Impienunlasi
(SamufjUrijin et.dC)
IMPLEMENTASI PENGINDERAAN JAUH DAN SIG UNTUK INVENTARISASI DAERAH RAWAN BENCANA LONGSOR (PROPINSI LAMPUNG) Samsul Arifin, Ita Carolila ' ) , Ca(hol Winarso ") *) Penelili Pusbangja, LAPAN **) Penelili Bidang Penginderaan Jauh, LAPAN
/
ABSTRACT Landslide is a p h e n o m e n a of nature t h a t is very potential to cause damage and the loss h u m a n life or material, although the loss is temporarily but the degraded land in the long r u n affects the lives of the local community. Therefore, to anticipate the occurance with more casualties, t h u s a research to inventory potential landslide hazard is necessary to carry out. The implemented model to determine region of landslide hazard is Indeks Storie Model approach by implementing remote sensing data and geographic information system (GIS). Based on t h e analysis results, Lampung Province have 5 stages of landslide hazard namely : very high, high, medium low a n d very low, with result of weight values between 0.001-1.68. Generally, Lampung province is quite safe against landslide, while region predicted as landslide hazard are found in 3 district which are West Lampung Regency, Tanggamus a n d some in North Lampung Regency. ABSTRAK Longsor m e r u p a k a n s u a t u fenomena alam yang sangat potensial menimbulkan kerusakan d a n kerugian baik berupa materi m a u p u n jiwa, w a l a u p u n kerugian yang diderita sesaat, a k a n tetapi lahan yang rusak- dalam jangka panjang mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Oleh k a r e n a itu, u n t u k mengantisipasi terjadinya korban yang lebih banyak, m a k a perlu dilakukan s u a t u penelitian u n t u k menginventarisasi daerah rawan longsor p a d a s u a t u daerah. Model yang diterapkan u n t u k m e n e n t u k a n daerah rawan bencana longsor adalah pendekatan Model Indeks Storie dengan mengimplentasikan data Penginderaan J a u h dan Sistem Informasi Geografi (SIG|. Berdasarkan analisis di Propinsi Lampung terdapat 5 tingkat rawan longsor yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, r e n d a h d a n sangat r e n d a h dengan nilai kisaran hasil pembobotan a n t a r a 0,001-1,68. Secara u m u m Propinsi Lampung c u k u p a m a n terhadap longsor, sedangkan daerah yang diperkirakan rawan longsor terdapat di 3 k a b u p a t e n yaitu Kabupaten Lampung Barat, Tanggamus dan sebagian di Kabupaten Lampung Utara Kata K u n c i : Penginderaan jauh, SIG, Rawan longsor 1
PENDAHULUAN
Longsor yang akhir-akhir ini sering terjadi di beberapa daerah/lokasi di Indonesia m e r u p a k a n s u a t u bencana yang mengakibatkan kerugian c u k u p besar, baik berupa h a r t a m a u p u n jiwa. Sehingga bencana longsor ini dianggap sebagai b e n c a n a nasional yang h a r u s ditanggulangi bersama oleh seluruh rakyat Indonesia. Walaupun kerugian
yang diderita sesaat, a k a n tetapi u n t u k jangka panjang lahan yang r u s a k a k a n mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, agar kerusakan tanah, materi m a u p u n jiwa yang terjadi d a p a t ditekan m a k a perlu dilakukan suatu penelitian dengan mengiventarisasi d a e r a h a t a u lokasi yang dianggap mempunyai rawan/rentan akan bencana longsor. J i k a longsor yang a k a n terjadi telah dapat diperkirakan, m a k a dapat 77
JurnaC (Penginderaan Jauh Vot 3 !Nb. 1 Juni 2006:77-86
ditentukan kebijaksanaan penggunaan t a n a h d a n tindakan konservasi t a n a h yang diperlukan agar tidak terjadi k e r u s a k a n t a n a h d a n t a n a h dapat dipergunakan secara produktif d a n lestari. SIG merupakan suatu alat (system) b e r d a s a r k a n komputer yang mempunyai k e m a m p u a n u n t u k menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup pemasukan, manajemen d a t a (penyimpanan data d a n pemanggilan), manipulasi d a n analisis, d a n pengembangan produk d a n pencetakan yang didukung oleh pemakai d a n organisasinya serta data yang digunakan. Dengan mengimplementasikan d a t a Penginderaan J a u h d a n SIG mengg u n a k a n model Indeks Storie, m a k a prediksi rawan b e n c a n a longsor p a d a s u a t u lokasi tertentu dapat ditentukan, k a r e n a model Indeks Storie m e r u p a k a n fungsi dari beberapa parameter yang terdiri dari faktor-faktor penyebab longsor a n t a r a lain iklim (curah hujan), topografi (kemiringan dan panjang lereng), vegetasi (penggunaan lahan), t a n a h (jenis tanah) d a n faktor tindakan konservasi (pengelolahan tanah) dan faktor-faktor lain (geomorfogi/bentuk lahan, litologi, tekstur tanah, kelembaban tanah, geologi). Penelitian ini bertujuan u n t u k menginventarisasi daerah rawan bencana longsor, dengan menggunakan implementtasi data penginderaan j a u h dan SIG.
