Topik Utama PENGEMBANGAN TEKNOLOGI EBT DI P3TKEBTKE: STATUS DAN DUKUNGAN KEBIJAKAN Hartono, Dian Galuh Cendrawati, Hertiyo Sembodo dan M. Indra al Irsyad Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi
[email protected] SARI Sejak didirikan pada tahun 2002, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE) secara intensif telah melakukan pengembangan teknologi EBT, mulai dari yang sederhana seperti biogas hingga teknologi sel tunam. Beberapa pemanfaatan EBT di dalam negeri telah mendapat posisi yang sejajar dengan negara maju, seperti tenaga air dan tenaga panas bumi, namun teknologi EBT lainnya masih belum berkembang. Salah satu penyebabnya adalah harga yang belum ekonomis ditambah dengan kondisi adanya subsidi energi fosil. Rekomendasi prioritas EBT yang dikembangkan adalah biodiesel dengan pertimbangan labour intensive production, jumlah bahan baku banyak tersedia dan mampu mengatasi permasalahan bahan bakar di sektor transportasi dan ketenagalistrikan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan skema offset untuk mendapatkan dana internasional dalam pengembangan EBT. Kata kunci : pengembangan teknologi EBT, pemanfaatan EBT, prioritas EBT, skema offset.
100 90 Pemerintah telah melakukan diversifikasi energi 80 untuk mengurangi ketergantungan pada satu 70 60 jenis energi. Pada Gambar 1 terlihat bahwa 50 sebelum tahun 1984 energi primer untuk tenaga 40 listrik didominasi oleh air dan bahan bakar 30 minyak (BBM). Namun setelah itu, gas dan 20 batubara secara perlahan mulai mengambil alih 10 dominasi. Peralihan ini disebabkan karena 0
pemerintah belajar dari oil shock ke-2 bahwa kenaikan harga minyak tidak lagi menguntungkan dan justru mengancam industri dalam negeri.
1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005
1. PENDAHULUAN
Other
Oil
Natural gas
Hydroelectric
Coal
Gambar 1. Energi untuk ketenagalistrikan (Sumber: World Bank, 2007)
Pengembangan Teknologi EBT di P3TKEBTKE ......... ; Hartono, Dian GC, Hertiyo S, M. Indra aI
23
Topik Utama Namun akibat kontrak ekspor jangka panjang, peruntukkan gas untuk kebutuhan domestik mulai menurun. Penggunaan batubara juga diperkirakan akan menurun akibat komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan akibat ketidaksesuaian spesifikasi batubara domestik untuk PLTU pada program percepatan 10.000 MW tahap I. Untuk itu, saat ini pemerintah sedang menyiapkan energi baru terbarukan (EBT) yang bersifat lokal dan ramah lingkungan. Komitmen tersebut diwujudkan dengan dibentuknya Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Energi dan Ketenagalistrikan (P3TEK) di 2002 dan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (DJEBTKE) pada tahun 2010. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan 8 tahun hasil penelitian P3TEK, yang sejak 2010 berubah nama menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE). Tujuan lainnya adalah mereview teknologi dan kebijakan EBT di negara maju sebagai bahan masukan P3TKEBTKE dan DJEBTKE.
2. STATUS TEKNOLOGI P3TKEBTKE mempunyai tiga kelompok penelitian yang bersinergi dalam mengembangkan teknologi EBT. Kegiatan P3TKEBTKE yang terkait dengan pengembangan EBT adalah sebagai berikut: 2003: – Produksi bio-oil dari pelepah kelapa sawit menggunakan metoda pirolisis; – Alat pengering hasil pertanian dengan memanfaatkan panas bumi di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. 2004: – Produksi bio-oil dari cangkang kelapa sawit menggunakan metoda fluidized bed; – Prototipe kompor surya efisiensi 64%;
24
– Prototipe rumah surya untuk penyulingan air di Madiun;
– Interconnected PLTMH 100 kW di Subang, Jawa Barat. 2005: – Alat penyuling daun cengkeh dengan memanfaatkan energi panas bumi; – Peralatan biogas 5.000 liter untuk energi di pedesaan; – Sistem hybrid PLTS 2kW pada Existing PLT Angin 4x1 kW. 2006: – Pilot project pemanfaatan langsung energi panas bumi untuk pengering padi di Kabupaten Solok Selatan; – PLTMH 165 kW di dusun Kombongan; – PLTD berbahan bakar minyak jarak; – Teknologi pembuatan alkohol dari sampah kota; – Prototipe sistem sel tunam jenis proton exchange (PEFC) – Prototipe pembangkit listrik tenaga gelombang laut sistem bandul (PLTGL-SB). 2007: – PLTB 2,5 kW di Sukabumi; – Pilot plant gasifikasi biomassa berkapasitas 100 kg/jam; – Alat pemanfaat panas bumi untuk pengering hasil pertanian di Sulawesi Utara; – Cetakan injeksi pelat komposit fuel cell luasan aktif 50 cm2; – PLTMH sistem kincir air kaki angsa 2,5 kW di Malang; – PLTMH sistem kincir roda air sudu bergerak 1 kW di Mataram ; – Sistem EBT (PLTMH, biogas dan PLTS) terintegrasi di UMM Malang. 2008: – Biogas sistem COLAR pada industri tapioka di Lampung; – Prototipe sistem sel tunam jenis PEMFC 1 kW; – Generator putaran rendah 5 kW untuk PLTB;
