Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENGARUH PEMBERIAN RBM5 TERHADAP KOKSIDIOSIS PADA AYAM BROILER (Use of RBM 5 as Natural Coccidiostat Against Coccidiosis in Broiler Chicken) TOLIBIN ISKANDAR1, DIDIK T. SUBEKTI1 dan TONI SUIBU2 1
Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 2 CV Raja Benua Mas, Jl. Tanjung Morawa, Medan
ABSTRACT The purpose of this study was to a commercial whether of RBM5 powder can be used as coccidiostat in feed of broiler chicken. RBM5 powder was tradisional coccidiostat product. Seventy five DOC broiler chicken strain Hybro were reared up to 4 weeks, free coccidian parasites prior to the experiment. Chickens were divided randomly into 5 groups. Group I was of normal control (It was not given oocystes and without RBM5), Group II, III, IV infected orally with 200.000 oocyst of Eimeria sp. Group III + RBM5 in feed respectively in each 3 days. Group IV + RBM5 in feed respectively in each a day. The results show that RBM5 with dose 1 : 50 in feed can reduce clinical coccidiosis cases, and increase feed conversion rate compared to normal control. Key Words: RBM5, Broiler Chicken, Coccidiosis ABSTRAK RBM5 merupakan salah satu obat tradisional komersial yang dinyatakan mampu mengendalikan beberapa penyakit pada unggas khususnya ayam broiler (pedaging). Salah satu penyakit yang dinyatakan dapat dicegah atau diobati adalah koksidiosis pada ayam. Koksidiosis merupakan penyakit parasiter saluran pencernaan ayam yang disebabkan oleh Eimeria sp. Manisfestasi klinis koksdiosis sangat bervariasi dari gangguan ferforma ayam, meningkatnya biaya produksi yang dapat dilihat dari buruknya konversi pakan sampai terjadi kematian. Efektifitas RBM5 dalam pengobatan koksidiosis perlu diuji secara in vivo. Hal ini sesuai dengan keinginan perusahaan untuk melakukan pengujian secara independen dan obyektif. Ayam broiler sebanyak 75 ekor dibagi dalam 5 kelompok dengan replikasi masing-masing 15 ekor. Kelompok I tidak diinfeksi dan tidak diberi RBM 5, Kelompok II, III, IV diinfeksi dengan dosis masing-masing 200.000 ookista/ekor. Kelompok III + RBM5 dicampur dalam pakan dengan dosis 1 : 50 setiap 3 hari sekali. Kelompok IV + RBM5 dicampur dalam pakan dengan dosis 1 : 50 dilakukan setiap hari. Hasil penelitian pemberian RBM5 dapat mereduksi tingkat keparahan infeksi pada kasus koksidiosis klinis dan dapat mengakibatkan peningkatan nilai konversi pakan dibandingkan dengan tanpa pemberian RBM5. Kata Kunci: RBM5, Ayam Pedaging, Koksidiosis
PENDAHULUAN Koksidiosis atau penyakit berak darah merupakan penyakit penting pada ayam di Indonesia maupun di luar negeri karena sering menimbulkan masalah dan menyebabkan kerugian yang cukup besar pada usaha peternakan ayam. Kerugian yang ditimbulkan meliputi kematian, morbiditas yang cukup tinggi, penurunan efisiensi pakan, pertumbuhan terhambat, penurunan bobot hidup,
terlambatnya masa produksi telur, produksi menurun dan biaya pengobatan yang tinggi (TAMPUBOLON, 1996). Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, karena itu masalah distribusi, komunikasi yang kurang lancar menyebabkan daerah tersebut sukar dijangkau oleh obat moderen dan tenaga veteriner. Disamping itu karena daya beli yang relatif rendah, banyak masyarakat pedesaan yang menggunakan obat tradisional (RAHAYU et al., 1970; ISKANDAR et
749
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
