PENGELOLAAN PEKARANGAN KAMPUNG SEBAGAI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN YANG BERKELANJUTAN
VIVANDRA PRIMA BUDIMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2015 Vivandra Prima Budiman NIM P052120171
RINGKASAN VIVANDRA PRIMA BUDIMAN. Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI H.S. ARIFIN, dan MADE ASTAWAN. Alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman akan mengancam ketahanan pangan karena dapat menurunkan jumlah produksi pertanian. Di sisi lain, muncul harapan dari luas agregat pekarangan yang terus bertambah. Pekarangan sebagai agroekosistem memperhatikan komponen biotik dan abiotik untuk menghasilkan berbagai produk yang bisa menunjang ketahanan pangan. Pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan atau kampung akan meningkatkan manfaatnya. Sejumlah pekarangan pada satu kawasan atau komunitas masyarakat disebut pekarangan kampung. Pemerintah memfasilitasi pengelolaan pekarangan kampung dengan melibatkan kelompok wanita tani (KWT). Kontribusi pengelolaan pekarangan terhadap ketahanan pangan dihitung berdasarkan nilai ekonomi produknya untuk konsumsi, berbagi, dan dijual. Tujuan penelitian ini adalah 1) menganalisis agroekosistem pekarangan kampung, 2) menganalisis pengelolaan pekarangan kampung, 3) menganalisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan, serta 4) menyusun rekomendasi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai Juni 2014 di Kabupaten Bandung (600 – 1 200 mdpl), Kabupaten Bogor (150 – 600 mdpl), dan Kabupaten Cirebon (0 – 150 mdpl). Kelompok luas pekarangan yang paling banyak di Kabupaten Bandung yaitu ukuran sedang (50%) dengan rata-rata 317 m2, sedangkan pekarangan di Kabupaten Bogor dan Cirebon paling banyak berukuran sempit (67% dan 60%) dengan ratarata 143 m2 dan 145 m2. Hampir setiap pekarangan memiliki zona depan sebagai tempat bertani dan bersosialisasi. Jenis tanaman strata I dan II mendominasi di ketiga kabupaten, yang berkorelasi dengan daya dukung pekarangan sempit dan sedang. Fungsi tanaman pangan lebih banyak daripada komoditas non-pangan. Nilai ekonomi rata-rata dari produk pekarangan per m2 dalam satu tahun di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu Rp 11 100, Rp 13 400, dan Rp 10 500. Kontribusi nilai ekonomi dari pekarangan kampung yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi per bulannya di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1%, 10.8%, dan 7.1%. Jenis komoditas pekarangan yang paling banyak berkontribusi terhadap nilai ekonomi yaitu buah (25.3%), ternak besar (24.8%), dan sayur (12.9%). Tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lingkungan agar produksinya optimal. Keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung perlu didukung oleh tiga komponen inti, yaitu kelompok tani (aspek sosial), kebun bibit (aspek ekologi), dan koperasi desa (aspek ekonomi). Adapun rekomendasinya yaitu: 1) pemberdayaan KWT oleh tenaga pendamping, 2) revitalisasi kebun bibit kelompok agar pasokan bibit tetap tersedia, terutama tanaman sayur yang musiman dan buah-buahan, 3) pengembangan usaha koperasi unit desa untuk menampung produk pekarangan kampung. Kata kunci: kelompok wanita tani, pemanfaatan produk pekarangan, nilai ekonomi, koperasi
SUMMARY VIVANDRA PRIMA BUDIMAN. Management of “Pekarangan Kampong” as Agroecosystem to Support the Sustainable of Food Security and Prosperity. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI H.S. ARIFIN, and MADE ASTAWAN. There have been massive changes in land use from agricultural areas into urban areas in West Java province because increasing that will reduced the size of paddy fields and farm. On the other hand, total area of pekarangan or Indonesian home garden has continuously increased in line with the increase of settlement. Pekarangan as agroecosystems produce wide range of products in order to support food security in family level. A number of pekarangan in a village region or one society communities called pekarangan kampong. Management of pekarangan kampong will improve the ability for supporting food security as well as economic value. In this context, the economic value of the product showed contribution of pekarangan which calculated from saving, sharing, and selling. The purpose of this study is to analyze the agro-ecosystem characteristics of pekarangan kampong, to analyze management of pekarangan kampong, to analyze utilization from the production of pekarangan management as supporting food security, and to designing a management strategy recommendation of pekarangan kampong as agro-ecosystem to support sustainable food security. The study was conducted in Bandung regency (600 - 1200 m asl) as high land, Bogor regency (150 – 600 m asl) as middle land, and Cirebon regency (0 – 150 m asl) as lowland, since September 2013 until June 2014. Based on this research, about 50% of pekarangan in Bandung regency are categorized by medium size (between 120 – 400 m2). Then about 67% and 60% of pekarangan in Bogor and Cirebon regencies are categorized by small size (between 0 – 120 m2). The average size of pekarangan in Bandung, Bogor, and Cirebon regencies are 317 m2, 143 m2, and 145 m2 respectively. Almost every pekarangan has front zone where usualy used for agricultural practice and social activities. The results show average annual economic value from harvesting product of pekarangan in Bandung is Rp 11 100 per m2, in Bogor is Rp 13 400 per m2 and in Cirebon is Rp 10 500 per m2. The contribution of economic income from pekarangan toward monthly consumption cost in Bandung, Bogor, and Cirebon regencies are 19.1 %, 10.8%, and 7.1% respectively. In total, the kind of pekarangan commodity that gave a lot contribution to the economic value was fruits (25.3 %), livestock (24.8 %), and vegetables (12.9 %). Selected crops, livestock, and fish in pekarangan should be adapted to the environmental conditions. The prime components of pekarangan kampong is women farmer group (social aspect), communal nursery (ecological acpect), and cooperation (economic aspect). The recommendation of management of pekarangan kampong to sustainable food security and prosperity is empowerment women farmer group which guided by assistant, communal nursery revitalization, and cooperation improvement to collect all products from pekarangan. Keywords: Women farmer group, pekarangan products utilisation, economic value, cooperation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN PEKARANGAN KAMPUNG SEBAGAI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN YANG BERKELANJUTAN
VIVANDRA PRIMA BUDIMAN NRP: P052120171
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Kaswanto, S.P., M.Si.
Judul
Nama NRP
: Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan. : Vivandra Prima Budiman : P052120171
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS Ketua
Dr Ir Nurhayati H.S. Arifin, MSc Anggota
Prof Dr Ir Made Astawan, MS Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 9 April 2015
Tanggal Lulus :
2
3
PRAKATA Bismillahirrahmaanirrahim. Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih, atas segala karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul “Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan”. Shalawat serta salam ditujukan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta umatnya. Penyusunan tesis ini dalam rangka memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tujuan tesis ini menganalisis dan menyusun rekomendasi pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan atau kampung yang diposisikan untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghormatan kepada Prof. Dr. Hadi Susilo Arifin, M.S. selaku ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Nurhayati HS Arifin, M.Sc. dan Prof. Dr. Made Astawan, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang mana beliau-beliau telah sangat berjasa memberikan banyak saran serta pelajaran yang sangat berharga dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga untuk Dr. Kaswanto, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih banyak kepada Azka L.Z. Azra sebagai rekan penelitian, enumerator (Refi, Ray, Irma, dkk), HSA students (Arkham, Erlin, Tyo, dkk), Izan Faruqi, rekan seperjuangan di PSL – IPB 2012 (Mas Riza, Mas Royo, Kak Ita, Mba Dini, dkk) dan seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk adik-adik yang baik, Vinessa Prisma Budiman dan Vimella Pratiwi Budiman, serta sangat terima kasih untuk Papah, Dr. H. Dana Budiman, M.Si. dan Mamah, Hj. Elvi Andi, Bsc. yang telah memberi dukungan luar biasa, baik materiil, nasihat, maupun doa-doanya. Karya tulis ini merupakan salah satu bakti penulis atas cinta orang tuanya. Penulis sangat berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai upaya menjaga ketahanan pangan bangsa Indonesia, khususnya melalui upaya pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan. Semoga ke depannya bangsa Indonesia terus memiliki ketahanan pangan yang kuat.
Bogor, April 2015 Vivandra Prima Budiman
4
i
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Manfaat Penelitian 1.5. Ruang Lingkup Penelitian 1.6. Kerangka Pikir Penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Fungsi Pekarangan 2.2. Biofisik Pekarangan 2.2.1. Ukuran Pekarangan 2.2.2. Zona Pekarangan 2.2.3. Keragaman Horizontal (Fungsi) 2.2.4. Keragaman Vertikal (Strata) 2.3. Agroekosistem 2.4. Ketahanan Pangan 2.5. Aspek Keberlanjutan 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Metode Pengumpulan Data 3.4. Metode Pengolahan Data 3.4.1. Analisis Karakteristik Pekarangan 3.4.2. Analisis Sosial 3.4.3. Analisis Hasil Pertanian dan Nilai Ekonomi 3.4.4. Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Situasional 4.1.1. Kondisi Umum Kabupaten Bandung 4.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bogor 4.1.3. Kondisi Umum Kabupaten Cirebon 4.2. Analisis Karakter Agroekosistem Pekarangan 4.2.1. Analisis Lingkungan Agroekosistem Pekarangan 4.2.2. Analisis Ukuran Pekarangan 4.2.3. Analisis Zonasi Pekarangan 4.2.4. Analisis Keragaman Vertikal (Strata) Pekarangan 4.2.5. Analisis Keragaman Horizontal (Fungsi) Pekarangan 4.3. Analisis Pengelolaan Pekarangan Kampung 4.3.1. Analisis Demografi Kelompok Wanita Tani 4.3.2. Analisis Aktivitas Kelompok Wanita Tani 4.3.3. Analisis Kondisi Kebun Bibit Kelompok Wanita Tani 4.3.4. Analisis Pemasaran Produk Pekarangan Kawasan
iii iii 1 1 2 3 3 4 4 5 5 5 5 6 7 7 7 8 8 9 9 10 11 11 11 12 13 13 15 15 15 19 24 28 28 29 31 32 33 35 35 36 37 39
ii
4.4. Analisis Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kampung 40 4.4.1. Analisis Pemanfaatan Produk Pekarangan Kampung 40 4.4.2. Analisis Nilai Ekonomi dari Produk Pekarangan Kampung 42 4.5. Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan 43 5. KESIMPULAN DAN SARAN 46 5.1. Simpulan 46 5.2. Saran 47 DAFTAR PUSTAKA 47
iii
DAFTAR TABEL 1 Lokasi sampel kelompok wanita tani penerima program P2KP ........................ 10 2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ........................................................ 10 3 Data yang diperlukan dalam penelitian. ............................................................. 10 4 Analisis, standar, metode, dan analisis dalam mengolah data ........................... 14 5 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bandung ................... 16 6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas, Kabupaten Bandung............................................................... 17 7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ....................................................... 17 8 Kondisi pengelola pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ................................................................................................. 19 9 Aktivitas KWT di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ...................... 19 10 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bogor ..................... 21 11 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari .............................................................................................. 21 12 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ............................................................... 22 13 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ................................................................................... 23 14 Karakteristik KWT di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ............... 23 15 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Cirebon .................. 25 16 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor .......................................................................................... 26 17 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ........................................................ 26 18 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor .......................................................................................... 27 19 Karakteristik KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ............... 28 20 Kondisi umum lingkungan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ....... 29 21 Keragaman tanaman pangan yang dominan di pekarangan kampung ............. 29 22 Ukuran pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ................... 30 23 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan .......................................... 31 24 Keragaman strata tanaman pekarangan ............................................................ 33 25 Keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan ......................... 34 26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung .......................................... 35 27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT.............................. 39 28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa ............. 40 29 Hasil dan alokasi dari panen produk di pekarangan kawasan per tahun .......... 41 30 Persentase kelompok komoditas per alokasi hasil panen dari pekarangan ...... 41 31 Nilai ekonomi dan pemanfaatan produk pekarangan kampung per tahun ....... 42 32 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan kampung ........................... 42 33 Kontribusi nilai ekonomi pekarangan terhadap konsumsi rumah tangga ........ 43
iv
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran penelitian............................................................................. 4 2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck et al. 2007) ........................... 5 3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009)............................. 6 4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C) Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat....................................................... 9 5 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bandung .............. 15 6 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Patrolsari....................... 18 7 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Girimekar ..................... 18 8 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bojongemas .................. 18 9 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bogor ................... 20 10 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Situ Udik .................... 22 11 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Cikarawang................. 22 12 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bantarsari ................... 22 13 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Cirebon .............. 24 14 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bakung Lor ................. 26 15 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Grogol......................... 26 16 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Pegagan Lor................ 27 17 Pemanfaatan zona pekarangan untuk tanaman pangan dan non-pangan .......... 32 18 Keanekaragaman vertikal (strata) tanaman pekarangan ................................... 32 19 Keanekaragaman horizontal (fungsi) tanaman pekarangan.............................. 33 20 Perbandingan keanekaragaman tanaman pangan dan non-pangan................... 34 21 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bandung ................................. 37 22 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bogor ..................................... 37 23 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Cirebon .................................. 37 24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di Kabupaten Bandung (kiri), Bogor (tengah), dan Cirebon (kanan) ................................. 38 25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik ..................... 39 26 Model tiga pilar keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung .................. 44 27 Sistem pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan ........................ 46
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dengan potensi sumberdaya alam yang ada, seharusnya mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional serta kesejahteraan penduduknya. Mengacu pada definisi ketahanan pangan dari FAO (2010), maka ketahanan pangan nasional dapat diartikan sebagai kondisi ketika semua penduduk memiliki akses pangan yang cukup untuk hidup sehat dan aktif. Kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang berjumlah 243.74 juta jiwa (BPS 2014) tidaklah sedikit dan merupakan tantangan besar bagi pemerintah. Selain itu, untuk menjaga daya beli pangan untuk konsumsi, maka kesejahteraan penduduk perlu ditingkatkan. Permasalahan ketahanan pangan nasional yang dialami saat ini salah satunya adalah hasil panen menurun akibat berkurangnya lahan untuk aktivitas pertanian. Banyak ladang, kebun, dan sawah mengalami alif fungsi menjadi lahan terbangun seperti perumahan dan kawasan urban. Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan hasil mengejutkan sebab selama tahun 2000 – 2002 telah terjadi konversi lahan pertanian seluas 563 000 ha atau sekitar 188 000 ha per tahun. Pengurangan luas lahan pertanian akibat konversi lahan mencapai 7.27 % selama tiga tahun atau ratarata 2.42 % per tahun (Irawan 2005). Kemudian pada tahun 2010 – 2011 secara nasional telah terjadi konversi lahan pertanian seluas 355 360 hektar atau berkurang 1.97% dari tahun sebelumnya (BPS 2013). Kondisi demikian terjadi begitu masif terutama di Pulau Jawa, karena peningkatan kepadatan penduduk yang disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk. Jawa Barat sebagai provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia, pertumbuhan penduduknya pada tahun 2000 hingga 2010 sebesar 1.9 % per tahun (BPS 2014). Pemerintah harus bijak dalam menyikapi alih fungsi lahan pertanian yang terjadi saat ini supaya kebutuhan tempat tinggal tetap terpenuhi namun tidak sampai mengancam ketersediaan pangan dalam negeri. Tidak hanya masalah konversi lahan pertanian, faktor kemiskinan penduduk juga dapat memicu kerawanan pangan. Hal tersebut karena penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sulit memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Pada tahun 2013 sebanyak 28.55 juta jiwa penduduk Indonesia masih termasuk dalam kategori miskin (BPS 2014). Adapun di Provinsi Jawa Barat, sebanyak 4.38 juta penduduk masih berada di bawah garis kemiskinan yang kebanyakan tersebar di perdesaan (BPS 2014). Harga barang konsumsi pangan yang terus meningkat dan tidak terjangkau mengakibatkan mereka banyak yang mengalami rawan pangan. Ketika terjadi pembangunan perumahan yang menggantikan lahan pertanian, maka di sisi lain, jumlah luas agregat pekarangan akan meningkat. Kondisi tersebut dimungkinkan karena masyarakat Indonesia lebih menyukai pemukiman horizontal (landed), di mana penambahan rumah penduduk akan diikuti penambahan jumlah pekarangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI pada tahun 2010, luas total pekarangan di Indonesia mencapai lebih dari 10,3 juta hektar (Arifin 2013). Luasan tersebut merupakan modal potensial untuk menunjang ketahanan pangan. Pekarangan merupakan lahan pertanian skala rumah tangga yang biasanya ditanami beraneka ragam vegetasi serta hidup berbagai jenis hewan ternak dan/atau ikan (Arifin 1998). Area pekarangan berpotensi sebagai lokasi budidaya beraneka ragam sumber pangan seperti tanaman pertanian, hewan ternak, maupun ikan air tawar. Dalam sudut pandang ekologi, interaksi serta integrasi antar komponen biotik dan abiotik di pekarangan akan membentuk suatu ekosistem pertanian skala
2
rumah tangga. Agroekosistem pekarangan didefinisikan sebagai unit penggunaan lahan di sekitar rumah yang meliputi tanaman dan/atau hewan ternak serta lahannya sendiri, yang mengubah energi cahaya matahari, air, nutrisi, tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk-produk yang secara ekonomis bermanfaat bagi manusia (Arifin et al. 2009). Ekosistem buatan ini diharapkan bisa bermanfaat tidak hanya di sektor pangan, tetapi juga secara ekologi dan ekonomi bagi rumah tangga secara berkelanjutan. Pentingnya pekarangan untuk melawan masalah gizi buruk dan kerawanan pangan telah semakin menjadi perhatian (Kumar dan Nair 2004). Pemerintah Indonesia sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan pangan seluruh penduduknya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang (UU) No. 18 tahun 2012 tentang pangan. UU tersebut merupakan amandemen dari UU Pangan No. 7 tahun 1996 tentang pangan, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional sudah cukup berhasil, meskipun beberapa komoditas pangan pokok masih diimpor, misalnya beras, kedelai, dan daging sapi. Terkait kondisi demikian, pemerintah lalu membuat kebijakan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 43 tahun 2009 tentang gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Oleh karena itu, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian sejak tahun 2010 mencanangkan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) untuk meningkatkan keanekaragaman pangan yang bergizi seimbang, sehat, dan aman (B2SA) serta memanfaatkan komoditas pangan lokal. Program P2KP menginisiasi pengelolaan beberapa pekarangan dalam suatu kawasan untuk menunjang ketahanan pangan masyarakat. Sejumlah pekarangan pada satu kawasan atau suatu komunitas masyarakat dapat disebut pekarangan kampung (Arifin 2013). Dalam program ini, BKP melibatkan kelompok wanita tani (KWT) di desa dan kelurahan sebagai pengelola pekarangan kampung. Setiap KWT beranggota minimal 10 orang atau 10 pekarangan yang disebut dasa wisma, serta memiliki satu kebun bibit kelompok. Program P2KP direncanakan berjalan selama 5 tahun sejak 2010 hingga 2015 (BKP 2012), yang mana setiap KWT mendapat dana bantuan modal dan pengembangan usaha secara bertahap di setiap tahunnya. Pengelolaan pekarangan kampung diharapkan bermanfaat menunjang ketahanan pangan dalam aspek sosial, ekologi, dan ekonomi bagi rumah tangga maupun masyarakat lokal secara berkelanjutan. 1.2. Perumusan Masalah Pekarangan sebagai agroekosistem merupakan bentuk pertanian skala rumah tangga. Luasan agregat pekarangan di Indonesia sangat potensial sebagai penunjang atau alternatif sumber pangan nasional yang dimulai dari skala rumah tangga atau keluarga. Hal tersebut dengan syarat pemilik pekarangan tidak hanya memelihara tanaman hias sebagai ornamen rumah tetapi juga membudidayakan tanaman pangan dan hewan ternak. Produk pekarangan memiliki nilai tambah yaitu bisa dikonsumsi oleh rumah tangga atau dijual, namun tetap mempertahankan manfaat sosial dan ekologinya (Kehlenbeck et al. 2007). Nilai ekonomi dari produk pekarangan bisa menunjang ketahanan pangan rumah tangga, dengan asumsi uang yang diperoleh dari penjualan produk kemudian digunakan untuk membeli kebutuhan pangan.