Persamaan di atas mengandung d u a jenis peubah, yaitu (1) faktor-faktor yang dapat dirubah oleh m a n u s i a seperti t u m b u h - t u m b u h a n yang t u m b u h di a t a s t a n a h (v), sebagian sifat-sifat t a n a h (t), yaitu k e s u b u r a n tanah, ketahanan agregat dan kapasitas infiltrasi, d a n s a t u u n s u r topografi (r) yaitu panjang lereng, d a n (2) faktorfaktor yang tidak dapat dirubah oleh m a n u s i a seperti iklim (i), tipe t a n a h dan kecuraman lereng (Arsyad, 1989).
2
2.2.1 Iklim
METODOLOGI
2.1 Studi Area Penelitian ini dilakukan di daerah Provinsi Lampung. Pemilihan daerah penelitian karena daerah tersebut memiliki beragam bentuk topografi d a n banyak terjadi adanya konversi lahan. 2.2 Identifikasi Parameter Longsor Longsor (landslide) m e r u p a k a n s u a t u b e n t u k pergerakan t a n a h yang pengangkutan atau pemindahan t a n a h n y a terjadi p a d a s u a t u saat dalam volume yang besar. Longsor mempunyai 78
perbedaan dengan bentuk-bentuk erosi yang lainnya, dimana p a d a longsor pengangkutan t a n a h terjadi sekaligus. Longsor terjadi sebagai akibat meluncurnya s u a t u volume t a n a h di a t a s s u a t u lapisan agak kedap air yang j e n u h air. Lapisan itu terdiri dari Hat a t a u m e n g a n d u n g kadar Hat tinggi yang setelah j e n u h air berlaku sebagai peluncur. Parameter-parameter longsor dapat diidentifikasi akibat dari interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi t a n a h d a n m a n u s i a sebagai berikut L=f(i, r, v, t, m)
(2-1)
dengan L : rawan longsor i : iklim r : topografi v : tumbuh-tumbuhan t: : t a n a h m: m a n u s i a
Di daerah beriklim basah, seperti Indonesia, faktor iklim yang mempengaruhi longsor adalah hujan. Besarnya c u r a h hujan, intensitas dan distribusi hujan m e n e n t u k a n k e k u a t a n dispersi hujan terhadap tanah, j u m l a h dan kecepatan aliran permukaan dan k e r u s a k a n longsor (Barus, 1999). 2.2.2 Topografi, geomorfologi, litologi Kemiringan dan panjang adalah d u a u n s u r topografi yang berpengaruh terhadap longsor. lain yang mungkin berpengaruh
lereng paling Unsur adalah
ImpCmentasi $tnginderaan 'Jauk dan SIQ
konfigurasi, keseragaman dan a r a h lereng. Makin c u r a m lereng, makin besar kemungkinan gerakan t a n a h dari atas ke bawah lereng. Unit bentuk lahan mempunyai kelas paling banyak sehingga variasi nilai longsoran paling besar. Secara u m u m nilai longsoran b e n t u k lahan lebih tinggi dibandingkan faktor lain. Hal ini menunjukkan bahwa pengelompokan unit berdasarkan bentuk lahan berpengaruh paling nyata terhadap variasi kemunculan longsor. Terrain yang paling tinggi kerapatan longsornya adalah kaki lereng bergelombang yang tertoreh moderat d a n yang tertoreh kuat, d a t a r a n vulkan pada lereng a t a s , serta sisi lereng lembah d a n punggung vulkanik. Longsoran tipe debris aualance u m u m n y a terjadi di lereng curam, sedangkan tipe rotational/ slump umumnya muncul di lereng landaicuram. H u b u n g a n litologi dengan longsor terlihat jelas a n t a r a lain yaitu bahan sedimen tersier dari kombinasi pasir dan liat memberikan intensitas longsoran paling tinggi, diikuti oleh b a h a n piroklastik lepas (Barus, 1999). 