PENGELOLAAN HUTAN KEMITRAAN UNTUK MENYEJAHTERAKAN RAKYAT KASUS POLA PHBM (PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT) DI PERUM PERHUTANI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR
MUKHLAS ANSORI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi : Pengelolaan Hutan Kemitraan untuk Menyejahterakan Masyarakat Kasus Pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Perum Perhutani
BKPH Parung Panjang, KPH Bogor
adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Mukhlas Ansori NIM. P06200401001
ii
ABSTRACT
COMMUNITY-BASED FOREST MANAGEMENT PARTNERSHIP FOR PROSPERITY OF THE PEOPLE (A CASE COMMUNITY BASED FOREST MANAGEMENT IN PERHUTANI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR) Mukhlas Ansori, Endriatmo Soetarto, Dudung Darusman, Leti Sundawati
After the reform era, forest management tends to change from state-based to communitybased approaches. Arising awareness about the importance of involving communities in forest management, it will not succed without support from the community. Since 2001, Perhutani has implemented a partnership program in the form of CBFM (Community Based Forest management), designed to accommodate the dynamic needs of the community. This paper aims to study the perception of society, equality of status of the community, CBFM institution, and to formulate alternative forestry policy. This research was quantitative and qualitative research. Sample were taken purposively. Research location in Perhutani office (BKPH) of Parung Panjang, KPH Bogor. Public perceptions of CBFM are positive and able to increase revenue, income, absorb labour, and grow productive business. Biophysical condition are better with the following : the fire and illegal logging are reduced, and the rehabilitation of forest is better. However, it has been difficult for the community to get water since Accacia mangium were planted. The level of community participation in planning and evaluation is low but high in the implementation. The pattern of partnership is asymmetrical because the decision-making is dominated by Perhutani officers. Community creativity can not be implemented according to the needs. In the cooperative agreement, there are many inequalities positions. The partnership is focused more on corporate interests, and is used as reducer of conflict. Policy scenarios of CBFM are : institutional strengthening, acces to forest resources. Institutional readiness is a prerequisite for granting tenure of forest resources for communities. Devolution is a form appropriate partnerships in community forest management. Keywords : Community forestry, partnership, equality, institutional, devolution
iii
RINGKASAN
PENGELOLAAN HUTAN KEMITRAAN UNTUK MENYEJAHTERAKAN RAKYAT (KASUS PHBM DI PERHUTANI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR) Mukhlas Ansori, Endriatmo Soetarto, Dudung Darusman, Leti Sundawati
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan kemitraan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan. Program ini dilakukan
sebagai upaya untuk mengelola hutan secara lestari dan memakmurkan
masyarakat di sekitarnya. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan PHBM beragam. Dari aspek ekonomi persepsi masyarakat positif karena PHBM dapat menambah penghasilan walaupun relatif kecil mengingat luas lahan yang digarap juga sempit sehingga belum mampu menyejahterakan rakyat. Dari aspek sosial PHBM berpengaruh positif bagi keamanan hutan, kebakaran dan pencurian hasil hutan menurun. Sedangkan dari aspek ekologis persepsi masyarakat negatif karena pilihan terhadap tanaman Acasia mangium berdampak pada semakin sulitnya mendapatkan sumber air di musim kemarau. Pelaksanaan PHBM hanya bisa dilaksanakan dengan baik jika ada partisipasi dari para pemangku kepentingan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam PHBM pada tahap perencanaan, evaluasi dalam kategori rendah. Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM dalam kategori cukup tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan rakyat merupakan salah satu kendala keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan dan evaluasi. Dalam penerapan PHBM ditemukan adanya relasi kekuatan antara Perhutani dengan masyarakat yang belum seimbang. Perhutani dalam pelaksanaan PHBM masih dominan. Mandor sebagai pelaksana di lapangan masih instruktif karena lebih merasa superior. Masyarakat juga belum sepenuhnya sadar atas posisinya sebagai mitra kerja sejajar akibat tingkat pendidikannya yang relative rendah. Dengan kata lain Perhutani lebih menomorduakan kepentingan petani. Kemitraan cenderung asimetris, isi perjanjian lebih banyak memberatkan pihak petani seperti dikenakannya beraneka ragam aturan, sanksi bagi petani. Aspek keamanan hutan lebih banyak dibebankan kepada pihak petani. Akibat dominasi Perhutani dan penerapan pola kemitraan dengan mekanisme yang seragam di semua kondisi mengakibatkan kreativitas masyarakat tidak terakomodasi. Penerapan program pemberdayaan belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bagi hasil dari PHBM masih belum menyejahterakan petani, karena proporsi bagi hasil masih terlalu kecil dibandingkan dengan pola kemitraan lain. iv
LMDH sebagai pelaksana PHBM proses pembentukan dan tahapannya terlalu cepat. LMDH cenderung dibentuk secara instan sehingga seringkali tidak kuat menyuarakan kepentingan kelompok akar rumput. Kendala kelembagaan yang dihadapi adalah rendahnya tingkat kinerja dan tak jelasnya orientasi kerja para pengurusnya sehingga diperlukan upaya peningkatan
kapasitas
kelembagaan.
Dengan
demikian
diharapkan
PHBM
dapat
diselenggarakan lebih sinergis dan berkelanjutan. Skenario kebijakan hutan kemasyarakatan perlu mempertimbangkan aktor, faktor, strategi, dan tujuan. Aktor–aktor yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di BKPH Parung Panjang masing-masing adalah Perum Perhutani dan masyarakat. Sementara faktor terpenting yang perlu menjadi prioritas utama dalam pengelolaan
hutan
kemasyarakat
adalah
kebijakan.
Kebijakan
yang
memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat mengakses sumber daya hutan sebagai salah satu pemangku kepentingan yang harus dipertimbangkan pada setiap keputusan dalam pengelolaan hutan. Faktor penting berikut adalah kelembagaan. Dalam setiap program pemberdayaan fungsi dan peran kelembagaan sangat menentukan keberhasilannya, program dapat dilaksanakan dengan baik jika didukung oleh kelembagaan yang kuat, sinergitas dari para stakeholder diperlukan sehingga penerapan program dapat berjalan dengan lancar dan wajar. Kesiapan kelembagaan dalam
mengelola SDH merupakan
prasyarat untuk pemberian hak penguasaan sumberdaya hutan bagi komunitas masyarakat. Strategi yang seyogyanya menjadi pertimbangan utama adalah pendapatan masyarakat. Strategi penting lainnya
yaitu mengatasi konflik. Alternatif kebijakan dalam pengelolaan
hutan kemasyarakatan di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang adalah penguatan kelembagaan, dan akses terhadap sumberdaya hutan merupakan prioritas kedua. Hal lain yang tak kalah penting adalah dalam tata kelola keagrarian. Dalam hal ini opsi yang paling tepat dalam pengelolaan hutan kemitraan adalah dengan melakukan devolusi yaitu memberikan kewenangan lebih kuat atas hak hak pengaturan kepada pemerintah daerah. Dengan devolusi pemerintahan di tingkat lokal dapat merencanakan tujuan, mengambil keputusan secara independen, bahkan melakukan tindakan di luar apa yang sudah dirancang oleh pemerintah pusat.
v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vi
PENGELOLAAN HUTAN KEMITRAAN UNTUK MENYEJAHTERAKAN RAKYAT KASUS POLA PHBM (PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT) DI PERUM PERHUTANI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR
MUKHLAS ANSORI P 06200401001
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vii
viii
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Didik Suhardjito, M.S. Dr.Ir. Dodik Ridho Nurochmat, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Hardjanto Dr.Ir. Ahmad Fahroji
ix
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji bagi Allah dan atas karunia Allah akhirnya Disertasi yang berjudul Pengelolaan Hutan Kemitraan untuk Menyejahterakan Rakyat Kasus Pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) diI Perum Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH Bogor telah dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan tulisan yang menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan kuliah pada aras S3. Ucapan terima kasih secara tulus disampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai ketua komisi pembimbing yang telah memberikan ilmu, pencerahan, dan pengarahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan 2. Prof. Dr.Ir. Dudung Darusman, MA sebagai anggota komisi pembimbing yang telah membimbing
dengan memberikan
pencerahan, pengarahan, dorongan
untuk
menyelesaikan disertasi ini. 3.
Dr. Ir.Leti Sundawati, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan ilmu, pencerahan, dan pengarahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan
4. Prof.Dr Ir. Cecep Kusmana sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. 5. Seluruh keluarga Istri Dra. Euis Sartika, anak Bela Hanief Abdurrahman
yang telah
memberikan dukungan, pengertian, dan kesabaran karena berkurangnya perhatian demi penyelesaian disertasi ini Penelitian ini berawal dari keprihatinan terhadap kemiskinan yang terus dialami oleh masyarakat di sekitar hutan yang sulit mendapatkan sumber penghidupan dari hutan yang telah ada dan hutan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Penelitian ini disusun dengan keterbatasan kemampuan penulis, sehingga masih banyak kelemahan dan kekurangan. Untuk itu masukan dan saran dari semua pihak sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya penulis berharap bahwa tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan di bidang pengembangan masyarakat sekitar hutan. Bogor, Januari 2012 Mukhlas Ansori
x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di desa Pagotan, Madiun,pada tanggal 16 Oktober 1965. Penulis adalah putra kesepuluh dari Bapak K. Sahudi (almarhum) dan Ibu Suryati (almarhumah). Penulis menikah dengan Dra. Euis Sartika dan dikaruniai satu orang anak, Bela Hanief Abdurrahman. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Pagotan II lulus tahun 1976, SMP Negeri Uteran lulus 1980, kemudian SMA negeri Uteran lulus tahun 1983. Pendidikan aras S1 ditempuh di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro dengan mengambil keahlian linguistik Bahasa Indonesia lulus pada
Semarang
tahun 1989 di
bawah bimbingan Prof. Soedjarwo, dan Prof.Dr. Mudjahirin Tohir. Jenjang pendidikan S2 ditempuh di program studi Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2003 di bawah bimbingan Dr. Titik Sumarti, MS dan Ir. Said Rusli, MA. Tahun 2004 penulis mulai kuliah S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. Penulis bekerja sebagai dosen Institut Pertanian Bogor sejak tahun 1990 di Program mata Kuliah Dasar Umum mengampu mata kuliah bahasa Indonesia untuk mahasiswa S1 dan Diploma. Selain itu juga mengajar bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing. Penulis juga menjadi tutor Universitas Terbuka UPBJJ Bogor, sejak 2001 – sekarang. Menjabat sebagai Ketua Departemen MKDU IPB 2000 -2004. Saat ini penulis menjabat sebagai Kepala BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) IPB. Sebagian dari disertasi ini telah diterbitkan di Jurnal Agriekstensia Volume 8 no.1 Januari 2009, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Malang, dengan judul : Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Berbasis Kemitraan Berpola PHBM. Artikel kedua yang berjudul Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan untuk Menyejahterakan Masyarakat Kasus PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH Bogor terbit di Forum Pascasarjana IPB volume : 34 nomor 3 Juli 2011. Bogor, 3 Januari 2012
Mukhlas Ansori
xi
DAFTAR ISI Halaman Pernyataan Mengenai Disertasi dan Sumber informasi
i
Abstract
ii
Ringkasan
iii
Hak Cipta
vi
Halaman Judul
vii
Halaman Pengesahan
viii
Prakata
ix
Daftar Riwayat Hidup
x
Daftar Isi
xi
Daftar Tabel
xiv
Daftar Gambar
xv
Daftar Lampiran
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.1.1 Masyarakat Sekitar Hutan Yang terpinggirkan
1
1.1.2 Pengelola Tunggal Hutan di Jawa
5
1.1.3 Meningkatnya Kesadaran Baru Pelibatan Masyarakat
7
1.2 Permasalahan Penelitian
12
1.3 Tujuan Penelitian
13
1.4 Manfaat Penelitian
13
1.5 Kebaruan (Novelty)
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
15
2.1 Pengertian Hutan Kemasyarakatan
15
2.2 Berbagai Model Hutan Kemasyarakatan di Indonesia
18
2.3 Pengelolaan Hutan dengan Model Kemitraan
22
2.4 Persepsi sebagai Proses Awal Penilaian
24
2.5 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kemitraan
26
2.6 Kelembagaan sebagai Prakondisi Pelibatan Rakyat
29
2.7 Kerangka Pemikiran
31 xii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
36
3.1 Paradigma Penelitian
36
3.2 Tempat Penelitian
36
3.2 Pengumpulan Data
37
3.4 Analisis Data
38
BAB IV KETERBATASAN SUMBER DAYA DAN PERUBAHAN AKTIVITAS PEREKONOMIAN RAKYAT
41
4.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat
41
4.2 Aktivitas Ekonomi Masyarakat
45
4.3 Tekanan Penduduk Terhadap Hutan di Jawa
48
4.4 Ikhtisar
53
Bab V HUTAN RAKYAT, PHBM DAN KRITIK TERHADAP PHBM
54
5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat
54
5.2 Hubungan Perhutani dengan Masyarakat Sekitar Hutan
56
5.3 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
60
5.4 Kritik terhadap Program PHBM
65
5.5 Ikhtisar
66
Bab VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM
68
6.1 Kelemahan Sumber Daya Manusia
68
6.2 Keterbatasan Sumber Daya Lahan Pertanian
69
6.3 Berkurangnya Kebakaran Hutan dan Pencurian
73
6.4 Berkurangnya Sumber Mata Air setelah Penanaman Pohon Akasia
75
6.5 Ikhtisar
77
VII DOMINASI PERHUTANI DALAM KEMITRAAN POLA PHBM
78
7.1 Petani Belum Menjadi Mitra Sejajar
78
7.2 Ketidaksetaraan Kedudukan dalam Perjanjian Kerja Sama
82
7.3 Sistem Bagi Hasil Antara Perhutani dan Masyarakat
86
7.4 Kinerja LMDH/KTH dalam Implentasi PHBM
90
7.5 Partisipasi Masyarakat dalam PHBM
98
7.6 Kurangnya Akomodasi Kepemimpinan Lokal
104
xiii
7.7 Konflik Kepentingan Dalam Implementasi PHBM
106
7.8 Ikhtisar
114
BAB VIII KEMITRAAN POLA PHBM BELUM MEMBERDAYAKAN RAKYAT
117
8.1 Keragaan PHBM di BKPH Parung Panjang
117
8.2 Program Pengamanan Hutan melalui PHBM
121
8.3 Kontradiksi Peraturan tentang Pengeloaan Kawasan Hutan
124
8.4 Jalan Menuju Pemerataan Penguasaan dan Akses Lahan
128
8.5 Skenario Kebijakan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
137
8.6 Penguatan Kelembagaan
145
8.7 Ikhtisar
153
BAB IX PENGELOLAAN HUTAN YANG MEMIHAK RAKYAT
155
BAB IX KESIMPULAN
159
EPILOG
162
DAFTAR PUSTAKA
164
LAMPIRAN
172
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Pergeseran Konseptual dalam Pengelolaan Hutan
10
Tabel 2 Luas kawasan hutan & jumlah peserta PHBM di BKPH Parung panjang
42
Tabel 3 Jumlah Penduduk Desa sekitar BKPH Parung Panjang
42
Tabel 4 Tingkat Pendidikan Penduduk
43
Tabel 5 Data Penggunaan Tanah (ha) di 3 desa contoh
44
Tabel 6 Data Hasil Produksi Panen (ton/tahun) di 3 Desa Contoh
44
Tabel 7 Data Kepala Keluarga Miskin di 3 Desa Contoh
44
Tabel 8 Mata Pencaharian Penduduk tiga desa contoh
45
Tabel 9 Pertambahan Penduduk di Jawa Tahun 1930 s/d 2010
49
Tabel 10 Kepadatan Penduduk per km 2 menurut Provinsi di Pulau Jawa
50
Tabel 11 Wilayah Kerja dan Luas Hutan Perhutani
57
Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan (%)
69
Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan penghasilan ( % )
69
Tabel 14 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan penghasilan petani
71
Tabel 15 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan penghasilan tambahan
71
Tabel 16 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan keuntungan responden
72
Tabel 17 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan tenaga kerja
72
Tabel 18 Hasil uji hubungan peubah frekuensi kayu bakar dengan penghasilan
72
Tabel 19 Hasil uji hubungan antara kebakaran dan giliran jaga
74
Tabel 20 Hasil uji hubungan pencurian kayu bakar dengan giliran jaga
75
Tabel 21 Hasil produksi tebangan tahun 2009 Parung Panjang (m 3)
76
Tabel 22 Hasil uji hubungan peubah yang berkaitan dengan lingkungan
76
Tabel 23 Proporsi dalam Sistem Bagi Hasil PHBM
87
Tabel 24 Sharing Kayu BKPH Parung Panjang tahun 2008
88
Tabel 25. Pendapatan petani dari PHBM
89
Tabel 26 Partisipasi petani dalam PHBM (%)
101
Tabel 27 Hasil uji hubungan peubah keterlibatan para pihak
101
xv
Tabel 28 Hasil uji hubungan peubah pelaksanaan dengan perencanaan
102
Tabel 29 Hasil uji hubungan peubah pelaksanaan dengan perencanaan
102
Tabel 30 Hasil uji hubungan peubah evaluasi dengan pelaksanaan
102
Tabel 31 Pemahaman petani terhadap perjanjian kerja sama dalam PHBM (%)
103
Tabel 32 Indikator Keberlanjutan PHBM
118
Tabel 33 Kinerja dari PHBM dari aspek produktivitas, keberlanjutan, keadilan
120
Tabel 34 Kondisi Nyata PHBM dan Target Capain
121
xvi
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
34
Gambar 1 Bagan Alir Langkah Penelitian
35
Gambar 2 Tingkat pendidikan responden
68
Gambar 3 Distribusi Lahan Milik Rakyat
70
Gambar 5 Hasil AHP Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
139
Gambar 6 Aktor yang Berperan dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
140
Gambar 6 Faktor yang Berpengaruh terhadap Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
142
Gambar 7 Strategi dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
142
Gambar 8 Alternatif Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
145
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Kuisioner Persepsi tentang PHBM
172
Lampiran 2 Kuisioner AHP Hutan Kemasyarakatan
177
Lampiran 3 Implementasi PHBM Desember 2011
189
xviii
PENGELOLAAN HUTAN KEMITRAAN UNTUK MENYEJAHTERAKAN RAKYAT KASUS POLA PHBM (PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT) DI PERUM PERHUTANI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR
MUKHLAS ANSORI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi : Pengelolaan Hutan Kemitraan untuk Menyejahterakan Masyarakat Kasus Pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Perum Perhutani
BKPH Parung Panjang, KPH Bogor
adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Mukhlas Ansori NIM. P06200401001
ii
ABSTRACT
COMMUNITY-BASED FOREST MANAGEMENT PARTNERSHIP FOR PROSPERITY OF THE PEOPLE (A CASE COMMUNITY BASED FOREST MANAGEMENT IN PERHUTANI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR) Mukhlas Ansori, Endriatmo Soetarto, Dudung Darusman, Leti Sundawati
After the reform era, forest management tends to change from state-based to communitybased approaches. Arising awareness about the importance of involving communities in forest management, it will not succed without support from the community. Since 2001, Perhutani has implemented a partnership program in the form of CBFM (Community Based Forest management), designed to accommodate the dynamic needs of the community. This paper aims to study the perception of society, equality of status of the community, CBFM institution, and to formulate alternative forestry policy. This research was quantitative and qualitative research. Sample were taken purposively. Research location in Perhutani office (BKPH) of Parung Panjang, KPH Bogor. Public perceptions of CBFM are positive and able to increase revenue, income, absorb labour, and grow productive business. Biophysical condition are better with the following : the fire and illegal logging are reduced, and the rehabilitation of forest is better. However, it has been difficult for the community to get water since Accacia mangium were planted. The level of community participation in planning and evaluation is low but high in the implementation. The pattern of partnership is asymmetrical because the decision-making is dominated by Perhutani officers. Community creativity can not be implemented according to the needs. In the cooperative agreement, there are many inequalities positions. The partnership is focused more on corporate interests, and is used as reducer of conflict. Policy scenarios of CBFM are : institutional strengthening, acces to forest resources. Institutional readiness is a prerequisite for granting tenure of forest resources for communities. Devolution is a form appropriate partnerships in community forest management. Keywords : Community forestry, partnership, equality, institutional, devolution
iii
RINGKASAN
PENGELOLAAN HUTAN KEMITRAAN UNTUK MENYEJAHTERAKAN RAKYAT (KASUS PHBM DI PERHUTANI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR) Mukhlas Ansori, Endriatmo Soetarto, Dudung Darusman, Leti Sundawati
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan kemitraan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan. Program ini dilakukan
sebagai upaya untuk mengelola hutan secara lestari dan memakmurkan
masyarakat di sekitarnya. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan PHBM beragam. Dari aspek ekonomi persepsi masyarakat positif karena PHBM dapat menambah penghasilan walaupun relatif kecil mengingat luas lahan yang digarap juga sempit sehingga belum mampu menyejahterakan rakyat. Dari aspek sosial PHBM berpengaruh positif bagi keamanan hutan, kebakaran dan pencurian hasil hutan menurun. Sedangkan dari aspek ekologis persepsi masyarakat negatif karena pilihan terhadap tanaman Acasia mangium berdampak pada semakin sulitnya mendapatkan sumber air di musim kemarau. Pelaksanaan PHBM hanya bisa dilaksanakan dengan baik jika ada partisipasi dari para pemangku kepentingan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam PHBM pada tahap perencanaan, evaluasi dalam kategori rendah. Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM dalam kategori cukup tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan rakyat merupakan salah satu kendala keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan dan evaluasi. Dalam penerapan PHBM ditemukan adanya relasi kekuatan antara Perhutani dengan masyarakat yang belum seimbang. Perhutani dalam pelaksanaan PHBM masih dominan. Mandor sebagai pelaksana di lapangan masih instruktif karena lebih merasa superior. Masyarakat juga belum sepenuhnya sadar atas posisinya sebagai mitra kerja sejajar akibat tingkat pendidikannya yang relative rendah. Dengan kata lain Perhutani lebih menomorduakan kepentingan petani. Kemitraan cenderung asimetris, isi perjanjian lebih banyak memberatkan pihak petani seperti dikenakannya beraneka ragam aturan, sanksi bagi petani. Aspek keamanan hutan lebih banyak dibebankan kepada pihak petani. Akibat dominasi Perhutani dan penerapan pola kemitraan dengan mekanisme yang seragam di semua kondisi mengakibatkan kreativitas masyarakat tidak terakomodasi. Penerapan program pemberdayaan belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bagi hasil dari PHBM masih belum menyejahterakan petani, karena proporsi bagi hasil masih terlalu kecil dibandingkan dengan pola kemitraan lain. iv
LMDH sebagai pelaksana PHBM proses pembentukan dan tahapannya terlalu cepat. LMDH cenderung dibentuk secara instan sehingga seringkali tidak kuat menyuarakan kepentingan kelompok akar rumput. Kendala kelembagaan yang dihadapi adalah rendahnya tingkat kinerja dan tak jelasnya orientasi kerja para pengurusnya sehingga diperlukan upaya peningkatan
kapasitas
kelembagaan.
Dengan
demikian
diharapkan
PHBM
dapat
diselenggarakan lebih sinergis dan berkelanjutan. Skenario kebijakan hutan kemasyarakatan perlu mempertimbangkan aktor, faktor, strategi, dan tujuan. Aktor–aktor yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di BKPH Parung Panjang masing-masing adalah Perum Perhutani dan masyarakat. Sementara faktor terpenting yang perlu menjadi prioritas utama dalam pengelolaan
hutan
kemasyarakat
adalah
kebijakan.
Kebijakan
yang
memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat mengakses sumber daya hutan sebagai salah satu pemangku kepentingan yang harus dipertimbangkan pada setiap keputusan dalam pengelolaan hutan. Faktor penting berikut adalah kelembagaan. Dalam setiap program pemberdayaan fungsi dan peran kelembagaan sangat menentukan keberhasilannya, program dapat dilaksanakan dengan baik jika didukung oleh kelembagaan yang kuat, sinergitas dari para stakeholder diperlukan sehingga penerapan program dapat berjalan dengan lancar dan wajar. Kesiapan kelembagaan dalam
mengelola SDH merupakan
prasyarat untuk pemberian hak penguasaan sumberdaya hutan bagi komunitas masyarakat. Strategi yang seyogyanya menjadi pertimbangan utama adalah pendapatan masyarakat. Strategi penting lainnya
yaitu mengatasi konflik. Alternatif kebijakan dalam pengelolaan
hutan kemasyarakatan di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang adalah penguatan kelembagaan, dan akses terhadap sumberdaya hutan merupakan prioritas kedua. Hal lain yang tak kalah penting adalah dalam tata kelola keagrarian. Dalam hal ini opsi yang paling tepat dalam pengelolaan hutan kemitraan adalah dengan melakukan devolusi yaitu memberikan kewenangan lebih kuat atas hak hak pengaturan kepada pemerintah daerah. Dengan devolusi pemerintahan di tingkat lokal dapat merencanakan tujuan, mengambil keputusan secara independen, bahkan melakukan tindakan di luar apa yang sudah dirancang oleh pemerintah pusat.
v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vi
PENGELOLAAN HUTAN KEMITRAAN UNTUK MENYEJAHTERAKAN RAKYAT KASUS POLA PHBM (PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT) DI PERUM PERHUTANI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR
MUKHLAS ANSORI P 06200401001
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vii
viii
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Didik Suhardjito, M.S. Dr.Ir. Dodik Ridho Nurochmat, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Hardjanto Dr.Ir. Ahmad Fahroji
ix
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji bagi Allah dan atas karunia Allah akhirnya Disertasi yang berjudul Pengelolaan Hutan Kemitraan untuk Menyejahterakan Rakyat Kasus Pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) diI Perum Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH Bogor telah dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan tulisan yang menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan kuliah pada aras S3. Ucapan terima kasih secara tulus disampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai ketua komisi pembimbing yang telah memberikan ilmu, pencerahan, dan pengarahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan 2. Prof. Dr.Ir. Dudung Darusman, MA sebagai anggota komisi pembimbing yang telah membimbing
dengan memberikan
pencerahan, pengarahan, dorongan
untuk
menyelesaikan disertasi ini. 3.
Dr. Ir.Leti Sundawati, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan ilmu, pencerahan, dan pengarahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan
4. Prof.Dr Ir. Cecep Kusmana sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. 5. Seluruh keluarga Istri Dra. Euis Sartika, anak Bela Hanief Abdurrahman
yang telah
memberikan dukungan, pengertian, dan kesabaran karena berkurangnya perhatian demi penyelesaian disertasi ini Penelitian ini berawal dari keprihatinan terhadap kemiskinan yang terus dialami oleh masyarakat di sekitar hutan yang sulit mendapatkan sumber penghidupan dari hutan yang telah ada dan hutan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Penelitian ini disusun dengan keterbatasan kemampuan penulis, sehingga masih banyak kelemahan dan kekurangan. Untuk itu masukan dan saran dari semua pihak sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya penulis berharap bahwa tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan di bidang pengembangan masyarakat sekitar hutan. Bogor, Januari 2012 Mukhlas Ansori
x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di desa Pagotan, Madiun,pada tanggal 16 Oktober 1965. Penulis adalah putra kesepuluh dari Bapak K. Sahudi (almarhum) dan Ibu Suryati (almarhumah). Penulis menikah dengan Dra. Euis Sartika dan dikaruniai satu orang anak, Bela Hanief Abdurrahman. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Pagotan II lulus tahun 1976, SMP Negeri Uteran lulus 1980, kemudian SMA negeri Uteran lulus tahun 1983. Pendidikan aras S1 ditempuh di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro dengan mengambil keahlian linguistik Bahasa Indonesia lulus pada
Semarang
tahun 1989 di
bawah bimbingan Prof. Soedjarwo, dan Prof.Dr. Mudjahirin Tohir. Jenjang pendidikan S2 ditempuh di program studi Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2003 di bawah bimbingan Dr. Titik Sumarti, MS dan Ir. Said Rusli, MA. Tahun 2004 penulis mulai kuliah S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. Penulis bekerja sebagai dosen Institut Pertanian Bogor sejak tahun 1990 di Program mata Kuliah Dasar Umum mengampu mata kuliah bahasa Indonesia untuk mahasiswa S1 dan Diploma. Selain itu juga mengajar bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing. Penulis juga menjadi tutor Universitas Terbuka UPBJJ Bogor, sejak 2001 – sekarang. Menjabat sebagai Ketua Departemen MKDU IPB 2000 -2004. Saat ini penulis menjabat sebagai Kepala BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) IPB. Sebagian dari disertasi ini telah diterbitkan di Jurnal Agriekstensia Volume 8 no.1 Januari 2009, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Malang, dengan judul : Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Berbasis Kemitraan Berpola PHBM. Artikel kedua yang berjudul Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan untuk Menyejahterakan Masyarakat Kasus PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH Bogor terbit di Forum Pascasarjana IPB volume : 34 nomor 3 Juli 2011. Bogor, 3 Januari 2012
Mukhlas Ansori
xi
DAFTAR ISI Halaman Pernyataan Mengenai Disertasi dan Sumber informasi
i
Abstract
ii
Ringkasan
iii
Hak Cipta
vi
Halaman Judul
vii
Halaman Pengesahan
viii
Prakata
ix
Daftar Riwayat Hidup
x
Daftar Isi
xi
Daftar Tabel
xiv
Daftar Gambar
xv
Daftar Lampiran
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.1.1 Masyarakat Sekitar Hutan Yang terpinggirkan
1
1.1.2 Pengelola Tunggal Hutan di Jawa
5
1.1.3 Meningkatnya Kesadaran Baru Pelibatan Masyarakat
7
1.2 Permasalahan Penelitian
12
1.3 Tujuan Penelitian
13
1.4 Manfaat Penelitian
13
1.5 Kebaruan (Novelty)
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
15
2.1 Pengertian Hutan Kemasyarakatan
15
2.2 Berbagai Model Hutan Kemasyarakatan di Indonesia
18
2.3 Pengelolaan Hutan dengan Model Kemitraan
22
2.4 Persepsi sebagai Proses Awal Penilaian
24
2.5 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kemitraan
26
2.6 Kelembagaan sebagai Prakondisi Pelibatan Rakyat
29
2.7 Kerangka Pemikiran
31 xii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
36
3.1 Paradigma Penelitian
36
3.2 Tempat Penelitian
36
3.2 Pengumpulan Data
37
3.4 Analisis Data
38
BAB IV KETERBATASAN SUMBER DAYA DAN PERUBAHAN AKTIVITAS PEREKONOMIAN RAKYAT
41
4.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat
41
4.2 Aktivitas Ekonomi Masyarakat
45
4.3 Tekanan Penduduk Terhadap Hutan di Jawa
48
4.4 Ikhtisar
53
Bab V HUTAN RAKYAT, PHBM DAN KRITIK TERHADAP PHBM
54
5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat
54
5.2 Hubungan Perhutani dengan Masyarakat Sekitar Hutan
56
5.3 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
60
5.4 Kritik terhadap Program PHBM
65
5.5 Ikhtisar
66
Bab VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM
68
6.1 Kelemahan Sumber Daya Manusia
68
6.2 Keterbatasan Sumber Daya Lahan Pertanian
69
6.3 Berkurangnya Kebakaran Hutan dan Pencurian
73
6.4 Berkurangnya Sumber Mata Air setelah Penanaman Pohon Akasia
75
6.5 Ikhtisar
77
VII DOMINASI PERHUTANI DALAM KEMITRAAN POLA PHBM
78
7.1 Petani Belum Menjadi Mitra Sejajar
78
7.2 Ketidaksetaraan Kedudukan dalam Perjanjian Kerja Sama
82
7.3 Sistem Bagi Hasil Antara Perhutani dan Masyarakat
86
7.4 Kinerja LMDH/KTH dalam Implentasi PHBM
90
7.5 Partisipasi Masyarakat dalam PHBM
98
7.6 Kurangnya Akomodasi Kepemimpinan Lokal
104
xiii
7.7 Konflik Kepentingan Dalam Implementasi PHBM
106
7.8 Ikhtisar
114
BAB VIII KEMITRAAN POLA PHBM BELUM MEMBERDAYAKAN RAKYAT
117
8.1 Keragaan PHBM di BKPH Parung Panjang
117
8.2 Program Pengamanan Hutan melalui PHBM
121
8.3 Kontradiksi Peraturan tentang Pengeloaan Kawasan Hutan
124
8.4 Jalan Menuju Pemerataan Penguasaan dan Akses Lahan
128
8.5 Skenario Kebijakan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
137
8.6 Penguatan Kelembagaan
145
8.7 Ikhtisar
153
BAB IX PENGELOLAAN HUTAN YANG MEMIHAK RAKYAT
155
BAB IX KESIMPULAN
159
EPILOG
162
DAFTAR PUSTAKA
164
LAMPIRAN
172
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Pergeseran Konseptual dalam Pengelolaan Hutan
10
Tabel 2 Luas kawasan hutan & jumlah peserta PHBM di BKPH Parung panjang
42
Tabel 3 Jumlah Penduduk Desa sekitar BKPH Parung Panjang
42
Tabel 4 Tingkat Pendidikan Penduduk
43
Tabel 5 Data Penggunaan Tanah (ha) di 3 desa contoh
44
Tabel 6 Data Hasil Produksi Panen (ton/tahun) di 3 Desa Contoh
44
Tabel 7 Data Kepala Keluarga Miskin di 3 Desa Contoh
44
Tabel 8 Mata Pencaharian Penduduk tiga desa contoh
45
Tabel 9 Pertambahan Penduduk di Jawa Tahun 1930 s/d 2010
49
Tabel 10 Kepadatan Penduduk per km 2 menurut Provinsi di Pulau Jawa
50
Tabel 11 Wilayah Kerja dan Luas Hutan Perhutani
57
Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan (%)
69
Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan penghasilan ( % )
69
Tabel 14 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan penghasilan petani
71
Tabel 15 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan penghasilan tambahan
71
Tabel 16 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan keuntungan responden
72
Tabel 17 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan tenaga kerja
72
Tabel 18 Hasil uji hubungan peubah frekuensi kayu bakar dengan penghasilan
72
Tabel 19 Hasil uji hubungan antara kebakaran dan giliran jaga
74
Tabel 20 Hasil uji hubungan pencurian kayu bakar dengan giliran jaga
75
Tabel 21 Hasil produksi tebangan tahun 2009 Parung Panjang (m 3)
76
Tabel 22 Hasil uji hubungan peubah yang berkaitan dengan lingkungan
76
Tabel 23 Proporsi dalam Sistem Bagi Hasil PHBM
87
Tabel 24 Sharing Kayu BKPH Parung Panjang tahun 2008
88
Tabel 25. Pendapatan petani dari PHBM
89
Tabel 26 Partisipasi petani dalam PHBM (%)
101
Tabel 27 Hasil uji hubungan peubah keterlibatan para pihak
101
xv
Tabel 28 Hasil uji hubungan peubah pelaksanaan dengan perencanaan
102
Tabel 29 Hasil uji hubungan peubah pelaksanaan dengan perencanaan
102
Tabel 30 Hasil uji hubungan peubah evaluasi dengan pelaksanaan
102
Tabel 31 Pemahaman petani terhadap perjanjian kerja sama dalam PHBM (%)
103
Tabel 32 Indikator Keberlanjutan PHBM
118
Tabel 33 Kinerja dari PHBM dari aspek produktivitas, keberlanjutan, keadilan
120
Tabel 34 Kondisi Nyata PHBM dan Target Capain
121
xvi
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
34
Gambar 1 Bagan Alir Langkah Penelitian
35
Gambar 2 Tingkat pendidikan responden
68
Gambar 3 Distribusi Lahan Milik Rakyat
70
Gambar 5 Hasil AHP Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
139
Gambar 6 Aktor yang Berperan dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
140
Gambar 6 Faktor yang Berpengaruh terhadap Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
142
Gambar 7 Strategi dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
142
Gambar 8 Alternatif Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
145
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Kuisioner Persepsi tentang PHBM
172
Lampiran 2 Kuisioner AHP Hutan Kemasyarakatan
177
Lampiran 3 Implementasi PHBM Desember 2011
189
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1.1.1 Masyarakat Sekitar Hutan Yang Terpinggirkan Hutan merupakan sumberdaya alam yang penting bagi masyarakat di sekitarnya. Hutan menyediakan pangan, bahan bakar, tempat tinggal, dan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Tetapi seringkali hak-hak masyarakat penghuni hutan yang hidupnya bergantung pada hutan tidak diakui keberadaannya. Masyakat juga tidak diberi kesempatan untuk ikut menentukan dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan dan peraturan nasional mengenai hutan. Kebijakan pengelolaan hutan lebih menguntungkan kalangan elit sementara banyak penduduk penduduk di sekitar hutan tersisihkan. Terdapat pandangan yang menyesatkan dan menyudutkan penduduk di sekitar hutan dengan anggapan : (1) jumlah penduduk yang hidup di sekitar hutan hanya sedikit, (2) masyarakat penghuni hutan melakukan pemanfaatan sumberdaya alam milik umum secara liar atau ilegal (3) masyarakat senantiasa merusak hutan terutama dengan sistem perladangan tebas bakar. Sementara banyak bukti menunjukkan bahwa masyarakat penghuni hutan dapat melindungi keanekaragaman hayati dan mengelola ekosistem setempat secara lestari (Lynch & Talbott, 2001). Sejak awal,
peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan
hutan mengandung banyak permasalahan. Peraturan yang pertama dikeluarkan pada tahun 1865 yaitu Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (UndangUndang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865). Kemudian disusul dengan peraturan agraria disebut Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa setiap tanah (hutan) yang tidak dapat dibuktikan adanya hak di atasnya maka menjadi domain pemerintah. Setelah Indonesia merdeka, hukum pengelolaan hutan yang berlaku dalam wilayah Republik Indonesia masih berupa peraturan perundang-undangan kehutanan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1964, pemerintah membentuk Departemen Kehutanan sebagai institusi negara yang
1
diberi wewenang mengelola dan mengusahakan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu tugas Departemen Kehutanan adalah merencanakan, membimbing, mengawasi, dan melaksanakan usaha-usaha pemanfaatan hutan dan kehutanan, terutama produksi dalam arti yang luas di bidang kehutanan, untuk meninggikan derajat kehidupan dan kesejahteraan rakyat dan negara secara kekal. Saat Orde Baru, orientasi pembangunan ekonomi nasional adalah mengejar pertumbuhan ekonomi. Untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan: (1) membuka peluang ekonomi dan kesempatan berusaha dengan mengundang sebanyak mungkin pemilik modal (2) pemerintah secara sadar mengeksploitasi sumber daya hutan dan kekayaan alam lainnya, terutama minyak dan gas bumi, sebagai sumber pendapatan dan devisa negara untuk membiayai pembangunan nasional. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan yang bercorak kapital dan berorientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi ini, pemerintah membuat instrumen hukum yang dimulai dengan pengesahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kemudian disusul dengan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Selain minyak dan gas bumi, sumber daya hutan menjadi andalan utama pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, melalui pemberian konsesi-konsesi pengusahaan hutan. Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menjadi instrumen untuk mendukung peningkatan penanaman modal di bidang pengusahaan sumber daya hutan. Untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan, dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 jo PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar-besaran dilakukan terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pemberian konsesi HPH dan HPHH diberikan kepada pemilik modal asing dan modal dalam negeri baik dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari segi ekonomi pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada swasta dan BUMN memang secara nyata memberi kontribusi yang positif bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi dampak dari segi
2
ekologi cukup serius, degradasi hutan tropis terjadi di berbagai kawasan di Indonesia. Hutan Indonesia mengalami degradasi yang terus berkelanjutan. Sebaliknya rakyat yang berada di sekitar hutan merasakan semakin hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat. Kelompok masyarakat lokal, terutama masyarakat yang secara turun-temurun hidup dan tinggal di sekitar hutan, sebagai korban-korban pembangunan, yang tergusur dan terabaikan serta tertutupnya akses dan hak-hak rakyat atas sumber daya hutan. Kebijakan pemberian konsesi pengusahaan hutan kepada pemegang HPH, atau BUMN tidak dilandasi dengan kebijakan perencanaan pengelolaan sumber daya hutan yang terstruktur. Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hutan PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan baru dikeluarkan pemerintah setelah operasional HPH dan HPHH berlangsung selama lebih dari 15 tahun lamanya. Oleh karena itu, dapat diprediksi jika kemudian terjadi eksploitasi sumber daya hutan secara tak terkendali oleh para pemegang konsesi HPH dan HPHH. Sebagai konsekuensinya kondisi hutan tropis Indonesia secara berkesinambungan mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Secara ideologis produk hukum pengelolaan hutan terutama yang berbentuk undang-undang mencerminkan ideologi pengelolaan hutan yang berbasis negara. Instrumen hukum pengelolaan hutan yang dikeluarkan pemerintah juga lebih merupakan hukum pemerintah. Hukum yang berlaku cenderung sarat dengan muatan penekanan, pengabaian, penggusuran, bahkan pembekuan akses dan hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan. Konflik-konflik yang berkepanjangan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan terus terjadi antara masyarakat lokal dengan pemerintah maupun pemegang konsesi-konsesi kehutanan. Menurut (Moniaga 2010), konflik-konflik yang terjadi dalam pengelolaan hutan setidaknya disebabkan halhal sebagai berikut: pertama: penetapan secara sepihak atas kawasan hutan oleh negara tanpa adanya sosialisasi. Padahal, dalam undang-undang No.41 tahun 1999 Kehutanan dalam pasal 15 disebutkan bahwa untuk menetapkan kawasan hutan pemerintah harus melakukan (1) penunjukan kawasan hutan , (2) penataan batas kawasan hutan, (3) pemetaan kawasan hutan, (4) penetapan kawasan hutan. Penetapan sepihak oleh pemerintah ini mengakibatkan konflik tenurial menjadi semakin terbuka. Kedua: adanya
tumpang
tindih
undang-undang
yang
mengatur
pengelolaan sumberdaya daya alam menjadi salah satu faktor penyebab konflik
3
kehutanan
masih
berkelanjutan.
Penetapan
batas-batas
wilayah
hutan
didasarkan pada peta Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) dan baru 30 persen yang diukur batas-batas wilayahnya dengan jelas oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan Peraturan Presiden no.10 tahun 2006 menyebutkan bahwa hal-hal yang menyangkut persoalan tanah akan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional. Sampai dengan awal 2005, proses penatabatasan baru berhasil mencakup 12 juta hektar, atau sekitar 10% dari 120 juta hektar kawasan hutan, sisanya seluas 108 juta hektar statusnya tidak pasti dengan ketiadaan informasi atas hak-hak yang melekat pada kawasan tersebut. Luas kawasan hutan Indonesia yang resmi saat ini hanyalah 12 juta hektar, bukan 120 juta hektar seperti anggapan yang umum dipakai selama ini. Kawasan hutan yang tersisa 108 juta hektar dapat dianggap sebagai kawasan hutan nonnegara dan merupakan tanah yang dipertimbangkan oleh BPN dikuasai oleh negara, tetapi bukan
tanah negara, karena pemerintah harus menentukan adanya hak-hak
atas tanah. Sebagai konsekuensinya, negara tidak dapat memberikan hak pengelolaan, pengusahaan atau hak pakai atas kawasan bersangkutan hingga ditentukan apakah terdapat hak privat di atasnya. Setelah itu,
Kementerian
Kehutanan dapat mengeluarkan izin pemanfaatan pada kasus hutan hak, hanya kepada mereka yang memiliki hak atas tanah yang bersangkutan (Harsono 1997). Ketiga: tertutupnya ruang partisipasi atau akses masyarakat untuk ikut memanfaatkan hasil hutan. Keempat: masyarakat di dalam dan di sekitar hutan menjadi penderita ketika pemerintah melalui aparatnya memakai cara-cara represif terhadap mereka yang berusaha memanfaatkan hasil hutan. Kelima: kegagalan menyeluruh
pemerintah dalam
memberdayakan
sistem
masyarakat
pengelolaan
hutan,
desa
sehingga
hutan
secara
menimbulkan
ketimpangan ekonomi dan sosial masyarakat. Keenam: keterbukaan akses informasi oleh Perhutani mengenai informasi publik seperti batas tenurial antara wilayah hutan dengan tanah milik masyarakat, kondisi ini juga sering menimbulkan konflik panjang. Perhutani mempunyai mekanisme penyelesaiannya, tetapi belum dilakukan secara bertanggung jawab. Jika kebijakan akan terus mempertahankan pengelolaan hutan yang bercorak sentralistik, dan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, maka kawasan hutan tropis Indonesia akan terdegradasi secara keseluruhan. Sudah saatnya pemerintah dengan mengkaji ulang dan mengganti paradigma
4
pembangunan yang berbasis negara menuju ke pembangunan sumber daya hutan yang berbasis masyarakat (community-based forest management). 1.1.2 Perhutani sebagai “Penguasa” Hutan di Jawa Sejak Indonesia mengambil alih hutan Jawa dari perusahaan kolonial Belanda, Bosch Wezen, Perum Perhutani mengelola hampir seluruh hutan di Jawa. Lebih dari 90 persen hutan negara di Jawa dikelola Perhutani, dan lebih dari 70 persen diantaranya dikelola sebagai hutan produksi. Melalui PP 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara, negara menetapkan Perhutani sebagai pengelola wilayah hutan di Jawa. Perhutani diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip perusahaan dalam wilayah kerjanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sifat usaha dari Perhutani adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan
sekaligus
memupuk
keuntungan
berdasarkan
prinsip
pengelolaan
perusahaan dan kelestarian sumber daya hutan. Perum Perhutani ditetapkan sebagai perusahaan yang mempunyai misi: 1). Menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan yang menghasilkan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan memadai guna memenuhi hajat hidup orang banyak dan memupuk keuntungan; 2). Menyelenggarakan pengelolaan hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi, bagi perusahaan dan masyarakat, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional dengan berpedoman kepada rencana pengelolaan hutan yang disusun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; 3). Tujuan Perusahaan adalah turut serta membangun ekonomi nasional khususnya dalam
rangka
pelaksanaan
program
pembangunan
nasional di bidang
kehutanan. Perhutani harus melayani kepentingan umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dan memberikan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, budaya dan ekonomi kepada masyarakat di sekitar hutan sebagai bagian dari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Antara misi dengan kenyataan yang terjadi di lapangan ternyata berbeda jauh. Kerusakan
hutan di Jawa yang dikelola PT Perhutani, tahun 2001
mencapai 350.000 ha. Lahan kritis di Jawa diperkirakan mencapai 2.481.208 ha terdiri dari 2.057.903 ha berada di luar kawasan hutan negara dan 423.305 ha
5
berada dalam kawasan hutan negara. Jawa Barat merupakan wilayah yang paling banyak memiliki lahan dengan kondisi kritis (1,3 juta ha) yang berada di kawasan hutan negara seluas 300.000 ha (Perhutani 2007). Total luas hutan di hutan Provinsi Jawa Barat hanya tinggal 816.603 hektar atau sekitar 22,3 persen dari luas Jawa Barat. Idealnya luas hutan yang ada ini mencapai 30% dari luas daerah Jabar. Lebih dari 100 ribu hektar luas hutan di Jawa Barat yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jabar dan Baten, kondisinya rusak. Sebanyak 75.000 dari 758.000 hektare luas lahan milik Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kritis. Sebanyak 20.000 hektare diantaranya bahkan kondisi ekologinya rusak parah. Menurut data dari (Perhutani 2007), kerusakan hutan akibat penjarahan hutan pada awal masa reformasi telah menyebabkan gundulnya 160.000 hektar lahan di Jawa Barat dan Banten. Sebagain kerusakan telah bisa dipulihkan. Melihat kondisi hutan di Jawa yang kritis sangat wajar jika banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana sebenarnya pengelolaan hutan di Jawa selama ini. Keberadaan Perum Perhutani sebagai pengelola sebagian besar hutan negara di Jawa dipertanyakan. Perhutani dianggap belum berhasil mengelola sumberdaya hutan baik dari sisi ekologi, ekonomi, maupun sosial. Terjadinya degradasi hutan dan lahan kritis di Jawa menjadi tanggung jawab Perhutani. Hubungan antara masyarakat dengan Perhutani dalam pengelolaan hutan di Jawa mengalami gejolak yang dinamis. Sejak tahun 1970 – 1998 para aktivis terus melakukan kritik atas hegemoni para elit, kolaborasi elit politik telah membawa negara Indonesia menjadi sebuah hegemoni elitis yang jauh dari pembelaan terhadap kepentingan masyarakat banyak. Beragam usaha bisnis yang dikuasai oleh pemerintah digunakan untuk kemakmuran pemerintah bukan kemakmuran
rakyat.
Pengalihan
aset
sumberdaya
alam
menjadi
milik
pemerintah. Konflik tenurial terus berlangsung di berbagai wilayah. Konflik mencapai puncaknya pada saat reformasi politik 1997 – 1999 sehingga menghancurkan sistem pengelolaan hutan Perhutani di banyak wilayah. Pengelolaan hutan di Jawa
dalam kondisi kritis karena tekanan masyarakat terhadap hutan dan
keterbatasan kemampuan Perhutani baik lembaga maupun personalnya. Ketika wibawa pemerintah melemah, penyerobotan tanah, penjarahan, pendudukan, pembalakan liar terjadi tanpa mampu dicegah (Affianto, 2005).
6
Penebangan ribuan pohon yang terjadi pada era reformasi merupakan ”bom waktu” yang dibuat karena adanya penindasan dan larangan Perhutani terhadap masyarakat untuk mengakses hutan. Pada Tahun 2001 Perhutani mengalami kerugian milyaran rupiah
dalam waktu singkat akibat hilangnya
ribuan pohon jati dan kerusakan hutan di kawasan yang melimpah sumber daya hutannnya. Menghadapi kondisi kritis ini Perhutani masih bekerja seolah-olah tidak ada kejadian luar biasa (business as usual) (Peluso, 2006). Persoalan akses menjadi awal munculnya gerakan masyarakat hutan desa, karena hutan masih dianggap sebagai warisan leluhur mereka yang harus mereka kelola dan manfaatkan untuk kepentingan anak cucu mereka. Keberadaan hukum formal dalam mewujudkan keadilan dan kemanfaatan hutan menjadi tidak berguna lagi. Tindakan-tindakan untuk melawan dominasi perhutani terus berlangsung di beberapa daerah di pulau Jawa, meskipun dari bentuk yang paling kecil seperti mengirim surat penolakan sampai menganggap bahwa perhutani merupakan perpanjangan kepentingan kolonial. Perlawanan Serikat Petani Pasundan (SPP) di kawasan selatan Jawa Barat dengan pengelolaan hutan oleh rakyat dan ternyata hutan di kawasan itu lebih baik dibandingkan
dengan
hutan
perlawananan masyarakat
yang
dikelola
Perhutani.