3
Keanekaragaman hayati pertanian yang ada di suatu pekarangan sebaiknya memperhatikan aspek agroekologi. Hal ini maksudnya adalah perlu ada kesesuaian antara komponen biotik dengan abiotik sehingga dapat membentuk agroekosistem pekarangan yang produktif. Komponen abiotik yang perlu diperhatikan yaitu iklim, suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, ketersediaan air, dan jenis tanah. Beberapa komponen tersebut biasanya dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut dan letak geografis. Maka menarik untuk dikaji ada atau tidaknya perbedaan komoditas pertanian dan hasil panen dari pekarangan yang berada pada ketinggian dan letak yang berbeda. Tidak hanya itu, aspek sosial-budaya dalam hal organisasi masyarakat pada tiap lokasi pun dapat dikaji. Lokasi yang dimaksud ini diklasifikasikan menjadi dataran tinggi, sedang, dan rendah. Idealnya klasifikasi ketiga lokasi penelitian berada dalam satu daerah aliran sungai (DAS) yang terdiri atas upper stream (hulu), middle stream (tengah), dan down stream (hilir). Lokasi pelaksanaan program P2KP telah ditentukan oleh BKP tingkat provinsi, yang mana tidak setiap desa/kelurahan di kabupaten/kota terpilih sebagai penerima program ini. Berdasarkan data dan rekomendasi dari BKP Jawa Barat tidak memungkinkan untuk mengambil sampel dalam satu DAS. Kajian beberapa pekarangan kampung dibuat menyeluruh, yang mana fungsi pekarangan tidak hanya dipandang dari aspek ketahanan pangan, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Pengelolaan pekarangan kampung yang dilakukan oleh KWT diharapkan dapat menjawab tantangan ketahanan pangan. Meskipun banyak KWT yang baru terbentuk saat sosialisasi program P2KP, mereka dituntut untuk menghasilkan pangan yang murah, beragam, dan aman dari pekarangannya. Adapun masalah yang dikaji adalah: 1. Bagaimana kondisi eksisting pekarangan kampung milik KWT? 2. Bagaimana pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT? 3. Bagaimana kontribusi hasil pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sekaligus mengurangi belanja pangan rumah tangga, menambah income rumah tangga, dan membantu kebutuhan pangan masyarakat? 4. Bagaimana strategi pengelolaan pekarangan oleh masyarakat desa agar bisa menunjang kebutuhan pangan serta meningkatkan pendapatan rumah tangga secara berkelanjutan?
1. 2. 3. 4.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Menganalisis karakteristik agroekosistem pekarangan kampung milik KWT. Menganalisis pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT Menganalisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan. Menyusun rekomendasi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah informasi tentang karakteristik agroekosistem pekarangan kampung, aktivitas pengelolaannya oleh KWT, serta hasil evaluasi pengelolaan pekarangan kampung. Informasi tersebut lalu dirumuskan menjadi rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung yang berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu kawasan.
4
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Aspek pekarangan yang ditinjau dalam penelitian ini meliputi ekologi, pola pengelolaan, pemanfaatan produk, dan nilai ekonomi produknya. Peninjauan aspek ekologi berdasarkan kondisi perbedaan zona ekologi pekarangan. Perbedaaan zona ekologi berimplikasi pada penentuan lokasi sampel yang berada di wilayah berbeda, yaitu dataran tinggi (500 - 1 000 mdpl), sedang (150 - 500 mdpl), dan rendah (0 150 mdpl). Sampel merupakan pekarangan KWT penerima bantuan program P2KP. Program tersebut sebagai pendorong pengelolaan pekarangan kampung, yang mana pendanaannya bersumber dari pemerintah pusat dan bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di tingkat kota atau kabupaten. Aspek sosial ditinjau untuk menganalisa peran kelembagaan, yakni KWT dalam mengelola pekarangan secara kolektif. Aspek ekonomi dihitung berdasarkan nilai ekonomi produk pekarangan dari aktivitas konsumsi, berbagi, dan penjualan. Nilai ekonomi produk pekarangan mengacu pada harga yang berlaku di pasar tingkat kabupaten. 1.6. Kerangka Pikir Penelitian Masalah ketahanan pangan nasional melatarbelakangi penelitian agroekosistem pekarangan ini. Pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan sebaiknya dilakukan secara kolektif agar memberikan dampak positif bagi rumah tangga dan juga masyarakat sekitarnya. Dampak tersebut meliputi aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Aspek ekologi menyentuh kajian biofisik dari pekarangan. Aspek sosial menyentuh aspek kelembagaan pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT. Kemudian aspek ekonomi menyentuh nilai ekonomi produk pekarangan yang dikonsumsi, dibagikan, dan dijual. Produk dari penelitian ini adalah rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan (Gambar 1).
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
5
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Fungsi Pekarangan Pekarangan merupakan lahan dengan sistem terintegrasi dan mempunyai hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik dan penghuninya dengan tumbuhan dan tanaman serta dengan hewan-hewan yang diternaknya (Arifin 2010). Pekarangan dapat dianalogikan sebagai miniatur praktik agroforestri skala rumah tangga (Arifin et al. 2009). Fungsi dasar pekarangan, khususnya di area perdesaan, yaitu sebagai sumber produksi pangan subsisten (Kumar dan Nair 2004). Secara umum, agroekosistem pekarangan memiliki fungsi produksi dan jasa lingkungan (Kehlenbeck et al. 2007). Fungsi produksi berkaitan dengan peran langsung dari konsumsi atau pemanfaatan tanaman dan hewan yang dibudidayakan, serta peran komersial dari penjualan komoditas pekarangan; sedangkan fungsi jasa lingkungan berkaitan dengan sosial, budaya, dan ekologi (Gambar 2). Pekarangan berfungsi untuk menghasilkan: 1) bahan pangan tambahan hasil sawah dan tegalan; 2) sayur dan buah-buahan; 3) unggas, ternak kecil, dan ikan; 4) rempah-rempah, bumbu, dan wangi-wangian; 5) bahan kerajinan tangan; dan 6) uang tunai (Deptan 2002). Selain itu, pekarangan juga memberi manfaat jasa lingkungan. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan bisa ditekankan pada fungsi pekarangan yang berimbang secara produktif, baik sisi ekonomis maupun ekologis (Arifin 2013).
Gambar 2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck et al. 2007) 2.2. Biofisik Pekarangan Biofisik pekarangan terdiri atas beberapa aspek, yaitu ukuran (luas), zonasi, keragaman vertikal (strata) tanaman, serta keragaman horizontal (fungsi) tanaman dan hewan di pekarangan (Arifin 1998, Arifin et al. 2009, 2010, Azra 2014). 2.2.1. Ukuran Pekarangan Ukuran lahan pekarangan sebagai media usaha tani sangat menentukan intensitas produksi dalam pekarangan (Arifin et al. 2013). Ukuran pekarangan juga salah satu modal dalam pengelolaan pekarangan, dengan asumsi bahwa semakin luas lahan maka semakin banyak aktivitas pertanian yang bisa dilakukan (Budiman
6
et al. 2015). Pekarangan diklasifikasikan ke dalam empat ukuran, yaitu: (1) pekarangan sempit dengan luas kurang dari 120 m2, (2) pekarangan sedang dengan luas 120 m2 s.d. 400 m2, (3) pekarangan besar dengan luas 400 m2 s.d. 1000 m2, dan (4) pekarangan sangat besar dengan luas lebih dari 1 000 m2 (Arifin 1998; Arifin et al. 2012). Ukuran pekarangan yang lebih kecil biasanya ditemukan di kawasan perkotaan (urban) serta di lokasi yang lebih tinggi (Brownrigg 1985). Model dan penggunaan pekarangan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dipengaruhi oleh ukuran luas lahannya. Sebuah pekarangan agar dapat mengakomodasi semua struktur dan fungsi vegetasi, dibutuhkan luas minimum atau critical minimum size seluas 100 m2 (Arifin et al. 1997, 1998a; Arifin 1998). Pada pekarangan kota yang memiliki karakter ukuran sempit tentu diperlukan rekayasa dalam budidaya semisal dengan menanam buah di dalam pot (tabulampot), vertical garden, green screen garden, hanging garden, green roof garden, dan lain-lain (Arifin et al. 2009, 2010). 2.2.2. Zona Pekarangan Model pekarangan rumah didasarkan pada pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat setempat. Pekarangan sebagai tipe taman rumah Indonesia (Arifin dan Nakagoshi 2011) memiliki zona sebagai bentuk tata ruang sesuai lokasi geografis dan kondisi sosial budaya yang berlaku di lingkungan pekarangan. Pada umumnya pekarangan terdiri dari empat zona (Gambar 3), yaitu (1) pekarangan depan, (2) pekarangan samping kiri, (3) pekarangan samping kanan, serta (4) pekarangan belakang (Arifin 1998, 2002, Arifin et al. 1997, 2009). Seperti halnya pekarangan di Jawa Barat, suku Sunda menamai zona depan pekarangan mereka sebagai buruan, samping sebagai pipir, dan belakang sebagai kebon (Arifin 2009). Pembagian zona tersebut berguna dalam mempelajari bagaimana anggota rumah tangga memanfaatkan pekarangan. Zona depan merupakan tempat penting untuk sosialisasi dan pembelajaran nilai sosial budaya kepada anak-anak yang dilakukan oleh orang tua (Arifin 1998). Zona depan juga berfungsi sebagai tempat untuk ritual keagamaan dan upacara kebudayaan, pertemuan, serta arena bermain anak-anak (Abdoellah 1985). Zonasi ini menentukan pengelolaan pekarangan. Tanaman yang digunakan untuk estetika banyak ditemukan di zona depan, sedangkan tanaman-tanaman untuk agroforestri banyak ditemukan di zona samping dan belakang (Arifin et al. 1996). Hal ini didukung oleh Azra et al. (2014) yang menyatakan bahwa preferensi penanaman di zona depan lebih banyak untuk tanaman hias, sedangkan di zona belakang cenderung ditanami berbagai tanaman pangan. pintu masuk
Zona Depan Zona Samping kanan
Zona Samping kiri
Zona Belakang Gambar 3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009)
7
2.2.3. Keragaman Horizontal (Fungsi) Keragaman horizontal mengacu pada fungsi atau manfaat dari tanaman dan hewan yang ada di pekarangan. Tanaman pertanian di pekarangan diklasifikasikan berdasarkan keragaman horizontal (fungsi) menjadi 8 fungsinya (Karyono 1978, Arifin et al. 1997, 1998, 2009, 2012), yaitu (1) tanaman hias; (2) tanaman buah; (3) tanaman sayuran; (4) tanaman bumbu; (5) tanaman obat; (6) tanaman penghasil pati; (7) tanaman industri; (8) tanaman lain, yaitu tanaman yang tidak termasuk dalam kategori di atas. Penentuan kelompok tanaman berdasarkan fungsi ini dipengaruhi oleh preferensi pemilik pekarangan sebagai konsumen (Arifin 1997, 1998). Hewan ternak di pekarangan digolongkan berdasarkan ukurannya, yaitu ternak besar, ternak kecil, dan ikan air tawar (Azra 2014). Ternak besar yaitu hewan mamalia berukuran besar dengan berat lebih dari 10 kg serta memerlukan kandang yang ditempatkan di pekarangan secara khusus, contohnya sapi, kerbau, kambing, dan domba. Ternak kecil yaitu hewan mamalia berukuran kecil dengan berat kurang dari 10 kg dan unggas yang penempatan kandangnya bisa dipindah-pindahkan, contohnya kelinci, ayam, entog, bebek, itik, dan angsa. 2.2.4. Keragaman Vertikal (Strata) Pekarangan di Indonesia selalu dicirikan dengan keragaman stratifikasi tumbuhan/tanaman yang cukup tinggi, mulai dari jenis rerumputan, herbaceous, semak, perdu, dan pohon tinggi (Arifin et al. 1997, 2010, 2012). Struktur tanaman pekarangan tersebut akan membentuk multilayer (berlapis) yang merepresentasikan sistem agroforestri (Arifin 1998). Berdasarkan keragaman vertikal (strata), tanaman pekarangan terdiri atas strata I s.d. V dengan ketinggian tajuk yang berbeda-beda (Arifin 1998). Strata I yakni tanaman yang tingginya kurang dari 1 m, kelompok semak/herba/rumput, misal talas, ubi jalar, jahe, tomat, cabai, terong, bayam, kangkung, semangka, dan nanas; strata II yakni tinggi tanaman 1-2 m, semak/herba, misal singkong, katuk, suji, rosella, ganyong, dan kacang panjang; strata III yakni tinggi tanaman 2-5 m, kelompok perdu kecil/semak, misal jeruk, lemon, pisang, pepaya, dan mengkudu; strata IV yakni tinggi tanaman 5-10 m, kelompok pohon kecil/perdu besar, misal jambu biji, nangka, rambutan, mengkudu, dan sawo; dan strata V yakni tanaman yang tinggi tajuknya lebih dari 10 m, kelompok pohon tinggi, misalnya petai, jengkol, durian, melinjo, salam, kelapa, sukun, dan duku. 2.3. Agroekosistem Agroekosistem yaitu unit penggunaan lahan yang meliputi tanaman dan/atau hewan ternak serta lahannya sendiri, yang mengubah energi matahari, air, nutrisi, tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk-produk yang secara ekonomis bermanfaat bagi manusia; seperti bahan pangan, pakan, sandang, maupun papan (Arifin et al. 2009). Pekarangan adalah salah satu bentuk nyata dari sebuah agroekosistem. Produktivitas tanaman atau hewan ternak dan ikan dipengaruhi oleh kesesuaiannya dengan lingkungan tempat dibudidayakan. Pada pekarangan di Jawa Barat, ditemukan integrasi antara manusia, tanaman, dan hewan yang membentuk sebuah rantai makanan (Soemarwoto dan Soemarwoto 1981). Prinsip agroekologi digunakan dalam pengelolaan agroekosistem untuk meningkatkan fungsi biodiversitas yang integral di dalamnya (Gliessman 1998). Pendekatan agroekosistem terhadap nilai penting keanekaragaman hayati atau biodiversitas berbeda dengan pendekatan ekosistem alam (Moonen dan Barberi 2008).
8
Keanekaragaman hayati di dalam pengelolaan agroekosistem telah diseleksi oleh manusia dengan memilih spesies, varietas, dan ras yang lebih produktif, serta mengurangi spesies, varietas, dan ras yang kurang produktif. Langkah tersebut dilakukan karena agroekosistem tumbuh dan dikelola dengan tujuan memproduksi pangan, pakan, dan bahan baku (Moonen dan Barberi 2008). 2.4. Ketahanan Pangan Mengacu pada Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Pada Perpres No. 68 tahun 2002 pasal 1 dan UU No. 18 tahun 2012 dijelaskan bahwa ketahanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi di mana terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. 2.5. Aspek Keberlanjutan Penggunaan terbaik dari lahan dalam konsep keberlanjutan (sustainability) dispesifikasikan sebagai satu situasi keseimbangan atau integrasi antara efisiensi, ekuitas, dan penggunaan sumberdaya alam (Miranda 2001). Pekarangan merupakan lambang keberlanjutan (Kumar dan Nair 2004). Aspek pangan dan ekonomi perlu diperhatikan mengingat hasil produksi dari pekarangan merupakan indikator keberhasilan pengelolaan pekarangan, selain itu cukup banyak hasil pekarangan yang berpotensi sebagai sumber pemasukan ekonomi bagi rumah tangga (Michon dan Mary 1994). Keseimbangan dan keberlanjutan lanskap pekarangan dapat dicapai dengan mengaplikasikan konsep triple bottom line benefit, yakni lingkungan (ekologi), masyarakat (sosial-budaya), dan ekonomi (Arifin et al. 2009). Konsep tersebut dijabarkan sebagai berikut: a. Dimensi lingkungan mengacu pada masalah kelestarian alam seperti keragaman lanskap, kualitas kehidupan, kelangkaan sumberdaya, dan variabel-variabel lingkungan yang terkait dengan kemanusiaan. Faktor biodiversitas juga menjadi kunci strategi ekologis menuju keberlanjutan produksi pertanian (Altieri 1999). Orientasi pada ekologi seyogianya dilakukan dengan misi konservasi yang berprinsip pada pemanfaatan yang peduli lingkungan (Arifin et al. 2009). Pemanfaatan lahan dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dapat memenuhi keperluan saat ini sekaligus mengawetkan sumberdaya tersebut untuk generasi yang akan datang, hal ini tentunya memerlukan kombinasi bijak antara produksi dan konservasi. b. Dimensi sosial memperhatikan masalah-masalah ekuitas atau masalah distribusi dan keadilan, seperti distribusi pendapatan, akses ke sumber pangan, dan tingkat kesejahteraan hidup. Dengan kata lain, harus dikaji dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dimaksud.
9
Konsep yang berpihak pada masyarakat diacu pada kesejahteraan secara rohani dan jasmani masyarakat itu sendiri (Arifin et al. 2009). c. Dimensi ekonomi berhubungan dengan masalah efisiensi (penghematan) serta kesejahteraan seperti pendapatan, produksi, dan investasi. Pada konteks ketahanan pangan, penggunaan pekarangan sebaiknya layak secara ekonomi dalam arti memberikan hasil produksi yang optimal. Pengelolaan lahan harus diarahkan pada aktivitas produktif dan efisien.
3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat dengan mengambil sampel di tiga wilayah dengan ketinggian yang berbeda. Ketiga wilayah tersebut yaitu dataran tinggi (600 – 1 200 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bandung, dataran sedang (150 – 600 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bogor, dan dataran rendah (0 – 150 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Cirebon (Gambar 4). Pada setiap kabupaten tersebut dipilih 3 kecamatan yang memiliki satu desa yang terdapat kelompok wanita tani (KWT) penerima program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Lokasi sampel di Kabupaten Bandung berada di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas. Lokasi sampel di Kabupaten Bogor berada desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari. Lokasi sampel di Kabupaten Cirebon berada di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor. Sampel terpilih yaitu pekarangan milik anggota KWT penerima P2KP di desa tersebut. Masing-masing KWT memiliki 10 pekarangan anggota yang disebut dasa wisma. Satu wilayah atau kabupaten diwakili oleh 30 sampel pekarangan. Total sampel berjumlah 90 pekarangan berikut pemiliknya yang tersebar merata di sembilan kawasan (Tabel 1). Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga bulan Juni 2014.
