Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
PENGINDERAAN JAUH UNTUK INVENTARISASI MANGROVE: POTENSI, KETERBATASAN DAN KEBUTUHAN DATA ♣ Projo Danoedoro PUSPICS Fakultas Geografi UGM ABSTRAK Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem vegetasi di wilayah pasang surut berlumpur, yang terutama dijumpai di wilayah tropis dan sub-tropis. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai garis pantai yang sangat panjang, dan sebagian darinya merupakan wilayah ekosistem alami mangrove. Mengingat bahwa pembangunan secara fisik di Indonesia sangat cepat dan dalam beberapa hal kurang terkendali, banyak ekosistem alami mangrove saat ini yang mengalami gangguan dan bahkan telah terkonversi ke bentuk-bentuk ekosistem lain (terutama budidaya). Dampak dari kerusakan ini secara ekologis juga mengakibatkan berbagai masalah lingkungan lain. Oleh karena itu, inventarisasi mangrove yang meliputi pemetaan luas liputan, kekayaan jenis dan kualitasnya merupakan suatu prioritas. Penginderaan jauh diharapkan dapat membantu aktivitas inventarisasi ini. Tulisan pendek ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan secara rinci teknik-teknik analisis citra untuk inventarisasi mangrove, melainkan untuk memberikan gambaran tentang potensi dan keterbatasan penginderaan jauh sebagai alat utama serta kebutuhan data untuk inventarisasi dan pemetaan mangrove.
1. PENDAHULUAN: SENSOR, WILAYAH SPEKTRAL DAN CARA PEREKAMAN DALAM PENGINDERAAN JAUH LINGKUNGAN Sistem penginderaan jauh bekerja melalui pengumpulan data (citra) oleh sensor, dilanjutkan dengan pemrosesan awal citra, analisis dan ekstraksi informasi hingga menghasilkan peta-peta tematik yang nantinya dimanfaatkan lebih lanjut oleh pengguna untuk berbagai keperluan. Sebagai suatu tahap inisial, proses perolehan data yang dipengaruhi oleh jenis sensor dan cara perekaman sangat menentukan karakteristik data yang dihasilkan. Secara garis besar, sistem penginderaan jauh dapat dibedakan menurut sumber energi yang digunakan, cara perekaman, wilayah spektrum panjang gelombang dimanfaatkan, serta jenis wahana (platform) yang dijadikan basis penempatan sensor. Dari sisi sumber energi yang digunakan, dikenal adanya sistem penginderaan jauh pasif dan aktif; di mana sistem pasif merekam pantulan energi elektromagnetik matahari yang diterima oleh obyek ke sensor atau merekam energi yang dipancarkan langsung oleh sensor; sementara sistem aktif menggunakan sumber energi buatan yang dipancarkan ke obyek, untuk kemudian direkam pantulannya dan atau hamburan-baliknya. Sistem pasif mencakup sebagian besar sistem penginderaan jauh yang digunakan dewasa ini, baik melalui pemotretan dengan kamera, pemindaian termal, maupun pemindaian multispektral dan hiperspektral. Sistem aktif saat ini dapat dibedakan menjadi sistem lidar (light detection and ranging) yang berbasis sinar laser dan sistem radar (radio detection and ranging) yang berbasis gelombang mikro. Dari sisi cara perekaman, dikenal beberapa cara merekam sinyal elektromagnetik dari obyek, yaitu melalui kamera dengan film (yang saat ini sebagian sudah mulai ditinggalkan), pemindai elektro-optik (yang beroperasi pada wilayah panjang gelombang tertentu atau beberapa wilayah spaktral sekaligus), dan antena. Kamera berfilm digunakan untuk pemotretan udara, dan biasanya dimanfaatkan untuk menghasilkan satu seri foto udara yang bisa diamati secara stereoskopis. Pemindai elektro-optik ada yang beroperasi dengan cermin yang berputar (rotating mirror, disebut juga sebagai whiskbroom ♣
Disampaikan dalam Workshop/Seminar “Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan” diselenggarakan oleh Bakosurtanal, di Bogor 30 Juli 2009
98
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
scanner, atau across-track scanner), CCD deret linier (linear array CCD atau pushbroom scanner, atau along-track scanner), dan CCD bersusunan bidang (area array CCD). Penggunaan area array CCD sebenarnya sudah tidak begitu tepat disebut sebagai pemindaaian, apabila batasan pengertian perekaman pemindaian adalah perekaman tidak serentak untuk suatu area. Penggunaan antena merupakan suatu cara perekaman yang khas pada sistem radar, di mana pengiriman sinyal dilakukan secara menyamping (side-looking), sehingga hanya obyek dengan sikap (attitude) tertentu terhadap sensor antena saja yang bisa memberikan pantulan energi berupa hamburan balik, sementara yang lain akan memantulkannya ke arah lain atau menyerapnya. Berbagai spektra panjang gelombang yang bervariasi juga seringkali dimanfaatkan oleh sensor penginderaan jauh. Wilayah spektral ini meliputi ultraviolet (sekitar 0,2 – 0,3 µm yang tidak banyak digunakan untuk pemotretan), visible/tampak (0,4 – 0,7 µm), inframerah dekat, tengah dan jauh (0,7 – 2,5 µm), inframerah termal (3 – 14 µm), serta gelombang mikro yang mempunyai panjang gelombang beberapa cm. Penting untuk diperhatikan di sini bahwa pembedaan berdasarkan wilayah panjang gelombang juga dalam beberapa hal terkait erat dengan pembedaan sensor, karena ada kecenderungan bahwa sensor tertentu hanya bisa dioperasikan wilayah panjang gelombang tertentu. Pembedaan dalam hal panjang gelombang saat ini bukan hanya dari sisi wilayah cakupan spektral, melainkan juga dari aspek kerincian (sempitnya) panjang gelombang seperti pada sistem hiperspektral (yang untuk lebar spektral yang sama bisa dioperasikan jumlah saluran yang jauh lebih banyak daripada sistem multispekral, atau dari sisi polarisasi pulsa hamburan balik pada sistem radar, yang bisa berupa “datang horisontal, kembali horisontal” (HH), HV, VV, dan sebagainya. Kategorisasi terakhir adalah berdasarkan wahana (platform), di mana tidak ada pembeda spesifik antar-wahana dari sisi perbedaan sensor dan wilayah spektral. Wahana ini meliputi crane (narrow range), medium range seperti balon, gantole atau trike, pesawat udara, dan wide range seperti pesawat ulang-alik, dan satelit tak berawak. Memang ada kecenderungan bahwa pemotretan udara lebih banyak menggunakan wahana yang terbang rendah hingga medium, sementara pemindaian termal maupun multispektral bisa memanfaatkan pesawat udara, pesawat ulang-alik maupun satelit. Dengan memperhatikan sistem penginderaan jauh yang begitu beragam, maka secara umum tidak bisa dikatakan bahwa sistem satelit akan lebih unggul atau lebih terbatas dari sistem pesawat udara. Begitu pula halnya dengan sistem multispektral, yang belum tentu bisa dikatakan lebih akurat dalam memetakan fenomena tertentu --termasuk ekosiste mangrove-- dibandingkan dengan sistem gelombang mikro. Dengan kata lain, suatu sistem perlu dievaluasi secara menyeluruh dalam hal cara perekaman dan kepekaan spektralnya, yang pada akhirnya dimanifestasikan dalam beberapa tolok ukur resolusi spasial, spektral, radiometrik, temporal dan skala cakupannya. 