Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006
Fokus Pengawasan
“PENGAWASAN: UPAYA PREVENTIF DAN REPRESIF” TIDAK DIPERJUALBELIKAN
Daftar Isi
Fokus Pengawasan Diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama RI Tahun 2006 Dewan Penyunting: Pembina: A. Qodri A. Azizy Pengarah: Ichtiono, Mukhayat, Achmad Ghufron, Chamdi Pamudji, Wardi Idris Penanggung jawab: Ali Hadiyanto Ketua: Maman Taufiqurrohman Sekretaris: Ali Rokhmad Anggota: Mudjimah, O. Sholehuddin, Abdul Karim, Nur Arifin, Arif Nurrawi, Nugraha Stiawan Pelaksana: Tamriyanto, Sugina, Sarmin, Nurman Kholis, Ispawati Asri, Feriantin Erlina Alamat Redaksi: Inspektorat Jenderal Departemen Agama, Jalan M.H. Thamrin No.6, Jakarta 10340 Telp. (021) 3192-4509, 3193-0565 Telefax: (021) 314-0135, 3192-6803 e-mail:
[email protected]
Surat Pembaca ............................. 3 Pengantar ..................................... 4 Fokus Utama Pengawaan; Upaya Preventif ........ 5 Urgensi Pengawasan Preventif ..... 9 Tujuh Tipe Aparatur Dep. Agama .. 12 Arah Kebijakan Dep. Agama ........ 14 What Is Prefentive ....................... 17 Opini Audit Kinerja PTAIN ...................... 20 Pemimpin Sejati ........................... 23 Pengaruh IQ, EQ, dan SQ ........... 25 Pembinaan Jiwa Korps PNS ....... 29 Waskat .................. .......................34 Randang Komitmen Bersama......................... Perpres No. 7/2005 .......................... AMO Manajemen Pengembangan ............ TI Memproteksi File Rahasia ............... Hikmah Keteladanan Abu Bakar .................... Renungan Perjalanan Bersejarah ..................... Relaksasi ........................................
Dewan Penyunting menerima artikel yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, diutamakan dalam bentuk soft copy.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
2
Surat Pembaca temen lain, maka sebagian persoalan bangsa ini akan dengan mudah terselesaikan. Selamat. Abdul Rojak Cengkareng, Jakbar Rubrik Tanya Jawab
Rubrik Berbahasa Asing
Saya menyambut gembira dengan adanya majalah Fokus Pengawasan yang diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama, saya berharap agar FP dapat menyajikan rubrik yang berisi tanya jawab bidang pengawasan. Diharapkan dalam rubrik tanya jawab tersebut, pembaca dapat menanyakan berbagai permasalahan berkaitan dengan masalah pengawasdi lingkungan Departemen Agama. Terima kasih atas perhatiannya, semoga dapat dipenuhi.
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dalam FP Edisi ke-11 yang lalu, saya membaca salah satu naskah berbahasa Inggris berikut terjemahannya yang berjudul “Integrity Pact”. Saya menyampaikan apresiasi kepada penulisnya yang telah berani menyampaikan naskah tersebut sehingga dapat menjadi stimulus bagi penulis-penulis lainnya untuk menuangkan tulisannya dalam bahasa tersebut. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar FP memuat rubrik baru yang berisi naskah berbahasa Inggris. Selain itu, FP juga dapat mengupayakan pemuatan naskah berbahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Hal ini saya sampaikan berkenaan era globalisasi yang lambat laun akan menuntut FP dan tentunya Inspektorat Jenderal Departemen Agama terlibat dalam percaturan era ini.
Syaiful Islam Cianjur, Jawa Barat FP: Saran Anda menjadi bahan pemikiran untuk penerbitan FP edisi berikutnya. Terimakasih. HAB Depag ke-61 Assalamu’alaikum Wr. Wb. Melalui media Fokus Pengawasan ini, saya ingin mengucapkan selamat Hari Amal Bakti Departemen Agama ke61 yang akan jatuh pada tanggal 3 Januari 2007 nanti. Semoga Departemen Agama dapat terus berbenah diri dan berusaha menjadi departemen yang bersih dan bebas dari KKN. Saya berpendapat bila Departemen Agama dapat memberi contoh dan menjadi teladan bagi depar-
Wa’alaikumsalam Wr. Wb. Muhammad S. Salatiga, Jawa Tengah FP: Terima kasih atas apresiasi dan usulan Anda. FP akan berupaya mencari penulis yang mampu menulis dengan bahasa asing yang Anda maksud. FP juga berharap Anda atau para pembaca dapat menyumbangkan naskah-naskah tersebut.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
3
Pengantar mengganggu kondisi optimal dari proses kegiatan Departemen Agama. Pengawasan adalah fungsi manajemen yang penting dan harus mendapatkan apresiasi yang benar dari semua unsur yang ada di lingkungan Depar“Pencegahan Lebih Baik Daripada Mengobati” Ungkapan ini tepat sekali dengan tema Fokus Pengawasan edisi penghujung Tahun 2006 ini. Manusia pada dasarnya tidak luput dari salah, lalai dan lupa. Dari ketidaksempurnaan ini, dibutuhkan pengawasan yang merupakan upaya pencegahan sebelum terjadinya kesalahan agar tidak terjadi lagi di kemudian hari. Namun bila terlanjur berbuat salah, maka harus dikoreksi/dibetulkan agar diketahui apa saja kesalahannya. Sebagai sebuah lembaga pengawasan interal pemerintah, Inspektorat Jenderal memiliki tugas untuk melakukan upaya pencegahan dan pembetulan atas pelaksanaan tugas dan fungsi di lingkungan Departemen Agma. Inilah yang dimaksudkan dengan pengawasan preventif dan represif. Pengawasan preventif adalah pengawasan untuk mencegah terjadinya kerugian atau penyimpangan, disamping untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan agar sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan pengawasan represif adalah tindakan korektif yang merupakan tindakan pembetulan terhadap tingkah laku menyimpang yang dapat
temen Agama. Karena tanpa adanya pengawasan, manajemen tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Dan ini akan mengakibatkan penyimpangan yang akibatnya akan merugikan manajemen itu sendiri. Oleh karana itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama Pasal 720 yang berbunyi: “Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Departemen Agama berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri”, maka Inspektorat Jenderal dituntut dapan menjalankan perannya tidak saja sebagai watch dog dan konsultan, namun harus juga mampu menjadi katalis dalam mempercepat perwujudan Departemen Agama yang bersih dan bebas dari KKN. Dengan demikian diharapkan kecenderungan penyimpangan yang akan terjadi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi seluruh satuan organisasi/kerja di lingkungan Departemen Agama dapat dicegah sedini mungkin.Namun bila terlanjur ada yang berbuat menyimpang maka Inspektorat Jenderal harus dapat memberikan solusi perbaikan. (ns)
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
4
Fokus Utama
PENGAWASAN; UPAYA PREVENTIF DAN REPRESIF Departemen Agama sebagai salah satu Departemen di Indonesia, mempunyai tugas membantu Presiden dalam penyelenggaraan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan, yang fungsi utamanya sebagai: 1)pelaksana urusan pemerintah di bidang keagamaan; 2)pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang pembinaan kehidupan beragama. Lembaga pengawasan internal Departemen Agama adalah Inspektorat Jenderal dan lembaga internal pemerintah yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sedangkan lembaga pengawasan eksternal pemerintah seperti: BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), DPR yang juga memiliki peran sebagai lembaga kontrol terhadap jalannya pemerintahan termasuk pada Departemen Agama. Lembaga pengawasan internal khususnya Inspektorat Jenderal Departemen Agama berfungsi menyelenggarakan pengawasan fungsional di lingkungan Departemen Agama. Implikasinya, Inspektorat Jenderal Departemen Agama harus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Departemen Agama berdasarkan kebijakan Menteri Agama. Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dalam pelaksanaan pengawasan, yaitu pengawasan sebagai upaya preventif dan represif atau kuratif ataupun korektif.
Kegiatan pengawasan preventif yang dilakukan Inspektorat Jenderal Departemen Agama bertujuan untuk menciptakan kondisi pelaksanaan tugas dan fungsi satuan organisasi/ kerja di lingkungan Departemen Agama agar berjalan efektif, efisien, dan ekonomis. Tindakan korektif merupakan tindakan pembetulan terhadap perilaku menyimpang yang dapat mengganggu kondisi optimal kinerja Departemen Agama. Hal tersebut sebagai dimensi tindakan dan tindakan terhadap perilaku menyimpang serta yang sudah terlanjur terjadi. Tindakan koreksi dimaksudkan agar penyimpangan tidak menjadi lebih besar dan menggurita. Terdapat dua jenis dimensi tindakan pengawasan yang dilakukan terhadap akuntabilitas kinerja aparatur Departemen Agama, yaitu: Dimensi pencegahan (preventif); merupakan tindakan mengatur pegawai, sarana kerja dan format kegiatan yang tepat sehingga menumbuhkan kondisi menguntungkan bagi berlangsungnya proses kegiatan yang efisien, efektif, dan ekonomis. Tatacara pencegahan atau tindakan preventif merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan Inspektorat Jenderal dalam rangka mengawasi pegawai dan format kegiatan yang tepat. Dalam hal ini pengawasan merupakan sistematika langkah-langkah yang harus di rencanakan Inspektorat Jenderal untuk mencip-
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
5
Fokus Utama takan suatu struktur kondisi yang fleksibel, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Tindakan pencegahan dalam pengawasan diarahkan pada pegawai terhadap tuntutan pelayanan masyarakat dalam bidang keagamaan, baik secara individual maupun kelompok yang berupa kegiatan kerja. Dimensi kuratif atau represif; merupakan tindakan terhadap perilaku pegawai yang sudah terlanjur menyimpang. Agar penyimpangan tersebut tidak berlarut-larut, Inspektorat Jenderal Departemen Agama berusaha untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab pegawai untuk memperbaiki diri sehingga pelaksanaan tugas dapat dipertanggungjawabkan. Langkah-langkah Preventif Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang tepat sebelum munculnya penyimpangan. Keberhasilan tindakan pencegahan perilaku menyimpang ini merupakan salah satu indikator penting dalam keberhasilan pengawasan Inspektorat Jenderal Departemen Agama. Hal tersebut terkait dengan tugas Inspektorat Jenderal Departemen Agama dalam menentukan langkahlangkah yang efisien dan efektif untuk jangka pendek maupun jangka panjang melalui proses pendidikan yang sistematis. Tentunya tidak hanya dilihat pada aspek pegawai yang diawasi tetapi juga pegawai yang mengawasi dalam hal ini adalah tugas para auditor Inspektorat Jenderal Departemen Agama. Adapun langkah-langkah pencegahannya sebagai berikut:
Satu, Penyadaran Diri Sebagai Pengawas Sikap pengawas terhadap profesinya banyak mempengaruhi terciptanya kondisi dan lingkungan kerja. Oleh karena itu, langkah strategi yang mendasar dalam kegiatan pengawasan adalah bagaimana “meningkatkan kesadaran diri para pengawas. Apabila seorang pengawas sadar akan profesinya, pada gilirannya akan meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab sebagai modal dasar bagi pengawas dalam melaksanakan tugas pengawasannya”. Implikasi kesadaran diri pengawas akan tampak dalam sikapnya yang cerdas, teliti, tegas, dan arif dalam melakukan auditing yang menunjukkan kepribadian pengawas yang stabil dan berwibawa. Sikap ini pada akhirnya akan menumbuhkan reaksi dan respons yang positif dari obyek yang diawasinya (auditan). Dua, Penyadaran Diri Pegawai Penyadaran diri sebagai pengawas harus diimbangi dengan penyadaran diri pegawai yang diawasi. Karena kurangnya kesadaran terhadap diri pegawai yang diawasi, maka tidak akan terjadi interaksi positif dalam kegiatan pengawasan Inspektorat Jenderal. Indikator kurang kesadaran bagi pegawai yang diawasi ditandai dengan sikap negatif yang mudah tersinggung dan kecewa. Sikap tersebut memungkinkan pegawai melakukan tindakantindakan penyimpangan yang kurang terpuji. Untuk mencegah munculnya sikap negatif tersebut, pengawas harus
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
6
Fokus Utama berupaya meningkatkan kesadaran pegawai yang diawasi melalui pendidikan dan pembinaan sebagai berikut: − Mengingatkan pegawai yang diawasi tentang hak dan kewajibannya sebagai pegawai Departemen Agama. − Memperhatikan kebutuhan dan keinginan pegawai serta dorongan kinerjanya. − Menciptakan suasana saling pengertian antara pengawas dan yang diawasi yang terkait dengan tugas dan tanggung jawab.
Perwujudan komitmen adalah pelaksanaan norma dan kode etik auditor pada Inspektorat Jenderal Departemen Agama. Standar perilaku pengawas harus diketahui juga oleh obyek audit. Dalam arti bahwa aturan terkait dengan nilai atau norma pengawasan yang berasal dari kebijakan Inspektorat Jenderal harus dihormati dan ditaati. Langkah-langkah Penyembuhan (Kuratif) atau Represif
Tiga, Sikap Pengawas yang Ikhlas Pengawas dituntut untuk tulus ikhlas. Sikap demikian akan menjadi rangsangan positif bagi aparat yang lain, sehingga akan mampu memberi respons positif terhadap pengawas. Penciptaan nuansa sosial dalam kegiatan pengawasan akan banyak dipengaruhi oleh ketulusan sikap pengawas, yang dalam penciptaan kondisi lingkungan kondusif saat kegiatan pengawasan dilakukan.
Pada dasarnya langkah-langkah dimensi penyembuhan (kuratif) atau represif perilaku penyimpangan adalah sebagai berikut: Satu, mengidentifikasi Masalah Pengawas melakukan kegiatan untuk mengenal atau mengetahui masalah-masalah penyimpangan yang terjadi dalam kegiatan pengawasan. Para pengawas harus dapat mengidentifikasi jenis-jenis temuan penyimpangannya sekaligus mengetahui pegawai atau unit kerja yang melakukan penyimpangan tersebut.
Empat, Perwujudan Komitmen ” Perwujudan komitmen dalam kegiatan pengawasan sangat berkait dengan standar perilaku, yang diharapkan dapat memberikan gambaran tentang rekomendasi tugas kerja pengawas dalam upaya memenuhi kebutuhan pengawasan fungsional pada Departemen Agama. Stanadar perilaku ini dipandu melalui penerapan kode etik auditor. Dengan kata lain,
Dua, Menganalisis Masalah Langkah kedua ini pengawas Inspektorat Jenderal Departemen Agama berusaha untuk menganalisis penyimpangan dan menyimpulkan latar belakang dan sumber penyimpangan. Setelah diketahui sumber penyimpangan, pengawas kemudian berusaha untuk menentukan alternatif-alternatif penanggulangan atau penyembuhan penyimpangan.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
7
Fokus Utama Tiga, Menilai Alternatif Pemecahan Penyimpangan dan Melaksanakan Salah Satu Alternatif Pemecahan Langkah ini memilih alternatif berdasarkan sejumlah masalah perilaku penyimpangan yang ditemukan dan harus dipecahkan. Maksudnya alternatif mana yang paling tepat menanggulangi penyimpangan perilaku tersebut. Empat, Menetapkan dan Melaksanakan Alternatif Pemecahan Masalah Penyimpangan Perilaku Penyimpangan Sesudah ditetapkan alternatif yang tepat maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan alternatif pemecahan perilaku menyimpang. Lima, Memperoleh Umpan Balik Dari hasil pelaksanaan alternatif pemecahan masalah penyimpangan, yang sebelumnya telah dilakukan pengamatan dan monitoring, yaitu kegiatan untuk mendapatkan data umpan balik dalam menilai apakah pelaksanaan dari alternatif pemecahan masalah penyimpangan telah mencapai sasaran, sesuai dengan yang
direncanakan atau tidak, atau bahkan terjadi perkembangan baru yang lebih baik atau sebaliknya. Semua ini merupakan bahan masukan yang sangat berguna untuk menilai program pengawasan Inspektorat Jenderal Departemen Agama dan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan program Inspektorat Jenderal Departemen Agama. Seorang pengawas Inspektorat Jenderal Departemen Agama harus mengetahui dan mengenal masalah penyimpangan serta memahami cara pengawasan yang baik dari sudut pandang dimensi preventif maupun kuratif atau represif, yang tentunya menjadi dasar yang kuat untuk menyusun rancangan pengawasan selanjutnya. Oleh sebab itu, penyusunan rencana pengawasan harus dilandasi dengan tindakan preventif maupun kuratif atau represif secara optimal. Penyusunan rencana pengawasan Inspektorat Jenderal Departemen Agama menentukan serangkaian kegiatan langkah pengawasan, yang disusun secara sistematis berdasarkan pemikiran yang rasional. (Arin)
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
8
Fokus Utama
MENAG: URGENSI PENGAWASAN PREVENTIF TERHADAP ANGGARAN BERBASIS KINERJA Pada acara pembukaan “Rapat Evaluasi Pelaksanaan APBN Tahun 2006 dan Koordinasi Pengawasan di Lingkungan Departemen Agama” yang berlangsung di Jakarta, 20 Desember 2006, Menteri Agama (Menag), Muhammad M. Basyuni mengatakan ia selaku Pengguna Anggaran dan para Pimpinan Satuan Kerja di lingkungan Departemen Agama selaku Kuasa Pengguna Anggaran, setiap tahunnya mempunyai tugas pokok, yaitu menyusun program kerja dan anggaran, melaksanakan program dan anggaran yang telah disusun, serta menyampaikan laporan pertanggungjawabannya. Menag juga menyampaikan, anggaran Departemen Agama dari tahun ke tahun terus menunjukkan kenaikan yang cukup menggembirakan. Kenaikan anggaran itu, pada dasarnya menunjukkan bahwa seiring dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian Indonesia, perhatian dan kepercayaan terhadap Departemen Agama juga semakin meningkat. Hanya saja, jika dilihat struktur dan komposisinya, anggaran Departemen Agama masih menunjukkan hal yang belum begitu menggembirakan. Dalam anggaran tahun 2006 misalnya, dari angka sebelas trilyun lebih, hampir tujuh puluh lima persennya berasal dari fungsi pendidikan, sedangkan fungsi agama yang merupakan tugas pokok Departemen Agama baru memperoleh alokasi sekitar dua belas persen. Ini menunjuk-
kan bahwa kenaikan anggaran Departemen Agama baru merupakan berkah dari UUD 45 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan tidak boleh kurang dari 20% dari APBN dan APBD, dan belum mencerminkan pemenuhan sesungguhnya terhadap kebutuhan pokok Departemen Agama dalam mengemban tugas dan fungsinya. Di hadapan para peserta acara tersebut, Menag juga menjelaskan bahwa komposisi belanja dalam anggaran Departemen Agama tahun 2006 tersebut hampir separuhnya teralokasikan untuk belanja pegawai. Ini berarti bahwa secara umum masih sulit bagi satkersatker di lingkungan Departemen Agama untuk membuat programprogram baru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, di masa yang akan datang anggaran Departemen Agama harus diusahakan untuk ditingkatkan sekaligus dengan memperbaiki komposisi fungsi dan belanjanya agar dapat meningkatkan kinerja Departemen Agama. Upaya untuk peningkatan kinerja tersebut, lanjut Menag, seiring dengan upaya pemerintah yang secara konsisten akan terus melaksanakan peningkatan tata kerja dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Menag juga mengingatkan kembali bahwa dirinya telah bertekad untuk terus
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
9
Fokus Utama membersihkan KKN dari lingkungan Departemen Agama. Namun, tegas Menag, para pejabat dan pegawai Depag tidak perlu merasa takut untuk melaksanakan kegiatan yang sudah direncanakan sepanjang segala sesuatunya mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Sebab, tugas pemerintah tentu bukan hanya untuk memberantas korupsi tetapi yang lebih utama adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mensejahterakan mereka. Oleh karena itu, kata Menag, ke depan para pejabat dan pegawai Depag agar jangan sampai menundanunda pelaksanaan program dan kegiatan hanya semata-mata karena perasaan takut dituduh korupsi, karena kelambatan pelaksanaan program dan anggaran pemerintah akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun demikian, lanjut Menag, bukan berarti boleh menggampangkan dalam melaksanakan program-program yang sudah dibuat. Akan tetapi sebaliknya, dalam pelaksanaan program-program tersebut harus tetap berpegang teguh kepada asas prudential atau asas-asas kehati-hatian. Anggaran berbasis kinerja Berkenaan dengan Laporan Realisasi Anggaran, Menag mengatakan bahwa jika data realisasi anggaran yang dilaporkan melalui unit akuntansi Departemen Agama tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata di lapangan, dalam arti bahwa angka realisasi di lapangan ternyata lebih tinggi dari data yang terlaporkan, ini berarti bahwa kinerja Unit-unit Akuntansi Departemen Agama yang menghasilkan laporan keuangan dan laporan
barang milik negara harus segera ditingkatkan. Laporan keuangan yang di dalamnya mencakup laporan barang milik negara merupakan tanggung jawab seluruh aparat Departemen Agama untuk menyiapkannya. Menag juga mengingatkan kembali bahwa Laporan Keuangan merupakan salah satu wujud transparansi dan akuntabilitas dalam setiap pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, Menag meminta agar kualitas Laporan Keuangan Departemen Agama dapat terus ditingkatkan sehingga benar-benar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah, memiliki informasi yang handal, dan disampaikan tepat waktu. Menag juga meminta agar dalam pelaksanaan anggaran benar-benar dialihkan dari paradigma lama menuju paradigma baru. Sebab, pelaksanaan anggaran tidak lagi hanya berorientasi kepada input melainkan juga harus berorientasi kepada output dan outcome. Oleh karena itu, kata Menag, aparat Departemen Agama tidak boleh hanya berorientasi kepada “yang penting anggaran habis” melainkan harus berorientasi “manfaat apa yang dapat dirasakan oleh masyarakat dengan uang yang dibelanjakan itu”. Jika sekiranya pelaksanaan kegiatan tersebut, lanjut Menag, tidak akan menghasilkan sesuatu yang jelas dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara, lebih baik kegiatan itu tidak usah dilaksanakan dan uangnya disetorkan kembali ke kas negara. Inilah yang dimaksud dengan anggaran berbasis kinerja. Menag pun menjelaskan, untuk dapat benar-benar membangun pelaksanaan anggaran yang berbasis kinerja maka fungsi pengawasan menjadi
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
10
Fokus Utama sesuatu yang amat penting. Dengan demikian, pengawasan harus dilaksanakan bukan hanya sesudah kegiatan selesai dilaksanakan, melainkan mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, sampai dengan laporan pertanggungjawabannya. Berbicara mengenai pengawasan, kata Menag, sistem ketatanegaraan Indonesia sebenarnya hanya mengenal satu sistem pengawasan, yaitu pengawasan eksternal yang dilaksanakan oleh sebuah badan yang mandiri di luar pemerintahan, yaitu Badan Pemeriksan Keuangan. Meskipun demikian, dalam praktik kehidupan bernegara selama ini, di Indonesia juga mengenal pengawasan internal yang dilakukan oleh BPKP dan Inspektorat Jenderal. Tujuan utama dibentuknya lembaga-lembaga pengawasan itu, baik eksternal maupun internal, tentu untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa pemerintah di dalam melaksanakan program-programnya untuk mencapai tujuan bernegara, benar-benar sesuai dengan rencana yang telah disepakati bersama dengan para wakil rakyat. Pengawasan itu juga dimaksudkan agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya dengan baik, transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan bersih dari KKN. Dengan adanya fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh lembagalembaga yang berbeda itu, maka koordinasi pengawasan menjadi sesuatu yang diperlukan. Oleh karena itu, Menag mengatakan agar Inspektorat Jenderal Departemen Agama harus dapat mempertegas kembali fungsinya dan harus lebih berorientasi kepada usaha-usaha preventif untuk mencegah terjadinya
penyimpangan yang dapat mengakibatkan kerugian negara, bahkan mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan Departemen Agama, selain itu tentu saja usahausaha yang bersifat kuratif. Pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal, bukan hanya pengawasan pasca pelaksanaan anggaran, tetapi juga pengawasan sejak proses perencanaannya sehingga dapat dihindarkan secara dini kemungkinan-kemungkinan penyimpangan dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, lanjut Menag, dalam rangka meningkatkan kualitas perencanaan, salah satu masalah yang cukup penting adalah merumuskan indikator kinerja. Menag pun memaklumi, untuk merumuskan indikator kinerja program dan kegiatan Departemen Agama yang sasarannya kebanyakan lebih bersifat abstrak bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi bagaimanapun hal itu perlu untuk dirumuskan mengingat indikator kinerja akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan suatu program dan kegiatan. Indikator kinerja juga berfungsi sebagai standar penilaian apakah suatu pelaksanaan kegiatan benar-benar telah mencapai sasaran yang telah ditetapkan atau hanya sekedar menghabiskan anggaran yang ada. Dalam hal ini, tutur Menag, Inspektorat Jenderal dapat memprakarsai terwujudnya rumusanrumusan indikator kinerja yang baik dan benar dari setiap program dan kegiatan yang dilakukan oleh satker-satker di lingkungan Departemen Agama. (nugrahas). (Dikutip dari “Arahan Menteri Agama pada Pembukaan Rapat Evaluasi Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2006 dan Rapat Koordinasi Pengawasan APBN di Lingkungan Departemen Agama”, 20 Desember 2006.)