B
C A
Sumber: Bakosurtanal 2003
Gambar 4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C) Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
10
Tabel 1 Lokasi sampel kelompok wanita tani penerima program P2KP No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten Bandung (dataran tinggi) Bogor (dataran sedang) Cirebon (dataran rendah)
Kecamatan Arjasari Cilengkrang Solokanjeruk Cibungbulang Dramaga Rancabungur Jamblang Gunung Jati Kapetakan
Desa Patrolsari Girimekar Bojongemas Situ Udik Cikarawang Bantarsari Bakung Lor Grogol Pegagan Lor
KWT Mawar Sauyunan Melati 2 Teratai Mawar Rukun Tani Jambu Alas Bina Sri Lestari Harum Sari
3.2. Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan beberapa peralatan dalam bentuk perangkat keras (hardware) perangkat lunak (software) (Tabel 2). Perangkat keras digunakan saat melakukan survei lapang dan wawancara, sedangkan perangkat lunak digunakan pada pengolahan data yang terhimpun. Bahan-bahan yang digunakan berbentuk data yang diperlukan untuk analisis (Tabel 3). Tabel 2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian Alat Perangkat keras (hardware) Lembar kuisioner Kamera digital Meteran Abney level GPS Perangkat lunak (software) Microsoft Excel 2013
Kegunaan Catatan data sementara dari hasil survei di lapang Pengambilan data visual kondisi wilayah setempat Pengukuran luas pekarangan dan tanaman Pengukuran ketinggian tanaman Pengecekan lapang dan delineasi Pengolahan data kuesioner dan analisis ekonomi
Tabel 3 Data yang diperlukan dalam penelitian. Jenis Data Aspek Ekologi 1. Iklim 2. Kondisi umum pertanian 3. Fisik pekarangan 4. Biodiversitas pekarangan kampung Aspek Sosial 1. KWT penerima P2KP 2. Data demografi anggota KWT 3. Evaluasi pengelola pekarangan kampung Aspek Ekonomi 1. Pemanfaatan dan nilai ekonomi produk 2. Persepsi pemasaran produk pekarangan kampung
Bentuk Data
Sumber
- Statistik - Statistik - Ukuran dan zona - Daftar dan fungsi tanaman pekarangan
- Agroklimat - BPS, BKP5K - Survei lapang - Survei lapang dan wawancara
- Laporan kegiatan - Usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan - Pemanfaatan pekarangan dan P2KP
- BKP kabupaten - Wawancara
- Informasi harga komoditas pertanian di pekarangan
- Survei pasar
- Deskriptif
- Wawancara dan FGD
- Wawancara dan FGD
11
3.3. Metode Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan yaitu survei lapangan, wawancara, dan diskusi kelompok atau focus group discussion (FGD). Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling. Pemilihan tiga kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bandung, Bogor, dan Kabupaten Cirebon mewakili kondisi lingkungan yang berbeda berdasarkan letak geografis dan ketinggiannya di atas permukaan laut (mdpl). KWT diseleksi berdasarkan rekomendasi dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Barat dan kabupaten yang merupakan penerima program P2KP pada tahun 2011 dan 2012. Pada satu kabupaten dipilih tiga KWT, lalu dipilih 10 anggota sebagai responden oleh ketua KWT. Metode survei dilakukan dengan pengamatan langsung ke pekaranganpekarangan, kebun bibit kelompok, lingkungan pekarangan kampung, dan harga komoditas pertanian di pasar terdekat. Wawancara dilakukan kepada anggota KWT dan pihak terkait di tingkat desa dan kabupaten. Aktivitas wawancara terhadap pemilik pekarangan terkait beberapa aspek, yaitu: aspek ekologi (ukuran luas dan zonasi pekarangan, sumber air, keragaman tanaman dan hewan yang dipelihara), aspek pengelolaan pekarangan kampung, dan pemanfaatan produk pekarangan. Studi pustaka juga dilakukan sebagai informasi tambahan dan bahan analisis atau referensi kesesuaian komoditas pertanian di pekarangan dengan lingkungannya. 3.4. Metode Pengolahan Data Tahap selanjutnya setelah data terhimpun yaitu dilakukan beberapa analisis, yaitu: 1) analisis ekologi pekarangan sebagai suatu agroekosistem, 2) analisis sosial pada pengelolaan pekarangan kampung, 3) analisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk dari pekarangan, serta 4) penyusunan strategi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung dalam menunjang ketahanan pangan yang berkelanjutan. 3.4.1. Analisis Karakteristik Pekarangan Karakteristik pekarangan sebagai dasar dalam pengembangan pekarangan dianalisis secara deskriptif. Analisis karakteristik pekarangan yaitu (Arifin 1998, Arifin et al. 2013): 1) kondisi lingkungan (ketinggian, suhu, dan curah hujan); 2) klasifikasi ukuran sempit (< 120 m2), sedang (120 – 400 m2), besar (400 – 1000 m2), dan sangat besar (> 1000 m2); dan 3) agro-biodiversitas berdasarkan fungsi tanaman (hias, sayur, buah, pati, bumbu, obat, industri, dan lainnya). Selain itu juga dikaji keberadaan dan pemanfaatan hewan ternak dan ikan, baik jenis maupun jumlahnya; (7) sumber air; (8) pemeliharaan pekarangan (pemberian pupuk serta pengendalian hama dan penyakit). Jenis ternak dikelompokkan menjadi ternak besar dan kecil, yang mana ternak besar hanya spesies domba dan kambing, adapun ternak kecil yaitu ayam, bebek, angsa, dan kelinci. Pembatasan hewan besar agar tidak ada pencilan data pada angka bobot komoditas pekarangan, sehingga tidak termasuk spesies sapi dan kerbau. 3.4.1.1. Analisis Dominansi Tanaman Pekarangan Analisis dominansi tanaman dilakukan dengan metode Summed Dominance Ratio (SDR) untuk mengetahui komposisi tanaman yang ada di pekarangan. Agar diketahui angka SDR dari tanaman tersebut, nilai kerapatan relatif spesies (RDa) dan nilai frekuensi relatif spesies (RFa) harus diketahui terlebih dahulu. Adapun rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai RDa, RFa, dan SDR adalah sebagai berikut (Kanara 2012):
12
𝑅𝐷𝑎 (%) =
𝑅𝐹𝑎 (%) =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑎 × 100 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑎 × 100 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑆𝐷𝑅𝑎 (%) =
𝑅𝐷𝑎 + 𝑅𝐹𝑎 2
Nilai kerapatan dan frekuensi tersebut dihitung per spesies tanaman di setiap pekarangan. Terkait dengan fungsi dasar pekarangan sebagai penunjang ketahanan pangan rumah tangga maka hanya jenis tanaman pangan (obat, sayur, buah, bumbu, penghasil pati) yang dinilai SDR-nya. Setelah mengetahui angka SDR dari setiap spesies di pekarangan, lalu dibandingkan dengan spesies lainnya di dalam satu pekarangan kampung. Angka SDR rata-rata per spesies tanaman di pekarangan dalam suatu kabupaten diperoleh dari nilai SDR-nya per pekarangan kampung. Hal ini berguna untuk mengetahui spesies tanaman pangan apa yang paling banyak (mendominasi) di pekarangan kampung dalam suatu kabupaten. Semakin tinggi nilai SDR spesies tanaman berarti keberadaan spesiesnya semakin dominan. 3.4.1.2. Analisis Keragaman Shannon-Wiener Komoditas pekarangan yang dianalisis meliputi tanaman, hewan ternak, dan ikan yang ditemukan di setiap pekarangan, yang kemudian diketahui nilai rata-rata keberadaannya untuk suatu kabupaten. Tanaman yang dianalisis terbatas pada jenis tanaman pangan, yaitu tanaman obat, sayur mayur, buah-buahan, bumbu, serta penghasil pati. Keragaman tanaman tersebut dianalisis dengan metode Shannon – Wiener (Azra et al. 2014), yang mana rumusnya sebagai berikut: 𝑠
′
𝐻 = − ∑ 𝑝𝑖 ln(𝑝𝑖) Keterangan:
H’ Pi ni n ln s
𝑖=1
= Indeks keanekaragaman hayati Shannon-Wiener = ni/n = jumlah individu jenis ke-i = jumlah individu dari semua spesies = logaritma natural (bilangan alami) = jumlah jenis yang ada
Nilai perhitungan indeks keragaman (H’) tersebut menunjukkan keragaman spesies tinggi bila H’ > 3, keragaman spesies sedang dengan nilai 1 < H’ < 3, atau keragaman spesies rendah bila H’ < 1 di lokasi penelitian (Azra 2014). Semakin tinggi keragaman spesies maka agroekosistem itu semakin baik secara ekologi. 3.4.2. Analisis Sosial Analisis sosial dalam pengelolaan pekarangan kampung meliputi demografi (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan anggota KWT). Informasi tersebut penting dalam perumusan rekomendasi strategi pengelolaan pekarangan. Umur rata-rata untuk melihat potensi kemampuan responden. Tingkat pendidikan responden diklasifikasikan mulai dari lulus sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan diploma atau sarjana (D3/S1). Pekerjaan responden digolongkan menjadi ibu rumah tangga (IRT), petani atau buruh tani, wirausaha atau pedagang, pegawai atau buruh, dan usaha lainnya. Pendapatan rata-rata responden per bulannya dikelompokkan dalam beberapa kelas
13
yaitu: 1) kurang dari Rp 500 000, 2) Rp 500 001 – Rp 1 000 000, 3) Rp 1 000 001 – Rp 1 500 000, 4) Rp 1 500 001 – Rp 2 000 000, 5) Rp 2 000 001 – Rp 2 500 000, dan 6) Rp 2 500 001 – Rp 3 000 000. Pendapatan ini tidak termasuk pendapatan bulanan dari suami atau anaknya. Besarnya pendapatan tambahan dari pekarangan akan dibandingkan dengan nilai pendapatan responden untuk diketahui persentase kontribusi hasil pengelolaan pekarangan terhadap pendapatan responden. 3.4.3. Analisis Hasil Pekarangan dan Nilai Ekonomi Produk 1. Analisis hasil dari panen tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan dilakukan sebagai berikut: a. Menghitung rata-rata produksi tanaman pekarangan per fungsi (Arifin 1998), ternak, dan ikan dalam satu tahun. Digunakan kalender tanam sebagai referensi siklus tanaman semusim. b. c. Digunakan referensi umur panen hewan ternak dan ikan budidaya. d. Satuan-satuan lokal yang ditemui saat survei seperti ikat atau karung dikalibrasi dengan satuan baku yakni kilogram (kg). 2. Analisis pemanfaatan hasil panen pekarangan dilakukan dengan pengelompokkan hasil atau produk dari pekarangan sesuai keinginan pemiliknya. Lalu diperoleh tiga kelompok pemanfaatan produk pekarangan, yaitu konsumsi rumah tangga, dibagikan ke tetangga, dan dijual ke pasar. 3. Analisis nilai ekonomi hasil panen di pekarangan dilakukan dengan cara: a. Harga komoditas pertanian yang digunakan adalah harga beli pada saat survei di masing-masing kabupaten dalam satuan rupiah (Rp). Penghematan rumah tangga dihitung melalui valuasi hasil panen dari b. pekarangan yang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga dengan harga komoditas yang serupa di pasaran; c. Kontribusi sosial dihitung melalui valuasi hasil panen yang diberikan ke tetangga atau saudara dengan harga komoditas yang serupa di pasar. d. Menghitung tambahan nilai ekonomi bagi rumah tangga dengan valuasi hasil produksi pekarangan yang dijual ke pasar. e. Pendapatan tambahan ini dihitung dalam waktu satu tahun, sehingga perhitungannya disesuaikan dengan jumlah panen dalam setahun. 3.4.4. Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Penyusunan rekomendasi dimulai dari kajian tujuan pertama (karakteristik agroekosistem dan pengelolaan pekarangan kampung), kedua (hasil produksi dan nilai ekonomi produk pekarangan), dan kelembagaan serta kebijakan yang terkait pengelolaan pekarangan kampung. Tahap diskusi bersama pihak-pihak yang terkait pengelolaan pekarangan kawasan dilakukan untuk memperoleh informasi yang komprehensif. Pihak yang terkait tersebut yaitu KWT, penyuluh atau pendamping KWT, perangkat desa, dan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di kabupaten. Bentuk diskusi dilakukan personal maupun dalam forum grup diskusi yang mana menghadirkan pakar pekarangan dari institusi pendidikan. Perumusan dilakukan secara deskriptif berdasarkan informasi yang dihimpun dan data hasil analisis. Berbagai macam parameter tersebut dikelompokkan menurut analisis yang digunakan pada setiap tujuan. Secara umum meliputi analisis agroekosistem, sosial, dan ekonomi, sebagai penunjang keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung. Matriks keterkaitan antara tujuan, standar, metode, alat, dan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.
14
Tabel 4 Analisis, standar, metode, dan analisis dalam mengolah data Tujuan a.
b.
c.
d.
e.
Standar
Metode
Alat
1. Analisis karakteristik agroekosistem pekarangan kampung Kondisi Ketinggian lokasi (mdpl), survei dan lembar lingkungan suhu udara (oC), curah tinjauan survei hujan (mm/tahun), dan pustaka jarak desa ke kota (km) Ukuran Klasifikasi Arifin (1998): survei meteran 1. sempit (< 120 m2) dan lembar 2. sedang (120 – 400 m2) survei 3. besar (400 – 1000 m2) 4. sangat besar (> 1000 m2) Zonasi Klasifikasi menurut Arifin survei kamera (1998): a) zonasi depan, b) digital, samping, dan c) belakang catatan Keragaman Klasifikasi Arifin (1998): survei abney level, vertikal 1. Strata V (>10 m) lembar tanaman 2. Strata IV (5-10 m) survei, dan (strata) 3. Strata III (2-5 m) kamera 4. Strata II (1-2 m) digital 5. Strata I (<1 m) Keragaman Klasifikasi fungsi tanaman survei dan lembar horizontal (Arifin 1998): tanaman wawancara survei, dan tanaman hias, obat, sayur, buah, kamera dan hewan bumbu, penghasil pati, digital ternak industri, dan tanaman (fungsi) lainnya. Jenis dan jumlah ternak serta ikan. 2. Analisis pengelolaan pekarangan kampung Demografi 1) umur, wawancara lembar pengelola 2) tingkat pendidikan, kuesioner pekarangan 3) jenis pekerjaan, kampung 4) pendapatan, 5) kondisi kebun bibit
Analisis Karakteristik agroekosistem kawasan dan komoditas pertanian lokal Ukuran pekarangan minimum, rata-rata, dan maksimum di lokasi penelitian Intensitas zonasi setiap ukuran pekarangan Keanekaragaman jenis dan jumlah spesies tanaman pekarangan berdasarkan strata
Keanekaragaman jenis dan jumlah spesies tanaman dan hewan ternak di pekarangan berdasarkan fungsi
1) umur produktif, 2) pemahaman kerja dan ilmu pertanian, 3 & 4) waktu mengelola pekarangan dan status sosial, 5) kelanjutan suplai bibit tanaman 3. Analisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan kampung a. Hasil panen Dikonversi dalam satuan survei dan lembar Jumlah produk dari pekarangan kilogram (kg) per tahun wawancara kuesioner pekarangan kampung b. Distribusi 1. Dikonsumsi sendiri survei dan lembar Konsumsi rumah hasil dari 2. Dibagikan ke tetangga wawancara kuesioner tangga, kepedulian pekarangan 3. Dijual ke warung/pasar sosial, dan penjualan c. Nilai ekonomi produk
1. Penghematan biaya 2. Sumbangan sosial 3. Pendapatan tambahan
wawancara, konversi nilai produk
d. Produktivitas
Nilai ekonomi pekarangan per satuan meter persegi
perhitungan
lembar kuesioner, harga pasar
Nilai penghematan biaya, kepentingan sosial, dan pendapatan
data produk Tingkat produktivitas dan luas pekarangan kawasan lahan 4. Rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung sebagai agroekosistem dalam menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan Penyusunan rekomendasi dalam wawancara Lembar Persepsi pihak terkait pengelolaan pekarangan kampung oleh dan diskusi kuesioner, tentang pengelolaan KWT sebagai suatu agroekosistem kelompok notulensi pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan (FGD) FGD dan penjualan produk yang berkelanjutan secara kolektif
15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Situasional 4.1.1.
Kondisi Umum Kabupaten Bandung Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 176.240 ha (BPS Kab. Bandung 2013), yang terletak pada 107°22' – 108° 50' Bujur Timur dan 64°1' – 7°19' Lintang Selatan. Batas-batas administratif Kabupaten Bandung adalah: • bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Sumedang; • bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut; • bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur; • bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan dan 278 desa, yang mana tiga desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Patrolsari di Kecamatan Arjasari, Desa Girimekar di Kecamatan Cilengkrang, dan Desa Bojongemas di Kecamatan Solokanjeruk. Penduduk di Kabupaten Bandung sebanyak 3.351 juta jiwa dengan tingkat kepadatan 19.01 orang/ha. Kepadatan penduduk Kecamatan Arjasari, Cilengkrang, dan Solokanjeruk yaitu 14.47, 16.37, dan 33.24 orang/ha (BPS Kab. Bandung 2013). Sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung merupakan pegunungan dan perbukitan yang mengelilingi Kota Bandung, dengan ketinggian antara 500 – 1 800 mdpl. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson dengan curah hujan antara 1 500 – 4 000 mm/tahun. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap suhu udara yang berkisar antara 12°C – 24°C. Kelembaban udara di Kabupaten Bandung yaitu 78% saat musim hujan dan 70% saat musim kemarau. Umumnya kondisi lingkungan desa di Kabupaten Bandung masih asri (Gambar 5).
Gambar 5 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bandung Lahan pertanian di Kabupaten Bandung didominasi lahan basah atau sawah yang banyak terhampar di wilayah cekungan Bandung. Luas panen padi sawah pada tahun 2012 mencapai 78 029 ha dengan produksi sebanyak 520 437 ton. Pertanian lahan kering di Kabupaten Bandung yang banyak ditemui berupa talun dan tegalan. Luas lahan perkebunan pada tahun 2012 sekitar 52 921 ha (BPS Kab. Bandung 2013). Lahan kering dipergunakan untuk budidaya aneka tanaman pangan seperti singkong, jagung, pisang, terong, kangkung, caisin, bawang, dan tomat. Komoditas andalan kabupaten ini yaitu teh, kopi, dan cengkeh. Tanah jenis andosol, mediteran, dan aluvial yang ada di kabupaten ini cocok digunakan sebagai lahan pertanian.
16
4.1.1.1. Lingkungan Desa di Kabupaten Bandung Desa Patrolsari berada di ketinggian 835 mdpl dan merupakan lokasi penelitian yang tertinggi. Kondisi demikian berdampak pada suhu udara yang sejuk dan udara yang cukup lembab sehingga sesuai untuk tumbuhan dataran tinggi. Akses jalan ke lokasi pekarangan sampel cukup jauh dari jalan arteri Kabupaten Bandung namun masih ada jalan kabupaten yang bisa dilalui kendaraan beroda empat dan truk beroda enam. Sumber air yang dimanfaatkan untuk pengairan pekarangan di Desa Patrolsari yaitu sumur (80%), kolam ikan, dan air hujan (Tabel 5). Desa Patrolsari memiliki komoditas pertanian unggulan yaitu tanaman hanjeli yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pati dan diolah menjadi berbagai pangan alternatif. Desa Girimekar berada di ketinggian 750 mdpl dengan sebagian wilayah desa yang berupa lereng dataran tinggi, sehingga akses jalannya cukup terjal mencapai kemiringan 45o. Warga desa yang ingin membeli kebutuhan pangan harus pergi ke pasar dengan jarak sekitar 3 km, sehingga mereka mengandalkan warung terdekat. Sumber air yang dimanfaatkan untuk pengairan pekarangan di sana yaitu sumur, saluran irigasi, kolam ikan, dan air hujan (Tabel 5). Warga desa ini membuat saluran air dari mata air, namun lebih banyak mengandalkan air sumur (40%) terutama pada musim kemarau. Suhu udara yang sejuk dan tersedianya air akan mendukung pertumbuhan berbagai tanaman dataran tinggi, tidak terkecuali padi sawah. Potensi lokal sekaligus komoditas pertanian andalan desa ini yaitu padi dan cengkeh. Desa Bojongemas berada di ketinggian yang kurang lebih sama dengan Kota Bandung yaitu 650 mdpl (Tabel 5), sehingga suhu udaranya masih cukup sejuk. Akses jalan menuju lokasi penelitian mudah dilalui karena dekat dari jalan arteri Kabupaten Bandung dan jalannya cukup lebar. Penggunaan lahan masih didominasi oleh pertanian, terutama berupa padi sawah dan kebun. Sumber air yang digunakan untuk pengairan pekarangan di Desa Bojongemas yaitu sumur, kolam ikan, dan air hujan. Ada 80% warga yang memanfaatkan air sumur, terutama selama musim kemarau. Pada saat musim hujan desa ini kerap mengalami banjir karena luapan dari sungai Citarum sehingga merusak tanaman pertanian. Bencana banjir juga merugikan pemilik kolam ikan karena banyak ikan yang hilang bila terjadi banjir. Komoditas pertanian andalan Desa Bojongemas yaitu padi sawah. Tabel 5 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bandung Nama Desa Patrolsari Girimekar Bojongemas
Ketinggian (mdpl) 835 750 650
Jarak ke kota (km) 11.0 6.0 8.0
Sumber air pekarangan (%) sumur kolam irigasi hujan 80 10 0 10 40 10 30 20 80 20 0 0
Komoditas andalan Hanjeli Cengkeh Padi
4.1.1.2. Pekarangan Kampung di Kabupaten Bandung Pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas memiliki ukuran rata-rata seluas 190 m2, 457 m2, dan 212 m2 sebagai tempat bertani skala rumah tangga. Ukuran pekarangan terbesar di ketiga desa ini adalah 368 m2, 950 m2, dan 565 m2, sedangkan ukuran terkecilnya masing-masing yaitu 73 m2, 136 m2, dan 20 m2 (Tabel 6). Seluruh pekarangan di ketiga desa ini memiliki zona depan yang biasa disebut buruan. Warga desa biasa memanfaatkan zona depan untuk tempat bersosialisasi dengan tetangga. Ada 70% pekarangan di Desa Bojongemas yang memiliki zona belakang, sedangkan di Desa Girimekar hanya 40% yang memiliki
17
zona belakang. Sebagian besar pekarangan di ketiga desa memiliki zona samping yang disebut pipir (Arifin 2009). Beberapa pekarangan memiliki kandang hewan ternak dan kolam ikan (Tabel 6). Kandang ternak unggas ditemukan di sebagian besar (80%) pekarangan warga Desa Patrolsari. Berdasarkan pengamatan, kandang hewan ternak dan kolam ikan lebih banyak diletakkan di zona samping dan belakang, sedangkan zona depan ditanami tanaman hias dan pangan. Tabel 6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas, Kabupaten Bandung Nama Desa
Min 73 136 20
Patrolsari Girimekar Bojongemas
Luas (m2) Maks Rata-rata 368 190 950 457 565 212
Dpn 100 100 100
Zonasi (%) Blk Ki 60 70 40 70 70 50
Fasilitas (%) KTB KTK Kol 40 80 20 30 50 30 20 60 40
Ka 60 40 40
Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar
Ka = samping kanan Kol = kolam ikan
Keanekaragaman tanaman pekarangan berpengaruh terhadap strata tanaman. Kebanyakan tanaman yang dipelihara di pekarangan Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas termasuk kelompok strata I dan II. Rata-rata di pekarangan setiap desa memiliki 32 jenis tanaman strata I, 18 jenis tanaman strata II, 12 jenis tanaman strata III, hanya 2 jenis tanaman strata IV, dan 11 jenis tanaman strata V. Kemudian menurut fungsinya, tanaman hias dan buah sebagai jenis yang paling beragam di pekarangan Desa Patrolsari (Gambar 6). Tanaman pekarangan di Desa Girimekar didominasi oleh jenis tanaman hias, bumbu, dan sayur (Tabel 7). Tanaman pangan yang dibudidayakan di desa tersebut sudah lebih spesifik untuk lingkungan dataran tinggi. Contoh tanaman yang ditemui di pekarangan dataran tinggi yaitu jahe merah, brokoli, lobak, blueberry, stroberi, dan hanjeli. Tabel 7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas Nama Desa Patrolsari Girimekar Bojongemas Rata-rata
I 29 41 26 32
Strata Tanaman II III IV 19 10 1 16 13 3 18 12 2 18 12 2
V 12 9 13 11
a 24 33 12 24
b 5 5 5 5
Fungsi Tanaman c d e f 9 17 7 5 13 18 6 2 16 18 9 5 13 18 7 4
g 2 3 2 2
h 2 2 1 2
Ternak B K 1 3 0 3 1 3 1 3
I 2 3 2 2
Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f), industri (g), dan lainnya (h) Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)
Menurut informasi dari penduduk lokal, 20 tahun yang lalu Desa Girimekar merupakan perkebunan cengkeh yang termasuk tanaman strata IV yang berfungsi sebagai tanaman industri (Gambar 7). Dikarenakan penduduk desa terus bertambah serta harga jual cengkeh yang sempat menurun, sehingga banyak pohon cengkeh yang ditebang. Saat ini hanya beberapa pekarangan yang masih memiliki pohon cengkeh. Beternak ayam dan bebek lebih disukai warga ketiga desa daripada hewan ternak lainnya. Warga Desa Bojongemas lebih banyak membudidayakan tanaman sayur dan buah daripada tanaman hias di pekarangannya (Gambar 8). Dikarenakan pekarangan desa ini kadang tergenang banjir saat musim hujan, maka warga desa mengantisipasinya dengan membuat vertikultur.
