PENGARUH TERPASAN KEBISINGAN DAN PROSES PRODUKSI TERHADAP DAYA DENGAR PADA PEKERJA Dian Eko Adi Prasetio, ST., MT 1, Ir. Herlina KN, MT 2
[email protected],
[email protected] Program Studi Teknik Industri Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam As-Syafi’iyah
ABSTRAK PT. Armindo CaturPratama adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang steel structure, dimana saat ini perusahaan yang terbesar di wilayah Gunung Putri Kabupaten Bogor, dalam kategori untuk pengolahan baja lembaran/batangan menjadi sebuah produk. Namun dibalik kesuksesan sebuah perusahaan akan berdambak terhadap pekerja maupun lingkungan perusahaan jika tidak dikendalikan dengan baik dan benar. Tujuan penelitian ini adalah untuk memastikan apakah alur proses sesuai aturan atau pedoman yang ada, kemudian berapa besar kontribusi paparan kebisingan yang di timbulkan dari proses produksi pengepresan baja, serta berapa besar keefektifan sistem yang terapkan untuk dijalankan secara continue untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang dapat merugikan perusahaan maupun pekerja. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yang tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif di unit produksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan cukup untuk mengantisipasi resiko permasalahan akibat kebisingan. Kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, bahwa manajemen PT. Armindo CaturPratama untuk meningkatkan kesadaran pekerja kemudian menggunakan alat pelindung telinga, serta meningkatkan pengawasan dan pelaksanaan program SMK3 dengan serius kemudian mengendalikan kebisingan di unit produksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan dapat mengantisipasi terjadinya resiko Penyakit Akibat Kerja (PAK). Kata Kunci: SMK3 Alat Kendali/ Proteksi Bahaya Sejak Awal
I. PENDAHULUAN Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 51/MEN/1999 yang menetapkan nilai ambang batas kebisingan selama 8 jam kerja adalah 85dB. Kebisingan diatas 85dB tidak hanya menimbulkan keluhan pada pendengaran, tetapi menurut penelitian yang pernah dilakukan kebisingan juga bisa menimbulkan meningkatnya tekanan darah, gangguan
tidur, kelainan pencernaan, meningkatnya emosi dan berbagai kelainan yang diakibatkan oleh stres karena kebisingan. PT Armindo CaturPratama terdapat mesin yang menimbulkan suara yang menganggu bagi pekerja. PT Armindo CaturPratama sebagai perusahaan konstruksi baja penghasil tower transmisi, pemancar, monopole, baja bergelombang dan hot dip 1
galvanize yang berpotensi cukup besar untuk mempunyai paparan bising dalam setiap proses produksinya yaitu Cutting, Corrugated & Punching, Curving dan Hot Dip Galvanize. Pada setiap aktifitas proses produksi tersebut terdapat mesin-mesin yang menimbulkan suara bising. Pada manusia kebisingan dapat menimbulkan gangguan pada sistem pendengaran dan pencernaan, stres, sakit kepala, peningkatan tekanan darah serta dapat menurunkan prestasi kerja (Suma’mur,1996). Untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang timbul akibat kebisingan serta pengendalian tingkat kebisingan yang ada, pemerintah telah membuat UU RI No.4 tahun 1982 dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.718/Menkes/Per/XI tahun 1987 yang berisikan aturan kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan (Suharyanto, 1994). Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terpajan kebisingan dari proses produksi terhadap daya dengar pada tenaga kerja di PT Armindo CaturPratama. II. Kajian Teori Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Kepmenaker No 51. tahun 1999). Tambunan (2005) dalam bukunya yang berjudul Kebisingan Di Tempat Kerja menuliskan bahwa dalam bahasa Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) telah mendefinisikan status suara/kondisi kerja dimana suara berubah menjadi polutan secara lebih jelas, yaitu: Suara-suara dengan tingkat kebisingan lebih besar dari 104 dB. Kondisi kerja yang mengakibatkan seorang karyawan harus menghadapi
tingkat kebisingan lebih besar dari 85 dB selama lebih dari 8 jam. Menurut Cholidah, 2006, intensitas kebisingan yang tinggi dan melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) mempunyai efek yang merugikan kepada tenaga kerja meliputi : a. Gangguan Komunikasi Kebisingan dapat menggangu percakapan baik jika dilakukan dengan tatap muka ataupun via telepon karena kebisingan yang terjadi akan mempengaruhi komunikasi yang sedang berlangsung. Risiko potensial terhadap pendengaran terjadi apabila komunikasi pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan komunikasi menyebabkan terganggunya pekerjaan bahkan mungkin terjadi kelelahan,terutama pada peristiwa penggunaan tenaga baru (Suma’mur P. K, 1996:65). b. Gangguan Tidur Kebisingan bisa menyebabkan gangguan dalam bentuk perubahan tahap tidur. Gangguan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain motivasi bangun, kenyaringan, lama kebisingan, fluktuasi kebisingan dan umur manusia (Dwi P. Sasongko, 2000:19). c. Gangguan Psikologis Kebisingan bisa menimbulkan gangguan psikologis seperti kejengkelan, kecemasan dan ketakutan. Tergantung pada intensitas, frekuensi, perioda kebisingan, saat dan lamanya kejadian, kompleksitas spektrum/kegaduhan dan ketidakteraturan kebisingan (Dwi P. Sasongko, 2000:20).
