PENGARUH PEMBERIAN DL-METIONIN PADA RANSUM YANG TERKONTAMINASI AFLATOKSIN TERHADAP ORGAN DALAM SERTA SALURAN PENCERNAAN AYAM BROILER
SKRIPSI NURHALIMAH
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN NURHALIMAH. D24060175. 2010. Pengaruh Pemberian DL-Metionin pada Ransum yang Terkontaminasi Aflatoksin terhadap Organ Dalam serta Saluran Pencernaan Ayam Broiler. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. : Dr. Ir. Jajat Jachja Fahmi Arief, M.Agr.
Aflatoksin adalah senyawa racun yang merupakan metabolit sekunder dari Aspergillus flavus yang toksik jika dikonsumsi oleh ternak. Aspergillus flavus tumbuh pada media seperti jagung dan pakan, pada penyimpanan dan penanganan yang kurang baik. Aflatoksin pada peternakan dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi bagi peternak. Salah satu cara untuk menetralisir aflatoksin pada pakan adalah dengan menambahkan asam amino metionin. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan DL-metionin terhadap organ dalam dan saluran pencernaan ayam broiler pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap faktorial 3 × 3 dengan empat ulangan, faktor A adalah penambahan DL-metionin (0%, 0,25%, dan 0,35% untuk periode starter; 0%, 0,20%, dan 0,30% untuk periode finisher) dan faktor B adalah penambahan aflatoksin (0 ppb, 150 ppb, dan 300 ppb). Penelitian ini terdiri dari sembilan perlakuan, yaitu R1: Ransum basal (RB) + 0 ppb aflatoksin + 0% DL-metionin; R2: RB + 150 ppb aflatoksin + 0% DL-metionin; R3: RB + 300 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R4: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R5: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R6: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R7: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher; R8: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher; R9: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Peubah yang diamati adalah berat organ dalam (hati, ginjal, limpa, rempela, pankreas, dan jantung) serta berat dan panjang relatif saluran pencernaan. Hasil analisis aflatoksin pada ransum perlakuan periode starter berkisar antara 19,24-29,69 ppb dan periode finisher berkisar antara 62,35-78,50 ppb. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan aflatoksin dan DL-metionin tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat hati, ginjal, limpa, gizzard, dan jantung serta panjang relatif duodenum, jejunum dan berat duodenum, jejunum, serta ileum pada periode starter (0-3 minggu). Tetapi penambahan DLmetionin pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode starter nyata (P<0,05) menurunkan panjang relatif ileum. Hasil analisis tidak menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara penambahan aflatoksin dan DL-metionin terhadap peubah yang diukur.
i
Penambahan aflatoksin pada periode finisher (3-6 minggu) tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat jantung, ginjal, limpa, gizzard dan pankreas serta berat dan panjang relatif duodenum, dan ileum. Tetapi memberikan pengaruh nyata terhadap berat hati, jejunum serta panjang relatif jejunum. Penambahan DLmetionin pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin nyata (P<0,05) menurunkan berat ginjal, gizzard, limpa, jejunum, seka serta panjang relatif duodenum dan seka. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dan faktor pemberian aflatoksin terhadap berat limpa. Persentase berat limpa perlakuan yang ditambahkan aflatoksin 300 ppb, yaitu 0,28% mempunyai berat lebih tinggi dibandingkan berat limpa pada perlakuan yang ditambahkan aflatoksin sebesar 150 ppb, yaitu 0,12% dan tanpa ditambahkan aflatoksin, yaitu 0,19%. Ransum yang terkontaminasi aflatoksin 62,35-78,50 ppb memberikan efek negatif yaitu meningkatkan berat organ dalam (hati, jejunum) serta panjang relatif jejunum. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah adanya penambahan DL-metionin 0,35% dalam ransum periode starter serta penambahan DL-metionin 0,20% dan 0,30% dalam ransum periode finisher nyata mampu menetralisir efek negatif aflatoksin di dalam pakan. Kata-kata kunci: aflatoksin, DL-metionin, organ dalam, saluran pencernaan, ayam broiler
ii
ABSTRACT The Effect of DL-Methionine Supplementation in the diet Contaminated with Aflatoxin on Giblets and Digestive Tract of Broiler Nurhalimah, Sumiati and J. J. F. Arief Aflatoxin is a secondary metabolite Aspergillus flavus that toxic to the animals. Aspergillus flavus grows in a medium such as corn and feed on the storage and handling. Aflatoxin in livestock causes economic losses for farmers. One way to neutralize the effect of aflatoxin on feed is added DL-methionine in supplementation diet. The research was conducted to determine the effect of adding DL-methionine in the diet contaminated with aflatoxin on giblets and digestive tract of broilers. A completely randomized design 3 × 3 factorial with four replications used in this experiment, factor A was the level of DL-methionine supplementation (0%, 0.25%, and 0.35% in the starter; 0%, 0.20%, and 0.30% in the finisher diet), and factor B was the level of aflatoxin (0 ppb, 150 ppb, and 300 ppb). The research consisted nine treatments, R1: basal rations (RB) + 0 ppb aflatoxin + 0% DL-methionine; R2: RB + 150 ppb aflatoxin + 0% DL-methionine; R3: RB + 300 ppb aflatoxin + 0% DL-methionine; R4: RB + 0 ppb aflatoxin + 0.25% DL-methionine for the starter period and 0.20% DL-methionine for the finisher period; R5: RB + 150 ppb aflatoxin + 0.25% DL-methionine for the starter period and 0.20% DL-methionine for the finisher period; R6: RB + 300 ppb aflatoxin + 0.25% DL-methionine for the starter period and 0.20% DL-methionine for the finisher period; R7: RB + 0 ppb aflatoxin + 0.35% DL-methionine for the starter period and 0.30% DL-methionine for the finisher period; R8: RB + 150 ppb aflatoxin + 0.35% DL-methionine for starter period and 0.30% DL-methionine for the finisher period; R9: RB + 300 ppb aflatoxin + 0.35% DL-methionine for the starter period and 0.30% DL-methionine for the finisher period. Data were analyzed by analysis of variance (ANOVA) and any significant different was further tested by Duncan multiple range test (Steel and Torrie, 1993). The parameters observed were weight of giblets (liver, kidney, spleen, gizzard, pancreas, and heart), also weight and relative lengths of the digestive tract. The results showed that the treatments had no significant effect (P>0.05) on weight percentage of liver, kidneys, spleen, gizzard, heart also relative lengths of duodenum and jejunum and weight duodenum, of jejunum, and ileum at starter period (0-3 weeks ). The supplementation DL-methionine in the diet contaminated with aflatoxin in the starter period significantly decreased (P<0.05) the relative lengths of ileum. There was no interaction effects between DL-methionine supplementation and aflatoxin on variables measured. The supplementation of aflatoxin in the finisher period (3-6 weeks) did not effect (P>0.05) the weight of heart, kidney, gizzard, spleen, pancreas, duodenum and ileum as well as the relative lengths of ileum. The treatments significantly increased (P<0.05) the weight of liver and jejunum as well as the relative lengths of jejunum. The supplementation DL-methionine in the diet contaminated with aflatoxin significantly decreased (P<0.05) kidney weight, gizzard, spleen, jejunum, and the relative lengths of duodenum and caeca. There was interaction between supplementation DL-methionine and aflatoxin on the broiler spleen. The weight percentage of broiler spleen fed 71.67 ppb aflatoxin was higher than those of fed
iii
72.64 ppb and 69.57 ppb, with the weight 0.28%, 0.12%, and 0.19%, respectively. The aflatoxin 62.35- 78.50 ppb in the diet resulted in negative effect on the weight of giblets (liver, kidney, spleen, and gizzard) and gastrointestinal tract. supplementation of 0.35% DL-methionine in the starter diet and 0.20% and 0.30% in the finisher diet could neutralize the negative effect of aflatoxin. Keywords: aflatoxin, DL-methionine, giblets, digestive tract, broiler
iv
PENGARUH PEMBERIAN DL-METIONIN PADA RANSUM YANG TERKONTAMINASI AFLATOKSIN TERHADAP ORGAN DALAM SERTA SALURAN PENCERNAAN AYAM BROILER
NURHALIMAH D24060175
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 v
Judul : Pengaruh Pemberian DL-metionin pada Ransum yang Terkontaminasi Aflatoksin terhadap Organ Dalam serta Saluran Pencernaan Ayam Broiler Nama : Nurhalimah NRP
: D24060175
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
(Dr. Ir. Sumiati, M.Sc) NIP. 19611017 198603 2 001
(Dr. Ir. Jajat Jachja F. A, M.Agr) NIP. 19480902 197412 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 29 September 2010
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 9 Juni 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Sahroni dan Ibu Sukengsi. Penulis mengawali pendidikan pertamanya di Taman Kanak-kanak (TK) Sunter Mulia Jakarta Utara pada tahun 1994, pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar (SD) Sunter Mulia Jakarta Utara pada tahun 1995 dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan pertama dimulai penulis pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Arjawinangun, Cirebon. Penulis kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Buntet Pesantren Cirebon pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), dengan Program Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dengan Minor Kewirausahaan Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama pendidikan penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Nutrisi ternak (HIMASITER) periode 2007-2008 sebagai anggota BKM (Biro Khusus Magang), periode 2008-2009 sebagai anggota PSDM (Pengembangan Sumberdaya Manusia), pengurus Pondok Pesantren Al-Istiqomah sebagai wakil ketua keamanan, ketua pelaksana seminar FQC (Feed Quality Control), kepanitiaan BLOKA-D, Drama Musikal. Penulis juga pernah melakukan kegiatan magang di PT. Lembu Jantan Perkasa unit Breeding Serang.
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat. Karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan. Skripsi ini berjudul “Pengaruh Pemberian DL-Metionin pada Ransum yang Terkontaminasi Aflatoksin terhadap Organ Dalam serta Saluran Pencernaan Ayam Broiler”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2010 bertempat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor serta Pabrik Pakan Indofeed. Aflatoksin merupakan mikotoksin utama yang banyak mengkontaminasi produk pertanian seperti jagung, kacang tanah, pakan dan bahan pakan ternak, serta produk ternak. Cemaran aflatoksin di dalam pakan ternak dapat memicu gangguan kesehatan pada ternak yang mengkonsumsi pakan yang tercemar tersebut. Adanya aflatoksin pada peternakan dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi bagi peternak, oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk menanggulangi pengaruh kontaminasi aflatoksin pada pakan dengan menambahkan asam amino metionin. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bahaya aflatoksin dan penanggulangannya. Selain itu, dapat juga memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Bogor, Oktober 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................
i
ABSTRACT ...............................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................
v
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................
vi
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xiii
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................... Tujuan ............................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
3
Aflatoksin ....................................................................................... Asam Amino Metionin .................................................................. DL-Metionin ...................................................................... Ayam Broiler ................................................................................. Organ Dalam .................................................................................. Hati ..................................................................................... Limpa ................................................................................. Jantung ............................................................................... Gizzard (Rempela) ............................................................. Ginjal .................................................................................. Pankreas ............................................................................. Saluran Pencernaan ........................................................................ Usus ....................................................................................
3 7 8 9 10 10 11 11 12 12 13 13 13
MATERI DAN METODE .........................................................................
15
Waktu dan Tempat ......................................................................... Materi ............................................................................................. Alat dan Bahan ................................................................... Metode ........................................................................................... Perlakuan ............................................................................ Rancangan Percobaan dan Model Matematika ................... Analisis Data ...................................................................... Peubah yang Diamati ......................................................... Prosedur .........................................................................................
15 15 15 20 20 20 21 21 22
ix
Pembuatan Kultur Aspergillus flavus ................................... Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung .................. Pembuatan Ransum ............................................................ Alur Pembuatan Pakan ....................................................... Pemeliharaan Ayam ........................................................... Penimbangan Organ Dalam dan Pengukuran Saluran Pencernaan .........................................................................
22 23 24 25 26 26
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
27
Ransum Penelitian ......................................................................... Persentase Organ Dalam Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) dan Finisher (3-6 minggu) .............................................. Hati .................................................................................... Jantung ............................................................................... Ginjal .................................................................................. Pankreas ............................................................................. Gizzard (Rempela) ............................................................. Limpa ................................................................................. Persentase Berat dan Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) dan Finisher (3-6 minggu) .. Duodenum ......................................................................... Jejunum ............................................................................. Ileum ................................................................................. Persentase Berat dan Panjang Relatif Kolon dan Seka Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) dan Finisher (3-6 minggu) Kolon ................................................................................. Seka ...................................................................................
27 29 29 32 33 35 35 37 38 38 42 43 45 45 46
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
49
Kesimpulan .................................................................................... Saran ..............................................................................................
49 49
UCAPAN TERIMAKASIH ......................................................................
50
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
51
LAMPIRAN ...............................................................................................
54
x
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) .........................................................
16
Kandungan Asam Amino Ransum Penelitian Periode Starter (0-3 minggu) ..................................................................................
17
Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ......................................................
18
Kandungan Asam Amino Ransum Penelitian Periode Finisher (3-6 minggu) ..................................................................................
19
Kandungan Aflatoksin Dalam Ransum Perlakuan periode Starter (0-3 minggu) dan Finisher (3-6 minggu) ....................................
28
Rataan Persentase Berat Organ Dalam Ayam Broiler periode Starter (0-3 minggu) .....................................................................
30
Rataan Persentase Berat Organ Dalam Ayam Broiler periode Finisher (3-6 minggu) ...................................................................
31
Rataan Persentase Berat dan Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ...........................................
39
Rataan Persentase Berat dan Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .........................................
40
10. Rataan Persentase Berat dan Panjang Relatif Kolon serta Seka Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ................................
46
11. Rataan Persentase Berat dan Panjang Relatif Kolon serta Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..............................
47
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Jamur Aspergillus flavus ................................................................
4
2.
Struktur Kimia Aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 .............................
4
3.
Struktur Kimia Metionin .................................................................
8
4.
Tahapan Pembuatan Kultur Aspergillus flavus ...............................
22
5.
Tahapan Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung ...............
23
6.
Tahapan Alur Pembuatan Pakan ....................................................
25
xii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Hati Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ....................................................... 2.
Halaman 55
ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Limpa Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ……………………………..
55
ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jantung Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ………………………….....
56
ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Gizzard Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ...........................................
56
ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Pankreas Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ............................................
57
6. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ginjal Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ............................................
57
7. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Duodenum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ............................................
58
8. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Duodenum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) .............................................
58
9. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Jejunum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) .............................................
59
10. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jejunum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ...........................................
59
11. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Ileum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ............................................
60
12. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ileum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ............................................
60
13. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Kolon Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ............................................
61
14. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Kolon Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ............................................
61
15. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Seka Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) .............................................
62
16. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Seka Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) ........................................................
62
17. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Hati Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .....................................................
63
18. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Limpa Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .....................................................
63
3. 4. 5.
xiii
19. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jantung Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
64
20. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Gizzard Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
64
21. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Pankreas Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
65
22. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ginjal Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .....................................................
65
23. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Duodenum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
66
24. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Duodenum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
66
25. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
67
26. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
67
27. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Ileum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
68
28. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ileum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .....................................................
68
29. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
69
30. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .....................................................
69
31. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Kolon Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
70
32. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Kolon Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..........................................
70
33. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Limpa Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ....................
71
34. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Gizzard Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ..................
71
35. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ginjal Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ....................
71
36. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Hati Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .......................
71
37. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Duodenum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .............
72
xiv
38. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .................
72
39. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .................
72
40. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .................
72
41. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .......................
73
42. ANOVA Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) .......................
73
43. ANOVA Uji Jarak Duncan Interaksi Perlakuan Terhadap Berat Limpa Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) ....................