18
Gambar 6 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Patrolsari
Gambar 7 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Girimekar
Gambar 8 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bojongemas 4.1.1.3. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Bandung Anggota KWT Mawar di Desa Patrolsari, KWT Sauyunan di Desa Girimekar, dan KWT Melati 2 di Desa Bojongemas, adalah suku Sunda. Seluruh anggota KWT Mawar, Sauyunan, dan Melati 2 sudah berstatus kawin, dengan usia rata-rata yaitu 45, 56, dan 48 tahun. Tingkat pendidikan anggota KWT Mawar yang lulusan SD (50%) masih lebih banyak daripada lulusan SMP (20%) dan SMA (30%). Tingkat pendidikan anggota KWT Sauyunan yang lulusan SD sebanyak 80%, sedangkan lulusan SMP dan SMA masing-masing hanya 10%. Tingkat pendidikan anggota KWT Melati 2 yang lulusan SD sebanyak 50%, lebih banyak daripada lulusan SMP (30%) dan SMA (10%), tetapi ada 10% anggota yang berpendidikan diploma. Jenis pekerjaan sehari-hari anggota KWT Mawar yaitu berwirausaha (30%), pedagang (10%), ibu rumah tangga (50%), dan 10% sisanya pekerjaan lain. Banyak anggota KWT Sauyunan di Desa Girimekar tidak memiliki pekerjaan selain sebagai ibu rumah tangga, hanya 10% anggota yang bekerja sebagai guru. Sebagian anggota KWT Melati 2 memiliki usaha sendiri (50%), sedangkan anggota yang bekerja sebagai petani hanya 10%, dan 40% sisanya hanya menjadi ibu rumah tangga (IRT). Pendapatan rata-rata anggota KWT di Patrolsari yaitu hanya Rp 300 000 per bulan, sedangkan di Desa Girimekar mencapai Rp 1 000 000 per bulan, dan anggota KWT di Desa Bojongemas berpenghasilan rata-rata Rp 500 000 per bulan (Tabel 8). Ada beberapa anggota KWT yang mendapat penghasilan tambahan dari anaknya.
19
Tabel 8 Kondisi pengelola pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas RataPendidikan (%) rata D3 / usia SD SMP SMA S1 Patrolsari 45 50 20 30 0 Girimekar 50 80 10 10 0 Bojongemas 48 50 30 10 10 Desa
Pekerjaan (%)
Penghasilan Wira- Karya- Lain- rata-rata per IRT Petani usaha wan lain bulan (Rp) 30 20 40 0 10 300 000 90 0 0 0 10 1 000 000 40 10 50 0 0 500 000
Pengelolaan pekarangan kampung dilakukan oleh KWT di masing-masing desa. KWT Mawar yang berada di Desa Patrolsari dibentuk sejak tahun 2010, KWT Sauyunan di Desa Girimekar dibentuk pada tahun 2009, dan KWT Melati 2 sudah ada sejak tahun 2008. Pelatihan pekarangan merupakan kegiatan rutin KWT yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) tingkat kabupaten. Selain itu, kegiatan rutin KWT bervariasi tergantung keinginan ketua dan anggotanya, misalnya membuat pangan olahan dan arisan kelompok (Tabel 9). KWT Mawar pernah mendapat bantuan bibit hanjeli yang kemudian dibudidayakan dan dapat dipanen dengan baik. Hasil panen hanjeli dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan alternatif sumber karbohidrat. KWT ini beberapa kali diminta oleh pihak Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat untuk membawa hasil olahan hanjeli pada kegiatan diversifikasi pangan di Gedung Sate, Kota Bandung. KWT Melati 2 mengembangkan produksi makanan ringan dan telur asin yang sebagian bahan bakunya diperoleh dari pekarangan. Tabel 9 Aktivitas KWT di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas Desa Patrolsari
KWT Mawar
Girimekar
Sauyunan
2009
Bojongemas
Melati 2
2008
4.1.2.
Tahun berdiri 2010
Kegiatan rutin Pelatihan pekarangan, membuat pangan olahan Pelatihan pekarangan, simpan pinjam kelompok Pelatihan pekarangan, membuat pangan olahan
Produk unggulan Pangan olahan hanjeli Telur asin dan rangginang
Kondisi Umum Kabupaten Bogor
Wilayah Kabupaten Bogor hanya berjarak sekitar 30 km dari DKI Jakarta. Luas wilayah kabupaten ini yaitu 230.195 Ha (BPS Kab. Bogor 2014), yang terletak di antara 106º23'45” - 107º13'30” Bujur Timur dan 6º18' - 6º47'10” Lintang Selatan. Batas administratif wilayah pemerintahan Kabupaten Bogor adalah: • sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanggerang dan Kota Depok; • sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi dan Kab. Purwakarta; • sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur; • sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten). Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan dan 426 desa, yang mana tiga desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Situ Udik di Kecamatan Cibungbulang, Desa Cikarawang di Kecamatan Darmaga, dan Desa Bantarsari di Kecamatan Rancabungur. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor sebanyak 5.202 juta jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk pada tahun 2013 yaitu 20 orang/ha. Kepadatan penduduk di Kecamatan Cibungbulang, Dramaga, dan Rancabungur masing-masing yaitu 42, 45, dan 25 orang/ha (BPS Kab. Bogor 2014).
20
Kabupaten Bogor memiliki rentang topografi yang lebar yakni antara 50 – 2 500 mdpl. Iklim di Kabupaten Bogor jika mengikuti klasifikasi Schmidt dan Ferguson digolongkan pada iklim tropis A (sangat basah) dan tipe B (basah). Iklim tipe A berada di bagian Selatan dengan suhu 20oC sampai 22oC sedangkan iklim B di bagian Utara dengan suhu sekitar 25oC. Suhu udara harian berkisar antara 22.7 – 31.2 oC. Curah hujan rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor yaitu 3 841 mm/tahun, dengan rentang antara 2 400 – 5 200 mm/tahun. Kelembapan udara rata-rata per tahun di kabupaten ini cukup tinggi yakni 83% (BPS Kab. Bogor 2014).
Gambar 9 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bogor Kondisi lahan pertanian di Kabupaten Bogor cukup subur, hal ini dibuktikan oleh banyaknya jenis tanaman tropis yang dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi, seiring dengan semakin banyaknya pendatang dan developer permukiman, lahan pertanian di Kabupaten Bogor yang berupa sawah maupun kebun, kini semakin berkurang luasnya karena beralih fungsi menjadi lahan terbangun. Tercatat luas sawah di Kabupaten Bogor terus berkurang dari 2008 hingga 2010, dan kini tidak lebih dari 48 484 ha (BPS Kab. Bogor 2011). Jenis tanah andosol, regosol, dan aluvial cocok digunakan sebagai media tanam. Meskipun mata pencaharian utama warga desa di Kabupaten Bogor adalah petani, namun kebanyakan hanya memiliki lahan kurang dari 1 ha, yang bekerja sebagai buruh tani pada lahan milik tuan tanah. Produk tanaman pangan masih menjadi komoditas unggulan kabupaten ini. 4.1.2.1. Lingkungan Desa di Kabupaten Bogor Desa Situ Udik berada di ketinggian 460 mdpl sebagai lokasi sampel tertinggi di Kabupaten Bogor. Akses menuju lokasi sampel pekarangan cukup jauh dari jalan arteri. Penggunaan lahan didominasi oleh persawahan dan kebun. Sumber air yang paling banyak digunakan untuk mengairi pekarangan di Desa Situ Udik yaitu sumur (50%), aliran sungai (30%), dan kolam ikan (20%) (Tabel 8). Meskipun pekarangan warga desa dekat dengan sawah, namun mereka tidak menjadikan saluran irigasi sebagai sumber pengairannya. Tata ruang pemukiman membentuk koloni di mana sejumlah rumah terkonsentrasi pada kawasan tertentu, dan pemilik lahan yang lebih luas berada di pinggiran kawasan. Komoditas pertanian andalan desa ini yaitu padi. Desa Cikarawang berada di ketinggian 193 mdpl serta berbatasan langsung dengan Kota Bogor. Akses ke desa relatif mudah karena hanya berjarak 3 km dari jalan utama Kota Bogor. Penggunaan lahan didominasi oleh persawahan, ladang, dan kebun. Desa ini memiliki komoditas andalan berupa ubi jalar (BP3K Darmaga 2014) dan jambu kristal. Sebagian besar (60%) warga desa memanfaatkan sumur sebagai sumber air untuk mengairi pekarangan mereka. Selain itu ada juga warga yang memanfaatkan kolam ikan, sungai, atau hanya mengandalkan air hujan untuk mengairi pekarangannya (Tabel 10).
21
Desa Bantarsari berada di ketinggian 165 mdpl dengan letak yang berdekatan dengan jalur utama antara Kota Bogor dan Kecamatan Parung. Penggunaan lahan pertanian didominasi oleh sawah, ladang, dan kebun. Sejak beberapa tahun yang lalu, warga desa membudidayakan jambu kristal yang sekarang menjadi komoditas andalan mereka. Sumber air yang digunakan warga untuk mengairi pekarangannya yaitu sumur (50%), sungai, kolam ikan, atau mengandalkan air hujan (Tabel 10). Tabel 10 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bogor Nama Desa Situ Udik Cikarawang Bantarsari
Ketinggian (mdpl) 460 193 165
Jarak ke kota (km) 10.0 3.0 6.0
Sumber air pekarangan (%) sumur kolam sungai hujan 50 20 30 0 60 20 10 10 50 10 10 30
Komoditas andalan Padi Jambu kristal Jambu kristal
4.1.2.2. Pekarangan Kampung di Kabupaten Bogor Ukuran rata-rata pekarangan di Desa Situ Udik (Gambar 11), Cikarawang (Gambar 12), dan Bantarsari (Gambar 13) berturut-turut adalah 175.1 m2, 93.5 m2, dan 160.2 m2. Adapun luas pekarangan terbesar di masing-masing desa tersebut yaitu 500 m2, 300 m2, dan 600 m2, sedangkan luas terkecilnya yaitu 40 m2, 10 m2, dan 6 m2 (Tabel 11). Beberapa pekarangan di Desa Situ Udik dan Bantarsari tidak memiliki zona depan karena letak rumahnya sangat berdekatan dengan jalan, sehingga ruang yang ada dimanfaatkan untuk akses keluar masuk orang maupun kendaraan. Seluruh pekarangan di Desa Cikarawang memiliki zona depan, namun hanya 20% pekarangan yang memiliki zona belakang (Tabel 11). Persentase keberadaaan kandang ternak kecil (KTK) di ketiga desa ini lebih besar daripada kandang ternak besar (KTB). Pekarangan kampung yang paling banyak memiliki KTB yakni di Situ Udik, sedangkan yang paling banyak memiliki KTK yakni di Cikarawang. Tabel 11 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari Nama Desa Situ Udik Cikarawang Bantarsari
Min 40 10 6
Luas (m2) Maks Rata-rata 500 175.1 300 93.5 600 160.2
Dpn 80 100 80
Zonasi (%) Blk Ki 80 60 20 40 30 60
Ka 40 60 10
Fasilitas (%) KTB KTK Kol 50 60 20 20 70 20 0 50 50
Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri Ka = samping kanan KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar Kol = kolam ikan
Kebanyakan tanaman pekarangan yang ada di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari termasuk kelompok strata I dan II. Keragaman jenis tanaman strata V di Desa Situ Udik paling banyak daripada desa lainnya. Rata-rata di pekarangan setiap desa memiliki 27 jenis tanaman strata I, 21 jenis tanaman strata II, 10 jenis tanaman strata III, hanya 2 jenis tanaman strata IV, dan 9 jenis tanaman strata V. Kemudian berdasarkan fungsi tanaman, keragaman spesies tanaman hias yang paling banyak di pekarangan ketiga desa tersebut. Pekarangan di Desa Cikarawang memiliki keragaman jenis buah-buahan yang paling banyak (Tabel 12). Tanaman buah yang populer di Desa Cikarawang yaitu jambu kristal (Psidium guajava L.), meskipun buah ini aslinya berasal dari Taiwan. Rata-rata jumlah jenis tanaman hias di setiap pekarangan kampung yaitu 20 jenis. Tanaman buah merupakan tanaman pangan memiliki variasi jenis yang paling banyak di pekarangan Kabupaten Bogor.
22
Berbeda halnya dengan tanaman yang beraneka ragam, hewan ternak di pekarangan hanya terdiri dari beberapa spesies. Fasilitas kandang ternak kecil yang ada di pekarangan Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari hanya diisi ayam kampung (Gallus domesticus). Pemanfaatan kolam di pekarangan biasanya untuk budidaya ikan gurami, lele dumbo, dan ikan mas. Tabel 12 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari Nama Desa Situ Udik Cikarawang Bantarsari Rata-rata
I 24 24 34 27
Strata Tanaman II III IV V 21 11 2 10 24 12 1 9 18 8 2 8 21 10 2 9
a 20 25 14 20
b 7 2 4 4
Fungsi Tanaman c d e f 9 15 12 1 10 16 13 2 19 13 15 2 13 15 13 2
g 2 1 0 1
h 4 1 3 3
B 1 2 0 1
Ternak K 1 1 1 1
I 2 1 3 2
Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f), industri (g), dan lainnya (h) Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)
Gambar 10 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Situ Udik
Gambar 11 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Cikarawang
Gambar 12 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bantarsari
23
4.1.2.3. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Bogor Mayoritas anggota KWT di Desa Situ Udik, Desa Cikarawang, dan Desa Bantarsari adalah orang Sunda. KWT Rukun Tani di Desa Bantarsari cukup banyak memiliki anggota yang berstatus warga pendatang karena lokasinya mudah diakses serta dekat dengan jalur utama menuju Kota Depok dan DKI Jakarta. Usia rata-rata anggota KWT di tiap desa yaitu 42, 42, dan 45 tahun. Tingkat pendidikan anggota KWT Teratai di Desa Situ Udik yang hanya lulusan SD sebanyak 50%, ada 20% lulusan SMP, ada 20% lulusan SMA, dan hanya 10% yang lulusan S1. Tingkat pendididkan anggota KWT Mawar di Desa Cikarawang yaitu 60% hanya lulusan SD, 30% lulusan SMP, 20% lulusan SMA, dan tidak ada responden yang lulusan D3/S1. Tingkat pendidikan anggota KWT Teratai yaitu 40% hanya lulusan SD, 20% lulusan SMP, 30% lulusan SMA, dan hanya 10% responden lulusan D3/S1. Jenis pekerjaan mayoritas anggota KWT Teratai adalah IRT (50%), petani dan bekerja mandiri (wirausaha) masing-masing 20%, dan 10% responden yang bekerja sebagai karyawan. Anggota KWT Mawar yang menjadi IRT (40%) dan petani (40%), sedangkan 20% lagi berwirausaha. Ketua KWT Teratai dan Mawar juga berprofesi sebagai petani yang memiliki lahan garapan di luar pekarangannya. Anggota KWT Rukun Tani bekerja sebagai IRT (30%), berwirausaha (30%), dan petani (40%). Pendapatan rata-rata anggota KWT di Situ Udik yaitu Rp 950 000 per bulan, sedangkan di Desa Cikarawang hanya Rp 450 000 per bulan. Rata-rata anggota KWT di Desa Bantarsari memiliki penghasilan mencapai Rp 1 100 000 per bulan (Tabel 13). Tabel 13 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari RataPenghasilan Pendidikan (%) Pekerjaan (%) rata D3 / Wira- Karya- Lain- rata-rata per usia SD SMP SMA S1 IRT Petani usaha wan lain bulan (Rp) Situ Udik 42 50 20 20 10 50 20 20 10 0 950 000 60 30 10 0 40 40 20 0 0 Cikarawang 42 450 000 45 40 20 30 10 30 20 30 0 20 Bantarsari 1 100 000 Nama Desa
KWT Teratai dibentuk pada tahun 2009, sedangkan KWT Mawar dan Rukun Tani dibentuk tahun 2011. Pelatihan pekarangan merupakan kegiatan rutin KWT yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping. Selain itu, biasanya kegiatan rutin KWT yaitu membuat pangan olahan (Tabel 14). Produk unggulan dari KWT Teratai yaitu pangan olahan yang sebagian bahan bakunya berasal dari pekarangan. Produk unggulan KWT Mawar yaitu jambu kristal dan keripik ubi ungu. Adapun produk unggulan KWT Rukun Tani yaitu produk olahan dari jambu kristal seperti asinan dan manisan jambu kristal, serta berbagai kue jajanan tradisional. Tabel 14 Karakteristik KWT di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari Desa Situ Udik
KWT Teratai
Tahun berdiri 2009
Cikarawang
Mawar
2011
Bantarsari
Rukun Tani
2011
Kegiatan rutin Pelatihan pekarangan, membuat kue dan arisan Pelatihan pekarangan, membuat pangan olahan Pelatihan pekarangan, membuat kue kering
Produk unggulan Kue kering dan stroberi Jambu kristal dan keripik ubi jalar Jambu kristal dan kue kering
24
4.1.3.
Kondisi Umum Kabupaten Cirebon
Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Barat yang terletak di bagian Timur dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Cirebon yaitu 99 036 ha yang berada pada posisi 108o40’ – 108o48’ Bujur Timur dan 6o30’ – 7o00’ Lintang Selatan. Batas-batas administratif wilayah Kabupaten Cirebon adalah: • sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu • sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Majalengka • sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan • sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan dan 424 desa, yang mana tiga desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Bakung Lor di Kecamatan Jamblang, Desa Grogol di Kecamatan Gunung Jati, dan Desa Pegagan Lor di Kecamatan Kapetakan. Jumlah penduduk kabupaten ini sebanyak 2.293 juta jiwa dengan tingkat kepadatan 23.2 orang/ha. Adapun kepadatan penduduk Kecamatan Jamblang, Gunung Jati, dan Kapetakan yaitu masing-masing 23.4, 41.5, dan 9.9 orang/ha (BPS Kab. Cirebon 2014). Wilayah Kabupaten Cirebon dapat dibagi menjadi dataran rendah yang umumnya terletak disepanjang Pantai Utara sedangkan dataran tinggi di daerah tengah hingga perbatasan Kabupaten Kuningan di kaki Gunung Ceremai. Bentang alam tersebut memiliki rentang topografi mulai dari pesisir pantai (0 mdpl) hingga dataran sedang (130 mdpl). Kabupaten ini beriklim tropis dengan suhu dan curah hujan dipengaruhi oleh daerah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Suhu udara di Kabupaten Cirebon berkisar antara 24oC – 33oC, dengan curah hujan rata-rata yaitu antara 150 – 3 500 mm/tahun, tergantung pada letak dan ketinggian kawasan. Iklim di Kabupaten Cirebon memiliki curah hujan dan kelembapan udara yang relatif rendah, diantara penyebabnya yaitu dekat dengan pantai. Kondisi umum lingkungan kampung di kabupaten ini relatif kering (Gambar 13).