d. Gangguan Produktifitas Kerja Kebisingan dapat menimbulkan gangguan terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan seseorang melalui gangguan psikologis dan gangguan konsentrasi sehingga menurunkan produktifitas kerja (Dwi P. Sasongko, 2000:20). 2
e. Gangguan Mental Emosional Gangguan ini berupa terganggunya kenyamanan hidup, mudah marah dan menjadi lebih peka atau mudah tersinggung (Dwi P. Sasongko, 2000:20). f. Gangguan Kesehatan Kebisingan Kebisingan berpotensi untuk mengganggu kesehatan manusia apabila manusia terpapar aras suara dalam suatu periode yang lama dan terus menerus. (Dwi P. Sasongko, 2000:20). g. Gangguan Fisiologi Kebisingan Kebisingan dapat menimbulkan gangguan terhadap sistim jantung dan peredaran darah melalui mekanisme hormonal yaitu diproduksinya hormone adrenalin, dapat meningkatkan frekuensi detak jantung dan tekanan darah. Kejadian ini termasuk gangguan kardiovaskuler (Dwi P. Sasongko, 2000:21). Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas seseorang yang bekerja di tempat kerja yang bising dan faktor-faktor tersebut adalah: 1. Frekuensi kebisingan, nada tinggi adalah lebih menggangu daripada nada rendah. 2. Jenis kebisingan, kebisingan terputus-putus (intermitten noise) adalah lebih menganggu daripada kebisingan kontinu. 3. Sifat pekerjaan, pekerjaan yang rumit atau kompleks lebih banyak terganggu daripada pekerjaan yang sederhana (simple work ). 4. Variasi kebisingan, makin sedikit variasinya makin sedikit juga gangguannya. 5. Sikap individu. 6. Faktor adaptasi (Siswanto, 1989). Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan telah direkomendasikan menurut ACGIH dan ISO (International Standart Organization) sebesar 85 dB (A)
sedangkan menurut OSHA (Occupational Safety and Health Assosiation) sebesar 90 dB(A) untuk waktu kerja 8 jam sehari dan 40 jam seminggu ( Susanto, 2006). Ketentuan NAB kebisingan di Indonesia diatur dalam KepMenaker No.Kep.51/Men/1999 tentang NAB Faktor Fisik di tempat kerja yang menetapkan NAB 85 dB(A) untuk waktu kerja 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
III. Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif. Metode penelitian deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang, (Notoadiatmojo, 2005). Metode cross sectional ini seperti yang disebutkan oleh Husein Umar (2007:45) adalah sebagai berikut : “Metode cross sectional adalah metode penelitian dengan cara mempelajari objek dalam satu kurun waktu tertentu (tidak berkesinambungan dalam waktu panjang)”. Tingkat kebisingan diukur dengan Sound Level Meter (SLM). Dengan prosedur pengukuran sebagai berikut : a. Periksa output baterai dengan menswicth on swicth test baterai, jarum harus dihubungkan dengan skala meter yang benar. Posisi swicth test ini berbeda untuk instrumen dengan instrumen lainnya tetapi umumnya berkaitan dengan swicth on/off dan selalu dibari tanda dengan jelas. b. Swicth on istrumen dan panaskan hingga dua menit. c. Kalibrasi instrumen sebagai berikut : lepaskan penutup mikropon, tempatkan kalibrator pada mikropon dan set skala pada dB(A) dan pada rentanan yang benar untuk uotput 3
kalibrator. Jika instrumen memiliki swicth respons cepat dan lambat, maka setlah kebagian yang cepat. Aktifkan kalibrator dan amati bacaan pada meter. Jika tidak mampu membaca dengan cepat, aturlah tampilan layar sedemikian dengan memutar sekrup kalibrasi menggunakan obeng kecil. d. Untuk mengukur paparan kebisingan, lepaskan tutup mikropon, aktifkan switch pada respon yang tepat dan tempatkan instrumen sejauh lengan dari tubuh dengan tetap menjaganya satu meter diatas lantai. Jika paparan pekerja telah diukur, tempatkan mikropon lebih dekat ke telinga pekerja tetapi dengan mengarah pada sumber dan catat bacaan pada setiap sisi. Jika mengalami fluktuasi yang terlalu besar untuk mendapatkan nilai yang dapat dibaca, maka switchlah ke respon yang lebih lambat dan bacalah sekali lagi. e. Jika para pekerja berada pada mesin yang bising, maka sangatlah bermanfaat untuk mendapatkan kebisingan latar belakang, sehingga ulangi point 4 diatas dengan mematikan mesin. IV. Hasil Penelitian PT. Armindo CaturPratama merupakan industri manufaktur yang memproduksi tower transmisi, pemancar, monopole, baja bergelombang dan hot dip galvanize dan berlokasi di Jl. Raya Gunung Putri KM 8 Cibinong Bogor 16961. Kondisi lingkungan kerja perusahaan sebagian besar menimbulkan intensitas bising yang tinggi, melebihi nilai ambang batas 85 dB sehingga risiko tenaga kerja akan gangguan pendengaran sangat besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh terpajan bising yang meliputi intensitas bising, frekuensi kebisingan, masa kerja, alat pelindung diri, dan umur terhadap daya dengar pada pekerja di PT Armindo CaturPratama.
Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dibatasi berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk mendapatkan sampel dengan karakteristik yang sama. Hal ini dilakukan guna mengendalikan variabel-variabel pengganggu dalam penelitian. Tenaga kerja yang diambil sebagai sampel adalah tenaga kerja bagian proses produksi yang memiliki fungsi pendengaran normal pada saat pemeriksaan kesehatan di awal bekerja, berusia 20-39 tahun dengan masa kerja minimal 5 tahun,sehingga didapatkan jumlah sampel yang memenuhi kriteria adalah 30 pekerja. a. Intensitas Bising Hasil pengukuran intesintas bising di bagian proses produksi di PT Armindo CaturPratama pada 4 lokasi yaitu di bagian Cutting, Corrugated & Punching, Curving dan Hot Dip Galvanizing didapatkan hasil bahwa intensitas bising sudah melebihi nilai ambang batas intensitas bising yang diperkenankan di Indonesia, sebagaimana Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 51/MEN/1999 tentang NAB untuk iklim kerja dan kebisingan di tempat kerja yaitu tidak melebihi 85 dB (A) untuk 8 jam kerja perhari atau 40 jam perminggu. Nilai intensitas bising yang diperoleh dari 4 lokasi tesebut diatas yang diukur berkisar diantara 86 – 90 dB. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 30 pekerja yang bekerja di lingkungan kerja dengan intesitas bising diatas NAB dengan distribusi frekuensi 0 (0%) pekerja yang bekerja pada intensitas bising 86 dB, 10 (33,33%) pekerja yang bekerja pada intensitas bising 87 dB, 1 (3,33%) pekerja yang bekerja pada intensitas bising 88 dB, dan 19 (63,33%) pekerja yang bekerja pada intensitas bising 90 dB. Berdasarkan teori kebisingan, intensitas bising yang melebihi NAB dapat menyebabkan dampak yang bersifat auditory (yang berhubungan dengan organ telinga) dan non-auditory (yang tidak berhubungan dengan organ telinga). 4
National Occupational Safety and Health Commission (2001) menyatakan bahwa kebisingan yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pendengaran berupa penurunan daya dengar dan juga menimbulkan stress dan penyakit jantung. Menurut Tarwaka (2004) bahwa pengaruh pemajanan intensitas bising tinggi (di atas NAB) menyebabkan terjadinya kerusakan pada indera pendengaran atau penurunan daya dengar baik bersifat sementara maupun permanen. b. Frekuensi Bising Distribusi frekuensi 30 pekerja yang menjadi objek penelitian berdasarkan tingkat frekuensi kebisingan lingkungan kerja adalah 0 (0%) pekerja yang bekerja pada frekuensi bising 1000Hz, 8 (26,67%) pekerja yang bekerja pada frekuensi bising 2000Hz, 7 (23,33%) pekerja yang bekerja pada frekuensi bising 4000Hz, dan 15 (50%) pekerja yang bekerja pada frekuensi bising 6000Hz. Nada dari kebisingan ditentukan oleh frekuensi-frekuensi yang ada (Suma’mur, 1996). Frekuensi bunyi yang dapat didengar telinga manusia terletak antara 16 hingga 20.000 Hz. Frekuensi bicara terdapat pada rentang 250-4000 Hz. Bunyi frekuensi tinggi adalah yang paling berbahaya (Suyono, 1995). Kebisingan dengan frekuensi diatas 1000 Hz lebih mengganggu daripada frekuensi rendah yang dapat mengganggu kecermatan, dan ketelitian kerja seseorang daripada terhadap kuantitas kerja (Siswanto, 1991). c. Masa Kerja Distribusi fekuensi masa kerja dari 30 pekerja yang bekerja di lingkungan kerja dengan intesitas bising diatas 85 dB adalah 12 (40%) pekerja yang memiliki masa kerja berkisar antara 0-5 tahun, 10 (33,33%) pekerja yang memiliki masa kerja berkisar antara 6-10 tahun, 8 (26,67%) pekerja yang memiliki masa kerja berkisar antara 11-15 tahun.