2 . 2 . 3 Penggunaan lahan/vegetasi Faktor vegetasi berpengaruh t e r h a d a p longsor mclalui pengaruh a k a r d a n kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas s t r u k t u r d a n porositas tanah, d a n transpirasi yang mengakibatkan k a n d u n g a n air tanah berkurang. S u a t u vegetasi p e n u t u p tanah yang baik seperti r u m p u t yang tebal a t a u rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi t e r h a d a p longsor. Oleh karena k e b u t u h a n m a n u s i a a k a n pangan, sandang dan pemukiman s e m u a t a n a h tidak dapat dibiarkan tertutup h u t a n d a n p a d a n g r u m p u t . Tetapi meskipun dalam usaha pertanian, jenis tanaman yang diusahakan m e m a i n k a n p e r a n a n penting dalam pencegahan longsor (Arsyad, 1989).
(SamsulArifin tl.aC)
2 . 2 . 4 Tanah (jenis tanah, kelembaban tanah, kandungan liat) Faktor tipe t a n a h mempunyai kepekaan terhadap longsor yang berbedabeda. Kepekaan longsor t a n a h yaitu m u d a h a t a u tidaknya t a n a h longsor adalah fungsi berbagai interaksi sifatsifat fisik dan kimia t a n a h . Sifat-sifat t a n a h yang mempengaruhi kepekaan longsor, adalah {1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas d a n kapasitas m e n a h a n air d a n (2) sifatsifat tanah yang mempengaruhi ketahanan s t r u k t u r t a n a h terhadap dispersi d a n pengikisan oleh butir-butir hujan yang j a t u h d a n aliran p e r m u k a a n . Adapun sifat-sifat tanah yang mempengaruhi longsor adalah (a) tekstur, (b) struktur, (c) b a h a n organik, (d) kedalaman. (e) sifat lapis a r. t a n a h , d a n (f) tingkat k e s u b u r a n tanah. Seperti yang diuraikan di atas bahwa longsor dipengaruhi oleh jenis t a n a h dengan melihat kepekaannya t e r h a d a p erosi. Hasil penelitian Coster (1938) dalam Arsyad (1989) menunjukkan bahwa tanah Regosol dari b a h a n Volkan dan t a n a h Grumusol dari b a h a n induk Mergel merupakan t a n a h yang sangat peka erosi bila dibandingkan dengan t a n a h Andosol a t a u Latosol yang terbentuk dari b a t u a n Volkan. Liat Montmorillonit lebih p e k a t e r h a d a p erosi dibandingkan liat illit d a n kaolinit. Tanah lateritik yang mengandung seskuioksida tinggi d a n silika yang r e n d a h m e m b e n t u k agregat yang stabil d a n tahan terhadap erosi. Tingkat perkembangan tanah berpengaruh nyata t e r h a d a p longsoran. Tanah sudah berkembang atau berkembang seperti typic Hapludults dan rypic Hapludalfs memberikan longsoran yang tinggi, sedangkan pada t a n a h yang m u d a sedikit dijumpai longsoran. Bidang luncur longsoran u m u m n y a terdapat dilapisan B d a n / a t a u a n t a r a C d a n R (Barus, 1999).
