Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PENGARUH RANSUM DENGAN SUMBER PROTEIN BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN DEPOSIT PROTEIN WOOL (Effect of Diet With Different Protein Sources on Growth and Wool Protein Deposition) WISRI PUASTUTI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT A study was conducted to investigate the effect of diet with different protein sources on growth and wool protein deposition. Fourty young rams of 6 – 7 months old with an average live weight 18.63 ± 2.24 kg were used in this study. Sheeps were grouped base on live weight. Eight diets were formulated in isoprotein and isoenergy (18% CP and 75% TDN) with different protein sources. The experiment was done based on Randomly Block design with 8 treatments and 5 replications. The treatments were R1 = basal diet with soybean meal (SBM) as the main protein source, R2 = diet with SBM + urea, R3 = diet with SMB + kapuk seed meal, R4 = diet with SBM + kapuk seed meal + urea, R5 = diet with SBM + fish meal, R6 = diet with SBM + fish meal + urea, R7 = diet with 50% SBM + 50% protected SBM, and R8 = diet with 100% protected SBM. The results showed that diet with different protein sources affected (P < 0.05) wool growth measured as weight (mg/mm2) and (mm/12 weeks). The least weight of wool (52 mg/mm2) was produced by R4, in contrast the highest weight of wool (78 mg/mm2) was produced by R6. The shortest wool (28 mm/12 minggu) was produced by R8, but the longest (40 mm/12 minggu) was produced by R5. The different protein sources did not affect wool composition, but it affected (P < 0.05) wool protein deposition. Sheep wool consisted of 86.28 ± 0.43% DM; 78.83 ± 0.94% OM; 7.21 ± 0.62% ash; and 64.95 ± 1.76% CP. Diet R5 and R6 containing fish meal produced the highest wool protein deposition 41.23 and 42.91 mg/mm2, respectively. Key Words: Protein Diet, Growth, Deposisi Protein, Wool ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh ransum dengan sumber protein berbeda terhadap pertumbuhan wool dan deposit protein wool. Digunakan domba jantan umur 6-7 bulan sebanyak 40 ekor dengan rataan bobot hidup 18,63 ± 2,24 kg. Domba dikelompokkan berdasarkan bobot hidup dan ditempatkan secara acak dalam kandang individu. Terdapat delapan macam ransum yang diformulasi isoprotein dan isoenergi (protein kasar 18% dan TDN 75%) dengan sumber protein yang berbeda-beda. Ransum yang diuji yaitu: R1 = sumber protein utama bungkil kedelai, R2 = sumber protein bungkil kedelai + urea, R3 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk, R4 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk + urea, R5 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan, dan R6 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan + urea, R7 = sumber protein bungkil kedelai 50% + bungkil kedelai terproteksi 50%, dan R8 = sumber protein bungkil kedelai terproteksi 100%. Percobaan dilakukan mengunakan rancangan acak kelompok dengan jumlah perlakuan sebanyak 8 dan ulangan sebanyak 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan sumber protein dalam ransum berpengaruh (P < 0,05) terhadap pertumbuhan wool yang diukur sebagai bobot wool (mg/mm2) dan panjang wool (mm/12 minggu). Rataan bobot wool terendah (52 mg/mm2) dihasilkan dari R4, sebaliknya rataan tertiggi (78 mg/mm2) dihasilkan dari R6. Rataan panjang wool terendah (28 mm/12 minggu) dihasilkan dari R8, sebaliknya nilai tertinggi (40 mm/12 minggu) dihasilkan dari R5. Perbedaan sumber protein ransum tidak menghasilkan perbedaan (P < 0,05) terhadap komposisi wool, namun berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap deposit protein. Wool domba pada penelitian ini memiliki komposisi 86,28 ± 0,43% BK; 78,83 ± 0,94% BO; 7,21 ± 0,62% abu; dan 64,95 ± 1,76% PK. Ransum R5 dan R6 yang mengandung tepung ikan menghasilkan deposit protein wool tertinggi yaitu 41,23 dan 42,91 mg/mm2. Kata Kunci: Protein Ransum, Pertumbuhan, Deposit Protein, Wool
483