Masa kerja tenaga kerja menunjukkan lamanya bekerja di perusahaan, makin tinggi masa kerja makin tinggi pula risiko untuk mengalami gangguan pendengaran. Menurut WHO dalam buku “Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja” menyebutkan bahwa risiko kerusakan pendengaran pada tingkat kebisingan ≤ 75 dB untuk paparan selama 8 jam per hari dapat diabaikan. Bahkan pada tingkat paparan sampai 80 dB tidak ada peningkatan subyek dengan gangguan pendengaran. Akan tetapi pada 85 dB ada kemungkinan bahwa setelah 5 tahun bekerja, 1% pekerja memperlihatkan sedikit (minor) mengalami gangguan pendengaran, setelah 10 tahun kerja 3% mengalami kehilangan pendengaran dan setelah 15 tahun meningkat menjadi 5%. Pada tingkat bising 90 dB berturut-turut 4% (5 tahun), 10% (10 tahun) dan 14% (15 tahun). Sedangkan pada tingkat kebisingan 95 dB berturut-turut menjadi 7% (5 tahun), 17% (10 tahun) dan 24% (15 tahun) (Wijaya, 1997). d. Alat Pelindung Diri Distribusi fekuensi penggunaan alat pelindung diri dari 30 pekerja yang bekerja di lingkungan kerja dengan intesitas bising diatas 85 dB adalah 27 (90%) pekerja yang menggunakan alat pelindung diri pada saat sedang bekerja dan 3 (10%) pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung diri pada saat sedang bekerja. Alat pelindung telinga berfungsi sebagai penghalang (barier) antara sumber bising dengan telinga bagian dalam, juga melindungi telinga dari ketulian akibat bising. Dalam menentukan jenis alat pelindung telinga yang dipakai, perlu dipertimbangkan berbagai faktor seperti jenis alat pelindung yang dipakai, bahan dan cara pemakaiannya, kemampuan alat untuk melindungi telinga, intensitas kebisingan, kenyamanan, harga dan sebagainya (Budiono, dkk, 2003). Alat pelindung diri merupakan alat yang digunakan untuk mengurangi tingkat 5
intensitas yang diterima oleh telinga tenaga kerja, sehingga akan mengurangi tingkat kerusakan telinga (penurunan daya dengar). Perusahaan sudah menyediakan Alat pelindung diri berupa ear plug, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pekerja tidak menggunakan ear plug yang telah disediakan perusahaan. Alasan tidak memakai alat pelindung telinga bervariasi yaitu dari pihak tenaga kerja menyatakan bahwa pekerja tidak nyaman menggunakan ear plug pada saat sedang bekerja, tidak ada sanksi dari pihak manajemen perusahaan jika tidak menggunakan ear plug, dan tidak tahu dampak kebisingan terhadap telinga. Secara umum bisa disimpulkan bahwa pemakaian APD ditunjang oleh pengawasan dari pihak manajemen perusahaan, pengetahuan dan kesadaran tenaga kerja akan dampak yang ditimbulkan oleh kebisingan. e. Umur Distribusi frekuensi umur dari 35 pekerja yang bekerja di lingkungan kerja dengan intesitas bising diatas 85 dB berdasarkan Tabel 5.1 adalah 10 (33,33%) pekerja yang berumur antara 20-29 tahun, dan 20 (66,67%) pekerja yang berumur antara 3039 tahun. Umur adalah usia tenaga kerja mulai dari lahir sampai saat pengambilan sampel. Berdasarkan kondisi alamiah manusia makin bertambah umur akan makin menurun nilai ambang dengarnya, yang disebut presbiakusis (presbyacusis) yaitu penurunan daya dengar alamiah secara gradual akibat bertambahnya umur seseorang. Sensitivitas pendengaran seseorang akan turun mulai usia 40 tahun (Bashiruddin, 2008). Oleh karena itu, pekerja dipilih menjadi objek penelitian berusia dibawah 40 tahun. Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji regresi linear ganda