al., 2000; ISKANDAR dan HUSEIN, 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian-penelitian sehingga penggunaan obat tradisional dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu diantaranya adalah RBM5 dinyatakan mampu mengendalikan beberapa penyakit pada unggas khususnya ayam pedaging. Salah satu penyakit yang dinyatakan dapat dicegah atau diobati adalah koksidiosis pada ayam. Efektifitas RBM5 dalam pengobatan koksidiosis perlu diuji secara in vivo. Hal yang sangat diperlukan ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membuktikan efektivitasnya. Pengujian antikoksidial secara in vivo merupakan standar awal sebelum dilakukan uji lapang. Oleh karena itu sebagai bagian dari upaya pembuktian daya antikoksidia dari RBM5, maka pengujian secara in vivo di laboratorium perlu dilakukan. Apalagi hal demikian sejalan dengan keinginan perusahaan untuk melakukan pengujian secara independent dan obyektif. Tujuan yang hendak dicapai dalam pengujian adalah membuktikan daya antikoksidial dari RBM5 pada ayam pedaging. Adapun manfaat yang diperoleh adalah dapat diketahui deskripsi awal efektivitas antikoksidial RBM5 dan kemampuannya untuk mempengaruhi perubahan performa ayam pedaging. Hal tersebut esensial untuk berbagai indikasi dalam proses produksi budidaya ayam pedaging. MATERI DAN METODE Perbanyakan koksidia dan infeksi Ookista Eimeria sp yang digunakan berasal dari stok di Kelti Parasitologi Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Ookista dibersihkan dari berbagai debris dan larutan penyangga (buffer) dengan cara setrifugasi berulang pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada temperature 4oC. Endapan yang diperoleh dilarutkan dalam aquades yang mengandung NaN3 dan antibiotika. Total ookista yang bersporulasi dihitung jumlahnya dalam setiap volume satu milliliter. Ookista infektif yang telah diperoleh diinfeksikan pada ayam pedaging pada umur sekitar 1 minggu. Infeksi dilakukan secara oral dan diamati sampai 2 minggu pascainfeksi
750
dengan fokus utama menguji aktivitas antikoksidial. Dosis infeksi yang digunakan 200.000 ookista bersporulasi per milliliter untuk setiap ekor ayam. Perlakuan, hewan percobaan dan pakan Ayam pedaging galur Hybro sebanyak 75 ekor dibagi 5 kelompok masing-masing 15 ekor. Kelompok I sampai kelompok IV merupakan kelompok pengujian utama. Kelompok V merupakan kelompok konfirmasi dan kontrol. Kelompok I merupakan kontrol yang tidak diinfeksi dan tidak diberi RBM5 dalam pakan. Kelompok V merupakan kontrol yang tidak diinfeksi tetapi diberi RBM5 setiap 3 hari sekali sejak hari ketiga dalam dosis 1 : 50 dalam pakan. Kelompok II, III dan IV diinfeksi dengan dosis masing-masing 200.000 ookista diikuti dengan atau tanpa pemberian RBM5 dalam pakan. Kelompok III dan IV diikuti pemberian RBM 5 dengan cara yang berbeda. Pada kelompok III pemberian RBM5 dicampur dalam pakan dengan dosis 1 : 50 setiap 3 hari sekali. Sedangkan kelompok IV diberi RBM5 dalam pakan dengan dosis 1 : 50 dilakukan setiap hari. Pakan yang digunakan pakan komersial stater Indofeed tanpa antikoksidia. Pakan yang diberikan dan sisa pakan ditimbang secara rutin. Ayam yang digunakan tidak diikuti dengan pemberian vitamin, mineral bahkan vaksinasi apapun. Pengamatan Pengamatan dilakukan sejak umur sehari (DOC) sampai masa panen diakhir penelitian. Variabel yang diamati adalah gejala klinis, skor luka usus atau skor jumlah ookista, ookista dalam feses atau liter, pertambahan bobot badan dan pakan yang dikonsumsi. Pakan yang diberikan dan dikonsumsi diamati dan ditimbang setiap hari. Sementara itu, bobot badan ditimbang seminggu sekali. Pada hari ke-7 (5 ekor) dan ke-14 (10 ekor) ayam dibunuh dan diperiksa pada permukaan mukosa usus. Tingkat keparahan luka pada permukaan usus dapat dibedakan dengan metode skoring (HOFSTAD et al., 1972). Pada saat yang bersamaan, juga dilakukan scraping
