Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk
Pertanian dan Kehutanan
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk
Pertanian dan Kehutanan
Kerja sama
Penerbit IPB Press IPB Science Techno Park, Kota Bogor - Indonesia
C.--/--.2017
Judul Buku: Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pertanian dan Kehutanan Penyusun: Editor: Wawan K. Harsanugraha Dede Dirgahayu Domiri Ita Carolita Tatik Kartika Desain Sampul & Penata Isi: Tatik Kartika Wawan K. Harsanugra Andreas Levi Aladin Korektor:
-
Jumlah Halaman: 119 + 10 halaman romawi Edisi/Cetakan: Cetakan 1, - 2017 PT Penerbit IPB Press Anggota IKAPI IPB Science Techno Park Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128 Telp. 0251 - 8355 158 E-mail:
[email protected] ISBN: 978-000-000-000-0 Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan © 2017, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
Pengantar Editor Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya buku yang berjudul Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pertanian dan Kehutanan. Buku ini memuat tulisan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan masalah-masalah pertanian dan kehutanan yang berjumlah delapan judul. Kedelapan judul tersebut adalah Akurasi Klasifikasi Areal Tanaman Padi Berdasarkan Fase Menggunakan Data Landsat 8; Studi Kasus di Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan; Penentuan Training Sampel pada Metode Segmentasi untuk Klasifikasi Sawah dan Non-Sawah Menggunakan Data SPOT-6 (Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan); Kalibrasi Reflektansi Data Landsat 8 dengan Menggunakan Alat Spektrometer; Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat Menggunakan Data Landsat Tahun 1990–2013; Pemanfaatan Data Landsat 8 untuk Identifikasi Lahan Hutan, (Studi Kasus: Lombok); Klasifikasi Multitemporal Hutan dan Non-Hutan Menggunakan Data Mosaik Landsat untuk Mengisi Piksel Kosong (Studi Kasus: Kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Baru, Kalimantan Selatan); Analisis Kawasan Hutan untuk Identifikasi Potensi Konflik Pemanfaatan Ruang, Studi Kasus Provinsi Kalimantan Selatan; serta Analisis Perubahan Debit Aliran Permukaan Daerah Tangkapan Air Singkarak, Sumatera Barat, 2000–2011 dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh. Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak Pusat Pemanfaatan Panginderaan Jauh (PUSFATJA) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah berkontribusi dalam penyusunan materi Buku Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan ini. Terima kasih disampaikan pula kepada para penelaah/ mitra bestari, tim editor, dan semua pelaksana penyusunan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para peneliti sebagai acuan dalam melaksanakan penelitian di masa yang akan datang dan bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkannya. Jakarta, Desember 2016
Penerbit Editor
Prakata Mulai tahun 2016, sejalan dengan reorganisasi LAPAN, di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (PUSFATJA) dibentuk kelompokkelompok penelitian dan perekayasaan yang melaksanakan kegiatan riset dan kerekayasaan. Salah satu kelompok penelitian (Poklit) adalah Poklit Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan (Poklit Tanibunhut). Buku bunga rampai ini merupakan hasil Libang dalam rangka kegiatan penyebarluasan ilmu pengetahuan hasil kegiatan Pokpat Tanibunhut. Buku Bunga Rampai ini merupakan kumpulan makalah yang memuat tentang tanaman padi, kehutanan, dan tentang limpasan permukaan. Sepenuhnya kami sadari buku ini masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Atas partisipasinya kami menyampaikan ucapan terima kasih. Kami berharap buku ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Daftar Isi Halaman Pengantar Edito .................................................................................................................... vi Prakata ................................................................................................................................. vii Daftar Isi . ........................................................................................................................... viii Akurasi Klasifikasi Areal Tanaman Padi Berdasarkan Fase Menggunakan Data Landsat 8, Studi Kasus di Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan Heru Noviar dan Wawan K. Harsanugraha..................................................................... 1 Penentuan Training Sampel pada Metode Segmentasi untuk Klasifikasi Sawah dan Non-Sawah Menggunakan Data SPOT-6 (Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan) Tatik Kartika dan I Made Parsa...................................................................................... 17 Kalibrasi Reflektansi Data Landsat 8 dengan Menggunakan Alat Spektrometer Nana Suwargana dan Johannes Manalu.......................................................................... 31 Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat Menggunakan Data Landsat Tahun 1990-2013 Nana Suwargana dan Wawan K. Harsanugraha.............................................................. 45 Pemanfaatan Data Landsat 8 Untuk Identifikasi Lahan Hutan, (Studi Kasus: Lombok) Johannes Manalu dan Ita Carolita................................................................................. 57 Klasifikasi Multi-Temporal Hutan dan Non-Hutan Menggunakan Data Mosaik Landsat untuk Mengisi Piksel Kosong (Studi Kasus: Kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Baru, Kalimantan Selatan) Tatik Kartika, Ahmad Sutanto, Gagat Nugroho, Nursanti Gultom............................... 71 Analisis Kawasan Hutan untuk Identifikasi Potensi Konflik Pemanfaatan Ruang, Studi Kasus Provinsi Kalimantan Selatan I Made Parsa dan Muchlisin Arief.................................................................................. 85 Analisis Perubahan Debit Aliran Permukaan Daerah Tangkapan Air Singkarak, Sumatera Barat, 2000-2011 Dengan Menggunakan Data Landsat Ita Carolita, Heru Noviar, Gagat Nugroho....................................................................103
1
AKURASI KLASIFIKASI AREAL TANAMAN PADI BERDASARKAN FASE MENGGUNAKAN DATA LANDSAT 8, STUDI KASUS DI PANGKAJENE KEPULAUAN, SULAWESI SELATAN Heru Noviar dan Wawan K. Harsanugraha Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRACT The rice plants (Oryza sativa, sp.) through phase of vegetative and generative in a period of growth and development for less more 120 days. In each cycle of planting period is often added water phase and phase fallow. The water phases is the phase of land management before phase of planting, while fallow phase is the condition of land after phase harvesting. Therefore, in one period of rice planting known four phases of land condition and crop rice, i.e. the water phase, vegetative phase, generative phase, and fallow phase. In this research, identification and classification is based on the phase of growth of rice plants using the Landsat 8 satellite data, acquisition date 5th September 2014. The purpose of this research is to analyze the accuracy of classification of rice growth phase, with the case study in Kabupaten Pangkajene Kepulauan (South Sulawesi). The method used is the Maximum Likelihood and supported by field survey data. The results obtained show that the classification accuracy of digitally overall in both categories (overall accuracy) above 70%. User Accuracy for rice plants from various phase (fallow, vegetative, and generative) above 85%, means mixing with other land cover classes in the vicinity digitally is not too big. This shows that the Landsat 8 data is good enough used to the identification and classification of rice plants multitemporal. Keywords: Accuracy of Classification, Rice Plants, Landsat 8 Data, Pangkajene Kepulauan.
ABSTRAK Tanaman padi (Oryza sativa sp.) mengalami fase vegetatif dan fase generatif dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya selama lebih-kurang 120 hari masa tanam. Dalam setiap siklus periode tanam sering ditambah dengan fase air dan fase bera. Fase air adalah
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
fase pengelolaan lahan sebelum ditanami padi, sedangkan fase bera merupakan kondisi lahan setelah padi dipanen. Oleh karena itu, dalam satu periode tanam padi dikenal adanya empat fase kondisi lahan dan tanaman padi, yaitu fase air, fase vegetatif, fase generatif, dan fase bera. Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi dan klasifikasi tanaman padi berdasarkan fase pertumbuhannya menggunakan data satelit Landsat 8 hasil akuisisi tanggal 5 September 2014. Tujuan penelitian ini adalah analisis akurasi klasifikasi fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dengan studi kasus di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Sulawesi Selatan). Metode yang digunakan adalah Maximum Likelihood dan didukung oleh data survei lapangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa akurasi klasifikasi secara digital secara keseluruhan dalam kategori baik (overall accuracy) di atas 70%. User accuracy untuk tanaman padi pada berbagai fase (bera, vegetatif, dan generatif) masih di atas 85%, dalam arti percampuran dengan kelas penutup lahan lain di sekitarnya secara digital tidak terlalu besar. Hal ini memberikan gambaran bahwa data Landsat 8 cukup baik digunakan untuk identifikasi dan klasifikasi tanaman padi secara multitemporal. Kata kunci: Akurasi Klasifikasi, Tanaman Padi, Data Landsat 8, Pangkajene Kepulauan
1. PENDAHULUAN Tanaman padi adalah salah satu jenis tanaman sereal yang dikenal luas di Indonesia karena padi merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Ketahanan pangan sangat bergantung pada produksi padi sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi harus dijaga agar memberikan produktivitas yang tinggi. Menurut Sari et al. (2010) produksi padi/beras merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Estimasi produksi padi sebelum masa panen sangat penting untuk mengevaluasi tingkat kecukupan persediaan pangan dan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan perlu atau tidak melakukan impor jika terjadi defisit atau ekspor jika terjadi surplus persediaan padi/beras. Penyiapan lahan untuk tanaman padi dan selama masa pertumbuhan dan perkembangannya perlu dipantau agar diperoleh produksi yang maksimal. Selain itu, pemantauan diperlukan untuk dapat mengestimasi jumlah luasan tanaman padi yang akan dipanen. Menurut Dirgahayu et al. (2014) pemantauan tanaman padi yang kontinu diperlukan untuk memprediksi luas panen yang akan diperoleh selama 1 periode tanam atau dalam jangka waktu tertentu sebagai informasi yang sangat dibutuhkan terutama oleh Pemerintah Indonesia dalam menjaga stabilitas ketahanan pangan. Pemantauan tanaman padi dapat dilakukan dengan memanfaatkan data satelit penginderaan jauh, khususnya data optik. Pemantauan dilakukan untuk mengidentifikasi areal sawah dan memantau fase pertumbuhan tanaman padi untuk memprediksi panen dan luas hasil panen serta mengetahui produktivitas padi pada areal yang dipantau. Menurut Wahyunto et al. (2006) tanaman padi termasuk kelompok tanaman pangan yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, lebih dari 50% produksi padi nasional berasal dari areal sawah di Pulau Jawa sehingga bila terjadi penurunan tingkat produksi dan produktivitas padi di Jawa secara drastis, dapat memengaruhi ketersediaan beras nasional dan akan berdampak negatif terhadap sektor-sektor lainnya. Salah satu upaya
2
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
peningkatan produktivitas tanaman pada adalah dengan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT padi sawah bertujuanuntuk meningkatkan produktivitas tanaman dari segi hasil dan kualitas melalui penerapan teknologi yang cocok dengan kondisi setempat (spesifik lokasi) serta menjaga kelestarian lingkungan (Mahmud dan Purnomo 2014). Sudah banyak penelitian yang memanfaatkan data satelit penginderaan jauh untuk memantau pertumbuhan tanaman padi. Banyak pula yang memanfaatkan indeks untuk pengamatannya, seperti penggunaan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang menggunakan kanal merah dan inframerah (Geerken et al. 2015; Petach et al. 2014; Verrelst et al. 2013; Shahabi et al. 2012; Jati et al. 2013; Sobrino et al. 2008; Kumar 2015; dan McFarland et al. 2013). Penggunaan resolusi spasial pun berbeda-beda, ada yang menggunakan resolusi spasial rendah (seperti: data NOAA-AVHRR dan MODIS), resolusi spasial menengah (seperti: data Landsat), dan ada juga yang menggunakan data satelit beresolusi spasial tinggi (seperti: data satelit Ikonos dan Word View). Sari et al. (2010) menggunakan data citra MODIS, data DEM SRTM, dan data cuaca untuk mengestimasi produktivitas padi sawah di wilayah utara Jawa Barat. Lokasinya meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Data Landsat sejak generasi pertama tahun 1972 dengan sensor MSS atau Multy Spectral Scanner (Landsat 1, 2, 3, dan 4) telah dimanfaatkan untuk mengidentifikasi areal sawah dan tanaman padinya. Kemudian Landsat 5 dengan sensor TM (Thematic Mapper) dan dilanjutkan dengan Landsat-7 dengan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) dimanfaatkan untuk mengidentifikasi dan memantau areal sawah dan fase pertumbuhan padinya (Kustiyo 2003). Pada bulan Februari 2013, diluncurkan Landsat 8 yang merupakan generasi terbaru yang dikenal dengan nama satelit Landsat Data Continuity Mission/LDCM (http://www.usgs.gov 2013; NASA 2013). Dilihat dari segi resolusi spasialnya yang termasuk kategori menengah (30 meter) dan resolusi temporal sedang (16 hari), data Landsat 8 cukup baik digunakan dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi areal sawah dan menguji keakuratannya. Penelitian ini dilakukan secara digital dengan klasifikasi terbimbing metode Maximum Likelihood. Menurut Lillesand et al. (2007) metode Maximum Likelihood ini menggunakan data training sebagai sarana untuk mengestimasi nilai rata-rata, varian, dan kemungkinan dari masing-masing kelas tutupan lahan. Diasumsikan distribusi datanya berupa kurva bel Gaussian. Dengan asumsi ini, pola distribusinya dapat dinyatakan melalui vektor rata-rata dan matriks covarian sehingga dapat digunakan untuk menghitung probabilitas statistiknya. Metode yang dilakukan dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi areal tanaman padi dilakukan dengan pengambilan training sampel pada citra berdasarkan fase pertumbuhan tanaman padi (fase air, bera, vegetatif, dan generatif). Perbedaan fase vegetatif dan fase generatif adalah pada fase vegetatif terjadi perkembangan akar, daun dan batang baru, terutama saat awal pertumbuhan atau setelah masa berbunga atau berbuah, sedangkan pada fase generatif atau fase reproduktif terjadi pembentukan dan perkembangan kuncup-kuncup bunga, bunga, buah, dan biji (www.gerbangpertanian.com). Dalam upaya mendeteksi areal tanaman padi atau menentukan training sampel digunakan interpretasi visual dari data multitemporal (sebelum dan sesudah tanggal data yang akan diklasifikasi) dan hasil survei lapangan untuk verifikasi hasil.
3
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
2. METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil lokasi studi kasus di wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah ini merupakan salah satu kabupaten yang merupakan daerah lumbung beras di Provinsi Sulawesi Selatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Landsat 8 dengan nomor path/row 114/63 yang mencakup wilayah Kabupaten Pangkep dengan akuisisi masing-masing tanggal 4, 5, dan 6 September 2014. Survei lapangan dilakukan mulai tanggal 5 sampai 9 September 2014. Salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data penginderaan jauh adalah ER Mapper. Tahapan proses pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Koreksi geometrik dan atmosferik. b) Interpretasi visual secara multitemporal dalam penentuan training sampel areal padi berdasarkan fase dan tutupan lahan lain di sekitarnya. c) Konversi digital number (DN) menjadi reflektan menggunakan formula dari NASA dengan memasukkan sudut elevasi yang terdapat dalam file txt data. d) Membuat komposit warna RGB dari citra yang sesuai dengan warna alami (natural color) di mana vegetasi berwarna hijau, tanah berwarna merah, air berwarna biru gelap, dan awan berwarna putih. e) Cropping data wilayah kajian. Langkah yang sama dilakukan pula terhadap kedua data yang lain untuk interpretasi secara multitemporal. f) Pengambilan training sampel areal tanaman padi pada data yang akan diklasifikasi (data tanggal 5 September 2014) dengan bantuan data multitemporal dan kuncikunci interpretasi. Pengambilan training sampel areal tanaman padi dibedakan berdasarkan fase pertumbuhan tanaman padi yang ada di citra, yaitu fase vegetatif dan fase generatif; dan ditambah dengan fase air dan fase lahan bera. Selanjutnya dilakukan klasifikasi secara supervised (terbimbing) dengan metode Maximum Likelihood dan dicek persentase percampuran dengan kelas nonpadi. Metode Maximum Likelihood yang digunakan adalah metode Maximum Likelihood Enhanced Neighbour. Hal ini didasarkan pada penelitian Trisakti (2012) yang memperoleh hasil bahwa metode Maximum Likelihood Enhanced Neighbour dapat menghasilkan klasifikasi yang lebih akurat dibandingkan metode Maximum Likelihood lainnya. Hasil survei lapangan diperlukan sebagai verifikasi atau pengecekan kebenaran posisi areal tanaman padi di lapangan. Secara lengkap tahap-tahap kegiatan penelitian ini dapat dilihat dalam diagram alir Gambar 1.
4
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Data Landsat 8 multitemporal
Konversi DN Menjadi Reflektan
Komposit RGB warna alami (natural color)
Cropping Data Wilayah
Survey Lapangan
Identifikasi dan pengambilan training sampel areal tanaman padi berdasarkan fase dan tutupan lahan lain disekitanya dengan interpretasi visual secara multitemporal
Klasifikasi dengan Metode Maximum Likelihood Uji pencampuran atau keterpisahan antar kelas dengan Confusion Matrix
Akuras klasifikasi
Gambar 1 Diagram alir tahap-tahap kegiatan penelitian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data satelit penginderaan jauh yang digunakan untuk mendukung penelitian akurasi klasifikasi fase tanaman padi ini adalah data satelit Landsat 8 yang terdiri dari tiga scene. Ketiga data satelit Landsat 8 tersebut meliputi lokasi objek yang sama, tetapi bersifat multitemporal, yaitu path/row 114/063 yang mencakup Kabupaten Pangkep dengan tanggal akuisisi masingmasing tanggal 4 Agustus 2014, tanggal 5 September 2014, dan tanggal 21 September 2014. Data tersebut mencakup lahan sawah di Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan. Pada Gambar 2 ditampilkan citra RGB untuk masing-masing tanggal tersebut. Pada Gambar 2 dan gambar-gambar selanjutnya terdapat keterangan (a), (b), dan (c). Hal tersebut menunjukkan perbedaan waktu akuisisi data, yaitu: a = data hasil akuisisi tanggal 4 Agustus 2014 (data 32 hari sebelum pelaksanaan survei lapangan); b = data hasil akuisisi tanggal 5 September 2014; dan c = data hasil akuisisi tanggal 21 September 2014 (16 hari sesudah pelaksanaan survei).
5
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Pada Gambar 2a tampak gambaran vegetasi yang menghijau hampir di seluruh wilayah kajian, sedangkan pada Gambar 2b sampai Gambar 2c sudah mulai tampak gejala kekeringan yang ditunjukkan oleh berubahnya warna hijau pada Gambar 2a menjadi merah kecoklatan di beberapa bagian wilayah kajian.
a.
b.
c.
Gambar 2 Citra RGB 653 Landsat 8 Path 114 Row 063 Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan Keterangan: a = Data tanggal 4 Agustus 2014; b = Data tanggal 5 September 2014; dan c = Data tanggal 21 September 2014. Survei lapangan untuk identifikasi tanaman padi fase pertumbuhan generatif dilaksanakan dengan menggunakan data tanggal 5 September 2014. Data tanggal 4 Agustus 2014 (32 hari sebelumnya) digunakan sebagai data untuk membantu identifikasi. Selain itu, data tanggal 21 September 2014 (16 hari sesudahnya) digunakan pula dalam identifikasi tanaman padi sawah. Hasil identifikasi tanaman padi tersebut disajikan pada Gambar 3b. Pada gambar tersebut, kondisi tanaman padi pada tanggal 5 September 2014 dibandingkan dengan kondisi pata tanggal 4 Agustus 2014 dan kondisi pada tanggal 21 September 2015. Identifikasi tanaman padi dilakukan pada data tanggal 5 September 2014 dengan dibantu data sebelumnya (4 Agustus 2014) atau 32 hari sebelumnya karena data 16 hari sebelumnya tertutup awan dan data sesudahnya (21 September 2014) atau 16 hari sesudahnya. Contoh hasil identifikasi tanaman padi pada data tanggal 5 September 2014 dibandingkan data sebelum dan sesudahnya untuk fase generatif disajikan dalam Gambar 3, fase bera dapat dilihat dalam Gambar 4.
6
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Fase Generatif
a.
b.
c.
Gambar 3 Identifikasi tanaman padi pada fase generatif menggunakan data tanggal 5 September 2014 dengan bantuan data multitemporal sebelumnya (32 hari) dan sesudahnya (16 hari) Keterangan: a = Data tanggal 4 Agustus 2014; b = Data tanggal 5 September 2014; dan c = Data tanggal 21 September 2014.
Fase Bera a.
b.
c.
Gambar 4 Identifikasi Tanaman Padi pada Fase Bera Menggunakan Data Tanggal 5 September 2014 dengan Bantuan Data Multitemporal Sebelum (32 hari) dan Sesudahnya (16 hari) Keterangan: a = Data tanggal 4 Agustus 2014; b = Data tanggal 5 September 2014; dan c = Data tanggal 21 September 2014. Gambar 5 memperlihatkan foto saat pelaksanaan survei lapangan areal tanaman padi di Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan. Pada saat survei lapangan tersebut tanggal 5 September 2014, di Kabupaten Pangkep, areal tanaman padi yang dijumpai sebagian besar berada dalam fase generatif (siap panen) dan fase bera (habis panen).
7
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 5 Kondisi lahan sawah fase bera saat survei lapangan di Kabupaten Pangkep tanggal 5 September 2014 Sementara itu, untuk fase vegetatif karena tidak ditemui pada data tanggal 5 September 2014 maka identifikasi fase vegetatif dilakukan pada data tanggal 4 Agustus 2014 atau 32 hari sebelum tanggal 5 September 2014, hasilnya disajikan dalam Gambar 6.
Fase Vegetatif
a.
b.
c.
Gambar 6 Identifikasi tanaman padi pada fase vegetatif menggunakan data tanggal 4 Agustus 2014 dengan bantuan data multitemporal sesudahnya (32 hari) dan berikutnya (16 hari) Keterangan: a = Data tanggal 4 Agustus 2014; b = Data tanggal 5 September 2014; dan c = Data tanggal 21 September 2014
Setelah diidentifikasi tanaman padi pada 3 fase (bera, vegetatif, dan generatif) di mana 1 fase lagi yaitu fase air atau pembibitan tidak ditemui pada ketiga data multitemporal tersebut, selanjutnya dilakukan training sampel tanaman padi pada ketiga fase tersebut dan penutup lahan lain di sekitarnya pada Kabupaten Pangkep untuk dilakukan klasifikasi secara terbimbing dengan metode Maximum Likelihood Enhanced Neighbor dengan tujuan mengetahui nilai percampuran atau pemisahan antara kelas tanaman padi dengan penutup lahan di sekitarnya secara digital. 8
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Karena fase vegetatif tidak ditemui pada data tanggal 5 September 2014 maka pengambilan training sampel dilakukan pada kedua data, yaitu data tanggal 5 September 2014 atau disebut Data 1 dan data tanggal 4 Agustus 2014 atau disebut Data 2. Hasil pengambilan training sampel tanaman padi pada Data 1 dan interpretasi dibantu oleh kedua data lainnya yang disajikan dalam Gambar 7, sedangkan hasil pengambilan training sampel tanaman padi pada Data 2 dan interpretasi dibantu oleh kedua data lainnya yang disajikan dalam Gambar 8.
a. Gambar 7
b.
c.
Pengambilan training sampel tanaman padi dengan 3 fase (bera, vegetatif, generatif) dan penutup lahan lain di sekitarnya
a.
b.
c.
Gambar 8 Pengambilan training sampel tanaman padi dengan 3 fase (bera, vegetatif, generatif) dan penutup lahan lain di sekitarnya pada Data 2 (tanggal 4 Agustus 2014) Dalam membedakan training sampel vegetasi pada tanaman padi dengan vegetasi tanaman lainnya dapat dilakukan secara multitemporal. Demikian pula untuk membedakan tanah bera pada fase tanaman padi dengan lahan atau tanah terbuka bukan areal tanaman padi dapat diidentifikasi menggunakan data multitemporal. Untuk kasus 1, membedakan vegetasi lain dengan vegetasi tanaman padi secara multitemporal, misalnya rumput atau semak dapat dilihat dalam Gambar 9. 9
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 9 Pengambilan training sampel vegetasi lain (rumput dan/atau semak) pada ketiga data multitemporal yang menunjukkan tidak ada perubahan Dalam Gambar 9 terlihat bahwa vegetasi rumput atau semak tidak ada perubahan fase pada ketiga data multitemporal tersebut artinya kondisi vegetasinya tetap tidak ada perubahan. Sementara itu, pada kasus 2 yang membedakan lahan terbuka bukan areal tanaman padi, tanah bera pada fase padi dengan data multitemporal disajikan dalam Gambar 10. Pada Gambar 9 terlihat bahwa lahan terbuka tidak berubah di ketiga data multitemporal tersebut, sedangkan tanah bera pada tanggal 5 September 2014 berupa vegetasi pada data 32 hari sebelumnya (4 Agustus 2014) menunjukkan perubahan fase tanaman padi dari fase generatif (siap panen) menjadi fase bera.
Lahan Terbuka Fase Bera Gambar 10 Pengambilan training sampel lahan terbuka dan tanah bera pada ketiga data multitemporal Selanjutnya dilakukan klasifikasi dengan supervised (terbimbing) dengan metode Maximum Likelihood pada kedua data, yaitu Data 1 (tanggal 5 September 2014) dan Data 2 (tanggal 4 Agustus 2014). Pada Gambar 11 disajikan contoh hasil pengambilan training sampel lahan terbuka dan tanah bera pada ketiga data multitemporal.
10
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Hasil klasifikasi pada Data 1 dengan 3 data RGB multitemporal disajikan dalam Gambar 11, sedangkan hasil klasifkasi pada Data 2 disajikan dalam Gambar 12. Legenda kelas klasifikasi disajikan dalam Gambar 13.
