PROGRAM PERLINDUNGAN PENDENGARAN PEKERJA TERHADAP KEBISINGAN HALINDA SARI LUBIS Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Bising umumnya didefinsikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki . (1,2,3,4,5,6) Bunyi adalah sensasi yang timbul dalam telinga akibat getaran udara atau media lain. Bunyi dapat juga ditangkap melalui kontak langsung sedang bergetar. Telinga manusia mampu menangkap bunyi dalam batas 16 – 20.000 Hz. Gangguan pendengaran dapat terjadi pada manusia diakibatkan oleh bising yang umumnya mengacu pada tingkat pendengaran dimana individu tersebut mengalami kesulitan untuk melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami pembicaraan. (5) Pencegahan dari kehilangan pendengaran akibat bising merupakan tanggung jawab pekerja dan pimpinan perusahaan bersama-sama. Kebisingan lingkungan industri maupun non industri sebagai kontrol terhadap terjadinya Noise Induced Hearing Loss (NIHL)dilakukan terutama melalui pencegahan dengan menitik beratkan pada penurunan pemcetus bising, penurunan pajanan level bising atau merupakan gabungan keduanya. (1) Tidak ada pengobatan yang dapat memperbaiki perubahan memetap pada telinga bagian dalam ( kerusakan pendengaran sensorik ) yang diakibatkan pajanan bising berlebihan. Pada masa kini, dengan dorongan dan arahan pemerintah banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi bising yang berlebihan dan melindungi pendengaran pekerja dari ketulian .(2) Metode yang paling efektif untuk mngontrol bising adalah mengurangi kebisingan dengan menghasilkan disain mesin yang baik, yang merupakan tanggu jawab pabrik Dalam setiap instansi kerja dapat melakukan modifikasi, misalnya perubahan bentuk stiur, pemasangan saringan atau memberikan bahan tambahan sebagai penyaring kebisingan. Syarat- syarat dasar upaya perlindungan pendengaran adalah sederhan yaitu pajanan kebisingan diketahui dan diawasi, dan idealnya setiap pendengaran pekerja dinilai sebelum dipekerjakan dan diperiksa secara berkala.(7) Menentukan level pajanan yang akan menimbulkan efek pada individu tidak dapat dilakukan hanya dengan membuat suatu rentang batasan yang pasti dengan mengambil nilai rata-rata karena kekurang pendengaran bersifat individual. (7) Prosedur praktis yang perlu dilakukan dalam upaya perlindungan pendengaran yaitu : 1. penentuan pajanan kebisingan sebagai suatu sarat fisik 2. penilaian pajanan sebagai risiko terhadap pendengaran 3. membatasi pajanan bila ditemukan kebisingan 4. pengukuran pendengaran sebelum dan selama bekerja pada pekerjaan bising.
2002 digitized by USU digital library
1
Pekerjaan yang melibatkan pajanan terhadap bising Dalam industri, peningkatan mekanisme mengakibatkan meningkatnya tingakt bising. Pekerjaan yang terutama membawa risiko kehilangan pendengaran antara lain : penambangan, pembuatan terowongan, penggalian (peledakan, pengeboran), mesin-mesin berat ( pencetakan besi, proses penempaan, dll), pekerjaan mengemudikan mesin dengan mesin pembakaran yang kuat ( truk, kenderaan konstruksi, dll), pekerjaan mesin tekstil dan uji coba mesin-mesin jet. (1,5) Pada umumnya gangguan pendengaran yang disebabkan bising timbul setelah bertahun-tahun pajanan. Kecepatan kemunduran tergantung pada tingkat bising, komponen impulsif dan lamanya pajanan, serta juga pada kepekaan individual yang sifat-sifatnya tetap tidak diketahui. Beberapa kondisi patologis lain ikut berperan pada gangguan pendengaran seperti intoksikasi, trauma, dan pada usia 55 tahun ke atas, juga presbiakusis. Pengaruh telinga tengah pada kerentanan terhadap bising masih diperdebatkan , dengan pengecualian stadium labirintitis yang cukup lanjut. (5) Nilai standar kebisingan (1,2,3,4,5,6,7) Banyak penelitian kebisingan yang dilakukan sebagai suatu kriteria risiko kerusakan pendengaran dari pajanan kebisingan pada manusia. Meskipun belum pasti