Tinjauan Pustaka
Program Konservasi Pendengaran pada Pekerja yang Terpajan Bising Industri
Jenny Bashiruddin Departemen Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Program Konservasi Pendengaran (PKP) adalah rangkaian kegiatan sistematis, yang bertujuan untuk mencegah gangguan pendengaran pada pekerja terpajan kebisingan tinggi dalam lingkungan industri. Nilai ambang batas yang diperkenankan secara Internasional oleh Ocupational Safety Health Ascosiation (OSHA) adalah 85 dB untuk lama pajanan 8 jam perhari atau 40 jam perminggu. Elemen PKP antara lain tinjauan awal daerah industri, evaluasi kebisingan, pengendalian administrasi dan rekayasa engineering, evaluasi audiometri, alat pelindung telinga, komunikasi, edukasi dan informasi serta pencatatan, pelaporan dan evaluasi. Gangguan pendengaran akibat pajanan bising noise induced hearing loss/NIHL sering dijumpai pada pekerja industri di negara maju maupun berkembang, terutama negara industri yang belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik di Indonesia masih banyak di jumpai masalah NIHL. Bising lingkungan kerja dapat berdampak buruk terhadap pekerja dengan risiko gangguan pendengaran akibat bising sekitar 30%. PKP belum dapat dilaksanakan dengan baik, karena keterbatasan kemampuan para petugas kesehatan kerja, sehingga masih banyak pekerja terpajan bising yang mengalami NIHL. Kata kunci: program konservasi pendengaran, gangguan pendengaran akibat bising.
14
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 1, Januari 2009
Program Konservasi Pendengaran pada Pekerja yang Terpajan Bising Industri
Hearing Conservation Program on Workers Exposed to Industrial Noise Jenny Bashiruddin Departemen Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstract: Hearing conservation program (HCP), is a method of preventing noise induced hearing loss (NIHL) in the occupational environment. The threshold safety limit value (TLV) which has been internationally used by Ocupational Safety Health Ascosiation (OSHA) is 85 dB in 8 working hours a day or 40 working hours in week. An effective HCP element included monitoring hearing hazard, engineering and administrative controls, periodic audiometric evaluation, hearing protection devices, worker educations and motivation, record keeping and program evaluation is important. Indonesia still facing NIHL problem. Hearing loss at the workplace is still the main occupational disease occured until now. The workers suffer from hearing disturbances are about 30%. NIHL is the common occupational illnesses and represents the majority of hearing loss cases in the workplace. In Indonesia because of many limitation, HCP is not yet well implemented. Difficulties in diagnosis NIHL as occupational diseases, others exposes out of job, others diseases that cause Hearing disturbances, less audiogram as base line data, undisciplined using PPE are some limitation that occure. Key words: occupational, hearing loss, hearing conservation program
Pendahuluan Sound Hearing 2030 adalah program yang bertujuan menurunkan angka gangguan pendengaran sebesar 50% pada tahun 2015, dan 90% pada tahun 2030 melalui pengembangan sistem pemeliharaan kesehatan berkelanjutan. Departemen Kesehatan telah menyusun Renstranas Penanggulangan Gangguan Pendengaran (PGP) dan Ketulian dengan prioritas: empat penyebab gangguan pendengaran yaitu tuli kongenital, otitis media kronis supuratif (OMSK), gangguan pendengaran akibat bising (NIHL) dan presbiakusis. Konservasi pendengaran adalah program yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan atau kehilangan pendengaran tenaga kerja akibat kebisingan di tempat kerja. Menurut American Occupational Medical Association (AOMA) salah satu fungsi penting dokter kesehatan kerja adalah melakukan pengamatan tentang kondisi lingkungan kerja diantaranya intensitas kebisingan, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam mengenal dan melakukan evaluasi tingkat kebisingan dalam lingkungan kerja, serta mengkombinasikan dengan data klinis berupa hasil pemeriksaan audiometrik. Salah satu tujuan program konservasi pendengaran adalah mengetahui status kesehatan pendengaran tenaga kerja yang terpajan bising berdasarkan data.