2. RESOLUSI, SKALA DAN KERINCIAN PEMETAAN Dalam bekerja dengan data spasial digital, para pengguna peta biasanya tidak secara langsung berbicara tentang skala. Dalam ‘bahasa’ peta-peta tercetak, para geografiwan, perencana, dan surveyor pemetaan biasanya menggunakan istilah skala –yaitu konsep yang menyatakan perbandingan antara ukuran yang tersaji pada peta dengan ukuran nyata di lapangan. Hal yang sama juga berlaku apabila mereka bekerja dengan foto udara. Untuk sistem pencitraan berbasis digital, biasanya digunakan konsep resolusi. Resolusi (disebut juga resolving power = daya pisah) adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral mempunyai kemiripan (Swain dan Davis, 1978). Pengertian ini akhirnya berkembang, dengan menambahkan aspek waktu (temporal) di dalamnya. Dalam bidang penginderaan jauh, terdapat empat konsep resolusi yang sangat penting, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi
99
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
temporal. Dalam makalah ini resolusi temporal tidak dibahas secara khusus, tetapi dapat dilihat di Jensen (2007). 2.1. Resolusi spasial Pengertian praktis resolusi spasial adalah ukuran terkecil obyek yang masih dapat dideteksi oleh suatu sistem pencitraan. Semakin kecil ukuran obyek (terkecil) yang dapat terdeteksi, semakin halus atau tinggi resolusinya. Begitu pula sebaliknya, semakin besar ukuran obyek terkecil yang dapat terdeteksi, semakin kasar atau rendah resolusinya. Citra satelit SPOT yang beresolusi 10 dan 20 meter dapat disebut beresolusi spasial (lebih) tinggi, dibandingkan dengan citra satelit Landsat TM yang beresolusi spasial 30 meter. Resolusi spasial 30 m
Resolusi spasial 15 m
Arah gerak sensor
A. Tidak ada satu pun piksel murni pada resolusi spasial 30 meter
B. Hanya piksel-piksel ini yang merupakan piksel murni pada resolusi 15 meter
Gambar 1. Kenampakan liputan penutup lahan dan orientasi ekstrem suatu proses perekaman secara digital yang menghasilkan citra dengan resolusi spasial yang berbeda. Pada gambar ini, orientasi medan adalah utaraselatan, sementara arah gerak sensor adalah barat daya (memotong secara diagonal). Gambar A menunjukkan citra hasil perekaman (resolusi 30 meter) yang tidak mempunyai piksel murni, sedangkan gambar B menunjukkan bahwa hanya dua piksel dari citra (resolusi 15 meter) yang merupakan piksel murni.
Secara umum juga sering dikatakan bahwa dengan ukuran resolusi ini obyek yang lebih kecil daripada resolusi tersebut (misalnya 79 meter) tidak akan dapat dikenali atau dipresentasikan sebagai obyek itu sendiri secara individual. Walaupun demikian, dalam praktek dijumpai bahwa obyek dengan lebar kurang dari 1 piksel (misalnya selebar 10 meter dibandingkan resolusi spasial 30 meter) namun berbentuk memanjang seperti misalnya jalan masih dapat dikenali dan dibedakan dari obyek si sekitarnya, sejauh secra spektral obyek tersebut mempunyai kontras yang cukup besar dibandingkan obyek di sekitarnya. Obyek berukuran kurang dari resolusi spasial tersebut akan tercatat sebagai satu sel penyusun citra (pixel = picture element, elemen gambar) yang sebenarnya memuat informasi beberapa obyek. Piksel semacam ini disebut mixed-pixel (mixel) (Kannegieter, 1987). Mixel diperlawankan dengan piksel murni (pure pixel) yang memuat informasi satu jenis obyek saja. Obyek berupa liputan padang rumput yang luas pada citra berresolusi 20 meter mempunyai kemungkinan untuk menyajikan sejumlah besar piksel murni. Semakin kasar resolusinya, semakin besar kemungkinan suatu citra untuk menyajikan banyak mixel. Gambar 1 menunjukkan ukuran minimum obyek yang dibutuhkan untuk dapat dipresentasikan sebagai satu piksel murni. Pada gambar tersebut
100
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
ditunjukkan suatu kondisi ekstrem, di mana orientasi medan melintang secara diagonal, memotong sudut-sudut piksel. 2.2. Hubungan antara Resolusi Spasial dengan Skala Citra Terdapat hubungan yang cukup rumit antara resolusi spsial dengan skala citra. Beberapa penulis, misalnya McCloy (1995) dan Robinson et al (1995), yang menjelaskannya secara parsial. Salah satu tulisan yang cukup lengkap mengenai hubungan tersebut terdapat dalam buku Aronoff (2005), yang kemudian dijadikan acuan dalam pembahasan di sini. Aronoff memulai pembahasan hal ini dengan mengulas tentang resolusi foto udara, dan kemudian beralih ke resolusi citra digital. 2.2.1. Skala foto udara Skala foto udara dihitung pada film, yang berfungsi sebagai detektor pada sistem fotografik. Jadi, skala menurut perhitungan ini tidak digunakan pada foto tercetak (print out), yang kadang-kadang dihasilkan melalui perbesaran ataupun pengecilan, serta kadang-kadang memberikan kualitas tampilan visual yang bervariasi tergantung dari penggunaan kertas fotonya, sehingga berpengaruh terhadap penilaian atas resolusinya. Film dipasang pada suatu sistem sensor kamera yang punya jarak tertentu dari titik pusat lensa, yang dinyatakan sebagai panjang fokus (f). Jarak dari pusat lensa ke bidang film adalah merupakan fungsi pengecilan dari jarak dari pusat lensa ke permukaan medan (H). Skala pada film dihitung sebagai skala = f/H. Apabila foto dicetak berdasarkan film ini tanpa melalui proses perbesaran ataupun pengecilan, maka skala foto yang dihasilkan dapat dianggap sama dengan skala film. Sebagai contoh, suatu foto udara diambil dari ketinggian 3.000 m terhadap permukaan medan dengan menggunakan lensa berpanjang fokus 150 mm. Skala foto (atau tepatnya skala film) yang dihasilkan adalah 0,150 m/ 3000 m atau 1:20.000. Skala ini sering disebut sebagai skala kontak (contact scale), karena setara dengan skala foto yang dihasilkan pada proses cetak kontak, sehingga skala foto sama dengan skala film. Perbesaran foto empat kali lipat akan menghasilkan skala foto sebesar 1:5.000, akan tetapi skala film tetaplah 1:20.000. Detil atau rincian pada foto hasil perbesaran juga tidak mengalami peningkatan, karena tetap sama dengan rincian pada film yang berskala 1:20.000. Dengan kata lain, daya pisah secara spasial (resolusi spasial) foto tidaklah meningkat, meskipun skala foto diperbesar dari 1:20.000 