Gambar 13 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Cirebon Tanah ketiga desa tersebut umumnya berpasir karena berdekatan dengan Pantai Utara, sehingga relatif lebih kering dibandingkan jenis tanah di Kabupaten Bandung dan Bogor. Luas panen palawija pada tahun 2013 mencapai 5 413 ha. Lahan basah paling banyak berupa sawah, kemudian kolam tambak ikan dan udang. Luas panen padi sawah dan ladang di kabupaten ini yaitu 90 948 ha (BPS Kab. Cirebon 2014). Selain padi, komoditas pertanian di kabupaten ini juga didominasi oleh buah, ikan air tawar, dan udang tambak. Pekarangan dan kebun di kabupaten ini banyak ditanami pohon mangga dari berbagai macam varietas karena kondisi lingkungannya yang sesuai. Jumlah pohon mangga yang tersebar di kabupaten ini mencapai 692 768 pohon pada tahun 2013.
25
4.1.3.1. Lingkungan Desa di Kabupaten Cirebon Desa Bakung Lor berada pada ketinggian 13 mdpl yang berjarak 8.5 km dari Kota Cirebon. Akses ke desa sangat mudah karena dilalui jalan arteri yang menghubungkan antara Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Indramayu. Tidak banyak ditemui tanaman palawija di desa ini. Sebanyak 70% warga di Desa Bakung Lor memanfaatkan sumur sebagai sumber air untuk kebutuhan pekarangan, sedangkan lainnya ada yang mengambil air dari kolam atau hanya mengandalkan air hujan (Tabel 15). Warga desa mengalami kesulitan dalam pengairan pekarangan ketika air sumur mereka surut pada musim kemarau. Komoditas pertanian unggulan di Desa Bakung Lor yaitu buah mangga jambu biji. Desa Grogol berada pada ketinggian 10 mdpl yang berjarak hanya 4.7 km dari Kota Cirebon. Akses transportasi ke desa sangat mudah seperti ke desa Bakung Lor karena keduanya dilalui jalan raya yang sama. Di desa ini jarang ditemukan ladang tanaman palawija. Sebanyak 70% warganya memanfaatkan sumur sebagai sumber air untuk kebutuhan pekarangan, sedangkan lainnya hanya mengandalkan air hujan. Warga desa sering mengalami kesulitan air karena air sumur surut ketika musim kemarau. Komoditas pertanian unggulan di desa ini yaitu padi. Desa Pegagan Lor berada pada ketinggian 5 mdpl, yang berjarak 12 km dari Kota Cirebon. Di desa ini jarang ditemukan ladang tanaman palawija. Sebanyak 50% warga Desa Pegagan Lor mengambil air dari sumur untuk pekarangan mereka. Dikarenakan rumah-rumah di desa ini dekat dengan sungai kecil, maka tidak sedikit yang memanfaatkannya sebagai sumber air untuk kebutuhan pekarangan. Selain keluhan kurangnya air sumur untuk pengairan pekarangan ketika musim kemarau, beberapa sumur di Desa Pegagan Lor rasanya sedikit asin akibat rembesan air laut. Komoditas pertanian andalan di Desa Pegagan Lor yaitu padi, budidaya ikan air tawar, dan tambak udang. Tabel 15 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Cirebon Nama Desa Bakung Lor Grogol Pegagan Lor
Ketinggian (mdpl) 13 10 5
Jarak ke kota (km) 8.5 4.7 12.0
Sumber air pekarangan (%) sumur kolam sungai hujan 70 10 0 20 70 0 0 30 50 10 40 0
Komoditas andalan Jambu merah Mangga Udang tambak
4.1.3.2. Pekarangan Kampung di Kabupaten Cirebon Pekarangan di Desa Bakung Lor (Gambar 14), Grogol (Gambar 15), dan Pegagan Lor (Gambar 16) memiliki luas rata-rata 88.3 m2, 163.0 m2, dan 182.3 m2. Adapun luas maksimal pekarangan tiap desa tersebut yaitu 625 m2, 300 m2, dan 311 m2, sedang-kan luas minimalnya yaitu 6 m2, 18 m2, dan 40 m2 (Tabel 12). Seluruh pekarangan di ketiga desa tersebut memiliki zona depan, dengan ketersediaan zona belakang dan samping yang bervariasi. Keberadaan kandang ternak besar (KTB) tidak ditemui pada pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor, meskipun pekarangan dimungkinkan sebagai tempat pemeliharaan kambing dan sapi. Ketiadaan fasilitas KTB biasanya karena keterbatasan ukuran dan zonasi pekarangan serta kondisi lingkungan masyarakat. Sebanyak 60% pekarangan di Desa Pegagan Lor memiliki kolam ikan yang dimanfaatkan untuk budidaya ikan dan udang air tawar, sebagai salah satu sumber pendapatan rumah tangga. Pemilik pekarangan mensiasati sempitnya lahan dengan membuat vertikultur.
26
Pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor didominasi oleh tanaman strata I. Pekarangan di ketiga desa tersebut memiliki keragaman strata II dan III yang hampir sama banyaknya (Tabel 13). Berdasarkan fungsinya, tanaman pekarangan yang paling banyak ditemui yaitu jenis tanaman hias dan buah-buahan. Tanaman buah yang umum ditemui di pekarangan yaitu mangga (Mangifera indica) dari berbagai varietas. Desa Grogol memiliki keragaman tanaman pekarangan yang rendah karena tanahnya kering dan kurang subur.Warga Desa Grogol kemudian memanfaatkan pekarangannya untuk beternak unggas (ayam, kalkun, entog, soang, bebek) dan kelinci. Sebagian pekarangan di Desa Pegagan Lor ditanami pisang batu untuk dipanen daunnya, sebagai pembungkus tape ketan. Tabel 16 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor Nama Desa
Min 6 18 40
Bakung Lor Grogol Pegagan Lor
Luas (m2) Maks Rata-rata 625 88.3 300 163.0 311 182.4
Dpn 100 100 100
Zonasi (%) Blk Ki 60 0 10 20 70 50
Fasilitas (%) KTB KTK Kol 0 50 20 0 60 30 0 60 60
Ka 10 50 60
Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar
Ka = samping kanan Kol = kolam ikan
Tabel 17 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor Nama Desa Bakung Lor Grogol Pegagan Lor
I 18 18 20
Strata Tanaman II III IV V 13 12 1 5 9 7 0 4 13 12 1 6
a 18 22 21
b 0 3 4
Fungsi Tanaman c d e f 7 14 8 1 1 10 2 0 4 14 4 2
g 0 0 0
h 1 0 3
B 0 0 0
Ternak K 2 6 2
I 1 2 2
Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f), industri (g), dan lainnya (h) Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)
Gambar 14 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bakung Lor
Gambar 15 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Grogol
27
Gambar 16 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Pegagan Lor 4.1.3.3. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Cirebon Anggota KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor memiliki latar belakang suku Sunda, Jawa, dan Cirebon. Hal tersebut karena memang Kabupaten Cirebon menjadi salah satu tempat akulturasi budaya Sunda dan Jawa. Usia ratarata anggota KWT di tiap desa tersebut yaitu 42, 49, dan 45 tahun. Pendidikan kebanyakan anggota KWT hanya diselesaikan pada tingkat SD. Tingkat pendidikan anggota KWT di Desa Bakung Lor yaitu lulusan SMP ada 20%, lulusan SMA ada 20%, dan hanya 10% lulusan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan anggota KWT di Desa Grogol yang lulusan SMA ada 30% dan hanya 10% yang lulus perguruan tinggi. Tingkat pendidikan anggota KWT di Desa Pegagan Lor yaitu hanya 10% lulusan SMP, 30% lulusan SMA, dan bahkan tidak ada (0%) lulusan diploma. Jenis pekerjaan anggota KWT di Bakung Lor sebagai wirausaha sama banyak dengan mereka yang menjadi IRT saja. Adapun anggota KWT di Grogol yang menjadi IRT sebanyak 50%, dan ada 40% yang berwirausaha, serta 10% sebagai karyawan. Di KWT yang ada di Pegagan Lor, mayoritas anggotanya adalah IRT dan sisanya ada yang petani (10%), wirausaha (10%), dan lainnya (10%). Sangat sedikit anggota KWT di Kabupaten Cirebon yang memiliki profesi sebagai petani. Pendapatan rata-rata per bulan dari anggota KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor yaitu Rp 1 000 000, Rp 950 000, dan Rp 500.000 (Tabel 18). Tabel 18 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor RataPenghasilan Pendidikan (%) Pekerjaan (%) rata D3 / Wira- Karya- Lain- rata-rata per usia SD SMP SMA S1 IRT Petani usaha wan lain bulan (Rp) Bakung Lor 42 1 000 000 50 20 20 10 50 0 50 0 0 Grogol 950 000 49 30 30 30 10 50 0 40 10 0 PegaganLor 45 550 000 60 10 30 0 70 10 10 0 10 Nama Desa
KWT Jambu Alas di Desa Bakung Lor dibentuk pada tahun 2011, sedangkan KWT Bina Sri Lestari di Desa Grogol dan KWT Harum Sari di Desa Pegagan Lor dibentuk tahun 2009. Pelatihan pekarangan dan kebun bibit merupakan kegiatan rutin KWT yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping. Selain itu, biasanya kegiatan rutin KWT yaitu membuat pangan olahan (Tabel 19). Produk unggulan dari KWT Jambu Alas yaitu tape ketan yang sudah produksi untuk dijual. Bungkus tempe ketan ini adalah daun pisang batu yang biasa terdapat di pekarangan. Produk unggulan KWT Bina Sri Lestari yaitu pangan olahan aneka buah, terutama mangga gedong gincu, yang bahan bakunya diperoleh dari desa sekitarnya. Adapun produk unggulan KWT Harum Sari yaitu produk olahan ikan dan kue kering (Tabel 19).
28
Tabel 19 Karakteristik KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor Desa Bakung Lor
KWT Jambu Alas
Waktu berdiri 2011
Grogol
Bina Sri Lestari
2009
Pegagan Lor
Harum Sari
2009
Kegiatan rutin Membuat tape ketan Membuat pangan olahan dari buah Kegiatan PKK, arisan anggota
Produk unggulan Jambu biji, tape ketan Aneka pangan olahan buah mangga Kue kering, pangan olahan ikan
4.2. Analisis Karakter Agroekosistem Pekarangan 4.2.1.
Analisis Lingkungan Agroekosistem Pekarangan Kondisi lingkungan di dataran tinggi Kabupaten Bandung, dataran sedang Kabupaten Bogor, dan dataran rendah Kabupaten Cirebon memiliki perbedaan dari segi fisik seperti suhu udara harian dan curah hujan dalam setahun (Tabel 20). Hal tersebut sesuai dengan estimasi bahwa perbedaan ketinggian pada masing-masing lokasi dapat mewakili karakter ekologi yang berbeda. Suhu udara antara 12 – 24 oC di Kabupaten Bandung sesuai untuk pertumbuhan tanaman dan ternak dataran tinggi. Kemudian kondisi lingkungan di Kabupaten Bogor merupakan irisan dari karakter lingkungan dataran tinggi dan rendah, salah satu diindikasinya yaitu suhu udara harian yang memiliki rentang antara 19.0 – 31.2 oC. Dalam kajian ekologi, kondisi lingkungan Kabupaten Bogor disebut ecotone atau zona peralihan antara dua karakter wilayah (Arifin et al. 2009). Hujan merupakan salah satu sumber air yang penting peranannya dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan semua makhluk hidup. Curah hujan di Kabupaten Bandung mencapai 4000 mm/tahun, namun curah hujan di Kabupaten Bogor yang tertinggi dibandingkan Kabupaten Bandung dan Cirebon, yakni 2 400 – 5 200 mm/tahun. Berbeda halnya dengan Kabupaten Cirebon, sebagai wilayah yang memiliki dan dekat dengan garis pantai, iklim lokalnya memiliki suhu udara rata-rata yang lebih panas, kering, serta curah hujan tahunan yang rendah. Kondisi tanah yang lebih subur dan tidak kering di Kabupaten Bandung dan Bogor sangat menunjang aktivitas pertanian di pekarangan. Selain faktor-faktor tersebut, jarak dan akses transportasi antara desa tempat pekarangan kampung berada dengan kota terdekat juga menjadi perhatian. Hal ini karena jarak dan akses transportasi bisa berpengaruh terhadap laju urbanisasi dan distribusi barang antara desa dengan kota. Semakin dekat jarak desa dengan kota, maka diasumsikan laju urbanisasi semakin tinggi dan distribusi barang semakin mudah. Begitu pula jika akses transportasi bagus dan mudah maka diasumsikan laju urbanisasi semakin tinggi dan distribusi barang semakin cepat. Jarak rata-rata lokasi pekarangan kampung di Kabupaten Bogor paling dekat ke kota (6.3 km), dan jarak yang terjauh yaitu di Kabupaten Cirebon. Laju urbanisasi yang terjadi di suatu wilayah tercermin dari angka kepadatan penduduk. Kabupaten Cirebon memiliki kepadatan penduduk paling tinggi (23 orang/ha) dibanding kabupaten lainnya. Kabupaten Cirebon memang memiliki lanskap dan akses transportasi yang lebih menunjang laju urbanisasi. Kepadatan penduduk tersebut berimplikasi pada kebutuhan tempat tinggal berupa perumahan dan sarana umum seperti kantor dan pasar. Semakin banyak area terbangun maka akan mengubah fungsi lahan yang awalnya berupa sawah, kebun, dan pekarangan.
29
Tabel 20 Kondisi umum lingkungan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon Ketinggian (mdpl)
Suhu udara (oC)
Curah hujan (mm/tahun)
Jarak lokasi ke kota (km)
Kepadatan (orang/ha)
Bandung
650 – 835
12.0 – 24.0
1 500 – 4 000
6.0 – 11.0
19
Bogor Cirebon
165 – 460 5 – 13
19.0 – 31.2 24.0 – 33.0
2 400 – 5 200 1 500 – 3 500
3.0 – 10.0 4.7 – 12.0
20 23
Kabupaten
Kabupaten Bandung memiliki komoditas andalan seperti cengkeh, hanjeli, teh, dan sapi perah. Selain itu, di Lembang dan Ciwidey yang juga dataran tinggi Kabupaten Bandung, terdapat banyak tanaman stroberi untuk kepentingan wisata dan komersial. Sisi positif dari kondisi lingkungan Kabupaten Bogor yaitu tingkat kesesuaian lahan yang lebih baik untuk lebih banyak komoditas pertanian. Kondisi lingkungan di Kabupaten Cirebon sesuai untuk tanaman dan hewan ternak dataran rendah. Pada kenyataannya, memang banyak varietas mangga serta ternak kambing dan sapi di pekarangan yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hasil inventarisasi di pekarangan kampung menunjukkan adanya 199 spesies tanaman dan 17 spesies hewan ternak. Dominansi tanaman pekarangan dianalisis dengan metode Summed Dominance Ratio (SDR), hasilnya diperoleh 10 tanaman pangan yang dominan di pekarangan Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon (Tabel 21). Mangga, cabe rawit, pisang, pepaya, singkong, dan jeruk merupakan komoditas pangan dari pekarangan di Kabupaten Bandung dengan skor SDR tinggi. Habitat pohon mangga sebenarnya bukan di lingkungan dataran tinggi seperti Kabupaten Bandung, namun karena relatif mudah tumbuh dan ketidaktahuan dari pemilik pekarangan maka populasinya manjadi banyak. Komoditas pangan dari pekarangan di Kabupaten Bogor yang memiliki skor SDR tinggi yaitu tomat, cabe rawit, kunyit, kangkung, caisin, dan bayam. Komoditas pangan dari pekarangan di Kabupaten Cirebon yang dominan yaitu mangga, pisang, cabe merah, lengkeng, pepaya, dan kangkung. Keberadaan tanaman mangga di Kabupaten Cirebon telah sesuai dengan habitatnya di dataran rendah yang relatif kering dan panas. Tanaman tomat, kunyit, kangkung, caisin, selada, bayam, cabe merah, dan jahe di pekarangan merupakan komoditas pertanian yang direkomendasikan oleh BKP tingkat kabupaten dalam program P2KP. Cabe rawit (Capsicum frutescens) sebagai bahan untuk sambal, banyak ditemui di pekarangan karena terkait budaya orang Sunda yang menyukai sambal sebagai pelengkap masakan sehari-hari. Tabel 21 Keragaman tanaman pangan yang dominan di pekarangan kampung Kabupaten Tanaman pangan yang dominan (hasil metode SDR) - mangga, cabe rawit, pisang, pepaya, terong, singkong, jeruk, Bandung kunyit, jambu air, bawang daun - tomat, cabe rawit, kunyit, kangkung, caisin, bayam, cabe merah, Bogor jahe, kacang panjang, jahe merah - mangga, pisang, cabe merah, lengkeng, pepaya, kangkung, jambu Cirebon biji, tomat, kelapa, jeruk 4.2.2.
Analisis Ukuran Pekarangan Ukuran pekarangan merupakan salah satu modal pengelolaan pekarangan, dengan asumsi semakin luas maka akan semakin banyak aktivitas budidaya yang bisa dilakukan (Budiman et al. 2015). Sebuah pekarangan harus memenuhi ukuran
30
minimum atau critical minimum size seluas 100 m2, agar dapat mengakomodasi keanekaragaman hayati yang ideal (Arifin et al. 1998). Berdasarkan ukuran rataratanya, pekarangan yang paling luas di Kabupaten Bandung (317.1 m2), kemudian di Kabupaten Cirebon (144.6 m2), lalu Kabupaten Bogor (142.9 m2). Pekarangan dengan rata-rata luasan tersebut mampu mengakomodasi berbagai macam tanaman dari strata dan fungsi yang berbeda. Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan pada seluruh pekarangan karena diferensiasi ukuran luas pekarangan yang cukup lebar di masing-masing kabupaten, terutama di Bogor dan Cirebon. Klasifikasi terhadap luasan pekarangan menunjukkan 50% pekarangan di Kabupaten Bandung termasuk kategori sedang, sedangkan sebanyak 66.7% pekarangan di Kabupaten Bogor dan 60% pekarangan di Kabupaten Cirebon termasuk kategori pekarangan sempit. Luasan pekarangan tidak ada yang lebih dari 1 000 m2 (Tabel 22). Tabel 22 Ukuran pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon Kabupaten Bandung Bogor Cirebon
Luas Pekarangan (m2) Min Maks Rata-rata 20.0 950.0 317.1 6.0 600.0 142.9 6.0 625.0 144.6
Kategori Luasan Pekarangan (%) Sempit Sedang Besar 26.7 50.0 23.3 66.7 20.0 13.3 60.0 36.7 3.3
Berdasarkan penelitian Brownrigg (1985), ukuran pekarangan yang lebih kecil biasanya ditemukan di kawasan perkotaan (urban) serta di lokasi yang lebih tinggi. Pada konteks penelitian ini, pekarangan pada dataran tinggi (Kabupaten Bandung) memiliki rata-rata ukuran terluas, sedangkan pekarangan pada dataran sedang (Kabupaten Bogor) memiliki ukuran tersempit. Di sisi lain, ditinjau dari faktor urbanisasi yang tercermin oleh kepadatan penduduknya, maka Kabupaten Bandung dengan angka kepadatan terendah (19 orang/ha) memiliki ukuran rata-rata pekarangan paling luas, sedangkan Kabupaten Bogor dan Cirebon dengan angka kepadatan penduduk yang lebih tinggi memiliki ukuran pekarangan lebih sempit. Kondisi demikian sebagaimana pernyataan Arifin et al. (1998a), bahwa ukuran pekarangan lebih dipengaruhi oleh faktor urbanisasi daripada ketinggian lokasi. Kemudian Arifin et al. (1998b) dan Kehlenbeck et al. (2007) menyatakan bahwa kawasan dengan laju urbanisasi yang paling rendah (perdesaan) memiliki ukuran pekarangan paling besar, sedangkan kawasan dengan laju urbanisasi yang tinggi memiliki ukuran pekarangan yang kecil. Laju urbanisasi di Kabupaten Bogor dan Cirebon ditunjang oleh jarak desa ke kota yang relatif dekat serta akses transportasi (jalan dan angkutan umum) yang lebih mudah. Kedua faktor tersebut tentu dapat meningkatkan harga lahan, sehingga ada kecenderungan pemilik pekarangan untuk menjual sebagian lahannya apabila memerlukan tambahan uang. Hal ini didukung pernyataan Arifin et al. (1998a) bahwa penurunan ukuran luas pekarangan pada kawasan urban dan sedang mengalami urbanisasi disebabkan oleh tingginya kepadatan penduduk dan harga lahan. Faktor jarak lokasi ke kota, akses transportasi, dan laju urbanisasi lebih berpengaruh terhadap ukuran luas pekarangan. Pernyataan ini tidak berseberangan dengan Arifin et al. (2012) yang menyatakan bahwa pekarangan pada dataran tinggi memiliki ukuran lebih kecil daripada pekarangan di dataran rendah. Adanya perbedaan lokasi sampel, yang mana penelitian ini tidak terkait daerah aliran sungai (DAS) sedangkan penelitian Arifin et al. (2012) memiliki keterkaitan dengan DAS, menyebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi karakter pekarangan.