73
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor terpenting di dalam usaha peternakan. Sebagai komoditas pertanian, pakan ternak mudah mengalami kerusakan baik akibat faktor internal maupun eksternal sehingga pakan menjadi kurang bermanfaat. Salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi mutu pakan adalah adanya infeksi kapang pada pakan maupun bahan penyusun pakan. Kapang berkembangbiak dan memproduksi senyawa beracun yang disebut mikotoksin sehingga pakan maupun bahan pakan menjadi rusak dan bermutu rendah. Secara umum mikotoksin adalah senyawa kimia toksik hasil metabolisme sekunder yang dihasilkan oleh kapang toksigenik seperti Aspergillus spp., Fusarium spp., dan Penicillin spp. Adanya suhu, curah hujan, serta kelembaban yang cukup tinggi sangat mendukung untuk berkembangbiaknya kapang pada substrat yang cocok. menurut Bahri (2005), sekitar 30-50% pakan tercemar mikotoksin dan mikotoksin yang dominan mencemari produk pertanian adalah aflatoksin. Aflatoksin merupakan mikotoksin utama yang banyak mengkontaminasi produk pertanian seperti jagung, kacang tanah, pakan, bahan pakan ternak, serta produk ternak. Cemaran aflatoksin di dalam pakan ternak dapat memicu gangguan kesehatan pada ternak yang mengkonsumsi pakan tercemar aflatoksin tersebut. Bahaya yang ditimbulkan oleh aflatoksin yaitu dapat menyebabkan toksisitas akut, kronik, hepatotoksik, mutagenik (menimbulkan mutasi genetik) dan karsinogenik (Rachmawati, 2006). Jika pakan yang tercemar aflatoksin diberikan kepada ternak unggas (ayam), maka residu aflatoksin akan terdapat pula pada produk ternaknya seperti telur, daging, dan hati. Adanya aflatoksin pada peternakan dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi bagi peternak, oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk menanggulangi pengaruh kontaminasi aflatoksin pada pakan dengan menambahkan asam amino metionin. Metionin merupakan asam amino esensial kritis yang mengandung sulfur dan dibutuhkan oleh sistem metabolisme. Metionin mempunyai beberapa peranan yang sangat penting terutama bagi unggas (ayam), yaitu sebagai donor gugus metil dalam pembentukan kholin, sebagai bahan pembentuk bulu, sebagai penetral racun tubuh, dan sebagai pembentuk taurin yang diperlukan untuk menyusun garam empedu
1
(Anggorodi, 1995). Terdapat dua jenis asam amino metionin sintesis yang dapat ditambahkan, pertama dalam bentuk powder (serbuk) yaitu Dekstro-Levomethionine (DL-methionin) dan yang kedua dalam bentuk liquid (cair) yaitu Methionine Hidroxy Analogue (MHA). Ransum yang diberikan pada ternak dapat mempengaruhi kerja dari organ dalam dan saluran pencernaan. Kelainan pada organ dalam dan saluran pencernaan dapat disebabkan oleh adanya penyakit maupun ransum yang kurang baik kualitasnya. Adanya aflatoksin dalam ransum dapat memberikan efek negatif jika dikonsumsi oleh ayam tersebut. Hati dan ginjal adalah organ yang sering diserang oleh aflatoksin, selain itu juga aflatoksin dapat merusak saluran pencernaan. Adanya penambahan asam amino bersulfur seperti metionin diharapkan dapat mengurangi efek negatif dari aflatoksin tersebut. Tujuan Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi DLmetionin pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin terhadap organ dalam (hati, limpa, jantung, Gizzard atau rempela, ginjal, dan pankreas) serta saluran pencernaan ayam broiler.
2
TINJAUAN PUSTAKA Aflatoksin Cendawan terdiri atas jamur (cendawan besar atau makrofungi dan dapat dilihat secara kasat mata), khamir (cendawan renik bersel tunggal dan berkembang biak dengan bertunas), dan kapang (cendawan renik yang mempunyai miselia dan massa spora yang jelas). Kapang ada yang bermanfaat bagi manusia, antara lain sebagai pengendali hayati, penghasil enzim, antibiotik, rekayasa genetik dan industri komersial. Namun kapang banyak pula yang merugikan, terutama sebagai pencemar pada berbagai pakan dan bahan pakan maupun ruangan sehingga dapat menimbulkan penyakit pada hewan maupun manusia (Ahmad, 2009). Di Indonesia, cemaran beberapa jenis kapang seperti Aspergillus spp., Fusarium spp., dan Mucor spp. dapat ditemui pada pakan dan bahan-bahan penyusunnya terutama jagung. Cemaran tersebut dapat mengakibatkan gangguan kesehatan berupa mikosis bagi ternak. Gangguan atau penyakit tersebut disebabkan toksin yang dihasilkan oleh kapang. Kerugian kesehatan secara ekonomi akibat cemaran kapang pada pakan dan bahan penyusun pakan cukup nyata. Beberapa faktor yang mendukung terjadinya kontaminasi kapang dan toksin pada pakan terutama adalah kelembaban dan suhu. Di Indonesia, Aspergillus spp. khususnya A. flavus merupakan kapang yang dominan mencemari pakan dan bahan penyusun pakan (Ahmad, 2009). Terdapat lima jenis mikotoksin yang berbahaya bagi kesehatan, yaitu aflatoksin, fumonisin, okratoksin, trikotesena, dan zearalenon (Ahmad, 2009). Aflatoksin merupakan senyawa toksik yang bersifat mutagenik, teratogenik, dan karsinogenik umumnya banyak dijumpai pada bahan pangan berasal dari biji-bijian seperti jagung, beras dan kacang-kacangan yang kualitasnya kurang baik. Keberadaannya pada bahan pangan termasuk pangan asal ternak di Indonesia telah banyak diungkapkan oleh berbagai peneliti, tetapi penelitian toksisitasnya masih sangat terbatas (Bahri et al., 2005). Jamur Aspergillus flavus dan struktur kimia aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
3
Gambar 1. Jamur Aspergillus flavus Sumber : Reddy dan Waliyar (2000)
Gambar 2. Struktur Kimia Aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 Sumber : Reddy dan Waliyar (2000)
Aflatoksin terutama dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Terdapat empat jenis aflatoksin yang sering dijumpai dan bersifat toksik, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Pemberian nama aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 berdasarkan pada penampakan warna dari fluorosensinya pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari dengan ultraviolet. Bila penampakan fluorosensinya berwarna biru maka diberikan akhiran B (blue) sedangkan bila hijau diberi akhiran G (green). Selain itu dikenal juga aflatoksin M1, dan M2. Aflatoksin M pertama kali ditemukan pada susu sehingga diberi nama aflatoksin M (dari kata
4
milk). Kapang lain penghasil aflatoksin adalah A. oryza, A. ochraceus, Penicillium puberulum, P. citrinum, dan P. expansum (Ahmad, 2009). Pertumbuhan aflatoksin dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan iklim, terutama daerah tropis yang mempunyai kelembaban, suhu, dan curah hujan yang tinggi. Menurut Reddy dan Waliyar (2000), aflatoksin dapat tumbuh pada suhu yang sesuai dengan pertumbuhan kapang yaitu berkisar antara 4-40 oC (optimal 25-32 oC) dengan kadar air bahan lebih dari 18% serta kelembaban optimal di atas 85%. Selain itu, komponen bahan pakan yang terkandung di dalamnya juga dapat mempengaruhi tingginya cemaran kapang, seperti kadar air, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin yang dibutuhkan kapang untuk kelangsungan hidupnya (Dharmaputra, 2004). Laju perusakan aflatoksin dengan cara pemanasan dapat dipercepat dengan menaikkan kadar air bahan, waktu dan suhu pemanasan (Syarief et al. 2003).
Bahan pangan dan pakan ternak umumnya berupa komoditas pertanian yang juga dapat berfungsi sebagai substrat bagi berbagai kapang seperti Aspergillus spp. dan Fusarium spp. Indonesia sebagai negara tropis dengan suhu, curah hujan, dan kelembaban yang relatif tinggi sangat kondusif untuk perkembangbiakan kapang termasuk kapang toksigenik yang dapat memproduksi senyawa metabolit sekunder berupa mikotoksin (Bahri, 2001). Mikotoksin merupakan metabolit sekunder hasil metabolisme kapang serta bersifat sitotoksik, merusak struktur sel seperti membran, dan merusak proses pembentukan sel yang penting seperti protein, DNA, dan RNA. Mikotoksikosis adalah kejadian keracunan karena mengkonsumsi pakan atau makanan yang mengandung toksin yang dihasilkan berbagai jenis kapang (Ahmad, 2009). Kadar air jagung yang aman untuk disimpan adalah kurang dari 14%, karena pada kadar air tersebut kapang sulit tumbuh dan tidak menyebarkan spora. Faktor lain yang mengakibatkan biji menjadi rusak adalah serangga karena spora kapang sebagian beterbangan di udara yang secara langsung atau tidak langsung terbawa oleh serangga sehingga dapat menginfeksi bahan pangan atau pakan tersebut. Berbagai bahan pangan (terutama kacang tanah dan jagung), pakan, dan bahan pakan (terutama jagung), telah tercemar mikotoksin seperti aflatoksin, zearalenon, deoksinivalenol, nivalenol, moniliformin, dan asam siklopiazonat (CPA) dengan kadar yang bervariasi. Produk ternak berupa susu, telur, hati, dan daging ayam positif
5
tercemar AFM1 (Aflatoksin M1) dan aflatoksikol. Frekuensi cemaran aflatoksin pada pakan ayam komersial merupakan yang paling tinggi yaitu 30-50% (Bahri et al., 2005 ). Tempat metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga yang dimetabolisme di dalam darah dan organ lain. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konjugasi dan dekonjugasi. Efek aflatoksin yang dihasilkan akan dikurangi oleh tubuh melalui pengeluaran cairan empedu, susu, telur dan urin. Bila aflatoksin tidak dapat dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi perubahan patologis dan akan menimbulkan beberapa gejala seperti keturunan lahir cacat (efek teratogenik) dan kanker (pada manusia dan hewan). Pada hewan, aflatoksin menyebabkan bobot organ dalam bervariasi (pembesaran hati, limpa, ginjal, fatty liver syndrome), bursa fabrisius dan timus, perubahan tekstur dan warna organ (hati, tenggorokan), anemia, hemoragi, imunosupresi, nefrosis, kerusakan kulit dan penurunan efisiensi breeding (Ahmad, 2009). Kejadian penyakit akibat aflatoksin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, status pangan dan atau dapat terjadi bersama-sama dengan agen penyebab lain seperti virus hepatitis atau infeksi parasit (Rachmawati, 2006). Menurut Leeson et al. (1995), aflatoksin mengakibatkan meningkatnya bobot proventikulus, gizzard (rempela), hati, limpa dan ginjal. Menurut Bara (2008), bahwa pengaruh aflatoksin dan hubungannya dengan kandungan protein pakan ayam broiler yang mengandung aflatoksin sebesar 0,8 ppm (800 ppb) dan 1,6 ppm (1600 ppb) dapat mengurangi pertumbuhan dan konsumsi ransum serta meningkatkan bobot hati, limpa, dan ginjal ayam broiler pada level aflatoksin 1,6 ppm (1600 ppb). Suplementasi dengan antioksidan, lemak, vitamin, selenium, asam amino bersulfur, tripeptid glutation, enzim, anti biotik serta meningkatkan protein pakan dapat menetralkan efek aflatoksin yang merugikan ternak (Leeson et al., 1995). Kehadiran mikotoksin dalam pakan telah lama diketahui, umumnya jenis mikotoksin yang sering dijumpai adalah aflatoksin yang menyebabkan meningkatnya kerusakan intestinal (usus halus). Aflatoksin menyebabkan kerusakan hati, memblokir saluran pipa empedu dan penurunan kadar empedu di saluran usus lebih rendah,
akibatnya
penyerapan
lemak
menjadi
sangat
kurang.
Aflatoksin
menyebabkan perlukaan di dalam rongga mulut, proventikulus, gizzard dan usus.
6
Untuk mencegah tumbuhnya mikotoksin, sebaiknya membeli biji-bijian berkualitas dan disimpan dalam tempat yang sesuai kondisinya. Biji-bijian yang mengandung mikotoksin tinggi perlu ditambahkan agen pengikat dan dicampur dengan biji-bijian berkualitas baik untuk mengurangi efek negatifnya (Hakim, 2005). Racun dari aflatoksin menyebabkan erosi pada gizzard, luka pada mulut dan haemorrhage (pendarahan) usus pada saluran gastrointestinal, karena efeknya dapat mempengaruhi dinding organ. berpengaruh pada mulut (lidah, paruh dan langit-langit mulut) dibandingkan dengan organ lain dari sistem pencernaan. Keberadaan air liur di mulut memudahkan melekatnya mikotoksin, yang akhirnya menyebabkan sel-sel protoplasma melarutkan sel-sel yang ada di sekitar area tersebut. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam menghadapi mikotoksin adalah setelah terserap ke dalam usus, akan langsung masuk ke darah dan kemudian ke air liur. Keberadaan mikotoksin pada saliva menyebabkan luka pada mulut dan kemungkinan juga terjadi luka pada gizzard (Hakim, 2006). Aflatoksin menyebabkan steatorrhea, steatorrhea adalah salah satu gejala kruisial dari aflatoksikosis, disebabkan oleh menurunnya konsentrasi empedu sehingga meningkatkan penyerapan lemak dalam seka (Resanovi et al., 2009). Asam Amino Metionin Anggorodi (1995) menyatakan bahwa metionin adalah asam amino yang mengandung sulfur dan essensial bagi manusia dan ternak monogastrik sehingga metionin harus tersedia di dalam ransum ternak. Menurut Cheeke (2005), asam amino dapat dibedakan menjadi dua yaitu asam amino esensial dan asam amino non esensial. Asam amino esensial yaitu asam amino yang harus ada di dalam bahan pakan, karena tidak dapat disintesis dalam tubuh ternak, sedangkan asam amino non esensial yaitu asam amino yang dapat disintesis guna mencukupi kebutuhan pertumbuhan normal. Pesti et al. (2005) menyatakan bahwa metionin adalah asam amino yang penting atau sangat diperlukan oleh tubuh. Asam amino dibutuhkan untuk pertumbuhan otot dan pemeliharaan. Metionin merupakan asam amino esensial kritis mengandung sulfur yang dibutuhkan oleh sistem metabolisme guna memperoleh zat sulfurnya. Metionin mempunyai beberapa peranan yang sangat penting bagi ayam antara lain: 1). Sebagai donor gugus metil dalam pembentukan kholin, 2). Sebagai bahan pembentuk bulu, 7
3). Sebagai penetral racun tubuh, dan 4). Sebagai pembentuk taurin yang diperlukan untuk menyusun garam empedu (Anggorodi, 1995). Metionin adalah asam amino yang penting yang dibutuhkan oleh unggas. Defisiensi metionin dalam pakan akan menyebabkan bertambahnya konsumsi pakan, mengurangi efisiensi penggunaan pakan, mengurangi sintesis enzim dan hormon, menurunkan retensi nitrogen dan meningkatkan ekskresi asam urat, pertumbuhan terhambat, bulu yang tumbuh sedikit dan besarnya proporsi lemak karkas. Kelebihan atau kekurangan salah satu asam amino dapat mempengaruhi keseimbangan asam amino tersebut (Ukachukwu et al., 2007). Struktur kimia metionin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia Metionin Sumber : Anggorodi (1995)
Menurut fungsinya sebagai penetral racun tubuh, asam amino dapat digunakan untuk meminimalisir efek negatif aflatoksin (Leeson et al., 1995). Aflatoksin yang mempunyai ikatan double bone (mempunyai ikatan rangkap) dan memiliki ikatan yang tidak seimbang sehingga dapat mengikat senyawa lain (Reddy dan Waliyar, 2000). Metionin sebagai aflatoksin binder yang mampu mengikat aflatoksin sehingga pada saat berada di dalam saluran pencernaan aflatoksin tidak terserap dan dibuang melalui feses (Kinh et al., 2010). DL-Metionin Terdapat dua jenis asam amino metionin sintetis yang dapat ditambahkan, pertama dalam bentuk powder (serbuk) yaitu Dekstro-Levo methionine (DLmetionin) dan yang kedua dalam bentuk liquid (cair) yaitu analog hidroksi metionin (MHA) (Vazquez-Anon et al., 2006).