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PENDAHULUAN Protein pakan merupakan bahan pakan yang relatif mahal, sehingga penggunaannya perlu memperhitungkan aspek ekonomis. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan protein dalam ransum maka dalam memformulasi ransum ruminansia harus mempertimbangkan aspek fermentabilitas dan by pass protein dalam rumen. Keseimbangan antara keduanya harus diperhatikan guna mendukung produktivitas ternak yang optimal. Karakteristik bahan pakan sebagai sumber protein bervariasi dalam hal tingkat degradasinya, sehingga bisa dipilih beberapa bahan pakan untuk menyusun satu macam ransum. Sebagai contoh bungkil kedelai, mempunyai tingkat degradasi dalam rumen cukup tinggi (> 60%), sedangkan bungkil biji kapuk dan tepung ikan merupakan sumber protein dengan tingkat ketahanan terhadap degradasi rumen tinggi atau degradasinya rendah (< 40%). Urea sebagai sumber non protein nitrogen (NPN) sering kali ditambahkan dalam ransum guna menyediakan nitrogen dalam bentuk amonia. Penggunaan urea sebagai pelengkap bagi sumber protein pakan yang memiliki tingkat degradasi di dalam rumen rendah, sehingga ketersediaan nitrogen menjadi lebih cepat untuk keperluan sintesis protein mikroba rumen. Penyusunan ransum dari bercacam-macam bahan akan lebih baik dari pada hanya satu macam bahan saja. Penelitian mengenai perbedaan mutu ransum karena perbedaan sumber protein telah dilaporkan, seperti pada sapi perah (IPHARRAGUERRE et al., 2005; HRISTOV et al., 2004), pada sapi potong (RAVI KUMAR et al., 2005), pada kambing (LEE et al., 2001) dan pada domba (DABIRI dan THONNEY, 2004) dengan respon pertumbuhan dan produksi susu yang berbeda beda. Pada usaha ternak domba, tujuan produksi dibedakan atas penghasil wool dan daging. Hasil penelitian nutrisi lebih banyak melaporkan pengaruh nutrien terhadap produksi daging daripada terhadap wool. Informasi pengaruh penggunaan protein ransum terhadap produksi dan komposisi wool atau rambut sangat terbatas. Padahal telah diketahui bahwa wool dan rambut merupakan bagian dari tubuh ternak dengan kandungan protein sangat tinggi. Protein wool termasuk
484
dalam golongan keratin seperti halnya rambut, kuku dan tanduk. Untuk produksi wool diperlukan nutrien yang lebih tinggi di atas kebutuhan untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Kebutuhan nutrien utama untuk pertumbuhan wool adalah protein yang mengandung sulfur, energi dan potasium (MARKER, 2000). Berdasarkan pemahaman tersebut penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh ransum dengan sumber protein berbeda terhadap pertumbuhan wool dan deposit protein wool. MATERI DAN METODE Pada penelitian ini digunakan domba jantan fase tumbuh umur 6 – 7 bulan sebanyak 40 ekor dengan rataan bobot hidup 18,63 ± 2,24 kg. Domba dikelompokkan berdasarkan bobot hidup dan ditempatkan secara acak dalam kandang individu. Terdapat delapan macam ransum yang diformulasi isoprotein dan isoenergi (protein kasar 18% dan TDN 75%) dengan sumber protein yang berbeda-beda. Sumber protein utama yang digunakan yaitu bungkil kedelai, sebagai sumber protein fermentabel, sedangkan bungkil biji kapuk dan tepung ikan sebagai sumber protein tahan degradasi rumen (by pass). Bungkil kedelai yang diproteksi dengan cairan getah pisang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah protein yang tahan degradasi rumen. Penambahan urea sebagai sumber nitrogen mudah tersedia bertujuan untuk menjamin ketersediaan nitrogen dalam bentuk amonia untuk mendukung sintesis protein mikroba. Perbedaan sumber protein tersebut diduga mempengaruhi besarnya pasokan protein yang berdampak pada pertumbuhan dan komposisi wool. Ransum yang diuji pada percobaan ini adalah R1 = sumber protein utama bungkil kedelai, R2 = sumber protein bungkil kedelai + urea, R3 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk, R4 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk + urea, R5 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan, dan R6 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan + urea, R7 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil kedelai proteksi dan R8 = sumber protein bungkil kedelai
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
terproeksi. Secara lengkap susunan ransum percobaan disajikan pada Tabel 1. Jumlah pemberian pakan didasarkan pada kebutuhan bahan kering (BK) sebesar 3 – 3,5% bobot hidup. Pakan konsentrat diberikan pada pagi hari (jam 08.00) dan hijauan rumput raja (Penisetum purpureopoides) diberikan sebanyak dua kali (jam 10.00 dan 15.00). Percobaan pemberian pakan dilakukan selama 12 minggu. Wool diukur dengan memodifikasi metode yang dilakukan HABIB et al. (2001). Pada awal percobaan pertama-tama wool pada bagian samping tengah kanan domba dicukur hingga
bersih seluas 7,5 cm x 10,0 cm dan ditandai dengan tinta. Pada akhir percobaan wool dicukur dengan gunting secara manual. Parameter pertumbuhan yang diukur meliputi bobot wool yang dihasilkan dan panjang wool. Pengukuran bobot wool dilakukan dengan menimbang wool yang dihasilkan selama percobaan dengan cara dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 60oC selama 24 jam. Pengukuran panjang wool dilakukan secara sampling terhadap 10 helai wool dan diratarata. Komposisi kimia wool dianalisa kadar bahan kering (BK), bahan organik (BO), abu dan protein kasarnya.