nilai perubahan ambang pendengaran yang merupakan awal dari kehilangan atau kurangnya pendengaran tetap dilakukan sebagai patokan upaya pendekatan melindungi pendengaran pekerja, dengan perkataan lain tidak ada korelasi yang pasti antara risiko ketulian dan pergeseran ambang pendengaran . Telah lama digunakan batasan pajanan antara 85 dB dan 90 dB selama 8 jam setiap hari kerja sebagai kriteria yang dapat ditolerir. OSHA mengusulkan batas pajanan yang diperkenankan adalah 90 dB, sedangkan Environmental Protection Agency (EPA) mengusulkan pengurangan pada 85 dB. Kriteria EPA ini lebih memperhatikan efek kebisingan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia tetapi kurang mempertimbangkan kemampuan ekonomi industri. OSHA enggan mengikuti kriteria yang dikeluarkan EPA, sesuai dengan kenyataan hanya 2 % dari populasi yang berisiko menjadi NIHL pada nilai di bawah 90 dB (standar). Sekarang, menurut OSHA program perlindungan pendengaran disesuaikan dengan Time Weighted Average (TWA) batasan 85 dB jika pajanan terhadap faktor risiko lebih dari 8 jam periode kerja dalam sehari. Sebagai tambahan, pekerja harus diberi alat-alat perlindungan pendengaran bila : 1. pekerja-pekerja terpajan selama 8 jam TWA pada 90 dB 2. pekerja yang berpengalaman pada batas ambang 10 dB atau lebih dari batas dasar audiogram pada frekuensi 2.000, 3.000, dan 4.000 Hz; jika terpajan 8 jam TWA atau 85 dB. Program upaya perlindungan pendengaran Telah diterima secara luas, bahwa kebisingan mempunyai efek merugikan kepada daya kerja. Pengaruh-pengaruh negatif yang ditimbulkannya yaitu : 2002 digitized by USU digital library
2
a. Gangguan Menurut perbatasan, kebisingan adalah suara-suara yang tidak dikehendaki, maka dari itu kebisingan sering-sering mengganggu, walaupun terdapat variasi di antara penerangan dalam besarnya gangguan atas jenis dan kekerasan suatu kebisingan. Pada umumnya, kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, lebih-lebih yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba dan tak terduga. Pengaruhnya sangat terasa apabila sumber kebisingan tersebut tidak diketahui. b. Komunikasi dengan pembicaraan Sebagai pegangan, risiko potensiil kepada pendengaran terjadi, apabila komunikasi pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan terutama pada peristiwa penggunaan tenaga baru. c. Kriteria kantor Kebutuhan pembicaraan, baik langsung ataupun melalui telefon, adalah sangat penting di kantor dan ruang sidang, dalam hal ini telah ditemukan bahwa Tingkat Gangguan Pembicaraan (T.G.P ) saja tidak selalu memadai sebagai pedoman untuk menentukan tepat tidaknya tingkat kegaduhan. Harus diperhatikan pula faktor tingkat kekerasan dari frekuensi –frekuensi yang kuat untuk penentuan T. G. P. d. Efek pada pekerjaan Kebisingan mengganggu perhatian yang terus menerus dicurahkan. Maka dari itu, tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap satu proses produksi atau hasil dapat membuat membuat kesalahan-kesalahan, akibat dari terganggunya konsentrasi. Ada tenaga kerja yang sangat peka terhadap kebisingan, terutama pada nada tinggi, salah satu sebabnya mungkin reaksi psikologis. Juga kebisingan berakibat meningkatnya kelelahan. Pada pekerjaan yang lebih banyak memikir, kebisingan sebaiknya ditekan serendah-rendahnya. e. Reaksi masyarakat Pengaruhnya akan besar, apabila kebisingan akibat suatu proses produksi demikian hebatnya, sehingga masyarakat sekitar protes agar kegiatan tersebut dihentikan. Intensitas kebisingan dari perusahaan ke masyarakat harus ditinjau dari berbagai faktor, yaitu perbandingan kebisingan akibat perusahaan terhadap kebisingan yang semula ada di masyarakat bersangkutan, dengan penyesuaian – penyesuaian atas dasar jenis instalasi penyebab kebisingan, keadaan masyarakat (kota atau desa), waktunya terjadi kebisingan (siang atau malam), dan musimnya. Hal-hal yang efektif dilakukan pada program perlindungan pendengaran meliputi : survei kebisingan, upaya mengurangi pajanan kebisingan melalui kontrol kebisingan melalui kontrol kebisingan (kontrol pada sumbernya/mesin) atau kontrol administrasi dan perlindungan pendengaran perorangan bila tidak pengawasan tersebut tidak cukup untuk mengurangi pajanan, pemeriksaan kesehatan termasuk uji PTA, pendidikan dan penyuluhan pekerja, dan pemeliharaan catatan yang tepat. 