Gambar 11 Hasil klasifikasi penutup lahan pada data tanggal 5 September 2014 (B), di mana A Data RGB tanggal 4 Agustus 2014, (c) data RGB tanggal 5 September 2014, dan (d) data RGB tanggal 21 September 2014
11
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 12 Hasil klasifikasi penutup lahan pada data tanggal 4 Agustus 2014 (B), di mana A data RGB tanggal 4 Agustus 2014, (c) data RGB tanggal 5 September 2014, dan (d) data RGB tanggal 21 September 2014
12
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 13 Legenda kelas klasifikasi (a) untuk data tanggal 5 September 2014 dan (b) untuk data tanggal 4 Agustus 2014 Upaya untuk mengetahui nilai percampuran antara kelas tanaman padi dengan kelas penutup lahan lain di sekitarnya dibuat confusion matrix antara kelas klasifikasi yang dihasilkan dengan kelas training sampel yang dibuat. Hasil confusion matrix antara hasil klasifikasi pada Data 1 (tanggal 5 September 2014) dan kelas training sampel yang dibuat disajikan dalam Tabel 1, sedangkan hasil confusion matrix antara hasil klasifikasi pada Data 2 (tanggal 4 Agustus 2014) dan training sampel yang dibuat disajikan dalam Tabel 2. Tabel 1
Hasil Confusion Matrix antara kelas klasifikasi pada Data 5 September 2014 dengan kelas training sampel yang dibuat
Kelas Training Sampel
Kelas Klasifikasi (Data Tanggal 5 September 2014)
Klasifikasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1. Tubuh Air
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
25
0
2. Permukiman1
0
36
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3. Permukiman2
0
0
240
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4. Mangrove
0
0
0
109
0
0
0
0
0
10
0
1
5. Rumput/Semak
0
0
0
0
334
0
0
0
0
0
1
0
6. Lahan Terbuka
0
0
0
0
4
2.720
0
0
0
0
12
0
7. Hutan
0
0
0
0
0
0
5.870
0
0
93
0
2
8. Vegetasi Rawa
0
0
0
0
0
0
0
75
0
0
0
0
9. Rawa
0
0
2
78
0
0
0
40
3.075
0
0
0
10. Vegetasi Lain
0
0
0
0
0
0
127
2
0
3.669
0
32
11. Fase Generatif
0
0
0
0
0
15
0
0
0
0
838
0
12. Fase Vegetatif
0
0
0
0
0
0
0
0
0
18
0
1.228
13
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Dari Tabel 1, Confusion Matrix antara kelas klasifikasi pada data 5 September 2014 dengan kelas training sampel yang dibuat diperoleh akurasi secara keseluruhan (Overall Accuracy) sebesar 97,6 % dan nilai statitistik Kappa sebesar 0,971. Hal ini menunjukkan akurasi klasifikasi secara keseluruhan dalam arti percampuran antarkelas tidak terlalu banyak atau pemisahan antarkelas secara statistik sudah baik. Sementara jika dilihat dari kelas tanaman padi sendiri untuk fase bera nilai user accuracy sebesar 98,2% (user accuracy = persentase dari jumlah piksel kelas i yang terklasifikasi secara benar dibagi dengan jumlah piksel kelas j pada data referensi yang terklasifikasi sebagai kelas i (Noviar et al. 2013). Untuk tanaman padi fase generatif pada klasifikasi pertama diperoleh nilai user accuracy sebesar 98,6%. Sementara itu, dari Tabel 2, Confusion Matrix antara kelas klasifikasi pada data 4 Agustus 2014 dengan kelas training sampel yang dibuat diperoleh akurasi secara keseluruhan (Overall Accuracy) sebesar 73% dan nilai statitistik Kappa sebesar 0,673. Hal ini menunjukkan akurasi klasifikasi secara keseluruhan dalam arti percampuran antarkelas sedikit banyak dibandingkan klasifikasi pertama tetapi pemisahan antarkelas secara statistik masih dalam kategori baik. Sementara jika dilihat dari kelas tanaman padi sendiri untuk fase generatif, diperoleh nilai user accuracy sebesar 96,7%, sedangkan untuk tanaman padi pada fase vegetatif yang hanya ditemui pada data tanggal 4 Agustus 2014 (klasifikasi kedua) diperoleh nilai user accuracy sebesar 87,5%. Sebagai verifikasi hasil identifikasi dan klasifikasi tanaman padi di wilayah kajian, yaitu Kabupaten Pangkep telah dilakukan survei lapangan yang saat pelaksanaannya berdekatan atau dalam periode yang sama dengan perolehan data Landsat. Tabel 2 Hasil Confusion Matrix antara kelas klasifikasi pada data 4 Agustus 2014 dengan kelas training sampel yang dibuat Kelas Training Sampel
Kelas Klasifikasi (Data Tangal 4 Agustus 2014)
Klasifikasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1. Tubuh Air
25
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2. Permukiman1
0
36
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3. Permukiman2
0
0
240
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4. Mangrove
0
0
0
79
0
0
0
19
7
5
3
9
5. Rumput/Semak
0
0
3
0
331
1
0
0
0
0
0
0
6. Lahan Terbuka
0
0
15
0
11
2.163
0
0
0
0
0
0
7. Hutan
0
0
0
67
0
0
1.679
0
1
4.216
1
1
8. Vegetasi Rawa
0
0
0
0
0
0
0
75
0
0
0
0
9. Rawa
0
0
3
16
0
0
0
147
3.029
0
0
0
10. Vegetasi Lain
0
0
2
45
0
1
4
1
0
3.696
20
61
11. Fase Generatif
0
0
0
0
0
0
1
0
0
7
562
11
12. Fase Vegetatif
0
0
4
12
1
0
9
0
0
8
146
1.265
14
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
4. KESIMPULAN Hasil akurasi klasifikasi secara digital secara keseluruhan dalam kategori baik (overall accuracy) di atas 70%. Di sisi lain, user accuracy untuk tanaman padi sawah pada berbagai fase (bera, vegetatif, dan generatif) masih di atas 85%. Hal ini berarti bahwa percampuran tanaman padi sawah dengan kelas penutup lahan lain di sekitarnya secara digital tidak terlalu besar. Hasil ini menunjukkan bahwa data satelit Landsat 8 secara multitemporal dapat digunakan untuk identifikasi tanaman padi sawah berdasarkan fase pertumbuhan serta membedakannya dengan vegetasi lain dan lahan terbuka di sekitarnya. Dengan kata lain, data tersebut baik digunakan untuk identifikasi dan klasifikasi tanaman padi apabila digunakan data secara multitemporal. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada USGS yang telah memberikan data Landsat 8 (LDCM) open acces dan free charge sehingga penulis dapat mengunduhnya tanpa biaya, juga kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN yang telah memfasilitasi sehingga penelitian ini dapat dilakukan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Dirgahayu D., H. Noviar, Silvia. 2014. Model Pertumbuhan Tanaman Padi di Pulau Sumatera Menggunakan Data EVI Modis Multitemporal. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh. Bogor. Geerken R., B. Zaitchik, J.P. Evan. 2015. Classifying rangeland vegetation type and coverage from NDVI time series using fourier filtered cycle similarity. International Journal of Remote Sensing 26(24): 5535–5554. Jati A., H.H. Hapsari, U.D. Wahyu. 2013. Aplikasi penginderaan jauh untuk monitoring perubahan ruang terbuka hijau (studi kasus: wilayah barat Kabupaten Pasuruan). Jurnal Teknik Pomits X(X): 2301–9271. Kumar D. 2015. Remote sensing based vegetation indices analysis to improve water resources management in urban environment. International conference on water resources, coastal and ocean engineering (ICWRCOE 2015). Aquatic Procedia 4: 1374–1380. Kustiyo. 2003. Model Estimasi Fase Tumbuh dan Luas Panen Padi Sawah dengan Menggunakan Data Landsat 7 [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lillesand T., R.W. Kiefer, J. Chipman. 2007. Remote Sensing and Image Interpretation. Fifth Edition. Wiley. America. Mahmud Y., S.S. Purnomo. 2014. Keragaman agronomis beberapa varietas unggul baru tanaman padi (Oryza Sativa L.) pada model pengelolaan tanaman terpadu. Jurnal Ilmiah Solusi 1(1): 1–10. McFarland T.M., Ch. van Riper III. 2013. Use of Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Habitat Modeling to Predict Breeding Birds on the San Pedro River, Arizona. OpenFile Report 2013–1100 U.S. Geological Survey. Reston. Virginia.
15
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Noviar H., B. Trisakti. 2013. Pemanfaatan kanal polarisasi dan kanal tekstur Data Pisar-L2 untuk klasifikasi penutup lahan kawasan hutan dengan metode klasifikasi terbimbing. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital 10(1): 47–58. Petach A.R., M. Toomey, D.M. Aubrecht, A.D. Richardson. 2014. Monitoring vegetation phenology using an infrared-enabled security camera. Agricultural and Forest Meteorologi 195–196: 143–151. Sari D.K., I.H. Ismullah, W.N. Sulasdi, A.B. Harto. 2010. Estimasi produktivitas padi sawah berbasis kalender tanam heterogen menggunakan teknologi penginderaan jauh wilayah studi: Jawa Barat Bagian Utara. Jurnal Rekayasa XIV(3): 110–124. Shahabi H., B.B. Achmad, M.H. Mokhtari, M.A. Zadeh. 2012. Detection of urban irregular development and green space destruction and green space destruction using Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Principal Component Analysis (PCA) and Post Classification Methods: a case study of saqqez city. Intern. Journal of the Physical Sciences 7(17): 2587–2595. DOI 10.5897/IJPS12.009 ISSN 1992–1950. Sobrino J.A., J.C. Jiménez-Muñoz, G. Sòria, M. Romaguera, L. Guanter, J. Moreno, A. Plaza, P. Martínez. 2008. Land surface emissivity retrieval from different VNIR and TIR sensors. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing 46(2): 316–327. Trisakti B. 2012. Peningkatan Akurasi Hasil Klasifikasi Penutup Lahan Menggunakan Metode Maximum Likelihood. Prosiding PIT MAPIN XIX. Makassar. Verrelst J., B. Koetz, M. Kneubuehler, Schaepman. 2013. Directional Sensitivity Analysis of Vegetation Indices from Multiangular Chris/Proba Data. Centre for Geo-Information. Wageningen UR, Wageningen. The Netherlands. Wahyunto, Widagdo, B. Heryanto. 2006. Pendugaan produktivitas tanaman padi sawah melalui analisis citra satelit. Informatika Pertanian15: 653–869.
16
2
PENENTUAN TRAINING SAMPEL PADA METODE SEGMENTASI UNTUK KLASIFIKASI SAWAH DAN NON-SAWAH MENGGUNAKAN DATA SPOT-6 (Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan) Tatik Kartika dan I Made Parsa Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRACT The samples determination on segmentation method of paddy and non-paddy classification aims to know the precision of the classification based on different way of sampling method. Classification of paddy and non-paddy fields using supervised classification method depend on the training sample collection. In this research will be studied segmentation parameter which consist of scale, color, and compactness, as well as two ways take of sampling known as the First Way and the Second Way. The First way is to take the training samples for each class of existing land cover in the study site and the Second Way is just to take a sample training of paddy harvest phase, paddy vegetative phase and non-paddy. The results of both methods were tested against the results of image classification manually, the results of the delineation of boundaries of land cover in the study site. The research location is Maros in South Sulawesi Province and the data used is SPOT-6 in 2013. The result is a parameter to scale; color; and compactness for data SPOT-6 pan sharpen the classification of paddy and non-paddy fields are each worth 100; 0.9; and 0.5. The accuracy both ways when compared with the result that be obtained from visual interpretation did not differ significantly, with overall accuracy of the First way is 80.22% and of the Second Way is 79.85%. Keywords: paddy field, object base classification, segmentation, sample training, Maros District
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
ABSTRAK Penentuan sampel pada metode segmentasi klasifikasi sawah dan non-sawah bertujuan melihat ketelitian hasil klasifikasi berdasarkan cara pengambilan sampel yang berbeda. Klasifikasi sawah dan non-sawah menggunakan metode klasifikasi terawasi sangat bergantung pada pengambilan sampelnya. Dalam penelitian ini akan dibahas nilai parameter segmentasi skala, warna dan kekompakan, serta dua cara pengambilan sampel yang disebut sebagai Cara Pertama dan Cara Kedua. Cara Pertama adalah dengan mengambil training sampel untuk setiap kelas penutup lahan yang ada dalam lokasi penelitian dan Cara Kedua hanya mengambil training sampel sawah bera, sawah vegetatif, dan non-sawah. Hasil kedua cara tersebut diuji terhadap hasil klasifikasi citra secara manual yaitu hasil deliniasi batas penutup lahan yang ada di lokasi penelitian. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Maros di Provinsi Sulawesi Selatan dan data yang digunakan adalah data SPOT-6 tahun 2013. Hasilnya adalah parameter skala, warna, dan kekompakan untuk data SPOT-6 pan sharpen bagi klasifikasi sawah dan non-sawah adalah masing-masing bernilai 100; 0,9; dan 0,5. Akurasi kedua cara pengambilan training sampel dibandingkan dengan data yang diperoleh dari data hasil interpretasi visual tidak berbeda signifikan, di mana ketelitian keseluruhan Cara Pertama adalah 80,22% dan Cara Kedua 79,85%. Kata kunci: sawah, klasifikasi berbasis objek, segmentasi, training sampel, Kabupaten Maros
1. PENDAHULUAN Di Indonesia lahan sawah umumnya ditanami padi dan menurut Soemarno (2010), padi yang ditanam di lahan sawah dikenal sebagai padi lahan basah. Menurut Wahyunto et al. (2004), tanaman padi dikenali di dalam analisis citra satelit melalui fase pertumbuhannya yang terdiri atas fase air (pengolahan tanah/penggenangan), fase vegetatif, fase malai/pengisian butir, fase panen, dan fase bera (pascapanen). Sementara Parsa et al. (2011) dari citra komposit Landsat 5-4-3 dengan mudah dapat membedakan fase sawah, yaitu biru untuk fase air, hijau untuk fase tanam/vegetatif, dan merah untuk fase panen/bera. Dengan demikian, sawah mempunyai kenampakan yang selalu berubah-ubah, seperti ditunjukkan oleh Data Landsat 8 pada Gambar 1.
18
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Sawah fase air (warna biru)
Sawah fase vegetatif (warna hijau)
Sawah fase malai (warna hijau)
Sawah fase bera (warna merah muda)
Gambar 1 Sawah berbagai fase (dalam lingkaran merah) dengan komposit Citra Landsat 8 RGB-654 pada lokasi yang sama Dalam klasifikasi penutup lahan, kelas sawah merupakan penggabungan dari lahan sawah berbagai fase tersebut atau dalam istilah klasifikasi kelas sawah adalah hasil reklas dari berbagai fase pertumbuhannya. Dalam klasifikasi digital diperlukan pengambilan sampel yang akurat sehingga hasilnya mempunyai ketelitian yang tinggi. Cara pengambilan sampel dan jumlah minimal sampel yang diambil bisa bermacam-macam. Dalam penelitian ini dibahas pengambilan sampel dengan dua cara dan berdasarkan jumlah sampel sesuai dengan Rumus Slovin maupun Tabel Krejcie. Kemudian akan dilihat bagaimana ketelitian keseluruhan dari hasil kedua cara tersebut sehingga ada rekomendasi dalam hal pengambilan sampel khususnya untuk klasifikasi sawah dan nonsawah menggunakan data SPOT-6. Klasifikasi berbasis objek bisa menjadi alternatif karena memberikan solusi bagi masalah pada resolusi tinggi, juga menarik karena beroperasi pada objek yang sebelumnya telah dikelompokkan melalui proses segmentasi. Ide dasar dari proses ini adalah mengelompokkan piksel-piksel berdampingan menjadi objek spektral yang homogeny melalui segmentasi dan dilanjutkan proses klasifikasi pada objek sebagai unit proses terkecil (Qlan et al. 2006). Klasifikasi data digital adalah pengelompokan piksel ke dalam suatu kelas. Hal ini sesuai dengan asumsi dalam klasifikasi citra digital bahwa setiap objek dapat dibedakan dengan objek lainnya pada nilai spektralnya. Klasifikasi terawasi memuat suatu himpunan algoritma yang didasarkan pada sampel dari objek yang diteliti (Danoedoro 2012). Klasifikasi digital berbasis objek meminimalkan kelemahan yang hanya didasarkan pada nilai digital dengan menambahkan beberapa parameter utama sebagai pemisah, yaitu skala, warna, dan kekompakan. Penelitian ini mencari nilai parameter segmentasi tersebut dengan menggunakan jenis multiresolusi dengan Metode Nearest Neighbor. Hasilnya akan dilanjutkan dengan membahas dua cara pengambilan sampel yang berbeda dan disebut sebagai Cara Pertama dan Cara Kedua.
19
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
2. METODOLOGI 2.1. Lokasi dan Data Lokasi penelitian termasuk ke dalam area Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan dengan batas koordinat 119:34:6.87E-119:37:6.27E dan 4:54:9.86S-4:57:3.13S. Lokasi penelitian ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2 Kiri: lokasi penelitian di Sulawesi Selatan; Kanan: Citra SPOT-6 dari area penelitian
Sumber: LAPAN
Penelitian ini menggunakan data satelit penginderaan jauh SPOT-6 pan sharpen dengan tanggal akuisisi 28 Mei 2013 yang mempunyai resolusi spasial 1,5 meter dan terdiri atas 4 kanal yaitu Biru, Hijau, Merah, dan Near-Infra merah (http://www.satimagingcorp.com/satellitesensors/spot-6.html). Keterangan mengenai sensor SPOT-6 ada pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik Sensor Satelit SPOT-6 Citra Citra Multispektral (4 kanal)
Resolusi spasial (GSD)
Band Biru (0,455 µm – 0,525 µm) Hijau (0,530 µm – 0,590 µm) Merah (0,625 µm – 0,695 µm) Near-Infra merah(0.760 µm – 0.890 µm) Pankromatik - 1,5 m Multispektral - 6,0 m (B,G,R,NIR)
Sumber: http://www.satimagingcorp.com/satellite-sensors/spot-6.html
2.2. Metode Penelitian Segmentasi adalah membagi suatu citra ke dalam sub-sub bagian sehingga apabila R adalah suatu citra maka segmentasi adalah membagi habis R ke dalam subregion R1, R2, …, Rn sedemikian sehingga: n
R i =1
i
=R
(1)
Di mana Ri merupakan region yang terhubung, tetapi tidak beririsan sehingga: Ri∩Rj = ∅
(2)
(Zucker 1976) 20
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
a) Misalnya T(t) adalah nilai ambang bawah di mana dua region dianggap sama pada waktu t, dan misalnya Mi adalah vektor nilai rata-rata dari region Ri. Misalnya D(Ri,RK)=||MiMj|| adalah jarak Euclidian antara nilai rata-rata spektral region Ri dan RK, dan misalnya N(R) adalah sekumpulan region-region tetangga dari R (tidak termasuk R sendiri). Region RK adalah region tetangga paling mirip dari Ri jika D(Ri,RK) ≤ D(Ri,RL) untuk setiap ∈RL∈ N(Ri).
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa untuk masing-masing region Ri, region-region tetangganya N(Ri) diuji sehingga: b) Dipilih region tetangga yang paling mirip RK ∈N(Ri ). Jika D(Ri , RK ) < T(t) maka RK disebut “tetangga terbaik” dari Ri.
c) Jika tetangga terbaik dari RK ada, dan adalah Ri, maka kedua region akan digabungkan. (Bins et al. 1996)
Segmentasi multiresolusi merupakan suatu prosedur optimasi heuristik yang secara lokal meminimumkan rata-rata heterogenitas objek-objek pada citra untuk suatu resolusi tertentu (Gambar 3), sedangkan diagram konsep multiresolusi ditunjukkan oleh Gambar 4.
Gambar 3 Segmentasi multiresolusi Sumber: Definiens AG (2006)
21
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Parameter Skala Menentukan standar deviasi maksimum kriteria homogenitas berkaitan dengan layer citra terboboti untuk menghasilkan objek-objek citra. Semakin tinggi nilainya semakin luas objek citra yang dihasilkan
Komposisi Homogenitas Kriteria homogenitas disusun dari 4 kriteria yang menentukan total homogenitas relatif untuk menghasilkan objek-objek citra.
Warna Nilai digital (warna) objek-objek citra yang dihasilkan Warna = 1 - Shape
Kriteria Tiap-tiap pasang kriteria diboboti dengan nilai total setara dengan 1
Bentuk (Sharpe) Didefinisikan sebagai homogenitas tekstural dari objek-objek citra yang dihasilkan Shape = smoothness+Compactness
Sumber: Definiens AG (2006)
Smoothness Mengoptimumkn objek-objek citra yang dihasilkan berkenaan dengan batas-batas halus dalam kriteria bentuk. E Smoothness = (1 compactness)xShape
Compactness Mengoptimumkn objek-objek citra yang dihasilkan berkenaan dengan compactness keseluruhan dalam kriteria bentuk. E (Compactness = 1 compactness x Shape)
Gambar 4 Diagram konsep multiresolusi
Kunci interpretasi yang selama ini dijadikan sebagai dasar dalam penentuan kelas dalam klasifikasi visual tetap berperanan penting dalam klasifikasi digital. Kunci interpretasi terdiri atas warna, rona, bentuk, lokasi, tekstur, asosiasi, pola, bayangan, dan situs. Kunci interpretasi ini akan digunakan dalam pengambilan training sample sebelum melakukan klasifikasi digital. Teknik pengambilan sampel dan penentuan ukuran sampel memiliki peran penting dalam survei berbasis masalah penelitian dalam statistik terapan. Hal ini penting utuk mengetahui tentang populasi (Singh dan Masuku 2014; Congcong et al. 2014). Umumnya makin besar jumlah sampel maka semakin kecil peluang kesalahan. Jika jumlah populasi diketahui, maka Rumus Slovin pada persamaan (3) dapat digunakan (Tejada dan Joiyce 2012) atau menurut Krejcie dan Morgan (1970), bisa juga menggunakan tabel Krejcie, yaitu tabel untuk menentukan jumlah training sampel jika jumlah populasi diketahui. Tabel ini sangat mudah digunakan karena secara fungsional hanya terdiri atas kolom untuk ukuran populasi dan kolom untuk ukuran sampel (Setiawan 2007). n = N/(1+N(e2))
(3)
Di mana: n=jumlah sampel, N=jumlah populasi, e=tingkat akurasi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi digital berbasis objek menggunakan segmentasi dengan parameter skala, warna, dan kekompakan. Metode ini secara garis besar terdiri atas pemilihan nilai parameter, penentuan jumlah training sampel, pengambilan training sampel, klasifikasi nearest neighbor, dan pengujian ketelitian keseluruhan. Diagram alirnya ditunjukkan oleh Gambar 5. 22
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 5 Diagram alir penelitian Pemilihan nilai parameter ini diambil, apabila hasil segmentasi secara visual sudah tidak tercampur lagi antara sawah dan non-sawah. Apabila nilai parameter sudah diperoleh maka jumlah segmen yang menunjukkan besar populasi sudah diketahui sehingga dapat ditentukan jumlah training sampel minimal yang harus diambil. Cara pengambilan sampel ada dua cara, yaitu disebut Cara Pertama dan Cara Kedua. Cara Pertama adalah dengan mengambil training sampel untuk setiap kelas penutup lahan yang ada dalam lokasi penelitian dan Cara Kedua adalah hanya mengambil training sampel sawah kondisi fase air, bera, dan vegetatif serta non-sawah. Namun dikarenakan pada data yang digunakan tidak ditemukan sawah fase air, maka pada kasus ini tidak diambil sampelnya. Selanjutnya hasil kedua cara tersebut diuji terhadap hasil klasifikasi citra secara manual yaitu hasil deliniasi batas penutup lahan yang ada di lokasi penelitian. Cara pengambilan sampel yang paling baik adalah yang memberikan nilai ketelitian keseluruhan yang tinggi.
23
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai parameter segmentasi skala; warna; kekompakan pada data Landsat untuk pengkelasan sawah dan non-sawah, yaitu berturut-turut 11; 0,9; 0,5 (Parsa et al. 2013). Kemudian segmentasi skala; warna; kekompakan pada data SPOT-4 untuk pengkelasan penutup lahan yaitu berturut-turut 10; 0,9; 0,5 (Hawariyyah et al. 2011). Berdasarkan hal tersebut, untuk data SPOT-6 pan sharpen dan menghasilkan kelas sawah dan non-sawah yang resolusi spasialnya lebih tinggi maka pertama dicoba segmentasi skala; warna; kekompakan berturut-turut mulai dari skala 10; 50; dan 80 dengan warna dan kekompakan yang sama, yaitu 0,9 dan 0,5. Jumlah segmen dengan parameter 80; 0,9; 0,5 pada area penelitian adalah 21.050 di mana satu area sawah masih terbagi ke dalam poligon-poligon kecil padahal antarpoligon tersebut masih bisa digabungkan. Kemudian dicoba dengan parameter segmentasi skala; warna; dan kekompakan masing-masing 100; 0,9; 0,5. Jumlah poligon yang dihasilkan berjumlah 14.259 poligon, di mana sawah dan non-sawah sudah tersegmen dengan baik. Hasil segmentasi dengan kedua parameter terakhir di atas ditunjukkan oleh Gambar 6. Dengan demikian untuk klasifikasi sawah dan non-sawah pada Data SPOT-6 pan sharpen digunakan parameter segmentasi skala; warna; dan kekompakan masing-masing 100; 0,9; 0,5. Klasifikasi sawah dan non-sawah melalui proses klasifikasi terawasi dengan metode Nearest Neighbor diawali dengan penentuan training sampel. Training sampel yang akan diambil adalah dari segmen atau poligon-poligon yang dihasilkan dari proses segmentasi. Berdasarkan analisis visual dari citra, di area penelitian terdapat kelas-kelas sawah dalam fase bera dan vegetatif, sedangkan kelas non-sawah terdiri dari tambak, sungai, semak, permukiman, lahan terbuka, bayangan, dan kelas campuran yaitu jika dalam poligon memuat lebih dari satu kelas non-sawah.
24
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 6 Hasil segmentasi dengan parameter skala; warna; kekompakan yang berbeda (kiri) dan perbedaan hasil segmentasinya secara detail, di mana lingkaran-lingkaran merah menunjukkan penggubungan poligon untuk kelas yang sama (kanan) Dalam penelitian ini akan dicoba mengambil training sampel dengan dua cara. Cara Pertama dengan mengambil sampel pada setiap kelas yang ada di area penelitian dengan nama training sampel sawah fase bera, sawah fase vegetatif, badan air, bayangan, hutan, lahan terbuka, permukiman, semak, tambak air, dan kelas campuran sesuai dengan kelas penutup lahannya. Sementara Cara Kedua adalah dengan mengambil training sampel sawah bera, sawah vegetatif, dan non-sawah. Di area penelitian ini tidak terdapat sawah fase air. Menurut Rumus Slovin dengan jumlah populasi 14.259 segmen dan tingkat kepercayaan 0,05, maka jumlah training sampel minimal adalah sebanyak 390 (dibulatkan). Sementara dari Tabel yang diberikan oleh Krejcie dianjurkan untuk mengambil training sampel minimal 377. Tabel Krejcie adalah tabel untuk menentukan jumlah training sampel jika jumlah populasi diketahui. Tabel 2 menunjukkan jumlah training sampel untuk masing-masing kelas training sampel yang seluruhnya berjumlah 587, jumlah tersebut memenuhi Teori Slovin maupun Tabel Krejcie. Gambar 7 sebelah kiri menunjukkan sebaran sample training Cara Pertama dan sebelah kanan adalah hasil klasifikasinya.
25
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Tabel 2 Jumlah training sampel pada masing-masing kelas penutup lahan Kelas penutup lahan
Jumlah 20 26 17 40 29 23 121 99
Air Bayangan Campuran Hutan Lahan Terbuka Permukiman Sawah Bera Sawah Vegetasi
113 99 587
Semak Tambak Air Jumlah
=Air
=Campuran
=Bayangan
=Hutan
=Lahan Terbuka =Permukiman
=Sawah Bera
=Semak
=Sawah Vegetatif
=Tambak
Gambar 7 Sebaran sampel Cara Pertama (a) dan hasil klasifikasi Cara Pertama (b) Persentase ketercampuran dari sawah bera dengan kelas lainnya ditunjukkan oleh Tabel 3(a) dan grafik pada Gambar 8(a), sedangkan ketercampuran dari sawah vegetatif dengan kelas lainnya ditunjukkan oleh Tabel 3(b) dan grafik pada Gambar 8(b). Ketercampuran paling tinggi baik sawah bera maupun sawah vegetatif adalah dengan semak yang bernilai rata-rata 25,3% untuk sawah bera dan 82% untuk sawah vegetatif. Selanjutnya ketercampuran antara sawah bera dan lahan terbuka serta ketercampuran antara sawah vegetatif dengan hutan adalah cukup tinggi. Ketercampuran yang paling kecil adalah pada kelas sawah bera dengan tambak atau antara sawah vegetatif dengan lahan terbuka.
26
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Tabel 3
Persentase ketercampuran antara sawah bera (a) dan sawah vegetatif (b) dengan kelas-kelas non-sawah (a) Kelas
B1
Sawah bera - bayangan Sawah bera - tambak Sawah bera - air Sawah bera - semak Sawah bera - hutan Sawah bera - permukiman Sawah bera - lahan terbuka Sawah bera - campuran
0,01 0 0,12 0,12 0,03 0,11 0,18 0,05
B2 (x100%) 0,01 0 0,12 0,27 0,1 0,11 0,17 0,06
B3 0,01 0,01 0,13 0,37 0,16 0,07 0,14 0,07
(b) Kelas Sawah vegetasi - bayangan Sawah vegetasi - tambak Sawah vegetasi - air Sawah vegetasi - semak Sawah vegetasi - hutan Sawah vegetasi - permukiman Sawah vegetasi - lahan terbuka Sawah vegetasi - campuran
(a)
B1 0,01 0,17 0,20 0,81 0,26 0,01 0,01 0,15
B2 (x100%) 0,02 0,08 0,20 0,82 0,28 0,03 0,04 0,14
B3 0,01 0,12 0,19 0,83 0,33 0,02 0,01 0,14
(b)
Gambar 8 Grafik persentase ketercampuran antara sawah bera (a) dan sawah vegetasi (b) dengan kelas-kelas non-sawah Dengan training sampel Cara Pertama dilakukan klasifikasi nearest neighbor dengan hasil telah ditunjukkan pada gambar sebelumnya yaitu Gambar 7 sebelah kanan. Uji ketelitian keseluruhan hasil klasifikasi terhadap hasil klasifikasi manual sawah dan non-sawah untuk Cara Pertama ini adalah 80,22%. Berikutnya adalah pengambilan training sampel Cara Kedua, yaitu dengan mengambil training sampel sawah bera, sawah vegetatif, dan non-sawah. Pada Cara Kedua ini diambil
27
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
training sampel yang sama dengan Cara Pertama, artinya training sampel untuk sawah vegetasi dan sawah bera adalah tetap, sedangkan training sampel lainnya digabung menjadi satu sebagai training sampel non-sawah. Dengan demikian, jumlah total training sampel tetap sama yaitu sebanyak 587. Sebaran training sampel untuk Cara Kedua ditunjukkan oleh Gambar 9a, sedangkan hasil klasifikasinya ditunjukkan oleh Gambar 9b. Ketercampuran dari non-sawah dan sawah vegetasi untuk setiap band yang digunakan adalah 27%, sedangkan dengan sawah bera adalah rata-rata 19,7% seperti ditunjukkan oleh Tabel 4.