diperoleh angka R sebesar 0,815a baik untuk telinga kiri maupun telinga kanan yang berarti bahwa pengaruh antara variabel terpajan kebisingan terhadap penurunan daya dengar pekerja adalah kuat. Santoso (2000) menyatakan bahwa hubungan variabel dikatakan kuat jika nilai R yang diperoleh diatas 0,5. Pengaruh Terpajan Kebisingan terhadap Daya Dengar Telinga Kiri Angka R Square dari uji regresi sebesar 0,665 (66,5%) dengan demikian dapat dijelaskan bahwa variabel terpajan kebisingan dapat menyebabkan penurunan daya dengar (ketulian) telinga kiri sebesar 66,5% sedangkan 33,5% lagi dijelaskan (dipengaruhi) oleh faktor atau variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Pengaruh Terpajan Kebisingan Terhadap Daya Dengar Telinga Kanan Angka R Square dari uji regresi sebesar 0,664 (66,4%) dengan demikian dapat dijelaskan bahwa variabel terpajan kebisingan dapat menyebabkan penurunan daya dengar (ketulian) telinga kanan sebesar 66,4% sedangkan 33,6% lagi dijelaskan (dipengaruhi) oleh faktor atau variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. V. Kesimpulan Hasil pengukuran audiometri ambang dengar pekerja menunjukkan penurunan daya dengar telinga kiri sebanyak 13 pekerja : 30 sampel x 100% = (43,33%) dengan kategori tuli ringan, 2 pekerja : 30 sampel x 100% = (6,67%) dengan kategori tuli sedang dan 1 pekerja : 30 sampel x 100% = (3,33%) dengan kategori tuli berat. Sementara untuk jumlah pekerja yang mengalami penurunan daya dengar telinga kanan sebanyak 11 pekerja : 30 sampel x 100% = (36,67%) dengan kategori tuli ringan, 4 pekerja : 30 sampel x 100% = (13,33%) dengan kategori tuli sedang dan 1 pekerja : 30 sampel x 100% = (3,33%) dengan kategori tuli berat.
6
Penelitian ini menunjukan terdapat hubungan yang bermakna antara variabel alat pelindung diri (APD) dan intensitas bising terhadap penurunan daya dengar telinga kiri pada pekerja bagian produksi PT. Armindo CaturPratama. Sementara itu, untuk daya dengar telinga kanan hanya variabel alat pelindung diri (APD) saja yang mempunyai pengaruh bermakna terhadap penurunan daya dengar telinga kanan pada pekerja bagian produksi PT. Armindo CaturPratama. Pada penelitian ini ditemukan bahwa variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap terjadinya penurunan daya dengar telinga kanan adalah umur. Dan hal ini dapat juga mempengaruhi produktifitas kerja, sehingga perusahaan lambat laun akan mendapatkan imbas dari penurunan daya dengar para pekerja.
Irma, I dan Intan A. 2013. Penyakit Gigi, Mulut, dan THT. Yogyakarta: Nuha Medika. Mulia R. M. 2005. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Purnomo, H. 2003. Pengantar Teknik Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu. Riyanto. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Soepardi E.A., Iskandar N., Bashiruddin J., Restuti R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta: FK UI. Tarwaka, Solichul HA. Bakri, Lilik Sudiajeng. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA PRESS.
VI. DAFTAR PUSTAKA Admin. 2009. PG. POERWODADIE. Di unduh: 21 April 2013. http://www.ptpn-11.com/pgpoerwodadie.html Anizar. 2009. Teknik Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu. Deo, Marselina. 2012. Pengaruh Intensitas Kebisingan terhadap Gangguan Fungsi Pendengaran pada Tenaga Kerja Bagian Weaving di PT.ISKANDAR INDAH PRINTING TEXTILE SURAKARTA. (Skripsi).Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Harrianto, R. 2008. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Iriani, Muslichah. 2009. Pengaruh Paparan Bising terhadap Gangguan Pendengaran pada Pekerja di PT. GE LIGHTING INDONESIA YOGYAKARTA. (Skripsi). Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7