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 1, Januari 2009
Peraturan Perundangan Peraturan Perundangan terkait Program Konservasi Pendengaran (PKP) terdiri atas beberapa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kepres dan peraturan tingkat menteri UU No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, terutama pasal 9, yang menyatakan bahwa pemilik industri wajib memberikan penerangan kepada pekerja yang menyangkut bahaya di tempat kerja dan cara pengendalian yang dilakukan oleh perusahaan. UU no 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja mewajibkan perusahaan memiliki sistem manajemen K3 (SMK3) terkait dengan sistem manajemen perusahaan. UU no 3 tahun 1992 tentang Jamsostek menetapkan ketulian akibat kerja sebagai penyakit yang diberikan kompensasi berupa uang. Kepres no 22 tahun 1993 tentang penyakit akibat hubungan kerja dan ketulian akibat kerja termasuk di dalamnya. Kepmenaker no 2 tahun 1980 yang mengatur pemeriksaan kesehatan bagi karyawan. Kepmenaker no 3 tahun 1992 tentang pelayanan kesehatan kerja di perusahaan. Kepmenaker no 51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor fisik dalam lingkungan kerja, termasuk di dalamnya kebisingan. Selain mengacu pada Peraturan Perundangan, industri yang maju dapat pula mengacu pada beberapa praktik terbaik program konservasi pendengaran yang diberikan oleh beberapa lembaga seperti United State National Institute Occupational Safety Health (US NIOSH), United State Oc-
15
Program Konservasi Pendengaran pada Pekerja yang Terpajan Bising Industri cupational Safety Health Assosiation (US OSHA).1 Bising Beberapa ahli mendefinisikan bising secara subyektif sebagai bunyi yang tidak diinginkan, tidak disukai, dan mengganggu. Secara obyektif bising terdiri atas getaran bunyi kompleks yang terdiri atas berbagai frekuensi dan amplitudo, baik yang getarannya bersifat periodik maupun nonperiodik.1 Bising mencakup efek fisiologik dan psikologik. Secara fisik bising merupakan gabungan berbagai macam bunyi dengan berbagai frekuensi yang sebagian besar hampir tidak mempunyai periodisitas. Meskipun demikian komponen bising dapat diukur serta dianalisis secara khusus. Secara fisiologik, akustik dan elektronik bising adalah sinyal yang kadang-kadang tidak mempunyai arti atau tidak berguna dengan intensitas yang berubah secara acak setiap saat. Bising mempunyai satuan frekuensi atau jumlah getar per detik yang dituliskan dalam Hertz, dan satuan intensitas yang dinyatakan dalam desibel (dB). Berkaitan dengan pengaruhnya terhadap manusia, bising mempunyai satuan waktu atau lama pajanan yang dinyatakan dalam jam perhari atau jam per minggu. Di lingkungan industri, bising dapat berupa bising kontinu berspektrum luas dan menetap (steady wide band noise) dengan batas amplitudo kurang lebih 5 dB untuk periode waktu 0,5 detik. Contohnya suara mesin, suara kipas angin dll. Bising kontinu dapat juga berspektrum sempit dan menetap (steady narrow band noise) misalnya bunyi gergaji sirkuler, bunyi katup gas dan lain-lain. Bising terputusputus (intermitten noise) yaitu bising yang tidak berlangsung terus-menerus melainkan ada periode relatif berkurang, contohnya bunyi pesawat terbang dan bunyi kendaraan yang lalu lintas di jalan. Bising karena pukulan kurang dari 0,1 detik (impact noise) atau bunyi pukulan berulang (repeated impact noise). Bising dapat juga berasal dari ledakan tunggal (explosive noise). Bising jenis itu memiliki perubahan tekanan bunyi melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh bunyi ledakan, ialah tembakan senapan atau meriam. Jenis bising lain adalah ledakan berulang (repeated explosive noise), contohnya mesin tempa di perusahaan. Bising dapat terdengar datar atau berfluktuasi.2 Bahaya Bising Kemajuan dalam bidang teknologi sejak tiga dekade terakhir ini menyebabkan peningkatan bahaya bising baik dalam jumlah, intensitas, kecepatan dan jumlah orang yang terpajan bising, terutama di negara industri dan negara maju. Beberapa sumber bising yang menjadi penyebab polusi adalah gemuruh mesin produksi pada beberapa pabrik, desing mesin jet, gemuruh mesin turbin pada beberapa kapal laut, letusan senjata genggam dan senjata panggul, bising dari alat bantu kerja seperti mesin pemotong rumput, bising alat pemecah beton atau aspal, bising alat penghisap debu elektrik sampai pada bising kendaraan alat angkutan atau 16