Keterangan:
Gambar 9 (a) Sebaran training sampel, (b) hasil klasifikasi Cara Kedua Tabel persentase Ketercampuran antara sawah bera dan non-sawah maupun antara sawah vegetatif dan non-sawah ditunjukkan pada Tabel 4, sedangkan grafiknya ditunjukkan pada Gambar 10. Hasil penghitungan ketelitian keseluruhan untuk Cara Kedua dibandingkan terhadap hasil klasifikasi manual sawah dan non-sawah adalah adalah 79,85%. Tabel 4
Persentase ketercampuran antara sawah dan non-sawah untuk masing-masing tipe sawah Kelas
Non-sawah-Sawah bera Non-sawah-Sawah vegataif
28
B1 0,16 0,27
B2 (x100%) 0,21 0,27
B3 0,22 0,27
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 10 Grafik persentase ketercampuran antara non-sawah dengan sawah bera dan sawah vegetatif Jika hasil klasifikasi pada Cara Pertama dan Cara Kedua dilakukan reklasifikasi dengan menggabungkan sawah bera dan sawah vegetasi sebagai kelas sawah (warna kuning) dan lainnya sebagai kelas non-sawah (warna merah), maka hasilnya ditunjukkan oleh Gambar 11. Lingkaran warna hijau adalah contoh perbedaan hasil klasifikasi dari kedua cara yang dibahas di atas. Keterangan: = sawah =NonSawah
Gambar 11 Hasil gabungan klasifikasi kelas sawah dan non-sawah penelitian Cara Pertama (kiri) dan Cara Kedua (kanan). Lingkaran hijau memperlihatkan contoh perbedaan hasil klasifikasi
4. KESIMPULAN Parameter segmentasi skala; warna; dan kekompakan untuk klasifikasi sawah dan nonsawah pada Data SPOT-6 pan sharpen masing-masing bernilai 100; 0,9; dan 0,5. Dengan parameter tersebut hasil klasifikasi menunjukkan bahwa persentase ketercampuran yang tinggi dari kedua cara adalah antara sawah dengan semak, sedangkan untuk sawah bera memiliki
29
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
ketercampuran yang cukup tinggi dengan tanah terbuka dan sawah vegetatif dengan hutan. Pengambilan training sampel Cara Pertama memberikan nilai ketelitian keseluruhan lebih tinggi dibandingkan dengan Cara Kedua. Cara Pertama adalah dengan mengambil training sampel setiap kelas penutup lahan yang berada pada area penelitian, sedangkan Cara Kedua adalah dengan mengambil training sampel sawah dan non-sawah. Hasilnya, kedua cara tersebut tidak berbeda signifikan sehingga bisa disimpulkan bahwa kedua cara pengambilan training sampel bisa dilakukan dengan tetap memerhatikan perwakilan dari setiap penutup lahan yang ada.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yth. Wawan K. Harsanugraha dan Dr. Dede Dirgahayu atas arahannya dalam penulisan makalah ini. Juga kepada Kapusfataja dan jajarannya atas fasilitas yang diberikan sehingga tulisan ini bisa diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA Bins L.S.A., M.G.F. Leila, J.E. Guaraci, M. Fernando. 1996. Satellite Imagery Segmentation: a region growing approach. Anais VIII Simposio Brasilerio de Sensoriamento Remoto, Salvador, Brasil. INPE: 677–680 Congcong L., J. Wang, L. Wang, L. Hu, P. Gon. 2014. Comparison of classification algorithms and training sample sizes in urban land classification with landsat thematic mapper imagery. Remote Sensing 6: 964–983 Danoedoro P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta (ID): Andi. Definiens. 2006. User Guide: Definiens Professional version 5.0.6.2. München. Germany: Defineiens AG. Hawariyyah S., N. Suwargana, T. Kartika, Silvia, A. Julzarika, N. Gultom. 2012. Pengembangan Model Standar Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Klasifikasi Hutan. Jakarta: Laporan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN. Krejcie R.V., D.W. Morgan. 1970. Determining sample size for research activities. Educational and Psychological Measurement 30: 607–610. Parsa I.M., Surlan, A. Sutanto, S. Budoyo, N. Gultom. 2011. Pengembangan Model Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumber Daya dalam Rangka Mendukung Ketahanan Pangan. Laporan Akhir. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN. Jakarta. Parsa I.M. 2013. Optimalisasi Parameter segmentasi untuk pemetaan lahan sawah menggunakan citra satelit Landsat (Studi kasus Padang Pariaman, Sumatera Barat dan Tanggamus, Lampung). Jurnal Penginderaan Jauh. 10(1): 29–40. Qlan Y., G. Peng, C. Nick, B. Greg, K. Maggi, S. Dave. 2006. Object-based detailed vegetation classification with airborne high spatial resolution remote sensing imagery. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing 72(7): 799–811.
30
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Setiawan N. 2007. Penentuan Ukuran Sampel Menggunakan Rumus Slovin dan Tabel KrejcieMorgan: Telaah Konsep dan Aplikasinya. Diskusi Ilmiah Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Unpad. Bandung (ID): Fakultas Peternakan UNPAD. Singh A.S., M.B. Masuku. 2014. Sampling techniques & determination of sample size in applied statistics research: an overview. International Journal of Economics, Commerce and Management II(11): 1–22. Soemarno. 2010. Ekosistem Sawah. http://marno.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/EKOSISTEMSAWAH.pdf. Diakses tanggal 10 April 2014. Tejada J.J., R.B.P. Joiyce. 2012. On the misuse of slovin’s formula. The Philippine Statistician 61(1): 129–136 Wahyunto S., R. Murdiyati, S. Ritung. 2004. Aplikasi teknologi penginderaan jauh dan uji validasinya untuk deteksi penyebaran lahan sawah dan penggunaan/penutupan lahan. Warta Informatika Pertanian 13: 745–768. Zucker S.W. 1976. Region growing: childhood and adolescence. CGIP 5(3): 382–389
31
3
KALIBRASI REFLEKTANSI DATA LANDSAT 8 DENGAN MENGGUNAKAN ALAT SPEKTROMETER Nana Suwargana dan Johannes Manalu Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRACT Rice plant growth phase of various ages are crop biophysical parameters that can be detected by remote sensing technology (Satellite). This study aimed to explore the correlation between the growth of the rice plant Landsat 8 with field data with case study research conducted in Sang Hyang Seri Subang. The research method is to observe/record the condition of the rice crop in the location coordinates research, reflectance measurements and taking photographs for various age growth of rice plants. Conditions reflectance rice crop (planting phase, the vegetative phase, the generative phase and harvest phase) was measured using a spectroradiometer. Measurement of the reflectance spectrometer instrument adapted to the wavelength used in the Landsat 8 is the wavelength of the canal: 0450–0515 μm (blue: kanal B2), 0525–0600 μm (green: B3 kanal), 0630–0680 μm (red: kanal B4), and 0845-0885 μm (near-IR: kanal 5). Correlation of spectral reflectance of rice plants on Landsat 8 and a data field for different age determination value R2 which generate an average of almost close together, with an average value of determination R2 is 0.8329 shows that the results of reflectance measurements in the Landsat 8 and field data correlated comparable. Keywords: Correlation, Reflectance, Wavelength
ABSTRAK Fase pertumbuhan tanaman padi dari berbagai umur merupakan parameter biofisik tanaman yang dapat dideteksi oleh teknologi Penginderaan Jauh (Satelit). Penelitian ini bertujuan mencari korelasi pertumbuhan tanaman padi antara data Landsat 8 dengan data
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
di lapangan dengan studi kasus penelitian dilaksanakan di Sang Hyang Seri, Subang. Metode penelitian adalah mengamati/mencatat kondisi tanaman padi di koordinat lokasi penelitian, pengukuran reflektansi, dan pengambilan foto untuk berbagai umur pertumbuhan tanaman padi. Kondisi reflektansi tanaman padi (fase tanam, fase vegetatif, fase generatif dan fase panen) diukur dengan menggunakan Spektroradiometer. Pengukuran reflektansi dengan alat spektrometer disesuaikan dengan panjang gelombang yang digunakan pada Citra Landsat 8, yaitu panjang gelombang pada kanal: 0,450–0,515 µm (blue: kanal B2); 0,525–0,600 µm (green:kanal B3); 0,630–0,680 µm (red:kanal B4); dan 0,845–0,885 µm (near-IR:kanal 5). Korelasi reflektansi spektral tanaman padi pada data Landsat 8 dan data lapangan untuk berbagai umur menghasilkan nilai determinasi R2 yang rata-rata hampir mendekati sama dengan ratarata nilai determinasi R2 adalah 0,8329 ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran reflektansi di data Landsat 8 dan data lapangan berkorelasi sekanaling. Kata kunci: Korelasi, Reflektan, Panjang gelombang
1. PENDAHULUAN Studi menggunakan citra satelit untuk memantau pertumbuhan tanaman padi telah dilakukan (Shao et al. 1997; Kuroso et al. 1997; Le Toan 1997; Panigrahy dan Sharma 1997; Oette et al. 2000; Shao et al. 2001; David et al. 2003). Beberapa penelitian sebelumnya telah menggunakan resolusi gambar global dan moderat seperti NOAA AVHRR dan MODIS untuk memantau sawah. Namun, penggunaan citra satelit resolusi spasial moderat dan global telah dibatasi terutama di lahan sawah yang kecil/sempit karena ada banyak jenis tutupan lahan dalam satu piksel. Hal ini akan mengurangi penilaian akurasi. Di sisi lain, pemanfaatan citra satelit resolusi spasial yang tinggi atau menengah telah terbatas, terutama selama periode tanam karena sedikit citra yang tersedia selama 120 hari periode pertumbuhan padi. Landsat 8 memiliki resolusi temporal, spasial, dan spektral yang baik untuk pemantauan padi. Waktu pengamatan kembali dari Landsat 8 adalah 16 hari dengan resolusi spasial 30 m. Landsat 8 memiliki enam kanal (kanal 2, 3, 4, 5, 6, 7) dengan ukuran piksel yang sama. Hal ini menyebabkan bisa bermanfaat untuk pengembangan algoritma untuk pemodelan padi. Yoshinari Oguro et al. (2001) telah melakukan penelitian menggunakan data time series dari data Landsat 7 ETM+ dan Landsat 5 TM yang diteliti selama periode mulai dari penanaman padi hingga panen pada tahun 2000 di bawah kendali Pusat Penelitian Pertanian Hiroshima di Higashi-Hiroshima Kota Jepang. Mereka memanfaatkan hubungan antara tipe indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan EVI(Enhanced Vegetation Index) dihitung dari data satelit dan parameter-parameter physic dari pertumbuhan padi (tinggi tanaman padi, penyebaran semaian, LAI, cakupan vegetasi, dan lain-lain) yang diperoleh dengan survei lapangan. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa perubahan temporal pada indeks vegetasi padi dapat dikorelasikan dengan data satelit. Kemudian dari peneliti lainnya (Huete et al. 2000) menyatakan bahwa umur tanaman padi dapat diprediksi melalui indeks vegetasi yang dihitung dari beberapa kanal visible dan inframerah dekat yang dikenal dengan luas NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced Vegetation Index). Di sisi lain, peneliti (Imamoto 2001) dalam laporannya memakai indeks vegetasi dengan menggunakan
34
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
kanal inframerah jauh, NDVI_SWIR dan menggunakan EVI_SWIR (Extended Vegetation Index). Kemudian (Didahayu et al. 2005) melaporkan telah membuat model pertumbuhan tanaman padi menggunakan parameter EVI (Enhanced Vegetation Index) atau Indeks Vegetasi yang dipertajam dari data MODIS yang hasilnya umur tanaman padi dapat ditentukan berdasarkan kisaran nilai EVI. Data Landsat 8 yang mempunyai 3 (tiga) kanal visible (tampak), satu kanal inframerah dekat, dua kanal inframerah jauh dan satu kanal thermal, dan itu berguna untuk memonitoring vegetasi. Penulis telah menyelidiki kondisi pertumbuhan padi menggunakan nilai spektral yang diperoleh dari data satelit Landsat 8. Nilai spektral dapat dihitung dari data satelit tersebut dan data survei lapangan. Diperoleh bahwa ciri-ciri data satelit berbeda terhadap data survei lapangan terutama dalam periode ketika nilai spektral meningkat. Dalan paper ini, perbedaan antara nilai spektral yang diperoleh dari data survei lapangan dan data satelit akan diselidiki menggunakan berbagai umur tanaman padi. Pengambilan data survei lapangan dilaksanakan pada saat bersamaan dengan posisi satelit melewati tepat di lokasi atas sawah yang sedang diamati. Penelitian ini telah dilakukan di PT Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat, di mana telah dilakukan pengamatan berbagai parameter-parameter yang berkaitan dengan berbagai umur tanaman padi. Parameter-parameter physic yang dapat dideteksi dengan data satelit adalah perubahan-perubahan physic dari pertumbuhan padi mulai dari fase tanam, fase vegetatif, fase generatif, dan fase panen (bera). Dari data survei lapangan parameter-parameter physic dapat diperoleh dengan mencatat kondisi dan umur tanaman padi dan hubungan lain untuk koreksi data antara data satelit dengan data di lapangan yaitu dengan melakukan pengukuran refelektansi spektral objek permukaan tanaman padi dari berbagai umur dengan menggunakan alat spektrometer.
2. METODOLOGI 2.1. Deskripsi Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat, berpusat pada lintang 06° 19’ 01” S 107° 38’ 07” E (Gambar 1). Pemilihan lokasi studi ini dengan pertimbangan untuk mempermudah perolehan data sekunder (jadwal tanam, umur tanaman tiap blok) yang dibutuhkan dalam pembangunan model. Area Perum ini meliputi areal persawahan seluas sekitar 150–300 ha sawah.
35
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 1 Kotak merah menunjukkan lokasi penelitian
2.2. Data dan Peralatan yang digunakan a. GPS (Global Positioning System) dan Batrai Alkali b. Spektroradiometer dengan panjang gelombang: 0,19489 µm hingga 1,1663 µm c. Kamera digital d. Print out citra-citra Landsat 8 e. Alat tulis Data Landsat 8 tersusun oleh kanal-kanal yang berbeda jika dikanalingkan dengan data Landsat-ETM+, data Landsat 8 mempunyai jumlah kanal yang lebih banyak dengan penambahan kanal untuk coastal, kanal cirrus, dan kanal LWIR-2 (khusus untuk kanal ini terjadi perubahan resolusi spasial menjadi 100 meter) selengkapnya disajikan pada Tabel 1 sehingga panjang gelombang yang digunakan dalam analisis dengan Spektrometer diambil sesuai dengan yang ada di citra Landsat 8, yaitu pada kanal: 0,450–0,515 µm (Kanal B2); 0,525–0,600 µm (Kanal B3); 0,630–0,680 µm (Kanal B4); dan 0,845–0,885 µm (Kanal 5). Dengan asumsi di atas bahwa umur tanaman padi dapat diinterpretasikan dengan menggunakan data satelit berdasarkan deteksi gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang digunakan adalah pada kanal biru, hijau, merah, dan inframerah dekat. Tujuan dari penulisan ini adalah mengamati hubungan umur tanaman padi antara data satelit dengan data lapangan berdasarkan pengukuran dari parameter reflektansi.
36
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Tabel 1 Perkanalingan spesifikasi kanal Landsat-TM dan Landsat 8 Kanal
Landsat-ETM+ Resolusi Paj.Gel (µm)
1. Blue 2. Green 3. Red 4. Near_IR 5. SWIR-1 7. SWIR-2 8. Pan
30 m 30 m 30 m 30 m 30 m 30 m 15 m
0,450–0,515 0,525–0,606 0,630–0,690 0,775–0,900 1,550–1,750 2,090–2,350 0,520–0,900
6. LWIR
60 m
10,00–12,50
Kanal 1, Coastal 2, Blue 3, Green 4, Red 5, Near-IR 6, SWIR-1 7, SWIR-2 8, Pan 9, Cirrus 10, LWIR-1 11, LWIR-2
Landsat 8 (LDCM) Resolusi Panj.Gel(µm) 30 m 0,433–0,453 30 m 0,450–0,515 30 m 0,525–0,0515 30 m 0,630–0,680 30 m 0,845–0,885 30 m 1,560–1,660 30 m 2,100–2,300 30 m 0,500–0,680 30 m 1,360–1,390 100 m 10,30–11,30 100 m 11,50–12,50
2.3. Metode Penelitian Pengolahan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengukur data reflektan dari berbagai objek umur tanaman padi (fase tanam, fase vegetatif, fase generatif, dan fase panen). Caranya dengan menggunakan alat Spektroradiometer. Penentuan sampel dengan cara mengarahkan sensor spektrometer langsung ke objek tumbuhan padi, mulai dari masa fase awal tanam, fase pertumbuhan vegetatif, fase perkembangan generatif, dan fase bera. Kemudian perbedaan umur objek tanaman padi yang terjadi di lokasi penelitian dicatat. Untuk memperoleh reflektansi tanaman padi disesuaikan dengan panjang gelombang yang digunakan pada Citra Landsat 8. Panjang gelombang yang digunakan adalah kanal: 0,450–0,515 µm (biru: kanal B2); 0,525–0,600 µm (hijau:kanal B3); 0,630–0,680 µm (merah: kanal B4); dan 0,845–0,885 µm (inframerah dekat: kanal 5). Untuk memperoleh reflektan terkoreksi alat spektrometer dari semua objek berbagai umur tanaman padi dapat diperoleh dengan pengamatan objek padi dari berbagai umur yaitu mulai dari fase pertumbuhan vegetatif, seperti vegetatif awal antara 0–20 HST (Hari Setelah Tanam) yang masih didominasi oleh penggenangan air, kemudian fase pertumbuhan vegetatif dipercepat antara 20–45 HST, fase vegetatif diperlambat antara 45–60 HST sampai pembentukan malai. Kemudian fase perkembangan generatif tampak, yaitu masa pembentukan biji antara 60–80 HST dan masa pematangan antara umur 80–105 HST, selanjutnya tanaman padi akan panen. Pengukuran metode untuk menyamakan spektral alat spektometer dengan data Landsat 8 yaitu dengan pengukuran reflektansi tanaman padi disesuaikan dengan panjang gelombang yang digunakan pada Citra Landsat 8. Panjang gelombang yang digunakan adalah kanal: 0,450–0,515 µm (biru: kanal B2); 0,525–0,600 µm (hijau:kanal B3); 0,630–0,680 µm (merah:kanal B4); dan 0,845–0,885 µm (inframerah dekat:kanal 5). Pengecekan objek tanaman padi dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi tanaman padi di lokasi pengamatan yang telah ditetapkan seperti pada Gambar 2. Selanjutnya melakukan pengukuran koordinat lokasi pengamatan dan pengambilan foto untuk merekam lebar objek tanaman padi di wilayah tersebut. 37
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Proporsi komponen tanaman padi (fase tanam, fase vegetatif, fase generatif dan fase panen) yang ada di areal lapangan diamati dengan mengambil foto (objek padi) yang diambil tepat di atas sawah oleh kamera digital. Membuat fase dari olahan Landsat 8 dilakukan dengan cara mengambil gambar semua tanaman padi dari berbagai umur. Mulai dari umur fase pengolahan awal, fase awal taman, fase generatif, fase fase tanam, fase vegetatif, fase generatif dan fase panen, objek difoto diambil gambarnya. Kemudian catat tanggal pengambilan datanya. Hasil dari pengambilan data tersebut dimeskan dengan data Landsat 8 yang tanggal pengambilannya sama dengan data lapangan. (teliti setiap piksel pengamatan antara data Landsat 8 dengan foto di lapangan kemudian dibantu dengan reflektansi dari spektrometer. Hasil pengukuran dari perubahan parameter fisik sawah dikorelasikan dengan reflektan spektral dari data satelit Landsat 8. Umumnya beberapa objek permukaan bumi apabila terdeteksi oleh sensor mempunyai tipe karakteristik yang berbeda-beda, bergantung pada panjang gelombang masing-masing. Seperti karakteristik reflektan spektral terhadap air, vegetasi, tanah basah, dan tanah kering menunjukkan bahwa besaran reflektan untuk air, vegetasi, tanah basah, dan tanah kering pada panjang gelombang 0,4 µm berturut-turut berkisar antara 5% sampai 10 % (lihat Gambar 2). Pada panjang gelombang 0,5 µm berturut-turut semua reflektannya naik. Pada panjang gelombang 0,6 µm, untuk air dan vegetasi turun, namun untuk tanah basah dan tanah kering naik. Pada panjang gelombang 0,7 µm, untuk air turun, untuk vegetasi mulai naik kembali dan untuk tanah basah dan tanah kering reflektannya naik terus. Selanjutnya pada panjang gelombang 0,8 µm untuk air tidak tidak ada reflektan, untuk vegetasi menjadi naik drastis melewati reflektan tanah basah dan tanah kering yang sama-sama reflektannya mengalami kenaikan.
Gambar 2 Karakteristik nilai reflektan spektral terhadap air, vegetasi, tanah basah, dan tanah kering Sumber: http://www.fao.org/docrep/003/T0446E/T044617.gif
38
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Ciri Penampakan Tanaman Padi Pada Citra Landsat 8 Hasil gabungan RGB 653 (true color) pada citra Landsat 8 ditunjukkan pada Gambar 3. Citra Landsat 8 ini diakuisisi tanggal 12-08-2104. Ciri citra Landsat 8 menampakkan sawah padi mayoritas dalam masa pertumbuhan (fase generatif) dan sebagian lainnya tampak dalam fase vegetatif dan fase bera. Feature tanaman padi pada citra Landsat 8 fase genetarif menampakkan warna hijau muda sampai hijau muda tua, sedangkan warna biru dan merah menunjukkan fase vegetative dan fase bera. Dari data lapangan diperoleh sawah dalam masa pertumbuhan (fase generatif) ditunjukkan pada Gambar 3a, 3b, dan 3g. Sementara sawah padi pada fase vegetatif umur 7 hari dan 35 hari ditunjukkan pada Gambar 3c dan Gambar 3e. Feature sawah padi pada citra menampakkan warna biru karena dominan objek yang terdeteksi adalah air. Kemudian pada fase bera ditunjukkan pada Gambar 3h, 3i, dan 3j. Feature tanaman padi pada citra menampakkan warna merah karena dominan objek yang terdeteksi sawah dalam keadaan fase panen dan kadangkala padi kering setelah dipanen dan yang terdeteksi adalah tanah kering sehingga tampak pada citra Landsat 8 menampakkan warna merah.
Gambar 3 Citra gabungan RGB 653 Landsat 8 tanggal 12-08-2014 dan data lapangan tanggal 12-08-2014 39
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
3.2 Reflektan Tanaman Padi Berbagai Umur Pengambilan data lapangan dilakukan tanggal 12-08-2104 dari jam 09.00 sampai jam 14.00 bersamaan saat satelit melewati di atas permukaan wilayah survei. Pengukuran reflektansi tanaman padi disesuaikan dengan panjang gelombang yang digunakan pada citra Landsat 8. Panjang gelombang yang digunakan adalah kanal: 0,450–0,515 µm (biru: kanal B2); 0,525– 0,600 µm (hijau: kanal B3); 0,630–0,680 µm (merah: kanal B4); dan 0,845–0,885 µm (inframerah dekat: kanal 5). Data reflektan titik-titik pengamatan di lapangan sama dengan titik-titik piksel pada citra Landsat 8. Pengukuran diambil sebanyak 20 sampel titik pengamatan hasilnya ditunjukkan pada Tabel 2. Contoh pengukuran nomor 2 adalah titik pengamatan reflektansi umur padi U7 (7 hari), nomor 10 titik pengamatan reflektansi umur padi U76 (76 hari), dan seterusnya hingga nomor 20 titik pengamatan yaitu panen (padi fase bera panen). Tabel 2
Data reflektan hasil pengukuran di lapangan dan data Landsat 8 untuk sawah padi tanggal 12-08-2104
NO
Umur Padi
1
U2
2
U7
3
U35
4
U45
5
U49
6
U54
7
U63
8
U65
9
U70
10
U76
11
U85
40
Data Lapangan dan Citra Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8 Lapangan Landsat 8
Reflektans pada Panjang Gelombang (µm) 0,450–0,515 Blue
0,525–0,600 Green
0,630–0,680 Red
0,845–0,885 Near-IR
4,68 11,08 4,45 9,37 3,40 10,84 3,03 10,42 3,53 10,87 3,80 10,83 6,52 11,24 5,38 11,58 3,39 10,33 2,95 9,99 4,83 10,36
6,72 10,00 7,03 11,02 7,22 11,78 6,71 9,28 8,58 6,74 7,94 9,58 10,97 10,48 11,25 11,61 6,83 9,01 7,50 8,88 10,84 9,39
7,45 8,58 8,05 9,27 3,92 7,57 3,39 7,32 3,66 6,09 3,55 7,10 7,31 9,48 6,64 11,22 3,46 6,01 3,03 5,46 6,03 6,89
12,66 27,15 14,15 18,69 14,15 24,62 53,03 28,68 57,70 24,55 55,44 17,60 75,47 31,48 57,95 29,52 53,27 6,66 52,96 32,40 64,91 29,51
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Tabel 2
Data reflektan hasil pengukuran di lapangan dan data Landsat 8 untuk sawah padi tanggal 12-08-2104 (lanjutan)
NO
Umur Padi
12
U88
13 14 15 16 17 18 19 20
Data Lapangan dan Citra
Lapangan Landsat 8 U90 Lapangan Landsat 8 U95 Lapangan Landsat 8 U98 Lapangan Landsat 8 U100 Lapangan Landsat 8 U105 Lapangan Landsat 8 Br_Krg Lapangan Landsat 8 Br_Bsh Lapangan Landsat 8 Panen Lapangan Landsat 8
Reflektans pada Panjang Gelombang (µm) 0,450–0,515 Blue
0,525–0,600 Green
0,630–0,680 Red
0,845–0,885 Near-IR
3,02 11,39 4,67 10,11 4,86 10,87 4,30 10,11 2,98 10,75 7,13 11,60 4,03 11,67 9,43 12,27 7,26 9,36
6,71 11,02 10,82 8,98 10,51 10,18 10,11 8,78 5,78 9,68 13,26 11,11 7,53 11,00 13,20 12,07 10,73 11,37
3,39 10,52 5,43 5,97 8,30 8,19 5,77 6,04 4,87 8,30 12,55 9,96 5,51 10,65 16,75 11,54 13,30 9,30
53,05 27,37 62,76 35,75 51,52 32,51 61,22 36,12 42,22 26,53 58,88 35,06 32,31 25,53 38,61 31,08 39,91 26,92
Pengukuran spektral tanaman padi di lapangan dan di citra Landsat 8 untuk berbagai umur menunjukkan respons reflektan yang bervariasi. Sebagai contoh, pengukuran nomor 2 pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa nilai reflektan untuk padi umur 2 hari pada panjang gelombang 0,450–0,515 µm di lapangan menunjukkan nilai reflektan berkisar 4,68%, sedangkan untuk citra Landsat 8 berkisar 11,08%. Untuk panjang gelombang 0,525–0,600 µm di lapangan menunjukkan nilai reflektan berkisar 6,72%, sedangkan untuk citra Landsat 8 berkisar 10%. Untuk panjang gelombang 0,630–0,680 µm di lapangan menunjukkan nilai reflektan berkisar 7,45%, sedangkan untuk citra Landsat 8 berkisar 8,58%. Untuk panjang gelombang 0,845– 0,885 µm di lapangan menunjukkan nilai reflektan berkisar 12,66 %, sedangkan untuk citra Landsat 8 berkisar 27,15%. Pada panjang gelombang 0,845–0,885 µm (inframerah-dekat) menunjukkan penonjolan dari objek vegetasinya. Padi umur 2 hari merupakan sawah pada fase vegetatif. Sebagai referensi besaran reflektan sawah dapat dilihat dari karakteristik spektral yang dijelaskan pada referensi Gambar 2. Karakteristik masing-masing spektral terhadap suatu objek vegetasi menunjukkan bahwa reflektan (%) pada daerah kanal biru (0,45–0,51 µm) berkisar antara 6% sampai 7%. Untuk daerah kanal hijau (0,52–0,60 µm) berkisar antara 7%, maksimum 10% dan minimum 4%. Kemudian untuk daerah kanal merah (0,63–0,68
41
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
µm) berkisar antara 4% dan 10% dan terakhir yang menonjolkan adanya kandungan vegetasi adalah kanal inframerah dekat (0,84–0,88 µm) berkisar antara 38%–40%. Pada pengukuran umur sawah padi di lapangan lihat Tabel-2 untuk umur padi 2 hari (U2), 7 hari (U7), dan 35 hari (U35) menunjukkan bahwa besarnya reflektansi pada daerah kanal inframerah dekat (0,84–0,88 µm) adalah 12,66% untuk (U2); 14,15% untuk (U7); dan 14,15 % untuk (U35). Nilai reflektannya lebih rendah dari data referensi (Gambar 1), ini menunjukan bahwa sawah dalam fase vegetatif. Kemudian untuk pengukuran umur sawah padi di Landsat 8 lihat Tabel 2 untuk umur padi 45 hari (U45), 49 hari (U49), dan 54 hari (U54) mempunyai nilai reflektan berkisar 53% untuk (U45), 57% untuk (U49), 55% untuk (U54) ini menunjukkan bahwa sawah tumbuhan dalan fase generatif. Juga sama halnya untuk sawah umur 63 hari (U63), 65 hari (U65), 76 hari, 70 hari, 85 hari, 88 hari, 90 hari, 95 hari, 98 hari ,100 hari, dan 105 hari reflektannya tinggi terlihat dari Tabel 2 yang menunjukkan sawah padi dalam fase generatif. Akhirnya untuk padi fase bera kering, bera basah, dan bera panen nilai reflektannya mengalami penurunan berkisar 32% sampai 39%.