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
(pengerokan) pada mukosa dan submukosa usus untuk mengetahui tingkat infeksi berdasarkan adanya ookista. Tingkat infeksi berdasarkan jumlah ookista dalam mukosa dan submukosa ditentukan berdasarkan skoring (DAUGSCHIES et al., 1998; JOHNSON dan REID, 1970). Sampel liter atau feses diambil secara periodik untuk dihitung jumlah ookista yang terkandung di dalamnya. Setiap 3 g sampel dilarutkan dalam aquadest-larutan gula Sheater sampai volume total 60 ml. selanjutnya disentrifus dan diambil cairan supernatant (sekitar 0,5 ml) untuk diperiksa dan dihitung jumlah ookista yang ada di dalam cairan tersebut. Penghitungan dengan menggunakan Whitlock chamber dan diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 200 x. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala klinis dan kematian Hasil pengamatan gejala klinis pada kelompok terinfeksi adalah lemah, lesu dan nafsu makan menurun. Pada beberapa ekor terlihat berak darah. Kematian terlihat setelah dua minggu setelah infeksi pada kelompok yang diinfeksi tanpa pengobatan maupun yang diobati terus menerus. Karena angka kematian kecil (masing-masing seekor) maka kondisi tersebut tidak memberikan deskripsi yang nyata antara keparahan dan efektifitas pengobatan. Kematian tersebut bersifat individual sebagai respon tiap individu terhadap infeksi dan bukan secara kelompok sebagai representasi efek pemberian RBM5 pada infeksi. Skor luka intestin (SLI) Infeksi oleh Eimeria sp sebagai penyebab koksidiosis akan senantiasa berimplikasi pada keruksakan sel epitel pada jaringan usus khususnya pada bagian mukosa dan submukosa. Kerusakan tersebut terjadi sebagai akibat keluarnya merozoit dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya rupture. Oleh sebab itu tingkat kerusakan sel epitel mukosa usus sangat berkaitan secara linear dengan tingkat keparahan infeksi dan perkembangan koksidiosis dalam saluran usus. Semakin
banyak sel epitel yang rusak berarti semakin parah infeksinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa aden infeksi (merozoit) berkembang secara cepat dan berkesinambungan tanpa terkendali. Tingkat keparahan luka pada permukaan mukosa usus dapat dideterminasi dengan skoring. Skor 0 berarti kondisi permukaan saluran usus terlihat normal secara anatomis. Jika skor 1 – 4 menunjukkan tingkat kerusakan permukaan usus semakin parah. Kerusakan usus yang dinyatakan sebagai akibat koksidiosis harus diklarifikasi dengan pemeriksaan mikroskopis pada kerokan mukosa usus. Apabila pada kerokan mukosa usus tidak ditemukan ookista atau gamon maka kerusakan tersebut bersifat dubius karena mungkin disebabkan oleh agen infeksi lain. Sebaliknya apabila pada kerokan mukosa usus ditemukan salah satu bentuk tersebut maka kerusakan mukosa usus berkaitan dengan koksidiosis. Hasil pengamatan selama 2 minggu menunjukkan bahwa pada minggu pertama kelompok control masih tetap normal sedangkan kelompok ITR (diinfeksi tanpa diikuti pemberian RBM5) semuanya (dari 5 ekor sampel yang diambil dan dibunuh) mulai menunjukkan kerusakan sel epitel usus ringan. Sebaliknya pada IR1 (diinfeksi dan diikuti RBM5 setiap 3 hari sekali) dan IR2 (diinfeksi dengan diikuti pemberian RBM5 setiap hari) mulai terlihat adanya kerusakan mukosa saluran usus ringan (skor 1). Berdasar atas Gambar 1, terlihat beberapa perbedaan mendasar yang terkait dengan distribusi atau persentase ayam yamg mengalami kerusakan mukosa usus ringan (skor 