menjadi 1:5.000. Film untuk pemotretan udara biasanya mempunyai resolusi spasial tertentu, yaitu antara 100 hingga 150 lp/mm. Satuan lp/mm menyatakan banyaknya pasangan garis (line pairs) yang dapat terdeteksi pada interval 1 mm. Film-film tertentu bisa mempunyai resolusi hingga 450 lp/mm. Meskipun demikian, karena gerakan wahana dan getaran kamera yang terpasang, resolusi film bisa turun sehingga secara efektif terhitung 40 lp/mm (Aronoff, 2005). Kombinasi antara skala dan resolusi berpengaruh pada kualitas citra, yang dinyatakan dengan ground resolving distance (GRD), yang seringkali juga dipandang sebagai resolusi spasial efektif foto. GRD dapat dihitung dengan menggunakan rumus: GRD = faktor skala/R, di mana GRD dinyatakan dalam milimeter, sementara R merupakan resolusi sistem yang dinyatakan dalam line pairs per mm, dan faktor skala merupakan bilangan penyebut dalam angka skala. Jadi, misalnya suatu sistem fotografik menghasilkan foto pada skala 1:20.000 dengan resolusi efektif film 40 lp/mmm, maka besarnya GRD adalah 20.000/40 = 500 mm, atau 0,5 m. Nilai GRD ini berlaku untuk film. 2.2.2. Skala citra Citra digital tidak mempunyai skala definitif, karena bisa ditampilkan dan dicetak pada sembarang skala. Meskipun demikian, ada konsep ground sample distance (GSD), di mana GSD pada saat citra
101
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
diperoleh merupakan fungsi skala. GSD merupakan jarak di lapangan yang diwakili oleh lebar suatu piksel. Jadi, kalau suatu citra mempunyai piksel yang ukurannya mewakili ukuran 30 m x 30 m di lapangan, maka GSDnya adalah 30 m. Begitu pula halnya kalau piksel suatu citra mewakili ukuran di lapangan sebesar 4 m x 4 m, maka GSDnya adalah sebesar 4 m. Semakin kecil ukuran GSD, semakin halus detil yang dapat ditangkap oleh suatu sistem, atau semakin tinggi pula resolusi spasialnya. Dengan menggunakan analogi pada foto udara, maka perhitungan skala citra digital dilakukan pada bidang detektor. Misalkan suatu kamera digital dengan panjang fokus 28 mm (= 0,028 m) dipasang di pesawat udara dengan tinggi terbang 1800 m di atas permukaan medan, maka kamera digital ini akan menghasilkan skala pada susunan detektor (detector array) sebesar f/H = 0,028/1800 = 1:65.000. Besarnya GSD saat pengumpulan data (collection GSD) untuk citra yang dihasilkan kamera digital itu dapat dihitung sebagai berikut: GSD= ukuran elemen detektor x penyebut skala. Misalkan setiap detektor pada susunan detektor tersebut berukuran 0.009 mm (= 9 x 10-6 m), maka besarnya GSD saat pengumpulan data adalah 9x 10-6 m x 65.000, yaitu sekitar 0,6 m. Meskipun demikian, citra digital jarang disajikan pada skala kamera atau skala kontak, karena terlalu kecil untuk pengamatan yang nyaman di mata. Untuk keperluan pengamatan dan analisis, citra digital biasanya dicetak atau disajikan di layar monitor pada skala yang berbeda dengan skala kontak, dan hal ini disebut dengan skala produksi (product scale). Skala produk biasanya diukur dari perbandingan antara GSD produksi dengan GSD saat pengumpulan data. Pada umumnya, ada nilai ambang untuk GSD produksi yang dipandang cukup nyaman bagi penglihatan (visual threshold), yaitu 300 dpi (dots per inch). Dengan nilai GSD produksi sebesar 300 dpi (atau setara 0,0000847 m per piksel) ini, maka skala optimum bagi citra digital tersebut adalah: skala produksi optimum = ukuran piksel produksi / GSD saat pengumpulan data = 0,0000847 m/ 0,6 m, yaitu sekitar 1:7.000. 2.3. Resolusi Spektral Sesuai dengan namanya, resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi (obyek) berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya. Kembali pada bagian bacaan terdahulu, secara praktis dapat dikatakan bahwa semakin banyak jumlah salurannya (dan masing-masing cukup sempit), semakin tinggi kemungkinannya untuk membedakan obyek berdasarkan respons spektralnya. Dengan kata lain, semakin sempit interval panjang gelombangnya dan atau semakin banyak jumlah salurannya, semakin tinggi pula resolusi spektralnya. 2.4. Resolusi Radiometrik Kemampuan sensor dalam mencatat respons spektral obyek dinyatakan sebagai resolusi radiometrik. Respons berupa radiansi spektral yang dinyatakan dalam satuan mW cm-2sr-1µm-1 atau Wm-2sr-1µm-1 datang mencapai sensor dengan intensitas yang bervariasi. Sensor yang peka dapat membedakan selisih respons yang paling lemah sekalipun. Kemampuan sensor ini secara langsung dikaitkan dengan kemampuan koding (digital coding), yaitu mengubah intensitas pantulan atau pancaran spektral menjadi angka digital. Kemampuan ini dinyatakan dalam bit. Sistem coding 4 bit akan mengubah intensitas pantulan atau pancaran menjadi 24 = 16 tingkat, yang terlemah diberi kode 0, dan yang tertinggi diberi kode 15. Bagi sensor dengan kemampuan koding 8 bit, sinyal dengan julat intensitas yang sama akan diubah menjadi citra dengan 28 = 256 tingkat kecerahan, di mana 0 adalah untuk sinyal terlemah, dan 255 untuk sinyal terkuat. Sinyal terlemah tampak hitam pada citra, dan sinyal terkuat tampak putih. Kemampuan koding satelit sumberdaya dari waktu ke waktu berbeda-beda. Landsat generasi 1 (Landsat 1,2, dan 3), misalnya, mempunyai kemampuan koding 128 tingkat untuk MSS4, MSS5, dan MSS6; serta hanya 64 tingkat untuk MSS7. Cara koding semacam ini diterapkan oleh EROS Data Center/EOSAT, Amerika Serikat. Untuk Eropa, seluruh saluran MSS di terima dan diproses menjadi data dengan koding 8 bit (Mather, 2004). Landsat TM dan SPOT HRV mempunyai kemampuan koding sampai 256 tingkat kecerahan. Untuk saat ini, sudah banyak citra satelit yang dihasilkan dalam 102
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