transportasi dengan sistem gas buang dan suspensi yang buruk. Sumber bising tidak hanya berasal dari lingkungan kerja saja akan tetapi dapat juga dari bidang hiburan, olah raga, rekreasi, bahkan lingkungan pemukiman dapat juga terkontaminasi oleh bising. Adenan 3 telah melakukan penelitian pada 43 orang penduduk yang bertempat tinggal di sekitar lebih kurang 500 meter dari ujung landasan bandara Polonia Medan, dengan lama hunian sekitar 5 tahun dan rentang usia 20-42 tahun. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan sebanyak 50% menderita tuli saraf akibat bising, pada penduduk dengan rata-rata lama tinggal 17 tahun waktu pajan rata-rata 22 jam/ hari. Pajanan bising pada sarana transportasi umum ditambah bising jalan raya mungkin merupakan salah satu penyebab cepat lelah, penurunan kewaspadaan dan dalam kurun waktu tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran pada pengemudinya. Keadaan tersebut bila dibiarkan, dapat menyebabkan kerugian materi, membahayakan bagi diri dan pengguna jalan lainnya. Pengaruh Bising pada Pekerja Bising berpengaruh terhadap tenaga kerja, sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan secara umum, antara lain gangguan pendengaran, fisiologi lain serta gangguan psikologi. Gangguan fisiologi dapat berupa peningkatan tekanan darah, percepatan denyut nadi, peningkatan metabolisme basal, vasokonstriksi pembuluh darah, penurunan peristaltik usus serta peningkatan ketegangan otot. Efek fisiologi tersebut disebabkan oleh peningkatan rangsang sistem saraf otonom. Keadaan itu sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap keadaan bahaya yang terjadi secara spontan. Gangguan psikologi dapat berupa stres tambahan apabila bunyi tersebut tidak diinginkan dan mengganggu, sehingga menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan melelahkan. Hal tersebut dapat menimbulkan gangguan sulit tidur, emosional, gangguan komunikasi dan gangguan konsentrasi yang secara tidak langsung dapat membahayakan keselamatan tenaga kerja. Pengaruh bising pada timbulnya gangguan pendengaran telah banyak diteliti. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap bahaya yang disebabkan oleh faktor bising, perlu dibuat kriteria risiko dengan tujuan menentukan tingkat bunyi maksimum yang diperkenankan selama periode waktu tertentu, yang bila tidak dilampaui hanya akan menimbulkan sedikit perubahan pendengaran pekerja yang terpajan bising pada jangka waktu yang lama. Beberapa faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian.2 Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising yang diterima Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 1, Januari 2009
Program Konservasi Pendengaran pada Pekerja yang Terpajan Bising Industri akan sebanding dengan kerusakan yang didapat.2 Gangguan Pendengaran akibat Bising Gangguan pendengaran akibat pajanan bising (NIHL) sering dijumpai pada pekerja industri di negara maju maupun negara berkembang, terutama negara industri yang belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dalam upaya meningkatkan pembangunan banyak menggunakan peralatan industri yang dapat membantu dan mempermudah pekerjaan. Akibatnya, timbul bising lingkungan kerja yang dapat berdampak buruk terhadap para pekerja. Menurut OSHA batas aman pajanan bising bergantung pada lama pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta kepekaan individu dan beberapa faktor lain. Di Indonesia khususnya