M&E, Vol. 9, No. 1, Maret 2011
Topik Utama – Boiler tekanan rendah berbahan bakar biomassa sebagai pembangkit listrik 3 kW dan pengering hasil pertanian. 2009: – Pemanfaatan algae sebagai bahan baku biodiesel dalam skala laboratorium. 2010: – Buku pedoman pembangunan PLTMH; – RSNI Turbin PLTMH; – Updated data potensi PLTMH; – Sistem pembangkit listrik sel tunam untuk rumah tangga 80W; – Detail design dan pembuatan peralatan PLTB 100kW; – Sistem budidaya mikroalga 80.000 liter kultur untuk biodiesel; – Sistem kontrol ELC untuk PLTMH; – PLTS 600 W dengan solar tracker; – Database keekonomian EBT. Dari hasil penelitian tersebut, hanya PLTMH di Subang dan Kombongan yang telah beroperasi secara komersial. Teknologi lainnya perlu dikembangkan lebih lanjut dengan memperhatikan status teknologi di negara maju dan menetapkan target yang jelas, seperti jumlah listrik atau jumlah liter yang akan dihasilkan atau penurunan biaya investasi EBT yang ingin dicapai. Dari data REN21 (2010), EBT dengan kapasitas terbesar di dunia saat ini adalah PLTB dengan total kapasitas 159 GW, dengan pemain utama Amerika Serikat/AS (35,1 GW), China (25,8 GW), dan Jerman (25,8 GW), sedangkan Indonesia hanya 1,5 MW. PLTB dengan kapasitas terbesar adalah tipe Enercon sebesar 7 MW/unit. Penelitian PLTB yang intensif di AS telah menurunkan harga listrik PLTB dari 45 sen/ kWh di 1980 menjadi 4-6 sen/kWh (Davis dan Owens, 2003). Prioritas EBT ke-2 adalah energi surya dimana AS telah mengalokasikan 42% anggaran penelitiannya untuk PV. Penelitian difokuskan pada teknologi thin film hingga mencapai efisiensi di atas 12% (Davis dan Owens, 2003).
Hasilnya harga sistem PV dapat ditekan dari $1/ kWh di 1980 menjadi 20 sen/kWh di 2000 (McVeigh dkk, 2000). Peralatan pemanfaatan panas bumi untuk penggunaan langsung yang dibuat oleh P3TKEBTKE dapat dikatakan sebagai pionir di Indonesia, mengingat International Energy Agency (IEA) tidak mempunyai catatan mengenai geothermal direct use di Indonesia. Pelaku utama pemanfaatan langsung panas bumi ini adalah China (20.932 GWh/tahun), AS (15.710 GWh/tahun), dan Swedia (12.585 GWh/ tahun). Namun untuk jumlah listrik dari panas bumi, Indonesia (9.600 GWh/tahun) berada di urutan ke-3 setelah AS (16.603 GWh/tahun) dan Filipina (10.311 GWh/tahun). Posisi ini dapat berubah mengingat masih banyaknya potensi panas bumi Indonesia yang belum dimanfaatkan. Harga panas bumi saat ini bervariasi dari 5 sen/ kWh - 20 sen/kWh, tergantung pada suhu sumur panas bumi (IEA-a, 2010). IEA-a (2010) juga menyarankan penelitian berfokus pada estimasi potensi yang lebih akurat dan teknologi pengeboran yang lebih baik, khususnya untuk wilayah yang belum ekonomis dengan teknologi saat ini. Pembangkit listrik tenaga air, baik itu besar maupun mikro, menghasilkan listrik 16,3% konsumsi listrik global di tahun 2008. Indonesia sendiri masuk 10 besar dari suplai listrik tenaga air. Hal ini didukung oleh industri lokal yang telah menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Industri tersebut bahkan telah mampu mengekspor turbin PLTMH ke berbagai negara. Tren pengembangan teknologi PLTMH ke depan adalah desain turbin, perbaikan proses manufaktur, serta penelitian bahan untuk meningkatkan efisiensi PLTMH. Selain itu, penelitian akan memanfaatkan teknologi informasi, seperti otomatisasi, pengendalian jarak jauh, dan perekaman data untuk evaluasi kinerja PLTMH (IEA-b, 2010). Di bio-energi, beberapa teknologi sudah komersial, seperti biomass combustion, namun masih ada juga yang dalam pengembangan, seperti boiler berbahan bakar biomassa untuk
Pengembangan Teknologi EBT di P3TKEBTKE......... ; Hartono, Dian GC, Hertiyo S, M. Indra
25
Topik Utama menghasilkan listrik dan panas, co-firing, biofuel, dan integrated gasifier/gas turbine. Status terakhir pengusaaan teknologi di negara maju selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.