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
11
Fokus Utama
IRJEN DEPAG: TUJUH TIPE APARATUR DEPARTEMEN AGAMA “Masing-masing kita dimana?”, tanya Inspektur Jenderal (Irjen) Departemen Agama, A. Qodri A. Azizy kepada para peserta “Rapat Evaluasi Pelaksanaan APBN Tahun 2006 dan Koordinasi Pengawasan di Lingkungan Departemen Agama”. Pertanyaan ini Irjen lontarkan sekaligus introspeksi bagi seluruh aparatur Departemen Agama tentang niat dan sikap dalam bekerja selama ini. Untuk menjawab pertanyaan dalam sesi materi “Sosialisasi Akhir Itjen Dep. Agama” pada tanggal 23 Desember 2006 ini, Irjen mengemukakan tujuh tipe atau level aparat Departemen Agama dalam bekerja, yaitu: Pertama, hanya untuk menikmati atau ada niat jahat. Aparat pada level ini semula memang tidak memiliki niat jahat namun juga tidak mau berbuat baik. Tetapi ia kemudian diam saja dan ikut menikmati segala sesuatu yang diperoleh melalui cara-cara yang jahat dengan berpura-pura tidak tahu. Karena sudah terbiasa menikmati hal-hal tersebut, akhirnya ia berbuat serakah meskipun bukan sebagai inisiator untuk berbuat jahat. Kedua, sekedar untuk melaksanakan kewajiban (mengisi absensi). Aparat pada level ini hanya berbuat formalitas dan untuk setor muka saja saat pergi ke kantor. Ia pun bersikap “ngglundung” sehingga meskipun hadir, ia tidak peduli dengan berhasil atau tidaknya kinerja kantor tempatnya bekerja karena merasa hal itu tidak ada
urusan dengan dirinya. Dengan demikian, dalam dirinya memang tidak ada niat jahat namun juga tidak ada niat untuk baik sehingga tentu tidak ingin melakukan perbaikan. Ketiga, melepaskan diri dari dosa (dosa akibat tidak berbuat). Aparat pada level ini pekerjaan yang dilakukannya bukan hanya formalitas tetapi lebih tinggi dari itu, sehingga ia merasa berdosa kalau tidak melaksanakan tugas. Namun, ia belum berpikir atau berniat apakah kerjanya itu ada hasil atau tidak. Oleh karena itu, ia disiplin dalam bekerja dan di dalam hatinya tidak ada niat buruk serta betul-betul tidak mau berbuat jahat. Keempat, mau berbuat lebih baik, meskipun belum bisa menjadi ciri pembedaan (be better). Aparat pada level ini memiliki niat baik termasuk visi, dan lain-lain. Ia berupaya serius mengimplementasikan niatnya untuk lebih baik dari yang sudah ada, khayr min amsihi (lebih baik dari pada kemarin). Ia pun menyadari, belum bisa mejadi pembeda (belum bisa disebut “tampil beda”). Ibarat bisnis, aparat pada level ini sudah sampai pada orientasi profitability. Kelima, mau berbuat lebih baik yang dapat menjadi ciri pembeda (differentiate). Aparat pada level ini bersikap optimis, antusias, berani, tegas untuk berbuat sekiranya bermanfaat. Ia mencintai pekerjaan dan tidak menghitung-hitung uang lembur serta dapat dilihat sebagai
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
12
Fokus Utama sesuatu yang berbeda. Dalam benaknya ia berpikir positif bahwa keberadaan Depag akan dianggap beda karena lebih baik. Dengan demikian, aparat dalam level ini bisa mewujudkan masyarakat beriman dan bertakwa yang akan mendapat berbagai berkah dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya: “walau anna ahla al-qura amanu wa ittaqaw lafatahnaa ’alaihim barakatin minassmawati wal ardl…(Sekiranya para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa maka benar-benar akan kami bukakan kepada mereka keberkahan-keberkahan dari langit dan bumi...). Ibarat bisnis, aparat pada level ini bukan hanya beruntung (yang mungkin sesaat) namun sudah sampai Returnability, lebih dari sekedar cashflow. Keenam, mau membangun dan menciptakan sistem kerja yang baik dan bermanfaat sehingga berbeda dengan yang lain (make a difference). Aparat pada level ini berbsikap antusias, intuitif, bijak, etis, adil, berintegritas, p e n u h greget, dan tanggung jawab untuk menjalankan pekerjaan atau jabatannya. Prestasi dan karakternya dapat membedakan dirinya dengan yang lain juga mampu mempengaruhi yang lain untuk lebih baik. Hasil dari pengaruh itu termasuk berupa sistem dan budaya di kantor. Dengan demikian, ia memberi manfaat bagi instansi dan agamanya sehingga Departemen Agama mampu mempengaruhi yang lain dalam hal kebaikan (lebih dari sekedar menjadi contoh). Hal ini berdampak penilaian orang lain karena sudah mampu menciptakan perbedaan bukan sekedar tampil beda dengan kinerja-kinerja Departemen Agama tahun-tahun sebelumnya atau dengan departemen
yang lain. Oleh karena itu, ia bisa menjalankan ayat Allah: kuntum khayr ummatin ukhrijat linnasi ta’muruna bi alma’ruf wa tanhauna ’anil munkar (Kalian semua adalah umat terbaik yang diturunkan untuk seluruh manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar. Namun, masih mungkin pekerjaan yang dilakukannya belum tulus demi agama (tidak selalu dikaitkan dengan Tuhan). Ibarat bisnis, aparat seperti ini sudah sampai pada sustainability dengan jalan yang etis (termasuk dalam hal marketing) namun tidak seperti Robin Hood. Dengan demikian, dari rencana, proses, sampai dengan implementasi dan tujuan yang dilakukan aparat seperti ini menggunakan nilainilai luhur. Ketujuh, bekerja yang mampu menciptakan kebiasaan baru yang lebih baik (sistem) menjadi kepuasan (Ikhlas beramal). Aparat pada level ini bukan hanya sekedar dapat melakukan management by objective namun juga dilandasi ketulusan dan tanggung jawab. Ia bisa mewujudkan yukhrijuhum min al-zulumat ila al-nur (mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya) dan rahmatan li alalamin (rahmat bagi semesta alam). Ia pun sudah merasakan hanya Allah yang tepat dan akan membalas kebaikan dengan sempurna, meskipun secara pribadi tidak mendapatkan keuntungan materi secara langsung sebagaimana firman Allah: “wa man y a t t a q i l l a h a yaj’al lahu makhraja wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib” (orang yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak terduga). (Nurman Kholis).
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
13
Fokus Utama
SEKJEN DEPAG: ARAH KEBIJAKAN DAN PROGRAM DEPARTEMEN AGAMA Sebagai upaya untuk mengingatkan kembali aparatur Departemen Agama agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Agama, Bahrul Hayat di awal acara “Rapat Evaluasi Pelaksanaan APBN Tahun 2006 dan Koordinasi Pengawasan di Lingkungan Departemen Agama” menyampaikan materi “Arah Kebijakan dan Program Departemen Agama”. Mengawali paparannya, Sekjen mengutip tugas Departemen Agama dalam PP No.7 Tahun 2005 tentang RPJMN 20042009 yang berbunyi: “Meningkatan Kualitas Kehidupan Beragama, Penciptaan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa serta Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Berkualitas”. Berkenaan dengan tugas tersebut, Sekjen mengemukakan empat kondisi umum yang dihadapi Departemen Agama, yaitu pada bidang: 1)kehidupan beragama, 2)pendidikan agama dan keagamaan, 3)penyelenggaraan haji dan umrah, dan 4)tata kelola. Menurut Sekjen, bidang kehidupan beragama digambarkan ke dalam kondisi berikut, yaitu: adanya pemahaman yang dangkal oleh sekelompok kecil masyarakat yang mengklaim sebagai yang paling benar dan kurang memahami kondisi pluralitas yang menyebabkan tumbuhnya kelompok eksklusif,
munculnya gerakan keagamaan baru yang berbeda dengan mainstream agama-agama yang ada di Indonesia sebagai akibat penetrasi isu global, aksi terorisme yang menimbulkan prasangka negatif pada agama tertentu, dan pembinaan agama pada masyarakat yang belum terlayani secara maksimal karena keterbatasan sumber daya. Pada bidang pendidikan dan keagamaan, lanjut Sekjen, kondisi yang terjadi adalah proporsi lembaga pendidikan keagamaan sebagian besar diselenggarakan oleh masyarakat (berstatus swasta) dan secara ekonomi belum mampu mandiri, kualitas lembaga pendidikan keagamaan yang masih rendah dilihat dari aspek ketenagaan dan sarana prasarana yang berdampak pada rendahnya mutu lulusan, serta sebagian peserta didik lembaga pendidikan keagamaan berasal dari kelompok masyarakat menengah ke bawah secara ekonomi. Sedangkan pada bidang penyelenggaraan haji dan umrah, Sekjen menjelaskan kondisi permasalahan yang dihadapi yaitu antara komponen BPIH yang bersifat biaya langsung (direct cost) dengan biaya tidak langsung (indirect cost) untuk menunjang penyelenggaraan haji yang menjadi APBN/ APBD belum didefinisikan secara jelas, sistem komputerisasi haji terpadu (SISKOHAT) yang belum terbangun disetiap kandepag kabupaten/kota dan
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
14
Fokus Utama belum secara terintegrasi dengan bank penerima setoran, jumlah calon jemaah haji yang sangat besar dan tidak tersedia dana yang memungkinkan untuk melakukan kontrak perumahan lebih awal sehingga sulit untuk memperoleh perumahan yang lebih baik, profesionalitas tenaga pembimbing yang masih belum optimal, dan intervensi berbagai pihak terhadap penyelenggaraan haji yang menyebabkan “high cost”. Adapun permasalahan yang dihadapi bidang tata kelola dijelaskan oleh Sekjen ke dalam empat kondisi yaitu citra negatif Departemen Agama yang disebabkan oleh adanya beberapa kasus yang menjadi perhatian publik, jumlah dan kompetensi aparatur yang masih belum memadai, standarisasi prosedur dan mekanisme kerja yang belum terbangun dengan baik, perencanaan program dan penganggaran yang belum didasarkan kebutuhan dan kondisi riil, serta belum terpadu antar pusat dan daerah serta antar unit/ satuan kerja, anggaran dan sarana prasarana yang belum memadai khususnya pada tingkat kabupaten/kota dan kecamatan (KUA), pengelolaan aset negara yang belum dilakukan dengan baik, serta budaya dan etos kerja yang belum berorientasi pada mutu layanan publik. Kebijakan Departemen Agama Sekjen mengemukakan lima kebijakan yang telah dirumuskan Departemen Agama yaitu: 1)Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman serta kehidupan beragama, 2)Peningkatan Kualitas kerukunan Intern dan
Antar Umat Beragama, 3)Peningkatan Kualitas Pendidikan Agama dan Keagamaan, 4)Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Haji dan Umrah, dan 5)Penguatan Tata Kelola dan Akuntabilitas. Menurut Sekjen, peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman serta kehidupan beragama dilakukan melalui: peningkatan dan perluasan pelayanan dan pembinaan keagamaan, peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga penyuluh agama, penataan pengelolaan dan peningkatan kualitas rumah ibadah, peningkatan kualitas dan kapasitas lembaga keagamaan, peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar zakat, dana punia, kolekte, dan lainlain serta profesionalitas pengelolaannya yang lebih berdaya guna bagi pembangunan masyarakat, dan refungsionalisasi Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai unit layanan terendah Departemen Agama di daerah. Pada peningkatan kualitas kerukunan intern dan antar umat beragama, lanjut Sekjen, dilakukan melalui: peningkatan harmonisasi dan keserasian sosial, pencegahan potensi konflik sosial keagamaan, penyelesaian konflik sosial dan pemulihan kondisi sosial pasca konflik, peningkatan wawasan multikultural di kalangan umat beragama, peningkatan kerjasama intern dan antar umat beragama di bidang sosial ekonomi, dan bekerjasama dengan majelis-majelis agama untuk meluruskan dan membina kelompok/ aliran/sekte sesuai dengan aqidah/ kepercayaan dan ajaran dari agamanya masing-masing.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
15
Fokus Utama Untuk peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan, kata Sekjen, dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan agama di sekolah melalui penyediaan tenaga pendidik dan bahan ajar yang memadai, peningkatan mutu madrasah sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP), pengembangan kurikulum pendidikan agama dan keagamaan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan mutu Perguruan Tinggi Agama yang lebih relevan dan kompetitif sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi, perluasan layanan pendidikan nonformal berbasis agama, perluasan layanan pendidikan keagamaan dengan memberdayakan rumah ibadah dan lembaga pendidikan keagamaan lainnya, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan agama dan keagamaan. Sedangkan dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan haji dan umrah, dijelaskan Sekjen melalui: penetapan BPIH yang bersifat direct cost yang dikelola secara akuntabel dan penyediaan dana indirect cost melalui APBN/APBD, peningkatan mutu dan perluasan jangkauan SISKOHAT, penerapan sistem proporsional untuk pemondokan di Saudi Arabia dan melakukan kontrak jangka panjang (multi years), peningkatan mutu pembimbing dengan memperketat kriteria, sistem penilaian dan pola pelatihan, penerapan sistem penyelenggaran haji yang lebih transparan dan akuntabel, penyederhanaan sistem
bank penerima setoran yang lebih kompetitif, melakukan sistem sewa penerbangan yang lebih luas dan kompetitif, pengelolaan DAU yang lebih profesional dan akuntabel. Adapun dalam penguatan tata kelola dan akuntabilitas, menurut Sekjen dilakukan melalui: pengembangan tata nilai dan budaya kerja, peningkatan kualitas perencaanan, pengelolaan dan pelaporan program dan anggaran, penataan regulasi dan standarisasi, peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat, peningkatan sarana prasarana lembaga, pengembangan sistem akuntabilitas kinerja dan penghargaan, peningkatan sistem pengawasan pelaksanaan program serta pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi, pengembangan e-governance dalam rangka meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas, pelaksanaan INPRES No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberatasan KKN, peningkatan citra publik Departemen Agama. Sekjen pun menjelaskan tahapan penguatan tata kelola tersebut dilakukan dengan langkah-langkah berikut: 1)system compliance: semua program dan kegiatan lembaga dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, 2)system performance: semua program dan kegiatan lembaga diarahkan untuk mencapai kinerja lembaga yang optimal sesuai dengan tugas dan fungsinya, dan 3)system accountability: semua program dan kegiatan lembaga dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (M.Nailil Fijjar)
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
16
Fokus Utama
WHAT IS PREFENTIVE??? Yanis Naini, SE Preventive is English word which has been Indonesian word, that in Indonesian dictionary means inhibitory in order not to be happened. Inspectorate General of Religious Affairs Department is the internal department supervisor. The duty of Inspectorate General is managing the functional observation of the duty in the environment Religious Affairs Departement according to the policy specified by Minister (section 720 Regulation of Religious Affairs Minister of Republic Indonesia Number 3 Year 2006).