3.3 Pola Respons Spektral Data Lapangan dan Data Landsat 8 Pola respons dari hasil pengukuran data lapangan dan data Landsat 8 dapat ditampilkan pada Gambar 4. Salah satu sampel hasil pengukuran adalah padi sawah berumur 35 hari (U35) Gambar 4c. Sampel ini menunjukkan bahwa kedua pengukuran di lapangan dan data Landsat 8 menunjukkan pola reflektan sama dan nampak paralel. Reflektan sawah pada umur 35 hari memperlihatkan adanya reflektan air, vegetasi, tanah basah, tanah kering, diperlihatkan pada Gambar 4c dan Tabel 2 bahwa respons untuk data Landsat 8 pada panjang gelombang 0,450– 0,515 µm (kanal B2, biru) besar reflektannya berkisar 10,84 % dan data lapangan berkisar 3,4%. Pada panjang gelombang 0,525–0,600 µm (kanal B3, hijau) besar reflektannya berkisar 11,78 % dan data di lapangan berkisar 7,22%.
42
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 4 Respons reflektan tanaman padi pada kanal Landsat 8 dan lapangan Dari referensi Gambar 2 untuk air mengalami kenaikan mulai 6% kemudian pada puncak (reflektan 7,5%) turun kembali menuju 6%. Untuk vegetasi juga mengalami kenaikan mulai dari 6% dan saat pada puncak (reflektansi 10%) turun kembali menuju 4%. Untuk tanah basah 43
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
dan tanah kering terus mengalami kenaikan hingga 12% dan 15%. Selanjutnya untuk pada panjang gelombang 0,630–0,680 µm (kanal B4, merah) besar reflektannya berkisar 7,57 % dan data di lapangan berkisar 3,92%. Dari referensi Gambar 2 untuk air mengalami penurunan lagi hingga kisaran 5%. Untuk vegetasi juga mengalami penurunan hingga minimum menuju kisaran 4% dan kembali naik menuju kisaran 20%. Untuk tanah basah dan tanah kering terus mengalami kenaikan hingga kisaran 18% dan 25%. Untuk panjang gelombang 0,845–0,885 µm (kanal B5, inframerah dekat) besar reflektannya berkisar 24,62% dan data lapangan berkisar 14,15%. Dari referensi Gambar 2 untuk air pada panjang gelombang ini tidak terdeteksi (tidak ada reflektan). Namun untuk vegetasi mengalami kenaikan yang drastis menuju maksimum berkisar 40% dan kemudian menuju berkisar 38%. Untuk tanah basah dan tanah kering terus mengalami kenaikan hingga kisaran 20% dan 30%. Kalau kita lihat seluruh pengukuran mulai dari fase tanam, fase vegetatif, fase generatif, hingga fase panen grafik distribusinya dapat dilihat pada Gambar 5, tampak pola respons reflektansinya antara data Landsat 8 dan data lapangan sama dan nilai besaran reflektansinya bervariasi. Ini menunjukkan bahwa spektral yang sampai ke sensor Landsat 8 ada sedikit gangguan benda-benda langit seperti kandungan aerosol atmosfir yang terdeteksi oleh kanalkanal Biru, Hijau, Merah, dan Merah-IR. Namun besaran nilai persentasi data Landsat 8 umumnya lebih tinggi dari data di lapangan/spektrometer, perbedaan besaran ini dapat dilihat pada Tabel 3. Perbedaan besaran nilai reflektansi antara kedua sensor tersebut karena pada Landsat 8 reflektansi yang sampai ke sensor adalah reflektansi yang telah diubah ke data digital number (DT) dan sedikit ada gangguan aerosol atmosfir sehinga nilai pantulan reflektansinya menunjukkan ada perbedaan, namun pola fluktuasinya sama.
a Data Landsat 8
b Data lapangan/Spektrometer
Gambar 5 Respons seluruh reflektan umur tanaman padi pada data Landsat 8 dan di lapangan 44
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Tabel 3 Perbedaan nilai persentasi antara data Landsat 8 dan data Lapangan Jenis Sensor Landsat 8 Lapangan
0,450–0,515 Blue 10–13 2–10
Reflektansi (%) 0,525–0,600 0,630–0,680 Green Red 8–12 5–12 4–11 4–12
0,845–0,885 Near-IR 17–34 12– 65
3.4 Korelasi Data Landsat 8 dan Data Lapangan Dari hasil semua pengukuran data lapangan kemudian dikorelasikan dengan data Landsat 8 dengan menggunakan data Landsat 8 dan data lapangan dari mulai umur 2 hari (U2) sampai umur bera (panen) menggunakan spektral kanal biru, hijau, merah, dan inframerah dekat hasilnya ditunjukkan pada Gambar 6. Hasil hubungan dari kedua pengamatan antara data lapangan dan data Landsat 8 menghasilkan suatu persamaan regresi, hasilnya cukup signifikan, yaitu berupa fungsi persamaan linier y = 0,3893x +7,8329 dengan koefesian determinasi R2=0,8329 sehingga persamaan regresi ini dapat menunjukkan korelasi yang baik antara data di lapangan dengan data Landsat 8. Artinya, data pada Landsat 8 mempunyai nilai spektral yang sama berkanaling lurus dengan data di lapangan. Ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran reflektansi antara di lapangan dan di data Landsat 8 berkorelasi langsung untuk nilai spektral reflektansinya.
Gambar 6 Korelasi hasil reflektansi antara data Landsat 8 dan data lapangan dari mulai umur 2 hari (U2) sampai umur bera (panen) (lihat Tabel 2) menggunakan spektral kanal biru, hijau, merah, dan inframerah dekat
45
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
4. KESIMPULAN Dalam studi ini, pengukuran spektral sawah padi berbagai umur diperoleh dengan memkanalingkan data survei lapangan dan data satelit Landsat 8 yang menunjukkan respons reflektan yang bervariasi. Dari analisis, didapat feature data satelit berbeda untuk setiap data survei lapangan mulai periode fase awal tanam, fase vegetatif, fase generatif, dan fase panen (bera). Reflektan yang paling menonjol adalah pada kanal inframerah dekat (0,84–0,88 µm) yang menunjukkan kandungan vegetasi lebih tinggi dari pada kanal lainnya. Korelasi seluruh data di lapangan dengan data Landsat 8 untuk berbagai macam umur menghasilkan nilai determinasi R2 yang rata-rata hampir mendekati sama dengan rata-rata nilai determinasi R2 adalah 0,8329 ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran reflektansi di lapangan berkorelasi langsung dengan data Landsat 8.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada direktur dan karyawan PT Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat yang telah banyak membantu untuk mendapatkan data lapangan sehingga penelitian dapat dipublikasikan.
DAFTAR PUSTAKA David D., S. Frolking, C Li. 2003. Trends in rice-wheat area in China. Field Crops Research 87: 89–95. Dirgahayu D., N.L. Adhyani, Nugraheni. 2005. Model Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Data Modis untuk Pendugaan Umur Padi sawah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Surabaya. Huete A., Didan K., Shimabokuro Y., Ferreira L., Rodriguez E. 2000. Regional Amazon basin and global analyses of MODIS Vegetation Indices: Early Results and Comparisons with AVHRR. IGARSS 2000. IEEE 2000 International Geoscience and Remote Sensing Symposium. Taking the Pulse of the Planet: The Role of Remote Sensing in Managing the Environment 2: 536–538. Imamoto C., Y. Suga, Y. Oguro, S. Takeuchi. 2001. Extraction of Vegetation Indices of Rice Field by Landsat-7 ETM+ /Landsat-5 Data. Proc. of the 30th Conf. of Remote Sensing Society of Japan, Part P22: 117–118. Kuroso T., M. Fujita, K. Chiba. 1997. Monitoring of rice fields using multitemporal ERS-1 C-chanel SAR data. International Journal of Remote Sensing 1: 2953–2965. Landsat-8/LDCM–eoPortal Directory–Sattellite Missions. 2014. https:// directory. eoportal. org/web/ eoportal/ satellite-missions/l/Landsat 8-ldcm. (Diakses tanggal 23 Agustus 2015). Le Toan T., F. Ribbes, N.L. Floury, J. Kong, T. Korosu, M. Fujita. 1997. Rice crop mapping and monitoring using ERS-1 data base on experiment and modeling results. IEEE Transactions on Geosciences and Remote Sensing. 35: 41–56.
46
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Oette D.R., B.C. Warren, B. Mercedes, T.K. Maiersperger, R.E. Kennedy. 2000. Land cover mapping in agricultural setting using multiseasonal thematic mapper data. Remote Sensing of Environment 76: 139–155. Oguro Y., C. Imamoto, Y. Suga, S. Takeuchi. 2001. Monitoring of Rice Field by LANDSAT-7 ETM+ and LANDSAT-5 TM Data. Proc. ACRS 2001 - 22nd Asian Conference on Remote Sensing, 5–9 November 2001, Singapore. 1: 7–12. Panigrahy S, S. A. Sharma. 1997. Mapping of crop rotation using multidate indian remote sensing satellite digital data. ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing 5: 85– 91. Shao Y., X. Fan, H. Liu, J. Xiao, S. Ross, B. Brisco, R. Brown, G. Staples. 2001. Rice monitoring and production estimation using multitemporal RADARSAT. Journal of Remote Sensing for Environment 76: 310–325. Shao Y., C. Wang, X. Fan, H. Liu. 1997. Evaluation of SAR image for Rice Monitoring and Land Cover Mapping. In Presented at Geomatics in Era of RADARSAT. Ottawa. Canada.
47
4
PERUBAHAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DI KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT MENGGUNAKAN DATA LANDSAT TAHUN 1990–2013 Nana Suwargana dan Wawan K. Haranugraha Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRACT Bekasi Regency area is one area that is widely used as a development of industrial areas because of vacant land in Jakarta is already on the wane. The purpose of this study was to monitor the use of land as a result of the impact of industrial development in Bekasi based analysis of Landsat 1990 and Landsat 2013 satellite imagery. The research method is to analyze the Landsat-TM 1990 and Landsat 8 2013 image to create a composite image of Red Green Blue (RGB) and classification image. The classification image is done by way of unguided classification (unsupervised) with the aim to determine the extent and changes in land use during the interval of 23 years were made from each of the Landsat-TM 1990 and Landsat 8 2013. The analysis showed that the impact industrial development led to the increase in urban land use is 406.20 hectares/year equivalent 0.32% of the total area of Bekasi Regency, and the rate of decline of productive land for paddy field average is 748.83 hectares/year equivalent 0.58% of the total area of Bekasi Regency, and the average dry land is 142 hectares/years equivalent 0.11% of the total area of Bekasi Regency. Keyword: Landsat-TM, Landsat 8, RGB (Red Green Blue), Classification
ABSTRAK Wilayah Kabupaten Bekasi adalah salah satu lahan yang banyak dimanfaatkan sebagai tempat pengembangan kawasan industri karena lahan di wilayah Jakarta sudah semakin berkurang. Akibat banyaknya pengembangan kawasan industri maka terjadi perubahan penutup/
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
penggunaan lahan yang signifikan di wilayah Kabupaten Bekasi. Tujuan penelitian ini adalah memantau penutup/penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Bekasi berdasarkan analisis citra satelit Landsat tahun 1990 dan 2013. Metode penelitian yang dilakukan adalah analisis data Landsat-TM tahun 1990 dan data Landsat 8 tahun 2013 dengan membuat citra gabungan Red Green Blue (RGB) dan citra klasifikasi. Citra klasifikasi dibuat menggunakan metode klasifikasi tak terbimbing (unsupervised) dengan tujuan menentukan luas dan perubahan penggunaan lahan dalam periode 1990 sampai 2013 (=23 tahun). Hasil analisis menunjukkan bahwa dampak perubahan penutup/penggunan lahan menyebabkan penggunaan lahan permukiman naik 406,20 hektare per tahun setara 0,32% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi dan laju penurunan lahan produktif untuk lahan sawah rata-rata 748,83 hektare per tahun setara 0,58% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi dan lahan tegalan rata-rata 142 hektare per tahun atau 0,11% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi. Kata kunci: Landsat-TM, Landsat 8, RGB (Red Green Blue), Klasifikasi
1. PENDAHULUAN Menurut Arsyad (2006) penggunaan lahan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan penyediaan air dan komoditas yang diusahakan seperti penggunaan lahan tegalan, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, sawah, hutan lindung, dan hutan produksi. Penggunaan lahan non-pertanian dibagi berdasarkan penggunaan permukiman wilayah kota dan desa, wilayah industri, wilayah rekreasi, dan wilayah pertambangan. Sementara itu, Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyampaikan bahwa lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi di mana faktor-faktor tersebut memengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan akibat lainnya yang merugikan seperti erosi. Salah satu faktor yang memengaruhi potensi penggunaan lahan adalah adanya kegiatan manusia, yaitu kebutuhan lahan untuk pemukiman karena pengaruh adanya perkembangan faktor pembangunan industri. Setiap pembangunan tentu akan selalu memerlukan lahan. Sejalan dengan pembangunan yang semakin pesat, ternyata lahan sektor pertanian yang sudah ada di wilayah Bodetabek terus mengalami penurunan. Sebagai dampaknya, pertanian menjadi sektor yang tidak diminati untuk dijadikan sebagai aktivitas ekonomi bagi masyarakat di Bodetabek. Moniaga (2011) dalam makalahnya menyatakan bahwa masalah kerusakan lingkungan yang paling kritis adalah tekanan penduduk, terutama pada sektor pertanian. Masalah ini terus meningkat sejalan dengan waktu karena adanya pertambahan penduduk dan dipakainya terus lahan pertanian untuk pembangunan di sektor non-pertanian. Akibatnya, pertumbuhan penduduk dan pemanfaatan lahan pertanian untuk pembangunan fisik untuk mendorong masyarakat untuk membuka lahan pertanian baru yang menjadi salah satu penyebab bencana alam seperti longsor dan banjir. Suprajaka dan Fitria (2012) menyatakan bahwa a) Konversi lahan pertanian tidak dapat dihindarkan karena tuntutan pembangunan serta pertambahan penduduk di Indonesia terutama di Pulau Jawa dan b) Konversi lahan untuk permukiman hasil identifikasi menunjukkan bahwa hampir 90 persen di seluruh wilayah kajian, baik di Kota Serang maupun Kabupaten Serang 50
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
selalu mengokupasi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis. Hal ini tentu akan berdampak terhadap gagalnya kebijakan pemerintah dalam mempertahankan lahan pertanian untuk ketahanan pangan nasional. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Sitorus (2004) bahwa hampir setiap aktivitas manusia melibatkan penggunaan lahan dan karena jumlah aktivitas manusia bertambah dengan cepat, maka lahan menjadi sumber yang langka. Keputusan untuk mengubah pola penggunaan lahan mungkin memberikan keuntungan atau kerugian yang besar, baik ditinjau dari pengertian ekonomis, maupun terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, membuat keputusan tentang penggunaan lahan merupakan aktivitas politik dan sangat dipengaruhi keadaan sosial dan ekonomi. Rustiadi dan Panuju (1999) menjelaskan bahwa lahan-lahan pertanian banyak mengalami konversi akibat proses suburbanisasi. Suburbanisasi yang diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan akibat perpindahan penduduk kota. Ini telah terjadi di Jakarta sejak awal tahun 1980-an. Menurut hasil penelitian Dirgahayu (2004) di Kecamatan Cibitung dan Kecamatan Tambun selama 4 tahun (1996–2000) telah terjadi konversi lahan sawah yang cukup luas. Areal sawah di Kecamatan Cibitung seluas 105,2 hektare beralih fungsi menjadi permukiman dan 154,6 hektare menjadi industri. Sementara itu, di Kecamatan Tambun terjadi konversi areal sawah seluas 486,1 hektare menjadi permukiman dan 87,9 hektare menjadi industri. Menurut Abbas (2004) aktivitas industri tersebut memiliki aksesibilitas yang mudah dijangkau, misalnya berdekatan dengan jalan tol dan jalan umum lainnya. Kabupaten Bekasi merupakan salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok, dan Tangerang. Wilayah ini telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan. Maulida (2002) melaporkan bahwa pada periode 1990–1998 laju perubahan penggunaan lahan di Bekasi lebih tinggi dibandingkan dua suburban Jakarta lainnya, yaitu Bogor dan Tangerang. Anjani (2010) mengemukakan bahwa dinamika penggunaan lahan dan penataan ruang di Kabupaten Bekasi menunjukkan pola konversi terbesar terjadi pada peningkatan lahan terbangun (8.790,24 Ha) dan penurunan Tanaman Pertanian Lahan Kering (5.457,9 Ha). Menurut Aminuddin (2009) luas lahan sawah nyata berpengaruh meningkatkan produksi total tanaman padi, sedangkan luas sawah yang beralih fungsi ke non-sawah belum dapat membuktikan berpengaruh menurunkan produksi padi total di Kabupaten Gowa yang mana hasil kesimpulan tersebut di atas didukung berdasarkan hasil uji statistik pada tingkat signifikansi 5%. Dalam rencana tata ruang Kabupaten Bekasi banyak terjadi perubahan yang dilatarbelakangi oleh adanya pemekaran wilayah. Penyimpangan penggunaan lahan Kabupaten Bekasi terhadap alokasi ruang pada kurun waktu 1995–2000 terjadi pada kawasan pemukiman sebesar 13.056,97 Ha dan umumnya terletak di bagian Utara Kabupaten Bekasi. Penyimpangan penggunaan lahan pada kurun waktu 2006–2009 bervariasi hampir di seluruh bagian Kabupaten Bekasi. Pertumbuhan penggunaan lahan untuk bangunan semakin lama semakin bertambah yang disebabkan perkembangan perumahan, industri, dan perkantoran. Menurut Akhmad (2011) dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pengembangan perumahan RSH terhadap petani pemilik lahan di pinggiran Kota Palu adalah pendapatan petani tidak mengalami peningkatan sesudah melepaskan tanah pertaniannya, yang terjadi justru berkurangnya bahkan hilangnya pendapatan petani.
51
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Peningkatan jumlah penduduk serta peningkatan standar kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup manusia menyebabkan peningkatan terhadap kebutuhan ketersediaan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Pembangunan kebutuhan fasilitas memerlukan lahan yang tidak sedikit, sedangkan lahan di Kabupaten Bekasi terbatas. Hal ini menyebabkan perubahan penggunaan lahan non-terbangun menjadi lahan terbangun. Pemerintah Kabupaten Bekasi telah menetapkan alokasi ruang yang terdapat pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun sering kali penggunaan lahan di lapangan tidak mengikuti alokasi yang telah ditetapkan. Hal ini dinamakan dengan penyimpangan atau inkonsistensi pemanfaatan ruang. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan mengetahui perubahan penggunaan/penutup lahan di Kabupaten Bekasi berdasarkan analisis data Landsat-TM tahun 1990 dan Landsat 8 tahun 2013.
2. METODOLOGI 2.1 Lokasi Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 106˚ 58’ 5” – 107˚ 17’ 45” BT dan 05˚ 54’ 50” – 06˚ 29’ 15” LS. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Kabupaten Bekasi mempunyai batas wilayah sebagai berikut: Laut Jawa (sebelah Utara), Kabupaten Bogor (sebelah Selatan), DKI Jakarta, Kota Bekasi, dan Laut Jawa (sebelah Barat), serta Kabupaten Karawang (sebelah Timur).
Gambar 1 Lokasi penelitian di Kabupaten Bekasi Jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Bekasi sebanyak 23 kecamatan dan terdiri dari 187 desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 sampai 13 desa. Kecamatan dengan jumlah desa yang paling banyak adalah Kecamatan Cikarang Pusat, Bojongmangu, dan Muaragembong. Sementara itu, kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Muaragembong (14.009 hektar) atau 11,00% dari luas wilayah Kabupaten Bekasi (Bappeda Kabupaten Bekasi 2007). 52
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
2.2 Bahan Bahan penelitian yang digunakan adalah citra Landsat-TM path/row 122/064 akuisisi tanggal 07 September 1990 dan citra Landsat 8 akuisisi tanggal 07 Agustus 2013 dengan karakteristik citra ditampilkan pada Tabel 1. Data set citra Landsat-TM dan Landsat 8 (daerah kajian) tersusun oleh kanal-kanal yang berbeda jika dibandingkan keduanya, Landsat 8 mempunyai jumlah kanal yang lebih banyak dengan penambahan band untuk coastal, band cirrus dan band Long Wave Infrared (LWIR-2). Khusus untuk band ini terjadi perubahan resolusi spasial menjadi 100 meter. Sebagai studi kasus dibuat batas-batas wilayah Kabupaten Bekasi dengan melakukan pemotongan citra (cropping). Data sekunder yang digunakan adalah Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 lembar Kabupaten Bekasi. Tabel 1 Perbandingan spesifikasi kanal Landsat-TM dan Landsat 8 Band
Landsat-ETM+ Resolusi Paj. Gel (µm)
1. Blue 2. Green 3. Red 4. Near_IR 5. SWIR-1 7. SWIR-2 8. Pan
30 m 30 m 30 m 30 m 30 m 30 m 15 m
0,450–0,515 0,525–0,606 0,630–0,690 0,775–0,900 1,550–1,750 2,090–2,350 0,520–0,900
6. LWIR
60 m
10,00-12,50
Band 1. Coastal 2. Blue 3. Green 4. Red 5. Near-IR 6. SWIR-1 7. SWIR-2 8. Pan 9. Cirrus 10. LWIR-1 11. LWIR-2
Landsat 8 (DCM) Resolusi Panj. Gel(µm) 30 m 0,433–0,453 30 m 0,450–0,515 30 m 0,525–0,600 30 m 0,630–0,680 30 m 0,845–0,885 30 m 1,560–1,660 30 m 2,100–2,300 30 m 0,500–0,680 30 m 1,360–1,390 100 m 10,30–11,30 100 m 11,50–12,50
Sumber: NASA, Landsat 8/LDCM (Landsat Data Continuity Mission) (2011).
2.3 Metode Metode penelitian yang dilakukan adalah menganalisis data digital citra Landsat multitemporal (Landsat-TM tahun 1990 dan Landsat 8 tahun 2013 yang telah terkoreksi radiometrik dan geometrik). Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan acuan (Landsat-7 ETM+ INCAS). Titik Central Point (CP) yang digunakan terdistribusi secara merata di seluruh bagian citra sehingga koreksi dapat dilakukan secara akurat. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan kesalahan pada sudut elevasi matahari dan jarak antara matahari-bumi akibat penerimaan data yang berbeda waktu. Koreksi terhadap kesalahan tersebut biasanya disebut dengan koreksi matahari. Proses koreksi matahari dilakukan dengan merubah nilai digital piksel menjadi nilai radiansi (radiasi dari objek ke sensor) dan merubah lagi menjadi reflektansi (rasio antara radian dan irradian atau rasio antara radiasi objek ke matahari dan radiasi matahari ke objek).
53
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
2.3.1 Pengolahan Citra Gabungan (Composite) Pengolahan digital pada setiap data set meliputi seleksi fusi multispektral, penajaman, dan pemfilteran. Gabungan kanal dilakukan untuk mendapatkan ketajaman objek dan menghasilkan warna gabungan yang optimum. Penajaman dilakukan menggunakan piranti lunak ER MAPPER 7.2, yaitu histogram equalize. Pemfilteran adalah proses modifikasi nilai piksel berupa pengurangan atau penambahan nilai spektral. Proses tersebut menghasilkan citra yang lebih tajam. Fusi multispektral digunakan untuk memperoleh informasi citra yang optimal. Proses fusi multispektral diawali dengan memilih 3 (tiga) kanal yang digunakan untuk membuat citra warna gabungan dengan memasukkan setiap kanal ke dalam filter merah, hijau, dan biru. Citra gabungan tersebut masing-masing adalah kanal 2, 4, dan 5 untuk Landsat-TM atau 3, 5, dan 6 untuk Landsat 8 masing-masing dengan filter Blue, Green, dan Red sehingga diperoleh citra warna komposit RGB 542 untuk citra Landsat-TM dan RGB 653 untuk citra Landsat 8. Pemfilteran adalah proses modifikasi nilai piksel berupa pengurangan atau penambahan nilai spektral. Proses tersebut menghasilkan citra yang lebih tajam sehingga dengan sangat mudah dapat mengenal objek warna asli. 2.3.2 Pengolahan Citra Klasifikasi Agar diperoleh luas dan perubahan penggunaan lahan selama selang waktu bertahun-tahun, maka dilakukan klasifikasi terhadap masing-masing citra Landsat. Klasifikasi adalah teknik yang digunakan untuk menghilangkan informasi rinci dari data input untuk menampilkan pola-pola penting atau distribusi spasial untuk mempermudah interpretasi dan analisis citra sehingga dari citra tersebut diperoleh informasi yang bermanfaat. Untuk pemetaan tutupan/ penggunaan lahan, hasilnya bisa diperoleh dari proses klasifikasi multispektral citra satelit. Klasifikasi multispektral sendiri adalah algoritma yang dirancang untuk menyajikan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan satu kriteria, yaitu nilai spektral. Klasifikasi multispektral diawali dengan menentukan nilai piksel tiap objek sebagai sampel. Selanjutnya nilai piksel dari tiap sampel tersebut digunakan sebagai masukan dalam proses klasifikasi. Perolehan informasi tutupan lahan diperoleh berdasarkan warna pada citra (gabungan kanal: RGB), analisis statik, dan analisis grafis. Analisis statik digunakan untuk memperhatikan nilai rata-rata, standar deviasi, dan varian dari tiap kelas sampel yang diambil guna menentukan perbedaan sampel. Analisis grafis digunakan untuk melihat sebaran-sebaran piksel dalam suatu kelas. Metode klasifikasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah klasifikasi tak terbimbing (unsupervised). Cara kerja metode unsupervised ini merupakan kebalikan dari metode supervised, di mana nilai-nilai piksel dikelompokkan terlebih dahulu oleh komputer ke dalam kelas-kelas spektral menggunakan algoritma klusterisasi. Dalam metode ini, diawal proses menentukan jumlah kelas (cluster) yang akan dibuat. Kemudian setelah mendapatkan hasil, ditetapkan kelaskelas lahan terhadap kelas-kelas spektral yang telah dikelompokkan oleh komputer. Dari kelaskelas yang dihasilkan, bisa menggabungkan beberapa kelas yang dianggap memiliki informasi yang sama menjadi satu kelas. Misal class 1, class 2, dan class 3 masing-masing adalah mangrove, sawah, kebun maka bisa dikelompokkan menjadi satu kelas, yaitu kelas vegetasi. Jadi pada metode unsupervised tidak sepenuhnya tanpa campur tangan manusia.