79
Juma[(PenginderaanJauH'Vo[.3 No. 1 Juni 2006:77-86
2 . 2 . 5 Pengolahan lahan Faktor m a n u s i a yang paling menentukan apakah tanah yang d i u s a h a k a n n y a a k a n r u s a k d a n tidak produktif a t a u menjadi baik dan produktif secara lestari. Perubahanperubahan yang dilakukan oleh m a n u s i a terhadap penggunaan lahan tentu a k a n berdampak p a d a longsor dan lingkungannya (Kartasapurtro, 1991). 2 . 3 Ekstrasi Informasi Data Inderaja Data penginderaan j a u h , merupak a n s u a t u d a t a yang m a m p u memberikan informasi terbaru d a n ketelitian yang tinggi. Oleh karena itu, data inderaja dapat diektrasi untuk keperluankeperluan penelitian yang d i b u t u h k a n p a d a saat yang lampau, sekarang d a n yang a k a n datang. Untuk keperluan penelitian inventarisasi daerah rawan longsor data dapat diekstrasi menjadi peta penggunaan lahan, peta geomorfologi d a n peta kelembaban l a h a n / t a n a h . 2.3.1 Peta penggunaan lahan Peta penggunaan lahan dapat diperoleh dari klasifikasi d a t a satelit Landsat. Metode klasifikasi yang a k a n
digunakan metode klasifikasi terawasi [supervised) dengan strategi klasifikasi Maximum Likelihood. Untuk mengetahui tingkat keterpisahan training sample digunakan uji training sample yaitu Transformasi Divergensi, sedangkan tingkat ketelitian p e m e t a a n digunakan uji confusion matrix hasil klasifikasi dengan refrensi yang dianggap benar dalam hal ini peta penggunaan lahan (Bakosurtanal, BPN) d a n hasil cek lapangan. Selanjutnya dilakukan editing d a n filtering terhadap hasil klasifikasi agar peta yang dihasilkan m e m e n u h i syarat kartografis (luas minimum u n i t peta). 2.4 SIG dan Penentuan Rawan Bencana Longsor Seperti yang telah diungkapkan dalam pendahuluan bahwa SIG merupakan s u a t u sistem yang mempunyai k e m a m p u a n analisis terhadap data spasial u n t u k keperluan manipulasi m a u p u n permodelan. Fungsi analisis ini dijalankan memakai d a t a spasial d a n data atribut dalam SIG u n t u k menjawab berbagai pertanyaan yang dikembangkan dari d a t a yang a d a menjadi s u a t u
Gambar 2 - 1 : Diagram alir metodologi 80
Imptemtntan tPtngintferdan 'Jauh dan SIQ (S&mstrffltifin
persoalan yang relevan. Data spasial dalam SIG h a n y a m e r u p a k a n model penyajian yang merefleksikan berbagai aspek realitas d u n i a nyata, sedangkan u n t u k meningkatkan peranan data dalam pengambilan keputusan mengenai kenyataan tersebut, s u a t u model h a r u s ditampilkan yang menggambarkan obyekobyek t e r m a s u k menyajikan h u b u n g a n an tar obyek. Fungsi-fungsi analisis yang dimaksudkan adalah fungsi yang memanfaatkan data yang telah d i m a s u k k a n kedalam SIG dan telah mendapatkan berbagai manipulasi persiapan. Fungsifungsi tersebut a n t a r a lain adalah fungsi pengolahan d a n analisis data atribut atau spasial, serta fungsi integrasi analisis d a t a spasial d a n atribut. Implementasi fungsi analisis tergantung beberapa factor a n t a r a lain seperti model d a t a (raster atau vector), piranti keras dan ketersediaan kriteria. Penyerderhanaan berbagai kelompok analisis, terdapat 4 katagori, yaitu fungsi pemanggilan/klasifikasi/pengukuran data, fungsi t u m p a n g tindih, fungsi tetangga d a n fungsi jaringan/keterkaitan. Dalam penelitian ini fungsi analisis SIG yang digunakan adalah fungsi tumpang tindih. Fungsi analisis/ operasi t u m p a n g tindih dalam SIG u m u m n y a dilakukan dengan salah satu dari 5 cara yang dikenal, yaitu pemanfaatan fungsi logika dan fungsi Boolean, pemanfaatan fungsi relasional, pemanfaatan fungsi aritmatika (parametrik), pemanfaatan data atribut a t a u tabel d u a dimensi d a n penyilangan d u a peta langsung. Model yang a k a n digunakan u n t u k menentukan daerah rawan bencana longsor adalah model parametrik aritmatik perkalian metode Indeks Storie dengan r u m u s (Sitorus, 1995): L = A x B/10 x C/10 x D/10 x dengan L : rawan bencana longsor A : parameter leren B : penggunaan lahan C : tanah D : i k l i m / c u r a h hujan