Berbagai bentuk
tidak menjadi koreksi ataupun kritik terhadap
pemerintah malah mereka dianggap sebagai ancaman kedaulatan, dan dikrimiminalkan. 1.1.3 Meningkatnya Kesadaran Perlunya Pelibatan Masyarakat Era reformasi membawa perubahan sistem sosial politik perubahan pembangunan sumberdaya hutan diantaranya: (1). Semangat sentralistik menjadi desentralistik, (2) Melemahnya wibawa pemerintah pusat di mata masyarakat, (3) Munculnya suara demokratis dari rakyat yang menggugat kepemilikan sumberdaya alam yang dikuasai negara, (4) Munculnya pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dari state based menuju community based, (5) munculnya perlawanan kelompok masyarakat yang tersingkirkan melalui gerakan penjarahan hutan secara massif (Awang,2009). Maraknya konflik tenurial sumberdaya hutan di era reformasi, mendorong lahirnya kesadaran baru tentang pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Semua orang sepakat mengelola hutan tanpa kebersamaan dengan masyarakat sekitar hutan tidak mungkin lagi dilakukan.
7
Siapa pun pengelola hutan tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dari organisasi masyarakat. Banyaknya gangguan sistem pengelolaan hutan Perhutani di berbagai wilayah menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) meskipun kebanyakan staf Perhutani seperti ”terpaksa” mengembangkan PHBM (Affianto, 2005). Program PHBM merupakan bentuk kemitraan yang dilaksanakan antara Perhutani bersama dengan masyarakat yang dirancang untuk bisa menampung dinamika dan kebutuhan masyarakat sekitar hutan dengan melibatkan mereka. Sebagai sebuah pranata sosial yang baru dibentuk, PHBM
disangsikan dapat
mengakomodasi nilai-nilai lokal, tradisi, kepemimpinan yang sebenarnya suda ada pada masyarakat. Dari segi landasan filosofinya dapat dicermati bahwa PHBM merupakan penyempurnaan dari ideologi pembangunan yang bersumber dari pendekatan karitatif (charity) kapitalisme. PHBM masih dipahami sebagai projek dan belum menunjukkan dimensi pemihakan terhadap masyarakat sendiri, belum menjadi transformasi kehutanan yang konkrit, tetapi baru melakukan perubahan pada tingkat pengelolaan dan teknis. Dengan pendekatan yang belum jelas karena ketidakjelasan filosofi dan prinsip dasarnya, maka harapan agar PHBM dapat memberdayakan masyarakat akan sulit direalisasikan. Program ini belum menjadi emanasi dari suprastruktur, ideologi, politik kebijakan pengelolaan hutan yang berpihak kepada masyarakat. Diperlukan
pergeseran
konseptual
dalam
Pengelolaan
kehutanan
masyarakat. Pengelolaan yang mengutamakan akses masyarakat untuk bisa memanfaatkan sumberdaya hutan berkaitan erat dengan keberadaan institusi lokal. Pengelolaan hutan kemasyarakatan perlu dukungan pengembangan institusi lokal sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Membangun kelembagaan hutan kemasyarakatan di tingkat internal melalui simpul belajar untuk mengubah pola pikir aparat kehutanan (pusat dan daerah) dari paradigma konvensional yang berorientasi ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat berbasis kemitraan, berdasarkan pengalaman lapangan. Campbell 1997 mengusulkan adanya perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional, dan manajemen dalam (tabel 1). Kajian tentang program kehutanan masyarakat telah banyak dilakukan. Peluso (2006) meneliti tentang kebijakan pengelolaan hutan di Jawa dengan
8
mengambil lokasi di beberapa desa pinggiran hutan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Perhutani sebagai pengelola hutan di Jawa mempunyai hubungan yang rumit dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sejak masa kolonial hingga sekarang masyarakat dan hutan justru menjadi korban, penguasaan sumber daya berdampak pada pemiskinan rakyat di sekitarnya. Program-program sosial yang dikembangkan oleh pengelola hutan sejak awal telah gagal memberi solusi yang mendasar, yakni menjadikan hutan sebagai basis material penopang kehidupan masyarakat sekitar hutan yang sebagian besar adalah petani tak bertanah. Penelitian ini merupakan telaah ekologi politik dengan melihat berbagai fenomena ekonomi politik, kekuasaan, kewenangan dan institusi dalam pengelolaan hutan di Jawa. Kusdamayanti (2008) menekuni tentang pengelolaan hutan kolaboratif di Kabupaten Malang dalam bentuk Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH) sebagai
sebuah
kebijakan
yang
dimulai
sejak
2004.
Hasil
penelitian
memperlihatkan bahwa peran negara dan partisipan lainnya dalam proses formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan belum setara. Berbagai bentuk dominasi negara yang direpresentasikan oleh Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah terjadi. Dialog otentik yang diperlukan untuk berlangsungnya kebijakan deliberatif belum berjalan. Adanya perlawanan rakyat secara tertutup karena kebutuhan ekonomi, perlawanan terbuka berupa demonstrasi sebagai bentuk respon dari penyelesaian konflik yang tidak memuaskan. Dialog akibat adanya kebuntuan komunikasi. Upaya untuk menjadikan PKPH sebagai kebijakan yang lebih demokratis dan adil mengalami kegagalan karena masih kuatnya dominasi yang dilakukan oleh negara dan belum siapnya para partisipan untuk menjalankan kebijakan PKPH sebagai kebijakan yang deliberatif. Purwita (2009) mengkaji tentang Kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di wilayah Pengalengan, KPH Bandung Selatan. Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa
PHBM
belum
sepenuhnya
mampu
mengentaskan masyarakat sekitar hutan dari belenggu kemiskinan, tetapi cukup berhasil mengatasi perambahan kawasan hutan lindung melalui program alih komoditas dari bertanam
sayur menjadi bertanam kopi yang
lebih
ramah
lingkungan. Kebijakan ekonomi dan kelembagaan terbukti belum mampu sepenuhnya mengatasi masalah kemiskinan diperlukan dukungan penguatan kelembagaan
sebagai
prasyarat yang diharapkan mampu memperbaiki
keragaan implementasi PHBM di level mikro.
9
Tabel 1, Pergeseran Konseptual yang Diperlukan No. A 1 2 3 4 5 6 7
Dari Kondisi Sikap dan orientasi Pengendalian Penerima Manfaat Pengguna Keputusan unilateral Orientasi penerimaan Keuntungan nasional Diarahkan oleh perencanaan
B 8 9 10 11 12
Institusional dan Administratif Sentralisasi Manajemen oleh pemerintah Top down Orientasi target Anggaran kaku untuk rencana makro Peraturan untuk menghukum
13 C 14 15 16 17 18 19 20
Metode Manajemen Kaku Tujuan Tunggal Keseragaman Produk tunggal Menu manajemen tetap dengan aturan silvikultur tunggal Tanaman Tenaga kerja/buruh/Pengumpul
Menuju Kondisi Fasilitasi Mitra Pengelola Partisipatif Orientasi sumberdaya Orientasi keadilan lokal Proses belajar / evolusi
Desentralisasi Kemitraan Partisipatif / negosiatif Orientasi proses Anggaran fleksibel dengan rencana mikro Penyelesaian konflik
Fleksibel Tujuan beragam Keanekaragaman Produk beragam Beragam pilihan aturan silvikultur untuk bspesifikasi lokasi Regenerasi alam Manajer/ pelaksana/pemroses/pemasar
(Sumber : Campbell, 1997) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumah tangga petani PHBM adalah luas lahan garapan, harga faktor input (pupuk, obat, bibit), harga output, upah tenaga-kerja, pendapatan, serta total biaya produksi usahatani. Faktor lahan, harga input dan upah dapat menjadi instrumen kebijakan
yang
dapat
dilakukan
pemerintah
dan
Perhutani
untuk
memberdayakan petani keluar dari belenggu kemiskinan. Suhardjito (1992) menelaah dinamika komunitas pedesaan sekitar hutan KPH Saradan. Penelitian ditujukan untuk memahami proses sosial dan proses teknis dalam penerapan program perhutanan sosial serta pengaruhnya terhadap produktivitas usaha tani tumpangsari, pendapatan rumah tangga, pemerataan sosial ekonomi, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh
10
usaha tani tumpangsari memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan, petani berlahan sempit dan buruh tani mempunyai ketergantungan besar terhadap usaha tani tumpangsari. Kondisi ekologis berpengaruh terhadap besarnya manfaat dari program perhutanan sosial. Petugas lapangan Perhutani masih mendominasi dalam hubungan sosial dengan pesanggem. Perhutani menggunakan kelompok tani hutan yang ada untuk menyampaikan informasi. Dalam penelitian Ichwandi dan Saleh (2000), pola kemitraan dalam pengelolaan hutan memberikan manfaat dari segi sosial, yaitu: (1) untuk mengatasi konflik tanah (2) membantu pembangunan lembaga sosial ekonomi, (3) membantu pembangunan sumber daya manusia masyarakat. Dari segi ekologi, membantu penurunan tingkat degradasi dan kerusakan lahan melalui kegiatan penanaman sehingga kondisi hutan menjadi lebih baik. Terkait dengan partisipasi masyarakat, Pujo (2003) mengkaji tentang partisipasi masyarakat dalam program kehutanan sosial di Perhutani unit III Jawa Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa program PHBM mampu meningkatkan pemerataan pendapatan dibanding program PMDH. Keberhasilan program perhutanan sosial berkaitan dengan peserta partisipasi masyarakat. Pelibatan masyarakat perlu dilakukan pada proses kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pemanfaatan hasil. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah faktor intrinsik dan faktor lingkungan. Siswiyanti (2006) juga melakukan kajian hubungan karakteristik anggota masyarakat sekitar hutan dan beberapa faktor pendukung dengan partisipasinya dalam pelestarian hutan di BKPH Parung Panjang, KPH Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan tergolong rendah. Penyebab rendahnya partisipasi adalah : (1) Pengambilan keputusan dalam PHBM didominasi Perum Perhutani (2) Tanaman pohon merupakan investasi jangka panjang (3) kegiatan PHBM belum dapat menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pemilihan lokasi penelitian di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parung Panjang, Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, dengan pertimbangan bahwa kegiatan PHBM di BKPH Parung Panjang mempunyai kompleksitas masalah yang rumit dengan tingkat keberhasilan sangat beragam dari masing-masing kelompok tani hutan (KTH) dan Lembaga
11
masyarakat Desa hutan (LMDH). Oleh karena itu pengkajian secara holistik implementasi PHBM di BKPH Parung Panjang, dapat menjadi contoh kasus untuk mengkaji lebih mendalam persoalan hutan kemasyarakatan. Fokus penelitian ini bertolak dari pengkajian yang bersifat mikro berupa aktivitas dan dinamika kelompok tani hutan (KTH), dan LMDH di lokasi penelitian. 1.2 Permasalahan Penelitian Sebagai salah satu bentuk kemitraan dalam pengelolaan hutan, PHBM dirancang untuk bisa menampung dinamika dan kebutuhan masyarakat sekitar hutan dengan melibatkannya
dalam
pengelolaan
hutan. Yang menjadi
pertanyaan penting adalah apakah program PHBM selama ini benar-benar dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya atau hanya sekedar untuk meredam rakyat agar tidak melakukan pencurian atau penjarahan. Apa sebenarnya latar belakang yang mendasari kebijakan PHBM dari Perhutani dan bagaimana komitmen Perhutani dalam menerapkan kebijakan ini? Bagaimana persepsi masyarakat tentang PHBM, apakah masyarakat sebagai mitra dapat meningkat kesejahteraannya dan diuntungkan dari sistem bagi hasil dalam program PHBM. Bagaimana kesetaraan kedudukan antara masyarakat dan Perhutani dalam pelaksanaan PHBM? Untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut diperlukan penelitian untuk mengkaji pranata sosial PHBM dalam memberdayakan masyarakat dan bagaimana masyarakat dilibatkan pada pola kemitraan dalam program PHBM. Adapun
permasalahan
penelitian
yang
dijadikan
fokus
riset
ini
dirumuskan menjadi empat pertanyaan sebagai berikut 1. Bagaimanakah persepsi masyarakat tentang program Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial masyarakat desa hutan? 2. Bagaimana kelembagaan yang bekerja dalam program PHBM untuk mendukung pembeedayaan masyarakat di Perhutani BKPH Parung Panjang? 3. Bagaimana kesetaraan kedudukan antara petani berhadapan dengan Perhutani BKPH Parung Panjang termasuk dalam sistem bagi hasil?
12
4. Rumusan
kebijakan
dan
skenario
seperti apakah
yang mampu
mendukung terwujudnya pengelolaan hutan kemasyarakatan yang berkelanjutan?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan kajian dan analisis terhadap pengelolaan hutan kemitraan pola PHBM yang dilaksanakan di Perhutani KPH Bogor, BKPH Parung Panjang dan dampaknya dalam memberdayakan masyarakat sekitar hutan. Secara spesifik penelitian ini bertujuan: 1. Mengkaji persepsi masyarakat terhadap program
Pengelolaan Sumberdaya
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial masyarakat desa hutan. 2. Mengkaji kelembagaan dalam pelaksanaan PHBM di BKPH Parung Panjang yang mendukung pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. 3. Mengkaji kesetaraan kedudukan antara kelompok tani dengan Perhutani BKPH Parung Panjang termasuk dalam sistem bagi hasil. 4. Merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan hutan kemasyarakatan sesuai dengan kondisi lokal menuju terwujudnya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pihak, sedikitnya sebagai upaya: 1. Agar digunakan sebagai dasar pijak dalam melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) sehingga dapat meningkatkan keberhasilan program. 2. Memberi kontribusi keilmuan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yang mengutamakan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. 3. Meningkatkan peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) di KPH Bogor.
13
4. Mengembangkan
dasar
pijak
bagi
kebijakan
pengelolaan
hutan
kemasyarakatan yang berkelanjutan berbasis penguatan masyarakat.
1.5 Kebaruan ( Novelty) Kebaruan penelitian tentang pengelolaan hutan berbasis kemitraan dengan kasus PHBM, adalah memberikan kritik terhadap pelaksanaan program PHBM. Analisis dilakukan dengan keberpihakan pada kesejahteraan rakyat. Program PHBM dikaji secara menyeluruh, kontekstual, dan multiaras dengan membuka selubung di balik jawaban, pola, struktur, gejala yang ada. Dalam dialog kritis ditelaah apakah PHBM memang benar-benar mampu menjadi pranata sosial yang mampu menampung dinamika kebutuhan masyarakat, mampu memberdayakan masyarakat atau hanya sekedar sebagai peredam konflik demi kepentingan Perhutani saja. Dari aspek kelembagaan, ditelaah seberapa kuat ”daya” lembaga lokal ketika berhadapan dengan Perhutani. Penelitian
ini juga merumuskan
alternatif kebijakan
pengelolaan
hutan
kemasyarakatan sesuai dengan kondisi lokal menuju terwujudnya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan.
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Hutan Kemasyarakatan Menurut Undang-Undang no. 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan dikelompokkan menjadi hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi. Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan
bertujuan
untuk
sebesar-besar
kemakmuran
rakyat.
Konsep
pengelolaan yang ideal ini dalam praktiknya malah bertentangan dengan kenyataan di lapangan. Selama ini pemerintah dan pengusaha lebih memilih mengelola hutan secara otoritarian. Kebijakan ini telah memunculkan berbagai akumulasi konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Dasarnya adalah legalitas penguasaan hutan secara sepihak yang dilakukan oleh negara. Sedangkan masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan seringkali menjadi kambing hitam dan mendapat stigma sebagai “maling” padahal rakyat telah mengelola hutan yang telah dilakukan secara turun temurun. "Masalah hutan terkait dengan keseluruhan isu-isu dan kesempatankesempatan
lingkungan
Lingkungan
dan
dan
pembangunan.."
Pembangunan,
1992).
(Konferensi
Seluruh
PBB
kelompok
tentang
masyarakat
bergantung pada hutan dan pepohonan serta bertanggung jawab akan
15
keanekaragaman hayati, pengaturan iklim, air bersih, konservasi tanah dan air, ketahanan pangan , hasil-hasil kayu dan non-kayu, jasa energi, obat-obatan dan nilai-nilai budaya. Hutan alam yang baik telah memulihkan Indonesia dari krisis ekonomi tahun 1960-an dan menjadi penyumbang devisa yang amat besar bagi negara. Akan tetapi, dalam krisis ekonomi tahun 1990-an, hutan alam yang rusak justru meningkatkan beban ekonomi melalui bencana alam yang semakin sering. Semua pihak telah mengabaikan fungsi perlindungan dari hutan yang baik. Fungsi perlindungan yang disebut sebagai jasa lingkungan inilah yang sekarang kurang dihargai (Haeruman,2005). Hutan yang rusak telah menjadi bencana diplomatik dalam pergaulan dunia. Saat ini persyaratan hubungan dagang internasional selalu dikaitkan dengan pelestarian hutan. Setiap musim kemarau negara tetangga selalu melakukan protes bahkan mengancam agar Indonesia mengurus hutan dengan benar agar tidak terjadi bencana kebakaran hutan. Ada empat hal yang gencar dibahas dalam upaya menyelamatkan hutan Indonesia, yaitu pembalakan liar, restrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi tanah kritis dan hutan rusak, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Masalah kehutanan Indonesia bukan hanya masalah Pemerintah Indonesia saja, tetapi menjadi masalah dunia. Penyelamatan hutan Indonesia tidak hanya menjadi masalah teknis rehabilitasi hutan dan tanah kritis saja, tetapi sudah lintas sektor dan lintas negara. Masalah teknis rehabilitasi hutan dan tanah kritis lebih mudah dipecahkan. Yang sukar adalah mengatasi kemiskinan masyarakat sekitar hutan yang mudah dimanfaatkan para pencuri kayu. Demikian pula dengan kelembagaan antarsektor dari pemerintah pusat sampai ke daerah yang tidak kompak dalam penyelamatan hutan hingga tak bisa memenuhi komitmen nasional pada dunia (Heruman,2005). Hutan kemasyarakatan menurut Tewari (1983): ilmu dan seni menanam pohon dan/atau vegetasi lain yang diintegrasikan dengan kegiatan lainnya pada lahan yang tersedia untuk tujuan itu, di dalam atau di luar kawasan hutan dan pengelolaan hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat, guna menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau masyarakat. Hutan Kemasyarakatan pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi
16
kebutuhan dasar manusia di pedesaan dari hutan, yaitu: fuel, fooder, food, timber, income, environment. Suharjito, dkk (2000) mendefinisikan hutan kemasyarakatan sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat, atau lahan milik (individual) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik diusahakan secara komersial maupun subsisten. Sementara itu Pokja Social Forestry (2002) mendefinisikan hutan kemasyarakatan (social forestry): sistem pengelolaan hutan yang melibatkan tiga komponen sumberdaya ( lahan hutan, teknologi pengelolaan, dan masyarakat yang bermukim di dalam pemberdayaan
dan sekitar kawasan hutan) dalam
masyarakat
kesejahteraannya,
melalui
dengan
penerapan
tujuan sistem
untuk
teknis
rangka
meningkatkan
kehutanan
dengan
mendayagunakan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya masyarakat yang mendukung
upaya
pelestarian
sumberdaya
hutan
beserta
fungsi yang
dimilikinya. Menurut Kartasubrata (1988) program-program hutan kemasyarakatan di Indonesia telah banyak dilaksanakan diantaranya : pada tahun 1970–an Perhutani melaksanakan “Prosperity Approach” (kesejahteraan lingkungan). Program ini mencakup intensifikasi tumpangsari dalam pembuatan tanam hutan, pembuatan margasaren gaya baru, penanaman rumput gajah, menanam jenis kayu bakar, ternak lebah madu, sutera alam.
”Ma-lu” singkatan dari Mantri
(hutan) dan Lurah , konsepsi ”ma-lu” menekankan pada pentingnya kerja sama antara mantri kehutanan dan lurah dalam pelaksanaan “Prosperity Approach”, khususnya dalam penghijauan lahan penduduk dan pengamanan hutan. PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) adalah program yang bertujuan untuk menumbuhkan dan perluasan lapangan kerja, peningkatan dan pemerataan pendapatan penduduk, mendorong pertumbuhan ekonomi desa, meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan serta menjaga kelestariannya. Pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan keragaman istilah, pengertian dan penerapannya, telah dikembangkan oleh banyak lembaga, baik Departemen Kehutanan, perusahaan, LSM
maupun komunitas lokal,
khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Banyak istilah atau terminologi muncul, seperti: Perhutanan sosial, PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Sistem Hutan Kerakyatan (SHK), Buffer Zone,
17
Community Forestry, Sosial Forestri, HPH Bina Desa, Repong Damar, Tembawang. Hutan kemasyarakatan merupakan sistem pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat. Masyarakat yang berada di sekitar hutan dianggap sebagai stake holder yang mempunyai peran penting dalam pengelolaan hutan. Sistem pengelolaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjaga agar pengelolaan hutan berkelanjutan. Konsep hutan kemasyarakatan merupakan suatu perubahan paradigma dalam
pengelolaan
hutan
berkelanjutan
dengan
melibatkan
partisipasi
masyarakat dalam berbagai tahap kegiatan, mulai tahap perencanaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemanfaatan sampai dengan penyelesaian masalah konflik yang terjadi. Paradigma lama pengelolaan hutan berakar dari orientasi budaya masyarakat industri, yang menganggap hubungan manusia dan alam terpisah, manusia mesti menguasai alam, manusia sangat menjunjung tinggi terhadap usaha dan kekuatan sendiri. Sedangkan paradigma baru pengelolaan hutan didasarkan pada pengetahuan masyarakat lokal, manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Orientasi budaya lokal selalu menjaga
keselarasan
dengan alam dan mengembangkan saling ketergantungan satu sama lain, bekerja sama,bergotong royong. 2.2 Berbagai Model Hutan Kemasyarakatan di Indonesia Hutan kemasyarakatan bukan suatu hal baru di Indonesia. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan salah tujuan pembangunan hutan di Indonesia. Berbagai program untuk melibatkan masyarakat lokal telah dilaksanakan. Agroforestry telah dilaksanakan di Jawa lebih dari 100 lalu dalam sistem penanaman jati (Nasendi,1996). Di Jawa penerapan tumpangsari telah ada sejak 1873 pada hutan jati, petani diperbolehkan menanam tanaman pangan dalam rotasi dua tahunan. Sampai tahun 1950 sistem tumpangsari telah diterapkan pada regenerasi tanaman jati. Pada tahun 1960 mulai timbul masalah akibat tekanan pertambahan penduduk, untuk mengurangi masalah ini sistem tumpangsari intensif diadopsi dengan pemupukan. Sekarang mengingat luas lahan jati semakin berkurang diganti dengan tanaman pangan dengan cara demikian ada penghasilan untuk para petani penggarap.
18
Peran rakyat dalam penanaman pohon kayu dalam bentuk hutan rakyat di Jawa sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Hutan rakyat merupakan tanaman rakyat di pekarangan atau kebun yang semula digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar, pakan ternak, dan kayu pertukangan. Hasil penelitian oleh IPB 1976, UGM 1997 tentang hutan rakyat menunjukkan bahwa konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa ternyata sebagian besar disediakan oleh hutan rakyat (Darusman & Hardjanto 2006) Peran hutan rakyat semakin dipertimbangkan potensinya ketika terjadi penurunan potensi hutan negara secara pasti, baik yang berasal dari hutan alam maupun tanaman. Usaha hutan rakyat, yang selama ini telah diusahakan oleh masyarakat secara mandiri. Perhatian pemerintah memang telah sejak lama dilakukan, misalnya melalui dengan proyek-proyek penghijauan, Gerhan, tetapi perhatian pemerintah ternyata belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat petani hutan rakyat. Pada
masyarakat
agraris,
pertambahan
penduduk
merefleksikan
dinamika pemanfaatan lahan. Pola pemanfaatan lahan merefleksikan keterkaitan dua hal tersebut. Pertumbuhan penduduk pedesaan menyebabkan kenaikan permintaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa: makanan, kayu bakar, makanan ternak, dan kayu. Sebagian penduduk pedesaan yang tunakisma (landless) dan petani kecil, kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian menyebabkan terjadinya tekanan terhadap hutan antara lain kerusakan hutan berupa rusaknya tanaman, penebangan liar, dan over-grazing. Kegagalan penanaman pohon di hutan mendorong digunakan untuk penanaman tanaman pangan subsisten. Penebangan liar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten pada kayu dan bahan bakar tetapi juga merupakan satu-satunya alternatif bagi orang miskin untuk mendapatkan penghasilan ( Simon, 1990). Keragaman inisiatif dan pendekatan dalam pelaksanaan program yang sudah dikembangkan dengan hasil yang bervariasi. Inisiatif-inisiatif ini tidak harus diseragamkan tetapi perlu didukung dengan kemauan politik dan kebijakan yang memadai. Pengalaman empiris dari lapangan dan berbagai bidang kegiatan pendukung hutan kemasyarakatan selayaknya diangkat dan dipelajari untuk digunakan sebagai bahan masukan bagi pembaharuan kebijakan. Terdapat berbagai model dan nama pengelolaan hutan berbasis atau berorientasi pada masyarakat di Indonesia tergantung pada cara pandang berbagai pihak. Nama atau model itu antara lain:
19
· HPH Bina Desa · Hutan Adat · Hutan Desa · Hutan Kampung · Hutan Keluarga · Hutan Kemasyarakatan · Hutan Rakyat · Kehutanan Masyarakat · Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) · Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat (PHOM) · Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) · Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) · Pengelolaan Hutan Bersama secara Adaptif (PHBA) · Pengelolaan Hutan dalam Kemitraan . Perhutanan Sosial .Sistem Hutan Kerakyatan Cifor
(2002)
kemasyarakatan
menyebutkan
seharusnya
pengembangan
mempertimbangkan
:1.)
program
hutan
Desentralisasi
dan
kepastian ruang kelola sosial forestri; 2.) Penguatan penguatan institusi lokal dan proses belajar bersama; 3) Koordinasi dan keselarasan kerja inisiator Untuk mendorong hutan kemasyarakatan ke depan, pemerintah pusat termasuk Departemen Kehutanan perlu mengembangkan mekanisme untuk memfasilitasi kegiatan penyuluhan, pertemuan multipihak, berbagi dana dan menyebarkan informasi tentang hutan kemasyarakatan. Seperti juga digariskan oleh Menhutbun (1999) bahwa Pemanfaatan sumberdaya hutan di masa mendatang tidak hanya pendekatan produksi tetapi dilakukan dengan pola manajemen sumberdaya alam dalam suatu sinergitas antara aspek ekonomi, sosial, dan ekologi melalui pendekatan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat banyak (community based development). Strategi pengelolaan hutan berbasis masyarakat memberikan peluang untuk mengurangi berbagai kendala dan memecahkan masalah antara lain: 1) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan 2) Meningkatkan saling percaya antara pemerintah dan masyarakat 3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
20
4) Pendekatan resolusi konflik yang terjadi 5) Pemanfaatan hutan secara optimal 6) Memecahkan masalah land tenurial 7) Memperbaiki lingkungan dan kondisi hutan (Supriadi, 2002)
Berbagai
model
hutan
kemasyarakatan
pada
prinsipnya
adalah
melibatkan partisipasi masyarakat dalam merehabilitasi hutan yang rusak dan mencegah laju deforestasi. Diharapkan dengan model ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar hutan. Sasaran program adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Bagaimana sektor kehutanan dapat berperan dalam mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi terutama bagi masyarakat di sekitar hutan. Hutan kemasyarakatan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Sistem pengelolaan hutan dalam hutan kemasyarakatan meliputi seluruh kegiatan pengelolaan secara komprehensif meliputi menanam , memelihara, dan memanfaatkan. Untuk pelaksanaan pengelolaan perlu penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Awang
(2003)
menyebutkan
butir-butir
penting
dari
hutan
kemasyarakatan : (1) fokus pengelolaan hutan pada upaya perlindungan, konservasi, dan kegiatan ekonomi; (2) aktor utama pengelola hutan adalah masyarakat; (3) pemerintah sebagai fasilitator, regulator, dan pengawas; (4) Pemberdayaan dan penguatan masyarakat lokal dan industri kehutanan; dan (5) pelaksanaan sesuai dengan spesifik lokal sehingga tidak perlu keseragaman. Dalam pembentukan kawasan pengelolaan hutan kemasyarakatan perlu mempertimbangkan : karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembangaan masyarakat setempat termasuk hutan adat dan batas administrasi pemerintahan ( Prahasto dan Irawanti, 2002). Hutan kemasyarakatan menuntut keterlibatan rakyat dalam mengelola sumberdaya hutan. Dalam pemanfaatan lahan hutan harus diidentifikasi prioritas kawasan untuk berbagai tipe hutan kemasyarakatan bergantung dari kebutuhan penduduk di sekitar hutan. Perluanya negosiasi dan melibatkan partisipasi dari masyarakat.
21
Pengelolaan pengelolaan
hutan
hutan yang
kemasyarakatan seharusnya
adalah
salah
memperhatikan
satu
prinsip
kebutuhan
dan
kesejahteraan masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan atau berbasis pada hutan. Ada berbagai macam tafsiran mengenai pengertian berbasis masyarakat. Sebagian pihak mengatakan hak, kedaulatan dan keterlibatan masyarakat dalam mengambil keputusan menyangkut masyarakat. Keterlibatan, peran serta atau kebersamaan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang juga harus diperhatikan di samping kebutuhan dan kesejahteraan mengelola hutan bisa dinyatakan dalam berbagai bentuk yakni dengan memberi bantuan, mobilisasi atau menggerakkan masyarakat, instruksi, membayar masyarakat sebagai tenaga kerja, bagi hasil, bahkan eksploitasi masyarakat atau benarbenar sebagai mitra yang sejajar dalam setiap pengambilan keputusan, perencanaan dan implementasinya (Djogo, 2004). 2.3 Pengelolaan Hutan dengan Model Kemitraan Kebutuhan masyarakat sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan terhadap lahan yang semakin lama semakin langka makin mendesak untuk dipenuhi. Hal ini tidak bisa terus menerus dilawan dengan pendekatan keamanan yang bersifat represif. Salah satu cara untuk mengakses sumber daya alam adalah melalui pengembangan kemitraan. Bentuknya bisa berupa pemberian akses terbatas kepada masyarakat dengan perjanjian kerja sama yang mengatur secara jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Sumber daya alam bisa disebut sebagai aset perekonomian rakyat apabila sumber daya alam tersebut bisa diakses oleh masyarakat. Dasar pertimbangannya adalah hak yang melekat pada rakyat, yaitu hak kedaulatan atas sumber daya alam sebagai tingkat tertinggi dari hierarki hak atas sumber daya alam. Salah satu cara untuk mengakses sumber daya alam adalah melalui pengembangan kemitraan. Untuk melihat bagaimana pola kemitraan layak untuk dilaksanakan, dapat digunakan analisis proyek terhadap biaya dan manfaat. Kelayakan proyek dapat dikaji dari sudut pandang investor atau dari sudut pandang masyarakat (Haryadi 1999). Kemitraan diawali dari kesadaran bahwa pengelolaan hutan tidak efektif dan efisien jika dikelola oleh pemerintah sendiri (Iswantoro, 1999)
22
Pengelolaan secara kemitraan (co-management) seringkali digunakan secara bergantian dengan berbagai istilah lainnya seperti management (pengelolaan
collaborative
secara kolaboratif), participatory management
(pengelolaan partisipatif), joint management (pengelolaan bersama), shared management (pengelolaan berbagi), multistakeholder management (pengelolaan multipihak), atau round-table management (pengelolaan meja bundar). Dalam bentuk aslinya, pengelolaan secara kemitraan merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktik-praktik pengelolaan bersama. Pengelolaan secara kolaboratif memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan para pengelola hutan dan pengambil kebijakan. Kemitraan seringkali hanya diartikan sebagai ajakan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam
tahap pelaksanaan saja, sehingga rakyat tidak terlibat dalam analisis masalah, perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. Sudut pandang pengelolaan berada dalam ranah kegiatan “orang luar”. Jika orang luar kurang memahami konteks lokal bisa jadi perencanaan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Partisipasi seharusnya diartikan sebagai upaya penentuan nasib sendiri oleh kelompokkelompok lokal (Kusumanto dkk, 2007). Kunci keberhasilan pengelolaan kemitraan adalah: 1) Para pemangku kepentingan tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan saja, tetapi dalam semua tahapan pengelolaan: pengamatan, perencanaan, aksi, pemantauan, dan refleksi. 2) Pengembangan minat, keterampilan, dan kemampuan lokal yang dapat membantu para pemangku kepentingan menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang sangat cepat setelah proyek selesai. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan dalam menanggapi perubahan adalah dengan mengikuti pembelajaran yang berkelanjutan dan terstruktur yang dapat membantu dalam mengadaptasi pendekatan pengelolaan. Partisipasi menurut Arnstein (1969) adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Arnstein membuat delapan tangga partisipasi, tangga pertama manipulasi kedua terapi. Kategori manipulasi dan terapi ini yang dilakukan adalah mendidik dan mengobati. Dalam tangga pertama dan kedua ini dianggap itu bukan bentuk partisipasi. Selanjutnya, tangga ketiga, menyampaikan informasi. Tangga Keempat, konsultasi dan kelima,
23
peredaman kemarahan. Kategori pada tangga ketiga hingga lima ini disebut tingkat tokenisme. Tokenisme yaitu suatu tingkatan partisipasi masyarakat, mereka didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Tangga keenam adalah kemitraan, ketujuh pendelegasian wewenang / kekuasaan dan kedelapan pengendalian masyarakat. Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat.
2.4 Persepsi sebagai Proses Awal Penilaian Kajian awal dari disertasi ini akan menelaah bagaimana persepsi masyarakat terhadap PHBM yang dilaksanakan di Parung Panjang. Persepsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri individu yang dimulai dari adanya stimulus, sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya. Persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Stimulus yang ada diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu sehingga akan diperoleh sesuatu yang bermakna. Persepsi menurut (Jary & Jary 2000) diartikan sebagai the reception and interpretation of stimuli. This involves appraisal, and is influenced by prior learning experiences, emotional state, and current expectations. The significance of the term for sociologists is in acknowledgement of the individual interpretation of events with is socially and culturally influenced. Persepsi berawal dari adanya rangsangan dari luar diri individu (stimulus), individu menjadi sadar akan adanya stimuli ini melalui sel-sel syaraf reseptor (penginderaan) yang peka terhadap bentuk-bentuk energi suara, suhu). Persepsi terjadi
tertentu (cahaya,
jika sejumlah penginderaan disatukan dan
dikoordinasikan di dalam pusat syaraf (otak) sehingga manusia bisa mengenali dan menilai objek-objek (Sarwono,1992). Alat yang digunakan untuk memperoleh informasi adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba). Sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.Persepsi bersifat
24
subjektif, tergantung pada subjek yang melaksanakan. Jenis kelamin, perbedaan generasi juga menyebabakan perbedaan persepsi (Sarwono, 1999). Thoha (1988) mendefisikan persepsi sebagai proses kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, yang dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman. Persepsi merupakan penafsiran unik terhadap situasi, bukan merupakan suatu pencatatan yang sebenarnya dari situasi tersebut. Informasi dan situasi dapat berfungsi sebagai stimulus bagi terbentuknya suatu persepsi, walau informasi tentang lingkungan itu juga bisa berupa suatu situasi tertentu. Saarinen (1976) mengatakan bahwa persepsi sosial umumnya berkaitan dengan pengaruh faktor-faktor sosial budaya terhadap struktur kognitif dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Kasali (1994) menyebutkan bahwa persepsi sesorang ditentukan oleh faktor-faktor: latar belakang budaya, pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut dan berita-berita yang berkembang. Faktor yang mempengaruhi persepsi adalah umur, pendapatan, nilai/kepercayaan, pengalaman, ingatan, keadaan sosial, harapan.
Sereno menjelaskan bahwa terdapat tiga rangkaian proses,
yaitu: seleksi, organisasi, dan interpretasi. Ketiga proses tersebut merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi dengan cepat dan bersamaan. Seleksi merupakan suatu proses ketika seseorang berusaha memusatkan seluruh perhatiannya terhadap sesuatu dimensi stimuli yang relevan dari sejumlah rangsangan yang ada. Tidak semua rangsangan menarik perhatian seseorang. Hanya sebagian kecil saja yang diubah menjadi kesadaran. Organisasi adalah kegiatan menyusun rangsangan ke dalam bentuk yang sederhana dan terpadu. Sedangkan interpretasi, merupakan proses ketika seseorang membentuk penilaian-penilaian dan mengambil kesimpulan. Persepsi yang benar terhadap suatu objek diperlukan karena persepsi merupakan dasar pembentukan sikap dan perilaku. Asngari (1984) menyebutkan bahwa persepsi individu terhadap lingkungannya merupakan factor penting karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap objek tertentu. Di dalam proses persepsi, individu dituntut untuk memberikan penilaian terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positif/negatif, senang atau tidak senang dan sebagainya. Dengan adanya persepsi maka akan terbentuk sikap,
25
yaitu suatu kecenderungan yang stabil untuk berlaku atau bertindak secara tertentu di dalam situasi yang tertentu pula (Polak, 1976). Secara umum persepsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus oleh organisme atau individu sehingga didapat sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. Persepsi juga mencakup konteks kehidupan sosial, sehingga dikenallah persepsi sosial. Persepsi sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang
yang
bertujuan
untuk
mengetahui,
menginterpretasi,
dan
mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, baik mengenai sifatnya, kualitasnya, ataupun keadaan lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi sehingga terbentuk gambaran mengenai orang lain sebagai objek persepsi tersebut (Lindzey & Aronson). 2.5 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kemitraan Program kemitraan yang dilaksanakan antara Perhutani dan masyarakat seharusnya mendasarkan pada prinsip pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Pemberdayaan (empowerment) bermakna pemberian kekuasaan sebagai sebuah proses yang mempunyai tiga tahapan : penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007). Dalam tahap penyadaran, target yang hendak diberdayakan diberi ”pencerahan” berupa pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai ”sesuatu”. Target dapat menjadi kaya jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinannya. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka merasa perlu diberdayakan, proses pemberdayaan ini dimulai dari dalam diri mereka sendiri bukan dari orang luar. Tahap
kedua
adalah
pengkapasitasan
(capacity
building)
atau
memampukan. Untuk bisa diberdayakan target harus mampu terlebih dahulu. Proses pengkapasitasan mencakup manusia, organisasi, dan sistem nilai. Pengkapasitasan manusia berarti memampukan manusia baik secara individu maupun kelompok. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya. Pengkapasitasan sistem
26
nilai dilakukan dengan membantu membuatkan aturan main diantara mereka sendiri. Tahap ketiga adalah pemberian daya, pada tahap ini, target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberiaan daya ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Proses pemberian daya atau kekuasaan diberikan sesuai dengan kecakapan penerima. Pemberdayaan sekelompok
adalah
masyarakat
proses
dapat
penguatan
berpartisipasi
agar
dalam
seseorang
atau
mengkontrol
dan
mempengaruhi jalannya kekuasaan dan lembaga-lembaga yang terkait dan mempengaruhi kehidupan seseorang atau masyarakat. Dalam konteks ini, pemberdayaan menekankan pentingnya masyarakat menguasai keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupan dirinya dan masyarakat sekitarnya yang menjadi bagian dari tanggung jawab sosialnya (Parson, et.al; 1994). Menurut Friedmann (1992), pemberdayaan masyarakat merupakan proses dialektika, baik pada tataran ideologis atau praksis, tidak hanya sebatas masalah ekonomi, tetapi juga masalah politik, sehingga masyarakat mempunyai posisi tawar yang lebih baik. Pada tataran ideologis, pemberdayaan masyarakat adalah hasil dialektika antara konsep top down dan bottum up, maupun antara growth strategy dan people centered strategy; Sedangkan pada tataran praksis muncul pertentangan antar otonomi. Fokus pemberdayaan masyarakat bersifat lokalitas, karena masyarakat madani akan merasa siap diberdayakan melaui isuisu lokal. Untuk itu dipandang perlu memperhatikan kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-sturktur di luar masyarakat madani tersebut. Dalam
konsep
pemberdayaan,
menurut
Prijono
dan
Pranarka
(1996),manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal. Paradigma
baru
pembangunan
dan
pemberdayaan
masyarakat
mencakup 4 aspek, yakni; (1) people centered, (2) participatory, (3) empowering, and (4) sustainable (Chambers, 1987). Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan mempunyai beberapa prinsip dasar, yakni; (1) masyarakat menjadi pelaku utama
27
dari setiap kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengambilan manfaat, (2) masyarakat berperan sebagai pengambil keputusan, (3) pemerintah sebagai pendamping dan pengendalian kegiatan, (4) kepastian hak dan kewajiban semua pihak, (5) kelembagaan ditentukan oleh masyarakat, dan (6) pendekatan berdasarkan pada upaya kelestarian fungsi hutan termasuk keanekaragaman hayati (Dept.Hut, 2000). Keterbelakangan
dan
kemiskinan
yang
muncul
dalam
proses
pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber–sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dispowerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan. Sumodiningrat (1999) menyebutkan bahwa penyempurnaan pendekatan pembangunan memerlukan strategi pemberdayaan masyarakat melalui tiga arah, yakni: (1) pemihakan dan pemberdayaan masyarakat, (2) pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat, (3) modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat berarti upaya realokasi kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial dan budaya (Swift dan Levin, 1987); caranya dengan meningkatkan kemampuan masyarakat dan kelembagaan sehingga mampu menguasai atau berkuasa untuk menentukan arah kehidupannya (Rapport, 1984); Schlager
dan
Ostrom
(1992)
menyatakan
bahwa
hak-hak
atas
sumberdaya alam (SDA) dapat diklasifikasi menjadi 5 kategori; (1) Hak atas akses (rights of access), yakni hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu, (2) Hak pemanfaatan (right of withdrawal), yakni untuk mengambil sesuatu atau memanen sesuatu hasil alam, (3) Hak pengelolaan (rights of management), yakni hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi, (4) Hak pembatasan (rights of exclusion), yakni hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses dari seseorang
28
ke orang lainnya, kelompok atau lembaga, dan (5) Hak pelepasan (rights of alienation), yakni hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya. Akses masyarakat terhadap kekuasaan dan sumber-sumber instrumental dalam
memperkuatan
pengambilan
keputusan
dan
formulasi
kebijakan
membutuhkan adanya modal sosial. Modal sosial dapat dipergunakan untuk melihat fungsi-fungsi hubungan hierarki organisasi, seperti struktur organisasi formal, regim politik, sistem hukum, sistem pengadilan, dan kebebasan politik (Krishna, 1999). Kemiskinan dan kekurangan pangan masyarakat miskin menurut Sen (1981) bukan semata-mata karena keterbatasan SDA, tetapi lebih karena mekanisme sosial politik yang mengakibatkan kekuarangan pengakuan hak pertukaran bagi masyarakat miskin. Pengakuan hak sering bersifat mendua, dan berada pada wilayah abu-abu, sehingga membuatnya menjadi konsep yang bermanfaat bagi analisis sosial politik. Dietz (1998) menyatakan bahwa bentang alam dan cadangan SDA dalam suatu kawasan adalah gelanggang politik yang diperebutkan. Berkaitan dengan beragam SDA, maka pengakuan hak mencakup tiga hal; (1) hak atas sumberdaya sendiri, (2) hak untuk memanfaatkannya, dan (3) hak untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan-keputusan pengelolaannya.
Dari
beberapa uraian di atas, dapat diketahui bahwa masalah tenurial terjadi dan berkaitan langsung dengan masalah kekuasaan sistem politik, sosial budaya, ekonomi dan hukum.
2.6 Kelembagaan sebagai Prakondisi Pelibatan Rakyat Kelembagaan merupakan jantung dalam pelaksanaan kemitraan. Berhasil atau tidaknya program sangat ditentukan oleh kesipan kelembagaan yang mendukungnya. Kelembagaan
menurut Kartodihardjo (2006) mencakup
organisasi (players of the game), hak-hak atas sumberdaya alam, peraturan perundang-undangan (rules of the game), struktur pasar, pengetahuan dan ingormasi, serta proses-proses politik di dalam pemerintahan. Keputusan dan tindakan sangat ditentukan oleh kelembagaan. Lembaga menurut Ostrom (1992) merupakan seperangkat aturan yang berlaku atau dipergunakan yang dijadikan sebagai acuan bertindak. Institusi menurut Merton (1975) memiliki dua fungsi utama, yakni; (1) fungsi manifest yang merupakan tujuan lembaga yang diakui dan dikehendaki, dan (2) Fungsi
29
laten yakni hasil yang tidak dikehendaki dan mungkin tidak diakui, ataupun jika diakui dianggap sebagai hasil sampingan. Fungsi Laten institusi mungkin; (1) mendukung fungsi manifes, (2) tidak relevan, dan atau (3) malahan merongrong dan meruntuhkan fungsi manifest. Fungsi laten pada umumnya cenderung meruntuhkan institusi atau merintangi apa yang mau dicapai oleh fungsi manifes. Fungsi institusi dapat bergeser atau berubah bergantung kepada; (1) institusi tidak berhasil memenuhi kebutuhan yang harus diberikan kepada pengikutnya, (2) dua atau lebih institusi mampu memenuhi kebutuhan pengikutnya, tetapi akan ada salah satu diantara mereka yang memiliki kemampuan yang paling tinggi, dan (3) pengalihan fungsi diantara institusiinstitusi seringkali merupakan penyelesaian terhadap berbagai kelemahan yang timbul. Proses pelembagaan (institutionalization) menurut Horton dan Hunt (1991) terdiri dari penetapan norma-norma yang pasti yang menentukan posisi status dan fungsi peranan untuk perilaku. Suatu norma merupakan sekelompok harapan perilaku. Dalam prosesnya, pelembagaan mencakup pergantian perilaku secara spontan atau eksperimental dengan perilaku yang diharapkan, dipolakan, teratur dan dapat diramalkan. Cohen (1992) menyatakan bahwa pelembagaan adalah perkembangan sistem yang teratur dari norma dan peranan-peranan yang ditetapkan yang diterima oleh masyarakat. Melalui pelembagaan, perilaku yang spontan dan semaunya diganti dengan pelilaku yang teratur dan direncanakan. Institusi memiliki struktur yang mencakup kompleksitas dinamika interaksi antara 3 variabel, yakni; (1) individu, (2) organisasi, dan (3) norma-norma sosial. Hasil dari proses institusionalisasi adalah reformasi organisasi, reformasi kebijakan, ratifikasi peraturan, atau bahkan perubahan nilai dan norma (Alikodra, 2004). Masing-masing institusi memiliki karakteristik, yakni; (1) memiliki nilai dan tujuan utama yang bersumber dari para anggota untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat, (2) bersifat permanen dalam hal pola-pola perilaku yang ditetapkan institusi, (3) perubahan dramatis dapat mengakibatkan perubahan pada institusi lain, (4) bersifat dependent, disusun dan diorganisasi secara sempurna disekitar rangkaian pola-pola norma, nilai dan periulaku yang diharapkan, dan (5) ide-ide institusi pada umumnya diterima oleh mayoritas
30
anggota masyarakat, walaupun mereka belum tentu beroartisipasi didalam institusi tersebut (Cohen, 1992). Lebih lanjut Horton dan Hunt (1991) menyatakan lembaga juga merupakan sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejewantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Lembaga adalah sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Prosesprosesnya terstruktur untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu. Lembaga tidak mempunyai anggota, tetapi mempunyai pengikut (Horton dan Hunt, 1991; Cohen, 1992) Institusi menurut Opschoor (1994) dalam Alikodra (2004) adalah konsolidasi perilaku, formal atau informal, termasuk konvensi sosial dan berbagai organisasi yang berpengaruh terhadap perilaku manusia, konvensi sosial (pasar dan setting administrasi dan struktur sosial yang terkait dengan perilaku manusia seperti nilai, aturan, adat, moral dan sebagainya. Lembaga lingkungan mencakup berbagai organisasi yang ada, seperti lembaga formal yang memiliki fungsi dan peranan di bidang lingkungan, LSM, norma dan nilai-nilai sosial, termasuk frame-work politik, program-program lingkungan, pola komunikasi dan gerakan-gerakan sosial. Pengembangan institusi dan proses pelembagaan memerlukan struktur institusi (Alikodra 2004).