54
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Citra Gabungan Salah satu cara untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan dalam penelitian ini adalah menganalisis citra Landsat gabungan berdasarkan citra tahun 1990 dan 2013. Citra hasil gabungan Landsat-TM merupakan kombinasi kanal RGB: 542 yang diakuisisi tanggal 07-091990 dan Landsat 8 kombinasi kanal RGB: 653 yang diakuisisi tanggal 07-08-2013, hasilnya ditunjukkan pada Gambar-2a dan 2b. Dari perbedaan selang waktu 23 tahun ini tampak bentuk dan rona dari kedua citra Landsat di wilayah Kabupaten Bekasi tersebut menampakkan fitur penggunaan lahan yang berbeda. Perbedaan fitur ini dikarenakan penggunaan lahan di tahun yang berbeda waktu ini berubah (alih fungsi) menjadi penggunaan lahan lain. Fitur citra tahun 2013 dominan permukiman lebih luas jika dibandingkan dengan citra tahun 1990 yang dicirikan dengan bentuk dan rona warna merah pink. Tampak pula perubahan yang paling menonjol adalah banyaknya bermunculan bangunan-bangunan besar yang merupakan suatu kawasan industri. Kawasan industri tampak banyak bermunculan di sepanjang jalan TOL Jakarta-Cikampek yang dicirikan dengan bentuk kotak-kotak serta rona warna merah pink dan putih.
Gambar 2 Citra Landsat hasil gabungan RGB di Kabupaten Bekasi Penggunaan lahan lainnya banyak yang semakin berkurang di antaranya lahan sawah dan lahan tegalan. Untuk sebagian lahan sawah di antaranya ada yang rona warnanya berubahubah namun penggunaan lahannya tetap sawah. Ini menunjukkan, untuk penggunaan sawah perbedaan warna ini disebabkan lahan sawah ada fase pertumbuhan vegetasi (vegetative), fase pembentukan buah (generative), dan fase bera/panen.
55
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
3.2 Citra Klasifikasi Hasil proses klasifikasi di wilayah Kabupaten Bekasi dengan model klasifikasi tak terbimbing diperoleh sembilan kelas, yaitu mangrove, tambak, sawah, permukiman, kawasan industri, tegalan, semak belukar, lahan terbuka dan jalan raya, serta danau dan sungai. Citra hasil klasifikasi ditunjukkan pada Gambar-3a dan Gambar-3b. Besaran nilai perubahan penggunaan lahan ditampilkan pada Tabel 2. Dari hasil analisis spasial citra Landsat-TM akuisisi tanggal 7-9-1990 diperoleh luas Kabupaten Bekasi adalah 127.367,04 hektare. Di antara luas penggunaan lahannya terdiri atas lahan mangrove 2.277 hektare (1,79%), lahan tambak 8.424 hektare (6,61%), lahan sawah 61.728,48 hektare (48,47%), lahan permukiman 13.754,88 hektare (10,80%), kawasan industri 1.247,04 hektare (0,98%), tegalan 18.179,56 hektare (14,27%), semak belukar 11.429,84 hektare (8,97%), lahan terbuka dan jalan raya 9.561,34 hektare (7,51%), serta danau dan sungai 764,90 hektare (0,60%).
Gambar 3 Citra Landsat hasil klasifikasi di Kabupaten Bekasi Hasil analisis spasial citra Landsat 8 akuisisi tanggal 7-8-2013 diperoleh luas penggunaan lahan Kabupaten Bekasi 127.367,04 hektare, akan tetapi komposisi luas penggunaan lahannya mengalami perubahan. Di antaranya adalah lahan mangrove 2.012,96 hektare (1,58%), lahan tambak 10.824,00 hektare (8,50%), lahan sawah 44.505,28 hektare (34,94%), lahan permukiman 23.097,45 hektare (18,13%), kawasan industri 5.656,32 hektare (4,44%), tegalan 14.913,44 hektare (11,71%), semak belukar 11.284,48 hektare (8,86%), lahan terbuka dan jalan raya 14,308,21 hektare (11,23%), serta lahan danau dan sungai 764,9 hektare (0,60%). Dari hasil uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk citra klasifikasi, luas tutupan lahan dari Landsat-TM (tahun 1990) ke Landsat 8 (tahun 2013), di antaranya telah mengalami perubahan luas penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan terjadi antara lain:
56
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
a. Berkurangnya luas penggunaan lahan mangrove, sawah, tegalan, dan kawasan permukiman. b. Bertambahnya penggunaan lahan tambak, permukiman, kawasan industri, serta lahan terbuka dan jalan raya. Tabel 2 Perubahan penggunaan lahan tahun 1990 dan tahun 2013 Penggunaan Lahan
Tahun 1990 Hektare
Tahun 2013 %
Hektare
Perubahan 1990–2013 %
Hektare
%
Perubahan per tahun Hektare
%
Mangrove
2.277,00
1,79
2.012,96
1,58
-264,04
-0,21
-11,48
-0,01
Tambak
8.424,00
6,61
10.824,00
8,50
2.400,00
1,88
104,35
0,08
Sawah
61.728,48
48,47
44.505,28
34,94
-17.223,20
-13,52
-748,83
-0,59
Permu-kiman
13.754,88
10,80
23.097,45
18,13
9.342,57
7,34
406,20
0,32
Kawasan Industri
1.247,04
0,98
5.656,32
4,44
4.409,28
3,46
191,71
0,15
Tegalan
18.179,56
14,27
14.913,44
11,71
-3.266,12
-2,56
-142,01
-0,11
Semak Belukar
11.429,84
8,97
11.284,48
8,86
-145,36
-0,11
-6,32
0,00
Lahan Terbuka dan Jalan Raya
9.561,34
7,51
14.308,21
11,23
4.746,87
3,73
206,39
0,16
764,90
0,60
764,90
0,60
0,00
0,00
0,00
0,00
127.367.04
100,00
127.367,04
100,00
Danau dan Sungai JUMLAH
Perubahan luas penggunaan lahan ditampilkan pada Tabel 2 bahwa dari tahun 1990 sampai 2013 lahan sawah mengalami pengurangan yang cukup banyak yaitu seluas 17.223,20 hektare dan lahan tegalan seluas 3.266,12 hektare. Berkurangnya luas sawah dan tegalan ini dikarenakan perubahan lahan (alih fungsi) dari sawah menjadi pemukiman dan kawasan industri. Seiring perubahan zaman tentu rencana tata ruang dan wilayah akan beradaptasi dengan keadaan yang terjadi. Hal ini sebagai dampak berkembangnya Ibu Kota Jakarta yang sudah tidak ada lagi tempat dan ruang untuk permukiman dan ruang kawasan industri yang semakin berkembang dengan pesat. Pengembangan kawasan industri dan permukiman bergeser ke arah wilayah Bekasi. Pada tahun 2013, luas permukiman bertambah 9.342,57 hektare dan lahan kawasan industri bertambah 4.409,28 hektare. Luas lahan mangrove berkurang disinyalir akibat berkembangnya usaha perikanan pesisir pantai. Hal itu sejalan dengan munculnya area tambak yang dibuat semakin ke arah daratan. Dari keseluruhan laju perubahan penggunaan lahan di tahun 1990 sampai tahun 2013 dapat divisualisasikan dengan blok diagram yang ditampilkan pada Gambar 4. Dengan memerhatikan blok diagram Gambar 4 untuk laju penurunan lahan yang paling dominan adalah lahan sawah yang mencapai 748,83 hektare per tahun setara 0,58% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi. Kemudian untuk laju kenaikan yang paling dominan adalah lahan permukiman yang mencapai 406,20 hektare per tahun setara 0,32% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi dan lahan kawasan industri mencapai 191,71 hektare setara 0,15% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi. Oleh karena itu, di masa yang akan datang perlu dilakukan upaya-upaya atau kebijakan
57
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
yang dapat mempertahankan lahan produktif. Hal itu penting karena lahan produktif tersebut merupakan sarana penunjang ketahanan pangan, jangan sampai lahan produktif di wilayah Kabupaten Bekasi di kemudian hari beralih fungsi ke lahan nonproduktif. Bisa dibayangkan apabila lahan produktif seperti sawah dan tegalan sebagai sumber bercocok tanam para petani penduduk setempat, maka di tahun-tahun yang datang akan punah dan mereka akan kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan pangannya.
Gambar 4 Blok diagram perubahan luas penggunaan lahan di tahun 1990 dan 2013 di Kabupaten Bekasi
4. KESIMPULAN Kondisi perubahan penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Bekasi dapat dianalisis dengan data Landsat-TM dan Landsat 8. Hasil analisis dapat memantau kondisi dan dampak perubahan penggunaan lahannya selama periode tahun 1990–2013. Dengan demikian, selama periode 23 tahun terjadi penurunan lahan sawah sebanyak 17.223,20 hektare yang berarti rata-rata 748,83 hektare per tahun setara 0,59% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi dan lahan tegalan rata-rata sebanyak 142 hektare (0,11%) per tahun dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi. Sementara untuk lahan permukiman mengalami pertambahan mencapai 9.342,57 hektare yang berarti rata-rata 406,20 hektare per tahun setara 0,32% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi dan kawasan industri juga mengalami pertambahan mencapai 4.409,28 hektare yang berarti rata-rata 191,71 hektare setara 0,15% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi. Dampak perkembangan kawasan permukiman dan kawasan industri menyebabkan laju penurunan lahan produktivitas seperti lahan sawah dan lahan tegalan semakin berkurang. Hal ini perlu diambil kebijakan yang dapat mengatur dan menjaga agar lahan produktif dapat dipertahankan seluas-luasnya dan jangan sampai kurang dari 30% dari total luas wilayah Kabupaten Bekasi.
58
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kapusfatja yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam rangka pelaksanaan riset ini. Terima kasih disampaikan kepada rekanrekan peneliti yang telah memberikan bantuan dalam rangka penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA Abbas Y.A. 2004. Hubungan Suburbanisasi Dengan Perubahan Penggunaan Lahan Sawah dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi (Studi Kasus: Kota dan Kabupaten Bekasi) [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Akhmad A.G. 2011. Dampak pengembangan lokasi perumahan rumah sederhana sehat terhadap kehidupan ekonomi petani di pinggiran Kota Palu. Jurnal Ruang. 2(1): 63–70. Aminuddin. 2009. Pengaruh alih fungsi lahan sawah terhadap produksi padi di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi-Selatan. Journal of Indonesian Applied Economics 3(1): 1–9 Anjani V. 2010. Dinamika Penggunaan Lahan dan Penataan Ruang Kabupaten Bekasi. Pertanian [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Bappeda Kabupaten Bekasi. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Bekasi Tahun 2007–2012. Bappeda Kabupaten Bekasi. Bappeda Kabupaten Bekasi. 2010. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi No. 3 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bekasi Tahun 2005–2025. Bappeda Kabupaten Bekasi. Dirgahayu D. 2004. Analisis spasial konversi lahan sawah di Kabupaten Bekasi (Studi Kasus di Kecamatan Cibitung dan Tambun). Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengelolaan Data Citra Digital 1(1): 100–106. Hardjowigeno S., Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Landsat-8/LDCM–eoPortal Directory–Sattellite Missions. 2014. https:// directory. eoportal. org/web/ eoportal/ satellite-missions/l/Landsat 8-ldcm. (Diakses tanggal 20 September 2015). Maulida R. 2002. Kajian Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Jabotabek Tahun 1990–2000 [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Moniaga V.R.B. 2011. Analisis daya dukung lahan pertanian. ASE 7(2): 61–68. Rustiadi E, D.R. Panuju. 1999. Suburbanisasi Kota Jakarta. Prosiding Seminar Tahunan VII Persada. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sitorus S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Penerbit Tarsito. Suprajaka, M.D. Fitria. 2012. Analisis dinamika pemanfaatan lahan pertanian di Kota dan Kabupaten Serang (Studi Kasus: Kecamatan Kramatwatu, Kasemen, dan Pontang). Jurnal Planesa 3(1): 37–44.
59
5
PEMANFAATAN DATA LANDSAT 8 UNTUK IDENTIFIKASI LAHAN HUTAN, (Studi Kasus: LOMBOK)
Johannes Manalu dan Ita Carolita Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRACT Forest is an ecosystem unity that formed by land plants contain natural resources dominated by trees and their natural environment that cannot be separated each other. Since the beginning of 1990 changes in forest area has been monitored from the air, remote sensing is the only suitable method for monitoring the forest. Brazil and India have a system that is already operational, while other countries are still trying to establish the ability to monitor forests by satellite data and aerial photographs that require data analysis and computer equipment. This study aims to develop a Landsat 8 using canonical correlation analysis methods for the identification of forest land as part of efforts to support the calculation of carbon stock in Indonesia. The study area for this study is the island of Lombok has a quite extensive forests. Previous stratification zone of the island of Lombok. CCA indicate that the channels 3, 4, and 5 of Landsat-8 give greatest influence in identifying forest, with index 4 * 5 * i1 + i2 + i3, where i1, i2 and i3 are bands 3, 4 and 5, with the threshold value of 2447 and 2700 for zones 1, 2447, and 2650 for zone 2, and 2554 and 2800 for zone 3. Results CCA classification gives an accuracy of 92%. Keywords: Forest, Canonical Correlation Analysis, Landsat 8
ABSTRAK Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sejak awal tahun 1990 perubahan luasan hutan telah dipantau
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
dari udara, penginderaan jauh merupakan satu-satunya metode yang sesuai untuk memantau hutan. Brasil dan India mempunyai sistem yang sudah operasional, sedangkan negara lain masih mencoba membangun kemampuan untuk melakukan pemantauan hutan dengan data satelit dan foto udara yang membutuhkan analisis data dan peralatan komputer. Kajian ini bertujuan mengembangkan pemanfataan Landsat 8 menggunakan metode analisis korelasi kanonik untuk identifikasi lahan hutan sebagai salah satu upaya untuk mendukung program perhitungan stock karbon di Indonesia. Studi area untuk kajian ini adalah Pulau Lombok yang mempunyai hutan cukup luas. Sebelumnya dilakukan stratifikasi zona Pulau Lombok. CCA menunjukkan bahwa kanal 3, 4, dan 5 Landsat-8 memberikan pengaruh yang paling besar dalam mengidentifikasi hutan dengan index 4*i1+5*i2+i3, di mana i1, i2, dan i3 adalah band 3, 4, dan 5 dengan threshold nilai 2447 dan 2700 untuk zona 1, 2447 dan 2650 untuk zona 2, serta 2554 dan 2800 untuk zona 3. Hasil klasifikasi CCA memberikan akurasi 92%. Kata Kunci: Hutan, Analisis Korelasi Kanonik, Landsat 8
1. PENDAHULUAN Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (BPN 2010). Hutan merupakan kawasan yang sangat penting dikarenakan sebagai tempat bertumbuhnya berbagai tanaman. Sebagai fungsi ekosistem hutan berperan dalam berbagai hal seperti mencegah terjadinya pemanasan global, sebagai penyeimbang lingkungan, tempat hidup dari berjuta flora dan fauna, serta penyedia sumber air. Di Indonesia, hamparan hutan mempunyai luas sekitar 99,6 juta hektare atau 52,3% luas wilayah Indonesia (Kemenhut 2011). Di Indonesia hutan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sangat beragam sehingga ancaman deforestasi mengintai kawasan hutan Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya untuk melestarikan dan menjaga keberadaannya. Salah satu dengan melakukan pemantauan melalui data penginderaan jauh. Satu-satunya metode yang sesuai untuk memantau deforestasi di tingkat nasional adalah penginderaan jauh (DeFries et al. 2006) (Angelsen dan Atmadja (eds.) 2010). Perubahan luasan hutan telah dipantau dari udara dengan penuh keyakinan sejak awal tahun 1990 (Achard et al. 2008). Beberapa negara mempunyai sistem yang sudah operasional selama beberapa dasawarsa (seperti Brasil dan India), sedangkan negara lain mencoba membangun kemampuan untuk melakukan pemantauan hutan dengan data satelit dan foto udara yang membutuhkan analisis data dan peralatan komputer (DeFries et al. 2006 dalam Angelsen dan Atmadja (eds.) 2010). Klasifikasi penutup lahan yang diperasionalkan oleh LAPAN sebelumnya menggunakan metode visual digitations on the screen. Metode lain yang telah diaksanakan adalah metode klasfikasi digital dengan menggunakan metode klasifikasi digital supervised Maximum Likelihood, baik untuk data optik maupun SAR. Pada saat ini telah berkembang metode klasifikasi lainnya yang berbasis objek salah satunya adalah metode tree decision (eCognition 2005). Sementara kasifikasi multitemporal dengan metode Bayes juga telah dikembangkan, di mana keunggulannya adalah dapat meminimalisasi kesalahan yang disebabkan adanya missing data akibat stripping atau cloud cover (Furby et al. 2007).
62
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Pada kajian ini dilakukan analisis menggunakan satelit Landsat 8 metode Canonical dan Principal Component Analysis. Metode CVA menjelaskan tentang korelasi linear minimal antara dua objek dengan pendekatan secara perataan. Salah satu masalah dalam identifikasi lahan hutan di Indonesia adalah kendala awan. Dengan demikian, penggunaan data mosaik berguna dalam mengurangi kesalahan dalam klasifikasi (Furby et al. 2007) sehingga dalam penelitian ini digunakan beberapa data untuk mengatasi masalah awan. Satelit Landsat 8 atau disebut juga Landsat Data Continuity Mission (LDCM) yang diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013 mempunyai 9 kanal spektral dan 2 kanal thermal. Satelit Landsat 8 mengumpulkan data permukaan bumi yang mirip dengan Landsat sebelumnya. Satelit Landsat 8 membawa sensor pencitra Operational Land Imager (OLI) yang mempunyai 1 kanal inframerah dekat dan 7 kanal tampak reflektif meliputi panjang gelombang yang direfleksikan oleh objek-objek pada permukaan bumi dengan resolusi spasial yang sama dengan Landsat pendahulunya yaitu 30 meter. Sensor pencitra OLI mempunyai kanal-kanal spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7, tetapi sensor pencitra OLI ini mempunyai kanal-kanal yang baru, yaitu kanal 1: 443 nm untuk aerosol garis pantai dan kanal 9: 1375 nm untuk deteksi cirrus, namun tidak mempunyai kanal inframerah termal. Untuk menghasilkan kontinuitas kanal inframerah thermal, Landsat 8 mempunyai Sensor pencitra Thermal Infrared Sensor (TIRS). Landsat 8 dirancang diorbitkan pada orbit mendekati lingkaran sikron-matahari pada ketinggian 705 km dengan inklinasi: 98.2º, periode: 99 menit, dengan resolusi temporal adalah 16 hari dan waktu melintasi khatulistiwa pada jam 10:00 s.d 10:15 pagi. (LDC Mission 2013) Kegiatan ini bertujuan mengembangkan metode klasifikasi hutan dan non-hutan menggunakan satelit Landsat 8 dan metode Canonical Correlation Analysis (CCA).
2. METODOLOGI 2.1. Area Kajian Area untuk kajian ini adalah Pulau Lombok (Gambar 1). Pulau Lombok adalah sebuah pulau di Nusa Tenggara Barat yang dipisahkan oleh Selat Lombok dari P. Bali di sebelah barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Lokasi penelitian adalah Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pulau Lombok adalah sebuah pulau di Kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang dipisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelat barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Terletak pada posisi 8o12’32,62”– 8o57’24,86” LS dan 115o49’7,46”116o43’37,12” BT. Luas pulau ini mencapai 5.435 km². Topografi pulau ini didominasi oleh gunung berapi Rinjani yang ketinggiannya mencapai 3.726 meter di atas permukaan laut. Daerah selatan pulau ini sebagian besar terdiri atas tanah subur yang dimanfaatkan untuk pertanian, komoditas yang biasanya ditanam di daerah ini antara lain jagung, padi, kopi, tembakau, dan kapas.
63
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 1 Pulau Lombok, NTB Sumber: Google Earth
2.2. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Landsat 8 multitemporal, data DEM SRTM dan Citra Basemap (citra ortho Landsat). Data lainnya sebagai data sekunder adalah batas administrasi wilayah kajian, data pengukuran/pengamatan lapangan, data iklim, peta jenis tanah, dan peta topografi.
2.3. Metode Penelitian Metode penelitian adalah mengikuti alur seperti pada Gambar 2 berikut. Di mana tahapan secara umum adalah: a. Koreksi data b. Konversi data c. Klasifikasi penggunaan lahan dengan Metode Maximum Likelihood d. Klasifikasi hutan – non-hutan dengan Metode Korelasi Kanonik e. Pengujian hasil klasifikasi
64
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 2 Metode kajian Pada kajian ini digunakan metode korelasi kanonik. Korelasi kanonik adalah model umum yang banyak digunakan sebagai dasar dari teknik multivariat lainnya karena dapat menggunakan, baik data metrik maupun data nonmetrik, baik untuk variabel dependen atau independen. Mirip dengan regresi, korelasi kanonik tujuannya adalah mengukur kekuatan hubungan yang dalam hal ini antara dua set variabel (independen dan dependen). Ini sesuai dengan faktor analisis dalam penciptaan komposit variabel. Hal ini juga menyerupai analisis diskriminan dalam kemampuannya untuk menentukan dimensi independen (mirip dengan fungsi diskriminan) untuk setiap set variabel, di situasi ini dengan tujuan menghasilkan korelasi maksimum antara dimensi. Dengan demikian, korelasi kanonik mengidentifikasi struktur optimal atau dimensi dari setiap set variabel yang memaksimalkan hubungan antara set variabel independen dan dependen. Umumnya, analisis korelasi kanonik juga meluas ke asumsi statistik yang mendasar. Asumsi linearitas memengaruhi dua aspek hasil kanonik korelasi. Pertama, koefisien korelasi antara dua variabel adalah berdasarkan hubungan linier. Jika hubungan tidak linier, maka salah satu atau kedua variabel harus berubah, jika memungkinkan. Kedua, korelasi kanonik adalah linier hubungan antara variates. Jika variates berhubungan dengan cara nonlinier, hubungan tidak
65
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
akan ditangkap oleh korelasi kanonik. Jadi, sementara kanonik analisis korelasi adalah metode yang paling umum multivariat, hal itu masih terkendala untuk mengidentifikasi hubungan linier (Green 1978).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data Landsat-8 yang diperoleh adalah data area Lombok bulan April 2013 dan bulan Juli 2013. Data berikut menunjukkan hasil konversi citra dari DN ke nilai reflektansi data Landsat-8. Kedua data kemudian dikoreksi geometrik dan dikonversi menjadi nilai reflektansi (Gambar 3 dan Gambar 4).
Gambar 3 Data LDCM April 2013 Pulau Lombok, NTB
Gambar 4 Data LDCM Juli 2013 Pulau Lombok, NTB
Dari data ini selanjutnya akan diekstraksi nilai indeks vegetasi untuk melihat gambaran keadaan vegetasi di Lombok. Selain data Landsat 8 sebagai data primer, data lain yang digunakan adalah data SRTM.
3.1. Klasifikasi Komponen Utama Sebelum melakukan klasifikasi hutan-non-hutan, terlebih dahulu dilakukan klasifikasi penutupan lahan dan hutan dilakukan dengan beberapa metode, klasifikasi unsupervised dengan Metode Analisis Komponen Utama. Pada kajian ini digunakan data bulan Juli 2013, hasil analisis komponen utama adalah seperti pada Tabel 1. C1 adalah komponen utama pertama yang dihasilkan, C2 komponen utama ke dua yang dihasilkan, dan C3 adalah komponen utama ketiga yang dihasilkan.
66
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Tabel 1 Hasil analisis komponen utama
Selanjutnya dilakukan klasifikasi penggunaan lahan dengan menggunakan hasil analisis komponen utama. Hasilnya adalah seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Hasil klasifikasi penutupan lahan bulan April 2013 di Lombok dengan Metode Analisis Komponen Utama 3.2. Klasifikasi dengan Metode Kanonik Dengan menggunakan data SRTM dilakukan analisis DEM, hasilnya seperti pada Gambar 6 daerah Lombok ketinggian dari 0 m sampai 3617 m. Data DEM ini selanjutnya akan dijadikan sebagai salah satu parameter untuk menstratifikasi Pulau Lombok menjadi beberapa zona sehingga vegetasi pada daerah tersebut menjadi lebih homogen. Selain menggunakan DEM, digunakan juga data Indeks Vegetasi sebagai input untuk menstratifikasi pulau Lombok.
67
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
3617
0
Gambar 6 DEM Pulau Lombok NTB (0–3.617 m) Pada kajian ini dilakukan ekstraksi indeks vegetasi menjadi Normalized Difference Vegetasi Index (NDVI). Gambar 7 adalah nilai NDVI untuk Lombok.
Gambar 7 NDVI (-0,14–0,52) Stratifikasi areal bertujuan untuk membagi suatu areal menjadi lebih homogen berdasarkan parameter yang hendak diamati. Parameter-parameter yang berpengaruh terhadap sifat parameter tersebut dipertimbangkan sebagai penentu untuk stratifikasi. Dalam kajian ini, areal Lombok distratifikasi sehingga dihasilkan areal yang homogen berdasarkan vegetasinya. Untuk melakukan stratifikasi, dibutuhkan data penunjang yaitu data ketinggian, data iklim, dan lainlainnya. Dalam kajian ini digunakan data DEM dan data indeks vegetasi serta data citra Landsat 8. Selain itu digunakan juga data resolusi tinggi dari Google Earth. Hasil dari stratifikasi tersebut (Gambar 8) diperoleh ada tiga zona, yakni zona 1, zona 2, dan zona 3. Zona 1 adalah area dengan Hutan yang lebat di up-land, zona 2 adalah area Pertanian, sedangkan Zona 3 adalah area Hutan Sekunder dan Hutan Tanaman. Dari ketiga zona tersebut akan diambil training sample untuk klasifikasi dengan metode CCA. 68
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 8 Stratifikasi Pulau Lombok berdasarkan vegetasinya Untuk melakukan klasifikasi korelasi kanonik, tahapan yang dilakukan adalah: a. Melakukan zonasi area b. Penarikan sampling untuk kelas hutan c. Analisis korelasi kanonik dan pembobotan d. Tresholding Zonasi dilakukan dengan menggunakan hasil stratifikasi (Gambar 8). Dari hasil analisis korelasi kanonik menggunakan Software IDRISI SELVA, diperoleh hasil seperti pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Hasil analisis korelasi kanonik
69
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Dari hasil analisis korelasi kanonik seperti pada tabel di atas, terlihat bahwa kanal yang paling besar pengaruhnya untuk menghasilkan objek hutan adalah kanal 4 (kanal Inframerah Dekat), kanal 3 (kanal Visible), dan kanal 5 Landsat-8 (kanal Inframerah Dekat). Sementara bobot untuk setiap kanal tersebut (berturut-turut kanal 3, kanal 4, dan kanal 5) adalah 0,404; 0,539; dan 0,0269. Selanjutnya dilakukan tresholding, hasilnya adalah: Untuk Zona 1: if (4*i1+5*i2+i3)>2447 and (4*i1+5*i2+i3)<2700 then 1 else null if (5*i1+i2)>1430 and (5*i1+i2)<1667 then 1 else null Untuk zona 2: if (4*i1+5*i2+i3)>2447 and (4*i1+5*i2+i3)<2650 then 1 else null if (5*i1+i2)>1430 and (5*i1+i2)<1600 then 1 else null Untuk zona 3 if (4*i1+5*i2+i3)>2554 and (4*i1+5*i2+i3)<2800 then 1 else null if (5*i1+i2)>1460 and (5*i1+i2)<1750 then 1 else null Dengan menggunakan Indeks dan Treshold tersebut, diperolah hasil informasi hutan dan non-hutan untuk data bulan April 2013 dan bulan Juli untuk setiap zona. Penggabungan kedua bulan ini dimaksudkan untuk meminimalisasi efek awan yang menyebabkan tidak ada informasi. Gambar 9 sampai 12 memperlihakan hasil klasifikasi hutan dan non-hutan untuk setiap zona dan pada bulan April dan Juli 2013.