11 bit coding (2048 tingkat), misalnya citra Ikonos, Quickbird dan Orbview. 2.5. Hubungan Antara Resolusi dengan Kerincian Obyek Dari penjelasan pada bagian terdahulu bisa dipahami bahwa kerincian informasi tentang obyek di permukaana bumi, termasuk vegetasi mangrove, bukan semata-mata tergantung pada` resolusi spasial. Dengan kata lain, tidak selalu dapat dikatakan bahwa citra skala besar selalu dapat memberikan informasi yang lebih rinci tentang karakteristik obyek dibandingkan citra dengan skala yang lebih kecil. Faktor temporal, hambatan atmosfer dan kepekaan spektral maupun radiometrik kadangkala juga menyebabkan suatu jenis citra lain dengan resolusi spasial yang lebih rendah bisa lebih efektif dalam aplikasi. 3. PENGINDERAAN JAUH UNTUK KAJIAN VEGETASI: PENDEKATAN DAN TEKNIK ANALISIS 3.1. Pendekatan dalam Interpretasi Fotografik Penginderaan jauh untuk kajian vegetasi dan kajian penggunaan lahan pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam hal pendekatan yang digunakan. Informasi dasar yang disadap dari citra sebenarnya adalah jenis-jenis penutup lahan. Dari infromasi dasar ini kemudian dilakukan proses inferensi, di mana jenis-jenis vegetasi dan bentuk-bentuk penggunaan lahan dideduksi secara logis. Van Gils et al (1990) menjelaskan adanya tiga macam pendekatan dalam penggunaan citra (khususnya foto) untuk pemetaan penutup lahan, vegetasi dan penggunaan lahan. Pendekatan pertama ialah photo-guided approach, di mana citra (biasanya skala besar) hanya digunakan sebagaui panduan lapangan. Dalam pendekatan ini tidak ada proses interpretasi, dan proses pemetaan sepenuhnya dilakukan berdasarkan observasi lapangan. Pendekatan kedua ialah kunci foto (photokey approach), di mana kenampakan fotomorfik pada citra dijadikan landasan utama dalam pembedaan berbagai kenampakan obyek. Khusus untuk vegetasi, kenampakan tekstural liputan kanopi yang dipadukan dengan rona/warna dan kesan ketinggian merupakan unsur-unsur utama pengenalan jenis vegetasi. Pendekatan kunci foto banyak memanfaatkan citra skala besar. Pendekatan ketiga berbasis ekologi bentanglahan (landscape-ecological approach), di mana hubungan antara kenampakan fotomorfik, karakteristik lahan, lokasi geografis dan faktor temporal memegang peran penting dalam membedakan satuan-satuan ekosistem vegetasi atau satuan penggunaan lahan. Pendekatan ini pada dasarmnya lebih bersifat deterministik, di mana asumsi bahwa faktor lingkungan mengontrol kehadiran suatu bentuk penggunaan lahan atau jenis vegetasi tertentu. Pendekatan ekologi bentanglahan sangat relevan dalam pemetaan ekologi vegetasi, termasuk mangrove. Melalui pendekatan ini, pengenalan ekosistem vegetasi bukan semata-mata didasari oleh kenampakan fotomorfik liputan vegetasi atau kanopinya, melainkan juga melalui pengenalan faktorfaktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehadiran jenis vegetasi itu sendiri. Pendekatan semacam ini juga terkait erat dengan kajian-kajian fitogeomorfologi atau geobotani. 3.2. Adopsi dan Modifikasi Pendekatan dengan Citra Digital Meskipun demikian, pendekatan ekologi bentanglahan seringkali berangkat dari asumsi penggunaan interpretasi manual atau fotografik; padahal dewasa ini citra lebih banyak tersedia dalam format digital dan direkam secara multispektral. Akhir-akhir ini juga semakin banyak tersedia citra hasil perekaman dengan sensor radar dan hiperspektral. Dalam kajian vegetasi menggunakan citra multispektral, citra biasanya diproses dengan dua macam cara. Pertama, citra diklasifikasi secara multispektral untuk menurunkan klas-klas liputan vegetasi (dan
103
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
penutup lahan lain) tentatif. Kemudian, citra yang sama dipertajam secara spektral untuk diinterpretasi secara visual mengacu ke satuan-satuan bentuklahan ataupun satuan medan, sebagai dasar penurunan informasi karakteristik lahan yang relevan seperti misalnya salinitas, pH, tekstur tanah, drainase permukaan, dan sebagainya. Proses interpretasi dapat dilakukan secara manual di atas citra tercetak (hardcopy), atau secara langsung pada layar monitor dengan teknik heads-up (on-screen) digitisation. Integrasi hasil klasifikasi multispektral dan interpretasi visual dilakukan dengan perangkat lunak SIG berbasis raster, dan proses klasifikasinya dapat dikelompokkan menjadi knowledge-based classification, di mana pengetahuan mengenai hubungan antara tipe penutup lahan vegetasi, karakteristik lahan, pola pasial dan unit ekosistemnya diformalisasikan dalam bentuk computer-based rules. Kedua, citra diproses dan dianalisis dengan pendekatan indeks spektral. Khusus untuk kajian vegetasi, dikenal berbagai macam formula indeks vegetasi yang pada dasarnya merupakan kombinasi dua atau lebih saluran spektral yang peka pada pantulan dan serapan sinar oleh daun – terutama di wilyah spektra merah dan inframera dekat (Mather, 2004). Beberapa formula indeks vegetasi misalnya adalah RVI (ratio vegetation index), NDVI (normalised differenced vegetation index), SAVI (soiladjusted vegetation index), dan MSAVI (modified soil-adjusted vegetation index). Penjelasan lengkap tentang berbagai indeks vegetasi bisa dibaca di Mather (2004) dan Jensen (2005). Indeks spektral lain, misalnya greeness index, diperoleh melalui transformasi spektral banyak saluran (misalnya enam untuk TM/ETM+) yang menurunkan beberapa citra baru, yaitu brightness, greeness, dan wetness. (Kauth dan Thomas, 1976; Crist dan Cicone, 1984) Modifikasi atas formula yang disebut tasseled-cap ini telah diterapkan pada Ikonos, Quickbird dan Aster. Rikimaru et al. (2002) mengembangkan model yang jauh lebih kompleks serta mengandalkan sistem pakar dalam suatu perangkat lunak khusus, yang disebut dengan forest cover density (FCD) mapper . Berbeda halnya dengan indeks-indeks vegetasi yang merupakan saluran baru (dan yang harus dikorelasikan dengan nilai parameter kuantitatif vegetasi di lapangan), FCD mampu menyajikan variasi komposisi struktural vegetasi untuk nilai kerapata yang sama. Perkembangan penginderaan jauh, seperti diuraikan pada bagian terdahulu, tidak hanya menghasilkan citra multispektral. Banyak produk sistem penginderaan jauh yang bisa dimanfaatkan berdasarkan pendekatan-pendekatan kunci citra (modifikasi dari kunci foto) ataupun pendekatan ekologi bentanglahan. Ketersediaan citra dengan waktu perekaman yang berbeda-beda memungkinkan analisis multitemporal; sementara teknik analisis tekstural dan segmentasi juga dapat dimanfaatkan untuk citra-citra non optik seperti radar. Analisis hiperspektral juga dapat diterapkan untuk mengenali jenis-jenis vegetais tertentu asal tersedia spectral librarynya. Teknologi radar interferometri dan stereoscopic recording dari sensor multispektral seperti Aster juga mampu menurunkan informasi berupa model permukaan digital (digital surface model, DSM) yang sangat berharga untuk analisis medan yang terintegrasi dengan pendekatan ekologi bentanglahan. 4. PENGINDERAAN JAUH UNTUK INVENTARISASI MANGROVE: POTENSI DAN KETERBATASAN 4.1. Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove mengacu ke komunitas vegetasi yang tumbuh di lingkungan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) berada di antara garis pasang surut dan berair payau, (b) susbtratnya berlumpur dan lebih spesifik lagi dengan ukuran butir penyusun yang halus, (c) perairan pantainya relatif tenang – biasanya pada pantai yang arusnya lemah dan dangkal, (d) temperatur di atas 20C dan dengan perubahan temperatur tidak lebih dari 5, (e) topografi datar. Dengan karakteristik yang ditentukan oleh banyak faktor tersebut, variasi dan kombinasi faktor-faktor yang ada juga akan mendorong perkembangan jenis-jenis mangrove yang berbeda pula. Secara garis