1). Pada kelompok yang diinfeksi tetapi tidak diikuti dengan pemberian RBM5 ternyata semua sampel yang diamati menunjukkan semua mengalami kerusakan mukosa usus ringan (100%). Tetapi pada IR1 dan IR2 tidak seluruhnya mengalami kerusakan mukosa usus secara patologi anatomis. Pemberian RBM5 secara kontiniu pada koksidiosis awal infeksi ternyata secara relatif mampu mengurangi atau mereduksi tingkat kerusakan mukosa saluran usus. Pemberian kontinyu tersebut berdasar hasil pengamatan dalam penelitian ini mampu mengurangi resiko sampai sekitar 30% terdeskripsi dalam Gambar 1 A dan B. Hal tersebut terlihat dari perbedaan persentase ayam yang menderita kerusakan mukosa
751
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
saluran usus ringan sebesar 50 5 pada IR1 dan hanya 20% pada IR 2. Kondisi yang serupa juga terlihat pada 2 minggu setelah infeksi (14 hari setelah infeksi). Walaupun persentase masing-masing tingkat kerusakan mukosa usus pada setiap kelompok perlakuan bervariatif, namun secara keseluruhan pemberian RBM5 dapat mereduksi tingkat kerusakan mukosa usus yang diderita. Rata-rata skor lesi pada ITR yaitu 3 sedangkan rata-rata skor pada IR1 maupun IR2 adalah 1,7. Pada ITR, persentase yang menderita kerusakan usus yang parah (skor 3 – 4) sebesar 64%, kerusakan usus sedang sebesar 27% dan kerusakan usus ringan 9%. Apabila dibandingkan dengan IR1, terlihat adanya reduksi pada persentase ayam yang menderita kerusakan usus dengan skor 3 -4 menjadi sekitar 40%. Tetapi jika dibandingkan dengan IR2 maka persentase ayam yang menderita kerusakan mukosa usus yang parah (skor 3 – 4) hanya sebesar 20%. ILS/7 dpi/IR1
A
Skor Jumlah Ookista Skor jumlah ookista (SJO) pada lapisan mukosa dan submukosa bias dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan pada Gambar 3. terlihat bahwa IR1 dan IR2 ditemukan SJO dengan skor 3 sedangkan pada ITR tidak ditemukan skor 3 meskipun sekitar 75% menunjukkan skor 2. Hal ini ada keterkaitan dengan Gambar 1, dimana semua sampel (100%) pada ITR menunjukkan SLU (skor luka usus) 1 sedangkan IR1 dan IR2 masih belum semuanya. Kondisi demikian memperlihatkan IR1 dan IR2 sedang dalam proses menuju perlukaan yang lebih parah dengan adanya skor ookista yang meningkat pada waktu berikutnya dengan kejadian infeksi. Hal serupa terjadi pada pada ITR yang lebih dahulu mengalami perlukaan dan reinfeksi yang progresif dibandingkan IR1 dan IR2.
B
0%
ILS/7 dpi/IR 2 20%
50%
50%
skor 4
skor 4
skor 3
skor 3
skor 2
skor 2
skor 1
skor 1
skor 0
skor 0 80%
0%
0% C
D
ILS/7 dpi/ITR
0%
ILS/7 dpi/Kontrol
skor 4
skor 4
skor 3
skor 3
skor 2
skor 2
skor 1
skor 1
skor 0
skor 0
100%
100%
Gambar 1. Persentasi skor luka intestinal pada masing-masing kelompok A. IR1 (Infeksi + RBM5 setiap hari) B. IR2 (Infeksi + RBM5 tiga hari sekali) C. ITR (Infeksi tanpa RBM5) D. Kontrol (tidak diinfeksi dan tanpa RBM5)
752
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
0%
A
ILS/14 dpi/Kontrol
9%
B
0%
ILS/14 dpi/ITR
skor 4 skor 3
skor 4 27%
skor 3
skor 2
skor 2
skor 1
skor 1 46%
skor 0 18%
100%
20%
C
skor 0
ILS/14 dpi/IR
10%
D
ILS/14 dpi/IR 2 10%
30%
skor 4 40% 20%
10%
skor 4
skor 3
skor 3
skor 2
skor 2
skor 1
skor 1
skor 0
skor 0
10%
50%
Gambar 2. Persentase Skor luka intestinal pada masing-masing kelompok A. Kontrol (tidak diineksi dan tanpa RBM5) B. ITR (Infeksi tanpa RBM5) C. IR1 (Infeksi + RBM5 setiap hari) D. IR2 (Infeksi + RBM5 tiga hari sekali) A
0%
OCS/7 dpi/Kontrol Skor 5 Skor 4
B
OCS/7 dpi/ITR Skor 5
25%
Skor 4
Skor 3
Skor 3
Skor 2
Skor 2
Skor 1
Skor 1
Skor 0
Skor 0 75%
100%
C
OCS/7 dpi/IR1
25%
Skor 5
50%