Gambar 9 Kelas hutan dan non hutan zona 1, zona 2, dan zona 3 bulan April 2013
70
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 10 Kelas hutan dan non hutan zona 1, zona 2, dan zona 3 bulan Juli 2013
Gambar 11 Kelas hutan dan non hutan zona 1, zona 2, dan zona 3, April dan Juli 2013 Hasil dari penggabungan zona 1, 2, dan 3 untuk bulan April dan Juli 2013 diperlihatkan pada Gambar 12 berikut.
Gambar 12 Hasil klasifikasi hutan dan non-hutan untuk pulau Lombok tahun 2013
71
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Untuk keperluan uji akurasi, dilakukan juga pengumpulan data sekunder. Data yang dikumpulkan berupa data hasil survei penutup dan penggunaan lahan di Lombok yang dilakukan oleh tim, data jenis, dan jumlah tanaman pada beberapa sektor di Lombok Barat. Selanjutnya dilakukan pengujian secara visual dan digital untuk hasil klasifikasi dengan analisis0000000 000000000korelasi kanonik ini. Dari pengujian berdasarkan data lapangan dan hasil klasifikasi komponen utam, diperoleh hasil akurasi klasifikasi sebesar 92%.
4. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa klasifikasi hutan dan non-hutan dapat dilakukan dengan menggunakan indeks yang diperoleh dari analisis korelasi kanonik (CCA). Dari analisis, diperoleh bahwa kanal 3, 4, dan 5 Landsat-8 memberikan pengaruh yang paling besar dalam pengklasifikasian hutan dan penggunaan lahan lainnya. Indeks dan Tresholding untuk masing-masing zona adalah sebagai berikut: Zona 1 : (4*i1+5*i2+i3)>2447 dan (4*i1+5*i2+i3)<2700 (5*i1+i2)>1430 dan (5*i1+i2)<1667 zona 2: (4*i1+5*i2+i3)>2447 dan (4*i1+5*i2+i3)<2650 (5*i1+i2)>1430 and (5*i1+i2)<1600 then 1 else null zona 3 (4*i1+5*i2+i3)>2554 dan (4*i1+5*i2+i3)<2800 (5*i1+i2)>1460 dan (5*i1+i2)<1750 Akurasi klasifikasi berdasarkan data lapangan adalah 92%.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Wawan K. Harsanugraha yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan makalah ini dan kepada Kapusfatja yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk menyelesaikan kajian ini. Terima kasih disampaikan pula kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Barat yang memberikan bantuan berupa data sekunder terkait informasi tentang hutan di Lombok serta kepada rekan-rekan peneliti yang telah memberikan masukan terhadap penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Achard F., R. Defries, M. Herold, D. Mollicone, D. Pandey, C. de Souza. 2008. Guidance on Monitoring of Gross Change in Forest Area. Chapter 3 dalam: GOFC-GOLD. Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Degradation in Developing Countries: A Sourcebook of Methods and Procedures for Monitoring, Measuring and Reporting. GOFC-GOLD Report version COP 13-2. GOFC-GOLD Project Office, Natural Resources Canada. Alberta. Canada. Angelsen A., Atmadja S. 2010. Melangkah Maju dengan REDD: Isu, Pilihan dan Implikasi. CIFOR. Bogor. Indonesia.
72
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
BPN. 2010. SNI 7645-2010: Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta. Definiens. 2006. Reference Book: Definiens Professional version 5.0.6.2. Defineiens AG. München. Germany. Definiens. 2006. User Guide: Definiens Professional version 5.0.6.2. Defineiens AG. München. Germany. DeFries R., F. Achard, S. Brown, M. Herold, D. Murdiyarso, B. Schlamadinger, C. de Sourza Jr. 2006. Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation in Developing Countries: Considerations for Monitoring and Measuring. Global Terrestrial Observing System (GTOS). Rome. Italy. eCognition. 2005. User Guide 4 Definiens. Germany. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Buku Statistik Kehutanan Indonesia Furby S.L., P.A. Caccetta, J.F. Wallace. 1995. Salinity Monitoring Using Remotely Sensed and Other Spatial Data. CSIRO Division of Mathematical and Information Sciences. Australia. Green P. E. 1978. Analyzing Multivariate Data. Hinsdale, Ill.: Holt, Rinehart, & Winston. Green P. E., and J. Douglas Carroll. 1978. Mathematical Tools for Applied Multivariate Analysis. New York: Academic Press. LDC Mission. 2013. Landsat 8, Continuing the Landsat Mission.
73
6
KLASIFIKASI MULTI-TEMPORAL HUTAN DAN NON-HUTAN MENGGUNAKAN DATA MOSAIK LANDSAT UNTUK MENGISI PIKSEL KOSONG (Studi Kasus: Kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Baru, Kalimantan Selatan) Tatik Kartika, Ahmad Sutanto, Gagat Nugroho, Nursanti Gultom Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRACT Research using optical satellite data such as Landsat, is often constrained by clouds. Mosaic some data in the same year, by first abolishing the clouds and its shadow, will get an annual Landsat Data. The annual Landsat Data acquisition was often not produce a mosaic with free data cloud, so that the pixels are empty. If the data is used for land cover classification, the blank pixel is identified as no data. To overcome these empty pixels, multitemporal classification was done where the classification of Landsat data is used yearly above. This research method is divided into four parts, namely input, phase I, phase II, and output. Input data are annual mosaic of Landsat data and forest probabilities data resulted from forests and non-forest classification yearly using Support Vector Machine (SVM). Phase I is the filtration and determination of the percentage of lower forests threshold to produce annual forest and non-forest spatial. This result still contains a blank pixel according to its annual mosaic of Landsat data. Phase II is a multitemporal classification which generates spatial information of forest and non-forest with blank pixels that have been classified as forest or non-forest with permutation rules and land changes rules. The data being used is data mosaic of Landsat in 2009 to 2012 and included in Tanah Bumbu and Tanah Baru, South Kalimantan. The results of visual analysis, lower threshold for the forest in the study area is between 30-35%. These values provide spatial information if the forest is more or equal to the lower threshold, non-forest if less than the lower threshold, and a null value for the blank pixels. The final result or output generates spatial information forest and non-forest yearly with null values are minimal. Keywords: Landsat Data, mosaic, missing pixel, multitemporal classification
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
ABSTRAK Penelitian dengan menggunakan data satelit optik seperti Landsat, seringkali terkendala oleh awan. Mosaik beberapa data pada tahun yang sama dengan terlebih dahulu meghilangkan awan dan bayangannya, akan diperoleh Data Landsat tahunan. Perolehan Data Landsat tahunan pun seringkali tidak menghasilkan mosaik dengan data yang bebas awan sehingga terdapat piksel-piksel kosong. Jika data tersebut digunakan untuk klasifikasi penutup lahan, maka piksel kosong tersebut diidentifikasikan sebagai tidak ada data. Untuk mengatasi piksel-piksel kosong tersebut, dilakukan klasifikasi multitemporal di mana pada klasifikasi ini digunakan data Landsat tahunan di atas. Metode penelitian ini terbagi dalam empat bagian, yaitu input, tahap I, tahap II, dan output. Input berupa mosaik Data Landsat tahunan dan data probabilitas hutan hasil klasifikasi hutan dan non-hutan tahunan menggunakan metode Support Vector Machine (SVM). Tahap I adalah filterisasi dan penentuan persentase ambang batas bawah hutan untuk menghasilkan informasi spasial hutan dan non-hutan tahunan. Hasil ini masih memuat piksel kosong sesuai dengan mosaik data Landsat tahunannya. Tahap II adalah klasifikasi multitemporal yang menghasilkan informasi spasial hutan dan non-hutan dengan piksel kosong yang sudah dikelaskan menjadi hutan atau non-hutan dengan aturan permutasi dan aturan perubahan lahan. Data yang digunakan adalah data mosaik Landsat tahun 2009 sampai dengan 2012 dan termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Baru, Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil analisis visual, ambang batas bawah untuk hutan di wilayah penelitian berkisar antara 30–35%. Nilai tersebut memberikan informasi spasial hutan jika lebih atau sama dengan ambang batas bawah, non-hutan jika kurang dari ambang batas bawah, dan nilai null untuk piksel kosong. Hasil akhir atau output menghasilkan informasi spasial hutan dan non-hutan tahunan dengan nilai null yang minimal. Kata Kunci: Data Landsat, mosaik, piksel kosong, klasifikasi multitemporal
1. PENDAHULUAN Secara global, hutan hampir menutupi 40% dari penutup lahan di bumi (Webtob 1989 dalam Wulder 1989). Di Indonesia, hamparan hutan mempunyai luas sekitar 99,6 juta hektare atau 52,3% luas wilayah Indonesia (Kementerian Kehutanan 2011). Untuk memperoleh informasi spasial mengenai area hutan, diperlukan data yang mempunyai cakupan yang luas. Data penginderaan jauh satelit bisa digunakan untuk memperoleh informasi tersebut karena mempunyai resolusi spasial atau area yang luas dan resolusi temporal atau lokasi yang sama akan direkam secara berulang pada periode waktu tertentu sehingga dimungkinkan untuk memantau kondisi hutan dari tahun ke tahun. Data Landsat adalah data satelit yang ditujukan untuk mengamati permukaan bumi, mempunyai cakupan 185x185 km dan resolusi temporal 16 hari (http://www.crisp.nus.edu.sg/~research/tutorial/landsat.htm, http://www.trfic.msu. edu/data_portal/Landsat7doc/intro_landsat.html). Salah satu masalah dalam proses analisis citra adalah mengatasi piksel kosong (Aksoy et al. 2009). Demikian pula dalam pemantauan hutan dan non-hutan dengan data penginderaan jauh satelit optik mempunyai kendala, yaitu masalah awan, apalagi Indonesia berada di wilayah tropis di mana awan dan bayangannya sering terjadi. Sementara itu, Indonesia termasuk negara
76
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
yang perlu diperhatikan atau dipantau keberadaan hutannya karena adanya ekspansi dari perkebunan sawit (Hansen et al. 2009 dalam Kim et al. 2014). Untuk mengurangi kendala awan tersebut maka dilakukan mosaik citra pada tahun yang sama sehingga diperoleh data penginderaan jauh satelit tahunan dengan harapan tidak ada lagi terdapat piksel kosong akibat awan dan bayangannya. Dengan demikian, penggunaan data mosaik berguna dalam mengurangi kesalahan dalam klasifikasi (Furby et al. 2007). Masalahnya untuk Indonesia seringkali pada data mosaik tahunan pun masih terdapat piksel kosong yang kemudian diidentifikasikan sebagai tidak ada data. Berdasarkan hal di atas, maka dilakukan penelitian bagaimana mengatasi piksel kosong tersebut sehingga pemantauan di suatu area dapat dilakukan secara kontinu. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi spasial hutan dan non-hutan tahunan, di mana informasi yang diperoleh sudah meminimalkan area piksel kosong. Artinya, area tersebut kemudian terkelaskan sebagai hutan atau non-hutan sesuai dengan aturan permutasi dan ilustrasi perubahan penutup lahan pada data multitemporal. Keuntungan menggunakan metode klasifikasi multitemporal adalah meningkatkan konsistensi dan akurasi hasil klasifikasi hutan dan non-hutan dengan data satu waktu (Furby dan Wallace 2011). Symeonakis et al. (2012) menyatakan bahwa penggunaan klasifikasi multitemporal dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi dan juga mampu melakukan estimasi tipe penutup lahan untuk pengisian piksel kosong (missing data) akibat tutupan awan.
2. METODOLOGI 2.1. Lokasi Penelitian Gambar 1 menunjukkan daerah penelitian di mana wilayah tersebut termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Tanah Baru.
Gambar 1 Kotak merah menunjukkan lokasi penelitian
77
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
2.2. Data yang Digunakan Data yang digunakan ditunjukkan oleh Gambar 2, yaitu Data Landsat-5 dan Data Landsat-7 dengan komposit RGB-543 yang sudah terkoreksi ortho, terrain, dan cloud masking di sebelah kiri dan probabilitas hutan di sebelah kanannya. Data Landsat yang digunakan mempunyai path/row 117/62 hasil mosaik tahunan dengan menghilangkan awan dan bayangannya, sedangkan probabilitas hutan adalah hasil dari klasifikasi SVM yang bernilai dari nol yang berarti bukan hutan dan makin mendekati 100 maka semakin berpeluang sebagai hutan. Data yang digunakan adalah data dari tahun 2009 sampai dengan 2012. 2009
2010 1000
Probabilitas hutan
RGB-543
Probabilitas hutan
RGB-543
2011
2012
0 RGB-543
Probabilitas hutan
RGB-543
Probabilitas hutan
Gambar 2 Citra Landsat dengan komposit band 543 (RGB) wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten Kotabaru, dan sekitarnya yang sudah terkoreksi ortho, terrain, dan cloud masking di sebelah kiri dan probabilitas hasil klasifikasi SVM di sebelah kanannya tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012
2.3. Metode Penelitian Gambar 3 menunjukkan diagram alir penelitian yang terbagi menjadi empat bagian yaitu input, proses terdiri dari klasifikasi hutan tahap I dan klasifikasi hutan tahap II serta output. Input adalah Mosaik data Landsat dan citra probabilitas hutan hasil dari metode SVM. Klasifikasi hutan Tahap I dimulai dengan model algoritma dari metode klasifikasi multitemporal di mana setiap piksel mengacu kepada program Indonesia National Carbon Accounting System (INCAS) berikut ini (Caccetta 1997):
78
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
P(Y,L,L′,N(i)*) = Π Q1Q2Q3Q4
k=1n
di mana : Q1 Q2 Q3 Q4 Y L L′ N(i)
= = = = = = =
P(Yk|Lk) P(Yk|L′k) P(Y′|L′k-1) P(Y′k|N(i)*) {Y1,Y2,…,Yn} {L1,L2,…,Ln} {L′1,L′2,…,L′n}
(1)
(ambang batas data tunggal) (Aturan akurasi) (Aturan Temporal) (Aturan ketetanggaan) Citra berlainan tahun Probabilitas pemisahan kelas setiap tahun Perbaikan probabilitas pemisahan kelas setiap tahun Ketetanggan piksel
Gambar 3 Diagram alir penelitian untuk memperoleh informasi hutan dan non-hutan dengan piksel kosong yang minimal Penelitian ini berdasarkan algoritma INCAS tetapi dengan urutan yang berbeda dengan alasan untuk peningkatan akurasi, maka dilakukan terlebih dahulu aturan akurasi dan aturan ketetanggaan melalui filterisasi. Aturan akurasi dibuat dengan mengalikan setiap piksel dengan hasil akurasi, yaitu hasil pengujian terhadap training sampel yang diambil. Dalam filterisasi digunakan filter lowpass Kernel avg 3x3 untuk memperhalus kenampakan citra, di mana nilai
79
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
piksel yang baru merupakan rerata dari hasil kali tiap-tiap elemen matriks dengan nilai piksel yang dimaksud (Danoedoro 2012). Ambang batas ditentukan melalui analisis visual dengan membandingkan antara citra Landsat dan hasil probabilitas pada tahun yang sama. Dari klasifikasi Tahap I di atas diperoleh nilai ambang batas bawah yang menunjukkan informasi hutan dan non-hutan. Tahap selanjutnya adalah klasifikasi Tahap II atau klasifikasi multitemporal untuk memperoleh klasifikasi hutan dan non-hutan. Klasifikasi multitemporal didasarkan kepada pemikiran bahwa 1) Pohon di hutan memerlukan waktu untuk tumbuh, tidak bisa menjadi besar dalam satu tahun sehingga perlu melihat kondisi sebelum dan sesudahnya dan 2) terjadinya perubahan penutup lahan di wilayah hutan yang harus dipantau secara multitemporal. POLA NILAI PROBABILITAS PIKSEL Stabil tinggi (rapat) Stabil jarang (kurang rapat) Penebangan
Probabilitas Piksel “hutan”
Penanaman kembali Non hutan
Waktu
Gambar 4 Ilustrasi perubahan lahan secara multitemporal Sumber: Furby and Wallace (2011)
Gambar 4 memperlihatkan ilustrasi perubahan nilai probabilitas hutan sejalan dengan waktu. Hutan mempunyai nilai probabilitas yang selalu tinggi sejalan waktu (garis hijau), sedangkan non-hutan mempunyai nilai probabilitas yang rendah sepanjang waktu (garis merah). Bila probabilitas berubah-rubah tinggi menjadi rendah atau rendah menjadi tinggi maka telah terjadi perubahan lahan seperti penebangan hutan (garis hitam) atau penanaman kembali (garis abu-abu). Klasifikasi multitemporal dilakukan dengan mengadopsi model input yang dibangun oleh Cacceta (1997) dengan menggunakan empat tahun data. Jika urutan diperhatikan dan suatu objek dapat dipilih lebih dari sekali maka jumlah permutasinya adalah: nr
(2)
di mana n adalah banyaknya objek yang dapat dipilih dan r adalah jumlah yang harus dipilih (Fisher 1991; http://id.wikipedia.org/wiki/Kombinasi_dan_permutasi).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil klasifikasi hutan dan non-hutan berdasarkan metode SVM memberikan nilai probabilitas dari 0 sampai 100, di mana 0 merupakan nilai bagi piksel kosong dan makin mendekati 100 maka probabilitasnya semakin mendekati hutan. 80
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 5 menunjukkan citra Landsat dan hasil klasifikasi metode SVM untuk hutan pada dataran tinggi, sedangkan Gambar 6 untuk daerah pesisir. Gambar-gambar tersebut menunjukkan mosaik citra Landsat di sebelah kiri dan probabilitas hutan dan non-hutan hasil dari metode SVM di sebelah kanan. Analsis secara visual, hasil metode SVM sudah baik di mana hutan primer di dataran tinggi maupun hutan mangrove di pesisir mempunyai probabilitas yang tinggi, tetapi batas nilai probabilitas untuk hutan masih belum diketahui. Hasil klasifikasi untuk piksel kosong sudah terkelaskan menjadi kelas null atau tidak ada data. 1000
1000
0
Gambar 5 Data Landsat (kiri) dan hasil metode SVM berupa probabilitas hutan 0dataran tinggi di area penelitian (kanan) 1000
1000
0
0
Gambar 6 Data Landsat (kiri) dan hasil metode SVM berupa probabilitas hutan pesisir di area penelitian (kanan) Hasil klasifikasi SVM adalah klasifikasi berdasarkan piksel. Seperti pada klasifikasi berbasis piksel lainnya, hal ini cenderung menghasilkan efek-efek ‘salt and pepper’, yaitu satu piksel terkelaskan pada kelas yang berbeda dengan piksel di sekitarnya. Untuk mengurangi efek-efek tersebut maka dilakukan filterisasi dan dalam penelitian ini menggunakan filter lowpass Kernel avg 3x3 (Romie 2015; Lu dan Weng 2007). Contoh probabilitas hutan sebelum dan sesudah filterisasi ditunjukkan oleh Gambar 7, sedangkan Gambar 8 adalah hasil filterisasi pada area penelitian pada tahun 2009 sampai dengan 2012. 81
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
100
0
100
0
Gambar 7 Citra probabilitas hutan di daerah pesisir sebelum dan sesudah filterisasi lowpass Kernel avg 3x3
2009 2009
2010 2010
2011 2011 0
100
0
2012 2012 100
Gambar 8 Data probabilitas hutan hasil filterisasi lowpass Kernel avg 3x3 pada daerah penelitian untuk tahun 2009–2012 Proses selanjutnya adalah penentuan ambang batas bawah untuk hutan. Ambang batas bawah tersebut ditentukan dengan analisis visual dengan cara membandingkan antara mosaik citra Landsat dan hasil probabilitas pada tahun yang sama. Nilai ambang batas bawah ditentukan dengan metode trial and error sehingga diperoleh nilai yang cocok untuk penentuan area hutan. Jika ab menyatakan ambang batas bawah hutan maka hutan mempunyai nilai lebih besar atau sama dengan ab, sedangkan non-hutan mempunyai nilai yang kurang dari ab. Jika hutan diberi nilai satu (1) dan non-hutan diberi nilai dua (2) maka algoritmanya adalah: 82
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
If i1>=ab then 1 else if i1>0 and i1
ab i1 1 2 Null
= = = = =
ambang batas bawah hutan probabilitas piksel kelas hutan kelas non-hutan Tidak ada data
Ambang batas bawah untuk hutan pada tahun 2000 sampai dengan 2009 ditunjukkan oleh Tabel 1. Tabel 1 Ambang batas bawah bagi probabilitas hutan pada tahun 2009–2012 di Tanah Bumbu dan Tanah Baru, Kalimantan Selatan Tahun Probabilitas (%)
2009 30
2010 33
2011 30
2012 35
Dari hasil tersebut terlihat untuk tahun 2009, ambang batas dari hutan probabilitasnya di atas 30%, tahun 2010 probabilitas hutan di atas 33%, tahun 2011 probabilitas hutan di atas 30%, dan tahun 2012 probabilitas hutan di atas 35%. Dengan demikian, diperoleh informasi spasial hutan dan non-hutan hasil klasifikasi tahap I seperti ditunjukkan oleh Gambar 9 di mana hasil klasifikasi masih memuat piksel kosong bersesuaian dengan piksel kosong pada Data Landsat tahun yang bersangkutan.
2009
Keterangan:
2011 = hutan
2010
= non-hutan
2012
= piksel kosong
Gambar 9 Hasil pengkelasan hutan (warna hijau) dan non-hutan (warna biru), beserta missing data (warna hitam) tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012 hasil klasifikasi Tahap I
83
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Klasifikasi Tahap II adalah klasifikasi multitemporal, di mana untuk menentukan suatu piksel termasuk kelas hutan atau non-hutan, diperlukan sederet data tahunan. Pada proses ini, input yang digunakan adalah hasil klasifikasi Tahap I berupa informasi spasial dengan kelas terdiri atas hutan, non-hutan, dan piksel kosong. Data yang digunakan adalah data multitemporal sebanyak 4 tahun data, yaitu tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012. Untuk itu akan digunakan kombinasi urutan permutasi pengulangan dengan ruang sampelnya adalah 4 urutan data berbeda tahun di mana pada masing-masing tahun berpeluang untuk berisi salah satu dari 3 kelas objek, yaitu hutan (1), non-hutan (2), atau piksel kosong (0) dengan syarat objek bisa dipilih lebih dari satu kali tetapi urutan tidak berulang. Berdasarkan aturan tersebut maka jumlah ruang sampel yang mungkin adalah 34 atau 81 ruang sampel. Kombinasi urutan permutasi pengulangan memungkinkan yang berlaku untuk setiap piksel adalah sebagai berikut:
Π Π Π Π Ai Bj Ck Dl di mana Ai
Bj Ck Dl
(3)
= Urutan pertama yaitu data tahun 2009
= Urutan kedua yaitu data tahun 2010 = Urutan ketiga yaitu data tahun 2011 = Urutan keempat yaitu data tahun 2012 i,j,k,l = 0 adalah piksel kosong = 1 adalah hutan = 2 adalah non-hutan
Contoh urutan ruang sampel dan penentuan informasi spasial tahap II ditunjukkan oleh Tabel 2. Tabel 2 Kombinasi urutan permutasi dan hasil penentuan hutan dan non-hutan tahunan klasifikasi tahap II, di mana 0 adalah piksel kosong, 1 adalah hutan, dan 2 adalah non-hutan No. 1 2 3 ... 79 80 81
Urutan Permutasi Pengulangan 0000 0001 0002 ... 2220 2221 2222
Tahun 2009 0 1 2 ... 2 2 2
2010 0 1 2 ... 2 2 2
2011 0 1 2 ... 2 2 2
2012 0 1 2 .... 2 1 2
Dalam penentuan hutan dan non-hutan tahunan pada klasifikasi multitemporal, diperlukan input informasi hutan dan non-hutan tahunan di mana pada penelitian ini adalah tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012. Selain itu juga, penentuan didasarkan kepada ilustrasi perubahan
84
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
penutup lahan seperti ditunjukkan oleh Gambar 4. Data tersebut dijadikan satu data yang memiliki 4 layer yang masing-masing berisi tahun penelitian dan setiap pikselnya menunjukkan informasi spasial hutan, non-hutan, atau piksel kosong. Untuk penentuan informasi spasial hutan dan hutan tahap II dibuat algoritma berdasarkan Tabel 2 di atas. Pada Gambar 5 dan 6 sebelumnya, hasil klasifikasi di area dataran tinggi dan pesisir pada Tahap I, masih banyak terdapat piksel kosong bersesuaian dengan data citra yang digunakan. Tetapi dengan klasifikasi Tahap II yang ditunjukkan oleh Gambar 10 untuk area dataran tinggi dan Gambar 11 untuk area pesisir, piksel kosong sudah diisi oleh hasil prediksi sesuai ilustrasi perubahan penutup lahan pada Gambar 4 sebelumnya, yaitu hutan, non-hutan, atau masih tetap sebagai piksel kosong tetapi sudah berkurang.
Klasifikasi Tahap I Keterangan: = hutan
= non-hutan
Klasifikasi Tahap II = piksel kosong
Gambar 10 Perbandingan antara klasifikasi Tahap I dan Tahap II di area dataran tinggi tahun 2009
Klasifikasi Tahap I Tahap I Keterangan:Klasifikasi = hutan Keterangan: = hutan
= non-hutan = non-hutan
Klasifikasi Tahap II Klasifikasi Tahap II = piksel kosong = piksel kosong
Gambar 11 Perbandingan antara klasifikasi Tahap I dan Tahap II di area pesisir tahun 2009 Gambar 12 menunjukkan seluruh area penelitian hasil klasifikasi Tahap I (kiri) dan Klasifikasi Tahap II (kanan). Pada Gambar tersebut memperlihatkan bahwa piksel kosong yang masih terkelaskan pada Klasifiaksi Tahap I sudah sangat jauh berkurang dibandingkan dengan hasil Klasifikasi Tahap II. Piksel kosong pada Gambar 12(b) hampir seluruhnya sudah terkelaskan sebagai hutan dan non-hutan pada Klasifikasi Tahap II. Piksel kosong pada hasil Klasifikasi Tahap II hanya terjadi jika pada area piksel kosong tersebut selalu tertutup awan.
Klasifikasi Tahap I Keterangan: = hutan
Klasifikasi Tahap II = non-hutan
= piksel kosong
85
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
(a)
(b)
2009
2009
(c) 2009
2010
2010
2010
2011
2011
2011
2012
2012
Keterangan:
= hutan
2012
= non-hutan
= piksel kosong
Gambar 12 (a) Citra Landsat, (b) hasil klasifikasi Tahap I, (c) hasil klasifikasi Tahap II atau klasifikasi multitemporal tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012 Dengan hasil Klasifikasi Tahap II (Gambar 12(c)), maka kondisi hutan bisa dimonitoring secara berkala dengan periode satu tahunan sehingga akan diketahui di mana terjadi deforestasi atau reforestasi. Kondisi hutan di Kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Baru periode 2009– 2012 terlihat semakin berkurang. Bahkan area hutan pada tahun 2011 ke 2012 berubah cukup signifikan. Hal ini perlu untuk diteliti lebih lanjut.