8
Pemberian DL-metionin perlu memperhatikan tingkat protein, bentuk fisik dan palatabilitas bahan makanan. Selain itu, karena metionin diketahui sebagai asam amino yang bersifat racun bila berlebihan maka pemberiannya harus diperhatikan dengan baik. Kelebihan pemberiannya akan berakibat buruk pada penambahan berat badan. Terjadinya penurunan selera makan atau penurunan laju pertumbuhan dapat disebabkan oleh antagonisme asam-asam amino, walaupun efek buruknya dapat dikoreksi dengan asam amino pembatas pertama (Pesti et al., 2005). Menurut Leeson dan Summers (2001), asam amino metionin akan bersifat racun apabila diberikan dua kali lebih banyak dari kebutuhan. Tingkat dan keseimbangan asam amino dalam pakan merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi efisiensi pakan ayam petelur (Al-Saffar dan Rose, 2002). Jumlah konsumsi ransum dari ayam yang ditambahkan DL-metionin pada pakan dan air minum lebih tinggi jika dibandingkan dengan pakan yang tidak ditambahkan DL-metionin. Penambahan DL-metionin 0,1% pada pakan yang berbasis jagung setara dengan 0,38% dari total metionin yang ada di dalam pakan atau pemberian 0,05% DL-metionin pada air minum dapat menghasilkan kinerja terbaik pada ayam petelur muda dalam produksi telur per hari, konversi pakan, berat telur, bobot putih telur, dan berat kerabang (Ramli et al., 2007). Ayam Broiler Ayam broiler termasuk kedalam ordo Galliformes, family Phasianidae, genus Gallus dan spesies Gallus domesticus. Ayam broiler ditujukan untuk menghasilkan daging dan menguntungkan secara ekonomis. Ayam broiler tumbuh sangat cepat sehingga dapat dipanen pada umur 6-7 minggu. Dalam kurun waktu tersebut ayam broiler akan tumbuh 40-50 kali dari bobot awalnya. Sifat pertumbuhan yang sangat cepat ini dicerminkan dari tingkah laku makannya yang sangat lahap. Nilai konversi ayam broiler sewaktu dipanen sekarang ini mencapai nilai dibawah 2 (Amrullah, 2004). Keunggulan ayam broiler didukung oleh sifat genetik karena ayam pedaging ini memiliki laju pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat, sehingga produksi optimal hanya dapat diwujudkan apabila ayam tersebut memperoleh makanan yang berkualitas baik dalam jumlah kebutuhan nutrisi yang mencukupi. Rekayasa genetik, perkembangan teknologi pakan dan manajemen perkandangan 9
menyebabkan strain ayam broiler yang ada sekarang lebih peka terhadap formula pakan yang diberikan (Wahju, 2004). Organ Dalam Hati Hati merupakan organ terpenting di dalam tubuh yang terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Hati memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai filter darah, pembentukan dan pengeluaran lemak, penyediaan tenaga (zat gula) dan protein, mengubah amonia menjadi urea, sekresi empedu dan detoksifikasi. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses detoksifikasi. Toksikan yang masuk kedalam tubuh akan mengalami proses biotransformasi dalam upaya mendetoksifikasi bahan tersebut, proses ini akan mengubah sifat toksikan yang semula larut lemak menjadi bahan yang mudah larut dalam air sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh (ekskresi). Proses biotransformasi terjadi di retikulum endoplasmik yang melibatkan sistem enzim sitokrom P-450 dan sitosol. Selama proses biotransformasi, toksikan akan mengalami dua proses detoksifikasi. Fase I toksikan akan mengalami pemaparan atau penambahan kelompok-kelompok fungsional oleh dua sistem enzim. Sistem enzim yang terlibat adalah sistem enzim pada sitokrom P-450 yaitu mixed function oxigenase (MFO) dan mixed function amine (flavin monooksigenase). Toksikan akan mengalami oksidasi, reduksi dan hidrolisis di fase I. Metabolit yang dihasilkan dapat langsung diekskresikan atau masuk ke sistem yang berlaku di Fase II. Fase ini terjadi di sitosol dan enzim-enzim yang terlibat pada fase ini akan mengkonjugasi toksikan, metabolit yang dihasilkan pada Fase II akan langsung diekskresikan (Pribadi, 2006). Fungsi lain dari hati adalah mengubah zat buangan dan bahan racun untuk dikeluarkan dalam empedu dan urin, serta mengubah glukosa yang diambil dari darah menjadi glikogen yang disimpan di sel-sel hati. Glikogen akan dirombak kembali menjadi glukosa oleh
10
enzim amilase dan dilepaskan ke darah sebagai respons meningkatnya kebutuhan energi oleh tubuh (Amrullah, 2004). Hati dapat menjadi radang atau terinfeksi oleh virus, maka kerja hati menjadi lemah. Penyakit hati dan infeksi-infeksi disebabkan oleh suatu kondisi yang bervariasi termasuk infeksi virus, serangan bakteri, dan perubahan kimia atau fisik didalam tubuh. Ayam memiliki hati dengan ukuran relatif besar, berat hati ayam berkisar antara 30-50 g. Hati mensekresikan sekitar satu liter empedu setiap hari, garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak dalam usus halus. Pigmen bilirubin berguna sebagai indikator kerusakan hati dan usus saluran pencernaan (Dalimartha, 2001). Menurut Arulmozhi et al. (2002), aflatoksin sudah memberikan efek negatif dalam hati (residu dalam hati) ayam broiler di dalam pakan yang terkontaminasi aflatoksin sebesar 100 ppb. Limpa Limpa merupakan salah satu organ yang berperan dalam sirkulasi darah yaitu sebagai daerah penampung darah. Mekanisme pertahanan zat-zat yang bersifat racun pada limpa yaitu dengan cara menyaring keluar jaringan dan memakannya serta sebagai makrofag yang memakan bakteri, oleh sebab itu, dapat mengontrol kemungkinan-kemungkinan timbulnya infeksi (Frandson, 1992). Menurut Mc Lelland (1990) limpa berwarna merah gelap, terletak disebelah kanan abdomen yang merupakan penghubung antara proventrikulus dengan rempela. Menurut Leeson et al. (1995), aflatoksin dapat meningkatkan bobot limpa ayam broiler. Pakan yang mengandung aflatoksin 1,6 ppm (1600 ppb) dapat meningkatkan bobot limpa ayam broiler, (Bara, 2008). Jantung Jantung adalah suatu struktur muscular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. Dasarnya mengarah dorsal atau kraniodorsal dan melekat pada strukturstruktur torasik lainnya dengan perantara arteri-arteri besar, vena dan kantung perikardial. Puncaknya mengarah ventral dan sepenuhnya bebas tidak terikat didalam perikardium (kantung serrosa) (Frandson, 1992). Jantung adalah organ otot yang memegang peranan penting di dalam peredaran darah jantung unggas memiliki empat ruangan yaitu dua bilik dan dua serambi. Unggas yang mempunyai ukuran
11
tubuh lebih kecil mempunyai laju yang lebih tinggi dibandingkan dengan unggas yang mempunyai ukuran tubuh besar (North dan Bell, 1990). Gizzard (Rempela) Ventrikulus atau rempela atau gizzard disebut juga dengan lambung otot yang merupakan tempat berlangsungnya mastikasi dan berfungsi sebagai gigi pada spesies mamalia. Bagian depan berhubungan dengan kelenjar dan perut yang lainnya berhubungan dengan usus halus. Rempela terletak antara proventikulus dengan batas atas usus halus. Rempela mempunyai dua pasang otot yang kuat dan sebuah mukosa (North dan Bell, 1990). Kontraksi otot rempela baru akan terjadi apabila makanan masuk kedalamnya. Bahan makanan kasar atau bijian digiling oleh otot kuat berlapis epitel tanduk sehingga sempurna halusnya. Jika unggas biasa mendapat makanan yang kasar atau berupa bijian maka ukuran rempelanya jauh lebih besar, lebih kuat dan berlapis epitel tanduk yang lebih tebal, ukuran rempela mudah berubah bergantung pada jenis makanan yang biasa dimakan oleh unggas (Amrullah, 2004). Bobot rempela dipengaruhi oleh umur, bobot badan, dan makanan. Pemberian makanan yang lebih banyak akan mengakibatkan beban rempela lebih besar untuk mencerna makanan, akibatnya urat daging rempela akan lebih tebal sehingga memperbesar ukuran rempela. Leeson et al. (1995) mengemukakan bahwa aflatoksin mengakibatkan meningkatnya bobot gizzard (rempela). Ginjal Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang hasil metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin atau air seni, yang kemudian dikeluarkan dari tubuh. Fungsi ginjal lainnya adalah mempertahankan keseimbangan susunan darah dengan mengeluarkan zat-zat seperti air yang berlebih, garam-garam organik dan bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah seperti pigmen darah atau pigmen-pigmen yang terbentuk dalam darah serta mengatur pH. ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen. Ginjal ini terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal) (Frandson, 1992). Menurut Arulmozhi et al. (2002), aflatoksin sudah meninggalkan residu di ginjal ayam broiler yang terkontaminasi aflatoksin sebesar 60-100 ppb di dalam pakan.
12
Pankreas Amrullah (2004) menyatakan bahwa pankreas adalah sebuah kelenjar yang mensekresikan sari cairan yang kemudian masuk ke dalam duodenum melewati saluran pankreas dimana lima enzimnya yaitu lipase, amylase, tripsin, nuklease, dan peptidase membantu pencernaan pati, lemak, dan protein. Pankreas terletak diantara lekukan duodenum usus kecil. Pankreas adalah suatu glandula tubulo alveolar yang memiliki bagian endokrin maupun eksokrin. Bagian eksokrin dari pankreas menghasilkan NaHCO3 serta enzim-enzim pencernaan yang melalui saluran pankreas menuangkan enzim itu ke duodenum dekat dengan muara saluran empedu. Saluran Pencernaan Usus Usus halus merupakan organ utama tempat berlangsungnya pencernaan dan absorpsi produk pencernaan. Enzim-enzim yang masuk ke dalam saluran pencernaan berfungsi mempercepat dan mengefisiensikan pemecahan karbohidrat, protein, dan lemak untuk mempermudah proses absorpsi. Secara anatomis, usus halus dibagi menjadi tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Segmen yang pertama adalah duodenum, duodenum bermula dari ujung distal gizzard. Bagian ini berbentuk kelokan, disebut sebagai duodenal loop. Pankreas menempel pada kelokan ini, pankreas mensekresikan pancreatic juice yang mengandung enzim amylase, lipase, dan tripsin. Jejunum dan ileum merupakan segmen yang sulit dibedakan pada saluran pencernaan ayam. Sepanjang permukaan lumen usus halus terdapat banyak sekali vili dan didalam vili terdapat mikrovili yang berfungsi melakukan absorpsi hasil pencernaan (Suprijatna et al., 2005). Usus halus mensekresikan cairan-cairan yang mengandung enzim dan mempunyai peranan yang penting didalam proses pencernaan makanan. Cairan usus halus dapat dirangsang produksinya bila lumen usus halus berhubungan dengan pangan atau pakan. Cairan usus yang biasa disebut succus entericus adalah cairan yang bersifat basa mengandung mucus dan dua macam enzim yaitu enterokinase dan amilase. Enterokinase mengaktifkan tripsinogen (enzim proteolitik pankreas) sedangkan amilase adalah enzim amilolitik yang mencerna karbohidrat. Disamping kedua macam enzim tersebut diatas pada sel-sel yang melapisi usus didapati enzim-
13
enzim peptidase yang berfungsi untuk mengurangi pepton dan polipeptida menjadi asam amino. Selain itu terdapat pula enzim sukrase yang menguraikan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Maltase yang menguraikan maltose menjadi dua molekul glukosa, laktase yang menguraikan laktosa menjadi glukosa dan galaktosa, dan enzim lipase yang berfungsi untuk mencerna lemak (Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Usus besar (kolon) merupakan kelanjutan dari usus halus yang mempunyai ukuran yang lebih pendek, tidak berliku-liku dan dindingnya lebih tebal dibandingkan dinding usus halus. Fungsi dari usus besar adalah untuk menyalurkan sisa makanan dari usus halus ke kloaka (Sarwono, 1999). Panjang usus besar yang dimiliki ayam dewasa berkisar antara 8-10 cm, diameter usus besar dua kali usus halus (Amrullah, 2004). Diantara usus halus dan usus besar terdapat dua kantong yang disebut sebagai caeca (usus buntu). Fungsi seka hanya sedikit menyerap air dan zat makanan didalam seka terdapat proses pencernaan oleh mikroba (Suprijatna, 2005).
14
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2010 bertempat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Pabrik Pakan Indofeed. Materi Alat dan bahan Peralatan yang digunakan yaitu peralatan pembersih kandang, tempat pakan dan air minum, sekat pembatas, pemanas, lampu, kawat, erlenmeyer, autoclave, kapas, jarum oase, tabung reaksi, plastik, inkubator, parafilm, timbangan, koran, hygrometer, timbangan digital, pinset, gunting, meteran, mesin pellet, dan mesin crumble. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yaitu sekam, sabun atau cairan pensteril, kapur, ransum dengan taraf aflatoksin dan DL-metionin yang berbeda, air, vaksin ND (Newcastle disease), PDA (Potato Dextrose Agar), aquades, kultur Aspergillus flavus, jagung giling dan vaksin Gumboro. Ternak percobaan yang digunakan adalah 720 ekor broiler strain Ross Jumbo 747. Ternak dibagi kedalam sembilan perlakuan dengan empat ulangan dan dipelihara di kandang koloni yang telah disediakan sehingga masing-masing kandang tersebut berisi 20 ekor DOC. Ransum disusun berdasarkan rekomendasi Leeson dan Summers (2005) dengan kandungan energi metabolis 3050 kkal/kg dan protein 22% (starter / 0-3 minggu); energi metabolis 3150 kkal/kg dan protein 18% (finisher / 3-6 minggu). Aflatoksin yang digunakan dalam penelitian ini bukan dalam bentuk isolasi murni, melainkan kultur Aspergillus flavus yang sengaja dicampur di dalam jagung. Ransum ini disusun dari jagung giling, bungkil kedelai, dedak padi, CGM (Corn Gluten Meal), MBM (Meat Bone Meal), CPO (Crude Palm Oil), DCP (Dicalcium Phosphate), garam, premix, limestone, DL-Methionine (produksi Sumitomo Chemical Co., Ltd). Ransum dibuat dalam bentuk crumble Komposisi dan
15
kandungan zat makanan ransum ayam broiler periode starter (0-3 minggu) dan periode finisher (3-6 minggu) dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 3. Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) Ransum Perlakuan
Bahan Pakan
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
--------------------------------- (%) ------------------------------Jagung kuning
48
48
48
48
48
48
48
48
48
100
50
0
100
50
0
100
50
0
0
50
100
0
50
100
0
50
100
Bungkil kedelai
25
25
25
25
25
25
25
25
25
Dedak CGM (Corn Gluten Meal
12
12
12
12
12
12
12
12
12
6,71
6,71
6,71
6,71
6,71
6,71
6,71
6,71
6,71
MBM (Meat Bone Meal)
5,01
5,01
5,01
5,01
5.01
5,01
5,01
CPO (Crude Palm Oil) DCP (Dicalcium Posphate)
1,59
1,59
1,59
1,59
1,59
1,59
1,59
1,59
1,59
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
Garam
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
Premix
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
Limestone
0,24
0,24
0,24
0,24
0,24
0,24
0,24
0,24
0,24
Total
100
100
100
100
100
100
100
100
100
DL-metionin (%)
0
0
0
0,25
0,25
0,25
0,35
0,35
0,35
Aflatoksin (ppb)
0
150
300
0
150
300
0
150
300
85,23
85,55
85,36
86,14
85,47
84,37
86,10
86,16
86,26
6,77
6,42
6,58
6,42
6,51
6,67
6,23
6,52
6,69
23,37
23,80
23,93
23,74
23,90
23,38
25,53
24,60
24,62
Serat kasar (%)
4,52
4,11
3,76
3,48
4,37
4,51
3,44
3,65
4,47
Lemak kasar (%)
3,82
4,18
3,04
3,42
3,74
3,41
3,55
3,83
3,50
46,75
47,04
48,13
47,71
46,95
46,40
47,35
47,56
46,98
Ca (%)
1,17
1,30
1,24
1,18
1,49
1,48
1,54
1,60
1,69
P total (%)
1,00
1,06
1,03
1,00
0,97
1,01
1,01
1,01
1,02
NaCl (%)
0,07
0,19
0,06
0,21
0,10
0,19
0,21
0,28
0,10
EB (kkal/kg)
3824
3811
3849
3825
3813
3923
3863
3920
3997
Jagung biasa (%) Jagung aflatoksin (%)
5,01
5,01
Kandungan Zat Makanan * : Bahan kering (%) Abu (%) Protein Kasar (%)
Beta-N (%)
Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2010); R1: Ransum basal (RB) + 0 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R2: RB + 150 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R3: RB + 300 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R4: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DLmetionin untuk finisher; R5: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R6: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R7: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher; R8: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher; R9: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher.