Preventif merupakan kata Bahasa Inggris yang telah di-Indonesiakan, yang dalam kamus Bahasa Indonesia berarti bersifat mencegah agar jangan terjadi. Inspektorat Jenderal Departemen Agama merupakan pengawas internal departemen. Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Departemen Agama berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri (pasal 720 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006).
PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN AGAMA Pasal 720 Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Departemen Agama berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri REGULATION OF RELIGIOUS AFFAIRS MINISTER OF REPUBLIC INDONESIA NUMBER 3 YEAR 2006 ABOUT DEPARTMENT OF RELIGIOUS AFFAIRS ORGANIZATION AND ADMINISTRATION Section 720 The duty of Inspectorate General is managing the functional observation of the duty in the environment Religious Affairs Departement according to the policy specified by Minister
The activity of observation to the duty of state government officers which done preventively that is construction to state government officers in order to work truly and full of responsibility as form of devotion to the nation, state, and religion.
Kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas aparatur negara dilakukan secara preventif yaitu pembinaan kepada aparatur negara agar bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab sebagai wujud pengabdian kepada bangsa, negara dan agama.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
17
Fokus Utama Human being is not miss from mistakes, negligence and forgetness. From the imperfection, required observation (preventive effort) in indicating the mistakes to get the better result in the future. There are three factors caused someone makes mistakes:
1 2 3
Manusia tidak luput dari salah, lalai dan lupa. Dari ketidaksempurnaan ini, dibutuhkan pengawasan yang merupakan upaya preventif dalam timbulnya kesalahan untuk hasil yang lebih baik di kemudian hari. Ada tiga faktor penyebab seseorang melakukan kesalahan: 1. Belum tahu Has not known yet
2. Tahu tapi lupa (lalai) Has known but forget (negligence)
3. Sengaja Intend
1. Has not known yet Different regulations is applied in every different place, different leadership style makes different specified regulation. The changing of the regulation requires time to socialize the newest regulation.
1. Belum tahu Peraturan yang berbeda-beda diterapkan di setiap tempat yang berbeda, beda gaya kepemimpinan, beda pula peraturan yang ditetapkan. Perubahan peraturan ini membutuhkan waktu untuk melakukan sosialisasi atas peraturan terbaru.
2. Has known but forget (negligence) This factor is more tend to the negligence. Functional supervisor of General Inspectorate Religious Affairs Department is Supervision Government Officer of Internal Government (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah) that remind the auditan in order not to neglect in running the duty by routine audit and special audit.
2. Tahu tapi lupa (lalai) Faktor ini lebih cenderung kepada ketidaksengajaan. Pengawas fungsional Inspektorat Jenderal Departemen Agama merupakan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) yang mengingatkan auditan agar tidak lalai menjalankan tugas yakni dengan pemeriksaan baik, rutin maupun khusus.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
18
Fokus Utama 3. Intend This is the heaviest factor, someone that intend doing the mistakes, although he/she has known the sanction (punishment) that will be accepted. As have been arranged in: a. Code Number 8 Year 1974 about The Officers Specified; b. Government Regulation of Republic Indonesia Number 32 Year 1979 about The Cessation of Civil Government Officer; c. Government Regulation of Republic Indonesia Number 30 Year 1980 about The Discipline regulation for Civil Government Officer; d. Government Regulation of Republic Indonesia Number 42 Year 2004 about The Construction of The Corps Soul and Ethics Code For Civil Government Officer; e. Decree of Religious Affairs Minister of Republic Indonesia Number 203 Year 2002 about Standardization of Penalization Discipline For Civil Government Officer Related to The Government Regulation of Republic Indonesia Number 30 Year 1980. Punishment also represent preventif effort in order the auditans do not have intention to do the mistakes.
3. Sengaja Ini adalah faktor yang terberat, seseorang dengan sengaja melakukan kesalahan, walaupun telah mengetahui sanksi yang akan diterima. Sebagaimana telah diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil; c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil; d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil; e. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 203 Tahun 2002 tentang Standarisasi Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Hukuman juga merupakan upaya preventif agar auditan tidak memiliki niat kesengajaan untuk melakukan kesalahan.
From these three caused factors, very possible there are some mistakes which have been done by the auditans. Auditor duty as APIP is getting The Audit Found (Temuan Audit) to make the better Religious Affairs Department in the future.
Dari tiga faktor penyebab tersebut, sangatlah mungkin adanya kesalahan yang telah dilakukan oleh auditan. Tugas auditor selaku APIP mendapatkan Temuan Audit (TA) untuk menjadikan Departemen Agama yang lebih baik. (yn)
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
19
Opini
Audit Kinerja PTAIN (Paradigma Baru Dalam Audit) Oleh Ali Hadiyanto *) lnspektorat Jenderal sebagai aparat fungsional pada Departemen Agama dalam pelaksanaannya mempunyai peran strategis untuk mewujudkan akuntabiIitas kinerja instansi pemerintah. Sebagai auditor internal Departemen, maka pola pengawasannya harus disesuaikan ke dalam pengawasan dengan pengukuran atau penilaian kinerja. Melalui audit kinerja bisa dilihat secara terukur sampai sejauh mana tampilan hasil kerja suatu kegiatan (program), baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Seiring dengan hal tersebut, terkadang muncul opini publik atas kinerja lnspektorat Jenderal yang cenderung kurang positif dengan menyebut apa yang dilakukan lnspektorat Jenderal sebagai aparat yang hanya mencaricari kesalahan, di samping temuan ituitu saja mendorong Inspektorat Jenderal Departemen Agama menggulirkan paradigma baru pengawasan yaitu audit kinerja untuk instansi-instansi di lingkungan Departemen Agama. Diawali acara Konsultasi Koordinator Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pengawasan yang berlangsung pada 20-23 September 2006 dan Rapat Koordinasi Pengawasan di Lingkungan Departemen yang berlangsung pada 20-23 Desember 2006, lnspektorat Jenderal Departemen Agama mengembangkan instrumen audit kinerja bagi
Kanwil Depag dan PTAIN. Audit kinerja merupakan salah satu jenis audit yang dilakukan sebagai pengembangan tradisional audit. Istilah audit ini dikenal relatif baru penerapannya di Indonesia. Ahli audit berpendapat dari segi istilah, audit kinerja disebut juga audit komprehensif atau manajemen audit. Beberapa pengertian audit kinerja: (1)”Suatu pengujian yang memberikan penilaian obyektif dan konstrukstif mengenai pengelolaan sumber daya (uang, manusia, dan barang dari segi ekonomi, efisien, dan efektivitas), serta penyajian pertanggungjawaban (Canadian Comprehensif Auditing Foundation)”, (2)”Suatu audit mengenai ekonomi, efisiensi, dan efektivitas sumber daya entitas yang diperiksa dalam rangka melaksanakan tangung jawabnya (lnternasional organization of Supreme Auditors Institution). (3)”Audit yang meliputi: ekonomis, efisien, dan audit program (United State General Accounting Office)”. (Sumber: Hasanudin, mandat Anggota ASOSAI Melaksanakan Audit Kinerja, Jurnal Audit BPK 2002) Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, pada dasarnya audit kinerja merupakan kegiatan mengukur tingkat ekonomis, efisiensi, dan efektivitas suatu organisasi. Oleh karenanya dalam mengukur tiga hal tersebut perlu ditetapkan standar terlebih dahulu
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
20
Opini secara bersama dengan pihak yang akan diaudit. Sedangkan penilaian kinerja sendiri diartikan sebagai “penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan personalnya, berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya” (sumber: Mulyadi dan Jhony Setiyawan, Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen, Salemba Empat: Jakarta, 2001) atau “kinerja diartikan sebagai hasil kerja selama periode tertentu dibandingkan dengan standar, target/sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu.” (sumber: John Soepriyanto, Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan, BPE Yogyakarta;1998). Standar kinerja digunakan sebagai acuan penetapan keberhasilan suatu kegiatan melalui pengukuran kinerja. Standar kinerja merupakan pernyataan yang berisi tentang hal-hal yang menentukan keberhasilan pencapaian kinerja. Pernyataan tersebut dapat berupa persyaratan, ketentuan, keberadaan yang berkaitan dengan aktivitas pencapaian kinerja yang pada umumnya menggunakan pendekatan input, proses, dan output. Melalui pendekatan sistem dan dengan mempertimbangkan hal-hal terkait dengan mandat yang diberikan, visi misi, peraturan yang berlaku, satuan kerja dan pendekatan akademik, maka dirumuskanlah indikator kinerja PTAIN melalui langkah-langkah: (a)Mengukur kinerja organisasi ; (b)Membandingkan hasil pengukuran kinerja organisasi terhadap standar yang ada; dan (c)Melakukan tindakan perbaikan yang diang-
gap perlu untuk memastikan bahwa kejadian yang direncanakan benarbenar terwujud. Oleh karena itu, pekerjaan mengaudit suatu kinerja terutama kinerja organisasi, merupakan pekerjaan yang kompleks dan memerlukan ketelitian sehingga dalam melaksanakan audit kinerja diperlukan perangkat atau alat untuk membantu pelaksanaan pekerjaan. Bertolak dari uraian di atas, maka pendekatan dalam menyusun indikator kinerja PTAIN dilakukan melalui beberapa tahap, yakni: (1)Penjaringan aspirasi dari pimpinan PTAIN, pimpinan dan auditor ltjen, dan beberapa perwakilan pimpinan perguruan tinggi swasta; (2)Merumuskan draft indikator kinerja PTAIN; (3)Draft indikator kinerja PTAIN dipresentasikan dalam forum para pimpinan PTAIN dan pimpinan organisasi terkait di lingkungan Departemen Agama; (4)Penyempurnaan draft indikator kinerja PTAIN; (5)Draft indikator kinerja PTAIN dipresentasikan kembali dalam forum para pimpinan PTAIN dan pimpinan organisasi terkait di lingkungan Departemen Agama; dan (6)Penetapan Draft menjadi Indikator Kinerja PTAIN. Penggunaan paradigma baru melalui pelaksanaan audit kinerja ini, di samping diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan mendasar: (1)bagaimana peran ltjen dalam peningkatkan kualitas tugas-tugas kepemerintahan?, (2)seperti apa profil unit kerja yang diperiksa? dan (3)proses perubahan apa yang terjadi di dalam unit kerja itu?, juga dapat bermanfaat dalam: (a)Mendorong pengelolaan operasi
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
21
Opini organisasi secara efektif dan efisien melalui pemberian motivasi personal secara maksimum; (b)Membantu memberikan informasi bagi pengambilan putusan yang berkaitan dengan penghargaan personal, seperti: promosi, mutasi, dan pemberhentian; (c)Membantu mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan personal dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan personal; dan (d)Menyediakan suatu dasar untuk mendistribusikan penghargaan. Khusus bagi lnspektorat Jenderal dalam fungsi pengawasan, manfaat yang dapat diperoleh melalui audit kinerja ini adalah: (a)Terwujudnya audit yang bersifat komprehensif; (b)Audit lebih mendalam; (c)Kinerja PTAIN dapat diketahui; (d)Terbentuknya starting point
yang jelas; (e)Batasan temuan positif lebih jelas; (f)Dampak audit bagi peningkatan mutu Iebih nyata; (g)Pengolahan data lebih mudah (komputerisasi); (h)Laporan menjadi terstandar; dan (i)Dapat disusun data time series kinerja perguruan tinggi. Dengan melihat latar belakang, tujuan, manfaat, dan model pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan indikator kinerja PTAIN seperti diuraikan di atas, diharapkan kepada pihak-pihak terkait baik langsung maupun tidak dalam pelaksanaan audit kinerja PTAIN untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya guna menerapkan paradigma baru ini. *)Penulis adalah Sekretaris Itjen Departemen Agama.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
22
Opini
TATA CARA PEMERIKSAAN PELANGGARAN DISIPLIN DENGAN BAP Oleh: Achmad Ghufron Adanya pemeriksaan dengan BAP terhadap pegawai yang disangka melakukan pelanggaran melakukan pelanbggaran, tidak bisa dijadikan bahan/bukti untuk menjatuhkan hukuman disiplin yang jumlahnya tidak sedikit, dikarenakan: pemeriksaan dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang, substansi permasalahan kurang mengena/samara, ketentuan yang dijadikan dasar pengenaan sanksi dan format BAP tidak sesuai. Pemeriksaan dengan BAP bisa dijadikan bahan/bukti penjatuhan hukuman disiplin apabila dilakukan oleh pejabat yang berwenang, diakui oleh pelaku pelanggaran, dasar hukum yang jelas dan format sesuai ketentuan
Pemerintah telah berupaya dengan berbagai cara untuk memberantas tindak pelanggaran yang merugikan negara maupun orang lain (KKN) baik secara preventif (dengan perangkatperangkat peraturan-peraturan/infrastruktur, lembaga-lembaga pembinaan dan sebagainya) maupun secara represif (pengenaan sanksi bagi pelanggar), namun ternyata berbagai cara telah dikembangkan oleh pelaku pelanggaran untuk menangkal ketentuan-ketentuan/ peraturan-peraturan yang ada. Departemen Agama telah berupaya secara intensif untuk menghilangkan KKN atau setidak-tidaknya meminimalisasi pelanggaran dengan cara menetapkan kebijakan-kebijakan, sosialisasi peraturan-peraturan, Pengawasan melalui Pendekatan Agama (PPA), pemberian hukuman disiplin yang tegas, meningkatkan kualitas auditor, pemilihan pengangkatan calon pejabat secara transparan dan ketat, memperketat waskat dan lain sebagainya.
Dalam penerapan sanksi terhadap pelanggaran mempertimbangkan latar belakang terjadinya pelanggaran, dampak lingkungan maupun dampak dari perbuatan tersebut apakah signifikan atau tidak. Pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai negeri sebelum penerapan sanksi harus didahului dengan pemanggilan untuk diadakan pemeriksan, baik secara lisan maupun secara tertulis yang dituangkan dalam BAP oleh pejabat yang berwenang sesuai PP No. 30 tahun 1980 pasal 9 ayat (1), (2) dan (3). Dilingkungan Departemen Agama pejabat yang berwenang untuk emamnggil dan memeriksa diatur dalam KMA No. 490 tahun 2003 tentang Pendelegasian Wewenang Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin PNS. Pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat ternyata ada beberapa masalah sehingga dianggap tidak memenuhi syarat atau tidak cukup bukti untuk ditindak lanjuti penerapan sanksi berdasarkan PP No. 30 tahun
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
23
Opini 1980 maupun peraturan lainnya. Beberapa masalah dalam pelaksanaan pemeriksaan, antara lain: pertama: yang memeriksa bukan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dalam KMA No. 490 tahun 2003; kedua: format pemeriksaan tidak sesuai dengan SE Kep. BKN No. 23/SE/1980 dan Keputusan Irjen Dep. Agama No. IJ/106/ 1999; ketiga: substansi permasalahan pelanggaran yang dituduhkan kurang menggigit (tidak cukup bukti)/kurang tajam; keempat: ketentuan/peraturan yang diterapkan sebagai dasar pemeriksaan kurang pas/tidak sesuai. Dalam rangka pemeriksaan dengan BAP terhadap pegawai yang disangka melakukan pelanggaran disiplin, penulis mencoba membahas “tata cara pemeriksaan pelanggaran disiplin” dengan harapan untuk mengingatkan kembali bagi pejabat yang berwenang memeriksa atau pengelola kepegawaian ataupun aparat pengawasan, semoga tidak terjadi pemanggilan yang sia-sia. Prosedur Pemeriksaan Beberara langkah yang harus dilakukan dalam melakukan pemeriksaan adalah sebagai berikut: Pertama, Sumber Informasi Sumber informasi tentang adanya penyimpangan/pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku bisa berupa pengaduan masyarakat, pemberitaan media massa, pengembangan dari temuan hasil audit rutin (PKAT), dari Auditan sendiri, yang memerlukan perhatian disertai dengan bukti-bukti/data-data yang mengarah pada indikasi yang cukup kuat akan
praduga penyimpangan. Kalau sudah ada bukti-bukti cukup kuat yang mengarah kepada penyimpangan, maka sebelum dijatuhkan hukuman disiplin, terhadap pegawai yang melakukan penyimpangan terlebih dahulu dipanggil untuk diperiksa dengan BAP, sesuai dengan KMA Nomor 490 Tahun 2003. Kedua, Pemanggilan Terhadap pegawai yang disangka melakukan pelanggaran, pegawai tersebut harus dipanggil untuk diperiksa oleh atasannya, sesuai dengan KMA Nomor 490 Tahun 2003, baik secara lisan maupun secara tertulis. Pemanggilan sebaiknya dilakukan secara tertulis (sebagai bukti pemanggilan). Apabila sudah dipanggil sampai kedua kali tidak hadir tanpa alasan yang syah, maka hal tersebut tidak menghalangi penjatuhan hukuman disiplin (SE BKN Nomor 23/SE/1980 Nomor V angka 2 d), yang berarti yang bersangkutan dianggap telah mengakui apa yang dituduhkan kepadanya. Tentunya, antara pemanggilan I dan II harus diperhatikan jangka waktunya. Ketiga, Pemeriksaan Pada prinsipnya, pejabat yang berwenang memeriksa adalah pejabat yang berwenang menghukum sesuai dengan KMA Nomor 489 Tahun 2003, akan tetapi wewenang tersebut bisa dilimpahkan kepada pejabat bawahannya yang ditunjuk. Wewenang memeriksa diatur dalam KMA Nomor 490 Tahun 2003, yaitu atasannya dalam upaya penegakan waskat. Pejabat yang memeriksa pangkatnya atau jabatannya tidak boleh lebih rendah dari yang diperiksa.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
24
Opini Contoh Berita Acara Pemeriksaan ( BAP) RAHASIA BERITA ACARA PEMERIKSAAN NOMOR : ………………………………
Pada hari ini …………tanggal …………. bulan ………… tahun…………. 1. . 2.
Nama NIP Pangkat/Golongan
: : :
Nama NIP Pangkat/Golongan
: : :
Berdasarkan wewenang yang ada/Surat Perintah ………….............……….............. No. ……………tanggal………….. telah mengadakan pemeriksaan terhadap : Nama : NIP : Pangkat/Golongan : Karena ia disangka melakukan pelanggaran terhadap pasal 2 huruf …………….... dan pasal 3 ayat (1) huruf……… Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980. 1) 2)
Pertanyaan : ………………………………… Jawaban : ………………………………… Dan sebagainya : …………………………………
Demikian Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergnakan sebagaimana mestinya.
Yang diperiksa Nama NIP Tanda Tangan
Pejabat Pemeriksa : ................. : ................. : ................
1.
Nama NIP Tanda Tangan
: ............... : ............... : ...............
2.
Nama NIP Tanda Tangan
: ............... : ............... : ...............