86
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
4. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi multitemporal dapat mengurangi piksel kosong yang diakibatkan oleh adanya awan dan bayangannya sehingga pemantauan hutan di suatu lokasi dapat dilakukan secara kontinu. Hasil akhir klasifikasi yang masih berupa piksel kosong dikarenakan pada area tersebut pada tahun penelitian selalu ditutupi awan atau bayangannya. Hasil klasifikasi multitemporal di Kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Baru, Provinisi Kalimantan Selatan periode 2009–2012 menunjukkan bahwa area hutan semakin menurun, bahkan cukup signifikan pada tahun 2011 dan 2012 sehingga disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut pada periode tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian tahun 2015 di Bidang Sumberdaya Wilayah Darat (SDWD) Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Bambang Trisakti sebagai Kepala Bidang SDWD; Kepada Tim INCAS, dan Wawan K., Harsanugraha atas masukkannya dalam menyusun tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Aksoy S., K. Krzysztof, T. Carsten, M. Giovanni. 2009. Land cover classification with multisensor fusion of partly missing data. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing 75(5): 577–593. Caccetta A.P. 1997. Remote Sensing, Geographic Information Systems (GIS) and Bayesian Knowledge-Based Methods for Monitoring Land Condition. Curtin University of Technology. Perth. Australia. Danoedoro P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Andi. Fisher A. 1991. (Reprinted by Arrangement). The Design of Expeririment. Hafner Publishing Company. New York. Furby S., J.F. Wallace, P.A. Caccetta. 2007. Monitoring sparse perennial vegetation cover over australia using sequences of landsat imagery. Environmental Informatics Archives 5: 585– 590. Furby S., J. Wallace. 2011. Guidelines for Annual Forest Extent and Change Mapping Version 2.2. CSIRO Mathematics, Informatics and Statistics. Perth. Australia. Kementerian Kehutanan. 2011. Buku Statistik Kehutanan Indonesia. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Kim D.H., O.S. Joseph, N. Praveen, H. Chengquan, A. Anupam, C. Saurabh, F. Min, R.T. John. 2014. Global, Landsat-based forest-cover change from 1990 to 2000. Remote Sensing of Environment 15: 178–193 Lu D., Q. Weng. 2007. A survey of image classification methods and techniques for improving classification performance. International Journal of Remote Sensing 28(5): 823–870. Romie J. 2015. Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel Menggunakan Citra Satelit Multispectral di Sungai Kembung, Bengkalis, Provinsi Riau [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
87
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Symeonakis E., C. Peter, K. Sotirius, F. Suzanne, K. Nikolaos. 2012. Multitemporal land-cover classification and change analysis with conditional probability networks: The case of Lesvos Island (Greece). International Journal of Remote Sensing 33(13): 4075–4093. Wulder M. 1989. Optical remote-sensing techniques for the assessment of forest inventory and biophysical parameters. Progress in Physical Geography 22(4): 449–476.
88
7
ANALISIS KAWASAN HUTAN UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI KONFLIK PEMANFAATAN RUANG, STUDI KASUS PROVINSI KALIMANTAN SELATAN I Made Parsa dan Muchlisin Arief Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRACT As we know that the remote sensing data is one of the main input for the analysis of space utilization at different levels of scale, ranging from the general spatial plan national, provincial, district/city and detailed spatial plans. The analysis can be started from the planning and monitoring and periodic evaluation. Focus on the need for monitoring and evaluation, the land status maps, spatial planning map, map of forest areas can dioverlay with other parameters extracted from remote sensing representing existing condition such as forest maps, maps of transmigration, agriculture and other land maps. This analysis than to know the difference it can also determine other issues such as the overlap between the map of potential conflict in the community. The results of the analysis show that in the province of South Kalimantan many potential conflicts of spatial use in forest areas where there are plantations, settlements, fields, fields/fields, and ponds/pond. Additionally, forests (forest protection and conservation) are also several permits the use of land concession licenses, the mining permit, a development plan and transmigration areas, overlapping concession licenses with concession, mining and with the permission of transmigration areas. Therefore, it is necessary to anticipate the evaluation and synchronization of spatial data and plans that already exist today. Keywords: utilization of space, spatial, detailed plans, conflict, evaluation, synchronization
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
ABSTRAK Sebagaimana diketahui bahwa data penginderaan jauh merupakan salah satu masukan untuk analisis pemanfaatan ruang pada berbagai tingkat skala, mulai dari rencana umum tata ruang wilayah (RTRW) nasional, provinsi, kabupaten/kota maupun rencana detail tata ruang (RDTR). Analisis dapat dimulai dari perencanaan maupun monitoring dan evaluasinya secara periodik. Fokus pada kebutuhan untuk monitoring dan evaluasi, maka peta status tanah, peta RTRW, peta kawasan hutan dapat di-overlay dengan parameter lain yang diekstrak dari penginderaan jauh yang mewakili kondisi eksisting seperti peta hutan, peta transmigrasi, peta lahan pertanian, dan lainnya. Analisis ini, selain untuk mengetahui perbedaan yang terjadi juga dapat mengetahui permasalahan lain seperti tumpang-tindih antarpeta tersebut yang berpotensi menjadi konflik di masyarakat. Hasil analisis di wilayah Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Selatan banyak potensi konflik pemanfaatan ruang di mana dalam kawasan hutan terdapat perkebunan, permukiman, sawah, ladang/tegalan, dan tambak/ empang. Selain itu, dalam kawasan hutan (hutan lindung dan hutan konservasi) juga terdapat beberapa izin penggunaan lahan (HGU), izin pengusahaan hutan, izin usaha pertambangan, rencana pengembangan kawasan transmigrasi, tumpang-tindih izin pengusahaan hutan dengan HGU, pertambangan maupun dengan izin kawasan transmigrasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan antisipasi dengan melakukan evaluasi dan sinkronisasi data-data spasial dan rencana yang sudah ada hingga saat ini. Kata kunci: pemanfaatan ruang, tata ruang, rencana detail, konflik, evaluasi, sinkronisasi
1. PENDAHULUAN Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan telah mendefinisikan bahwa Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/ atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Klasifikasi Penutup Lahan menurut Badan Standar Nasional (BSN) membedakan hutan lahan kering yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan, pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi dan hutan lahan basah yang berkembang pada habitat lahan basah seperti rawa (payau, gambut) dengan karakteristik dataran rendah sepanjang pesisir, daerah berelevasi rendah, dan tempat yang dipengaruhi oleh pasangsurut. Sementara dalam penyusunan neraca sumberdaya bagian ketiga mengenai sumberdaya lahan spasial mendefinisikan lahan berhutan sebagai areal hutan ditumbuhi pohon-pohonan yang tingkat pertumbuhannya mencapai maksimum dan bukan berarti kawasan hutan, tetapi areal hutan yang ada tegakannya. Areal berhutan bisa merupakan hutan alami (lebat), belukar, sejenis, bisa juga merupakan hutan rawa. Hutan diklasifikasi berdasarkan fungsinya menjadi tiga kelas (UU 41, 2009), yaitu: a. Hutan Produksi (HP) adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
90
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
b. Hutan Lindung (HL) adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. c. Hutan Konservasi (HKA) adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. HKA dibagi menjadi tiga kelas: i.
Kawasan Hutan Suaka Alam (HSA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
ii. Kawasan Hutan Pelestarian Alam (HPA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. iii. Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Pada bagian ketiga UU 41 ini khususnya pasal 24 menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona into dan zona rimba pada taman nasional, pasal 25 menyebutkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara pasal 26 menyebutkan (1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. (2) Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sementara itu, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan kepada seluruh provinsi/kabupaten/kota di Indonesia untuk menyesuaikan Rencana Tata Ruang Wilayahnya dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam UU Penataan Ruang tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak UU tersebut disahkan. Namun, hingga saat ini masih banyak RTRW Provinsi yang belum disesuaikan dengan UU Penataan Ruang yang baru dikarenakan masih adanya permasalahan tumpang-tindih perizinan dan pemanfaatan ruang yang belum terselesaikan. Pada praktiknya, konflik perencanaan dan pemanfaatan ruang di berbagai daerah banyak terjadi karena tumpang-tindihnya kebijakan tersebut, baik secara substansi maupun kelembagaan, permasalahan-permasalahan seperti konflik pemanfaatan ruang antara pemerintah dan masyaarakat. Korporasi dengan masyarakat dan pihak lainnya mengemuka di permukaan. Penataan ruang yang seharusnya menjadi instrumen mediasi dan fasilitasi konflik ruang antarkelompok ternyata belum efektif berfungsi sebagaimana yang diharapkan (Simanjuntak 2013). Direktorat Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah I Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum 2014 memberikan rekomendasi penyelesaian konflik pemanfaatan ruang sebegai berikut.
91
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditentukan. b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari izin yang berwenang. c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang. d. Memberikan akses terhadap kawasan yang ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Kebutuhan ruang yang sudah sangat meningkat untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan dan energi, tidak cukup didukung oleh ketersediaan ruang budidaya sehingga menyebabkan pemanfaatan ruang terpaksa bergeser ke dalam kawasan hutan dan mengakibatkan banyak terjadinya konflik pemanfaatan ruang antara Kawasan Hutan dengan kawasan perkebunan, pertanian, pertambangan, permukiman, dan sebagainya secara nasional. Beberapa wilayah yang telah ditetapkan statusnya sebagai kawasan hutan (berdasarkan SK Menhut), fakta di lapangan sudah banyak kawasan hutan yang tidak berbentuk vegetasi hutan lagi, tetapi merupakan kawasan permukiman, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, dan sebagainya. Sementara itu, proses pelepasan kawasan hutan yang dilakukan melalui syarat yang telah ditentukan oleh PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, cukup memakan waktu. Dalam rangka percepatan penyelesaian Perda RTRW Provinsi, resolusi konflik pemanfaatan ruang dan mendukung kebijakan nasional untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi, maka pada Sidang Pleno Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) pada tanggal 16 Juni 2009, memutuskan untuk melakukan audit pemanfaatan ruang nasional (stock taking) untuk memotret kondisi pemanfaatan ruang eksisting kaitannya dengan izin yang dimiliki atau status yang melekat padanya. Junaidi (2014) dalam tesisnya mengenai faktor-faktor yang menyebabkan konflik guna lahan menyimpulkan bahwa, beberapa penyebab konflik penggunaan lahan (http://mpkd.ugm. ac.id)/): a. keterbatasan lahan, b. faktor ekonomi, c. sikap penambang, d. faktor sosial, e. faktor teknologi, f.
perbedaan kepentingan,
g. perbedaan pemahaman, h. lemahnya pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Satuan Kinerja Perangkat Daerah/SKPD). Kalimantan Selatan merupakan salah satu provinsi yang mempunyai potensi sangat besar, baik dari sektor sumberdaya hutan, perkebunan/pertanian, maupun sumberdaya mineral. Potensi yang besar ini hendaknya dapat dikelola dengan baik agar dapat menghasilkan peningkatan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Langkah pengelolaan potensi ekonomi
92
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
dapat dimulai dari penyiapan data spasial yang benar dan akurat karena data yang tidak benar/ akurat dapat berpotensi menjadi sumber konflik yang akan menyengsarakan masyarakat. Hasil penelitian Ali et al. (2008) menyarankan bahwa untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dan menghindari konflik pemanfaatannya perlu dilakukan zonasi (pembagian kawasan) seperti kawasan konservasi, kawasan budidaya, kawasan wisata, kawasan produksi, dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut telah dilakukan audit penataan ruang dengan teknik analisis beberapa data spasial dengan studi kasus wilayah Kalimantan Selatan. Tujuan analisis adalah untuk mengidentifikasi potensi konflik yang diakibatkan karena penggunaan data spasial yang tidak/kurang akurat.
2. METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data satelit Landsat p/r 116062, 116063, 117061, 117062, 117063, 118062 tahun 2010 Kalimantan Selatan terkoreksi ortho sebagai data utama, peta dasar RBI (BIG), peta penggunaan lahan dan status tanah BPN, peta kawasan hutan dan perairan (Kehutanan), peta RTRW (Pemda Provinsi), peta izin pengusahaan hutan, peta izin usaha pertambangan, peta kawasan transmigrasi, peta kawasan pertanian. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode overlay antar data spasial (Wang 1991; Barus dan Wiradisastra 2000). Adapun tahapan yang dilakukan meliputi: a. Pengumpulan sumber data/informasi, dilakukan bekerja sama dengan instansi sektoral terkait. b. Pengelolaan Basis Data meliputi: i.
Klasifikasi data satelit Landsat untuk menghasilkan informasi spasial liputan lahan.
ii. Digitasi, dilakukan terhadap peta-peta sektoral yang masih dalam bentuk cetakan atau hard copy. Digitasi dilakukan untuk memindahkan data dari peta hard copy ke dalam bentuk peta digital. Proses digitasi dilakukan pada skala 1:250.000, setelah sebelumnya dilakukan proses scanning dan registrasi koordinat sehingga peta yang dihasilkan mempunyai referensi geospasial yang sesuai. iii. Penyamaan Sistem Proyeksi dilakukan dengan transformasi koordinat dari sistem proyeksi yang bermacam-macam ke dalam sistem proyeksi baku dengan mengikuti standar yang berlaku secara nasional yaitu dengan menggunakan Universal Transverse Mercator dan datum WGS84. iv. Penyamaan skala, Peta masukan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah petapeta sektoral yang memiliki berbagai skala yang disesuaikan dengan keperluan pada masing-masing sektor. Untuk proses analisis data spasial diperlukan penyamaan skala sebelum peta-peta tersebut diintegrasikan, metode penyamaan skala yang digunakan adalah generalisasi. v. Pembangunan/pembuatan topologi basis data.
93
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
vi. Analisis data-data spasial dilakukan dengan teknik overlay merupakan teknik yang digunakan untuk mengintegrasikan data-data spasial yang memiliki bentuk dan jenis yang bermacam-macam sehingga didapatkan analisis secara terintegrasi. vii. Pengembangan dan pengelolaan basis data spasial, teknis penyimpanan dengan teknologi basis data SIG. Peta hasil analisis disimpan dalam sistem geodata base yang menggunakan sistem klasifikasi dan kodifikasi unsur yang baku secara nasional. Hal ini dilakukan untuk mereduksi tingkat redundancy dan duplikasi.
Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup kegiatan meliputi update peta spasial sektor untuk seluruh Provinsi Kalimantan Selatan dan sinkronisasi satu dengan lainnya dengan melibatkan wali data masingmasing (LAPAN, BPN, ESDM, Kementan, Kemenhut, BIG, Transmigrasi, Kemdagri/ Bappeda). Tahapan tersebut dimaksudkan untuk memastikan ketersediaan data dan informasi yang terintegrasi, berkualitas, menggunakan standar yang ditetapkan Kementerian/Lembaga, dan SNI. Informasi penutup lahan yang menggunakan standar penutup lahan SNI 196728.32002 dan SNI 7645:2010. Sementara peta kawasan mengacu pada UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Peta batas wilayah mengacu pada peta BIG tahun 2009, peta transmigrasi mengacu pada UU 29 Tahun 2009, dan peta RTRW provinsi mengacu pada UU 26 Tahun 2007. Data Spatial
Informasi spasial Gap Analysis 1
1
Penutup Lahan
CITRA SATELIT
1
1.
Status Tanah
2
3.
PETA TOPOGRAFI
Kawasan Hutan dan
Pata RBI, Skala 1: 250.000 S
b
BAKOSURTANAL
3 Peta Overlay Kawasan Hutan dengan StatusTanah
V
2
Peta Overlay 3 kawasan hutan dengan RTRWP/RTRWK
VS
2
Sumber :
3
1
Sumber : 2.
Peta Dasar
VS 3 Peta Overlay Kawasan Hutan dengan Penutup Lahan,
Ijin
Kehutanan
3
Sumber :
4
Gap Analysis 2 Peta Overlay
Peta Kawasan Hutan dan Perairan
4
Peta RTRWP/ RTRWK
Kawasan hutan, PenutupLahan, Status 4
1
2
3
4
Sumber : Bappeda Propinsi,
Peta RTRWP dan RTRWK
Gambar 1 Diagram alir pelaksanaan kegiatan analisis kawasan hutan untuk identifikasi potensi konflik di Kalimantan Selatan
94
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara geografis provinsi Kalimantan Selatan berada pada posisi 114°19’ 13’’–116°33’ 28’‘BT dan 1° 21’ 49’’–4°10’ 14’‘ LS dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah barat : Provinsi Kalimantan Tengah Sebelah timur : Selat Makassar Sebelah selatan : Laut Jawa Sebelah utara : Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur Luas wilayah daratan : 37.530 Km2 Luas wilayah lautan : 12.348 Km2 Ketinggian wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar berada pada kelas ketinggian 25–100 m di atas permukaan laut yakni 31,29%. Bentuk geologi wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar berupa Aluvium Muda dan Formasi Berai. Wilayah Kalimantan Selatan banyak dialiri sungai, umumnya sungai-sungai tersebut berhulu pada pegunungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa dan Selat Makasar. Potensi wilayah Kalimantan Selatan yang sangat besar dapat dilihat dari beberapa informasi spasial berikut ini, Kawasan Hutan, tergambar dari pola tutupan lahan yang diekstrak dari data Landsat 8 tahun 2010 dan di-overlay dengan informasi spasial kawasan hutan dan kelas lereng lahan menghasilkan informasi penutup/penggunaan lahan seperti Tabel 1. Tabel 1 Informasi penutup/penggunaan lahan Kalimantan Selatan tahun 2013 DALAM KAWASAN HUTAN
TUTUPAN LAHAN
HL
HK
Hutan Primer
253.618
Hutan Sekunder Kebun Campuran
HUTAN PRODUKSI (HP) > 40%
25–40%
15–25%
8–15 %
2–8%
<2%
Total HP
17.665
16.090
40.849
37.115
30.318
25.165
185
149.722
80.972
17.059
5.330
37.535
40.396
41.290
43.681
8.659
176.891
12.405
6.065
238
3.987
3.899
10.179
42.568
12.850
73.721
Mangrove
-
41.213
-
0,7
0,7
55
2.179
4.572
6.807,4
Perkebunan
26.490
4.930
619
8.440
8.609
15.988
129.752
71.183
234.591
Permukiman
1.929
590
-
127
199
476
12.113
14.098
27.013
Rawa
962
3.669
-
-
-
20
925
47.803
48.748
Sawah
4.603
939
-
-
-
-
245
20.622
20.867
Semak/Belukar
99.561
11.592
2.802
29.901
32.108
48.021
173.097
110.002
395.931
-
6.694
-
-
-
-
11
223
234
Tambak/ Empang Tanah Terbuka
6.396
3.518
163
357
302
3.066
17.800
21.445
43.133
Tegalan/Ladang
1.673
717
19
702
726
1.457
14.983
13.278
31.165
Tubuh Air
2.291
4.277
-
-
-
0
74
1.077
1.151
TOTAL
490.900
118.928
25.261
121.898
123.354
150.870
462.593
325.997
1.209.974
GRAND TOTAL
1.819.802,40
95
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
3.1 Kawasan Hutan vs Tutupan Lahan (Land Use Existing) Overlay penutup lahan dengan peta kawasan hutan menunjukkan bahwa kawasan hutan masih didominasi oleh penutup hutan seluas 695.927 Ha (38,2%), berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 terlihat bahwa peta kawasan hutan ternyata terdapat masalah karena di dalamnya banyak terdapat lahan yang dikelola masyarakat seperti perkebunan, permukiman, sawah, tambak/empang, dan tegalan/ladang. Dalam kawasan hutan terdapat kebun seluas 92.191 Ha (5,1%), perkebunan 266.011 Ha (14,6%), 26.490 Ha di antaranya ada dalam kawasan lindung. Selain itu, dalam kawasan hutan juga terdapat permukiman 29.532 Ha (1,6%) 1.929 Ha di antaranya ada dalam kawasan lindung, sawah 26.409 Ha (1,5%) 4.603 Ha di antaranya ada dalam kawasan lindung, tambak/empang seluas 6.928 Ha (0,4%), dan tegalan/ladang 33.555 Ha (1,8%) 1.673 Ha di antaranya ada dalam kawasan lindung sebagaimana disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Keberadaan perkebunan dalam kawasan hutan di antaranya diduga diakibatkan adanya izin lokasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (Bupati) yang tumpang-tindih dengan kawasan hutan. Kemungkinan lain karena adanya perambahan kawasan yang dilakukan oleh pihak perkebunan. Keberadaan permukiman khususnya permukiman transmigrasi, diduga disebabkan penggunaan untuk transmigrasi ini tanpa melalui pelepasan kawasan hutan. Untuk keberadaan permukiman nontransmigrasi, daerah persawahan, dan budidaya lainnya harus dilakukan penelusuran secara lebih mendalam mana yang lebih dulu ada. Jika permukiman dan budidaya lainnya itu ada lebih dulu dibandingkan dengan penetapannya sebagai kawasan maka pemerintah mestinya dapat melepaskannya dari kawasan atau memberikan lokasi pengganti, tetapi bila penetapan kawasan hutan lebih dulu dari keberadaan permukiman maka harus dicarikan jalan keluar yang bijaksana.
Gambar 2 Diagram hasil overlay peta kawasan dengan peta tutupan lahan
96
Gambar 3 Informasi spasial hasil overlay peta kawasan dengan peta tutupan lahan
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
3.2 Kawasan Hutan vs Izin Status Tanah Analisis peta kawasan dengan peta status tanah (Hak Guna Usaha/HGU), terlihat bahwa terdapat pemberian HGU di dalam kawasan hutan hingga seluas 15.318 Ha, 39% di antaranya terdapat di dalam HP, 28% di dalam HPT, 28% di dalam HL, dan 5% di antaranya terdapat di dalam KSA/KPA, sedangkan di dalam HPK tidak ada pemberian HGU. Selengkapnya disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 4
Diagram hasil overlay peta kawasan dengan peta status tanah
Gambar 5
Informasi spasial hasil overlay peta kawasan dengan peta status tanah
a. Kawasan Hutan vs Izin Pengusahaan Hutan Hasil overlay menunjukkan bahwa pemberian izin pengusahaan hutan (HPH maupun HTI) sebagian besar memang ada di area hutan produksi (HPT, HP, dan HPK). Sementara itu, tampak juga bahwa sekitar 20.000 Ha HTI dan sekitar 35.000 Ha HPH ada dalam kawasan lindung dan 1.147 Ha dan 126 Ha HTI lainnya ada dalam kawasan KSA/KPA. Grafik dan gambar hasil overlay-nya disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7.
97
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 6 Diagram hasil overlay peta Gambar 7 Informasi spasial hasil overlay kawasan dengan izin peta kawasan dengan izin pengusahaan hutan pengusahaan hutan b. Kawasan Hutan vs Usulan RTRW Provinsi Usulan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan telah mengalokasikan rencana pemanfaatan ruang, antara lain untuk kawasan hutan (HL, HPT, HP, dan HPK), kawasan perindustrian, permukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, pertambangan batubara, dan lain sebagainya. Penempatan kawasan-kawasan tersebut beberapa di antaranya terdapat di dalam lokasi yang saat ini statusnya masih kawasan hutan. Salah satu di antaranya adalah penempatan kawasan perindustrian seluas 298 Ha pada KSA/KPA dan seluas 377 Ha pada HPK, kawasan permukiman seluas 4.672 Ha yang tersebar pada seluruh jenis kawasan hutan, dan 1.519 Ha kawasan pertambangan pada Hutan Lindung. Selengkapnya disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9. Untuk proses legalisasi perlu dilakukan upaya paduserasi atas permohonan perubahan status Kawasan Hutan, antara RTRWP dengan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan).
98
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 8 Diagram hasil overlay peta kawasan dengan rencana tata ruang wilayah
Gambar 9 Informasi spasial hasil overlay peta kawasan dengan rencana tata ruang wilayah
e. Kawasan Hutan vs Izin Pertambangan Izin usaha pertambangan (eksplorasi dan ekploitasi) yang terdapat di dalam kawasan hutan Provinsi Kalimantan Selatan terbesar adalah untuk kegiatan eksplorasi minerba dengan total luas sebesar 335.879,60 Ha (38,32%) dan diikuti oleh kegiatan eksplorasi migas seluas 303.082,86 Ha (34,58%). Izin terbesar berada di dalam kawasan HP, yaitu seluas 405.324,35 Ha atau sekitar 46,25% dari luas total kawasan hutan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan dan juga terdapat di kawasan lindung sebesar 227.242,83 Ha, atau sekitar 25,93% dari luas total kawasan hutan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan (Gambar 10). Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan), jika lokasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tambang berada di dalam kawasan HL dan HP), maka harus dilakukan alih fungsi atau pinjam-pakai terlebih dahulu. Namun apabila lokasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi berupa kawasan hutan konservasi (KSA/KPA), maka tidak dapat dilakukan kegiatan penambangan. Pada kenyataannya, di Provinsi Kalimantan Selatan masih terdapat sekitar 47,895.27 Ha luas KSA/KPA yang menjadi lahan kegiatan pertambangan (eksplorasi dan eksploitasi) minerba dan migas (5,46% dari luas total kawasan hutan Provinsi Kalimantan Selatan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan).
99
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 10 Diagram hasil overlay peta kawasan dengan izin pertambangan f. Kawasan Hutan vs Kawasan Transmigrasi Luas total peruntukan kawasan transmigrasi yang berada di dalam kawasan hutan Provinsi Kalimantan Selatan saat ini adalah sebesar 36.580 Ha. Sementara rencana peruntukan kawasan transmigrasi di dalam kawasan hutan adalah seluas 127.357 Ha. Penambahan luas kawasan transmigrasi sebesar 90.777 Ha pada rencana pengembangan kawasan transmigrasi tersebut lebih banyak dialokasikan pada kawasan HL dan HP. Luas eksisting kawasan transmigrasi yang terbesar saat ini terdapat pada kawasan HP, yaitu seluas 24.432 Ha atau sekitar 66,79% dari luas kawasan hutan (Gambar 11 dan Gambar 12). Sementara dalam usulan rencana pengembangan kawasan transmigrasi, peruntukan terbesar direncanakan di dalam kawasan HL, yaitu seluas 55.324 Ha atau sebesar 43,44% dari luas total kawasan hutan.
Gambar 11 Diagram hasil overlay peta kawasan dengan kawasan transmigrasi
100
Gambar 12 Informasi spasial hasil overlay peta kawasan dengan kawasan transmigrasi
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Rencana peruntukan pengembangan kawasan transmigrasi di dalam kawasan HL ini harus dipertimbangkan kembali agar dapat dialihkan ke dalam fungsi kawasan hutan lainnya yang lebih memungkinkan untuk mengurangi risiko dampak lingkungan. Diharapkan lokasi transmigrasi yang sudah dihuni dan berada di Kawasan Hutan dapat dikeluarkan (bila berada lokasi di pinggir) atau di enclave (apabila lokasi transmigrasi terletak di tengah kawasan hutan). g. Kawasan Hutan vs Kawasan Pertanian Dari total luas kawasan hutan Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 1.715.096,20 Ha, kawasan hutan yang dipergunakan sebagai kawasan pertanian adalah sebesar 1.709.977 Ha atau hampir 90% dari total luas kawasan hutan dengan peruntukan terbesar adalah fungsi hutan, yaitu sebesar 805.139 Ha atau sekitar 47,08% dari luas peruntukan kawasan pertanian seluruhnya di dalam kawasan hutan (Gambar 13). Sementara itu, peruntukan fungsi tanaman tahunan dalam kawasan hutan, terdapat seluas 425.509 Ha atau sekitar 24,88% dari luas peruntukan kawasan pertanian seluruhnya di dalam kawasan hutan.
Gambar 13 Diagram hasil overlay peta kawasan dengan kawasan pertanian h. Izin Pengusahaan Hutan vs Status Tanah Banyak terjadi tumpang-tindih perizinan antara Izin Pengusahaan Hutan (HPH dan HTI) dengan Izin Status Tanah (HGU). Total luas tumpang-tindih perizinan antara izin pengusahaan hutan dengan status tanah adalah 16.725 Ha. Dari total luas yang tumpang-tindih dengan status tanah (HGU) tersebut, luasan izin pengusahaan hutan untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah 2.644 Ha (16,15%), sedangkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah 13.725 Ha (83,85%) (Gambar 14 dan Gambar 15). Dari luasan kawasan izin pengusahaan hutan yang tumpang-tindih dengan HGU, kawasan yang diberikan izin HTI lebih luas tumpangtindihnya dibandingkan dengan izin HPH.
101
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 14 Diagram hasil overlay izin Gambar 15 Informasi spasial hasil overlay pengusahaan hutan dengan izin pengusahaan hutan dengan status tanah status tanah i. Izin Pengusahaan Hutan vs Izin Kawasan Transmigrasi Lokasi eksisting transmigrasi yang berada di kawasan dengan izin pengusahaan hutan seluas 53.181 ha. Dari luasan eksisting transmigrasi tersebut, sebesar 10.415 ha (19,58%) tumpangtindih dengan izin HPH dan sebesar 42.766 ha (80,42%) tumpang-tindih dengan izin HTI (Gambar 16 dan Gambar 17). Dari luasan kawasan izin pengusahaan hutan yang tumpangtindih dengan kawasan transmigrasi, kawasan yang diberikan izin HTI lebih luas tumpangtindihnya dibandingkan dengan izin HPH. Untuk lokasi rencana kawasan transmigrasi, seluas 48.088 Ha berada pada kawasan dengan izin pengusahaan hutan. Sebesar 5.689 Ha (11,83%) direncanakan sebagai lokasi transmigrasi tumpang-tindih dengan izin HPH, sedangkan seluas 42.399 Ha (88,17%) tumpang-tindih dengan izin HTI.