16
Kandungan asam amino ransum penelitian periode starter (0-3 minggu) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Asam Amino Ransum Penelitian Periode Starter (0-3 minggu) Komponen asam amino
Jenis ransum R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
----------------------------------- (%) --------------------------------Asam Aspartat
0,82
0,62
0,70
0,88
0,79
0,72
0,84
0,82
0,85
Asam Glutamat
1,22
1,05
1,70
2,10
1,18
1,25
2,33
1,47
2,37
Serin
0,45
0,35
0,50
0,50
0,53
0,43
0,50
0,45
0,49
Glisin
0,20
0,16
0,17
0,23
0,21
0,18
0,22
0,21
0,22
Histidin
0,21
0,30
0,23
0,30
0,27
0,28
0,30
0,20
0,30
Arginin
0,28
0,23
0,33
0,38
0,29
0,36
0,36
0,32
0,37
Theronin
0,32
0,34
0,38
0,51
0,43
0,41
0,41
0,34
0,44
Alanin
0,21
0,22
0,30
0,24
0,22
0,30
0,26
0,23
0,26
Prolin
1,02
1,00
1,00
1,24
1,18
0,93
1,33
1,10
1,34
Tirosin
0,31
0,30
0,36
0,36
0,30
0,39
0,39
0,51
0,40
Valin
0,64
0,54
0,66
0,80
0,65
0,64
0,76
0,63
0,77
Methionin
0,42
0,50
0,50
0,52
0,59
0,51
0,55
0,46
0,56
Sistein
0,21
0,20
0,21
0,20
0,22
0,21
0,20
0,22
0,21
Isoleusin
0,28
0,22
0,28
0,48
0,22
0,39
0,45
0,26
0,45
Leusin
1,13
1,18
1,12
1,48
1,13
1,12
1,54
1,20
1,56
Phenilalanin
0,27
0,23
0,30
0,40
0,21
0,28
0,38
0,27
0,39
Lysin
0,95
0,90
0,96
1,10
1,03
1,10
1,03
0,97
1,04
Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2010)
17
Tabel 3. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Ransum Perlakuan
Bahan Pakan
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
----------------------------------- (%) -----------------------------Jagung
52
52
52
52
52
52
52
52
52
100
50
0
100
50
0
100
50
0
0
50
100
0
50
100
0
50
100
Bungkil kedelai
19
19
19
19
19
19
19
19
19
Dedak CGM (Corn Gluten Meal MBM (Meat Bone Meal)
13
13
13
13
13
13
13
13
13
3,10
3,10
3,10
3,10
3,10
3,10
3,10
3,10
3,10
8,10
8,10
8,10
8,10
8,10
8,10
8,10
8,10
8,10
CPO (Crude Palm Oil) DCP (Dicalcium Posphate)
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Garam
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
Premix
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
Limestone
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Total
100
100
100
100
100
100
100
100
100
DL-metionin (%)
0
0
0
0,20
0,20
0,20
0,30
0,30
0,30
Aflatoksin (ppb)
0
150
300
0
150
300
0
150
300
88,21
87,91
88,10
88,20
88,42
88,07
88,92
88,00
87,52
5,80
5,73
5,77
5,56
5,91
5,98
5,25
5,45
5,73
20,24
20,39
20,58
20,89
20,84
21,20
20,90
20,25
21,52
Serat kasar (%)
4,13
4,54
4,80
5,99
5,34
5,31
3,97
3,92
6,71
Lemak kasar (%)
5,99
4,57
4,12
3,79
5,02
5,81
7,71
6,22
5,16
52,05
52,68
52,83
52,06
51,31
49,77
50,09
52,16
48,40
Ca (%)
1,21
1,22
1,27
1,21
1,16
1,11
1,09
1,07
1,03
P total (%)
0,86
0,85
0,85
0,84
0,87
0,89
0,79
0,85
0,85
NaCl (%)
0,05
0,21
0,19
0,10
0,20
0,11
0,18
0,17
0,35
EB (kkal/kg)
3893
3895
3908
3921
3843
3888
3890
3839
3902
Jagung biasa (%) Jagung aflatoksin (%)
Kandungan Zat Makanan * : Bahan kering (%) Abu (%) Protein Kasar (%)
Beta-N (%)
Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2010); R1: Ransum basal (RB) + 0 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R2: RB + 150 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R3: RB + 300 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R4: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DLmetionin untuk finisher; R5: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R6: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R7: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher; R8: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher; R9: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher.
18
Kandungan asam amino ransum penelitian periode finisher (3-6 minggu) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Asam Amino Ransum Penelitian Periode Finisher (3-6 minggu) Komponen asam amino
Jenis ransum R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
---------------------------------- (%) ------------------------------Asam Aspartat
0,74
0,72
0,86
0,75
0,65
0,93
0,80
0,76
0,83
Asam Glutamat
2,06
1,76
2,04
1,82
1,92
2,11
1,81
2,07
2,30
Serin
0,59
0,50
0,50
0,46
0,37
0,50
0,45
0,42
0,48
Glisin
0,19
0,18
0,22
0,18
0,16
0,21
0,21
0,19
0,21
Histidin
0,25
0,21
0,29
0,29
0,31
0,34
0,30
0,30
0,29
Arginin
0,27
0,35
0,34
0,38
0,34
0,42
0,31
0,24
0,36
Theronin
0,31
0,34
0,50
0,43
0,36
0,47
0,33
0,36
0,42
Alanin
0,21
0,30
0,39
0,31
0,23
0,33
0,33
0,30
0,36
Prolin
1,12
1,02
1,04
1,00
1,04
1,12
1,05
1,11
1.03
Tirosin
0,31
0,38
0,41
0,41
0,31
0,44
0,39
0,29
0,38
Valin
0,41
0,68
0,70
0,67
0,46
0,75
0,65
0,69
0,74
Methionin
0,51
0,48
0,56
0,48
0,48
0,69
0,52
0,50
0,62
Sistein
0,20
0,22
0,22
0,23
0,21
0,22
0,21
0,19
0,26
Isoleusin
0,50
0,53
0,47
0,59
0,34
0,69
0,45
0,45
0,44
Leusin
1,23
1,17
1,15
1,18
1,13
1,35
1,15
1,18
1,16
Phenilalanin
0,30
0,31
0,36
0,29
0,23
0,32
0,24
0,25
0,38
Lysin
1,27
0,98
1,23
1,16
0,94
1,28
1,01
0,99
1,24
Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2010)
19
Metode Perlakuan R1: Ransum basal (RB) + 0 ppb aflatoksin + 0% DL-metionin R2: RB + 150 ppb aflatoksin + 0% DL-metionin R3: RB + 300 ppb aflatoksin + 0% DL-metionin R4: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DLmetionin untuk finisher R5: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DLmetionin untuk finisher; R6: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DLmetionin untuk finisher R7: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DLmetionin untuk finisher R8: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DLmetionin untuk finisher R9: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DLmetionin untuk finisher Rancangan Percobaan dan Model Matematika Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial 3 × 3 dengan empat ulangan, faktor A dalam percobaan ini adalah taraf DL-metionin dan faktor B adalah taraf aflatoksin. Adapun model matematika yang digunakan adalah : Yijk = µ + αi + βj +(αβ) ij + εijk Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan perlakuan ke-i, perlakuan ke-j, dan ulangan ke-k
µ
= Rataan umum
αi
= Pengaruh perlakuan ke-i
βj
= Pengaruh perlakuan ke-j
(αβ) ij = Pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan perlakuan ke-j εijk
= Error perlakuan ke-i, perlakuan ke-j, dan ulangan ke-k.
20
Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance / ANOVA), jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Peubah yang Diamati Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah persentase berat organ dalam (hati, limpa, jantung, gizzard atau rempela, ginjal, dan pankreas), persentase panjang dan berat saluran pencernaan (usus halus, usus besar dan seka). 1. Persentase berat organ dalam Persentase berat organ dalam (%) = Berat Organ Dalam (g) × 100% Bobot Hidup Ayam (g) 2. Panjang relatif saluran pencernaan Panjang relatif saluran pencernaan (cm/100 g BB) = Panjang Relatif Saluran Pencernaan (cm) × 100% Bobot Hidup Ayam (g)
21
Prosedur Tahapan pembuatan kultur Aspergillus flavus dan transfer kapang Aspergillus flavus ke jagung disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Pembuatan Kultur Aspergillus flavus PDA (Potato Dextrose Agar) ditimbang sebanyak 0,925 g untuk 5 tabung Erlenmeyer
Ditambahkan aquades yang telah diautoclave (1 liter aquades untuk 39 gram PDA)
Dipanaskan dan diaduk agar homogen (10 menit)
Diambil 5 ml agar-agar untuk setiap tabung Autoclave (1210C, 45 menit) Media agar miring Kultur Aspergillus flavus sebanyak 5 tabung
Ditutup kapas dan parafilm Inkubator (7 hari) Gambar 4. Tahapan Pembuatan Kultur Aspergillus flavus
22
Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung Kultur Aspergillus flavus ditambahkan aquades @ tabung sebanyak 5 ml yang sudah di autoclave Campur kedalam 10 kg jagung
500 kg jagung di autoclave (1210C, 45 menit)
Air di autoclave sebanyak 335 L (1210C, 60 menit)
Inkubasi (1 minggu) Dicampur hingga homogen Jagung terkontaminasi Aspergillus flavus
Jagung yang sudah terkontaminasi jamur Aspergillus flavus diambil sebanyak 20 g untuk 10 kg jagung kuning yang akan ditransfer kapang Aspergillus flavus yang sebelumnya telah dicampur dengan air
Inkubasi (4 minggu) dengan ditutup plastik Gambar 5. Tahapan Transfer Kapang Aspergillus flavus ke Jagung
23
Pembuatan Ransum Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum ayam broiler periode starter dan finisher. Aflatoksin yang digunakan dalam penelitian ini bukan dalam bentuk isolasi murni, melainkan kultur Aspergillus flavus yang sengaja dicampur di dalam jagung. Kadar aflatoksin yang digunakan adalah 0 ppb, 150 ppb dan 300 ppb. Taraf aflatoksin 150 ppb ditentukan berdasarkan tiga kali lipat batas maksimum kandungan aflatoksin dalam ransum untuk ayam broiler yang ditetapkan sebesar 50 ppb menurut SNI (2006) dan diduga sudah mengganggu pertumbuhan ternak. Untuk taraf aflatoksin 300 ppb ditentukan berdasarkan enam kali lipat dari batas maksimum kandungan aflatoksin dalam ransum. Taraf DL-metionin yang digunakan pada periode starter adalah 0%, 0,25%, dan 0,35%, sedangkan DLmetionin yang ditambahkan dalam periode finisher adalah 0%, 0,20%, dan 0,30%. Bahan-bahan pakan dicampur menggunakan mixer, pencampuran dilakukan dari komposisi yang terkecil dahulu hingga homogen, setelah itu komposisi bahan yang paling besar dan bahan dibuat dalam bentuk crumble. Tahapan alur pembuatan pakan dapat dilihat pada Gambar 6.
24
Alur Pembuatan Pakan Bahan baku Ditimbang
Mixer
Bin proses (mengatur cepat lambatnya bahan yang akan masuk kedalam kondisioner Kondisioner (suhu 80-900C), ditambahkan air sebanyak 0,5-1% untuk proses steam
Ekspander ( suhu 1050C)
Conditioning Lubang die
Cooler (didinginkan hingga suhu 280C)
Crumble Gambar 6. Tahapan Alur Pembuatan Pakan
25
Pemeliharaan Ayam Sebelum DOC (Day Old Chick) datang, pemanas dinyalakan terlebih dahulu agar suhu dalam kandang mencapai ±35oC. DOC yang baru datang ditimbang dan diberi air gula sebagai sumber energi untuk memulihkan kondisi DOC akibat stress pengangkutan. Vita Stress diberikan pada hari kedua selama tiga hari serta pada waktu sesudah penimbangan dan vaksinasi. DOC yang baru datang ditimbang untuk mengetahui keragaman bobot badannya, setelah satu minggu diberi nomor untuk memudahkan pencatatan. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Sisa ransum yang tidak habis dikumpulkan, kemudian ditimbang dan dicatat. Pengukuran pertambahan bobot badan dilakukan setiap minggu, pemeliharaan dilakukan selama enam minggu. Pencegahan terhadap penyakit dilakukan dengan vaksinasi yaitu vaksinasi ND (Newcastle disease) dan gumboro. Vaksinasi dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu vaksinasi ND1 pada ayam berumur 3 hari yang dilakukan melalui tetes mata dan ND2 pada umur 21 hari melalui oral (air minum). Vaksinasi Gumboro dilakukan pada umur 10 hari melalui oral (air minum). Penimbangan Organ Dalam dan Pengukuran Saluran Pencernaan Sebelum pengambilan sampel untuk pengukuran organ dalam, ternak ditimbang terlebih dahulu, selanjutnya dari setiap ulangan percobaan diambil satu ekor ayam untuk dilakukan penimbangan organ dalam (g) serta pengukuran panjang saluran pencernaan (cm/100g bobot hidup).
26
HASIL DAN PEMBAHASAN Ransum Penelitian Dilakukan autoclave pada jagung yang telah ditanamkan isolat Aspergillus flavus kemudian dianalisa kandungan aflatoksinnya. Hasil analisa menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin jagung sebesar 369 ppb. Masing-masing ransum dicampur dengan jagung mengandung aflatoksin agar didapatkan kadar aflatoksin yang diinginkan. R1: Ransum basal menggunakan jagung aflatoksin 0% dari total jagung + DL-metionin 0% (untuk pakan starter dan finisher); R2: menggunakan 50% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0% (untuk pakan starter dan finisher); R3: menggunakan 100% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0% (untuk pakan starter dan finisher); R4: menggunakan 0% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,25% (untuk pakan starter) dan 0,20% (untuk pakan finisher); R5: menggunakan 50% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,25% (untuk pakan starter) dan 0,20% (untuk pakan finisher); R6: menggunakan 100% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,25% (untuk pakan starter) dan 0,20% (untuk pakan finisher); R7: menggunakan 0% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,35% (untuk pakan starter) dan 0,30% (untuk pakan finisher); R8: menggunakan 50% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,35% (untuk pakan starter) dan 0,30% (untuk pakan finisher); R9: menggunakan 100% jagung aflatoksin dari total jagung + DL-metionin 0,35% (untuk pakan starter) dan 0,30% (untuk pakan finisher). Kandungan aflatoksin dalam ransum tersebut diasumsikan sebagai berikut; R1 mengandung aflatoksin sebesar 0 ppb, R2 mengandung aflatoksin sebesar 150 ppb, R3 mengandung aflatoksin sebesar 300 ppb, R4 mengandung aflatoksin sebesar 0 ppb, dan R5 mengandung aflatoksin sebesar 150 ppb, R6 mengandung aflatoksin sebesar 300 ppb, R7 mengandung aflatoksin sebesar 0 ppb, R8 mengandung aflatoksin sebesar 150 ppb, R9 mengandung aflatoksin sebesar 300 ppb. Hasil analisis kandungan aflatoksin ransum pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis ransum menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin pada masing-masing perlakuan tidak sesuai asumsi perhitungan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yang bisa mempengaruhi jumlah kandungan aflatoksin dalam ransum perlakuan.
27
Tabel 5. Kandungan Aflatoksin Dalam Ransum Perlakuan Periode Starter (0-3 minggu) dan Finisher (3-6 minggu) Ransum R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9
Aflatoksin (ppb) Starter (0-3 minggu) Finisher (3-6 minggu) 25,65 69,57 19,24 72,64 25,60 71,67 24,02 78,50 26,15 74,33 27,35 72,51 29,11 68,33 34,50 66,67 29,69 62,35
Keteranga: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2010). R1: Ransum basal (RB) + 0 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R2: RB + 150 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R3: RB + 300 ppb aflatoksin + 0 % DL-metionin; R4: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R5: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,25% DL-metionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R6: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,25% DLmetionin untuk starter dan 0,20% DL-metionin untuk finisher; R7: RB + 0 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher; R8: RB + 150 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DL-metionin untuk finisher; R9: RB + 300 ppb aflatoksin + 0,35% DL-metionin untuk starter dan 0,30% DLmetionin untuk finisher.
Pemanasan pada saat pembuatan pakan menyebabkan aflatoksin berkurang. Pada saat jagung dibuat pakan, jagung mengalami pemanasan di dalam mesin pellet. Jagung dan bahan baku lain mengalami proses pemanasan pada saat bahan baku masuk kedalam kondisioner, suhu didalam kondisioner 80-900C. Di dalam kondisioner juga mengalami penambahan air sebesar 0,5-1% untuk proses steam. Setelah diproses di dalam kondisioner bahan baku masuk ke dalam ekspander yang mempunyai suhu 1050C dengan tekanan 20-25 bar, di dalam ekspander terjadi proses gelatinisasi, membunuh kuman, bakteri, jamur, dll. Adanya pemanasan pada proses pembuatan pakan diduga dapat menurunkan kadar aflatoksin dalam pakan. Laju perusakan aflatoksin dengan cara pemanasan dapat dipercepat dengan menaikkan kadar air bahan, waktu dan suhu pemanasan (Syarief et al., 2003).