1. Survei kebisingan Program perlindungan pendengaran sebaiknya dimulai dengan survei dasar kebisingan. Survei awal kebisingan diidentifikasi pada daerah lingkungan kerja 2002 digitized by USU digital library
3
dengan pekerja yang terpapar kebisingan. Survei ini hendaknya dapat memberikan informasi bila problem kebisingan muncul dan besarnya masalah, dan untuk menentukan daerah yang memerlukan survei kebisingan lebih rinci. Informasi yang diperoleh selama survei dapat memberikan informasi pekerja yang terpajan di atas action level dan permissible exposure levels (PELs). Batasan-batasan terhadap gangguan pendengaran telah disebutkan sebelumnya. 2. Pengawasan mesin Pengawasan kebisingan melalui pengawasan mesin yang paling penting sebagai ukuran pengawasan dalam program perlindungan pendengaran. Pengurangan kebisingan pada sumbernya (mesin) dapat dilakukan, misalnya dengan menempatkan peredam pada sumber getaran, tetapi umumnya hal itu dilakukan dengan penelitian dan perencanaan mesin baru. Hal ini sangat tergantung pada permintaan para usahawan sebagai pembeli mesin kepada pabrik pembuatnya dengan mengajukan persyaratan kebisingan dari mesin sebelumnya. Bukan saja tingkat bahaya yang diperhatikan, tapi juga intensitas yang dapat diterima sebagai tidak mengganggu daya kerja dan nikmat kerja. Pengalaman menekankan bahwa modifikasi mesin atau bangunan untuk maksud pengurangan kebisingan adalah sangat mahal dan kurang efektif, maka dari perencanaan sejak semula adalah paling utama. Penempatan jalan penghalang pada jalan transmisi juga dapat dilakukan dengan isolasi tenaga kerja atau mesin sebagai upaya mengurangi kebisingan. Dalam perencanaan ini harus sempurna dan bahan-bahan yang digunakan harus mampu menyerap suara. Bahan –bahan penutup harus dibuat cukup berat dan lapisan dalam terbuat dari bahan yang menyerap sinar, agar tidak terjadi getaran yang lebih hebat. 3. Pengawasan administrasi Jika pengawasan mesin-mesi tidak mungkin , pengawasan administrasi dapat ditambahkan untuk mengurangi pajanan pekerja secara individual. Waktu pajanan yang diperkenankan tergantung permissible exposure level atau dosis sehari. Jika level pajanan berubah dalam sehari, dosis kebisingan sehari dikalkulasi untuk memastikan dosis kebisingan sehari tidak lebih dari yang telah diperkenankan. Pengawasan adminintrasi dapat dilaksanakan melalui penggantian pekerja pada daerah kebisingan tinggi dengan daerah yang kebisingannya rendah sesudah periode waktu tertentu yang dilalui. Ini dapat juga meliputi penjadualan waktu pelaksanaan sehingga meminimalisasi pajanan pekerja terhadap bats kebisingan yang tinggi.(2,3,6,) 4. Proteksi dengan sumbat atau tutup telinga. Tutup telinga biasanya lebih efektif dari penyumbat telinga. Alat demikian harus diseleksi, sehingga dipilih yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Sumbat telinga plastik yang terkadang tidak mudah diterima pemakai, dan sumbat telinga dari lilin, dapat mengurangi tingkat kebisingan antara 8 – 30 dB. Pelindung telinga tipe gumpalan kapas dan headphone lebih efektif (pengurangan 20 – 40 dB).(5) Pada umumnya alat-alat ini dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 20 - 25 dB. (4) Harus diusahakan perbaikan komunikasi, sebagai akibat pemakaian alat-alat ini. Problematik utama pemakaian alat proteksi pendengaran adalah mendidik tenaga kerja, agar kontinu menggunakannya.