98
102
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 16 Diagram hasil overlay izin Gambar 17. Informasi spasial hasil overlay izin pengusahaan hutan dengan pengusahaan hutan dengan izin izin kawasan transmigrasi kawasan transmigrasi j. Izin Pengusahaan Hutan vs Izin Pertambangan Dari luasan izin pengusahaan hutan (HPH dan HTI) yang totalnya seluas 411.447 Ha terdapat beberapa izin pertambangan. Izin pertambangan tersebut terdiri dari izin eksploitasi minerba seluas 10.304 Ha (2,5%), izin eksplorasi migas dan eksploitasi minerba seluas 12.254 Ha (2,98%), izin eksplorasi migas dan minerba seluas 68.962 Ha (16,76%), izin eksplorasi migas seluas 114.475 Ha (27,82%), dan izin eksplorasi minerba seluas 205.451 Ha (49,93%) (Gambar 18). Dari total luasan izin pengusahaan untuk HPH yaitu 160.556 Ha, tumpangtindih dengan izin pertambangan yang paling luas adalah izin eksplorasi minerba yaitu seluas 70.650 Ha (44%). Begitu juga dengan total luasan izin pengusahaan untuk HTI yang seluas 250.890 Ha tumpang-tindihnya terbesar adalah dengan izin pertambangan eksplorasi minerba yaitu 134.802 Ha (53,73%).
Gambar 18 Diagram hasil overlay izin pengusahaan hutan dengan izin pertambangan
103
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
k. Status Tanah vs Kuasa Pertambangan Dari hasil overlay status tanah (HGU) dengan kuasa pertambangan, terdapat tumpangtindih antara luasan total HGU yang 28.201 Ha dengan beberapa kuasa pertambangan, yaitu dengan rinciannya seluas 193 Ha adalah eksploitasi minerba, seluas 108 Ha adalah eksplorasi migas dan eksploitasi minerba, seluas 1.341 Ha adalah eksplorasi migas dan eksplorasi minerba, seluas 11,265 Ha adalah eksplorasi migas, serta seluas 15.294 Ha adalah eksplorasi minerba (Gambar 19 dan Gambar 20). Urutan tumpang-tindih dari yang terbesar sampai yang terkecil antara status tanah dengan kuasa pertambangan adalah eksplorasi minerba (54,23%), eksplorasi migas (39,94%), eksplorasi migas dan eksplorasi minerba (4,76%), eksploitasi minerba (0,68%), serta eksploitasi migas dan eksplorasi minerba (0,38%).
Gambar 19 Diagram hasil overlay status tanah dengan izin kuasa pertambangan
Gambar 20 Informasi spasial hasil overlay status tanah dengan izin kuasa pertambangan
4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa model teknik overlay beberapa informasi spasial ini dapat digunakan untuk mengetahui kesenjangan spasial yang berpotensi menjadi sumber konflik pemanfaatan ruang dalam masyarakat. Hasil analisis menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Selatan banyak terjadi potensi konflik pemanfaatan ruang di mana dalam kawasan hutan terdapat perkebunan, permukiman, sawah, ladang/tegalan, dan tambak/empang. Selain itu, dalam kawasan hutan khususnya hutan lindung dan hutan konservasi juga terdapat beberapa izin penggunaan lahan (HGU), izin pengusahaan hutan, izin usaha pertambangan, rencana pengembangan kawasan transmigrasi, tumpeng-tindih izin pengusahaan hutan dengan HGU, pertambangan maupun dengan izin kawasan transmigrasi. Dalam RTRW juga terdapat usulan kawasan perindustrian dan permukiman dalam kawasan konservasi dan kawasan pertambangan pada kawasan lindung. 104
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Melihat cukup banyaknya terjadi potensi kesenjangan spasial tersebut perlu dilakukan upaya evaluasi dan sinkronisasi data-data spasial dan rencana yang sudah ada hingga saat ini.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Wawan K. Harsanugraha dan Dr. Dede Dirgahayu atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan selama penulisan makalah ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Kepala Kelompok Peneliti yang telah memfasilitasi serta teman-teman peneliti di kementerian dan lembaga terkait yang telah bekerja sama dalam meng-update informasi spasial yang ada dan atas masukan dan saran pada pelaksanaan penelitian maupun penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA Ali S. Alam, J. Jompa, S. Ilyas. 2008. Analisis Pemanfaatan Ruang dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Pasi, Kabupaten Selayar). Laporan Hasil Penelitian. Barus B., U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi, Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2002. Standar Nasional Indonesia SNI 19-6728.32002: Penyusunan Neraca Sumberdaya Lahan. Bagian 3 Sumberdaya Lahan Spasial. ICS 13.060.10. Jakarta. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2010. Standar Nasional Indonesia SNI 7645/2010: Klasifikasi Penutup Lahan. ICS 07.040. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Direktorat Pembinaan Penataan Ruang Daerah Wilayah I Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. 2014. Potensi Konflik Penataan Ruang dan Rekomendasi Penyelesaian Konflik Pemanfaatan Ruang. FGD Identifikasi Konflik Penataan Ruang dan Rekomendasi Penyelesaian Konflik Pemanfaatan Ruang dalam Rangka Percepatan Pembangunan Sektor Riil dan Infrastruktur di Indonesia. Solo. Edison N.B. 2009. Diskusi Panel Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan. tanggal 20 Agustus di Jakarta. www.id.scribd.com/doc/231499663/ Potensi-Konflik-Penataan-Ruang. Junaidi. 2014. Faktor-faktor yang Menyebabkan Konflik Guna Lahan di Kecamatan Karangsambung, Kabupaten Kebumen. Tesis Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD). Yogyakarta (ID): Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada. Kementerian Pekerjaan Umum. 2009. Penataan Ruang, Solusi Mengatasi Konflik Pemanfaatan Ruang. Kementerian PEkerjaan Umum. Jakarta. Nursa’ban, M. 2007. Meminimalisir Konflik Tata Ruang Daerah Melalui Informasi Spasial. Yogyakarta (ID): Jurusan Pendidikan Geografi FISE Universitas Negeri Yogyakarta. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 9 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan. 105
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Simanjuntak. 2013. Perencanaan Tata Ruang Berpotensi Ciptakan Konfklik Ruang di Berbagai Daerah. http://www.beritarayaonline.com/2013/11/. Diakses 6 September 2015. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4. Undang-Undang No. 26 Tahun 2009 tentang Tata Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 131. Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149. Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan. Wang F. 1991. Integrating GIS’s and Remote sensing image analysis systems by unifying knowledge representation schemes. IEEE Trans. On Geosci. and Remote Sensing 29(4): 192–201.
106
8
ANALISIS PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DAERAH TANGKAPAN AIR SINGKARAK, SUMATERA BARAT, 2000–2011 DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAJA OPTIK Ita Carolita, Heru Noviar, Gagat Nugroho Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRACT There are 15 lakes in Indonesia as the priority and require follow-up of the government’s for recovery. One lake is currently very poor condition and became one of the government’s priority is Lake Singkarak in West Sumatra. Problems that occur in Lake Singkarak West Sumatra today is the poor ability of the land to keep water so that the run off there became higher. This study has aims to monitor the changes in land use and the impact on the water catchment area using satellite data. The method used are classification to map the land coverm and Rational Method to estimate the run off. The data used are Landsat TM data year 2000 and 2011 as well as SPOT data and other supporting data. The results of study showed that in general in Singkarak catchment area the coefficient of runoff is relatively increased in 2011 compared to 2000. This is due to the increase of residential area and open lands, as well as the decrease of primary forest. Keywords: run off, Rational Method, run off coefficient
ABSTRAK Ada 15 danau di Indonesia yang menjadi prioritas dan membutuhkan tindak lanjut dari pemerintah untuk pemulihannya. Salah satu danau yang saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan menjadi salah satu prioritas pemerintah adalah Danau Singkarak di Sumatera Barat. Masalah yang terjadi di Danau Singkarak, Sumatera Barat saat ini adalah rendahnya kemampuan lahan menyimpan air sehingga aliran air permukaan menjadi lebih tinggi. Kajian ini bertujuan memantau perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap debit DTA (Daerah Tangkapan Air) dengan menggunakan data penginderaan jauh. Metode
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
yang digunakan adalah klasifikasi penutup lahan untuk memetakan penutup lahan dan Metode Rasional untuk menghitung besarnya aliran permukaan. Data yang digunakan adalah tahun 2000 Landsat TM dan 2011 data SPOT serta data pendukung lainnya. Dari hasil kajian diperoleh bahwa di DTA Singkarak pada umumnya koefisien aliran permukaan relatif meningkat pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2000. Ini disebabkan adanya peningkatan penutup lahan permukiman dan lahan terbuka, serta adanya penurunan luasan hutan primer. Kata kunci: Aliran Permukaan, Metoda Rasional, Koefisien Aliran Permukaan
1. PENDAHULUAN Degradasi DTA telah banyak menimbulkan masalah terhadap kualitas danau-danau di wilayah Indonesia. Seperti pendangkalan dan penyusutan luas danau, penurunan kualitas air danau dan turunnya produktivitas perikanan yang berakibat terhadap turunnya pendapatan masyarakat di sekitar danau. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan agar proses degradasi DTA tidak berlanjut terus dan upaya pemulihan kualitas danau sehingga danau-danau tersebut dapat tetap lestari dan dapat dimanfaatkan oleh masyakat sekitar. Ada 15 danau yang menjadi prioritas dan membutuhkan tindak lanjut dari pemerintah untuk pemulihannya (Suwanto 2011). Beberapa danau mempunyai masalah dalam tingkat kebersihan dan tingginya perkembangbiakan eceng gondok yang menutupi perairan sehingga diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki kualitas airnya. Beberapa lainnya mempunyai masalah dengan tingkat sedimentasi yang tinggi dari bagian hulu sungai sehingga mengakibatkan terjadinya pendangkalan danau. Ada pula danau yang memerlukan komitmen pemerintah dalam pengawasan dan penjagaan kelestariannya (Suwanto 2011). Salah satu danau yang saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan menjadi salah satu prioritas pemerintah adalah Danau Singkarak di Sumatera Barat. Masalah yang terjadi di Danau Singkarak, Sumatera Barat saat ini adalah rendahnya kemampuan lahan menyimpan air sehingga aliran air permukaan menjadi lebih tinggi. Hal ini disebabkan banyak terjadi eksploitasi hutan yang dilakukan oleh penduduk (Suwanto 2011). Menurut Bapeda (2000), jumlah peladang berpindah di daerah tampungan air Danau Singkarak berjumlah sekitar 4.559 kepala keluarga dengan total luas ladang berpindah sekitar 10.624 Ha. Pengaruh langsung dari berkurangnya tutupan hutan yang dirasakan oleh berbagai pihak adalah melimpahnya persediaan air dan meningkatnya risiko banjir di musim hujan serta menyusutnya persediaan air pada musim kemarau yang dapat meningkatkan risiko kekeringan (Boer 2004). Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kegiatan pemantauan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS dan danau telah banyak dilakukan, seperti pemantauan perubahan penutup lahan di DAS, perubahan luasan danau dan kualitas air, estimasi debit air dan erosi (Bresciani 2010; Wahyuningrum 2007). Dewasa ini perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh berjalan sangat cepat sehingga dapat menyediakan berbagai data penginderaan jauh optik dan SAR (Sinthetic Aparture Radar) dengan karakteristik resolusi spasial, temporal, dan spektral yang berbeda-beda sehingga data satelit penginderaan jauh merupakan salah satu sumber data yang paling penting dan efisien untuk pembuatan informasi spasial yang akurat, konsisten, dan aktual mengenai sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya untuk memantau perubahan yang terjadi pada suatu wilayah DAS dan DTA dari tahun ke tahun.
108
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Data satelit penginderaan jauh sangat dibutuhkan untuk menghasilkan informasi penutup lahan dan perubahan lahan yang akurat, konsisten, dan aktual untuk memantau kualitas DTA sehingga dapat diambil langkah-langkah yang tepat untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas DTA tersebut. Informasi seperti luas danau perubahan penggunaan lahan di sekitar danau, perubahan debit air, dan erosi. Informasi tersebut dapat menjadi masukan yang penting bagi pemerintah setempat untuk merencanakan pengelolaan DAS dan danau. Kajian ini bertujuan memantau perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap debit DTA dengan menggunakan data penginderaan jauh, studi kasus adalah DTA Singkarak, Sumatera Barat.
2. METODOLOGI 2.1. Area Kajian Area untuk kajian ini adalah DTA Singkarak. Danau Singkarak terbentang pada koordinat 0°37′12″LS dan 100°32′24″BT. Danau Singkarak secara administrasi berada dalam 2 (dua) wilayah kabupaten yakni Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Luas Danau Singkarak yang berada dalam wilayah Kabupaten Solok ± 6.550 Ha dan luasan kawasan danau dalam wilayah Kabupaten Tanah Datar seluas 6.420 Ha yang terbagi 1.320 Ha di Kecamatan Batipuh dan dalam Kecamatan Rambatan 5.100 Ha. Tipe iklim DTA Singkarak tergolong pada tipe B (basah), wilayah ini termasuk pada iklim tipe Afa dan Ama. Tipe Afa dicirikan dengan iklim hujan tropis dengan suhu normal diatas 22 0C, sedangkan tipe Ama dicirikan dengan iklim basah yang cukup, meskipun waktu kering terdapat kelebihan air dalam tanah dari bulan-bulan yang banyak hujan.
2.2. Metode Data primer yang digunakan untuk kegiatan ini adalah data Landsat-TM tahun 2000 dan SPOT 2011, DEM SRTM resolusi 90 m dan data curah hujan dari satelit TRMM. Sementara data sekunder dan pendukung adalahcitra ortho Landsat, Batas administrasi, data pengukuran lapangan (debit air, kualitas air), data iklim, peta jenis tanah, dan peta topografi. Metode yang digunakan untuk kajian ini seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Metode penelitian
109
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Sebelum dilakukan proses untuk mengekstraksi informasi seperti penutup/penggunaan lahan dan kualitas air, data Landsat dan SPOT terlebih dahulu dikoreksi geometrik dan radiometrik. Data yang digunakan adalah Landsat 15 Juli 2000 dan data SPOT 11 Mei 2011. Data tersebut akan digunakan untuk ekstraksi informasi kualitas air dan informasi penutup/ penggunaan lahan. Adanya perbedaan radiometrik antara Landsat dan SPOT menyebabkan kedua data tersebut harus dinormalisasi. Gambar 2 berikut adalah citra komposit RGB Landsat untuk DTA Singkarak tahun 2000 dan SPOT 2011.
Gambar 2 Citra komposit RGB DTA Singkarak tahun 2000 dan 2011 Dari data penutupan lahan ini dilakukan konversi menjadi koefisien aliran permukaan dengan menggunakan Tabel 1 berikut. Tabel 1 Nilai koefisien aliran permukaan berdasarkan penutup lahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tutupan Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Campuran Perkebunan Ladang-Tegalan Semak belukar Sawah Jalan Aspal Lahan Terbuka Permukiman
Koefisien Aliran Permukaan 0,01 0,05 0,5 0,5 0,5 0,3 0,2 0,7 0,95 0,9
Sumber: Dune dan Leopold (1978); Subarkah (1980); Wahyuningsih dan Pramono (2007)
110
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Data jenis tanah diperoleh dari Kementrian Pertanian. Gambar 3 berikut menunjukkan informasi spasial jenis tanah dan hasil konversi menjadi tingkat kecepatan inflitrasi berdasarkan jenis tanah untuk area DTA Singkarak. Selanjutnya dilakukan konversi tingkat infiltrasi menjadi nilai C (koefisien Aliran Permukaan) dengan menggunakan tabel konversi Aliran Permukaan (Sumber: Subarkah (1980)) seperti pada Tabel 2.
Gambar 3 Informasi jenis tanah dan nilai C untuk DTA Singkarak Tabel 2 Tabel koefisien aliran permukaan untuk jenis tanah No.
Keadaan daerah pengaliran (Watershed condition)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tanah berpasir dan berkerikil untuk pertanian Tanah berpasir dan berkerikil untuk rumput Tanah berpasir dan berkerikil untuk hutan Tanah berpasir dan berkerikil untuk rumput Tanah berdebu tanpa impending horizons untuk rumput Tanah berdebu tanpa impending horizons untuk hutan Tanah berpasir berat untuk pertanian Tanah berlempung berat untuk rumput Tanah berlempung berat untuk hutan
Koefisien Aliran Permukaan 0,20 0,15 0,10 0,40 0,35 0,30 0,50 0,45 0,40
Sumber: Dune dan Leopold (1978); Subarkah (1980); Wahyuningsih dan Pramono (2007)
Debit Aliran Sungai adalah volume air sungai yang mengalir dalam satuan waktu tertentu. Debit air sungai adalah tinggi permukaan air sungai yang terukur oleh alat ukur pemukaan air sungai. Pengukurannya dilakukan tiap hari atau dengan pengertian yang lain debit atau aliran sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/dt).
111
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Dalam penelitian ini digunakan Metoda Rasional (US Soil Consevation Service 1973), yakni suatu metode yang digunakan untuk memperkirakan besarnya air aliran puncak (peak run off). Metoda ini relatif mudah digunakan karena diperuntukkan pemakaian pada DAS atau DTA berukuran kecil, kurang dari 300 Ha (Goldman et al. 1986; Pitt et al. 2007). Persamaan matematik metoda rasional: Qp = 0,0028 C.ip.A (1) di mana: Qp = Air aliran (debit) puncak (m3/detik) C = Koefisien Air aliran Ip = Intensitas hujan (mm/jam) A = Luas Wilayah DAS atau DTA (ha) Intensitas hujan ditentukan dengan memperkirakan waktu konsentrasi (time of concentration, Tc) untuk DAS atau DTA bersangkutan dan menghitung intensitas hujan maksimum untuk periode berulang (return period) tertentu dan waktu hujan sama dengan Tc. Bila Tc=1 jam maka intensitas hujan terbesar yang harus digunakan adalah curah hujan 1-jam. Dalam penelitian ini dilakukan survei dan pengumpulan data sekunder. Secara terinci survei bertujuan mendapatkan data debit air, hasil pengukuran dari PU Padang, melakukan pengukuran dan pengecekan kondisi penutup lahan di sekitar Danau Singkarak, dan memperoleh data pendukung lainnya. Data I (Intensitas hujan) diperoleh dari data TRMM yang diverifikasi dengan dengan data lapangan, sedangkan data A adalah luas dari DTA. Luas DTA dibuat dengan 3 dimensi karena area DTA Singkarak slope-nya beragam.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Klasifikasi Penutup Lahan Klasifikasi penutup lahan di DTA Singkarak dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi maximum likelihood. Hasil klasifikasi kemudian diverifikasi dengan menggunakan data yang diperoleh dari lapangan. Gambar 4 berikut menunjukkan hasil klasifikasi penutup lahan untuk tahun 2000 dan 2012.
112
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 4 Citra klasifikasi penutup lahan DTA Singkarak tahun 2000 dan 2011 Dari data DEM (sumber SRTM) dilakukan pengkelasan slope lahan. Gambar 5 berikut menunjukkan informasi spasial slope dalam derajat dan dalam persen untuk area DTA Singkarak.
Gambar 5 Informasi slope dalam derajat dan persen Selanjutnya dilakukan konversi nilai slope menjadi nilai C (Koefisien Aliran Permukaan) dengan menggunakan tabel konversi Aliran Permukaan (Sumber: Dune & Leopold (1978), Subarkah (1980), dan Irfan (2010)). Gambar 6 menunjukkan informasi spasial koefisien Aliran Permukaan berdasarkan slope di DTA Singkarak. Tabel 3 adalah Tabel koefisien Aliran Permukaan berdasarkan slope.
113
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Tabel 3 Tabel koefisien aliran permukaan berdasarkan slope No 1 2 3 4 5
Slope 0–3 3–8 8–15 15–25 >25
Koefisien Aliran Permukaan 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7
Sumber: Dune dan Leopold (1978); Subarkah (1980); Wahyuningsih dan Pramono (2007)
Gambar 6 Informasi spasial slope dalam derajat dan dalam persen DTA Singkarak Data penggunaan lahan diperoleh dari klasifikasi penggunaan lahan dengan menggunakan data Landsat (Gambar 4). Gambar 7 berikut menunjukkan hasil konversi dari penggunaan lahan menjadi nilai C untuk area DTA Singkarak.
Gambar 7 Koefisien aliran permukaan untuk penggunaan lahan, tahun 2000 dan 2011 (nilai 0–1)
114
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Dari nilai C dari slope, penggunaan lahan dan jenis tanah selanjutnya dilakukan perhitungan nilai C (koefisien Aliran Permukaan) gabungan dengan merata-ratakan nilai C dari masing-masing nilai C tersebut. Gambar 8 menunjukkan nilai C rata-rata atau gabungan untuk DTA Singkarak.
Gambar 8 Koefisien aliran permukaan gabungan DTA Singkarak tahun 2000 dan 2012 Dari perhitungan debit aliran permukaan, diperoleh perbandingan debit pada tahun 2000 dan 2011 seperti pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4 Debit air pada sub-DTA Sumani, Sumpur, dan Paninggahan 2000 Nama Sungai 1. 2. 3.
Sumani Sumpur Paninggahan
Luas DTA
Length (km)
597 169,3 61,2
48,7 16,3 13,4
Tinggi Maks (m) 2577 2746 394
Tinggi Min (m) 358 410 394
Koef. Aliran Permukaan
Debit (m3/dt)
0,430 0,401 0,354
739 887 238
Tabel 5 Debit air pada sub-DTA Sumani, Sumpur, dan Paninggahan 2011 Nama Sungai 1. 2. 3.
Sumani Sumpur Paninggahan
Luas DAS
Length (km)
Tinggi Maks (m)
Tinggi Min (m)
Rata-rata Aliran Permukaan
Debit (m3/dt)
597 169,3 61,2
48,7 16,3 13,4
2577 2746 394
358 410 394
0,430 0,433 0,355
690 957 239
Dari perhitungan debit aliran permukaan pada DTA Sumani, Sumpur, dan Paninggahan terlihat bahwa pada tahun 2011 terjadi peningkatan nilai rata-rata airan permukaan di DTA Sumpur dari 0,401 menjadi 0,433 dan di DTA Paninggahan dari 0,354 menjadi 0,355. Kenaikan ini menyebabkan adanya kenaikan debit aliran permukaan pada kedua DTA tersebut, yakni dari 887 m3/detik menjadi 957 m3/detik di DTA Sumpur dan dari 238 m3/detik menjadi 239 m3/detik di DTA Paninggahan.
115
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Perubahan nilai rata-rata koefisien aliran permukaan pada setiap DTA ini disebabkan adanya perubahan penutup lahan yang pada umumnya disebabkan adanya eksploitasi hutan. Dari hasil klasifikasi penutup lahan tahun 2000 dan 2011 DTA Singkarak, Sumatera Barat, diperoleh perbandingan luasan objek penutup lahan untuk DTA Paninggahan, DTA Sumpur, dan DTA Sumani seperti pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Perbandingan luasan objek penutup lahan di sub-DTA Paninggahan, Sumpur, Sumani di Singkarak, Sumatera Barat (dalam Ha) Penutup Lahan Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Lahan Terbuka Hutan Primer Hutan Sekunder Permukiman Pertanian Lahan Basah
DTA Paninggahan 2000 375,7 290,6 248,9 4327,6 105,8 3,6 168,6 5521,1
2011 496,4 156,4 256,9 3334,3 1152,7 4,1 118,8 5519,7
DTA Sumpur 2000 1644,4 3108,8 464,4 6432,1 348,6 403,4 3761,3 16162,9
2011 3146,4 2253,6 785,3 5151,9 2643,2 394,2 1787,3 16161,8
DTA Sumani 2000 3052,7 19334,9 2295,6 14252,4 1439,9 1314,1 14643,3 57471,1
2011 8594,2 14436,4 3467,6 14076,7 2884,3 2604,9 9802,2 56809,8
Grafik pada Gambar 9, 10 dan 11 berikut menunjukkan grafik perubahan penggunaan lahan untuk daerah tangkapan air Paninggahan, Sumpur, dan Sumani.
Gambar 9 Grafik perbandingan luasan masing-masing objek penutup lahan di sub-DTA Paninggahan, Sumatera Barat (dalam Ha)
116
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Gambar 10 Grafik perbandingan luasan masing-masing objek penutup lahan di sub-DTA Sumpur, Sumatera Barat (dalam Ha)
Gambar 11 Perbandingan luasan masing-masing objek penutup lahan di sub-DTA Sumani, Sumatera Barat (dalam Ha) Dari grafik perubahan penggunaan lahan di DTA Paninggahan tampak luasan hutan menurun sekitar 1000 Ha, sedangkan luasan hutan sekunder meningkat sebesar 1000 Ha juga. Penurunan luasan hutan primer diakibatkan adanya eksploitasi hutan yang dilakukan oleh penduduk. Demikian pula dengan di DTA Sumpur terjadi penurunan luasan hutan primer. Luasan area permukiman juga terjadi peningkatan. Sementara di DTA Sumani, luasan hutan primer ini relatif tidak banyak perubahan. Adanya penurunan luasan hutan primer ini menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan lahan dalam menahan air sehingga koefisien aliran permukaan menjadi meningkat. Ini mengakibatkan debit aliran permukaan menjadi lebih tinggi pada sungainya. 117
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
4. KESIMPULAN Pendugaan debit aliran permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan data penginderaan jauh, di mana masukan data dari penginderaan jauh adalah penutup/penggunaan lahan, cutah hujan, serta slope dan ketinggian lahan. Dari hasil kajian diperoleh bahwa di DTA Singkarak, pada umumnya bahwa nilai rata-rata koefisien aliran permukaan relatif meningkat pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2000 yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai rata-rata koefisien aliran permuakaan di sub-DTA Sumpur dan DTA Paninggahan. Ini mengakibatkan debit air menjadi lebih tinggi pada sungainya. Hal ini terjadi karena adanya penurunan luasan hutan primer, di samping adanya peningkatan penutup lahan permukiman.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Wawan K. Harsanugraha yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan makalah ini dan kepada Kapusfatja yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk menyelesaikan kajian ini. Terima kasih disampaikan pula kepada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sumatera Barat yang memberikan bantuan berupa data sekunder terkait informasi tentang curah hujan dan debit air di DTA Singkarak, serta kepada rekan-rekan peneliti yang telah memberikan masukan terhadap penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Bresciani M. 2010. Water Quality by Remote Sensing Technique. Project EULAKES (European Lakes Under Enviromental Stressors). Second Year Joint European Bulletin on The 4 Lakes Health. Boer R., B. Abubakar, D. Alimin. 2004. Tantangan dan Peluang Pelaksanaan Program RUPES di Daerah Tampungan Air Danau Singkarak. Program RUPES di daerah Tampungan Air Danau Singkarak, Dampak Hiidrologis Hutan, Agroforestri, Dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia, Prosiding Lokakarya di Padang/Singkarak. Sumatera Barat. Chow V., D. Maidment, L. Mays. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hil International Edition. Singapore, 572 p. Dunne T., L.B. Leopold. 1978. Water in Environmental Planning. W.H. Freema and Company. New York. Goldman S.J, J. Katharine, T.A. Burtztynsky. 1986. Erosion and Sediment Control Handbook. Mc. Graw Hill. USA Nguyen M.H. 2011. Application USLE and GIS Tool to Predict Soil Erosion Potential and Proposal Land Cover Solutions to Reduce Soil Loss in Tay Nguyen. FIG Conference. Marrakech. Morocco. Pitt, Robert., S.E. Clarck, D.W. Lake. 2007. Condtruction Site Erosion and Sediment Controls; Planning, Design and Performance. DEStech Publications, Inc. USA Subarkah I. 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung: Idhea Dharma.
118
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Suwanto A., T.N. Harahap, H. Manurung, W.C. Rustadi, S.R. Nasution, I.N.N. Suryadiputra, I. Sualia. 2011. 15 Profil Danau Prioritas Nasional. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. Wahyuningrum N., Pramono. 2007. Aplikasi sistem informasi geografis untuk perhitungan koefision aliran permukaan di sub-DAS Ngunut I Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam I(6). Wischmeier W.H., D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. USDA Agr. Res. Serv. Handbook 537.
119