104
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
besar, Arief (2003 dalam Siswanto, 2008) menjelaskan zonasi mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, berturut-turut dari arah laut ke daratan sebagai berikut: (a) Zona Avicennia, dengan tanah berlumpur lembek dan salinitas tinggi, dan jenis-jenis Avicennia biasanya berasosiasi dengan jenis-jenis Sonneratia, (b) Zona Rhizopora, yang biasanya tepat di belakang zona Avicennia, dengan tanah berlumpur lembek dan salinitas agak lebih rendah, (c) Zona Bruguiera yang berada di belakang zona Rhizopora, denga tanah berlumpur namun agak keras, perakaran tanaman lebih peka dan hanya terendam pasang naik dua kali sebulan, dan (d) Zona Nypa, yang merupakan zona pembatas antara daratan dan lautan, serta hanya muncul ketika ada aliran air tawar dari daratan ke laut. Di samping pembagian menurut jenis yang dominan, Siswanto (2008) juga menyebutkan adanya zonasi mangrove menurut perbedaan penggenangan, yaitu (a) zona proksimal yang paling dekat dengan laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis R.apiculata, R. muncroriata dan S. alba, (b) zona tengah ang terletak di antara laut dan darat, dan biasanya terdapat S. caseolaris, R. alba, B. gymnorrhiza, A. marina. A. officinalis dan Ceriops tagal, (c) zona distal yang merupakan zona terjauh dengan jenis yang sering dijumpai meliputi H. littoralis, Pongamia, Pandanus spp dan H. tiliaceus. Mengingat bahwa kenampakan fisik jenis-jenis mangrove tersebut tidak selalu jelas berbeda pada jarak yang cukup jauh, apalagi bila diamati melalui citra yang direkam dari jarak ratusan kilometer, maka faktor-faktor lingkungan yang membentuk kehadiran suatu jenis atau zona mangrove tertentu --seperti jarak dan karakteristik tanah dan air—sangat perlu digunakan dalam penginderaan jauh, agar pemetaan dan inventarisasi mangrove dapat dilakukan dengan optimal. 4.2. Potensi Citra Penginderaan Jauh dan Cara Analisisnya Pengenalan mangrove melalui citra pada dasarnya dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu spasial, spektral dan ekologis, di mana masing-masing pendekatan cenderung memerlukan jenis citra yang berbeda pula. Pendekatan temporal diperlukan dalam analisis mengenai perubahan liputan. Kedalaman informasi juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu liputan dan zona yang lebih detil. 4.2.1. Pendekatan Spasial Interpretasi Visual Pendekatan spasial bisa diterapkan pada citra skala besar atau resolusi spasial tinggi. Melalui pendekatan ini, kenampakan tekstural kanopi dan lokasi menjadi kriteria utama. Untuk pengenalan liputan saja (mangrove – bukan mangrove), citra resolusi sedang-rendah tercetak pada skala 1: 100.000 hingga 1:300.000 dapat digunakan, dengan asumsi bahwa lebar satuan pemetaan terkecil adalah 1 mm atau setara 100 – 300 meter . Meskipun demikian, pada kenyataannya, lebar satu zona mangrove bisa kurang dari 15 meter, dan pada citra tercetak zona ini bisa teridentifikasi dan terpetakan hingga 1 mm. Dengan demikian, skala paling kasar untuk pemetaan detil zona mangrove ialah 1:15.000 (meskipun penggambaran satu zona selebar 1 mm akan kurang akurat) dan resolusi spasial paling kasar sekitar 2,5 – 4 m. Selain foto udara, citra yang masih mampu mengakomodasi keperluan pemetaan detil ini ialah GeoEye, Ikonos dan Quickbird multispektral, karena ketersediaan warnanya mampu menyajikan kenampakan secara rinci. Penggunaan citra-citra tersebut dalam bentuk kombinasi dengan saluran pankromatik (pan-sharpened) akan memberikan hasil lebih bagus. Penggunaan citra SPOT Pankromatik, ALOS Prism dengan resolusi spasial 2,5 m atau lebih rendah masih memadai meskipun masih perlu dikombinasikan dengan citra multispektralnya. Penelitian Siswanto (2008) di Kepulauan Karimunjawa menunjukkan bahwa citra Aster VNIR pada resolusi spasial 15 meter masih dapat digunakan untuk pemetaan zona-zona mangrove, meskipun ada beberapa bagian dari hasil yang sangat detil justru masih memerlukan pengujian lebih jauh. 105
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
Perlu diperhatikan bahwa interpretasi visual atas citra pada layar monitor melalui on-screen digitisation sebaiknya dilakukan pada skala sekitar tiga kali lipat lebih besar daripada skala keluaran. Hal ini diperlukan untuk menjaga kehalusan gambar hasil delineasi. Misalnya skala pemetaan adalah 1:10.000 berdasarkan citra Ikonos pan-sharpaned, maka proses digitisasinya sebaiknya dilakukan pada skala sekitar 1:3.000. Segmentasi Berbasis Objek Interpretasi visual mampu mengakomodasi pertimbangan-pertimbangan intuitif yang didasari oleh pengalaman dan pengetahuan lokal. Meskipun demikian, ada risiko bahwa proses semacam ini menjadi tidak konsisten ketika liputan citranya luas dan kedalaman informasi radiometriknya juga cukup besar (resolusi radiometrik tinggi). Teknik segmentasi berbasis objek (Baatz dan Schappe, 2000; Navulur, 2007; Danoedoro et al., 2008) dapat membantu proses penarikan batas ini berdasarkan kenampakan tekstural kelompok piksel yang berdekatan dengan susunan keruangan (bentuk) dan kecenderungan warna tertentu. Proses segmentasi berbasis objek ini menyerupai klasifikasi tak terselia (unspervised) namun dengan pendekatan tekstural. Segmentasi berbasis objek fapat diterapkan pada citra resolusi sedang (Alos AVNIR, Aster VNIR dan SWIR, SPOT Multispektral, Landsat TM/ETM+), hingga tinggi (Ikonos, Quickbird, GeoEye), meskipun untuk kenampakan pola spasial di wilayah kota penulis (Danoedoro et al., 2004; Danoedoro, 2007) menemukan bahwa akurasinya hanya mencapai sekitar 68%. Segmentasi berbasis objek juga bisa diterapkan pada citra non-optik seperti halnya citra radar (ERS, JERS, Radarsar, ALOS Palsar), di mana diasumsikan bahwa kombinasi vegetasi dan latar belakang lumpur/air bisa memberikan spectral signature yang berbeda dibandingkan tipe-tipe vegetasi yang lain. 4.2.2. Pendekatan Spektral Kehadiran mangrove secara spektral sebenarnya merupakan fungsi pantulan dari kanopi dna latar belakang tanah (tepatnya lumpur), dan