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
25
Opini Apabila yang disangka melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi disiplin tingkat ringan (tegoran lisan, tegoran tertulis, pernyataan tidak puas secara tertulis), maka pemeriksaan cukup dilakukan secara lisan. Jika yang disangka melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi tingkat sedang dan berat (PP Nomor 30 Tahun 1980 pasal 6 ayat 3 dan 4), maka pemeriksaan harus dilakukan secara tertulis yang dituangkan kedalam Berita Acara Pemeriksaan. Bagi pegawai yang tidak mau menjawab pertanyaan, maka dianggap mengakui pelanggaran disiplin. Apabila pegawai yang diperiksa menolak menandatangani BAP, BAP tersebut tetap dapat digunakan sebagai bahan untuk menjatuhkan hukuman disiplin (SE Kep. BKN Nomor 23/SE/1980 Nomor V angka 3 huruf o). Teknik Pemeriksaan dengan BAP Sebagaimana disebutkan dalam PP No. 30 tahun 1980dan SE Kep. BKN No. 23/SE/1980 angka V nomor 1.a, bahwa sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, pejabat yang berwenang menghukum wajib memeriksa lebih dahulu PNS yang disangka melakukan pelanggaran disiplin. Untuk melakukan pemeriksaan telah diatur dengan KMA No. 490 tahun 2003, dimana Menteri Agama mendelegasikan kepada pejabat yang ditunjuk untuk memeriksa pegawai yang disangka melakukan pelanggaran. Selanjutnya tata cara pemeriksaan dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) diatur dalam Keputusan Inspektur Jenderal Dep. Agama No. IJ/106/1999. Adapun tahapan-tahapan maupun teknik pemeriksaan pegawai dengan
BAP, sesuai dengan Keputusan Irjen Dep. Agama dimaksud adalah: Tahap Pertama: Persiapan Pemeriksaan 1. Persiapan awal, meliputi: a. Pejabat yang memeriksa, upayakan dilakukan oleh atasan langsungnya (KMA No. 490 tahun 2003),kecuali pejabat fungsional Auditor. b. Teliti perlengkapan, sebagai bahan pemeriksaan c. Kondisi terperiksa diperhatikan, terutama mental dan kesehatan d. Ciptakan suasana kondusif, tidak kaku. 2. Persiapan Materi a. Format BAP, seperti contoh dibawah ini. b. Sesudah pemeriksaan, berilah nomor dan tanggal pemeriksaan dimana pemeriksaan dilakukan. c. Tulis identitas pejabat, dasar hukum untuk memeriksa dan identitas yang diperiksa. Tahap Kedua: Materi Pemeriksaan 1. Menulis: hari, tanggal, bulan, tahun dan kata “Pertanyaan” dan kata “Jawaban” 2. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan pendahuluan, yaitu: a. Tulis/sebutkan identitas Saudara b. Apakah Saudara tahu, kenapa dipanggil c. Apakah Saudara dalam keadaan sehat jasmani dan rohani d. Apakah Saudara bersedia diperiksa dengan memberikan
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
26
Opini keterangan yang benar, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan. e. Apakah Saudara sudah mengucapkan/mengangkat sumpah/ janji sebagai PNS f. Dan sebagainya, sebelum pertanyaan ini diajukan. 3. Mengajuklan pertanyaan-pertanyaan inti masalah yang dituduhkan, dan tidak boleh mengajukan pertanyaan yang menjerat. 4. Mengajukan pertanyaan sebagai penutup, antara lain: a. Apakah Saudara merasa ditekan b. Apakah Saudara bersedia diperiksa kembali atau di konfrontir apabila diperlukan c. Apakah ada hal-hal lain yang perlu dikemukakan 5. Pemeriksaan ditutup dengan katakata “Demikian Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya”. Tahap Ketiga: Penutup Pemeriksaan 1. Menulis kata-kata “yang diperiksa” disebelah kiri untuk ditandatangani, dan “pejabat yang memeriksa” disebelah kanan untuk ditandatangani. 2. Yang diperiksa dipersilahkan untuk membaca ulang, apabila setuju agar memberikan paraf pada setiap lembar BAP. 3. BAP dibuat minimal 3 rangkap.
Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1)Pemeriksaan terhadap pegawai yang disangka melakukan pelanggaran yang dituangkan kedalam BAP, terkadang tidak bisa dijadikan bahan/ alat bukti untuk menerapkan/ menjatuhkan hu-kuman disiplin, antara lain dikarenakan: pemeriksaan dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang, substansi pelanggaran tidak jelas/samar, format pemeriksaan tidak sesuai ketentuan, dasar hukum penerapan sanksi kurang pas/tidak sesuai; (2)Inspektur Jenderal Dep. Agama dalam Keputusannya No. IJ/106?1999 telah menetapkan Tata Cara Pemeriksaan dengan BAP, yang dilakukan melalui 3 tahap yaitu: tahap persiapan, tahap materi, dan tahap penutup, dilampiri dengan format/contoh Berita Acara Pemeriksaan; dan (3)Pada intinya pemeriksaan dengan BAP harus memenuhi unsur/kriteria, antara lain: pemeriksaan dilakukan oleh pejabat yang berwenang (KMA No. 490 tahun 2003), persiapan harus matang, materi yang dituduhkan harus kongkrit/tajam dan diakui oleh pelanggar, tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan yang menjerat, setiap lembar diparaf oleh terperiksa dan pemeriksa, diakui dengan tanda tangan oleh terperiksa dan pemeriksa. *)Penulis adalah Inspektur Wilayah II Itjen Dep. Agama.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
27
Opini
PEMIMPIN SEJATI ADALAH PEMBELAJAR Oleh: Ali Rokhmad “Seorang Pemimpin seharusnya melakukan perubahan atau proses pembelajaran. Maka pemimpin sejati adalah manusia pembelajar” Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai suatu proses, maka belajar akan berakhir pada perubahan setelah memperoleh pengetahuan dan pengalaman. Dengan demikian, proses pembelajaran dapat dimaknai sebagai proses perubahan. Bila seseorang dalam suatu organisasi, atau sebuah negara kurang bahkan sama sekali tidak melakukan proses pembelajaran terutama berkaitan dengan permasalahan sejarah masa lalu, maka dipastikan akan gagal dalam mewujudkan tujuan, visi dan misinya. Bila kita ingin menjadi pemimpin sejati, harus memiliki visi yang jelas akan suatu perubahan. Implementasinya adalah selalu melihat realitas individu di sekitarnya atau bawahan dan dirinya sebagai manusia pembelajar. Yaitu, senantiasa melakukan proses pembelajaran dalam setiap penugsan tanpa berkesudahan, membebaskan diri apa dari apa yang telah diketahuinya menuju pada sesuatu yang belum diketahuinya. Pemimpin sejati tidak akan menyamakan makna “belajar” dengan “sekolah”, sehingga kalau sudah “lulus sekolah” tak lagi “belajar”.
Makna belajar menjadi diperluas sebagai proses yang berlangsung seumur hidup (long life education). Artinya seluruh gerak dan tempat hidup seseorang merupakan kegiatan belajar, karena subyek ajar adalah individu. Belajar bagi pemimpin sejati adalah di semua tempat, kepada semua orang, dan dalam segala situasi dan kondisi, baik yang menyenangkanatau yang kurang menyenangkan, baik saat dinilai pihak lain berhasil atau gagal. Pemimpin sejati, senang terhadap perubahan menuju perbaikan, berarti suka belajar. Pemimpin yang suka belajar, tidak anti perubahan, akan tetapi banyak kreasi dan banyak memprakarsai perubahan. Ia menggagas visi, mampu menangkap realitas masa kini untuk melahirkan fakta baru ke depan, yang secara mendasar lebih baik. Ia membaca yang terlihat, mendengarkan informasi yang berkembang, berpikir logik, melakukan eksperimen, bertindak secara nyata. Ia membangun budaya organisasi yang kuat, humanis, dan berperadaban. Ia mengatur strategi, selalu memberi motivasi juang, memberikan pelayanan, dan membangun komitmen untuk disepakati bersama. Pembelajaran bagi seorang pemimpin sejati adalah proses belajar yang sudah terbebaskan dari pengajarnya. Ia
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
28
Opini belajar tanpa menunggu, tanpa di perintah, tanpa didikte, tanpa dipaksa oleh pengajar atau pelatih. Ia belajar karena prinsip bahwa hidup itu belajar, bukan sekadar belajar untuk hidup (mencari nafkah), apalagi belajar untuk dapat “pengakuan” sekedar status, jabatan/kekuasaan, dan harta kekayaan. Ia belajar karena ia ingin berubah, berkembang, tumbuh menjadi diri sendiri yang terbaik. Proses pembelajaran diletakkan dalam konteks “sekolah kehidupan” tak lagi mempersamakan “belajar” dengan sematamata bersekolah. Pembelajaran bagi seorang pemimpin sejati adalah proses mengejar pengetahuan “diri” dan pengetahuan tentang “sesama manusia”. Belajar sebagai pemimpin tak hanya mempelajari “teks”, tetapi juga menafsirkan “konteks” ajaran-ajaran mulia (baik bersumber dari agama yang universal maupun budaya adi luhung). Pembelajaran bagi mereka adalah upaya menyelaraskan sikap dan pandangan hidup agar lebih berkesesuaian dengan nilai-nilai luhur dan mulia yang diyakininya. Pembelajaran bagi pemimpin adalah menyediakan waktu untuk meningkatkan kompetensi teknis dan
manajerialnya. Pembelajaran bagi pemimpin selalu mencari kesempatan untuk merenung, melakukan refleksi diri, kontemplasi, tahajud, dan berbagai kegiatan mengasah kearifan spiritualnya. Pembelajar bagi pemimpin adalah mengembangkan kesadaran (awareness) dalam dirinya bahwa tugasnya adalah menciptakan realitas masa depan yang lebih baik dengan cara mengintervensi realitas masa kini sesuai bidang tugas masing-masing. Sosok pemimpin sejati sebagai manusia pembelajar harus segera dapat dipersiapkan dan diwujudkan ditengah-tengah membangun citra Departemen Agama yang lebih baik. Kita bangga karena Inspektorat Jenderal Departemen Agama telah melakukan upaya ini dengan senantiasa membangun character building melalui berbagai Diklat dan ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Hal ini sejalan dengan upaya perwujudan paradigma baru peran Inspektorat Jenderal Departemen Agama tidak sekedar wotch dog, akan tetapi juga sebagai konsultan sekaligus katalis bagi pihak yang diawasi guna mempercepat proses perubahan dan peningkatan kinerja organisasi.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
29
Opini
PENGARUH IQ, EQ, DAN SQ AUDITOR DALAM AUDIT KOMPREHENSIF Oleh Drs. H. Pramono, M.Si Allah SWT dalam Al Qur’an telah menjelaskan pengertian, peranan kemampuan akal (IQ) pada individu “Al Qur’an” merupakan penjelasan bagi manusia, agar mereka sadar diberi peringatan, agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang berakal mengambil pelajaran (QS: Ibrahim; 53). Maka apakah orang yang melihat bahwa apa yang diturunkan Tuhan padamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (QS: Ar Ra’ad: 19). Penjelasan di atas menggambarkan kemampuan berfikir individu yang didasari pada tingkatan intelegensi dalam memberikan suatu reaksi dari beberapa stimulus yang masuk kedalam otak sehingga menjadi kumpulan informasi untuk menentukan sikap, perilaku dan penilaian tertentu sebagai jawaban yang dianggapnya yang paling tepat. Keadaan psikologis individu yang demikian ternyata secara tersirat di dalam intelligence quotient (IQ) tidak hanya menjadi faktor yang berdiri sendiri, ada kemungkinan dari faktor lain seperti emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ). Goleman mendefinisikan emosi yang dikendalikan oleh perasaan dan pikiran yang mempunyai ciri tertentu. Emosi juga merupakan reaksi komplek yang saling ada keterkaitan secara mendalam dan dibarengi perasaan (feeling). Emotional Quotient (EQ) representasi dari beberapa kemampuan untuk mengenali potensi diri sendiri
termasuk emosinya dan berusaha mengekspresikan emosi diri sendiri secara tepat, memotivasi diri sendiri, mengenali orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan Spiritual (SQ) sangat berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memahami makna hidup dan juga dapat dipakai untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kemampuan manusia dalam mengungkap misteri dirinya. Hidup yang lebih bermakna akan senantiasa melingkupi orang-orang yang mengembangkan kemampuan SQ nya secara optimal. Ayat-ayat yang menjelaskan kesempurnaan manusia terungkap didalam Alqur’an Allah SWT berfirman: LAQOD KHOLAQNAL INSAANA FII AHSANI TAQWIIM yang artinya sesungguhnya Aku ciptakan manusia didalam sebaikbaiknya kejadian. Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia lebih sempurna dari pada makhluk lain di muka bumi ini, karena manusia diberi akal pikiran, naluri dan insting, sedangkan hewan tidak. Manusia diberi oleh Alloh berupa kepandaian, kecerdasan, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya, agar manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang halal dan mana yang haram, mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah, mana yang manfaat dan mana yang tidak manfaat atau mudlorot. Namun apabila manusia tidak dapat memanfaatkan apa yang telah diberi-
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
30
Opini kannya, maka manusia akan menjadi orang-orang yang merugi. Berdasarkan dalil dalam Alqur’an WAL ASYRI INNAL INSAANA LAFII HUSRIN, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi. Maksud ayat ini adalah manusia yang tidak dapat memanfaatkan potensi yang ada pada diri manusia serta peluang yang telah diberikan oleh Allah untuk berbuat baik sesama umat manusia tidak dapat dilaksanakan, sehingga segala aktifitas dan kegiatan yang dilaksanakan bernuansa sia-sia dan bahkan tidak bermanfaat bagi orang lain. Ayat tersebut di atas, juga dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan baik dan buruk itu tergantung pada diri kita. Bagaimana kita mensikapi permasalahan tersebut secara arif dan bijaksana. Bahkan didalam Al Qur’an walaupun manusia itu berbuat salah akan diampuni dosanya dan mendapatkan pahala kalau dia mau bertobat, hal ini tersurat dalam Al Qur’an yang berbunyi YAA AYYUHAL LADZIINA AAMANUU TUUBUU ILALLAAHI TAUBATAN NASHUHA. (Wahai orangorang yang beriman tobatlah kalian dengan sungguh sungguh bertobat). Artinya apabila manusia itu mau mengakui kesalahan dan kekhilafannya baik disengaja maupun tidak disengaja, serta mohon ampun kepada Allah SWT, maka akan diampuni oleh Allah atas segala perbuatan dosanya. Jadi betapa beruntungnya menjadi manusia yang beriman, apabila mengetahui dan mempelajari maksud kandungan Al Qur’an secara menyeluruh. Dengan mempelajari dan memahami serta mengamalkan secara menyeluruh baik bacaan maupun arti dan makna serta keterangannya secara mendetail, maka secara otomatis seorang auditor menjadi manusia-manu-
sia yang cerdas dan pandai didalam menyikapi hidup didunia ini. Sabda Rasululloh SAW bahwa manusia yang cerdas itu adalah manusia yang dapat mengoreksi dirinya sendiri, dan beramal kebaikan untuk bekal dikemudian hari, adapun orang yang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan ingin masuk surganya Allah. Berdasarkan Dalil Al hadist: Al kayyisu man dana nafsahu wa amila lima ba’dal maut, wal azizu man ittabaa hawahu wa tamanna alallohu. Pengembangan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual secara seimbang dalam rangka audit dewasa ini sangatlah penting sehingga perlu memperoleh perhatian secara sungguh-sungguh dan penanganan yang serius dari semua pihak. Pada dasarnya audit komprehensip maupun audit khusus perlu mencurahkan segala potensi baik pikiran maupun perhatian serta tindakan untuk menjadikan auditor dapat mengembangkan secara seimbang antara ketiga potensi kecerdasan tersebut. Selama ini, pelaksanaan audit mulai dari tingkat KUA sampai ketingkat Kanwil, MIN sampai ke tingkat UIN, dan seterusnya ditengarai lebih menekankan pada aspek rutinitas belaka (Audit tugas dan fungsi, Audit Kepegawaian, Audit Keuangan, Audit Sarana dan Prasarana). Padahal lebih dari itu, audit tentang integritas, kejujuran, komitmen, kebijaksanaan, keadilan masih jauh terabaikan. Karakteristik, sifat dan tabiat pada setiap daerah (auditan) itu berbeda-beda, baik sosial budaya maupun adat istiadatnya, sehingga didalam melakukan audit harus benar-benar mengetahui dan memahami daerahnya
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
31
Opini serta mengetahui seluk beluk daerah dan budaya yang ada didaerah tersebut. Dan pada akhirnya seorang auditor didalam menjalankan tugasnya tidak mengalami kendala dan hambatan yang cukup berarti. Dalam diri seorang auditor perlu dikembangkan potensipotensi seperti budi pekerti dan pembentukan karakter yang memiliki sifat seperti kerendahan hati, manahan diri, kesetiaan, tenggang rasa, kesabaran, kesederhanaan. Potensi yang ada ini harus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh globalisasi dan dekadensi moral yang melanda dunia ini Dalam konteks psikologis auditor terhadap audit komprehensif yang selama ini dilaksanakan masih dirasakan kurang memberikan kontribusi dan dampak yang berarti terhadap auditan. Hal ini disebabkan model audit masih bersifat rutinitas, waktu, dana, dan, sumber daya manusia dengan ilmu pengetahuannya juga sangat terbatas. Walaupun banyak faktor keterbatasan yang disebutkan di atas, ada potensi manusia yang perlu diperhatikan. Diantara potensi manusia tersebut dikenal dengan apa yang disebut sebagai kecerdasan. Ada tiga macam kecerdasan yang dimiliki manusia: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual berorientasi pada kemampuan seseorang. Sedangkan kecerdasan emosional adalah kemampuan menggali, mengekspresikan, dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan konstruktif. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi tidak akan terpengaruh dengan segala sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri
maupun merugikan organisasi, serta tidak mudah terpengaruh dengan kondisi apapun dan dalam keadaan bagaimanapun, dia hidup bagaikan batu karang yang tegar walaupun diombang ambingkan oleh ombak lautan yang luas serta tidak terpengaruh oleh perubahan masa dan keadaan zaman yang semakin tidak menentu. Mereka mempunyai prinsip bahwa hidup dimuka bumi ini tidaklah lama, sehingga mereka berusaha untuk hidup penuh dengan optimis, dinamis dan harmonis tanpa harus pesimis. Mereka bekerja dengan sungguh sungguh lahir dan bathin untuk menghidupi keluarganya, selalu jujur dan amanah dengan tugas yang diembannya, selalu istiqomah dalam hidupnya, dan qonaah dengan hasil usahanya, serta sabar dengan segala cobaan, taat menjalankan ibadahnya, sehingga niat untuk berbuat salah dan maksiat berusaha semaksimal mungkin untuk dihindari. Menurut Dameria, seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik akan dapat dikenali melalui lima komponen dasar sebagai berikut: 1. Self awareness (pengenalan diri), kemampuan mengenali emosi dan penyebab atau pemicu emosi tersebut. Orang tersebut mampu mengevaluasi dirinya dan mampu mendapatkan informasi untuk melakukan suatu tindakan, Maksudnya adalah orang tersebut tidak akan mudah terpengaruh dengan situasi dan keadaan bagaimanapun. 2. Self regulation (penguasaan diri), kemampuan seorang untuk mengontrol dalam membuat tindakan secara hati-hati. Orang tersebut mampu memilih untuk tidak diatur oleh emosinya, Maksudnya adalah
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
32
Opini bahwa orang tersebut tidak cepat untuk memvonis kepada siapa saja yang bersalah, walaupun dia berhak untuk memarahinya. 3. Self motivation (motivasi diri), ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi tidak akan bertanya “Apa yang salah dengan saya atau kita”?. Sebaliknya ia bertanya “ Apa yang dapat kita lakukan agar kita dapat memperbaiki masalah ini”? Maksudnya adalah bahwa orang tersebut tidak mudah untuk menyalahkan orang lain, dan bahkan dia segera mengoreksi kesalahan diri sendiri yang selama ini dikerjakan dan berusaha memperbaiki kinerjanya. 4. Empathy (empati), kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang berada pada posisi tersebut. Maksudnya adalah bahwa seorang Auditor harus selalu tenggang rasa, selalu merasa bahwa yang dia rasakan pernah juga dirasakan oleh orang lain, dan jangan merasa dirinya berkualitas sementara yang lain dianggap tidak berkualitas. 5. Effective Relationship (hubungan yang efektif), adanya empat kemampuan tersebut, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang yang mempunyai kemampuan intelegensia emosional yang tinggi mempunyai tujuan yang konstruktif dalam pikirannya.