25%
D
OCS/7 dpi/IR2
20%
20%
Skor 5
Skor 4
Skor 4
Skor 3
Skor 3
Skor 2
Skor 2
Skor 1
Skor 1
Skor 0
Skor 0 60%
Gambar 3. Persentase skor jumlah ookista dalam mukosa saluran usus A. Kontrol (tidak diineksi dan tanpa RBM5) B. ITR (Infeksi tanpa RBM5) C. IR1 (Infeksi + RBM5 setiap hari) D. IR2 (Infeksi + RBM5 tiga hari sekali)
753
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dan 3 sebesar 64% sedangkan pada kelompok IR1 dan IR2 masing-masing sebesar 30% hanya skor 4 dan 30% hanya skor 3. Reduksi skor juga terlihat dari rata-rata skor diantara ketiga perlakuan tersebut. Pada ITR memiliki rata-rata skor 2,64 sedangkan IR1 dan IR2 masing-masing memiliki nilai rata-rata skor 2,2 dan 1,7. Hal tersebut menunjukkan reduksi skor jumlah ookista sebesar 16,67% (IR1) dan 35,61% (IR2).
Pada fase tersebut tidak dapat dikatakan bahwa pemberian RBM5 tidak memberikan pengaruh nyata pada produksi ookista. Hal ini disebabkan pada fase 1 minggu paska infeksi, Eimeria sp. Sementara itu, dalam tahap siklus perkembangan pertama efek reduksi belum telihat dari pembentukan ookista. Dampak yang nyata akan ditentukan pada fase seminggu berikutnya (2 minggu setelah infeksi) karena parasit akan memasuki siklus kedua melalui reinfeksi dari ltter yang akan berdampak multi plikatif pada kerusakan usus. Jumlah ookista yang dihasilkan dalam mukosa saluran usus tidak hanya ditentukan oleh besarnya reinfeksi tetapi juga sangat tergantung pada tingkat kerusakan sel epitel. Semakin parah kerusakannya semakin tipis dan berkurang sel-sel epitel dalam mukosa sehingga kemungkinan besar tempat pembentukan ookista juga berkurang. Akibatnya adalah penemuan jumlah ookista akan berkurang sehingga menyebabkan seolaholah skor ookista menurun. Berdasar pada Gambar 4, terlihat bahwa terjadi perubahan distribusi dan persentase skor jumlah ookista pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada ITR jumlah kumulatif skor 4
A
0%
OCS/14 dpi/kontrol
Ookista dalam litter Ookista pada litter bukan merupakan alat diagnostik yang tepat untuk menggambarkan tingkat infeksi, seperti dengan ditemukan ookista dalam litter berarti kandang tersebut telah terkontaminasi ookista dan akan terjadi infeksi oleh ookista yang bersporulasi sehinggga kemungkinan kearah kasus koksidiosis sangat potensial terjadi. Tingkat kontaminasi ookisya dalam litter tinggi dan peluang terjadinya infeksi terjadi sangat besar baik dari segi jumlah ookista yang menginfeksi maupun peluang infeksi terhadap keseluruhan populasi ayam dalam kandang tersebut. Pengukuran dan pengamatan ookista. B
OCS/14 dpi/ITR 27%
27%
skor 4
skor 4
skor 3
skor 3
skor 2
skor 2
skor 1
skor 1
skor 0
skor 0
9%
37%
100% C
OCS/14 dpi/IR 1
D
OCS/14 dpi/IR2 30%
30% 40%
0%
skor 4
skor 4
skor 3
skor 3
skor 2
skor 2
skor 1
skor 1
skor 0
skor 0 60%
10%
30%
Gambar 4. Persentase skor jumlah ookista dalam mukosa saluran usus E. Kontrol (tidak diineksi dan tanpa RBM5) F. ITR (Infeksi tanpa RBM5) G. IR1 (Infeksi + RBM5 setiap hari) H. IR2 (Infeksi + RBM5 tiga hari sekali)
754
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Hasil pemeriksaan jumlah oookista dalam litter seperti pada Gambar 5. Berdasar pada Gambar 5 terlihat pada 2 minggu terakhir, produksi ookista pada kelompok ITR cenderung akan mengalami peningkatan sedangkan pada IR1 dan IR2 cenderung stabil atau mendatar. Implikasi dari dinamika produksi ookista tersebut adalah ada kemungkinan bahwa kelompok ITR reinfeksi akan kembali terjadi dengan tingkat infeksi yang akan meningkat pada periode berikutnya. Hal demikian akan melestarikan kasus koksidiosis dalam kandang tersebut dan akan memperparah kerusakan mukosa saluran usus ayam yang sebelumnya telah terinfeksi dan menunjukkan gejala klinis nyata. Tetapi pada kelompok IR1 maupun IR2 kemungkinan akan terjadi proses penyembuhan karena tingkat tantangan yang ringan atau setidaknya akan terjadi reinfeksi ringan diharapkan pada waktu berikutnya produksi ookista akan mengalami penurunan. Pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan
Infeksi oleh Eimeria sp. Pada umumnya akan menyebabkan kematian dan hambatan pertumbuhan pada ayam muda maupun hambatan pertambahan bobot badan harian maupun mingguan yang ireversibel pada ayam tua. Ada hambatan pertambahan bobot badan tersebut secara langsung akan terkait dengan efisiensi pakan yang seringkali dinyatakan dengan konversi pakan. Pada infeksi awal koksidiosis jumlah pakan yang dikonsumsi secara relatif tidak banyak mengalami penurunan, kecuali jika kasus koksidiosis yang terjadi sudah sangat parah sekali dan umumnya akan segera diikuti dengan kematian ayam yang bersangkutan. Dampak langsung dari hambatan pertambahan bobot badan terhadap efisiensi pakan adalah semakin meningkat nilai konversi pakannya. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan pakan untuk pertambahan bobot badan harian atau mingguan semakin berkurang sehingga berdampak pada peningkatan biaya produksi. Gambaran mengenai perbandingan pertambahan bobot badan dan nilai konversi pakan dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.
Kasus koksidiosis berpengaruh terhadap efisiensi pakan dan pertambahan bobot badan.
2000000 1500000 ITR IR1
1000000
IR2 500000 0 11dpi
12dpi
13dpi
14dpi
Gambar 5. Dinamika produksi ookista dalam litter (ookista/gram litter)
755
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Gambar 6. Pertambahan Bobot badan mingguan (g) Infeksi dilakukan pada minggu ke-1
FCR 3 2,5 0 2 1 1,5 2 1 3 0,5 0 Kontrol 1
Kontrol 2
ITR
IR 1
IR 2
Gambar 7. Perbandingan nilai Konversi Pakan (FCR) pada masing-masing kelompok 0 = minggu ke 0; 1 = minggu ke-1; 2 = minggu ke-2; 3 = minggu ke-3
Interpretasi dan implikasi umum Pemberian RBM5 pada penelitian ini mampu untuk mereduksi kasus koksidiosis yang terjadi pada ayam pedaging yang diinfeksi secara buatan dengan ookista bersporulasi dengan dosis 200.000 per ekor. Walaupun pemberian RBM5 dapat mereduksi kasus koksidiosis namun masih belum dapat
756
dinyatakan sebagai antikoksidia dengan beberapa pertimbangan. 1. Masih ditemukan kasus koksidiosis berat (skor 3 dan 4 untuk SLU) pada kelompok IR1 (40%) dan IR2 (20%). Jumlah tersebut masih cukup tinggi sehingga RBM5 hanya dapat dinyatakan memiliki potensi sebagai antikoksidia. Kondisi demikian kemungkinan besar sangat terkait dengan komponen bahan aktif dari produk yang
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
belum dideterminasi secara jelas dan belum diketahui konsentrasi bahan aktifnya. 2. Pemberian RBM5 ternyata menyebabkan peningkatan nilai konversi pakan dibandingkan tanpa RBM5. Kondisi tersebut selaras dengan 3 perlakuan dimana pemberian RBM5 juga tidak mampu memberikan dampak positif terhadap perubahan nilai konversi pantara IR1, IR2 dibanding dengan ITR. Hal demikian memberikan implikasi yang kurang menguntungkan dari sisi biaya produksi. Salah satu kemungkinan adalah tidak murni produk yang digunakan. Artinya di dalam produk tersebut kemungkinan masih terdapat beberapa bahan yang menghambat efisiensi pakan oleh ayam yang belum teridentifikasi. Pemurnian produk lebih lanjut dalam beberapa tahap diharapkan akan dapat memberikan pemecahan yang lebih baik. KESIMPULAN
1.