Tabel 1. Susunan ransum percobaan
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
Konsentrat
13,70
8,80
2,60
1,60
10,50
6,40
13.70
13.70
Minyak ikan
2,00
2,00
2,00
2,00
2,00
2,00
2,00
2,00
Jagung giling
15,00
18,60
19,30
11,10
17,30
20,70
15,00
15,00
Pollar
20,20
25,00
23,50
41,00
22,00
26,20
20,20
Bungkil kedelai
19,20
15,00
16,20
10,00
14,70
11,60
9.60
20,20 9.60
Tepung ikan
0,00
0,00
0,00
0,00
3,40
2,70
0,00
0,00
Bungkil biji kapuk
0,00
0,00
6,30
3,90
0,00
0,00
0,00
0,00
Rumput
30,00
30,00
30,00
30,00
30,00
30,00
30,00
30,00
Urea
0,00
0,50
0,00
0,50
0,00
0,50
0,00
0,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Perlakuan Komposisi bahan (%)
Total
100,00 100,00 100,00
Komposisi Nutrien (%) Abu
6,49
6,04
6,05
5,86
6,91
6,36
6,49
6,49
Protein kasar
18,00
18,00
18,00
18,00
18,00
18,00
18,00
18,00
Lemak kasar
6,62
6,28
5,98
5,60
6,46
6,16
6,62
6,62
Serat kasar
18,04
17,60
17,81
17,39
17,54
17,20
18,04
18,04
BETN
50,85
52,99
52,17
54,05
51,10
53,18
50,85
50,85
TDN
75,00
75,00
75,00
75,00
75,00
75,00
75,00
75,00
Ca
0,25
0,23
0,24
0,19
0,46
0,40
0,25
0,25
P
0,22
0,22
0,22
0,22
0,36
0,33
0,22
0,22
Kompisisi nutrien ransum merupakan hasil perhitungan dari data kompisisi kimia hasil analisis Laboratorium BPT Ciawi
485
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Percobaan dilakukan mengunakan rancangan acak kelompok dengan jumlah perlakuan sebanyak 8 dan ulangan sebanyak 5. Data percobaan dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan (STEEL dan TORRIE, 1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan wool Nilai rataan bobot dan panjang wool sampel selama periode pengamatan pada domba jantan fase pertumbuhan yang diberi ransum dengan sumber protein berbeda disajikan pada Gambar 1. Wool pada domba merupakan bagian yang banyak mengandung protein, sehingga untuk pertumbuhannya juga memerlukan asupan protein yang relatif tinggi Perbedaan sumber protein dalam ransum berpengaruh (P < 0,05) terhadap pertumbuhan wool yang diukur sebagai bobot wool
(mg/mm2) dan panjang wool (mm/12 minggu). Rataan bobot wool terendah (52 mg/mm2) dihasilkan dari domba yang mendapat ransum dengan sumber protein campuran bungkil kedelai + bungkl biji kapuk + urea (R4), sebaliknya rataan tertiggi (78 mg/mm2) dihasilkan dari domba yang mendapat ransum dengan sumber protein campuran bungkil kedelai + tepung ikan + urea (R6). Rataan panjang wool terendah (28 mm/12 minggu) dihasilkan dari domba yang mendapat ransum dengan sumber protein bungkil kedelai terproteksi (R8), sebaliknya nilai tertinggi dihasilkan dari domba yang mendapat ransum dengan sumber protein campuran bungkil kedelai + tepung ikan (R5). Mengacu pada laporan SAHLU et al. (1992) bahwa meningkatnya level protein by pass dapat menghasilkan pertumbuhan wool tanpa mempengaruhi pertambahan bobot hidup domba. Hasil ini juga menggambarkan bahwa untuk pertumbuhan wool dibutuhkan pasokan 78a
80 71ab
67ab
67ab
70 60ab
60ab
60
56ab
52b
50 40a 40
31ab
34ab
34ab
34ab
29b
32ab 28b
30 20 10 0 R1
R2
R3
R4
R5
Ransum
R6
R7
R8 Bobot (mg/mm2) Panjang (mm/12 minggu)
Gambar 1. Bobot dan panjang wool akibat pengaruh perbedaan sumber protein ransum Huruf berbeda untuk parameter yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05) R1 = sumber protein utama bungkil kedelai; R2 = sumber protein bungkil kedelai + urea; R3 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk; R4 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk + urea; R5 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan; dan R6 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan + urea, R7 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil kedelai proteksi dan R8 = sumber protein bungkil kedelai terproeksi