Pendapat Dameria bila digabungkan dengan Zohar dan Marshall menjelaskan dalam bukunya SQ: Spiritual Intellegence the Ultimate Intelligence yaitu kecerdasan spiritual merupakan puncak kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, karena mempunyai jangkauan psikologis yang sangat luas tersebut apabila dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi seorang auditor sangatlah menunjang untuk meningkatkan wawasan dan kinerja bagi auditor, sehingga didalam menjalankan tugas dan kewajiban seorang auditor tidak serta merta melaksanakan tugas audit belaka, akan tetapi dibalik itu tugas auditor adalah tugas yang sangat mulia, menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan dengan kebaikan dan mencegah dari perbuatan maksiat), disamping sebagai pembina dan mitra kerja juga menjadi konsultan mejemen dalam rangka menuju pemerintahan yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Kesimpulan Berkiblat pada konsep IQ,EQ, dan SQ, pengaruhnya terhadap auditor sungguh sangat besar sekali, hal ini disebabkan sendi-sendi kehidupan manusia tidak terlepas dari tiga konsep ini, sehingga Auditor dituntut untuk mengetahui, memahami serta mengamalkan konsep ini agar kelak didalam menjalankan audit, seorang Auditor tidak hanya menjalankan tugas secara rutinitas, akan tetapi dapat melaksanakan tugas semaksimal mungkin menggali potensi yang ada dalam mencari dan menemukan permasalahan yang dijumpai untuk segera dilakukan klarifikasi dan perbaikan kinerja, sehingga bermanfaat.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
33
Opini
PEMBINAAN JIWA KORPS DAN KODE ETIK PNS Peraturan Pemerintah No.42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dibuat dengan pertimbangan PNS yang kuat, kompak, dan bersatupadu, memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat, dapat diwujudkan melalui pembinaan korps PNS, termasuk kode etiknya. Jiwa Korps PNS adalah rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerjasama, tanggungjawab, dedikasi disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS dalam NKRI. Kode Etik PNS adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari. Pembinaan jiwa korps PNS dimaksudkan untuk meningkatkan perjuangan, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada negara kesatuan dan Pemerintah RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ada tiga tujuan pembinaan jiwa korps PNS. Pertama, membina karakter/watak, memelihara rasa persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan guna mewujudkan kerjasama dan semangat pengabdian kepada masyarakat serta meningkatkan kemampuan, dan keteladanan PNS. Kedua, mendorong etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang bermutu tinggi dan sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur
aparatur negara dan abdi masyarakat. Ketiga, menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran, dan wawasan kebangsaan PNS sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam NKRI. Ruang lingkup pembinaan jiwa korps PNS mencakup (a)peningkatan etos kerja dalam rangka mendukung produktivitas kerja dan profesionalisme PNS; (b)partisipasi dalam penyusunan kebijakan Pemerintah yang terkait dengan PNS; (c)peningkatan kerjasama antara PNS untuk memelihara dan memupuk kesetiakawanan dalam rangka meningkatkan jiwa korps PNS; dan (d)perlindungan terhadap hak-hak sipil atau kepentingan PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Untuk mewujudkan pembinaan jiwa korps PNS dimaksud dan menjunjung tinggi kehormatan serta keteladanan sikap, tingkah laku dan perbuatan PNS dalam melaksanakan tugas kedinasan dan pergaulan hidup seharihari, kode etik dipandang merupakan landasan yang dapat mewujudkan hal tersebut. Nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh PNS meliputi (a)ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b)kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan UUD 1945; (c)semangat nasionalisme; (d)mengutamakan ke-
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
34
Opini pentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan; (e)ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; (f)penghormatan terhadap hak asasi manusia; (g)tidak diskriminatif; (h)profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi; dan (i)semangat jiwa korps. Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap PNS wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama PNS yang diatur dalam PP 42/2004. Etika-etika PNS dimaksud adalah: 1. Etika dalam bernegara: (a)melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan UUD 1945; (b)mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara; (c)menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam NKRI; (d)menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugas; (e)akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa; (f)tanggap, terbuka, jujur, akurat, dan tepat waktu dalam melaksanakan setiap kebijakan dan program pemerintah; (g)menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya negara secara efisien dan efektif; dan (h)tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar. 2. Etika dalam berorganisasi: (a)melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan yang berlaku; (b)menjaga informasi yang bersifat rahasia; (c)melaksanakan setiap
kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; (d)membangun etos kerja untuk meningkatkan kinerja organisasi; (e)menjalin kerjasama secara kooperatif dengan unit kerja lain yang terkait dalam rangka pencapaian tujuan; (f)memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas; (g)patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata kerja; (h)mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif dalam rangka peningkatan kinerja organisasi; dan (i)berorientasi pada upaya peningkatan kualitas kerja. 3. Etika dalam bermasyarakat: (a)mewujudkan pola hidup sederhana; (b)memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur pemaksaan; (c)memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif; (d)tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat; dan (e)berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas. 4. Etika terhadap diri sendiri: (a)jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar; (b)bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan; (c)menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan; (d)berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan sikap; (e)memiliki daya juang yang tinggi; (f)memelihara kesehatan jasmani dan rohani; (g)menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga; dan (h)berpenampilan sederhana, rapi, dan sopan.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
35
Opini 5. Etika terhadap sesama PNS: (a)saling menghormati sesama warga negara yang memeluk agama/kepercayaan yang berlainan; (b)memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama PNS; (c)saling menghormati antara teman sejawat baik secara vertikal maupun horisontal dalam suatu unit kerja, instansi, maupun antar instansi; (d)menghargai perbedaan pendapat; (e)menjunjung tinggi harkat dan martabat PNS; (f)menjaga dan menjalin kerjasama yang kooperatif sesama PNS; dan (g)berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia yang menjamin terwujudnya solidaritas dan soliditas semua PNS dalam memperjuangkan hak-haknya. Berdasarkan ketentuan kode etik di atas, Pejabat Pembina Kepegawaian masing-masing instansi menetapkan kode etik instansi; dan Organisasi Profesi di lingkungan PNS menetapkan kode etiknya masing-masing. Kode etik dimaksud ditetapkan berdasarkan karakteristik masing-masing instansi dan organisasi profesi dan tidak boleh bertentangan dengan kode etik yang diatur dalam PP 42/2004. PNS yang melakukan pelanggaran Kode Etik dikenakan sanksi moral yang dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Sanksi moral berupa pernyataan secara tertutup atau pernyataan secara terbuka, dengan menyebutkan jenis pelanggaran kode etik yang dilakukan PNS. Pejabat Pembina Kepegawaian dapat mendelegasikan wewenang kepada pejabat lain di lingkungannya sekurangnya pejabat struktural eselon IV.
PNS yang melakukan pelanggaran kode etik selain dikenakan sanksi moral, dapat dikenakan tindakan administratif sesuai peraturan perundang-undangan, atas rekomendasi Majelis Kode Etik. Untuk menegakkan kode etik, pada setiap instansi dibentuk Majelis Kode Etik yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Keanggotaan Majelis Kode Etik terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap Anggota; 1 (satu) orang Sekretaris merangkap Anggota; dan sekurang-kurangnya 3 (tiga)orang Anggota. Dalam hal Anggota Majelis Kode Etik lebih dari 5 (lima) orang, maka jumlahnya harus ganjil. Jabatan dan pangkat Anggota Majelis Kode Etik tidak boleh lebih rendah dari jabatan dan pangkat PNS yang diperiksa karena disangka melanggar kode etik. Majelis Kode Etik mengambil keputusan setelah memeriksa PNS yang disangka melanggar kode etik. Majelis Kode Etik mengambil keputusan setelah PNS yang bersangkutan diberi keempatan membela diri. Keputusan Majelis Kode Etik diambil secara musyawarah mufakat. Dalam hal musyawarah mufakat tidak tercapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Keputusan Majelis Kode Etik bersifat final. Majelis Kode Etik wajib menyampaikan keputusan hasil sidang majelis kepada Pejabat yang berwenang sebagai bahan dalam memberikan sanksi moral dan/atau sanksi lainnya kepada PNS yang bersangkutan. Kode etik profesi di lingkungan PNS yang ditetapkan sebelum berlakunya PP 42/2004, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah berdasarkan PP 42/
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
36
Opini 2004. PP 42/2004 mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, 18 Oktober 2004. Butir-butir yang diangkat dari Penjelasan PP 42/2004: 1. Diperlukan PNS yang penuh pengabdian, netral, mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, profesional dan bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas, serta penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemeritah RI. 2. Agar PNS mampu melaksanakan tugas secara berdayaguna dan berhasilguna, diperlukan pembinaan secara terus menerus dan berkesinambungan. 3. Pembinaan jiwa korps akan berhasil dengan baik apabila diikuti dengan pelaksanaan dan penerapan kode etik dalam kehidupan sehari-hari PNS. 4. Dengan adanya kode etik PNS, dimaksudkan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas PNS dalam melaksanakan tugas. 5. Etos kerja aparatur adalah kegiatan atau upaya untuk menggali dan menerapkan nilai-nilai positif dalam organisasi/instansi Pemerintah yag disepakati oleh para anggota (PNS) untuk meningkatkan produktivitas kerja. Lingkup kegiatan etos kerja aparatur adalah bersifat off job relation, artinya kegiatan tersebut berada di luar kewenangan formal dalam mendukung pencapaian tujuan organisasi. 6. Nilai-nilai dasar PNS merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang berlaku bagi seluruh PNS tanpa membedakan
dimana yang bersangkutan bekerja. Nilai-nilai dasar ini wajib dijunjung tinggi karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, negara, dan pemerintah. 7. Wadah Korps Pegawai Republik Indonesia adalah wahana Pembinaan jiwa korps dalam rangka membangun sikap,tingkah laku, etos kerja, dan perbuatan terpuji yang harus dilaksanakan oleh setiap PNS dalam kedinasan dan kehidupan sehari-hari. 8. Selain kode etik yang diatur dalam PP 42/2004, Pejabat Pembina Kepegawaian masing-masing instansi dapat menetapkan kode etik instansi sesuai dengan sifat dan karakteristik yang menjadi tugas dan fungsi instansinya. Selain kode etik yang diatur dalam PP 42/2004 dan kode etik instansi, masing-masing organisasi profesi di lingkungan PNS dapat menetapkan kode etik organisasi profesi, umpamanya kode etik Jaksa, kode etik Pemeriksa Bea dan Cukai, kode etik Dokter dan sebagainya. 9. Pernyataan secara tertutup, disampaikan oleh pejabat yang berwenang atau pejabat lain yang ditunjuk dalam ruang tertutup. Pengertian dalam ruang tertutup, yaitu bahwa penyampaian pernyataan hanya diketahui oleh PNS yang bersangkutan dan pejabat yang menyampaikan pernyataan serta pejabat lain yang terkait dengan catatan pejabat terkait dimaksud tidak boleh berpangkat lebih rendah.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
37
Opini 10. Pernyataan secara terbuka dapat disampaikan melalui forum-forum pertemuan resmi PNS, upacara bendera, media massa dan forum lainnya yang dipandang sesuai untuk itu. 11. PNS yang melanggar kode etik, selain dikenakan sanksi moral, tidak tertutup kemungkinan yang bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin PNS atau tindakan administratif lainnya oleh Pejabat yang berwenang menghukum berdasarkan rekomendasi dari Majelis Kode Etik. Penjatuhan hukuman disiplin bagi PNS, harus berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Disiplin PNS (PP 30/1980). 12. Untuk memperoleh obyektivitas dalam menentukan seseorang PNS melanggar kode etik, maka pada setiap instansi dibentuk Majelis Kode Etik. Majelis Kode Etik bersifat temporer, yaitu hanya dibentuk apabila ada PNS yang disangka melakukan pelanggaran terhadap kode etik. Dalam hal instansi pemerintah mempunyai instansi vertikal di daerah, maka Pejabat
Pembina Kepegawaian dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pejabat lain di daerah untuk menetapkan pembentukan Majelis Kode Etik 13. Untuk mendapatkan obyektivitas atas sangkaan pelanggaran kode etik, Majelis Kode Etik di samping dapat memanggil dan memeriksa PNS yang bersangkutan, juga dapat mendengar pejabat lain atau pihak lain yang dipandang perlu. Keputusan Majelis Kode Etik bersifat final, yaitu bahwa keputusan Majelis Kode Etik tidak dapat diajukan keberatan. Yang memberikan sanksi moral kepada PNS yang melanggar kode etik adalah Pejabat yang berwenang atau pejabat lain yang ditunjuk. Sanksi moral hanya dapat diberikan apabila Majelis Kode Etik telah merekomendasikan bahwa yang bersangkutan dinyatakan telah melanggar kode etik PNS. (n-stiawan, disadur dari tulisan “Etika Pegawai Negeri Sipil” oleh Komarudin, Staf Ahli Menpan Bidang Sistem Manajemen)
Paparan Drs. Komarudin, MA., Staf Ahli Menpan Bidang Sistem Manajemen pada Acara Workshop PPA, Hotel Millenium Jakarta
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
38
Opini
WASKAT Mekanisme Pengawasan “Yang Terabaikan” Oleh A. Saubari Hasil pemeriksaan/audit yang telah dilakukan pada instansi pemerintah oleh berbagai aparat pengawasan fungsional, baik internal maupun eksternal, selama ini mengidentifikasikan bahwa penyimpangan, pelanggaran dan pemborosan di hampir semua instansi pemerintah terjadi berulang-ulang tanpa adanya perbaikan yang signifikan. Banyak temuan yang didapat oleh para pemeriksa/auditor disebabkan oleh lemahnya unsur pimpinan dalam melakukan kontrol terhadap pekerjaan bawahannya. Padahal kontrol merupakan suatu aktivitas pengendalian yang harus dilakukan seorang pimpinan sesuai dengan kondisi lingkungan pengendalian yang ada dalam suatu organisasi. Semakin lemah kondisi lingkungan pengendalian, maka semakin besar aktivitas pengendalian yang harus dilakukan oleh pimpinan. Aktivitas pengendalian dapat berbentuk kebijakan dan prosedur yang mengakomodasi keputusan manajemen yang lebih tinggi guna menghadapi risiko yang mungkin dihadapi dalam mencapai sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi. Alat kontrol dalam bentuk pengawasan melekat telah lama diluncurkan mulai dari Inspres No. 15 Tahun 1983, Inspres No. 1 Tahun 1989 yang diikuti dengan Kepmenpan Nomor 30 Tahun 1994. Kontrol yang dilakukan terhadap efektivitas pengendalian sebaiknya dilakukan secara terus menerus atau melalui evaluasi secara periodik.