2.7 Kerangka Pemikiran Hubungan saling ketergantungan antara manusia dan hutan dalam suatu interaksi dalam ekosistem merupakan dalil yang tidak bisa disangkal. Hutan Indonesia sampai saat ini telah menanggung beban demikian lama dan berat sebagai penggerak perekonomian bangsa, dan telah sampai pada titik puncak sehingga berdampak pada munculnya permasalahan ekologis, ekonomi, dan sosial budaya. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah masalah degradasi hutan dengan laju yang tinggi. Hal tersebut mengakibatkan luas hutan Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, sehingga sumber daya hutan Indonesia mengalami penurunan potensi yang sangat berarti. Pengelolaan
hutan konvensional yang
menekankan pada
timber
management sudah saatnya berubah ke arah pembangunan kehutanan yang
31
berorientasikan pada resource and community based development, dengan beberapa perubahan orientasi sebagai berikut : (1) Perubahan orientasi produksi kayu dari hutan alam ke hutan tanaman; (2) Perubahan orientasi dari hasil hutan kayu ke hasil hutan nonkayu dan jasa; (3) Pergeseran pola pengusahaan hutan dari konglomerasi ke peningkatan peran masyarakat; (4) Perubahan bentuk pengelolaan hutan dari optimasi produksi log ke optimasi fungsi hutan;
(5)
Pergeseran kewenangan pengelolaan hutan dari sentralisasi ke desentralisasi Diperlukan juga rekonstruksi pemahaman masyarakat akan pentingnya sumberdaya hutan. Rekonstruksi ini merupakan proses transformasi sikap dan perilaku masyarakat dalam memperlakukan kawasan hutan. Sementara
dari
pihak pengelola harus juga terjadi transformasi pengelolaan dari instruktif dan pendekatan keamanan menjadi partisipatif dengan siap berbagi. Sektor kehutanan mempunyai kemampuan berpartisipasi nyata dalam pemerataan yang berkeadilan terutama bagi masyarakat di sekitar hutan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan akses kepada masyarakat di sekitar hutan untuk membangun ekonomi berbasis pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat. Kemampuan masyarakat ditingkatkan secara nyata dengan membangun mitra usaha kelola kawasan dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Dalam sistem kemitraan seharusnya menempatkan masyarakat desa hutan sebagai pelaku utama sehingga diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan terwujudnya kelestarian hutan di lingkungannya. Partisipasi dalam setiap tahapan merupakan prasyarat penting untuk dapat mewujudkan optimalisasi peran masyarakat sekitar. Partisipasi ini meliputi seluruh kegiatan pengelolaan secara komprehensif merencanakan, menanam, memelihara, dan memanfaatkan. Keberhasilan pengelolaan hutan kemasyarakatan bergantung kepada sikap dan perilaku masyarakat dan pihak pengelola dalam merespon dinamika sosial budaya, ekonomi, dan ekologi. Masyarakat sangat bergantung kepada eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya hutan dalam kawasan tersebut. Masyarakat sebagai pelaku utama harus memiliki kapasitas untuk bisa melakukan partisipasi dalam setiap tahapan program pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat dalam konteks di atas, dikonstruksi melalui identifikasi dan analisis diri serta analisis kebutuhan masyarakat, sehingga lahir kesadaran diri dan kesadaran kolektif masyarakat yang dikaitkan dengan fungsi
32
dan kepentingan pengelolaan hutan kemasyarakatan. Proses ini penting dilakukan, agar masyarakat tidak dijadikan objek pemberdayaan masyarakat, tidak parsial dan sepihak, sehingga menjadi kontraproduktif. Pemberdayaan masyarakat ini dilakukan melalui strategi utama, yakni: (1) penguatan akses mencakup akses kontrol, pengetahuan, teknologi, modal, pasar, hubungan sosial, kerja dan usaha, serta identitas sosial, (2) penguatan hak yang mencakup: hak akses, hak pemanfaatan. Akses terhahap SDH sangat mendesak untuk direalisasikan mengingat kebanyakan petani di sekitar hutan hanya memiliki lahan yang sangat sempit bahkan tunakisma. Program pengembangan masyarakat dengan model santunan dan bersifat temporer dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak kondusif diterapkan dalam kondisi masyarakat miskin dan tanpa lahan. Kemampuan manajemen yang rendah dan kebutuhan ekonomi subsisten, mengakibatkan masyarakat
kesulitan untuk memisahkan antara kebutuhan produktif dengan
kebutuhan konsumtif. Kebutuhan ekonomi subsisten juga akan mengalahkan kepentingan
keberlanjutan.
Akibatnya,
pemberdayaan
masyarakat
dalam
program hutan kemasyarakatan tidak pernah mencapai hasil yang optimal.
Setiap program pengembangan masyarakat memerlukan kelembagaan yang benar-benar berperan dalam menjalankan fungsinya. Lembaga yang baru dibentuk sehubungan dengan program masih lemah. Oleh karena itu diperlukan penguatan
kelembagaan.
Penguatan
kelembagaan
merupakan
proses
transformasi dari sistem yang ada dan dilakukan secara bertahap. Dengan kelembagaan yang kuat dan kemampuan manajerial yang baik akan dapat mendorong tercapainya sasaran hutan kemasyarakatan, yaitu meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar hutan, dan mewujudkan kelestarian hutan.
33
Gambar 1, Kerangka Pemikiran
Perhutani BKPH Parung Panjang
Biofisik
ekonomi
sosial
Degradasi hutan
Kemiskinan
Pencurian
Implementasi PHBM
Persepsi thd PHBM
Biofisik
ekonomi
kelembagaan
sosial
kesetaraan
sistem bagi hasil
produktivitas produktivitas hutan
pendapatan
keamanan
bagi hasil
evaluasi program kebijakan
model PHBM Kemasyarakatan
AHP
Analisis
Model Pengelolaan Hutan
34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian Penelitian ini bersifat evaluatif
yang mengukur dampak atau output
program PHBM. Fokus kajian dipusatkan terhadap persepsi masyarakat, kesetaraan kedududukan dan kelembagaan dalam program PHBM. Persepsi masyarakat diposisikan sebagai fakta objektif yang dapat diukur secara kuantitatif dan bisa digeneralisasi. Kajian tentang kesetaraan kedudukan dan kelembagaan dalam PHBM didekati dengan dialog kritis yang mengandaikan relasi peneliti dan responden (tineliti) dalam posisi intersubjektivitas. Metode lain yang digunakan adalah kajian isi (content analysis). Hal terakhir ini difokuskan pada dominasi Perhutani terhadap masyarakat. Penyusunan alternatif kebijakan menggunakan pendapat dari pakar di bidang hutan kemasyarakatan. Pilihan metodologi penelitian dan metode penelitian yang mengacu pada Guba dan Lincoln (1994), bertumpu pada paradigma positivisme, dan post-positivime. Kajian persepsi dan penyusunan alternatif kebijakan menggunakan metode kuantitatif. Sedangkan kesetaraan kedudukan dan kelembagaan dalam PHBM didekati secara kualitatif. Analisis wacana terhadap teks perjanjian dan dikaitkan dengan konteks lebih luas menunjuk pada hubungan konteks sosial, dan keterkaitannya dengan kekuasaan. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian
ini
akan
dilaksanakan
di
Perum
Perhutani Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parung Panjang. BKPH Parung Panjang terdiri dari satuan pengelolaan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Tenjo, RPH Maribaya dan RPH Jagabaya. Kawasan hutan BKPH Parung Panjang mempunyai luas 5.432,90 ha. Jenis tegakan yang mendominasi adalah akasia (Acacia mangium). Alasan
pemilihan
lokasi
pertama
karena
program
PHBM
yang
dilaksanakan di wilayah KPH Bogor yang paling lama dilaksanakan di Perhutani BKPH Parung Panjang. Kedua, kawasan ini adalah daerah kering yang dipilih untuk produksi akasia yang mempunyai karakter menyerap air sehingga berdampak bagi ketersediaan air bagi masyarakat. Ketiga, wilayah Parung
35
Panjang akan menjadi daerah terbuka dengan transportasi yang lancar dengan dibangunnya rel ganda kereta listrik.
3.3 Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data langsung dari responden dan informan
sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen dari
lembaga dan instansi terkait.Sesuai dengan tujuan penelitian, maka jenis dan sumber data dalam penelitian ini sebagai berikut: Pengumpulan data primer dilakukan dengan : 1) Kuesioner digunakan untuk pengumpulan data kuantitatif tentang persepsi masyarakat tentang PHBM. 2) wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi kualitatif dari informan yang menyangkut kesetaraan kedudukan masyarakat dan kelembagaan. 3) Wawancara
mendalam
digunakan
untuk
mendalami
aspek-aspek
pelaksaanaan PHBM di lapangan, konflik, permasalahan yang sering dialami masyarakat. 4) Pengamatan langsung di lapangan dilakukan untuk mengamati secara langsung berbagai gejala dan perilaku para pihak yang berkaitan dengan program PHBM. Informasi yang diperoleh dari informan kunci selanjutnya akan ditelusuri dengan teknik bola salju (snowballing) kepada responden-responden yang ditunjuk atau disebut oleh informan kunci dan responden-responden sebelumnya. Untuk mendapatkan keterpercayaan data diperlukan triangulasi. Triangulasi diperlukan untuk menutupi kelemahan metode dengan memadukan sedikitnya tiga metode : pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. Satu dan lain metode saling menutupi sehingga tangkapan atas realitas menjadi valid (Denzin, 1970). Penentuan sampel digunakan secara purposive. Sebanyak 60 kuesioner disebarkan kepada responden yang berasal dari kelompok-kelompok tani hutan KTH/LMDH di tiga desa contoh. Setiap desa yang dipilih mewakili tiga kemantren atau RPH yang ada di BKPH Parung Panjang. Tiga desa yang dipilih yaitu Desa Babakan sebanyak 20 responden di wilayah Resort Pemangkuan Hutan Tenjo, Desa Tapos sebanyak 20 responden di wilayah RPH Maribaya, dan Desa
36
Ciomas sebanyak 20 responden di wilayah RPH Jagabaya. Dalam statistika nonparametrik sampel di atas 30 dianggap cukup untuk mewakili populasi. Kuesioner AHP disampaikan kepada para pakar dan stakeholder di bidang hutan kemasyarakatan. Sebelas pakar yang dipilih berasal dari perguruan tinggi IPB 2 orang, peneliti ICRAF 2 orang, peneliti sosiol ekonomi kehutanan 1 orang, Perhutani 2 orang, Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemda Kabupaten Bogor 1 orang, masyarakat 1orang, dan LSM Latin Bogor 1 orang. 3.4 Analisis Data Untuk menganalisis tujuan pertama yaitu persepsi masyarakat terhadap penerapan PHBM ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, dan ekologi dilakukan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Data hasil kuesioner dianalisis dengan melihat : a. Distribusi data dengan mean untuk melihat bagaimana sebaran data dan rata-ratanya b. Analisis data dilakukan dengan uji chi square untuk menguji hubungan antara variable-variabel. Untuk menganalisis tujuan kedua tentang kelembagaan, pengolahan data kualitatif didasarkan pada fakta-fakta dan informasi yang dihasilkan. Pengolahan data data melalui tahapan reduksi data dan klasifikasi berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep kemudian disusun hubungan antar konsep. digunakan reduksi data dan klasifikasi. Untuk mengkaji kebijakan dengan melihat keterkaitan antara berbagai produk peraturan perundangan
dan keputusan
lainnya dianalisis melalui analisis isi. Moleong (1990) menyatakan bahwa kajian isi adalah teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis. Untuk menganalisis tujuan ketiga yaitu kesetaraan kedudukan antara Perhutani dengan masyarakat dilakukan analisis wacana terhadap teks (naskah) perjanjian kerja sama. Bahasa dalam perjanjian kerja sama bukan merupakan medium yang netral dari ideologi, kepentingan dan jejaring kekuasaan. Karena itu, analisis wacana digunakan sebagai piranti untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa yang tersembunyi dibalik wacana. Untuk menjawab tujuan keempat dalam memberikan keputusan terhadap alternatif
kebijakan pengelolaan hutan kemasyarakatan digunakan Analytical
Hierarchy Process (AHP). AHP digunakan untuk mengetahui
persepsi
pemangku kepentingan (stakeholders) yang berkaitan dengan permasalahan
37
pengelolaan hutan kemasyarakatan, melalui prosedur yang dirancang untuk sampai pada skala preferensi dari sejumlah alternatif. Prinsip kerja AHP adalah; (1) penyusunan hierarki, (2) penilaian kriteria dan alternatif, (3) penentuan prioritas, dan (4) konsistensi logis. Proses perbandingan berpasangan ini dilakukan pada setiap level, yakni; level 1 (goal), level 2 (actor), level 3 (factor), level 4 (Strategi), level 5 (skenario). Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen dengan perbandingan berpasangan guna mengetahui tingkat kepentingan suatu kriteria relatif terhadap kriteria lain dimulai dari tingkat yang paling tinggi sampai dengan yang terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan judgement narasumber pakar
berdasarkan skala
komparasi 1- 9 ( Marimin 2004). Meskipun AHP ini sering digunakan untuk pemilihan alternatif keputusan di perusahaan-perusahaan, penentuan prioritas dengan AHP dapat digunakan juga untuk memilih skenario pemilihan terhadap alternatif kebijakan. AHP dapat digunakan untuk menyusun skenario alternatif kebijakan hutan kemasyarakatan yang didasarkan pada pendapat pakar yang mempunyai pengalaman dan kompetensi di bidangnya.
38
Pokok Penelitian : Metode dan Analisisi Data No
Pokok Penelitian
1
Gambaran
umum
Metode pengumpulan & analisis data lokasi Pengamatan terhadap kondisi fisik, sosial,
penelitian
ekonomi masyarakat, monografi desa Wawancara
:
Kades
dan
perangkatnya,
pegawai kecamatan, tokoh masyarakat 2
Persepsi masyarakat
Pengumpulan data melalui kuesioner kepada: anggota kelompok tani hutan dan pengurus LMDH dan KTH, analisis statistik deskriptif, tabulasi silang dan q kuadrat
3
Kesetaraan kedudukan
Analisis wacana terhadap naskah perjanjian kerja sama, wawancara, pengamatan di lapangann, analisis kebijakan
4
Kelembagaan
Pengumpulan data melalui kuesioner kepada: anggota kelompok tani hutan dan pengurus LMDH aktivitas
dan
KTH,
pengamatan
LMDH/KTH,
wawancara
terhadap dengan
masyarakat dan pengurus LMDH/KTH.
5
Alternatif
pengelolaan Pengumpulan data melalui kuesioner kepada:
hutan kemasyarakatan
pakar dari perguruan tinggi, peneliti, dan stake holders diolah dengan program AHP
39
BAB IV KETERBATASAN SUMBER DAYA DAN PERUBAHAN AKTIVITAS PEREKONOMIAN RAKYAT 4.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Perum Perhutani KPH Bogor, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parung Panjang. Wilayah BKPH Parung Panjang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Parung Panjang, Kecamatan Tenjo dan Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Kawasan Hutan BKPH Parung Panjang dapat ditempuh selama kurang lebih dua jam perjalanan dengan jarak 70 km dari Kota Bogor. Wilayah kawasan pangkuan BKPH Parung Panjang berbatasan dengan : a. Utara
: Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta
b. Timur
: Kecamatan Gunung Sindur dan Kecamatan Rumpin,
c. Selatan
: Kecamatan Jasinga dan Kecamatan Cigudeg
d. Barat
: Propinsi Banten
Kawasan hutan Parung Panjang merupakan bagian dari daerah aliran sungai (DAS) Cidurian. Bentang alam kawasan ini relatif datar sampai dengan landai yaitu 0 – 323 m dpl, dengan ketinggian rata-rata 200 – 232 m di atas permukaan laut. Iklim di kawasan BKPH Parung Panjang termasuk tipe iklim A. Curah hujan rata-rata berkisar 3.200 mm/tahun dengan 10 bulan basah dan 2 bulan kering. Suhu harian berkisar antara 18 – 30 C. Jenis tanah yang dominan adalah tuff dan podsolik merah kuning. Di dalam kawasan BKPH Parung Panjang banyak terdapat enclave, tanah milik yang terletak dalam kawasan hutan, yang diusahakan untuk pertanian, penggalian pasir/batu, penggalian tanah untuk bahan bata merah (Perhutani KPH Bogor 2007).
40
Tabel 2. Luas kawasan hutan dan jumlah peserta PHBM di BKPH Parung Panjang Desa
Luas Kawasan hutan (ha)
Kec. Tenjo Tapos Ciomas Babakan Bojong Kec. Pr. Panjang Dago Gorowong Gintung Cilejet Kec. Jasinga Barengkok Pangaur Jumlah
Luas PHBM (ha)
Peserta PHBM
322,35 896,83 974,15 319,53
29,57 221,49 46,55 193,56
58 355 104 73
78,34 514,62 113,99
69.13 233,87 40
105 203 48
830,29 648,65 4.698,75
73,49 23,89 931,55
139 65 1.150
Sumber: Data KPH Bogor 2007) Luas kawasan Perhutani BKPH Parung Panjang adalah 4.698,75 hektar, sedangkan kawasan yang digunakan untuk program PHBM hanya seluas 931,55 sekitar 19,8 persen yang tersebar di sembilan desa sebagaimana tertera pada tabel 2. Jumlah penggarap yang terlibat dalam PHBM sebanyak 1.150 orang peserta dengan peserta terbanyak di desa Ciomas.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa sekitar BKPH Parung Panjang Desa Kec. Tenjo Tapos Ciomas Babakan Bojong Kec. Pr. Panjang Dago Gorowong Gintung Cilejet Kec. Jasinga Barengkok Pangaur Jumlah
Jumlah (jiwa)
penduduk
6.404 4.155 8.535 7.344 5.494 7.124 6.501 7.742 4.673 57.972
(Sumber: BPS Kabupaten Bogor 2005)
41
Jumlah penduduk di desa sekitar BKPH Parung Panjang sampai dengan tahun 2005 berjumlah 57.972 orang yang terdiri 28.945 orang laki-laki dan 29.072 perempuan. Pada Tabel 3 di atas ditunjukkan sebaran jumlah penduduk di desa-desa BKPH Parung Panjang . Dari tiga wilayah kecamatan yang berada di BKPH Parung Panjang, penelitian dilakukan di tiga desa yang berada di Kecamatan Tenjo. Ketiga desa itu adalah Desa Tapos, Desa Ciomas, dan Desa Babakan. Tingkat pendidikan penduduk di tiga desa contoh mayoritas berpendidikan rendah, sebagaimana terlihat dalam Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Tidak Belum SD Sekolah/ Sekolah tidak tamat SD Tapos Ciomas Babakan Jumlah (%)
3.117 1.247 3.745
1.016 787 1.948
8.109 (37,1%)
3.751 (17,2%)
1.810 1.715 2.347
SLTP
SLTA
PT
679 617 1.123
512 435 737
4 3 4
5.872 2.419 1.684 (26,9%) (11,05%) (7,7%)
Jumlah
7.138 4.804 9.904
11 21.846 (0,05%
(Sumber: BPS Kabupaten Bogor,2009) Mata pencarian penduduk pada umumnya adalah bertani yaitu sebanyak 6.703 rumah tangga (57%) , kemudian disusul dengan berdagang berjumlah 1.729 rumah tangga (15%). Selain mata pencarian pokok di bidang pertanian, penduduk mempunyai pekerjaan sambilan. Setelah selesai musim tanam sambil menunggu masa panen, banyak penduduk berdagang di kota sekitar Jakarta, Tangerang berjualan makanan keliling. Penduduk yang berusia muda lebih menyukai pekerjaan berdagang, buruh, atau sebagai pembantu rumah tangga di kota. Ada juga yang bekerja sebagai buruh di proyek bangunan atau pembakaran genteng atau bata, penggalian pasir atau batu. Di sekitar kawasan BKPH Parung Panjang terdapat banyak industri pembakaran genteng atau batu bata, di Desa Tapos ada 6.
42
Tabel 5 Data Penggunaan Tanah (ha) di 3 desa contoh Desa
Sawah
Tapos Ciomas Babakan
165 85 258
Pekarangan 107 50 168
Perumahan 69 41 126
ladang 165 156 131
Empang 3 3 3
Lainnya
Jumlah
101 600 569
560 935 1.255
(Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2009) Penggunaan tanah tabel 5 untuk sawah dan ladang sekitar 47 persen yang digunakan penduduk untuk bertani: padi sawah, padi ladang, palawija, sayur- sayuran dan buah-buahan. Penggunaan tanah lainnya dipakaia untuk fasilitas umum, kuburan, dan sekolah. Hasil produksi pertanian terlihat pada tabel 6. Panen diperoleh 2-3 kali dalam setahun. Hasil pertanian ini pada umumnya digunakan untuk konsumsi keluarga. Rata-rata pendapatan dari kegiatan pertanian pada umumnya tidak cukup menghidupi keluarga. Kondisi ini memicu masyarakat mencari pekerjaan lain seperti buruh, berdagang kecil-kecilan, pembantu rumah tangga di kota untuk menambah pendapatan keluarga.
Tabel 6. Data Hasil Produksi Panen (ton/tahun) di 3 Desa Contoh Desa Tapos Ciomas Babakan
Padi sawah (ton) 1.904 935,2 1.534,4
Padi Ladang 400 210 370
Palawija (Ubi kayu ) 263,1 260,5 394,7
(Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2009) Jumlah keluarga miskin di Desa Tapos sebanyak 480 KK, di Desa Ciomas sebanyak 273 KK, di Desa Babakan sebanyak 853 KK. Keluarga miskin ini berada di sekitar kawasan hutan dan pada umumnya menggantungkan kehidupannya dari sumberdaya hutan baik hasil bertani, kayu bakar, buruh.
Tabel 7 Data Kepala Keluarga Miskin di 3 Desa Contoh Desa Jumlah penduduk Jumlah KK Tapos 6.404 1.292 Ciomas 4.155 786 Babakan 8.535 1.793 Jumlah 57.972 11.928 (Sumber: BPS Kabupaten Bogor,2006)
Jumlah miskin (jiwa) 480 273 853 4.779
43
4.2 Aktivitas Ekonomi Masyarakat Mata pencaharian penduduk di tiga desa: Ciomas, Tapos, dan Babakan mayoritas sebagai petani. Mata pencaharian penduduk Desa Babakan disamping sebagai petani banyak yang bekerja sebagai pedagang kecil di Jakarta atau Tangerang.
Keberadaan stasiun kereta yang dekat dengan Babakan
memudahkan mobilitas penduduk ke kota. Mata pencaharian penduduk dapat dilihat dalam Tabel 8. Tabel 8 Mata Pencaharian Penduduk tiga desa contoh Mata pencaharian
Ciomas
Petani Buruh tani Pedagang Perajin Karyawan swasta PNS Penjahit Sopir/montir Tukang Lain-lain Jumlah
1012 32 48 8 9 8 44 62 37 1.260
Tapos 862 750 48 495 220 23 77 10 5 2.490
Babakan 542 303 907 16 685 53 11 34 21 40 2.612
(Sumber : Monografi Desa Ciomas, Tapos, Babakan 2009) Desa Ciomas merupakan salah satu desa sekitar hutan yang mempunyai luas kawasan hutan dengan program PHBM terluas di Kecamatan Tenjo. Desa Ciomas merupakan enclave yang
dikelilingi kawasan hutan. Lokasinya sulit
ditempuh dengan kondisi jalan tanah yang licin kalau hujan. Penduduk Desa Ciomas berjumlah
5.473 orang, dengan 1.303 kepala keluarga. Kepemilikan
tanah masyarakat 0,1 ha sebanyak 911 orang, 0,1 – 0,2 ha 31 orang, sementara tanah yang lebih dari 5 ha umumnya dimiliki oleh orang luar desa seperti dari BSD, Bogor. Masyarakat yang tidak memiliki tanah 361 orang. Luas sawah di desa ini hanya 3 hektar yang beririgasi teknis, sementara sawah tadah hujan 103 ha. Luas ladang 175 ha, pemukiman 90 ha, tanah rawa 5 ha. Tanah kas desa 7 ha, lapangan 1 ha, dan kantor pemerintah 2500 m2. Luas hutan milik negara 105.000 ha, tanah masyarakat 459.081 ha, hutan yang dikelola Perhutani 400.050 ha, total luas hutan 964.131 ha. Di bidang perekonomian di desa ini terdapat sebuah usaha kerajinan kulit kayu, 71 warung kelontong 71, penggilingan padi 6 unit. Ternak yang dimiliki
44
penduduk: sapi 68, kerbau 121, ayam 7.000, bebek 1500, kambing 500 ekor, madu 50 tempat. Sarana umum ada pos kampling 5 unit, madrasah 3 buah, jembatan besi 3 buah,
jembatan kayu 3 buah. Untuk keperluan sehari-hari
penduduk menggunakan air dari sumur dan sungai. Ada sungai yaitu: Cimatuk, Cicareuheun yang digunakan penduduk untuk mencuci baju. Rumah bertembok 219, kayu 417, dari bambu 314 rumah. Desa Babakan merupakan salah satu desa hutan yang mudah dijangkau karena tersedia berbagai jenis sarana transportasi dari kendaraan umum sampai kereta. Mata pencaharian penduduk Desa Babakan selain bertani banyak juga yang bekerja sebagai pedagang kecil, pedagang makanan seperti : soto, siomay, bakso di Jakarta, atau Tangerang. Pedagang kebanyakan sekali seminggu pulang ke rumahnya. Di desa ini banyak juga ditemukan peternakan ayam pedaging, ada 13 unit peternakan ayam, dengan jumlah ayam 4000 – 5000 ekor per unit. Peternakan ini menggunakan sistem plasma dengan investor dari Tangerang dan Jakarta. Bibit ayam, pakan, obat-obatan dari investor, sedangkan tanah dan kandang milik penduduk. Ada juga ternak sapi dan kerbau 183, dan kambing 250 ekor. Kerajin kulit kayu dan bambu ada 5 unit. Kerajinan ini berbahan dasar kulit kayu yang dibuat manjadi pot bunga plastik. Jumlah penduduk: 9.998 orang, jumlah kepala keluarga 1.535 KK. Luas lahan 1.254,74 ha, sawah 435 ha,kebun 60
ha, pekarangan 165 ha, kantor
pemerintah 2.500 m2. Banyak tanah penduduk yang dijual kepada pihak lain dari luar desa atau dijual kepada perusahaan. Pertanian bersifat musiman, sawah tadah
hujan
biasanya
ditanami jagung,
terong,
dan
kacang-kacangan.
Penggilingan padi ada 6 unit, dan traktor 2 buah. Fasilitas peribadatan di desa ada 30 musolla dan masjid. Di desa ini terdapat fasilitas pendidikan sebuah SMAN, madrasah tsanawiyah, dan 4 buah SD. Desa Tapos mempunyai penduduk berjumlah 7.681 orang, terdiri dari 1.787 kepala keluarga. Luas wilayah desa 610,135 ha, digunakan untuk untuk permukiman, sawah, pekarangan, kebun, dan fasilitas umum. Jumlah keluarga pemilik tanah pertanian 1.250 keluarga, sedangkan 537 tidak memiliki tanah. Kepemilikan tanah kurang dari 1 ha sebanyak 1000 orang, 0,5 – 1 ha 220 orang, sementara pemilik tanah dengan luas 5 - 10 ha hanya 30 keluarga. Tanah yang luas umumnya dimiliki oleh orang luar desa Mata pencaharian penduduk terbanyak di bidang pertanian, kemudian kerajinan. Di desa ini ada peternakan ayam pedaging 20 unit dengan sistem
45
plasma dengan investor dari Tangerang dan Jakarta. Bibit ayam, pakan, obatobatan dari investor, sedangkan tanah dan kandang milik penduduk. Ternak lain yang dimiliki penduduk antara lain kerbau, ayam buras, bebek, dan kambing. Di Kampung Hajere telah ada kelompok tani hutan (KTH) sejak tahun 1998. Kawasan hutan yang berada di sekitar desa Tapos merupakan daerah aman. Tingkat pencurian tidak banyak. Kerjasama telah terbentuk meliputi tanaman Kegiatan-kegiatan perhutanan sosial, insus kedelai, pembibitan, pembuatan kompos, rehabitasi jalan alur, bahkan berkembang dalam pendirian koperasi. Sosialisasi PHBM di tiga desa contoh dilaksanakan di tengah-tengah acara rutin pengajian malam Jumat. Pendekatan dilakukan pada pemimpin nonformal dan pemimpin formal. Masyarakat desa ini cukup terbuka dengan adanya program-program pelestarian hutan yang berbasis masyarakat. Dalam struktur masyarakat petani di desa contoh kepemilikan lahan menjadi dasar dalam stratifikasi sosial. Kebanyakan petani memiliki lahan yang sempit atau bahkan tidak memiliki lahan untuk pertanian hanya ada tanah seluas rumah yang ditempatinya. Masyarakat dengan lahan
sempit ini sangat
tergantung kehidupannya kepada hutan dengan melakukan tumpangsari dan mencari kayu di hutan. Aktivitas bertani yang dilakukan bersifat subsisten dilakukan untuk dapat mempertahankan kehidupannya. Pemilik lahan yang cukup luas banyak yang berasal dari luar desa. Lahan-lahan milik rakyat setempat dijual kepada orang luar karena berbagai keperluan mendesak dan tidak ada alternatif
lain selain menjual tanahnya.
Dengan tidak adanya lahan, penduduk tidak lagi bekerja sebagai petani. Mereka beralih profesi menjadi pedagang kecil di kota seperti Jakarta atau Tangerang. Dengan modal kecil, pedagang ini biasanya berjualan makanan kecil, seperti gorengan, siomay, dan makanan terbuat dari aci (tepung tapioka). Ada juga petani yang mempunyai pekerjaan sambilan sebagai pedagang musiman. Setelah pekerjaan di huma selesai, mereka beralih pekerjaan sebagai pedagang. Aktivitas perdagangannya ada yang dilakukan di desa masing-masing atau berdagang di luar desanya seperti di Jakarta atau Tangerang. Akses transportasi kereta
menjadi pendukung mobilitas penduduk untuk bisa
melakukan aktivitas perdagangan. Sekarang sedang dibangun jalur KRL (kereta listrik) yang akan menghubungkan stasiun-stasiun kecil seperti Tenjo, Cileujit dengan stasiun Serpong.
46
Aktivitas ekonomi masyarakat yang dilakukan adalah kerajinan kulit kayu. Kerajinan kulit kayu bisa dikembangkan di wilayah ini karena bahan bakunya tersedia. Kulit kayu berasal dari TPN (tempat penimbunan kayu) terletak di jalan utama Tenjo – Parung Panjang yang melintasi Desa Babakan. Produk kerajinan yang dihasilkan adalah pot bunga plastik, atau keranjang. Produk kerajinan kulit kayu ini sebenarnya mempunyai pasar yang baik. Biasanya mereka berproduksi berdasarkan pesanan dari para pedagang di luar kota. Kegiatan usaha ini kurang bisa berkembang karena keterbatasan modal dan akses terhadap pasar. Selain perekonomian penduduk yang bersifat subsisten terdapat juga perekonomian yang sudah berorientasi pasar. Usaha peternakan ayam yang terdapat di desa-desa Kecamatan Tenjo. Peternakan yang ada bukan milik penduduk setempat, melainkan bentuk kerja sama antar penduduk setempat dengan para pemodal dari luar desa. Pemodal menyediakan bibit, pakan, dan pasar, sementara penduduk menyediakan tempat dan tenaga kerja. Sistem pengelolaan peternakan dengan menggunakan sistem inti plasma.
4.3 Tekanan Penduduk Terhadap Hutan di Jawa Pertambahan jumlah penduduk yang makin meningkat di Jawa tanpa diikuti ketersediaan lahan merupakan salah satu faktor yang mengancam sumber daya alam. Tekanan penduduk terhadap lahan yang berlebihan menyebabkan dilampauinya daya dukung lingkungan sehingga terjadi degradasi lingkungan. Oleh karena itu tekanan penduduk terhadap sumber daya alam yang berlebihan harus ada alternatif pemecahan masalahnya. Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara . Luas Pulau Jawa hanya 6,9 persen luas daratan seluruh Indonesia, tetapi dihuni oleh 60 persen dari penduduk Indonesia. Menurut Bakosurtanal, luas Pulau Jawa adalah 132.187 km persegi dan luas total daratan Indonesia adalah 1.919.443 km persegi. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa ini sebenarnya sudah terjadi sejak Gubernur Jenderal Thomas Raffles (1820-1830) dalam tulisannya pada 1826, The History of Java, Volume I, yang mengatakan bahwa 60 persen penduduk Indonesia hidup di Pulau Jawa yang merupakan 6,95 persen dari luas daratan Indonesia. Rasio ini tidak berubah sejak tahun 1920 ketika penduduk Pulau Jawa hanya 34,4 juta, yang kemudian berkembang menjadi 41,7 juta (1930), 48,4 juta (1940), dan 60 juta (1950) (Rais,2008).
47
Menurut Simon (2006), Jawa merupakan salah satu daerah yang cukup luas dengan kepadatan tertinggi di dunia.
Tanda-tanda akan munculnya
masalah kepadatan di Jawa sebenarnya telah nampak pada awal abad ke 19. Menurut White (1981 dalam Simon, 2006), pertumbuhan penduduk di Jawa sudah merupakan masalah yang selalu diperhatikan sejak awal masa kolonial. Angka tentang jumlah penduduk di Jawa pertama kali diperoleh dari hasil sensus penduduk tahun 1930.
Beberapa penulis telah menyebut jumlah
penduduk di pulau Jawa sebelum tahun 1930, yang angkanya sebagaimana dikutip Simon (2006). Tabel 9 Pertambahan Penduduk di Jawa Tahun 1930 s/d 2010 Tahun 1930 1946 1961 1971 1980 1985 1990 1995 2000 2010
Jumlah Penduduk (juta jiwa) 41,7 50,0 63,0 76,1 91,3 99,9 107,6 114,7 121,3 128,5
Kepadatan Penduduk (jiwa/ km2 309 378 477 576 698 757 843 889 919 973
Sumber Data BPS Pelzer BPS BPS BPS BPS BPS BPS BPS BPS
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007;Simon,2006)
Saat ini diperkiraan penduduk pulau Jawa (termasuk pulau Madura) sudah lebih dari 128 juta orang.
Jumlah penduduk di pulau Jawa telah
meningkat lebih dari 3 kali lipat sejak tahun 1930. Dengan luas wilayah pulau jawa yang relatif tetap, maka berarti kepadatan penduduk di Jawa telah meningkat 3 kali lipat pula dibandingkan tahun 1930. Bila kita menggunakan data kependudukan pada tahun 2005 sebagaimana dalam tabel, maka saat ini kepadatan penduduk di Jawa sekitar 973 orang per km2. Kepadatan penduduk di wilayah pertanian adalah ciri karakteristik pedesaan di Jawa. Tetapi kepadatan ini hanya fenomena lokal, di luar kantongkantong konsentrasi penduduk terdapat wilayah yang luas tanpa pemilik (Palte, 1989).
48
Tabel 10 Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) menurut Provinsi di Pulau Jawa
Provinsi 1971 7.762
1980 9.794
Sensus Tahun 1990 2000 12.439 12.592
2010 14.440
DKI Jakarta Jawa Barat 467 794 1.023 1.033 Jawa 640 780 876 959 Tengah DI 785 863 914 980 Yogyakarta Jawa 532 609 678 726 Timur Banten 936 (Sumber: BPS, 1971; 1980; 1990; 2000,;2010)
1.126 995 1.099 862 1.044
Pertambahan penduduk yang cepat di pulau Jawa menurut Simon (2006) didorong oleh kondisi iklim dan geologi yang sangat cocok untuk pengembangan pertanian, khususnya bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi di daerah lembah yang subur tanahnya. Hal ini juga disampaikan oleh Palte (1989) bahwa tempat-tempat yang terdapat konsentrasi penduduk di awal abad 19 ditemukan di beberapa lokasi terbatas, dimana padi sawah berhasil dibudidayakan dengan sedikit upaya. Kepadatan
penduduk
yang
tinggi
dapat
menimbulkan
berbagai
permasalahan. Menurut Palte (1989), kombinasi antara kepadatan penduduk yang sedemikian tinggi dengan sebuah tipe pertanian yang umumnya berskala kecil menghasilkan tekanan yang tinggi pula terhadap sumberdaya pertanian. Menurut Simon (2006) pertambahan penduduk di Jawa merupakan kunci dalam pembangunan menimbulkan
di
Indonesia,
berbagai
karena
permasalahan
jumlahnya seperti
yang
migrasi,
besar
sehingga
urbanisasi,
dan
pengangguran. Pertumbuhan populasi yang terus menerus di daerah pedesaan akan mengarah pada peningkatan tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam karena sumberdaya alam terbatas dan tidak ada perubahan mendasar dari teknologi dan organisasi dalam pemanfaatan sumber daya alam ini.
Pada
akhirnya daya dukung wilayah menjadi rentan, memaksa penduduk untuk bertindak mencegah kerusakan sumberdaya tersebut. Daya dukung bukan satu-satunya faktor penting yang diperhatikan berkaitan dengan tekanan penduduk.
Hal yang sama pentingnya adalah
49
hubungan eksternal dan ekonomi politik internal. Melalui hubungan eksternalnya penduduk pedesaan dapat memasukkan tenaga kerja ke wilayahnya.
Atau
sebaliknya populasi dapat dibebaskan oleh yang lain dari pemanfaatan penuh terhadap
sumberdayanya,
contohnya
subordinasi seperti kolonialisasi. Struktur
ekonomi
politik
ketika
penduduk
menjadi
korban
Hal ini yang terjadi di pedesaan Jawa.
internal
dari
masyarakat
menentukan
alokasi
sumberdaya di antara penduduk. Alokasi sumberdaya ini dapat terjadi secara merata dapat pula tidak. Bila alokasi tidak merata, tekanan populasi tidak hanya berarti kekurangan sumberdaya secara absolut, tetapi lebih kepada konsekuensi dari diferensiasi akses terhadap sumberdaya. Situasi ini yang menurut White (dalam Palte, 1989) dapat dikatakan sebagai tekanan penduduk terhadap penduduk seringkali menjadi karakteristik masyarakat petani kecil. Hal ini sejalan pula dengan yang dijelaskan oleh Rajagukguk (1995) bahwa pertumbuhan penduduk dan polarisasi yang terus meningkat antara mereka yang kaya dan miskin di pedesaan menimbulkan semakin berkembangnya perbedaan dalam pemilikan tanah dan penyusutan luas tanah yang dimiliki. Perluasan tempat pemukiman dan lahan pertanian ke kawasan hutan di pulau
Jawa
dapat
telah
diberhentikan
dengan
diberlakukannhya
Domeinverklaring pada tahun 1870. Dengan asumsi bahwa luas lahan pertanian sudah tetap sejak saat itu, maka perubahan rasio lahan pertanian/orang dapat dihitung dengan menggunakan angka pertambahan penduduk. Luas lahan pertanian di pulau Jawa yang diperoleh dari sensus pertanian tahun 1981 adalah 6.685.173 ha sawah dan tegalan. Berdasarkan perhitungan maka diperoleh perkiraan angka rasio luas lahan pertanian/ kepala keluarga adalah 2.97 ha/kk pada tahun 1860. Rasio tersebut semakin menurun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk sehingga menjadi 0.91 ha/kk pada tahun 1930, menjadi 0.56 ha/kk pada tahun 1980 dan 0.41 ha/kk pada tahun 2005 (Simon, 2006).
Rasio ini mungkin menjadi semakin kecil mengingat
pertambahan penduduk juga membawa konsekuensi terhadap konversi lahan pertanian untuk kepentingan lain. Sebagian besar penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar hutan adalah masyarakat petani yang kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya hutan. Mereka membuka ladang, menebang kayu, mengumpulkan kayu bakar, mencari rumput atau menggembalakan ternak di kawasan hutan. Hutan di pulau Jawa yang telah mengalami eksploitasi selama ratusan tahun untuk kepentingan
50
negara penguasa menjadi semakin kritis karena tekanan penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Tekanan
struktural
dalam
sektor
pertanian
sebagai
akibat
dari
pemecahan tanah dan tekanan penduduk di pulau Jawa telah menyebabkan sebagian petani yang tidak mempunyai tanah dan para petani yang mempunyai tanah sempit beralih ke sektor bukan pertanian. Perpindahan tersebut bukan disebabkan kondisi-kondisi yang lebih baik di sektor non pertanian, tetapi agaknya karena pertanian tidak lagi memberi pendapatan yang cukup bagi mereka (Rajagukguk, 1995). Dari rasio penduduk terhadap ketersediaan lahan yang makin kecil, Pulau Jawa
sampai
tahun
2020
akan
terus-menerus
menghadapi
degradasi
lingkungan. Akan terjadi ketidakseimbangan hidrologis (keterbatasan tersedianya air, banjir, longsor), lingkungan hidup makin kumuh di bantaran-bantaran sungai, pantai, dan urbanisasi semakin meningkat merupakan dampak yang timbul karena kehidupan di tanah-tanah pertanian tidak memberi harapan yang baik. Konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian (perumahan, industri, pusat-pusat jasa) terus berlanjut, meningkatnya konsumsi pangan dengan pertambahan penduduk, sedangkan luas lahan pertanian tidak berubah, malah berkurang. Dampak lain adalah meningkatnya aspek sampingan dari kepadatan dan kemiskinan penduduk, seperti kesehatan, kriminalitas, dan pengangguran (Rais, 2008). Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya hutan dapat saja dikatakan sebagai akibat dari perilaku masyarakat yang secara nyata menekan kawasan hutan untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi bila dikaji lebih jauh, masalah ini menurut Scott (1993, 2000) lebih merupakan hasil dari interaksi kebijakan negara sebagai penguasa kawasan hutan dengan strategi subsistensi masyarakat petani yang tinggal di desa-desa sekitar hutan. Kebijakan yang kurang sesuai dan tidak mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sekitar hutan bahkan dapat membuat keadaan semakin memburuk. Dapat pula dikatakan bahwa
krisis yang terjadi pada
sumber daya hutan pada dasarnya bersumber dari ketidaksesuaian institusi yang digunakan negara dalam kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan hutan, khususnya sistem pengaturan penguasaan dan manajemen pemanfaatan sumber daya hutan ( Peluso, 2006; Simon, 2006).
51
4.4 Ikhtisar Luas kawasan Perhutani BKPH Parung Panjang adalah 4.698,75 hektar, sedangkan kawasan yang digunakan untuk program PHBM hanya seluas 931,55 sekitar 19,8 persen tahun 2005 berjumlah 57.972 orang yang terdiri 28.945 orang laki-laki dan 29.072 perempuan. Tingkat pendidikan penduduk di tiga desa contoh mayoritas berpendidikan rendah,Mata pencarian penduduk pada umumnya adalah bertani yaitu sebanyak 6.703 rumah tangga (57%), kemudian disusul dengan berdagang berjumlah 1.729 rumah tangga (15%). Kebanyakan petani memiliki lahan yang sempit atau bahkan tidak memiliki lahan sangat tergantung kehidupannya kepada hutan dengan melakukan tumpangsari dan mencari kayu di hutan. Pemilik lahan yang cukup luas banyak yang berasal dari luar desa karena
lahan-lahan milik rakyat
setempat dijual kepada orang luar. Sebagian penduduk beralih profesi menjadi pedagang kecil di kota seperti Jakarta atau Tangerang makanan kecil, seperti gorengan, siomay.
52
BAB V MODEL-MODEL HUTAN KEMASYAKATAN DAN KRITIK TERHADAP PHBM
5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat Hutan rakyat telah dikenal dan dikembangkan sejak puluhan tahun yang lalu. Penananam pohon oleh rakyat ini terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya, tapi juga masyarakat dan lingkungan. Hutan rakyat dengan hasil utamanya berupa kayu rakyat semula belum mendapat perhatian karena hanya memiliki kawasan yang sempit dibandingkan dengan hutan Negara. Temuan hasil penelitian IPB pada tahun 1976 dan UGM tahun 1977 menunjukkan bahwa konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa yang sebagian besar disediakan oleh hutan rakyat. Fakta ini memunculkan keyakinan bahwa hutan rakyat menyimpan potensi penting dalam pengelolaan hutan nasional. Hutan rakyat berpotensi dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu mengingat semakin menurunnya potensi hutan negara, baik yang berasal dari hutan alam maupun tanaman (Darusman & Hardjanto, 200). Penanaman hutan rakyat semula hanya untuk tujuan konsumsi sendiri misalnya penyediaan kayu bakar, pakan ternak dan pertukangan. Usaha hutan rakyat biasanya diusahakan oleh masyarakat secara mandiri. Dengan munculnya industri pengolahan kayu skala kecil di pedesaan kayu hasil hutan rakyat menjadi komoditas komersial yang bisa menguntungkan. Hutan rakyat merupakan salah satu pola rehabilitasi lahan untuk meningkatkan produktivitas lahan, konservasi tanah dan air.
Saat ini hutan
rakyat tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan produktivitas lahan dan jasa lingkungan, tetapi juga dilakukan dengan pendekatan agribisnis. Usaha tani kayu rakyat ini merupakan sumber pendapatan sambilan dan merupakan tabungan yang dapat dimanfaatkan saat diperlukan (Haeruman et al 1990). Michon (1983) menyebut ada tiga tipe hutan rakyat yaitu: tipe pekarangan yang berada di sekitar rumah, talun dengan pohon yang sedikit rapat, dan kebun campuran. Berbagai model pengelolaan hutan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dapat ditemukan di berbagi wilayah
Indonesia. Misalnya, hutan
kemiri rakyat di kawasan Pegunungan Bulusarung Sulawesi Selatan dengan luasan ribuan hektar dan masih terus berproduksi dan sudah dilakukan secara turun-temurun (Yusran 2005). Contoh lain adalah pengelolaan lahan hutan 53
repong damar di pesisir Krui Lampung Barat. Suharjito dkk (2000) mengkaji beberapa model pengelolaan hutan rakyat antara lain : hutan kemneyan di Tapanuli utara, wanatani karet di jambi, repong dammar di Krui, tembawang di Sanggau, kebun-hutan durian di Ketapang, kebun rotan bentian, limbo di Kalimantan timur, dan hutan adat di Tenganan, Bali. Dari semua kajian menunjukkan bahwa keberlanjutan ekonomi dan ekologi
dapat dikategorikan
relatif tinggi. Sistem penguasaan dan pemanfaatan lahan hutan tidak cukup tegas antara sistem individu atau komunal. Penguasaan individual mempunyai kecenderungan orientasi pengelolaan yang lebih komersial sedangkan sistem penguasaan dan pemanfaatan komunal lebih berorientasi subsisten. Berbagai publikasi yang ada (Dove 1993; Atmaja 1993; Michon & de Foresta 1994;Tjitradjaja dkk 1994) telah menunjukkan kesalahan-kesalahan asumsi masa lalu yang memandang remeh kemampuan penduduk lokal dalam mengelola sumber daya hutan secara baik dan berkelanjutan. Komunitas lokal ternyata memiliki dan mampu mengembangkan institusi-institusi yang kondusif bagi pengelolaan sumber daya berkelanjutan: ajeg secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya. Kebijakan pemerintah untuk mendukung hutan rakyat adalah dengan menggalakkan program hutan tanaman rakyat (HTR) sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat. Tujuan program HTR yaitu meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan (PP 6/2007). Pemerintah mengalokasikan lahan seluas 500.000 hektar hutan tanaman produksi untuk pengembangan program hutan tanaman rakyat. Program ini diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri kayu rakyat yang kebutuhannya terus meningkat. HTR yang sudah diberikan izinnya antara lain di Nabire, Halmahera Selatan, Konawe Selatan, Sumbawa, Gunung Kidul, Kotawaringin Barat, Tebo, Kaur, Ogan Komering Ilir, Mandailing Natal dan Aceh Utara. Kementrian Kehutanan mengalokasikan total 500.000 hektar hutan produksi yang rusak per tahunnya untuk dikelola masyarakat melalui HTR, Hutan kemasyarakatan, dan hutan desa di daerah aliran sungai.Dengan kebijakan hutan tanaman rakyat diharapkan pemerintah
dapat memberikan akses hukum, akses ke lembaga
keuangan dan akses pasar yang lebih luas
kepada masyarakat dalam
pemanfaatan hutan produksi untuk kesejahteraan rakyat dan pengelolaan hutan
54
lestari. Pemberian akses yang lebih luas ke hukum pada dasarnya memberikan legalitas masyarakat setempat dalam memperoleh izin produksi
pemanfaatan hutan
terutama dalam pembangunan hutan tanaman karena begitu luasnya
hutan-hutan produksi yang rusak. Pembangunan
HTR
merupakan
upaya
pemerintah
untuk
meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan dengan didasari oleh prinsip-prinsip pengelolaan hutan produksi. Masyarakat diharapkan dapat lebih memahami fungsi ganda hutan/kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan ( Hakim 2009). HTR dimaksudkan sebagai kebijakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi (pro-growth) sehingga sektor kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pertumbuhan
ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup, menyejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja (Emilia dan Suwito 2004).
5.2 Hubungan Perhutani dengan Masyarakat Sekitar Hutan Pengelolaan hutan di Pulau Jawa dan Madura dimulai sejak zaman Pemerintahan Belanda dengan sejarah pengelolaan yang cukup panjang. Pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Deandels, awal tahun 1800-an dibangun hutan tanaman khususnya jati. Selanjutnya pada tahun 1986 dikeluarkan Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura. Pada masa periode inilah pengelolaan hutan (timber management) dimulai. Perum Perhutani menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 1972 dengan wilayah kerja pada awalnya kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan PP nomor 2 tahun 1978, kawasan wilayah kerjanya diperluas sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1986, Perum Perhutani mengalami penyesuaian berdasarkan PP nomor 36 tahun 1986 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan disempurnakan kembali melalui penetapan PP nomor 53 tahun 1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Sesuai PP nomor 14 tahun 2001, Pemerintah menetapkan Perhutani sebagai BUMN dengan bentuk Perseroan Terbatas (PT). Dengan berbagai pertimbangan dari segala aspek, keberadaan Perhutani sebagai perseroan dikembalikan menjadi
55
Perum berdasarkan PP nomor 30 tahun 2003. Dalam operasionalnya Perum Perhutani di bawah koordinasi Kementerian Negara BUMN dan dengan bimbingan teknis dari Departemen Kehutanan. Dalam menjalankan tugasnya Perum
Perhutani dipimpin
oleh
direksi yang
bertanggung
jawab
atas
kepengurusan perusahaan dan Dewan Pengawas yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi. Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Jawa Barat dan Banten seluas 2.426.206 hektar. Luas tersebut tidak termasuk kawasan hutan suaka alam dan wisata yang dikelola oleh Ditjen PHPA Departemen Kehutanan. Berdasarkan amanat UU nomor 41 tentang Kehutanan, minimal 30% merupakan luasan hutan dibanding daratan. Kondisi yang ada saat ini adalah sekitar 24% sehingga perlu dipertahankan keberadaannya sehingga dapat berperan mempertahankan daya dukung lingkungan. Tabel 11. Wilayah kerja dan luas hutan Perhutani Unit Kerja
Provinsi
Unit I
Hutan Produksi (Ha) 546.290
Jawa Tengah Unit II Jawa Timur 809.959 Unit III Jawa Barat 349.649 Banten 61.406 Jumlah 1.767.304 Sumber : Perhutani 2008
Hutan Lindung (Ha) 84.430
Total Luas (Ha)
326.520 230.708 17.244 658.902
1.136.479 580.357 78.650 2.426.206
630.720
Dalam upaya memulihkan potensi sumberdaya hutan yang berupa lahan kosong seluas 396.985 hektar, Perum Perhutani mencanangkan Perhutani hijau 2010. Rehabilitasi hutan seluas ± 100.000 hektar per tahun, dengan penanaman jenis Jati Plus Perhutani. Rehabilitasi hutan dilaksanakan di lokasi bekas tebangan dan kawasan tidak produktif. Pelaksanaan reboisasi melibatkan partisipasi aktif masyarakat dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) baik dengan tanam tumpangsari atau banjar harian, penetapan pola tanam, optimalisasi ruang, maupun pengembangan usaha produktif. Reboisasi hutan dengan sistem tumpangsari memberikan kontribusi besar dalam produksi pangan. Dalam jangka pendek sistem tumpangsari memberikan hasil dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan.
