akan mengalami kesulitan dalam memilih skim yang diharapkan. Umumnya pengetahuan terhadap lembaga pembiayaan formal masih terbatas. Kemauan petani untuk bekerjasama secara berkelompok dalam wadah kelompok tani masih rendah. Salah satu syarat untuk mempermudah akses pembiayaan adalah bekerja sama secara kelompok. Disamping itu sangat sulit mencari figur pemimpin Kelompok Tani yang dipercaya oleh anggota dan aktif melaksanakan kinerja kelompoknya. Oleh karena itu diperlukan motivasi petani didalam membangun kelompok dan memberikan kesadaran betapa pentingnya arti kebersamaan didalam melakukan transaksi secara berkelompok dengan lembaga pembiayaan formal. Luas pemilikan dan garapan lahan yang relatif sempit dan pengelolaan usahatani pada komoditas yang sifatnya masih subsisten sangat sulit untuk dikembangkan dan sulit dibiayai melalui skim kredit dari lembaga pembiayaan formal. Disamping itu pemilihan komoditas yang diusahakan pada umumnya belum sesuai dengan permintaan pasar, sehingga pendapatan yang diterima kurang sebanding dengan jumlah dana yang dibiayai oleh lembaga pembiayaan formal.
204
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
Sementara itu, pelaksanaan penetapan agunan yang menjadi jaminan dalam akad kredit, sangat sulit dipenuhi petani dan biasanya perkiraan nilai agunan dihargai lebih rendah dari harga pasar. Berikut ini adalah beberapa faktor internal yang mempengaruhi kemampuan petani dalam mengakses sumber permodalan antara lain: a) Pendidikan. Pendidikan akan meningkatkan kemampuan petani dalam memahami prosedur kredit yang dikeluarkan oleh bank penyalur skim kredit program. Selain itu, pendidikan menyebabkan petani lebih aktif dalam mengakses sendiri berbagai sumber informasi mengenai permodalan. b) Agunan. Ketiadaan atau kekurangan agunan merupakan kendala utama bagi petani untuk mengakses ke sumber permodalan. Agunan yang diminta pihak perbankan berupa sertifikat tanah masih sulit dipenuhi oleh petani. Walaupun demikian, untuk kredit program seperti KKP-E ada keringanan bagi kelompok tani untuk mengajukan agunan dengan sertifikat milik pengurus selama total nilainya lebih tinggi daripada nilai kredit yang diajukan, disertai dengan rekomendasi Dinas Pertanian setempat atau PPL. c) Keanggotaan Kelompok Tani. Petani yang aktif di kelompok tani maupun asosiasi petani mempunyai peluang lebih besar untuk dapat mengakses permodalan, terutama kredit program maupun bantuan permodalan pemerintah. Dari fakta selama ini, hampir semua bantuan/kredit modal disalurkan melalui kelompok tani. d) Pengalaman pinjaman sebelumnya. Beberapa petani yang pernah mendapat kredit program umumnya memiliki akses yang lebih baik untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga pembiayaan. Minimal mereka sudah berpengalaman dan lebih paham tentang prosedur pengajuan kredit . Faktor eksternal yang mempengaruhi aksesibilitas petani terhadap sumber permodalan, baik kredit program maupun komersial, adalah sebagai berikut: a) Persyaratan perbankan. Kendala utama petani dalam mengakses kredit, baik kredit program maupun komersial adalah persyaratan yang ketat dari pihak perbankan. Walaupun bersifat kredit program, namun tetap harus memenuhi persyaratan standar mengingat dana yang disalurkan untuk kredit berasal dari perbankan. Perbankan menetapkan persyaratan 5 C (collateral, character, capacity, capital, condition), dan umumnya syarat yang paling sulit dipenuhi adalah collateral (agunan). b) Kebijakan dan sosialisasi kredit program. Kredit program selama ini menjadi prioritas kebijakan pembiayaan petani walaupun cakupannya masih sangat kecil. Disamping itu, sosialisasi kredit program juga sangat menentukan akses petani. Seringkali petani/pelaku usaha mikro di pedesaan tidak tahu atau kurang jelas mengenai seluk beluk kredit program karena kurang atau tidak ada sosialisasi dari Dinas terkait. c) Fasilitator pembiayaan. Keberadaan fasilitator atau mediator untuk menjembatani petani dan perbankan sangat menentukan aksesibilitas petani terhadap kredit formal. Dalam kasus KKP-E, misalnya, peran PPL sangat
205
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
besar untuk membantu petani dalam mengajukan kredit ke perbankan. Keaktifan mediator dalam membimbing petani menjadi faktor yang sangat menentukan akses kredit. d) Pemasaran produk pertanian. Fluktuasi harga produk pertanian yang sangat tinggi menyebabkan sektor pertanian umumnya dianggap sangat beresiko, kecuali tebu. Kondisi ini membuat pihak bank harus berhati-hati untuk memilih komoditas dan waktu yang tepat dalam membiayai sektor pertanian sehingga tidak terlalu mudah untuk memberikan persetujuan kredit kepada petani.