Pemantauan secara terus menerus dilakukan melalui aktivitas manajemen dan supervisi yang dimiliki oleh para pimpinan. Daya jangkau dan frekuensi pemantauan melalui evaluasi yang dilaksanakan secara periodik sangat tergantung kepada efektivitas prosedur pemantauan melalui supervisi dan aktivitas manajemen serta hasil penilaian atas risiko yang mungkin dan akan dihadapi. Semakin tinggi kemungkinan tingkat penyimpangan yang ditemukan, semakin tinggi pula jenjang pimpinan yang harus terlibat dalam melaksanakan pengawasan, bila perlu dilaporkan kepada pimpinan tertinggi. Kontrol dapat juga dilakukan melalui suatu sistem waskat yang terintegrasi dengan baik dalam suatu sistem organisasi yang ada. Pengawasan melekat merupakan salah satu bentuk pengendalian aparat pemerintah di setiap instansi dan satuan organisasi dalam meningkatkan mutu kinerja di dalam lingkungan tugasnya masingmasing agar tujuan instansi/organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien. Dalam audit yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Dep. Agama, setiap temuan harus diketahui penyebabnya. Dalam rumpun penyebab yang dikeluarkan oleh BPKP dan menjadi acuan dalam unsur pengawasan terdiri dari: Kelemahan pengawasan melekat (01); Kelemahan dalam kebijakan/kebijaksanaan (02); Kelemahan dalam rencana (03);
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
39
Opini Kelemahan dalam prosedur (04); Kelemahan dalam pencatatan dan pelaporan (05); Kelemahan dalam pembinaan personil (06); Kelemahan dalam pengawasan intern (internal review) (07); Kelemahan pengawasan terhadap rekanan (08); Penyebab ekstern hambatan kelancaran proyek (09); Penyebab ekstern hambatan kelancaran tugas pokok instansi (10); dan Penyebab ketidaklancaran pelayanan aparatur pemerintah/BUMN (11). Dari 11 kode penyebab, maka terdapat point khusus yang menjadi point pertama yaitu antisipasi terhadap unsur kelemahan dalam pengawasan melekat, yang didalamnya terdiri dari: “Pembagian wewenang dalam organisasi belum cukup jelas sehingga masih terdapat transaksi atau kegiatan organisasi yang seluruh tahapnya dikuasai oleh satu orang; Pembagian wewenang dalam organisasi belum cukup jelas sehingga ada kegiatan atau kejadian dalam organisasai yang tidak jelas penanggungjawabnya; Dalam organisasi tidak ada pembagian wewenang dan tugas; kelalaian pejabat yang berwenang; dan kelemahan organisasi”. Selain itu dari 11 point penyebab dapat juga ditarik beberapa kode penyebab yang dapat menjadi media untuk mengidentifikasikan lemahnya waskat terkait dengan kelemahan manajerial yang dimiliki oleh pimpinan, seperti kelemahan dalam kebijakan, kelemahan dalam pembinaan personil dan kelemahan dalam pengawasan intern. Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/ 46/M.PAN/2004 Tanggal: 26 April 2004. Untuk keberhasilan waskat digunakan
8 unsur pengendalian yang terdiri dari: “Pengorganisasian; Personil; Kebijakan; Perencanaan; Prosedur; Pencatatan; Pelaporan; Supervisi dan Review Intern”. Pimpinan organisasi wajib melakukan evaluasi secara terus menerus terhadap pelaksanaan unsur WASKAT dalam 8 point yang ada dengan menggunakan beberapa metode seperti lembar periksa (checklist), jajak pendapat, bagan arus (flowchart) dan wawancara. (Isi lengkap setiap checklist ada dalam BAB III lampiran Kepmenpan No. KEP/46/M.PAN/2004 Tanggal: 26 April 2004) Rencana Aksi Pelaksanaan Waskat Mengingat waskat memiliki peran penting dalam unsur pengendalian manajemen, maka setiap instansi/ pimpinan harus memiliki program rencana aksi pra, dalam, dan pasca pelaksanaan waskat. Ada beberapa rencana aksi yang dapat dilakukan seperti: Pertama, Sosialisasi WASKAT Sosialisasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang tepat kepada seluruh personil organisasi tentang pengertian dan cara pelaksanaan waskat tanpa mengurangi pemahaman pentingnya pengawasan pimpinan kepada bawahannya. Perlu juga dipahamai bahwa ada kegiatan pengawasan yang dilakukan berjenjang dan bertahap mulai dari unsur pimpinan sampai pegawai di lingkungan suatu instansi. Kedua, Melakukan penyiapan dan pelaksanaan unsur waskat. Hal ini penting dilakukan, karena dengan penyiapan unsur waskat secara baik akan dapat diidentifikasi
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
40
Opini data-data yang ada untuk selanjutnya dapat mengetahui dugaan titik-titik rawan terjadinya penyimpangan yang biasa dilakukan. Ketiga, Pemantauan Pelaksanaan WASKAT Pemantauan merupakan rangkaian tindakan mengikuti pelaksanaan suatu kegiatan serta untuk mengetahui secara dini faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap kebijakan maupun program yang telah ditetapkan. Hal ini perlu dilakukan secara berkesinambungan sehingga keandalan waskat dapat terukur. Keempat, Evaluasi Pelaksanaan WASKAT Untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu kegiatan, maka diperlukan suatu evaluasi dengan menggunakan teknik evaluasi. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan evaluasi terdiri dari: “evaluator mampu memahami aktivitas organisasi dan unsur waskat yang ada; mengetahui apakah sistem telah berjalan dan berfungsi; mengetahui desain suatu sistem pengendalian dan cara kerjanya; serta mengkomunikasikan pelaksanaan sistem terhadap pihak terkait.” Kelima, Tindak Lanjut Tindak lanjut dari hasil evaluasi pelaksanaan suatu sistem berupa tindakan perbaikan dan penyempurnaan sistem dan prosedur operasi, dan mengantisipasi terjadinya titik rawan penyimpangan Sistem Waskat yang awalnya diperkenalkan dengan Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat yang kemudian diikuti dengan Keputusan Menteri PAN Nomor 30 Tahun 1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat, sampai saat ini dirasakan oleh banyak pihak belum menunjukkan hasil yang memadai. Di lapangan masih terlihat betapa disiplin dan prestasi kerja aparatur pemerintah masih rendah, penyalahgunaan wewenang, kebocoran, pemborosan keuangan negara serta pungutan liar masih banyak terjadi. Di samping itu, pelayanan masyarakat yang diharapkan menjadi semakin lebih baik, masih dirasa belum cukup memuaskan serta pengurusan kepegawaian belum sepenuhnya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kemudian peraturan-peraturan yang mengatur waskat diperkuat kembali dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/46/M.PAN/2004 Tanggal: 26 April 2004, tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Diharapkan dengan banyaknya indikator yang telah diterbitkan, para pemimpin satuan organisasi secara berjenjang dapat menerapkan sistem pengawasan melekat (waskat) secara lebih serius, sehingga tingkat penyalahgunaan wewenang, kebocoran, pemborosan keuangan negara serta pungli dapat diminimalisir. Untuk ke depannya dalam setiap audit yang dilakukan oleh unsur pengawasan internal maupun eksternal temuan yang disebabkan kelemahan unsur pengawasan pimpinan tidak lagi ditemukan. *)Penulis adalah Auditor pada Irwil II
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
41
Randang
KESEPAKATAN BERSAMA PESERTA RAPAT EVALUASI PELAKSANAAN APBN DAN RAPAT KOORDINASI PENGAWASAN TAHUN 2006 DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN AGAMA Pada hari ini, Sabtu, tanggal 23 Desember 2006, kami peserta Rapat Evaluasi Pelaksanaan APBN dan Rapat Koordinasi Pengawasan Tahun 2006, setelah memperoleh masukan dari berbagai narasumber dan pembahasan dalam Sidang Komisi A dan B, maka diperoleh kesepakatan bersama tentang hal-hal sebagai berikut: 1. Memahami arti pentingnya indikator kinerja bagi satuan organisasi sebagai alat ukur pencapaian kinerja, baik bagi pimpinan maupun Aparat Pengawasan. Maka sesuai amanat Menteri Agama pada acara pembukaan, kami sepakat untuk menyusun indikator kinerja pada satuan kerja masing-masing dan melaporkan hasilnya kepada Menteri Agama Republik Indonesia dengan tembusan kepada Inspektur Jenderal Departemen Agama paling lambat tanggal 31 Maret Tahun 2007. 2. Guna peningkatan kinerja organisasi dan perwujudan birokrasi Departemen Agama yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), maka kami bersepakat untuk pro aktif dalam percepatan penyelesaian seluruh temuan hasil audit, baik dari Inspektorat Jenderal Departemen Agama, BPKP, maupun BPK RI. 3. Mendukung perwujudan Pakta Integritas di lingkungan Departemen Agama dalam rangka mewujudkan Good Governance dan Clean Government. 4. Kami selaku Kuasa Pengguna Anggaran bertekad untuk menyusun laporan keuangan dan SA-BMN sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan, memuat informasi yang handal, dan disampaikan tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
42
Randang Demikian kesepekatan ini kami buat dengan kesadaran yang ikhlas dan penuh tanggung jawab. Semoga Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa meridloi dan memberkahi kita semua. Jakarta, 23 Desember 2006 Yang membuat kesepakatan bersama: 1. Mewakili Rektor UIN/IAIN/IHDN Rektor IAIN Sunan Ampel ttd Prof. DR. H. M. Ridlwan Nasir, MA 2.
Mewakili Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi Sumatera Utara ttd Drs. H. Z. Arifin Nurdin. SH, MKn
3.
Mewakili Ketua STAIN/STAKN/STAHN/STABN Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Manado ttd Drs. H. M. Danial Alwi, SH. MPdI Mengetahui Inspektur Jenderal Departemen Agama, ttd A. Qodri A. Azizy NIP 150202471
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
43
Randang
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL TAHUN 2004 - 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dipandang perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004 - 2009;
Mengingat
:
1. 2.
3.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4287); Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PRESIDEN TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL TAHUN 2004 - 2009.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
44
Randang Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini, yang dimaksud dengan: 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, yang selanjutnya disebut dengan RPJM Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/ Lembaga Tahun 2004-2009, yang selanjutnya disebut Rencana Strategis Kementerian/ Lembaga, adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. 3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2004-2009, yang selanjutnya disebut RPJM Daerah, adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. 4. Menteri adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Pasal 2 (1) (2) a. b. c.
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden hasil Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung pada tahun 2004. RPJM Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman bagi : Kementerian/Lembaga dalam menyusun Rencana Strategis Kementerian/ Lembaga; Pemerintah Daerah dalam menyusun RPJM Daerah; dan Pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah. Pasal 3
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah melaksanakan program dalam RPJM Nasional yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian/Lembaga dan RPJM Daerah. Pasal 4 Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dapat melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri dalam menyusun Rencana Strategis Kementerian/ Lembaga dan RPJM Daerah.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
45
Randang Pasal 5 Menteri melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan RPJM Nasional yang dituangkan ke dalam Rencana Strategis Kementerian/Lembaga dan RPJM Daerah. Pasal 6 RPJM Nasional adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini dan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini. Pasal 7 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Januari 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Januari 2005 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUNUSIA, ttd. Dr. HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 11
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
46
AMO
MANAJEMEN PENGEMBANGAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Oleh M. Arif Rahman
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat memiliki tugas pokok menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian, kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan tidak terlepas dari kesempurnaan PNS yang beriman, bertakwa, profesional, jujur, loyal, berdedikasi tinggi, taat azas dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Keberadaan PNS di Indonesia dirasakan semakin penting. Pemerintah pun telah berupaya dengan sungguhsungguh untuk merumuskan sebuah peraturan perundang-undangan yang semakin lama semakin disempurnakan. Hal ini dapat dilihat dalam UU Nomor 8/1974 tentang ketentuanketentuan pokok kepegawaian yang disempurnakan dengan undang-undang nomor 43/1999 tentang pokok-pokok kepegawaian. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk berupaya mewujudkan sumber daya PNS yang ideal. Performa PNS tersebut antara lain mampu menyelesaikan tugas tepat waktu, disiplin, jujur, bergairah, kreatif, loyal, mau berjuang, dan siap memberikan pelayanan yang prima kepada mayarakat. Upaya ini dapat dilakukan melalui pemberian motivasi dengan baik, pemberian hak yang wajar dan memenuhi syarat, penghargaan bagi yang berprestasi,
perhatian terhadap kesejahteraan guna meningkatkan/merangsang gairah kerja. Sedangkan dalam rangka mendidik PNS diupayakan dengan upaya menumbuhkan kesadarannya untuk menunaikan kewajiban, dan diberikan sanksi bagi yang melanggar tanpa pandang bulu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengaturan manajemen PNS yang berlaku di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian. Jenis dan kedudukan PNS sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut terdiri dari PNS, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu aturan yang harus dipatuhi PNS yaitu harus bersikap netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas ini, PNS dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Netralitas tersebut sehubungan dengan pengangkatan PNS dalam suatu jabatan yang harus dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lain tanpa membedakan jenis
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
47
AMO kelamin, suku, agama, ras dan/atau golongan. Adapun kebijaksanaan manajemen PNS mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban, dan kedudukan hukum. Kebijakan tersebut berada pada Presiden selaku Kepala Pemerinahan. Untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan dan memberikan pertimbangan tertentu dibentuk Komisi Kepegawaian Negara yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Komisi Kepegawaian Negara terdiri dari 2 (dua) anggota tetap yang berkedudukan sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi, serta 3 (tiga) anggota tidak tetap yang kesemuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketua dan Sekretaris Komisi secara ex-officio menjabat sebagai Kepala dan Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara. Komisi Kepegawian Negara bersidang sekurang-kurangnya sehari dalam satu bulan. Untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan kebijaksanaan manajemen PNS dibentuk Badan Kepegawaian Negara. Badan ini menyelenggarakan manajemen PNS yang mencakup perencanaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS dan administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan dan pemeliharaan informasi kepegawaian, mendukung perumusan kebijaksanaan kesejahteraan PNS, serta memberikan bimbingan teknis kepada unit orgnisasi yang menangani kepegawaian pada
instansi pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya untuk kelancaran pelaksanaan manajemen PNS Daerah dibentuk Badan Kepegawaian Daerah, BKD merupakan perangkat Daerah. Sebagai upaya untuk mengisi formasi yang dibutuhkan, menggali potensi, meningkatkan gairah bekerja, menghindarkan dari berbagai bentuk penyimpangan, serta pemberian penghargaan dan sanksi kepada PNS, maka telah diatur hal-hal sebagai berikut: Pertama, Rekruitmen PNS (PNS) Pelaksanaan Rekrutmen, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi PNS. Dalam Peraturan Pemerintah ini, mengatur antara lain: (a)Formasi PNS. Formasi PNS adalah jumlah dan susunan pangkat PNS yang diperlukan dalam suatu satuan organisasi Negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok dalam jangka waktu tertentu; (b)Formasi PNS secara Nasional setiap tahun anggaran ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN), setelah mendapatkan pendapat Menteri Keuangan (MENKEU) dan Pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN); (c)Formasi secara nasional terdiri dari: Formasi PNS Pusat dan Formasi PNS Daerah; (d)Penetapan Formasi Pusat untuk masing-masing satuan organisasi pemerintah pusat seetiap tahun anggaran ditetapkan oleh MENPAN setelah mendapatkan pertimbangan kepala BKN;
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
48
AMO (e)Formasi PNS Daerah untuk masing-masing satuan organsiasi pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota setiap tahun anggaran ditetapkan oleh Kepala Daerah masing-masing setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur Negara berdasarkan pertimbangan Kepala BKN; dan (f)Penetapan dan persetujuan formasi PNS Pusat dan Daerah dilakukan berdasarkan usul dari Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang dikoordinasikan oleh Gubernur. Kedua, Pengadaan PNS Pengadaan PNS diatur dengan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS. Dalam pengadaan PNS ini, antara lain diatur syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar adalah: (1)Warga Negara Indonesia; (2)Berusia serendah-rendahnya 18 tahun dan setinggi-tingginya 35 tahun; (3)Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan; (4)Tidak pernah diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat sebagai PNS atau pegawai swasta; (5)Tidak berkedudukan sebagai calon PNS; (6)Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan yang diperlukan; (7)Berkelakuan baik; (8)Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau Negara lain yang ditentukan oleh pemerintah; (9)Syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan; dan (10)Pengangkatan sebagai calon PNS dapat dilakukan bagi yang melebihi usia 35 tahun berdasarkan kebutuhan khusus dan dilaksanakan secara selektif. Setelah melalui proses penyeleksian dan memenuhi syarat pengadaan pelamar dapat diangkat sebagai calon PNS berdasarkan kualifikasi pendidikan kedalam golongan ruang/pangkat dan jabatan, antara lain: (a)pendidikan SD dan SMP diangkat kedalam golongan ruang I.a; (b)pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama) diangkat kedalam golongan I.b.; (c)pendidikan SLTA (Sekolah lanjutan tingkat Atas)/Akademi (Sarjana Muda) diangkat kedalam golongan ruang II.a; (d)pendidikan S.1 (Strata I) diangkat kedalam golongan ruang III.a.; (e)pendidikan S.2 (Strata II), diangkat kedalam golongan ruang III.b.;(f)pendidikan S.3 (Doktor), diangkat kedalam golongan ruang III.c Ketiga, Pengembangan dan Pengangkatan dalam Jabatan. Pengembangan dan pengembangan dalam Jabatan PNS melalui jabatan karier, yaitu diangkat kedalam jabatan struktural, jabatan fungsional tertentu dengan menggunakan angka kredit dan jabatan fungsional umum. Dalam hal PNS yang akan menduduki jabatan struktural, telah diatur dalam peraturan pemerintah, antara lain, mengatur tentang persyaratan untuk dapat menduduki jabatan harus memiliki kompetensi jabatan yang akan dipangkunya, syarat kepangkatan, dan
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
49
AMO tidak diperbolehkan perangkapan jabatan, harus melalui proses suatu badan pertimbangan jabatan dan kepangakatan bagi jabatan eselon V sampai dengan II, dan untuk jabatan eselon I melalui Tim Penilai Akhir yang dipimpin langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian harus mengikuti dan lulus pendidikan kepemimpinan. Batas Usia Pensiun untuk jabatan eselon I dan II dapat sampai dengan 60 (enam puluh) tahun. Kewenangan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS merupakan kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian Tingkat Pusat adalah Menteri, Jaksa Agung, Kepala LPND, Pejabat Pembina Kepegawaian Provinsi adalah Gubernur, dan Pejabat Pembina Kepegawaian Kabupaten/ Kota adalah Bupati/Walikota, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS. Keempat, Pendidikan dan Pelatihan PNS Dalam pendidikan dan pelatihan PNS, sejak dinyatakan lulus sebagai Calon PNS untuk dapat diangkat menjadi PNS harus mengikuti pendidikan dan pelatihan prajabatan, kemudian ada jenis pendidikan in service training, pre service training, kemudian seorang PNS dalam menduduki jabatan structural maupun fungsional dipersyaratkan untuk mengikuti pendidikan dan lulus dan memiliki sertifikasi yang dikeluarkan instansi Pembina. Tentang Pendidikan dan Pelatihan PNS diatur dengan