(2-2)
Untuk mementukan daerah rawan bencana longsor, beberapa parameter yang mempengaruhi terjadinya longsor terlebih dahulu diberi harkat. Selanjutnya harkat dari parameter - parameter d i m a s u k k a n ke dalam model dengan mcnggunakan SIG. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Ekstraksi Parameter Longsor merupakan interaksi a n t a r a beberapa parameter dari iklim, topografi, vegetasi, tanah dan pengolahan lahan. Dalam penelitian ini parameterparameter diperoleh dengan d u a cara, yaitu mengakses dari peta s a t u a n tanah skala 1 : 250.000 (Puslitanak), peta curah hujan skala 1:1.000.000 (Data GMS LAPAN) d a n penggunaan lahan skala 1:250.000 (Landsat TM t a h u n 2002LAPAN). Dengan menggunakan peta satuan tanah diperoleh informasiinformasi fisik l a h a n / t a n a h a n t a r a lain peta lereng/topografi d a n peta jenis t a n a h . Peta c u r a h hujan/iklim diekstrak dari data isohayet d a n data Geostationer Meteological Satellit (GMS), sedangkan peta penggunaan l a h a n / p e n u t u p lahan diperoleh dari ekstraksi informasi data landsat. 3.1.1 Peta lereng Peta lereng p a d a lokasi penelitian dipetakan dari peta s a t u a n tanah diperoleh informasi bahwa Propinsi Lampung mempunyai kelerengan yang c u k u p beragam mulai dari yang datar (0-3 %) sampai pada yang sangat c u r a m (>75%). Pada beberapa Kabupaten di Propinsi Lampung antara lain Kabupaten Lampung Timur, Lampung Tcngah, Tulangbawang, Kodya Metro, Kodya Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan memiliki kelerengan 0-3% s
75 %, 81
JunutiPengirtderaan Jauh VoC 3 Wc I Juni 2006:77-36
sehingga daerah ini relatif berbukit d a n sangat curam.
dataran
3 . 1 . 2 Peta j e n i s t a n a h Peta jenis tanah di Propinsi Laropung terdiri dari beberapa jenis t a n a h Ordo Histosol, Entisol, Enseptisol, Mollisol, Alfisol, Ultisol d a n Oxisol. Urutan ordo ini menunjukkan tingkat kematangan suatu jenis tanah (Hardjowigeno, 1993). Jenis tanah Entisol dan Enseptisol m e r u p a k a n jenis tanah yang tersebar cukup luas di Propinsi Lampung, sedangkan u n t u k jenis t a n a h tertentu, misalnya jenis t a n a h Histosol hanya terdapat didaerah pesisir dan tepatnya terdapat pada sebagian Kabupaten Lampung Timur, Lampung Selatan d a n Kabupaten Tulangbawang. Oxisol sebagian besar terdapat pada Kabupaten Lampung Utara. Jenis tanah Ultisol hanya sebagian kecil terdapat pada sebelah b a r a t Kabupaten Lampung Tengah yang berb a t a s a n dengan Kabupaten Tanggamus. 3.1.3 Peta curah hujan Curah - hujan di Propinsi Lampung rata-rata tahun berkisar a n t a r a 1600 sampai 4 0 0 0 mm t a h u n . C u r a h hujan ini merata terjadi di wilayah Propinsi Lampung. 3.1.4 Peta penggunaan l a h a n / p e n u t u p lahan Berdasarkan ekstraksi informasi yang diperoleh dari d a t a Landsat TM, m a k a penggunaan lahan a t a u penutup l a h a n di Propinsi L a m p u n g terdiri dari 11 kelas, a n t a r a lain H u t a n , Belukar, Perkebunan, Kebun Campur, Ladang, Mangrove, Tambak, Pemukiman, Air laut d a n darat (Danau, Sungai, Laut) d a n Tanah Terbuka. Penggunaan l a h a n / p e n u t u p lahan h u t a n , belukar, perk e b u n a n (tanaman keras, missal karet, kelapa sawit dsb) d a n kebun c a m p u r mendominasi pada Kabupaten Lampung Barat, Lampung Utara, Lampung Selatan
82