Menurut Reddy dan Waliyar (2000), aflatoksin dalam bahan pakan atau produk pertanian disebabkan karena adanya suhu yang sesuai dengan pertumbuhan kapang yaitu berkisar antara 4-40oC (optimal 25-32oC) dengan kadar air bahan lebih dari 18% serta kelembaban optimal di atas 85%. Kemampuan kapang untuk membentuk dan menyimpan aflatoksin tergantung beberapa faktor yaitu potensial
28
genetik kapang, persyaratan-persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu, pH) dan lamanya kontak antara kapang dengan substrat. Adanya perbedaan jagung yang digunakan dalam membuat jagung yang terkontaminasi aflatoksin dan jagung penyusun ransum dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kapang memiliki pertumbuhan yang berbeda-beda disebabkan oleh kandungan nutrisi yang bervariasi sehingga menghasilkan aflatoksin yang berbeda-beda pula. Kadar air jagung penelitian
untuk media tumbuh Aspergillus flavus hanya 12%, tetapi ditambahkan air agar kadar airnya mencapai 20%. Meskipun kadar air sudah cukup untuk mengoptimalkan tumbuhnya kapang Aspergillus flavus yang menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin, tetapi tidak menunjukkan hasil yang baik. Hal tersebut disebabkan karena selain kadar air yang lebih dari 18%, suhu, pH, substrat dan kelembaban juga dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang tersebut. Pada saat menumbuhkan kapang tidak memperhatikan suhu, kelembaban, pH, dan substrat (kandungan nutrisi bahan) didalam jagung yang akan ditumbuhkan tersebut, sehingga aflatoksin yang dihasilkan tidak sesuai seperti yang diharapkan. Adanya kandungan aflatoksin pada ransum perlakuan R1, R4, dan R7 disebabkan karena pada proses pencampuran pakan kemungkinan saat melakukan proses pencampuran dalam mesin mixer sebelumnya digunakan mencampur bahan perlakuan yang terkontaminasi aflatoksin sehingga sisa-sisa bahan tersebut menempel pada bahan yang akan dicampur berikutnya. Persentase Berat Organ Dalam Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) dan Finisher (3-6 minggu) Persentase berat organ dalam (hati, jantung, ginjal, pankreas, rempela, dan limpa) ayam broiler periode starter (0-3 minggu) dan finisher (3-6 minggu) disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Hati Rataan persentase berat hati ayam broiler dengan adanya penambahan aflatoksin pada periode starter adalah 2,84-3,10% dan finisher adalah 2,21-2,59%. Rataan persentase berat hati ayam broiler periode starter lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, yaitu 2,58% dari bobot hidup. Walaupun berat hati pada periode starter lebih tinggi, namun berdasarkan hasil sidik ragam tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpukan bahwa 29
penambahan aflatoksin tidak mempengaruhi kinerja hati. Hal ini disebabkan kandungan aflatoksin dalam ransum periode starter menurut hasil analisis yaitu 19,24-29,69 ppb, masih jauh lebih rendah dibandingkan rekomendasi SNI (Standar Nasional Indonesia, 2006), yaitu 50 ppb. Kejadian penyakit akibat aflatoksin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, status pangan dan atau dapat terjadi bersama-sama dengan agen penyebab lain seperti virus hepatitis atau infeksi parasit (Rachmawati, 2006). Tabel 6. Rataan Persentase Berat Organ Dalam Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) Peubah
Faktor A Kontrol (Metionin) (Komersil) (%)
Hati 2,58
Jantung 0,58
Ginjal 0,86
Pankreas 0,36
Rempela 1,60
Limpa 0,10
Faktor B (Aflatoksin) (ppb)
Rataan
0 0,25 0,35
0 2,97±0,57 2,65±0,45 2,89±0,28
150 3,44±1,16 2,47±0,31 2,99±0,58
300 2,94±0,42 3,22±0,68 3,13±0,46
3,12±0,72 2,78±0,48 3,00±0,44
Rataan 0 0,25 0,35
2,84±0,43 0,74±0,12 0,58±0,09 0,71±0,12
2,96±0,69 0,57±0,15 0,67±0,09 0,71±0,57
3,10±0,52 0,55±0,19 0,80±0,55 0,99±0,52
0,62±0,15 0,68±0,24 0,80±0,40
Rataan
0,68±0,11
0,65±0,27
0,78±0,42
0
0,98±0,11
1,02±0,12
0,96±0,23
0,99±0,15
0,25
1,22±0,32
0,86±0,13
1,18±0,24
1,09±0,23
0,35
1,11±0,24
0,90±0,08
1,05±0,23
1,02±0,18
Rataan
1,10±0,22
0,93±0,11
1,06±0,23
0
0,47±0,09
0,52±0,13
0,47±0,05
0,49±0,09
0,25
0,45±0,07
0,38±0,09
0,40±0,03
0,41±0,06
0,35
0,46±0,08
0,45±0,05
0,40±0,01
0,44±0,05
Rataan
0,46±0,08
0,45±0,09
0,42±0,03
0
2,25±0,51
2,56±0,69
2,30±0,38
2,37±0,53
0,25
2,16±0,32
2,16±0,28
2,02±0,40
2,12±0,33
0,35
2,51±0,26
2,43±0,15
1,75±0,27
2,23±0,23
Rataan
2,31±0,36
2,38±0,37
2,02±0,35
0
0,12±0,01
0,12±0,04
0,09±0,02
0,11±0,02
0,25
0,09±0,02
0,27±0,29
0,21±0,07
0,19±0,13
0,35
0,10±0,02
0,11±0,03
0,08±0,01
0,10±0,02
Rataan
0,10±0,02
0,17±0,12
0,13±0,03
30
Tabel 7. Rataan Persentase Berat Organ Dalam Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Peubah
Kontrol (komersil)
Hati 2,50
Jantung 0,47
Ginjal 0,76
Pankreas 0,26
Rempela 1,43
Limpa 0,10
Faktor A (Metionin) (%)
Faktor B (Aflatoksin) (ppb) 0
150
Rataan
300
0 0,20
2,58±0,37 1,97±0,09
2,13±0,41 2,24±0,13
2,74±0,32 2,50±0,42
2,48±0,37 2,24±0,21
0,30
2,10±0,05
2,26±0,09
2,55±0,18
2,30±0,11
b
b
a
Rataan
2,22 ±0,17
2,21 ±0,21
2,59 ±0,31
0 0,20
0,55±0,08 0,47±0,05
0,51±0,06 0,48±0,08
0,52±0,07 0,46±0,05
0,53±0,07 0,47±0,06
0,30
0,51±0,09
0,49±0,07
0,47±0,06
0,49±0,07
Rataan
0,51±0,07
0,49±0,07
0,48±0,06
0
0,77±0,04
0,73±0,09
0,88±0,12
0,79a1)±0,08
0,20
0,72±0,11
0,75±0,03
0,71±0,07
0,73ab ±0,07
0,30
0,70±0,02
0,65±0,11
0,71±0,08
0,69b ±0,07
Rataan
0,73±0,06
0,71±0,08
0,77±0,09
0 0,20
0,23±0,06 0,26±0,02
0,28±0,04 0,26±0,02
0,25±0,03 0,28±0,02
0,25±0,04 0,27±0,02
0,30
0,26±0,04
0,30±0,07
0,25±0,08
0,27±0,06
Rataan
0,25±0,04
0,28±0,08
0,26±0,04
0
1,95±0,21
2,05±0,39
1,98±0,18
1,99a ±0,26
0,20
1,75±0,23
1,76±0,24
1,70±0,31
1,74b ±0,26
0,30
1,99±0,23
1,81±0,24
1,56±0,25
1,79ab ±0,24
Rataan
1,90±0,22
1,87±0,29
1,75±0,25
0
abc2)
bc
0,28±0,17a
0,20a ±0,10
0,19±0,09
0,12±0,03
0,20
0,12±0,02bc
0,12±0,04bc
0,09±0,03c
0,11b ±0,03
0,30
0,10±0,03c
0,23±0,11ab
0,10±0,03bc
0,14ab ±0,06
Rataan 0,14±0,05 0,16±0,06 0,16±0,08 Keterangan: 1) Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 2) Terdapat interaksi antara DL-metionin dan aflatoksin terhadap persentase berat limpa
Penambahan aflatoksin pada periode finisher nyata meningkatkan berat hati sebesar 17,19% dari bobot hidup. Rataan persentase berat hati ayam broiler periode finisher lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, yaitu 2,50% dari bobot hidup. Organ hati merupakan satu-satunya organ yang melakukan fungsi detoksifikasi. Hati menerima berbagai jenis senyawa dari darah yang masuk kedalam tubuh melalui jalur saluran pencernaan, saluran pernafasan, dan kulit. Bahan toksikan yang masuk
31
ke
dalam
tubuh
akan
mengalami
proses
biotransformasi
dalam
upaya
mendetoksifikasi racun tersebut. Aflatoksin dikenal sebagai hepatotoksin sehingga menjadikan hati organ utama ketika zat ini masuk kedalam tubuh. Organ hati tidak saja menjadi sasaran utama, tetapi di dalam hati aflatoksin ini akan mengalami perubahan biologi (biotransformasi) dan bioaktivasi, sehingga yang semula aflatoksin tidak memiliki sifat toksik setelah masuk ke dalam organ hati menjadi toksik dan bersifat karsinogenik. Tingginya berat hati ayam broiler disebabkan karena kerja hati dalam mendetoksifikasi racun lebih tinggi sehingga menyebabkan peningkatan berat hati. Menurut Bahri (2001), efek keracunan aflatoksin bervariasi tergantung sifat dan derajat toksisitas aflatoksin. Penambahan DL-metionin 0,25% dan 0,35% pada periode starter (0-3 minggu) serta 0,20% dan 0,30% pada periode finisher (3-6 minggu) dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat hati ayam broiler. Rataan persentase berat hati ayam broiler dengan penambahan DLmetionin pada periode starter adalah 2,78-3,12% dan finisher adalah 2,24-2,48%, rataan persentase berat hati ayam broiler periode finisher lebih rendah dibandingkan berat hati ayam broiler pada perlakuan kontrol, yaitu 2,50% dari bobot hidup. Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dengan faktor pemberian aflatoksin terhadap persentase berat hati baik pada periode starter maupun finisher. Pemberian DL-metionin pada periode starter maupun finisher dalam ransum perlakuan yang terkontaminasi aflatoksin tidak merubah kinerja hati. Persentase berat hati pada perlakuan yang terkontaminasi aflatoksin tanpa diberi DLmetionin maupun perlakuan yang terkontaminasi aflatoksin dan diberi DL-metionin tidak mampu merubah kinerja hati ayam broiler sehingga persentase berat hati ayam broiler masih normal. Adanya penambahan metionin dapat mempertahankan kesehatan ternak yang pakannya tercemar aflatoksin. Hal ini terjadi karena proses detoksifikasi aflatoksin di dalam tubuh (terutama organ hati) memerlukan glutathione dan metionin berperan dalam pembentukan glutathione tersebut. Jantung Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berat jantung. Rataan persentase berat jantung ayam broiler yang diberi aflatoksin pada 32
periode starter adalah 0,65-0,78% dan finisher adalah 0,48-0,51%. Persentase berat jantung ayam broiler yang terkontaminasi aflatoksin pada periode starter mupun finisher lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yaitu 0,58% untuk starter dan 0,47% untuk finisher. Hal ini disebabkan kandungan aflatoksin dalam ransum masih berada dalam batas yang dapat ditoleransi ayam broiler. Pembesaran ukuran jantung biasanya disebabkan karena adanya penambahan jaringan otot jantung. Ukuran jantung sangat dipengaruhi oleh jenis, umur, berat, dan perbedaan bobot jantung pada setiap perlakuan disebabkan karena adanya perbedaan aktivitas dari masingmasing ternak tersebut (Ressang, 1984). Dapat disimpulkan bahwa penambahan aflatoksin tidak mempengaruhi kinerja jantung. Persentase berat jantung kontrol lebih rendah walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Persentase berat jantung lebih rendah dikarenakan ransum kontrol tidak ditambahkan aflatoksin sehingga ransum tidak mengandung racun dan kerja jantung menjadi lebih ringan yang mengakibatkan berat jantung menjadi lebih ringan. Penambahan DL-metionin pada periode starter maupun pada periode finisher dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin tidak berpengaruh nyata terhadap berat jantung ayam broiler. Rataan persentase berat jantung ayam broiler yang diberi DLmetionin pada periode starter adalah 0,62-0,80% dan finisher adalah 0,47-0,53%. Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dengan faktor pemberian aflatoksin terhadap persentase berat jantung baik pada periode starter maupun finisher. Penambahan DL-metionin dalam ransum tidak memberikan efek negatif pada jantung untuk mengedarkan darah secara efisien ke dalam paru-paru untuk menggantikan O2 dan CO2 untuk menyokong proses metabolisme tubuh (North dan Bell, 1990). Ginjal Rataan persentase berat ginjal ayam broiler periode starter adalah 0,931,10%, sedangkan rataan persentase berat ginjal ayam broiler periode finisher adalah 0,65%-0,88%. Rataan persentase berat ginjal ayam broiler yang diberi aflatoksin pada periode starter maupun finisher lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, yaitu 0,86% dan 0,76%. Penambahan aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berat ginjal sehingga aktivitas ginjal dalam menyaring plasma dari darah dan menyerap kembali air dan unsur-unsur yang masih 33
berguna bagi tubuh ternak dalam keadaan normal. Tingginya persentase berat ginjal yang diberi aflatoksin dikarenakan ginjal tidak mampu membuang hasil metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin. Ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan susunan darah dengan mengeluarkan zat-zat seperti air yang berlebih, garam-garam organik dan bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah seperti pigmen darah atau pigmen-pigmen yang terbentuk dalam darah. Adanya peningkatan bobot ginjal mengindikasikan adanya reaksi tanggap kebal terhadap zat toksik yang masuk kedalam ginjal. Penambahan DL-metionin dalam ransum pada periode starter tidak berpengaruh nyata terhadap berat ginjal ayam broiler. Rataan persentase berat ginjal ayam broiler yang diberi DL-metionin pada periode starter adalah 0,99-1,09%. Persentase berat ginjal ayam broiler yang diberi DL-metionin pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Penambahan DL-metionin 0,30% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode finisher nyata menurunkan berat ginjal sebesar 14,49% dibandingkan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tanpa ditambahkan DL-metionin. Rataan persentase berat ginjal ayam broiler periode finisher adalah 0,69-0,79%. Rataan persentase berat ginjal ayam broiler periode finisher pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dengan faktor pemberian aflatoksin terhadap persentase berat ginjal baik pada periode starter maupun finisher. Tingginya persentase berat ginjal ayam broiler pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin tanpa ditambahkan DL-metionin disebabkan karena kandungan aflatoksin dalam ransum menurut hasil analisis yaitu 62,35-78,50 ppb sudah diatas batas aman seperti yang telah dikemukakan SNI (Standar Nasional Indonesia, 2006), yaitu 50 ppb. Menurut Arulmozhi et al. (2002), aflatoksin sudah meninggalkan residu di ginjal pada level 60-100 ppb di dalam pakan. Ransum penelitian ini terkontaminasi aflatoksin pada level 62,35-78,50 ppb, hal ini mengakibatkan kerja ginjal lebih tinggi sehingga bobot ginjal mengalami peningkatan. Menurut Bahri (2001), efek keracunan aflatoksin bervariasi tergantung sifat dan derajat toksisitas aflatoksin. Keracunan aflatoksin terutama akan merusak organ hati dan ginjal seperti yang sudah dikemukakan oleh Arulmozhi (2002). Rendahnya persentase berat ginjal pada
34
ransum yang terkontaminasi aflatoksin tetapi ditambahkan DL-metionin disebabkan karena kemampuan DL-metionin dalam menetralisir aflatoksin sehingga ginjal dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pankreas
Semua perlakuan pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh
nyata terhadap berat pankreas. Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dengan faktor pemberian aflatoksin terhadap persentase berat pankreas baik pada periode starter maupun finisher. Hal ini menunjukkan penambahan aflatoksin pada periode starter maupun finisher dalam ransum tidak mengganggu pankreas sehingga aktivitas pankreas dalam menghasilkan enzim-enzim pencernaan yang akan disekresikan didalam saluran pencernaan masih dalam keadaan normal. Rataan persentase berat pankreas ayam broiler yang ditambahkan aflatoksin pada periode starter adalah 0,42-0,46% dan pada periode finisher adalah 0,25-0,28%. Rataan persentase berat pankreas pada periode starter maupun finisher lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan bobot pankreas merupakan salah satu bentuk adaptasi untuk mencukupi kebutuhan enzim pencernaan yang meningkat. Salah satu fungsi pankreas adalah menghasilkan enzim-enzim lipolitik, amilolitik, dan proteolitik (Pilliang dan Djojosoebagio, 2006). Selain itu, tingginya berat pankreas pada penelitian ini disebabkan adanya perbedaan kerja pankreas dalam mensekresikan enzim-enzim pencernaan. Sekresi enzim amilolitik yang mencerna karbohidrat pada ayam yang diberi ransum terkontaminasi aflatoksin diduga lebih tinggi sehingga berat pankreas lebih besar dibandingkan dengan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tetapi ditambahkan DL-metionin. Penambahan DL-metionin dalam ransum yang berfungsi sebagai agen pentralisir racun (aflatoksin) membantu kerja pankreas sehingga berat pankreas pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin tetapi ditambahkan DLmetionin lebih rendah dibandingkan tanpa ditambahkan DL-metionin.