peraturan pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan PNS. Kelima, Kesejahteraan PNS. Gaji PNS mengacu pada system skala gabungan, dalam pangkat dan masa kerja yang sama dibayar dengan gaji yang sama, yang membedakan hanya Tunjangan Jabatan bagi PNS yang menduduki jabatan, dengan mengacu pada manajemen PNS yang saat ini, diharapkan nantinya mengacu pada sistem merit. Ditinjau dari penghasilan bahwa PNS masih belum mempunyai keseragaman tentang jumlah yang diterimakan oleh masing-masing PNS. Sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial dikalangan PNS. Mengenai Batas Usia Pensiun, bagi PNS adalah 56 tahun, dapat diperpanjang sampai dengan 60 tahun bagi PNS tertentu yang menduduki jabatan eselon I dan II. Untuk Tabungan Hari Tua, Asuransi Kesehatan, Tabungan pensiun, PNS mengiur setiap bulannya yang dipotong melalui gaji yang diterimakan sebesar 10 % dengan rincian 4,25% untuk Taspen, 2,5% Taspen dan Tabungan hari tua 3,75%, Sehingga jika PNS menghadapi pensiun, gaji yang diterimakanya sebesar 75 % dari penerimaan yang diterimakan sebelum pensiun. Adanya tabungan perumahan, yang dipotong bervariasi melihat dari jenis golongan ruang kepangkatan, dimulai dari Rp.10.000 sampai dengan Rp. 25.000,- yang diberikan kembali kepada PNS yang membutuhkan untuk uang
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
50
AMO muka rumah, perbaikan dan bangun rumah, kemudian dapat pula diberikan pada ahir pensiun PNS. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa PNS pada saat mencapai batas usia pensiun PNS diberikan hak pensiun. Keenam, Penghargaan dan Hukuman (Reward and Punishment) Bagi PNS yang menunjukkan prestasi yang luar biasa baiknya, diberikan kenaikan pangkat istemewa, kenaikan pangkat pilihan bagi yang menduduki jabatan struktural maupun fungsional. Sistem kenaikan pangkatnya dapat dilakukan 2 (dua) tahun, dan reguler 4 (empat) tahun. Bagi PNS yang melanggar ketentuan peraturan perundangan yang berlaku bagi PNS merupakan pelanggaran disiplin. Peraturan disiplin PNS dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS Penjatuhan hukuman atas pelanggaran yang dilakukan dapat dikenakan sanksi berupa hukuman disiplin tingkat ringan, sedang, dan
berat. Jenis-jenis hukuman disiplin ringan, dapat berupa tegoran lisan, tegoran tertulis, dan peryataan tidak puas secara tertulis. Sedangkan untuk jenis hukuman disiplin sedang berupa penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 6 bulan atau 1 tahun, penurunan gaji sebesar 1 kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 6 bulan atau 1 tahun, dan penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 6 bulan atau 1 tahun. Selanjutnya untuk jenis hukuman disiplin tingkat berat, berupa penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 tahun, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. PNS, yang telah dijatuhi salah satu jenis hukuman tingkat berat dapat mengajukan banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian, melalui hirarki yaitu melalui pejabat Pembina kepegawaian pusat maupun daerah.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
51
T eknologi Informasi Teknologi
Memroteksi File Rahasia (Bagian II) Oleh Kamalul Iman Billah*) Pada saat tulisan ini dibuat, dunia teknologi informasi (TI) Indonesia sedang terkena masalah, khususnya yang berhubungan dengan internet. Karena badai yang melanda Taiwan, jaringan serat optik bawah laut mengalami masalah, sehingga koneksi internet yang menggunakan server di Amerika terganggu. Gangguan ini diperkirakan mengakibatkan kerugian trilyunan rupiah. Hal ini karena sebagian besar koneksi internet di Indonesia masih bergantung pada server yang berpusat di Amerika. Sementara penyedia jasa internet (Internet Service Provider/ISP) lokal yang menggunakan server lokal justru tidak mengalami gangguan. Kondisi ini menyadarkan kita bahwa betapa besarnya pengaruh teknologi pada perekonomian, dan betapa besarnya kerugian kita apabila selalu bergantung pada negara maju. Namun demikian, kita akan semakin rugi apabila kita tidak bisa memanfaatkan teknologi yang sudah seharusnya dapat kita gunakan di kantor kita. Sebagai pegawai negeri sipil yang berada dalam naungan Inspektorat Jenderal, kita sangat berkepentingan dengan teknologi komputer, terutama untuk mengamankan data-data penting yang bersifat rahasia. Untuk itu, maka sekali lagi kita bahas mengenai file penting atau file yang berisi rahasia. Kalau dalam tulisan sebelumnya telah dibahas tentang dua cara dalam
memroteksi file rahasia, yaitu (1)dengan cara berhati-hati dalam menghapus file, karena file yang sudah dihapus masih mungkin untuk ditemukan kembali dan (2)dengan cara memberi password pada file yang kita buat, maka dalam tulisan ini, yang merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya, akan kita bahas beberapa teknik lain dalam mengamankan file rahasia. Berbeda dari dua cara sebelumnya, cara-cara berikut merupakan cara yang kurang lazim digunakan. Selain caracara yang memerlukan sedikit usaha dan pemahaman tentang program komputer, juga ada cara-cara proteksi file dengan bantuan program-program tambahan. Cara proteksi file dengan menggunakan sedikit usaha yang akan dibahas di sini ada empat cara, yaitu: Pertama; mengenkripsi huruf atau kata pada file. Cara ini mungkin sangat mudah kita lakukan, namun perlu kehati-hatian bila kita gunakan. Satu-satunya pengaman dari cara ini adalah ketajaman ingatan kita, yang mungkin bisa dibantu dengan catatan. Bila ingatan kita kurang kuat atau catatan yang kita andalkan terselip atau hilang, maka tidak mustahil kita akan kehilangan isi data (teks), walaupun sebenarnya data kita masih utuh. Karena saat ini file dengan ekstensi “*.doc” atau file Microsoft Word banyak diincar oleh para pembuat virus, ada baiknya kita gunakan cara ini pada file
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
52
T eknologi Informasi Teknologi yang berekstensi “*.rtf” atau Rich Text Format, yang tidak bisa diproteksi dengan password. Enkripsi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris encrypt, yang berarti mengubah sesuatu menjadi kode. Dalam hal ini, kita ubah isi data kita (teks) baik per huruf maupun per kata. Untuk enkripsi huruf misalnya kita balik urutan huruf, yaitu setiap huruf “a” dalam teks kita ganti menjadi huruf “z”, “b” menjadi “y”, “c” menjadi “x”, dan seterusnya. Maka bila kita menulis kata “RAHASIA”, hasil enkripsinya adalah “IZSZHRZ”. Bagaimana cara mengubah setiap huruf dalam sebuah teks yang jumlahnya bisa ribuan huruf? Caranya sangat mudah, namun menuntut ketelitian dan kesabaran kita, yaitu dengan memanfaatkan fasilitas “Find” dan “Replace”. Langkahnya adalah sebagai berikut: - Buka file yang akan kita enkripsi - Tekan Ctrl+F - Isi kolom “Find what:” dengan huruf “a” - Klik “Replace” pada bagian atas dialog box dan isi kolom “Replace with:” dengan huruf “z” kemudian klik “Replace all” pada bagian bawah dialog box. - Jangan lupa untuk menyimpan (save) file yang kita enkripsi sebelum kita tutup. Setelah langkah-langkah di atas dilakukan, maka semua huruf “a” pada file telah berganti dengan huruf “z”. Lakukan langkah yang sama pada huruf-huruf selanjutnya. Dalam hal ini kita bisa saja mengganti hanya beberapa huruf saja. Yang perlu diingat dan dicatat adalah langkah-langkah yang kita jalankan, apa saja yang kita ganti dan
dengan apa kita ganti, serta harus konsisten. Untuk mengembalikan ke file semula, kita lakukan seperti waktu kita melakukannya pertama kali. Bedanya, kalau pertama kita replace huruf “a” dengan “huruf “z”, maka kita lakukan sebaliknya, yaitu kita replace huruf “z” dengan huruf “a”, dan seterusnya. Untuk enkripsi kata, langkahnya sama dengan enkripsi huruf. Bedanya, yang di-replace adalah satu kata dengan apa yang kita mau, seperti simbol atau lainnya. Kedua; menyembunyikan file (hide). Cara menyembunyikan file bisa efektif apabila sistem komputer yang kita gunakan tidak terkena virus yang menghilangkan tampilan “Folder Options” pada Control Panel. Selain itu, file yang kita sembunyikan bisa terlihat apabila sistem komputer disetting agar semua file tersembunyi dapat terlihat. Cara menyembunyikan (hide) file sangat mudah, yaitu hanya mengarahkan mouse pada file yang dibuka pada windows explorer, klik kanan, kemudian klik “properties”. Pada bagian bawah dialog box ada tulisan “attributes” lalu klik “hidden”. Otomatis file akan menghilang, tidak terlihat bila komputer tidak disetting dapat menampilkan file tersembunyi (hidden file). Sebagai catatan, cara ini agak susah dilakukan pada saat ini, karena para pembuat virus memanfaatkan fasilitas ini untuk menyembunyikan file yang terkena virus dan merusak sistem komputer dengan membuat “Folder Options” tidak berfungsi, sehingga file yang terkena virus tidak dapat ditemukan dan dianggap hilang, padahal semua file masih tetap ada pada tempatnya.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
53
T eknologi Informasi Teknologi Ketiga; Mengubah ekstensi file. Seperti disebutkan dalam bagian pertama tulisan ini bahwa setiap file dalam setiap program komputer memiliki ciri yang membedakan dari file program lainnya. Ciri pembeda itu berada di belakang nama file, dipisahkan dengan titik. Ciri pembeda ini disebut dengan ekstensi. Sebagai contoh, untuk file Microsoft Word ekstensinya adalah “*.doc”, Excel adalah “*.xls”, Power Point adalah “*.ppt”, dan Access adalah “*.mdb”, sementara untuk program atau executable file, pada umumnya menggunakan ekstensi “*.exe”, termasuk file yang telah terkena virus, biasanya muncul dengan ekstensi “*.exe”. Mengubah ekstensi file bisa dijadikan alternatif untuk mengelabui orang yang tidak berhak untuk membuka file kita. Sebagai contoh, file yang berekstensi “*.doc” bila kita ubah ekstensinya dengan “*.xls” misalnya, tidak bisa dapat dibuka. Ketika file tersebut diklik, maka akan terbuka program Excel dan akan muncul dialog box dengan peringatan “File format is not valid”, dengan demikian file tersebut tidak akan dapat dibuka sampai dibuka dengan program yang benar, sesuai dengan ekstensi aslinya. Bila file tersebut dibuka dengan program yang sesuai dengan ekstensi aslinya, barulah file tersebut bisa dibuka. Untuk mengubah ekstensi file, kita perlu menampilkan terlebih dahulu semua ekstensi file dengan cara membuka control panel>folder options>view> nonaktifkan setting “hide extensions for known file types”>OK. Setelah kita klik OK, maka semua file yang tampil pada windows explorer akan
muncul ekstensinya. Setelah tampak ekstensi file, kita ganti ekstensi file yang akan kita amankan. Selanjutnya kita lakukan langkah semula. Bedanya, kita aktifkan setting “hide extensions for known file types”>OK. Sebagai catatan, seperti halnya menyembunyikan file, cara ini akan susah dilakukan apabila komputer yang kita gunakan telah terkena virus yang merusak sistem komputer dengan membuat “Folder Options” tidak berfungsi. Keempat; mengganti “open with” pada properties. Cara ini mungkin lebih mudah untuk dilakukan, karena sejauh ini virus belum menyerang program sehingga tidak bisa menampilkan “properties” setiap file. Yang perlu dicatat adalah bahwa kita harus mengingat file apa saja yang kita ubah dengan menggunakan cara ini dan dengan program apa kita ganti untuk menyembunyikannya. Dikatakan mudah, karena kita cukup melakukan langkah-langkah sebagai berikut: - Buka windows explorer dan arahkan mouse pada file yang akan kita amankan>klik kanan>klik “properties”. - Setelah muncul dialog box, klik change.... dan akan muncul dialog box “Open With” dan tampak berbagai program yang terinstal dalam komputer. - Pilih program sesuai dengan keinginan. Sebagai contoh, bila kita mengubah file yang aslinya adalah microsoft word dengan “Open With” Corel Draw, maka ketika kita klik pada windows explorer untuk membukanya, maka yang akan
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
54
T eknologi Informasi Teknologi terbuka adalah program Corel Draw dan akan muncul dialog box yang menyatakan bahwa file tersebut tidak dapat dibuka. Berbeda jika kita buka terlebih dahulu program Microsoft Word dan kita klik File>Open dan kita cari file yang telah kita ubah tadi, maka file akan tetap bisa dibuka. Dengan demikian, maka cara ini masih memiliki kelemahan. Dari keempat cara di atas, hanya cara pertamalah yang mungkin bisa efektif digunakan, tetapi sekali lagi perlu diperhatikan bahwa kita harus melakukannya dengan bantuan mencatat semua langkah yang kita lakukan agar kita tetap bisa membuka file tersebut. Adapun cara-cara proteksi file dengan bantuan program-program tambahan, ada beberapa cara yang bisa dicoba. Penggunaan program tambahan bisa jadi lebih efektif digunakan, akan tetapi adakalanya program tambahan tersebut memang gratis dan bebas digunakan (freeware) ada juga yang harus dibeli karena memiliki hak paten (shareware). Bila kita bisa menggunakan yang shareware, terkadang hanya diberikan program percobaan yang dibatasi waktu penggunaannya. Bila masa percobaan telah habis, maka program tersebut akan tidak efektif lagi. Dalam hal ini kita akan kaji beberapa cara memroteksi file dengan menggunakan program tambahan, seperti berikut: Pertama; menggunakan program kompresi. Program kompresi adalah program tambahan dalam komputer yang berfungsi untuk mengkompres atau memadatkan sebuah file atau folder sehingga bisa berukuran lebih kecil dari ukuran sebenarnya. Ada beberapa macam program kompresi. Pada umumnya,
program kompresi yang sering digunakan adalah WinZip. Program ini mudah digunakan dan umumnya digunakan dengan tanpa harus membeli. selain itu, program ini bisa kita gunakan untuk menghemat ruangan harddisk atau flashdisk yang terbatas. Sayangnya, program ini tidak dilengkapi dengan proteksi yang memadai, sehingga file yang kita ringkas bisa dibuka kembali dengan mudah, tetapi kerahasiaannya tidak terjaga. Selain itu ada beberapa program kompresi lain yang lebih jarang digunakan, seperti WinRar. Agaknya program ini lebih bermanfaat untuk kita gunakan, karena program yang gratisnya pun sudah dilengkapi dengan fasilitas password. Password inilah yang bisa kita manfaatkan untuk mengamankan file penting/rahasia yang kita miliki. Selain memiliki kelebihan fasilitas password, WinRar juga bisa membuka file yang dikompres dengan WinZip, sementara WinZip tidak bisa digunakan untuk membuka data yang dikompres dengan WinRar. Kelebihan ini sekaligus menjadi kelemahan WinRar, karena pada umumnya yang diinstal dalam komputer adalah WinZip. Untuk itu, bila kita ingin mengamankan file atau folder, akan lebih baik jika kita menginstal program ini di komputer kita, sehingga kita dapat dengan mudah untuk membukanya kembali. Bila di flashdisk kita menyimpan program yang dikompres dengan WinRar, sebaiknya kita simpan juga program mentah WinRar agar kita bisa membuka data kita di komputer mana pun. Bila belum terinstal, kita bisa menginstalnya dari program yang kita bawa.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
55
T eknologi Informasi Teknologi Kedua; menggunakan program proteksi data. PC adalah singkatan dari Personal Computer, atau komputer pribadi. Karena sifatnya pribadi, maka tidak sembarang orang bisa menggunakannya. Hanya kita sendiri dan orang yang kita izinkan yang boleh menggunakannya. Namun untuk komputer kantor, tentu tidak demikian. Kita harus bersedia bergantian memakainya. Lantas bagaimana bila kita memiliki data rahasia yang harus kita jaga?solusinya adalah dengan menggunakan program tambahan yang berfungsi sebagai proteksi data. Bila kita menggunakan program kompresi, maka kita harus memecah data (extract) setiap kita mau mengedit dan harus mengkompres kembali untuk mengamankannya. Ini akan cukup merepotkan. Penggunaan program proteksi data merupakan solusi yang cukup efektif. Salah satu program tersebut adalah program FolderGuard. Program ini dapat kita instal pada PC atau laptop yang berfungsi tidak hanya untuk mengamankan file per file, tetapi juga mengamankan folder. Program ini memiliki fasilitas proteksi berlapis, bisa hanya harus menggunakan password untuk membuka folder, bisa menyembunyikan isi folder yang kita amankan, sehingga tampak seperti kosong, bahkan bisa menyembunyikan foldernya, sehingga tidak tampak sama sekali. Sayangnya program ini bukan freeware atau gratis, tetapi merupakan program berbayar atau shareware. Kita dapat mendapatkan program FolderGuard di
toko-toko yang menjual program komputer, namun hanya bisa digunakan sementara, selanjutnya folder yang kita proteksi akan mudah dibuka. Ketiga; memanfaatkan fasilitas proteksi data dari flashdisk. Saat ini fungsi disket sebagai penyimpan data tampaknya sudah tergeser oleh flashdisk. Disamping mudah dibawa dan disimpan, flashdisk memiliki kapasitas yang jauh lebih besar dari disket. Sebagaimana disket, flashdisk pun merupakan sarana ampuh untuk penyebaran virus komputer. Namun kita tidak bisa lepas dari kebutuhan penyimpan data, untuk itu kita ambil manfaatnya dengan mengesampingkan dulu faktor negatifnya. Dari sekian banyak merk flashdisk, banyak pula macam dan fasilitas yang diberikan oleh produsen agar produknya bisa bersaing di pasar. Salah satu yang bisa kita manfaatkan untuk mengamankan data adalah fasilitas proteksi password. Ada banyak produsen flashdisk yang memberikan fasilitas ini pada produknya, namun tidak sedikit pula yang hanya menjualnya sebagai penyimpan data semata. Untuk itu, bila kita mau agar data kita aman, maka bila kita membeli flashdisk kita pilih yang memiliki fasilitas proteksi ini agar data kita tetap tersimpan dan aman. Tulisan ini merupakan upaya agar kita bisa menjaga sebisa mungkin data rahasia yang kita miliki. Semoga bermanfaat dan selamat mencoba. *)Penulis adalah Staf pada Inspektur Wilayah I Itjen Dep. Agama.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
56
Hikmah
Keteladanan Abu Bakar ash-Shiddiq Abu Bakar ash-Shiddiq adalah nama panggilan dan nama julukannya yang sangat terkenal. Sedangkan nama beliau yang sebenarnya adalah Abdullah bin Usman. Ayah beliau terkenal dengan panggilan Abu Quhafah dan nama ibu beliau adalah Salma binti Shakkar bin Amir bergeral Ummul Khair. Sebelum terkenal dengan nama panggilan Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau terkenal pula dengan panggilan al-‘Atiq. Sekembalinya Nabi SAW dari Isra’ dan Mi’raj, beliaulah laki-laki yang pertama sekali membenarkan peristiwa tersebut. Sejak saat itu hingga sekarang, termasyhurlah beliau dengan sebutan Abu Bakar ashShiddiq. Sesungguhnya beliau sudah terkenal sebagai orang yang berlaku benar di dalam segala perbuatannya. Adapun gelar ash-Shiddiq diberikan oleh Jibril pada waktu Nabi SAW akan berpisah dengan Jibril pada subuh Isra’ di Dzi Thuwa, suatu tempat di pinggir kota Makkah, dimana Nabi SAW bersabda: “Ya Jibril, kaumku akan mendustakan aku”. Jibril menjawab: “Abu Bakar akan membenarkan engkau dan dialah ash-Shidiq”. Sifat Utama dan Ketakwaan Beliau Beberapa sifat utama dan ketakwaan beliau yang patut diteladani adalah: Pertama, pada masa jahiliyah atau sebelum masuk Islam, ketika orangorang Makkah sedang gemar menyem-
bah dan sujud kepada berhala-berhala, beliau tak pernah sujud kepada berhala. Kedua, beliau lebih cinta kepada Allah dan Nabi SAW melebihi cintanya kepada harta benda dan anak serta istrinya sendiri. Ketiga, beliau adalah seorang yang gagah berani. Keempat, beliau suka menolong orang-orang miskin, memuliakan tamu, pemurah dan sopan santun. Kelima, beliau tidak mau memakan atau meminum sesuatu apapun yang diharamkan Allah, sekalipun hanya sesuap atau setetes. Keenam, beliau adalah orang yang paling utama sesudah Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi khalifah Beliau adalah Khalifah (Kepala Negara) pertama sesudah wafatnya Rasulallah SAW yang dipilih oleh sahabat-sahabat beliau dengan suara aklamasi. Beliau termasuk salah seorang di antara sepuluh sahabat Nabi SAW yang mendapat jaminan masuk surga. Beliau bukan saja sahabat Nabi SAW, tetapi juga adalah mertua Nabi SAW, karena Siti ‘Aisyah yang diperistri oleh Nabi SAW adalah anak kandung Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau adalah seorang yang dermawan. Pernah beliau datang kepada Nabi SAW dengan membawa semua harta kekayaannya. Ketika ditanya oleh Nabi SAW: “Berapa lagi uang yang tinggal untuk keluargamu?” beliau
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
57
Hikmah menjawab: “Saya tinggalkan untuk mereka jaminan Allah dan Rasulullah saja.” Kata mutiara hikmah Abu Bakar ashShiddiq 1. “Aku adalah manusia biasa dan aku bukanlah manusia yang terbaik diantara kamu. Apabila kalian lihat perbuatanku benar, maka ikutlah aku. Tapi bila kalian lihat perbuatanku salah, maka betulkanlah.” (disampaikan pada saat pidato pelantikan beliau menjadi khalifah). 2. “Tidak boleh seorang muslim menghina muslim yang lain. Yang kecil pada kaum muslimin, adalah besar pada sisi Allah.” 3. “Bila telah masuk waktu shalat, berdirilah kalian menuju ke tempat apimu yang sedang menyala dan padamkanlah ia” 4. “Ah, aku ingin jadi rumput saja, supaya dimakan oleh kuda (karena sangat ngerinya akan siksaan Allah).” 5. “Semenjak aku masuk Islam, belum pernah kukenyangkan perutku, demi dapat merasakan segarnya beribadah; dan belum pernah pula aku puas minum, karena sangat rindunya aku kepada Illahi.” 6. “Orang yang cerdas ialah orang yang takwa; Orang yang dungu ialah orang yang durhaka; Orang yang dusta ialah orang yang khianat; Orang yang benar ialah orang dapat dipercaya.”