56
Pemeliharaan hutan bertujuan untuk mendapatkan tegakan yang berkualitas dan bernilai ekonomi tinggi pada akhir daur. Kegiatan pemeliharaan hutan meliputi penyiangan, wiwil (pembersihan tunas air), pruning (pemangkasan cabang), penjarangan, pencegahan terhadap hama dan penyakit, pencegahan gangguan penggembalaan dan perlindungan hutan lainnya. Perlindungan hutan merupakan upaya untuk mencegah kerusakan dari gangguan keamanan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, meliputi : pencurian pohon, okupasi lahan,
penggembalaan liar, kebakaran hutan, dan bencana
alam. Upaya pengamanan hutan dilakukan secara preemtif, persuasif, preventif dan represif dengan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat desa hutan melalui sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Upaya represif dilaksanakan bekerja sama dengan jajaran kepolisian dan aparat keamanan lainnya. Total asset Perhutani pada tahun 2007 tercatat 1.413,402 milyar sedangkan tahun 2008 sebesar Rp.1.526,712 milyar. Margin keuntungan pada tahun 2008 mengalami peningkatan keuntungan sebesar Rp 200,318 milyar sedangkan tahun 2007 sebesar Rp.51,475 milyar (Perhutani 2007). Jika melihat apa yang menjadi visi Perhutani yaitu: menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seharusnya faktor kelestarian hutan, dan kemakmuran rakyat menjadi titik pijak semua aktivitas perusahaan.
Pencapaian
agar
rakyat
mendapatkan
prioritas
pertama.
Oleh
makmur karena
sejahtera itu
selayaknya
program-program
pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan bisa menjadi pintu masuk untuk dapat mencapai tujuan pengelolaan hutan di Jawa. Perum Perhutani pada dasarnya memainkan tiga peran pokok, yaitu sebagai penguasa tanah hutan, perusahaan kehutanan, dan institusi konservasi hutan. Misi Perum Perhutani sebagai berikut : 1). Mengelola sumberdaya hutan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan non-kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestri serta potensi usaha berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan
perusahaan
mengembangkan
secara
perusahaan,
berkelanjutan.
organisasi
serta
2). Membangun sumberdaya
dan
manusia
perusahaan yang modern, profesional dan handal serta memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan lembaga perekonomian koperasi
57
masyarakat desa hutan atau koperasi petani hutan. 3). Mendukung dan turut berperan serta dalam pembangunan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara aktif dalam penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional dan internasional (SK Nomor : 17/Kpts/Dir/2009 tanggal 9 Januari 2009). Hubungan antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa sekitar hutan mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kondisi sosial politik yang melingkunginya. Pada masa orde baru, berbagai kebijakan yang menempatkan hutan sebagai objek eksploitasi demi pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal. Sebaliknya keterlibatan masyarakat tidak diberikan ruang yang memadai dalam pengelolaan hutan. Konflik antara Perhutani dengan penduduk karena tidak ditemukannya kesatuan padang antara negara dan/atau para ”pengelola formal” kawasan hutan dengan aspirasi penduduk yang hidup dan berkembang di sekitar kawasan tersebut. Dengan model magersari, rakyat hanya “numpang hidup” di lahan-lahan yang dikelola Perhutani dengan menanam tanaman pangan di sela-sela tanaman pokok. Rakyat boleh menggarap lahan hutan untuk ditanami tanaman pangan seperti padi, jagung, singkong. Di sela-sela tanaman itu rakyat harus menanam jati dengan jarak yang rapat. Waktunya dibatasi sampai dua tahun. Bentuk lainnya rakyat sebagai orang upahan yang bekerja dan diperintah oleh para mandor baik dalam penanaman, pemeliharaan, dan pemanen hasil hutun. Pada era reformasi ketika euforia politik terjadi, negara dalam posisi lemah, sebaliknya kuasa rakyat berada dalam posisi kuat. Masyarakat di sekitar hutan seperti lepas dari belenggu yang mengungkung mereka selama ratusan tahun. Pencurian hasil hutan, penjarahan melanda, okupasi lahan untuk dijadikan areal pertanian (tanaman pangan, buah-buahan) terjadi secara massif di hampir semua wilayah Perhutani. Perhutani tidak mampu berbuat banyak dengan kondisi yang terjadi. Keberadaan Perhutani, sebagai pengelola tunggal hutan di Jawa juga tidak bebas dari kritik. Perusahaan milik negara ini digugat oleh para LSM agar dilakukan audit sebagai langkah awal dalam meletakkan dasar baru penguasaan dan pengelolaan hutan di Indonesia. Sejumlah LSM di Jawa Barat pada tahun 2008 melakukan protes dengan menuntut pembubaran Perhutani karena dalam kegiatan operasionalnya di lapangan seringkali bermusuhan atau curiga dengan masyarakat. Masyarakat dianggap perusak dan penjarah hutan, sehingga dalam
58
pengelolaan dan pelestarian hutan kurang melibatkan partisipasi rakyat. Kalangan LSM menganggap bahwa Perhutani selayaknya direorganisasi, peran serta masyarakat diperluas, sehingga hutan dapat berkontribusi bagi seluruh rakyat khususnya bagi masyarakat sekitar hutan.(Kompas 2008).
5.3 Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perum Perhutani sebagai BUMN mendapatkan mandat untuk mengelola hutan negara dituntut untuk memberikan perhatian kepada masalah sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Interaksi antara masyarakat dengan hutan tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat miskin di sekitar hutan. Dengan mencermati perjalanan sejarah dan kondisi sosial politik yang terjadi, pengelolaan hutan oleh Perhutani juga mengalami perubahan dan reformasi di sector kehutanan. Dengan menguatnya power masyarakat, Perum Perhutani mau tidak mau harus mempertimbangakn keberadaan masyarakat sekitar hutan. Salah satu program untuk mengakomodasi kepentingan rakyat adalah pengelolaan hutan kemitraan dalam bentuk PHBM. Munculnya PHBM merupakan wujud dari adanya kesadaran tentang pentingnya melibatkan rakyat. Mengelola hutan tidak lagi dapat dilakukan dengan mengabaikan rakyat. Pendekatan yang menekankan pada aspek keamanan tidak dapat dipertahankan lagi. PHBM mencoba meninggalkan pola lama yang memandang masyarakat sebagai musuh kehutanan. Anggapan masyarakat yang memandang hutan itu milik Perhutani sehingga rakyat tidak merasa ikut memiliki, sudah saatnya diubah total di mana hutan itu dikelola bersama-sama Perhutani dan masyarakat dengan dasar menguntungkan kedua belah pihak secara optimal. Dalam sistem PHBM ini, pertanian bukan cuma bersifat subsisten yaitu hanya untuk dipakai petani sendiri seperti masa lalu, tetapi bisa juga diarahkan bersifat komersial. Sistem PHBM ini dilaksanakan dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi yang meliputi pemanfaatan lahan, waktu, dan hasil dalam pengelolaan sumber daya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, memperkuat dan mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab sosial. Sampai dengan tahun ke-6 pelaksanaan PHBM disadari bahwa masih ditemukan berbagai kendala dan
59
permasalahan, maka pada tahun 2007 disempurnakan kembali dalam PHBM Plus. Dengan PHBM Plus diharapkan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa akan lebih fleksibel, akomodatif, partisipatif, dan dengan kesadaran tanggung jawab sosial yang tinggi, sehingga mampu memberikan kontribusi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menuju masyarakat desa hutan mandiri dan hutan lestari. PHBM dilaksanakan dengan prinsip-prinsip : a. Perubahan pola pikir pada semua jajaran Perhutani dari birokratis, sentralistik, kaku dan ditakuti menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan dicintai. b. Perencanaan partisipatif dan fleksibel sesuai dengan karakteristik wilayah. c. Fleksibel, akomodatif, partisipatif, dan kesadaran akan tanggung jawab sosial. d. Keterbukaan, kebersamaan, saling memahami, dan pembelajaran bersama. e. Bersinergi dan terintegrasi dengan program-program Pemerintah Daerah. f. Pendekatan dan kerjasama kelembagaan dengan hak , kewajiban yang jelasoject g. Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan. h. Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara berkesinambungan. i. Mengembangkan dan meningkatkan usaha produktif menuju masyarakat mandiri dan
hutan lestari.
j. Supervisi, monitoring, evaluasi dan pelaporan bersama para pihak. Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini telah diawali oleh berbagai kegiatan sebelumnya yaitu : Program Perhutanan Sosial, Agroforestry, Sylvofishery, PMDH (Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan), PMDH-T (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu). Implementasi program dilaksanakan pada kegiatan tumpangsari, insus tumpangsari, penanaman di bawah tegakan, perhutanan sosial, pembangunan sarana dan prasarana. Kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat ini berkembang dan mengalami penyempurnaan menyesuaikan perkembangan kondisi kawasan dan masyarakat desa hutan (MDH) sehingga saat ini dilakukan dengan pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan sistem PHBM. Melalui program PHBM, rakyat diberikan kepercayaan untuk dapat menggarap lahan andil untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di samping itu dengan PHBM rakyat akan mendapatkan bagi hasil dari kayu. Tidak kurang dari 5.552 desa hutan berada di sekitar kawasan hutan Perum Perhutani, sebagai bagian dari komitmen dan tanggung jawab perusahaan terhadap masalah sosial
60
(corporate social responsibility). Sistem yang berlangsung sejak tahun 2001 tersebut, sampai dengan tahun 2008 telah melibatkan kerjasama dengan 5.165 desa hutan atau sekitar 95 persen dari total desa hutan di Pulau Jawa dan Madura. Masyarakat juga memperoleh manfaat dari kegiatan bagi hasil produksi hutan berupa kayu dan nonkayu. Sampai dengan tahun 2008, nilai bagi hasil produksi kayu dan nonkayu yang diterima LMDH adalah Rp127,759 milyar, tidak termasuk hasil produksi tanaman pangan dari kegiatan tumpangsari hutan sebesar Rp 5,83 triliun per tahun. Program PHBM secara yuridis tertuang dalam Surat Keputusan Direktur Utama Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Kegiatan PHBM meliputi beberapa
tahap
kegiatan
yaitu:
(1)
sosialisasi,
(2)
dialog,
(3)
kelembagaan/pembentukan KTH, (4) negosiasi, (5) perjanjian kerjasama dan (6) pelaksanaan. Tahap
sosialisasi
dilakukan
sebagai
upaya
pendekatan
kepada
masyarakat tentang hutan, kehutanan, dan penjelasan program-program PHBM kepada masyarakat dan jajaran petugas Perum Perhutani. Sosialisasi ini dilakukan oleh tim PHBM (beranggotakan petugas dari KPH, BKPH) maupun TPM (tenaga pendamping masyarakat) yaitu LSM pendamping. Kegiatan ini memanfaatkan kegiatan rutin desa seperti pengajian, majelis taklim. Dialog dilaksanakan untuk membicarakan hal-hal yang mengarah pada kerjasama mengelola hutan antara pihak Perum Perhutani dan masyarakat. Pembicaraan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang pengelolaan PHBM dan mendesain teknis pelaksanaan PHBM. Dalam tahap ini terjadi proses tawar menawar pendahuluan dalam pelaksanaan PHBM yang masing-masing berusaha mengakomodasi kebutuhannya (Perhutani dan masyarakat). Pada tahap dialog ini, masyarakat diwakili oleh para pemimpin lokal. Pembentukan kelembagaan adalah pembentukan organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai wadah kegiatan masyarakat desa hutan terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Struktur organisasi pada prinsipnya terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi keamanan. Pengurus biasanya adalah orang-orang yang dipandang sebagai tokoh masyarakat (pemimpin nonformal). Organisasi ini dibentuk disaksikan para pemimpin formal, nonformal baik dari pemerintah desa, Perum Perhutani maupun masyarakat.
61
Setelah lembaga dibentuk selanjutnya KTH membentuk AD & ART, menyusun ketentuan-ketentuan yang merupakan hak dan kewajiban pengurus anggota. Negosiasi merupakan proses tawar menawar tentang lokasi kawasan dan ketentuan ketentuan pengaturan pengelolaan dan bagi hasil. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan dialog. Dalam negosiasi ini dihasilkan kesepakatan antara pihak masyarakat dan Perum Perhutani. Perjanjian kerjasama merupakan ketentuan yang mengikat pihak MDH dan Perum Perhutani secara tertulis dan berkekuatan hukum. Perjanjian kerjasama ini merupakan naskah tertulis dan berkekuatan hukum tentang hasil negosiasi. Penandatanganan naskah ini dihadiri oleh masyarakat (pemimpin nonformal, pengurus KTH), Perum Perhutani dan Pemerintah Desa serta LSM Pendamping disaksikan oleh pejabat notaris. Pelaksanaan
PHBM
dilakukan
dengan
proses
penyiapan
lahan,
penanaman, pemeliharaan, pemanfaatan hasil, peliharaan keamanan, dan monitoring evaluasi. Pelaksanaan PHBM ini dilakukan oleh masyarakat dan Perum Perhutani sesuai hak dan kewajiban dalam naskah perjanjian. Dalam pelaksanaan ini masyarakat sebagai pelaksana dan Perum Perhutani sebagai regulator.
Namun
demikian,
dalam
pelaksanaannya
masyarakat
belum
sepenuhnya dapat memerankan sebagai operator, penanaman tanaman pokok masih dilakukan bersama dengan mandor. Program PHBM ini disosialisasikan oleh Tim PHBM yang terdiri dari bagian pembinaan masyarakat desa hutan KPH, KBKPH, KRPH, dan mandor. Ujung tombak utama pelaksanaan PHBM di lapangan adalah para mandor. Para mandor ini pada umumnya mempunyai pendidikan rendah. Para mandor adalah anggota masyarakat desa sekitar hutan yang semula merupakan tenaga upahan harian baik pada kegiatan persemaian, penanaman, pemeliharaan, dan penebangan. karena pengabdiannya, mereka diangkat menjadi mandor, sebagai pegawai perusahaan. Sosialisasi tentang PHBM ini terus menerus dilakukan baik kepada masyarakat maupun jajaran Perum Perhutani melalui berbagai kegiatan pelatihan dan pembinaan di forum resmi dan forum tidak resmi. Dalam pelaksanaan kegiatan PHBM, dimulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan penjarangan, tebangan, dan keamanan hutan. Perum Perhutani menentukan pola tanam, pemeliharaan tanaman, penjarangan, dan penebangan. Ketentuan Penanaman adalah sebagai berikut : a).tanaman pokok b).tanaman pengisi c). tanaman pertanian: palawija (padi huma,ubi
62
jalar,ubi kayu,kacang tana). Jarak tanaman pokok dan pengisi 3 x 2 m, dengan tanaman pertanian berjarak 25 cm dari tanaman pokok. Kerjasama ini dituangkan dalam bentuk naskah kerja sama yang ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama. Kerjasama ini ditinjau dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun. Kerjasama dapat dilanjutkan apabila tanaman kehutanan yang tumbuh lebih dari 80%. Apabila kurang dari 80% akan diberikan teguran sampai dengan konsekuensi batalnya perjanjian kerja sama. Hak dan kewajiban Perum Perhutani sebagai berikut : a.Menentukan pola tanam, pemeliharaan tanaman, penjarangan, dan tebangan. b.Bersama dengan MDH menentukan jenis tanaman pertanian dan kehutanan. c. Mencabut hak garapan bila terjadi pelanggaran perjanjian. d. Menyediakan semua bibit tanaman pokok dan tanaman pengisi e.Memberikan bimbingan teknis f. Mengupayakan peningkatan SDM dalam bentuk pembinaan kelompok g. Menyampaikan rencana kegiatan secara transparan h. Melakukan perencanaan, pengelolaan, evaluasi, monitoring dan pengalaman bersama dengan MDH i. Mengawasi proses kegiatan penanaman di lapangan Hak dan kewajiban MDH adalah sebagai berikut : a. Menggarap lahan b. Memperoleh bagi hasil c. Memanen dari hasil tanaman pertanian d. Menjaga dan memelihara keamanan hutan dilokasi perjanjian dan sekitarnya e. Aktif mencegah upaya pihak lain yang mengganggu keamanan hutan f. Aktif dalam perencanaan, pengelolaan, evaluasi, monitoring dan pengamanan hutan. Pada umumnya masyarakat yang telah menjadi anggota KTH mempunyai rasa memiliki terhadap kawasan hutan karena mereka merasa memiliki tanaman (aset) yang harus dijaga. Sejak diluncurkan sistem PHBM, luas kawasan yang dikelola dengan sistem ini meningkat dari tahun ke tahun. Pengurus KTH dan LMDH adalah orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat yang bisa menggerakkan masyarakat setempat. Kegiatan lain yang dilakukan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari yaitu : Pelatihan kader penyuluh tingkat mandor, dibentuknya KTH dan
63
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) tingkat desa, Kegiatan Lembaga Pendamping PHBM (LP-PHBM) dalam pembinaan KTH dan LMDH. 5.4
Kritik terhadap Program PHBM Sebagai kebijakan yang generik, pelaksanaan PHBM di lapangan masih
banyak kekurangan dan belum bisa mencapai tujuan program yang diharapkan. Berbagai kritik dan tanggapan disampaikan sehubungan dengan munculnya berbagai permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan. Permasalahan yang terjadi di satu wilayah dengan wilayah lain tidak sama bergantung masalah yang spesifik di lokasi masing-masing. Pembentukan LMDH proses atau tahapannya dilaksanakan secara cepat seperti mengejar target, sehingga menyebabkan kepengurusan LMDH menjadi kurang maksimal. Posisi LMDH yang dibentuk melalui proses jalan pintas atau instan, seringkali tidak secara kuat mewakili kepentingan kelompok akar rumput. Faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan PHBM kurangnya pemahaman masyarakat atas program PHBM karena kurangnya sosialisasi, tanah lahan garapan yang kurang subur yang memerlukan biaya yang cukup besar dalam pengelolaanya tidak sebanding dengan hasil panen yang didapatkan (Nugroho 2004). Program PHBM yang sifatnya one size fits all ( satu model untuk semua LMDH ) tidak sepenuhnya dapat berjalan di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Pembentukan LMDH yang instan seringkali tidak memperhatikan tata aturan dan tata kelola pemerintah. Di satu sisi ingin melakukan pemberdayaan masyarakat tetapi caranya bertolak belakang seperti Perhutani memaksakan “pakem”
PHBM
kepada
LMDH
walaupun
tidak
disetujui.
Jadi
idenya
pemberdayaan LMDH tetapi caranya instruktif (Awang, 2006). Ketika LMDH menjadi satu-satunya lembaga yang diakui secara sah untuk melakukan kerjasama dengan Perhutani dalam PHBM
kendala yang
sering dihadapi adalah rendahnya tingkat kinerja dan tak jelasnya orientasi kerja para pengurusnya. Isu-isu strategis yang sebenarnya menjadi agenda kalangan akar rumput seperti persentase bagi hasil, perluasan lahan garapan, dan kepastian tenurial, seringkali menjadi terkesampingkan, atau setidaknya bukan menjadi prioritas, hanya mengejar target. Karena mengejar target, pembentukan LMDH belum dapat mewakili kepemimpinan lokal yang sebenarnya. Banyak pemimpin lokal yang berpengaruh
64
kuat terhadap masyarakat tidak terakomodasi. Pambudiarto (2010) melihat bahwa kepengurusan LMDH sebagian besar tidak cukup mengakar. Setelah terbentuk LMDH tidak langsung dapat beroperasi dengan baik. Kebanyakan manajemen kelembagaan LMDH belum berjalan dengan baik. Tanggung jawab untuk mengamankan hutan
ternyata tidak diimbangi
dengan imbalan (ekonomi) yang cukup, sehingga mereka tetap hidup dalam kemiskinan. Peran LMDH yang cenderung menjadi lembaga distribusi daripada lembaga negosiasi adalah fakta yang banyak kita jumpai di lapangan. Permasalahan
terkait
dengan
organisasi
dan
manajemen
LMDH.Kemampuan kelembagaan LMDH masih rendah, Koordinasi antara LMDH dengan Perhutani dan pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten masih lemah. Pengurus LMDH cenderung pasif, intervensi pihak luar dirasakan oleh pengurus, Ketergantungan pada Perhutani sangat tinggi. Belum ada kepastian batas pangkuan LMDH yang jelas akibatnya terjadi perebutan wilayah pangkuan hutan. Program PHBM masih dipersepsikan sebagai alat pengamanan hutan bersama masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi secara keseluruhan terhadap program PHBM ini, baik internal oleh Perum Perhutani maupun secara eksternal masyarakat agar ada persamaan pandangan tentang pelaksanaan PHBM sampai dengan tingkat desa dan kelompok masyarakat. (Balitbang Prov.Jateng, 2006) LMDH
yang
mandiri
merupakan
“kunci
strategis”
bagi
keberlangsungan penanggulangan kemiskinan dan pembangunan.
upaya Kondisi
LMDH di berbagai wilayah mempunyai tingkap pencapaian yang sangat beragam di setiap wilayah. LMDH di Jawa Timur seperti di Perhutani KPH Nganjuk dan Saradan mengembangkan penanam porang cukup memberikan peluang untuk usaha. Di kawasan lain berbeda lagi kondisinya.
5.5 Ikhtisar
Hutan rakyat telah dikenal sejak lama. Penananam pohon oleh rakyat ini bermanfaat, bagi pemiliknya, masyarakat dan lingkungan. Hutan rakyat berfungsi untuk meningkatkan produktivitas lahan dan jasa lingkungan.Usaha tani kayu rakyat ini merupakan sumber pendapatan sambilan dan merupakan tabungan. Berbagai model pengelolaan hutan rakyat ditemukan di berbagi wilayah
65
Indonesia antara lain : hutan kemiri rakyat di Pegunungan Bulusarung Sulawesi Selatan, repong damar di pesisir Krui Lampung, hutan kemenyan di Tapanuli utara, tembawang di Sanggau, hutan adat di Tenganan, Bali. Dari semua kajian menunjukkan bahwa keberlanjutan ekonomi dan ekologi
hutan rakyat
dikategorikan relatif tinggi. PHBM merupakan pengelolaan hutan kemitraan untuk mengakomodasi kepentingan rakyat. Munculnya PHBM merupakan wujud dari adanya kesadaran tentang pentingnya melibatkan rakyat. PHBM mencoba meninggalkan pola lama yang memandang masyarakat sebagai musuh kehutanan. Sistem PHBM ini dilaksanakan dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi dengan prinsip saling menguntungkan. Rakyat memperoleh bagi hasil produksi hutan berupa kayu dan nonkayu PHBM dalam kenyataannya belum bisa dilaksanakan sesuai dengan tujuannya sehingga memunculkan berbagai kritik. Proses pembentukan lembaga dilaksanakan
secara
cepat
,mengejar
target,
sehingga
menyebabkan
kepengurusan LMDH menjadi kurang maksimal. LMDH belum dapat mewakili kepemimpinan lokal yang sebenarnya. Program PHBM yang sifatnya one size fits all tidak sepenuhnya dapat berjalan di semua wilayah yang berbeda. Kinerja pengurus rendah dan tak jelasnya orientasi kerjanya.
66
BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM 6.1 Kelemahan Sumber Daya Manusia Dari hasil survei dapat digambarkan karakteristik responden sebagai berikut : anggota kelompok tani hutan (KTH) mayoritas berumur 20 – 60 tahun
(90,7 %). Tingkat pendidikan petani sangat rendah, rata-rata tidak
lulus sekolah dasar. Responden terbanyak tidak lulus SD (53,7%), lulus sekolah dasar (33,3%). Berdasarkan jenis kelamin, petani laki-laki (87%), petani wanita (13%).
Pendidikan
1.9 11.1 33.3
53.7
Tdk lulus SD SD SMP SMA
Gambar 2 Tingkat pendidikan responden
Tingkat pendidikan yang rendah akan berkaitan dengan sumber daya manusia pelaku PHBM di lapangan. Tingkat pendidikan yang rendah berpengaruh terhadap bentuk parisipasi dalam program yang cenderung menjadi pengikut dan mempunyai daya tawar yang rendah. Anggota kelompok tani masih belum menyadari posisinya sebagai mitra dengan Perhutani. Pekerjaan responden dikelompokkan menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan sambilan, karena dalam kehidupan sehari-hari banyak penggarap yang tidak hanya melakukan satu jenis pekerjaan saja, tetapi mengerjakan pekerjaan lain yang berbeda dengan pekerjaan utama. Misalnya mereka bertani pada musim hujan, tetapi pada saat kemarau mereka berjualan makanan di Jakarta. Mayoritas penggarap pekerjaan utamanya adalah petani (59,3%) dan pedagang (20,4%). Sedangkan untuk pekerjaan sambilan, mayoritas petani (44,4%), disusul pedagang (18,5%), dan pekerjaan lain-lain (33,3%). Dengan mayoritas penduduk sebagai petani maka kebutuhan masyarakat terhadap
67
terhadap sumberdaya lahan sangat penting. Untuk itu kemudahan untuk mengakses terhadap sumber day hutan sangat diharapkan masyarakat. Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan (%) Pekerjaan Petani Pedagang Bangunan Karyawan Sopir Lain-lain Total
Utama 59,3 20,4 3,7 5,6 1,9 9,3 100
sambilan 44,4 18,5 1,9 1,9 33,3 100
6.2 Keterbatsan Sumber Daya Lahan Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar desa sekitar hutan termasuk desa tertinggal. Perhatian terhadap peningkatan kemakmuran masyarakat
sekitar hutan tidak hanya sekedar bantuan yang bersifat belas
kasihan saja, tetapi diharapkan mampu mendorong peningkatan kesejahteraan menuju kemandirian. Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan penghasilan ( % ) Penghasilan per bulan
Pendapatan per 2 thn dari PHBM
< 500.000
501 – 750
751 – 1 jt
77,8
18,5
1,9
1 jt
1,9
< 500
500000750.000
>750.000
95,7
4,3
0
Berdasarkan penghasilan responden setiap bulan, kebanyakan petani dalam kategori miskin karena penghasilan rata-rata per bulan < Rp 500.000 sebanyak (77,8%), yang mempunya penghasilan antara Rp 501.000– Rp 750.000 (18,5%), dan hanya (1,9%) yang penghasilannya di atas satu juta rupiah. Penghasilan tambahan dari PHBM yang diterima petani mayoritas di bawah Rp 500.000 setiap dilakukan penjarangan.
68
Lahan Milik 1.89 5.66 35.85
< 0,25 ha 0,25 – 0,5 ha 0,51 – 1 ha 56.6
>1 ha
Gambar 3 , Distribusi Lahan Milik Rakyat
Berdasarkan luas lahan yang dimiliki, kebanyakan petani memiliki lahan di bawah 0,5 hektar; kemudian penggarap yang memiliki lahan di bawah 0,25 hektar sebanyak (35,85%), yang memiliki lahan antara 0,25 sampai 0,5 hektar (56,6%), dan hanya (1,89%) yang memiliki lahan di atas satu hektar. Lahan garapan yang dikelola dalam program PHBM, rata-rata juga sempit. Luas lahan garapan di bawah 0,25 hektar sebanyak (30,2%), antara 0,25 sampai 0,5 hektar (49,05%), dan hanya (3,77%) yang memiliki lahan di atas satu hektar. Besarnya penghasilan responden berhubungan erat dengan tingkat pendidikan, pekerjaan utama, pekerjaan sambilan, luas lahan milik
dan luas
lahan garapan. Berdasarkan tabulasi silang dan uji chi square antara penghasilan per bulan dengan tingkat pendidikan, pekerjaan utama, pekerjaan sambilan, luas lahan milik dan luas lahan garapan, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 14 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan penghasilan petani Variable Value
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided)
69
Pendidikan Pekerjaan utama Lahan milik Pekerjaan sambilan Lahan garapan
67.417 29.840 59.453 6.622
9 15 9 9
0.000 0.013 0.000 0.676
8.926
9
0.444
+++ +++ +++
Peubah yang berhubungan secara signifikan dengan penghasilan responden pada tingkat kepercayaan 95% (ditunjukkan dengan nilai ‘Asymp. Sig. (2-sided)’ kurang dari 0.05) adalah tingkat pendidikan, pekerjaan utama responden dan luas lahan yang dimiliki oleh responden tersebut. Sedangkan hubungan penghasilan per bulan dengan pekerjaan sambilan dan lahan garapan tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Luas lahan milik berhubungan langsung dengan pendapatan semakin luas semakin besar pendapatan, demikian juga dengan pendidikan semakin tinggi pendidikan semakin besar peluang mendapatkan pengahasilan yang baik. Tabulasi
silang
juga
dilakukan
untuk
melihat
hubungan
antara
pendapatan tambahan dari PHBM dengan peubah lainnya. Berdasarkan uji chi square didapatkan hasil pada Tabel 15. Berdasarkan hasil Tabel 15 di bawah, peubah yang secara signifikan berhubungan dengan penghasilan tambahan dari PHBM pada tingkat kepercayaan 95% hanyalah peubah lahan garapan.
Tabel 15 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan penghasilan tambahan Variable Pendidikan Pekerjaan utama Lahan milik Pekerjaan sambilan Lahan garapan Lama ikut PHBM
Value 0.427 3.638 0.403 0.357 13.367 0.495
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided) 3 0.935 5 0.603 3 0.940 3 0.949 3 0.004 +++ 3 0.920
Berdasarkan data di atas, lalu muncul sebuah pertanyaan: Apakah PHBM menguntungkan atau tidak bagi responden. Dengan menghubungkan peubah ini dengan peningkatan penghasilan dan bertambahnya penghasilan, didapatkan hasil pada Tabel 16. Tabel
16
Hasil uji peubah yang berhubungan dengan keuntungan
responden
70
Variable Pendapatan meningkat Penghasilan bertambah
Value 12.894
Pearson chi square Asymp. Sig. (2-sided) Df 2 0.002 +++
15.451
2
0.000
+++
Berdasarkan hasil pada tabel 18 dapat dikatakan bahwa menguntungkan atau tidaknya PHBM secara signifikan memiliki hubungan pada tingkat kepercayaan 95% dengan pendapatan meningkat dan penambahan penghasilan. Hasil tabulasi silang dan uji chi square antara penyerapan tenaga kerja dan usaha produktif menunjukkan bahwa keduanya memilki hubungan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95%, sebagaimana terlihat dalam tanel 17 berikut:
Tabel 17 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan tenaga kerja Variable Penyerapan tenaga kerja Frekuensi kayu bakar
Value 18.143 12.114
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided) 4 0.001 +++ 6
0.059 +++
Tabulasi silang dan uji chi squre antara frekuensi pengambilan kayu bakar dan tambahan penghasilan yang diperoleh menunjukkan hubungan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 90% saja. Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 18 berikut:
Table 18 Hasil uji hubungan peubah frekuensi kayu bakar dengan penghasilan Variable
Pearson chi square Value Df Asymp. Sig. (2-sided) Frekuensi kayu bakar 12.114 6 0.059 +++ 6.3 Berkurangnya Kebakaran Hutan dan Pencurian Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan sangat berpengaruh terhadap kelestarian hutan dan menetukan keberhasilan pengelolaan hutan yang baik. Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian hutan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Masyarakat desa hutan sejak zaman kolonial Belanda sampai sekarang, belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah bahkan pengabaian
71
terhadap perikehidupan masyarakat desa hutan terus terjadi. Baru,
pemerintahan
lebih
mengutamakan
membangun
Semasa Orde sentra-sentra
pertumbuhan di pusat-pusat kota dan daerah-daerah satelit yang berada disekitarnya. Akibatnya, pembangunan tumbuh tidak merata dan desa hutan yang secara geografis berada jauh dari pusat pertumbuhan diabaikan. Ketika otonomi daerah mulai dilaksanakan, daerah yang memiliki APBD kecil berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar-besarnya dan menekan pengeluaran sekecil-kecilnya, sehingga permasalahan sosial dan pelayanan masyarakat kurang diperhatikan. Desa hutan yang secara sosial ekonomi membutuhkan perhatian yang besar untuk mengejar ketertinggalannya juga tidak diperhatikan. Di Jawa dan Madura, jumlah desa hutan lebih dari 6.000 desa, sebagian besar terdapat di sepanjang batas hutan negara yang dikelola oleh Perhutani. Menurut data Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), besarnya persentase keluarga miskin yang tinggal di desa hutan lebih dari dua kali persentase keluarga miskin di Indonesia. Jumlah desa hutan ada 18.784 desa atau 26,6% dari jumlah seluruh desa di Indonesia, atau sebesar 58% dari desa tertinggal yang ada, yakni 32.379 desa. Terdapat korelasi yang kuat antara persentase jumlah desa hutan di suatu daerah dengan besaran angka kemiskinan dan nilai Indek Pembangunan Manusia (IPM). Hal tersebut menunjukan bahwa desa hutan telah sejak lama menjadi
kantong-kantong
kemiskinan.
Namun
kenyataannya,
upaya
pengentasan kemiskinan yang tengah diupayakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, seringkali tidak menyentuh komunitas masyarakat desa di sekitar hutan. Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara holistik, belum dipandang sebagai sebuah bagian tidak terpisahkan dari pembangunan wilayah oleh banyak pemerintah daerah. Masyarakat desa hutan cenderung dipandang sebagai bagian dari program kehutanan sehingga dianggap urusan Kementerian Kehutanan dan pengelola hutan negara. Proses pemberdayaan masyarakat desa hutan, dipandang sebagai tugas dan tanggung jawab Perhutani. Sementara Perum Perhutani dan komunitas kehutanan memandang bahwa desa hutan dan masyarakatnya tidak ada bedanya dengan desa-desa lainnya yakni merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
72
Perhutani sebagai perusahaan yang harus menghasilkan keuntungan harus diberikan beban untuk ikut memperhatikan desa hutan. Inisiatif dan prakarsa pemberdayaan masyarakat berasal dari Perhutani sehingga wajar jika terjadi bias dengan kepentingan Perhutani. Fokus utama program adalah untuk mengamankan hutan. Permasalahan penting yang krusial untuk diatasi dalam pengelolaan hutan
adalah masalah pencurian dan kebakaran hutan. Salah satu langkah
preventif yang dilakukan untuk menangani kebakaran dan pencurian adalah diadakannya giliran jaga dari para petani penggarap. Kejadian kebakaran hutan dicoba dihubungkan dengan giliran jaga. Berdasarkan uji chi square didapatkan hasil sebagai berikut : Table 19 hubungan antara kebakaran dan giliran jaga Variable Giliran jaga Giliran jaga
Value 11.019 8.721
Pearson chi square Asymp. Sig. (2-sided) Df 8 0.088 6 0.190
Dari hasil di atas dapat dikatakan bahwa hubungan kebakaran hutan dan giliran jaga signifikan pada tingkat kepercayaan 90%. Untuk melihat apakah pencurian kayu hutan signifikan dengan giliran jaga
berhubungan secara
diuji dengan menggunakan uji chi square
sebagaimana terlihat pada Tabel 20 berikut:
Tabel 20 Hasil uji hubungan giliran jaga dengan pencurian kayu. Variable
Giliran jaga
Pearson chi square Value
Df
Asymp. Sig. (2-sided)
8.721
6
0.190
Dari hasil uji pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa hubungan antara pencurian kayu dengan giliran jaga tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95% atau 90%.
6.4 Berkurangnya Sumber Mata Air setelah Penanaman Akasia
73
Pengelolaan hutan secara berkelanjutan mempunyai arti menciptakan kondisi sumberdaya hutan yang keberadaannya terjamin secara mantap dan berfungsi optimal secara terus menerus. Untuk mewujudkannya diperlukan tingkat produktivitas dan kualitas hutan yang tinggi, tingkat erosi yang minimal, debit air sungai yang relatif stabil, terpeliharanya keanekaragaman jenis hayati dan lingkungan, serta kondisi biofisik lingkungan yang baik. Hutan tropis Indonesia memiliki peran strategis untuk kehidupan ekologis di bumi. Dengan luas kawasan hutan nomor tiga setelah Brasil dan Zaire, hutan tropis Indonesia merupakan paru-paru dunia yang berpengaruh terhadap gejala pemanasan global. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, sedikitnya 12 juta hektar kawasan hutan di Indonesia dalam kondisi terlantar. Hutan primer hanya tersisa 43 juta hektar.
Deforestry saat ini mencapai 1,1
juta hektar per tahun, sedangkan pada masa orde baru mencapai 3 juta hektar per tahun. Hutan di Indonesia yang semula meliputi 70 persen dari seluruh permukaan daratan, atau sekitar 130 juta hektar, secara sistematis mengalami deforestrasi, bahkan 42 juta hektar sudah nyaris tanpa vegetasi. Degradasi sumberdaya hutan yang sudah melampaui batas tidak menguntungkan bagi kepentingan ekologi atau lingkungan. Eksploitasi dan eksplorasi hutan yang berlebihan dan melampuai batas daya dukung lingkungan, hanya akan menghasilkan nilai ekonomi yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya pemulihan. Memang hutan termasuk sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dengan penghijauan, tetapi dalam pelaksanaannya rehabilitasi tidak mudah dilaksanakan. Pemanfaatan hutan dengan alasan kepentingan ekonomi harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, dan aspek sosial budaya masyarakat sekitar hutan. Kondisi kawasan hutan di BKPH Parung Panjang sekarang ini berbeda jauh dengan kondisi hutan sebelumnya. Pada era orde lama hutan sangat bagus dengan jenis tegakan puspa, mahoni, tambesu. Mata air banyak ditemukan di sekitar hutan, sumber mata air tetap ada meski sudah kemarau lebih dari tiga bulan. Banyak rumput untuk pakan ternak, dan jamur merah (kunir). Fauna juga beragam: babi hutan, kelinci, ayam hutan, berbagai burung, ular, dan banyak ikan . Ketika jenis tanaman diganti dengan accacia mangium , biodiversitas flora dan fauna menurun. Sekarang sumber air setelah kemarau satu bulan sudah kering, tetapi ketika musim hujan air meluber-luber.
74
Saat ini tanaman acasia merupakan andalan untuk produksi kayu dari BKPH Parung Panjang. Produksi pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 21 berikut : Tabel 21 produksi tebangan tahun 2009 Parung Panjang (m3) Jenis tebangan A.2 B.1 E Jumlah
Produksi 2.130,47 3.926,66 375,95 6.433,08
(Sumber : Perhutani BKPH Parung Panjang 2009)
Hubungan antara peubah lingkungan dengan peubah lainnya dilakukan uji chi square pada Tabel 22. Tabel 22 Hasil uji hubungan peubah yang berkaitan dengan lingkungan Variable Sarana prasarana Tingkat kebakaran Peningkatan reboisasi Pengurangan pencurian Ketersediaan air
Dari hasil tersebut
Value 11.487 17.430 12.743 5.023 1.396
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided) 2 0.003 +++ 4 0.002 +++ 2 0.002 +++ 4 0.285 2 0.497
terlihat bahwa kondisi hutan berhubungan secara
signifikan dengan sarana prasarana, tingkat kebakaran dan peningkatan reboisasi pada tingkat kepercayaan 95%. Variabel-variabel lain seperti pengurangan pencurian dan ketersediaan air tidak berhubungan secara signifikan.
6.5 Ikhtisar Sebagian besar desa sekitar hutan termasuk desa tertinggal. Tingkat pendidikan petani sangat rendah, tidak lulus SD (53,7%), lulus sekolah dasar (33,3%). Penghasilan petani rata-rata per bulan < Rp 500.000 sebanyak (77,8%), Rp 501.000– Rp 750.000 (18,5%). Penghasilan tambahan dari PHBM bawah Rp 500.000 setiap dilakukan penjarangan. Mayoritas petani memiliki lahan di bawah 0,5 hektar sebanyak (92,45%).Luas lahan garapan dari PHBM juga sempit < 0,25 hektar (30,2%), antara 0,25 sampai 0,5 hektar (49,05%). Mayoritas penggarap adalah petani (59,3%) dan pedagang (20,4%).
75
Peubah yang berhubungan secara signifikan dengan penghasilan responden adalah tingkat pendidikan, pekerjaan utama responden dan luas lahan milik. Peubah yang secara signifikan berhubungan dengan penghasilan tambahan dari PHBM hanyalah peubah lahan garapan. Peubah penyerapan tenaga kerja dan usaha produktif menunjukkan hubungan yang signifikan. Desa hutan telah sejak lama menjadi kantong-kantong kemiskinan. Upaya pengentasan kemiskinan belum memperhatikan desa di sekitar hutan. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan PHBM adalah pencurian kayu dan kebakaran hutan. Langkah yang dilakukan untuk menangani kebakaran dan pencurian adalah diadakannya giliran jaga, Hubungan kebakaran hutan dengan giliran jaga signifikan tetapi hubungan antara pencurian kayu dengan giliran jaga tidak signifikan.
76
BAB VII DOMINASI PERHUTANI DALAM KEMITRAAN POLA PHBM
7.1 Petani Belum Menjadi Mitra Sejajar
Dalam pelaksanaan program PHBM di BKPH Parung Panjang pada praktiknya di lapangan masih terdapat ketidakseimbangan kedudukan. Pihak Perhutani masih mendominasi, karena merasa paling berhak dan paling bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan di kawasannya. Pelaksana lapangan dari Perhutani adalah para mandor. Mandor sebagai petugas Perhutani sudah terbiasa dengan pekerjaan memerintah dalam penanaman, pemeliharaan, dan penebangan belum bisa mengubah sepenuhnya sikapnya terhadap petani yang sekarang menjadi mitra kerja. Para mandor terlihat lebih bertindak sebagai pihak pemberi perintah dan merasa superior sehingga masyarakat masih dianggap pihak luar yang “numpang” mencari penghidupan di hutan. Hubungan antara mandor dan petani tidak selalu berlangsung dengan harmonis. Mandor
terlihat setengah hati atau seperti terpaksa dalam
mengembangkan program
PHBM. Mandor masih dominan, sementara
kebanyakan petani juga belum sadar akan kedudukannya sebagai mitra sejajar. Petani hanya masih sebagai pengikut dan objek program, belum menjadi subjek yang menentukan pelaksanaan program. Tingkat pendidikan petani yang mayoritas lulus SD atau tidak tamat SD merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya terjadi perubahan sikap kebanyakan petani penggrarap. Meskipun telah dilaksanakan PHBM, pola hubungan antara petani dengan Perhutani masih seperti mandor dan kuli. Petani terlihat menunggu perintah dan melaksanakan apa yang diperintahkan para mandor. Ketidakharmonisan
dalam
pelaksanaan
PHBM,
terlihat
adanya
perbedaan persepsi antara mandor dengan pengurus KTH/LMDH. Mandor menganggap penggarap tidak paham PHBM. Sebaliknya pengurus kelompok menganggap bahwa mandor bekerja semaunya sering melakukan kegiatan tanpa memberikan informasi kepada kelompok tani atau LMDH. Dalam pembagian lahan garapan
seringkali ditentukan sepihak oleh mandor.
Pembagian uang hasil penjarangan tidak jelas kapan akan dibagikan. Mandor dianggap mau menangnya sendiri, kalau petani bekerja sebagai kuli tanam akan
77
mendapatkan upah harian. Sebaliknya kalau petani menjadi penggarap tidak akan mendapatkan upah tanam padahal anggarannya untuk penanaman telah tersedia, kalau non-PHBM ada biaya tanam, tetapi kalau PHBM mengapa tidak ada biaya tanam. Kemitraan terjadi dengan cenderung asimetris. Salah satu bentuk indikasi ketidaksetaraan adalah konsep perjanjian kerja sama dibuat oleh Perhutani. Kelompok tani KTH/LMDH hanya membaca dan menyetujui konsep yang ada. Karena pembuat konsep perjanjian kerja sama adalah Perhutani, sangat terbuka adanya kepentingan-kepentingan dari Perhutani baik yang jelas terlihat maupun maksud tersembunyi di balik draft yang disusunnya. Sebenarnya petani sudah dilibatkan dalam
proses perencanaan,
pelaksanaan, maupun evaluasi kegiatan, tetapi pengambilan keputusan pada proses tersebut masih banyak ditentukan oleh Perhutani. Hubungan asimetris ini menempatkan petugas Perhutani lebih berperan, sedangkan petani berada pada posisi lemah lebih banyak berperan sebagai pelengkap kemitraan. Hal ini yang tidak jauh berbeda terjadi pada pola kemitraan pada perusahaan perkebunan (Fadjar, 2006). Hubungan kemitraan terjadi cenderung asimetris–eksploitatif. Bukan karena petani tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi kegiatan, tetapi pengambilan keputusan pada proses tersebut masih banyak ditentukan oleh perusahaan inti atau pihak lain (pemerintah) yang mempunyai kekuasaan lebih besar. Kedudukan petani dalam kemitraan pada pelaksanaan PHBM di beberapa desa tidak sama kondisinya. Semakin solid kelompok tani hutan atau LMDH semakin kuat posisi tawar petani. Hal ini tergantung juga pada kepemimpinan dan keberanian pengurus kelompok, semakin berani kelompok semakin diperhitungkan dalam penentuan dan pengambilan keputusan. Dari ketiga desa yang diteliti, LMDH yang berada di Desa Babakan yang paling aktif melakukan pembinaan terhadap petani penggarap dan lebih berani berpendapat jika berhadapan dengan pihak lain dalam praktik kemitraan. Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan sejak program tumpangsari sampai PHBM, sebenarnya belum mengalami perubahan filosofi yang berarti, belum menempatkan kedua pihak terkait, kehutanan dan petani pada kedudukan yang setara. (Sambas,2010). Sistem tumpangsari masih terlalu bias pada kepentingan kehutanan dan menomorduakan kepentingan petani. Sebagai contoh, adanya larangan bagi petani untuk menanam tanaman palawija tertentu
78
yang sesungguhnya menjadi andalan, serta pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari. Pihak
Perhutani
belum
menempatkan
kepentingan
petani
dan
perusahaan pada level yang sama, suatu hal yang berlawanan dengan prinsip kemitraan.
Dalam agroforestri yang sesungguhnya dipraktikkan petani
seharusnya sebagai manager lapangan yang sesungguhnya. Petani yang telah lama mempraktikkan usaha taninya secara terpadu. Petani telah terbiasa dihadapkan pada suatu kondisi yang mengharuskan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang tahun, dengan sekaligus memelihara hutan yang lestari (Sambas, 2010 ) Kaswinto stakeholder
(1999) mengemukakan
merupakan
sebuah
kunci
bahwa
prinsip
keberhasilan
kesetaraan
dalam
bagi
membangun
kemitraan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Iswantoro (1999), bahwa prinsip , dasar kemitraan adalah saling percaya, kesamaan kepentingan dan tujuan, kesamaan pandangan tentang cara-cara pencapaian tujuan tersebut, pembagian tanggungjawab yang jelas, pembagian hak yang jelas dan pembagian ongkos dan keuntungan yang adil berdasar kesepakatan bersama. Suksesnya kemitraan ini secara umum ditentukan oleh prinsip keadilan, tanggung jawab, transparan, mekanisme institusi serta adanya keuntungan ekonomi dan finansial bagi semua stakeholder yang terlibat dalam kemitraan (Ichwandi dan Saleh, 2000). Model PHBM berkelanjutan harus dimulai dengan diskusi dan dialog di tingkat desa dengan berbagai stakeholders. Penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan diawali dengan peningkatan sumberdaya manusia pada setiap kegiatan PHBM, serta pengembangan ekonomi kerakyatan untuk meningkatan partisipasi masyarakat. Pemantauan dan evaluasi harus diselenggarakan setiap tahun yang dilakukan oleh Forum Komunikasi PHBM yang anggotanya mempunyai kewenangan dan kemampuan serta kesempatan yang cukup untuk menjalankan tugasnya untuk mengevaluasi dampak PHBM terhadap masyarakat dan lingkungannya. Sistem
kemitraan
seharusnya
melibatkan
pelbagai
pihak
yang
berkepentingan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Proses kemitraan multipihak merupakan proses yang menawarkan mekanisme kerja baru yang mengenalkan pemahaman tentang para pihak dan mendorong para pihak untuk lebih menghargai pihak lain. Praktek-praktek multipihak melibatkan pihak
79
pemerintah daerah, pemerintahan lokal, pengusaha, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan aktivis LSM. Pendekatan multipihak, ditawarkan dengan maksud agar perubahan-perubahan itu menuju ke arah yang diharapkan, dengan cara yang dapat diterima oleh para-pihak. Para-pihak belajar memahami aspirasi sendiri maupun pihak lain. Kemudian menguji aspirasi itu dalam proses negosiasi yang saling-menghormati (Yuliani & Tadjudin , 2006). Proses kemitraan multipihak diharapkan dapat menemukan model pendayagunaan sumberdaya yang sangat spesifik lokal. Sebuah model yang mampu mengakomodasikan kepentingan ekonomi para pihak, dengan tetap memelihara kelestariannya. Aliran manfaat sumber daya juga terdistribusi secara lebih berkeadilan. Pihak-pihak yang selama ini terpinggirkan, seperti kelompok petani tanpa lahan didorong agar dapat bersuara dan memperoleh akses sumberdaya. Dengan proses multipihak akan tumbuh suatu nilai baru: tidak ada satu pihak yang bersikukuh untuk mempertahankan kepentingan dan posisinya secara apriori. Pemerintah dan Perhutani yang berperan sebagai pembuat kebijakan, mau tidak mau harus bersedia duduk bersama untuk mengakomodasi harapan pihak lain, terutama kelompok masyarakat yang selama ini ditempatkan sebagai objek atau pelaksana kebijakan. LSM yang semula berperan sebagai lembaga advokasi yang berpihak ke masyarakat dan melawan pemerintah, mesti belajar berubah menjadi fasilitator yang netral dan tidak berpihak, bahkan bekerjasama dengan pemerintah. Perubahan kondisi bisa diprakarsai dari pihak mana saja, atas inisiatif sendiri atau didorong oleh pihak lain. Pemicu perubahan bisa bersumber pada perubahan kelimpahan sumberdaya, motif individu, tata nilai, aturan main, struktur organisasi, dan mekanisme kerja. Mencermati penerapan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH Bogor dapat ditarik pelajaran bahwa dominasi dari Perhutani terhadap masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan hutan berdampak pada tidak terwadahinya kreativitas, inisiatif rakyat untuk berkiprah dalam PHBM. Dengan model yang sama di setiap wilayah telah terjadi pemaksaan sistem pengelolaan hutan padahal kondisi sosial, ekonomi, ekologi dan kebutuhan masyarakat berbeda dalam setiap kawasan. Hal yang sama ditemukan juga dalam penelitian Kusdamayanti (2008) dalam porgram PKPH di Kabupaten Malang. Dalam proses formulasi kebijakan
80
PKPH ini terlihat peran negara yang sangat dominan yang diwakili oleh Perhutani KPH Malang dan Dinas Kehutanan Kabupaten Malang. sebagai representasi negara menganggap bahwa kewenangan pengambilan keputusan tentang pengelolaan sumberdaya hutan hanya menjadi kewenangan negara.