2.
3.
4.
Pengujian dari RBM5 dapat disimpulkan: Pemberian RBM5 (dosis 1 : 50 dalam pakan) dapat mereduksi tingkat keparahan infeksi oleh Eimeria sp. Pada kasus koksidiosis klinis, baik berdasarkan skor lesi usus maupun skor jumlah ookista. Pemberian RBM5 secara kontinyu pada kasus koksidiosis memberikan hasil reduksi terbesar dibandingkan dengan pemberian periodical setiap tiga hari sekali. Pemberian RBM5 dengan dosis 1 : 50 dalam pakan dapat mengakibatkan peningkatan nilai konversi pakan dibandingkan tanpa pemberian RBM5. RBM5 memiliki potensi untuk diproses lebih lanjut secaratepat menjadi antikoksidia. SARAN
bahan aktif disertai dengan penentuan konsentrasi yang efektif diharapkan akan mampu memberikan nilai tambah berupa peningkatan daya antikoksidia dan menurunkan atau mengurangi faktor-faktor yang mengakibatkan peningkatan nilai konversi pakan. RBM sudah dipakai di masyarakat terutama di Medan, Sumatera Utara. DAFTAR PUSTAKA DAUGSCHIES, A., U. GASSLEIN and M. ROMMEL. 1998. Comparative Efficacy of Anticoccidial Under the Conditions of Commercial Broiler Production and in battery trials. Veterinery Parasitol. 76: 163 – 171. HOFSTAD, M.S., B.W. CALNEK, C.F. HELMBOLDT, W.M. REID and H.W. YODER. 1972. Diseases of Poultry. The Iowa State University Press. JOHNSON, J. and W.R. REID. 1970. Anticoccidial drugs lesion scoring techniques In battery floor pen experiment with chickens. Experimental Parasitol. 28: 30 –36. ISKANDAR, T., T.B. MURDIATI dan D.T. SUBEKTI. 2000. Pengaruh pemberian infuse jahe merah (Zingiber officinale var Rubra) terhadap koksidiosis sekum pada ayam pedaging. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 September 2000. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 525 – 531. ISKANDAR, T. dan A. HUSEIN. 2003. Pemberian campuran serbuk jahe merah (Zingiber officinale var Rubra) pada ayam petelur untuk penanggulangan koksidiosis. Pros. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 443 – 447. RAHAYU, R.D., H. MINDARTI dan CHAIRUL. 1970. Pengaruh penambahan minyak atsiri jahe merah terhadap pertumbuhan Eryciplas sp. Pros. Simposium Penelitian Bahan Obat Alam VIII. Bogor 1971. hlm 473 – 475. TAMPUBOLON, M.P. 1996. Protozoologi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. hlm 116 – 118.
Disarankan pemurnian lebih lanjut produk RBM5 dan identifikasi secara jelas komponen
757
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
DISKUSI Pertanyaan: 1. Apakah RBM Itu? 2. Bagaimana komposisinya? 3. Selain untuk koksisiasis apa ada yang digunakan untuk penyakit lain? 4. Berapa harganya? Jawaban: 1. RBM adalah obat tradisional berupa serbuk herbal 2. Komposisinya belum diketahui karena merupakan penelitian kemitraan. 3. Sementara ini baru untuk penyakit koksidiasis pada ayam. 4. Harganya Rp. 7500/kg.
758