Gizzard (Rempela) Penambahan aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berat rempela. Rataan persentase berat rempela ayam broiler yang diberi ransum mengandung aflatoksin pada periode 35
starter adalah 2,02-2,38% dan pada periode finisher adalah 1,75-1,90%. Rataan persentase berat rempela ayam broiler periode starter maupun finisher lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Adanya persentase berat rempela yang tinggi disebabkan karena ransum yang terkontaminasi aflatoksin memberikan efek negatif terhadap berat rempela yaitu adanya pembengkakan rempela karena adanya erosi pada dindingnya sehingga berat rempela meningkat. Aflatoksin menyebabkan erosi gizzard (rempela) karena efeknya dapat mempengaruhi dinding organ (Hakim, 2006). Leeson et al. (1995) mengemukakan bahwa aflatoksin mengakibatkan meningkatnya bobot gizzard (rempela). Rataan persentase berat rempela ayam broiler yang ditambahkan DLmetionin pada periode starter adalah 2,12-2,37%, sedangkan rataan persentase berat rempela ayam broiler periode finisher adalah 1,74-1,99%. Rataan persentase berat rempela ayam broiler periode starter maupun finisher pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol, yaitu 1,60% untuk starter dan untuk finisher adalah 1,43% dari bobot hidup. Penambahan DL-metionin dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode starter tidak berpengaruh nyata terhadap berat rempela ayam broiler yang ditambahkan DL-metionin pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin. Penambahan DL-metionin 0,20% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode finisher nyata (P<0,05) menurunkan berat rempela sebesar 14,37% dibandingkan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tanpa ditambahkan DL-metionin. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian DL-metionin 0,20% mampu mengurangi efek negatif dari aflatoksin sehingga rempela tidak mengalami erosi (pengikisan dinding organ) dan membantu kerja rempela dan ditunujukkan dengan berat rempela yang diberi DL-metionin lebih rendah dibandingkan dengan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tetapi tanpa diberi DLmetionin. Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dengan faktor pemberian aflatoksin terhadap persentase berat rempela baik pada periode starter maupun finisher. Penambahan aflatoksin dan DL-metionin dalam ransum tidak mempengaruhi persentase berat rempela.
36
Limpa Rataan persenatase berat limpa ayam broiler yang diberi ransum terkontaminasi aflatoksin pada periode starter adalah 0,10-0,17% dan pada periode finisher adalah 0,14-0,16%. Rataan persentase berat limpa ayam broiler periode starter maupun finisher lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol baik starter maupun finisher yaitu 0,10% dari bobot hidup. Penambahan aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berat limpa, hal ini menunjukkan bahwa penambahan aflatoksin pada periode starter yaitu 19,2434,50 ppb maupun finisher yaitu 62,35-78,50 ppb masih belum menyebabkan kelainan pada limpa dan belum mengganggu fungsi limpa sehingga limpa masih dapat bekerja dengan normal. Menurut Frandson (1992), ukuran limpa bervariasi dari waktu ke waktu tergantung banyaknya darah yang ada dalam tubuh. Rataan persentase berat limpa ayam broiler periode starter pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin dan ditambahkan DL-metionin adalah 0,10-0,19% dan pada periode finisher adalah 0,11-0,20%. Rataan persentase berat limpa ayam broiler periode satarter maupun finisher lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Menurut hasil sidik ragam penambahan DL-metionin pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin tidak berpengaruh nyata, namun persentase berat limpa pada perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Salah satu fungsi limpa yaitu sebagai tempat pembentukan sel limfosit yang berhubungan dengan pembentukan antibodi, limfosit berperan dalam merespon antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersikulasi didalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan). Tingginya persentase berat limpa kemungkinan disebabkan karena adanya aflatoksin dalam ransum sehingga meningkatkan kerja limpa dalam membentuk antibodi atau pengembangan imunitas. Menurut Bara (2008), berat limpa akan meningkat dengan adanya kontaminasi aflatoksin pada level 1,6 ppm (1600 ppb). Pada penelitian ini, level aflatoksin 62,35-78,50 ppb sudah meningkatkan berat limpa ayam broiler. Perlakuan pada penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dan faktor pemberian aflatoksin terhadap berat limpa. Persentase berat limpa ayam yang diberi ransum dengan aflatoksin 300 ppb, yaitu 0,28% mempunyai berat lebih tinggi dibandingkan berat limpa pada perlakuan yang
37
ditambahkan aflatoksin sebesar 150 ppb, yaitu 0,12% dan tanpa ditambahkan aflatoksin, yaitu 0,19%. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan zat-zat bersifat racun pada limpa yaitu dengan cara menyaring keluar jaringan dan memakannya serta sebagai makrofag yang memakan bakteri terganggu karena adanya benda asing (aflatoksin). Aktivitas limpa ini mengakibatkan limpa semakin membesar ukurannya karena limpa terserang penyakit atau benda asing tersebut. Menurut Ressang (1984), fungsi limpa adalah untuk menyimpan darah, limpa bersama hati dan sumsum tulang berperan dalam pembinasaan eritrosit-eritrosit tua, ikut serta dalam metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam urat dan membentuk sel limfosit yang berhubungan dengan pembentukan antibodi. Penambahan DL-metionin 0,20% (0,48-0,69% asam amino metionin dalam ransum finisher) mampu mengurangi efek negatif aflatoksin sehingga berat limpa ayam pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tanpa diberi DLmetionin. Rendahnya berat limpa pada perlakuan yang terkontaminasi aflatoksin tetapi ditambahkan DL-metionin disebabkan karena adanya DL-metionin dalam mengikat aflatoksin sehingga tidak mengganggu kerja limpa. Adanya DL-metionin pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin membantu limpa dalam mengontrol kemungkinan timbulnya infeksi sehingga berat limpa lebih rendah. Persentase Berat dan Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler Periode Starter dan Finisher Persentase berat dan panjang relatif usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum) ayam broiler periode starter (0-3 minggu) dan finisher (3-6 minggu) disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9. Duodenum Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dan aflatoksin terhadap persentase berat dan panjang relatif duodenum. Penambahan aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berat duodenum. Rataan persenatase berat duodenum ayam broiler periode starter adalah 1,08-1,19% dan pada periode finisher adalah 1,93-2,20%. Rataan persentase berat duodenum ayam broiler periode starter meupun finisher
38
lebih tinggi dibandingkan berat duodenum ayam komersil (kontrol). Tingginya berat duodenum pada penelitian ini disebabkan kerja enzim-enzim pencernaan lebih besar. Tabel 8. Rataan Persentase Berat dan Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler periode Starter (0-3 minggu)
Peubah
Kontrol (Komersil)
Faktor A (Metionin) (%)
Faktor B (Aflatoksin) (ppb) Rataan 0
Duodenum (%)
Duodenum (cm/100g)
Jejunum (%)
Jejunum (cm/100g)
0,74
3,22
1,33
7,83
Ileum (%) 1,25
8,38
300
0 0,25 0,35
1,25±0,10 1,27±0,42 1,05±0,18
1,28±0,32 1,07±0,27 0,90±0,2
1,24±0,30 1,26±0,24 1,12±0,24 1,15±0,31 1,11±0,22 1,02±0,20
Rataan
1,19±0,23
1,08±0,26
1,16±0,25
0 0,25 0,35
4,99±0,23 4,58±0,52 4,75±0,43
4,83±0,74 4,60±0,36 4,42±1,03
4,53±0,49 4,78±0,49 4,45±0,49 4,54±0,46 4,44±0,31 4,54±0,59
Rataan
4,77±0,39
4,62±0,71
4,47±0,43
0 0,25 0,35
2,05±0,18 2,30±0,23 2,09±0,34
2,00±0,22 1,76±0,34 1,93±0,21
1,96±0,36 2,00±0,25 2,19±0,59 2,08±0,39 1,86±0,31 1,96±0,29
Rataan
2,15±0,25
1,90±0,26
2,00±0,42
0
11,94±0,91 11,83±1,23 12,34±1,02 12,04±1,05
0,25 0,35
11,82±1,03 10,60±1,42 11,74±1,26 11,3±91,24 12,35±0,77 11,47±1,45 10,50±1,02 11,44±1,08
Rataan 0 0,25 0,35 Rataan
Ileum (cm/100g)
150
0
12,04±0,90 11,30±1,37 11,53±1,10 1,72±0,18 1,78±0,29 1,46±0,20 1,65±0,22 1,56±0,28 1,48±0,13 1,58±0,33 1,54±0,25 1,88±0,29 1,46±0,33 1,54±0,07 1,63±0,23 1,72±0,25
1,57±0,25
1,53±0,20
13,11±0,66 13,14±1,34 13,32±1,32 13,19a±1,11
0,25
11,79±1,12 11,94±1,25 12,98±0,94 12,24 ±1,10ab
0,35
13,16±0,90 11,32±1,66 11,62±0,71 12,03b±1,09
Rataan
12,69±0,89 12,13±1,42 12,64±0,99
Keterangan: Superskrip pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
39
Tabel 9. Rataan Persentase Berat dan Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler periode Finisher (3-6 minggu)
Peubah
Kontrol (Komersil)
Faktor B (Aflatoksin) (ppb)
Faktor A (Metionin) (%)
Rataan 0
Duodenum (%)
Duodenum (cm/100g)
Jejunum (%)
Jejunum (cm/100g)
0,68
1,74
1,34
5,18
Ileum(%) 1,17
Ileum (cm/100g)
5,37
150
300
0 0,20 0,30
0,81±0,21 0,59±0,09 0,77±0,19
0,72±0,07 0,68±0,11 0,72±0,12
0,79±0,07 0,74±0,09 0,71±0,14
Rataan
1,93±0,12
1,93±0,12
2,20±0,21
0
1,93±0,10
1,92±0,18
2,01±0,34
0,20
1,66±0,15
1,81±0,19
1,78±0,07 1,75b±0,14
0,30
2,20±0,12
2,86±0,27
1,18±0,39
Rataan
1,93±0,12
1,93±0,12
2,20±0,21
0
1,42±0,18
1,51±0,31
1,56±0,31 1,50a±0,27
0,20
1,16±0,08
1,29±0,15
1,42±0,18 1,29b±0,14
0,30
1,14±0,14
1,41±0,13
1,31±0,17 1,29b±0,15
Rataan 1,24b±0,13
1,40ab±0,20
1,43a ±0,22
0,77±0,12 0,67±0,10 0,73±0,15
1,95a±0,21 2,08a±0,26
0 0,20 0,30
4,78±0,49 4,56±0,56 5,32±0,41
5,74±1,21 5,14±0,49 5,62±0,56
5,07±0,80 4,68±0,44 4,45±0,48
5,20 ±0,83 4,79 ±0,50 5,13 ±0,48
Rataan 0 0,20 0,30
4,89b±0,49 1,30±0,36 1,11±0,04 1,14±0,30
5,50a±0,75 1,47±0,31 1,43±0,25 1,32±0,18
4,73b±0,57 1,49±0,29 1,17±0,14 1,22±0,11
1,42±0,32 1,24±0,14 1,23±0,20
1,18±0,23
1,41±0,25
1,29±0,18
0
5,24±0,56
5,72±1,01
5,25±0,92
5,40±0,83
0,20
4,47±0,60
5,04±0,15
5,22±0,38
4,91±0,38
0,30
5,44±0,53
5,84±0,85
4,92±0,74
5,40±0,71
Rataan
5,05±0,56
5,53±0,67
5,13±0,68
Keterangan: Superskrip pada kolom atau baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Adanya aflatoksin menyebabkan penurunan kadar garam-garam empedu sehingga rendahnya pencernaan dan penyerapan lemak di dalam usus yang mengakibatkan berat duodenum lebih tinggi. Perubahan dalam berat usus dapat disebabkan oleh penebalan atau penipisan dari jonjot-jonjot usus.
40
Rataan persentase berat duodenum ayam broiler yang terkontaminasi aflatoksin tetapi ditambahkan DL-metionin pada periode starter adalah 1,02-1,26% dan periode finisher adalah 0,67-0,77%. Penambahan DL-metionin dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap berat duodenum ayam broiler. Rataan persentase berat duodenum ayam broiler periode starter maupun finisher lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Rendahnya berat duodenum pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin tetapi ditambahkan DL-metionin pada penelitian ini disebabkan adanya metionin yang mengikat aflatoksin sehingga membantu kerja enzim-enzim pencernaan dalam mencerna makanan di dalam duodenum. Aflatoksin menyebabkan kerusakan hati yang dapat mengganggu produksi empedu yang mengakibatkan penurunan kadar empedu di saluran usus, akibatnya penyerapan lemak menjadi sangat berkurang. Adanya DL-metionin yang mengikat aflatoksin dapat membantu kerja hati dalam memproduksi garam-garam empedu sehingga penyerapan lemak pada usus tidak terganggu dan meringankan kerja duodenum. Penambahan aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap panjang relatif duodenum. Rataan panjang relatif duodenum ayam broiler yang ditambahkan aflatoksin pada periode starter adalah 4,47-4,77 cm/100g dan pada periode finisher adalah 1,93-2,20 cm/100g bobot hidup. Rataan panjang relatif duodenum walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, namun panjang relatif duodenum ayam broiler periode starter maupun finisher lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol yaitu 3,22 cm/100g dan 1,74 cm/100g bobot hidup. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin intensifnya proses penyerapan yang dapat menyebabkan bertambahnya kerja duodenum sehingga menyebabkan duodenum bertambah panjang. Penambahan DL-metionin pada periode starter tidak memberikan pengaruh nyata terhadap panjang relatif duodenum sehingga duodenum masih bekerja dengan normal. Penambahan DL-metionin 0,20% dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode finisher nyata (P<0,05) menurunkan 18,86% panjang relatif duodenum dibandingkan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tanpa ditambahkan DL-metionin. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan DL-metionin 0,20% mampu mengurangi efek negatif aflatoksin sehingga membantu duodenum dalam mencerna
41
dan menyerap makanan. Rataan panjang relatif duodenum ayam broiler yang ditambahkan DL-metionin pada periode starter maupun finisher adalah 4,42-4,99 cm/100g dan 1,75-2,08 cm/100g bobot hidup. Rataan panjang relatif duodenum ayam broiler pada perlakuan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tetapi ditambahkan DL-metionin lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tetapi tanpa ditambahkan DL-metionin. Rendahnya panjang relatif duodenum disebabkan oleh pengaruh DL-metionin yang mampu mengikat aflatoksin sehingga tidak dapat diserap oleh usus dan dibuang melalui feses. Hal ini dapat membantu enzim-enzim pencernaan sehingga membantu kerja usus dalam mencerna dan menyerap makanan. Jejunum Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dan aflatoksin terhadap persentase berat dan panjang relatif jejunum. Penambahan aflatoksin pada periode starter tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berat jejunum. Rataan persenatase berat jejunum ayam broiler periode starter adalah 1,902,15% dan rataan persenatase berat jejunum ayam broiler periode finisher adalah 1,24-1,43%. Penambahan aflatoksin 300 ppb pada periode finisher nyata (P<0,05) meningkatkan berat jejunum ayam broiler dibandingkan berat jejunum pada perlakuan tanpa ditambahkan aflatoksin. Rataan persentase berat jejunum ayam broiler periode starter maupun finisher pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan kandungan aflatoksin dalam ransum menurut hasil analisis 62,35-78,50 ppb. Kandungan aflatoksin pada ransum penelitian tersebut di atas batas aman seperti yang telah dikemukakan SNI (Standar Nasional Indonesia, 2006), yaitu 50 ppb. Adanya penambahan aflatoksin mempengaruhi kerja jejunum dan efek negatif aflatoksin dapat mempengaruhi dinding organ usus sehingga mmengganggu proses pencerna dan menyerap makanan. Penambahan DL-metionin dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode starter tidak berpengaruh nyata terhadap berat jejunum ayam broiler. Rataan berat jejunum ayam broiler periode starter dan finisher adalah 4,54-4,78% dan 1,291,50%. Persentase berat jejunum ayam broiler pada perlakuan ransum yang terkontaminasi
aflatoksin
tetapi
ditambahkan
DL-metionin
lebih
rendah
42
dibandingkan tanpa ditambahkan DL-metionin. Penambahan DL-metionin dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode finisher nyata menurunkan (P<0,05) berat jejunum sebesar 16,28%. Hal ini disebabkan adanya penambahan DLmetionin yang mampu menetralisir efek negatif aflatoksin sehingga tidak diserap oleh usus tetapi dibuang melalui feses dan membantu kerja jejunum dalam mencerna zat makanan dan meyerap sari-sari makanan. Penambahan aflatoksin pada periode starter tidak berpengaruh nyata terhadap panjang relatif jejunum. Rataan panjang relatif jejunum ayam broiler periode starter adalah 11,30-12,04 cm/100g bobot hidup. Penambahan aflatoksin 150 ppb pada periode finisher nyata (P<0,05) meningkatkan panjang relatif jejunum ayam broiler dibandingkan panjang relatif jejunum pada perlakuan yang ditambahkan aflatoksin 300 ppb. Rataan persenatase panjang relatif jejunum ayam broiler periode finisher adalah 4,73-5,50 cm/100g bobot hidup. Rataan panjang relatif jejunum ayam broiler periode finisher pada penelitian ini hampir sama dibandingkan panjang relatif jejunum ayam broiler komersil yang digunakan sebagai kontrol yaitu 5,18 cm/100g bobot hidup. Dapat disimpulkan bahwa penambahan aflatoksin mempengaruhi kerja jejunum. Penambahan DL-metionin dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap panjang relatif jejunum ayam broiler sehingga penambahan DL-metionin tidak mengganggu kerja jejunum. Rataan panjang relatif jejunum ayam broiler periode starter adalah 11,30-12,04 cm/100g bobot hidup dan periode finisher adalah 4,79-5,20cm/100g bobot hidup. Ileum Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dan aflatoksin terhadap persentase berat dan panjang relatif ileum. Penambahan aflatoksin maupun DL-metionin dalam ransum pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berat ileum. Rataan persentase berat ileum ayam broiler pada ransum perlakuan yang ditambahkan aflatoksin periode starter adalah 1,53-1,72% dan pada periode finisher adalah 1,18-1,41%. Sedangkan rataan berat ileum ayam broiler ransum perlakuan yang ditambahkan DL-metionin pada periode starter adalah 1,54-1,65% dan pada periode finisher 1,23-1,42%. Rataan persentase berat ileum ayam broiler periode starter maupun finisher pada 43
perlakuan di atas lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yaitu 1,25% dan 1,17% dari bobot hidup. Tingginya berat ileum pada penelitian ini disebabkan proses penyerapan sari-sari makanan lebih tinggi. Menurut Akoso (1998), ransum yang memerlukan penyerapan secara intensif akan memperluas permukaan usus dengan mempertebal dinding atau memperpanjang usus tersebut sehingga banyak zat nutrisi yang terserap. Penambahan aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap panjang relatif ileum. Rataan panjang relatif ileum ayam broiler periode starter adalah 12,13-12,69 cm/100g dan periode finisher 5,05-5,53 cm/100g bobot hidup. Rataan persentase panjang relatif ileum ayam broiler periode finisher pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan panjang relatif ileum ayam broiler komersil yang digunakan sebagai kontrol yaitu 8,38 cm/100g dan 5,37 cm/100g bobot hidup. Penambahan DL-metionin 0,35% dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode starter nyata (P<0,05) menurunkan panjang relatif ileum sebesar 9,64% dibandingkan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tanpa ditambahkan DL-metionin. Adanya penambahan DL-metionin yang dapat mengikat aflatoksin sehingga tidak dapat diserap dan dikeluarkan melalui feses, menyebabkan panjang ileum pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin dengan ditambahkan DL-metionin lebih rendah namun penambahan DL-metionin dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode finisher tidak berpengaruh nyata terhadap panjang relatif ileum. Racun dari aflatoksin menyebabkan haemorrhage (pendarahan) usus pada saluran gastrointestinal, karena efeknya dapat mempengaruhi dinding organ usus sehingga dapat menurunkan penyerapan zat makanan (Hakim, 2006). Menurut Hakim (2005), aflatoksin menyebabkan kerusakan hati, memblokir saluran pipa empedu dan penurunan kadar empedu di saluran usus lebih rendah, akibatnya penyerapan lemak menjadi sangat kurang. Konsentrasi cairan empedu yang diperlukan untuk penyerapan lipid dan pencernaan didalam usus menurun sehingga kerja usus dalam mencerna dan meyerap zat makanan lebih lama, akibatnya berat dan panjang relatif usus yang ditambahkan aflatoksin tanpa ditambahkan DLmetionin lebih tinggi dibandingkan dengan berat dan panjang relatif usus yang ditambahkan aflatoksin dan ditambahkan DL-metionin.
