PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK
SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana
Yolanda Kayadoe NIM : 312012052
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA Mei 2016
MOTTO
Kerjakan bagianku dengan setia dan Ia akan mengerjakan bagianNya Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur (Filipi 4:6) Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya (Matius 21:22)
KATA PENGANTAR
Dalam penelitian hukum ini Penulis menguraikan ada 2 (dua) isu hukum yakni diversi yang diatur dalam UU SPPA tidak memberikan diskresi bagi aparat penegak hukum. Tidak adanya diskresi yang diberikan bagi aparat penegak hukum, maka anak yang menjadi pelaku tindak pidana akan diproses ke dalam sistem peradilan pidana anak. Isu hukum yang kedua adalah dalam kesepakatan diversi “harus” mendapatkan persetujuan korban. Frase harus disini lebih memberikan kewenangan yang besar bagi korban sehingga hal ini dirasa dapat memberatkan pelaku ketika korban tidak setuju dengan kesepakatan diversi maka pelaku anak dapat melanjutkan ke proses selanjutnya dan bisa saja diproses ke dalam sistem peradilan pidana anak. Sehingga kedua isu hukum ini tidak akan sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak. Sehingga thesis dari isu hukum ini adalah bahwa seharusnya UU SPPA yang mengatur diversi mencerminkan adanya diskresi
berdasarkan
perspektif
kepentingan
terbaik
bagi
anak.
Untuk
menguraikan thesis ini, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Kepentingan terbaik anak tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi HakHak Anak yang telah diratifikasi pada Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child yang berbunyi: “dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan oleh lembagalembaga kesejahteraan sosial, Pemerintah atau badan-badan legislatif, kepentingan terbaik dari anak-anak harus menjadi pertimbangan utama.” implikasi dari adanya keputusan yang dibuat oleh Pemerintah, Legislator maupun badan-badan yang menangani perkara anak berdasarkan kepentingan terbaik anak hendaknya memastikan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan jaminan bahwa anak tidak terputus hubungan dengan orang tua, anak tetap mendapatkan pendidikannya, anak memperoleh kehidupan yang memadai untuk tumbuh dan berkembang, tidak adanya ancaman kekerasan, tidak menimbulkan stigma negatif yang dapat mengganggu pertumbuhannya.
Diversi hanya dilakukan untuk subyek yang adalah anak, tindak pidana yang dilakukan dengan ancaman pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun serta bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Pemberian diversi kepada anak perlu memperhatikan usia dan kategori tindak pidana. Untuk usia berkaitan dengan pertanggungjawaban sehingga dalam UU SPPA merumuskan usia minimum pertanggungjawaban seorang anak adalah 12 (dua belas) tahun sedangkan untuk kategori tindak pidana terbagi menjadi 2 (dua) yakni kategori tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana dengan adanya korban. Untuk kategori tindak pidana tanpa korban ini hanya diberikan diskresi bagi Penyidik yang tertuang dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU SPPA sedangkan bagi Penuntut Umum dan Hakim tidak diberikan diskresi. Mengacu pada Pasal 139 KUHAP yang memberikan kewenangan menuntut atau tidak menuntut pada Penuntut Umum. Kewenangan menuntut ini didasarkan pada 2 (dua) aspek. Aspek pertama yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana dan batal demi hukum yang tertuang dalam Pasal 140 KUHAP. Aspek kedua adalah menerapkan asas oportunitas namun asas oportunitas hanya dimiliki oleh Jaksa Agung yang tertuang dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Penuntut Umum yang mempunyai tindakan diskresi diatur dalam Article 19 Guidelines on the Role of the Prosecutors khususnya dalam menangani perkara-perkara anak. Selanjutnya diskresi pada Hakim yakni bahwa Hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum yang diberikan kewenangan atau kebebasan untuk memutus suatu perkara berdasarkan penilaiannya yang bersifat obyektif serta bebas dari pengaruh dalam maupun luar. Diskresi yang diatur dalalm UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kehakiman maupun dalam KUHAP ini lebih bersifat umum, sedangkan dalam UU SPPA tidak diatur diskresi. Penulis berpendapat bahwa seharusnya UU SPPA juga mengatur diversi dikarenakan UU SPPA ini merupakan peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Ini merupakan peraturan yang bersifat khusus dikarenakan anak merupakan golongan yang rentan terhadap suatu situasi yang dapat mempengaruhi tumbuh dan kembangnya sehingga anak dapat melakukan suatu tindak pidana di luar kehendaknya. Dengan berlakunya asas lex specialis derogat legi generali yakni hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang
bersifat umum. Sehingga dengan adanya asas ini memberikan manfaat bagi aparat penegak hukum yang menerapkan UU SPPA untuk memberikan diskresinya tanpa harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Dampak dari penggunaan diskresi oleh aparat penegak hukum terhadap anak bahwa anak tidak akan masuk ke dalam sistem peradilan. Untuk kategorti tindak pidana dengan adanya korban diselesaikan melalui pendekatan restorative justice yang menekankan pemulihan dan bersama-sama mencari penyelesaian. Pada kategori tindak pidana ini, diskresi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum relatif lebih kecil dikarenakan penyelesaian restorative justice menekankan secara bersama-sama penyelesaiannya. Kewenangan aparat penegak hukum sebagai aparatur yang menerapkan Undang-Undang. Secara spesifik kewenangan tersebut berupa memberikan keputusan secara proporsional terhadap pengekangan penggunaan sanksi-sanksi, kerugian yang ditimbulkan dengan tindak pidana yang telah dilakukan. Sehingga dalam kesepakatan diversi, pelaku dan korban memiliki kepentingan yang adil. Sekalipun nanti proses diversi maupun restorative justice tidak berhasil dan anak harus menjalani proses peradilan maka seharusnya keputusan Hakim dapat mencerminkan kepentingan terbaik bagi anak. Sehingga makna kepentingan terbaik bagi anak dapat terwujud dengan semestinya bahwa anak dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana merupakan hak asasi manusia yang perlu untuk dilindungi karena anak merupakan manusia yang bermartabat.