dan negara lain umumnya, pajanan bising yang dianggap cukup aman adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas bising tidak melebihi 85 dB selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. WHO menetapkan bahwa bising lingkungan merupakan masalah penting sejak tahun 1970. Bising lingkungan tersebut tidak hanya bising di lingkungan luar tetapi juga bising yang timbul di dalam rumah seperti alat-alat rumah tangga misalnya alat penyedot debu. Gangguan pendengaran akibat bising adalah penyakit akibat kerja yang sering dijumpai di banyak pekerja industri, Gangguan pendengaran tersebut biasanya bilateral tetapi dapat juga unilateral. Gangguan biasanya mengenai nada tinggi dan terdapat takik di frekuensi 4000 Hz pada gambaran audiogramnya. Pada tahap awal gangguan itu hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan audiometri. Gejala awal biasanya adanya keluhan berdenging di telingnya. Gangguan pendengaran jenis sensorineural terjadi akibat kerusakan struktur di koklea yaitu kerusakan pada sel-sel rambut di organ korti. Gangguan pendengaran akibat bising dapat ringan sampai berat akibat pajanan bising yang berlangsung lama, yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel rambut yang juga terjadi bertahap, perlahan-lahan sehingga tidak disadari oleh para pekerja. Pada tahap yang berat dapat mengganggu komunikasi, sehingga mempengaruhi kehidupan sosialnya. Gangguan pendengaran akibat bising bersifat menetap dan tidak dapat disembuhkan, oleh karena itu pencegahan sangat penting.3-6 Diagnosis Gangguan Pendengaran akibat Bising Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, yaitu umur pekerja, riwayat gangguan pendengaran sebelumnya, gangguan pendengaran terjadi secara perlahan atau tibatiba, riwayat gangguan pendengaran pada keluarga, riwayat infeksi telinga dan gangguan lain, riwayat cedera kepala atau telinga, riwayat penggunaan obat-obat ototoksik, atau riwayat terpajan zat-zat toksik seprti toluen, benzen dan silen. Juga ditanyakan kegiatan yang bukan di tempat kerja misalnya hobi yang berhubungan dengan kebisingan yaitu, Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 1, Januari 2009
menembak, musik keras dan lain-lain. Anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu cukup lama, biasanya lima tahun atau lebih. Pemeriksaan fisik biasanya tidak dijumpai kelainan. Pada pemeriksaan THT dan otoskopik juga tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan audiologik didapatkan: 1. Pemeriksaan kualitatif dengan tes penala rutin (tes rinne, weber dan schwabach) mungkin didapatkan hasil rinne positip, weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan schwabach memendek, sesuai dengan ketulian jenis sensorineural. 2. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi 3000-6000 Hz dan pada frekuennsi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian tersebut. Pemeriksaan audiometri harus dilakukan dengan persiapan yang baik, bising latar belakang harus diperhatikan, pekerja yang akan diperiksa harus terhindar dari pajanan bising sebelum pemeriksaan dilakukan. Hal itu untuk menghindari peningkatan ambang dengar sementara temporary threshold shift /TTS.3-6 Program Konservasi Pendengaran Program Konservasi Pendengaran (PKP) merupakan program yang diterapkan di lingkungan tempat kerja untuk mencegah gangguan pendengaran akibat terpajan kebisingan pada pekerja 1,7-9 Program tersebut terdiri atas 7 komponen yaitu: 1. Identifikasi dan analisis sumber bising 2. Kontrol kebisingan dan kontrol administrasi 3. Tes audiometri berkala 4. Alat pelindung diri 5. Motivasi dan edukasi pekerja 6. Pencatatan dan pelaporan data 7. Evaluasi program Identifikasi dan analisis sumber bising biasanya dilakukan dengan alat sound level meter (SLM) yang dapat mengukur kebisingan secara sederhana. Octave band analyzer mengukur kebisingan secara lebih rinci pada tiap frekuensi, sehingga dapat dibuat