kadan-kadang air –khususnya ketika mangrove tersebut tergenang air pasang. Seperti halnya vegetasi lain, pantulan kanopi mangrove sebenarnya bervariasi, tergantung pada arsitektur kanopi, struktur percabangan daun (filotaksis), stryktur internal daun, dan kerapatannya (Danoedoro, 1989). Pantulan lumpur dan air pada semua saluran, kecuali biru (0,4 – 0,5 µm), cenderung menurunkan pantulan vegetasi mangrove, dan membuat liputan mangrove dapat dibedakan secara spektral dari penutup lahan lain dengan relatif mudah. Kadangkala masalah batas antara mangrove dengan vegetasi bukan mangrove di ‘batas dalam’ (batas antara ekosistem mangrove dengan ekosistem lain di daratan) mengemuka. Dalam klasifikasi multispektral, perlu dilakukan pengambilan sampel spektral secara cermat pada dua area yang diketahui dengan pasti, dan kemudian dikomputasi tingkat keterpisahan spektralnya (spectral separability) terlebih dahulu, sebelum eksekusi klasifikasi. Hasil komputasi separabilitas akan menunjukkan apakah keduanya nanti dapat dipetakan terpisah (indeks 1,9999 – 2,0000), cenderung agak baur agak tercampur (indeks 1,6000 – 1,9999), atau sulit dipisahkan ( indeks < 1,6000). Kemampuan memisahkan ini tentu saja tergantung pada resolusi spasial dan jumlah saluran yang digunakan, di mana penggunaan saluran-saluran inframerah tengah dan jauh disertai resolusi spasial yang lebih tinggi akan sangat membantu. Semakin besar panjang gelombang yang digunakan (hingga sekitar 2,5 µm), semakin bagus kontras antara mangrove dengan bukan mangrove yang dihasilkan, sebagai akibat kontribusi pantulan lumpur dan air terhadap pantulan vegetasi di atasnya. Penggunaan citra radar multisaluran atau multipolarisasi (misalnya HH dan HV) juga akan sangat membantu (Isoguchi et al, 2009). Kombinasi saluran gelombang mikro yang daya tembusnya besar (menjangkau latar belakang lumpur) dan yang daya tembusnya kecil dengan metode klasifikasi multispektral akan mampu meningkatkan kemampuan pembedaan mangrove dari bukan mangrove.
106
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
Hanya saja, pada umumnya citra radar mempunyai resolusi spasial yang relatif rendah sehingga pemetaan zoba secara rinci masih memerlukan kajian lebih jauh. 4.2.3. Pendekatan Ekologis Pendekatan ekologis, seperti yang tekah diuraikan pada butir 3.1, pada dasarnya adalah pendekatan ekologi bentanglahan. Selain mengkombinasikan citra terklasifikasi multispektral dengan satuansatuan medan atau satuan bentuklahan, penggunaan peta jarak (distance map) atau peta elevasi berbasis DEM berdasarkan pemodelan SIG berbasis raster (Danoedoro, 2003; Danoedoro, 2004) juga bisa membantu dalam pemisahan piksel-piksel mangrove dari piksel-piksel vegetasi lain dan juga piksel penutup lahan lain. Pendekatan ekologi bentanglahan juga bisa mengkombinasikan satuan-satuan ‘objek’ hasil segmentasi citra. Klasifikasi multispektral menghasilkan peta penutup lahan secara spektral, dan interpretasi visual menghasilkan peta satuan medan yang dapat dideduksi karakteristik lahannya; sementara segmentasi citra mampu menurunkan satuan-satuan penutup lahan berdasarkan kenampakan tekstural dan pola spasialnya. Integrasi ketiga macam informasi ini, ditambah dengan elevasi, jarak dan juga lereng yang diturunkan dari DEM dapat dilakukan dilingkungan SIG berbasis raster melalui proses yang disebut dengan klasiifkasi berbasis pengetahuan (knowledge-based classification). Secara praktis, klasifikasi berbasis pengetahuan ini dapat diimplementasikan dalam bentuk klasifikasi berlapis, seperti yang telah dilakukan oleh Siswanto (2008) di Kepulauan Karimunjawa. Pendekatan ekologi bentanglahan dapat diterapkan pada citra dengan resolusi spasial sedang-rendah maupun resolusi spasial tinggi. Meskipun demikian, ada kaitan yang erat antara resolusi spasial dengan representasi zona mangrove. Jalur ataupun zona mangrove yang sangat sempit (≤ 15 m) memerlukan resolusi spasial 0,5 x lebar zona (≤ 7,5 m), dengan asumsi bahwa posisi piksel bisa jatuh berimpit dengan zona mangrovenya. Klasifikasi multispektral mampu mengelompokkan fenomena hingga tingkat piksel, sehingga dengan resolusi lebih tinggi dari 15 m, pemetaan detil zona-zona mangrove diharapkan bisa memberikan hasil yang lebih akurat. Dari pembahasan tersebut, secara garis besar bisa dikatakan bahwa penerapan pendekatan ekologi bentanglahan berbasis citra resolusi sedang – rendah (10 – 100 meter) mampu membedakan area mangrove dari bukan mangrove. Dalam beberapa hal, pembedaan lebih detil juga bisa dilakukan, meskipun ada kemungkinan zona-zona mangrove dengan lebar jalur yang cukup sempit tidak akan dapat dibedakan. Resolusi spasial yang lebih tinggi, khususnya 7,5 m atau lebih halus lagi, akan mampu membedakan zona-zona mangrove secara lebih rinci, sejauh data spasial bantu, baik dalam bentuk peta-peta satuan medan, elevasi, lereng, ataupun yang lain juga tersedia dengan kualitas yang memadai. Kadangkala data spasial pendukung untuk masukan pemodelan/klasifikasi berbasis pengetahuan tidaklah lengkap. Hal ini biasa terjadi pada wilayah-wilayah yang jauh dari pusat-pusat pengembangan wilayah. Untuk mengatasi hal ini pendekatan holistik (Zonneveld, 1979; Skidmore, 1997) dalam interpretasi bisa dilakukan, di mana satuan medan didefinisikan untuk mencakup seluruh karakteristik lahan yang dipandang berpengaruh terhadap kehadiran jenis mangrove tertentu. Pada kasus tertentu variabel pengganti (surrogate) juga digunakan, misalnya untuk memetakan wilayah perairan atau rataan pasang surut yang mempunyai tingkat salinitas yang lebih tinggi, misalnya dengan memperhatikan pola gelontoran air tawar masuk ke perariran pantai (plume), pola arus sepanjang pantai, cekungan-cekungan lokal di area rataan pasang surut yang berpotensi ‘menjebak’ air laut saat pasang, dan sebagainya. 4.2.4. “Linear Spectral Unmixing” Dalam banyak kasus, data citra tersedia pada resolusi spasial yang terlalu rendah dibandingkan dengan ukuran fenomena yang dikaji, karena citra dengan resolusi yang sesuai biasanya cukup mahal. 107
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