Salatiga, 12 Mei 2016
Yolanda Kayadoe
ABSTRAK
Diversi merupakan upaya untuk penanganan anak yang berhadapan dengan hukum berdasarkan perspektif kepentingan terbaik anak. Diversi diatur pada The Beijing Rules dan UU SPPA. Perbedaan kedua peraturan ini adalah adanya diskresi yang diberikan kepada aparat penegak hukum dalam The Beijing Rules, sedangkan dalam UU SPPA tidak adanya diskresi tersebut. Diskresi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum dapat ditemukan pada UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kehakiman maupun KUHAP. Hanya saja dalam peraturan perundangundangan tersebut lebih bersifat umum, sedangkan untuk penanganan anak yang berhadapan dengan hukum lebih bersifat khusus karena anak merupakan golongan yang rentan terhadap suatu situasi tertentu. Oleh sebab itu dengan adanya pemberian diskresi bagi aparat penegak hukum dalam UU SPPA maka berlaku asas lex specialis derogat legi generali yang artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingan hukum yang bersifat umum. Sehingga anak yang berhadapan dengan hukum tidak harus diproses ke dalam sistem peradilan pidana anak yang akan menggangu tumbuh kembangnya. Kata Kunci : Diversi, kepentingan terbaik anak, diskresi.
DAFTAR ISI
Ucapan Terima Kasih ............................................................................
i
Kata Pengantar ......................................................................................
iv
Daftar Peraturan ....................................................................................
vii
Abstrak ..................................................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ......................................................................
1
B.
Rumusan Masalah .................................................................
7
C.
Tujuan Penelitian ..................................................................
8
D.
Manfaat Penelitian ................................................................
8
E.
Metode Penelitian ..................................................................
8
BAB II
KEPENTINGAN JUSTICE,
TERBAIK
DIVERSI
DAN
ANAK,
RESTORATIVE
HUBUNGAN
ANTARA
DIVERSI DENGAN DISKRESI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA A.
Kepentingan Terbaik Anak ...................................................
10
B.
Kebijakan Penal dan Non Penal ............................................
13
C.
Restorative Justice .................................................................
15
D.
Diversi 1. Sejarah dan Pengertian Diversi ........................................
22
2. Sumber- Sumber Pengertian Diversi a. The Beijing Rules 1) Latar Belakang ........................................................
24
2) Prinsip-Prinsip Sistem Peradilan Pidana Anak .......
26
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1) Latar Belakang ........................................................
27
2) Prinsip-Prinsip Sistem Peradilan Pidana Anak .......
28
3. Pengaturan Diversi a. The Beijing Rules
1) Pengertian dan Tujuan Diversi ................................
29
2) Subyek Diversi ........................................................
29
3) Syarat Diversi .........................................................
31
4) Pihak-Pihak yang Melakukan Diversi .....................
31
5) Prosedur Diversi .....................................................
31
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1) Pengertian dan Tujuan Diversi ................................
32
2) Subyek Diversi ........................................................
32
3) Syarat Diversi .........................................................
35
4) Pihak-Pihak yang Melakukan Diversi .....................
35
5) Prosedur Diversi
E.
i.
Tingkat Penyidikan ...........................................
36
ii.
Tingkat Penuntutan ..........................................
36
iii. Tingkat Pengadilan ...........................................
37
Hubungan Antara Diversi dan Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana
BAB III
1. Istilah dan Pengertian Diskresi .........................................
38
2. Hubungan Antara Diversi Dengan Diskresi .....................
40
3. Pengaturan Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana ...
41
a. Tingkat Kepolisian ......................................................
42
b. Tingkat Kejaksaan .......................................................
47
c. Tingkat Kehakiman .....................................................
51
PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR
11
TAHUN
2012
TENTANG
SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK A.
Hubungan The Beijing Rules dengan UU SPPA ....................
54
B.
Kelemahan UU SPPA dan Pengaturan Diversi yang Ideal ....
57
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ..............................................................................
62
B. Saran ........................................................................................
63