peta kebisingan di setiap tempat kerja yang dicurigai terpajan bising. Tujuan survey kebisingan adalah untuk mengetahui adanya sumber bising yang melebihi nilai ambang batas (NAB) yang diperkenankan dan mengetahui apakah bising mengganggu komunikasi pekerja, atau perlu mengikuti PKP. Selain hal tersebut juga untuk menentukan apakah daerah tersebut memerlukan alat perlindungan pendengaran ,menilai kualitas bising utk pengendalian serta menilai apakah program pengendalian bising telah berjalan baik. Survei kebisingan meliputi survei area dan survei dosis pajanan harian dan enginering survey. Survey area yang dilakukan adalah melakukan pemantauan kebisingan lingkungan kerja, mengidentifikasi 17
Program Konservasi Pendengaran pada Pekerja yang Terpajan Bising Industri sumber bising di lingkungan kerja, sumber bising yang melebihi nilai ambang batas, menentukan perlunya pengukuran lebih lanjut (analisis frekuensi), serta membuat peta kebisingan (noise mapping). Survey dosis pajanan harian antara lain mengidentifikasi kelompok kerja yang memerlukan pemantauan dosis pajanan harian, menentukan pekerja yang perlu dipantau secara individual, menganalisis dosis pajanan harian dan menentukan pekerja yang memerlukan penilaian dengan Audiometri. Enginering Survey yaitu melakukan analisis frekuensi untuk pengendalian, mengetahui pola kebisingan utk pemeliharaan, modifikasi, rencana pembelian peralatan mesin berikutnya, menentukan area yang perlu alat pelindung pendengaran dan mengusulkan pengendalian yang diperlukan. Peralatan survey kebisingan adalah sound level meter, octave band analyzer, noise dosimeter, dan audiometer. Peralatan tersebut sebaiknya mudah dioperasikan, murah dan terjangkau serta mudah pemeliharaannya. SLM untuk mengukur besarnya tekanan bunyi atau intensitas bunyi, dilengkapi dengan mikrofon, amplifier, kalibrator. Octave band analizer adalah SLM dilengkapi alat yang dapat merinci frekuensi bunyi yang berbeda. Noise dosimeter adalah alat yang dapat mengukur intensitas bunyi yang diterima pekerja selama masa kerjanya yang berpindah-pindah, dapat dibuat cetakannya untuk mengetahui tingkat intensitas bising yang diterima pekerja tesebut. Data tersebut sangat berguna untuk upaya pengendalian selanjutnya. Pengukuran dosis pajanan harian adalah pencatatan terhadap kegiatan setiap pekerja yaitu besarnya intensitas yang diterima dan lamanya terpajan untuk mengetahui nilai ambang batas. Membuat peta kebisingan adalah dengan memberi warna di daerah yang digambar sesuai dengan intensitas kebisingannya yaitu: hijau <80 dBA, kuning 80-85 dBA, orange 85–88 dBA, merah muda 88-91dBA, merah 91-94 dBA, Merah tua >94 dBA. Pada program pencegahan gangguan pendengaran tersebut terdapat tiga hal yang dapat mengontrol gangguan pendengaran yaitu: 1. Kontrol kebisingan yang meliputi penggantian mesin yang tingkat bisingnya tinggi, melakukan isolasi sumber bising dengan menggunakan sound box, sound enclosure, pembatasan transmisi sumber bising (sound barrier: sound proof materials), atau disain akustik diperbaiki dengan penggunaan sound absorbent materials. 2. Kontrol administrasi dengan merotasi tempat kerja, pengaturan produksi dengan cara menghindari bising yang konstan, menggunakan kontrol dan monitor kebisingan, melaksanakan pelatihan dan sosialisasi PKP untuk menjelaskan fungsi pendengaran dan perlindungannya. 3. Penggunaan alat pelindung pendengaran yang dapat mengurangi jumlah energi akustik pada mekanisme 18