Peran
masyarakat dalam pengambilan keputusan tidak ada, dan hanya dilibatkan pada tahapan pencarian alternatif kebijakan. Dominasi negara (Pemerintah Daerah) telah
mengurangi
hak
yang
seharusnya
didapatkan
oleh
masyarakat.
Pengurangan hak bagi hasil bagi masyarakat dalam PKPH yang semula 25% proporsi yang diterima masyarakat justru semakin menurun menjadi 20% karena pemerintah daerah merasa berhak mendapat bagi hasil karena telah membina.
Dominasi negara dalam proses formulasi kebijakan PKPH ini terwujud dalam dua hal yaitu: 1).Pengabaian masyarakat desa hutan dan LSM secara sengaja dalam penyusunan MoU yang menjadi dasar kebijakan PKPH di Kabupaten Malang 2) Diambilnya hak masyarakat dalam proporsi bagi hasil sebesar 5% oleh pemerintah daerah. Jika penguasaan dan pemanfaatan hutan masih dipandang sebagai kewenangan negara, maka negara akan memberi ruang yang terbatas bagi partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. Pengabaian secara sengaja terhadap partisipan yang lemah (masyarakat) yang kuat (negara),
oleh partisipan
menyebabkan proses formulasi kebijakan tidak
demokratis dan menghasilkan kebijakan yang tidak berkeadilan ( Kusdamayanti 2008). 7.2 Ketidaksetaraan Kedudukan dalam Perjanjian Kerja Sama Teks merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas. Fairclough (1995) melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal
teks
dan
tatanan
wacana.
Fungsi
representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks. Wacana bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam
konteks
publik
adalah
wacana
yang
diorganisasi
ulang
dan
81
dikontekstualisasikan agar sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat dan dari perspektif sudut pandang macam apa. Wacana membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi. Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana itu sendiri (Fiske, 1988). Hal ini bisa dijelaskan, ketika kita membaca teks, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Teks tersebut harus ditempatkan dalam identifikasi kultural di mana konteks tersebut berada. Isi teks perlu dimasukkan ke dalam peta makna. Identifikasi sosial, kategorisasi, dan kontekstualisasi dari peristiwa adalah proses penting di mana peristiwa itu dibuat bermakna bagi khalayak. Sebagian besar tindakan manusia dilakukan lewat dan dipengaruhi oleh penggunaan dan artikulasi kebahasaan. Bahasa menempati posisi penting dalam telaah politik. Pemahaman lewat wacana bahasa (language discourse) semakin dianggap penting setelah munculnya posmodernisme dan pascastrukturalisme dalam kajian filsafat dan epistimologi modern. Bahasa di dalam dirinya tampil sebagai representasi dari pagelaran berbagai macam kekuatan. Bahasa merupakan salah satu ruang tempat berbagai kepentingan, kekuatan, proses hegemoni terjadi (Hikam, 1996). Dari telaah teks terhadap perjanjian kerja sama yang disepakati menunjukkan adanya ketidaksetaraan kedudukan antara kelompok tani dengan Perhutani. Diberikannya sanksi-sanksi yang menekan diberlakukan kepada petani merupakan indikasi adanya hubungan asimetris. Faktor keamanan hutan juga lebih banyak dibebankan pada pihak petani. Jika pada waktu pemungutan produksi produksi tidak memenuhi target akibat pencurian pada suatu petak, maka kehilangan pohon tersebut dibebankan pada bagian bagi hasil yang di terima petani. Yang lebih fatal lagi jika anggota kelompok tani ada yang mencuri, maka secara otomatis anggota tersebut akan hilang segala haknya dan di keluarkan dari
ke
anggotaan LMDH.
Padahal pencurian kayu dalam
kenyataannya tidak hanya dilakukan oleh para petani saja, tetapi terkadang juga
82
melibatkan petugas perhutani. Jika ada anggota KTH terlibat dalam gangguan keamanan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku pada peraturan Perum Perhutani. Selain tidak mendapatkan bagian dalam bagi hasil , petani juga bisa terkena sanksi pidana. Isi dari naskah perjanjian kerja sama antara Perhutani dengan ketua KTH/ LMDH diawali dengan kerjasama melalui perjanjian kerja sama PHBM yang disepakati oleh para pihak. Isi perjanjian tersebut terdiri dari 16 pasal. Bentuk kerja sama adalah adanya kesepakatan untuk membuat dan melaksanakan usaha bersama dalam mengelola hutan di lokasi petak pangkuan desa yang terletak di BKPH Parung Panjang dengan pola PHBM (pasal 3). Objek perjanjian adalah kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Bogor, BKPH Parung Panjang dengan luasan tertentu. Lahan yang akan digunakan berstatus sebagai kawasan hutan negara yang tetap di bawah penguasaan Departemen Kehutanan yang pengelolaanya dilimpahkan pada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten cq KPH Bogor, BKPH Parungpanjang Pengelolaan hutan bersama meliputi kegiatan pelestarian fungsi hutan meliputi : 1). perencanaan
2). penanaman 3). peme-liharaan
4)
penjarangan 5). Pengamanan dan 6). Pemanenan Salah satu hal yang menunjukkan adanya ketidaksetaraan kedudukan antara kelompok tani dengan Perhutani adalah adanya sanksi-sanksi yang begitu memberatkan pihak petani. Keamanan hutan lebih banyak dibebankan pada pihak petani. Sebagaimana pernyataan “ Apabila pada waktu pemungutan produksi jumlah tegakan yang ditebang terjadi pengurangan sehingga jumlah pohon tidak normal sesuai tabel tegakan tinggal sebagai akibat pencurian pada suatu petak/petak anak, maka kehilangan pohon tersebut dibebankan pada bagian bagi hasil yang diterima pihak petani yang besarnya sebagaimana tabel tegakan tinggal.” Keamanan hutan dengan demikian menjadi tanggung jawab petani, termasuk jika terjadi pencurian sebagian pohon akan menjadi beban dan dikonversi berapa kehilangan pencurian yang akan dihitung sejumlah pohon yang hilang. Yang lebih fatal lagi jika dalam kelompok tani terdapat anggota yang mencuri, maka secara otomatis hilang segala haknya dan dikeluarkan dari keanggotaan LMDH. Pencurian dalam kenyataannya tidak hanya dilakukan oleh para petani saja, tetapi terkadang juga melibatkan petugas perhutani. Jika ada anggota
83
Perhutani
terlibat dalam gangguan keamanan dikenakan
sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku pada peraturan Perum Perhutani. Selain tidak mendapatkan bagian dalam bagi hasil pihak kedua juga bisa kena sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila terjadi pemindah tanganan hak, maka dengan sendirinya segala
hak
yang dimiliki dalam
perjanjian ini batal/gugur demi hukum. Penyelesaian setiap perselisihan yang timbul akan diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat melaluai perundingan para pihak. Apabila kesepakatan tidak tercapai, maka perselisihan diselesaikan melalui Forum Komunikasi Pengelolaan Hutan
Bersama Masarakat (FK-PBHM).
Apabila
penyelesaian secara muyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka para pihak sepakat untuk menyelesai kan melalui jalur hukum. Dalam pelaksanaan PHBM selain menghasilkan kayu dan hasil hutan nonkayu (termasuk kepentingan Perhutani) dari lahan PHBM juga diharapkan dapat dihasilkan produk pertanian seperti tanaman pangan. Bagi hasil dari jenis kayu lain mengacu pada rumus sebagai mana ketentuan pasal
7 ayat 6. Bagi
hasil pada pemanfaatan benih / biji Acacia magnium dan mahoni akan dibayar oleh Pihak Pertama, dengan membayar biaya pengunduhan yang di tentukan. Mekanisme bagi hasil : kayu bakar yang menjadi hak pihak kedua dari tebangan
penjarangan
dan tebangan habis diserahkan oleh pihak pertama
kepada pihak kedua di lokasi tebangan (TP) dengan Berita Acara yang di tanda tangani oleh kedua pihak. Hasil produksi kayu yang menjadi hak pihak kedua baik yang berasal dari tebangan penjarangan maupun tebang habis ditetapkan setelah seluruh hasil tersebut diterima di tempat penimbunan kayu (TKP) dan dibuatkan Berita Acara yang
ditanda tangani oleh kedua pihak sebagaimana diatur pasal 7
ayat 3. Penyerahan bagian nilai hasil produksi pihak kedua dilakukan
bila
kegiatan produksi pada petak/anak petak yang bersangkutan sudah selesai dan seluruh hasil sudah diterima di Tempat Penimbunan Kayu (TKP) yang dihitung berdasarkan harga jual dasar (HJD) kemudian dikurangi biaya manajemen ( biaya persiapan, pemanenan, angkutan, pengaplingan di TKP). Jangka waktu perjanjian berlaku dilakukan selama daur tebangan habis terhitung sejak ditandatangani perjanjian ini dan akan ditinjau kembali secara periodik setiap 2 (dua) tahun. Perjanjian ini akan di evaluasi setiap 1 (satu) tahun
84
dan apabila satu pihak melanggar kesepakatan ini,maka dapat dikenakan sanksi sesuai pasal 13 perjanjian ini. Jika jangka waktu tersebut berakhir,
dapat
diadakan perjanjian kembali sesuai dengan kesepakatan antara kedua pihak. Sanksi-sanki yang diterapkan dalam perjanjian kerja sama : 1. Tanaman:
Apabila proses tumbuhan tanaman kehutanan di bawah 90%
sampai dengan tahun ke III, maka pihak pertama dan pihak kedua berkewajiban untuk bersama-sama nelakukan penyulaman dengan ketentuan bahwa bibit disediakan oleh pihak pertama. 2. Keamanan hutan : a. Apabila pada waktu pemungutan produksi jumlah tegakan yang di tebang terjadi pengurangan sehingga jumlah pohon tidak normal susai tabel tegakan tinggal
sebagai akibat pencurian pada suatu petak/petak anak, maka
kehilangan
pohon tersebut dibebankan pada bagian
bagi
hasil
yang
diterima pihak kedua yang besarnya sebagai mana tabel tegakan tinggal. b. Apabila terdapat anggota pihak kedua terlibat dalam gangguan keamanan hutan, maka secara otomatis hilang segala haknya dan dikeluarkan dari keanggotaan LMDH. c. Apabila ada anggota pihak pertama terlibat dalam gangguan keamanan diberi sanksi sesuai ketentuan yang berlaku pada peraturan Perum Perhutani. d. Pelaku tindak pidana sebagaimana ayat 2 pasal ini dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Apabila terjadi pemindahtanganan hak, maka dengan sendirinya segala hak yang dimiliki dalam perjanjian ini batal/gugur demi hukum.
7.3 Sistem Bagi Hasil Antara Perhutani dan Masyarakat Salah satu hal yang menarik dalam PHBM adalah adanya bagi hasil bagi petani baik dari hasil kayu dan nonkayu. Bagi hasil ini ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi serta manfaat sumberdaya hutan. Nilai dan proporsi bagi hasil itu ditetapkan sesuai dengan nilai dan proporsi masukan faktor-faktor produksi yang dikontribusikan oleh masing-masing pihak (Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya). Sistem bagi hasil yang digunakan di BKPH Parung Panjang untuk jenis pohon Acasia mangium dengan daur 8 - 10 tahun, mengacu peraturan yang sudah ada. Berlandaskan SK Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor
85
136/KPTS/DIR/2001 dan SK Direksi Perum Perhutani Nomor 01/KPTS/DIR/2002, sistem bagi hasil PHBM adalah dengan sistem penjarangan/tebangan E dan tebang habis (tebangan A / tebangan B) dengan ketentuan sebagaimana Tabel 23. Ketentuan dalam berbagi hasil produksi: hasil dari penjarangan pertama pada umur 3 tahun untuk tanaman jenis akasia, kayu bakar dan kayu perkakas 100% milik petani dengan ketentuan. Jika penjarangan pertama dilakukan pada umur lebih dari 3 tahun untuk kayu bakar 100 % milik petani, sedangkan untuk kayu perkakas bagi hasilnya diatur sesuai dengan rumus yang berlaku. Bagi hasil dari penjarangan lanjutan yang berupa kayu perkakas diberikan dalam bentuk uang tunai setelah harga di TKP, dikurangi dengan biaya eksploitasi. Pemanfaatan bagian dari pihak petani akan diatur berdasarkan kesepakatan anggota kelompok sesuai dengan AD/ART yang disepakati. Proporsi masing-masing pihak dalam sistem bagi hasil yang diterapkan dapat dilihat pada Tabel 23 berikut: Tabel 23 Proporsi dalam Sistem Bagi Hasil PHBM Jenis Tebangan
Umur (tahun}
Ketentuan Bagi Hasil (%) Perhutani Masyarakat Desa Pemda
Tumpang Sari Penjarangan 3 I Penjarangan 5 75 II Penjarangan 7 75 III Tebang 8 -10 80 Habis (Sumber : Perum Perhutani ,2006)
90
10
-
Lain lain -
90
10
-
-
20
5
-
-
20
5
-
-
15
5
-
-
Rumus bagi hasil penjarangan kecuali penjarangan pertama ditentukan dengan rumus sebagai berikut: P = ( U – Ut ) x 25% U
86
Keterangan: P = Proposi hak Masyarakat Desa hutan, U = Umur tanaman Ut =Umur tanaman saat dilakukan perjanjian kerjasama 25% = Bagi hasil Tertinggi. Mekanisme bagi hasil produksi kayu yang menjadi hak yang
berasal
petani baik
dari tebangan penjarangan maupun tebang habis ditetapkan
setelah seluruh hasil tersebut diterima di TKP dan dibuatkan Berita Acara yang ditanda tangani kedua pihak. Penyerahan bagian nilai hasil produksi bagi petani dilakukan bila kegiatan sudah selesai berdasarkan
dan
produksi pada petak/anak petak yang bersangkutan seluruh
hasil sudah diterima di TKP yang dihitung
harga jual dasar (HJD) kemudian dikurangi biaya manajemen
(biaya persiapan, pemanenan, angkutan, pengaplingan di TKP). Bagi hasil yang diberikan kepada petani mulai dihitung sejak adanya penandatanganan kerja sama dalam PHBM. Jika pada saat kerja sama ditandatangi, sudah ada pohon yang berumur beberapa tahun, bagi hasil yang diperoleh petani tidak akan mendapat proporsi maksimal sebesar 25 persen. Proporsi 25 persen akan diperoleh petani jika kerja sama itu diterapkan sejak penanaman, pemeliharaan, sampai tebang habis. Sebagai misal di wilayah BKPH Parung Panjang pada tahun 2008 dilakukan tebang habis termasuk di tiga desa contoh yaitu Ciomas, Babakan, dan Tapos. Sharing yang diperoleh petani di bawah 10 persen, karena tanaman acasia yang ditebang sudah ada sebelum kerja sama dilaksanakan. Tabel 24, Sharing Kayu BKPH Parung Panjang tahun 2008 Desa
Jumlah Pengeluaran (Rp.) 62.775.304
Pendapatan bersih (Rp.) 79.606.431
Perhutani (Rp.)
LMDH (Rp.)
Persen sharing
Ciomas
Jumlah pendapatan (Rp.) 142.381.735
74.822.178
4.784.253
6,4
Babakan
48.925.062
26.082.778
22.842.284
20.821.846
2.020.438
9,7
Tapos
262.461.168
115.424.246
147.036.922
138.204.217
8.832.705
6,4
(Sumber : Perhutani BKPH Parung Panjang,2009) Uang yang diperoleh petani dari PHBM ternyata kecil kurang dari Rp 500.000 selama dua tahun sebagaimana terlihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Pendapatan petani dari PHBM
87
No
Lama ikut PHBM
< Rp 500.000
Rp 501.000 – Rp 750.000
Total
1
Kurang 1 tahun
1
0
1
2
1 – 2 tahun
1
0
1
3
3 – 4 tahun
7
0
7
4
Lebih 5 tahun
36
2
38
45
2
47
Total
Sebagai pembanding antara lain hutan rakyat (Lestari 2011) tanaman sengon dengan sistem kemitraan oleh PT BKL Group, PT BKL Group dan Perhutani
berfungsi
sebagai
penanam
modal,
sedangkan
pengelolaan
sepenuhnya diserahkan kepada petani. Perhutani , dan masyarakat dengan tiga pola, yaitu : 1. Kemitraan antara PT BKL Group, KPH Tasikmalaya, dan petani penggarap. Besarnya bagi hasil yang diberikan kepada mitra adalah 50% untuk KPH Tasikmalaya ( , 30 % untuk BKL Group, dan 20% untuk petani). 2. Kemitraan antara PT BKL
group, Perhutani, LMDH dan petani
penggarap. Besarnya bagi hasil yang diberikan kepada mitra adalah 48% untuk KPH Tasikmalaya ( 30 % untuk BKL Group, dan 20% untuk petani, 2 % untuk LMDH. 3. Kemitraan antara PT BKL
group, dan petani pemilik lahan di desa
Leuwibudah Kec.Sukaraja Tasikmalaya Besarnya bagi hasil yang diberikan kepada petani adalah sebesar 75% dan hanya 25 % untuk BKL Group.
Sistem bagi hasil dalam kemitraan antara petani dan koperasi (Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) di Ciaruteun Ilir Cibungbulang Bogor dapat dijadikan perbandingan dengan pola bagi hasil PHBM. 3,95 milyar.Usaha tani Pola bagi hasil telah melibatkan 443 orang investor dengan nilai investasi Rp 1JUN Budidaya jati unggul (JUN) yang difasilitasi oleh UBH KPWN melibatkan pemilik lahan, petani penggarapa, investor,
pemerintah
desa,
dan
UBHKPWN.
Pengelolaan
usaha
JUN
menggunakan dana dari investor, lahan milik perorangan, lahan desa dan lahan
88
badan usaha, tenaga kerja petani penggarap. Petani penggarap akan mendapatkan bagi hasil panen sebesar 25% dari jumlah pohon yang ditanam. Investor sebagai pemodal untuk biaya pengadaan bibit, pupuk, peralatan, upah petani, dan biaya manajemen mendapatkan 40%. Pemilik lahan mendapatkan 10%. Pemerintahan desa mendapatkan bagi hasil 10%.(www.jati-ubh.com, 2011). 7.4 Kinerja LMDH/KTH dalam Implentasi PHBM LMDH atau KTH merupakan lembaga yang dengan sengaja dibentuk untuk melaksanakan program PHBM. Kehadiran LMDH di dalam masyarakat diharapkan dapat menjadi wadah bagi berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa hutan. Dalam LMDH umumnya terdiri dari beberapa kelompok tani hutan (KTH) di suatu desa. Anggota dari KTH adalah para petani penggarap yang melaksanakan kegiatan mulai menanam bibit sekaligus menanam tanaman pangan dengan sistem tumpangsari. Petani juga bertugas memelihara tanaman dan mengamankan hutan di lahan (blok) garapannya. Implementasi PHBM tidak dapat berhenti setelah terbentuknya LMDH di setiap desa hutan.
Kelembagaan yang telah dibangun itu masih lemah.
Lembaga baru yang sudah dibentuk tidak otomatis dapat berfungsi secara optimal,
masih
diperlukan
adanya
kelengkapan
struktur
pengurus
dan
pemenuhan kebutuhan kelembagaan yang ada. Aktivitas kelompok sangat dipengaruhi kemampuan pengurus untuk dapat menggerakkan roda organisasi dalam menampung aspirasi dan dinamika masyarakat. Lembaga yang kuat dapat melakukan bargaining position dengan pihak lain, seperti: Perhutani, pemerintah desa, dan para pihak yang terlibat dalam program PHBM. LMDH dalam PHBM hanyalah salah satu lembaga (institusi) dari sekian institusi yang turut berperan dan menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan PHBM. Institusi lainnya yang berpengaruh adalah Perhutani, pemerintah daerah setempat, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas bisnis (investor, pengusaha). Sebagai sebuah sistem, PHBM menuntut optimalisasi, pengakuan dan kejelasan peran, status dan sifat dari masing-masing institusi yang terlibat dalam implementasi. Perlu disadari bahwa kontribusi yang diberikan oleh institusiinstitusi itu memiliki dampak yang signifikan bagi keberhasilan program. Peran
89
lembaga menjadi kunci sekaligus energi bagi berjalannya sistem PHBM dan membuahkan hasil yang diharapkan bersama. Sebuah
organisasi
LMDH
tidak
akan
dapat
membangun
dan
memberdayakan komunitasnya, jika organisasi itu sendiri tidak mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan yang berlangsung sangat cepat. Oleh karena itu, hal yang paling penting untuk segera dilakukan adalah penguatan institusi. Penguatan LMDH menjadi titik penting bagi upaya mewujudkan tujuan dari implementasi PHBM. LMDH mempunyai potensi menjadi lembaga yang mampu memberikan peluang bagi petani untuk bisa mengakses sumber daya alam di hutan sekitranya. Potensi ini sangat bergantung pada usaha dan kerja keras dari seluruh jajaran pengurus lembaga dan anggota kelompok tani hutan untuk mampu melakukan perubahan. Peningkatan kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud jika semua lembaga yang terkait berkomitmen untuk
melakukan
perubahan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang, terdapat 8 LMDH, dan 27 KTH. Daftar LMDH/KTH dalam wilayah BKPH Parung Panjang dapat dilihat dalam lampiran. LMDH merupakan wadah atau lembaga bagi masyarakat untuk memudahkan pengaturan, koordinasi dan pengorganisasian. Setiap desa dibentuk Lembaga LMDH yang terdiri dari kelompok-kelompok Tani Hutan (KTH). Masing-masing kelompok tani hutan ini membentuk pengurus. Setiap KTH dan LMDH mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, yang memuat ketentuan-ketentuan dalam turut mengelola kawasan hutan bersama Perum Perhutani. Proses implementasi PHBM berlangsung tidak seragam dan dipengaruhi berbagai faktor baik internal lembaga maupun eksternal. Di tiga desa penelitian aktivitas LMDH berbeda-beda kondisinya. Aktivitas kelompok tani yang paling aktif terdapat di LMDH Flora Jaya di Desa Babakan. Ketua LMDH Flora Jaya merupakan petani penggarap yang kegiatan sehari-harinya bekerja di lahan hutan garapannya sekaligus melakukan pemantauan wilayah hutan yang menjadi tanggung jawabnya. Giliran jaga hutan setiap hari juga diberlakukan bagi seluruh petani di blok-blok yang menjadi wilayah garapan petani masing-masing. LMDH Flora
Jaya berusaha melaksanakan fungsi dan tugasnya
manajemen lembaga sebaik mungkin. Aktivitas LMDH untuk urusan administrasi diselenggarakan di rumah pengurus LMDH. Kelengkapan administrasi, AD ART,
90
kegiatan-kegiatan lembaga, rapat dicatat dan diarsipkan. Meskipun belum tertata rapih, dokumentasi dari setiap kegiatan sudah tercatat. Permasalahanpermasalahan yang timbul di dalam lembaga diusahakan diselesaikan secara internal lembaga sebelum dibawa ke pihak luar. Termasuk penanganan masalah pencurian skala kecil oleh anggota kelompok. Penyelesaian kasus pencurian kayu skala kecil yang dilakukan oleh anggota KTH diproses dan diselesaikan secara internal dalam LMDH. Anggota KTH yang mencuri diberikan pemahaman tentang pentingnya kebersamaan dalam menjaga hutan yang menjadi tanggung jawab bersama antara Perhutani dengan kelompok tani. Mereka harus membuat surat pernyataan yang berisi pernytaan tidak akan melakukan pencurian lagi baik di wilayah garapannya atau di wilayah lainnya. Surat pernyataan diketahui oleh pengurus LMDH. KTH di kampung Hajere, Desa Tapos lebih dahulu terbentuk dan melakukan pembinaan dalam kegiatan kelompok sebelum adanya LMDH di Desa Tapos. Kegiatan kerja sama dengan Perhutani sudah dilakukan oleh KTH andalan yang lebih dahulu terbentuk. Hubungan antara KTH dan LMDH di Desa Tapos kurang harmonis, KTH dengan LMDH terlihat berjalan sendiri-sendiri. Pengurus KTH merasa lebih berpengalaman daripada LMDH yang baru dibentuk belum lama. Menurut serorang Ketua LMDH, PHBM dianggap masih didominasi mandor Perhutani. Tidak ada transparansi, mandor seenaknya saja tidak memberikan informasi atau berkomunikasi dengan baik kepada penggarap pada saat kegiatan seperti penanaman, penebangan. Uang bagi hasil penjarangan tidak jelas waktu pembagiannya. LMDH hanya kebagian capainya saja, tanggung jawab terhadap keamanan hutan tidak sebanding dengan bagi hasil yang diterima. Aktivitas LMDH d iselenggarakan di rumah ketua LMDH. Beberapa tahun sebelumnya sebenarnya sudah tersedia kantor LMDH di salah satu Kantor Kepala
Desa Tapos. Sekarang tidak ada lagi kantor LMDH karena dipakai
untuluan keperluan lain sehingga aktivitas LMDH dijalankan di rumah ketuanya. Mundurnya beberapa penggerak KTH Hajere menjadi indikasi adanya permasalahan dalam pelaksanaan PHBM di lapangan. Ketua KTH Hajere sudah mundur sejak 2008 yang lalu tidak mau lagi meneruskan menjadi ketua KTH, kemudian diganti ketua yang baru. Menurut Ketua yang mengundurkan diri, sampai saat ini tidak ada perkembangan aktivitas yang bisa dilakukan setelah PHBM berjalan selama lima tahun. Bersama dengan para tokoh di desa Tapos
91
dan petani lainnya, mereka mendirikan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebuah institusi baru yang dibentuk untuk dapat mengakses salah satu program bantuan modal usaha tani dari Kementerian Pertanian. LMDH Ciomas sudah lama terbentuk, aktivitas petani disamping tumpangsari banyak juga penduduk yang mengembangkan ternak lebah madu. Pengurus LMDH Ciomas beberapa kali mengajukan usulan usaha produktif budidaya lebah madu. Bentuk usulannya adalah disediakannya kawasan hutan yang akan ditanami pohon yang menghasilkan bunga untuk konsumsi lebah. Sampai sekarang usulan tersebut belum direalisasikan. Aktivitas LMDH baik untuk urusan administrasi, pertemuan, rapat ada di rumah ketua LMDH. Sebagai Ketua LMDH Ciomas, disamping menjadi pengelola LMDH juga pegiat dalam Forum Komunikasi PHBM. Tetapi usulan yang disampaikan dalam pelbagai forum di Bogor, dan Jawa Barat belum ada tanggapan untuk membantu mengembangkan LMDH yang dikelolanya.. Pembangunan kelembagaan merupakan suatu proses untuk memperbaiki kemampuan suatu lembaga dalam menggunakan sumberdaya yang tersedia berupa manusia dan dana secara efektif. Keefektifan lembaga tergantung pada lokasi aktivitas dan teknologi yang digunakan oleh suatu lembaga. Konsep keefektifan diartikan sebagai kemampuan suatu lembaga dalam mendefinisikan seperangkat standar dan menyesuaikannya dengan tujuan operasionalnya (Israel, 1987). Dalam penguatan PHBM perlu dilakukan pendekatan komprehensif, antara
lain
melalui
pendekatan
sistem
sosial
budaya,
pendekatan
pengembangan ekonomi wilayah, dan pendekatan kelembagaan. pendekatan
kelembagaan,
disyaratkan
adanya
mekanisme
Dalam untuk
mengkonversikan aspirasi dan kebutuhan objektif masyarakat. Diperlukan pula kelengkapan kebutuhan kelembagaan, mobilisasi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat, dan pengaturan wahana struktural organisasi, serta adanya teladan birokrasi dalam melakukan penguatan kapasitas. Dalam konteks perubahan sosial, proses implementasi sistem PHBM dilaksanakan dengan dinamis, tidak seragam di semua wilayah. Implementasi PHBM tidak berada di dalam ruang yang hampa dan steril dari beragam intervensi dan kepentingan. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengelolaan hutan sistem PHBM: masyarakat desa hutan (MDH) termasuk di dalamnya petani hutan dan masyarakat secara umum, baik yang merupakan anggota KTH/LMDH maupun
92
yang bukan anggota. Perum Perhutani sebagai badan usaha milik negara yang mendapatkan mandat pengelolaan hutan di Jawa. Pemerintah Desa, Kecamatan, dan pemerintah daerah, petani, dinas / instansi atau pihak terkait yang lain, LSM, investor, pedagang hasil pertanian dan hasil hutan. Pelaksanaan pembangunan hutan dapat berjalan dengan baik, dengan adanya dukungan dari berbagai pihak. Sumberdaya hutan perlu dikelola dengan bijaksana dengan memperhatikan kepentingan banyak pihak. Hutan tidak menjadi objek saja tetapi sebagai bagian dari subjek pengelolaan Perum Perhutani. Tanggung jawab pembangunan hutan tidak hanya di tangan Perhutani, tetapi juga di tangan instansi/pihak terkait dan masyarakat desa hutan. Masyarakat Desa Hutan (MDH) adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan. Masyarakat desa hutan yang memperoleh kesempatan dan kepercayaan untuk terlibat dalam pengelolaan hutan akan merasa ikut memiliki. Dengan demikian masyarakat akan termotivasi diri untuk ikut menjaga kelestarian sumberdaya hutan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan hutan. MDH meliputi petani hutan yang tergabung dalam kelompok tani hutan (KTH) di tiap blok atau petak, tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan kebijakan di masyarakat desa. Kedekatan geografis masyarakat dengan hutan mau tidak mau haurs berinteraksi dengan hutan baik langsung maupun tidak langsung. MDH tidak hanya berinteraksi dengan hutan tapi juga yang mendapatkan akibat secara langsung dari pengelolaan hutan yang dilakukan. Adanya kelembagaan seperti KTH /LMDH dan aktivitas lembaga
tersebut
membantu keamanan hutan. Kebakaran hutan merupakan ancaman keamanan yang paling membayakan, sekarang kejadian kebakaran semakin jarang terjadi. Jika ada kebakaran misalnya mereka langsung terlibat dan segera melaporkan kepada Perhutani sehingga dapat ditangani dengan cepat sebelum kebakaran meluas. Pencurian kayu yang biasa dilakukan oleh petani dapat dikurangi meskipun masih terjadi pencurian. Dengan adanya tanggung jawab sosial untuk menjaga keamanan hutan yang menjadi wilayah garapannya pencurian kayu semakin jarang ditemukan. Sebagian besar anggota kelompok tani merasa mempunyai tanggung jawab keamanan di wilayah garapannya masing-masing, sehingga kasus pencurian di wilayah mereka semakin berkurang.
93
LMDH dituntut untuk terus menerus berada dalam proses pembelajaran, memperbaharui dirinya dan mengembangkan kreativitas-kreativitas sosial ekonomi dalam mewujudkan tujuannya. Dengan demikian LMDH sebagai motivator dan stimulator pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan, tidak tertinggal jauh dari arus perubahan itu sendiri. Masyarakat desa hutan dibekali kemampuan untuk dan memahami potensi diri dan lingkungannya, dibekali kemampuan untuk merumuskan dan merencanakan tujuan yang ingin dicapainya. Kemampuan lain untuk “menjual” nilai tambah yang dimilikinya, dan kesempatan untuk dapat menjalin kemitraan dan kerjasama dengan lembaga, institusi, organisasi lainnya. Optimalisasi kelembagaan yang menjadi tahapan sangat kritis itu, memerlukan energi yang sangat besar untuk dilakukan. dalam optimalisasi kelembagaan ini, diperlukan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan yang terlibat dalam PHBM, baik itu Perum Perhutani, jajaran institusi pemerintah, dan lembaga
terkait
lainnya,
sehingga
semua
penyelenggaraan
kegiatan
terkoordinasikan dengan baik, sinergis dan secara berkelanjutan. Masalahnya, masing-masing institusi tersebut memiliki kepentingan dan alur kerja sendiri atau ego sektoral yang terkadang sulit untuk diselaraskan. Untuk bisa berkembang LMDH dituntut untuk terus menerus dalam proses pembelajaran, memperbaharui dirinya dan mengembangkan kreativitaskreativitas sosial ekonomi dalam mewujudkan amanah yang dibebankan kepadanya.
Dengan demikian LMDH sebagai motivator dan pendorong
pemberdayaan masyarakat desa hutan, mampu mengantisipasi arus perubahan yang terus berlanjut. LMDH dan masyarakat desa hutan perlu dibekali kemampuan untuk mengenali, menggali dan memahami potensi diri dan lingkungannya. Lembaga ini juga mampu
untuk merumuskan dan merencanakan tujuan yang ingin
dicapainya, mengevaluasi kinerjanya, dan mampu menjual nilai tambah yang dimilikinya. LMDH harus memiliki kemampuan dan kesempatan untuk dapat menjalin kemitraan dan kerjasama dengan lembaga, institusi, organisasi serta warga bangsa lainnya. Proses penyusunan rencana dilakukan secara bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan, dengan proses yang partisipatif. Semua pihak yang terlibat duduk bersama, saling terbuka dan berkomitmen sama untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam proses
94
tersebut dapat digali potensi dan peluang, kendala-kendala yang ada dalam melaksanakan pembangunan hutan, sehingga dapat dicari jalan keluar yang terbaik yang menguntungkan semua pihak yang terlibat. Alternatif pemecahan masalah ini yang kemudian disusun sebagai rencana partisipatif dalam pengelolaan hutan. Rencana partisipatif ini menjabarkan kegiatan-kegiatan dalam
pengelolaan
pengembangan
hutan
yang
kelembagaan,
meliputi
kegiatan
pengembangan
teknik
ekonomi
kehutanan, dan
sosial
kemasyarakatan. Menurut Awang (2001), sangat penting untuk memperkuat organisasi masyarakat pengelola social forestry agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, piranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat program community forestry dapat berlangsung dengan baik. Kelembagaan bukan hanya sebatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan, dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis. Penguatan institusi lokal harus dilaksanakan sebagai sarana untuk meleburkan peran dan tanggung jawab semua pihak (Perum Perhutani, masyarakat, pemda, investor). Pengembangan institusi bisa dimulai dari proses membangun mekanisme lembaga musyawarah di tingkat desa, kelompok kerja kehutanan di tingkat kecamatan sampai kabupaten. Diperlukan fasilitasi munculnya peraturan daerah dan peraturan lokal tentang desentralisasi dan devolusi pengelolaan sumber daya hutan yang sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Devolusi pengelolaan hutan diharapkan dapat mendekatkan perencanaan dan pengawasan pada masyarakat desa hutan (MDH), Perhutani, dan pemerintahan lokal sekaligus secara bertahap mengubah struktur Perhutani dari “penguasa” menjadi pelayan publik. Dengan demikian akan mendekatkan struktur kekuasaan dengan struktur sosial dan pemerintahan lokal. Kebijakan yang dilaksankan harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokal daerah. Kendala utama dalam pengembangan lembaga adalah terhentinya atau terputusnya proses pengembangan kelembagaan, yang akhirnya mengalami kegagalan. Proses pengembangan kelembagaan merupakan rangkaian dari proses panjang, rumit meskipun tidak berurutan, harus ada dalam sebuah proses
95
pemberdayaan masyarakat. Diperlukan komitmen kuat, kesabaran, dan keuletan luar biasa untuk dapat terus menerus mengembangkan lembaga. Para pihak yang berkaitan dengan program PHBM selain Perum Perhutani adalah pemerintahan desa, investor, LSM, Forum Komunikasi PHBM. Perum Perhutani merupakan pihak yang diberi kewenangan oleh negara melalui Departemen Kehutanan untuk melakukan pengelolaan hutan di wilayah hutan negara. Perhutani memiliki perangkat yang dapat menjangkau seluruh kawasan hutan dan memahami kondisi hutan yang dikelolanya. Perhutani harus terlibat langsung sebagai pengelola dan penerima manfaat ekonomi dari produksi hasil hutannya. Pemerintah desa sebagai pemangku wilayah administratif memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan di wilayahnya serta memiliki kekuatan sosial dalam mengatur masyarakatnya. Pada umumnya di desa hutan para perangkat desa atau yang biasa disebut perangkat desa merupakan tokoh yang memiliki pengaruh dan sebagai panutan bagi masyarakat yang desa. Investor merupakan pihak yang menginvestasikan atau menanamkan modalnya untuk kegiatan pengelolaan hutan, baik untuk pengembangan tanaman kayu maupun hasil hutan nonkayu. Investor mempunyai peran yang sangat potensial untuk bisa mengembangkan program. Pelaku bisnis mempunyai keterlibatan yang tidak langsung dengan hutan tapi merupakan pihak yang memiliki peran besar dalam pemasaran hasil hutan. Pihak lain yang berperan dalam pemasaran hasil pertanian dan kehutanan adalah koperasi petani. Koperasi petani berfungsi sebagai penampung produk pertanian dari para petani dan penyedia kebutuhan para petani seperti pupuk, benih, obat-obatan pemberantas hama dan lain-lain. Lembaga
swadaya masyarakat merupakan
lembaga
yang dapat
mendampingi petani dalam melakukan negosiasi dengan pihak lain melalui advokasi. LSM dapat pula dapat menjadi mediator yang menjembatani kepentingan petani dan pihak luar. Fasilitasi dapat juga dilakukan lembaga ini untuk mengakses sumber daya alam, modal, dan pasar. Forum Komunikasi PHBM (FK PHBM) adalah lembaga desa yang mewakili kepentingan masyarakat desa hutan untuk memberi masukan-masukan berkaitan dengan pelaksanaan program PHBM. FK PHBM berfungsi melakukan koordinasi dan mengkomunikasikan informasi-informasi yang berkait dengan pengelolaan hutan dalam pelaksanaan PHBM. FK PHBM mempunyai tugas
96
untuk membina, mengawasi, mengevaluasi LMDH dan KTH dalam pengelolaan hutan.
7.5 Partisipasi Masyarakat Dalam PHBM Partisipasi masyarakat dalam setiap program pemberdayaan mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi, masyarakat hanyalah menjadi objek semata. Penempatan masyarakat sebagai subjek program mutlak diperlukan sehingga masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program. Terlebih apabila kita
akan melakukan pendekatan
program
dengan
semangat lokalitas.
Masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya yang akan mampu memberikan masukan yang sangat berharga. Masyarakat lokal dengan pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar dalam melaksanakan program. Masyarakat lokal mengetahui apa permasalahan yang dihadapi dan potensi yang dimiliki oleh daerahnya dan mereka akan mempunyai pengetahuan lokal untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Midgley (1986) menyatakan bahwa partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari perubahan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses perubahan sosial. Partisipasi masyarakat merupakan wujud dari eksistensi manusia seutuhnya. Tuntutan adanya partisipasi masyarakat semakin menguat seiring kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Kegagalan pembangunan
berperspektif
modernisasi
yang
mengabaikan
partisipasi
masyarakat negara miskin menjadi momentum yang berharga dalam tuntutan peningkatan partisipasi negara miskin, termasuk rakyat di dalamnya. Jika dikaji dengan menggunakan model partisipasi Arnstein, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM di Parung Panjang masih berada pada level tokenisme yaitu tangga ketiga, menyampaikan informasi, tangga Keempat, konsultasi dan kelima, peredaman kemarahan. Tokenisme yaitu suatu tingkatan partisipasi masyarakat, mereka didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pengambil keputusan. Dengan partisipasi masyarakat diharapkan dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari program.
97
Partisipasi yang ideal menurut Arnstein yaitu tangga keenam sampai kedelapan. Dari kemitraan, ketujuh pendelegasian wewenang dan kedelapan pengendalian masyarakat. Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. Akan tetapi dalam penerapan di lapangan level partisipasi harus disesuaikan dengan keadaan nyata di lapangan, bagaimana kesiapan sumberdaya manusia, kelembagaan, dan kebijakan yang dipilih. Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan. Masyarakat yang tidak berdaya perlu untuk diberdayakan dengan
menggunakan
berbagai
model
pemberdayaan.
Dengan
proses
pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat. Partisipasi yang lemah dapat disebabkan oleh kekurangan kapasitas dalam masyarakat tersebut, sehingga peningkatan kapasitas perlu dilakukan. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk kepentingan rakyat. Melalui pemberdayaan akan timbul pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi “pelaku pembangunan”. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan kemandirian. Pemberdayaan yang memiliki arti sangat luas tersebut memberikan keleluasaan dalam pemahaman dan juga pemilihan model pelaksanannya sehingga variasi di tingkat lokalitas sangat mungkin terjadi. Konsep partisipasi dalam pembangunan di Indonesia mempunyai tantangan yang sangat besar. Model pembangunan yang telah kita jalani selama ini tidak memberikan kesempatan pada lahirnya partisipasi masyarakat. Oleh karenanya diperlukan upaya membangkitkan partisipasi masyarakat sehingga masyarakat akan berpartisipasi secara langsung terhadap pembangunan. Model pemberdayaan memberikan peran yang sangat besar terhadap komunitas lokal untuk menentukan sendiri nasibnya. Pola pemberdayaan lebih menekankan pada aspek partisipasi komunitas lokal daripada introduksi dari luar. Sebagai agen pemberdayaan sangat berbeda dengan agen penyuluhan. Diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan SDH yang mengutamakan kepentingan
rakyat.
FAO
menggambarkan
bahwa
kehutanan
untuk
pembangunan MDH harus meliputi setiap situasi yang pada akhirnya
98
menempatkan MDH sebagai subjek kehutanan. Posisi masyarakat lokal sebagai subyek pengelolaan hutan ini sangat penting karena: 1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap mereka yang sebenarnya. 2. Masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya. Mereka akan lebih mengetahui
program
tersebut
dan
akan
mempunyai
rasa
memiliki.
Kepercayaan ini sangat penting khususnya bila pengelolaan kehutanan memerlukan dukungan masyarakat. 3. Sebagai tuntutan demokratisasi, masyarakat harus dilibatkan sebagai subjek dalam pembangunan masyarakat. Mereka mempunyai hak untuk berpendapat dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Hal ini selaras dengan konsep man centered development yakni bahwa pembangunan harus dipusatkan pada kepentingan manusia demi perbaikan nasib manusia. Pemberdayaan komunitas menjadi isu penting yang berkembang di Negaranegara berkembang. Kepedulian terhadap isu lingkungan, kesetaraan gender, keadilan serta keberlanjutan mudah diterima oleh komunitas yang sudah lama menjadi objek dalam pembangunan top down yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang lebih banyak dilakukan dalam tahapan implementasi. Keterlibatan
petani
dalam
perencanaan,
keikutsertaaan
dalam
rapat
perencanaan, keterlibatan dalam pelaksanaan, pengamanan, dan evaluasi dapat dilihat pada Tabel 26 berikut: Tabel 26. Partisipasi petani dalam PHBM (%)
Tahapan
Keterlibatan Tidak Ya
rencana 63
rapat rencana 61.1
Pelaksanaa n 7.4
pengamanan 46.3
Evaluasi 18.9
37
38.9
92.6
53.7
81.1
99
Berdasarkan Tabel 26 dapat dilihat tingkat partisipasi petani dalam perencanaan dan evaluasi rendah. Sedangkan untuk pelaksanaan sangat tinggi 92,6 %. Faktor rendahnya pendidikan dari para petani sangat berpengaruh terhadap kemampuannya dalam membuat perencanaan. Dalam rapat kelompok tani atau LMDH kebanyakan petani hanya diam tidak banyak usul, lebih sering menjadi peserta pasif dan menyetujui apa yang disampaikan ketua kelompok. Petani terbiasa diperintah oleh mandor pada saat menggarap lahan, dan mengikut saja apa yang diinstruksikan. Disamping itu rendahnya pengetahuan tentang pengelolaan hutan juga berpengaruh terhadap partisipasi petani. Keterlibatan
banyak
pihak
berhubungan
dengan
program
itu
menguntungkan dirinya atau tidak dan apakah dia pernah membaca tentang perjanjian kerja sama atau tidak. Hal ini dibuktikan dengan hubungan yang signifikan antara keterlibatan banyak pihak menurut responden dengan pernah membaca Perjanjian (tingkat kepercayaan 90%) dan keuntungan penggarap (tingkat kepercayaan 95%). Hasil uji chi square terlihat pada Tabel 27 berikut :
Tabel 27. Hasil uji hubungan peubah keterlibatan para pihak Variabel Value Tahu perjanjian Baca perjanjian Menguntungkan Perum? Menguntungkan Penggarap?
1.218 5.468 5.021 22.871
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided) 2 0.544 2 0.065 4 0.285 4 0.000
Pelaksanaan program PHBM dan perencanaannya
ternyata tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan seperti ditunjukkan oleh uji chi square pada Tabel 28 berikut :
Table 28 Hasil uji hubungan peubah pelaksanaan dengan perencanaan Variable Ikut merencanakan
Value 0.268
Pearson chi square Asymp. Sig. (2-sided) Df 1 0.604
100
Evaluasi program dengan perencanaan program memiliki hubungan yang signifikan berdasarkan hasil uji chi square pada Tabel 29 berikut : Tabel 29. Hasil uji hubungan peubah evaluasi dengan perencanaan Variable
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2sided) 1 0.000 +++
Value Ikut rencanakan phbm
12.514
Sebaliknya hubungan antara evaluasi program dan pelaksanaannya menunjukkan hubungan yang tidak signifikan menurut uji chi square pada Tabel 30 berikut : Tabel 30. Hasil uji hubungan peubah evaluasi dengan pelaksanaan Variable Ikut melaksanakan
Para petani
Pearson chi square Asymp. Sig. (2-sided) df 1 0.232
Value 1.432
dalam bekerja sama dengan Perhutani
ternyata kurang
mengerti secara rinci apa yang sebenarnya disepakati dalam perjanjian yang ditandatangani ketua KTH/LMDH.
Mayoritas petani
mengetahui
adanya
perjanjian kerja sama, tetapi kurang dari separuh (44,4%) yang membaca isi perjanjian kerja sama sedangkan separuh lebih belum pernah membaca isi perjanjian, sebagaimana terlihat pada Tabel 31 berikut : Tabel 31.Pemahaman petani (%) terhadap perjanjian kerja sama Tahu ada perjanjian Ya Tidak
85,2 14,8
Baca perjanjian 44,4 55,6
Slamet dalam Kartasubrata (1986) mengemukakan bahwa syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi yaitu: 1). Adanya kesempatan
untuk
membangun atau ikut dalam pembangunan.
2).
Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu. 3). Adanya kemauan untuk berpartisipasi. Menurut Kartasubrata (1986) dorongan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor kesempatan, kemauan, kemampuan dari bimbingan. Bila melihat hubungan antara dorongan dan rangsangan dengan intensitas
101
partisipasi
dalam
pembangunan
hutan
untuk
semua lokasi,
ternyata
mempunyai hubungan yang erat, semakin kuat dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi dalam pembangunan makin tinggi intensitas partisipasinya. lmplikasinya
bila
penduduk
ditingkatkan kemampuannya mendapat
lebih
banyak
dengan
diberikan cara
pengalaman dan
banyak
memberikan
kesempatan, peluang
untuk
dimotivasi kemauannya
untuk
berpartisipasi maka intensitas partisipasinya dalam pembangunan hutan akan meningkat. Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya tidak hanya diberikan pada
waktu
pelaksanaannya saja
keputusan, perencanaan,
tetapi juga mulai dari pengambilan
pelaksanaan, pemantauan
dan penilaian dan
distribusi hasilnya. Sedangkan faktor yang mempersulit partisipasi masyarakat menurut Hollsteiner (1982) ada : 1). Ahli-ahli dari golongan elit sering menganggap diri mereka paling tahu dan merasa harus menggurui mereka. 2). Rakyat sendiri yang belum terbiasa dengan hidup modern. 3) Ada kontradiksi antara usaha mengembalikan partisipasi dengan usaha mencapai target-target secepatnya.
7.6 Kurangnya Akomodasi Kepemimpinan Lokal Kepemimpinan atau leadership merupakan proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berperilaku seperti dikehendaki. Aktivitas dan prosesproses dinamis yang terjadi dalam suatu kelompok memerlukan adanya kepemimpinan yang memandu agar aktivitas itu menuju ke arah tujuan organisasi. Kepemimpinan merupakan seni mempengaruhi orang lain melalui persuasi
dan
merupakan
perwujudan
struktur.
Menurut
Gari
(1989),
kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dan menetukan tujuan organisasi, memotivasi
perilaku
pengikut
mencapai
tujuan,
mempengaruhi
untuk
memperbaiki kelompok dan budayanya. Aktivitas petani dalam kelompok tani pada pelaksanaan program PHBM sangat dipengaruhi kepemimpinan dari para pengurus KTH dan LMDH. Keberhasilan program PHBM berkaitan dengan kuat tidaknya kepemimpinan dalam kelompok. Pemimpin mempunyai pengaruh kepada masyarakat desa dalam implementasi program di lapangan.
102
Di setiap desa ditemukan adanya pemimpin formal dan pemimpin nonformal. Perangkat desa, ketua LMDH, dan ketua KTH merupakan pemimpin formal yang secara resmi bertugas mengelola berbagai program pengembangan masyarakat. Sedangkan pemimpin nonformal seperti para kiai, ustad, sesepuh mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Dalam proses interaksi manusia seiring dengan perkembangan sistem organisasi pemerintahan telah memunculkan adanya organisasi formal dan informal yang juga mengakibatkan adanya kepemimpinan formal dan informal. Pemimpin formal ialah orang yang oleh institusi tertentu ditunjuk sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran organisasi (Kartono,1994). Pemimpin informal ialah orang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, namun karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul, dia mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Corak kepemimpinan di pedesaan dapat dikategorikan dalam dua sifat yaitu monomorphic (hanya berpengaruh dalam satu bidang) dan polymorphic (berpengaruh dalam banyak bidang). Di pedesaan saat ini para pemimpin formal (perangkat desa) lebih banyak menyandang kepemimpinan yang bersifat polymorphic (berperan dalam segala bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan). Sedangkan para pemimpin informal lebih banyak menyandang kepemimpinan yang bersifat monomorphic dimana umumnya berkonsentrasi pada bidang keagamaan saja. Dalam kepemimpinan
lokal, ternyata tidak semua pengurus LMDH
mampu menggerakkan seluruh anggota. Pengaruh dari ketua KTH lebih kuat dibandingkan ketua LMDH yang strukturnya berada di atas KTH karena KTH lebih dahulu berdiri sebelum LMDH terbentuk. Pemimpin nonformal seperti sesepuh, kiai mempunyai pengaruh yang besar dan menjadi panutan warga masyarakat. Sebaliknya pengurus LMDH yang secara formal menjadi pengurus malahan tidak sepenuhnya bisa menggerakkan masyarakat untuk pengelolaan hutan yang lestari. Kepemimpinan lokal dalam implemetasi PHBM seharusnya dapat terakomodasi menyesuaiakan dengan struktur masyarakat dan stratifikasi sosial masyarakat. Struktur kepengurusan yang dibentuk dalam program PHBM berupa
103
KTH dan LMDH belum sepenuhnya mampu mengakomodasi tokoh masyarakat lokal yang berpengaruh nyata dalam masyarakat. Oleh karena itu salah satu yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan PHBM adalah adanya penyesuaian dengan struktur masyarakat lokal. Golongan elite dalam stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah sebagai pemegang kendali kepemimpinan. Pendapat dan keputusan serta tindakan mereka mempunyai akibat yang penting dan menentukan bagi masyarakat Pembentukan LMDH, KTH selama ini dilakukan oleh para petugas Perhutani belum
sepenuhnya
mempertimbangkan
pentingnya
melibatkan
kepemimpinan lokal yang telah mengakar dalam masyarakat desa. Dengan mengakomodasi
kepemimpinan
lokal
akan
memudahkan
menggerakkan
kelembagaan yang ada untuk mencapai target yang akan dicapai. Pemimpin lokal terbukti efektif menggerakkan aksi kolektif di tingkat masyarakat akar rumput. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, proses perkembangan masyarakat desa, digeneralisasi dengan sebuah model yang sama di semua wilayah. Pengaruh dari penerapan model ini tampak bahwa dimensi legitimasi para pemimpin formal yang lebih dominan, sementara peran dari para pemimpin informal direduksi.