setelah itu anggaran berkurang, tapi nilainya dipertahankan stabil sebagai jaminan keamanan suplai energi domestik di masa depan.
Seperti juga di Indonesia, komitmen negara maju dalam mengembangkan EBT masih dipengaruhi oleh harga energi fosil (Davis dan Owens, 2003; Klass, 2003). Gambar 3 menunjukkan pola pemerintah AS dalam menyediakan anggaran pengembangan EBT dimana sempat terjadi kepanikan di tahun 1974 dan 1979 akibat dua kali oil booms. Walaupun
3. STATUS KEBIJAKAN FISKAL Pengembangan EBT tidak hanya bisa mengandalkan kegiatan penelitian pemerintah. Intervensi pasar juga diperlukan untuk membuat keekonomian EBT lebih cepat khususnya ketika harga energi fosil sedang rendah (McVeigh dkk, 2000).
Gambar 2. Status teknologi biokonversi (Sumber: IEA, 2006)
Gambar 3. Anggaran penelitian EBT di AS (Sumber: Davis dan Owens, 2003)
26
M&E, Vol. 9, No. 1, Maret 2011
Topik Utama Di AS, intervensi dilakukan dengan memberikan insetif pajak bagi industri yang mau menggunakan EBT. Hasilnya kapasitas terpasang PLTB naik dari 1.500 MW di tahun 1998 menjadi 4.261 MW di tahun 2001 (Davis dan Owens, 2003). Jerman memberikan insentif investasi, pinjaman lunak, dan feed in tariff (FiT) untuk menaikkan kapasitas terpasang EBT dari 4.000 MW di tahun 1990 menjadi 20.000 MW di tahun 2003 (Agnolucci, 2006). Denmark juga pernah menerapkan FiT dalam mengembangkan wind farms hingga mampu memasok 12% konsumsi listrik di 2003. Namun karena liberalisasi pasar, Denmark saat ini menggunakan sistem kuota, yang mewajibkan konsumen untuk menggunakan EBT sebesar 20% dari kebutuhan listriknya. Untuk memenuhi kewajiban tersebut, konsumen dapat membeli green certificate dari perusahaan yang ditunjuk (Meyer dan Koefoed, 2003). Berbagai intervensi negara maju di Tabel 1 hanya bisa dilakukan bila pasar energi telah sempurna, yaitu harga energi telah berada pada
tingkat keekonomian sebenarnya. Untuk Indonesia, pelaksanaan kebijakan akan tidak efisien dan tidak efektif mengingat energi fosil saat ini masih disubsidi dalam jumlah besar. Beberapa kebijakan telah diadopsi oleh pemerintah, namun tetap saja investasi EBT oleh swasta masih terbatas.
4. APA YANG HARUS DILAKUKAN? Mekanisme pasar energi sama seperti pasar barang dimana permintaan akan mencari harga yang termurah dan saat permintaan naik, maka akan banyak produsen yang masuk untuk mensuplai. Dengan kata lain, EBT akan berkembang saat harganya lebih murah daripada energi fosil. Bukti sederhana hipotesis ini adalah penggunaan biomassa sebagai pengganti minyak tanah pada industri tahu-tempe di Jakarta pada saat program konversi minyak tanah di tahun 2007. UKM tersebut harus mencari energi pengganti dan memodifikasi tungku yang sebelumnya berbahan bakar minyak tanah menjadi berbahan bakar kayu seperti pada Gambar 4. Semua
Tabel 1. Intervensi percepatan EBT Sisi intervensi
Biaya investasi
Harga listrik
Mekanisme Subsidi modal; Pinjaman lunak; Pembebasan PPN; Pembebasan bea masuk; Percepatan depresiasi; Tax holidays; Subsidi bagi eksportir peralatan EBT; Subsidi harga; Kredit pajak produksi; Pembebasan PPN; Pembelian listrik EBT dari masyarakat; Feed in Tariffs; Sistem kuota EBT pada suplai/ permintaan listrik; Pajak lingkungan pada energi fosil;
(Sumber: Mostert, 2011)
Pengembangan Teknologi EBT di P3TKEBTKE ......... ; Hartono, Dian GC, Hertiyo S, M. Indra aI
27
Topik Utama proses dilakukan melalui mekanisme pasar dan tidak ada bantuan kompor gas ataupun bantuan penelitian dalam modifikasi tungku.