2002 digitized by USU digital library
4
Setiap sumbat telinga selalu menyebabkan pemakainya merasakan adanya suatu benda asing dalam telinganya. Perasaan demikian akan tetap ada, walaupun sekarang dapat diusahakan sumbat telinga yang halus dan tak begitu terasa. Maka dari itu, sumbat telinga baru dipakai bila : 1. sumbat telinga benar-benar diperlukan, yaitu adanya kebisingan lebih dari 100 dB 2. tenaga kerja dapat membiasakan diri untuk memakainya, yang biasanya dicoba dalam 3 – 4 minggu. Adalah menyulitkan bila kebisingan tidak kontinu, karena si pemakai selalu mencabut dan memakainya kembali menurut keperluan. Dalam hal demikian, tenaga kerja jarang menjadi biasa untuk menggunakannya. 5. Program uji audiometri Audiometri bukan pengganti pada pengawasan terhadap kebisingan. Meskipun audiometri merupakan program dasar, periodik dan akhir dalam pemempatan tenaga kerja dalam upaya perlindungan pendengaran. Diagnosa NIHL dibuat jika pajanan kebisingan telah ditentukan dan penyebab lain ketulian telah dileluarkan. Kriteria NIHL umumnya termasuk penyakit akibat kerja yang akan mendapat kompensasi, nilai kompensasi bervariasi tergantung dari keterbatasan pajanan. 6. Pemeliharaan catatan Pencatatan sebaiknya memberi informasi pajanan dan status pendengaran yang penting dalam upaya pemantauan dan aspek medikolegal. 7. Pendidikan dan latihan Bising merupakan suatu masalah lama pada negara-negara industri dan pekerja sadar berisiko terhadap pendengaran. Hal ini tidak demikian pada negara yang berkembang. Pengetahuan pekerja terhadap kerusakan pendengaran yang dapat terjadi akibat bising merupakan petunjuk keberhasilan program perlindungan pendengaran. 8.
Program uji audiometri Audiometri bukan pengganti pada pengawasan terhadap kebisingan. Meskipun audiometri merupakan program dasar, periodik dan akhir dalam pemempatan tenaga kerja dalam upaya perlindungan pendengaran. Diagnosa NIHL dibuat jika pajanan kebisingan telah ditentukan dan penyebab lain ketulian telah dileluarkan. Kriteria NIHL umumnya termasuk penyakit akibat kerja yang akan mendapat kompensasi, nilai kompensasi bervariasi tergantung dari keterbatasan pajanan. 9. Pemeliharaan catatan Pencatatan sebaiknya memberi informasi pajanan dan status pendengaran yang penting dalam upaya pemantauan dan aspek medikolegal. 10. Pendidikan dan latihan Bising merupakan suatu masalah lama pada negara-negara industri dan pekerja sadar berisiko terhadap pendengaran. Hal ini tidak demikian pada negara yang berkembang. Pengetahuan pekerja terhadap kerusakan pendengaran yang dapat terjadi akibat bising merupakan petunjuk keberhasilan program perlindungan pendengaran.
2002 digitized by USU digital library
5
DAFTAR PUSTAKA 1. B.S.Levy, D.H. Wegman. Occupational Health Recognizing ang Preventing Work – Related Disease . Third Ed. USA. 1995 : 321 2. C. Zens, O.B. Dickerson, E.P. Horvath. Occupational Medicine. Third Ed. Mosby. USA. 1994 : 258 3. J. Jeyaratnam, David Koh. Textbook of Occupational Medicine Practise. World Scientific. Singapore. 1996 : 272 4. Suma’mur P.K. Higine Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Gunung Agung. Jakarta. 1986 : 57 5. WHO. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. EGC. 1986 : 169 6. Joseph La Dou. Occupational Medicine. Prentice Hall International Inc. USA. 1990 : 95 7. William Burns. Noice and Man. Second Ed. London. 1973 : 252
2002 digitized by USU digital library
6