31
Ukuran luas lahan pekarangan yang menyempit wajar terjadi seiring dengan bertambahnya tuntutan kebutuhan pemukiman serta perilaku sosial dan budaya masyarakat. Kondisi ini di mana lahan pekarangan sangat terbatas untuk aktivitas pertanian dapat disiasati oleh pemilik pekarangan. Meskipun luasannya kurang dari critical minimum size (100 m2), pekarangan masih bisa dioptimalkan dengan teknik vertikultur, yakni budidaya tanaman secara vertikal. Contoh vertikultur yang bisa diaplikasikan yaitu dengan model bertingkat, gantung, atau tempel. Analisis Zonasi Pekarangan Pembagian tata ruang pekarangan menjadi zona depan, samping (kanan dan kiri), serta belakang dipengaruhi oleh pemanfaatan lahan dan kondisi sosial-budaya pemiliknya. Keberadaan zonasi ini bervariasi di setiap pekarangan yang tergantung pada posisi rumah. Pekarangan pada umumnya memiliki zona depan sehingga paling banyak ditemukan pada pekarangan di Kabupaten Bandung (100%), Cirebon (97%), serta Bogor (87%) (Tabel 23). Zona depan yang biasa disebut halaman, buruan (Sunda), atau pelataran (Jawa) merupakan tempat penting untuk berbagai aktivitas sosial, budaya, dan agama. Beberapa pekarangan yang tidak memiliki zona depan dikarenakan posisi rumah yang sangat dekat dengan jalan atau gang. Zona pekarangan belakang juga paling banyak di Kabupaten Bandung, tetapi itu tidak mencapai 2/3 dari pekarangan yang ada. Zona pekarangan belakang paling sedikit ditemukan di Kabupaten Bogor (43%). Keberadaan zona belakang sering dikurangi atau dikorbankan oleh pemilik pekarangan untuk perluasan rumah. Zona samping pekarangan paling banyak terdapat di Kabupaten Bandung, sedangkan paling sedikit di Kabupetan Cirebon. Pada kawasan perumahan yang cukup padat memang jarang ditemui zona pekarangan samping karena umumnya antara rumah satu dengan tetangganya saling berhimpitan. Tata ruang pekarangan seperti ini paling mudah dijumpai pada perumahan-perumahan baru di kawasan urban.
4.2.3.
Tabel 23 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan Kabupaten Bandung Bogor Cirebon
Depan 100 87 97
Keberadaan zonasi pekarangan (%) Belakang Samping kiri Samping kanan 57 63 47 43 53 37 47 23 40
Zonasi juga digunakan untuk mengetahui lokasi tanaman pekarangan (Arifin et al. 1998). Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa banyak pemilik pekarangan memanfaatkan zona depan untuk menanam beraneka macam tanaman hias supaya memperindah tampilan rumahnya. Zona samping ditanami berbagai tanaman obat, sayur, buah, dan bumbu, serta kolam ikan atau kandang ternak unggas. Sedangkan di zona belakang lebih banyak ditanami tanaman industri, buah, dan penghasil pati, serta kolam ikan atau kandang ternak besar. Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon pada zona depan, samping, maupun belakang masih didominasi untuk budidaya tanaman pangan (Gambar 17). Maka sangat disayangkan ketika banyak zona belakang yang dikurangi luasnya atau bahkan dihilangkan, sebab akan mengurangi fungsi pekarangan sebagai penghasil pangan. Pemilik pekarangan yang tidak memiliki zona belakang biasanya kehilangan potensi produksi yang menunjang ketahanan pangan, terutama dari komoditas pertanian penghasil pati dan protein hewani.
Kabupaten Kabupaten Kabupaten Cirebon Bogor Bandung
32
Depan Samping Belakang Depan Samping Belakang Depan Samping Belakang 0%
20%
40%
Pangan
60%
80%
100%
Non-Pangan
Gambar 17 Pemanfaatan zona pekarangan untuk tanaman pangan dan non-pangan 4.2.4.
Analisis Keragaman Vertikal (Strata) Pekarangan
Jumlah jenis tanaman strata I, dengan tinggi tajuk kurang dari 1 m, paling banyak terdapat pada pekarangan di ketiga kabupaten, yang kemudian diikuti jenis tanaman strata II (Gambar 18). Persentase keragaman tanaman pekarangan strata I di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 46%, 45%, dan 42% dari populasi tanaman pada tiap lokasi. Pekarangan di Kabupaten Bandung memiliki tanaman strata I yang paling beragam, yakni sebanyak 62 spesies (Tabel 24). Persentase keragaman tanaman pekarangan strata II di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 25%, 25%, dan 23%. Pekarangan di Kabupaten Bandung memiliki tanaman strata II yang paling beragam, yakni sebanyak 33 spesies. Persentase keragaman tanaman pekarangan strata III di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 12%, 15%, dan 21%. Persentase keragaman tanaman pekarangan strata IV di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon hanya 6%, 3%, dan 3%. Kemudian persentase keragaman tanaman pekarangan strata V di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 11%, 12%, dan 11%. Keragaman strata tanaman ini berkorelasi dengan ukuran pekarangan yang umumnya termasuk kategori sempit dan sedang. Keanekaragaman spesies tanaman pekarangan paling banyak di Kabupaten Bandung dengan total 134 spesies. Keadaan ini karena ukuran luas pekarangan di sana rata-rata termasuk kategori sedang (120 – 400 m2), yang mana pekarangan dengan luas lebih dari 100 m2 mampu mengakomodasi keberadaan tanaman strata IV dan V (Arifin et al. 1997, 1998b). Hal tersebut juga dimungkinkan karena daya dukung pekarangan akan meningkat apabila ukurannya semakin luas. Pekarangan sempit dapat dioptimalkan untuk budidaya tanaman strata I, II, dan III. Kab. Bandung
Kab. Bogor
Kab. Cirebon 0% Strata V
10% Strata IV
20% Strata III
30% Strata II
40%
50% Strata I
Gambar 18 Keanekaragaman vertikal (strata) tanaman pekarangan
33
Tabel 24 Keragaman strata tanaman pekarangan Kabupaten Bandung Bogor Cirebon
Jumlah spesies tanaman pekarangan Strata II Strata III Strata IV Strata V 33 16 8 15 31 19 4 15 21 19 3 10
Strata I 62 57 38
Total spesies tanaman 134 126 91
4.2.5.
Analisis Keragaman Horizontal (Fungsi) Pekarangan Berdasarkan data inventarisasi keanekaragaman hayati pertanian yang ada di pekarangan, Kabupaten Bandung memiliki keanekaragaman tanaman paling tinggi dengan total 134 spesies. Kemudian keragaman tanaman pekarangan yang cukup banyak berada di Kabupaten Bogor (126 spesies), sedangkan Kabupaten Cirebon memiliki keragaman tanaman pekarangan paling sedikit (91 spesies). Selain karena rata-rata ukuran pekarangan yang paling luas, kondisi lingkungan di Kabupaten Bandung juga mendukung aktivitas pertanian sehingga keanekaragaman hayati pertanian di pekarangannya paling baik. Berbeda halnya dengan kondisi alam di Kabupaten Cirebon yang justru menjadi salah satu faktor pembatas dalam budidaya beberapa jenis tanaman. Salah satu upaya untuk mengantisipasi kekurangan air yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, yaitu dengan menanam di pot atau polybag karena dapat menghemat penggunaan air dan pupuk. Pada kondisi kering biasanya tanaman buah, sayur, bumbu, dan obat ditanam di pot atau polybag. Hasil analisis keragaman horizontal atau fungsi tanaman (Arifin et al. 1997, 1998) menunjukkan bahwa jumlah spesies tanaman hias paling banyak di antara semua fungsi tanaman pekarangan (Gambar 19). Persentase jenis tanaman hias di Kabupaten Bandung dan Bogor sama-sama 35%, sedangkan di Kabupaten Cirebon mencapai 41%. Meskipun demikian, jumlah spesies tanaman hias di Kabupaten Cirebon sebenarnya paling sedikit (37 spesies) dibandingkan di Kabupaten Bogor (44 spesies) dan Bandung (47 spesies). Persentase tanaman obat dan bahan industri di Kabupaten Bandung paling tinggi walaupun hanya 9% dan 4% dari populasi tanaman yang ada. Pekarangan di Kabupaten Bogor memiliki persentase tanaman sayur (17%), bumbu (16%), dan penghasil pati (6%) paling tinggi dibandingkan Kabupaten Bandung dan Cirebon. Pekarangan di Kabupaten Cirebon memiliki persentase tanaman buah (25%) dan fungsi lain (6%) paling tinggi dibandingkan pekarangan di Kabupaten Bandung dan Bogor. Penentuan fungsi tanaman ini berdasarkan penggunaan dari pemilik pekarangan, sehingga memungkinkan terdapat satu tanaman yang memiliki fungsi berbeda atau banyak (multi) fungsi. 50 40 30 20 10 0
Kabupaten Bandung Hias
Obat
Sayur
Kabupaten Bogor Buah
Bumbu
Kabupaten Cirebon Pati
Industri
Lainnya
Gambar 19 Keanekaragaman horizontal (fungsi) tanaman pekarangan
34
Jenis tanaman hias memang paling beragam di pekarangan, namun jumlah jenis tanaman pangan di setiap kabupaten lebih banyak daripada jenis tanaman nonpangan (Gambar 20). Persentase tanaman pangan pada pekarangan kampung di Kabupaten Bandung dan Bogor masing-masing mencapai 62% dari seluruh spesies yang teridentifikasi, sedangkan di Kabupaten Cirebon persentasenya lebih rendah, yakni 57% namun masih lebih banyak dari tanaman non-pangan. Hal tersebut juga dibuktikan dengan analisis Shannon-Wienner terhadap keanekaragaman tanaman pangan, yang mana hasil tertinggi yaitu di Kabupaten Bogor (H’ = 1.95), kemudian Kabupaten Bandung (H’ = 1.44) dan terendah yaitu Kabupaten Cirebon (H’ = 0.86). Tingkat keanekaragaman tanaman pangan pada pekarangan kampung di Kabupaten Bogor tersebut karena upaya dan keinginan pemilik pekarangan yang ditunjang oleh lingkungannya. Sebagaimana telah disebutkan, dataran sedang di Kabupaten Bogor merupakan zona peralihan (ecotone) sehingga memiliki kesesuaian lingkungan lebih baik untuk lebih banyak makhluk hidup. Tanaman pangan meliputi tanaman obat, sayur, buah, bumbu, penghasil pati, serta beberapa spesies dari kelompok tanaman hias dan industri, sedangkan tanaman non-pangan pada umumnya merupakan tanaman hias, bahan baku industri, dan lainnya. Tanaman hias yang dapat dikonsumsi misalnya bunga kecombrang, kenikir, puring, petai cina, dan daun suji. Tanaman tersebut ada yang bermanfaat sebagai sayuran, obat-obatan, atau bumbu masak. Adapun tanaman industri yang dapat dikonsumsi yaitu cokelat (kakao), kopi, cengkeh, kelapa, dan aren. Di sisi lain, ada tanaman pangan yang dimanfaatkan untuk fungsi lain, seperti tanaman singkong sebagai pagar pembatas pekarangan. Kab. Bandung
62%
38%
Kab. Bogor
62%
38%
Kab. Cirebon
57%
pangan
43%
non-pangan
Gambar 20 Perbandingan keanekaragaman tanaman pangan dan non-pangan Suatu agroekosistem pekarangan tidak hanya tanaman yang dibudidayakan tetapi juga ternak mamalia (kambing, domba, kelinci), unggas (ayam, bebek, angsa), dan ikan air tawar. Keberadaan hewan ternak di pekarangan Kabupaten Bandung dan Bogor cukup tinggi yaitu 34.5%. Keragaman hewan ternak yang cukup tinggi di pekarangan Kabupaten Bandung dan Cirebon, yaitu terdapat masing-masing 10 spesies (Tabel 25). Keanekaragaman hayati berkontribusi terhadap keberlanjutan sosial – ekonomi suatu agroekosistem (Kehlenbeck et al. 2007). Tabel 25 Keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan Persentase keberadaan (%) Jumlah spesies Kabupaten Ternak Ternak Kolam RataTernak Ternak Ikan mamalia unggas ikan rata mamalia unggas Bandung 10.0 66.7 26.7 34.5 3 4 3 Bogor 16.7 56.7 30.0 34.5 3 1 4 Cirebon 0.0 20.0 20.0 13.3 0 7 3
35
4.3. Analisis Pengelolaan Pekarangan Kampung 4.3.1.
Analisis Demografi Kelompok Wanita Tani Demografi KWT menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi pengelola pekarangan kampung di masing-masing kabupaten. Variabel demografi tersebut meliputi rata-rata usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan jumlah pendapatan per bulan. Usia dapat mempengaruhi pola pikir dan kemampuan kerja (Purwanti 2007). Usia rata-rata anggota KWT di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 50, 43, dan 44 tahun, yang mana pada rentang tersebut masih dapat dikatakan usia produktif. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar (52%) anggota KWT hanya lulusan Sekolah Dasar (SD), padahal tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memahami arti penting pengelolaan pertanian dan mencari solusi permasalahan (Adhawati 1997). Anggota KWT di Kabupaten Cirebon rata-rata memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, daripada anggota KWT di Kabupaten Bandung dan Bogor. Hasil wawancara menunjukkan bahwa rata-rata orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki pendapatan per bulan yang lebih tinggi. Jenis pekerjaan berhubungan dengan waktu yang tersedia untuk mengelola pekarangan, dan ternyata mayoritas responden adalah ibu rumah tangga yang lebih sering ada di rumah. Ibu rumah tangga diasumsikan memiliki kesempatan lebih leluasa untuk mengelola pekarangannya dari pada mereka yang bekerja di sawah, pabrik, atau sekolah. Namun, waktu mereka untuk mengelola pekarangan setiap hari antara 5 – 30 menit. Ternyata ada hal lain yang mempengaruhi kesempatan mengelola pekarangan yakni aktivitas sosial ibu-ibu, seperti arisan, pengajian di majelis ta’lim, dan mengasuh anaknya. Waktu untuk mengelola pekarangan belum menjadi prioritas dalam keseharian mereka. Responden yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon hanya 10%, 27%, dan 3% sehingga banyak anggota KWT yang belum terbiasa dengan aktivitas pertanian. Anggota KWT yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Bogor paling banyak daripada di kabupaten lainnya. Kondisi dan kemampuan anggota KWT dalam menjalankan program P2KP ini perlu menjadi catatan pendamping kelompok, yang ditindaklanjuti dengan lebih banyak memberi perhatian dan arahan. Setiap kabupaten memiliki karakteristik demografi anggota KWT yang berbeda (Tabel 26). Tabel 26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung
Pegawai
Lainnya
3
53
10
30
0
7
Bogor
43
50
23
20
7
40
27
23
3
7
Cirebon
44
47
20
26
7
57
3
34
3
3
Keterangan:
SMP = Sekolah Menengah Pertama
Rp 2.5 juta < 3 juta
Wiraswasta
17
Rp 2 juta < 2.5 juta
Petani
20
Rp 1.5 juta < 2 juta
Ibu Rumah Tangga
60
Rp 1 juta < 1.5 juta
Diploma / Sarjana
50
Rp 500 ribu < 1 juta
SMA
Bandung
Rp 1 < 500 ribu
Kabupaten
SMP
Pendapatan per kelas (%)
Sekolah Dasar
Pekerjaan (%)
Rata-rata Umur
Pendidikan (%)
70
10 10 3 3 3 Rata-rata Rp 600 000 70 3 3 3 7 13 Rata-rata Rp 816 000 63 7 10 3 3 13 Rata-rata Rp 834 000
SMA = Sekolah Menengah Atas
36
Nilai pendapatan per bulan hasil wawancara hanya menggambarkan kondisi ekonomi responden. Ternyata lebih dari 67% anggota KWT memiliki penghasilan kurang dari Rp 500 000 per bulan, sehingga sangat rawan terjadi masalah ekonomi di rumah tangga apabila penghasilan utama keluarga terganggu. Penghasilan ratarata anggota KWT di Kabupaten Cirebon paling tinggi (Rp 834 000) daripada di kabupaten lainnya. Penghasilan tersebut berasal dari wirausaha di bidang agribisnis dengan komoditas berupa telur bebek, udang, tape ketan, dan pangan olahan. Berdasarkan analisis demografi anggota KWT berupa kondisi sosial dan ekonomi, dapat dinilai kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola pekarangan kampung di masing-masing kabupaten. SDM di Kabupaten Bogor telah memiliki kemanpuan bertani paling baik, sedangkan SDM di Kabupaten Cirebon memiliki potensi paling baik dalam mengelola pekarangan kampung. 4.3.2.
Analisis Aktivitas Kelompok Wanita Tani Kegiatan pengelolaan pekarangan kampung yang telah dilakukan oleh KWT dalam rangka program P2KP mencakup pemberdayaan masyarakat, pembibitan dan distribusi bibit ke pekarangan anggota, pemanenan dan pemanfaatan produk dari pekarangan, serta pemasaran produk pekarangan kampung. Pemberdayaan anggota KWT sebagai sumberdaya manusia pengelola pekarangan kampung penting untuk dilakukan karena pekarangan mempunyai hubungan yang kuat antara pemiliknya dengan tanaman dan hewan-hewan yang diternaknya (Arifin 2010). Menurut hasil pengamatan serta wawancara di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon, diketahui kegiatan pemberdayaan anggota KWT berupa pelatihan budidaya tanaman pertanian di pekarangan. Mereka diberikan pencerdasan tentang fungsi dan manfaat pengelolaan pekarangan, cara mengelola pekarangan sebagai sumber pangan rumah tangga, serta budidaya tanaman dengan teknik vertikultur. Selain itu, mereka juga mendapat pelatihan pembibitan tanaman di kebun bibit kelompok dan pengolahan produk hasil pekarangan menjadi produk olahan pangan yang lebih bernilai ekonomis. Kegiatan-kegiatan tersebut dibimbing langsung oleh pendamping KWT yang merupakan penyuluh dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian (BP3), di bawah koordinasi Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan tingkat kabupaten. Di samping kegiatan KWT yang telah terprogram oleh BP3, biasanya KWT berinisiatif membuat kegiatan internal yang bertujuan mempererat kekompakan dan menambah fungsi kelompok, seperti arisan, masak bersama, dan simpan pinjam modal anggota. Upaya pemanenan komoditas dari pekarangan kampung akan meningkatkan kuantitas produk sehingga dapat lebih menunjang ketahanan pangan, kepedulian, dan kesejahteraan masyarakat. Pekarangan satu dengan tetangganya dapat saling tukar (barter) komoditas pangan yang mereka perlukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kelebihan produksi pangan dari pekarangan kampung dapat dibagikan kepada orang yang membutuhkan sehingga menumbuhkan sikap peduli di masyarakat. Jumlah produk pekarangan kampung yang semakin banyak akan lebih ekonomis apabila dijual ke pasar. Sebagai contoh, dalam sekali panen buah mangga dari pekarangan kampung di Kabupaten Cirebon diperoleh rata-rata 406 kg. Contoh lainnya, pemanenan jambu kristal dari pekarangan kampung di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, yang menghasilkan puluhan kilogram dalam sekali panen. Hasil panen tersebut apabila dijual ke pasar akan lebih mudah dan bernilai ekonomis.