486
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
protein by pass yang tinggi, tanpa mengabaikan kecukupan asupan protein mikroba (R5 dan R6). PUASTUTI (2005) menyatakan bahwa substitusi sebagian bungkil kedelai dengan tepung ikan dapat memperbaiki utilisasi protein ransum karena tepung ikan memiliki degradasi protein dalam rumen rendah, kecernaan pepsin tinggi dan produksi purin tinggi. Akan terjadi hasil yang sebaliknya, bila sebagian bungkil kedelai diganti dengan bungkil biji kapuk. Menurut JIA et al. (1995) meningkatnya kadar protein ransum dapat meningkatkan produksi, diameter dan panjang rambut pada kambing Angora. Sebelumnya REIS dan SAHLU (1994) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan wool/rambut membutuhkan lebih banyak protein terutama asam amino yang mengandung sulfur seperti sistein dan metionin. Lebih lanjut LIU dan MASTERS (2000) menyatakan bahwa metionin dan sistein merupakan asam amino pembatas utama untuk pertumbuhan wool. Pada penelitian ini perbedaan sumber protein dalam ransum diduga mengkontribusi terhadap perbedaan suplai asam amino yang mengandung sulfur, sehingga pertumbuhan wool yang dihasilkan juga berbeda. Pada ransum R8 dihasilkan panjang wool terendah disebabkan protein bungkil kedelai terproteksi memiliki kecernaan pascarumen rendah akibat over protection. PUASTUTI et al. (2006) melaporkan bahwa substitusi bungkil kedelai terproteksi getah pisang hingga 100% menghasilkan pertambahan bobot hidup pada domba yang tidak berbeda dibandingkan dengan kontrol dikarenakan ketersediaan protein tersebut menjadi rendah.
Komposisi kimia dan deposit protein wool Perbedaan sumber protein ransum tidak menghasilkan perbedaan terhadap kadar bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK) dan abu dari wool domba, namun berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap deposit protein (mg/mm2) wool (Tabel 2). Wool domba pada penelitian ini memiliki komposisi 86,28±0,43% BK; 78,83±0,94% BO; 7,21±0,62% abu; dan 64,95 ± 1,76% PK. Ransum R5 dan R6 dengan sumber protein mengandung tepung ikan menghasilkan deposit protein wool tertinggi. Pengaruh sumber protein ransum terhadap deposit protein total wool sebagai akibat dari meningkatnya bobot wool per mm2. Walaupun kadar protein wool relatif sama, namun karena bobot wool pada R5 dan R6 paling tinggi sehingga dihasilkan deposit protein wool yang lebih tinggi pula. PUASTUTI (2005) menyatakan bahwa perbedaan sumber protein ransum menghasilkan perbedaan dalam deposit protein wool. LITHERLAND et al. (2000) perbedaan suplemen protein mengakibatkan perbedaan pertumbuhan mohair (rambut kambing Angora) berturut-turut dari yang tertinggi adalah corn glutin meal, bungkil biji kapas, tepung ikan dan hidrolisat bulu ayam. Hasil lain dilaporkan bahwa pertumbuhan wool pada domba Merino yang diberi protein hidrolisat bulu ayam lebih baik dibandingkan dengan yang diberi bungkil biji kapas (NEUTZE, 1990). Terdapat hubungan yang erat antara kualitas dan kuantitas mohair yang diproduksi serta karakteristiknya dengan kadar protein dan tingkat degradasi protein pakan (SAHLU et al., 1992).