dan Kabupaten Tanggamus. Penggunaan lahan/penutup lahan ladang, perkebunan (tanaman semusim, missal tebu dsb), lahan terbuka mendominasi di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tulangbawang. Sawah, Mangrove dan tambak mendominasi p a d a Kabupaten Lampung Timur d a n Tulangbawang. 3.2 P c n g h a r k a t a n Pengharkatan parameter dilakukan berdasarkan karakteristik s u a t u parameter memiliki kepekaan terhadap longsor. Pengharkatan terhadap kelerengan didasarkan pada logika bahwa lereng yang c u r a m memiliki harkat yang besar dibandingkan dengan lereng yang landai atau datar, k a r e n a salah s a t u syarat terjadinya longsor adalah lereng yang curam, sehingga volume tanah a.kan bergerak/meluncur ke bawah. Pengharkatan terhadap jenis t a n a h didasarkan pada kematangan tanah, semakin maiang s u a t u jenis tanah m a k a t a n a h tersebut a k a n m e n g a n d u n g liat yang lebih tinggi d a n s t r u k t u r t a n a h yang lebih kuat (agregat) dibandingkan dengan jenis t a n a h yang lebih muda. Pengharkatan t e r h a d a p iklim didasarkan pada besar 1 kecilnya rata-rata c u r a h hujan t a h u n a n . Makin besar c u r a h hujan rata-rata tahunan, kemungkinan terjadinya longsor relatif cukup besar dibandingkan dengan c u r a h hujan rata-rata t a h u n a n yang lebih kecil. Pengharkatan terhadap penggunaan lahan/penutup lahan/ vegetasi didasarkan pada tingkat lebat/ jarangnya s u a t u vegetasi dan tingkat perakaran. Makin r a p a t vegetasi dan makin kuat perakaran m a k a keinungkinkan kecil a k a n terjadi longsor, karena vegetasi yang rapat a k a n m e n a h a n intersep air hujan, sehinga air hujan tidak secara langsung t u r u n ke tanah d a n m u d a h diserap oleh tanah dan t a n a m a n , serta akar yang kuat a k a n mengikat tanah dengan kuat. Secara singkat pengharkatan setiap parameter dapat dilihat pada Tabcl 3-1.
ImpCementasi (Penginderaan Jauh dan SI§
(SamsutArifin et.aQ
Tabel 3-1: KARAKTERISTIK PARAMETER PENENTUAN RAWAN LONGSOR No.
Kriteria
Variabel
1.
Iklim
2.
Lereng
3.
Penggunaan Lahan atau Vegetasi
4.
Tanah
-Curah Hujan 3700 - 4000 mm t a h u n -Curah Hujan 3400 - 3700 mm t a h u n -Curah Hujan 3100 - 3400 mm t a h u n -Curah Hujan 2800 - 3100 mm t a h u n -Curah Hujan 2500 - 2800 mm t a h u n -Curah Hujan 2200 - 2500 mm t a h u n -Curah Hujan 1900 - 2200 mm t a h u n -Curah Hujan 1600 - 1900 mm t a h u n -terjal s / d sangat terjal, kemiringan > 7 5 % -sangat curam s / d terjal, kemiringan 46-75 % -curam s / d sangat curam, kemiringan 31-45% -agak curam, berbukit, kemiringan 16-30% -landai, berombak, bergelombang, kemiringan 415% -datar, kemiringan 0-3% - t a n p a vegetasi - rumput, semak, vegetasi sawah (padi, jagung) - Kebun campur, t a n a m a n pekarangan - Perkebunan (Pohon-pohonan) - Hutan Lebat - Oxisol - Ultisol - Alfisol - Mollisol - Enseptisol - Entisol - Histosol
3.3 Penentuan daerah rawan longsor P e n e n t u a n daerah rawan longsor menggunakan SIG dengan metode Indeks Strorie yaitu perkalian setiap parameter-parameter. Hasil analisis aritmatik m a k a nilai kisaran indeks storie a n t a r a 0,001-1,68. Selanjutnya kisaran ini dikonversi p a d a beberapa tingkatan sesuai dengan k e b u t u h a n , pada penelitian ini tingkat rawan longsor dibagi atas 5 kelas a t a u tingkatan yaitu : Tingkat longsor Sangat Tinggi apabila memiliki nilai hasil pembobotan berkisar 1,5 sampai 1,68, tingkat longsor terkategori Tinggi apabila kisarannya a n t a r a 1,2-1,5, tingkat longsor terkategori Sedang apabila memiliki nilai kisaran a n t a r a 0,8-1,1, tingkat longsor berkategori Rendah memiliki nilai a n t a r a 0,4-0,7 d a n tingkat longsor berkategori Sangat Rendah memiliki nilai a n t a r a 0,001-0,3.