Oleh karena itu ada kecenderungan untuk meninggalkan citra dengan resolusi semacam itu, dan mengharapkan citra resolusi spasial tinggi yang tak kunjung tersedia. Penginderaan jauh memberikan peluang analisis berbasis citra resolusi spasial relatif rendah dengan metode linear spectral unmixing. (Adams dan Gillespie, 2006). Menurut metode ini, informasi spektral yang mewakili kehadiran suatu tipe mangrove yang tercampur dengan obyek lain (misalnya lumpur tak bervegetasi, air, atau bangunan) pada dasarnya dapat diestimasi proporsi luasnya, meskipun posisi pasti di dalam piksel tersebut tidak dapat dipetakan. Hasil utama dari metode linear spectral unmixing adalah peta-peta setiap komponen penyusun informasi dalam piksel yang dinyatakan dalam bentuk persentasi liputan. Misalnya, citra dengan resolusi spasial 100 m dapat didekomposisi menjadi peta-peta proporsi mangrove (%), proporsi lumpur tak bervegetasi (%) dan air (%) ataupun bangunan (%). Setiap nilai piksel pada peta-peta tersebut sudah secara langsung menyatakan persentase setiap komponen penyusun. Melalui metode ini, citra beresolusi spasial relatif rendah masih dapat dimanfaatkan untuk inventarisasi mangrove, sejauh jumlah saluran spektral yang terlibat adalah sama dengan jumlah kelas/komponen yang dianalisis ditambah satu. 4.2.5. Vegetation Profiling Sensor aktif Lidar (Light Detection And Ranging) juga bisa dimanfaatkan dalam memperoleh informasi tentang liputan mangrove. Pada dasarnya Lidar beroperasi dengan menggunakandua macam sinar laser (light amplification by stimulated emission of radiation), yaitu sinar biru-hijau, yaitu sekitar 0,532 µm (Baltsavias, 1999) dan inframerah dekat pada 1,04 – 1,06 µm (Jensen, 2007). Sinar biru-hijau mempunyai daya tembus yang besar untuk air, dan cocok untuk pemetaan bawah air, sementara sinat inframerah mempunyai daya tembus besar untuk vegetasi sehingga cocok untuk membuat profil atau penampanag vegetasi. Pemetaan mangrove akan terbantu oleh penggunaan sensor Lidar sehingga ketinggian mangrove dan komposisi strukturalnya dapat dianalisis dan disajikan dengan akurat. 5. CATATAN PENUTUP: KEBUTUHAN DATA Pembahasan mengenai beberapa aspek sistem penginderaan jauh dan potensi/ keterbatas-annya untuk aplikasi kajian mangrove telah memberikan gambaran bahwa sebenarnya telah tersedia alat yang cukup banyak beserta sumber data untuk dieksplorasi. Masing-masing pilihan membawa konsekuensi pada kerincian informasin yang dapat diperoleh dan biayanya. Untuk menutup pembahasan ini, Tabel 1 memberikan ringkasan mengenai jenis sistem penginderaan jauh yang meliputi sensor, cara kerja/sumber energi, wilayah spektral panjang gelombang, wahana, dan karakteristik umum data yang dihasilkan beserta konsekuensi biaya yang mungkin muncul. Tabel 2 yang dimodifikasi dari Phinn et al (2002) di CRSSIS (Centre for Remote Sensing and Spatial Information Science) Universitas Queensland Australia juga diberikan sebagai pembanding.
DAFTAR PUSTAKA Adams, J. B., and Gillespie, A.R. (2006). Remote Sensing of Landscape with Spectral Modelling Approach. Cambridge University Press, Cambridge. Aronoff, S. (2005). Remote Sensing for GIS Managers. John Wiley and Sons, New York. Baatz, M., and Schape, A. (2000). Multiresolution Segmentation: An Optimization Approach for High Quality Multiscale Image Segmentation. In J. Strobl, Blaschke, T., and Griesebner, G. (Ed.), Angewandte Geographische Informationsverarbeitung XII (pp. 12-23). Wichmann-Verlag, Heidelberg.
108
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
Baltsavias, E. P. (1999). Airborne Laser Scanning: Basic Relations and Formulas. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing (54), 199-214. Crist, E. P., & Cicone, R. C. (1984). Application of the Tasseled-cap Concept to Simulated Thematic Mapper Data. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 50, 343-352. Danoedoro, P. (1989). Hubungan antara Konsentrasi Klorofil dan Informasi Spektral Vegetasi pada Data Digital Multispektral SPOT Wilayah Lereng Gunungapi Merapi Bagian Selatan. Skripsi. Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta Danoedoro, P. (2003). Multisource classification for land-use mapping based on spectral, textural, and terrain information using landsat thematic mapper imagery: A Case Study of SemarangUngaran Area, Central Java. Indonesian Journal of Geography, Vol. 35 (2): pp. 81-106 Danoedoro, P. (2004). Sains Informasi Geografis: Dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Yogyakarta: Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM Danoedoro, P. , Phinn, S.R. and McDonald, G. (2004). Developing A Versatile Land-Use Information System Based on Satellite Imagery for Local Planning in Indonesia Phase I: Establishment of Classification Scheme. Paper presented at the 7th International Seminar on GIS for Developing Countries (GISDECO-7)" GIS Capacity Building and Infrastructure", Universiti Teknologi Malaysia, Skudai, Johor Danoedoro, P. (2007). Versatile Land-use Information for Local Planning in Indonesia: Contents, Extraction Methods, and Integration based on Moderate- and High-spatial Resolution Imagery. PhD Thesis The University of Queensland, Brisbane. Danoedoro, P., Sammut, J., Farda, N. M., & Widyatmanti, W. (2008). Combining Image Segmentation and Multispectral Classification for Generating Land-use Information: A Case Study of Maros Area, South Sulawesi, Indonesia. Paper presented at the Joint 4th EARSEL Special Interest Group on Developing Countries and 8th GISDECO Conference: Integrating GIS and Remote Sensing in a Dynamic World, Istanbul. Isoguchi, O., Shimada, M., Rakwatin, P., & Utryu, Y. (2009). A Prelimi-nary Study on Deforest-ation Monitoring in Sumatra Island by using PALSAR. JAXA, Jakarta: Jensen, J. R. (2005). Introductory Digital Image Processing - A Remote Sensing Perspective, 3rd edition. Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J Jensen, J. R. (2007). Remote Sensing of the Environment: An Earth Resource Perspective (2nd ed.). Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J Kannegieter, A. (1988). Mapping Land Use. In A. W. Kuchler, and Zonneveld, I.S. (Ed.), Vegetation Mapping (Vol. 10). Kluwer Academic Publisher, Dordrecht. Kauth, R. J., & Thomas, G. S. (1976). The Tasseled-cap -- A Graphic Description of the Spectraltemporal Development of Agricultural Crops as Seen by Landsat. Paper presented at the Symposium on Machine Processing of Remotely-sensed Data, West Lafayette, Indiana. Mather, P. M. (2004). Computer Processing of Remotely Sensed Data: An Introducion, 3rd edition. John Wiley and Sons, Brisbane. McCloy, K. (1995). Resource Management Information Systems - Process and Practice. Taylo and Francis, London. Navulur, K. (2007). Multispectral Image Analysis using the Object-oriented Paradigm. New York: CRC Press.