7.7 Konflik Kepentingan Dalam Implementasi PHBM Nota perjanjian kerja sama yang sudah mengatur semua hal dalam pelaksanaaan PHBM pada kenyataannya tidak selalu dapat dilaksanakan dengan mulus. Dalam pelaksanaan PHBM di BKPH Parung Panjang masih terjadi berbagai konflik. Konflik yang terjadi bisa bersifat laten dan manifest. Konflik bisa ditemukan dalam bentuk rumor, perbincangan yang terjadi di kalangan masyarakat, atau ketegangan hubungan antara pengurus LMDH dengan mandor Perhutani.
Pihak-pihak yang sering berkonflik antara lain
masyarakat (MDH), aparat Perhutani, aparat desa, aparat kecamatan, pihak kepolisian dan militer, aparat pemda, dan pihak legislatif. Pada negara melekat kekuasaan yang sebenarnya bisa digunakan untuk merosuli konflik, tetapi justru belum dilakukakannya. Negara memiliki pandangan yang menyesatkan misalnya: (1) menganggap hutan seolah tak berpenghuni (2) melakukan tindakan sepihak atas nama kepentingan umum (3) menempatkan masyarakat yang tinggal di dalam hutan sebagai perambah (4) tidak menghargai
104
kearifan lokal (5) menyederhanakan masalah dengan cara memberikan solusi serba material atas kerugian yang dirasakan masyarakat (Tadjudin, D.2000). Pandangan menyesatkan ini secara langsung telah menempatkan masyarakat dalam posisi diametral sebagai lawan dari pemerintah. Permasalahan
awal
yang
melatarbelakangi
merebaknya
konflik
kehutanan berupa benturan paradigma pembangunan, sistem penguasaan (tenurial system), alokasi dan manajemen SDH yang banyak persoalan di masa lalu. Akan tetapi harus disadari bahwa konflik yang sering terjadi tidak berdiri sendiri, karena terkait erat dengan sistem ekonomi dan politik global. Konflik kepentingan terjadi karena persaingan kepentingan yang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Konflik kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar (uang dan sumber daya), masalah sikap, atau masalah psikologis (persepsi, keadilan, rasa hormat). Banyak kasus yang terjadi berkenaan dalam konflik kepentingan, pihak-pihak yang terlibat mulai terlihat jelas dan cenderung menimbulkan konflik yang terbuka. Benturan yang paling sering terjadi adalah antara aparat lapangan (mandor), dengan MDH saat aparat cenderung menutup-nutupi informasi dengan berbagai alasan. Contoh di lapangan, masyarakat berkepentingan untuk mendapatkan hak-hak mereka seutuhnya, sebaliknya aparat Perhutani di lapangan
berkepentingan
untuk
menyelesaikan
program
tanaman
dan
pengamanan hutan dengan cepat, efisien. Salah satu bentuknya mandor mempekerjakan tenaga kerja upahan yang murah dan tidak banyak menuntut atau rewel. Konflik-konflik yang terjadi di beberapa LMDH di Parung Panjang diantaranya: 1. Konflik pengurus LMDH dengan petugas Perhutani terkait dengan pembagian lahan
garapan setelah selesai penebangan. Seringkali pembagian lahan
garapan dilakukan antara mandor dan penggarap secara langsung tanpa musyawarah dengan LMDH. 2. Konflik terkait dengan belum diterimanya bagi hasil setelah penebangan kayu.
105
3. Konflik juga terjadi berkaitan dengan pencurian kayu oleh penggarap di petak yang dipelihara oleh KTH/LMDH. Penyelesaiannya melalui mekanisme internal di LMDH dengan membuat 4.
Konflik juga terjadi berawal dari kasus pencurian yang dilakukan oleh oknum pengurus KTH/LMDH, atau keluarga dari petugas yang penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum.
5. Konflik karena perbedaan persepsi menurut para mandor penggarap belum mengetahui prinsip PHBM, penggarap maunya bagi hasilnya saja.Sebaliknya petani juga menganggap mandor mau menang sendiri 6. Mengapa kalau mandor yang mengerjakan penanaman dan pemeliharaan yang dapat bagi hasil bukan untuk mandor. Untuk melakukan pemetaan konflik sosial terkait dengan degradasi lingkungan dan sumber daya alam sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi lingkungan; (2) gerakan-gerakan sosial yang merespon degradasi lingkungan tersebut dalam bentuk aksi mempengaruhi pelbagai pihak untuk mengubah kebijakan tersebut. Faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi lingkungan dapat diterangkan melalui dua macam penjelasan, yaitu: (1) secara ekologis dan (2) ekonomi politik (Usman 2004). Penjelasan ekologis mengasumsikan bahwa degradasi lingkungan sebagai kondisi buruk ketika terjadi ketidakseimbangan antara supply depot (tempat yang menyediakan kebutuhan hidup dan kehidupan manusia), waste repository (tempat pembuangan barang yang dipergunakan oleh manusia) dan living space (tempat makhluk mempertahankan hidup dan kehidupan). Dalam konteks ini, supply depot telah berkembang sedemikian rupa sehingga waste repository mengganggu keberadaan living space. Sementara itu dalam eksplanasi ekonomi politik, degradasi sumber daya alam diasumsikan sebagai kondisi buruk akibat dari kegiatan ekonomi para pemilik modal. Konflik dan sengketa tenurial dalam kawasan hutan, hak masyarakat dalam
mengakses
sumberdaya
alam,
dan
kepemilikan
lahan
telah
mengakibatkan ketegangan dan mengakibatkan peningkatan degradasi hutan. Konflik-konflik yang terjadi dalam kawasan hutan selama ini terjadi akibat permasalahan-permasalahan pokok yang antara lain karena adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan
106
masyarakat. Secara de jure Kawasan Hutan berada dalam penguasaan Negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak. Aparat Negara mengartikan bahwa kawasan hutan mutlak dalam penguasaan pemerintah jika ada yang memanfaatkan lahan hutan disebut sebagai penjarah, pencuri, blandong dan lain-lain. Untuk menyelesaikan penjarah akan dilakukan kekerasan untuk mengusirnya. Secara teknis perhutani memakai standar penanganan represi sebagai upaya
untuk mengamankan
hutan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya konflik, antara lain yaitu:1). Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikasi.2). Perbedaan tujuan karena perbedaan nilai hidup yang dipegang.3). Rebutan dan persaingan sumber daya. 4). Kurang jelasnya wewenang dan tanggung jawab.5). Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara dan peristiwa yang sama. 6). Kurangnya kerjasama.7). Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja. Adanya klaim hak rakyat terhadap kawasan hutan merupakan indikator bahwa kawasan tersebut sangat rawan konflik. Konflik muncul mulai dari klaim tanah bahkan sampai konflik pardigma tentang kepemilikan dan pemanfaatan lahan. Masyarakat yang telah lama menempati kawasan merasa hak-hak tradisional mereka direbut. Dalam menghadapi kondisi masyarakat seperti ini sangat penting adanya pengakuan terhadap hak-hak rakyat. Persepsi tentang ketidakadilan dapat menjadi sumber berbagai masalah, dari apatisme, konflik, pencurian, dan kekerasan. Persoalan konflik pengelolaan sumberdaya hutan itu terutama berakar pada dua hal, yaitu: (1) kebijakan eksploitasi sumber daya alam yang dikembangkan di atas sistem yang mengutamakan konsep milik negara (state property) dan mengabaikan konsep milik pribadi (private property) dan milik komunal (communal property), dan (2) penempatan sumberdaya alam sebagai aset ekonomi atau faktor produksi secara berlebihan. Akar persoalan itu lebih pada tataran struktural, terutama dalam konteks kelembagaan, karena itu resolusi konflik lingkungan dan sumber daya alam harus dibangun dari konteks struktural pula.
107
Garis besar konflik pengelolaan sumber daya hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal (Fisfer,dkk, 2000). Konflik vertikal adalah konflik yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan dengan pihak-pihak lain yang dianggap mempunyai otoritas dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pihak-pihak antara lain: Perum Perhutani, Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, pengusaha kayu, dan aparat keamanan.
Sedangkan
konflik
horisontal
adalah
konflik
yang
terjadi
antarkelompok dalam masyarakat sendiri. Konflik ini melibatkan kelompokkelompok masyarakat atau keluarga-keluarga dalam masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda. Konflik yang terjadi bisa disebabkan konflik nilai dan konflik struktural. Konflik nilai sering terjadi karena sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya, menjelaskan yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai memang tidak selalu menimbulkan konflik, sebab manusia dapat saja hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai akan muncul ketika suatu pihak berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan interpretasi. Konflik
struktural merupakan
konflik
yang
terjadi ketika
muncul
ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan berwewenang untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan struktur kekuasan serta pengambilan keputusan yang menguntungkan pada salah satu pihak. Kasus konflik struktural dapat dilihat dalam kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kebijakan pengelolaan hutan yang selama ini sangat sentralistik tidak pernah sampai
kepada level operasional di daerah.
Aparat pemda tidak pernah mengetahui atau terlibat dalam persoalan-persoalan pengelolaan hutan Perum Perhutani. Demikian pula kecamatan, kelurahan dan aparat keamanan hanya mengetahui permukaannya saja sementara masalahmasalah substansi kebijakan pengelolaan hutan tidak pernah diketahui dengan jelas.
108
Dalam pola kemitraan usaha perkebunan, berbagai sumber konflik yang muncul terjadi karena adanya sejumlah ketidakharmonisan, keselarasan, dan ketimpangan
atau
incompatibilitas.
Paling
tidak
terdapat
tiga
macam
incompatibilitas, yaitu : 1) ketimpangan dalam struktur pemilikan aset, (2) ketimpangan persepsi dan konsepsi (3) ketimpangan antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan (Cristodoulou dalam wiradi 2000). Berbagai program kemitraan usaha perkebunan yang sebagain besar prosesnya menggunakan pendekatan kekuasaan disertai dengan munculnya konflik. Beberapa kasus konflik seringkali menempati banyak ruang dan untuk proses pengelolaannya memerlukan pendalaman yang cukup kompleks. Pada bagian lain, konflik dapat bergeser dan berpindah dari ruang yang satu ke ruang yang lain dengan konsekuensi bahwa konflik akan semakin berat ataupun sebaliknya. Pendekatan manajemen konflik yang dilakukan tidaklah bersifat terpisah satu dengan lain, namun merupakan inisiatif yang berjalan simultan dan terus-menerus. Manajemen konflik kehutanan bagaimanapun tidak dapat terlepas dari perkembangan paradigma kehutanan global, ideologi pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (Orstom, 1990). Konflik bukan merupakan hal yang statis, tetapi dinamis dan mempunyai proses sendiri. Lingkaran konflik terdiri dari hal-hal berikut (Hardjana, 1994), yaitu: 1. Kondisi yang mendahului. Kondisi ini terdiri dari faktor-faktor yang pada umumnya membawa pada konflik. 2. Kemungkinan konflik yang dilihat. Pada tahap ini satu atau beberapa pihak yang terlibat melihat kemungkinan adanya konflik di antara mereka 3. Konflik yang dirasa. Pada tahap ini, benturan kepentingan dan kebutuhan terjadi. Satu pihak atau beberapa pihak yang terlibat melihat keadaan yang tidak memuaskan, menghambat, menakutkan, dan mengancam. 4. Perilaku yang tampak. Pada waktu konflik sudah terjadi orang-orang menanggapi dan mengambil tindakan. Bentuknya dapat secara lisan, seperti saling mendiamkan, bertengkar, berdebat, atau nyata dalam perbuatan seperti bersaing, bermusuhan, atau menyerang. 5. Konflik ditekan atau dikelola. Pada tahap ini konflik yang sudah terjadi dapat ditekan, artinya konflik ditiadakan. Secara alamiah konflik itu tampak seperti sudah selesai, meskipun masalah intinya tidak ditangani, dan pihak-pihak yang berkonflik hanya sekedar berdampingan dalam suasana panas itu.
109
6.
Sesudah konflik diselesaikan. Bila konflik tidak dikelola dan diselesaikan, pihak-pihak yang terlihat dalam konflik menanggung segala akibatnya entah bagi diri sendiri, kerja, hubungan, dengan orang lain atau lembaga tempat orang bekerja. Pengelolaan konflik secara garis besar dapat digolongkan menjadi lima
kelompok, yaitu (Hardjana, 1994): 1. Bersaing, bertanding (competiting), menguasai (dominating) atau memaksa (forcing). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang-kalah (win-lose approach). Pendekatan ini ditempuh jika tujuan penting, sedangkan hubungan baik dengan orang yang menjadi lawan konflik tidak penting. 2. Kerjasama (collaborating) atau menghadapi (confronting). Dengan cara pengelolaan konflik ini, kedua pihak yang terlibat dalam konflik bekerjasama dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Cara pengelolaan ini merupakan pendekatan menang-menang (winwin approach). Cara ini ditempuh jika tujuan amat penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga amat penting. 3. Kompromi (compromising) atau berunding (negotiating). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang menang atau kalah (neither win-win nor lose-lose approach). Cara ini ditempuh jika tujuan kepentingannya sedang-sedang saja dan hubungan baik dengan lawan konflik juga sedang-sedang saja kepentingannya. 4. Menghindari (avoiding) atau menarik diri (withdrawal). Cara pengelolaan konflik
menghindari
merupakan
pendekatan
kalah-kalah
(lose-lose
approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga tidak penting. 5. Menyesuaikan (accomodating), memperlunak (smoothing) atau menurut (obliging). Cara pengelolaan menyesuaikan merupakan pendekatan kalahmenang (lose-win approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting, tetapi hubungan dengan lawan konflik penting. Resolusi konflik (dispute resolution) merupakan seluruh metode, praktik, dan teknik, resmi ataupun tidak, melalui atau di luar pengadilan, yang digunakan untuk menyelesaikan konflik (miall, dkk, 1993). Secara luas, resolusi konflik dimaksudkan sebagai reduksi nyata dari suatu konflik sosial. Resolusi konflik ini bisa terjadi melalui usaha atas kesadaran sendiri untuk mencapai kesepakatan,
110
atau bisa juga terjadi akibat berbagai penyebab lain, seperti perubahan lingkungan, pengaruh pihak ketiga, kemenangan salah satu pihak. Sedangkan secara lebih spesifik, resolusi konflik didefinisikan sebagai reduksi nyata dari suatu konflik sosial dalam rangka membangun kesadaran dari permasalahan pertikaian (issues in dispute). Sardjono (2004) menawarkan delapan prosedur umum penyelesaian konflik, yaitu: 1. Lumping it, terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. Prosedur ini dilakukan karena penuntut (claimants) kekurangan informasi atau akses terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan menganggap keberhasilan tuntutan akan rendah dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk itu terlalu besar atau tidak sebanding dengan pencapaian hasilnya. 2. Avoidance atau exit, yaitu mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Berbeda dengan lumping it yang tetap memelihara hubungan dan mengabaikan konflik.
Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan
kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasanalasan biaya sosial, ekonomi, atau psikologi. 3. Coercion, yaitu suatu pihak yang bersengketa menerapkan hasrat pada pihak yang lain. Bisa saja penerapannya dilakukan dengan ancaman atau paksaan, sebagaimana banyak terjadi di masyarakat. 4. Negotiation, yaitu kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersamasama tanpa melibatkan pihak ketiga. Kedua belah pihak tersebut tidak mencari solusi masalah
sesuai peraturan
yang
berlaku, melainkan
menciptakan peraturan diantara mereka sendiri. Pemahaman ini mencakup pemecahan
masalah
kolaboratif
(collaborative
problem
solving)
dan
negosiasi. 5. Concilliation, yaitu mengajak kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama
melihat
konflik
dengan
tujuan
untuk
menyelesaikan
persengketaan. Konsiliator (conciliator) tidak selalu berperan aktif dalam negosiasi selanjutnya, meskipun yang bersangkutan dapat saja bertindak demikian dalam kapasiitas tertentu atas permintaan pihak-pihak yang bertikai.
111
6. Mediation, adalah pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. Mediator bisa ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa atau mewakili otoritas di luar pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bersengketa menyetujui intervensi mediator tersebut. Praktek ini dikenal luas di masyarakat. 7. Arbitration, bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. 8. Adjudication, yaitu adanya intervensi dari pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan memutuskan perkara. Sistem pengadilan merupakan contoh proses ajudikasi. Perhutani sebenarnya mempunyai strategi-strategi pengamanan yang beragam seperti : 1) Prioritas preemtif 2) Prosperity approach (pendekatan kesejahteraan), 3).penyediaan lapangan pekerjaan dan peluang usaha bagi masyarakat), 4).kerjasama pengembangan usaha produktif, program kesehatan masyarakat
5). Education approach (pendekatan pendidikan), 6) Pendidikan
lingkungan dan manfaat kelestarian hutan, penyuluhan-penyuluhan formal dan informal, pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan, 7). Participation approach (pendekatan partisipatif) 8). Peningkatan peran bersama stake holder (pemda, LSM, masyarakat) serta penyusunan program PHBM. Perlu
segara
dipikirkan
kebijakan
nasional
untuk
menyelesaika
persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah komunitas atau desa. Sejumlah masalah yang sangat genting, yaitu: a) menurunya kemampuan untuk menjaga keselamatan rakyat, b) menurunnya produksi rakyat, dan c) menurunnya kesinambungan layanan alam. Bagaimana agar ada kebijkan yang benar-benar mampu memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat yang mencakup tiga persoalan utama, yakni keselamatan rakyat, peningkatan produktivitas, dan kelangsungan pelayanan alam (Karsa, 2002). 7.8 Ikhtisar Lembaga baru yang dibentuk untuk melaksanakan PHBM belum dapat berfungsi secara optimal. Aktivitas kelompok sangat dipengaruhi kemampuan pengurus untuk dapat menggerakkan roda organisasi dalam menampung aspirasi dan dinamika masyarakat. Implementasi PHBM berlangsung tidak
112
seragam dan dipengaruhi berbagai faktor baik internal lembaga maupun eksternal. Di tiga desa penelitian aktivitas LMDH berbeda-beda kondisinya. sangat penting untuk memperkuat LMDH agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Kelangsungan kehutanan masyarakat hanya dapat dilakukan dengan institusi sosial yang kuat, piranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi social masyarakat. Dalam PHBM pada praktiknya masih terdapat ketidakseimbangan kedudukan. Pihak Perhutani masih mendominasi, mandor terlihat setengah hati dalam mengembangkan program. Kebanyakan petani belum sadar akan kedudukannya sebagai mitra, masih sebagai objek program. Dari teks perjanjian kerja sama, terlihat adanya ketidaksetaraan kedudukan antara kelompok tani dengan Perhutani. Diberikannya sanksi-sanksi yang menekan diberlakukan kepada petani Faktor keamanan hutan juga lebih banyak dibebankan kepada petani. Bagi hasil ini dalam PHBM ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi serta manfaat sumberdaya hutan. Sistem bagi hasil yang digunakan di BKPH Parung Panjang untuk jenis pohon Acasia mangium dengan daur 8 - 10 tahun : hasil dari penjarangan pertama pada umur 3 tahun, kayu bakar dan kayu perkakas 100% milik petani. Jika penjarangan pertama dilakukan pada umur lebih dari 3 tahun untuk kayu bakar 100 % milik petani, sedangkan untuk kayu
perkakas bagi hasilnya diatur. Pada tebang habis petani
mendapatkan 25 %. Kepemimpinan
local yang ada di lapangan tidak sepenuhnya
terakomodasi padahal tidak semua pengurus LMDH mampu menggerakkan seluruh anggota. Pemimpin nonformal seperti sesepuh, kiai mempunyai pengaruh yang besar dan menjadi panutan warga masyarakat. Sebaliknya pengurus LMDH yang secara formal menjadi pengurus malahan tidak sepenuhnya mampu menggerakkan masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM lebih banyak dilakukan dalam tahapan implementasi pelaksanaan sangat tinggi 92,6 %. Sedangkan keterlibatan petani dalam perencanaan, keikutsertaaan dalam rapat perencanaan, keterlibatan dan evaluasi dapat dilihat tingkat partisipasi petani rendah.
113
Konflik-konflik yang terjadi antara pengurus LMDH dengan petugas Perhutani terkait dengan pembagian lahan garapan setelah selesai penebangan. Konflik keuangan terkait dengan belum diterimanya bagi hasil setelah penebangan kayu. pencurian kayu oleh penggarap di petak yang dipelihara oleh KTH/LMDH atau penanaman dan pemeliharaan yang dapat bagi hasil bukan untuk mandor. Konflik juga terjadi berawal dari kasus pencurian yang dilakukan oleh
oknum
pengurus
KTH/LMDH,
atau
keluarga
dari
petugas
yang
penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum. Konflik karena perbedaan persepsi menurut para mandor penggarap belum mengetahui prinsip PHBM, penggarap maunya bagi hasilnya saja.Sebaliknya petani juga menganggap mandor mau menang sendiri PHBM sampai saat ini memang telah menunjukan hasil seperti meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberadaan hutan, menurunnya gangguan keamanan hutan, peningkatan pendapatan rakayat, semakin eksisnya keberadaan LMDH. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM lebih banyak dilakukan dalam tahapan implementasi pelaksanaan sangat tinggi 92,6 %. Sedangkan keterlibatan petani dalam perencanaan, keikutsertaaan dalam rapat perencanaan, keterlibatan dan evaluasi dapat dilihat tingkat partisipasi petani rendah.. Mayoritas petani mengetahui adanya perjanjian kerja sama, tetapi kurang dari separuh (44,4%) yang membaca isi perjanjian kerja sama sedangkan separuh lebih belum pernah membaca isi perjanjian. Dalam pelaksanaan PHBM masih terjadi berbagai konflik. Konflik yang terjadi bisa bersifat laten dan manifest. Konflik laten bisa ditemukan dalam bentuk rumor, perbincangan, keluhan dari petani, sedangkan yang manifest ada ketegangan hubungan antara pengurus LMDH dengan mandor Perhutani.
114
BAB VIII KEMITRAAN DENGAN POLA PHBM BELUM MEMBERDAYAKAN RAKYAT
8.1 Keragaan PHBM di BKPH Parung Panjang Program PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang dimulai pada tahun 2001. Lembaga yang dibentuk untuk pelaksanaan PHBM adalah kelompok tani hutan (KTH) di Desa Babakan, kemudian menyusul KTH Desa Tapos. LMDH baru dibentuk setelah kelompok tani hutan beraktivitas dalam pengelolaan hutan kemitraan. Para pengurus KTH yang merintis dan ikut mensosialisasikan PHBM kepada masyarakat. Sampai sekarang sudah terbentuk puluhan KTH dan LMDH. Setelah penerapan PHBM selama sekitar sepuluh tahun, kinerja PHBM di setiap desa tidak sama kondisinya. Untuk melihat apakah program
PHBM yang selama ini diterapkan di
Perhutani BKPH Parung Panjang mempunyai performansi yang baik dilihat dari keberlanjutan pengelolaan hutan.
Pengelolaan hutan secara berkelanjutan
dapat ditinjau dengan tiga lingkup: ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan. Ketiga dimensi saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan diartikan sebagai tingkat kemampuan sistem hutan untuk menjaga produktivitasnya dari masa ke masa. Keberlanjutan fungsi ekologis diartikan sebagai kemampuan pengelolaan dalam mendukung dan memelihara keseimbangan integrasi komunitas kehidupan hayati yang memiliki komposisi jenis, keanekaragaman, dan berbagai fungsi yang seimbang dan terpadu, seperti kondisi habitat alaminya. Kriteria yang digunakan untuk menganalisisnya perfomansi pengelolaan hutan di Perhutani BKPH Parung Panjang dapat dilihat dari matriks ketiga komponen dapat dilihat pada Tabel 31. Jika dicermati dari perfor Jika dicermati dari performansi PHBM di lapangan tampak bahwa PHBM yang dilaksanakan di Perhutani BKPH Parung Panjang lebih dominan pada aspek ekonomi. Produktivitas kayu yang dihasilkan dengan sistem ini meningkat karena berkurangnya pencurian. Produktivitas kayu akasia yang dihasilkan dari tahun sebelum dilaksanakannya program PHBM dengan
sesudah
diberlakukan
PHBM
mengalami
kenaikan.
Dengan
meningkatnya produktivitas kayu berpengaruh pula pada profit perusahaan. Bagi masyarakat, adanya PHBM ini memberikan tambahan pendapatan dari tanaman
115
pangan, penjarangan, kayu bakar, dan bagi hasil, meskipun jumlahnya masih sangat kecil dan hanya memberikan tambahan pendapatan. Tabel 31 Indikator Keberlanjutan PHBM Faktor Ekonomi
Indikator Produktivitas kayu Profit usaha Pendapatan naik
penilaian + + +
Lingkungan
Biodivesitas flora Biodiversitas fauna Sumber air
-
Sosial
Kemiskinan Kemanan hutan konflik menurun
+ +
Indikator lingkungan dilihat dari biodiversitas flora dan fauna di hutan dan sumber air. Biodiversitas merupakan keanekaragaman antar makhluk hidup dari berbagai sumber dan ekosistem lainnya, termasuk keanekaragaman dalam spesies antar spesies dalam ekosistem. Biodiversitas perlu dilindungi karena hutan masih menjadi sumber pangan dan obat-obatan, menjaga kestabilan ekosistem, plasma nutfah untuk kepentingan masa depan. Kondisi kawasan hutan di BKPH Parung Panjang sekarang ini berbeda jauh dengan kondisi hutan sebelumnya. Dilihat dari indikator lingkungan, hutan produksi dengan tegakan akasia yang mendominasi berpengaruh terhadap biodiversitas flora
dan fauna. Pemilihan jenis pohon Acassia mangium yang
ditanam secara monokultur berdampak kepada menurunnya biodiversitas flora. Tanaman pokok ini mengalahkan berbagai tumbuhan lain, bahkan rumput pun banyak yang tidak tumbuh lagi. Jika dibandingkan dengan kondisi hutan pada era tahun enam puluhan telah jauh berbeda. Pada masa itu kondisi hutan sangat bagus, tegakan yang dominan adalah puspa, mahoni, tambesu. Pohon di hutan tinggi-tinggi dan besarbesar, banyak rumput untuk pakan ternak, dan banyak jamur merah (kunir) yang bisa dikonsumsi. Biodiversitas fauna juga mengalami penurunan. Berdasarkan hasil diskusi dengan anggota kelompok tani hutan diperoleh informasi bahwa sebelum ditanam akasia banyak fauna yang sering ditemukan penduduk, antara lain: babi hutan, kelinci, ayam hutan, berbagai burung, ular, dan banyak ikan. Kondisi fauna saat ini jauh berbeda, fauna yang masih bisa ditemukan saat ini antara
116
lain:
babi hutan mulai jarang ditemukan, burung makin jarang. Kelinci, ular,
biawak masih bisa ditemukan. Akhir-akhir ini ditemukan adanya ular piton yang masuk kampung mencari makan dengan memangsa ayam milik penduduk. Dahulu sumber-sumber mata air banyak dan melimpah, air sumber tetap ada meski sudah kemarau lebih dari tiga bulan. Sekarang sumber air setelah kemarau satu bulan sudah kering, tetapi ketika musim hujan air meluber-luber. Di kawasan Parung Panjang terdapat hutan penelitian
Yanpala yang
dikelola Kementerian Kehutanan. Hutan multikultur ini masih terdapat sumber mata air yang besar karena hutannya masih alami. Sumber mata air dari hutan Yanpala sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan penduduk. Tanaman akasia diintroduksi pada tahun 1990 an yang dirintis oleh Kepala KPH Bogor waktu itu. Penggantian jenis pohon dengan akasia ini mulai menunjukkan hasilnya. Dengan produktivitas yang tinggi, waktu tanam yang relatif pendek dan profit yang baik secara ekonomi maka pilihan terhadap akasia dianggap paling tepat bagi Perhutani. Acasia merupakan andalan untuk produksi kayu dari BKPH Parung Panjang. Belum ada perubahan kebijakan untuk mengganti jenis pohon yang ada saat dengan jenis pohon lainnya. Pelaksanaan PHBM di BKPH Parung Panjang jika dicermati dari permasalahan sosial terlihat belum banyak berpengaruh. Memang ada tambahan pendapatan dari PHBM, tetapi sempitnya lahan garapan berpengaruh pada kecilnya pendapatan yang ada sehingga belum bisa diharapkan untuk dapat mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Rakyat di sekitar hutan produksi yang ada belum bisa lepas dari jerat kemiskinan. Alternatif pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat adalah menjadi pekerja informal di kota. Dengan adanya pembangunan transportasi kereta api rel ganda akan semakin memudahkan akses masyarakat berintegrasi dengan ekonomi pasar. Masyarakat dengan mudah dapat melakukan perjalanan ke kota Jakarta atau Tangerang. Meningkatnya hubungan masyarakat desa dengan masyarakat kota dapat menyebabkan makin tingginya kebutuhan uang untuk membeli produk industri atau menciptakan kehidupan yang lebih konsumtif (Suharjito dkk 2003). Keberhasilan sebuah program pemberdayaan dapat dilihat dari capaian terhadap indikator
yang
mencakup:
(I) berkurangnya
jumlah
penduduk
miskin; (2) berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia; (3) meningkatnya
kepedulian
masyarakat
terhadap
upaya
peningkatan
117
kesejahteraan keluarga miskin dilingkungannya; (4) meningkatnya kemandirian kelompok yang anggota sistem
ditandai dengan makin berkembangnya usaha
kelompok, makin kuatnya permodalan administrasi kelompok, serta makin
kelompok,makin
produktif rapihnya
luasnya interaksi kelompok
dengan kelompok lain di dalam masyarakat; serta (5) meningkatnya kapasitas masyarakat
dan
pemerataan pendapatan
pendapatan keluarga miskin
yang ditandai oleh peningkatan
yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan
kebutuhan sosial dasarnya (Sumodiningrat, 1999). Keberhasilan program PHBM dapat juga diukur dengan indikator antara lain: (1). Menurunnya gangguan terhadap kelestarian hutan, terutama yang disebabkan karena pencurian, (2). Menurunnya jumlah tanaman gagal disertai dengan meningkatnya kelas hutan.(4). jumlah
kualitas tanaman hutan.(3).
Membaiknya komposisi
Membaiknya neraca sumberdaya hutan, (5).
masyarakat miskin di desa hutan, (6).
Menurunnya
Berkembangnya
usaha
peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh masyarakat desa hutan dengan memanfaatkan sumberdaya hutan yang tersedia, (7). Meningkatnya kemandirian kelompok pada PHBM, dan (8). Meningkatnya pendapatan keluarga miskin di desa hutan (Yulianto, 2002). Pilihan terhadap jenis pohon akasia perlu pengkajian kebijakan yang lebih komprehensif mengingat sifat akasia yang kurang baik dalam menyuplai ketersediaan pakan ternak, ketersediaan sumberdaya air, dan mendukung keanekaragaman hayati. Petani juga hanya dapat menanam padi satu kali panen karena akasia cepat tumbuh dan berkembang sehingga mengalahkan tanaman lainnya. Prinsip keadilan dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang juga belum terwujud. Hubungan antara Petugas Perhutani dengan petani masih belum setara. Petugas masih dominan dan merasa paling berhak dan paling tahu bagaimana mengelola hutan. Sedangkan petani masih menjadi objek belum mampu berperan sejajar dengan Petugas Perhutani.
Tabel 32 Kinerja dari PHBM dari aspek produktivitas, keberlanjutan, keadilan Indikator Produktivitas Keberlanjutan Keadilan
Tinggi V
Rendah V V
118
Kondisi pencapaian dari PHBM saat ini , dilihat dari sudut masyarakat desa hutan dan Perhutani adalah : a) posisi tawar masih rendah, b) Hanya ada tambahan pendapatan masyarakat,c) kelembagaan KTH/LMDH telah terbentuk tetapi belum optimal, d) partisipasi baru pada tahapan pelaksanaan. Tabel 33 Kondisi Nyata PHBM dan Target Capain Aktor Masyarakat Desa Hutan
Kondisi existing 1)Posisi tawar rendah 2) Peningkatan pendapatan kecil 3)Lembaga belum optimal 4)Partisipasi dalam tahap pelaksanaan
Perhutani
1)Belum memberdayakan masyarakat 2) Sikap perilaku petugas intruktif 3) belum transparan 4) dominasi hubungan
Capaian yang diharapkan 1) Peningkatan posisi tawar 2) Peningkatan pendapatan 3) Lembaga optimal 4) Partisipasi dalam semua tahapan 1) Pemberdayaan masyarakat 2) Birokrasi lebih efisien 3) transparansi program 4) hubungan harmonis dan egaliter
Dari kondisi yang ada diharapkan mulai tumbuhnya kepercayaan terhadap sistem PHBM yang akan dilaksanakan melalui : peningkatan posisi tawar masyarakat, masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya, Masyarakat mengetahui
hak dan kewajibannya, peningkatan pendapatan masyarakat,
optimalnya kelembagaan di tingkat desa, konflik di kalangan masyarakat semakin berkurang. Hubungan antara Perhutani dan masyarakat yang diharapkan adalah terjadinya perubahan dari hubungan yang birokratis diubah menuju koordinatif. Dominasi yang terjadi diubah menuju memberdayakan rakyat.
Hubungan
Perhutani dengan masyarakat bersifat sejajar. Komunikasi lebih intensif sehingga tidak terjadi salah pengertian. Transparansi dan keterbukaan dalam pelaksanaan program perlu terus ditingkatkan.
8.2 Program Pengamanan Hutan melalui PHBM Setelah terbukanya keterbukaan pascareformasi, timbul kekecewaan masyarakat terhadap cara pandang dan cara kelola dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan
hutan
belum
mampu menyejahterakan
rakyat.
Perubahan-
perubahan untuk perbaikan pengelolaan hutan terus digulirkan dan segera direalisasikan. Sudah cukup lama hutan di Indonesia dikelola dengan cara tidak
119
adil, tidak berkelanjutan, dan hanya menguntungkan sedikit kelompok tertentu yang diistimewakan (Kusumanto et al 2006). Pengelolaan hutan oleh negara dalam praktiknya belum mampu menyejahterakan rakyat di sekitarnya. Keberadaan hutan tidak lagi bisa dimanfaatkan seluruhnya oleh masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan. Kondisi ini terus berlanjut
karena negara memberikan domain penuh atas
penguasaan dan pengelolaan hutan kepada Perum Perhutani, akibatnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan semakin tertutup. Masyarakat tidak lagi bisa menganggap bahwa hutan adalah bagian dari warisan nenek moyangnya. Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan akan dapat menjerat rakyat yang mencoba mengakses sumber daya hutan secara sepihak. Aturan hukum yang seharusnya menyejahterakan rakyat pada kenyataannya justru berlaku sebaliknya di lapangan.
Produk hukum
kehutanan menghilangkan hak dan akses masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani menjadi semakin sulit kehidupannya karena kesulitan mendapatkan lahan garapan. Perhutani membuat
program pengelolaan hutan bersama masyarakat
(PHBM) yang memberikan akses terbatas terhadap sumber daya hutan kepada masyarakat sekitar hutan. Dengan PHBM dinilai sudah memberi porsi kepada masyarakat melalui sistem bagi hasil. Perhutani mengklaim bahwa PHBM berhasil dalam menggerakkan perekonomian di beberapa desa. Proyek populis tersebut
sebenarnya
merupakan
bentuk
program
pengamanan
yang
dilaksanakan BUMN yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam, agar rakyat di sekitar hutan tidak mengganggu hutan tanaman. Program
PHBM
merupakan
salah
satu
bentuk
kebijakan
yang
dikembangkan dari para penganut paham developmentalis. Model pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dengan eksploitasi hasil hutan semaksimal mungkin untuk memperoleh pendapatan. Pembangunan yang mengejar
pertumbuhan
dilakukan
dengan
mengeksploitasi
hasil.
Fokus
pengelolaan lebih berorientasi pada meningkatkan pendapatan dari hasil eksploitasi hutan. Salah
satu
contoh
lain
melalui program
PMDH
(Pembangunan
Masyarakat Desa Hutan). Perusahaan swasta (pemegang HPH) diwajibkan memberikan perhatian bagi pembangunan masyarakat sekitar. Kebanyakan
120
perusahaan lebih suka memberikan bantuan berupa pembangunan fisik daripada pembangunan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat. Projek fisik memang paling mudah dilakukan dan bisa dilihat langsung bukti fisik bangunannya. Perusahaan tidak mau repot mengurusi persoalan pengembangan masyarakat (community development) yang rumit dan harus mempertimbangan aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Jika dicermati dalam PHBM, faktor keamanan hutan menjadi prioritas utama. Sebelum PHBM diterapkan pendekatan keamanan lebih dilakukan secara reperesif dengan penegakan hukum, menghukum pencuri kayu. Melalui PHBM pendekatan keamanan yang dilakukan lebih halus yaitu: tindakan persuasif dan represif. Tindakan dilakukan berfokus pada bagaimana mengamankan tanaman pokok dengan memanfaatkan kelembagaan yang sengaja dibentuk untuk itu. Sanksi-sanksi yang diberikan kepada petani yang terdapat dalam perjanjian kerja sama juga menunjukkan bahwa PHBM sarat dengan pendekatan keamanan. Jadwa piket menjaga hutan yang berlakukan pada LMDH juga bermuara pada penekanan terhadap faktor pengamanan kawasan hutan agar tidak terjadi kebakaran dan pembalakan liar. Masyarakat
sebenarnya
butuh
program
yang
mendasar
yang
mempunyai niat baik untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dan bersifat permanen bukan temporal. Pelibatan yang tidak egaliter akan menyebabkan rakyat mempunyai ketergantungan terhadap pihak lain. Prinsip yang harus digunakan sejalan dengan filosofi pemberdayaan masyarakat yang bersifat emansipatif, egaliter yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Pemberdayaan
masyarakat
butuh
keberpihakan.
Jika
ingin
memberdayakan masyarakat, perusahaan tidak bisa kerja sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Lembaga-lembaga lokal, LSM bisa berperan strategis dalam membantu karena memiliki kekuatan yang besar dalam proses fasilitasi, pemberdayaan, pendampingan, bahkan analisis kebijakan dan program pembangunan. Kekuatan ini bisa diandalkan untuk mengisi kekurangan yang dimiliki pemerintah dan swasta. Di Indonesia sudah banyak dikembangkan proses-proses fasilitasi, proses multipihak, kolaborasi atau kerjasama baik dalam proyek ataupun jaringan. LSM
bisa berperan strategis dalam mengatasi
kegagalan kebijakan dan kelembagaan (Djogo,2001).
121
8.3 Kontradiksi Peraturan tentang Pengeloaan Kawasan Hutan Konflik dan sengketa tenurial dalam kawasan hutan telah mengakibatkan ketegangan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Konflik-konflik yang terjadi dalam kawasan hutan terjadi akibat permasalahan-permasalahan pokok yang antara lain karena adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan dalam Undang-Undang
Kehutanan,
serta
sistem
penguasaan
lahan
menurut
pemerintah dan masyarakat. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak, tidak hanya antara pemerintah dan masyarakat saja (Contreras-Hermosilla dan Fay 2006). Masalah konflik tenurial yang terjadi di Indonesia berawal dari warisan kebijakan kolonial di masa Hindia Belanda yang kemudian berlanjut hingga kebijakan saat ini. Kebijakan kepemilikan (penguasaan) negara pada masa kolonialisme Belanda masih berlanjut hingga kini. Perubahan-perubahan terhadap kebijakan tersebut di masa kemerdekaan belum berjalan dengan baik. Ditinjau dari sisi sejarah, perubahan-perubahan kebijakan di masa Hindia Belanda hingga masa kemerdekaan dan berlanjut di era reformasi berkontribusi besar terhadap konflik tenurial yang terjadi. (Galudra, 2003) Perdebatan status tanah pada masa Belanda atas kepemilikan tanah hutan apakah tanah negara atau tanah adat masih belum tuntas. Perdebatan ini bermula diterbitkannya Agrarische Wet 1870 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan utama dari AW 1870 ini adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat membuka hutan dan menjadikannya perkebunan besar. Dengan berazaskan domeinverklaring, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domein (milik) negara, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah tersebut kepada perkebunan-perkebunan swasta. Walaupun Agrarische Wet 1870 ini berasaskan pada ketentuan domeinverklaring,
juga mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan
hak-hak masyarakat adat. Pada tahun 1874, suatu peraturan diterbitkan untuk memberikan penafsiran pasti yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan desa
122
untuk
Jawa
dan
Madura.
Tanah
milik
desa
adalah
padang
rumput
penggembalaan milik bersama, tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli untuk penggunaan mereka sendiri, baik yang dihuni maupun digarap, dan yang oleh mereka tidak telah ditelantarkan. Peraturan ini tidak mampu menjawab batasan-batasan hak-hak masyarakat desa atas wilayah hutan (Galudra,2003). Dalam perkembangannya, azas domeinverklaring juga menjadi dasar klaim bagi Jawatan Kehutanan atas penguasaan semua tanah hutan yang dianggap penting bagi fungsi hidrologi, klimatologi, dan produksi kayu. Menarik untuk dicermati bahwa isu-isu konservasi seperti hidrologi dilebih-lebihkan oleh Jawatan Kehutanan sebagai alat pembenaran atas penguasaan hutan dan sebagai upaya untuk menghilangkan hak-hak serta menutup akses penduduk atas hutan. Dalam azas domeinverklaring, tanah-tanah negara terbagi atas dua yaitu tanah negara bebas dan tanah Negara tidak bebas. Yang termasuk tanah negara tidak bebas antara lain hak sewa, hak milik, hak pakai pribumi dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk tanah negara bebas adalah tanah-tanah liar yang ditelantarkan. Dalam tafsiran pemerintah yang berlaku secara nyata di lapangan, tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat dengan tanah milik adat (agrarisch eigendom), demikian juga tanah-tanah ulayat adalah tanah domein Negara (Harsono, 2003). Asal-usul keruwetan dalam peraturan kehutanan berawal pada tafsir dari definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangan Kementerian Kehutanan. Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran pengawasan terhadap sumberdaya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap tanah dan sumberdaya alam yang disebabkan oleh ketidakpastian kepemilikan (negara atau rakyat) akan tetap menjadi masalah kecuali jika ada usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi kawasan hutan negara melalui strategi tindakan yang jelas. Manfaat pendefinisian dan pengklasifikasian kawasan hutan sangat penting bagi kepastian hukum tentang pengelolaan lahan. Wilayah yang merupakan bagian dari kawasan hutan harus dikelola di bawah seperangkat ketentuan pembatas yang tidak hanya dapat mengarah kepada perampasan hak-hak lokal, tetapi juga untuk membatasi secara administratif beberapa pola pemanfaatan hutan seperti pemanfaatan untuk pertanian atau wanatani.
123
Larangan akses masyarakat lokal terhadap padang rumput untuk dimanfaatkan bagi tanaman pangan bisa terjadi
karena tanah tersebut telah diklasifikasi
sebagai kawasan hutan yang hanya akan digunakan untuk penamanan pohon kayu-kayuan. Kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai
kawasan
hutan pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai hutan ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian (Fay dan Michon 2005). Hal ini secara umum mengabaikan tata guna tanah yang faktual di lapangan serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut, dimana hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial atau pemerintahan pascakolonial (Dove 1983; Lynch 1992). Adanya kontradiksi peraturan perundang-undangan tentang penguasaan hutan bermula dari UUPA 1960 yang mencabut Agrarische Wet 1870 beserta segala aturan pelaksanaannya, akan tetapi tidak secara tegas mencabut Bosch Ordonantie 1927 dan peraturan-peraturan kehutanan yang lainnya. Dengan demikian, terjadilah kontradiksi hukum agraria yang sangat mendasar. Di satu pihak tanah-tanah yang terletak diluar kawasan hutan diatur menurut UUPA 1960 yang berdasar pada hukum adat serta anti asas domein, sementara di pihak lain tanah-tanah yang terletak di dalam kawasan hutan (Jawa-Madura) masih tetap diatur menurut Bosch Ordonantie 1927 yang anti hukum adat dan menganut asas domein. Kontradiksi hukum agraria semakin meluas ketika pemerintah orde baru menetapkan Undang-undang Pokok-pokok Kehutanan tahun 1967 (Undangundang nomor 5/1967). Meskipun tidak dinyatakan secara terang-terangan, akan tetapi sesungguhnya undang-undang ini menganut asas domein. Hal Ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, undang-undang tersebut tidak mempertimbangkan UUPA 1960. Pembuat undang-undang kehutanan mengabaikan UUPA 1960 yang merupakan pembongkaran terhadap asas domein warisan kolonial. Kedua, undang-undang tersebut tidak secara tegas mencabut Bosch Ordonantie 1927 yang menganut asas domein. Bosch Ordonantie 1927 baru dicabut secara tegas melalui undang-undang kehutanan no 41 tahun 1999. Ketiga, dalam praktik pelaksanaan undang-undang kehutanan tersebut, tidak ada penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan. Meskipun tanah dan hutan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat
124
adat secara turun-temurun, jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Sebagai contoh, dalam hal pemberian hak penguasaan hutan (HPH) serta pelepasan kawasan hutan untuk keperluan usaha perkebunan swasta. Saat undang-undang
ini
diterapkan
bersamaan
dengan
maraknya
investasi
pengolahan kayu serta usaha perkebunan besar swasta, terjadilah gelombang penggusuran masyarakat adat dari kampung halamannya. UUPA yang menjadi dasar hukum sistem pengelolaan sumberdaya alam menjadi bias, karena bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Penanaman Modal dan lain-lain, adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan masyarakat. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak. Lahirnya UU Pokok Kehutanan
mengabaikan hak-hak ulayat dan
kepentingan penduduk lokal. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 dijelaskan: " Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat ”. Pasal ini mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam harus memperhatikan rakyat banyak. Kedudukan rakyat berada pada posisi penting yang tidak bisa diabaikan dengan alasan apa pun. Pasal 33 UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan bahwa kekayaan sumber daya alam Indonesia ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumberdaya alam lebih berorientasi eksploitasi. Beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan; 2)Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan; 3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; 4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang
tersebut
di
atas
mempunyai
karakteristik
:
1)
berorientasi pada eksploitasi sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, karena digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara. 2). Orientasi pengelolaan SDA lebih berpihak
125
pada pemodal besar sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam 3) Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada negara
sehingga pengelolaan sumber daya alam yang
sentralistik. 4). Implementasi pengelolaan yang dilakukan pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi. Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing ( Nurjaya 2006). Bila melihat isi Pasal 33 UUD 45, negara atau pemerintah yang diberi wewenang dalam mengelola sumberdaya hutan, seharusnya memberikan manfaat hutan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sulit dipahami, jika tujuan memakmurkan rakyat itu ditempuh dengan jalan menyingkirkan rakyat dari sumber penghidupannya. 8.4 Jalan Menuju Pemerataan Penguasaan dan Akses Lahan Hutan damar, hutan Kemiri, hutan RAKYAT
contoh pemberian akses
khusus yang lebih luas. Kondisi pertanahan di Indonesia kontemporer belum berubah dari zaman kolonialisme. Sengketa dan ketimpangan pemilikan serta penguasaan tanah adalah warisan penjajahan. Konsep semula yang digunakan adalah tanah dan hutan adalah milik
Raja Mataram yang berkuasa di Pulau
Jawa. Oleh karena Raja Mataram telah menyerahkan kekuasaannya atas sebagian wilayah Pulau Jawa kepada VOC, maka hutan-hutan di Pulau tersebut menjadi hak milik (domein) VOC atau Raja Mataram. Hal ini disimpulkan berdasarkan plakat 8 September 1803 yang pada pokoknya menyatakan, bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan Company sebagai domein (hak milik negara) dan regalia (hak istimewa raja dan para penguasa). Tidak seorangpun boleh menebang atau memangkas apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. Pendirian
tersebut
kemudian
diikuti
oleh
Gubernur
Jenderal
Daendels,yang memerintah Pulau Jawa pada tahun 1808-1811. Antara lain ditunjukan dengan tindakannya yang menjual tanah-tanah disekitar Jakarta dan Krawang kepada Orang-orang Eropa dan Tionghoa yang kaya, yang juga diberi
126
hak untuk menuntut pekerjaan rodi dari penduduk yang bermukim diatas tanah itu. Inilah asal mula adanya tanah-tanah Partikelir di Pulau Jawa. Raffles sebagai wakil pemerintah Inggris yang berkuasa antara tahun 1811-1816 meneruskan penjualan tanah-tanah di Pulau Jawa, sehingga semakin memperbanyak tanah-tanah Partikelir. Bahkan kemudian memproklamirkan bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja. Oleh karena kekuasaan Raja diambil alih oleh pemerintah Inggris, maka tanah adalah milik pemerintah Inggris. Oleh sebab itu petani diwajibkan membayar sewa tanah kepada pemerintah Inggris sebanyak 2/5 dari hasil tanaman. Menurut John Ball 6 sejak proklamasi Raffles itulah gelombang perampasan hak milik masyarakat lokal dikawasan Asia dimulai. Ketika Belanda kembali berkuasa di Pulau Jawa pada tahun 1816, mereka tetap mengikuti proklamasi Raffles. Seiring dengan perkembangan kekuatan Partai Liberal yang menguasai parlemen Negeri Belanda pada pertengahan abad ke 19 serta pertumbuhan modal di Eropa pada masa itu, maka Pemerintah Belanda berusaha menciptakan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para pemilik modal bangsa Belanda. Untuk itu maka pada tahun 1870 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Agrarische Wet 1870 yang kemudian diikuti dengan Agrarische Besluit 1870 sebagai aturan pelaksanaannya yang kemudian lebih populer disebut Domein Verklaring (Pernyataan Tanah Negara). Lebih kanjut, pada tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bosordonantie 1927. Kedua peraturan perundangundangan tersebut, sangat banyak mempengaruhi pemikiran dan praktik hukum di Indonesia sampai saat ini, terutama dibidang hukum penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Sebelum tahun 1870 pengusaha-pengusaha tidak dapat mendirikan perusahaan
pertanian
yang
besar serta
tidak
ada
kesempatan
untuk
mengembangkan sayapnya di Nederland Indie (Hindia Belanda). Mereka tidak dapat bisa mendapat tanah dengan hak “eigendom” dan hanya dapat menyewa tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar atau tanah kosong dengan waktu yang terbatas, yaitu tidak lebih dari 20 tahun saja. Hak sewa menurut hukum Eropa adalah hak yang bersifat pribadi, yaitu hak yang melekat pada orangnya, tidak terletak pada tanahnya. Bagi kalangan pengusaha, hak sewa tersebut dipandang tidak kuat dan tidak dapat dijadikan tanggungan untuk mendapatkan pinjaman dibank. Oleh sebab itu, Agrarische Wet 1870
127
mengintroduksi hak erfpacht dengan jangka waktu maksimum 75 tahun dan masih dapat diperpanjang bila dibutuhkan. Hak erfpacht dipandang lebih memenuhi kebutuhan para pengusaha, karena hak tersebut terlekat pada bendanya (tanah), sehingga dapat dijadikan tanggungan dalam meminjam uang di bank untuk menambah modal. Meskipun sudah ada jenis hak yang dapat mengakomodasi kepentingan para pengusaha, belum berarti pemerintah dengan mudah memberikan hak tersebut kepada pengusaha. Karena, hak pemerintah dibatasi oleh hak-hak rakyat yang diperoleh menurut kebiasaan setempat (hak adat). Oleh sebab itu, maka
diumumkan
pernyataan
tanah negara
(Domeinverklaring), melalui
Agrarische Besluit tahun 1870 (staatblad 1870 no 118). Pernyataan tersebut pada pokoknya menyatakan, bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom seseorang, adalah tanah milik negara (Domein vanden staat). Dengan demikian, maka semua tanah yang dikuasai oleh bangsa-bangsa pribumi menurut kebiasaan setempat, tergolong tanah milik negara (tanah negara). Karena, tidak satupun jenis hak menurut hukum kebiasaan di Indonesia (hukum adat) dapat disamakan dengan hak eigendom dalam hukum Eropa. Setelah penegasian hak-hak bangsa pribumi (masyarakat adat) atas tanah, maka pemerintah Hindia Belanda menjadi leluasa dalam memberikan hakhak erfpact dan hak-hak lainnya kepada pengusaha untuk mendirikan perusahaan perkebunan. Itulah sebabnya meskipun ada bagian dari Agrarische wet 1870 yang memperingatkan agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda jangan melanggar hak-hak pribumi dalam pemberian hak atas tanah, ketentuan tersebut menjadi tidak banyak berarti. Pernyataan tanah negara sebagaimana diatur dalam besluit tersebut hanya berlaku di Pulau Jawa Madura, khususnya didaerah-daerah yang diperintahkan langsung oleh Belanda, tetapi tidak berlaku didaerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Belanda /berpemerintahan sendiri (swapraja). Menurut Schrieke, sampai menjelang kejatuhan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia ada sekitar 93 % pulau Jawa Madura dan sekitar 40 % wilayah diluar Pulau Jawa Madura, merupakan daerah gubernemen. Jadi, pernyataan tanah negara sebagaimana diatur dalam besluit tersebut, tidak berlaku untuk sebagian besar daerah diluar Pulau Jawa Madura yang merupakan daerah swapraja. Di daerah-daerah tersebut, tetaplah berlaku hukum adat masing-masing yang tentu saja pluralistik. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan kolonial
128
Belanda memperluas wilayah berlakunya Domeinverklaring melalui sejumlah pernyataan khusus, antara lain untuk daerah-daerah gubernemen di Sumatra (staatblad 1874no 94), Manado (staatblad 1877 no 55), serta Kalimantan Selatan dan Timur (staatblad 1888 no 58). Cengkeraman para pemilik modal dan hukum Eropa terhadap tanah di Indonesia semakin kokoh, ketika pemerintah menetapkan sejumlah ordonansi erfpact, antara lain ordonansi erfpact untuk daerah-daerah swapraja diluar pulau Negara Baru, Hukum Lama Sebagaimana lazimnya bangsa yang merasa berhasil menumbangkan kekuasaan penjajahnya, maka segala hal yang berbau penjajah harus dirombak. Semangat perombakan itu, mendominasi sepanjang masa kekuasaan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno. Pidato Menteri Agraria (Mr. Sadjarwo) pada pembahasan Rancangan Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria tahun 1960 (lebih populer disebut UUPA 1960) dalam sidang DPR-GR, menyatakan : “…rancangan undang-undang ini selain akan menumbangkan puncak- puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketasengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dan aparat-aparat pemerintahan dengan rakyatnya sendiri……”. Dalam
konsideran
UUPA
1960
antara
lain
menyatakan,
bahwa
perundang- undangan agraria kolonial tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli (masyarakat adat). Oleh sebab itu diperlukan Undang-undang agraria baru yang berdasarkan hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih lanjut dalam penjelasan umum UUPA 1960 dinyatakan, bahwa asas domein sebagaimana yang dianut Agrarische Besluit 1870 bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia. Oleh karena itu, maka asas tersebut ditinggalkan dan pernyataan pernyataan domein dicabut kembali. UUPA 1960 berpangkal pada pendirian, bahwa tidak pada tempatnya negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat bertindak selaku badan penguasa. Isi konsideran dan penjelasan UUPA 1960 tersebut menunjukan, bahwa UUPA 1960 dapat dipandang sebagai monumen pembongkaran terhadap tatanan perundang-undangan agraria kolonial, dan sekaligus menetapkan hukum adat sebagai tuan dirumahnya sendiri.