Tabel 2. Kadar BK, BO, Abu dan PK bulu akibat perbedaan sumber protein dalam ransum Parameter
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
Kadar BK (%)
86,09
85,77
86,4
86,05
86,73
85,87
87,01
86,31
Kadar BO (%)
78,23
77,49
79,5
78,97
79,91
77,61
79,65
79,26
Kadar Abu (%)
7,86
8,28
6,91
7,08
6,83
6,28
7,36
7,05
Kadar PK (%)
62,7
66,28
67,22
64,57
66,96
63,36
63,27
65,27
31,37ab
38,23ab
33,45ab
28,55b
41,23a
42,91a
37,27ab
31,34ab
2
PK (mg/mm )
Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
487
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
KESIMPULAN Perbedaan sumber protein dalam ransum menghasilkan pertumbuhan dan deposit protein wool yang berbeda. Ransum yang mengandung protein tepung ikan menghasilkan pertumbuhan dan deposit protein tertinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. I. Wayan Mathius, atas pembinaan yang telah beliau berikan, dan kepada teknisi kandang percobaan (Rokhman) serta teknisi laboratorium penulis juga menyampaikan terima kasih atas bantuan dan kerja samanya. DAFTAR PUSTAKA DABIRI, N. and M.L. THONNEY. 2004. Source and level of supplemental protein for growing lambs. J. Anim. Sci. 82: 3237 – 3244. HABIB, G, M.M. SIDDIQUI., F.H. MIAN, J. JABBAR and F. KHAN. 2001. Effect of protein supplements of varying degradability on growth rate, wool yield and wool quality in grazing lambs. Small Ruminant. Res. 41: 247 – 256. HRISTOV, A.N., R.P. ETTER, J.K. ROPP and K.L. GRANDEEN. 2004. Effect of dietary crude protein level and degradability on ruminal fermentation and nitrogen utilization in lactating dairy cows. J. Anim. Sci. 82: 3219 – 3229. IPHARRAGUERRE, I.R., J.H. CLARK and D.E. FREEMAN. 2005. Varying protein and starch in the diet of dairy cow. I. Effects on ruminal fermentarion and intestinal supply of nutrient. J. Dairy Sci. 88: 2537 – 2555. JIA, Z.H., T. SAHLU, J.M. FERNANDEZ, S.P. HART and T.H. THE. 1995. Effect of dietary protein level on performance of Angora and cashmereproducing Spanish goats. Small Ruminant. Res. 16: 113 – 119. Abstract. http://www. luresext.edu/goats/library/jia1995-1.html. (04/09/2008).
488
LEE, M.C., S.Y. HWANG, and P.W.S. CHIOU. 2001. Application of rumen undegradable protein on early lactating dairy goats. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14: 1549 – 1554. LITHERLAND, A.J., T. SAHLU, C.A. TOERIEN, R. PUCHALA, K.TESFAI and A.L. GOETSCH. 2000. Effect of dietary protein source on mohair growth and body weight of yearling angora doelings. Small Ruminant Res. 38: 29 – 35. LIU, S.M. and D.G. MASTERS. 2000. Quantitative analysis of methionine and cysteine requirement for wool production of sheep. Anim. Sci. 71: 175 – 185. MARKER. 2000. Let’s talk about fleece: Genetics and nutrition. http://www.plfkarakuls.com/artwool2.html. (01/09/2008). NEUTZE. 1990. Effect of dietary protein source on mohair growth and body weight of yearling angora doelings. In: LITHERLAN, A.J., T. SAHLU, C.A. TOERIEN, R. PUCHALA, K.TESFAI and A.L. GOETSCH. 2000. Small Ruminant Res. 38: 29 – 35. PUASTUTI, W. 2005. Tolok Ukur Mutu Protein Ransum dan Relevensinya dengan Retensi Nitrogen serta Pertumbuhan Domba. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. PUASTUTI, W., I-W. MATHIUS dan D. YULISTIANI. 2006. Bungkil kedelai terproteksi cairan batang pisang sebagai pakan imbuhan ternak domba: In sacco dan in vivo. JITV 11: 106 – 115. RAVI KUMAR, M., D.P. TIWARI and ANIL KUMAR. 2005. Effect of degradable dietary protein level and plane of nutrition on lactatin performance in crossbred cattle. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18(10): 1407 – 1413. REIS P.J. and T. SAHLU. 1994. The nutritional control of the growth and properties of mohair and wool fibers. A comparative review. J. Anim. Sci. 72: 1899 – 1907. SAHLU, T., S.P. HART and J. FERANDES. 1992. Nitrogen metabolism and blood metabolism of three goats breeds fed increasing amount of protein. Small Ruminant. Res. 10: 281 – 292. STEEL R.G.D. and J.H. TORRIE. 1980. Principle and Procedure of Statistics. McGraw-Hill Book Co. Inc. New York.