pendengaran. Terdapat tiga jenis alat pelindung pendengaran yaitu earplugs, earmuffs dan helmet. Tes Audiometri Pemeriksaan audiometri pada program pencegahan gangguan pendengaran akibat bising, sebaiknya mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Perlu dilakukan kalibrasi alat, kalibrasi sound proof room, persiapan pekerja yang diperiksa, pemeriksa yang terlatih. Audiometri adalah pemeriksaan pendengaran, menggunakan audiometer nada murni karena mudah diukur, mudah diterangkan dan mudah dikontrol. Dalam pemeriksaan ini, penting diketahui besaran apakah yang ditunjukkan oleh frekuensi dan intensitas. Pada tes audiometri tinggi rendahnya nada suatu bunyi disebut frekuensi dalam hertz (Hz), sedangkan keras lemahnya suatu bunyi disebut intensitas deciBell (dB). Terdapat tiga syarat untuk keabsahan pemeriksaan audiometric yaitu alat audiometer yang baik, lingkungan pemeriksaan yang tenang dan diperlukan keterampilan pemeriksa yang cukup handal. Syarat pemeriksaan audiometri. Orang yang diperiksa kooperatif, tidak sakit, mengerti instruksi, dapat mendengarkan bunyi di telinga, sebaiknya bebas pajanan bising sebelumnya minimal 12-14 jam, alat audiometer terkalibrasi. Pemeriksa mengerti cara penggunaannya, sabar dan telaten. Ruangan pemeriksaan sebaiknya memiliki kekedapan suara maksimal 40 dB SPL Pemeriksaan audiometri yang tepat bila dilakukan pada tingkat kebisingan latar belakang rendah. Pada umumnya makin rendah frekwensi yang diuji, makin lebih mungkin dipengaruhi oleh suara lingkungan. Pemeriksaan dilakukan di ruang kedap suara. Untuk menilai keabsahan hasil pemeriksaan audiometri, dinilai dari cara pemeriksaan audiometri yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang yang tidak terlatih dan belum berpengalaman. Untuk memperoleh hasil akurat untuk informasi klinik yang berguna, pemeriksa harus memiliki cukup pengetahuan yang memadai. Pada prosedur pemeriksaan audiometri nada murni, pemeriksa harus dapat memberikan instruksi dengan jelas dan mudah dimengerti, misalnya dengan menganjurkan mengangkat tangan/telunjuk bila mendengar bunyi nada atau mengatakan ada/tidak ada bunyi, atau dengan menekan tombol. Headphone dipasang pada orang yang akan diperiksa dengan benar, tepat dan nyaman. Pasien duduk di kursi, menghadap 300 dari pemeriksa sehingga tidak dapat melihat pemeriksaannya. Pemberian sinyal dilakukan selama 1-2 detik. Pemeriksa harus mengerti gambaran audiogram dan simbol-simbolnya, informasi yang terdapat dalam audiogram, memahami jenis-jenis ketulian, memahami bone conduction untuk menentukan jenis ketulian, serta mengerti prosedur rujukan dan peran teknisi audiometrik. Persyaratan penilaian audiogram anamnesis bising sebaiknya sudah lengkap, otoskopi harus sudah dilakukan sebelumnya, bila ada serumen harus sudah dibersihkan, melakukan evaluasi Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 1, Januari 2009
Program Konservasi Pendengaran pada Pekerja yang Terpajan Bising Industri keadaan membran timpani dan refleks cahaya. Alat audiometer sudah dikalibrasi dengan baik. Pemeriksaan audiometri sangat bermanfaat, berguna untuk pemeriksaan screening pendengaran, dan merupakan penunjang utama diagnostik fungsi pendengaran, Sebaiknya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan di lini terdepan. Komunikasi, Informasi, Motivasi dan Edukasi Komunikasi, informasi, motivasi dan edukasi sebaiknya diberikan tidak saja pada para pekerjanya tetapi juga pada pimpinan perusahaan. Tujuan motivasi dan edukasi adalah untuk memberi pengetahuan dan memotivasi agar program pencegahan gangguan pendengaran menjadi kebutuhan bukan paksaan, menyadari bahwa pemeliharaan dan pencegahan lebih penting daripada kompensasi. Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan hasil survey intensitas bising meliputi analisis frekuensi sumber bising, sketsa plotting hasil pengukuran, pembuatan garis countour bising, denah lingkungan kerja, sumber bising, lama pajanan, kelompok pekerjaan, dosis pajanan harian dan upaya pengendalian. Laporan survey sebaiknya mencakup abstrak untuk keperluan manajemen, pendahuluan berupa latar belakang, tujuan, waktu, tempat dan pelaksana survey, pelaksanaan survey berupa tata cara survey (kalibrasi, cara pengukuran, jenis tipe alat), hasil survey dan pembahasannya (tabel, grafik, skets pengukuran), kesimpulan dan saran serta