129
Ketidakjelasan status lahan mengakibatkan terjadinya ratusan kasuskasus kriminalisasi terhadap petani dengan dasar Undanga-undang non or 41 tahun 1999. Maraknya reklaiming dalam beberapa tahun terakhir setelah kejatuhan Soeharto yang dilakukan oleh masyarakat adat dan petani terhadap kawasan hutan dan lahan perkebunan swasta dan pemerintah di seluruh Indonesia. Permasalahan yang terjadi pada status kepimilikan lahan yang tidak jelas. Akibatnya banyak kasus-kasus Reklaming yang dilakukan masyarakat digolongkan pada kriminalisasi sesuai dengan UU 41 tahun 1999. Setidaknya 300 kasus terjadi di Jawa Barat dan 542 di Jawa Tengah. UU 41/99 dijadikan pegangan hukum bagi perhutani untuk memenjarakan orang-orang tersebut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan yang dikelola masyarakat (Serikat Petani Pasundan) di kawasan selatan Jawa Barat jauh lebih baik kondisi hutan yang dikelola Perhutani. Berbagai negara memang telah melakukan gerakan dengan menyerahkan penguasaan lahan hutan (land ownership) kepada masyarakat lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas sumberdaya hutan. Demikian juga dengan Afrika, negara-negara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan. Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan (hampir 20% dari wilayah Filipina) diklasifikasikan sebagai wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan China. World Summit of Sustainable Development di Afrika Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia. Pemerintah yang terbukti telah gagal mengelola hutan, sudah saatnya mengkuasakan sebagian dari kawasan hutan negara kepada masyarakat. Dilain pihak, keengganan pemerintah dapat pula dipahami, selain hal tersebut bertentangan dengan UU 41/1999,
semakin rapuhnya kelembagaan dan
kearifan masyarakat lokal, maka penguasaan hutan kepada masyarakat dikawatirkan hanya memindahkan nasib hutan dari mulut singa ke mulut harimau. Kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam
memprioritaskan
tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau jika memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat (baik secara kolektif
130
maupun perseorangan) atas tanah di dalam kawasan hutan. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (Pasal 33 UUD 1945). Sebaliknya, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memungkinkan bagi negara untuk menguasai secara langsung tanah, jika hanya ketika tidak ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Setelah dilakukan kajian menyangkut hak-hak atas tanah di dalam kawasan hutan, walaupun
tanah
tersebut dikuasai langsung
oleh
negara, kewenangan
Kehutanan hanyalah menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan pada tanah tersebut, (Fay dan Sirait, 2004). Inti dari masalah tersebut yang dihadapi petani adalah kecilnya aset atau akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, dan terbatasnya akses ke sumber sosial serta ke sumber politik. Program pemerataan sumberdaya agraria dapat menjadi
solusi yang
dilaksanakan. Perlu segera realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria seperti yang sudah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2006 melalui Program Pembaharuan Agraria (PPAN). Reforma agraria merupakan salah satu alternatif solusi yang bisa dipilih untuk realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria. Reforma agraria bukan sekedar bagi-bagi tanah tetapi adalah mengubah pola relasi kelas di masyarakat melalui redistribusi ruang kelola yang berkeadilan. Program reforma agraria harus menyeluruh dan menyentuh penataan pada empat segi dasar yaitu: 1) penataan perubahan dalam tata kuasa atas sumber-sumber agraria, 2) perubahan dalam tata guna sumber-sumber agraria, 3) perubahan tata produksi, dan 4)perubahan tata konsumsi. Menurut Winoto (2008) reforma agraria berdasar pada sebuah proses distribusi yang adil atas tanah. Tanah bagi kebanyakan manusia merupakan identitas yang melekat kepadanya status kebangsaan dan Kenegaraannya. Agar tanah dapat menjadi modal kehidupan, harus didasarkan kepada empat prinsip berikut: (i) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (ii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan hidup berkeadilan; (iii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, dan
131
kebangsaan Indonesia; dan (iv) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menata kehidupan yang harmonis dan mengatasi berbagai konflik sosial. Reforma Agraria merupakan agenda yang harus menjadi mainstreaming bangsa ini kini dan esok . Dengan reforma agrarian akan menyelesaikan berbagai masalah struktural bangsa yang selama ini tidak terpecahkan dan akan mengembalikan identitas kewargaan yang selama ini kadang tidak terdengar karena
alienasi
pembangunan.
Kepemilikan
tanah
berpengaruh
pada
kemakmuran, keadilan, dan keberlanjutan. Reforma Agraria tidak lain untuk melanjutkan amanat UUD 45, tanah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Karena negara memiliki kekuasaan atas seluruh bumi, air, dan udara, maka dengan reforma agraria berarti negara telah mendorong proses tegaknya keadilan social (Winoto 2008). Negara mana pun yang kini maju, selalu diawali dengan pelaksanaan reforma agraria dalam fase awal pembangunan bangsanya. Reforma agraria merupakan kebijakan mendasar yang langsung dapat membuka akses terhadap kedua sumber itu. Inti dari reforma agraria adalah penataan ulang struktur penguasaan tanah menjadi lebih berkeadilan sosial. Melalui landreform, rakyat miskin, terutama kaum tani yang hidupnya bergantung pada penggarapan tanah, dipastikan akan mendapatkan akses pemilikan tanah. Namun persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat, tanpa masyarakat menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurang berdayaan (miskinnya pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar) telah membuat mereka gagal mentransfer sumberdaya berharga yang mereka miliki kedalam nilai pasar. Tragisnya, apabila aksesibilitas ekonomi mereka di suatu saat meningkat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberdaya alam yang mereka miliki, karena pada saat itu berbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin termarginalisasi. Melalui Perpres No 10/2006 Badan Pertanahan Nasional ditugaskan untuk melaksanakan reforma agraria, dalam merumuskan naskah awal konsep,
132
strategi, dan model reforma agraria. Namun, reforma agraria itu agenda besar yang lintas sektor dan lintas kepentingan sehingga butuh kelembagaan yang juga bisa menjembatani beragam kepentingan dan sektor-sektor yang ada. Idealnya, reforma agraria itu dipimpin Presiden melalui suatu lembaga khusus yang melibatkan banyak pihak yang punya kapasitas dan kepentingan sejalan. Perwujudan pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil politik, sesungguhnya dapat ditemukan dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960) misalnya, telah memuat sejumlah peraturan yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk penghidupan yang layak bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada tanah. UUPA 1960 juga mengatur bagaimana Negara seharusnya memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber agraria di Indonesia untuk tujuan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA 1960 adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak. Walaupun UUPA 1960 telah merumuskan dan menjamin hak-hak rakyat khususnya kaum tani untuk mencapai penghidupan yang layak, menguatnya kecenderungan untuk memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya kepada kepentingan pengusaha untuk menguasai tanah dan sumber-sumber agraria lainnya lebih mendominasi kebijakan pemerintah di Indonesia pasca 1965. Akibatnya yang terjadi adalah ketimpangan dalam penguasaan tanah yang disusul dengan maraknya konflik pertanahan sebagai akibat dari praktek-praktek penggusuran dan proses peningkatan "ketuna-kismaan" (landlessness). Sudah 51 tahun sejak UUPA 1960 ditetapkan sebagai payung hukum tunggal atas persoalan agraria, namun sampai saat ini kondisi kaum tani di Indonesia
belumlah
sejahtera.
Reforma
Agraria
adalah
cita-cita
dari
kemerdekaan nasional demi kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat. Untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut maka dibuatlah UUPA 1960. Namun dalam kenyataannya, Reforma Agraria sebagai salah satu tujuan Negara belum pernah secara sungguh-sungguh dijalankan sesuai dengan amanat UUPA
133
1960 dan UUD 1945 pasal 33. Alih-alih menjalankan UUPA 1960, Negara justru menyelewengkannya dengan menerbitkan pelbagai undang-undang yang sektoral seperti UU Sumber daya Air, UU Perkebunan, UU Pertambangan dan undang-undang lainnya. Reforma Agraria yang sejati masih jauh api dari panggang. Politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa. Sepanjang rezimnya menganut politik agraria yang kapitalistik, otoritarian, dan represif, sengketa agraria struktural akan terus terjadi. Kita mesti terlebih dahulu bersepakat untuk mengubah politik agraria kita, dari politik agraria yang progolongan ekonomi kuat (kapitalis) menjadi progolongan ekonomi lemah. Sosial forestri dengan demikian adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa (miskin) dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya! Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Sosial forestri adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat De Soto (2006) berpendapat bahwa kapitalisme gagal di luar Barat bukanlah karena alasan-alasan : perbedaan budaya, kurangnya kewirausahaan, agama, inefisiensi, ataupun faktor kemalasan. Kepemilikan properti sebagai kunci untuk mengakhiri kemiskinan, yang hanya dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran. Properti yang menurut De Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital, sangat menentukan perkembangan kapitalisme. Teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik yang terpadu, sehingga membuat kaum miskin tidak mungkin dapat menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai instrumen dan kapital guna mengembangkan jati dirinya. akibatnya,
134
kelompok petani di dunia berkembang, selalu terperangkap dalam jerat kemiskinan karena mereka hanya mampu hidup secara subsisten. Masyarakat di dunia berkembang umumnya tidak memiliki sistem kepemilikan tanah formal yang terpadu sehingga hanya memiliki kepemilikan secara informal terhadap tanah dan barang-barang. Menurut Mubyarto (2006) bagi kita di Indonesia apa yang disampaikan De Soto dalam buku The Mistery of Capital sangat relevan terutama setelah terjadi krisis moneter 1997-98 jelas-jelas membuktikan kegagalan upaya menerapkan kapitalisme oleh pemerintah Orde Baru sejak 1966. Para penentu kebijakan ekonomi Orde Baru mengira sistem ekonomi kapitalisme sama dengan sistem demokrasi ekonomi berdasar atas asas kekeluargaan yang bersumber pada Pancasila. Kesadaran bahwa sistem kapitalisme liberal tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan demokrasi ekonomi Pancasila tidak pernah ada sampai menjadi sangat terlambat pada saat krisis moneter meledak Agustus 1997, 30 tahun sejak mula-mula diterapkan. Adalah sangat merisaukan bahwa banyak pakar ekonomi tetap tidak percaya
tentang kekeliruan atau ketidak tepatan
sistem kapitalisme bagi Indonesia yang berpaham Pancasila, dan hanya menyalahkan
penerapannya
saja.
Kesilauan
terhadap
sistem
ekonomi
kapitalisme mengakibatkan secara langsung pandangan yang meremehkan peranan ekonomi rakyat yang “tak ber-kapital”. Ekonomi Rakyat yang lebih banyak mengandalkan pada modal sendiri dianggap “extra-legal”, bahkan tak diakui eksistensinya.
8.5 Skenario Kebijakan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
Untuk
merumuskan
alternative
kemasyarakatan digunakan analisis
kebijakan
pengelolaan
analytical hierarchy
process
hutan (AHP).
Penentuan prioritas pengelolaan hutan kemasyarakatan disusun menurut urutan prioritas berdasarkan hasil analisis yang melibatkan para pakar dan pemangku kepentingan. AHP bisa digunakan sebagai metode yang efektif dalam penentuan prioritas-prioritas yang strategis. Data yang digunakan merupakan representasi dari para pakar dan pemangku kepentingan yang juga mewakili instansi-instansi dan kepakaran yang terkait dengan pokok kajian. Dalam perumusan alternatif kebijakan ini, menggunakan 11 pakar sebagai responden yang mewakili instansiinstansi terkait, yaitu: perguruan tinggi (IPB), Peneliti dari Kementrian Kehutanan,
135
peneliti dari ICRAF (World Agroforestry Centre), Perum Perhutani, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, lembaga swadaya masyarakat (LSM) LATIN Bogor, dan masyarakat dari kelompok tani hutan. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa aktor –aktor yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di BKPH Parung Panjang adalah Perum Perhutani (bobot 0,3402247). Hal ini berkaitan dengan tugas, fungsi kewenangan Perhutani dalam mengelola dan menjaga kelestarian hutan. Dalam pengelolaan hutan Perhutani juga harus tetap memberikan profit bagi perusahaan. Perhutani mendapat mandat dari Kementerian Kehutanan untuk mengusahakan hutan di Jawa , dan menyejahterakan masyarakat
di sekitar
hutan BKPH Parung Panjang, KPH Bogor. Aktor yang memiliki peran penting lainnya adalah masyarakat (bobot 0,3322763). Masyarakat adalah pihak yang berkepentingan langsung dalam memanfaatkan hutan. Karena masyarakat yang sehari-hari tinggal di sekitar hutan maka interaksi mereka terhadap hutan sangat erat. Hutan bagi masyarakat menjadi sumber penghidupan, sebagai cadangan kawasan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, kayu bakar, dan pakan ternak. Aktor penting lainnya yang seharusnya berperan penting dalah pemerintah daerah (bobot 0,2281742 ). Pemda merupakan pihak yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengelola dan membangun wilayah Kabupaten Bogor. Semua aspek ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi tanggung jawab pemda. Pemda diharapakan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjaga kelestarian lingkungan, dan menjaga wilayah sesuai dengan fungsi dan peruntukannya Aktor yang diperlukan dalam pendampingan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah LSM (0,0993252).LSM sebagai lembaga nonpemerintah diharapkan bisa menjadi fasilitator bagi masyarakat dalam berhubungan dengan pihak lain, baik dari jajaran pemerintah maupun pihak swasta. Dukungan LSM sangat diperlukan dalam mengakses sumberdaya hutan dan memfasilitasi pemberdayaan masyarakat melalui berbagai program yang digulirkan pelbagai pihak : instansi pemerintah, BUMN, perusahaan dan pihak-pihak lain yang terkait dengan pengelolaan hutan kemasyarakatan.
136
Gambar 5 Hasil AHP pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
137
Gambar 6 Aktor yang Berpengaruh terhadap Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
Pada level faktor, faktor terpenting yang menjadi prioritas utama dalam pengelolaan hutan kemasyarakat adalah kebijakan dengan (bobot 0,23222). Keberhasilan program hutan kemasyarakatan sangat bergantung dari kebijakan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Kebijakan yang memberikan keberpihakan kepada rakyat sangat diperlukan dalam implementasi program. Karena dalam praktiknya program hutan kemasyarakatan harus dilaksanakan melalui proses rumit
dan
waktu
yang
lama
kebersamaan, dan kemitraan
untuk
bisa
para pihak
mewujudkan yang
kesepahaman,
terkait. Komitmen dan
kesungguhan dari pelaksana kebijakan untuk melaksanakan program sangat menentukan berhasil tidaknya pengelolaan hutan kemitraan. Faktor penting lainnya yang berpengaruh adalah kelembagaan dengan bobot (0,1976824). Kelembagaan dalam pelaksanaan PHBM seperti LMDH dan KTH merupakan perangkat penting sebagai badan hukum secara formal yang bisa mewadahi petani. KTH menjadi wadah permusyawaratan, forum tukar pendapat (berdiskusi), wahana interaksi antaranggota kelompok dan wahana memperjuangkan aspirasi masyarakat. Dengan pengelolaan yang terprogram dengan baik, KTH/LMDH dapat merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi program yang dijalankan, dan melakukan negosiasi dengan pemangku kepentingan yang lain.
138
Faktor ekonomi adalah faktor penting lainnya dengan bobot (0,1976823). Secara ekonomis, program pengelolaan hutan kemasyarakatan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagi perusahaaan, program yang dijalankan juga harus menguntungkan secara ekonomis sehingga dapat meningkatkan keuntungan perusahaan. Kemiskinan masih mendominasi kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan oleh karena itu diperlukan kegiatan perekonomian warga sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan hendaknya dapat mengurangi jumlah orang miskin di sekitar hutan. Faktor
lain
yang
berkaitan
erat
dengan
pengelolaan
hutan
kemasyarakatan adalah faktor sosial dengan bobot (0,1976823). Permasalahan sosial seperti keamanan hutan merupakan masalah yang tidak mudah diselesaikan. Permasalah pencurian kayu, pembalakan liar, kebakaran hutan, perusakan tanaman oleh binatang ternak merupakan permasalahan sosial yang sebenarnya dapat diatasi dengan kerja sama antara masyarakat bersama dengan Perhutani. Dengan adanya kerja sama, tugas menjaga keamanan hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab Perhutani saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama masyarakat yang setiap hari berada di dekat kawasan hutan. Faktor lain yang penting adalah faktor lahan dengan bobot (0,1747331). Bagi petani yang tinggal di sekitar hutan, ketergantungan terhadap lahan sangat besar karena sempitnya lahan yang dimiliki petani sehingga daya dukung lahan yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Hal yang paling mudah dilakukan bagi penduduk di sekitar hutan adalah mengakses lahan hutan yang ada. Akses dan pemanfaatan lahan tidak dapat dicegah dengan larangan, tetapi akan lebih baik jika akses itu dapat diatur dalam perjanjian kerja sama antara masyarakat dengan Perhutani dengan hak dan kewajiban yang disepakati bersama seperti dalam Surat Perjanjian Kerja Sama yang dilakukan antara KTH/LMDH dengan Perhutani yang diwakili oleh Asper Perhutani.
139
Gambar 7 Faktor yang berpengaruh dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
Strategi yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak boleh mengabaikan kebutuhan masyarakat. Strategi pendapatan masyarakat dengan bobot tertinggi sebesar (0,2046499) menjadi pertimbangan paling penting. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat melalui kemitraan ini dapat dijamin adanya keuntungan ekonomis yang dapat dirasakan masyarakat. Dengan demikian, gangguan keamanan baik berupa pembalakan liar, pencurian, dapat diminimalisasi sehingga hutan lestari dapat terus diwujudkan.
Gambar 8 Strategi dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
140
Strategi kedua yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan, yaitu mengurangi konflik merupakan strategi penting dengan bobot (0,1767883). Dalam pengelolaan hutan dengan basis kemitraan, persoalan konflik antar para pihak memang harus diusahakan untuk tidak berlanjut dan dapat diselesaikan dengan kesepakatan yang terus diupayakan secara optimal. Konflik seringkali terjadi akibat perbedaan persepsi, nilai, kepentingan, dan cara pandang yang berbeda diantara para pihak yang bermitra. Strategi lain yang bisa dilakukan adalah selalu mengutamakan kelestarian hutan dengan bobot (0,1584079 ). Fungsi hutan harus menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan dalam pengelolan hutan kemasyarakatan. Hutan yang lestari dapat menjamin ketersediaan kayu, pangan, obat-obatan, kayu bakar yang diperlukan masyarakat sekitarnya. Jika hutan rusak semuanya akan dirugikan dan bencana yang lebih besar akan terus mengancam. Strategi lain yang bisa dilakukan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengembangan usaha produktif (0,1650988). Usaha produktif yang paling layak dilakukan adalah mempertimbangkan potensi yang ada, ketersediaan bahan seperti kerajinan yang memanfaatkan kulit kayu. Kulit kayu ini dapat dimanfaatkan untuk membuat pot bunga plastaki, keranjang kecil, asbak. Peternakan ayam pedaging sudah banyak juga dilakukan di wilayah ini dana semakin lama semakin berkembang. Strategi yang dilakukan perlu pula mempertimbangkan kesempatan kerja dengan bobot (0,1747843). Dengan terbukanya kesempatan kerja akan ada kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja di sekitar daerahnya tanpa harus pergi ke luar daerah dengan meninggalkan kampung halamannya. Dengan bekerja, masyarakat akan mendapatkan penghasilan. Strategi yang dilakukan harus tetap mempertimbangkan
profit usaha
dengan bobot (0,1202707 ). Perhutani sebagai perusahaan yang mempunyai tujuan untuk terus membukukan keuntungan disamping harus memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitra hutan. Tanpa adanya profit perusahaan yang memadai akan menganggu kegiatan operasionalnya sehingga pengelolaan hutan lestari dan kemakmuran masyarakat sulit diwujudkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa prioritas utama kegiatan adalah penguatan kelembagaan dengan bobot (0,304747). Keberhasilan program hutan kemasyarakatan tidak bisa dilepaskan dari organisasi kelompok tani hutan (KTH) atau LMDH. Semakin solid kelompok dan semakin baik aktivitas kelompok
141
semakin besar kemampuannya untuk bisa berperan optimal sebagai wadah penyalur aspirasi dan memperjuangkan aspirasi anggota. Oleh karena itu, untuk bisa berfungsi seagaimana yang diharapkan lembaga seperti KTH/LMDH perlu dioptimalkan peran, fungsi dan keberadaannya. Pembenahan manajemen, administrasi, keterampilan, soliditas kelompok diharapkan dapat dilakukan sebagai bentuk capacity building sehingga kelompok mampu mewakili aspirasi dan kepentingan anggota masyarakat dalam bernegosiasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Akses terhadap sumberdaya hutan merupakan prioritas kedua dengan bobot (0,268322). Masalah yang dihadapi petani di sekitar hutan adalah kepemilikan lahan yang sempit bahkan tidak sedikit petani yang tunakisma (tidak memiliki lahan) untuk bertani. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memanfaatkan lahan hutan yang ada baik lahan kosong maupun lahan yang ditanami pohon. Dengan demikian petani dapat melakukan tumpangsari atau pemeliharaan terhadap pohon yang sudah ada. Akses terhadap hutan merupakan alternatif solusi terhadap pemenuhan kebutuhan pokok petani baik kebutuhan terhadap lahan, pangan, kayu bakar, maupun pakan ternak. Prioritas kebijakan yang lain adalah pengelolaan hutan kemitraan yang adil dan demokratis dengan bobot (0,224637). Kemitraan memang memerlukan kesetaraan kedudukan, kesamaan persepsi, transparansi, kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga program dapat dilaksanakan dengan baik. Para pihak yang bermitra harus terbuka, saling percaya, mau belajar bersama, saling menghargai sehingga kemitraan yang dilakukan didasarkan pada prinsip kesetaraan, keadilan, dan demokrasi. Kebijakan
lain
yang
bisa
dilaksanakan
dalam
program
hutan
kemasyarakatan adalah usaha produktif dengan bobot (0,202295). Selain bertani sebagai mata pencaharian sebagian besar masyarakat di sekitar hutan, kegiatan usaha kerajinan kulit kayu bisa menjadi alternatif usaha. Kerajinan kulit kayu yang memanfaatkan limbah kulit kayu dari tempat penimbunan kayu (TPK) ternyata banyak dimanfaatkan masyarakat untuk membuat vas bunga plastik, keranjang, dan asbak. Pasar dari produk kerajinan ini sudah tersedia dan cukup luas. Kegiatan produktif lain yang dikembangkan rakyat adalah peternakan ayam, dengan sistem bagi hasil. Pemeliharaan ternak ayam pedaging biasa dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak investor dari luar. Masyarakat menyediakan
142
lahan,kandang, dan tenaga kerja untuk pemeliharaan, sedangkan investor menyediakan : bibit, pakan, dan pasar produk peternakan. Skenario kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di Perhutani BKPH Parung panjang dapat terlihat pada gambar 9 berikut.
Gambar 9 Alternatif Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
8.5 Penguatan Kelembagaan Kelembagaan bukan hanya sekedar adanya organisasi atau tata aturan yang sudah dibuat tetapi menyangkut juga bgaimana menguatkan organisasi petani sekitar hutan sehingga anggota KTH sadar dan mengetahui hak dan kewajiban. Penting untuk memperkuat organisasi masyarakat pengelola hutan kemasyarakatan agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajibannya terhadap sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, instrumen organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat , program hutan kemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan baik. Kelembagaan bukan hanya sebatas pada kegiatan membetuk organisasi masyarakat sebagai pelaksana program. Kelembagaan ini mencakup juga aktivitas untuk mempertegas menentukan batas-batas yuridiksi atas lahan, mengupayakan permodalan. Dukungan kebijakan terhadap program merupakan aspek lain yang cukup penting. Akhirnya kelembagaan yang ada diharapkan dapat melaksanakan program pemberdayaan yang demokratis. Aspek kelembagaan merupakan salah satu hal terpenting dalam rencana pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Ada enam isu
143
pokok dalam aspek kelembagaan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan yakni: 1) kurangnya peran dan sinergitas diantara para pihak (stakeholder), baik sinergitas antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan; 2) lemahnya akses masyarakat terhadap modal (finansial, lahan, saprodi), pasar, iptek, informasi, dan dalam proses pengambilan kebijakan; 3) melemahnya
social capital
(kepercayaan, kebersamaan, partisipasi,
jejaring) masyarakat yang diberdayakan; 4) keempat, kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan; 5) lemahnya posisi tawar masyarakat dalam kemitraan pengelolaan sumber daya hutan; 6) lemahnya data dan informasi tentang masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta kurangnya kepedulian terhadap data (Dephut, 2007). Kurangnya peran dan sinergitas diantara para mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kegiatan sehingga tidak efektif. Hal ini juga berakibat pada sulitnya menciptakan komitmen bersama dalam mengembangkan potensi sumberdaya hutan secara optimal. Akibat dari kurangya peran dan sinergitas diantara para pihak, laju pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan menjadi lambat. Lemahnya akses masyarakat terhadap modal, pasar, iptek, informasi, dan dalam proses pengambilan kebijakan menyebabkan masyarakat tetap dalam kondisi marginal dan apatis.
Pengembangan unit usaha sulit tercipta karena
peluang masyarakat untuk memperoleh modal pengembangan terbatas. Lemahnya
akses
masyarakat
terhadap
modal
mengakibatkan
program
pemberdayaan masyarakat bersifat top down dan tidak tepat sasaran. Modal
sosial
berpengaruh
pemberdayaan masyarakat.
terhadap
Melemahnya
kesuksesan
program
modal social (kepercayaan,
kebersamaan, partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan akan berdampak pada terhambatnya pengembangan potensi masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, dan tidak efektifnya berbagai program. pemberdayaan
masyarakat
menjadi
kehilangan
menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
arah
dan
Program berpotensi
Rendahnya modal sosial dapat
menjadi faktor penyebab resistensi masyarakat terhadap program pemberdayaan dari pemerintah dan kurang optimalnya internalisasi kebijakan di tingkat masyarakat.
144
Adanya kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan merupakan permasalahan kelembagaan yang cukup serius. Kesenjangan antara substansi kebijakan dan implementasi mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat pada aparat pemerintah sehingga program-program tidak bisa berjalan efektif. Selain itu masyarakat akan kecewa dan apatis, yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Apabila kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan sangat lebar, jika terjadi kegagalan program maka sesungguhnya masyarakatlah yang menjadi korban. Lemahnya posisi tawar masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan menyebabkan masyarakat akan dirugikan dan peran masyarakat semakin termarginalkan. Pengaruhnya akan dapat menurunkan semangat masyarakat dalam berusaha dan mengurangi kreativitas masyarakat. Lemahnya data dan informasi tentang masyarakat sekitar hutan mengakibatkan rendahnya akurasi dan kepedulian terhadap keberhasilan program, serta kekeliruan dalam penetapan program kerja dan kebijakan sehingga bermuara pada program yang tidak tepat sasaran. Lemahnya data dan informasi serta kurangnya kepedulian terhadap data adalah refleksi dari perencanaan yang ceroboh atau terkesan asal jadi. Dalam tataran implementasi kebijakan terjadi kesenjangan informasi sehingga pengelolaan sumber daya hutan kurang optimal. Akibat lemahnya data dan informasi, potensi masyarakat tidak dapat tergali secara optimal, sehingga sulit melakukan evaluasi dan akhirnya terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang terkesan kurang terkoordinasi selama
ini
karena
belum
adanya
lembaga
khusus
yang
menangani
pemberdayaan masyarakat di lingkup departemen kehutanan.
Hal ini
mengakibatkan belum terjaminnya perluasan akses peningkatan mutu dan akuntabilitas
program
pemberdayaan
serta
tidak
terfokusnya
kegiatan
pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Pengelolaan sumberdaya hutan lebih efektif jika dikelola oleh masyarakat yang tinggal dekat dengan sumberdaya tersebut sehingga terdapat hubungan yang selaras antara masyarakat lokal dengan kondisi social ekonomi setempat. Kerja sama dengan masyarakat lokal
dilakukan untuk mendukung strategi
pembangunan dengan skala kecil, bottom up, dan pengukuran respon skala lokal berdasarkan kehendak masyarakat lokal, bukan strategi pembangunan yang berskala besar dan investasi dalam bidang infrastruktur.
145
Penguatan kapasitas lokal untuk melakukan kerja sama dapat mendorong kemampuan masyarakat lokal dalam membuat keputusan sendiri.
Penguatan
kapasitas
kadang-kadang
diperlukan
untuk
membangun modal sosial, seperti jaringan, norma, dan social trust yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak-pihak lain. Ketidakberdayaan dengan kemiskinan dalam banyak hal merupakan suatu hal yang tidak jauh berbeda. Orang-orang miskin tidak mempunyai kesempatan
untuk
melakukan
pilihan,
control
atas
sumberdaya,
juga
kesempatan untuk mempengaruhi masa depan, karena semuanya berhubungan dengan representasi aspek-aspek kekuasaan. Mereka tidak mampu melindungi kepentingan dan hak-haknya dari berbagai kepentingan eksternal. Kekuasaan pemerintah seharusnya dapat melindungi orang-orang miskin dan lemah untuk mempertahankan hak-haknya. Dalam penguatan kapasitas, faktor manusia menjadi fokus perhatian. Manusia membangun identitas dirinya dengan cara sosialisai, pendidikan dan pekerjaan. Sosialisasi adalah proses interaksi yang ada dalam masyarakat, yang dilakukan oleh individu dalam berkomunikasi, bersikap, membangun nilai dan kepercayaan
pada
kelompok-kelompok
sosial.
Sosialisasi
merupakan
internalisasi norma-norma sosial, aturan-aturan sosial dan regulasi lain yang dirasakan urgen oleh masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan: di dalam keluarga, di sekolah dan sejumlah kelompok-kelompok, dan di masyarakat dengan cara melibatkan kelompok-kelompok pekerja, anggota masyarakat. Advokasi terhadap masyarakat miskin diperlukan agar dapat mengontrol sumberdaya yang ada di wilayahnya sehingga akan membantu mereka mendapatkan bagian yang lebih besar dari pengaturan sumberdaya alam. Dengan diberikannya kewenangan pengelolaan hutan membuat masyarakat miskin yang tinggal di sekitar hutan mendapatkan akses yang lebih besar terhadap hutan dan dapat menentukan sendiri keputusannya dalam mengelola sumberdaya lokal. Pengembangan jaringan atau network merupakan hal yang penting harus dibangun untuk penguatan organisasi. Tanpa network oraganisasi akan lemah dan tidak cukup dukungan untuk melakukan bargaining. Network lebih berguna sebagai strategi pengembangan daripada sebagai alat, keduanya memerlukan investasi waktu dan biaya
sebelum pengaruhnya dapat terasa
146
secara penuh. Keduanya memungkinkan orang dan organisasi untuk belajar dari sesama, bertukar sumberdaya dan hasilnya menjadi lebih mandiri (Eade 1995)
Kebijkan yang bisa memberikan akses dan kewenangan dalam pengelolaan sumberday hutan adalah devolusi. Kebijakan devolusi memberikan dampak langsung bagi rakyat yaitu adanya legitimasi dalam pengelolaan lahan hutan. Masyarakat lokal mendapatkan status yang jelas dan mendapatkan dukungan sumberdaya dari Pemerintah, investor, LSM dalam pelaksanaan pengelolaan hutan (Edmunds & Wollenberg,2002). Perlindungan terhadap hutan dapat dilakukan secara individual atau kelompok, tetapi pelibatan kelompok lebih berdampak. Pelibatan kelompok harus dirancang dalam bentuk organisasi dengan struktur yang didasarkan pada norma, aturan dan regulasi, serta nilai dan sanksi. Banyak organisasi di pedesaan telah difungsikan untuk mengelolaan hutan. Salah satu peran institusi itu tidak hanya dapat dilihat pada perlindungan hutan, tetapi juga pada perubahan sikap masyarakat dan pengguna hutan terhadap pengelolaan dan kepercayaan masyarakat pada kemampuan masyarakat desa yang tergabung dalam program (Roy 1993) Ada beberapa cara masyarakat: organisasi
yang dilakukan untuk menaikkan kapasitas
dibentuk untuk memudahkan mobilisasi masyarakat.
Organisasi itu dibentuk secara botton up, mulai dengan pembuatan kelompokkelompok kecil di dalam masyarakat hingga kekelompok yang lebih besar. Penyebaran informasi dapat dilakukan melalui ketua-ketua kelompok. Ketua kelompok dipilih dari anggota kelompok oleh anggota. Pengkaderan selalu dilakukan secara terus-menerus melalui traning maupun pelibatan langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok, baik bentuk pengelolaan maupun penyelesaian masalah yang ada. Untuk memperkuat mobilisasi masyarakat, para instruktur melakukan doktrin melalui pelatihan-pelatihan yang diadakan. Pengadaan teknologi di dalam masyarakat dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan tingkat pengetahuan masyarakat. Bila para petani cepat menguasai pengelolaan teknologi baru maka transforamsi pengetahuan pun akan semakin cepat. Tim memfasilitasi pengelolaan kelompok-kelompok masyarakat. Pendekatan yang digunakan problem-solving. Setiap kelompok melakukan pertemuan secara teratur untuk memajukan kelompoknya, mengidentifikasi masalah, dan mencari
147
solusi secara
bersama-sama. Program
ditetapkan
untuk mempermudah
pelayanan terhadap anggota kelompok dan diurut berdasarkan tingkatan urgensinya.
Dukungan dari luar didapatkan berdasarkan kerjasama-kerjasama
yang bergerak pada bidang yang relevan. Di samping itu, dukungan didapatkan dari pemerintah dan institusi lainnya untuk menguatkan kekuatan aturan main dalam kelompok, termasuk dukungan dari peraturan pemerintah. (Korten 1986) Kelembagaan bukan hanya sekedar adanya organisasi atau aturan yang sudah dibuat tetapi menyangkut bagaimana menguatkan organisai petani sehingga anggota KTH sadar dan mengetahui hak dan kewajiban. Penting untuk memperkuat organisasi masyarakat agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, piranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat program community forestry dapat berlangsung dengan baik. Kelembagaan bukan hanya sebatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan, dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis. Pengembangan kelembagaan dapat terjamin jika : 1) ada insentif bagi orang atau organisasi 2) penguatan organisasi sasaran pengembangan :siapa yang diuntungkan
3) ada keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap
informasi 4) kepemilikan dan akses terhadap sumber daya terjamin
5) ada
usaha pengendalian perilaku opportunistic. Tindakan opportunistic termasuk perilaku menyimpang yang dapat diklasifikasikan korupsi, penyuapan, free rider, dan moral hazard. 6) ada aturan yang ditegakkan dan ditaati (Djogo, 2003). Berbagai
negara
memang
telah
melakukan
gerakan
dengan
menyerahkan penguasaan lahan hutan (land ownership) kepada masyarakat lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas sumberdaya hutan. Demikian juga dengan Afrika, negara-negara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan. Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan (hampir 20% dari wilayah Filipina) diklasifikasikan sebagai wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan China. World Summit of Sustainable Development di Afrika Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia.
148
De Soto (2006) berpendapat bahwa kapitalisme gagal di luar Barat bukanlah karena alasan-alasan : perbedaan budaya, kurangnya kewirausahaan, agama, inefisiensi, ataupun faktor kemalasan. Kepemilikan properti sebagai kunci untuk mengakhiri kemiskinan, yang hanya dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran. Properti yang menurut De Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital, sangat menentukan perkembangan kapitalisme. Teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik yang terpadu, sehingga membuat kaum miskin tidak mungkin dapat menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai instrumen dan kapital guna mengembangkan jati dirinya. akibatnya, kelompok petani di dunia berkembang, selalu terperangkap dalam jerat kemiskinan karena mereka hanya mampu hidup secara subsisten. Masyarakat di dunia berkembang umumnya tidak memiliki sistem kepemilikan tanah formal yang terpadu sehingga hanya memiliki kepemilikan secara informal terhadap tanah dan barang-barang. Menurut Mubyarto (2006) bagi kita di Indonesia apa yang disampaikan De Soto dalam buku The Mistery of Capital sangat relevan terutama setelah terjadi krisis moneter 1997-98 jelas-jelas membuktikan kegagalan upaya menerapkan kapitalisme oleh pemerintah Orde Baru sejak 1966. Para penentu kebijakan ekonomi Orde Baru mengira sistem ekonomi kapitalisme sama dengan sistem demokrasi ekonomi berdasar atas asas kekeluargaan yang bersumber pada Pancasila. Kesadaran bahwa sistem kapitalisme liberal tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan demokrasi ekonomi Pancasila tidak pernah ada sampai menjadi sangat terlambat pada saat krisis moneter meledak Agustus 1997, 30 tahun sejak mula-mula diterapkan. Adalah sangat merisaukan bahwa banyak pakar ekonomi tetap tidak percaya
tentang kekeliruan atau ketidak tepatan
sistem kapitalisme bagi Indonesia yang berpaham Pancasila, dan hanya menyalahkan
penerapannya
saja.
Kesilauan
terhadap
sistem
ekonomi
kapitalisme mengakibatkan secara langsung pandangan yang meremehkan peranan ekonomi rakyat yang “tak ber-kapital”. Ekonomi Rakyat yang lebih banyak mengandalkan pada modal sendiri dianggap “extra-legal”, bahkan tak diakui eksistensinya. Kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam
memprioritaskan
tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau jika
149
memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat (baik secara kolektif maupun perseorangan) atas tanah di dalam kawasan hutan. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (Pasal 33 UUD 1945). Sebaliknya, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memungkinkan bagi negara untuk menguasai secara langsung tanah, jika hanya ketika tidak ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Setelah dilakukan kajian menyangkut hak-hak atas tanah di dalam kawasan hutan, walaupun
tanah
tersebut dikuasai langsung
oleh
negara, kewenangan
Kehutanan hanyalah menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan pada tanah tersebut, (Fay & Sirait, 2004). Kebijakan yang mungkin bias dilakukan akan mengarah kepada penguasaan hutan yang lebih masuk akal dan diterima luas. Hasilnya diakui oleh masyarakat setempat dan seharusnya diarahkan untuk sebuah pengelolaan bersama (co-management) sumberdaya hutan antara masyarakat setempat dengan pemerintah. Persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak. Akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurangberdayaan ( rendahnya: pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar) telah membuat masyarakat gagal mentransfer sumberdaya berharga yang dimiliki ke dalam nilai pasar. Seringkali jika aksesibilitas ekonomi mereka suatu saat meningktat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberday alam yang dimiliki. Sebab pada saat ituberbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin termarginalisasi. Hutan kemasyarakatan menjadi model sebuah upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa (miskin) dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya
150
oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya. Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Hutan kemasyaraktan adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat Dalam demokrasi harus diwujudkan partisipasi dan emansipasi ekonomi. Sistem ekonomi model “majikan-buruh” harus ditinggalkan, sperti hubungan antara inti dan plasma dalam PIR ) Perkubunan inti rakyat) haruslah berupa hubungan participatory-emancipatory , bukan hubungan subordinasi yang diskriminatif yang menumbuhkan ketergantungan pihak plasma (rakyat) kiepada majikan (inti). Prinsip triple-co responsibility.
Prinsip
yaitu co-ownership, co-determination, co-
keterbawasertaan
(partisipasi
dan
emansipasi
pembangunan) selama ini belum bias diwujudkan. Kemajuan ekonomi rakyat haruslah inheren dengan kemajuan pembangunan nasional seluruhnya. Tidak boleh terjadi marjinalisasi, penyingkiran terhadap rakya miskin dan lemah. Rakyat
yang berada di bawah harus terangkat dan terbawa serta dalam
pembangunan (Swasono 2009).
8.7 Ikhtisar Keragaan PHBM yang dilaksanakan di Perhutani BKPH Parung Panjang lebih dominan pada aspek ekonomi. Dilihat dari indikator lingkungan, Acasia mangium yang ditanam secara monokultur berdampak kepada menurunnya biodiversitas flora dan fauna. Dampak lainnya adalah berkurangnya sumber air, sumber air setelah kemarau satu bulan sudah kering, tetapi ketika musim hujan air meluber-luber. Prinsip keadilan dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang juga belum terwujud. Perhutani menganggap PHBM sudah memberi porsi kepada masyarakat melalui sistem bagi hasil.
Program ini merupakan variasi bentuk program
pengamanan yang dilaksanakan Perhutani. Faktor keamanan hutan menjadi prioritas utama. pendekatan keamanan yang dilakukan lebih halus yaitu: tindakan persuasif dan represif. Tindakan
dilakukan berfokus pada mengamankan
tanaman pokok dengan memanfaatkan kelembagaan yang sengaja dibentuk untuk pelaksanaan program.
151
Konflik-konflik tenurial dalam kawasan hutan terjadi akibat adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UndangUndang Pokok Agraria dan sistem pertanahan yang diatur
dalam Undang-
Undang Kehutanan. Konflik tenurial yang terjadi di Indonesiaberawal dari warisan kebijakan kolonial di masa Hindia Belanda yang kemudian berlanjut hingga kini. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (Pasal 33 UUD 1945). Masalah pokok yang dihadapi petani adalah kecilnya aset atau sulitnya akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah. Padahal banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan yang dikelola rakyat lebih baik kondisi hutan yang dikelola pemerintah atauPerhutani. Reforma agraria merupakan salah satu alternatif solusi yang bisa dipilih untuk realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria. Kebijakan hutan kemasyarakatan harus mempertimbangkan pelaku utama yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yaitu masyarakat dan Perum Perhutani. Faktor terpenting yang menjadi prioritas utama
dalam
pengelolaan
hutan
kemasyarakat
adalah
kebijakan
dan
kelembagaan. Strategi yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat. Pertimbangan utama dalam strategi adalah pendapatan masyarakat. Strategi penting lainnya
yaitu
mengurangi konflik. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang adalah penguatan kelembagaan dan akses terhadap sumberdaya hutan.
152
BAB IX PENGELOLAAN HUTAN YANG MEMIHAK RAKYAT
Kemiskinan, rendahnya pendidikan, keterbatasan sumberdaya lahan merupakan masalah pelik yang setiap hari dihadapi masyarakat sekitar hutan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber– sumber
power.
Proses
historis
yang
panjang
menyebabkan
terjadinya
dispowerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan. Rakyat miskin di pedesaan terjerat dalam siklus kemiskinan karena sebagi petani tetapi tidak memiliki aset lahan yang dapat dikelola secara berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Program PHBM belum memberikan
akses
yang
cukup
terhadap
sumberdaya
lahan,
karena
keterbatasan lahan andil yang digarap masyarakat. Salah satu jalan untuk mengentaskan kemiskinan di pedesaan selain memberikan aset dan akses sumber-sumber kehidupan dan penghidupan berupa lahan disusul dengan akses terhadap modal, teknologi dan pasar. Dengan
terbukanya
akses
terhadap
lahan,
maka
akan
terbuka
kemungkinan untuk sistem pemanfaatan sumberdaya hutan yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.Yang perlu diperhatikan pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan harus tetap menjamin fungsi-fungsi ekologis serta akan menjaga fungsi-fungsi sosial yang memang telah terbangun dalam struktur sosial masyarakat. Kepastian penguasaan
dibutuhkan untuk pengelolaan hutan berbasis
masyarakat. Pada kenyatannya keberadaan masyarakat yang tinggal dan hidup didalam kawasan hutan belum dapat diakomodasi secara jelas dalam tata ruang kawasan. Untuk mengakomodasikan kebutuhan masyarakat yang terkait dengan penggunaan kawasan/lahan rencana tataruang yang ada memasukkan unsur masyarakat sebagai salah satu faktor yang dapat memanfaatkan lahan/hutan untuk menopang kehidupan mereka yang sesuai dengan fungsi kawasan yang ada.