7. “Kami diuji dengan kesusahan, maka kami sabar; tetapi ketika diuji dengan kesenangan (kemewahan), hampir-hampir kami tidak sabar.” 8. “Manusia yang paling celaka ialah raja-raja. Kebanyakan mereka, ketika berkuasa, bersikap zuhud terhadap harta sendiri tapi tamak kepada harta orang lain.” Wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq Beliau wafat pada tahun ke-13H. dalam usia 63 tahun. Kuburan beliau terletak di sebalah kuburan Nabi SAW di Madinah. Sebagai penutup, berikut adalah kutipan satu do’a yang biasa beliau baca ketika shalat (sebelum mengucapkan salam) yang berasal dari Nabi SAW, yaitu: “Ya Allah sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan penganiayaan yang banyak. Tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa melainkan engkau. Karena itu ampunilah aku dengan ampunan yang datang dari sisi-Mu. Dan kasihanilah aku. Sesunggunya Engkaulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Hadits shahih riwayat BukhariMuslim). Akhirnya, marilah kita sama-sama meneladani semua sifat dan nasehat beliau. Mudah-mudahan kita dan keturunan kita mendapat kasih saying, rahmat, dan karunia Allah SWT. Kalaulah Allah menghendaki, tentulah kita berada bersama-sama Abu Bakar ashShiddiq kelak di dalam jannatun na’im. (Sumber: Nasehat 125 Ulama Besar, karangan Mahyuddin Ibrahim)
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
58
Renungan
Perjalan Dinas dari Madrasah ke Madrasah Oleh Nurman Kholis
“Madrasah Ibtidaiyah genok! Cemoohan ini dulu sering dilontarkan kepada Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Musthofa yang berada di kampung saya, Sempur, Cireunghas, Sukabumi. “Genok” merupakan salah satu kata yang lazim digunakan oleh masyarakat di sana dan kampung sekitarnya untuk menyebut hal-hal yang terkait dengan keterbelakangan, antara lain: kampungan, kuno, dan norak. Karena sudah mendapatkan predikat sebagai sekolah yang “genok”, sebagian besar anak-anak di kampung saya tidak mau masuk MI tersebut. Mereka pun lebih memilih masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang terletak di kampung tetangga. Sebaliknya, anakanak dari kampung-kampung di kaki gunung yaitu Manglayang, Cipurut, dan Bojong Meong justru sebagian besar memilih untuk belajar ke MI di kampung saya. Keadaan ini membuat komposisi pelajar di kedua sekolah tersebut jauh berbeda. Pelajar SDN umumnya berseragam putih bersih dan bersepatu sedangkan pelajar MI umumnya berseragam putih kucel dan sebagian memakai sendal. Di samping itu, bangunan SDN terbuat permanen dari tembok sedangkan bangunan MI saat itu sebagian terbuat dari kayu. Saya yang saat itu sudah memasuki usia wajib belajar merasa gengsi dan takut disebut “genok” sehingga tidak mau bersekolah di MI meskipun letaknya dekat, belasan meter dari rumah. Kedua
orang tua saya akhirnya mengabulkan keinginan saya untuk sekolah di SDN meskipun letaknya cukup jauh sekitar setengah kilo meter dari rumah. Seiring perjalanan waktu, saya akhirnya merasa tidak betah belajar di SDN karena merasa tidak puas terhadap salah seorang guru. Akhirnya, dengan terpaksa saya pindah ke MI dan bergaul dengan anak-anak yang dulu saya cemooh dengan ungkapan “genok’ itu. Saya pun beradaptasi dengan teman-teman yang berasal dari kaki gunung tersebut dan berusaha mengejar ketertinggalan dari mereka dalam pelajaran agama. Karena sudah merasakan hikmah dengan mempelajari ilmu-ilmu agama di MI, saya melanjutkan jenjang pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pondok Pesantren Daar El Qolam di Gintung, Balaraja, Tangerang-Banten, meskipun dinding ruang kelasnya masih terbuat dari kayu dan berlantaikan tanah yang agak mirip dengan “kandang kambing”. Sebagaimana terjadi di kampung saya, ketidakadilan terhadap madrasah juga dialami pimpinan Pondok Pesantren Daar El Qolam saat itu yaitu KH. Ahmad Rifa’i Arief. Ketidakadilan tersebut seperti dipandangnya sebelah mata lulusan madrasah untuk memasuki Perguruan Tinggi Umum Negeri hingga di dunia birokrasi. Oleh karena itu, beliau membuat strategi dengan mendirikan pondok pesantren yang memiliki jenjang pen-
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
59
Renungan didikan formal SMP dan SMA. Strategi ini berimbas kepada saya yang melanjutkan jenjang pendidikan SLTA ke SMA di Pondok Pesantren La Tansa, Cipanas, Lebak, Banten. Setelah lulus dari SMA La Tansa, saya melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Al Musyahadah, Cilember, Cimahi, Bandung. Setelah kurang lebih 10 bulan di pesantren yang hanya mengajarkan kitab-kitab kuning ini, saya berkuliah di jurusan D3 Bahasa Jerman Universitas Padjadjaran Bandung dan menyelesaikan S1 Jurusan Ilmu Komunikasi di perguruan tinggi yang sama. Sambil kuliah, saya juga pernah mondok di Pondok Pesantren Mahasiswa Miftahul Khoir, Dago-Bandung selama setahun. Sejak tahun 2004, saya bertugas di Inspektorat Jenderal Departemen Agama. Baru seminggu beraktivitas di lembaga pengawasan internal Departemen Agama ini, saya dikontak oleh seorang teman untuk ikut mendampingi ulama dari Jerman, Dr. H. Asadullah Yate yang berkunjung ke Jakarta dan kotakota lainnya. Namun, saya hanya dapat menemani beliau di luar jam kerja, pada sore hingga malam hari atau pada hari Sabtu dan Minggu. Oleh karena itu, saya tidak dapat menemani kunjungan beliau ke tempat-tempat lainnya di pulau Jawa dan Sumatera. Dengan kemampuan berbahasa Arab dan Jerman yang “paspasan”, saya menanyakan berbagai hal kepada beliau yang menjadi muallaf sejak 1975 dan pernah belajar berbagai kitab kuning di madrasah-madrasah di Maroko. Kehadiran beliau bagaikan sinyal yang menunjukkan ajaran Islam dan bahasa Arab suatu saat akan kembali
tersebar di Eropa. Hal ini sebagaimana pernah terjadi sejak abad ke-8 sampai dengan abad ke-15 saat kekhalifahan umat Islam berpusat di Andalusia (kini menjadi wilayah negara Spanyol dan Portugis). Bahkan selain bahasa Arab memasyarakat, saat itu umat Yahudi, Kristen, dan Islam dapat hidup dengan damai. Keadaan ini sebagaimana ditulis ilmuwan Jerman, Annemarie Schimmel dalam buku “Islam und westliche Annäherungen”. Dalam buku tersebut Schimmel mengatakan: “Was wollten wir ohne “arabischen” Zahlen tun? Medizin und Naturwissenschaften waren im Mittelalter eine Domäne der Muslime...und Spanien erlebte jahrhundertelang das triedliche und fruchtbare Zusammenleben der drei “abrahamitischen Religionen, des Judentums, des Christentums und des Islams”. Apa yang dikemukakan Schimmel dipertajam oleh Maria Rosa Menocal dalam buku “Sepotong Surga di Andalusia” (buku terjemahan yang telah diterbitkan oleh Mizan). Pada halaman 77, Guru Besar Bahasa Spanyol dan Portugis Yale University Amerika tersebut mengutip pernyataan Paul Alvarus, tokoh Kristen Andalusia pada pertengahan abad ke-9 yang mengatakan: “Orangorang Kristen sangat senang membaca berbagai syair dan roman Arab. Mereka mempelajari para teolog dan filosof Arab, bukan untuk menolak pemikirannya, melainkan untuk mengetahui tata bahasa Arab yang benar dan indah. Adakah rakyat jelata yang masih mau membaca tafsir-tafsir kitab suci berbahasa Latin atau mempelajari Injil, kisah-kisah nabi dan rasul? Celaka! Semua pemuda Kristen yang berbakat membaca
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
60
Renungan dan mempelajari buku-buku Arab dengan begitu antusias. Mereka menghimpun perpustakaan-perpustakaan besar dengan biaya yang tak sedikit. Mereka sepelekan buku-buku Kristen dan menganggapnya tak layak dipelajari. Pemuda-pemuda Kristen telah lupa terhadap bahasa sendiri. Untuk setiap satu orang yang bisa berkorespondensi dalam bahasa Latin kepada temannya, terdapat seribu orang yang bisa menulis, menuangkan ide dan pemikiran mereka dengan bahasa Arab yang indah, dan bahkan menulis syair-syair Arab lebih baik dibandingkan orang-orang Arab sendiri”. Oleh karena itu, saya merasa bahagia dengan kedatangan H. Asadullah yang berkulit bule dan bermata biru namun beliau seorang Muslim dan bahkan fasih berbahasa Arab. Saya pun kemudian meyakini keadaan di Eropa sebagaimana yang terjadi pada abad ke-8 hingga ke15 akan berulang kembali, bahkan akan lebih dari itu (wallahu a’lam). Namun, saya juga merasa sedih bila melihat kondisi umat Islam dan madrasahmadrasah di Indonesia saat ini. Sebab, kuantitas dan kualitas pengajaran agama Islam dan bahasa Arab di madrasah-madrasah mengalami penurunan. Padahal, madrasah dulu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang sekian abad lamanya ikut memfasilitasi tersebarnya ajaran Islam dan bahasa Arab ke seluruh pelosok Nusantara. Maka, dalam benak saya pun pernah muncul pertanyaan: “Apakah ketika bahasa Arab sudah memasyarakat kembali di Eropa, namun di Nusantara yang memasyarakat adalah bahasa Inggris?”, “Apakah ketika bangsa Eropa sudah dapat memahami bahasa Al Quran, namun penduduk Nusantara
mengganggap firman Allah tersebut sebagai kitab yang asing?”. Semoga hal itu tidak terjadi. Amin Dengan demikian, madrasah mesti diperjuangkan agar dapat berperan kembali dalam membebaskan umat Islam dari buta hurup Arab yang dipakai dalam penulisan Al Quran, Hadits, dan berbagai kitab yang menjelaskan keduanya. Saya pun berharap madrasah dan para murid yang belajar di dalamnya serta para lulusannya memiliki martabat yang terhormat. Tidak seperti sekarang. Sebagian madrasah justru menjadi ’tempat buangan” bagi sebagian mereka yang tidak lulus masuk SDN, SMPN, dan SMAN. Hal ini mengakibatkan in put di sekolah-sekolah umum banyak yang berotak cerdas sedangkan di madrasahmadrasah banyak yang berotak “paspasan”. Keadaan ini diperparah dengan anggaran pendidikan untuk madrasah yang sangat jauh berbeda dengan sekolah umum. Kondisi dan kualitas lulusan sebagian besar madrasah tersebut sering kali dijadikan alat untuk menyudutkan Departemen Agama sebagai Departemen yang tidak mampu mengelola lembaga pendidikan di bawah naungannya. Pemantauan ke madrasah Pengenalan saya terhadap kondisi madrasah di Indonesia saat ini semakin bertambah. Hal ini setelah pada minggu kedua November 2006 yang lalu, saya dan rekan satu tim mendapatkan tugas pemantauan ke Sulawesi Tenggara. Salah satu madrasah yang harus dipantau berdasarkan surat tugas tersebut adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Wawosuggu yang terletak di pulau
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
61
Renungan terpencil. Sebagaimana namanya, madrasah ini terletak di pulau Wawosunggu yang berjarak sekitar 75 km dari kota Kendari. Untuk sampai ke pulau tersebut harus menyebrangi selat sepanjang kurang lebih 1 km dengan menggunakan perahu. Aparat Kandepag Kota Konawe Selatan memberitahu kami, sebelumnya belum pernah ada aparat dari Departemen Agama Pusat di Jakarta yang berkunjung ke madrasah tersebut. Mereka juga memberitahu agar keberangkatan dilakukan di pagi hari dan kepulangannya jangan melewati jam 11 siang bila ingin melintasi selat ini. Sebab, jika lewat dari jam tersebut laut mulai pasang dan angin pun semakin banyak. Saya dan rekan-rekan memberanikan diri untuk menaiki perahu yang digunakan untuk melintasi selat dan diantar oleh Kabag TU Kandepag Konawe Selatan dan mantan Kepala MIN Wawosunggu. Sekitar jam 9 pagi, kami tiba di MIN Wawosunggu. Kepala Madrasah dan para guru pun menyambut kedatangan kami dengan suasana penuh keakraban. Terlebih lagi, Kepala Madrasah aslinya dari pulau Jawa. Ia berasal dari Ciamis yang ikut bertransmigrasi ke Sulawesi Tenggara dengan orang tuanya sejak usia 7 tahun. Selain berkunjung ke MIN Wawosunggu, saya dan rekan-rekan juga berkesempatan mengunjungi Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Ilmi yang berlokasi di belakang MIN tersebut. Kondisi bangunan MTs ini sangat memprihatinkan meskipun tidak separah kondisi ruangan kelas MTs Daar El Qolam, Gintung, Balaraja, Tangerang-Banten, tempat saya dulu belajar sebagaimana telah dijelaskan di atas. Keprihatinan terhadap MTs Nurul Ilmi ini semakin saya
rasakan setelah guru madrasah tersebut mengatakan di pulau itu akan didirikan SMPN yang mungkin akan mengurangi murid bahkan akan membuat sekolah tersebut bubar. Di samping merasa prihatin setelah melihat kondisi madrasah tersebut, saya dan rekan satu tim juga merasa cemas dan berharap agar kepulangan kami tidak melewati jam 11 siang. Namun, karena banyak berbagai hal yang ditanyakan, akhirnya kepulangan kami dari pulau Wawosunggu dapat dilakukan pada jam 12 kurang seperempat. Kami pun pulang dan diantar kembali oleh Kabag TU Kandepag Konawe Selatan dan mantan Kepala MIN Wawosunggu. Setelah perahu yang kami naiki mulai jalan, tidak lama kemudian muncul angin dan air laut mulai beranjak pasang. Perahu pun terombang-ambing oleh ombak hingga salah satu sisinya hampir rata dengan air laut dan percikannya tumpah ke dalam perahu. Meskipun demikian, perahu dapat terus meluncur hingga sampai ke pantai dengan selamat. Setelah selamat dalam perjalanan pulang ini, saya terkenang perjuangan para ulama dari Arab dulu yang melintasi ribuan kilo meter lautan samudera untuk sampai ke Nusantara dalam menyebarkan ajaran Islam. Saya pun menyadari, betapa beratnya perjuangan mereka yang mempertaruhkan harta, tahta dan bahkan nyawa. Namun, perjuangan mereka tidak sia-sia karena mayoritas penduduk penduduk Nusantara akhirnya memeluk agama Islam. Selain itu, sekian abad lamanya penduduk di Nusantara juga familiar dengan huruf dan bahasa Arab meskipun wilayah ini letaknya sangat jauh dari Arab.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
62
Renungan “Dulu adalah kenangan, sekarang adalah kenyataan, dan esok adalah harapan”. Ungkapan ini muncul dalam benak saya setelah menempuh salah satu episode kehidupan yang telah dijalani tersebut. Oleh karena itu, saya dan juga kaum Muslimin lainnya yang sedang berpijak dalam kenyataan sekarang tentu dituntut untuk berjalan menuju hari esok yang penuh harapan, termasuk di dalamnya harapan kembalinya madrasah pada fungsi dan prestasi yang telah diraihnya dulu hingga kembali bermartabat di tengah-tengah masyarakat. Di tengah-tengah perjalan menuju harapan tersebut, dua minggu kemudian (minggu ke-4 November 2006) saya dan rekan satu tim yang lain kembali mendapat tugas pemantauan ke madrasah-madrasah yang berada di Kota Payakumbuh Sumatera Barat. Harapan tentang kembalinya madrasah seperti dulu mulai saya rasakan setelah berkunjung ke beberapa madrasah di kota ini. Dari penuturan para kepala madrasah, diketahui bahwa hasrat masyarakat di sana untuk belajar di madrasah lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum. Bahkan, ada SDN yang bubar dan pindah tempat
karena minat masyarakat setempat lebih memilih anak-anaknya untuk disekolahkan ke Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN). Demikian juga halnya dengan MTsN Payakumbuh yang dalam beberapa tahun belakangan ini diminati sekitar 900 calon siswa dari daya tampungnya yang hanya untuk 200 siswa. Hal tersebut juga dialami Madrasah Aliyah Negeri (MAN) nya. Dengan demikian, madrasahmadrasah ini merupakan pilihan utama dan bukan “tempat buangan” bagi mereka yang memiliki nilai UN yang rendah di bawah standar yang ditentukan untuk memasuki SMPN atau SMAN. Bahkan, para orang tua siswa dan siswi yang bersekolah di madrasah-madrasah tersebut ada yang bekerja sebagai kepada Sekolah SMPN, SMAN, dan pada instansi yang menaungi kedua sekolah ini. Semoga Andalus (Spanyol) dan Andalas (Sumatera) yang pernah menjadi pintu tersebarnya ajaran Islam di Eropa dan Nusantara dapat mengulangi dan bahkan melebihi masa kejayaannya dulu hingga ajaran yang berisi rahmat bagi semesta alam ini tidak hanya terasa oleh umat Islam, juga oleh umat yang lain dan bahkan oleh makhluk-makhluk hidup lainnya. Amin.
Suasana Ruang Kelas MTs Nurul Ilmi, Wawosunggu, Konawe Selatan Sulawesi Tenggara, dengan dinding masih terbuat dari kayu yang cukup memperhatinkan.
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
63
Relaksasi Pabrik Es Meskipun hanya lulusan Sekolah Dasar (SD), Kardi memberanikan diri mengikuti pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Ia merasa percaya diri mengikuti Pilkades karena salah seorang anaknya baru saja memperoleh gelar sarjana. Oleh karena itu, ia mempercayakan kepada anaknya untuk menjadi ketua tim sukses kampanyenya. Usaha Kardi tidak sia-sia karena ia terpilih sebagai Kepala Desa setelah mendapatkan suara terbanyak. Baru beberapa bulan menjabat, desa yang ia pimpin mendapat kunjungan dari Bupati yang disertai aparatur lainnya. Kardi yang tidak biasa berbicara di depan umum menyuruh anaknya untuk membuatkan naskah pidato. Ia pun mengatakan agar anaknya berdiri di belakangnya sebagai ajudan selama ia memberikan sambutan. Kardi juga menyuruh anaknya agar membisikkan halhal yang perlu diperbaiki bila ia melakukan kesalahan dalam membacakan naskah pidatonya. Di awal pembacaan naskah pidato tersebut, Kardi langsung gugup sehingga ia membaca, “Bapak... Butipa...” Anaknya yang berdiri di belakang langsung membisikkan telinganya, “Bupati Pak!” Kardi langsung memperbaiki ucapannya, “...eh... Bapak Bupati...”. Karena semakin gugup, naskah yang dibacanya langsung loncat ke alinea alinea terakhir pada halaman pertama. Kardi membaca, “pembangunan di desa kami semakin maju, terutama setelah ada pabrik tektil”. Karena pengucapan hurup “x” pada kata tersebut tidak diucapkan “ks”, anaknya langsung berbisik, “Pak, kurang “s”! Kardi yang semakin gugup menjadi bingung karena tidak memahami maksud anaknya. Dengan pandangan tidak tertuju ke
naskah, ia pun langsung mengucapkan, “ada pabrik tektil....dan ada juga pabrik es”. Bupati dan para aparatnya langsung menertawakan tingkah Kardi yang semakin gugup. Kardi yang sudah tidak bisa menenangkan diri, tubuhnya semakin gemeteran hingga akhirnya ia jatuh pingsan (Tan Panama). Menyukai “Sepanyol” Ketika tengah berjalan-jalan di mal, Bedul bertemu dengan temannya sewaktu sekolah di SMP. Bedul pun masih ingat, temannya ini sering mencuri barang milik orang lain. Akibatnya, ia sering terkena hukuman dari kepala sekolah. Kenang Bedul dalam benaknya. Namun, Bedul kini berprasangka baik, temannya sudah tidak memiliki kebiasaan seperti dulu. Oleh karena itu, Bedul pun menyapanya dengan hangat. “Hai kamu sekarang di mana? Tanya Bedul. “Aku sekarang masih kuliah di Unpalul”. Jawab sang teman. “Singkatan dari apa itu Unpalul?” Lanjut Bedul. “Universitas Pasti Lulus...he...he...Timpal temannya sambil nyengir. Kamu ngambil apa?” tanya Bedul lagi. “Tergantung dapatnya apa”, kata temannya. Bedul bingung. “Maksudmu?” ujarnya. “Kalau lagi untung, dapat banyak. Tapi kalau lagi apes ya kosong. Misalnya kemarin aku Cuma bisa ngambil bolpoin teman, yang nggak berharga. Ngomong-ngomong, kamu mau pesan barang apa? Ujar temannya. Bedul kemudian menimpalinya. “Ah kamu ternyata nggak ada perubahan, masih suka “sepanyol””. Temannya bingung terhadap yang dikatannya dan bertanya, “apa hubungannya aku dengan “sepanyol”?. Bedul pun menjawab dengan ketus. “sepanyol itu artinya separuh nyolong, sebagaimana kebiasaanmu dari dulu”. (Tan Panama)
Fokus Pengaw asan, Nomor 12 Tahun III Triwulan IV 2006 Pengawasan,
64