44
Persentase Berat dan Panjang Relatif Kolon dan Seka Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) dan Finisher (3-6 minggu) Persentase berat dan panjang relatif kolon dan seka ayam broiler periode starter (0-3 minggu) dan finisher (3-6 minggu) disajikan pada Tabel 10 dan Tabel 11. Kolon Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dan aflatoksin terhadap persentase berat dan panjang relatif kolon. Penambahan aflatoksin dan DL-metionin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berat dan panjang relatif kolon. Rataan persentase berat dan panjang relatif kolon ayam broiler ransum perlakuan yang terkontaminasi aflatoksin pada periode starter adalah 0,17-0,18% serta 1,19-1,37 cm/100g dan pada periode finisher adalah 0,11-0,13% serta 0,51-0,59 cm/100g. Rataan persentase berat dan panjang relatif kolon pada ransum perlakuan yang terkontaminasi aflatoksin tanpa ditambahkan DL-metionin serta ditambahkan DL-metionin adalah 0,17-0,18% dan panjang relatif 1,25-1,32 cm/100g untuk periode starter dan 0,11-0,14% dan 0,49-0,60 cm/100g bobot hidup untuk periode finisher. Rataan persentase berat dan panjang relatif kolon ayam broiler pada periode starter maupun finisher lebih tinggi dibandingkan denga persentase berat dan panjang relatif kolon pada kontrol yaitu 0,16% dan 0,98 cm/100g bobot hidup untuk starter serta 0,09% dan 0,49 cm/100g bobot hidup untuk finisher. Berat dan panjang relatif kolon pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, namun ransum perlakuan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata sehingga fungsi usus besar dalam menyalurkan sisa makanan dari usus halus ke kloaka masih bekerja dengan normal. Ukuran panjang, tebal, dan bobot berbagai saluran pencernaan dapat berubah selama proses perkembangan yang dipengaruhi oleh jenis ransum. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa penambahan aflatoksin dan DL-metionin tidak mempengaruhi kerja kolon. Seka Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian DL-metionin dan aflatoksin terhadap persentase berat dan panjang relatif seka. Penambahan aflatoksin
45
pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap persentase berat seka. Rataan persentase berat seka ayam broiler periode starter adalah 0,430,46% dan pada periode finisher adalah 0,40-0,43%, rataan persentase berat seka ayam broiler periode finisher sama seperti persentase berat seka pada kontrol yaitu 0,43% bobot hidup. Penambahan DL-metionin dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode starter tidak berpengaruh nyata terhadap berat seka ayam broiler. Rataan berat seka ayam broiler periode starter adalah 0,41-0,48%. Penambahan DL-metionin dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode finisher nyata (P<0,05) menurunkan berat seka sebesar 21,62% dibandingkan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tanpa ditambahkan DL-metionin. Rataan berat seka ayam broiler periode finisher 0,37-0,45%. Rataan persentase berat seka lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Tabel 10. Rataan Persentase Berat dan Panjang Relatif Kolon serta Seka Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) Peubah
Kontrol (Komersil)
Kolon (%) 0,16
Kolon (Cm/100g)
0,98
Seka (%) 0,31
Seka (Cm/100g)
1,88
Faktor A (metionin) (%)
Faktor B (Aflatoksin) (ppb)
Rataan
0
150
300
0 0,25 0,35
0,17±0,02 0,18±0,02 0,19±0,02
0,19±0,07 0,15±0,01 0,16±0,05
0,19±0,04 0,17±0,01 0,18±0,00
Rataan
0,18±0,02
0,17±0,04
0,18±0,02
0
1,40±0,11
1,15±0,46
1,36±0,12
1,30±0,23
0,25
1,43±0,14
1,20±0,08
1,33±0,17
1,32±0,13
0,35
1,27±0,24
1,22±0,17
1,25±0,10
1,25±0,17
Rataan
1,37±0,16
1,19±0,24
1,31±0,13
0
0,44±0,11
0,58±0,17
0,43±0,07
0,48±0,12
0,25
0,42±0,08
0,43±0,06
0,43±0,09
0,43±0,08
0,35
0,42±0,10
0,38±0,06
0,43±0,10
0,41±0,09
Rataan
0,43±0,10
0,46±0,10
0,43±0,09
0 0,25 0,35
2,52±0,26 2,52±0,04 2,35±0,28
2,54±0,47 2,28±0,30 2,45±0,51
2,33±0,15 2,22±0,28 2,15±0,19
Rataan
2,46±0,19
2,42±0,43
2,23±0,21
0,18±0,04 0,17±0,01 0,18±0,02
2,46±0,29 2,34±0,21 2,32±0,33
46
Tabel 11. Rataan Persentase Berat dan Panjang Relatif Kolon serta Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu)
Peubah
Kontrol (Komersil)
Kolon (%) 0,09
Kolon (cm/100g)
0,49
Seka (%) 0,43
Seka (cm/100g)
2,25
Faktor A (Metionin) (%)
Faktor B (Aflatoksin) (ppb) Rataan 0
150
300
0 0,2 0,35
0,10±0,04 0,09±0,02 0,13±0,02
0,13±0,04 0,12±0,00 0,15±0,01
0,12±0,03 0,12±0,04 0,13±0,04
Rataan
0,11±0,03
0,13±0,02
0,12±0,04
0
0,42±0,30
0,61±0,15
0,49±0,05
0,59±0,17
0,2 0,35
0,44±0,05 0,62±0,10
0,54±0,07 0,62±0,07
0,48±0,10 0,55±0,03
0,49±0,07 0,60±0,07
Rataan
0,58±0,15
0,59±0,10
0,51±0,06
0
0,42±0,06
0,50±0,14
0,44±0,07
0,45a±0,09
0,2
0,36±0,07
0,36±0,05
0,38±0,03
0,37b±0,05
0,35
0,43±0,08
0,43±0,09
0,41±0,04
0,42ab±0,07
Rataan
0,40±0,07
0,43±0,09
0,41±0,05
0
2,33±0,17
2,59±0,35
2,43±0,35
2,45 a ±0,29
0,2
2,03±0,16
2,26±0,09
2,18±0,12
2,16 b ±0,12
0,35
2,44±0,20
2,29±0,32
2,31±0,20
2,35ab±0,24
Rataan
2,27±0,18
2,38±0,25
2,31±0,22
0,12±0,04 0,11±0,02 0,14±0,02
Keterangan: Superskrip pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Penambahan aflatoksin pada periode starter maupun finisher tidak berpengaruh nyata terhadap panjang relatif seka. Rataan panjang relatif seka ayam broiler periode starter adalah 2,23-2,46 cm/100g dan periode finisher 2,27-2,38 cm/100g bobot hidup. Rataan persentase panjang relatif seka ayam broiler periode starter maupun finisher pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yaitu 1,46 cm/100g dan 2,25 cm/100g bobot hidup. Penambahan DL-metionin dalam ransum yang terkontaminasi aflatoksin pada periode finisher nyata (P<0,05) menurunkan panjang relatif seka sebesar 13,42% dibandingkan ransum yang terkontaminasi aflatoksin tanpa ditambahkan DL-metionin. Rataan panjang relatif seka ayam broiler periode finisher adalah 2,16-2,45 cm/100g bobot hidup. Rataan panjang relatif seka ayam broiler periode finisher hampir sama dengan kontrol.
47
Penambahan aflatoksin 62,35-78,50 ppb dalam ransum sudah memberikan efek negatif terhadap seka. Disimpulkan bahwa penambahan DL-metionin 0,20% sudah mampu meminimalisir efek negatif aflatoksin sebesar 62,35-78,50 ppb dalam ransum, persentase berat dan panjang relatif seka yang ditambahkan DL-metionin lebih rendah dibandingkan dengan persentase berat dan panjang relatif seka yang tidak ditambahkan DL-metionin. Hal ini disebabkan karena kerja DL-metionin yang mengikat aflatoksin dan membantu hati dalam memproduksi getah empedu sehingga menurunkan penyerapan lemak dalam seka, akibatnya meringankan kerja seka.
48
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ransum yang terkontaminasi aflatoksin 62,35-78,50 ppb periode finisher memberikan efek negatif, yaitu meningkatkan berat organ dalam hati serta saluran pencernaan (berat jejunum dan panjang relatif jejunum). Penambahan DL-metionin 0,20% dan 0,30% dalam ransum periode finisher sudah mampu menetralisir efek negatif aflatoksin yang dibuktikan dengan lebih rendahnya persentase berat organ dalam (ginjal, rempela, dan limpa) serta saluran pencernaan. Saran Perlu adanya peningkatan level aflatoksin agar terlihat pengaruh pemberian DL-metionin sebagai agen penetral toksin. Jenis jagung yang digunakan untuk pembuatan jagung beraflatoksin dengan jagung yang akan ditambahkan ke ransum harus sama, supaya level aflatoksin yang akan digunakan dalam perlakuanpun sama.
49
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya hingga saat ini penulis dapat menyelesaikan skripsi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. sebagai dosen pembimbing utama dan Dr. Ir. Jajat Jachja Fahmi Arief, M.Agr sebagai dosen pembimbing anggota serta dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan moral maupun materil, pengarahan dan saran kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. Kepada Nur Rochmah Kumalasari, SPt. M.Si. selaku panitia seminar dan sidang, Ir. Dwi Margi Suci, MS., sebagai dosen penguji seminar, Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc dan Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si sebagai dosen penguji tugas akhir atas kritik dan saran dalam perbaikan skripsi ini. Dosen, staf dan laboran Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Terpadu yang telah membantu selama penelitian berlangsung, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang terdalam kepada Ayahanda Sahroni dan Ibunda Sukengsi yang telah memberikan do’a, kasih sayang, kesabaran, nasehat, bimbingan moral maupun materil yang tiada henti kepada penulis. Terima kasih kepada adik penulis Hamdan Hidayat, Heri Saputra dan saudara-saudara yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas hiburan dan semangatnya. Terima kasih juga kepada Arif Darmawan, SPt untuk bantuan do’a, kasih sayang, dukungan dan semangat kepada penulis. Semoga penulis dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Terima kasih juga kepada teman satu penelitian yaitu Firmansyah, Yuliana Komalasari, Amerlinda Lotong, Mustika Setiyaningrum, dan Novia Elizabet Gunawan atas kerjasamanya. Mas Mulyanto, Bu Lanjarsih, Pak Ugan, Chandra, Bayang, Conny, Sri, Nova, Sukma, Irin, Izzah, Indra, kakak dan adik-adikku di kostan “JAIKA 3” dan teman-teman INTP 43 atas bantuan, hiburan, persahabatan dan semangat serta dukungannya dalam penelitian dan penulisan tugas akhir ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Oktober 2010 Penulis 50
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, R. Z. 2009. Cemaran kapang pada pakan dan pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian. 28 (1) : 15-22. Akoso, B. T. 1998. Kesehatan Unggas. Kanisius, Yogyakarta. Al-Saffar, A. A. & S. P. Rose. 2002. The response of laying hens to dietary amino acids. World Poult. Sci. 58 : 209-234. Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor. Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Arulmozhi, A. K., P. R. Vargnese, P. A. Ismail, Peethambaran & K. M. Ramachandran. 2002. Aflatoxin residues in tissues of broiler chicken. J. Indian Vet. 79: 901-903. Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikotoksin pada bahan pangan, pakan, dan produk peternakan di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 20 (2): 55-64. Bahri, S., R. Widiastuti, & Y. Mustikaningsih. 2005. Efek aflatoksin B1 (AFB1) pada embrio ayam. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 10 (2): 160-168. Bara, C. 2008. The effect of aflatoxin appearance in the feedstufs upon the poultry production. University of Oradea, Faculty of Environmental Protection. Oradea. http://www.aflatoxin.info/health.asp [3 juli 2010] Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition Feed and Feeding. 3rd Edition. Pearson Education, Inc., New Jersey. Dalimartha, S. 2001. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis. Penebar Swadaya, Jakarta. Hal 1-3. Dharmaputra, O. S. 2004. Control of storage fungi. Training Course on Prevention and Control of Mycotoxin in Food and Feedstuff. SEAMEO BIOTROP, Bogor, Indonesia. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Terjemahan: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hakim, R. S. 2005. Penyebab malabsorption. Divisi agro feed business Charoen Pokphand Indonesia. http://www.ciptapangan.com/files/downloadsmodule/@random4413d85398 188/1142501835_bulettin_cp_des05.pdf [31 Agustus 2010] Hakim, R. S. 2006. Penyebab erosi gizzard dan tembolok pada broiler. Divisi agro feed business Charoen Pokphand Indonesia. http://www.ciptapangan.com/files/downloadsmodule/@random4413d85398 188/1169084114_Desember.pdf [31 Agustus 2010] Kinh, L. V., & H. H. T. P. Van. 2010. Pengaruh bahan pengikat aflatoksin (MTOX) pada ayam broiler. Institut Ilmu Pertanian, Vietnam Selatan.