153
Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi miskin dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang berdaya. Kunci terjamin kelestarian hutan berkaitan erat dengan aspek sosial ekonomi masyarakat. Pelaksanaan program di lapangan seringkali tidak sama dengan perencanaanya, terjadi kesenjangan antara pelaksanaan dan perencanaan. Program-program yang sudah disusun dengan baik di level manajemen Perhutani seringkali pada praktiknya belum dapat dilaksanakan dengan baik. Pada jajaran managemen sebenarnya sudah ada perubahan paradigma tentang pentingnya pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan. Petugas lapangan kebanyakan tingkat pendidikannya rendah. Padahal petugas pelaksana inilah yang menangani pekerjaan sehari-hari masih belum banyak berubah sikapnya, masih pada kebiasaan instruktif sebagai mandor. Oleh karena itu perlu terus dilakukan kegiatan pembelajaran bersama antara petani dan petugas lapangan yang sehari-hari menangani program sehingga saling: mengenal, memahami, dan bekerja sama dalam penerapan program. Model pemanfatan SDH oleh Perhutani cenderung tidak disandarkan pada kondisi faktual di lapangan dan dikaitkan dengan status hutan produksi. Seringkali
terjadi
kesenjangan
yang
cukup
lebar
antara
konsep
dan
penerapannya. Hal ini berpengaruh pada pengelolaan hutan yang kurang berorientasi pada keberlanjutan fungsi-fungsi ekologis yang menjadi landasan penting bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Menurunnya kualitas fungsi ekologis di kawasan hutan dan sekitarnya, seperti sulitnya mendapatkan air bagi masyarakat merupakan kasus yang terjadi di lapangan. Pelaksanaan
pengelolaan
hutan
kemitraan
sudah
seharusnya
memperhatikan kesetaran (equity) dan hak-hak rakyat. Pengelolaan juga dilakukan dengan pendekatan yang partisipatif dan inovatif dalam pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hutan. Selain itu dibutuhkan insentif yang tepat bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya
pada sumberdaya hutan.
Dengan demikian diharapkan muncul sistem pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Pendampingan dan fasilitasi pihak luar juga dibutuhkan masyarakat untuk melakukan negoisasi dan akses terhadap sumberdaya. LSM bisa berperan penting sebagai pendamping dalam membantu masyarakat merundingkan
154
kesepakatan dengan pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait. LSM bisa menjadi penengah yang mengenal dan dipercaya oleh masyarakat serta mengetahui tentang kepentingan pihak luar dan segala proses-prosesnya. Hal ini sangat membantu dalam proses perundingan kesepakatan-kesepekatan penguasaan. Saat
ini
telah
terjadi
pergeseran
kebijakan
dalam
manajemen
sumberdaya alam, hampir di seluruh dunia. Reformasi kebijakan telah melakukan pemindahan kewenangan untuk mengatur sumberdaya air terhadap institusi lokal di lebih dari 25 negara. (Vermilion, 1997). Hak untuk mengelola kehidupan liar, telah mengalami perubahan di Nabibia, Zambia, Zimbabwe dan Botswana (Shackleton et al, 2002). Pemerintah pusat juga telah secara bertahap untuk mentransfer kewenangannya dalam mengelola perikanan, tanah, perlindungan kawasan dan sumberdaya lokal lain kepada institusi lokal. Pergeseran dalam kewenangan pengelolaan hutan membuat banyak masyarakat miskin yang tinggal di sekitar hutan mendapatkan akses yang lebih besar terhadap hutan dan dapat menentukan sendiri keputusannya
dalam
mengelola sumberdaya lokal. Reformasi kebijakan yang akan diimplementasikan berupa devolusi (devolution) untuk melindungi kepentingan masyarakat sekitar hutan. Strategi pembangunan yang berfokus pada skala besar dan investasi dalam bidang infrastruktur sudah seharusnya diubah menuju penerapan kerja bersama masyarakat lokal dan pergerakan
untuk mendukung pembangunan
skala kecil, bottom up. Pengukuran respon skala lokal berbasis pada kehendak masyarakat lokal. Usaha untuk membanguan secara bersama-sama kerangka devolusi dan implementasinya hanya difokuskan pada keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Konflik kepentingan antara berbagai kelompok tidak akan bisa dihilangkan, dan akan lebih baik untuk mengatur dengan cara membangun mekanisme institusi yang dapat mengoordinasikan semua kegiatan dan dengan cara melakukan evaluasi secara berkala terhadap semua persetujuan dalam rangka perubahan sosial dan keadaan lingkungan. Kerjasama program pengelolaan hutan yang sukses di Bengal bagian barat dan daerah-daerah lainnya di India terbuka bagi para peneliti-peneliti sosial dan pengelolaan institusi untuk mempelajari proses perubahan sosial, lingkungan dan faktor-faktor lain yang bertanggungjawab bagi pengembangan program baru. 155
Ribuan organisasi di pedesaan telah difungsikan untuk mengelolaan hutan. Salah satu peran institusi itu tidak hanya dapat dilihat pada pertumbuhan hutan, tetapi perubahan sikap masyarakat dan pengguna hutan terhadap pengelolaan dan kepercayaan masyarakat pada kemampuan masyarakat desa yang tergabung dalam program (Roy 1993). Kapasitas lokal yang kuat untuk melakukan aksi secara bersama-sama dapat
menjaga dan mempromosikan kemampuan masyarakat lokal dalam
membuat keputusan sendiri. Kapasitas tersebut diperlukan untuk membangun modal sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Pembangunan partisipatif dapat meningkatkan keefektifan pembangunan secara signifikan. Hasilnya akan meningkat dan dampaknya akan lebih berkelanjutan bila warga masyarakat mengembangkan rasa kepemilikan terhadap upaya pembangunan Demikian juga, biasanya bila para stakeholder kelembagaan yang relevan terlibat dalam merancang program atau mengubah kebijakan serta merencanakan pelaksanaannya, hasilnya akan meningkat. Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan pelaku utama adalah masyarakat
dan
Perum
Perhutani dengan
strategi adalah
pendapatan
masyarakat. Kebijakan merupakan faktor terpenting, alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah penguatan kelembagaan. Kelembagaan merupakan
komponen krusial yang mesti
dipersiapkan karena umumnya kondisi LMDH yang belum berdaya. Kesiapan kelembagaan dalam mengelola SDH merupakan prasyarat untuk pemberian hak penguasaan sumberdaya hutan bagi komunitas masyarakat. Kejelasan tata kelola dengan aturan yang jelas, sinergitas dari para stakeholder diperlukan sehingga penerapan program dapat berjalan dengan lancar dan wajar. Dengan demikian, kapasitas akan terbina, modal sosial meningkat, dan kemitraan antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta akan meningkat dengan orang belajar bekerja bersama dalam lingkungan yang mendukung.
156
BAB X KESIMPULAN PHBM dirancang sebagai upaya pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat, Dalam penerapannya di lapangan, masyarakat menyikapi program PHBM dengan persepsi yang cenderung positif pada aspek ekonomi dan sosial karena PHBM dapat menambah penghasilan dan mengurangi kebakaran serta pencurian. Akan tetapi persepsi masyarakat negatif pada aspek keberlanjutan ekologis karena mengganggu sumber-sumber air yang dibutuhkan penduduk. Pola pelibatan masyarakat dalam PHBM masih berupa mobilisasi massa. Kualitas partisipasi belum
dapat diwujudkan. Karena tingkat partisipasi
masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi tergolong dalam kategori rendah. Hanya pada partisipasi dalam pelaksanaan PHBM tergolong cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan rakyat sebagai kendala bagi keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi. Dalam penerapan PHBM ditemukan relasi kekuatan antara Perhutani dengan masyarakat belum seimbang, Perhutani lebih mendominasi pelaksanaan. Perhutani lebih menomorduakan kepentingan petani. Kemitraan terjadi dengan cenderung asimetris, isi perjanjian lebih banyak memberatkan pihak petani seperti keamanan hutan yang lebih banyak dibebankan kepada pihak petani. Diperlukan
perbaikan isi perjanjian yang lebih seimbang antara hak dan
kewajiban para stakeholder, sehingga tidak ada yang dirugikan oleh pihak lain. PHBM harus menjadi program pemberdayaan bukan program pengamanan hutan dengan memanfaatkan petani. Dominasi Perhutani dalam penerapan PHBM dengan mekanisme yang seragam di semua kondisi menyebabkan kreativitas rakyat tidak terakomodasi. Usulan dan inisiatif rakyat dalam pengembangan program yang sesuai kebutuhan rakyat tidak bisa diterima. Usulan tentang jenis tanaman yang berbunga
untuk
mendukung
peternakan
lebah
misalnya
tidak
pernah
diperhatikan. Semua kegiatan harus sesuai dengan keputusan dari Perhutani apa pun kondisinya. LMDH sebagai pelaksana program menjadi kunci sekaligus energi bagi berjalannya sebuah sistem PHBM. Proses pembentukan dan tahapannya terlalu cepat, sehingga kepengurusan LMDH menjadi kurang maksimal. LMDH yang dibentuk secara instan, seringkali tidak secara kuat mewakili kepentingan kelompok akar rumput. Kendala yang sering dihadapi adalah rendahnya tingkat 157
kinerja dan tak jelasnya orientasi kerja para pengurusnya. Karena itu LMDH mesti mengakomodasi semua potensi riil masyarakat dan kepentingan rakyat akar rumput. Selain LMDH, yang turut berperan dan menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan PHBM adalah Perhutani, pemerintah daerah setempat, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas bisnis (investor, pengusaha). Kontribusi yang diberikan oleh institusi-institusi itu memiliki dampak yang signifikan bagi keberhasilan program. Peran lembaga menjadi kunci sekaligus energi bagi berjalannya sistem PHBM dan membuahkan hasil yang diharapkan bersama. Diperlukan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan yang terlibat dalam PHBM, baik itu Perum Perhutani, jajaran institusi pemerintah, dan lembaga terkait lainnya, sehingga semua penyelenggaraan kegiatan terkoordinasikan dengan baik, sinergis dan secara berkelanjutan. Kebijakan hutan kemasyarakatan harus mempertimbangkan pelaku utama yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yaitu masyarakat
dan
Perum
Perhutani.
Masyarakat
adalah
pihak
yang
berkepentingan langsung dalam memanfaatkan hutan. Pemerintah daerah seharusnya mengambil peran penting disamping LSM yang diperlukan dalam pendampingan. Faktor terpenting yang menjadi prioritas utama dalam pengelolaan hutan kemasyarakat adalah kebijakan dan kelembagaan. Strategi yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat.
Pertimbangan
utama
masyarakat. Strategi penting lainnya
dalam
strategi
adalah
pendapatan
yaitu mengurangi konflik. Alternatif
kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang adalah penguatan kelembagaan dan akses terhadap sumberdaya hutan. Bentuk keagrariannya dalam penerapan hutan kemasyarakatan adalah adalah pemberian hak pengaturan kepada pemerintah daerah. Hal penting yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu adalah inventarisasi data keagrariaan yang lengkap. Kesiapan kelembagaan yang mengelola sumberdaya hutan merupakan prasyarat penting agar pemberian akses dan penguasaan terhadap sumberdaya hutan dilakukan dengan tepat untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
158
Kelembagaan merupakan masalah krusial yang mesti dipecahkan mengingat kondisi LMDH yang masih ringkih, belum berdaya, belum mampu bargaining, belum solid, dan belum jelas tata kelola. Seharusnya organisasi yang baik berjalan dengan lancar dan wajar, ada kepercayaan dalam anggota kelompok. saling menghargai, deliberative, dengan taka kelola yang jelas. Saran : 1. Perlunya perluasan lahan garapan bagi petani dengan luas 2 hektar agar dapat memberikan penghasilan yang cukup bagi petani dari budidaya tanaman pangan, dan bagi hasil. 2. Perlunya belajar bersama antara mandor Perhutani dengan masyarakat sehingga dapat saling bertukar pikiran, saling memahami, saling percaya dalam pelaksanaan kemitraan. 3. Perlunya mengakomodasi proses negosiasi dan bargaining position, sharing power sehingga terjadi keseimbangan
baru menuju kepada
keseimbangan peran dan tanggung jawab. 4. Perlunya mengakomodasi kelembagaan yang sudah eksis di masyarakat.
159
EPILOG
Luas lahan Pulau Jawa yang semakin sempit ditambah dengan tekanan penduduk yang semakin padat sulit untuk mencapai kesetimbangan kawasan. Pemenuhan ruang terbuka hijau (RTH) atau kawasan hutan di Jawa sebesar 30 % semakin sulit diwujudkan. Untuk itu perlu dicarikan alternatif agar terjadi kesetimbangan kawasan. Lahan pertanian di luar Pulau Jawa yang lebih luas dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pertanian pangan. Adanya kendala tingkat kesuburan tanah yang rendah dan keterbatasan infrastruktur harus diatasi. Ketersediaan lahan untuk pertanian merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan peran pertanian secara berkelanjutan. Tingginya tekanan terhadap lahan akibat pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun, sementara luas lahan yang ada tetap bahkan makin sempit. Hal ini disebabkan oleh pewarisan kepemilikan lahan, dan persaingan yang tidak seimbang dalam penggunaan lahan, terutama antara sektor pertanian dan nonpertanian. Keadaan demikian ini akan berpengaruh terhadap penurunan daya dukung lahan dan lingkungan. Sumber daya hutan di Jawa yang dikelola Perhutani seyogyanya bisa dimanfaatkan untuk menyediakan kebutuhan lahan bagi petani sekitar hutan. Visi Perhutani untuk menjadi pengelola
hutan
lestari
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dapat diwujudkan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan produksi secara seimbang sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian hutan tanpa mengurangi fungsi hutan. Masyarakat sekitar hutan merupakan bagian tak terpisahkan dari kawasan hutan seharusnya diberikan akses seluas mungkin. Akses hanya diberikan kepada petani yang benar-benar siap menjadi mitra dengan kelembagaan yang sudah mapan. Dalam konteks kesetimbangan diperlukan konfigurasi tata organisasi (kelembagaan) dan relasi sosial antar kuasa Kemitraan antara Perhutani dengan masyarakat lokal mesti dijalin dalam hubungan yang lebih deliberatif dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Prinsipnya masyarakat mesti menjadi subjek yang mampu merumuskan kebutuhannya. Kemitraan harus dilaksanakan dengan adanya kesetaraan dalam kedudukan, konsensus, dan partisipatif. Diperlukan perubahan paradigma dan organisasi dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Organisasi Perhutani harus berubah dari eksklusif menuju inklusif. 160
Peran masyarakat harus diakomodasi
dengan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan. Sumber daya alam sudah seharusnya dikelola secara berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat. Kebijakan terhadap hutan harus mempertimbangkan semua komponen termasuk masyarakat sekitar hutan sebagai bagian dari ekosistem yang tidak bisa dipisahkan. Hutan jangan hanya diposisikan sebagai tegakan saja tetapi menyangkut aspek tanah, dan keagrariaan. Menurut Winoto (2008) tanah bagi kebanyakan manusia merupakan identitas yang melekat kepadanya status kebangsaan dan kenegaraannya. Agar tanah dapat menjadi modal kehidupan, harus didasarkan kepada empat prinsip, yaitu: (i) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (ii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan hidup berkeadilan; (iii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, dan kebangsaan Indonesia; dan (iv) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menata kehidupan yang harmonis dan mengatasi berbagai konflik sosial.
161
DAFTAR
PUSTAKA
Affianto, A. dkk.2005. Analisis Biaya dan Pendapatan dalam Pengelolaan PHBM. Bogor : Pustaka Latin Alikodra. 2004. Pengembangan Istitusi Lingkungan Hidup, Bahan Kuliah, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Arnstein, S R. "A Ladder of Citizen Participation," JAIP, Vol. 35, No. 4, July 1969, Asngari, P S. 1984. Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat karesidenan dan kepala penyuluh Pertanian terhadap Peranan dan Fungsi Lembaga Penyuluhan Pertanian di Negara Bagian Texas, amerika Serikat.” media Peternakan Volume 9 no.2. Fakultas Peternakan IPB. Awang, S A, 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi, Konstruksi Sosial dan Perlawanan. Debut Press. Yogyakarta. ------------------2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana ------------------- .1995. “ Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan Lokal dalam Program IDT “ dalam Program IDT dan Pemberdayaan Masyarakat. ------------------- 2002. Relevansi Paradigma Social Forestry, Warta Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Vol. 5 No. 7 Juli 2002. Balitbang Prov.Jateng, 2006. Penelitian Keamanan dan
Pemberdayaan
Kelembagaan
Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Sekitar Hutan di
Jawa Tengah.
Brokensha D and BW Riley.1987. Privatization of Land and Tree Planting in Mbeere, Kenya. In Raintree JB (ed). Land, trees and Tenure.hal 187192.ICRAF and The Land Tenure Center. Nairobi and Madison. Chambers, R.1987. Sustainable rural livelihoods: A strategy for people, environment, and development.Brigton : Institute of Development Studies at the University of Sussex
162
Cohen, B. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Rineka Cipta Contreras-Hermosilia AC. Fay, E E. 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia melalui Pembaruan Penguasaan Tanah. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF-SEA). Center for International Forestry Research 2002. Refleksi Empat Tahun Reformasi Mengembangkan Sosial Forestri di Era Desentralisasi , Intisari Lokakarya Sosial Forestri. Denzin, N K.1970. The Research Act : A Theoretical Intoduction to Sociological Methods, Chicago : Aldine Publising Company De Soto, H. 2000. The Mistery of capital: Why capitalism triumphs in the West and Fails Everywhere Else. New York :Basic Book. Dey, I.1993.Qualitative Data Analysis: a User-friendly guide for social scientics.New York Dephut. 2007. Rencana Makro Pemberdayaan Masyarakat di dalam dan Sekitar Hutan Djogo, T dkk. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 8. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southesat Asia. Dove, M. 1983. Theories of Swidden Agriculturure and the Political Economy of Ignorance. Agroforestry System 1: 85 -99. Drengson, AR. and D.M. Taylor (eds).1997. Ecoforestry: The Art anda Science of Suistainable Forest Use. Canada: New Society Publisher. Dunn, WN. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Terjemahan), Edisi Kedua. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Eade, D. 1997.Capacity Building An Approach to People Centred Development. UK : Oxfam Edmunds, D & Wollenberg, E. 2002. Local Forest Management: The Impact of Devolutions Policies. Cifor. Fairclough,N.1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman Faisal, S. 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang :Penerbit Yayasan Asih Asah Asuh (YA3); FAO, 2002. Land Tenure and Rural Development, Roma: Food and Agriculture Organization;
163
Fajar, U. 2009. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunintas Petani. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Fay, C., and G. Michon. 2005. Redressing forestry hegemony: When a forestry regulatory framework is best replaced by an agrarian one. Forest, Trees and Livelihoods. Vol. 15. Fay,C and Sirait.2004. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia melalui Pembaruan Penguasaan Tanah. World Agroforestry Centre. Fisher, Simon, Jawed Ludin, Steve Williams, Dekha Ibrahim Abdi, Richard Smith dan Sue Williams, 2000, Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, Jakarta :The British Council, Indonesia. Friedman, J.1992. Empowerment : The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell Publisher Galudra, G. 2003. Conservation Policies versus Reality: Case Study of Flora, Fauna and Land Utilization by Local Communities in Gunung HalimunSalak National Park. ICRAF Southeast Asia Working Paper No. 2003_2. --------------. 2003.Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten World Agroforestry Centre [ICRAF]) Giddens, A .1999. Jalan Ketiga. Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta :Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Gorz, A. 2002. Ekologi dan Krisis Kapitalisme, Yogyakarta :Penerbit Insist Press. Grootaert.et.al .2003. Social Capital Thematic Group: Integrated Questionnaire for The Measurement of Social Capital (SC-IQ); The World Bank Juni 23, 2003; Guba, EG and Lincoln,YS. 1994.Competing Paradigms in Qualitative Research in Handbook of Qualitative Research Denzin & Lincoln Eds). Thousand Oaks : Sage Harsono, B. 1997. Hukum Agrarian Indonesia. Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1, Hukum Tanah Nasional. Jakarta :Penerbit Djambatan. Hardjana, AM., 1994, Konflik di Tempat Kerja. Yogyakarta: Kanisius.. Hayami, Y. dan M. Kikuchi.1987. Dilema ekonomi desa. Jakarta : yayasan obor Indonesia Hikam, AS.1996. Demokrasi Civil Society. Jakarta: LP3ES Horton, PB dan Hunt C L.1991. Sosiologi Jilid I, Jakarta :Penerbit Erlangga Ichwandi, I dan M.B. Saleh.2000. Towards Mutually Benefical Partnership in Outgrower Schemes/Cost Benefit Analysis on four case Studies of
164
Outgrower Schemes in Indonesia. Collaboration between the center for International Forestry Research with Faculty of Forestry IPB. Iskandar U, 1999, Dialog Kehutanan dalam Wacana Global, cet. 1, Bigraf Publishing : Yogyakarta. Israel, A. 1987. Institutional Development : incentives to Performance. London : The johns Hopkins University Press. Iswantoro, H. 1999. Konsep dan Strategi Kemitraan dalam Pnegelolaan Sumber Daya Alam Prosiding Seminar Pemberdayaan Aset Perekonomian Rakyat melalui Strategi Kemitraan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. 1 September 1999. Pustaka Latin Jember. Jary, D & Jary, J.2000. Collins Dictionary Sociology. Glasgow: Harper Collins Publishers Kartasubrata, J.1998. Social forestry dan Agroforestry di Asia. Bogor: Laboratorium Sosek Kehutanan, Fahutan, IPB Kartodihardjo, H. Dan Hira Jamtani. 2006. Poltik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta : PT. Equinox Publishing Indonesia. Kasali, R.1994. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta : Pustaka utama Grafiti. Krishna, A. 1999. Creating and Harnessing Social Capital, dalam Dasgupta, P and Ismail Serageldin.1999. Social Capital A Multifaceted Perspective. The World Bank Washington, DC. Krisna, A dan Sharader, E. 1999. Social Capital Assesment Tool; (Makalah pada Conference on Social Capital and Poverty Reduction, The World Bank, Washington DC. 22-24 Juni;
Kusdamayanti. 2008. Dominasi Negara dalam Pengelolaan Hutan Menggugat Kebijakan Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan Menuju Kebijakan Deliberatif. Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang Kusumanto, T. 2007. Learning to monitor political Process for Farmers in Jambi Indonesia Dalam Negotiated learning: Collaborative monitoring in Forest Resources management, Cifor, Bogor Lynch, OJ & Talbott, K.2001.Keseimbangan Tindakan: sistem Hutan Kerakyatan dan Hukum Negara di Asia dan Pasifik. Jakarta : ELSAM Marimin.2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo
165
Meffe, G.K., et al.2002. Ecosystem Management : Ada[ptive, community-Based Conservation. Washingtong DC: Island Press. Miall, Hugh, Oliver Ramsbothan, dan Tom Woodhouse, 2002, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Jakarta :Raja Grafindo Persada. Moleong, LJ. 1990. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Moniaga, S. 2007. Mengelola Hutan, Memenjarakan Manusia. Jakarta, Perkumpulan Huma. Mubyarto.1992. Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan di Kalimantan Timur. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media. ------------- 2006. Penjajahan Kembali Ekonomi Indonesia. Makalah untuk Seminar Bulanan ke-28 PUSTEP-UGM
Nasendi, B.D.1996. Socio-Economic Aspects of Forestry Operations Towards Sustainable Forest Management in Indonesia. Paper at the Seminar on Suistainable management of Production Forest: an ENSO approac for planning, sylviculture and Economics, 12 November 1996. Nurjaya, IN.2006. Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam Perspektif Antropologi Hukum. Kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya-Arena Hukum dengan Penerbit Universitas Negeri Malang. Malang Ostrom, E.1992. Crafting Institution, Self Governing Irrigation System, San Fransisco: ICS Press; _____________.1999. Social Capital: A Fad or a Fundamental Concept? dalam Dasgupta, P dan Ismail Serageldin (Eds). 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington, DC : The World Bank. Parson, R.J., Jorgensen, JD dan Hernandez, SH.. 1994. Social Work Practice, California: Brooks/Cole;
The Integration of
Parsons, W. 2005. Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta : Kencana Terjemahan Public Policy : An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Peraturan Menteri Kehutanan nomor : P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam rangka social Forestry.
166
Peluso, NL. 2006. Hutan Kaya, Rakyat melarat: Penguasaan sumberdaya dan perlawanan di Jawa (Terjemahan). Jakarta : KONPHALINDO. Perum Perhutani.2001.Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Perum Perhutani.2007.Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM PLUS). Perum Perhutani.2003.Pedoman Evaluasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perum Perhutani.2003.Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Kehutanan Terpadu di Pulau Jawa. Peraturan Menteri Kehutanan nomor : P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam rangka social Forestry. Pujo.2003.Partisipasi Masyarakat pada Program Kehutanan social di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Tesis Program Pascasarjana IPB Pranarka, AMW. dan Moeljarto,V “ Pemberdayaan (Empowerment)”,dalam Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka (eds), 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS Purwita, T dkk. 2010. Analisis Keragaan Ekonomi Rumah Tangga: Studi kasus PHBM di Pengalengan Bandung Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 6 No. 1 Maret 2009, Hal. 53 - 68 Rawls, J. 1971. Theory of Justice. Harvard University Press. New York. Rajagukguk, E. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Jakarta : Chandra Pratama. Roy, SB. 1993. Forest Protection Committees in West Bengal. In Economic and Political Weekly. Vol.XXVII No.29. pp.1528-1530. Rachbini, DJ. 2004. Ekonomi Politik - Kebijakan dan Strategi Pembangunan Jakarta :Granit. Saarinen, T.F. 1976. Environmental Planning, perception, and Behavior. Chicago: university of chicago Sambas. Petani Sesungguhnya Telah Mempraktekkan Agroforestri 2010 (http.bdh.fkt.ugm.ac.id 1 -9- 2010 ) Sarwono, SW. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo. Sardjono, MA, 2004, Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik, dan Kelestarian Sumberdaya, Yogyakarta :Debut Press.
167
Simon, H.1990. The Need or Social Forestry in Java. In Social Forestry in Indonesia. Bangkok: FAO Simon, H. Hartadi. Sabarnudrdin,S. Sumardi. Iswantoro,H.1994. Social Forestry and Sustainable forest management. Procedings of seminar on the development of Social forestry and Sustaianable Forest management. Yogyakarta 1994. Jakarta: Perum Perhutani Suharjito, D. 2009. Jurnal Manajemen Hutan Tropika (JMHT) Vol. XV, (3): 123– 130, Desember 2009
---------------------2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agro forestry.. Bahan Ajaran Agroforestri 5.World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia. --------------------2000. Karakteristik Pengelolaan Masyarakat. Yogyakarta : Aditya Media..
Hutan
Berbasiskan
------------------,2005. Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia di Masa Mendatang: Konsep dan Pemikiran Herman Haeruman. Prosiding Seminar Nasional , Fakultas Kehutanan IPB Bogor, 11 juni 2005 ------------------.1992. Dinamika Komunitas Pedesaan Sekitar Hutan dalam Usahatani Tumpangsari Program Perhutanan Sosial, Studi Kasusu di KPH Saradan dan KPH Malang.Tesis Program Pascasarjana IPB Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan masyarakat dan jaring pengaman sosial Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Siswiyanti, Y. 2006. Hubungan Karakteristik Anggota Masyarakat sekitar Hutan dan Beberapa Faktor Pendukung dengan Partisipasinya dalam Pelestarian hutan di Kawasan Pemangkuan Hutan Parung Panjang Kabupaten bogor. Tesis Program Pascasarjana IPB Swasono, SE. 2009. Membangun Ekonomi Rakyat. Makalah dalam Seminar Strategi NU Membangun Ekonomi Kerakyatan. Makassar, 18 oktober 2009. Tajjudin, D. 2000, Manajemen Kolaborasi, Bogor : Pustaka LATIN. Thoha, M. 1983. Perilaku Organisasi: konsep Dasar dan Aplikasinya.Jakarta : PT Rajawali
Undang-Undang no. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang no.24 tahun 1992 tentang Penataan ruang Usman, S. 2004, Jalan Terjal Perubahan Sosial, Cired dan Jejak Pena, Yogyakarta.
168
Tewari, K.M. 1983. Social Forestry in India. Dehra Dun : Natraj publishers Yuliani, EL dan Tadjudin, D. 2006. Kehutanan Multipihak: Langkah Menuju Perubahan. Bogor,: Center for International Forestry Research (CIFOR), Yusran. 2005. Analisis Performansi dan Pengembangan Hutan Kemiri Rakyat di Kawasan Pegunungan Bulusaraung Selawesi selatan. Disertasi .Sekolah Pascasarjana IPB
Wahab, SA . 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Rineka Cipta. ------------------. 1997. Analisis Kebijaksanaan, Dari formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Edisi Kedua). Jakarta :Bumi Aksara. ___________. 1999. Ekonomi Politik Pembangunan, Bisnis Indonesia era Orde Baru dan di tengah krisis moneter. Malang: PT. Danar Wijaya-Brawijaya University Press. Wiradi, G.2000.Konflik agrarian dan pembangunan perkebunan di Indonesia. Makalah pada diskusi kebijakan pembangunan: pembangunan perkebunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.jakarta, 23 maret 2000. Wrihatnolo, RR. dan Dwidjowijoto, R.G. 2007. Manajemen Pemberdayaan Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Kuesioner untuk anggota kelompok tani hutan (KTH) Mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara mengisi kuesioner berikut ini dengan menyilang (X) pada salah satu pilihan : (A), (B), (C), (D) atau (E) sesuai dengan keadaan sebenarnya.
169
1. Umur ( tahun)
=
a).Kurang dari 20
b). 21 – 40
c).41 – 60 d). 61 lebih
2. Pendidikan a).tidak lulus SD
b).SD/MI c).SMP/MTs d).SMA/MA e.universitas
3. Jenis kelamin a). Laki-laki
b. wanita
4. Pekerjaan utama a).petani
=
b). Pedagang c).bangunan d). Karyawan
e). Pertambangan
f). Sopir g). lainnya
5. Pekerjaan sambilan
=
a).petani
b).pedagang
e). sopir
f). Pertambangan
6.Luas lahan milik (hektar) a).kurang dari 0,25
g). sopir.
=
b). 0,25 – 0,50
7.Luas lahan garapan a).kurang dari 0,25
c). bangunan d). Pertambangan
c).0,51- 1
d).lebih 1 ha
c).0,51- 1
d).lebih 1 ha
= b). 0,25 – 0,50
8.Penghasilan per bulan ? a).kurang 500.000
b). 501,000 – 750.000 c).751.000 – 1 jt d). lebih 1 jt
170
9). Berapa lama (tahun) ikut program PHBM ? a). Kurang dari 1 b) 1 – 2 c).3 – 4 d). Lebih dari 5
10. Apakah ada tambahan penghasilan dari PHBM ? a). Ada
b). Tidak
11. Jika ada, berapa tambahan penghasilan dari PHBM per tahun ? a).kurang 500.000
b). 501,000 – 750.000 c).751.000 – 1 jt d). lebih 1 jt
Pengaruh PHBM
12. Kondisi hutan saat ini dibandingkan dengan sebelum adanya PHBM a).lebih buruk
b). Sama
c). Lebih baik
13. Mencari kayu bakar saat ini dibandingkan dengan sebelum adanya PHBM a).lebih sulit
b). Sama
c). Lebih mudah
14. sarana prasarana perhubungan saat ini dibandingkan dengan sebelum adanya PHBM a) lebih buruk
b). Sama
c). Lebih baik
171
15. Kejadian kebakaran hutan saat ini dibandingkan dengan sebelum adanya PHBM a).lebih sering
b). Sama
c). Lebih jarang
16. PHBM bermanfaat bagi Anda? a.tidak setuju b. setuju c. setuju banget 17. PHBM menguntungkan Anda? a.tidak setuju b. setuju c. setuju banget 18. PHBM dapat meningkatkan penghasilan Anda? a. tidak setuju b. setuju c. setuju banget 19. PHBM dapat menambah penghasilan Anda ? a.tidak setuju b. setuju c. setuju banget 20. Apakah Anda tahu adanya Perjanjian Kerja Sama dengan Perhutani a). Tidak b) ya 21. Apakah Anda pernah baca Perjanjian Kerja Sama dengan Perhutani a). Belum pernah b) pernah 22. Isi perjanjian menguntungkan Perhutani? a.tidak setuju b. setuju c. Setuju banget 23. Isi perjanjian menguntungkan penggarap? a.tidak setuju b. setuju c. setuju banget
172
24. PHBM melibatkan banyak pihak ? a.tidak setuju b. setuju c. setuju banget 25. PHBM menyerap tenaga kerja ? a.tidak setuju b. setuju c. Setuju banget 26. PHBM memberikan peluang usaha produktif? a.tidak setuju b. setuju c. Setuju banget 27. PHBM menyediakan pemasaran hasil panen usaha tani? a.tidak setuju b. setuju c. Setuju banget 28.PHBM menyediakan pemasaran hasil panen produk kayu? a.tidak setuju b. setuju c. Setuju banget 29.PHBM meningkatkan reboisasi/rehabilitasi hutan? a.tidak setuju b. setuju c. Setuju banget 30.PHBM mengurangi erosi? a.tidak setuju b. setuju c. Setuju banget 31.PHBM mengurangi pencurian kayu di hutan? a.tidak setuju b. setuju c. Setuju banget Kelembagaan 32. Anda ikut dalam rapat-rapat kelompok tani hutan? a. tidak b. Ya
173
33. Berapa kali pertemuan/rapat KTH dilaksanakan dalam satu tahun a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. Lebih dari 4 kali 34. Anda ikut merencanakan program PHBM? a.tidak
b. Ya
35. Anda ikut melaksanakan program PHBM? a.tidak
b. Ya
36. Anda ikut melakukan evaluasi program PHBM? a.tidak
b. Ya
37. Petugas Perhutani terlibat dalam membina masyarakat a).tidak pernah b). Pernah c)sering 38. Anda terlibat dalam rapat pembuatan rencana program PHBM? a). tidak b).ya 39. Anda terlibat dalam pelaksanaan PHBM? a). tidak b).ya 40. Anda ikut dalam pengamanan hutan program PHBM? a). tidak b).ya 41. Berapa kali Anda mendapat giliran jaga di hutan dalam satu bulan a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. Lebih dari 4 kali 42. Apakah Anda menanam padi?
174
a). tidak b. Ya 43. Berapa kali Anda panen padi sebelum penanaman pohon ? a). 1 kali b). 2 kali 44.Berapa kuintal padi yang diperoleh dari lahan garapan Anda ? a). Kurang 5 kuintal b). 6 – 10 kw c). 10 – 15 kw d) lebih dari 16 kw 45. Apakah Anda mengambil kayu bakar dari hutan? a). tidak b).ya 46. Berapa kali Anda mengambil kayu bakar dari hutan dari hutan dari hutan ? a). 1 kali b). 2 kali c). 3 kali
d). 4 kali
47. Berapa uang yang diperoleh dari kayu bakar ? a). Kurang dari 100 ribu b). Lebih dari 100 ribu c).lebih dari 200 ribu
48. Apakah Anda memperoleh kayu palen dari penjarangan pertama ? a. Tidak b). Ya 49. Berapa uang yang diperoleh dari kayu palen dari penjarangan pertama? b. a). Kurang dari 250 ribu b). Lebih dari 250 ribu c).lebih dari 500 ribu 50. Apakah Anda ikut menentukan jenis pohon kayu yang akan ditanam? a). tidak b).ya 51. Apakah Anda mendapatkan bagi hasil dari program PHBM? a). Tidak b). Ya
175
52. Apakah Anda dilibatkan dalam penghitungan bagi hasil ? a) a). Tidak b). Ya 53.Apakah Anda aktif dalam kegiatan kelompok tani hutan (KTH) ? a).tidak
b). Ya
54.Apakah ada manfaatnya ikut menjadi anggota KTH? a).tidak
b). Ya
55.Apakah Anda selalu ikut rapat dalam KTH ? a).tidak
b). Ya
56. Keputusan rapat berdasarkan musyawarah anggota? a. tidak
b. ya
57. Keputusan rapat ditentukan oleh ketua KTH/LMDH ? a. tidak
b. ya
58. Apakah mandor selalu bekerja sama dengan Anda? a).tidak
b). Ya
59. Apakah mandor selalu membantu Anda? a).tidak
b). Ya
60. Setelah ditanamnya pohon akasia, bagaimana untuk mendapatkan air / sumber air ? a). Lebih sulit dari dulu
b). Sama
c). Lebih mudah dari dulu
176
Kuesioner AHP PERBANDINGAN BERPASANGAN DALAM PENENTUAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN
Hasil pengisian kuesioner ini digunakan untuk keperluan penelitian dan penyusunan Disertasi dengan judul :
PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KEMITRAAN Kasus Pola PHBM (Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat) di Perum Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH Bogor
Penelitian ini dilakukan oleh : MUKHLAS ANSORI / P 062040011 Mahasiswa Program Doktor, Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
177
Institut Pertanian Bogor 2011 Perbandingan Berpasangan Petunjuk Pengisian Nilai Skala Banding 1. 2.
Bila A sama pentingnya dibanding B, maka = 1 Bila A sedikit lebih penting dibanding B, maka = 3; bila sebaliknya (B sedikit lebih penting dari A) = 1/3 3. Bila A jelas lebih penting dibanding B, maka = 5; bila sebaliknya ( B jelas lebih penting dari A) = 1/5 4. Bila A sangat jelas lebih penting dibanding B, maka = 7 ; bila sebaliknya (B sangat jelas lebih penting dari A) = 1/7 5. Bila A mutlak lebih penting dibanding B, maka = 9; bila sebaliknya (B mutlak lebih penting dari A) = 1/9 Nilai skala banding genap (2,4,6,8 atau ½,1/4,1/6,1/8) diberikan untuk nilai skala perbandingan yang nilainya berada diantara 2 pembanding ganjil yang berurutan. Misalnya pada kasus A dibandingkan B, nilai A diantara sedikit lebih penting hingga jelas lebih penting dibandingkan B, maka skala perbandingan yang diberikan adalah antara 3 dan 5 yaitu 4 ( atau bila sebaliknya maka nilainya jadi ¼).
Nama Responden:………………………… Jabatan/profesi : ………………………..
178
PERTANYAAN KUESIONER I. Penilaian level 2 (Faktor) terhadap level 1 (Fokus/Tujuan). Terdapat beberapa faktor yang berperan penting dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan, yaitu : a. EKONOMI b. SOSIAL BUDAYA c. KELEMBAGAAN d. KEBIJAKAN e. LAHAN Bandingkan besarnya tingkat kepentingan diantara faktorfaktor tersebut. Fokus : Pengelolaan Hutan berbasis Kemitraan 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Ekonomi dibanding Sosbud 2 Ekonomi dibanding kelembagaan 3 Ekonomi dibanding kebijakan 4 Ekonomi dibanding Lahan 5 Sosbud dibanding kelembagaan 6 Sosbud dibanding kebijakan 7 Sosbud dibanding Lahan 8 Kelembagaan dibanding kebijakan 9 Kelembagaan dibanding Lahan 10 Kebijakan dibanding Lahan
9
II. Penilaian level 3 (Aktor) terhadap level 2 (Faktor) Keterlibatan berbagai aktor sangat diharapkan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan, diantaranya : a. Perhutani b. Masyarakat c. Pemerintah daerah d. LSM e. investor Bandingkan besarnya tingkat kepentingan diantara berbagai aktor tersebut, sehingga menentukan perannya dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan.
Faktor : EKONOMI
179
1 = equal 3 = moderate 5 = strong = extreme 1 Perhutani dibanding masyarakat 2 Perhutani dibanding Pemda 3 Perhutani dibanding LSM 4 Perhutani dibanding investor 5 Masyarakat dibanding pemda 6 Masyarakat dibanding LSM 7 Masyarakat dibanding investor 8 Pemda dibanding LSM 9 Pemda dibanding investor 10 LSM dibanding investor
7 = very strong
9
7 = very strong
9
7 = very strong
9
Faktor : SOSBUD 1 = equal 3 = moderate = extreme 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5 = strong
Perhutani dibanding masyarakat Perhutani dibanding Pemda Perhutani dibanding LSM Perhutani dibanding investor Masyarakat dibanding pemda Masyarakat dibanding LSM Masyarakat dibanding investor Pemda dibanding LSM Pemda dibanding investor LSM dibanding investor
Faktor :KELEMBAGAAN 1 = equal 3 = moderate 5 = strong = extreme 1 Perhutani dibanding masyarakat 2 Perhutani dibanding Pemda 3 Perhutani dibanding LSM 4 Perhutani dibanding investor 5 Masyarakat dibanding pemda 6 Masyarakat dibanding LSM 7 Masyarakat dibanding investor 8 Pemda dibanding LSM 9 Pemda dibanding investor 10 LSM dibanding investor
Faktor: KEBIJAKAN
180
1 = equal 3 = moderate 5 = strong = extreme 1 Perhutani dibanding masyarakat 2 Perhutani dibanding Pemda 3 Perhutani dibanding LSM 4 Perhutani dibanding investor 5 Masyarakat dibanding pemda 6 Masyarakat dibanding LSM 7 Masyarakat dibanding investor 8 Pemda dibanding LSM 9 Pemda dibanding investor 10 LSM dibanding investor
7 = very strong
9
7 = very strong
9
Faktor : LAHAN 1 = equal 3 = moderate 5 = strong = extreme 1 Perhutani dibanding masyarakat 2 Perhutani dibanding Pemda 3 Perhutani dibanding LSM 4 Perhutani dibanding investor 5 Masyarakat dibanding pemda 6 Masyarakat dibanding LSM 7 Masyarakat dibanding investor 8 Pemda dibanding LSM 9 Pemda dibanding investor 10 LSM dibanding investor
III.
Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan, terdapat beberapa strategi diantaranya : 1. Peningkatan Pendapatan masyarakat. 2. Profit perusahaan 3. Hutan lestari 4. Mengurangi konflik 5. Kesempatan kerja 6. Usaha produktif Bandingkan besarnya tingkat kepentingan diantara strategi tersebut, sehingga dapat diaplikasikan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan.
181
Aktor : Perhutani 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding Profit perusahaan 2
Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding hutan lestari
3
Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding mencegah konflik Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding kesempatan kerja
4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
9
Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding usaha produktif Profit perusahaan dibanding hutan lestari Profit perusahaan dibanding mengurangi konflik Profit perusahaan dibanding kesempatan kerja Profit perusahaan dibanding usaha produktif Hutan lestari dibanding mengurangi konflik Hutan lestari dibanding kesempatan kerja Hutan lestari dibanding usaha produktif Mengurangi konflik dibanding kesempatan kerja Mengurangi konflik dibanding usaha produktif Kesempatan kerja dibanding usaha produktif
Aktor : MASYARAKAT 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding Profit perusahaan 2 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding hutan lestari 3 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding mencegah konflik 4 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding kesempatan kerja 5 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding usaha produktif 6 Profit perusahaan dibanding hutan lestari 7 Profit perusahaan dibanding mengurangi konflik 8 Profit perusahaan dibanding kesempatan kerja 9 Profit perusahaan dibanding usaha produktif 10 Hutan lestari dibanding mengurangi konflik
9
182
11 12 13 14 15
Hutan lestari dibanding kesempatan kerja Hutan lestari dibanding usaha produktif Mengurangi konflik dibanding kesempatan kerja Mengurangi konflik dibanding usaha produktif Kesempatan kerja dibanding usaha produktif Aktor : Pemerintah Daerah
1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding Profit perusahaan 2
Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding hutan lestari
3
Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding mencegah konflik Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding kesempatan kerja
4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
9
Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding usaha produktif Profit perusahaan dibanding hutan lestari Profit perusahaan dibanding mengurangi konflik Profit perusahaan dibanding kesempatan kerja Profit perusahaan dibanding usaha produktif Hutan lestari dibanding mengurangi konflik Hutan lestari dibanding kesempatan kerja Hutan lestari dibanding usaha produktif Mengurangi konflik dibanding kesempatan kerja Mengurangi konflik dibanding usaha produktif Kesempatan kerja dibanding usaha produktif
Aktor : LSM 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding Profit perusahaan 2 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding hutan lestari 3 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding mencegah konflik 4 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding kesempatan kerja 5 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding usaha produktif 6 Profit perusahaan dibanding hutan lestari
9
183
7 8 9 10 11 12 13 14 15
Profit perusahaan dibanding mengurangi konflik Profit perusahaan dibanding kesempatan kerja Profit perusahaan dibanding usaha produktif Hutan lestari dibanding mengurangi konflik Hutan lestari dibanding kesempatan kerja Hutan lestari dibanding usaha produktif Mengurangi konflik dibanding kesempatan kerja Mengurangi konflik dibanding usaha produktif Kesempatan kerja dibanding usaha produktif
Aktor : INVESTOR 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding Profit perusahaan 2 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding hutan lestari 3 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding mencegah konflik 4 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding kesempatan kerja 5 Peningkatan Pendapatan masyarakat dibanding usaha produktif 6 Profit perusahaan dibanding hutan lestari 7 Profit perusahaan dibanding mengurangi konflik 8 Profit perusahaan dibanding kesempatan kerja 9 Profit perusahaan dibanding usaha produktif 10 Hutan lestari dibanding mengurangi konflik 11 Hutan lestari dibanding kesempatan kerja 12 Hutan lestari dibanding usaha produktif 13 Mengurangi konflik dibanding kesempatan kerja 14 Mengurangi konflik dibanding usaha produktif 15 Kesempatan kerja dibanding usaha produktif
IV.
9
Kebijakan yang dapat diarahkan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan berkelanjutan diantaranya : 1.Penguatan kelembagaan 2.Akses SDH lebih luas 3.Hutan kolaboratif yang demokratis 4.Pengembangan usaha kerajinan kayu
184
5.Peternakan ayam Bandingkan besarnya tingkat kepentingan diantara kebijakan tersebut.
Strategi : Peningkatan Pendapatan masyarakat. 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Penguatan kelembagaan dibanding akses SDH lebih luas 2 Penguatan kelembagaan dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 3 Penguatan kelembagaan dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 4 Penguatan kelembagaan dibanding peternakan ayam 5 Akses SDH lebih luas dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 6 Akses SDH lebih luas dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 7 Akses SDH lebih luas dibanding peternakan ayam 8 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 9 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding peternakan ayam 10 Pengembangan usaha kerajinan kayu dibanding peternakan ayam
9
Strategi : Profit Perusahaan 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Penguatan kelembagaan dibanding akses SDH lebih luas 2 Penguatan kelembagaan dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 3 Penguatan kelembagaan dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu
9
185
4 5 6 7 8 9 10
Penguatan kelembagaan dibanding peternakan ayam Akses SDH lebih luas dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis Akses SDH lebih luas dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu Akses SDH lebih luas dibanding peternakan ayam Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding peternakan ayam Pengembangan usaha kerajinan kayu dibanding peternakan ayam
Strategi : Hutan lestari 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Penguatan kelembagaan dibanding akses SDH lebih luas 2 Penguatan kelembagaan dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 3 Penguatan kelembagaan dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 4 Penguatan kelembagaan dibanding peternakan ayam 5 Akses SDH lebih luas dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 6 Akses SDH lebih luas dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 7 Akses SDH lebih luas dibanding peternakan ayam 8 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 9 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding peternakan ayam 10 Pengembangan usaha kerajinan kayu dibanding peternakan ayam
9
Strategi : Mengurangi Konflik
186
1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Penguatan kelembagaan dibanding akses SDH lebih luas 2 Penguatan kelembagaan dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 3 Penguatan kelembagaan dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 4 Penguatan kelembagaan dibanding peternakan ayam 5 Akses SDH lebih luas dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 6 Akses SDH lebih luas dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 7 Akses SDH lebih luas dibanding peternakan ayam 8 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 9 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding peternakan ayam 10 Pengembangan usaha kerajinan kayu dibanding peternakan ayam
9
Strategi : kesempatan kerja 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Penguatan kelembagaan dibanding akses SDH lebih luas 2 Penguatan kelembagaan dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 3 Penguatan kelembagaan dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 4 Penguatan kelembagaan dibanding peternakan ayam 5 Akses SDH lebih luas dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 6 Akses SDH lebih luas dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 7 Akses SDH lebih luas dibanding peternakan ayam 8 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 9 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding peternakan ayam 10 Pengembangan usaha kerajinan kayu dibanding peternakan ayam
9
187
Strategi : Usaha produktif 1 = equal 3 = moderate 5 = strong 7 = very strong = extreme 1 Penguatan kelembagaan dibanding akses SDH lebih luas 2 Penguatan kelembagaan dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 3 Penguatan kelembagaan dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 4 Penguatan kelembagaan dibanding peternakan ayam 5 Akses SDH lebih luas dibanding Hutan kolaboratif yang demokratis 6 Akses SDH lebih luas dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 7 Akses SDH lebih luas dibanding peternakan ayam 8 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding pengembangan usaha kerajinan kayu 9 Hutan kolaboratif yang demokratis dibanding peternakan ayam 10 Pengembangan usaha kerajinan kayu dibanding peternakan ayam
9
TERIMA KASIH
188
Bogor,
14
Juli 2010
Hal
: Permohonan Pengisian Kuesioner AHP
Yth. Bogor
Assalamualaikum wr. Wb.
Sehubungan dengan penelitian disertasi yang berjudul : PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KEMITRAAN Kasus Pola PHBM
( Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di
Perum Perhutani KPH Bogor, BKPH Parung Panjang, dengan ini saya mohon Bapak berkenan mengisi kuesioner terlampir. Kuesioner AHP ini berisi perbandingan berpasangan dalam menentukan strategi dan kebijakan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yang akan digunakan untuk penyusunan disertasi
doktor
pada
program
Studi
Ilmu
Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Atas bantuan Bapak, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
189
Mukhlas Ansori
Bogor, 14 Juli 2010
Hal
: Permohonan Pengisian Kuesioner AHP
Yth. Bogor
Assalamualaikum wr. Wb.
Sehubungan dengan penelitian disertasi yang berjudul : PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KEMITRAAN Kasus Pola PHBM
( Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di
Perum Perhutani KPH Bogor, BKPH Parung Panjang, dengan ini saya mohon Bapak berkenan mengisi kuesioner terlampir. Kuesioner AHP ini berisi perbandingan berpasangan dalam menentukan strategi dan kebijakan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yang akan digunakan untuk penyusunan disertasi
doktor
pada
program
Studi
Ilmu
Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Atas bantuan Bapak, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Mukhlas Ansori
190
Bogor,
14
Juli 2010
Hal
: Permohonan Pengisian Kuesioner AHP
Yth Bogor
Assalamualaikum wr. Wb.
Sehubungan dengan penelitian disertasi yang berjudul : PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KEMITRAAN Kasus Pola PHBM
( Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di
Perum Perhutani KPH Bogor, BKPH Parung Panjang, dengan ini saya mohon Ibu berkenan mengisi kuesioner terlampir. Kuesioner AHP ini berisi perbandingan berpasangan dalam menentukan strategi dan kebijakan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yang akan digunakan untuk penyusunan disertasi
doktor
pada
program
Studi
Ilmu
Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Atas bantuan Ibu, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Mukhlas Ansori
191
192