lampiran. Kendala yang sering dijumpai pada PPGP antara lain sulitnya mendiagnosis NIHL sebagai PAK (penyakit akibat kerja), adanya pajanan di luar pekerjaan, penyakit lain yang mengganggu fungsi pendengaran, tidak ada data awal (base line data), keengganan menggunakan alat pelindung pendengaran, mesin dan desain sudah terlanjur tersedia. Keuntungan HLPP bagi pekerja dan pengusaha adalah mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat kerja, meningkatkan serta menjaga kualitas hidup pekerja. Dengan fungsi pendengaran yang tetap terjaga, pekerja dapat memberi dan menerima instruksi kerja, menggunakan telepon dan dapat mendeteksi suara mesin dan sinyal peringatan. Program tersebut dapat memberikan keuntungan berupa perlindungan kesehatan untuk pekerja karena gangguan pendengaran bukan akibat verja atau penyakit telinga yang potensial dapat dideteksi dan diobati lebih dini pada saat audiogram tahunan, sehingga dapat meningkatkan efektifitas kerja. Pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kecelakaan dan meningkatkan efisiensi kerja, seperti mengurangi stress dan kelelahan akibat terpajan kebisingan. Hubungan pengelola lebih baik, rotasi kerja pekerja lebih rendah sehingga perusahaan dapat memperhatikan lingkungan kerja, memelihara keselamatan dan kesehatan tempat kerja, serta menambah wibawa/martabat. Sebagai hasil keseluruhan adalah timbulnya kesan yang baik yang karena jumlah klaim
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 1, Januari 2009
berkurang, sehingga kompensasi pekerja tidak banyak secara otomatis dapat mengurangi premi asuransi, menjaga dan memelihara komunikasi interpersonal dengan keluarga dan teman. Keberhasilan Program Konservasi Pendengaran Indikator kesuksesan PPGP dapat diukur dengan beberapa parameter antara lain kepatuhan pelaksanaan program, tingkat kebisingan di lingkungan kerja, insidens dan prevalens kasus NIHL. Untuk mencapai keberhasilan program konservasi pendengaran, diperlukan: Pengetahuan tentang seluk beluk pemeriksaan audiometri, kemampuan dan ketrampilan pelaksana pemeriksaan audiometri, kondisi audiometer dan penilaian audiogram. Petugas pelaksana audiometri seharusnya mendapat pelatihan yang memadai dan bersertifikat. Sebaiknya dilakukan pengamatan kepada pelaksana pemeriksaan audiometri. Hasil audiogram dicatat dan ditindak lanjuti, apabila terdapat perubahan ambang pendengaran harus segera dicari penyebabnya. Kesimpulan Gangguan pendengaran akibat bising merupakan penyakit akibat kerja yang masih sering dijumpai. Program pencegahan gangguan pendengaran merupakan cara yang dapat mengurangi terjadinya gangguan pendengaran di tempat kerja. Sosialisasi program akan dapat meningkatkan kualitas hidup para pekerja di industri yang terpajan bising. Daftar Pustaka 1.
2. 3. 4.
5.
6.
7.
8.
9.
Program Konservasi Pendengaran. Petunjuk Praktis. Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2004. Bashiruddin J. Pengaruh bising dan getaran pada fungsi keseimbangan dan pendengaran. Disertasi. 2002. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. . MKKI. 2003;1:224-9. Sutirto I, Bashiruddin J. Tuli akibat bising dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok . Edisi ke 5. Jakarta Balai Penerbit FKUI 2001:37–39. Bashiruddin J. Age, duration of work,noise and vibration in inducing hearing and balance impairments. Med J of Indones,2005;14:101-6. Borg E, Canlon B, Engstrom B. Noise Induced Hearing Loss. Literature review and experiments in rabbits. Scandinavian Audiology Supplement 40. 1995;24: 9-46. Niland J,Zenz C. Occupational hearing loss. Noise and Hearing Conservation. In Occupational Medicine 3 rd ; ed. St Louis Mosby.1994:258-96. Franks JR, Stephenson MR,Merry CJ,editors. Preventing Occupational Hearing Loss. A Practical Guide. NIOSH Publication ; 1996. Royster J,Royister L. Hearing Conservation Program: Practical Guide for success. Michigan: Lewis Publisher; 1990.
SS
19