menggantikan BBM untuk transportasi dan pembangkit listrik yang jumlahnya masih banyak di luar Pulau Jawa. b. Menghilangkan subsidi energi fosil yang bisa digantikan EBT prioritas. Brazil bahkan menerapkan pajak BBM yang kemudian digunakan untuk mensubsidi biofuel (Moreira, 2011). c. Meredam dampak awal yang timbul dari penghilangan subsidi.
Gambar 4. Tungku berbahan bakar kayu di pabrik tahu Sumiati, Jakarta Selatan Untuk menciptakan pasar yang kondusif dalam mengembangkan EBT, setidaknya pemerintah harus melakukan: a. Menentukan prioritas EBT yang akan dikembangkan. Umumnya negara Eropa memilih PLTB sebagai prioritas (Meyer dan Koefoed, 2003), sedangkan AS memilih PLTS (Davis dan Owens, 2003) walaupun pada akhirnya PLTB yang lebih berkembang. Indonesia sebaiknya meniru Brazil yang memprioritaskan bio-etanol (Moreira, 2011). Produksi minyak kelapa sawit Indonesia saat ini merupakan yang terbesar di dunia, yaitu lebih dari 20,9 juta ton di 2009 (Wikipedia, 2011). Teknologi yang dibutuhkan telah dikuasai industri domestik dan selain itu bahan baku bisa berasal dari tanaman lain sehingga akan meningkatkan pendapatan 4 juta pekerja di sektor pertanian/perkebunan (World Growth, 2009). Biofuel dapat
28
Naiknya harga BBM memicu keresahan sosial akibat naiknya harga barang, ketidakkompetitifan industri di pasar global hingga ketersediaan biofuel. Dampak negatif ini perlu diatasi dengan kebijakan fiskal yang tepat. Metoda yang umum dalam merumuskan kebijakan fiskal adalah computable general equilibrium (CGE). Beberapa ekonom mendapatkan hasil yang berbeda dari simulasi dampak pemberian bantuan langsung tunai (BLT) akibat kenaikan harga BBM di tahun 2005, sehingga menjadi perdebatan terbuka di harian Kompas 14-19 Maret 2005. Akan tetapi, walaupun Mardison (2008) menyetujui BLT tidak cukup untuk mengembalikan welfare masyarakat, namun sektor industri, sektor pertanian, dan termasuk sektor EBT mengalami pertumbuhan. Beberapa kebijakan lain perlu disimulasi, seperti perbaikan infrastruktur jalan, perbaikan saluran irigasi, dan sebagainya untuk meminimalkan dampak negatif. d. Pemberian subsidi atau insentif lainnya kepada pelaku EBT. Brazil membeli biofuel yang dihasilkan petani pada harga yang sama untuk bahan pangan, sehingga tidak terjadi rebutan antara kebutuhan pangan dan energi. Biofuel tersebut kemudian dijual pada harga 59% harga BBM yang terkena pajak. Total subsidi yang diberikan sejak 1976 hingga 2004 sekitar 315 triliun rupiah. Namun setelah 2004, harga biofuel Brazil telah di bawah harga BBM (Moreira, 2011).