PENUTUP
Keragaan penyaluran KKP-E cukup baik karena melampaui plafon yang ditetapkan. Disamping itu jumlah kredit macet atau non-performing loan (NPL) juga relatif kecil. Walaupun demikian akses sebagian petani untuk kredit program tersebut relatif sulit karena bank mempunyai persepsi bahwa usahatani (termasuk ternak) relatif berisiko, kecuali petani tebu. Penyaluran KKP-E kepada petani bisa langsung ke Kelompok Tani, melalui koperasi, dan, mitra atau fasilitator kelompok. Kendala yang dihadapi petani dalam mengakses KKP-E antara lain harus menjadi anggota Kelompok Tani, keterbatasan agunan berupa sertifikat tanah, berstatus pemilik penggarap atau petani penggarap tetapi harus direkomendasikan oleh Kepala Desa. Pengembalian KKP-E umumnya lancar karena usahatani yang dibiayai memang layak secara finansial. Kegagalan atau penundaan pengembalian KKP-E umumnya karena gagal panen. Secara internal ada beberapa faktor penghambat, yaitu pendidikan yang umumnya rendah membuat petani kesulitan mengikuti prosedur yang ditetapkan bank. Kurang pengalaman meminjam ke bank menghambat akses petani untuk memperoleh kredit formal. Faktor eksternal juga menjadi penghambat akses kredit formal, misalnya kurang sosialisasi dari pihak perbankan, harga produk pertanian yang umumnya relatif berfluktuasi, serta peraturan perbankan yang relatif rumit bagi petani. Asumsi bahwa petani umumnya sudah bankable tetapi belum feasible untuk debitur KKP-E perlu ditinjau ulang karena umumnya keuntungan petani relatif kecil dan tidak memiliki agunan yang memadai. Bunga KKP-E yang relatif rendah (6-7% per tahun) sebenarnya tidak masalah bagi bank karena selisih bunga tersebut dibanding kredit komersial dibayar oleh pemerintah. Untuk meningkatkan akses petani terhadap KKP-E pemerintah harus meminta pihak bank mengalokasikan lebih banyak dana untuk KKP-E karena penyerapan KKP-E saat ini ternyata dapat melampaui plafon yang ditetapkan. Disamping itu bank harus menetapkan alokasi secara khusus nilai KKP-E untuk sektor hulu (usahatani) dibanding untuk sektor hilir (pengolahan dan perdagangan). Agunan yang diminta bank terlalu tinggi, yaitu bisa mencapai 130 persen dari nilai kredit, seharusnya diturunkan sehingga tidak memberatkan calon debitur. Agar petani mempunyai agunan perlu dibantu melalui program pembuatan sertifikat tanah
206
Peningkatan Akses Petani terhadap Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
secara massal supaya semakin banyak petani yang mempunyai sertifikat tanah. Disamping itu biaya pembuatan sertifikat harus relatif murah agar terjangkau oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2010. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil. Jakarta. Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2011. Pedoman Teknis Skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). Skim Kredit Bersubsidi untuk Petani/Peternak. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. Hermanto. 2001. Perkembangan Kelembagaan Pertanian. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Tim Pengkaji Kebijakan Perberasan Nasional Dalam A. Suryana, S. Mardianto dan M. Ikhsan (Penyunting) Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) 1-13. Jakarta. Mubyarto, 2000. Membangun Sistem Ekonomi. BPFE. Jakarta. Mulyadi. 2010. Peran Kementerian Pertanian dalam Rangka Mendorong Peningkatan Produktivitas Sektor Pertanian dan Peternakan melalui Kredit Program. Direktorat Pembiayaan, Ditjen Sarana dan Prasarana Pertanian, Kementerian Pertanian (Power Point). Jakarta. Widyarini, M. 2009. Analisis Kelayakan Usaha Tani Padi dengan Pembiayaan Kredit Komersial pada Kantor Cabang PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) di Tangerang. Paper, Gent Universiteit, Belgia http://202.146.5.33/kompascetak/0705/14/Jabar/21915.htm 2009
Tabel Lampiran 1. Persyaratan KKP-E Kacang Tanah di BRI Cabang Jember, Jawa Timur, 2010 No.
NAMA BERKAS
207
Bambang Sayaka dan Rudy Sunarja Rivai
1
Permohonan kelompok diketahui Kades dan PPL/Mantri/UPTD
2
Susunan Pengurus disahkan Kades dan PPL
3
RDKK disahkan Kades, PPL, Ketua Kelompok
4
Surat Pernyataan Penggarap dengan lampiran:
5
Tabel Pemilik dan Penggarap disahkan Kades
SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan) kepemilikan harta kekayaan
Surat Sewa lahan
Surat Kuasa bermaterai dari seluruh anggota kelompok
Tandatangan surat kuasa oleh anggota
6
Surat Rekomendasi Diperta
7
Surat Rekomendasi APKCINDO (Asosiasi Petani Kacang Tanah Indonesia)
8
Surat jaminan pasar
9
Surat pernyataan bebas KUT bermaterai oleh Kepala Desa
10
Rencana Pencairan dan Pengembalian Jaminan Sertifikat (harus dari anggota kelompok dengan nilai meng-cover jumlah kredit)
11
SPPT kepemilikan harta kekayaan
KTP suami istri
Kartu Keluarga
Harga tanah
Foto jaminan
Surat nikah
12
Fotokopi KTP terbaru seluruh anggota (termasuk pemilik jaminan)
13
Analisa usaha kelompok
208