51
http://www.iasvn.org/uploads/files/aflatoxin-broiler_0521075618.pdf Agustus 2010]
[30
Leeson, S., G. J. Diaz G., & J. D. Summers. 1995. Poultry Metabolic Disorders and Micotoxins. Guelph, Ontario, Canada. Lesson, S. & J. D. Summers. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Ed. Ontario, Canada. Lesson, S. & J. D. Summers. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd Ed. Guelph, Ontario, Canada. Mc Lelland, J. 1990. A Colour Atlas of Avian Anatomy. Wolfe Publishing Ltd., England. North, M. & D. D. Bell. 1990. Comercial Chicken Production Manual. 4th Edition. Van Nastrand Reinhold Publ, New York. Pesti, G., M. R. I. Bakalli, J. P. Driver, A. Atencio, & E. H. Foster. 2005. Poultry Nutrition and Feeding. Trefford Publishing, Canada. Piliang, W. G. & S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi. Vol. I. Institut Pertanian Bogor (IPB)-press, Bogor. Pribadi, E. S. 2006. Studi tentang protein organ hati yang berinteraksi dengan aflatoksin B1. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rachmawati, S. 2006. Pengembangan Metoda analisis Residu Aflatoksin B1 dalam hati Ayam Secara ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal: 783-789. Ramli, N., M. Ridla, Sumiati, J. Jachja, T. Toharmat, & I.G. Permana. 2007. Study on efficacy of methionine addition in laying hens fed corn-soy-palm kernel based diet. Department of Animal Nutrition and Feed Science. Faculty of Animal Science. Bogor Agricultural University, Bogor. Reddy, S. V. & F. Waliyar. 2000. Properties of aflatoxin and it producing fungi. http://www.aflatoxin.info/aflatoxin.asp. [16 Februari 2010] Resanovi, R. M., V. D. Nesi, & V. M. Jevi. 2009. Mikotoksin pada unggas. Proc. Nat. Sci, Matica Srpska Novi Sad, 116: 7-14. http://www.doiserbia.nb.rs/ft.aspx?id=0352-49060916007R [30 Agustus 2010] Ressang, A. A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. N. V. Percetakan Bali, Denpasar. Sarwono, B. 1999. Beternak Ayam Buras. Penebar Swadaya, Jakarta. SNI. 2006. SNI 01-3931-2006. Pakan ayam ras pedaging masa akhir (broiler finisher). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Steel, R. G. D., & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi ke-2. Terjemahan: B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suprijatna, E., U. Atmomarsono, & R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
52
Syarief R., Nurwitri C. C., & L. Ega. 2003. Mikotoksin pada Bahan Pangan. IPB press, Bogor.
Ukachukwu, S. N., S. O. Uzoech & J. N. Obiefuna. 2007. Aspects of growth performance and nutrient retention of starter broilers fed Mucuna cochinchinensis-based diets supplemented with methionine. Australian Journal of Experimental Agriculture. 47: 132–135. Vazquez-Anon, M., D. Kratzer, R. Gonza’les-Esquerra, I. G. Yi, & C. D. Knigth. 2006. A multiple regression model approach to contrast the performance of 2-hydroxy-4-methilthio butanoic acid and DL-methionine supplementation tested in broiler experiments and reported in the literature. J. Poultry Sci. 85: 693-705. Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Edisi Keempat. Universitas Gadja Mada Press, Yogyakarta.
53
LAMPIRAN
54
Lampiran 1. SK Perlakuan
ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Hati Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
2,684
0,336
0,93tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,704
0,352
0,98
Faktor B
2
0,400
0,200
0,56tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
1,479
0,395
1,10tn
2,73
4,11
Error
27
9,723
0,360
Total
35
12,407
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
Lampiran 2. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Limpa Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,133
0,017
1,57tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,064
0,032
3,02
Faktor B
2
0,027
0,014
1,28tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,042
0,011
1,00tn
2,73
4,11
Error
27
0,286
0,011
Total
35
0,419
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 tn (tidak nyata)
55
Lampiran 3. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jantung Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,591
0,074
0,96tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,210
0,105
1,37
Faktor B
2
0,114
0,057
0,74tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,268
0,067
0,87tn
2,73
4,11
Error
27
2,073
0,077
Total
35
2,664
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
Lampiran 4. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Gizzard Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
2,069
0,259
1,67tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,397
0,199
1,28
Faktor B
2
0,856
0,428
2,76tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,816
0,204
1,31tn
2,73
4,11
Error
27
4,190
0,155
Total
35
6,259
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 tn (tidak nyata)
56
Lampiran 5. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Pankreas Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,064
0,008
1,43tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,037
0,018
3,28
Faktor B
2
0,011
0,005
0,95tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,017
0,004
0,75tn
2,73
4,11
Error
27
0,152
0,006
Total
35
0,216
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
Lampiran 6. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ginjal Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,478
0,060
1,48tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,016
0,030
0,75
Faktor B
2
0,206
0,103
2,54tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,212
0,053
1,31tn
2,73
4,11
Error
27
1,092
0,040
Total
35
1,570
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 tn (tidak nyata)
57
Lampiran 7. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Duodenum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
1,252
0,156
0,50tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,484
0,2442
0,77
Faktor B
2
0,541
0,270
0,86tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,227
0,057
0,18tn
2,73
4,11
Error
27
8,518
0,315
Total
35
9,770
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
Lampiran 8. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Duodenum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,530
0,066
0,93tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,339
0,169
2,38
Faktor B
2
0,076
0,088
0,53tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,115
0,029
0,41tn
2,73
4,11
Error
27
1,921
0,071
Total
35
2,451
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 tn (tidak nyata)
58
Lampiran 9. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Jejunum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
14,343
1,793
1,37tn
2,31
3,26
Faktor A
2
3,144
1,572
1,20tn
3,35
5,49
Faktor B
2
3,427
1,714
1,30tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
7,771
1,943
1,48tn
2,73
4,11
Error
27
35,448
1,313
Total
35
49,791
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
Lampiran 10. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jejunum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,869
0,109
0,99tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,094
0,047
0,43tn
3,35
5,49
tn
3,35
5,49
2,73
4,11
Faktor B
2
0,376
0,188
1,71
Faktor A*B
4
0,400
0,100
0,91tn
Error
27
2,972
0,110
Total
35
3,842
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
59
Lampiran 11. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Ileum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
20,380
2,547
1,95tn
2,31
3,26
*
3,35
5,49
Faktor A
2
9,153
4,577
3,50
Faktor B
2
2,223
1,112
0,85tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
9,003
2,251
1,72tn
2,73
4,11
Error
27
35,312
1,308
Total
35
55,691
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) * (signifikan) tn (tidak nyata)
Lampiran 12. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ileum Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,731
0,091
1,66tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,084
0,042
0,77tn
3,35
5,49
Faktor B
2
0,238
0,119
2,17tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,409
0,102
1,86tn
2,73
4,11
Error
27
1,483
0,055
Total
35
2,214
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
60
Lampiran 13. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Kolon Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,278
0,035
0,80tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,033
0,016
0,38
Faktor B
2
0,190
0,095
2,19tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,056
0,014
0,32tn
2,73
4,11
Error
27
1,172
0,043
Total
35
1,450
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
Lampiran 14. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Kolon Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,007
0,001
0,67tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,002
0,001
0,88tn
3,35
5,49
Faktor B
2
0,002
0,001
0,62tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,003
0,001
0,59tn
2,73
4,11
Error
27
0,035
0,001
Total
35
0,042
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
61
Lampiran 15. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Seka Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,668
0,083
0,87tn
2,31
3,26
tn
Faktor A
2
0,159
0,079
0,83
3,35
5,49
Faktor B
2
0,185
1,94tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,370 0139
0,035
0,36tn
2,73
4,11
Error
27
2,578
0,095
Total
35
3,245
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
Lampiran 16. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Seka Ayam Broiler Periode Starter (0-3 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,095
0,012
1,18tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,035
0,017
1,72tn
3,35
5,49
0,004
0,36
tn
3,35
5,49
0,013
1,32tn
2,73
4,11
Faktor B
2
Faktor A*B
4
Error
27
Total
35
Keterangan:
0,007 0,053 0,272 0,366
0,010
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
62
Lampiran 17. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Hati Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
2.169
0.271
3.613*
2.321
3.288
tn
3.369
5.526
Faktor A
2
0.396
0.198
2.640
Faktor B
2
1.181
0.591
7.869*
3.369
5.526
Faktor A*B
4
0.592
0.148
1.972tn
2.743
4.140
Error
26
1.951
0.075
Total
34
4.121
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) * (signifikan) tn (tidak nyata)
Lampiran 18. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Limpa Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,143
0,018
2,88tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,042
0,021
3,40*
3,35
5,49
Faktor B
2
0,004
0,002
0,30tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,097
0,024
3,90*
2,73
4,11
Error
27
0,168
0,006
Total
35
0,311
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 * (signifikan) tn (tidak nyata)
63
Lampiran 19. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jantung Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,022
0,003
0,60tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,016
0,008
1,73
Faktor B
2
0,004
0,002
0,40tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,002
0.001
0,13tn
2,73
4,11
Error
27
0,124
0,005
Total
35
0,146
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
Lampiran 20. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Gizzard Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,980
0,122
1,69tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,495
0,247
3,42*
3,35
5,49
Faktor B
2
0,263
0,132
1,82tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,222
0,055
0,77tn
2,73
4,11
Error
27
1,955
0,072
Total
35
2,934
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 *(signifikan) tn (tidak nyata)
64
Lampiran 21. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Pankreas Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,013
0,002
0,67tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,002
0,001
0,41
Faktor B
2
0,005
0,003
1,11tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,006
0,001
0,57tn
2,73
4,11
Error
27
0,066
0,002
Total
35
0,078
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
Lampiran 22. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ginjal Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,133
0,017
2,41tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,070
0,035
5,10*
3,35
5,49
Faktor B
2
0,022
0,011
1,57tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,041
0,010
1,48tn
2,73
4,11
Error
27
0,186
0,007
Total
35
0,319
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) *(signifikan) tn (tidak nyata)
65
Lampiran 23. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Duodenum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,958
0,120
2,34tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,616
0,308
6,02*
3,35
5,49
Faktor B
2
0,033
0,016
0,32tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,309
0,077
1,51tn
2,73
4,11
Error
27
1,381
0,051
Total
35
2,339
Keterangan:
Lampiran 24. SK
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 *(signifikan) tn (tidak nyata)
ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Duodenum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,134
0,0167
0,98tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,066
0,033
1,93tn
3,35
5,49
Faktor B
2
0,010
0,005
0,29tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,058
0,014
0,84tn
2,73
4,11
Error
27
0,464
0,017
Total
35
0,598
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
66
Lampiran 25. SK Perlakuan
ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
6,736
0,842
1,99tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
1,117
0,559
1,32
Faktor B
2
3,937
1,969
4,65*
3,35
5,49
Faktor A*B
4
1,681
0,420
0,99tn
2,73
4,11
Error
27
11,443
0,424
Total
35
18,179
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 *(signifikan) tn (tidak nyata)
Lampiran 26. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,672
0,084
2,12tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,339
0,170
4,28*
3,35
5,49
Faktor B
2
0,262
0,131
3,31*
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,071
0,018
0,45tn
2,73
4,11
Error
27
1,069
0,040
Total
35
1,741
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 *(signifikan) tn (tidak nyata)
67
Lampiran 27. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Ileum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
3,597
0,450
0,95tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
1,027
0,514
1,08
Faktor B
2
1,181
0,591
1,24tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
1,388
0,347
0,73tn
2,73
4,11
Error
27
12,810
0,474
Total
35
16,407
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 tn (tidak nyata)
Lampiran 28. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ileum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,661
0,083
1,40tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,284
0,142
2,42tn
3,35
5,49
Faktor B
2
0,295
0,147
2,51tn
3,35
5,49
tn
2,73
4,11
Faktor A*B
4
0,082
0,020
Error
27
1,587
0,059
Total
35
2,248
Keterangan:
0,35
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
68
Lampiran 29. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,845
0,106
1,86tn
2,31
3,26
*
3,35
5,49
Faktor A
2
0,541
0,270
4,77
Faktor B
2
0,080
0,040
0,71tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,224
0,056
0,99tn
2,73
4,11
Error
27
1,530
0,057
Total
35
2,375
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 * (signifikan) tn (tidak nyata)
Lampiran 30. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,063
0,008
1,33tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,047
0,023
3,93*
3,35
5,49
Faktor B
2
0,004
0,002
0,31tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,013
0,003
0,54tn
2,73
4,11
Error
27
0,161
0,006
Total
35
0,224
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 * (signifikan) tn (tidak nyata)
69
Lampiran 31. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Kolon Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK Perlakuan
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8
0,193
0,024
1,43tn
2,31
3,26
tn
3,35
5,49
Faktor A
2
0,090
0,045
2,67
Faktor B
2
0,054
0,027
1,61tn
3,35
5,49
Faktor A*B
4
0,049
0,012
0,73tn
2,73
4,11
Error
27
0,455
0,017
Total
35
0,648
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 tn (tidak nyata)
Lampiran 32. ANOVA Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Kolon Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
8
0,008
0,001
1,04tn
2,31
3,26
Faktor A
2
0,004
0,002
2,13tn
3,35
5,49
Faktor B
2
0,004
0,002
1,78tn
3,35
5,49
tn
2,73
4,11
Faktor A*B
4
0,001
0,0001
Error
27
0,027
0,001
Total
35
0,035
Keterangan:
0,14
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) tn (tidak nyata)
70
Lampiran 33. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Limpa Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Metionin M1 M2 M3 Keterangan:
Jumlah 12 12 12 M1 M2 M3
Rata-rata 0,195 0,144 0,112
Grup Duncan a b ab
= Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum
Lampiran 34. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Gizzard Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Metionin M1 M2 M3 Keterangan:
Jumlah 12 12 12 M1 M2 M3
Rata-rata 1,996 1,722 1,785
Grup Duncan a b ab
= Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum
Lampiran 35. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Ginjal Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Metionin M1 M2 M3 Keterangan:
Jumlah 12 12 12 M1 M2 M3
Rata-rata 0,793 0,728 0,686
Grup Duncan a ab b
= Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum
Lampiran 36. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Hati Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Metionin A1 A2 A3 Keterangan:
Jumlah 12 11 12 A1 A2 A3
Rata-rata 2,20 2,22 2,59
Grup Duncan b b a
= Penambahan Aflatoksin 0 ppb pada ransum = Penambahan Aflatoksin 150 ppb pada ransum = Penambahan Aflatoksin 300 ppb pada ransum
71
Lampiran 37. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Duodenum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Metionin M1 M2 M3 Keterangan:
Jumlah 12 12 12 M1 M2 M3
Rata-rata 1,958 1,750 2,065
Grup Duncan a b a
= Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum
Lampiran 38. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Aflatoksin A1 A2 A3 Keterangan:
A1 A2 A3
Jumlah 12 12 12
Rata-rata 4,886 5,499 4,734
Grup Duncan b a b
= Ransum yang terkontaminasi aflatoksin 0 ppb = Ransum yang terkontaminasi aflatoksin 150 ppb = Ransum yang terkontaminasi aflatoksin 300 ppb
Lampiran 39. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Metionin M1 M2 M3 Keterangan:
Jumlah 12 12 12 M1 M2 M3
Rata-rata 1,496 1,290 1,290
Grup Duncan a b b
= Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum
Lampiran 40. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Jejunum Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Aflatoksin A1 A2 A3 Keterangan:
A1 A2 A3
Jumlah 12 12 12
Rata-rata 1,239 1,403 1,433
Grup Duncan b ab a
= Ransum yang terkontaminasi aflatoksin 0 ppb = Ransum yang terkontaminasi aflatoksin 150 ppb = Ransum yang terkontaminasi aflatoksin 300 ppb
72
Lampiran 41. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Metionin M1 M2 M3 Keterangan:
Jumlah 12 12 12 M1 M2 M3
Rata-rata 2,452 2,156 2,344
Grup Duncan a b ab
= Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum
Lampiran 42. Uji Jarak Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Seka Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Metionin M1 M2 M3 Keterangan:
M1 M2 M3
Jumlah 12 12
Rata-rata 0,456 0,368
12
0,422
Grup Duncan a b ab
= Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum
Lampiran 43. Uji Jarak Duncan Interaksi Perlakuan Terhadap Berat Limpa Ayam Broiler Periode Finisher (3-6 minggu) Interaksi M1A1 M1A2 M1A3 M2A1 M2A2 M2A3 M3A1 M3A2 M3A3 Keterangan:
Jumlah 4 4 4 4 4 4 4 4 4 M1A1 M1A2 M1A3 M2A1 M2A2 M2A3 M3A1 M3A2 M3A3
Rata-rata 0,18750 0,11750 0,28000 0,12250 0,12500 0,08750 0,09750 0,23000 0,10500
Grup Duncan abc bc a bc bc c c ab bc
= Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin 0 ppb = Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin 150 ppb = Suplementasi DL-metionin 0% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin 300 ppb = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin 0 ppb = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin 150 ppb = Suplementasi DL-metionin 0,20% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin 300 ppb = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin 0 ppb = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin 150 ppb = Suplementasi DL-metionin 0,30% pada ransum yang terkontaminasi aflatoksin 300 ppb
73