37
Produk pekarangan kampung tidak hanya bahan mentah, tetapi juga pangan olahan. Produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT bertujuan meningkatkan nilai guna dan ekonomi dari hasil panen di pekarangan kampung. Selain itu, pembuatan produk pangan olahan menjadi alternatif aktivitas pemberdayaan anggota KWT yang kondisi lingkungan pekarangannya kurang mendukung aktivitas pertanian, misalnya karena kekeringan atau tanah yang kurang subur. Bahan dasar produk pangan olahan KWT tidak terbatas dari pekarangan kampung yang dikelola, tetapi dapat bekerja sama dengan KWT dari desa lain yang memiliki sumberdaya berlebih. Sebagaimana yang telah dicatat pada kondisi KWT di masing-masing kabupaten, contoh produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT di Kabupaten Bandung yaitu telur asin dan “nasi” hanjeli (Gambar 21), kemudian contoh pangan dari Kabupaten Bogor yaitu keripik ubi ungu dan kue tradisional (Gambar 22), sedangkan pangan olahan KWT di Kabupaten Cirebon lebih beragam seperti tape ketan, manisan aneka buah, dan sirup buah mangga gedong gincu (Gambar 23).
Gambar 21 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bandung
Gambar 22 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bogor
Gambar 23 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Cirebon 4.3.3.
Analisis Kondisi Kebun Bibit Kelompok Wanita Tani Keberlanjutan produksi dari pekarangan kampung ditunjang oleh beberapa komponen, diantaranya yaitu kebun bibit yang dikelola bersama oleh anggota KWT (Gambar 24). Berdasarkan pengamatan di lapangan, meskipun kebun bibit tersebut bukan satu-satunya komponen penunjang operasional pekarangan kampung, keter-
38
sediaan bibit tanaman sangat diperlukan bagi pekarangan, terutama komoditas yang berumur semusim. Pendamping KWT biasanya memberi rekomendasi komoditas pertanian yang cocok untuk dibudidayakan di pekarangan kampung. Benih tanaman tersebut biasanya dibeli dari toko pertanian terdekat atau dibantu penyediaannya oleh pendamping KWT.
Gambar 24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di Kabupaten Bandung (kiri), Bogor (tengah), dan Cirebon (kanan) Anggota KWT memilih sendiri komoditas pertanian yang dikembangkan di pekarangannya masing-masing. Sebelum membeli bibit, mereka bermusyawarah tentang tanaman apa yang akan ditanam, dan biasanya pendamping kelompok ikut memberikan saran. Komoditas yang banyak dibibitkan di Kabupaten Bandung dan Bogor yaitu tanaman sayur, bumbu, dan buah. Sedangkan kebun bibit di Kabupaten Cirebon membibitkan tanaman sayur, bumbu, dan ikan. Ketersediaan bibit tanaman dan hewan ternak sebaiknya sesuai dengan daya dukung pekarangan kampung sehingga dapat tumbuh dengan baik. Pembibitan ini belum banyak meng-hasilkan bibit komoditas lokal, misalnya talas bogor dan nanas bogor di Kabupaten Bogor atau mangga gedong gincu di Kabupaten Cirebon. Kelemahan dalam pengelolaan modal kebun bibit kelompok menjadi masalah yang sering ditemui pada masing-masing kabupaten. Kondisi ini terjadi karena KWT hanya mengandalkan dana bantuan sosial dari pemerintah. Dana bantuan program P2KP memang diberikan selama 5 tahun, namun hanya setahun sekali dan biasanya pencairan dana tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Kurangnya modal untuk membeli benih tanaman pada pembibitan kesekian kalinya mengakibatkan kebun bibit tidak berfungsi optimal. Kebutuhan lain untuk pembibitan tanaman pekarangan yaitu pupuk organik dan kantong polybag. Sebagai contoh, kebun bibit kelompok di Desa Bantarsari dan Grogol yang kekurangan modal sehingga tidak terpelihara telah berakibat pada penurunan jumlah komoditas yang ditanam di pekarangan, sehingga angka produksinya menjadi rendah. Berbeda halnya dengan kebun bibit di Desa Girimekar dan Cikarawang yang memiliki sumber modal lain, sehingga bibit untuk pekarangan kawasan tetap tersedia. Modal lain tersebut berasal dari penjualan bibit tanaman serta penjualan produk KWT. Kebun bibit kelompok tani yang kebanyakan terbuat dari bambu yang mudah rusak dan tidak tahan lama. Penggunaan material tersebut karena menyesuaikan dengan anggaran yang telah ditentukan oleh BKP. Pada saat survei, hanya 45% kebun bibit milik KWT yang masih berfungsi dengan baik, sedangkan 55% lainnya sudah rusak (Gambar 25). Masalah lain terkait keberadaan kebun bibit kelompok yaitu status kepemilikan lahan. Keberadaan kebun bibit kelompok yang dibangun di atas lahan pribadi sangat tergantung pada kehendak pemilik lahan. Kebun bibit kelompok milik KWT di ketiga kabupaten yang berada di atas lahan pribadi ada sebanyak 77% dan hanya 23% yang berada di lahan milik desa (Tabel 27). Kondisi
39
kebun bibit kelompok dipengaruhi oleh aktivitas dan kepedulian anggota KWT, kemudian ketersediaan lahan, serta perhatian pemerintah desa.
Gambar 25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik Tabel 27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT Kabupaten
Kondisi fisik (%)
Status kepemilikan lahan (%) Desa Pribadi 0 100
Baik 33
Rusak 66
Bogor
33
66
33
66
Cirebon
66
33
33
66
Bandung
4.3.4.
Bibit yang diproduksi - Bayam, selada, labu air, cabe hijau, cabe merah, tomat, jahe, kunyit, pepaya, bawang daun - Kangkung, selada, labu air, seledri, cabe, tomat, kunyit, jahe, jambu kristal, stroberi - Kangkung, seledri, terong, cabe, tomat, jahe, kunyit, dukuh, jambu biji, ikan gurami
Analisis Pemasaran Produk Pekarangan Kampung Meskipun fungsi dasar pekarangan di area perdesaan yaitu sebagai sumber produksi pangan untuk menyambung kehidupan keluarga atau subsisten (Kumar dan Nair 2004), tidak sedikit pemilik pekarangan yang menjual hasil panen dari pekarangan berupa produk segar maupun hasil olahan. Produk tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan konsumsi ataupun sengaja dibudidayakan di pekarangan kerena memiliki nilai ekonomi. Penjualan berbagai macam produk pekarangan saat ini masih banyak secara individu. Tengkulak lebih berperan memasarkan produk pekarangan, misalnya pemasaran buah di Kabupaten Bogor dan Cirebon. Mereka membeli buah mangga atau jambu biji dengan sistem ijon, yang mana pembelian buah tanpa dihitung per kilogram namun dikira-kira harganya per pohon sebelum buah masak. Jarak antara rumah ke pasar juga menjadi kendala pemasaran karena akan menambah waktu dan biaya transportasi. Banyak pemilik pekarangan belum mampu melakukan pemasaran produknya secara efektif dan efisien, sehingga tidak memperoleh keuntungan maksimal. Selain faktor persaingan usaha dengan tengkulak dan jarak pekarangan ke pasar, permasalahan utama dari pemasaran produk pekarangan adalah kuantitas produk yang akan dijual ke pasar. Penjualan hasil panen dari pekarangan menjadi tidak menguntungkan apabila nilai ekonomi produk yang dijual tidak sebanding dengan biaya produksi dan transportasinya. Sehingga untuk mendapat keuntungan
40
ekonomi diperlukan kuantitas produk hingga jumlah tertentu, yang sulit terpenuhi oleh satu pekarangan. BKP tingkat kabupaten kemudian menyikapi hal tersebut dengan memberi kesempatan kepada KWT sebagai pengelola pekarangan kampung untuk menjual produk KWT di pasar tani. Upaya ini belum mamberi solusi efektif karena pasar tani hanya dilaksanakan sebulan sekali di ibukota kabupaten. Sebaiknya ada upaya dari KWT untuk menjual produk pekarangan kampung secara kolektif dan berkesinambungan sehingga biaya produksi bisa lebih rendah dan mereka dapat lebih sering memperoleh keuntungan. Pemasaran produk dengan cara tersebut dapat dilakukan langsung oleh KWT atau unit bisnis independen yang bergerak di bidang agribisnis, misalnya koperasi unit desa (KUD). Ide pemasaran ini tentu membutuhkan dukungan dari pihak KWT sebagai produsen. Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon rata-rata setuju (49%) apabila pemasaran produk pekarangan kampung dilakukan secara kolektif. Hanya 7% responden yang ingin menjual sendiri hasil pekarangannya. Tantangan pemasaran kolektif yang menjadi perhatian adalah keberadaan lembaga koperasi. Benar bahwa pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto telah banyak didirikan KUD, bahkan hampir setiap desa memiliki KUD dengan bantuan modal dari pemerintah. Pada saat ini jarang ditemui KUD yang masih beroperasi karena banyak koperasi yang mengalami masalah kepengurusan dan modal usaha. Menurut informasi dari responden, tidak ada KUD di tempat pelaksanaan program P2KP yang masih aktif. Tidak hanya itu, sejauh ini belum ada koperasi yang fokus menjangkau produk pekarangan atau pangan olehan KWT. Meskipun kondisinya demikian, masih mungkin melakukan pemasaran produk pekarangan kampung secara kolektif. Hal tersebut terlihat dari tingginya dukungan pengelola pekarangan terhadap adanya koperasi pekarangan, yang mencapai rata-rata 72% setuju dan 9% sangat setuju (Tabel 28). Persepsi masyarakat tersebut memberikan harapan bahwa koperasi dapat kembali diberdayakan untuk mengumpulkan serta memasarkan produk mentah dan olahan dari pekarangan kampung. Tabel 28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa Keinginan pemasaran kolektif (%) Kabupaten Bandung Bogor Cirebon Rata-rata
Tidak setuju
0 7 13 7
Biasa saja
23 43 0 22
Setuju
47 37 65 49
Sangat setuju
30 13 23 22
Dukungan koperasi pekarangan (%) Tidak setuju
Biasa saja
0 7 0 2
17 23 10 17
Setuju
67 70 79 72
Sangat setuju
17 0 10 9
4.4. Analisis Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kampung 4.4.1.
Analisis Pemanfaatan Produk Pekarangan Kampung Pada saat survei di lapangan, hasil panen berbagai macam produk pekarangan seperti sayur, buah, umbi, daging, dan telur disetarakan ukurannya dalam satuan kilogram (kg). Hal ini dilakukan karena masih banyak masyarakat perdesaan yang menggunakan satuan tradisional yang tidak baku, seperti ikat, genggam, dan karung. Penyeragaman satuan produk ini untuk memudahkan dalam analisis pemanfaatan produk pekarangan kampung oleh pemiliknya. Secara umum, produk pekarangan dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi oleh keluarga, dibagikan ke tetangga, dan dijual sebagai sumber pendapatan rumah tangga.
41
Pekarangan sebagai suatu agroekosistem (Arifin et al. 2009) yang tumbuh dan dikelola dengan tujuan memproduksi pangan, pakan, dan bahan baku (Moonen dan Barberi 2008). Pekarangan kawasan dengan produksi rata-rata terbanyak yaitu Kabupaten Bandung (1 365.4 kg/tahun), lalu Kabupaten Cirebon (734 kg/tahun), dan terendah di Kabupaten Bogor (663.9 kg/tahun). Meskipun memiliki hasil panen terbanyak, produktivitas pekarangan di Kabupaten Bandung bukan yang tertinggi. Produktivitas lahan pekarangan yang tertinggi di Kabupaten Cirebon sebesar 0.6 kg/m2/tahun, sedangkan di Kabupaten Bandung dan Bogor yakni 0.5 kg/m2/tahun. Hasil demikian karena faktor ukuran pekarangan, yang mana rata-rata pekarangan di Kabupaten Bandung lebih luas dibandingkan di Kabupaten Bogor dan Cirebon. Tanaman buah, ikan, dan penghasil pati berkontribusi besar pada jumlah hasil panen. Pemanfaatan produk pekarangan untuk konsumsi rumah tangga yang tertinggi yaitu di Kabupaten Bogor (29.7%). Pemanfaatan hasil panen pekarangan yang paling banyak di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu sama-sama untuk dijual (58.4%, 56.9%, 64.1%) sebagai pendapatan rumah tangga. Hasil panen pekarangan di ketiga kabupaten tersebut yang dibagikan berkisar antara 13.4 – 18.5 % (Tabel 29). Tabel 29 Hasil dan alokasi dari panen produk di pekarangan kawasan per tahun Kabupaten Bandung Bogor Cirebon
Hasil rata-rata panen produk (kg/thn) 1365.4 663.9 734.0
Alokasi hasil panen dari pekarangan (%) Dikonsumsi Dibagikan Dijual 22.9 18.7 58.4 29.7 13.4 56.9 20.0 15.9 64.1
Berdasarkan fungsinya, buah-buahan merupakan produk pekarangan di ketiga kabupaten dengan persentase paling tinggi yang dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga dan dibagikan kepada tetangga (Tabel 30). Kontribusi terbesar pada rata-rata jumlah hasil panen pekarangan kawasan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu buah (176 kg/tahun), ternak besar (56 kg/tahun), dan buah (193 kg/tahun). Komoditas pekarangan yang paling banyak dikonsumsi rumah tangga di Kabupaten Bandung yaitu buah (42.4%), di Kabupaten Bogor juga buah-buahan paling banyak dikonsumsi (33.1%), begitu pula di Kabupaten Cirebon yang mana buah paling banyak dikonsumsi (83.1%). Komoditas pekarangan yang paling banyak dijual di Kabupaten Bandung yaitu buah (32%), adapun di Kabupaten Bogor yaitu ternak besar (38%), dan di Kabupaten Cirebon yaitu buah (71%). Tabel 30 Persentase kelompok komoditas per alokasi hasil panen dari pekarangan Kabupaten Bandung
Bogor
Cirebon
Alokasi hasil Konsumsi Dibagikan Dijual Konsumsi Dibagikan Dijual Konsumsi Dibagikan Dijual
obat 1.1 1.0 0.0 2.7 8.9 0.0 0.7 0.1 0.0
Komoditas tanaman (%) sayur buah bumbu pati 12.0 42.4 4.2 20.2 7.1 54.2 1.5 30.4 3.4 31.8 4.6 19.0 16.8 33.1 11.2 7.1 6.5 35.9 11.0 24.8 1.9 10.0 10.0 5.4 0.7 84.1 0.8 0.0 0.7 92.9 1.7 0.0 4.4 70.8 0.4 0.0
industri 0.0 0.0 13.5 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.2
Hewan ternak (%) besar kecil ikan 1.6 9.2 9.3 1.3 1.7 2.8 8.0 6.6 13.2 0.0 9.8 19.2 0.0 3.9 9.0 38.7 7.8 26.2 0.0 6.3 7.4 0.0 1.3 3.3 0.0 4.5 17.8
42
4.4.2.
Analisis Nilai Ekonomi dari Produk Pekarangan Kampung Berdasarkan nilai ekonomi, produk pekarangan di ketiga kabupaten umumnya menjadi tambahan pendapatan rumah tangga (72.3%), kemudian penghematan (17.5%), dan untuk kepedulian sosial (10.2%). Meskipun akumulasi nilai ekonomi terbesar yaitu Kabupaten Bandung, nilai lahan pekarangan per meter persegi per tahun yang tertinggi yaitu Kabupaten Bogor (Rp 13 400), kemudian di Kabupaten Bandung (Rp 11 100), sedangkan Kabupaten Cirebon memiliki nilai produktivitas terendah dengan Rp 10 500 /m2/tahun (Tabel 31). Biaya pemeliharaan pekarangan diabaikan karena mereka menggunakan pupuk kandang atau kompos yang dibuat sendiri. Rendahnya nilai produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pemanfaatan lahan yang belum optimalkan untuk pertanian dan pemeliharaan pekarangan yang kurang intensif. Komoditas yang dibudidayakan di pekarangan kampung juga belum memperhatikan kebutuhan pasar sehingga nilai jualnya rendah. Penjualan hasil panen menghasilkan kontribusi paling besar terhadap total nilai ekonomi produk pekarangan. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa lebih dari 65% nilai ekonomi produk pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon diperoleh dari hasil penjualan produk. Persentase nilai ekonomi dari konsumsi pangan untuk rumah tangga terhadap nilai ekonomi produk pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 17.4%, 17.9%, dan 17.0%. Berdasarkan hasil tersebut, nilai ekonomi produk yang dikonsumsi rumah tangga sekitar 18%. Tabel 31 Nilai ekonomi dan pemanfaatan produk pekarangan kampung per tahun Kabupaten
Nilai produktivitas (Rp / m2 / tahun)
Bandung Bogor Cirebon
11 100 13 400 10 500
Persentase nilai ekonomi per alokasi (%) Konsumsi Kepedulian Pendapatan 17.7 12.2 70.1 17.9 5.2 76.9 17.0 13.1 69.9
Kelompok komoditas pekarangan yang paling berkontribusi terhadap nilai ekonomi di Kabupaten Bandung yaitu tanaman industri berupa cengkeh, Kabupaten Bogor yaitu ternak kambing, dan Kabupaten Cirebon yaitu buah mangga (Tabel 32). Hewan ternak besar seperti sapi dan kambing dipelihara di pekarangan untuk dijual kembali sebagai investasi. Nilai ekonomi produk pekarangan sebagai konsumsi pangan rumah tangga yang paling banyak diperoleh dari buah-buahan, sayur mayur, ternak kecil, dan ikan. Adapun jenis komoditas yang paling besar kontribusinya pada pendapatan rumah tangga yaitu hewan ternak besar, buah, tanaman industri, dan ikan. Secara total, komoditas pekarangan yang paling banyak berkontribusi terhadap nilai ekonomi yaitu hewan ternak besar, buah, tanaman industri, dan sayur. Tabel 32 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan kampung Kabupaten Bandung
Bogor
Cirebon
Nilai Penghematan Kepedulian Pendapatan Penghematan Kepedulian Pendapatan Penghematan Kepedulian Pendapatan
Kelompok komoditas tanaman (%) obat sayur buah bumbu pati industri 0.6 0.4 0.0 1.4 1.1 0.0 1.5 0.2 0.0
29.7 29.0 9.9 37.1 27.1 0.3 5.4 5.4 17.9
37.7 54.4 15.4 16.2 17.4 5.1 65.4 80.7 53.8
6.0 3.0 2.9 13.5 20.2 5.0 2.4 5.9 0.6
4.2 7.1 4.1 2.6 13.5 0.9 0.0 0.0 0.0
0.0 0.0 36.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.7
Hewan ternak (%) besar kecil ikan 0.5 0.4 18.2 0.0 0.0 71.7 0.0 0.0 0.0
14.8 3.3 7.2 13.2 8.3 5.0 16.2 3.5 8.5
6.5 2.3 6.0 16.0 12.4 12.0 9.1 4.3 16.4
43
Kontribusi hasil pekarangan secara langsung untuk menunjang konsumsi pangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 3.8%, 2.2%, dan 1.4% dari biaya konsumsi per bulannya. Sedangkan kontribusi nilai ekonomi pekarangan yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi bulanannya di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1%, 10.7%, dan 7.1% (Tabel 33). Pemilik pekarangan lebih banyak memanen produk buah dan sayur dibanding sumber pati dan protein hewani. Hewan ternak besar seperti kambing atau domba dipelihara di pekarangan untuk dijual sebagai investasi. Kebutuhan konsumsi hewani yang dapat ditunjang dari pekarangan yaitu ikan, susu sapi, telur, dan daging ayam. Tabel 33 Kontribusi nilai ekonomi pekarangan terhadap konsumsi rumah tangga Kabupaten Bandung Bogor Cirebon
Biaya konsumsi rumah tangga per bulan (Rp) 1 180 400 1 521 400 1 340 800
Penghematan per bulan (%) 3.8 2.2 1.4
Tambahan income per bulan (%) 15.3 8.5 5.7
Kontribusi ekonomi (%) 19.1 10.7 7.1
4.5. Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan 4.5.1.