M&E, Vol. 9, No. 1, Maret 2011
Topik Utama e. Mengoptimalkan peran P3TKEBTKE. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan P3TKEBTKE saat ini lebih berupa penyiapan sumber daya manusia dalam menguasai teknologi EBT. Bila pasar EBT telah berjalan, maka fungsi P3TKEBTKE dapat ditingkatkan untuk menjawab kebutuhan para pelaku pasar. Langkah yang diuraikan di atas merupakan tindakan ideal yang harus dilakukan pemerintah. Namun adanya kepentingan politik seringkali menyebabkan pelaksanaan berbeda dengan teori ideal (Pearce, 2006). Sebagai alternatif, DJEBTKE dapat memanfaatkan teori pasar lainnya dimana tidak semua konsumen memilih barang dengan harga termurah. Dalam hal ini negara maju membutuhkan energi bersih untuk memenuhi kewajiban menurunkan level emisi. Penggunaan EBT di negara maju telah mendekati optimal dan akan lebih mahal untuk meneruskan pengembangan EBT di negara sendiri dibandingkan di negara berkembang. Untuk itu, negara maju akan membeli certified emission reductions (CERs) dari EBT di negara berkembang. Emisi BaU 26% Unilateral NAMAs
%
41 Supported NAMAs Offset melalui carbon market
Skema yang umum digunakan dalam jual beli CERs adalah clean development mechanism (CDM) atau skema offset dalam Cancun Agreement. Skema offset berbeda dengan komitmen penurunan emisi 26% dalam unilateral nationally appropriate mitigation actions (NAMAs) ataupun tambahan 15% dalam supported (NAMAs) sebagaimana dalam Gambar 5. Pada skema offset, penurunan emisi dari pemanfaatan EBT dapat dijual ke pasar karbon di negara maju, sehingga teknologi EBT menjadi lebih ekonomis. Untuk itu, sebaiknya proyek EBT dengan biaya investasi tertinggi diajukan sebagai proyek offset sedangkan sisanya diajukan sebagai proyek di unilateral dan supported NAMAs.
5. PENUTUP Upaya pemerintah dalam mengembangkan EBT telah dilakukan dengan dibentuknya P3TKEBTKE dan DJEBTKE. Selama 8 tahun usianya, P3TKEBTKE masih terus belajar menguasai teknologi EBT walau belum mencapai nilai komersialnya. Salah satu hambatannya adalah belum terciptanya pasar EBT, sehingga belum ada industri yang mau memanfaatkan hasil penelitian P3TKEBTKE. Untuk menciptakan pasar EBT, pemerintah perlu mengalihkan subsidi energi fosil ke EBT. Pemerintah juga harus lebih mendorong industri yang ingin memanfaatkan skema offset di Cancun Agreement dalam mengembangkan EBT.
CATATAN Rekomendasi biofuel sebagai komoditi EBT yang patut diprioritaskan merupakan pendapat Tim penilis dan bukan rekomendasi resmi dari P3TKEBTKE.
Gambar 5. Skema penurunan emisi di negara berkembang
Pengembangan Teknologi EBT di P3TKEBTKE ......... ; Hartono, Dian GC, Hertiyo S, M. Indra aI
29
Topik Utama DAFTAR PUSTAKA Agnolucci, P., 2006. Use of economic instruments in the German renewable electricity policy. Energy Policy 34, 35383548 Davis, G.A. dan Owens, B., 2003. Optimizing the level of renewable electric R&D expenditures using real options analysis. Energy Policy 31, 1589-1608 http://en.wikipedia.org/wiki/Palm_oil, diunduh tanggal 1 Maret 2011 International Energy Agency (IEA), 2006. Renewable energi: RD&D priorities-Insights from IEA technology programmes. Paris. International Energy Agency (IEA)-a, 2010. Renewable Energy Essentials: Geothermal. International Energy Agency (IEA)-b, 2010. Renewable Energy Essentials: Hydropower. Klass, D.L., 2003. A critical assessment of renewable energy usage in the USA. Energy Policy 31, 353-367 Mardison, E., 2008. The subsidy cut and the direct cash transfer program, can they improve Indonesia?: A CGE Analysis. Master thesis in International University of Japan. Japan.
McVeigh, J., Burtraw, D., Darmstadler, J., Palmer, K., 2000. Winner, loser, or innocent victim? has renewable energy perfomed as expected?. Solar Energy 68 (3), 237-255 Meyer, N.I., dan Koefoed, A.L., 2003. Danish energy reform: policy implications for renewables. Energy Policy 31, 597-607 Moreira, J.R., 2011. Biofuel in Brazil: Past and Present. Presentasi Biofuel di Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Jakarta Mostert, W., 2011. Economic principles for subsidy policy. Bappenas/GIZ capacity building and stakeholder workshop on economic instruments for reducing emissions of greenhouses gases in industry. Jakarta Pearce, D., 2006. The political economy of an energy tax: The United Kingdom's climate change levy. Energy Economics 28, 149-158 Renewable Energy Policy Network for the 21st Century (REN21), 2010. Renewables 2010 global status report. World Bank, 2007. World Development Indicators Online. Retrieved December 08, 2008 from http://ddp-ext.worldbank.org. World Growth, 2009. Palm Oil - The Sustainable Oil. Arlington .
.
30
M&E, Vol. 9, No. 1, Maret 2011