Nilai Harkat 8 7 6 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 7 6 5 4 3 2 1
Nilai tertinggi dibagi 5 u n t u k m e n d a p a t interval setiap tingkatan rawan longsor p a d a Tabel 3-2. Tabel 3-2: NILAI KISARAN KLASIFIKASI
HARKAT
No.
Klasifikasi
Kisaran Hasil
1.
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
>1.5
2. 3. 4. 5.
1 , 2 - 1,5 0 , 8 - 1,1 0,4-0,7 0,001- 0,3
Berdasarkan analisis diperoleh daerah rawan longsor di Propinsi Lampung diperkirakan terdapat p a d a Kabupaten Lampung Barat , Kabupaten Tanggamus d a n sebagian kecil daerah Kabupaten Lampung Utara. Hal ini disebabkan karena p a d a daerah ini mempunyai kelerengan yang relatif 83
! JumaCVengincteraanJaufi Voi 3 {No. 1 Juni 2006:77-86
Gambar 3-1: Peta tingkat rawan longsor di Propinsi Lampung c u r a m sekitar 16-30% sampai >75% yang merupakan parameter u t a m a syarat terjadinya longsor, walaupun pada u m u m n y a parameter penggunaan lahan (hutan, perkebunan, kebun campur) dan jenis t a n a h (entisol dan enseptisol) mempunyai nilai h a r k a t yang relatif kecil. Tingkatan rawan longsor sekitar tingkatan sedang sampai cukup, sehingga boleh dikatakan tidak begitu membahayakan. Kabupaten lainnya seperti Kabupaten Lampung Timur, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Kodya Metro, Kodya Lampung d a n Kabupaten Tulangbawang m e m p u n y a i tingkat kerawan longsor k u r a n g sampai rendah, karena daerahdaerah tersebut pada umumnya m e m p u n y a i kelerengan y a n g landai sampai bergelombang yaitu, sekitar 0-3% sampai 9-15% d a n jenis t a n a h yang relatif masih m u d a , w a l a u p u n parameter yang lain mempunyai h a r k a t yang c u k u p besar. Secara lengkap daerah-daerah rawan longsor d a p a t dilihat p a d a Gambar 3 - 1 . 4
KESIMPULAN
• Berdasarkan analisis secara u m u m di Propinsi Lampung relatif a m a n terh a d a p longsor, k a r e n a tingkatan daerah rawan longsor h a n y a p a d a 84
tingkat c u k u p d a n sedang, sehingga tidak begitu m e m b a h a y a k a n dalam waktu yang singkat. • Daerah rawan longsor terdapat p a d a Kabupaten Lampung Barat, Tanggamus, dan sebagian di Kabupaten Lampung Utara. • Kabupaten Lampung Tengah, Metro, Bandar Lampung, Lampung Selatan, Lampung Timur, Way Kanan d a n Kabupaten Tulangbawang mempunyai tingkat rawan longsor rendah sampai kurang, sehingga kemungkinan tidak a k a n terjadi longsor. DAFTAR RUJUKAN Arsyad, S., 1989. Konseruasi Tanah dan Air, IPB, Bogor. Barus, B., 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik Peubah Tunggal Menggunakan SIG : Studi Kasus Daerah CiawiPuncak-Pacet Jawa Barat, J u r n a l Ilmu Tanah dan Lingkungan, Bogor. Hardjowigeno, S., 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis, AKAPRESS, Jakarta. Kartasaputro, G., 1991. Teknologi Konseruasi Tanah dan Air, Rineka Cipta, Jakarta. Sitorus, S., 1995. Evaluasi Sumber Daya Lahan, TARSITO, Bandung.
Imptementasi
(SamsuCjirifin et.aC.)
Lampiran 1
85
JurnaCTenginderaanJauhVoC. 3 No. 1 Juni 2006:77-86
Lampiran 2
86