109
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
Phinn, S. R., Menges, C., Hill, G.J.E., Standford, M. (2000). Optimizing Remotely Sensed Solutions for Monitoring, Modeling and Managing Coastal Environment. Remote Sensing of Environment (73), 117-132. Phinn, S. R., Standford, M., Held, A., Ticehurst, C. amd Simpson, C. (2002). Optimising State of Environment Monitoring at Multiple Spatial Scale using Remotely Sensed Data. Paper presented at the 11th Australasian Remote Sensing and Photogrammetry Associat-ion Conference -- Image to Information, Brisbane. Rikimaru, A., Roy, P.S., and Miyatake, S. (2002). Tropical Forest Cover Density Mapping. Tropical Ecology, 43(1): 39-47 Robinson, A. H., Morrison, J.L., Muehrcke, P.C., Kimerling, A.J., and Guptill, S.C. . (1995). Elements of Cartography (6th ed.). John Wiley and Sons, New York. Siswanto, Agus. (2008). Penggunaan Metode Klasifikasi Berlapis pada Integrasi Citra Digital ASTER dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Hutan Mangrove. Studi Kasus di Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Swain, P. H., and Davis, S.M. (Ed.). (1978). Remote Sensing - The Quantitative Approach. McGraw Hill, New York. van Gils, H., Zonneveld, I.S., van Wijngaarden, W., Kannegieter, A., and Huizing, H. (1990). Land Ecology and Land-use Survey. International Institute for Geoinformation Science and Earh Application, Enschede Zonneveld, I.S. (1979). Land Unit. Application, Enschede
International Institute for Geoinformation Science and Earh
110
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
Tabel 1. Matriks beberapa sensor penginderaan jauh dan manfaatnya dalam kajian mangrove
Termal Multispektral Radar Lidar
SENSOR AKTIF
Hiperspekrral
SENSOR PASIF
Pankromatik/ Inframerah dekat
JENIS SENSOR Sensor lapangan
Gantole, Trike, Pesawat Utraringan
Pesawat Udara Standar
Satelit dan Pesawat Ulang-alik
Tidak dioperasikan
Berwarna, format kecil, skala 1:4.000 – 1:10.000. Bisa dimanfaatkan untuk pemetaan jenis mangrove. Beban kerja tambahan di georeferencing Biaya akuisisi relatif murah.
H/P Pemotretan skala 1:10.000 – 1:50.000. Bisa dimanfaatkan untuk pemetaan jenis mangrove. Untuk IM dekat hasilnya bisa sangat akurat. Keuntungan utama: pengamatan stereoskopis. Biaya akuisisi mahal, analisis murah
Biasanya citra pankromatik dihasilkan bersama dengan citra multispektral yang resolusi spasialnya lebih rendah. Resolusi spasial antara 0,5 -15 m. Dimanfaatkan untuk pan-sharpened imagery. Harga bervariasi, semakin tinggi res. spasial, semakin mahal harganya. Misalnya GeoEye,Ikonos, Quickbird, OrbView, IRS,ALOS Prism, SPOT, Landsat ETM+
Masih dalam penelitian. Ada potensi pembedaan kondisi susbtrat dan jenis mangrove. Biaya akuisisi mahal, biaya analisis masih memerlukan kajian
Relatif jarang dioperasikan secara independen. Sering disatukan dengan penginderaan multispektral. Resolusi spasial biasanya lebih rendah dari saluran reflektif. Misalnya Aster TIRS, Landsat TM/ETM+
Citra resolusi spasial cukup tinggi, cocok untuk pemetaan detil zona-zona mangrove. Jumlah saluran hingga sekitar 11 (Airborne MSS). Akuisisi masih mahal
Paling banyak tersedia dan digunakan. Telah terbukti paling operasional untuk kajian mangrove pada berbagai resolusi/skala. Harga bervariasi, semakin tinggi res. spasial, semakin mahal harganya. Misalnya GeoEye,Ikonos, Quickbird, OrbView, IRS,ALOS Prism, SPOT, Landsat ETM+
Citra resolusi spasial dan spektral tinggi, bisa untuk pemetaan detil zona mangrove. Perlu dikaitkan dengan field spectrometry. Masih sangat mahal
Kebanyakan tersedia dalam resolusi spasial rendah, kurang cocok untuk kajian detil mangrove. Perkecualian saat ini: EO1 Hyperion (30 m), liputan sempit. Perlu dikaitkan dengan field spectrometry
Citra SAR resolusi spasial relatif tinggi, mampu mengatasi hambatan atmosfer/tutupan awan, analisis multipolarisasi atau segmentasi citra berbasis objek. Akuisisi mahal
Tersedia dalam berbagai resolusi spasial (12,5 m – 1 km) dan berbagai saluran/band (C, X, L, Ku), dan berbagai polarisasi. Analisis multiband dan multipolarisasi dapat membantu pengenalan mangrove. Mampu mengatasi hambatan atmosfer/tutupan awan. Misalnya ALOS, ERS, JERS, RadarSat
Termometer inframerah, membantu pengukuran temperatur kanopi. Integrasi dengan citra termal. Kajian mikroklimat. Data per titik, perlu GPS Pengukuran spektral untuk linear spectral unmixing. Data per titik, perlu GPS
Pembangunan spectral library, pengukuran spektral untuk linear spectral unmixing. Data per titik.
Tidak dioperasikan
Tidak dioperasikan
Tidak dioperasikan
Tidak dioperasikan
Tidak dioperasikan
Tidak dioperasikan
Tidak dioperasikan
Citra Lidar dengan footprint halus (resolusi tinggi). Dapat untuk pemetaan profil vegetasi multistrata. Masih sangat mahal, dan semioperasional
Belum operasional
111
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
Tabel 2. Matriks kapabilitas pemetaan mangrove dengan penginderaan jauh. (Modifikasi dari Phinn et al., 2002). JENIS SENSOR DAN RESOLUSI MULTISPEKTRAL Pesawat udara
SASARAN PEMETAAN
Resolusi spasial
HIPERSPEKTRAL
Satelit
Pesawat udara
FOTOGRAFI
Satelit
RADAR
LASER
Pesawat udara
Pesawat udara
Satelit
Pesawat udara
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Sedang
Rendah
tinggi
Tinggi sedang
sedang
tinggi
Mangrovebukan mangrove
Operasional, hambatan biaya
Operasional, hambatan biaya
Operasional
Operasional, hambatan biaya
Operasional, hambatan biaya
Layak asal ukuran obyek lebih dari beberapa piksel
Operasional
Operasional, hambatan biaya l
Operasional
Operasional, hambatan biaya
Zonasi rinci mangrove
Operasional, hambatan biaya
Operasional, hambatan biaya
Operasional
Operasional, hambatan biaya
Operasional
Tidak layak
Operasional
Operasional
Operasional
Operasional, hambatan biaya
112
Prosiding Workshop "Sinergi Survei dan Pemetaan Nasional dalam Mendukung Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan", BAKOSURTANAL, BOGOR 30 JULI 2009
113