Konsep Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan Pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon masih banyak yang belum mampu menunjang kebutuhan pangan rumah tangga. Jika untuk menunjang konsumsi pangan rumah tangga saja kesulitan, maka sulit untuk saling berbagi hasil panen, dan kecil kemungkinan pekarangan itu dapat menjual produknya. Kesulitan tersebut karena ukuran pekarangannya kurang dari 120 m2. Menurut Arifin (1998), ukuran kritis minimal suatu pekarangan ideal yaitu 100 m2, sebab apabila kurang dari itu maka tanaman dan hewan ternak yang dipelihara akan terbatas keragaman strata dan fungsinya. Tercatat 26.7% pekarangan di Kabupaten Bandung, 66.7% pekarangan di Kabupaten Bogor, dan 60% pekarangan di Kabupaten Cirebon yang termasuk kategori sempit. Berbeda halnya jika komoditas yang dibudidayakan adalah tanaman non-pangan atau hewan ternak besar yang khusus untuk dijual. Pada kondisi tersebut, kebutuhan pangan rumah tangga dapat dibeli dari hasil penjualan produk dari pekarangan. Dalam konsep keberlanjutan penggunaan lahan, penggunaan terbaik yaitu suatu situasi keseimbangan atau integritas antara efisiensi, ekuitas, dan penggunaan sumberdaya alam (Miranda 2001). Penggabungan beberapa pekarangan di suatu kawasan akan meningkatkan jumlah dan jenis komoditasnya. Sebagai gambaran, suatu kampung biasanya memiliki komoditas unggulan seperti mangga yang ada di hampir setiap pekarangan di Kabupaten Cirebon, dan jambu biji atau jambu merah di Desa Cikarawang dan Bantarsari, Kabupaten Bogor. Tidak hanya bahan mentah, tetapi produk olahan warga juga bisa menjadi komoditas unggulan suatu kampung. Pekarangan kampung yang dikelola oleh kelompok masyarakat dalam satu kawasan dapat meningkatkan produksi secara agregat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di lingkungan sekitarnya. Kondisi pengelolaan pekarangan kampung serta kendala yang teridentifikasi saat survei dan wawancara kemudian dikemukakan pada forum diskusi kelompok atau focus group discussion (FGD) yang melibatkan pihak-pihak terkait. Pihak yang terlibat dalam FGD ini terdiri atas: a) Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan tingkat kabupaten, b) instansi (dinas dan badan) pemerintah daerah kabupaten yang terkait pelaksanaan program P2KP, c) pemerintah kecamatan, d) pemerintah desa,
44
e) penyuluh, dan f) KWT. FGD dilaksanakan di Kantor Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon untuk menampung aspirasi dari peserta terhadap permasalahan yang ada secara komprehensif. Terdapat tiga isu penting dalam pengelolaan pekarangan kampung yang telah dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan program P2KP, yaitu: 1) pemahaman dan kondisi anggota KWT (masyarakat) terhadap pekarangan, 2) ketersediaan bibit tanaman dan hewan ternak atau ikan untuk pekarangan, serta 3) pemasaran produk hasil pekarangan kampung. Hasil diskusi tersebut kemudian menentukan tiga komponen keberlanjutan pekarangan kampung sebagai solusi permasalahan yang terjadi, yaitu: 1) kelompok wanita tani (KWT), 2) kebun bibit kelompok, dan 3) koperasi. Arifin et al. (2009) menyatakan bahwa keseimbangan dan keberlanjutan lanskap pekarangan dapat dicapai dengan mengaplikasikan konsep triple bottom line benefit, yakni ekologi (lingkungan), sosial (masyarakat), dan ekonomi (pasar). Mengacu pada pendapat tersebut, kemudian ditetapkan bahwa komponen dalam pengelolaan pekarangan kampung dapat mewakili tiga pilar keberlanjutan (Gambar 26).
Gambar 26 Model tiga pilar keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung 4.5.2.
Pengelolaan Agroekosistem Pekarangan Kampung untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan Komponen penting dalam konsep pekarangan kampung yang berkelanjutan adalah: 1) KWT, 2) kebun bibit kelompok, dan 3) koperasi. Dalam praktiknya, konsep tersebut dijabarkan dalam pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung yang bertujuan untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Adapun garis besar rekomendasi pengelolaannya terangkum menjadi tiga hal, yakni pemberdayaan KWT, revitalisasi kebun bibit kelompok, dan pengembangan koperasi. Rekomendasi untuk pemberdayaan KWT yaitu : 1. KWT di setiap desa dan kelurahan diberikan pemahaman yang tepat tentang pertanian dan pengelolaan pekarangan kampung sesuai dengan kondisi atau kemampuannya. Penyesuaian tersebut melihat kenyataan bahwa masyarakat di perdesaan mungkin telah berpengalaman dalam hal pertanian namun kurang baik dalam manajemen organisasi dan sumberdaya, sedangkan masyarakat di
45
2.
3.
perkotaan biasanya lebih berpendidikan sehingga lebih mudah berorganisasi dan mengelola sumberdaya namun belum terbiasa dengan aktivitas pertanian. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di tingkat kabupaten memfasilitasi pengelola pekarangan kampung dengan adanya pendamping yang terampil. Tenaga pendamping dituntut untuk memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang hal-hal yang mendukung pengelolaan pekarangan kampung. Selain itu, pendamping sebaiknya mampu bersahabat dengan seluruh anggota kelompok. Tenaga pendamping secara intensif memberikan pelatihan dan pengarahan terkait pengelolaan pekarangan kampung. Teknik vertikultur perlu diketahui oleh seluruh anggota KWT dan diaplikasikan pada pekarangan sempit. KWT sebaiknya diberikan rekomendasi tanaman dan hewan ternak apa saja yang cocok untuk dibudidayakan di pekarangan dengan memperhatikan lingkungan sekitar. Pengelolaan pekarangan kampung sebagai agroekosistem diarahkan agar sesuai dengan daya dukung (luasan), kondisi lingkungan (lokasi), serta manfaat dan nilai jual produk yang akan dipanen.
Rekomendasi untuk revitalisasi kebun bibit kelompok yaitu: 1. Adanya dukungan dari pemerintah setempat, seperti menyediakan lahan untuk lokasi kebun bibit kelompok. Semestinya kebun bibit kelompok berada di atas tanah desa atau pemerintah dengan persetujuan perangkat desa atau kelurahan agar keberadaannya lebih terjamin. Sebisa mungkin dihindari pembangunan kebun bibit di atas tanah pribadi karena rawan konflik kepentingan yang bisa mengancam eksistensinya. 2. Bangunan kebun bibit sebaiknya terbuat dari material yang tahan lama dan berkualitas baik, supaya kebun bibit tidak cepat rusak. Perawatan bangunan kebun bibit kelompok dilakukan sebagai tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota KWT. 3. Jenis tanaman pertanian yang akan dikembangkan sebaiknya tanaman semusim yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu, dan bahkan pakan ternak (Thakur et al. 2005). Berdasarkan analisis produksi dan mengacu pada pernyataan tersebut, pembibitan sebaiknya difokuskan pada tanaman buah, sayur, dan bumbu karena dapat dikonsumsi oleh rumah tangga dan nilai ekonominya relatif lebih besar. 4. Selain mempertimbangkan aspek konsumsi dan ekonomi, aspek konservasi keanekaragaman hayati juga penting diperhatikan. Maksudnya jangan sampai komoditas yang dibibitkan untuk pekarangan kampung akan mengeliminasi sumberdaya lokal atau spesies endemik. Konservasi keanekaragaman hayati diperlukan untuk keseimbangan ekosistem, karena pemanfaatan sumberdaya hayati untuk berbagai keperluan secara tidak seimbang akan menyebabkan makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna (Supriatna 2008). Pekarangan sebagai agroekosistem yang berbasis agroforestri dapat menjadi salah satu metode konservasi secara eks-situ, khususnya untuk pertanian (Paruna 2012). Institusi pendidikan atau pihak akademisi dapat berkontribusi memberikan rekomendasi komoditas pekarangan. 5. Aktivitas pembibitan oleh KWT dilakukan tanpa tergantung pada dana bantuan sosial dari pemerintah pusat maupun daerah. KWT dituntut untuk mandiri dan kreatif dalam mencari modal pembibitan. Sumber modal pembibitan bisa dari
46
hasil penjualan bibit kepada anggota kelompok, keuntungan dari penjualan produk pekarangan kampung, dan keuntungan penjualan pangan olahan. Rekomendasi untuk pengembangan koperasi yaitu: 1. Koperasi berperan sebagai pengumpul produk-produk pekarangan kampung. Pihak koperasi diupayakan mau menerima produk dalam bentuk mentah atau hasil olahan, tentunya dengan harga yang layak sesuai mekanisme pasar. 2. Terkait dengan aspek ekonomi, hingga saat ini satu-satunya wadah organisasi formal yang menggalang dan menghimpun sumberdaya untuk kekuatan di bidang ekonomi dan sosial di pedesaan adalah Koperasi Unit Desa (KUD) (Saragih 2010). Namun kenyataannya di lapangan banyak KUD yang tidak beroperasi karena masalah organisasi dan modal. Adapun KUD yang masih beroperasi belum menggarap produk pekarangan kampung. KUD diharapkan mau mengembangkan usaha di sektor agribisnis pekarangan kampung. 3. Hasil penjualan produk pekarangan menjadi modal kelompok untuk membeli benih dan pengembangan usahanya. Asas kekeluargaan dan gotong royong perlu dibina antara KUD dengan KWT sehingga perputaran modal berjalan lancar dan dapat mendukung keberlanjutan pekarangan kampung. Pada praktiknya, sistem pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung yang berkelanjutan melibatkan kebun bibit kelompok, pekarangan anggota, dan koperasi unit desa (Gambar 27).
Gambar 27 Sistem dalam pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Berdasarkan klasifikasi ukuran, 50% pekarangan di Kabupaten Bandung termasuk kategori sedang, dengan rata-rata luas 317.1 m2. Berbeda halnya dengan Kabupaten Bogor dan Cirebon yang sebanyak 66.7% dan 60% pekarangannya termasuk kategori sempit. Zona belakang pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon paling banyak digunakan untuk budidaya tanaman pangan. Tanaman strata I dan II mendominasi di pekarangan ketiga kabupaten tersebut, sesuai dengan daya dukung pekarangan ukuran sempit dan sedang. Meskipun tanaman hias paling banyak ditemukan di semua pekarangan, namun keragaman tanaman pangan lebih banyak daripada non-pangan. Menurut analisis ShanonWienner, pekarangan di Kabupaten Bogor memiliki keanekaragaman tanaman pangan tertinggi (H’ = 1.95). Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan ecotone yang lebih sesuai untuk lebih banyak spesies tanaman dan hewan.
47
Pemanfaatan hasil panen dari pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon paling banyak untuk dijual daripada untuk dikonsumsi atau dibagikan, dengan persentase penjualan produk masing-masing 58%, 57%, dan 64%. Nilai ekonomi produk pekarangan di ketiga pekarangan tersebut masing-masing 70%, 77%, dan 70%. Produktivitas lahan menurut nilai ekonomi pekarangan per m2 per tahun yang tertinggi yaitu Kabupaten Bogor (Rp 13 400) dan yang terendah yaitu di Kabupaten Cirebon (Rp 10 500). Kontribusi nilai ekonomi pekarangan kampung yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi bulanannya di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1%, 10.8%, dan 7.1%. Keberlanjutan pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung dijabarkan pada tiga komponen, yaitu kelompok wanita tani (KWT), kebun bibit kelompok, dan koperasi. Diperlukan pemberdayaan KWT untuk meningkatkan kemampuannya sebagai pengelola pekarangan kampung. Diperlukan revitalisasi kebun bibit kelompok agar bibit untuk pekarangan tetap tersedia serta pembibitan difokuskan pada tanaman sayur dan buah karena produksinya tinggi, bisa dikonsumsi langsung dan lebih bernilai ekonomi. Diperlukan pemasaran kolektif melalui pengembangan usaha koperasi unit desa pada bidang agribisnis pekarangan kampung. 5.2. Saran Pengelolaan pekarangan kampung bermanfaat untuk menunjang ketahanan pangan, menjaga kepedulian sosial, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Diperlukan perhatian dan peran pemerintah, masyarakat, dan koperasi untuk mewujudkan hal tersebut. Kajian tentang jasa lanskap dari agroekosistem pekarangan akan menambah nilai ekonomi pekarangan kampung.
DAFTAR PUSTAKA Abdoellah OS. 1985. Home Gardens in Java and Their Future Development. Di dalam: Prosiding Lokakarya Internasional Pekarangan Tropis Pertama. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Adhawati SS. 1997. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Lahan Pertanian Dataran Tinggi di Desa Parigi (Hulu DAS Malino) Kabupaten Gowa [Tesis]. Makassar (ID): Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin. Altieri MA. 1999. The Ecological Role of Biodiversity in Agroecosystems. Elvesier J. Agriculture, Ecosystem, and Environment, Vol 74: 19-31. Arifin HS. 1998. Study on Vegetation Structure of Pekarangan and Its Changes in West Java, Indonesia. [Doctor Dissertation]. Okayama (JP): The Graduate School of Natural Science and Technology, Okayama University. Arifin HS. 2010. Manajemen Lanskap dalam Pembangunan Pertanian Menuju Harmonisasi Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan. Pembangunan Pedesaan: Pemikiran Guru Besar 6 PT BHMN. Bogor (ID): IPB Press. Arifin HS, Sakamoto K and Chiba K. 1996. Vegetation in The Home Gardens “Pekarangan” in West Java, Indonesia. Buletin of International Association for Landscape Ecology – Japan Vol. 3 (3): 38-40. Arifin HS, Sakamoto K and Chiba K. 1997. Effects of the Fragmentation and the Change of the Social and Economical Aspects on the Vegetation Structure in the Rural Home Gardens of West Java, Indonesia. Japan Institue of Landscape Architecture J., Tokyo (JP): Vol. 60 (5): 489-494.
48
Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998a. Effects of Urbanization on the Performance of the Home Gardens in West Java, Indonesia. Japanese Journal Tropical Agriculture (JP). Vol 61(4): 325-333. Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998b. Effects of Urbanization on the Vegetation of the Home Gardens in West Java, Indonesia. Japanese Journal Tropical Agriculture (JP). Vol 42(2): 94-102. Arifin HS, Wulandari C, Pramukanto Q, Kaswanto RL. 2009. Analisis Lanskap Agroforestri. Bogor (ID): IPB Press. Arifin HS, Nakagoshi N. 2011. Landscape Ecology and Urban Biodiversity in Tropical Indonesian Cities. Landscape & Ecol. Eng. J. Springer. Vol: 7(1) 33-43. Arifin NHS, Arifin HS, Astawan M, Kaswanto, Budiman VP. 2013. Optimalisasi Fungsi Pekarangan Melalui Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di dalam: Prosiding Lokakarya Nasional dan Seminar FKPTPI, Bogor 2-4 September 2013. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB. hlm 22-31. Azra ALZ. 2014. Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian pada Lanskap Pekarangan untuk Mendukung Penganekaragaman Konsumsi Pangan Keluarga [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Azra ALZ, Arifin HS, Astawan M, Arifin NHS. 2014. Analisis Karakteristik Ekologis Pekarangan dalam Mendukung Penganekaragaman Pangan Keluarga di Kabupaten Bogor. J. Lanskap Indonesia (in press). Bogor (ID). Brownrigg L. 1985. Definition and traditions, Home Garden Source Book, Vol. 1 Home Garden Issues and Ecological Aspect. Di dalam: Prosiding Lokakarya Internasional Pekarangan Tropis Pertama. Bandung (ID): Univ. Padjadjaran. Budiman VP, Arifin HS, Arifin NHS, Astawan M. 2015. Management of “Pekarangan Kampong” to Supporting Food Security in West Java Province. JSSH Pertanika (in press). Serdang (MY): Universiti Putra Malaysia. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Bandung dalam Angka 2013. Bandung (ID): BPS Kabupaten Bandung. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Daerah Kabupaten Cirebon 2013. Cirebon (ID): BPS Kabupaten Cirebon. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2014. Bogor (ID): BPS Kabupaten Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia – Agustus 2014. Jakarta (ID): BPS. [BP3K Darmaga] Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan KehutananVII Darmaga. 2014. Laporan Program Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Tahun 2014. Bogor (ID): BKP3. Dalgaard T, Hutchings NJ, Porter JR. 2003. Agroecology, Scaling and Interdisciplinary. Elvesier J. Agriculture, Ecosystem, and Environment, Vol 100: p39-51. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pemanfaatan Pekarangan. Jakarta (ID): Depatemen Pertanian RI. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. The State of Food Insecurity in the World-Addressing Food Insecurity in Protracted Crisis. Rome (IT): Food and Agriculture Organization of the UN.
49
Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif bagi Ketahanan Pangan Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27 No. 7. Jakarta (ID): Departemen Pertanian RI. Gliessman SR. 1998. Agroecology: Ecological Process in Sustainable Agriculture. Michigan (US): Ann Arbor Press. Kanara N. 2012. Struktur, Fungsi, dan Dinamika Keanekaragaman Hayati Pertanian pada Pekarangan di Hulu DAS Kalibekasi, Kabupaten Bogor. [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB Karyono. 1981. Homegarden Structure in Rural Areas of The Citarum Watershed, West Java. [disertasi]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Kehlenbeck K, Arifin HS, Maass BL. 2007. Plant Diversity in Home Gardens in a Socio-Economic and Agro-Ecological Context. dalam Stability of Tropical Rainforest Margins. Berlin (GB): Springer. [Kementan] Kementerian Pertanian RI. 2009. Sasaran Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Tahun 2010-2014. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian Kumar BM, Nair PKR. 2004. The Enigma of Tropical Rainforest. Agrofor Syst J. No. 61: 135-152. Michon G, Mary F. 1994. Conversion of traditional village gerdens and new economic strategis of Ural household in the area of Bogor, Indonesia. Agroforestry System 25: 31-58. Miranda JI. 2001. Multicriteria analysis applied to the sustainable Agricultural problem. Int. J. Sustain. Dev. World Ecol. 8:67-77. Moonen AC, Barberi P. 2008. Functional biodiversity: An agroecosystem approach. Elsevier AEE J. Vol 127 (2008): 7-21. Paruna P. 2012. Model Pekarangan sebagai Taman Keanekaragaman Hayati di Kawasan Industri Karawang International Industrial City. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB. Pearce, D. 1992. Economic Valuation and The Natural world. World Bank Working Papers. New York (US): The World Bank. Pujowati P. 2009. Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian – Institut Pertanian Bogor. Purwanti R. 2007. Pendapatan Petani Dataran Tinggi Sub DAS Malino, Studi Kasus: Kelurahan Gantarang, Kabupaten Gowa. Bogor (ID): Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan 4(3):257-269. Saragih B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Pambudy R, Dabukke FBM, editor. Bogor (ID): IPB Press. Soemarwoto O dan Soemarwoto I. 1981. Home Gardens in Indonesia. [artikel]. The Fourth Pacific Science International Congress. Singapore (SG) p27. Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Thakur PS. Dult V, Shegal S, Kumar R. 2005. Diversification and Improving Productivity of Mountain Farming System through Agroforestry Practice in Nortwestern India. Conference Proceeding AFTA 2005: 1-7.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi, pada tanggal 7 Januari 1989, dari pasangan Dr. Ir. H. Dana Budiman, M.Si. dan Hj. Elvi Andi, Bsc. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara, dengan adik perempuan bernama Vinessa Prisma Budiman dan Vimella Pratiwi Budiman. Penulis saat ini bertempat tinggal di Desa Sukamanah, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pendidikan dasar ditempuh oleh penulis di SDN Brawijaya 1 Kota Sukabumi (1995-2001). Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kota Sukabumi melalui kelas akselerasi (2001-2003). Pada tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kota Sukabumi dan di tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI 2006). Penulis lulus sebagai sarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada tahun 2012. Kemudian penulis langsung melanjutkan pendidikan di sekolah pascasarjana IPB program magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa pascasarjana program magister di PSL (20122015), penulis pernah menjadi asisten peneliti pada kegiatan Penelitian Lintas Fakultas yang berjudul Pemberdayaan Keanekaragaman Pertanian Pekarangan untuk Mendukung Penganekaragaman Pangan yang Bergizi Seimbang, Sehat, dan Aman. Penelitian tersebut dilaksanakan pada tahun 2013-2014 dan diketuai oleh Dr. Nurhayati H.S. Arifin. Adapun sumber dana penelitian berasal dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Selain menjadi asisten peneliti, penulis sempat menjadi asisten praktikum pada beberapa mata kuliah S1 dan S2 di lingkup Departemen Arsitektur Lanskap (2014). Penulis juga pernah terlibat dalam proyek kerjasama Badan Ketahana Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BKP5K) Kabupaten Bogor dengan Dept. Arsitektur Lanskap – Fakultas Pertanian IPB dalam rangka Kegiatan Model Pengembangan Kawasan Ketahanan Pangan di Kecamatan (2014). Penulis telah mempresentasikan hasil penelitian pada dua forum ilmiah, yaitu Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI) tahun 2013 di IPB – Bogor dan seminar serupa tahun 2014 di Universitas Andalas – Padang. Penulis juga sedang dalam proses publikasi hasil penelitiannya pada Jurnal Internasional -Jurnal Social Science and Humanity (JSSH)- Pertanika milik Universitas Putra Malaysia (UPM).